Download - Makalah Pancasila Kelp. v (1) Baru
MAKALAH PANCASILA
(TATA CARA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA)
OLEH :
KELOMPOK V FARMASI A
A.TENRI RAWE
DINI AMALIA
HAIRIL ANWAR ODDING
M.AMHAR JAMIL
NISFAH HASIK
RADEN DWI SAPUTRI
SRI HANDRIYANI HR NURUNG
WAHYUNI
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
SAMATA-GOWA
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang dengan rahman dan rahimNya kepada
kita sebagai makhlukNya, masih memberi izin kepada akal untuk berfikir, mata
untuk melihat, telinga untuk mendengar, tangan untuk menulis dan kaki untuk
melangkah. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan
waktunya.
Makalah dengan judul IMAN DAN TATA NILAI RABBANIYAH,
yang kami susun ini adalah salah satu tugas pada mata kuliah Aqidah akhlak
sebagai tugas kelompok.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami meminta saran dan kritik dari semua pihak,
umumnya bagi pembaca dan khususnya bagi teman-teman dan dosen mata kuliah
yang bersangkutan.
Gowa, 01 mei 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………….
Daftar Isi…………………………………….…………………………….…....
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang……….……………..………………………………....
B. Rumusan Masalah
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Pemilihan Umum…................................................
B. Tujuan Pemilihan Umum……………………………....…….............
C. Asas-Asas Dalam Pemilihan Umum…………………………………….
D. Jenis-Jenis Pemilihan Umum…………………………………………....
E. Sistem Pemilihan Umum………………………………………………..
F. Sistem Pemilihan Umum Yang Baik dan Benar………..……………
G. Pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia………………………..….
Bab III Penutup
A. Kesimpulan…………………………………….....…………………….….
B. Kritik dan Saran…………………………………………………………….
Daftar Pustaka………………………………….………….........................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemilu dalam negara demokrasi Indonesia merupakan suatu proses
pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai
dengan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi. Prinsip-prinsip dalam
pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan
ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap
warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan
kenegaraan
Sebuah negara berbentuk republik memiliki sistem pemerintahan yang tidak
pernah lepas dari pengawasan rakyatnya. Adalah demokrasi, sebuah bentuk
pemerintahan yang terbentuk karena kemauan rakyat dan bertujuan untuk
memenuhi kepentingan rakyat itu sendiri. Demokrasi merupakan sebuah
proses, artinya sebuah republik tidak akan berhenti di satu bentuk
pemerintahan selama rakyat negara tersebut memiliki kemauan yang terus
berubah. Ada kalanya rakyat menginginkan pengawasan yang superketat
terhadap pemerintah, tetapi ada pula saatnya rakyat bosan dengan para
wakilnya yang terus bertingkah karena kekuasaan yang seakan-akan tak ada
batasnya. Berbeda dengan monarki yang menjadikan garis keturunan sebagai
landasan untuk memilih pemimpin, pada republik demokrasi diterapkan azas
kesamaan di mana setiap orang yang memiliki kemampuan untuk memimpin
dapat menjadi pemimpin apabila ia disukai oleh sebagian besar rakyat.
Pemerintah telah membuat sebuah perjanjian dengan rakyatnya yang ia
sebut dengan istilah kontrak sosial. Dalam sebuah republik demokrasi, kontrak
sosial atau perjanjian masyarakat ini diwujudkan dalam sebuah pemilihan
umum. Melalui pemilihan umum, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi
wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan
masa depan sebuah negara.
