Download - Makalah Ti Ascariasis
LAPORAN KASUS
Anak Perempuan dengan Infeksi Cacing
Kelompok III
030.07.271 Yanti Wijaya
030.07.348 Dimas Adi Bayu Dewo
030.09.076 Dyka Jafar Hutama Putra
030.09.081 Eva Natalia Manulang
030.10.020 Alice Melissa Simaela
030.10.022 Almirazada Zhes Putri
030.10.024 Amanda Kadar
030.10.025 Amelia Shadrina
030.10.026 Anak Agung Anom
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
13 Januari 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Cacingan masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Prevalensi penyakit cacingan berkisar 60% - 90% tergantung lokasi, higine, sanitasi pribadi
dan lingkungan penderita. Tingginya prevalensi ini disebabkan oleh iklim tropis dan
kelembaban udara yang tinggi di Indonesia selain higine dan sanitasi yang rendah sehingga
menjadi lingkungan yang baik untuk perkembangan cacing. Penularan infeksi cacing yang
tergolong STH umumnya terjadi melalui cara tertelan telur infeksius atau larva menembus
kulit seperti cacing tambang. Disebut sebagai STH karena bentuk infektif cacing tersebut
berada di tanah. Infeksi cacing usus merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
penurunan kualitas sumber daya manusia, dalam hal ini, akan menghambat pertumbuhan
fisik, perkembangan, dan kecerdasan bagi anak yang terinfeksi. Berikut ini akan dibahas
lebih lanjut mengenai infeksi cacing usus, gejala klinis yang akan terjadi, beserta
penatalaksanaan yang tepat.
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang anak perempuan usia 4 tahun dibawa ibunya ke puskesmas karena badannya
semakin kurus dan tidak nafsu makan sejak 2 bulan terakhir , kadang-kadang ada gejala diare.
Sejak 2 minggu yang lalu pasien batuk-batuk dan sesak nafas. Anak juga mengalami demam.
Demam telah dirasakan hilang timbul sejak 2 minggu yang lalu tetapi tetap tinggi selama 3
hari terakhir. Batuknya kering dan berbunyi. Keluarga pasien tinggal di daerah yang padat,
kumuh, dan tidak mempunyai jamban keluarga. Anak sering bermain di halaman tanpa
menggunakan alas kaki dan tidak mencuci tangan sebelum makan.
Pemeriksaan fisik
Kesadaran : kompos mentis, suhu : 39,0 oC , kulit tidak ditemukan petechiae, motorik
niormal, mata dan THT tidak ada kelainan, Jantung tidak ada kelainan. Pada auskultasi paru-
paru didapatkan wheezing. RR 20/menit. Abdomen tampak membuncit, Hepar dan Lien tidak
teraba.
BAB III
PEMBAHASAN
Untuk menegakkan sebuah diagnosis dan memberikan tata laksana yang tepat pada
pasien maka perlu dilakukan beberapa langkah sebagai berikut.
I. Anamnesis
Status Pasien
Nama : -
Usia : 4 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : -
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan utama yang didapat dari ibunya berupa badannya
semakin kurus dan tidak nafsu makan sejak 2 bulan terakhir , kadang-kadang ada gejala diare.
