Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP
Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.
Lampiran 1 TRANSKRIP WAWANCARA
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
Transkrip Wawancara Informan 1
Nama informan : Budi Karsun
Lokasi wawancara : Yayasan Breakthrough Mission
Tanggal wawancara : 4 Juli 2015
Pukul : 15.59
P : Background bisa terpapar dengan narkoba bagaimana?
I : Saya mula-mula karena ikut-ikutan teman, sih—pergaulan. Disuruh coba,
coba, coba, ya akhirnya saya coba.
P : Umur berapa waktu itu?
I : Kurang lebih saya SMP. Pertamanya sih beda-beda ya, mula-mula dari
rokok, lama-lama naik kayak ganja, kayak minuman beralkohol, terus obat-
obatan (obat penenang), dan mulai SMA kenal dengan diskotek (ecstasy).
Akhirnya dikenalin teman dengan heroin/putaw. Dan sabu-sabu juga ada
waktu itu. Tapi yang benar-benar terikat waktu itu putaw.
P : Apa yang menyebabkan mau ikut (pergaulan teman konsumsi narkoba)?
I : Yang menyebabkan saya mau ikut itu karena saya jarang tinggal di rumah.
Papa punya prinsip; uang adalah segala-galanya. Kalau mau membeli
sesuatu, maka harus bekerja. Dari kecil saya dididik, istilahnya, setelah
pulang sekolah saya harus langsung bantu di toko, gitu. Ya namanya anak
kecil dulu, untuk jam-jam main sama teman-teman sepantaran nggak ada.
Jadi ya saya malas pulang ke rumah. Dari sekolah karena takut disuruh
bantu-bantu di toko, saya pilih ke tempat teman. Tempat billiard, nongkrong
di sana.
P : Tapi waktu itu tahu nggak kalau mengonsumsi narkoba itu buruk?
I : Waktu itu belum ada yang namanya seminar-seminar, gitu. Saya
nongkrong di tempat billiard, saya diajak merokok, minum-minum, ganja—
dari situ awalnya.
P : Bagaimana perasaannya waktu terlibat dengan narkoba?
I : Kalau saat itu sih nggak ada perasaan apa-apa. Yang pasti saya menikmati
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
sekali. Karena ibarat narkoba itu enak. Tapi nggak tahu efek buruknya
seperti apa.
P : Apakah jadi ketergantungan dengan narkoba?
I : Ya, jelas. Saat memakai putaw itu sangat ketergantungan.
P : Atas dorongan apa ketika mengonsumsi putaw?
I : Kalau saya ingin cari happy saja.
P : Di situasi apapun?
I : Ya. Saya nikmati, saya merasa enak, enjoy, nyaman akhirnya saya pakai
terus.
P : Bukan dari dorongan emosi apapun (marah, sedih, dll)?
I : Oh nggak.
P : Ada hal-hal negatif yang dilakukan ketika jadi pecandu?
I : Jadi seorang pencuri. Yang tadinya mencuri hanya di rumah, dan keluarga
sudah mengetahui semua, akhirnya saya diusir di rumah dan saya pun keluar
dari rumah dan untuk memenuhi kebutuhan badan saya akan narkoba ya
saya menjambret lah, nyolong sepeda orang lah. Apapun yang saya kerjakan
itu untuk narkoba.
P : Apa aja yang dicuri?
I : Sepeda, barang-barang orang lain, apa saja yang bisa saya jual lagi untuk
beli narkoba.
P : Waktu itu tinggal sendiri atau dengan teman?
I : Udah tinggal sendiri. Tinggal sama teman udah pernah, tinggal di jalanan
udah pernah.
P : Waktu itu ada motivasi untuk berhenti?
I : Ada. Pada saat (mungkin) udah, apa ya... jenuh. Tapi untuk berhenti itu
susah. Karena kecanduan putaw itu sangat mengikat. Kalau sakaw itu udah...
aduh, susah berhentinya.
P : Umur berapa waktu itu?
I : Waduh... SMA. 1997/1998 lah.
P : Apa yang mendorong motivasi berhenti itu? (Selain karena jenuh.)
I : Akhirnya keluarga juga, istilahnya, udah mau buang saya, gitu. Saya,
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
istilahnya, udah sebatang kara. Saya kena masalah; difitnah orang,
dipukulin massa, akhirnya kantor polisi juga nanyain alamat rumah,
akhirnya dibawa pulang ke rumah. Dari situ mulailah, keluarga juga udah
lebih memperhatikan saya. Untuk masuk rehab lah. Untuk menyembuhkan
saya.
P : Waktu tinggal sendiri apakah masih kontak keluarga?
I : Nggak ada.
P : Jadi, keluarga tahu (lokasi) Anda ketika kejadian difitnah itu?
I : Iya.
P : Apakah Anda menganggap negatif diri sendiri dan pecandu lain?
I : Menganggap negatif sih, pasti ya. Saya menganggap bahwa diri saya ini
sebagai sampah. Sampah masyarakat. Udah mengecewakan keluarga,
terutama orang tua.
P : Suka menyalahkan diri sendiri juga ketika jadi pecandu? Atau malah
menyalahkan orang lain?
I : Hm... nggak pernah menyalahkan siapa-siapa sih, saya. Karena saya
(merasa) ya... udah. Saya nggak pernah nyalahin keluarga, nggak pernah
nyalahin diri sendiri, saya nggak pernah nyalahin teman-teman saya yang
pernah kasih saya (narkoba).
P : Harapan terbesar sebagai mantan pecandu narkoba?
I : Terbebas, bebas, bebasnya dari narkoba.
P : Perlakuan keluarga, teman-teman, lingkungan kepada kak Budi sendiri
bagaimana setelah lepas dari narkoba?
I : Awalnya mereka masih menolak. Masih berhati-hati. Mungkin karena dulu
sering saya tipu, sering saya colongin, jadi walaupun saya udah berubah,
mereka menganggap bahwa 'Ah lu berubah ada maunya kali nih ya,' jadi
butuh proses.
P : Bagaimana perasaannya ketika dituduh seperti itu?
I : Awalnya saya nggak bisa terima. Karena saya merasa bahwa saya udah
berubah, saya udah benar, giliran mau benar malah nggak mau percaya.
Sampai akhirnya ya belajar, belajar, menjalani, akhirnya ya mulai bisa
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
menerima. Ya itu konsekuensi yang harus saya terima. Ada sebab ada akibat.
Itu yang bisa saya pelajari, sih.
P : Usaha untuk mendapatkan kembali kepercayaan keluarga?
I : Ya jalani kehidupan seperti biasa aja. Biar mereka bisa menilai sendiri.
P : Di (yayasan) sini sudah berapa lama?
I : Saya di sini udah setengah tahun.
P : Sebelum di sini?
I : Di sini juga. Saya masuk lima kali rehab, dua kali masuk sini. Yang tiga
beda.
P : Kenapa kok bisa keluar masuk?
I : Karena saya udah keluar rehab, orang masih nggak percaya sama saya.
Yang terakhir saya masuk tempat ini (Yayasang Breakthrough Missions)
saya nggak pakai putaw lagi. Saya cuma minum alkohol aja, bukan
kecanduan heroin lagi.
P : Kehidupan di sini membantu (proses pemulihan)?
I : Jelas. Karena kita di sini mengisi waktu terus. Dari bangun tidur itu diisi
dengan kegiatan-kegiatan. Nggak bengong sehingga nggak mikirin yang
nggak-nggak lagi, gitu. Ada program rohani-rohani yang menyehatkan juga,
gitu. Membuat kita sadar bahwa itu (narkoba) salah.
P : Nggak stress hidup di sini dengan segala jamnya?
I : Stress ya stress, tertekan ya tertekan, struggle ya struggle. Yang biasanya
kita (pecandu) hidup nggak ada aturan, sekarang hidup kita diatur. Itu
memang butuh proses.
P : Ada julukan tertentu yang disebut orang lain ketika Anda menjadi pecandu?
I : Hm... nggak ada, sih.
P : Pernah diperlakukan secara negatif oleh masyarakat?
I : Ya, seperti yang difitnah itu. Karena waktu itu memang saat itu saya pergi
berdua sama teman saya. Paginya, teman saya dibawa orang diinterogasi
orang nggak tau kenapa. Sorenya giliran saya. Disangka amplifier di suatu
masjid saya yang ambil. Padahal masjidnya di mana pun saya nggak tahu.
P : Apakah Anda tahu siapa yang memfitnah Anda?
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
I : Yang saya tahu sih, orang bisu. Dia cuma nunjuk-nunjuk saya doang, dan
masyarakat situ terpengaruh. Waktu itu mungkin karena keadaan fisik saya
sebagai pecandu; dekil, kumal, kurus. Dari fisik pasti kelihatan. Kita
namanya junkies, gitu, jangkung, kurus, menajiskan.
P : Bagaimana perasaannya waktu itu?
I : Saya 'kepahitan' sama orang bisu itu. Sampai setelah saya masuk kantor
polisi, selama tiga hari, karena nggak ada bukti apa-apa saya dibebaskan
terus saya berobat. Akhirnya dari situ kan saya pulang ke rumah, berobat
sampai akhirnya ya saya dan teman-teman yang lain mencari orang bisu itu.
Nggak ada, udah. Nggak tahu ke mana.
P : Pernah dikucilkan masyarakat?