B. Rumusan Masalah
a) Apa Pengertian Pemilihan Umum?
b) Apakah Tujuan Pemilihan Umum itu?
c) Apakah Asas-Asas Dalam Pemilu?
d) Bagaimanakah Pembagian Jenis-Jenis Pemilihan Umum?
e) Bagaimana Sistem Pemilihan Umum?
f) Bagaimana Pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pemilihan Umum
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang(-orang) untuk
mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-
ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan,
sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti
proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun
untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara
persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public
relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi
dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam
kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga
dipakaioleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan
kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-
programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang
telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang
Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang
sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan
disosialisasikan ke para pemilih. Undang-Undang yang menjadi dasar pemilu
adalah Undang-Undang Rpublik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pemilihan Umum.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang dasar negara Republik Indonesia tahun
1945 (UUD RI 1945) menentukan : “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Mana
kedaulatan sama dengan makna kekuasaan tertinggi, yaitu kekuasaan yang
dalam taraf terakhir dan tertinggi wewenang membuat keputusan. Tidak ada
satu pasalpun yang menentukan bahwa negara Republik Indonesia adalah
suatu negara demokrasi. Namun, karena implementasi kedaulatan rakyat itu
tidak lain adalah demokrasi, maka secara implesit dapatlah dikatakan bahwa
negara Republik Indonesia adalah negara demokrasi.
Hal yang demikian wujudnya adalah, manakala negara atau pemerintah
menghadapi masalah besar, yang bersifat nasional, baik di bidang kenegaraan,
hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya ekonomi, agama “ semua orang warga
negara diundang untuk berkumpul disuatu tempat guna membicarakan,
merembuk, serta membuat suatu keputusan.” ini adalah prinsipnya.
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan
singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah
ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan
suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti
pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak
menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya
tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang
diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu
sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan
singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan
umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa
setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan
kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk
menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang
sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun
diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil
mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga
penyelenggara pemilu.
B. Tujuan Pemilihan Umum
Secara umum pemilihan umum atau Pemilu di Indonesia memiliki tujuan
sebagai berikut seperti yang dikutip dari simplenews05 :
1. Melaksanakan kedaulatan rakyat.
2. Sebagai perwujudan hak asasi politik rakyat.
3. Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD,
serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.
4. Melaksanakan pergantian personal pemerintahan secara damai, aman, dan
tertib (secara konstitusional).
5. Menjamin kesinambungan pembangunan nasional.
Menurut Undang-Undang ini, pemilu diselenggarakan dengan tujuan sebagai
berikut:
a. Memilih wakil rakyat dan wakil daerah
b. Membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh
dukungan rakyat
c. Keduanya dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana diamanatkan.
C. Asas-Asas dalam Pemilihan Umum
Berdasarkan pasal 22E Ayat (1) UUD 1945, pemilu dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pengertian asas pemilu
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya
secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
b. Umum
Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai
dengan undang-undang ini berhak mengikuti pemilu. Pemilihan yang
bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku
menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan
status sosial.
c. Bebas
Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya
tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan
haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat
memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.
d. Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak
akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih
memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh
orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
e. Jujur
Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap penyelenggaraan pemilu, aparat
pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih,
serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
f. Adil
Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilu
mendapat perlakuan sama, serta bebas dari kecurangan mana pun.
Sebagaimana ketentuan UUD 1945 hasil amendemen, ada dua jenis
Pemilu.
D. Jenis-jenis Pemilihan Umum
Sebagaimana ketentuan UUD 1945 hasil amendemen, ada dua jenis
Pemilu. Dua jenis yang dimaksud meliputi:
1. Pemilu Legislatif, yakni untuk memilih para wakil rakyat (DPR, DPD, dan
DPRD provinsi dan kabupaten/kota).
2. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, untuk memilih presiden dan wakil
presiden.
E. Sistem Pemilihan Umum
Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur serta
memungkinkan warga negara memilih/mencoblos para wakil rakyat diantara
mereka sendiri. Metode berhubungan erat dengan aturan dan prosedur
merubah atau mentransformasi suara ke kursi di parlemen. Mereka sendiri
maksudnya adalah yang memilih ataupun yang hendak dipilih juga merupakan
bagian dari sebuah entitas yang sama.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas terdapat 3 (tiga) system pemilihan
umum, yaitu:
a. Sistem Distrik
Sistem distrik merupakan system pemilu yang paling tua dan
didasarkan kepada kesatuan geografis, di mana satu kesatuan geografis
mempunyai satu wakil di parlemen. Sistem distrik sering dipakai dalam
negara yang mempunyai system dwi partai, seperti Inggris serta bekas
jajahannya (India dan Malaysia) dan Amerika Serikat. Namun, system
distrik juga dapat dilaksanakan pada suatu negara yang menganut system
multipartai, seperti di Malaysia. Di sini system distrik secara alamiah
mendorong partai-partai untuk koalisi, mulai dari menghadapi pemilu.
