Download - makalah mikotoksin dan mikotoksikosis.docx
Makalah Mikrobiologi Pangan
MIKOTOKSIN & MIKOTOKSIKOSIS PADA PANGAN
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Mikrobiologi Pangan Yang Dibimbing Oleh
Ibu Retno Sasongkowati,S.Pd.,S.Si., M.Kes
DISUSUN OLEH :
SUSILA RUSDIANA DEWI P 27835112015
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN GIZI
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAAKANG
Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap makhluk hidup, termasuk
manusia, yang digunakan untuk pertumbuhan maupun mempertahankan hidup. Di sisi
lain, pangan juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan
mikroorganisme pada bahan pangan dapat memberikan efek yang menguntungkan,
seperti perbaikan gizi pada bahan pangan, daya cerna, ataupun daya simpannya. Namun,
pertumbuhan mikroorganisme juga dapat mengakibatkan perubahan fisik dan kimia yang
tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi.
Mikroorganisme yang dapat mengakibatkan perubahan yang tidak diinginkan
adalah mikroorganisme patogenik penyebab penyakit. Bahan pangan dapat bertindak
sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan
organisme lain penyebab penyakit. Makanan yang telah ditumbuhi mikroorganisme
patogenik ini dapat menyebabkan keracunan makanan ketika dikonsumsi. Keracunan
pangan didefinisikan sebagai gangguan yang diakibatkan termakannya toksin yang
dihasilkan oleh mikroorganisme tertentu atau gangguan-gangguan akibat terinfeksi
organisme penghasil toksin. Keracunan pangan atau foodborne disease (penyakit bawaan
makanan), terutama yang disebabkan oleh bakteri patogen masih menjadi masalah yang
serius di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang dibuktikan dengan seringnya
pemberitaan mengenai keracunan pangan akibat mengkonsumsi hidangan pesta, makanan
jajanan, makanan katering, bahkan dari pangan segar.
Masalah mikotoksin dan mikotoksikosis sangat penting di Indonesia mengingat
negara kitaini terletak di daerah tropis yang merupakan lingkungan ideal untuk tumbuh-
kembang segala jeniskapang. Namun demikian, tampaknya masih banyak pakar
kesehatan dan kedokteran yang belum tertarik atau menaruh perhatian pada bidang ini.
Pada umumnya dalam keadaan normal, kapang-kapang itu hidup secara saprofit. Akan
tetapi jikalau keadaan lingkungan sekitarnya berubah menjadi ideal, yakni suhu udara
baik, kelembaban cukup tinggi dan ada substrat yang cocok untuk ditumpangi, maka
kapang tersebut akan tumbuh-kembang subur dan memproduksi metabolit beracun. Bila
bahan yang tercemar itu termakan atau berkontak dengan kulit manusia atau hewan, maka
dapat menimbulkan keracunan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi mikotoksin dan mikotoksitosis
Mikotosin berati toksin yang dihasilkan oleh jamur, sedangkan mikotoksikosis
disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh jamur. Mikotoksin adalah istilah yang
digunakan untuk merujuk pada toksin yang dihasilkan oleh cendawan. Lebih lengkapnya,
mikotoksin didefinisikan sebagai produk alami dengan bobot molekul rendah yang
dihasilkan sebagai metabolit sekunder dari cendawan berfilamen dan dapat menyebabkan
penyakit bahkan kematian pada manusia, hewan, tumbuhan, maupun mikroorganisme
lainnya (Anonim, 2012)
Mikotoksin adalah metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies kapang
tertentu selama pertumbuhannya pada bahan pangan maupun pakan. Mikotoksin
merupakan kontaminan alami yang –memiliki dampak yang negatif tehadap keamanan
pangan dan pakan secara global. Mikotoksin adalah komponen yang diproduksi oleh
jamur yang telah terbukti bersifat toksik dan karsinogenik terhadap manusia dan hewan.