I : Iya. Ketika jadi pecandu ya sangat dikucilkan.
P : Ketika semua orang sudah tahu bahwa Anda pecandu narkoba?
I : Iya. Bahkan saudara-saudara besar, kalau saya datang ke rumah mereka,
barang-barang berharga langsung diumpetin semua. Remot Tv pun
diumpetin sama mereka. Ibarat saya udah benar-benar dikucilkan, kan?
Istilahnya saya udah gak diterima lah kehadiran saya.
P : Tersinggung nggak dengan perlakuan seperti itu?
I : Tersinggung sih pasti. Tapi saya nggak bisa menyalahkan mereka. Karena,
hm... apa ya, ya karena ulah saya sendiri memang. Karena mungkin mereka
sudah tersakiti oleh saya, nggak mau kedua kalinya.
P : Apakah sekarang lebih terbuka dengan orang lain?
I : Saya lihat-lihat orang. Karena ada orang-orang yang belum bisa terima
mantan pecandu. Kalau saya bilang saya mantan pecandu, kadang-kadang
ada orang yang langsung menutup dirinya. Ada orang yang tetap terbuka.
Tapi kalau masuk ke suatu kerjaan, kalau saya bilang saya mantan pecandu
itu agak... nggak lah. Perusahaan mana sih yang mau terima mantan pecandu?
P : Sudah pernah?
I : Sudah. Ketika orang kantor tahu saya mantan pecandu, saya langsung
nggak dipercaya.
Q : Ditolaknya secara halus atau secara blak-blakan?
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
I : Secara halus.
Q : Apakah Anda pernah bertemu dengan orang yang berniat membantu?
(Selain keluarga.)
I : Hm... belum pernah ketemu. Mereka ketemu saya aja udah takut, gimana
mau membantu? Karena waktu jadi pecandu itu semua digelapkan lah.
Kasarnya, udah nggak ada otaknya lah. Mau dibantu tapi nggak mau. Jadi
mereka pun menutup diri untuk membantu. Mungkin teman-teman akrab
niatnya untuk membantu itu ada.
P : Apakah sempat mau jadi pengedar juga?
I : Iya, sempat mengedar. Karena dengan anggapan bahwa dengan jualan,
saya bisa tanpa mencuri lagi bisa pakai barang itu (narkoba). Ya kasus juga,
lah. Lebih banyak pakainya daripada jualnya.
P : Bagaimana proses pengedarannya?
I : Karena saya sering beli dari bandar, yang bisa percaya sama saya ya bandar
doang. Dititipin barang sama dia, istilahnya kita bantu dia jualan.
P : Apakah Anda pernah melanggar kontrak/perjanjian jualan?
I : Nggak ada perjanjian, sih. Misal, kalau saya yang konsumsi (narkobanya),
iya. Terakhir saya kenal bandar, saya udah nggak pernah pakai lagi itu waktu
keluar rehab ketiga. Waktu itu saya udah berhenti total, saya ke tempat
teman-teman lagi. Mereka masih pada pakai narkoba, dan teman saya juga
minta tolong sama saya untuk belikan putaw ke bandar ini. Karena dia
mungkin tersangkut hutang, sehingga kalau dia ke sana lagi, udah gak bakal
diterima. Saya jalan ke sana sekali, dua kali, tiga kali sampai akhirnya ada
orang yang nongkrong di tempat ini mengenali saya. “Ini mah si Asun,”
katanya, “anak lama!” Dari situ bandar percaya sama saya. Padahal saya
udah nggak pakai lagi. Semenjak di situ dipercaya bandar untuk bantu dia.
Karena katanya saya 'anak lama', tahu barang yang bagus atau nggak—
tukang tester. Jadi barang 'turun' (datang), saya yang tes. Waktu itu saya
serba salah. Kalau saya terus terang, nggak enak sama teman. Saya bohong
juga saya yang kena.
P : Apakah Anda merasa minder di masyarakat?
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
I : Dibilang minder sih nggak, karena saya merasa udah dipedulikan ngapain
saya minder? Yang saya pikir ya itulah sebab akibat. Perlakuan ini ya akibat
saya dulu, saya harus terima. Ini yang harus saya jalani. Jangan sakit hati
sama orang lain, mereka kan nggak salah, nggak tahu apa-apa.
P : Bagaimana program di Yayasan Breakthrough Missions (panti rehab)
membantu proses pemulihan?
I : Program ini membawa kita kembali kepada Tuhan. Jalan pikir kita
dibersihkan lagi, hati kita dibersihkan lagi supaya pikirannya bukan ke
narkoba terus. Tapi semua yang baik, gitu. Sehingga ketika merasa tertekan
pun yang keluar pikiran-pikiran baik saja.
P : Apakah pernah mengalami kesulitan ketika di yayasan?
I : Pikiran/sugesti itu saya rasa seumur hidup. Pasti kepikiran aja. Karena
yang namanya narkoba itu enak. Perjuangan, sih.
P : Bagaimana Anda menghadapinya?
I : Dengan cari kesibukan. Bersosialisasi sama teman-teman, baca buku, baca
Alkitab, doa, ya itu aja yang bisa saya lakukan.
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
Transkrip Wawancara Informan 2
Nama informan : Kusuma Wijaya
Lokasi wawancara : Yayasan Breakthrough Mission
Tanggal wawancara : 4 Juli 2015
Pukul : 16.43
P : Kapan pertama kali memakai narkoba?
I : Saya pertama kali pakai narkoba itu 1997, karena pergaulan. Di mana saya
waktu itu juga sudah bekerja, bangun usaha. Saya pakai (narkoba) dari tahun
1997 sampai tahun 1999, usaha yang saya jalani hancur. Selama satu tahun
saya nggak ngapa-ngapain. Hidup frustasi gitu lah. Posisi dari hidup ada jadi
tidak ada, jadi kumpul sama orang merasa minder. Tahun 2001 saya mulai
usaha lagi, usaha bingkai. Jadi tahun 2001 sampai 2003 saya nggak pakai
(narkoba). Tahun 2004, begitu sudah punya penghasilan yang cukup
lumayan, saya pakai lagi. Tapi tahun 2005 jatuh lagi. Tahun 2005 itu selain
narkoba saya juga jatuh di judi. Karena begitu banyak masalah, keluarga
nggak ada yang mau bantu atau apa. Akhirnya saya pergi ke Bali. Saya pergi
ke Bali itu bukannya saya kerja malah saya jadi bandar. Narkoba yang saya
jual itu jenis sabu-sabu. Saya jualnya ke Lombok, tapi saya kirimnya dari
Bali. Sampai tahun 2007, ada teman saya yang tertangkap, akhirnya saya
merasa bersalah, akhirnya saya minta tolong keluarga saya untuk bantu
teman saya yang tertangkap itu. Akhirnya keluarga saya bilang, 'oke, kami
bantu'. Dengan catatan bahwa saya janji bahwa saya tidak berkecimpung
lagi di dunia narkoba. Akhirnya semua masalah yang saya perbuat di tahun
2005 itu semuanya sama keluarga saya diselesaikan. Jadi saya balik lagi
tahun 2007 ke Lombok, di sana saya benar-benar mulai usaha. Tapi usaha
yang saya jalani nggak lama juga. Begitu saya merasa diberkati sama Tuhan,
tahun 2009 saya pakai (narkoba) lagi. Sampai akhirnya tahun 2011 hancur
lagi. Nah, tahun 2011 saya merasa hancur, hutang saya udah sana-sini,
keluarga juga udah tambah nggak mau tahu, akhirnya saya pergi ninggalin
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
Lombok. Sampai saya merasa putus asa; kerjaan nggak ada, untuk tanggung
jawab anak saya juga nggak bisa akhirnya saya sampai di sini, di
Breakthrough (yayasan). Saya masuk Breakthrough itu tahun 2012, itu pun
yang antar saya mama. Di mana mama saya yang ingin melihat saya berubah,
akhirnya saya dikasih penawaran. Kalau memang saya mau ditolong, ya
saya harus masuk tempat ini. Saya di sini udah tiga tahun. Saya sendiri
belum pingin keluar. Saya pikir lebih baik saya di sini bantu para pecandu
yang lain.
P : Jadi, dorongan untuk konsumsi narkoba itu hanya datang dari pergaulan?
I : Selain pergaulan, juga saya sendiri. Saya ini dulu kan orangnya agak
sombong, ya. Saya merasa saya bisa cari uang, ya saya pakai apa yang saya
hasilkan. Karena saya merasa saya punya uang, ya saya nggak mau kalah
dari orang lain. Jadi ya karena kesombongan saya sendiri saya bisa jatuh
ke narkoba.
P : Bagaimana perasaan Anda ketika terlibat dalam narkoba?
I : Kalau kita terlibat dalam narkoba, kalau di saat kita tidak punya barang,
kita tenang saja. Kita nggak merasa khawatir, nggak merasa takut. Andai
kata saya habis bohongin orang punya duit, misalkan saya udah pakai
narkoba ya saya nggak pusing dengan orang yang saya pakai duitnya. Nanti
giliran orangnya datang nagih, ya saya bilang, 'sorry uangnya udah saya
pakai'. Nanti dengan janji, janji, janji saya cicil. Jadinya apapun itu kondisi
saya sendiri kalau bisa dibilang ya kita merusak diri kita sendiri tapi tanpa
kita sadari. Jadi yang penting ada sabu, urusan yang lain nggak mau tahu.