Sistem distrik memiliki beberapa keuntungan, yaitu:
1. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh
penduduk distrik itu, hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat.
Wakil tersebu lebih condong untuk memperjuangkan kepentingan
distrik. Wakil tersebut lebih independen terhadap partainya karena
rakyat lebih memberikan pertimbangan untuk memilih wakil tersebut
karena factor integritas pribadi sang wakil. Namun demikian, wakil
tersebut juga terikat dengan partainya, seperti untuk kampanye dan
lain-lain.
2. Sistem ini lebih cenderung ke arah koalisi partai-partai karena kursi
yang diperebutkan dalam satu daerah, distrik hanya satu. Sehingga
mendorong partai menonjolkan kerja sama ketimbang perbedaan,
setidak-tidaknya menjelang pemilu, melalui stembus record.
3. Fragmentasi partai atau kecenderungan untuk membentuk partai baru
dapat terbendung, malah dapat melakukan penyederhanaan partai
secara alamiah tanpa paksa. Di Inggris dan Amerika Serikat system ini
menunjang bertahannya system dwipartai.
4. Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas
dalam parlemen tidak perlu diadakan koalisi partai lain, sehingga
mendukung stabilitas nasional.
5. Sistem ini sederhana dan serta mudah untuk dilaksanakan.
Di samping keuntungan, system distrik juga memiliki beberapa
kelemahan, yaitu:
1. Kurang memperhatikan adanya partai-partai kecil dan golongan
minoritas, apabila golonga tersebut terpencar dalam beberapa distrik.
2. Kurang representative, di mana partai yang kalah dalam suatu distrik
kehilangan suara yang telah mendukungnya. Dengan demikian, suara
tersebut tidak diperhitungkan lagi. Kalau sejumlah partai ikut dalam
setiap distrik akan banyak jumlah suara yang hilang sehingga dianggap
kurang adil oleh partai atau golongan yang dirugikan.
3. Ada kecenderungan si wakil lebih mementingkan kepentingan daerah
pemilihannya daripada kepentingan nasional.
4. Umumnya kurang efektif bagi suatu masyarakat heterogen.
b. Sistem Proporsional
Sistem perwakilan proporsional adalah presentasi kursi di DPR
dibagi kepada tiap-tiap partai politik, sesuai dengan jumlah suara yang
diprolehnya dalam pemilihan umum khusus di daerah pemilihan. Jadi,
jumlah kursi yang diperoleh satu golongan atau partai adalah sesuai
dengan jumlah suara yang diperolehnya dalam masyarakat. Untuk
keperluan itu kini ditentukan satu pertimbangan, misalnya 1 (satu) orang
wakil : 400.000 penduduk. Sistem proporsional sering kali dikombinasikan
dengan beberapa prosedur lain, seperti system daftar (list system), di mana
partai mengajukan daftar calon dan si pemilih memilih satu partai dengan
semua calon yang diajukan oleh partai itu untuk bermacam-macam kursi
yang sedang diperebutkan.
Sistem proporsional memiliki beberapa keuntungan, yaitu:
1. Sistem proporsional dianggap lebih demokratis, dalam arti lebih
egalitarian, karena one man one vote dilaksanakan secara penuh tanpa
ada suara yang hilang.
2. Sistem ini dianggap representative, karena jumlah kursi partai dalam
parlemen sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari
masyarakat dalam pemilu.