Kondisi lingkungan seperti temperatur dan kelembaban yang tinggi, infestasi serangga,
proses produksi, panen dan penyimpanan yang kurang baik akan menyebabkan tingginya
konsentrasi mikotoksin pada bahan baku pangan/pakan yang dapat menyebabkan
timbulnya wabah penyakit (Anonim, 2012)
Mikotoksikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh racun yang dihasilkan
jamur (mikotoksin). Jamur mudah tumbuh dimana mana yaitu: di tanah, materi organik
yang membusuk, biji-bijian dan kacang-kacangan. Kontaminasi jamur dapat terjadi saat
panen, selama transportasi, pada penyimpanan bahan baku ransum dan ransum jadi. Pada
dasarnya, semua jenis ternak dapat terserang Mikotoksin. Namun tingkat kepekaannya
bervariasi tergantung sejumlah faktor seperti : jeniskelamin, umur, bangsa, kondisi fisik,
status nutrisi, jumlah dan jenis Mikotoksin, konsumsiransum, lama serangan , tatalaksana
peternakan (sanitasi, suhu, kondisi udara, kelembaban,dll) dan infeksi penyakit
lain. Mikotoksin akan menurunkan kadar glikogen pada darah sehinngga menyebabkan
bertambahnya kadar gluokosa serum (Anonim, 2012)
Pada kasus keracunan akut, fungsi mitokondria terganggu. Terganggunya
metabolisme lemak khususnya dalam sistem pengangkutan dan eksresi lemak
menyebabkan fatty liver syndrome (Anonim, 2012)
2.2 Sejarah munculnya mikotoksin
Mikotoksin mulai dikenal sejak ditemukannya aflatoksin yang menyebabkan
Turkey X –disease pada tahun 1960. Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin,
lima jenis diantaranya sangat berpotensi menyebabkan penyakit baik pada manusia
maupun hewan, yaitu aflatoksin, okratoksin A, zearalenon, trikotesen (deoksinivalenol,
toksin T2) dan fumonisin. Menurut Bhat dan Miller (1991) sekitar 25-50% komoditas
pertanian tercemar kelima jenis mikotoksin tersebut. Penyakit yang disebabkan karena
adanya pemaparan mikotoksin disebut mikotoksikosis (Anonim, 2013).
Perbedaan sifat-sifat kimia, biologik dan toksikologik tiap mikotoksin
menyebabkan adanya perbedaan efek toksik yang ditimbulkannya. Selain itu, toksisitas
ini juga ditentukan oleh: (Anonim, 2013)
1. dosis atau jumlah mikotoksin yang dikonsumsi
2. rute pemaparan
3. lamanya pemaparan
4. spesies
5. umur
6. jenis kelamin
7. status fisiologis, kesehatan dan gizi
8. efek sinergis dari berbagai mikotoksin yang secara bersamaan terdapat pada
bahan pangan.
Dari lebih dari 100.000 spesies fungi (jamur) yang diketahui, hanya beberapa
yang dapat memproduksi mikotoksin. Beberapa fungi (jamur) yang diketahui dapat
menghasilkan mikotoksin yang sangat berbahaya di bidang pertanian dan peternakan
adalah Fusarium, Aspergillus, dan Penicilium sp. Diketahui pula bahwa 1 spesies fungi
dapat menghasilkan lebih dari 1 jenis mikotoksin. Jarang hanya ada 1 mikotoksin per
jenis tanaman atau biji-bijian, biasanya ada 2 atau lebih jenis mikotoksin (Anonim, 2013).
Mikotoksin dapat dihasilkan selama masa tanam (field toxin) maupun setelah
dipanen dan selama penyimpanan (storage toxin). Mikotoksin yang dihasilkan oleh
Fusarium sp (misalnya trichothecenes, zearalenone and fumonisins) biasanya termasuk
golongan field toxin. Mikotoksin ini dihasilkan jamur selama proses pertumbuhan
tanaman/biji-bijian ketika kondisi cuaca kurang baik misalnya cuaca yang hangat atau
hawa dingin yang berkepanjangan, musim hujan dan kelembaban tinggi. Aflatoxin dan
ochratoxins termasuk dalam storage yang umumnya disebabkan oleh Aspergillus dan
Penicilium dalam kondisi yang buruk. Storage toxin dihasilkan ketika bahan pakan
dipanen dan disimpan dalam kondisi yang buruk misalnya terlalu lembab atau basah
(Anonim, 2013).
2.3 Jenis-jenis mikotoksin pada bahan pangan
Terdapat beberapa jenis mikotoksin utama yang sering merugikan manusia, yaitu
aflatoksin, citrinin, ergot alkaloid, fumonisin, ochratoxin, patulin, trichothecene, dan
zearalenone (Anonim, 2013).