P : Yang paling Anda konsumsi itu sabu?
I : Ya, saya pakai sabu-sabu.
P : Dampak memakai sabu-sabu itu apa?
I : Kalau dampaknya pakai sabu-sabu itu kita punya power berlebihan. Tidak
merasa lapar, terus bisa beraktivitas yang mereka suka mereka akan merasa
enjoy, terus pergaulan seks bebas. Kalau titik buruknya kadang-kadang saya
bersyukur sama Tuhan bahwa saya tidak dikasih kejiwaan. Banyak orang-
orang yang pakai narkoba, lama, yang akhirnya mengalami kejiwaan.
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
P : Hal negatif apa yang pernah Anda lakukan ketika menjadi pecandu
narkoba?
I : Hal negatif yang paling sering kita lakukan ya paling tipu sana, tipu sini.
Ada barang yang kita miliki ya kita jual, kadang-kadang kita juga nggak
punya perasaan, kita mentingin diri sendiri. Yang jelas kalau efek buruknya
sabu-sabu itu ya tipu sana tipu sini. Pinjam uang sana, pinjam uang sini
dengan berbagai macam alasan. Jadi barang berharga di rumah apapun yang
bisa kita jual itu kita ambil aja. Kalau misal kita udah nggak punya apa-apa
gitu lho ya.
P : Jadi semua barang yang dijual itu untuk beli narkoba?
I : Untuk beli narkoba. Jadi misalnya, saya ngobrol sama Dhita, 'Dhit saya
minta tolong dong, pinjam duit Rp 500 ribu, buat beli susu buat anak saya'.
Sama Dhita misalnya dikasih, tapi begitu saya udah terima uang Rp 500 ribu,
pikiran saya nggak beli susu anak, malah saya beli sabu-sabu lagi. Begitu
dan begitu seterusnya. Membuat kita malas ngapa-ngapain, yang penting
kita berpikir bagaimana mendapatkan uang cepat, tanpa bekerja. Satu-
satunya ya tipu sana tipu sini.
P : Adakah motivasi untuk berhenti?
I : Motivasi buat berhenti waktu itu memang ada, tapi di saat kita
beranggapan motivasi untuk berhenti itu ada, di saat kita mau bicara baik-
baik bahwa kita ingin berubah, di saat kepercayaan itu nggak ada, itu yang
membuat motivasi untuk berubah itu hilang. Jadi membuat (berpikir),
'udahlah, kalau gitu sekali habis, habis sekali lah'. Kalau udah mau bertobat
pun orang masih nggak percaya atau masih ragu, itu kadang-kadang yang
membuat kita jatuh lagi.
P : Apakah Anda memandang negatif mantan pecandu narkoba lainnya?
I : Tergantung kumpulannya, ya. Sama-sama pecandu kalau sudah nggak
punya apa-apa, orang pasti nggak anggap kita, walaupun kita sesama
pecandu. Misalnya saya sama si A, akrab, saya sering pakai sabu bareng tapi
di saat saya sudah nggak bisa menghasilkan atau nggak bisa
menguntungkan buat dia begitu juga sebaliknya, ya kita nggak akan bergaul
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
lagi.
P : Jadi, berteman itu untuk untung sama untung?
I : Ya. Misalnya, saya punya duit, saya beli sabu. Teman saya ada yang lain
yang suka sabu, mereka lihat saya punya duit ya saat itu kita teman. Tapi di
saat kita nggak punya sabu, mereka punya belum tentu juga mereka mikirin
kita, gitu. Jadinya ya tergantung setiap personal orangnya lah. Pribadi
orangnya, mau jiwanya bagaimana, gitu. Kadang ada yang sudah banyak
hal-hal yang juga pernah saya bantu, teman-teman yang pakai (narkoba)
juga saya kasih pakai gratis, terus yang saya bantu keuangannya pun di saat
saya susah, belum tentu mereka mau bantu. Mereka malah jadi selamat
sendiri. Malah menyalahkan, 'kenapa kamu yang bego? Padahal saya nggak
minta, kamu yang kasih.' Kadang-kadang kata-kata itu yang membuat kita
sakit hati.
P : Kalau begitu pecandu nggak ada yang benar-benar berteman?
I : Kalau di saat kita sudah jadi pecandu, kalau mau dikatakan pecandu itu
yang sudah jadi pecundang. Rasanya sudah nggak ada yang mau berteman.
Kenapa orang nggak mau berteman? Karena mereka sudah takut, 'jangan-
jangan nanti gue ditipu lagi sama dia'.
P : Kalau begitu, bisa dibilang istilahnya mending sendiri aja?
I : Iya. Jadinya kita cuma bisa menyesali sendiri. Kalau udah jadi pecundang
udah nggak ada orang yang mau. Dipandang pun juga nggak. Omongan
apapun yang kita omongin, orang juga nggak akan percaya. Nggak usah kita
ngomong masalah uang besar lah, kita ngomong cuma masalah uang Rp 50
ribu atau Rp 100 ribu buat makan pun mereka belum tentu mau kasih.
Karena pandangan-pandangan mereka berpikir 'jangan-jangan nanti dikasih
duit Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu bukan dipakai makan, dipakai sabu lagi.
Karena ada pemikiran-pemikiran orang-orang itu seperti itu. Sudah terlalu
jengkel kali dengan kelakuan kita.
P : Makan dan minum sendiri bagaimana?
I : Buat makan, minum sendiri saya cuma bisa mengandalkan dari hutang.
Jadi saya pindah dari satu tempat, satu tempat, satu tempat di lingkungan-
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
lingkungan yang berbeda-beda, yang misalnya belum kenal latar belakang
saya, jadi saya pindah komunitas lain, komunitas lain, komunitas lain. Dan
satu-satu komunitas itu ya sampai tahu kalau saya punya hidup berantakan.
Sampai di sana baru kita merasa putus asa. Kita nggak tahu kita mau apa.
Kalau sudah begitu, ya apa boleh buat? Hidup apa adanya.
P : Apakah suka menyalahkan diri sendiri ketika jadi pecandu narkoba?
I : Kalau kita jadi pecandu narkoba, jarang kita menyalahkan diri sendiri.
Kebanyakan kita menyalahkan orang lain. Di saat kita terpengaruh dengan
narkoba, ya. Kita nggak pernah menyalahkan diri sendiri, kita menyalahkan
orang lain.
P : Orang lain itu maksudnya?
I : Ya misalnya dari orang dekat; teman lah, keluarga lah, banyak faktor lah.
Kita pikir orang lain nggak mengerti kita lah. Kalau berpikiran jernih seperti
sekarang ini ya kita bisa berpikir bahwa segala sesuatu yang terjadi hidup
kita sekarang ini ya itu akibat perbuatan kita sebenarnya, bukan orang lain.
P : Kalau Anda sendiri bagaimana memandang diri sendiri ketika menjadi
pecandu?
I : Saya memandang diri sendiri itu saya cuma menganggap bahwa 'ya
udahlah, udah seperti ini, mau gimana lagi', gitu. Kalau memang mau
dimaafin ya dimaafin, kalau nggak ya sudah. Gitu aja saya memikirnya.
P : Pasrah sama keadaan?
I : Pasrah sudah sama keadaan. Karena mau ngapa-ngapain sudah nggak bisa.
P : Harapan terbesar sebagai mantan pecandu narkoba?
I : Harapan yang terbesar ya kalau kita bisa bilang ya kita mau kembali ke
masa lalu ya sudah nggak bisa, kalau mau bandingkan dulu dengan sekarang.
Misalkan dulu kita punya pekerjaan, jadi pengusaha yang berhasil dibalik
dengan sekarang di mana kita melayani dengan penghasilan kecil yang di
mana kebutuhan hidup sehari-hari itu sangat besar. Tapi di satu sisi dengan
apa yang saya jalani di tempat ini (yayasan) harapan saya yang terbesar
adalah sekarang bagaimana bisa menjadi berkat bagi orang lain. Saya nggak
mikirin jadi orang kaya lagi, saya nggak mikirin bagaimana saya harus
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
hidup, ya saya cuma berusaha untuk menjadi berkat bagi orang lain.
P : Bagaimana perlakuan keluarga, teman, dan lingkungan waktu jadi pecandu?
I : Teman-teman itu tidak jahat ya, sebenarnya. Karena kita yang jahatin
mereka, akhirnya mereka menjauhi kita. Jadinya masalah itu ada karena
dari diri kita sendiri. Dan keluarga pun juga begitu; kapok atau takut sama
kita. Di dalam satu keluarga kalau ada satu orang dari keluarga kita pecandu,
semua keluarga pasti susah. Jadinya respon keluarga itu beda-beda. Ada
keluarga yang bisa cepat memaafkan, ada keluarga yang belum tentu bisa
memaafkan karena kita bikin mereka sakit hatinya itu sudah keterlaluan,
mungkin. Saya sendiri kalau mau dibilang pemulihan atau apa, dari keluarga
belum ada. Jadinya hubungan sama saudara saya sendiri juga masih belum
pulih karena masalah narkoba.
P : Sampai sekarang?