Di samping segi-segi positif, system proporsional juga memiliki
kelemahan, yaitu:
1. Mempermudah fragmentasi (pembentukan partai baru). Jika terjadi
konflik intern partai, anggota yang kecewa cenderung membentuk
partai baru, sehingga peluang untuk bersatu kurang. Bahkan ada
kecenderungan partai buka diletakkan pada landasan ideology atau
asas, melainkan kepentingan untuk memperebutkan jabatan atau kursi
di parlemen.
2. Sistem ini lebih memperbesar perbedaan yang ada dibandingkan
dengan kerja sama sehingga ada kecenderungan untuk memperbanyak
jumlah partai, seperti di Indonesia setelah reformasi 1998.
3. Sistem ini memberikan peranan atau kekuasaan yang sangat kuat
kepada pemimpin partai, karena kepemimpinan menentukan orang-
orang yang akan dicalonkan menjadi wakil rakyat. Bahkan ada
kecenderungan wakil rakyat lebih menjaga kepentingan dewan
pimpinan partainya daripada kepentingan rakyat. Pada zaman Orba
system ini dapat digunakan oleh pimpinan partai untuk me-
recall anggotanya yang vocal atau tidak sejalan dengan haluan partai
di parlemen.
4. Wakil yang dipilih renggang ikatannya dengan warga yang telah
memilihnya, karena saat pemilihan umum yang lebih menonjol adalah
partainya dan wilayah pemilihan sangat besar (sebesar provinsi).
Peranan partai lebih menonjol daripada kepribadian sang wakil. Di
Indonesia banyak kritikan pada system ini dengan sebutan seperti
memilih “kucing dalam karung”, artinya rakyat memilih tanda gambar
peserta pemilu, tetapi siapa wakil yang dipilih kurang diketahui rakyat
pemilih.
5. Karena banyaknya partai yang bersaing sulit bagi suatu partai untuk
meraih mayoritas (50% + 1) dalam parlemen.
Perbedaan utama antara sistem proporsional & distrik adalah bahwa
cara penghitungan suara dapat memunculkan perbedaan dalam komposisi
perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
c. Sistem Gabungan
Sistem gabungan merupakan system yang menggabungkan system
distrik dengan proporsional. Sistem ini membagi wilayah negara dalam
beberapa daerah pemilihan. Sisa suara pemilih tidak hilang, melainkan
diperhitungkan dengan jumlah kursi yang belum dibagi. Sistem gabungan
ini diterapkan di Indonesia sejak pemilu tahun 1977 dalam memilih
anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II. Sistem ini disebut juga system
proporsional berdasarkan stelsel daftar.
Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum
sejak kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan umum
yang di anut oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan
Proporsional. Sistem proporsional lahir untuk menjawab kelemahan dari
sistem distrik. Sistem proporsional merupakan sistem pemilihan yang
memperhatikan proporsi atau perimbangan antara jumlah penduduk
dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan. Dengan sistem ini, maka
dalam lembaga perwakilan, daerah yang memiliki penduduk lebih besar
akan memperoleh kursi yang lebih banyak di suatu daerah pemilihan,
begitu pun sebaliknya.
Sistem proporsional juga mengatur tentang proporsi antara jumlah
suara yang diperoleh suatu partai politik untuk kemudian dikonversikan
menjadi kursi yang diperoleh partai politik tersebut. Karena adanya
perimbangan antara jumlah suara dengan kursi, maka di Indonesia dikenal
Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). BPP merefleksikan jumlah suara yang
menjadi batas diperolehnya kursi di suatu daerah pemilihan. Partai politik
dimungkinkan mencalonkan lebih dari satu kandidat karena kursi yang
diperebutkan di daerah pemilihan lebih dari satu.
Sistem ini ada beberapa kelemahan:
a. Mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru
b. Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan
kurang merasakan loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya
c. Mempersukar terbentuknya pemerintah yang stabil, oleh karena
umumnya harus mendasarkan diri atas koalisi dari dua-partai atau
lebih.