Tabel mikotoksin pada bahan pangan
Mikotoksin Jamur yang
memproduksi
Bahan yang sering
terkontaminasi
Aflatoksin Aspergillus flavus Jagung, biji kapok, kacang,
kedelaiAspergillus
parasiticus
Citrinin Penicillium citrinum jagung, beras,
gandum, barley, dan
gandum hitamSpesies monascus
Ergot alkaloid Claviceps purpurea Gandum, hewan ternak
Fumonisin Fusarium
verticilloides
jagung
Fusarium
graminearum
Ochratoksin A Aspergillus
ochraceus
Gandum, barley,oats,
jagung, dll
Aspergillus nigri
Penicillium
verrucosum
Patulin Fusarium
miniliformin
Jagung
Trichothecenes Fusarium
graminiearum
Jagung, gandum, barley
Fusarium culmorum
Zearalenone Fusarium
graminearum
Jagung, gandum, barley,
rumput
Aflatoksin
Struktur kimia aflatoxin B1
Sebagian besar aflatoksin dihasilkan oleh Aspergillus flavus Link dan juga A.
parasiticus Speare. Kedua cendawan tersebut hidup optimal pada suhu 36-38 °C dan
menghasilkan toksin secara maksimum pada suhu 25-27 °C. Pertumbuhan cendawan
penghasil aflatoksin biasanya dipicu oleh humiditas/kelembaban sebesar 85% dan hal ini
banyak ditemui di Afrika sehingga kontaminasi Alflatoksin pada makanan menjadi
masalah umum di benua tersebut. Untuk menghindari kontaminasi aflatoksin, biji-bijian
harus disimpan dalam kondisi kering, bebas dari kerusakan, dan bebas hama
(Wikipedia,2013).
Citrinin
Struktur kimia Citrinin
Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium citrinum Thom pada tahun 1931.
Mikotoksin ini ditemukan sebagai kontaminan alami pada jagung, beras, gandum, barley,
dan gandum hitam (rye). Citrinin juga diketahui dapat dihasilkan oleh berbagai spesies
Monascus dan hal ini menjadi perhatian terutama oleh masyarakat Asia yang
menggunakan Monascus sebagai sumber zat pangan tambahan. Monascus banyak
dimanfaatkan untuk diekstraksi pigmennya (terutama yang berwarna merah) dan dalam
proses pertumbuhannya, pembentukan toksin citrinin oleh Monascus perlu dicegah
(Wikipedia,2013).
Ergot Alkaloid
Ergot alkaloid diproduksi oleh berbagai jenis cendawan, namun yang utama adalah
golongan Clavicipitaceae. Dulunya kontaminasi senyawa ini pada makanan dapat
menyebabkan epidemik keracunan ergot (ergotisme) yang dapat ditemui dalam dua
bentuk, yaitu bentuk gangren (gangrenous) dan kejang (convulsive).
Pembersihan serealia secara mekanis tidak sepenuhnya memberikan proteksi terhadap
kontaminasi senyawa ini karena beberapa jenis gandum masih terserang ergot dikarenakan
varietas benih yang digunakan tidak resiten terhadap Claviceps purpurea, penghasil ergot
alkaloid. Pada hewan ternak, ergot alkoloid dapat menyebabkan tall fescue toxicosis yang
ditandai dengan penurunan produksi susu, kehilangan bobot tubuh, dan fertilitas menurun
(Wikipedia,2013).
Fumonisin
Struktur kimia Fumonisin.
Fumonisin ditemukan pada tahun 1988 pada Fusarium verticilloides dan F.
proliferatum yang sering mengontaminasi jagung. Namun, selain kedua spesies tersebut
masih banyak cendawan yang dapat menghasilkan fumonisin. Toksin jenis ini stabil dan
tahan pada berbagai proses pengolahan jagung sehingga dapat menyebabkan penyebaran
toksin pada dedak, kecambah, dan tepung jagung. Konsentrasi fumonisin dapat menurun
dalam proses pembuatan pati jagung dengan penggilingan basah karena senyawa ini
bersifat larut air (Wikipedia,2013).