I : Sampai sekarang. Walaupun udah nggak pakai (narkoba) selama tiga tahun
ini, tapi mereka masih nggak percaya. Masih trauma, mungkin. Jadi harapan
saya ke depannya ya, kita semua pecandu berharap bahwa hidup kita ada
pemulihan. Kita nggak bisa minta mau kembali ke masa lalu. Tapi paling
tidak, yang saya harapkan hubungan saya sama saudara bisa pulih, lah. Bisa
seperti dulu lah.
P : Sudah pernah bertemu lagi dengan keluarga?
I : Saya ketemu sama keluarga... keluarga saya kan di Gading Serpong.
Bapaknya Monika (keponakan) kan kakak saya.
P : Monik pernah ke sini?
I : Monika ke sini kadang-kadang aja sih, kalau pas ada mama saya datang.
Ya seperti itulah. Saya tidak menyalahkan dia sebagai keponakan kenapa
nggak mau jenguk saya. Tapi ya itulah kenapa kalau kita udah jadi pecandu
narkoba, kadang-kadang orang untuk memandang kita itu sulit. Jadi ya saya
sendiri, hubungan saya dengan bapaknya Monika juga masih seperti itulah.
P : Adakah julukan untuk Anda dari masyarakat?
I : Kalau dari lingkungan saya di sini sih nggak ada. Kalau di Lombok
mungkin orang bisa bilang saya bangsat lah, bajingan lah. Kalau di sini kan
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
istilahnya saya mulai hidup baru, begitu saya di Jakarta, saya langsung
masuk rehab ini. Jadinya saya nggak pernah bersosialisasi dengan
lingkungan luar. Bersosialisasinya sama orang-orang di sini aja. Jadi saya
jalani program di sini dari awal sampai sekarang, dari residen sampai jadi
staff.
P : Jadi di Lombok sudah banyak orang yang tahu tentang background Anda?
I : Di Lombok sudah banyak orang yang tahu. Hidup saya di Lombok kan
dari lahir tahun 1976 sampai terakhir keluar dari Lombok tahun 2011.
P : Bagaimana perasaannya ketika dijuluki seperti itu?
I : Kita juga nggak bisa ngomong, ya. Orang mau maki-maki ya udah kita
terima aja. Paling kita juga udah nggak berdaya, orang mau bilang apa ya
kita nggak bisa. Tapi waktu kita pegang uang orang, ketika orang kasih kita
kepercayaan, kita sendiri sadar bahwa ini kita pinjam duit orang nih. Tahu
nggak bisa balikin (uangnya). Tapi keinginan kita untuk memakai sabu
akhirnya rasa takut itu kita buang. Walaupun kita sudah tahu nih, habis kita
pakai duitnya, kita tahu nih kita nggak bisa balikin. Kita tahu akan jadi
masalah, kita nggak bisa pedulikan itu.
P : Apa tindakan Anda saat itu?
I : Tindakannya, saat mereka nyari, kita nggak mampu ya sudah kita
menghindar saja. Begitu kita menghindar, makanya banyak orang yang
mengatakan bahwa pecandu itu seorang pengecut. Nggak pernah berani
menghadapi apa yang diperbuat. Karena ketakutannya seorang pecandu itu
kan karena kita nggak bisa menghadapi, nggak bisa menyelesaikan masalah
yang kita buat. Tapi kita suka cari masalah. Kalau orang-orang yang normal,
disuruh hutang misalnya, saya mau pinjam duit buat apa harus jelas dulu.
Nanti saya kembalikannya juga harus jelas. Kalau pecandu nggak mikirin
itu. Yang penting dapat. Urusan kembali nggak kembali itu belakangan lah.
Paling yang jelek ya nama baik aja lah.
P : Apakah pernah dikucilkan dalam pergaulan?
I : Kalau dikucilkan itu sudah pasti. Dalam kategori tidak dianggap lagi lah,
di masyarakat. Dalam masyarakat di lingkungan orang-orang yang tahu ya,
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
kalau kita pakai (narkoba), mereka pasti mengucilkan. Tapi untuk mereka
yang tidak tahu, ya mereka biasa-biasa aja lah.
P : Anda sendiri bersikap terbuka atau tertutup dengan orang lain?
I : Kalau saya dulu tertutup sama orang lain. Di saat saya jadi pecandu saya
tertutup. Di saat saya sudah menjalani proses pemulihan di sini, saya terbuka.
Kalau disuruh bersaksi pun saya akan memberikan kesaksian. Buktinya
bahwa tidak ada yang mengatakan bahwa narkoba itu adalah suatu hal yang
baik buat diri kita kan nggak ada. Karena ada orang-orang tertentu yang
mengatakan kalau orang itu punya penghasilan Rp 50 juta atau sampai Rp
100 juta lah, mungkin di Jakarta ini ada yang sampai Rp 100 juta-Rp 200
juta, mereka punya penghasilan segitu ya nggak akan habis. Mereka akan
tetap kuat. Mau pakai sabu sampai kapanpun mereka akan kuat. Karena
kalkulasinya sabu-sabu sekarang harganya Rp 1,5 juta satu gram. Kalau dia
pakai setiap hari satu gram, anggapannya Rp 45 juta. Kalau dia ada
simpanan, pengeluarannya bisa Rp 100 jutaan. Kalau dia penghasilannya
Rp 200 juta kan dia masih bisa hidup. Sedangkan saya dulu punya
penghasilan sekitar Rp 60 juta-Rp 70 juta lah sebulan. Tapi pengeluarannya
tiap bulan 100 juta, 100 juta, 100 juta akhirnya lama-lama, perlahan tapi
pasti habis.
P : Bagaimana dengan sikap orang lain terhadap Anda?
I : Kalau orang yang tidak saya kenal, ya mungkin mereka nggak banyak
masalah sih, kalau mau terbuka atau nggak terbuka. Tapi kalau orang yang
kenal sama kita, itu ada dua pandangan. Yang satu motivasi untuk
membangun, yang satu untuk menjatuhkan kita. Kalau yang membangun itu
jadinya ada orang-orang yang mengatakan bahwa 'sudahlah, stop pakai
sabunya, usaha lagi yang benar atau apa'. Tapi kadang orang-orang seperti
itu justru kita—saya manfaatin. 'Oh lu pingin gue benar ya udah kalau gitu
bantu modal lah'. Saat mereka bantu modal akhirnya kesempatan itu kita
sendiri yang hancurkan. Begitu dipercaya ya udah, begitulah sikapnya kita.
Bukannya kita malah benar-benar kerja, malah kita manfaatkan kesempatan.
Nah kalau buat orang-orang yang sudah kepalang jengkel sama kita, itu
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
sudah nggak ada kata-kata motivasi lagi. Yang ada sudah seperti orang mau
makan orang aja.
P : Anda merasa minder waktu diperlakukan seperti itu?
I : Waktu itu merasa sangat sangat minder sekali. Kan posisinya kita—saya
sih posisinya bukan asalnya jadi pecandu, ya. Maksudnya saya dulu bekerja,
sudah punya hasil, sudah jadi orang sukses, nah bayangkan lah dari orang
sukses yang orang lain lingkungan sekitar lihat bahwa kita bisa dipercaya
lalu tiba-tiba tidak bisa dipercaya, mau bagaimana? Termasuk mau ke gereja
pun juga malu. Belum pergi ke gereja pun sudah berpikiran jangan-jangan
orang-orang sekeliling tahu kalau saya bohong sana, bohong sini. Jadinya
untuk ketemu orang pun sudah nggak ada keberanian. Karena sudah
berasumsi dulu. Jangan-jangan bobroknya saya mereka sudah tahu semua.
Karena kita tinggal di daerah, ada berita apa gitu kan cepat (menyebar).
P : Setelah 'bersih' apakah sudah pernah melamar kerja lagi?
I : Saya setelah bersih dari sabu-sabu ya sekarang ini. Saya nggak lamar
kerjaan. Jadinya saya mengambil keputusan bahwa program di sini kan 15
bulan untuk yang bisa married, jadi saya memutuskan bahwa saya tidak
keluar tapi saya melayani di sini. Jadinya kerjaan saya sekarang di
Breakthrough ini, sebagai pekerja sudah bukan sebagai residen.
P : Bagaimana program di yayasan ini bisa membantu pemulihan?
I : Kalau program di sini semuanya kembali lagi kepada diri sendiri. Kalau
kita bilang program itu bukan berarti menjalani rehab pasti pulih, bukan.
Pecandu ini sudah menjadi penyakit yang harus kita lawan seumur hidup.
Karena sewaktu-waktu dia akan bisa muncul. Misalnya kalau kita suka
makan udang saos kecap misalnya, terus tiba-tiba kalau kita nggak ada duit,
ya kita nggak makan udang itu. Tapi jika kita ada rezeki lebih, kadang-
kadang kita berpikir, 'makan udang saos kecap enak kayaknya nih ya'. Jadi
pecandu itu seperti itu. Tidak ada patokan orang itu bisa pulih. Orang yang
sudah lama (bersih) pun bisa jatuh lagi. Itu semua tergantung hubungannya
dia sama Tuhan. Jadinya bukan berarti saya sudah tiga tahun di sini berarti
keluar dari Breakthrough nanti bisa kuat lagi di luar, belum tentu. Bisa jadi
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
yang satu bulan dijalanin di tempat ini terus mereka kabur, pulang, bisa jadi
kuat. Nggak ada patokan, jadinya relatif semua. Kita nggak bisa ngomong
makin lama dia di tempat rehab semakin baik, belum tentu. Bisa jadi yang
nggak pernah direhab pun ada kan yang bisa pulih.
