LEUKOSIT SEBAGAI SALAH SATU PARAMETER KESEHATAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis)
DI USAHA PENANGKARAN RUSA TIMOR KECAMATAN DAWE KABUPATEN KUDUS
THEODORA MEILIANA TJENDRADJAJA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
ABSTRACT
THEODORA MEILIANA. Leukocytes as One of Health Parameters of Timor Deer (Cervus timorensis) in Captive Breeding Business of Timor Deer in Dawe Sub-district Kudus District. Under direction of CHUSNUL CHOLIQ and ANITA ESFANDIARI.
The aim of this research is to observe the profile of leukocytes on Timor deer (Cervus timorensis) as a base data of the leukocytes on Timor deer to be used as one of health parameters. Research was conducted using blood sample from twelve Timor stags at hard antler stage and transition from velvet to hard antler stage. Total leukocyte counting using a haemocytometer, and differentiation of leukocytes using blood smears stained with 10% Giemsa. The results are total leukocyte of adult Timor stag at range 2.95-4.05 x 103/µL with total absolute each type of leukocyte are eosinophils 0-0.04 x 103/µL, neutrophils 1.49-1.93 x 103/µL, basophils 0-19.75/µL, monocyte 0-0.04 x 103/µL, and lymphocyte 1.43-2.13 x 103/µL. Persentage for each type of leukocyte are eosinophils 0-2%, basophils 0-1%, neutrophils 46-53%, monocyte 0-2%, and lymphocyte 47-55%. In conclusions, the dominant type of leukocyte on normal adult Timor stag consecutively are lymphocytes, neutrophils, eosinophils, monocytes, basophils.
Keywords: Cervus timorensis, deer, profile of leukocytes
RINGKASAN
THEODORA MEILIANA. Leukosit sebagai Salah Satu Parameter Kesehatan Rusa Timor (Cervus timorensis) di Usaha Penangkaran Rusa Timor Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus. Dibimbing oleh CHUSNUL CHOLIQ dan ANITA ESFANDIARI.
Rusa Timor merupakan salah satu satwa endemik asli Indonesia. Keuntungan yang dapat diperoleh dari rusa Timor selain sebagai objek wisata, dapat pula dijadikan sebagai sumber protein pangan hewani. Tingginya permintaan daging rusa menyebabkan banyaknya perburuan liar yang dilakukan sehingga populasi rusa menurun. Untuk menjaga kelestariannya, maka banyak instansi yang membuat penangkaran rusa Timor. Faktor penting yang harus diperhatikan dalam pemeliharaan rusa Timor salah satunya adalah kesehatan yang dapat menggunakan leukosit sebagai salah satu parameternya. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati profil leukosit pada rusa Timor, yang dilaksanakan pada bulan Juli 2011. Sampel darah rusa Timor jantan diberi antikoagulan EDTA dan dihomogenkan. Untuk pengamatan leukosit total, dilakukan dengan hemositometer, sedangkan diferensiasi leukosit menggunakan preparat ulas yang diwarnai dengan pewarna Giemsa. Preparat ulas yang telah diwarnai diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 100 kali menggunakan minyak emersi. Penghitungan diferensial leukosit didasarkan pada hasil pengamatan dengan menghitung neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit dalam 100 butir leukosit. Nilai absolut didapat dengan mengalikan persentase masing-masing jenis leukosit dengan jumlah leukosit total (Weiss & Wardrop 2010). Nilai rataan diferensiasi leukosit disajikan dalam nilai absolut agar dapat dilihat dinamikanya (Wibawan et al. 2009).
Hasil yang diperoleh leukosit total rusa Timor berkisar antara 2.95-4.05 x 103/µL, dengan total absolut masing-masing jenis leukosit yaitu eosinofil 0-0.04 x 103/µL, neutrofil 1.49-1.93 x 103/µL, basofil 0-19.75/µL, monosit 0-0.04 x 103/µL, dan limfosit 1.43-2.13 x 103/µL. Persentase masing-masing jenis leukosit adalah eosinofil 0-2%, basofil 0-1%, neutrofil 46-53%, monosit 0-2%, and limfosit 47-55%. Jenis leukosit yang dominan pada rusa Timor jantan dewasa normal berturut-turut yaitu limfosit, neutrofil, eosinofil, monosit dan basofil.
Kata kunci : Cervus timorensis, rusa, profil leukosit
LEUKOSIT SEBAGAI SALAH SATU PARAMETER KESEHATAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis)
DI USAHA PENANGKARAN RUSA TIMOR KECAMATAN DAWE KABUPATEN KUDUS
THEODORA MEILIANA TJENDRADJAJA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Leukosit sebagai Salah Satu Parameter Kesehatan Rusa Timor (Cervus timorensis) di Usaha Penangkaran Rusa Timor Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalan Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2011
Theodora Meiliana
NIM B04070155
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan pustaka suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Leukosit Sebagai Salah Satu Parameter Kesehatan
Rusa Timor (Cervus timorensis) di Usaha Penangkaran Rusa Timor Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus
Nama : Theodora Meiliana Tjendradjaja
NIM : B04070155
Tanggal Lulus:
Disetujui
Drh. Chusnul Choliq, MS. MM Dr. Drh. Anita Esfandiari, MSi.
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan FKH IPB
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat dan karunia-Nya, penelitian dan skripsi dapat diselesaikan.
Skripsi dengan judul “ Leukosit Sebagai Salah Satu Parameter Kesehatan Rusa
Timor (Cervus timorensis) di Usaha Penangkaran Rusa Timor Kecamatan Dawe
Kabupaten Kudus” disusun untuk mendapatkan gelar sarjana pada Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada:
1. Drh. Chusnul Choliq, MS. MM selaku pembimbing pertama dan Dr. Drh.
Anita Esfandiari, MSi. Selaku pembimbing kedua atas segala arahan,
bimbingan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis
selama penulisan skripsi.
2. Dr. Drh. Sus Derthi Widhyari M.Si selaku dosen penilai, dan drh. Agus
Wijaya, M.Sc, Ph.D selaku dosen moderator.
3. Dr. Dra. Iis Arifiantini, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang
selalu memberi semangat pada penulis untuk menyelesaikan skripsi.
4. Bu Marlene, Pak Daud Syamsudewa, drh. Ari, drh. Edward, Pak Bondan
yang sangat membantu dan memberi semangat saat pengambilan sampel di
Kudus.
5. Bapak H. Yusuf Wartono selaku pemilik Usaha Penangkaran Rusa Timor
Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus beserta staf yang membantu.
6. Keluarga terkasih (Papi, Mami, Jobu, Toce, Sa’i) yang selalu memberi
dukungan mental dan doa dalam penyelesaian skripsi.
7. Krisostomus Caesar Yanto Nugroho beserta keluarga.
8. Pak Djajat, Pak Suryono, Pak Kamidi yang membantu di Laboratorium
Patologi Klinik.
9. Sike, Uwen, Wisnu, Cupi, Septi untuk dukungan dan semangat yang
diberi.
10. Sahabat dan teman seperjuangan Siska Sitanggang, Swannie Lie, Melia
Christian, Sheila, Arie Wahyuningsih, Lidya Elisabeth, Elsye Minar, Arie
Marjan.
11. Persekutuan Fakultas Kedokteran Hewan.
12. Angkatan 44 Gianuzzi FKH IPB, terima kasih atas persaudaraan yang
berharga.
13. Pihak-pihak yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, namun tidak
menghilangkan rasa hormat dan terima kasih atas bantuan dan dukungan
yang telah diberikan kepada penulis.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan karunia-Nya
kepada kita. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga
skripsi ini dapat menambah wawasan bagi dunia veteriner.
Bogor, Oktober 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 30 Mei 1989. Penulis adalah
anak ketiga dari tiga bersaudara, putri pasangan Laurentius Effendy Tjendradjaja
dengan Lina Halimoen.
Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Fajar Medan 1993-1995,
Sekolah Dasar Santo Yoseph 1 Medan pada tahun 1995-2001, SMP Santo
Thomas 1 Medan pada tahun 2001-2004 dan SMU Santo Thomas 1 Medan pada
tahun 2004-2007. Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), Fakultas Kedokteran
Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan penulis berpartisipasi dalam organisasi
mahasiswa, yaitu Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI) dan Himpunan
Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) di FKH IPB.
DAFTAR ISI Halaman
PRAKATA ............................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL .................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xiii
PENDAHULUAN ................................................................................................1
Latar Belakang ..........................................................................................1 Tujuan .......................................................................................................3 Manfaat .....................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................5
Rusa Timor ................................................................................................5 Darah .........................................................................................................7 Leukosit .....................................................................................................8 Diferensiasi Leukosit ................................................................................9
Neutrofil ........................................................................................10 Eosinofil ........................................................................................11 Basofil ...........................................................................................13 Monosit .........................................................................................14 Limfosit .........................................................................................14
Eritrosit ....................................................................................................14 Giemsa .....................................................................................................15
BAHAN DAN METODE .....................................................................................16
Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................16 Bahan dan Alat ..........................................................................................16 Materi Penelitian .......................................................................................16 Metode Penelitian .....................................................................................16
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................19
Jumlah Leukosit Total ...............................................................................19 Faktor yang mempengaruhi leukosit total .....................................20
Diferensial Leukosit ..................................................................................21 Neutrofil ........................................................................................22 Eosinofil ........................................................................................24 Basofil ...........................................................................................26 Limfosit .........................................................................................28 Monosit .........................................................................................30
SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................................33
Simpulan ...................................................................................................33 Saran .......................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................34
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kisaran komponen sel darah rusa Sambar (Cervus unicolor) di kebun Kebun binatan Ragunan Jakarta .......................................................................10
2. Jumlah leukosit total pada rusa Timor hasil penelitian dibandingkan dengan rusa Sambar, dan rusa Bawean ............................................................20
3. Rataan persentase eosinofil, basofil, neutrofil, monosit, dan limfosit pada rusa Timor ...............................................................................................22
4. Perbandingan persentase neutrofil rusa Timor dengan rusa Timor*, rusa Sambar*, dan rusa Bawean* ....................................................................24
5. Perbandingan persentase eosinofil rusa Timor dengan rusa Timor*, rusa Sambar*, dan rusa Bawean* .....................................................................25
6. Perbandingan persentase basofil rusa Timor dengan rusa Timor*, rusa Sambar*, dan rusa Bawean* ....................................................................28
7. Perbandingan persentase limfosit rusa Timor dengan rusa Timor*, rusa Sambar*, dan rusa Bawean* ....................................................................29
8. Perbandingan persentase monosit rusa Timor dengan rusa Timor*, rusa Sambar*, dan rusa Bawean* ....................................................................32
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Rusa Timor (Cervus timorensis) ....................................................................6
2. Pembentukan sel-sel darah yang berasal dari stem sel...................................8
3. Morfologi leukosit rusa normal; bar = 10 µm. Neutrofil (A), Eosinofil (B), Basofil (C) Monosit (D), Limfosit (E). ......................................................... 14
4. Perubahan bentuk eritrosit pada rusa; bar = 10 µm. Eritrosit bentuk sabit (A) dan bentuk bulat (bikonkaf) (B) ..................................................... 15
5. Neutrofil rusa Timor; bar = 10 µm ............................................................... 23
6. Eosinofil rusa Timor; bar = 10 µm ............................................................... 27
7. Basofil rusa Timor; bar = 10 µm ................................................................... 27
8. Limfosit rusa Timor; bar = 10 µm ................................................................ 30
9. Monosit rusa Timor; bar = 10 µm ................................................................. 31
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki banyak jenis satwa liar endemik, namun sayangnya
hampir semua populasi satwa liar endemik tersebut berada di ambang kritis,
bahkan hampir mendekati kepunahan (Semiadi 2004). Jenis fauna atau satwa liar
telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti daging untuk
kebutuhan protein hewani, sebagai hewan peliharaan, obyek wisata serta sebagai
hewan percobaan biomedis dan obat-obatan. Salah satu satwa liar yang
mempunyai nilai ekonomi atau komersial yaitu rusa, karena dapat dimanfaatkan
sebagai penghasil daging, kulit, dan ranggah (Nugraha 2009).