Keuntungan system Propotional:
a. System propotional di anggap representative, karena jumlah kursi
partai dalm parlemen sesuai dengan jumlah suara masyarakat yang di
peroleh dalam pemilu.
b. System ini di anggap lebih demokatis dalam arti lebih egalitarian,
karena praktis tanpa ada distorsi.
Di Indonesia pada pemilu kali ini, tidak memakai salah satu dari kedua
macam sistem pemilihan diatas, tetapi merupakan kombinasi dari
keduanya.
Hal ini terlihat pada satu sisi menggunakan sistem distrik, antara lain pada
Bab VII pasal 65 tentang tata cara Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dimana setiap partai Politik peserta
pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/ Kota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%.
Disamping itu juga menggunakan sistem berimbang, hal ini terdapat
pada Bab V pasal 49 tentang Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi Anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dimana : Jumlah kursi
anggota DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan
pada jumlah penduduk provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan :
a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 1000.000 (satu juta)
jiwa mendapat 35 (tiga puluh lima) kursi
b. Provinsi dengan julam penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta)
sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa mendapat 45 (empat puluh
lima) kursi;
c. Provinsi dengan jumlah penduduk 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan
5.000.000 (lima juta) jiwa mendapat 55 (lima puluh lima) kursi;
d. Provinsi dengan jumlah penduduk 5.000.000 (lima juta) sampai
dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa mendapat 65 (enam puluh lima)
kursi;
e. Provinsi dengan jumlah penduduk 7.000.000 (tujuh juta) sampai
dengan 9.000.000 (sembilan juta) jiwa mendapat 75 (tujuh puluh lima)
kursi;
f. Provinsi dengan jumlah penduduk 9.000.000 (sembilan juta) sampai
dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa mendapat 85 (delapan puluh
lima) kursi;
g. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas
juta) jiwa mendapat 100 (seratus) kursi.
F. Sistem Pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia
Bangsa Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum sejak zaman
kemerdekaan. Semua pemilihan umum itu tidak diselenggarakan dalam
kondisi yang vacuum, tetapi berlangsung di dalam lingkungan yang turut
menentukan hasil pemilihan umum tersebut. Dari pemilu yang telah
diselenggarakan juga dapat diketahui adanya usaha untuk menemukan sistem
pemilihan umum yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia.
1. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Pada masa ini pemilu diselenggarakan oleh kabinet BH-Baharuddin
Harahap (tahun 1955). Pada pemilu ini pemungutan suara dilaksanakan 2
kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
pada bulan September dan yang kedua untuk memilih anggota
Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang diterapkan pada pemilu
ini adalahsistem pemilu proporsional.
Pelaksanaan pemilu pertama ini berlangsung dengan demokratis dan
khidmat, Tidak ada pembatasan partai politik dan tidak ada upaya dari
pemerintah mengadakan intervensi atau campur tangan terhadap partai
politik dan kampanye berjalan menarik. Pemilu ini diikuti 27 partai dan
satu perorangan.
Akan tetapi stabilitas politik yang begitu diharapkan dari pemilu tidak
tercapai. Kabinet Ali (I dan II) yang terdiri atas koalisi tiga besar: NU, PNI
dan Masyumi terbukti tidak sejalan dalam menghadapi beberapa masalah
terutama yang berkaitan dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman
Demokrasi Parlementer berakhir.
2. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Setelah pencabutan Maklumat Pemerintah pada November 1945
tentang keleluasaan untuk mendirikan partai politik, Presiden Soekarno
mengurangi jumlah partai politik menjadi 10 parpol. Pada periode
Demokrasi Terpimpin tidak diselanggarakan pemilihan umum.
3. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Setelah turunnya era Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter,
rakyat berharap bisa merasakan sebuah sistem politik yang demokratis &
stabil. Upaya yang ditempuh untuk mencapai keinginan tersebut
diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang membicarakan
tentang sistem distrik yang terdengan baru di telinga bangsa Indonesia.