P : Anda sendiri apakah pernah relapse?
I : Relapse sudah. Relapse waktu itu tahun 1997 sampai tahun 1999, tahun
2001 mulai lagi sampai tahun 2003, 2004/2005 itu relapse lagi, tahun 2007
sampai tahun 2009 itu relapse lagi. Bolak-balik relapse.
P : Ketika di yayasan?
I : Pas di sini udah nggak ada. Di sini kita semua clean, sudah. Saya sudah
putus dari rokok, narkoba.
P : Hubungan dengan keluarga sekarang? Apakah keluarga mau menerima?
I : Saya sama mama saya hubungannya sudah pulih, tapi saya juga percaya
sama Tuhan bahwa satu-satu lah. Pasti Tuhan pulihkan. Karena saya pakai
sabu-sabu itu dari tahun 1997 sampai tahun 2011 kan bukan waktu yang
pendek, jadi saya berpikir ya, ini pun jalan tahun yang ketiga. Yang jelas
paling nggak sudah berpikiran positif lah. Paling nggak saya juga sudah
merasa tenang menghadapi orang, saya udah nggak takut lagi karena saya
merasa yang saya jalani ini adalah suatu hal yang benar. Nggak ada
ketakutan lagi, nggak ada kesalahan yang saya perbuat, jadi nggak ada yang
perlu saya takuti.
P : Waktu jadi pecandu apa pernah bertemu orang yang berniat membantu?
I : Kalau jadi pecandu, yang mau bantu banyak. Tapi kita sendiri yang nggak
bisa lawan diri sendiri. Yang mau bantu, yang mau lihat kita pulih itu banyak
sebenarnya. Cuma kadang-kadang kita sering ngomong, 'kamu nggak usah
urus urusan saya lah. Ini uang saya, hidup saya'. Kadang ada orang yang
mau bantu, kita nggak suka. Karena saat itu kita masih merasa mampu.
Jadinya karena merasa masih mampu, ya ini hidup saya, dunia saya. Orang
lain nggak usah urus lah. Banyak yang mau lihat kita membaik. Tapi kita
sendiri yang membohongi diri sendiri. Jadinya kadang-kadang kalau kita di
kalangan orang-orang baik, kita menutup diri bahwa kita bukan seorang
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
pecandu. Walaupun mereka bilang, 'masa kamu nggak pakai?', 'nggak,
sumpah! Saya nggak pakai.' Kadang kita nggak mau ngaku juga di depan
orang-orang yang 'benar' (bukan pecandu). Istilahnya jadi orang munafik
lah, yang bermuka dua. Kita tahu kapan kita harus menempatkan posisi kita,
tergantung orang (lain) kondisinya gimana, ya kita ikutin arus aja. Saat kita
ketemu orang-orang yang 'benar', ya kita belagak 'benar'. Jadinya bukan jadi
diri sendiri, sebenarnya. Saya membohongi diri sendiri.
P : Orang yang membantu itu biasanya dari pihak keluarga?
I : Akhirnya kalau yang bantu itu toh dari keluarga. Karena pecandu itu
sebenarnya masalahnya kita sering menyalahkan keluarga. Tapi akhirnya
kalau kita mau berpikir, balik lagi, yang bisa membantu kita itu sebenarnya
keluarga. Karena di sini kebanyakan (yang bantu para pecandu) dari
keluarga. Kalau yang nggak punya orang tua, biasanya cicinya, kokonya
yang bantu. Tapi ada yang dibantu sama cici/kokonya, hubungannya sama
orang tuanya malah nggak baik. Kalau saya kebalik; hubungan saya sama
orang tua sudah baik, tapi sama kakak masih belum. Mereka semuanya
butuh waktu lah.
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
Transkrip Wawancara Informan 3
Nama informan : Nakirewa Siregar
Lokasi Wawancara : Yayasan Breakthrough Mission
Tanggal Wawancara : 4 Juli 2015
Pukul : 17:19
P : Boleh cerita dulu tentang asalnya dari mana, lahir di mana—biodata.
I : Nama saya Nakirewa Siregar, lahir saya Solomon Island (pertengahan
Australia dengan Papua, negara kepulauan), 1 Januai 1990. Saya asli Medan;
papa saya Batak, mama saya orang Solomon Island.
P : Pindah ke Jakarta?
I : Saya nggak pindah ke Jakarta. Jadi, ini rehabilitasi saya yang kedua. Saya
dulu rehab di Medan, karena kasus narkoba juga. Dan saya pakai narkoba
dari umur 14 tahun, kecanduan umur 15 tahun sampai umur 22 tahun... eh,
23 lah. Umur 23 saya niatin masuk rehabilitasi atas dasar kemauan saya
sendiri. Saya masuk rehabilitasi, dan dengan posisi yang nyaman, posisi
yang comfort, saya diundang dengan posisi saya sebagai counselor adiksi
Sumatera Utara, saya diundang mewakili Sumatera Utara, mengikuti rapat
BNN dan KPA di Jakarta dari Sabang sampai Merauke, jadi kayak
perwakilan Sumatera Utara. Saya ikutin rapat itu. Memang ya, namanya
juga pecandu, ada mereka yang yah tobat-tobat kumat lah. Ada mereka yang
pakai lagi di kamar mandi, ikut rapat, terakhir saya jatuh di sana. Hari
pertama saya sampai sana saya jatuh, saya pikir daripada saya jatuh pelan-
pelan, toh langsung saya pulang ke Medan dites urin, saya pikir “basah
kuyup” aja sekalian. Saya pakai habis-habisan, pesta sabu habis-habisan.
Begitu hari terakhir saya mau keluar dari hotel mau ke airport, saya ditarik
polisi. Saya dijebak, ditangkap polisi di jalan, di dalam taksi. Surat-surat
kecanduan saya semua ditarik. Mereka nggak netapin saya sebagai pecandu,
mereka netapin saya sebagai penyalahguna plus kurir karena ada narkoba di
kantong saya dan posisi saya dalam taksi. Saya dikenai dua pasal, dengan
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
ancaman—terakhir pas pengadilan saya pikir bahwa 'yah, saya dijebak', si
pengadilan memutuskan saya hampir—vonis, sih, 6 tahun 8 bulan, terakhir
pas keputusannya ya saya bisa direhabilitasi. Itu sih karena mama saya juga,
sih. Mama saya di belakang, diam-diam 'ya, coba nego'. Saya pikir ya saya
nggak bakalan nyuruh mama saya untuk tebus. Saya bilang, 'ya udah ma,
biarin aja saya dalam. Saya jalanin aja. Ini yang Naki dapatin' karena
kepercayaan keluarga pada saat itu tahu keluarga saya dari rehab, saya yang
udah direhab satu, kepercayaan keluarga udah top sama saya. Begitu dengar
saya pakai lagi, saya ketangkep, jebrat abis semua. Saya direhab di sini
dibawa—dijemput dari Salemba, staff dari sini jemput saya, sekarang sudah
dua tahun sudah selesai program dan keputusan pengadilan juga saya sudah
selesai masalah hukum selama satu tahun, dan saya putusin untuk tetap
tinggal di dalam (yayasan) juga, karena saya belum ada kegiatan di luar, dan
kedua saya takut jatuh lagi. Dan mama juga merestui saya untuk kembali ke
luar lagi.
P : Waktu itu memang dijebak?
I : Iya, jadi... gimana ya. Saya punya teman pakai, saya punya... yah, pas kita
pesta itu ada yang jebak saya. Dia bilang, 'udah bawa aja sisa sabunya'. Saya
ngelihat soalnya, yang nangkap saya ini sebelumnya saya lihat dia bicara-
bicara di lobi. Sama ini orang, orang yang sama. Pas saya keluar mau beli
minuman, saya mau keluar sama teman saya mau beli minuman, begitu saya
balik ke lobi teman saya bilang, 'buser tuh. Kelihatan dari sepatunya.
Sepatunya pakai sepatu sporty gitu gak pakai kaos kaki! Iya tuh, buser tuh!'
Saya pikir ya... 'alah!' Saya gara-gara nyabu doang, saya jadi lupa. Karena
kan stimulan, mempercepat detak jantung, saya udah happy aja, udah
percaya diri aja. Begitu saya pulang, saya dikasih dia (sabu-sabunya) saya
lupa. Saya bawa aja (sabu-sabunya). Yah, nggak nyampai 15 menit tiba-tiba
dua Avanza satu Kijang cegat saya di depan langsung berhenti. White Horse
diberhentiin, langsung saya—'Buka! Buka pintunya!' Waduh, saya mikir. Di
Gajah Mada. Begitu saya pulang, nggak nyampai 15 menit lah. Koper saya
langsung diambil, saya tensinya minta ampun, di pinggir jalan di angkat
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
tangan, badan diperiksain, langsung didapat narkoba itu.
P : Gara-gara apa jadi pecandu?
I : Saya sendiri, sih. Kalau dulu saya bilang karena keluarga tapi setelah saya
pikir-pikir, setelah saya di sini, ya karena emang dasar saya sendiri yang
memang pengen coba. Saya punya 'kepahitan', saya sakit hati. Papa saya
meninggal di hari ulang tahun saya. Pagi-pagi, lagi. Begitu saya melek mata
udah—aduh, suasan udah beda. Papa saya meninggal, dan nggak ada satu
orang pun yang ingat hari ulang tahun saya. Bahkan mama saya sendiri
nggak ada bilang happy birthday. Waktu papa saya meninggal, saya nggak
ada nangis. Saya bahkan duduk dekat jenazahnya saja pun—arkh! Saya
coba lempar batu, 'ma ini tanggal berapa ya?' 'Tanggal 10, gini gini gini.'