Rusa di Indonesia yang mempunyai peluang untuk dibudidayakan, karena
ada beberapa jenis yaitu rusa Timor (Cervus timorensis) yang mempunyai delapan
subspesies, rusa Sambar (Cervus unicolor) dua subspesies, dan rusa totol (Axis
axis) yang merupakan jenis rusa dari India yang sekarang berkembang di Istana
Bogor (Garsetiasih et al. 2004). Daging rusa yang disebut venison, dikenal karena
rendah kandungan kolesterol dan lemak, daging empuk, memiliki rasa yang
spesifik (gamey flavour) dan rendah kalori (Nugraha 2009).
Rusa Timor (Cervus timorensis) merupakan satwa liar endemik yang
dilindungi. Perlindungan ini mulai diberikan karena populasi rusa di beberapa
kawasan Indonesia semakin mendekati kepunahan akibat tingginya tingkat
perburuan oleh manusia. Secara resmi, pada tahun 1931, empat famili rusa
endemik (rusa Timor, rusa Sambar, rusa Bawean dan kijang) yang ada di
Indonesia dinyatakan sebagai satwa liar yang dilindungi (Noerdjito & Maryanto
2001).
Rusa (Cervus spp.) merupakan hewan yang dilindungi menurut undang-
undang Ordonansi dan Peraturan Perlindungan Binatang Liar tahun 1931 No. 134
dan 266. Sejak tahun 1990 pemerintah melalui SK Menteri Pertanian No.
362/KPTS/TN/12/V/1990 pada tanggal 20 Mei 1990, memasukkan rusa sebagai
salah satu satwa yang potensial dikembangkan sebagai hewan ternak (domestik).
Pencanangan swasembada daging mendorong pemerintah mengeluarkan Surat
Keputusan Menteri Pertania n No. 404/Kpts/OT/210/6/2002 (tentang pedoman
perizinan dan pendaftaran usaha peternakan rusa) sebagai upaya sosialisasi yang
lebih luas, baik bagi masyarakat maupun peneliti, untuk lebih memberi perhatian
pada minor livestock (babi, kelinci, burung puyuh) termasuk rusa-rusa endemik
Indonesia (Handarini 2006).
Daging rusa merupakan pangan yang sangat diminati masyarakat di
beberapa daerah, antara lain Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Jakarta.
Peningkatan permintaan daging rusa yang tidak diiringi dengan perkembangan
populasi yang memadai, dapat menyebabkan penurunan populasi sampai dengan
kepunahan. Contohnya di Sulawesi Tengah, Kabupaten Tojo Una-Una, minat
terhadap daging rusa tinggi sehingga dikhawatirkan hewan yang dilindungi ini
punah. Sebagai contoh, pedagang bisa membeli satu sampai dua ekor rusa dalam
sehari dari pemburu (Anonim 2011).
Populasi rusa Timor dewasa secara keseluruhan diperkirakan berkisar
antara 10000 hingga 20000 ekor. Berdasarkan jumlah populasi dan
penyebarannya, rusa Timor dimasukkan dalam status konservasi vulnerable
(rentan) oleh International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources (IUCN) Red List. Kategori status konservasi IUCN Red List merupakan
kategori yang digunakan oleh IUCN dalam melakukan klasifikasi terhadap
spesies-spesies berbagai makhluk hidup yang terancam kepunahan (IUCN 2011).
Menurut Semiadi dan Nugraha (2004), upaya pemanfaatan berkelanjutan
potensi satwa rusa Timor (Cervus timorensis) sebagai satwa yang dilindungi di
Indonesia antara lain dapat dilakukan melalui penangkaran sebagai suatu bentuk
usaha pemanfaatan yang dibenarkan dalam UU No. 5 Tahun 1990 dan PP No. 8
Tahun 1999. Dalam rangka pelestarian rusa Timor di Indonesia telah dilakukan
upaya konservasi baik secara in-situ maupun ex-situ. Mengingat sudah banyak
yang mengupayakan konservasi ex-situ dengan cara menangkarkan rusa Timor
yang dilakukan baik oleh instansi pemerintah, swasta dan masyarakat, maka
informasi nilai normal darah perlu dihimpun dan dikembangkan untuk menjadi
rujukan dalam evaluasi kesehatan satwa di penangkaran (Zein 1998).
Salah satu faktor penting yang harus diperhatikan pada proses
pemeliharaan rusa Timor di penangkaran adalah masalah kesehatan. Definisi
sehat menurut World Health Organization (WHO) bukan hanya meliputi
ketidakadaan penyakit atau kelemahan, tetapi meliputi keadaan fisik, mental, dan
kesejahteraan sosial. Pemeriksaan hewan secara klinis dapat dilakukan melalui
inspeksi, palpasi, perkusi, dan uji laboratorium sebagai penunjang atau peneguh
diagnosa.
Penentuan status kesehatan seekor hewan dapat dilihat melalui
pemeriksaan fisik dan uji laboratorium, misalnya pemeriksaan darah (hematologi),
yang meliputi hemoglobin (Hb), hematokrit (PCV), jumlah sel darah merah
(eritrosit, SDM) dan sel darah putih (leukosit, SDP). Untuk mengetahui apakah
suatu kondisi dapat dikatakan normal atau abnormal, maka dibutuhkan hematologi
di atas dan salah satunya data leukosit pada kondisi fisiologis. Leukosit memiliki
inti, dan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu granulosit dan agranulosit.
Granulosit terdiri dari neutrofil, eosinofil dan basofil, sedangkan agranulosit
terdiri dari limfosit, monosit dan sel plasma (Guyton 2008).
Gambaran darah, khususnya leukosit, merupakan salah satu parameter dari
pertahanan tubuh, dan bersifat non-fungsional di dalam aliran darah. Leukosit
hanya diangkut ke jaringan ketika dibutuhkan saja (Frandson 1996). Menurut
Stossel (1975), leukosit baru akan menuju benda asing (kemotaksis) dan aktif
melakukan fagositosis bila ada organisme yang menyerang tubuh.
Leukosit merupakan unit yang mobil/aktif dari sistem pertahanan tubuh.
Leukosit ini sebagian dibentuk di sumsum tulang (granulosit dan monosit serta
sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma).
Masing-masing jenis leukosit ini dapat mengindikasikan adanya infeksi yang
berbeda. Contohnya pada infeksi cacing, maka jenis leukosit yang tinggi dalam
pembuluh darah perifer adalah eosinofil, sedangkan pada infeksi bakteri jenis
leukosit yang tinggi adalah neutrofil (Effendi 2003).
Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengamati profil leukosit
dan diferensiasinya pada rusa Timor di penangkaran dalam status sehat secara
klinis.
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini untuk memperoleh data dasar mengenai profil
leukosit pada rusa Timor sehingga dapat digunakan sebagai salah satu parameter
kesehatan.
TINJAUAN PUSTAKA
Rusa Timor (Cervus timorensis)
Rusa (Cervus sp.) adalah salah satu fauna yang tersebar di beberapa
wilayah di Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri atas dua genus Cervus yaitu rusa
Timor (Cervus timorensis), rusa Sambar (Cervus unicolor), dan satu dari genus
Axis yaitu rusa Bawean (Axis kuhlii) sebagai satwa endemik asli Indonesia
(Schroder 1976), dan rusa totol (Axis axis) sebagai rusa jenis eksotik yang
didatangkan dari Srilanka dan India (Sudirman 1986). Selain itu ada satu jenis
satwa lain yang seringkali dimasukkan ke dalam kelompok rusa, yaitu kijang
(Muntiacus muntjak) yang juga termasuk dalam famili Cervidae.
Menurut Drajat (2002), taksonomi atau klasifikasi rusa Timor adalah
sebagai berikut:
Kelas : Mamalia
Subkelas : Theria
Infrakelas : Eutheria
Ordo : Artiodactyla
Sub Ordo : Ruminansia
Famili : Cervidae
Sub famili : Cervinae
Genus : Cervus
Spesies : Cervus timorensis
Nama lokal : Rusa/ Rusa Timor/ Mayung.
Para peneliti yang berkecimpung dalam konservasi rusa menyimpulkan
bahwa rusa Timor terbagi ke dalam delapan subspesies yang tersebar di pulau
Jawa, Sulawesi, Maluku, Sumbawa, Sumba, Timor, Kalimantan Timur, dan
Papua. Jenis rusa tersebut merupakan hewan introduksi (Hardjosentono 1978).
Hewan introduksi adalah hewan yang dimasukkan ke suatu daerah, dan hewan
tersebut sebelumnya tidak terdapat di wilayah tersebut atau dengan kata lain
bukan satwa asli daerah tersebut (Aini et al. 2007). Kedelapan subspesies tersebut
adalah Cervus timorensis russa (rusa di Jawa), Cervus timorensis timorensis
(Pulau Timor, Rote dan Alor), Cervus timorensis floresiensis (Flores dan
kepulauan Alor), Cervus timorensis maccasaricus (Sulawesi), Cervus timorensis
djonga (pulau Buton), Cervus timorensis moluccensis (Maluku, Papua, dan Aru),
Cervus timorensis renschi (Bali dan Sumbawa), dan Cervus timorensis
laronesiotes (Pulau Peucang) (Schroder 1976).
Rusa Timor merupakan rusa tropis ke dua terbesar setelah rusa Sambar.