Pendapat yang dihasilkan dari forum diskusi ini menyatakan bahwa
sistem distrik dapat menekan jumlah partai politik secara alamiah tanpa
paksaan, dengan tujuan partai-partai kecil akan merasa berkepentingan
untuk bekerjasama dalam upaya meraih kursi dalam sebuah distrik.
Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan menciptakan
stabilitas politik dan pemerintah akan lebih kuat dalam melaksanakan
program-programnya, terutama di bidang ekonomi.
Karena gagal menyederhanakan jumlah partai politik lewat sistem
pemilihan umum, Presiden Soeharto melakukan beberapa tindakan untuk
menguasai kehidupan kepartaian. Tindakan pertama yang dijalankan
adalah mengadakan fusi atau penggabungan diantara partai politik,
mengelompokkan partai-partai menjadi tiga golongan yakni Golongan
Karya (Golkar), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Spiritual (PPP).
Pemilu tahun1977 diadakan dengan menyertakan tiga partai, dan hasilnya
perolehan suara terbanyak selalu diraih Golkar.
4. Zaman Reformasi (1998- Sekarang)
Pada masa Reformasi 1998, terjadilah liberasasi di segala aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik Indonesia merasakan dampak
serupa dengan diberikannya ruang bagi masyarakat untuk
merepresentasikan politik mereka dengan memiliki hak mendirikan partai
politik. Banyak sekali parpol yang berdiri di era awal reformasi. Pada
pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi dan berhak mengikuti
pemilu ada 48 partai. Jumlah ini tentu sangat jauh berbeda dengan era orde
baru.
Pada tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 parpol
saja. Ini disebabkan telah diberlakukannya ambang batas(Electroral
Threshold) sesuai UU no 3/1999 tentang PEMILU yang mengatur bahwa
partai politik yang berhak mengikuti pemilu selanjtnya adalah parpol yang
meraih sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi DPR. Partai politikyang
tidak mencapai ambang batas boleh mengikuti pemilu selanjutnya dengan
cara bergabung dengan partai lainnya dan mendirikan parpol baru.
tuk partai politik baru. Persentase threshold dapat dinaikkan jika dirasa
perlu seperti persentasi Electroral Threshold 2009 menjadi 3% setelah
sebelumnya pemilu 2004 hanya 2%. Begitu juga selanjutnya pemilu 2014
ambang batas bisa juga dinaikan lagi atau diturunkan
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2004 bangsa Indonesia telah
menyelenggarakan Sembilan kali pemilhan uum, yaitu pemilihan umum
1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004. Dari
pengalaman sebanyak itu, pemilihan umum 1955 dan 2004 mempunyai
kekhususan di banding dengan yag lain.
Semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi
yang vacuum, melainkan berlangsung di dalam lingkungan yang turut
menentuka hasil pemilhan umum yang cocok untuk Indonesia.
Pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU)
yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Komisi ini memiliki tanggung
jawab penuh atas penyelenggaraan pemilu, dan dalam menjalankan
tugasnya, KPU menyampaikan laporan kepada Presiden dan DPR.
Menurut Pasal 25 UU No. 12 Tahun 2003, tugas dan wewenang KPU
adalah:
a. Merencanakan penyelenggaraan KPU.
b. Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan
pemilu.
c. Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua
tahapan pelaksanaan pemilu.
d. Menetapkan peserta pemilu.
e. Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi, dan calon anggota
DPR,DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
f. Menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan
pemungutan suara.
g. Menetapkan hasil pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota
DPR,DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
h. Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilu.
i. Melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) dijelaskan bahwa
kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Majelis ini
bertugas mempersiapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis
besar haluan negara. MPR juga mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan
wakilnya (Wakil Presiden). MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam
negara, sedangkan Presiden bertugas menjalankan haluan Negara menurut
garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR. Di sini, peran Presiden
adalah sebagai mandataris MPR, maksudnya Presiden harus tunduk dan
bertanggung jawab kepada MPR.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 hasil Amandemen keempat tahun
2002, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
yang dipilih melalui pemilihan umum. Hal ini juga tercantum dalam Pasal 19
ayat (1) UUD 1945 hasil Amandemen kedua tahun 2000 yang
berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan
umum.” serta Pasal 22C UUD 1945 hasil Amandemen ketiga tahun 2001 yang
berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi
melalui pemilihan umum.” Dalam Pasal 6A UUD 1945 yang merupakan hasil
Amandemen ketiga tahun 2001 dijelaskan mengenai pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden yang lengkapnya berbunyi:
a. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat.
b. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum.
c. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih
dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih
dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan
Wakil Presiden.