Nggak ada yang ingat, gitu. Abang saya juga nggak ada yang ingat.
Keluarga saya nggak ada yang ingat. Wah parah, saya diabaikan nih. Udah
terjadi seperti inilah (papa meninggal), nggak ada yang ucapin saya ulang
tahun, saya pikir dunia nggak adil. Yah, saya lihat teman-teman saya pada
senang-senang hidupnya. Bahkan bapak mereka itu adalah mafia. Preman-
preman. Tapi mereka bisa senang gitu. Saya langsung mikir, 'kok bisa? Apa
yang bisa buat mereka seperti itu?' Narkoba; ganja. Saya coba tiga kali,
nggak ada—nggak ada rasanya. Tapi 4-5 kali di situ saya dapat rasanya.
Saya bisa ketawa-ketawa, saya bisa happy, saya pikir masalah itu udah
nggak ada. Wah! Udah, bebas. Ternyata salah. Dari ganja naik ke sabu-sabu
sampai ecstasy.
P : Waktu itu sadar nggak kalau narkoba itu salah?
I : Waktu saya pertama kali pakai nggak ada pikir narkoba itu salah. Banyak
iklan-iklan di Tv orang pakai narkoba, pakai suntik, berbusa, matanya—
saya sempat mikir bahwa, 'ih! Tapi ini nggak disuntik kok. Ini rokok doang.'
Coba, coba, coba, coba, coba... Yah ternyata bahayanya kalah sama
nikmatnya pas saya pakai! Lebih besar nikmatnya daripada bahayanya pas
saya pakai.
P : Jadi tergantung sama narkoba?
I : Iya. Jadi saya abuse itu dari umur 14 tahun sampe 15 tahunan gitu lah.
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
Umur 16 saya udah ketergantungan, jalan 17 tahun saya coba ke sabu-sabu,
dan abuse, abuse, abusse, abuse, abuse sampe setahun, saya dipanel
kecanduan sama sabu-sabu. Jadi saya addicted-nya minta ampun, kalau
nggak ada sabu-sabu saya bisa... parah. Bisa sensi, bisa—waduh, gelisah,
nggak enak. Kesel, emosi, temperamen.
P : Dorongan untuk pakai narkoba waktu itu karena rasa gelisah?
I : Yang buat saya tetap pakai?
P : Iya.
I : Iya. Sampai-sampai saya bisa seperempat gram, kalau pecandu bilang
seperempi—rambutnya sampai jigrak rasanya—sampai ujung-ujungnya
satu gram satu hari. Bahkan hampir satu gram setengah satu hari. Untuk
saya sendiri. Kalau misalnya satu gram setengah untuk saya have fun doang.
Bisa saya... ya, misalnya jam enam pagi saya pakai sampai jam empat/lima
subuh lah saya baru bisa tidur.
P : Pernah ada motivasi untuk berhenti?
I : Dulu rehab saya pertama saya motivasi sendiri. Saya pikir, saya pernah
coba berhenti, tapi toh seminggu doang—nggak nyampe seminggu lah,
enam hari lah. Lima/enam hari. Ya terakhir saya pakai lagi sama teman-
teman. Saya pikir bahwa, saya nggak bisa berhenti sendiri, dan saya butuh
sarana rehabilitasi. Saya ngomong ke mama saya. Mama saya pikir, pertama
kali saya ngomong, mama saya bilang, 'kamu lagi mabuk?' 'Nggak, ma,
memang Naki pengen berhenti. Naki sadar Naki salah. Naki udah bosen.'
Berantem melulu Naki sama mama. Mama musti capek juga pasang tiga
gembok di kamar mama. Kalau duduk jarak lima meter aja mama saya
pegang tas. Tasnya dipegang bener. Handphone aja nggak diletak di meja,
dipegang tangan. Sampai separah itu. Saya sampe mikir bahwa, hubungan
gua udah rusak sama keluarga. Dan ya, saya mikir ya udahlah. Musti direhab
karena saya mau berubah. Yah itulah. Seiring berjalannya waktu jatuh lagi.
P : Gara-gara apa kok tasnya (mama) sampai dipeluk?
I : Karena kepercayaan udah nggak ada, gitu. Demi mencukupi kebutuhan
kecanduan saya, yang satu hari tu dua juta. Satu hari dua juta ya mau nggak
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
mau saya musti ngebom rumah, iya dong. Gas saya curi, mobil saya gadai,
motor saya gadai. Apapun segala sesuatu yang bisa saya jadikan duit akan
saya jadiin duit. Sampai berapa kali handphone adik saya—letak, ambil, jual,
ambil, gadai, ambil gadai. Motor gadai, semua gadai, sampe pernah
sertifikat rumah saya gadai. Sampe mama udah—waduh, udah benar-benar
hands up (menyerah). Sampe saya mau diproses di kepolisian sama mama.
Demi mencukupi kebutuhan (kecanduan) saya tadi, gitu lho. Makanya juga
banyak pecandu-pecandu yang lain merampok di luar, karena di rumah udah
habis! Untung saya nggak sampe seperti itu, untung saya masih... ya, masih
bisa terkontrol lah. Kalau saya mikir, ya bagus ngancurin rumah sendiri.
Mungkin kalaupun rumah saya udah hancur, udah nggak ada apa-apa, kalau
bisa saya jangan keluar, gitu lho. Karena saya mikir kan yang pakai narkoba
kan saya, kenapa orang lain mesti susah? Bukan keluarga saya, kalo misal
keluarga saya sendiri ya wajar lah karena saya masih pakai narkoba. Tapi
kenapa orang yang bukan keluarga saya mesti susah? Apakah adil? Waktu
itu saya mikirnya gitu, sih. Lebih bagus gua nyusahin diri gua dan keluarga
gua sendiri, jangan sampe kena orang lain juga.
P : Keluarga waktu Naki jadi pecandu bagaimana perasaannya?
I : Waduh, susah. Susah. Selama saya di Medan pertama kali di kantor polisi...
susah, susah. Mama saya... parah. Saya pernah akibat saya pakai (narkoba)
tuh saya koma satu bulan di rumah sakit. Pakai selang (memeragakan
pemasangan selang di mulut) karena habis kecelakaan. Karena saya pakai
(narkoba). Habis saya pakai (narkoba), saya main-main sama teman. Pas
saya pakai (narkoba) saya free gitu. Saya plong apalagi kena angin kencang
gitu ya, makin plong. Saya naik Ninja, kencang—ngeeeeeng... Blar! (meniru
suara motor dan suara motor tabrakan.) Kecelakaan. Lari 160 km/jam.
Motor tuh kalo orang lihat aja orang mikir bahwa saya udah mati. Dari
depan—dari ban sampe ke tengki, setengah tengki, hancur. Orang mikir
bahwa udah mati itu, eh ternyata enggak. Tuhan masih sayang sama saya.
Saya hancur, ini ada bekas jahitan, tulang rusuk saya patah, kepala saya
hancur, kaki saya hancur—ini sepaha hancur. Mata juga setengah doang
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
dulu hitamnya yang di sini (menunjuk ke mata kanannya). Kalau saya lihat
ke bawah gini dia (bola mata) naik ke atas. Kalau saya lihat ke atas dia turun
ke bawah—ikutin gravitasi bumi doang, nggak bisa ke tengah. Dokter
syaraf mata bilang, 'Nakirewa, udah impossible buat kamu untuk sembuh—
mata kamu.' Saya pikir, waduh, hancur. Saya masih muda, gimana ini mata
saya. Akhirnya ya, Tuhan masih sayang sih sama saya. Saya terapi, terapi,
terapi, terapi, dua tahun saya sembuh. Dan ya, tapi ya saya udah satu bulan
koma juga, sudah hampir dua bulan saya keluar dari rumah sakit, tangan
masih sakit, kiri aja saya masih pakai tongkat (saat itu). Saya masih
konsumsi sabu. Teman-teman datang bukannya bawain buah, malah pakai
(narkoba).
P : Di RS itu?
I : Di rumah sendiri, saya udah keluar dari rumah sakit. Kalau di rumah sakit
mungkin sangat berat karena kan ada mama saya. Kalo di rumah saya telpon
mereka, 'Hey rumah gua kosong, datang!' Datang... pakai (narkoba). Dalam
kondisi begitu aja saya masih kepengen gitu lho untuk pakai (narkoba).
P : Teman-teman ada yang masuk sini (yayasan)?
I : Teman satu pakai yang dulu? Ada dulu satu regen. Sempat sih dulu...
kayaknya sih sempat. Nggak tahu, ya, saya jumpa dia di sini karena lihat
gendutnya doang. Dan udah lama juga saya jumpa sama dia sebelum saya
masuk rehab. Jadi tongkrongan yang pakai sabu itu, teman-teman yang dia
tiap hari pakai sabu, teman-teman saya juga pakai sabu. Pas dia nunjukin
saya foto lama, saya ngelihat, 'ini orang nggak asing.' Dia bilang, 'kamu
yang ini?' 'Iya, saya yang ini.' Kayak masih rada-rada nggak ingat. Kalau
menurur saya sih kita pernah pakai (narkoba) bareng. Saya punya foo sama
dia, gitu lho. Dan nggak sengaja ketemu di sini doang.