Ochratoxin
Struktur kimia ochratoxinA
Ochratoxin dihasilkan oleh cendawan dari genus Aspergillus, Fusarium,
and Penicillium dan banyak terdapat di berbagai macam makanan, mulai dari
serealia, babi,ayam, kopi, bir, wine, jus anggur, dan susu. Secara umum, terdapat tiga
macam ochratoxin yang disebut ochratoxin A, B, dan C, namun yang paling banyak
dipelajari adalah ochratoxin A karena bersifat paling toksik di antara yang lainnya. Pada
suatu penelitian menggunakan tikus dan mencit, diketahui bahwaochratoxin A dapat
ditransfer ke individu yang baru lahir melalui plasenta dan air susu induknya. Pada anak-
anak (terutama di Eropa), kandungan ochratoxin A di dalam tubuhnya relatif lebih besar
karena konsumsi susu dalam jumlah yang besar. Infeksi ochratoxin A juga dapat
menyebar melalui udara yang dapat masuk kesaluran pernapasan (Wikipedia,2013).
Patulin
struktur kimia patulin.
Patulin dihasilkan oleh Penicillium, Aspergillus, Byssochlamys, dan spesies yang
paling utama dalam memproduksi senyawa ini adalah Penicillium expansum. Toksin ini
menyebabkan kontaminasi pada buah, sayuran, sereal, dan terutama adalah apel dan
produk-produk olahan apel sehingga untuk diperlukan perlakuan tertentu untuk
menyingkirkan patulin dari jaringan-jaringan tumbuhan. Contohnya adalah pencucian apel
dengan cairan ozon untuk mengontrol pencemaran patulin. Selain
itu, fermentasi alkohol dari jus buah diketahui dapat memusnahkan patulin
(Wikipedia,2013).
Trichothecenes
Struktur kimia trichothecenes.
Terdapat 37 macam sesquiterpenoid alami yang termasuk ke dalam
golongan trichothecene dan biasanya dihasilkan oleh Fusarium, Stachybotrys,
Myrothecium, Trichodemza, dan Cephalosporium. Toksin ini ditemukan pada berbagai
serealia dan biji-bijian diAmerika, Asia, dan Eropa. Toksin ini stabil dan tahan terhadapa
pemanasan maupun proses pengolahan makanan dengan autoclave. Selain itu, apabila
masuk ke dalam pencernaan manusia, toksin akan sulit dihidrolisis karena stabil
pada pH asam dan netral.
Berdasarkan struktur kimia dan cemdawan penghasilnya, golongan trichothecene
dikelomopokkan menjadi 4 tipe, yaitu A (gugus fungsi selain keton pada posisi C8), B
(gugus karbonil pada C8), C (epoksidapada C7,8 atau C9,10) dan D (sistem cincin
mikrosiklik antara C4 dan C15 dengan 2 ikatan ester) (Wikipedia,2013).
Zearalenone
Struktur kimia zearalenone.
Zearalenone adalah senyawa estrogenik yang dihasilkan oleh cendawan dari
genus Fusarium seperti F. graminearum dan F. culmorum dan banyak mengkontaminasi
nasi jagung, namun juga dapat ditemukan pada serelia dan produk tumbuhan. Senyawa
toksin ini stabil pada proses penggilingan, penyimpanan, dan pemasakan makanan karena
tahan terhadap degradasi akibat suhu tinggi. Salah satu mekanisme toksin ini dalam
menyebabkan penyakit pada manusia adalah berkompetisi untuk mengikat
reseptor estrogen (Wikipedia,2013).
2.4 Mikotoksikosis pada pangan
Mikotoksikosis disebabkan oleh substansi beracun dari hasil metabolit jamur atau
fungi yang umum tumbuh dalam bahan baku pakan. Racun hasil metabolit itulah yang
disebut mikotoksin. Mikotoksin akan sangat cepat dihasilkan oleh suatu jenis jamur,
bahkan kadang lebih dari satu macam bila kelembaban, temperatur lingkungan dan kadar
air bahan baku atau dalam pakan mendukung (Suryadjaja,2013).
Racun jamur ini diproduksi pada kelembaban lebih dari 75% dan temperatur di atas
20°C, dengan kadar air bahan baku pakan di atas 16%. Sebagai produk metabolisme
jamur atau kapang, mikotoksin tumbuh pada berbagai komoditas terutama produk
pertanian seperti kacang tanah, jagung, dan sebagainya (Suryadjaja,2013).