Berdasarkan keluhan yang dialami pasien tersebut, maka hipotesis yang didapat adalah
berupa :
Hipotesis
1 . Ascariasis
Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing ascaris lumbricoides dengan manusia sebagai satu-satunya hospes . Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva . Gangguan karna larva biasanya terjadi pada saat berada di paru yang dapat menimbulkan batuk , demam, eosinofilia . Pada foto thoraks tampak infiltrat yang hilang dalam waktu 3 minggu yang disebut sindrom loeffler . Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa seperti mual , diare , anoreksia .1
2. Necatoriasis dan Ankilostomiasis
Necatoriasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing necator americanus yang terdapat di indonesia . Gejala nekatoriasis bisaditimbulkan oleh stadium larva maupun dewasa . Gejala yang ditemukan pada stadium larva adalah ground itch yang diakibatkan
karena masuknya larva filariform dengan menembus kulit. Infeksi A.duodenale menyebabkan gejala mual , muntah , batuk . Gejala yang ditimbulkan oleh stadium dewasa tergantung dari species dan jumlah cacing ,pada infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer dan eosinofilia . 1
3. Tuberkulosis
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosa . Infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa pada anak-anak berbeda seperti pada orang dewasa karena pada anak-anak , gejala yang ditimbulkan seperti batuk non produktif , dispnea yang ringan merupakan gejala yang lazim . Keluhan sistemik seperti demam, keringan malam , anoreksia kurang sering terjadi . 2
4. Demam Tifoid
Penyakit demam tifoid merupakan suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi . Gejala yang ditimbulkan penderita nampak lesu, letih, kembung, muntah, batuk, diare . 3
Diperlukan anamnesis lanjutan terhadap keluhan utama pasien demi menentukan
diagnosis yang tepat;
1. Apakah ada anggota keluarga yang menderita TBC ? (Anamnesis ini mengacu pada hipotesis TBC)
2. Apakah ada demam lebih dari 2 minggu ? (Anamnesis ini mengacu pada hipotesis TBC)
3. Apakah berat badan naik atau turun ? (Anamnesis ini mengacu pada hipotesis TBC serta infeksi cacing)
4. Apakah ada rasa lemah , letih , lesu ? (Anamnesis ini mengacu pada hipotesis infeksi cacing)
5. Apakah ada luka pada telapak kaki atau tangan ? (Anamnesis ini mengacu pada hipotesis infeksi cacing)
6. Demamnya sejak kapan ? (Anamnesis ini mengacu pada hipotesis demam tifoid)7. Bagaimana sifatnya ? (Anamnesis ini mengacu pada hipotesis demam tifoid)8. Kapan waktu muncul demamnya ? (Anamnesis ini mengacu pada hipotesis demam
tifoid)
II. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda vital
a. Suhu :39o C (febris : >37,2)
b. Denyut nadi : -
c. Tekanan darah : -
d. Pernafasan : 20x/menit (N : 16-20x/pemenit)
e. BB : -
f. TB :-
Interpretasi Hasil : Pada pasien ini mengalami demam yang tinggi (febris),dan
pernafasannya normal
2. Keadaan umum
a. Kesan sakit : tampak sakit, lemas dan kurus
b. Kesadaran : compos mentis
3. Mata : tidak ada kelainan.
4. THT : tidak ada kelainan
5. Leher : tidak ada kelainan
6. Toraks
a. Paru-paru
Inspeksi : -
Palpasi : -
Perkusi :-
Auskultasi : wheezing (+)
Interpretasi : pada auskultasi di temukan suara wheezing. Suara wheezing
adalah jenis rhongki kering yang terdengar lebih nyaring. Rhongki kering
disebabkan terjadinya akibat udara melewati daerah yang sempit karena adanya
spasme bronkus.
7. Jantung : tidak ada kelainan
8. Abdomen : tampak membuncit (ascites)
9. Hepar dan Lien : tidak teraba
10. Ekstremitas : tidak ada kelainan
III. Pemeriksaan penunjang
Darah Lengkap
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Keterangan
Hemoglobin 10 g/dl 12-14 g/dl Anemia
Leukosit 4500 5000-10.000 Leukopenia
Hematokrit 32% 34% - 39% Menurun
LED 25 mm/jam 0-20 mm/jam Meningkat
Trombosit 250.000 >200.000 Normal
Diff Count 0/15/4/25/40/6 0-1/1-3/2-6/5070/20-
40/2-8
- Eusinofil
meningkat
- Segmen
Menurun
Selain itu tidak di temukan sel muda pada darah tepi. Hal ini menunjukkan hasil
normal, sel muda akan ditemukan bila pasien mengalami leukositosis. Parasit malaria juga
tidak ditemukan pada pemeriksaan darah. Oleh karena itu, hipotesa malaria dapat dihapuskan.
Urinalisa
Pada hasil urinalisa didapatkan hasil protein (-) dan glukosa (-) yang menunjukkan
hasil normal. Dimana pasien ini tidak mengalami gangguan ginjal.
Pada pemeriksaan sedimen
Leukosit : 3-4 / LPB Normal
Eritrosit : 0/LPB Normal
Silinder : Negatif (-) Normal
Bakteri : Negatif (-) Normal
Uji Feses
Pada pemeriksaan tinja didapatkan telur cacing yang berarti adanya infeksi cacing
pada pasien tersebut. Dilihat pada hasil pemeriksaan mikroskopis, ditemukan gambaran telur
bilayer, yang berisi larva, dan......
Morfologi telur ini merupakan telur
infektif/telur matang Ascaris
lumbricoides.
Pada hasil pemeriksaan tinja juga
didapatkan hasil eritrosit, leukosit, dan
darah samar didapatkan hasil negatif
yang berarti normal serta tidak
terdapatnya perdarahan pada GIT.
Uji Widal
Pada uji widal didapatkan hasil STO (-), STH (-), dan S. Parathpyii A/B/C (-).