Dibandingkan rusa tropis Indonesia lainnya, rusa Timor memiliki banyak
keunikan yaitu sebagai kelompok rusa yang mempunyai banyak subspesies dan
nama yang berbeda di daerah yang cukup beragam dan sebagai rusa yang paling
luas tersebar di seluruh negeri. Bobot badan berkisar antara 40-120 kg,
tergantung pada subspesiesnya. Pemberian nama lokal cukup beragam,
tergantung pada daerah asalnya. Rusa di pulau Jawa dikenal dengan rusa Jawa, di
pulau Timor sebagai rusa Timor, di Sulawesi sebagai jonga, dan di Kepulauan
Maluku sebagai rusa Maluku. Namun demikian, nama yang paling umum dipakai
dalam bahasa nasional adalah rusa Timor. Rusa Timor di luar negeri disebut
sebagai Russa deer (Semiadi& Nugraha 2004).
Perbedaan antara rusa Timor jantan dan betina dapat dilihat dari adanya
ranggah yang hanya dimiliki oleh hewan jantan. Dari segi warna tubuh, keduanya
didominasi oleh warna cokelat gelap, tetapi pada rusa betina, bagian dagu, leher
depan, perut, berwarna abu-abu putih, dan kaki berwarna cokelat terang
(Pattiselanno et al. 2008).
Gambar 1 Rusa Timor (Cervus timorensis).
Sumber: Setiawan (2010)
Ciri-ciri rusa jantan adalah mempunyai ranggah. Ranggah tumbuh
pertama kali pada anak jantan umur 8 bulan. Ranggah merupakan jaringan tulang
yang tumbuh keluar dari anggota tubuh dan memiliki siklus tumbuh, mengeras
dan luruh secara berulang dan terus-menerus. Siklus pertumbuhan ranggah erat
kaitannya dengan siklus hormon reproduksi dan musim, sehingga secara tidak
langsung kondisi ranggah dalam keadaan keras berkorelasi kuat dengan keadaan
fisiologi reproduksi. Saat pertumbuhan ranggah berlangsung, akan diawali
dengan pertumbuhan tulang rawan (kartilago) yang memanjang dan diselimuti
oleh lapisan kulit tipis berbulu, yang disebut velvet. Ketika pertumbuhan ranggah
velvet telah mencapai puncaknya, akan terjadi proses pengerasan jaringan
(kalsifikasi) yang dilanjutkan dengan proses pembentukan tulang (osifikasi)
(Hartanto 2008).
Darah
Darah merupakan cairan yang mengalir dan bersirkulasi ke seluruh tubuh
melalui pembuluh darah dalam sistem kardiovaskular (Colville & Bassert 2008).
Darah membawa berbagai kebutuhan hidup bagi semua sel-sel tubuh dan
menerima produk buangan hasil metabolisme untuk disekresikan melalui organ
ekskresi. Pemeriksaan hematologi pada hewan berfungsi sebagai screening test
untuk menilai kesehatan secara umum, kemampuan tubuh melawan infeksi untuk
evaluasi status fisiologis hewan dan untuk membantu menegakkan diagnosa (Jain
1993).
Darah tersusun atas sel darah (eritrosit, leukosit dan trombosit) yang
bersirkulasi dalam cairan yang disebut plasma (Meyer & Harvey 2004). Jika
darah diberi antikoagulan dan dilakukan sentrifugasi, maka dapat terlihat darah
terdiri dari plasma 55% dan sel 45% yang terdiri dari leukosit, eritrosit dan
trombosit. Jumlah leukosit lebih sedikit dibandingkan dengan eritrosit dan
trombosit. Menurut Colville dan Bassert (2008), fungsi darah adalah sebagai
sistem transportasi, sistem regulasi, dan sistem pertahanan.
Sumsum tulang merupakan organ tempat dihasilkannya sel darah. Di
dalam sumsum tulang terdapat sel yang disebut stem hemopoietik pluripoten yang
akan berdiferensiasi menjadi sel induk khusus. Selanjutnya sel ini akan
berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel darah tertentu (Ganong 2003). Proses
pembentukan sel darah dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Pembentukan sel-sel darah yang berasal dari stem sel
(Department of Health and Human Services 2006)
Leukosit
Leukosit berasal dari bahasa Yunani yaitu leukos yang berarti putih dan
kytos yang berarti sel. Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan
tubuh (Guyton 2008). Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut
juga sel darah putih (Effendi 2003). Leukosit merupakan unit yang mobil/aktif
dari sistem pertahanan tubuh. Leukosit sebagian dibentuk di sumsum tulang
(granulosit dan monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe
(limfosit dan sel-sel plasma). Setelah dibentuk, sel-sel ini diangkut dalam darah
menuju berbagai bagian tubuh untuk digunakan. Fungsi leukosit adalah sebagai
pertahanan tubuh untuk melawan benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme penyerang terutama
dengan cara mencernanya, yaitu melalui fagositosis. Fungsi utama limfosit dan
sel-sel plasma berhubungan dengan sistem imun yaitu produksi antibodi (Guyton
2008).
Status fisiologis adalah nilai yang menggambarkan kondisi fisiologis rusa.
Rusa yang mengalami gangguan, baik fisik maupun non fisik (stres) akan
mengalami perubahan fisiologis tertentu. Selain itu patokan nilai fisiologis dari
rusa yang sehat dapat dijadikan parameter untuk menentukan kondisi kesehatan
rusa, sehingga perawatan, pencegahan, dan pengobatan dapat dilakukan dengan
tepat (Zein 1998).
Kondisi yang berubah setiap saat akan mengakibatkan perubahan
fisiologis yang akan berakibat juga pada perubahan nilai hematologi. Sebagai
contoh, rusa yang terkena infeksi bakteri secara akut akan memperlihatkan
perubahan suhu tubuh. Perubahan ini akibat aktivitas sistem kekebalan tubuh
yang bekerja melawan agen penyakit. Jika dilihat dari nilai hematologi, jumlah
leukosit dalam darah akan mengalami peningkatan (Ma’ruf et al. 2005).
Respon leukosit muncul pada keadaan fisiologis normal dan patologis.
Manifestasi respon leukosit berupa penurunan atau peningkatan salah satu atau
beberapa jenis sel leukosit. Informasi ini dapat memberikan petunjuk terhadap
kehadiran suatu penyakit dan membantu dalam diagnosa penyakit yang
diakibatkan oleh agen tertentu (Jain 1993).
Diferensiasi Leukosit
Diferensiasi leukosit sangat bermanfaat, tidak hanya untuk mengetahui
persentase leukosit tetapi juga memberikan informasi jika hewan dalam kondisi
anemia atau patogenesa suatu abnormalitas. Pemeriksaan preparat ulas darah
memberikan informasi lebih lanjut mengenai morfologi sel eritrosit, leukosit, dan
trombosit (Mills 1998).
Berdasarkan ada atau tidaknya granul dalam sitoplasma hasil pewarnaan,
leukosit dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu granulosit dan agranulosit
(Colville & Bassert 2008). Leukosit granulosit memiliki butir khas dan jelas
dalam sitoplasma, sedangkan agranulosit tidak memiliki butir khas dalam
sitoplasma (Junqueira & Caneiro 2005).
Morfologi leukosit Cervidae berdasarkan pewarnaan sitokimia dan
ultrastruktur telah dilakukan pada darah putih rusa. Leukosit rusa dan kijang
memperlihatkan morfologi yang sama seperti dengan pewarnaan Romanowsky.
Limfosit dan neutrofil merupakan jenis leukosit terbanyak pada rusa. Rasio
neutrofil lebih sedikit dibandingkan limfosit, sama atau lebih banyak. Namun
demikian, pada beberapa studi menunjukkan bahwa jenis neutrofil lebih dominan
(Weiss & Wardrop 2010).
Tabel 1 Kisaran nilai normal komponen darah pada rusa Sambar (Cervus unicolor) di kebun binatang Ragunan Jakarta
Komponen sel darah Cervus unicolor Min. Maks.
BDM (x106/µL) 10.018 11.1 BDP (x103/µL) 5.21 5.42 Nilai He. (%) 48.0 49.0 Kadar Hb. (g/100ml) 18.3 21.6 Diferensiasi:
Neutrofil (%) Eosinofil (%) Basofil (%) Limfosit (%) Monosit (%)
36 3 1 50 1
41 4 3
59 2
Sumber: Yusmin (1998) Ket: BDP = Butir Darah Putih BDM = Butir Darah Merah He. = Hematokrit Hb. = Hemoglobin
Neutrofil
Neutrofil disebut juga sebagai polimorfonuklear (PMN), karena inti
memiliki berbagai jenis bentuk dan bersegmen (Tizard 2000). Neutrofil berupa
sel bundar dengan diameter 12 µm, memiliki sitoplasma yang bergranula halus
dan di tengah terdapat nukleus bersegmen. Neutrofil matang/dewasa yang berada
dalam peredaran darah perifer memiliki bentuk inti yang terdiri dari dua sampai
lima segmen, sedangkan neutrofil yang belum matang (neutrofil band) akan
memiliki bentuk inti seperti ladam kuda (Colville & Bassert 2008).
Menurut Junqueira dan Caneiro (2005), neutrofil dikenal sebagai garis
pertahanan pertama (first line of defense). Neutrofil bersama dengan makrofag
memiliki kemampuan fagositosis untuk menelan organisme patogen dan sel debris
(Lee et al. 2003). Neutrofil merupakan sistem imun bawaan, dapat
memfagositosis dan membunuh bakteri. Neutrofil akan mengejar organisme
patogen dengan gerakan kemotaksis (Weiner et al. 1999). Kemampuan neutrofil
untuk membunuh bakteri berasal dari enzim yang terkandung dalam granul yang
dapat menghancurkan bakteri maupun virus yang sedang difagosit. Granul
neutrofil tersebut sering disebut dengan lisosom (Colville & Basster 2008).
Neutrofil diproduksi di dalam sumsum tulang bersamaan dengan sel
granulosit lainnya, kemudian bersirkulasi atau disimpan dalam depo marginal
neutrofil setelah 4-6 hari masa produksi. Neutrofil segera akan mati setelah
melakukan fagosit terhadap agen penyakit dan akan dicerna oleh enzim lisosom,
kemudian neutrofil akan mengalami autolisis yang akan melepaskan zat-zat
degradasi yang masuk ke dalam jaringan limfe. Jaringan limfe akan merespon
dengan mensekresikan histamin dan faktor leukopoietik yang akan merangsang
sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil muda untuk melawan infeksi
(Dellman & Brown 1992).
Penyakit yang disebabkan oleh agen bakteri, pada umumnya menyebabkan
peningkatan jumlah neutrofil dan akan tampak neutrofil muda. Jumlah neutrofil
di dalam darah dipengaruhi oleh tingkat granulopoiesis, laju aliran sel darah dari
sumsum tulang, pertukaran antar sel di dalam sirkulasi dan depo marginal, masa
hidup dalam sirkulasi dan laju aliran sirkulasi darah menuju jaringan (Jain 1993).