P : Bagaimana pandangan Naki terhadap pecandu lain? Apakah menganggap
negatif?
I : Saya nggak pandang negatif. Karena saya pikir, ya okelah. Saya ya nggak
mandang negatif kalau sama-sama pecandu. Ya saya mikir, 'ya, wis. Orang
saya juga pecandu, kita sama-sama pecandu, ya udah apa boleh buat?'
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
P : Lebih simpati?
I : Lebih simpati gitu. Malah lebih klop, gitu lho. Karena sebelum saya
dipulihkan juga saya kan bergaulnya sama pecandu. Teman-teman saya
yang sama-sama pecandu, bukan orang baik.
P : Dulu apakah suka menyalahkan diri sendiri? Atau menyalahkan orang lain?
I : Wah, blaming ke orang lain. 'Ini semua gara-gara papa, ini semua gara-
gara mama.' Beberapa kali saya, di beberapa sekolah, saya mesti ngejalani
sembilan SMA! DO (drop out), DO, DO, DO—naik, pindah, naik, pindah—
DO, DO, DO, DO. Kebanyakan gara-gara narkoba, berantem. Saya pertama
masuk SMA saya langsung ngomong, 'Ini semua sebenarnya gara-gara lu
orang!' Saya ceritain isi hati saya. 'Lu orang nggak ada yang gini gini gini
gini... Lu orang nggak nginget ya gua. Tapi kalo mama nginget abang kan,
selalu? Nginget adik kan, selalu? Aku nggak pernah mama ingat. Padahal
Naki ya prestasi nggak kalah jauh sama mereka (abang dan adik). Naki baik,
Naki turutin semua; les piano, prestasi. Tapi apa yang Naki dapet?' Mama
saya ya, 'ya maaf, gini gini gini.' Saya mikir... mama saya udah berapa kali
minta maaf sambil nangis-nangis sama saya. Mama saya sampe bilang, 'kan
itu kan kita posisi lagi genting. Jadi lupa kan semua karena memang papa
meninggal.' Memang mereka ucapin sewaktu papa udah dikebumiin, gitu
lho. Itu kan pada hari ulang tahun saya. Tapi nggak ada yang ngomong, 'eh
kamu ulang tahun ya!' Terus saya bilang, 'kenapa nggak ada yang ingat
ulang tahun saya?' Berapa kali saya mesti ngomong ke mama, 'ma, mama
tahu nggak tanggal sekian?' 'Tahu,' 'tapi mama nggak ada respon apa-apa.'
Berapa kali saya “lempar bola”, tapi nggak ada bilang apa-apa. Saya sampe
nangis, tapi saya pikir... ya, saya masih nggak bisa nerima, gitu lho
permintaan maaf mereka. Jadi ya saya mikirnya ya, 'saya begini gara-gara
lu orang. Ya lu orang terima lah akibatnya. Tapi kalo lu orang nggak mau
terima akibatnya ya udah saya masih bisa hidup sama diri saya yang seperti
ini', gitu.
P : Waktu pindah-pindah sekolah itu di Medan?
I : Waduh, di Medan. Terakhir saya pindah jauh dari Medan, Pekanbaru, tapi
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
juga... malah di Pekanbaru saya lebih parah. Di Pekanbaru dua hari saya
langsung ketemu. Langsung dapat kos, dapat sekolah, sudah jelas, langsung
masuk, hari pertama masuk hari kedua teman-teman langsung nawarin
pakai (narkoba).
P : Orang-orang sana, masyarakat di lingkungan sana tahu nggak kalau Naki
itu (waktu itu) pecandu?
I : Tahu. Sampe nama keluarga jadi jelek gara-gara saya. Karena kan saya
background-nya papa saya—mendiang papa saya seorang pendeta. Saya
juga sempat melayani musik di gereja bersama abang saya. Ya hancur semua
ketika mereka tahu kalau saya makai (narkoba). Ya... ada komunitas yang
coba merangkul saya. Tapi saya menjauh, gitu lho. 'Lu orang nggak tahu
siapa saya, lu orang nggak ngerti saya siapa.' Kadang juga merasa minder,
gitu lho. 'Ya, saya kan pecandu. Lu kan orang baik-baik, masa iya lu mau
temenan ama gua,' saya berpikirnya sampe seperti itu.
P : Jadi masyarakat mengucilkan atau nggak kalau seperti itu?
I : Dulu saya sempat di-support, ditarik sama masyarakat; 'udah Naki, kamu
main di sini,' sampe anaknya disuruh terus main sama saya. Tapi keputusan
kan ada di tangan saya, saya tetap pada keputusan saya seperti yang pertama;
bergaul sama pecandu dan tetap menjadi pecandu. Akhirnya masyarakat
mengucilkan saya, 'jangan bergaul ama dia, jangan bergaul ama dia.'
Masyarakat pada ngecap saya seperti itu.
P : Perasaannya waktu diperlakukan begitu?
I : Saya bodo amat! Toh juga karena saya diperlakukan sama tetangga saya,
'ih pecandu gini, gini, gini. Ih awas, pecandu pecandu.' Saya bilang, 'anak lu
juga nggak nggak nggak—nggak apa, nggak baik-baik amat! Mungkin gue
kecanduan narkoba, siapa tahu anak lu kecanduan ama seks. Saya pingin
tahu sih anak lu.' 'Anak saya mah baik-baik! Nggak kayak kamu! Sekolah
rajin-rajin.' 'Sekolah rajin-rajin toh nggak pernah dapat prestasi, untuk apa?'
Saya gituin aja. Emang saya jahat, jahat tapi ya... Kalo bisa dibilang ya,
selama saya bandel juga prestasi tetap ada gitu lho. 'Biarpun gua makai
(narkoba) gua bisa dapat ranking nih. Dapat sampe tiga besar. Bandar lho,
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
pemakai (narkoba) lho! Makai ganja, makai sabu. Masih dapat prestasi,'
saya bilang gitu. Mereka pada diam aja, bilang, 'ish awas pecandu, ish. Awas
lu jangan main-main ama dia!' Sampe ada anaknya dimarahin gara-gara
main ama saya. Terakhir kali tetap anaknya batu, mau main ama saya. Saya
sendiri yang ngomong, 'ntar lu—nyokap lu ngomong-ngomong lagi. Ntar
lu-nya yang jadi sakit hati sama gua.' Saya gituin aja.
P : Waktu itu gimana? Tetap main?
I : Tetap main.
P : Ada pengalaman yang nggak enak waktu jadi pecandu?
I : Yang nggak enak... waduh, saya pernah sampe tidur di jalan. Pernah sekali
tidur di jalan sampai... hampir satu minggu.
P : Kapan itu?
I : Selama saya di Pekanbaru. Jadi, saya ketangkap basah sama yang punya
kos, kita ada pesta sabu di dalam. Saya diusir. Terakhir ya saya nggak coba
ngomong sama teman-teman saya. Saya coba telpon ke mama saya, mama
saya bilang, 'ya udah kamu rasain.' Mama saya coba gituin saya. 'Wah, ya
udah lah ma.' Satu minggu saya tidur di jalan. Di pinggir jalan. Terakhir
teman saya sendiri sih yang datang jemput saya. Pas mereka lihat kok saya
nggak pernah masuk sekolah. Saya—terakhir saya jual handphone saya,
nomor saya nggak aktif lagi, cuma ke warnet doang. Main ke warnet, makan
cuma sekali sehari. Tiba-tiba teman saya lihat saya online dia langsung chat
ama saya, 'kamu di mana, kayak gini gini gini,' 'Saya di sini sini sini, saya
nggak pulang gini gini gini.' Teman sama-sama pemakai (narkoba). Tetap,
namanya juga pemakai. Tetap di rumahnya makai (narkoba) juga.
P : Itu pas umur berapa, ingat nggak?
I : 17—eh, 18, 18.
P : Ada nggak julukan yang sering dijuluki masyarakat?
I : 'Sampah lu!' gitu doang.
P : Perasaannya bagaimana waktu dijuluki seperti itu?
I : Kadang saya balas balik. 'Eh gue tahu lu berlian. Berlian yang nggak kejual,
lu!'
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
P : Kalau Naki sendiri bersikap terbuka atau tertutup ke orang lain?
I : Lebih bersikap terbuka, sih sebenarnya. Bukan nggak suka sih ya, nggak
bisa tertutup. Lebih suka terbuka gitu sama orang lain.
P : Kalau orang lain sendiri, sama Naki, bersikap terbuka atau tertutup?
I : Kadang mereka masih tertutup, sih. Tapi saya sih tetap terbuka aja. Kadag
mereka nanya, 'kamu gimana—', 'saya seperti ini, seperti ini, seperti ini.'
Saya keluarin aja, apa yang saya bener-bener rasain, apa yang saya alami,
gitu lho.
P : Hubungan sama keluarga udah membaik?