Jamur-jamur itu akan mengontaminasi produk-produk pertanian tersebut dengan
mikotoksin sehingga ketika komoditi tersebut dijadikan pakan ternak atau pangan
manusia, toksin tersebut akan masuk ke dalam tubuh. Karena mekanisme kerja yang
sinergis dari beragam jenis jamur tersebut, menyebabkan pengaruh negatif pada ternak
yang terintoksifikasi menjadi semakin kompleks (Suryadjaja,2013).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan mikotoksin adalah iklim, jenis
tanaman, kepekaan tanaman, jenis fungi pencemar, adanya kerusakan mekanik atau
kerusakan akibat insekta pada tanaman, penggunaan fungisida pada waktu panen, kondisi
penyimpanan, dan cara penanganan pasca panen. Beberapa factor yang menyebabkan
mikotoksin sulit dikontrol di Asia, termasuk Indonesia adalah pencemaran mikotoksin
yang bersifat multiple, struktur kimia yang sangat stabil, kondisi iklim yang sangat
berfluktuatif, dan fasilitas pengeringan, penyimpanan dan mesin giling yang kurang
memadai. Penyakit yang ditimbulkan oleh beberapa mikotoksin yang penting pada
unggas, meliputi aflatoksin, trikotesen, okratoksin, zearalenon, sitrinin, fumonisin,
fusarokromanon, rubratoksin, ergot, moniliformin, oosporein, sterigmatosistin, patulin,
dan asam siklopiazonat (Suryadjaja,2013).
Mekanisme pencemaran jamur dan mikotoksin pada bahan pakan ternak atau
ransum terutama jagung biasanya disimpan dahulu sebelum digunakan untuk menyusun
ransum. Umumnya bahan baku tersebut disimpan dalam gudang dengan kondisi
kelembaban tinggi sehingga berpotensi tercemar jamur dan mikotoksin yang dihasilkan.
Proses pencemaran jamur pada bahan baku ransum, terutama jagung, dimulai saat spora
(konidia) jamur beterbangan di udara terbawa oleh angin dan serangga, kemudian
menempel secara langsung atau tidak langsung pada tanaman jagung. Bila suhu dan
kelembaban sesuai maka jamur akan tumbuh dan berkembang biak pada tanaman jagung
yang masih ada di lapangan. Ketika jagung dipanen, jamur dan mikotoksin yang
dihasilkan sudah menginfeksi hasil panen. Spora jamur sebagian juga beterbangan di
udara dan menjadi sumber infeksi selanjutnya (Suryadjaja,2013)
Berdasarkan SNI, level mikotoksin (aflatoksin,red) yang dapat ditolerir adalah 50
ppb. Meski demikian, penerapan zero tolerance (kadar aflatoksin nol) dalam ransum
merupakan jalan terbaik karena kadar mikotoksin dalam kadar sangat kecil saja dapat
menyebabkan penurunan performa, baik pada ayam pedaging maupun petelur
(Purwantisari,2008).
Tabel Kadar Aflatoksin dalam Persyaratan Mutu Bahan Baku Ransum
Ket : *Corn Gluten Meal
Sumber : Dirjen Peternakan dalam (Suryadjaja,2013)
2.5 Efek mikotoksikosis pada manusia
Mikroorganisme dapat mempengaruhi kualitas makanan dan kesehatan manusia
pada semua rantai makanan dari produsen ke konsumen. Kerusakan makanan akibat
mikroba dapat dilihat dari perubahan penampilan seperti peubahan warna, bau, rasa,
adanya pembengkakan dan adanya lendir. Namun, tumbuhan dan hewan yang berfungsi
sebagai sumber makanan pada dasarnya mempunyai mekanisme pertahanan alami
terhadap invasi dan proliferasi mikroorganisme.
Purwantisari, 2008 menjelaskan proses-proses peruraian bahan makanan oleh
mikroorganisme adalah sebagai berikut :
1. asam amino → amin → amonia → hidrogen sulfidaàBahan pangan protein →
mikroorganisme proteolitik
2. asam → alkohol gasà Bahan pangan berkarbohidrat → mikroorganisme peragi
karbohidrat
3. asam lemak → gliserolàBahan pangan berlemak → mikroorganisme lipolitik
Kontaminasi mikroorganisme pada bahan makanan dapat menyebabkan penyakit,
seperti tifus, kolera, disentri, atau tbc, yang mudah tersebar melalui bahan makanan.