Eosinofil
Eosinofil merupakan nama yang diberikan oleh Ehrlich yang didasarkan
pada afinitas sel terhadap pewarnaan anionik, seperti eosin (Hirsch & Hirsch
1980). Menurut Weiss dan Wardrop (2010), sel ini memiliki kemampuan
melawan parasit cacing, dan bersamaan dengan basofil atau sel mast sebagai
mediator peradangan dan memiliki potensi untuk merusak jaringan inang.
Eosinofil juga penting sebagai imunitas dapatan, bawaan, pembentukan jaringan,
dan perkembangan biologi. Eosinofil adalah sel multifungsi yang memegang
peranan fisiologis, dan merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis
selektif terhadap kompleks antigen dan antibodi. Eosinofil mengandung
profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan darah dari pembekuan.
Kortikosteroid akan menimbulkan penurunan jumlah eosinofil darah dengan cepat
(Effendi 2003).
Eosinofil berkembang di sumsum tulang, dan pada beberapa spesies yang
diuji di laboratorium, eosinofil juga berkembang pada timus, limpa, paru-paru,
dan kelenjar getah bening (Elsas 2007). Diferensiasi dan pematangan eosinofil
terjadi di sumsum tulang selama 2-6 hari, tergantung dari spesies (Weiss &
Wardrop 2010).
Eosinofil merupakan sel yang terdapat di jaringan, terutama pada kulit,
saluran pernapasan dan saluran gastrointestinal. Lokasi dan jumlah eosinofil
bervariasi tergantung spesies, tahapan siklus estrus, pakan, dan kandungan
histamin dalam jaringan. Namun demikian, mayoritas populasi eosinofil
ditemukan di saluran gastrointestinal (Mishra et al. 1999).
Menurut Junqueira dan Caneiro (2005), eosinofil berdiameter 10-15 µm,
inti bergelambir dua, sitoplasma dikelilingi butir-butir asidofil yang cukup besar
berukuran 0.5-1.0 µm, dengan jangka waktu hidup berkisar antara tiga sampai
lima hari. Eosinofil berperan aktif dalam mengatur alergi akut dan proses
perbarahan, investasi parasit, memfagosit bakteri, memfagosit antigen-antibodi
kompleks, memfagosit mikoplasma dan memfagosit ragi.
Basofil
Basofil merupakan leukosit jenis granulosit dengan jumlah paling sedikit
di dalam darah hewan, sekitar 0.5% dari jumlah leukosit total dalam aliran darah
pada hewan yang sehat (Dvorak & Monahan 1985). Proses pematangan basofil
terjadi di dalam sumsum tulang dalam waktu sekitar 2.5 hari. Basofil akan
beredar dalam aliran darah dalam waktu yang singkat (± 6 jam) tetapi dalam
jaringan dapat hidup selama 2 minggu (Hirai et al. 1997). Basofil akan masuk ke
dalam jaringan sebagai respon terhadap inflamasi (Jain 1993).
Menurut Junqueira dan Caneiro (2005), basofil berdiameter 10-12 µm,
dengan inti dua gelambir atau bentuk inti tidak beraturan. Granul basofil
mengandung heparin, histamin, asam hialuron, kondroitin sulfat, seroton, dan
beberapa faktor kemotaktik.
Sel mast dan basofil berperan pada beberapa tipe reaksi alergi, karena tipe
antibodi yang menyebabkan reaksi alergi, yaitu Immunoglobulin E (IgE)
mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat pada sel mast dan basofil
(Guyton 2008). Bukti keterlibatan basofil dalam reaksi alergi yaitu timbulnya
kondisi rinitis, urtikaria, asma, alergi, konjungtivitis, gastritis akibat alergi, dan
anafilaksis akibat induksi obat atau induksi gigitan serangga (Casolaro et al.
1990).
Monosit
Monosit adalah leukosit berukuran terbesar, berdiameter 15-20 µm dengan
populasi berkisar antara 3-9% dari jumlah leukosit total. Sitoplasma monosit
berwarna biru abu-abu pucat dan berinti lonjong seperti ginjal atau tapal kuda
(Junqueira & Caneiro 2005). Monosit dibentuk di sumsum tulang, dan setelah
dewasa akan bermigrasi dari darah ke jaringan perifer. Monosit akan
berdiferensiasi menjadi berbagai subtipe jaringan tergantung dari proses inflamasi
yang terjadi. Makrofag di jaringan antara lain sel Kupfer, makrofag alveolar, sel
mikroglia, dan osteoklas (Sharma 1986).
Fungsi monosit adalah 1) membersihkan sel debris yang dihasilkan dari
proses peradangan atau infeksi, 2) memproses beberapa antigen yang menempel
pada membran sel limfosit menjadi lebih antigenik sehingga dapat mudah dicerna
oleh monosit dan makrofag, 3) menghancurkan zat asing yang masuk ke dalam
tubuh (Colville & Bassert 2008).
Limfosit
Limfosit adalah leukosit jenis agranulosit yang mempunyai ukuran dan
bentuk yang bervariasi. Limfosit merupakan satu-satunya jenis leukosit yang
tidak memiliki kemampuan fagositik. Pengamatan pada sediaan ulas yang
diwarnai, dapat dibedakan terhadap adanya limfosit besar dan limfosit kecil.
Limfosit kecil berdiameter 6-9 µm, inti besar dan kuat mengambil zat warna,
dikelilingi sedikit sitoplasma yang berwarna biru pucat. Limfosit besar
berdiameter 12-15 µm, memiliki lebih banyak sitoplasma, inti lebih besar dan
sedikit lebih pucat dibandingkan dengan limfosit kecil (Junqueira & Caneiro
2005).
Limfosit memiliki fungsi utama yaitu memproduksi antibodi sebagai
respon terhadap benda asing yang difagosit makrofag (Tizard 2000). Kebanyakan
sel limfosit berada pada jaringan limfoid dan akan bersirkulasi kembali secara
konstan ke pembuluh darah (Colville & Bassert 2008).
Limfosit dapat digolongkan menjadi dua yaitu limfosit B dan limfosit T.
Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang berperan dalam
respon imunitas humoral untuk memproduksi antibodi, sedangkan limfosit T akan
berperan dalam respon imunitas seluler (Junqueira & Caneiro 2005). Ilustrasi sel
leukosit rusa dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.
Gambar 3 Morfologi leukosit rusa normal; bar = 10 µm. Neutrofil (A), Eosinofil
(B), Basofil (C), Monosit (D), Limfosit (E). Sumber: Weiss dan Wardrop (2010)
Eritrosit
Menurut Weiss dan Wardrop (2010), anggota famili Cervidae memiliki
eritrosit dengan karakteristik yang unik. Eritrosit bersirkulasi dalam pembuluh
darah sebagai sel yang berbentuk bulat (bikonkaf), dan memiliki ukuran eritrosit
yang lebih kecil dibanding eritrosit sapi. Setelah proses pengambilan darah
melalui vena (phlebotomy), eritrosit rusa cenderung berubah menjadi berbentuk
sabit. Eritrosit tidak berbentuk sabit saat pertama kali keluar dari tubuh, tetapi
bentuknya berubah jika darah mengalami alkalinasi, oksigenasi, berada di suhu
ruang atau pada 4 °C.
Fenomena perubahan bentuk ini pertama kali dilaporkan oleh Gulliver
tahun 1840, dan telah diobservasi pada beberapa spesies dari famili Cervidae,
antara lain Rucervus duvaucelii, Muntiacus muntjak, Axis axis, Dama dama, Axis
porcinus, Odocoileus hemionus, Muntiacus reevesi, Cervus elaphus, Elaphurus
davidianus, Cervus elaphus nelson, Cervus timorensis russa,Odocoileus
virginianus, Cervus nippon nippon. Pada pH 7.0, hanya sedikit eritrosit yang
mengalami perubahan bentuk, pada pH 7.4, kebanyakan eritrosit memiliki bentuk
sabit. Selain itu, perubahan bentuk menjadi sabit mengalami peningkatan karena
oksigenasi eritrosit. Penambahan karbon dioksida dapat mengembalikan bentuk
BA C D E
sabit menjadi bentuk bulat (bikonkaf). Ilustrasi perubahan gambar eritrosit dapat
dilihat pada Gambar 4 berikut.
Gambar 4 Perubahan bentuk eritrosit pada rusa; bar = 10 µm. Eritrosit bentuk
sabit (A) dan bentuk bulat (bikonkaf) (B). Sumber: Weiss dan Wardrop (2010)
Giemsa
Giemsa adalah zat warna yang terdiri dari eosin dan metilen biru yang
memberi warna merah muda pada sitoplasma dan metilen biru yang memberi
warna biru pada inti. Larutan ini dikemas dalam botol kaca berwarna cokelat.
Giemsa stok harus diencerkan terlebih dahulu dengan mencampurkan 10
mL Giemsa ke dalam 90 mL akuades (Giemsa 10%) sebelum dipakai mewarnai
sel darah. Elemen-elemen zat warna Giemsa melarut selama 40-90 menit dengan
air atau akuades atau air buffer. Setelah itu semua elemen zat warna akan
mengendap dan sebagian kembali ke permukaan membentuk lapisan tipis seperti
minyak. Oleh karena itu stok Giemsa tidak boleh tercemar air (Depkes RI 1993).
A B
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 11 sampai 22 Juli 2011 dengan
menggunakan sampel darah rusa Timor jantan yang ditangkarkan di Usaha
Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis), Kudus, Jawa Tengah. Pemeriksaan
sampel darah dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam
Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu sampel darah rusa Timor jantan yang telah
diberi antikoagulan potassium EDTA (ethyldiamintetraacetic acid), larutan Turk,
minyak emersi, methanol, Giemsa 10%, aquades, dan xylol. Alat yang digunakan
meliputi blow pipe, disposable syringe¸ kamar hitung Neubauer, gelas obyek,
gelas penutup, pipet kapiler, tabung vakum, bak pewarnaan, kertas label, pensil
2B, mikroskop.
Materi Penelitian
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 12 ekor rusa
Timor jantan yang sehat secara klinis, ditentukan berdasarkan status presennya
yaitu suhu tubuh, frekuensi napas, dan frekuensi nadi/jantung. Dalam keadaan
fisiologis, suhu rektal rusa Timor berkisar antara 38.5-40 oC, frekuensi napas 20-
40 x/menit, dan frekuensi nadi/jantung 60-80 x/menit. Rusa Timor jantan yang
digunakan berumur antara 2 tahun 9 bulan sampai 6 tahun, dengan kisaran bobot
badan (BB) antara 48-79 kg. Hewan yang digunakan berada dalam tahap ranggah
velvet yang mengelupas sampai dengan ranggah keras.