I : Sekarang? Waduh, jauh membaik. Jadi, saya punya adik yang cewek, yang
bahkan saya dulu direhab di Medan, selama satu tahun lebih sampe saya
dapat gelar counselor adiksi Sumatera Utara, adik saya... 'yah, dia (Naki)
mah gitu-gitu lagi.' Ya, benar! Adik saya nggak pernah mau ngunjungin saya
ke rehab. Tapi semenjak saya di sini, jadi saya satu tahun di tempat ini, saya
tiba-tiba ditelepon hari Jumat malam. Mama saya telepon. Saya dipanggil—
karena kan yang sudah satu tahun kita dapat privilege kita bisa keluar ama
keluarga, tetap didampingi sama pihak sini. Kita keluar makan, belanja
sama keluarga. Mama saya telepon, 'Naki, besok adik kamu datang ya.'
'Datang? Siapa?' 'Solin.' 'Ngapain?' 'Nggak tahu, mau datang aja ke situ,
kangen katanya ama lu.' Saya pikir, 'ah lu orang mah becanda-canda kali.
Ya udah.' Eh, beneran. Jam 10 pagi saya ditoak-in, 'untuk Nakirewa harap
segera ke office sekarang. Keluarganya datang.' Begitu saya lihat, saya
nggak nyangka adik saya datang. Hal yang paling buat saya nggak nyangka
itu ketika adik saya datang dia peluk saya. Dia peluk saya dia cium saya.
'Bang, lu bagusan sekarang badannya gede sekarang. Lu bagusan, segar.'
Saya langsung diam. 'Hah? Iya, ya?' 'Iya.' Saya langsung mikir aja. Diam,
diam, diam. Saya ganti baju—saya naik ke atas (kamar), saya nangis! 'Kok
bisa ya?' Saya langsung mikir, 'kok bisa ya kayak gini? Masa benar sih bisa
kayak gini?' Saya nggak nyangka aja, gitu lho. Begitu adik saya nganterin
saya pulang, begitu dia mau terbang besoknya balik ke Medan, dia cium
saya. 'Bang, baik-baik lu di sini. Love you, bang.' Adik saya bilang, 'bang,
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
adik banyak kesalahan. Adik minta maaf ya.' Dia cium saya. Saya langsung
'ya ya ya'-in, saya sengaja suruh cepat pulang, tutup pintu. Alasan doang
saya mau tutup pintu karena saya udah nggak tahan lagi, begitu mereka
cabut, saya ke atas saya nangis aja di kamar. Wah! Bisa sampe gini, gitu lho.
Adik saya yang nggak mau tahu saya siapa, 'mau mati, mati aja dah lo!'
bicara aja nggak mau, lihat muka aja nggak mau gitu lho. Kok bisa?
Kemudian saya berpikir bahwa Tuhan itu memang ada, sih.
P : Udah lebih terima ya sekarang?
I : Iya, keluarga udah lebih terima. Mama udah lebih terima, keluarga udah
lebih terima.
P : Pernah ketemu orang yang berniat untuk membantu?
I : Sebelum saya masuk rehab pertama ya banyak. 'Udah lah, nggak usah.
Hidup hidup saya,' saya pikir, 'yang jalanin saya.' Saya nggak mau. Banyak
sih banyak, tapi saya nggak mau.
P : Siapa aja yang niat bantu?
I : Komunitas gereja. Mereka berniat bantu saya. Tapi saya nggak mau.
P : Apa harapan sebagai mantan pecandu narkoba?
I : Harapan gua sih, sampe sekarang ini yang sudah timbul semenjak
kejadian—banyak hal yang saya lihat dalam hidup saya, ya, flashback ke
teman-teman saya. Saya bisa menolong teman-teman saya pecandu narkoba.
Karena saya pikir, saya benar-benar kasihan sama hidup mereka. Saya sudah
dipulihkan. Sudah menjadi tanggung jawab saya untuk merangkul teman-
teman saya. Karena waktu susah juga, waktu saya pakai narkoba, saya pakai
sama mereka. Masa saya sembuh mereka nggak sembuh? Sudah menjadi
tanggung jawab saya. Yah harapan saya ke depannya sih dapat bantu mereka
gitu lho. Saya juga udah pernah ngomong sama opa, sama oma. Saya bilang,
'suatu saat Naki akan yah, bangun rehabilitasi lah.' 'Kenapa kok kamu
pengen?' 'Naki nggak fokus kepada dunia bisnis, segala macam. Karena
Naki mikir bahwa Naki punya teman, banyak orang-orang senasib sama
Naki. Yang dulunya senasib sama Naki, bahkan mereka sekarang lebih
parah dari Naki mereka patut ditolong. Karena kebanyakan rehabilitasi itu
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
ada uang, lu bisa masuk. Saya mikir bahwa, ya nggak semua pecandu ada
uang. Bagaimana mereka yang nasibnya berbeda? Mereka manusia lho.
Mereka bukan binatang. Apa mereka layak dibiarin gitu aja? Pernah—asli,
saya dengar, saya nggak sebutin nama. Salah satu petinggi polisi pas BNN
ngomong 'bagaimana dengan pemakai lem di jalanan?' Dengan gampang
tuh polisi ngomong, 'Biarin aja di situ. Ntar palingan mati sendiri kok.' Itu
polisi saja pun nggak peduli. Tapi ditanggapin orang-orang seperti itu. Saya
pikir, ya selayaknya lah manusia-manusia kayak gitu ditolong. Mungkin
teman-teman saya udah ada keluarganya yang buang mereka. Ya kasihan ke
merekanya. Karena saya pikir bahwa, nggak ada kata terlambat sih.
Makanya harapan saya ke depan ya saya bisa bantu teman-teman saya yang
senasib sama saya untuk sembuh.
P : Bagaimana cara program di sini (yayasan) membantu memulihkan?
I : Lewat saat teduh, dengan program-program yang ter-schedule, tersusun
rapi. Karena ketika saya sadari bahwa saya sembuh dari narkoba itu bukan
saya berhenti makai narkoba. Karakter saya mesti dikikis. Hidup saya yang
begitu sombong, egois saya begitu tinggi. Mesti dikikis melalui tempat ini.
Dan tempat ini sangat membantu saya mengikis keegoisan saya.
P : Pernah relapse nggak pas di sini?
I : Waduh nggak pernah. Otomatis kalo saya relapse, saya pasti balik ke nol
lagi. Sedangkan ngerokok aja saya bisa balik ke nol lagi. Untuk jatuh saja
sangat susah. Karena memang kadang ada pikiran pengen makai (narkoba).
Satu hal ya, kadang kalau—tips—saya kepikiran seperti itu saya langsung
berusaha ingat posisi saya di mana. Dan saya mesti lihat risiko saya makai
(narkoba), dengan posisi saya sekarang, hancurnya gimana. Keluarga saya
gimana. Terutama adik saya yang cewek udah gimana sama saya. Ya apa-
apa sih dia. Yang perjuangin saya selama ini. Terus terang kita 18 bulan
megang handphone mama saya masih nggak percaya sama saya. Kakak
saya yang pertama percaya sama saya. 'Biarpun mama nggak percaya sama
lu, dik, kakak akan kasih lu handphone.' Eh mama saya nego-nego sama
kakak saya. Kakak saya nggak bisa beliin saya handphone. Saya pikir, aduh
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015
bergumul, bergumul dah. Teman-teman lain pada pakai handphone, mama
saya takut saya kontek sama teman saya yang lama, saya bilang, 'ma, kalau
Naki pengen hancur, Naki kan nggak bisa pegang dompet. Kan ada deposito.
Naki bisa aja ambil itu deposito Naki pergi keluar, Naki pakai (narkoba) lagi.
Gampang kalo Naki mau hancur. Tapi terserah mama.' 'Iya mama masih
pikir belum waktunya,' segala macem. Adik saya tiba-tiba, nggak disangka-
sangka, adik saya nelpon. 'Kak kayaknya besok handphone lu nyampe ya.'
'Hah? Lu ngirim handphone?' 'Iya, saya nabung beliin handphone buat lu.'
'Yakin lu?' 'Iya.' Saya mikir bahwa... ya makanya yang jadi motivasi saya
sih adik saya. Adik saya bisa sampe seperti ini tuh udah di luar logika saya.
P : Pernah masuk ruang isolasi?
I : Empat kali saya masuk ruang isolasi. Pertama kali saya datang, kedua kali
gara-gara berantem, ketiga kali gara-gara berantem, keempat kali gara-gara
berantem.
P : Berantem gara-gara apa?
I : Ya, egois sih dulu masih zaman-zamannya klinik. Saya dua kali pas
posisi—saya mikir, 'wah gila lu suruh-suruh saya.' 'Ki tolong pel dong, Ki
tolong gini dong.' Saya ngepel, saya apa tiba-tiba masih kurang bersih pas
zaman-zaman saya dulu masih keras. 'Bro tolong pel ulang.' Waduh, 'lu
ngerai gua?' Terus berantem. Posisi saya udah jadi head juga. Itu yang
keempat kali saya berantem. Saya jadi head ya saya coba ngomong baik-
baik sama bawahan saya. Mereka nggak bisa nanggapin dengan positif, gitu
lho. Apa yang mereka tanggapin sama seperti apa yang saya tanggapin
ketika pertama kali berantem.
P : Jadi lebih gara-gara bawaan emosi ya?
I : Iya, lebih kepada emosi. Lebih sensitif.
P : Itu baru awal?
I : Iya pas baru masuk ke sini.
Konsep Diri..., Monika Dhita Adiati, FIKOM UMN, 2015