Berdasarkan hasil tersebut maka hipotesa Demam Typhoid dapat dihapus.
Pemeriksaan Sputum
a. Pewarnaan gram tidak ditemukan bakteri
b. Pewarnaan tahan asam = BTA (-)
c. Pemeriksaan KOH 10% = Jamur (-)
d. Pewarnaan Wright/Giemsa = Eosinofilia
Dari hasil pemeriksaan sputum di atas, maka hipotesa TBC dapat dihapus serta
keadaan eosinofilia tersebut memperkuat hipotesa mengenai infeksi cacing pada pasien
tersebut.
Interpretasi Hasil foto rontgen
Pada hasil foto thorax didapatkan
gambaran infiltrat seluruh lapangan paru
kiri dan kanan. Hal ini menunjukkan
terdapatnya sindroma Loeffler sebagai
gambaran khas penderita askariasis.
IV. Diagnosis
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang,
maka diagnosa pada pasien ini ialah : Ascariasis dengan sindroma Loeffler.
V. Patofisiologi
Awal penyakit, telur yang tertelan melalui mulut akan melewati saluran cerna hingga
mencapai lumen usus halus, kemudian Larvanya menembus dinding usus halus menuju
pembuluh darah atau saluran limfe, dimana disini tubuh akan berespon dengan terjadinya
reaksi imun pertama. Larva ini akan ditangkap oleh APC(makrofag,dendritik sel,sel B) yang
kemudian akan membawanya ke limfanodulus untuk di presentasikan ke sel Th, yang akan
mengaktivasi sel Th memproduksi IL 4 yang bekerja pada sel Th sendiri sehingga sel Th
berdifferensiasi menjadi sel Th2. Kemudian sel Th2 akan mengeluarkan dua sitokin, yaitu:
IL-4 yang akan mengaktivasikan sel B menjadi sel plasma yang siap untuk memproduksikan
antibodi,yaitu IgE , Ige kemudian akan menempel ke sel mast sehingga berdegranulasi
sedangkan IL-5 berguna untuk aktivasi eosinofil. Kemudian Fc reseptor dari IgE yang lain
akan berikatan dengan eosinofil. Antigen-antigen larva akan berikatan pada Fab IgE dan
menyebabkan cross-linking sehingga eosinofil tersensitisasi dan berdegranulasi
mengeluarkan granulanya yang akan membunuh larvanya.
Namun, larva yang berhasil berevasi dari sistem imun dapat memasuki kapiler darah
menuju jantung dan paru, hingga ke laring. Respon imun yang berperan disini adalah
mukosa berupa sel dendritik dan makrofag yang menangkap larva dan memulai proses imun,
peristiwa respon imun yang terjadi hampir sama dengan saat pertama kali. Respon imun,
dimana pengeluaran histamin dari sel mast, leukotrien dan prostalglandin akan menyebabkan
bronkokonstriksi dari paru, sehingga akan menimbulkan suara wheezing.
Eosinofil yang melawan dan membunuh larva akan memunculkan gambaran klinis berupa
eosinofilia dan gambaran infiltrat yang kita kenal dengan Sindrom Looffler, ia juga akan
memicu rasa gatal yaitu histamin akan memunculkan refleks batuk, yang dapat
mengakibatkan tertelannya larva filariform sehingga dapat memasuki sistem gastrointestinal
melalui esofagus.
Saat di usus, sebagian besar cacing akan menghabiskan stadium akhir hidupnya di
bagian lumen dari usus. Reaksi pertahanan imun yang terjadi juga sama, tetapi pada saat telah
mencapai stadium dewasa, maltosa dari cacing tersebut yang akan di kenali oleh sel mast. Di
dalam usus kecil ini, cacing akan mengabsorbsi nutrisi makanan berupa (karbohidrat dan
protein) sehingga menyebabkan cairan intravaskuler tertarik keluar intertisial yang
menyebabkan acites pada bagian abdomen anak tersebut. Untuk mengeluarkan cacing maka
juga terjadi hiperperistaltik, diharapkan akhirnya cacing keluar dari usus. Ini merupakan efek
dari sel-sel yg bergranulasi, keadaan ini juga menimbulkan gejala klinis berupa diare.