Persiapan Hewan
Hewan diambil sampel darahnya dalam keadaan terbius. Hewan
dipuasakan terlebih dahulu ± 9 jam sebelum dilakukan pembiusan. Teknik
pembiusan menggunakan blow pipe. Anastesi menggunakan kombinasi xylazine
ketamine dengan dosis masing-masing 1 mg/kg BB yang diaplikasikan secara
intra-muskular (Dradjat 2000). Setelah hewan menunjukkan tanda-tanda sedasi,
segera diberi premedikasi atropin sebanyak 0.3 mg/kg BB (Adams 2001). Hewan
yang telah terbius, segera ditutup matanya dengan kain berwarna hitam dan kaki
difiksir, kemudian diposisikan berbaring ke sebelah kanan.
Pengukuran suhu, frekuensi jantung, frekuensi napas, dan pengamatan
secara fisik dilakukan setelah hewan teranestesi sebagai data pendukung bahwa
hewan tersebut dalam kondisi normal.
Pengambilan Darah
Pengambilan sampel darah sebanyak 20 mL dilakukan pada vena jugularis
kiri menggunakan disposable syringe bervolume 10 mL dengan dua kali
pengambilan. Sampel darah kemudian dipindahkan ke dalam tabung vakum
berantikoagulan potassium EDTA.
Penghitungan Jumlah Leukosit Total
Penghitungan jumlah leukosit total dilakukan menggunakan
hemositometer. Sampel darah dihomogenkan, kemudian dihisap dengan
menggunakan pipet leukosit dan aspirator sampai tera 0.5. Selanjutnya, larutan
Turk dihisap hingga tera 11, aspirator dicabut kemudian dihomogenkan secara
manual, yaitu dengan cara memutar membentuk angka 8. Selanjutnya sampel
dibuang sekitar 2-3 tetes, setelah itu dimasukkan ke dalam kamar hitung dan
ditutup dengan gelas penutup. Pembacaan jumlah leukosit total dilakukan pada
kamar hitung untuk leukosit menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10 x 40
kali.
Pembuatan Preparat Ulas Darah
Preparat ulas darah dibuat dengan menggunakan dua buah gelas obyek.
Darah diambil sedikit dan diteteskan di atas gelas obyek, selanjutnya dengan gelas
obyek yang lain diratakan dengan menempatkan salah satu sisi ujung gelas obyek
sehingga membentuk sudut 30-45o. Gelas obyek digeser dengan cepat sehingga
didapat ulasan darah tipis (Weiss & Wardrop 2010).
Pewarnaan Sediaan Ulas Darah
Preparat ulas darah difiksasi dengan metanol selama 5 menit. Preparat
kemudian diwarnai dengan Giemsa 10% selama 30 menit, setelah itu dibilas
dengan air dan dikeringkan dengan cara dianginkan (Weiss & Wardrop 2010).
Diferensiasi Leukosit
Preparat ulas yang telah diwarnai diperiksa di bawah mikroskop dengan
perbesaran 10 x 100 kali menggunakan minyak emersi. Penghitungan diferensial
leukosit didasarkan pada hasil pengamatan dengan menghitung neutrofil,
eosinofil, basofil, limfosit dan monosit dalam 100 butir leukosit. Nilai absolut
didapat dengan mengalikan persentase masing-masing jenis leukosit dengan
jumlah leukosit total (Weiss & Wardrop 2010). Nilai rataan diferensiasi leukosit
disajikan dalam nilai absolut agar dapat dilihat dinamikanya (Wibawan et al.
2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Leukosit Total
Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh (Guyton
2008). Kondisi tubuh dan lingkungan yang berubah setiap saat akan
mengakibatkan perubahan fisiologis yang akan berakibat juga pada nilai
hematologi (Ma’ruf et al. 2005). Hewan yang digunakan pada penelitian ini
diasumsikan dalam keadaan sehat. Definisi sehat menurut World Health
Organization (WHO) bukan hanya meliputi ketidakadaan penyakit atau
kelemahan, tetapi meliputi keadaan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial.
Peninjauan kesehatan hewan secara klinis dapat dilakukan antara lain melihat
perilaku hewan, nafsu makan, cara bernapas, cara berjalan, konsistensi feses,
pemeriksaan suhu tubuh, dan inspeksi beberapa organ tubuh seperti mata, hidung,
mulut, kulit dan rambut, limfonodus, serta kebersihan daerah anus. Hewan yang
sehat memiliki perilaku yang aktif, nafsu makan yang baik, bernapas secara
normal, cara berjalan dengan koordinasi yang baik, konsistensi feses padat (tidak
terlalu keras), suhu tubuh normal, bola mata bersih, bening dan cerah, hidung
agak lembap, turgor kulit baik, tidak ada luka, rambut bersih, limfonodus tidak
bengkak, dan daerah anus bersih (Widyani 2008).
Jumlah leukosit total pada rusa Timor pada penelitian ini berkisar antara
2.95-4.05 x 103/µL (Tabel 2). Jumlah leukosit total pada rusa Timor ini lebih
rendah jika dibandingkan dengan jumlah leukosit total pada ruminansia kecil lain,
seperti rusa Sambar (5.21-5.42 x 103/µL), dan rusa Bawean (3.97-5.12 x 103/µL)
(Yusmin 1998).
Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Yusmin (1998) yang
memperoleh kisaran jumlah leukosit total rusa Timor antara 4.17-4.56 x 103/µL,
maka hasil yang diperoleh berada di bawah batas normal. Namun jika
dibandingkan dengan hasil penelitian Zein (1998) yang memperoleh jumlah
leukosit total pada rusa Timor berkisar antara 2.95-6.60 x 103/µL, maka hasil yang
diperoleh ini masih dalam rentang normal.
Tabel 2 Jumlah leukosit total pada rusa Timor hasil penelitian dibandingkan dengan rusa Sambar, dan rusa Bawean
Jenis Hewan Jumlah Leukosit Total (x 103/µL) Rusa Timor Rusa Sambar Rusa Bawean
2.95-4.05 4.17-4.56* 2.95-6.60** 5.21-5.42* 3.97-5.12*
Keterangan: * Yusmin (1998) ** Zein (1998)
Yusmin (1998) melakukan penelitian tentang komponen darah pada
beberapa jenis rusa di Indonesia yang ditangkarkan secara ex-situ. Hasil
penelitian tersebut memperlihatkan bahwa jumlah leukosit total pada rusa Sambar
lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah leukosit total pada rusa Bawean dan rusa
Timor.
Faktor yang Mempengaruhi Leukosit Total
Menurut Weiss dan Wardrop (2010), profil hematologi dari Cervidae
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti umur, jenis kelamin, status reproduksi,
iklim, cara penangkapan, dan penyakit.
(1) Umur
Belum diketahui secara pasti hubungan antara umur dengan jumlah total
dan diferensial leukosit. Weiss dan Wardrop (2010) menyatakan bahwa pada rusa
jantan muda, jenis leukosit yang dominan adalah neutrofil, dan pada saat dewasa
adalah limfosit. Chapple et al. (1991) melakukan percobaan pada rusa totol (Axis
axis) dan menyatakan bahwa pada anak rusa yang baru lahir memiliki jumlah
neutrofil lebih banyak dibandingkan dengan jumlah limfosit, dengan
perbandingan 2:1. Jenis leukosit pada rusa totol (Axis axis) dewasa didominasi
oleh limfosit.
Penelitian pada sapi yang dilakukan Knowles et al. (2000) menyatakan
bahwa pedet memiliki jumlah leukosit total lebih tinggi dibandingkan dengan sapi
dewasa, namun demikian ada pula laporan yang menyatakan bahwa jumlah
leukosit total pada pedet dan sapi dewasa relatif sama. Perbedaan yang terdapat
pada gambaran darah pedet dan sapi dewasa adalah rasio antara netrofil dan
limfosit. Rasio neutrofil pada saat pedet lebih tinggi dibandingkan dengan
limfosit, dan sebaliknya pada saat setelah dewasa. Hal ini diduga disebabkan
pedet memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi dewasa
sehingga terjadi pelepasan kortisol yang menyebabkan jumlah neutrofil yang
tinggi di dalam sirkulasi.
Pada rusa jantan dewasa, perubahan rasio limfosit dan neutrofil dapat
terjadi secara fisiologis dan patologis. Perubahan rasio ini sebagai salah satu
parameter bahwa rusa dalam musim kawin, atau mengalami infeksi.
(2) Jenis Kelamin
Rusa jantan memiliki jumlah leukosit total yang lebih tinggi dibandingkan
dengan rusa betina. Namun teori ini tidak bersifat absolut karena tidak semua
hasil penelitian menunjukkan pola yang sama (Weiss dan Wardrop 2010).
(3) Status Reproduksi
Status reproduksi mempengaruhi complete blood count, baik pada hewan
jantan maupun hewan betina. Selama musim kawin, chital deer jantan dewasa
mengalami perubahan pada diferensial leukosit, dan pada jantan dewasa red deer,
mengalami penurunan jumlah eritrosit. Perubahan diferensial leukosit yang
terjadi yaitu peningkatan persentase neutrofil yang lebih dominan dibanding
dengan limfosit (Thrall et al. 2004). Weiss dan Wardrop (2010) menyatakan
bahwa rasio neutrofil dengan limfosit akan lebih kecil dari 1 pada ruminansia
dewasa.
(4) Respon Stres dan Handling
Rusa merupakan spesies yang mudah stres, dan dapat dilihat melalui
pemeriksaan parameter hematologi. Jumlah eritrosit dan leukosit akan meningkat
secara signifikan pada rusa yang stres akibat handling dibandingkan dengan rusa
yang dianastesi. Kondisi stres ini terkait juga dengan seberapa sering hewan
tersebut di-handle. Hewan yang sering di-handle secara berkala akan mengurangi
stres sehingga tidak terjadi banyak perubahan parameter hematologi.
Diferensiasi Leukosit
Hasil pengamatan diferensial leukosit per-seratus sel leukosit dapat dilihat
pada Tabel 3. Jumlah yang bervariasi pada setiap jenis leukosit dapat dilihat pada
Tabel 3 tersebut. Tampak bahwa limfosit memiliki populasi paling dominan,
diikuti berturut-turut oleh neutrofil, monosit, eosinofil, dan basofil.
Menurut Weiss dan Wardrop (2010), karakter leukosit pada Cervidae
menunjukkan bahwa limfosit dan neutrofil merupakan jenis leukosit dengan
populasi yang paling dominan. Rasio neutrofil terhadap limfosit bisa lebih sedikit
atau sama. Beberapa studi pada chital deer, fallow deer, red deer, white-tailed
deer, dan rusa Timor menunjukkan bahwa neutrofil lebih dominan dibandingkan
dengan jenis leukosit yang lain.