Gangguan-gangguan kesehatan, khususnya gangguan perut akibat keracunan makanan
disebabkan, antara lain oleh kebanyakan makan, alergi, kekurangan zat gizi, langsung
oleh bahan-bahan kimia, tanaman atau hewan beracun; toksin-toksin yang dihasilkan
bakteri; mengkomsumsi pangan yang mengandung parasit-parasit hewan dan
mikroorganisme. Gangguan-gangguan ini sering dikelompokkan menjadi satu karena
memiliki gejala yang hampir sama atau sering tertukar dalam penentuan penyebabnya
(Siagian,2002).
Makanan dapat terkontaminasi oleh berbagai bahan yang bersifat toksik bagi tubuh
yang dapat membuat makanan tersebut tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Penyakit asal
makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme dan dipindah sebarkan melalui makanan
terjadi melalui dua mekanisme yaitu pertama, mikroorganisme yang terdapat dalam
makanan menginfeksi inang sehingga menyebabkan penyakit asal makanan dan kedua,
mikroorganisme mengeluarkan eksotoksin dalam makanan dan menyebabkan keracunan
makanan bagi yang memakannya.Salah satu kontaminan makanan yang penting untuk
diketahui adalah mikotoksin. Mikotoksin adalah zat toksik atau toksin yang dikeluarkan
oleh jamur atau fungi (Purwantisari,2008).
Efek toksisitas mikotoksin tergantung dari intensitas dan waktu intoksifikasi serta
bersifat akumulatif. Mikotoksikosis dapat menyebabkan turunnya fungsi kekebalan
tubuh, karena pengaruh langsung mikotoksin terhadap jalannya fungsi kekebalan baik
seluler maupun humoral sehingga fungsi tersebut turun secara keseluruhan. Sedang gejala
keracunan yang sering terlihat pada umumnya adalah muntah, diare, luka pada rongga
mulut dan turunnya nafsu makan (Siagian,2002).
Banyak mikotoksin yang dapat menyebabkan berbagai penyakit pada manusia
melalui makanan, salah satunya adalah kontaminasi citrinin pada produk kejukarena
proses fermentasi keju yang melibatkan P. citrinum dan P. expansum penghasil citrinin.[13] Pada manusia dan hewan, citrinin dapat menyebabkan penyakit kronis, di antaranya
dapat terjadi akibat toksisitas pada ginjal dan terhambatnya kerja enzim yang berperan
dalam respirasi. Aflatoksin merupakan senyawa karsinogenik yang dapat memicu
timbulnya kanker liver pada manusia karena konsumsi susu, daging, atau telur yang
terkontaminasi dalam jumlah tertentu. Kehilangan tanaman pangan akibat kontaminasi
aflatoksin juga sangat merugikan manusia, baik petani maupun kalangan industri hasil
pertanian di dunia. Pada laki-laki, kandungan ochratoxin A yang terlalu tinggi di dalam
tubuhnya dapat menyebabkan kanker testis (Siagian,2002).
2.6 Upaya pencegahan terjadinya mikotoksikosi pada bahan pangan
Kerugian yang besar akibat kontaminasi mikotoksin ini memaksa petani
melakukan berbagai upaya untuk mencegahnya. Idealnya, pencegahan timbulnya
mikotoksin sudah dilakukan saat fase pertumbuhan tanaman. Saat jamur telah tumbuh
pada bahan baku ransum maka bisa dipastikan mikotoksin telah terbentuk. Beberapa
langkah pencegahan yang bisa kita lakukan ialah : (Setiarto,2010)
1. Kontrol lama penyimpanan ransum
Daya simpan ransum ayam di dalam gudang adalah 21-30 hari sejak tanggal produksi
(batch). Baik ransum bentuk crumble (butiran), pellet maupun mash (tepung), akan
mengalami penurunan kualitas apabila melewati masa tersebut. Karena itu disarankan,
idealnya petani tidak menyimpan ransum lebih dari 14 hari atau 2 minggu sebagai
antisipasi. Saran ideal ini mempertimbangkan, sebelum diterima peternak, ransum
sempat mampir di gudang agen atau poultry shop (PS) terlebih dahulu. Menurut Goh
(2010), selama proses penyimpanan, kualitas ransum dan bahan baku ransum akan
terus menurun. Kecepatan penurunan kualitas ini akan 10 kali lebih cepat pada
kondisi iklim tropis. Sebagai contoh, dari data penelitian diperoleh informasi bahwa
jagung di berbagai wilayah Jawa pada 2008 dengan kadar air 16%, rata-rata kadar
aflatoksinnya hanya 18,7 ppb. Namun setelah di tingkat pengepul (PS), kadarnya
meningkat pesat menjadi 139,8 ppb (Trobos, 2010).