Sel-sel yang bergranulasi adalah sel mast, netrofil, basofil, dan eosinofil. Sel mast
kemungkinan teraktivasi ketika molekul cacing terikat ke Toll-like receptors. Pada saat
aktivasi, sel mast melepaskan subtansi ke permukaan dari patogen. Beberapa subtansi
tersebut seperti histamin dan enzim proteolitik. Contoh lain yaitu prostaglandin dan
leukotriens, yg sebagian besar diproduksi dari metabolisme asam arakhidonat setelah sel mast
teraktivasi. Subtansi-subtansi ini menimbulkan efek seperti:
- Histamin dapat menyebabkan kontraksi dari otot polos di usus dan relaksasi otot polos di
pembuluh darah
- Enzim proteolitik untuk pemecahan C3 dan mengaktivasi jalur komplemen
- Metabolisme asam arakhidonat (tromboksan, leukotriens, prostaglandin) mempunyai
banyak kegunaan
- Sitokin seperti IL-3 dan IL-8 mengaktivasi eosinofil dan sel-sel sistem imun adaptif.
Keuntungan dari mediator ini adalah sekresi mukus meningkat dan kontraksi otot polos yang
cukup memungkinkan untuk mengeluarkan cacing. Pembuluh darah juga ikut berdilatasi dan
sel leukosit lainnya tertarik ke tempat adanya cacing dengan kemotaksis. Siklusnya mirip
dengan makrofag yang menarik neutrofil ke tempat infeksi bakteri.
Salah satu sel yang ikut ke tempat adanya cacing adalah eosinofil. Sumsum tulang
memproduksi eosionofil yang akan meningkat oleh IL-3 dan IL-5. Leukotrien merupakan
kemotraktan untuk eosinofil dan menarik mereka ke tempat cacing.
Eosinofil melepaskan subtansi yang mirip dengan sel mast kecuali histamin. Lalu eosinofil
juga melepaskan 3 subtansi berbahaya:
- Peroksidase yang akan menghasilkan asam hipoklorus
- Protein dasar untuk menyerang lapisan terluar parasit
- Protein kationik yang juga akan merusak lapisan terluar cacing dan melumpuhkan sistem
saraf cacing
Dari kejadian dan keterangan di atas maka memungkinkan pasien tersebut untuk merasakan
batuk dan demam berulang hingga mencapai fase kronis.
VI. Penatalaksanaan
Medikamentosa
Obat-obat yang dapat digunakan untuk membasmi cacing adalah :
-Albendazol
Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 400 mg.
-Mebendazol
Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari.
-Pirantel Pamoat
Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan, maksimum 1 g.
Efek samping obat ini adalah rasa mual, mencret, pusing, ruam kulit dan demam.
Non-Medikamentosa
Penatalaksanaan non-medikamentosa dapat dilakukan dengan memberikan edukasi, berupa :
1. Menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumah
2. Membiasakan diri mencuci tangan dan memakai alas kaki
3. Membuat fasilitas MCK yang memadai
4. Memasak makanan dengan matang
VII. Prognosis
Pada umumnya askariasis mempunyai prognosis baik. Tanpa pengobatan-pun,
penyakit ini dapat sembuh sendiri namun dalam jangka waktu yang lama yaitu 1,5 tahun.
Namun, dengan pengobatan angka kesembuhan 70-90%. Maka jika pasien ini mendapat
penatalaksanaan yang baik dan tepat maka prognosisnya baik ad vitam, ad sanationam,
maupun ad fungsionam adalah Ad Bonam.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Nematoda
Nematoda mempunyai jumlah spesies terbanyak diantara cacing-cacing yang hidup
sebagai parasit. Cacing tersebut berbeda-beda dalam habitat, daur hidup, dan hubungan
hospes-parasit. Nemmatoda terbagi menjadi nematoda usus dan nematoda jaringan . Manusia
merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda tersebut menyebabkan
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara nematoda usus, terdapat sejumlah
spesies yang ditularkan melalui tanah disebut soil transmitted helminths. Cacing yang
terpenting bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma
duodenale, Trichuris trichiura, Strongiloides stercoralis, dan beberapa spesies
Trichostrongylus. Nematoda usus lainnya bagi manusia adalah Oxyuris vermicularis dan
Trichinella spiralis yang merupakan non soil transmitted helminths.
Ascaris Lumbricoides
Prevalensi Ascaris lumbricoides masih cukup tinggi di Indonesia sekitar 60-90 %.
Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja
disekitar halaman rumah, dibawah pohon, ditempat mencuci, dan dibawah tempat
pembuangan sampah. Dinegara-
negara tertentu terdapat kebiasaan
memakai tinja sebagai pupuk.
Tanah liat, kelembapan tinggi dan
suhu 25-30oC merupakan kondisi
yang sangat baik untuk
berkembangnya telur ascaris
lumbrocoides menjadi bentuk
infektif. Penyakit yang
disebabkannya disebut Ascariasis.