Tabel 3 Rataan persentase eosinofil, basofil, neutrofil, monosit, dan limfosit pada rusa Timor
Jenis Leukosit Nilai relatif (%) Min. Maks. Rataan ± SD
Eosinofil Basofil Neutrofil Monosit Limfosit
0 0 46 0 47
2 1 53 2 55
0.25 ± 0.53 0.08 ± 0.28 48.30 ± 2.10 0.38 ± 0.58 51.04 ± 2.10
Keterangan : 0 tidak ditemukan pada preparat ulas
Secara umum, jenis sel leukosit yang paling dominan pada penelitian ini
adalah limfosit. Hasil ini didukung oleh laporan Thrall et al. (2004) yang
menyatakan bahwa limfosit merupakan jenis sel leukosit yang dominan pada rusa
Timor dewasa yang normal.
Interpretasi hasil diferensial leukosit sebaiknya didasarkan pada nilai
absolut masing-masing jenis leukosit. Hal pertama yang harus diperhatikan
adalah jumlah leukosit total, dimana jumlah leukosit total digunakan untuk
menghitung nilai absolut dari masing-masing jenis leukosit. Jika jumlah leukosit
total menurun, maka ditinjau nilai absolut setiap jenis sel untuk mengetahui sel
mana yang mengalami penurunan. Jika jumlah leukosit total meningkat, maka
ditinjau nilai absolut untuk mengetahui sel mana yang mengalami peningkatan.
Meskipun jumlah leukosit total normal, perlu dilakukan penilaian secara absolut
pada masing-masing jenis sel untuk mengetahui jumlah yang sebenarnya dari
masing-masing jenis sel tersebut, sehingga dapat diketahui adanya abnormalitas
dalam distribusi sel (Thrall et al. 2004).
Karakter leukosit Cervidae dapat dilihat dengan menggunakan pewarnaan
sitokimia. Leukosit rusa dan wapiti menunjukkan morfologi yang sama seperti
pada pewarnaan Romanowsky (Weiss & Wardrop 2010).
Neutrofil
Neutrofil merupakan sel polimorfonuklear karena inti memiliki berbagai
bentuk dan bersegmen. Neutrofil dewasa yang berada dalam peredaran darah
perifer memiliki bentuk inti yang terdiri dari dua sampai lima segmen, sedangkan
neutrofil yang belum dewasa (neutrofil band) memiliki bentuk inti seperti ladam
kuda (Colville & Bassert 2008).
Gambar 5 menunjukkan bentuk neutrofil pada rusa Timor. Jika
dibandingkan dengan neutrofil ruminansia lain, misalnya sapi, tidak terlihat
adanya ciri khas yang menunjukkan adanya perbedaan gambaran neutrofil pada
kedua spesies tersebut. Baik neutrofil pada rusa Timor maupun sapi, keduanya
memiliki sitoplasma yang tidak terlalu jelas dan lobus nukleus berkisar antara 2-5
lobus.
Gambar 5 Neutrofil rusa Timor; bar = 10 µm.
Rataan persentase neutrofil rusa Timor dapat dilihat pada Tabel 4.
Persentase neutrofil (nilai relatif) rusa Timor berkisar antara 46-53%, sedangkan
jumlah absolut yang diperoleh berada dalam kisaran 1.49-1.93 x 103/µL. Jika
dibandingkan dengan beberapa ruminansia kecil lainnya, maka terdapat kesamaan
yaitu neutrofil merupakan jenis leukosit dengan jumlah populasi kedua terbanyak
setelah limfosit, seperti terlihat pada Tabel 3. Perbandingan persentase neutrofil
rusa Timor terhadap beberapa ruminansia kecil lainnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Perbandingan persentase neutrofil rusa Timor dengan rusa Timor*, rusa Sambar*, dan rusa Bawean*
Jenis Hewan Persentase (%) Min. Maks. Rataan±SD
Rusa Timor Rusa Timor* Rusa Sambar* Rusa Bawean*
46 42 36 40
53 44 41 46
48.30±2.10 42.00±1.63 38.50±3.54 42.25±2.88
Keterangan : * sumber: Yusmin (1998)
Thrall et al. (2004) menyatakan bahwa pada saat periode rutting, rusa
jantan dan betina memiliki persentase neutrofil lebih tinggi dibandingkan dengan
limfosit. Periode rutting adalah periode musim kawin, dan untuk mendapatkan
rusa betina, seekor rusa jantan harus bertarung dengan rusa jantan lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Chapple et al. (1991) pada rusa totol (Axis
axis) diperoleh jumlah neutrofil pada rusa muda lebih tinggi dibandingkan dengan
rusa dewasa. Jumlah neutrofil pada rusa muda, dua kali lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah limfosit. Sedangkan pada rusa dewasa, populasi
leukosit didominasi oleh sel limfosit. Hal ini disebabkan hewan muda memiliki
tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan hewan dewasa sehingga terjadi
pelepasan kortisol yang menyebabkan jumlah neutrofil yang tinggi di dalam
sirkulasi.
Data yang diperoleh (Tabel 4) menunjukkan bahwa rusa Timor hasil
penelitian memiliki persentase neutrofil yang paling tinggi dibandingkan dengan
rusa Timor, rusa Sambar, dan rusa Bawean hasil penelitian Yusmin (1998). Nilai
relatif ini masih dikatakan normal karena jika dibandingkan dengan limfosit, rasio
antara neutrofil dan limfosit lebih kecil dari 1. Weiss dan Wardrop (2010)
menyatakan bahwa rasio neutrofil dengan limfosit akan lebih kecil dari 1 pada
ruminansia dewasa.
Pada kondisi abnormal, dapat terjadi peningkatan jumlah neutrofil
(neutrofilia) maupun penurunan jumlah neutrofil (neutropenia). Neutrofilia dapat
terjadi secara fisiologis maupun patologis. Neutrofilia fisiologis dapat terjadi
pada saat hewan mengalami stres atau terlalu bersemangat (Weiss & Wardrop
2010). Neutrofilia yang bersifat patologis sering terjadi pada kondisi peradangan
terutama yang bersifat akut. Agen yang menyebabkan neutrofilia antara lain
bakteri, virus, jamur dan protozoa.
Neutropenia sering terjadi pada ruminansia yang menderita mastitis,
peritonitis, metritis, pneumonia, dan penyakit saluran pencernaan (Weiss &
Wardrop 2010). Neutropenia paling sering terjadi pada infeksi virus. Studi yang
dilakukan secara in-vitro pada sapi menunjukkan bahwa virus yang memiliki
tingkat virulensi yang tinggi dapat menurunkan kemampuan proliferasi dari sel
progenitor pada sumsum tulang (Keller et al. 2006). Beberapa kasus yang juga
menyebabkan neutropenia yaitu theileriosis, mikoplasmosis, dan tripanosomiasis.
Pada rusa, agen yang dapat menyebabkan neutrofilia antara lain stres
akibat handling, bruselosis. Agen infeksius yang menyebabkan munculnya gejala
neutropenia pada rusa dan kaitannya penting untuk manusia yaitu tuberkulosis.
Pada rusa yang teridentifikasi tuberkulosis, daging rusa (venison) harus dimasak
sampai matang sempurna (Wisconsin Department of Natural Resources 2011).
Eosinofil
Jumlah eosinofil pada penelitian ini berkisar antara 0-0.04 x 103/µL dengan rataan persentase 0.25 ± 0.53%. Tabel 5 memperlihatkan perbandingan persentase eosinofil rusa Timor dengan jenis rusa lain. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa eosinofil pada rusa Timor hasil penelitian ini bernilai 0.25 ± 0.53%, sedangkan hasil penelitian menurut Yusmin (1998) memiliki nilai masing-masing rusa Timor 1.75 ± 0.58%, rusa Sambar 3.50 ± 0.71%, rusa Bawean 3.25 ± 2.06%.
Tabel 5 Perbandingan persentase eosinofil rusa Timor dengan rusa Timor*, rusa
Sambar*, dan rusa Bawean*
Jenis Hewan Persentase (%) Min. Maks. Rataan ± SD
Rusa Timor Rusa Timor * Rusa Sambar* Rusa Bawean*
0 1 3 1
2 3 4 5
0.25 ± 0.53 1.75 ± 0.58 3.50 ± 0.71 3.25 ± 2.06
Keterangan : 0 tidak ditemukan pada preparat ulas * sumber: Yusmin (1998)
Perbedaan jumlah eosinofil pada rusa Timor hasil penelitian dengan
literatur (Yusmin 1998) dapat terjadi karena perbedaan umur hewan yang
digunakan, dan status nutrisi. Hasil pada Tabel 5 menunjukkan bahwa rusa Timor
hasil penelitian memiliki persentase eosinofil paling rendah. Eosinofil hanya
ditemukan pada empat sampel dari dua belas sampel ulas darah rusa Timor jantan.
Secara umum, ciri khas sel eosinofil mamalia yaitu memiliki granul
berwarna jingga yang mirip dengan eritrosit. Eosinofil berdiameter 10-15 µm, inti
bergelambir dua, sitoplasma dikelilingi butir-butir asidofil yang cukup besar
berukuran 0.5-1.0 µm, dengan jangka waktu hidup berkisar antara tiga sampai
lima hari (Junqueira & Caneiro 2005). Hasil pada penelitian ini diperoleh
gambaran eosinofil rusa Timor yang berbentuk bulat dengan inti bergelambir dua
dengan bentuk yang khas seperti kacamata, dengan warna yang cenderung
mengambil warna eosin (merah).
Granul sel eosinofil memiliki kandungan utama Major Basic Protein
(MBP) yang bersifat toksik terhadap bakteri, eosinofil peroksidase yang berfungsi
untuk melawan parasit dan virus, serta protein kationik yang dapat merusak dan
membentuk lubang pada membran, serta menginisiasi degranulasi sel mast yang
bersifat bakterisidal. Kandungan granul eosinofil menyebabkan sel ini memiliki
kemampuan untuk melawan parasit cacing, dan bersama dengan basofil atau sel
mast berperan sebagai mediator peradangan dan memiliki potensi untuk merusak
jaringan inang (Weiss & Wardrop 2010). Eosinofil juga ikut berperan dalam
respon alergi dan reaksi imun kompleks (Thrall et al. 2004).
Eosinofil merupakan sel yang penting dalam respon inang terhadap infeksi
parasit dan reaksi alergi. Peningkatan jumlah eosinofil (eosinofilia) dapat terjadi
pada kasus investasi endoparasit pada kambing, sapi, dan domba. Eosinofilia
tidak selalu hadir dalam infeksi parasit. Penurunan jumlah eosinofil (eosinopenia)
diduga sebagai akibat respon stres pada ruminansia. Eosinopenia ekstrim juga
telah dilaporkan terjadi pada kasus theileriosis pada sapi. Gangguan pada
sumsum tulang seperti nekrosis, fibrosis, atau penekanan akibat obat-obat
kemoterapi dapat mengakibatkan pansitopenia yang mencakup eosinopenia
(Weiss & Wardrop 2010).