2. Atur manajemen penyimpanan bahan baku ransum
Berikan alas (pallet) pada tumpukan bahan baku dan atur posisi penyimpanan sesuai
dengan waktu kedatangannya (first in first out, FIFO). Untuk layout gudang
peyimpanan, berikan jarak antar tumpukan ransum agar sistem FIFO bisa berjalan.
Perhatikan suhu dan kelembaban tempat penyimpanan. Temperatur berkisar antara
300-340C, kelembaban tidak lebih dari 70% (Toto, 2011). Hindari penggunaan karung
tempat ransum secara berulang dan bersihkan gudang secara rutin. Saat ditemukan
serangga, segera atasi mengingat serangga mampu merusak lapisan pelindung biji-
bijian sehingga bisa memicu tumbuhnya jamur.
Penggunaan pallet pada alas ransum
Sumber : selfmixing.blogspot.com)
Menurut Toto (2011), beberapa tindakan lain dalam manajemen penyimpanan ransum
yang baik antara lain ransum yang disimpan harus terhindar dari sinar matahari
langsung, terhindar dari hujan dan bocor, tidak bercampur dengan bahan kimia seperti
pupuk, pestisida dan racun tikus. Memiliki catatan stok yang rapi dan cukup jarak
antara dinding terhadap tumpukan (atau antar tumpukan)
3. Melakukan pemeriksaan kualitas secara rutin
Lakukan pemeriksaan kualitas bahan baku secara rutin, terutama saat kedatangan
bahan baku atau ransum. Hendaknya kita tidak segan untuk me-reject jika ditemukan
ransum yang terkontaminasi jamur, mengingat fenomena jamur ini seperti fenomena
gunung es. Pengamatan secara visual terhadap bahan baku ransum hanya bisa
dilakukan sebatas pengamatan terhadap jamur, bukan pada mikotoksinnya. Karena hal
itu membutuhkan analisa kandungan mikotoksin dalam setiap bahan baku ransum
yang digunakan. Perlu dilakukan pengujian laboratorium lebih lanjut. Alasannya,
ketika bahan baku ransum sudah terkontaminasi jamur, besar kemungkinan tidak
hanya memproduksi satu jenis toksin tetapi bisa lebih dari satu. Kalau ini terjadi,
meski kandungan mikotoksin rendah tetapi karena terdapat beberapa jenis mikotoksin,
maka akan memberikan dampak akumulasi dari kumpulan beberapa toksin tersebut.
Dampaknya bisa sama parahnya dengan satu jenis mikotoksin yang terdapat dalam
bahan baku ransum dalam jumlah besar. Selain itu, pastikan kadar airnya tidak terlalu
tinggi (< 14%) sehingga bisa menekan pertumbuhan jamur
4. Jika menggunakan mixer untuk mencampur ransum, bersihkan alat tersebut secara
rutin, misalnya 2-3 hari sekali. Sisa ransum, terutama yang berupa serbuk yang
terdapat pada kedua alat itu akan menjadi sumber kontaminasi jamur pada bahan baku
ransum lainnya
5. Berikan bahan penghambat jamur
Saat kondisi cuaca tidak baik, terutama musim penghujan, tambahkan mold
inhibitors (penghambat pertumbuhan jamur), seperti asam organik atau garam dari
asam organik tersebut. Asam propionat merupakan mold inhibitors yang sering
digunakan.