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Stadium dewasa hidup di rongga
usus kecil. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000 – 200.000 butir sehari.
Terdiri atas telur yang dibuahi dan tidak dibuahi. Telur yang dibuahi berkembang menjadi
bentuk invektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bila telur ini tertelan manusia, maka
menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus ke pembuluh darah atau
saluran limfe lalu dialirkan ke jantung kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di
paru menembus dinding pembuluh darah lalu dinding alveolus masuk rongga alveolus
kemudian naik ke trakhea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakhea larva menuju faring
sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut
dan larva akan tertelan ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva
berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur
dibutuhkan waktu kurang lebih 2-3 bulan.
Patologi dan Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva.
Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada orang yang rentan
akan terjadi perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang
disertai batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto torax tampak infiltrat yang menghilang
dalam waktu 3 minggu (sindrom Loofler). Gangguan yang disebabkan cacing dewasa
biasanya ringan, kadang penderita mengalami gangguan seperti mual, nafsu makan
berkurang, diare, dan konstipasi. Pada infeksi berat terutama pada anak dapat terjadi
malabsorbsi sehingga terjadi memperberat keadaan malnutrisi dan penurunan status kognitif.
Efek yang serius ialah ketika cacing menggumpal dalam usus dan menimbulkan obstruksi.
Pada keadaan tertentu cacing dewasa dapat mengembara ke saluran empedu, appendix atau
ke bronkus yang menimbulkan keadaan gawat darurat dan terkadang perlu tindakan operatif.
Diagnosis
Cara menegakkan diagnosis penyakit ini adalah pemeriksaan tinja secara langsung.
Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis ascariasis. Selain itu diagnosis dapat dibuat
apabila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung karena muntah maupun
melalui tinja.
Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal. Untuk perorangan
dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya piperasin, pirantel pamoat 10 mg/kg berat
badan, dosis tunggal mebendazol 500 mg atau albendazol 400 mg.
Oksantel-pirantel pamoat adalah obat yang dapat digunakan untuk infeksi campuran
A.lumbricoides dan T.trichiura. Untuk pengobatan masal perlu beberapa syarat, yaitu :
Obat mudah diterima masyarakat
Aturan pemakaian sederhana
Mempunyai efek samping yang minim
Bersifat polivalen, sehingga berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing
Harganya murah
Pengobatan masal dilakukan oleh pemerintah pada anak sekolah dasar dengan
pemberian albendazol 400 mg 2 kali setahun.
Prognosis
Pada umumnya askariasis mempunyai prognosis baik. Tanpa pengobatan, penyakit
dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun. Dengan pengobatan, angka kesembuhan 70-
99%.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,dan hasil laboratorium, kelompok kami
menyimpulkan bahwa pasien ini mengalami infeksi cacing Ascaris lumbricoides dengan
Sindroma Loeffler. Hal ini dikarenakan kebiasaan pasien yang tidak mencuci tangan sebelum
makan serta tidak memakai alas kaki. Sehingga dapat dengan mudah terkena Askariasis.
Penatalaksanaan pada pasien ini dapat berupa medikamentosa dengan pemberian obat cacing,
serta non medikamentosa dengan memberikan edukasi. Prognosis umumnya baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Supali T , Margono S . Nematoda usus . Sutanto I , Ismid I , Sjarifuddin P ,
Sungkar S . Parasitologi kedokteran . edisi keempat . jakarta : Universitas
Indonesia ; 2009 . p . 6 ; 13 .
2. Starke J . Tuberkulosis . Wahab S . ilmu kesehatan anak . edisi 15 volume 2 .
jakarta : EGC ; 2000 . p 1030 .
3. Nasronudin . demam tifoid . Hadi U , Vitanata , Suharto , Bramantono .
penyakit infeksi di indonesia . jakarta : Universitas airlangga ; 2007 . p 138.
4. Sutanto Inge. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.
5. Priyana Adi. Patologi Klinik untuk Kurikulum Pendidikan Dokter berbasis
Kompetensi. Jakarta: Universitas Trisakti; 2010.
6. Sudoyo Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.
7. Sumarmo, Garna H, Hadinegoro S. Infeksi dan Penyakit Tropis Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak Edisi I. Jakarta: FKUI ; 2002.
8. Rampengan TH, Laurentz IR. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta:
EGC; 1993.
9. Baratawijaya KG. Imunologi Dasar Edisi IX. Jakarta: FKUI; 2010.