Gambar 6 Eosinofil rusa Timor; bar = 10 µm.
Gambaran sel eosinofil rusa Timor dapat dilihat pada Gambar 6. Granul-
granul yang terdapat pada sel eosinofil menyerap warna eosin, sehingga
sitoplasmanya tertutup warna merah. Gambaran ini sama dengan gambaran
eosinofil umum pada ruminansia lainnya.
Basofil
Basofil merupakan jenis leukosit bergranul yang mengandung histamin
dan heparin. Membran sitoplasma mampu menggandeng Immunoglobulin E,
seperti sel mast. Basofil memiliki diameter yang lebih besar dibandingkan dengan
neutrofil. Basofil memiliki nukleus bersegmen, dan bentuk bervariasi tergantung
spesies. Permukaan sel basofil pada sapi tertutupi oleh granul ungu gelap karena
terhimpit oleh banyaknya jumlah granul (Thrall et al. 2004).
Gambar 7 Basofil rusa Timor; bar = 10 µm.
Gambaran sel basofil rusa Timor (Gambar 7) dominan warna biru, karena
permukaan sel basofil yang tertutupi dengan granul yang menyerap metilen biru.
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara gambaran sel basofil rusa Timor
dengan sel basofil sapi.
Tabel 6 memperlihatkan rataan persentase basofil rusa Timor hasil
penelitian. Jumlah basofil hasil penelitian ini berkisar antara 0-19.75/µL dengan
nilai relatif 0-1%. Hasil pengamatan pada penelitian ini menunjukkan bahwa
basofil merupakan jenis sel leukosit dengan populasi paling sedikit. Menurut
Thrall et al. (2004), konsentrasi basofil dalam sirkulasi ruminansia sangat rendah
dan sering kali tidak ditemukan pada pemeriksaan preparat ulas.
Tabel 6 Perbandingan persentase basofil rusa Timor dengan rusa Timor*, rusa Sambar*, dan rusa Bawean*
Jenis Hewan Persentase (%) Min. Maks. Rataan±SD
Rusa Timor Rusa Timor* Rusa Sambar* Rusa Bawean*
0 2 1 2
1 4 3 5
0.08±0.28 4.75 ± 0.96 2.00 ± 1.41 3.00 ± 1.41
Keterangan : 0 tidak ditemukan pada preparat ulas * sumber: Yusmin (1998)
Data yang disajikan pada Tabel 6 menunjukkan rusa Timor hasil penelitian
memperoleh hasil persentase basofil sebesar 0.08 ± 0.28%, sedangkan penelitian
Yusmin (1998) diperoleh 4.75 ± 0.96%, pada rusa Sambar 2.00 ± 1.41%, dan rusa
Bawean 3.00 ± 1.41%. Perbandingan ini menunjukkan bahwa persentase basofil
pada penelitian ini memiliki nilai paling rendah dibanding rusa Timor, rusa
Sambar, dan rusa Bawean hasil penelitian Yusmin (1998).
Basofil memiliki peran penting dalam reaksi hipersensitivitas. Basofil
akan memasuki jaringan yang mengalami peradangan. Basofil memiliki fungsi
serupa dengan sel mast, yang memiliki kemampuan untuk fagositosis agen
penyebab hipersensitivitas. Basofil akan berperan dalam reaksi alergi seperti pada
kasus rhinitis, urtikaria, asma, alergi, konjungtivitis, dan anafilaksis (Weiss &
Wardrop 2010).
Peningkatan jumlah basofil (basofilia) akan terjadi sebagai respon
terhadap infeksi parasit dan hipersensitivitas. Basofilia telah dilaporkan pada sapi
dengan infestasi caplak, dan pada kambing yang terinfeksi nematoda secara
eksperimental. Penurunan basofil (basopenia) sangat jarang dilaporkan karena
jumlah basofil dalam sirkulasi pada ruminansia yang normal sangat rendah
(Rothwell et al. 1994).
Limfosit
Tabel 7 memperlihatkan rataan persentase limfosit pada rusa Timor hasil
penelitian dan perbandingannya dengan rusa Timor, rusa Sambar, dan rusa
Bawean hasil penelitian Yusmin (1998). Nilai absolut limfosit yang diperoleh
dari sampel darah rusa Timor berkisar antara 1.43-2.13 x 103/µL dengan
persentase 47-55%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa limfosit merupakan
jenis leukosit dengan persentase tertinggi. Hal ini didukung oleh Chapple et al.
(1991) yang menyatakan bahwa pada rusa jantan dewasa, jenis leukosit yang
dominan adalah limfosit. Menurut Knowles et al. (2000) yang melakukan
penelitian pada pedet dan sapi dewasa, perbedaan rasio neutrofil dan limfosit ini
diduga disebabkan pedet memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sapi dewasa sehingga terjadi pelepasan kortisol yang menyebabkan jumlah
neutrofil yang tinggi di dalam sirkulasi.
Tabel 7 Perbandingan persentase limfosit rusa Timor dengan rusa Timor*, rusa Sambar*, dan rusa Bawean*
Jenis Hewan Persentase (%) Min. Maks. Rataan±SD
Rusa Timor Rusa Timor* Rusa Sambar* Rusa Bawean*
47 49 50 44
55 51 59 51
51.04±2.1 50.25 ± 0.96 54.50 ± 6.36 48.00 ± 2.94
Keterangan : * sumber: Yusmin (1998)
Tabel 7 menunjukkan bahwa persentase limfosit rusa Timor hasil
penelitian sebesar 51.04 ± 2.1%, hampir sama dengan hasil penelitian Yusmin
(1998) yaitu 50.25 ± 0.96%. Nilai relatif limfosit pada rusa Sambar 54.50 ±
6.36%, dan rusa Bawean 48.00 ± 2.94%. Persentase limfosit rusa Timor lebih
rendah jika dibandingkan dengan rusa Sambar, tetapi lebih tinggi jika
dibandingkan persentase limfosit rusa Bawean.
Limfosit merupakan jenis leukosit yang tidak bergranul (agranulosit).
Limfosit terdiri dari beberapa jenis, yaitu limfosit B dan limfosit T. Sel limfosit B
akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang berperan dalam respon imunitas
humoral untuk memproduksi antibodi, sedangkan limfosit T akan berperan dalam
respon imunitas seluler (Junqueira & Caneiro 2005).
Menurut Weiss & Wardrop (2010), sulit untuk membedakan diantara
kedua macam limfosit, terutama jika hanya dengan pengamatan melalui preparat
ulas darah atau dengan teknik yang secara rutin dilakukan di laboratorium. Jenis
limfosit B berfungsi untuk membentuk kekebalan humoral, sedangkan limfosit T
bertanggung jawab dalam membentuk kekebalan seluler dan respon terhadap
sitokin. Sel T dapat dibagi lagi menjadi sel T-inducer/helper dan sel T-
sitotoksik/supressor.
Limfosit memiliki nukleus yang bervariasi, dari yang berbentuk bulat
sampai lonjong, memiliki sitoplasma sangat sedikit dan hampir tidak terlihat.
Limfosit yang bersirkulasi pada umumnya memiliki diameter yang lebih kecil
dibandingkan dengan neutrofil. Limfosit pada sapi memiliki bentuk yang
bervariasi mulai dari nukleus yang bulat sampai oval, dan diameter yang hampir
sama dengan neutrofil (Thrall et al. 2004).
Limfosit pada rusa Timor memiliki inti yang berbentuk bulat, dan
sitoplasma relatif sedikit (Gambar 8). Gambaran limfosit rusa Timor memiliki
gambaran yang umum seperti limfosit pada ruminansia lainnya.
Gambar 8 Limfosit rusa Timor; bar = 10 µm.
Peningkatan jumlah limfosit (limfositosis) dapat terjadi pada kasus infeksi
virus yang berjalan kronis, tripanosomiasis kronis, leukemia limfoblastik,
leukemia limfositik kronik. Virus penyebab leukemia, misalnya Bovine Leukemia
Virus pada sapi, dapat menyebabkan leukemia yang menyebabkan limfositosis.
Penyebab paling umum terjadinya penurunan jumlah limfosit (limfopenia) pada
ruminansia adalah kortikosteroid yang diinduksi oleh keadaan stres. Limfopenia
juga dapat terjadi pada fase akut infeksi virus, mikoplasma, infeksi bakteri, dan
septikemia (Weiss & Wadrop 2010).
Monosit
Monosit merupakan jenis leukosit berukuran terbesar, berdiameter 15-20
µm, dengan persentase berkisar antara 3-9% dari jumlah leukosit total.
Sitoplasma monosit berwarna biru abu-abu pucat dan berinti lonjong seperti ginjal
atau tapal kuda (Junqueira & Caneiro 2005). Selain ciri khas yang disebutkan di
atas, ciri lain yang menandakan monosit yaitu adanya vakuol pada sitoplasma
(Thrall et al. 2004).
Hasil yang diperoleh dari preparat ulas, sel monosit memiliki bentuk inti
seperti ladam, dan ukurannya paling besar dibanding jenis leukosit lainnya.
Gambaran monosit rusa Timor dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Monosit rusa Timor; bar = 10 µm.
Nilai rataan persentase monosit pada rusa Timor hasil penelitian dan jenis
rusa lain dapat dilihat pada Tabel 8. Jumlah monosit yang diperoleh dari sampel
darah rusa Timor berkisar antara 0-0.04 x 103/µL dengan persentase 0-2%.
Terdapat perbedaan antara persentase monosit rusa Timor hasil penelitian ini yang
memiliki rataan 0.375 ± 0.58 % dengan hasil penelitian Yusmin (1998) yang
memperoleh persentase monosit sebesar 3.00 ± 0.82%. Persentase monosit rusa
Sambar 1.50 ± 0.71%, dan rusa Bawean 3.50 ± 1.29%.
Tabel 8 memperlihatkan bahwa rusa Timor pada hasil penelitian memiliki
jumlah monosit yang paling rendah jika dibandingkan dengan rusa Timor pada
penelitian Yusmin (1998), rusa Sambar, dan rusa Bawean.