Saat jamur dan mikotoksin telah ditemukan mengkontaminasi ransum sudah
terlanjur keracunan mikotoksin, beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menekan efek
mikotoksin ini antara lain : (Setiarto,2010)
Membuang ransum yang terkontaminasi jamur dengan konsentrasi tinggi, mengingat
mikotoksin ini sifatnya sangat stabil
Jika yang terkontaminasi sedikit, bisa dilakukan pencampuran dengan bahan baku
atau ransum yang belum terkontaminasi. Tujuannya tidak lain untuk menurunkan
konsentrasi mikotoksin. Namun yang perlu diperhatikan ialah bahan baku ini
hendaknya segera diberikan ke ayam agar konsentrasi mikotoksin tidak meningkat
Penambahan toxin binder (pengikat mikotoksin) pada ransum, seperti zeolit,
bentonit, hydrate sodium calcium aluminosilicate (HSCAS) atau ekstrak dinding sel
jamur. Antioksidan, seperti butyrated hidroxy toluene (BHT), vitamin E dan selenium
juga bisa ditambahkan untuk mengurangi efek mikotoksin, terutama aflatoksin, DON
dan T-2 toxin
Manipulasi kandungan nutrisi ransum juga dapat dilakukan untuk mengurangi efek
mikotoksin, terlebih lagi nutrisi yang dibutuhkan jamur untuk pertumbuhan diambil
dari nutrisi ransum. Selain itu ada beberapa mikotoksin yang bisa mengurangi
penyerapan beberapa zat nutrisi. Suplementasi vitamin, terutama vitamin larut lemak
(A, D, E, K), asam amino (metionin dan penilalanin) maupun meningkatkan kadar
protein dan lemak dalam ransum juga mampu menekan kerugian akibat mikotoksin.
Pemberian multivitamin dosis tinggi seperti Fortevit bisa menjadi solusi.
BAB III
BAB V PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mikotoksin adalah akibat dari proses mikotoksikosis. Racun yang dihasilkan oleh
mikotoksin dapat menyebabkan kerusakan kualitas pada bahan pangan khususnya pada
ransum hewan ternak dan apabila terkontaminasi ke manusia juga dapat menimbulkan
gangguan kesehatan.
3.2 Saran
Banyaknya mikotoksin yang dapat menyerang sejumlah bahan pangan, sebagai petani
perlu terus memantau kualitas hasil pertaniannya serta ransum untuk hewan ternak
mereka. Bila perlu dilakukan pemantauan secara berkala dan dilakukan pula pembersihan
pada penyimpanan. Usahakan tempat penyimpanan tidak lembab dan bersih serta tidak
terjangku dari hewan-hewan lain yang dapat menurunkan kualitas hasil pertanian atau
ransum.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Persoalan Jamur pada Musim Hujan. Terseia di
http://www.majalahinfovet.com/2008/06/persoalan-jamur-pada-musim-hujan.html.
Diunduh pada tanggal 07 Oktober 2013.
Anonim. 2012. Mikotoksin. Terdapat di http://royalpoultry.co/blog/2012/11/10/mikotoksin-
mycotoxin-1-pendahuluan/. Diunduh pada tanggal 06 Oktober 2013.
Anonim. 2013. Jamur Okratoksin dan Pencegahannya. Terdapat di
http://ahlikopilampung.com/okratoksin-dan-pencegahannya/ . Diunduh pada tanggal 03
Oktober 2013.
Anonim. 2013. Mikotoksin. Terdapat di http://id.wikipedia.org/wiki/Mikotoksin. Diunduh
pada tanggal 06 Oktober 2013.
Purwantisari, S. 2008. Mikotosin, Jamur Makanan Berbahaya. Terdapat di
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/06/19/18279/Mikotoksin-
Jamur-Makanan-Berbahaya. Diunduh pada tanggal 06 Oktober 2013.
Setiarto, R, H,B. 2010. Mikotoksin Pada Makanan. Terdapat di
http://biologi.lipi.go.id/bio_indonesia../mTemplate.php?h=3&id_berita= . Diunduh pada
tanggal 03 Oktober 2013
Siagian, A. 2002. Mikroba Patogen pada Makanan dan Sumber Pencemarannya. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Suryadjaja, F. 2013. Makanan Kadaluwarsa. Terdapat di
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/08/07/233386/Makanan-
Kedaluwarsa. Diunduh pada tanggal 04 Oktober 2013.