UUD 1945 yang merupakan Konstitusi Negara Republik Indonesia
mengatur masalah pemilihan umum dalam Bab VIIB tentang Pemilihan
Umum Pasal 22E sebagai hasil Amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001.
Secara lengkap, bunyi Pasal 22E tersebut adalah:
a. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
b. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
c. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik.
d. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah perseorangan.
e. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
f. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-
undang.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Dari materi diatas setidaknya ada beberapa poin yang dapat disarikan
dalam tema singkat tentang “pemilu” ini:
a. Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.
b. Secara umum pemilihan umum atau Pemilu di Indonesia memiliki tujuan
sebagai berikut: melaksanakan kedaulatan rakyat, sebagai perwujudan hak
asasi politik rakyat, untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di
DPR, DPD dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.,
melaksanakan pergantian personal pemerintahan secara damai, aman, dan
tertib (secara konstitusional), dan menjamin kesinambungan pembangunan
nasional.
c. Berdasarkan pasal 22E Ayat (1) UUD 1945, pemilu dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
d. Sebagaimana ketentuan UUD 1945 hasil amendemen, ada dua jenis Pemilu.
Dua jenis yang dimaksud meliputi, Pemilu Legislatif, yakni untuk memilih
para wakil rakyat (DPR, DPD, dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota) dan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, untuk memilih presiden dan wakil
presiden.
e. Berdasarkan kondisi tersebut di atas terdapat 3 (tiga) system pemilihan
umum, yaitu: Sistem Distrik yang merupakan system pemilu yang paling
tua dan didasarkan kepada kesatuan geografis, di mana satu kesatuan
geografis mempunyai satu wakil di parlemen, Sistem perwakilan
proporsional adalah presentasi kursi di DPR dibagi kepada tiap-tiap partai
politik, sesuai dengan jumlah suara yang diprolehnya, sistem gabungan
merupakan system yang menggabungkan system distrik dengan
proporsional.
B. Kritik dan Saran
Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak sekali kekurangan dan
jauh dari kesan “sempurna”. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat
dibutuhkan demi kesempurnaan makalah ini selanjutnya. Akhirnya semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam, 2007, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Ikrar Mandidrabadi.
Budiayanto. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA Kelas XI. Jakarta:
Erlangga
Soehino, 2010, Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan dan
Pelaksanaan Pemilihan umum di Indonesia,. Yogyakarta: UGM.
Tim Eska Media. 2002, Edisi Lengkap UUD 1945. Jakarta: Eska Media.
Undang-undang Politik 2003, UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD
Undang-undang Politik 2003, UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum,
hal 35.
Soehino, 2010. Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan dan Pelaksanaan
Pemilihan umum di Indonesia,( Yogyakarta: UGM),hlm.72
Miriam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. (Jakarta: Ikrar Mandidrabadi. 2007,
hlm. 177
Miriam Budiardjo. 2008. Edisi revisi Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Umum. hlm. 467-468.
UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. hlm.18
Tim Eska Media. Edisi Lengkap UUD 1945. (Jakarta: Eska Media. 2002). Hlm.74
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia
http://catatankaki06.blogspot.com/2013/12/tujuan-pemilu-di
indonesia.html#ixzz33kRWshkY
www.wikipedia.id.org/demokrasi
www.chandra-demokrasi_lengkap.blogspot.com
www.pemilu.blogspot.com
www.pemilu&jasaaa_yu.blogspot.com