Tabel 8 Perbandingan persentase monosit rusa Timor dengan rusa Timor*, rusa Sambar*, dan rusa Bawean*
Jenis Hewan Persentase (%) Min. Maks. Rataan±SD
Rusa Timor Rusa Timor* Rusa Sambar* Rusa Bawean*
0 2 1 2
2 4 2 5
0.375±0.58 3.00 ± 0.82 1.50 ± 0.71 3.50 ± 1.29
Keterangan : 0 tidak ditemukan pada preparat ulas * sumber: Yusmin (1998)
Monosit berpartisipasi dalam respon peradangan. Monosit akan berpindah
ke jaringan, dan berubah menjadi makrofag. Sel mononuklear ini mampu
memfagosit bakteri, organisme yang lebih besar dan kompleks (seperti ragi dan
protozoa), sel yang terinfeksi, sel debris, dan partikel asing (Thrall et al. 2004).
Weiss dan Wardrop (2010) menyatakan bahwa peningkatan jumlah
monosit (monositosis) dapat terjadi sebagai respon stres pada ruminansia, namun
demikian monositosis dapat juga terjadi pada kondisi peradangan. Penurunan
jumlah monosit (monositopenia) dapat disebabkan oleh endotoksemia,
peradangan perakut dan akut yang disebabkan oleh berbagai agen penyebab.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Jumlah leukosit total rusa Timor jantan pada penelitian ini berkisar antara
2.95-4.05 x 103/µL dengan nilai absolut total masing-masing leukosit yaitu
eosinofil 0-0.04 x 103/µL, neutrofil 1.49-1.93 x 103/µL, basofil 0-19.75/µL,
monosit 0-0.04 x 103/µL, dan limfosit 1.43-2.13 x 103/µL.
2. Nilai relatif masing-masing jenis leukosit rusa Timor yaitu eosinofil 0-2%,
basofil 0-1%, neutrofil 46-53%, monosit 0-2%, dan limfosit 47-55%.
3. Jenis leukosit yang dominan pada rusa Timor jantan dewasa normal berturut-
turut yaitu limfosit, neutrofil, eosinofil, monosit dan basofil.
4. Leukosit sebagai salah satu parameter kesehatan dapat ditinjau dari
penambahan atau penurunan jumlah leukosit total, atau perubahan rasio dan
total absolut masing-masing jenis leukosit.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan umur yang seragam dengan
mempertimbangkan faktor-faktor fisiologis yang mempengaruhi jumlah leukosit
total seperti jenis kelamin, status reproduksi, iklim, dan status nutrisi. Perlu
dilakukan pemeriksaan hematologi lainnya, misalnya pemeriksaan ukuran
leukosit.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2011. Penjualan daging rusa mencemaskan. [terhubung berkala]. http://www.bataviase.co.id/node/732326 [5 Juli 2011].
Adams HR. 2001. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed ke-8. Iowa: Blackwell Publishing Professional.
Aini Q, Hartatik S, Amalia YS. Introduksi dapat menyebabkan kepunahan satwa. [terhubung berkala]. http://www.p-wec.com/bulletin/id/hijau_e001.html#02 [2 Agustus 2011].
Casolaro V, Spadaro G, Marone G.1990. Human basophil release ability: 6 changes in basophil release ability in patients with allergic rhinitis or bronchial-asthma. Am Rev Respir Dis 142: 1108 – 1111.
Chapple RS, English AW, Mulley RC, Lepherd EE. 1991. Haematology and serum biochemistry of captive unsedated chital deer (Axis axis) in Australia. J Wildlife Dis 27: 396 – 406.
Colville T, Bassert JM. 2008. Clinical Anatomy & Physiology for Veterinary Technician. Missouri: Elsevier.
Dellman HD, Brown EM. 1992. Histologi veteriner. Ed ke-3. Hartono R, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari Textbook of Veterinary Histology.
Department of Health and Human Services. 2006. Regenerative Medicine Chapter 2: Bone marrow (Hematopoietic) stem cells. [terhubung berkala]. http://stemcells.nih.gov/info/scireport/2006report.htm [16 Juli 2011].
Dradjat AS. 2000. Penerapan teknologi inseminasi buatan, embrio transfer dan fertilisasi in vitro pada rusa Indonesia. Laporan Riset Unggulan Terpadu V Bidang Teknologi Perlindungan Lingkungan. Jakarta. 92 – 111.
. 2002. Satwa Harapan (Rusa Indonesia). Mataram: Mataram University Press.
Dvorak AM , Monahan RA. 1885. Guinea-pig bone marrow basophilopoiesis. Int J Exp Pathol 2: 13 – 24.
Effendi Z. 2003. Peranan leukosit sebagai anti inflamasi alergik dalam tubuh. [terhubung berkala]. http://library.usu.ac.id/download/fk/histologi-zukesti2.pdf [5 Juli 2011].
Elsas PX, Elsas MI. 2007. Eosinophilopoiesis at the cross-roads of research on development, immunity and drug discovery. Curr Med Chem 14: 1925 – 1939.
Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitiy Press.
Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Brahm U, Penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology.
Garsetiasih R, Heriyanto NM, Atmaja J. 2003. Pemanfaatan dedak padi sebagai pakan tambahan rusa. Bogor: Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Buletin Plasma Nutfah 9(2): 23 – 27.
Guyton AC. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-11. Tengadi AK, Penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.
Handarini R. 2006. Upaya peningkatan populasi rusa Sambar (Cervus unicolor) melalui pendekatan nutrisi dan manajemen reproduksi [disertasi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Hardjosentono P. 1978. Mammals of Indonesia. Bogor: Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam.
Hartanto I. 2008. Komposisi Botani Pakan Rusa Timor (Cervus timorensis) di Penangkaran Rusa Timor Desa Sumberingin Kab. Blitar [Laporan Penelitian]. Malang: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Hirai K et al. 1997. Regulation of the function of eosinophils and basophils. Crit Rev Immunol 17: 325 – 352.
Hirsch JG , Hirsch BI. 1980. Paul Ehrlich and the discovery of the eosinophil. Di dalam: Mahmoud AFF, Austen KF, editor. The Eosinophil in Health and Disease. New York: Grune and Stratton. hlm 3 – 24.
IUCN Red List. 2011. Rusa timorensis. [terhubung berkala]. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/41789/0 [1 Agustus 2011].
Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea and Febiger.
Junqueira LC, Caneiro J. 2005. Basic Histology Text & Atlas. Ed ke-11. USA: The Mc Graw-Hill Companies Inc.
Keller SL, Jefferson BJ, Jacobs RM, Wood RD. 2006. Effects of noncytopathic type 2 bovine viral diarrhea virus on the proliferation of bone marrow progenitor cells . Can J Vet Res 70: 20 – 27.
Knowles TG, Edwards JE, Bazeley KJ, Brown SN, Butterworth A, Warris PD. 2000. Changes in the blood biochemical and haematological profile of neonatal calves with age. Vet Rec 147 : 593 – 598.
Lee WL, Harrison RE, Grinstein S. 2003. Phagocytosis by meutrophils. Microb Infect 5:1299 – 1306.
Ma’ruf A, Atmoko T dan Syahbani I. 2005. Teknologi penangkaran rusa Sambar (Cervus unicolor) di desa Api-api Kabupaten Penajem Paser Utara Kalimantan Timur. Di dalam: Gelar dan dialog teknologi di Mataram; 29-30 Juni 2005. Mataram: Peneliti pada Loka Litbang Satwa Primata Samboja; 2005. hlm 57 – 68.
Meyer DJ, Harvey JW. 2004. Veterinary Laboratory Medicine: Interpretation and Diagnosis. Ed ke-3. St. Louis: Saunders.
Mills J. 1998. Interpreting blood smears (or What blood smears are trying to tell you!). Aust Vet J 76: 596 – 600.
Mishra A et al. 1999. Fundamental signals that regulate eosinophil homing to the gastrointestinal tract. J Clin Invest 103: 1719 – 1727.
Noerdjito M, Maryanto I. 2001. Jenis-Jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-Undangan Indonesia. Cibinong: Balitbang Zoologi (Museum Zoologicum Bogoriense) Puslitbang Biologi-LIPI dan The Nature Conservancy.
Nugraha DW. 2009. Pengaruh Sistem Pemberian Pakan dengan Pola Ex-situ terhadap Konsumsi dan Pertambahan Bobot Badan Rusa Timor (Cervus timorensis) [Skripsi]. Malang: Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Pattiselanno F, Tethool AN, Seseray Y. 2008. Karakteristik morfologi dan praktek pemeliharaan rusa Timor di Manokwari. Berkala Ilmiah Biologi (7)2: 61 – 67.
Rothwell TL, Horsburgh BA, France MP, Windon RG. 1994. Basophil leucocytes in responses to parasitic infection and some other stimuli in sheep. Res Vet Sci 56: 319 – 324.
Schroder JO. 1976. Deer in Indonesia. Literature Study in The Distribution, Ecology, Threats and Conservation of Deer in Indonesia. Netherland: Agriculture Wegeningen Netherlands, Nature Conservation Department.
Semiadi G, Nugraha RTP. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Bogor: Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Semiadi G. 2004. Sifat Biologi Rusa Bawean (Axis kuhlii). Bogor: Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Setiawan Y. 2010. Cervus timorensis (Rusa Timor). [terhubung berkala]. http://cervustimorensis.blogspot.com/2010_04_01_archive.html [15 Juli 2011].
Sharma SD. 1986. The macrophage. J Allergy Clin Immunol 6:1 – 27.
Stossel TP. 1975. Phagocytosis recognition and ingestion. Semin Hematol 12: 83 – 111.
Sudirman M. 1986. Sifat reproduksi rusa Jawa (Cervus timorensis), rusa Sambar (Cervus unicolor), rusa Bawean (Axis kuhlii) dan rusa totol (Axis axis). Karya Ilmiah Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Thrall MA, Baker DC, Lassen ED. 2004. Veterinary Hematology and Clinical Chemistry. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins.
Tizard I. 2000. Veterinary Immunology An Introduction. Ed ke-6. Philadelphia: WB Saunders Company.
Weiner OD, Servant G, Welch MD, Mitchison TJ, Sedat JW, Bourne HR. 1999. Spatial control of actin polymerization during neutrophil chemotaxis. Nat Cell Biol 1: 75 – 81.
Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. Ed ke-6. USA: Blackwell Publishing Ltd.
WHO. 1947. Defenition of health. [terhubung berkala]. https://apps.who.int/aboutwho/en/definition.html.
Wibawan IWT, Sanjaya AWK, Yusnani. 2009. Manfaat homeopathy bagi pertahanan tubuh sapi perah. J Vet 10(2): 97 – 103.
Widyani R. 2008. Kesehatan Hewan. Cirebon: Swagati Press.
Wisconsin Department of Natural Resources. 2011. Keeping Wisconsin deer healthy. [terhubung berkala]. http://dnr.wi.gov/org/land/wildlife/whealth/issues/fmd.htm [30 September 2011].
Yusmin LM. 1998. Morfologi, kariotip dan komponen darah pada beberapa jenis rusa di Indonesia [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Zein MSA. 1998. Karakteristik morfologi, gen dan nilai normal darah Cervus timorensis [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.