Download - MinPro Malaria
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Derajat kesehatan masyarakat
dapat dilihat dari berbagai indikator, yang meliputi indikator angka harapan hidup,
angka kematian, angka kesakitan, dan status gizi masyarakat. Adapun salah satu
program pokok pembangunan kesehatan adalah program pemberantasan penyakit
menular dan imunisasi yaitu untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan
kematian dari penyakit menular dan mencegah penularan serta mengurangi dampak
sosial dari akibat penyakit sehingga tidak menjadi masalah kesehatan.
Penyakit malaria hingga kini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat dunia termasuk Indonesia dan endemik di 92 negara dengan 41%
penduduk dunia berada dalam keadaan risiko. Malaria tersebar di daerah tropis dan
subtropis seperti India, Amerika Selatan (kecuali Cili), Afghanistan, Sri Lanka,
Thailand, Indonesia, Kamboja, Cina, Filipina, Amerika Tengah, Meksiko, dan Afrika.
Epidemi malaria terakhir di Cili terjadi pada Maret 1945 dan tidak ditemukan adanya
laporan kasus sejak saat itu. Berdasarkan data WHO (2004), di dunia setiap tahunnya
ditemukan 300-500 juta kasus baru dengan kematian lebih kurang 2 juta orang per
tahun, separuhnya terdapat pada anak-anak di bawah 5 tahun. Berdasarkan WHO
(2008), di dunia terdapat 243 juta kasus malaria dengan 863.000 kematian dan 85 %
kematian terjadi pada anak-anak di bawah 5 tahun.
Transmisi malaria yang tinggi dijumpai di daerah pinggiran hutan di Amerika
selatan (Brasil), Asia Tenggara (Thailand dan Indonesia) dan di seluruh Sub-Sahara
Afrika. Menurut WHO (2008), malaria menyebabkan 2.414 kematian setiap hari di
dunia, dengan lebih dari 90% kematian terjadi di Sub-Sahara Afrika. Malaria adalah
suatu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Asia Tenggara. Annual Parasite
Incidence (API) malaria tertinggi dilaporkan dari Timor Leste (42,5‰) diikuti oleh
Myanmar (10,2‰) dan Indonesia (3,8‰) sedangkan API terendah dilaporkan dari Sri
Lanka (0,1‰) diikuti oleh Nepal (0,17‰) dan Bhutan (0,67‰).
Di Indonesia penyakit malaria tersebar diseluruh pulau dengan derajat
endemisitas yang berbeda-beda dan dapat berjangkit didaerah dengan ketinggian
1
sampai 1800 meter diatas permukaan laut. Malaria merupakan masalah kesehatan
yang penting di Indonesia, oleh karena penyakit ini endemik di sebagian besar
wilayah Indonesia, terutama di luar Jawa dan Bali. Menurut WHO (2008), API
Indonesia selama tahun 2008 sebesar 3,82‰ atau mengalami peningkatan jika
dibandingkan tahun 2007 sebesar 3,10‰. Target Indonesia untuk API tahun 2010
adalah 2,01 per 1.000 penduduk. Daerah dengan kasus malaria tinggi dilaporkan dari
kawasan Timur Indonesia antara lain Propinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, Maluku
dan Sulawesi Tenggara. Di kawasan lain angka malaria dilaporkan masih cukup
tinggi antara lain di Propinsi Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Sumatera Selatan,
Bengkulu dan Riau.
Menurut Laihad dan Arbani dalam Harijanto (2009), malaria masih merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, karena
mempengaruhi angka kesakitan bayi, balita, dan ibu melahirkan, serta menimbulkan
Kejadian Luar Biasa (KLB). Jumlah kabupaten/kota endemik tahun 2004 sebanyak
424 dari 579 kabupaten/kota, dengan perkiraan persentase penduduk yang berisiko
penularan sebesar 42,42%. Angka kasus malaria di Jawa-Bali atau yang dikenal
dengan API selama tahun 2008 sebesar 0,16‰. Di luar Jawa-Bali, angka klinis
malaria per 1.000 penduduk yang dikenal dengan Annual Malaria Incidence (AMI)
selama tahun 2008 sebesar 18,82‰. Proporsionate Mortality Ratio (PMR) karena
malaria berdasarkan survei kesehatan rumah tangga pada tahun 2001 sebesar 2%.
Dalam periode ini, KLB malaria terjadi di 23 propinsi, 51 kabupaten/kota, meliputi
108 desa dengan jumlah penderita 11.597 dan kematian 298 jiwa.
Di Propinsi luar Jawa dan Bali pada tahun 2008, AMI tertinggi adalah di Papua
Barat yaitu sebesar 167,47 per 1.000 penduduk, diikuti oleh NTT (104,10‰), Papua
(84,74‰), dan Maluku Utara (51,42‰). Sedangkan untuk wilayah Jawa dan Bali,
API tertinggi adalah Propinsi Jawa Timur sebesar 0,71 per 1.000 penduduk, diikuti
Jawa Barat 0,58 per 1.000 penduduk.
Berdasarkan data Depkes tahun 2007 dalam Harijanto (2009) di Sumatera utara
malaria endemis di Kabupaten Nias, Mandailing Natal, Simalungun, Nias Selatan,
Padang Lawas, dan Labuhan Batu. Tahun 2006 jumlah kasus malaria klinis di
Propinsi Riau sebanyak 28.105 kasus. Di Rumah Sakit Moehammad Hoesin
Palembang, malaria ditemukan 35 kasus pada tahun 1999, dan 57 kasus pada tahun
2000 dengan Case Fatality Rate (CFR) masing-masing 5,7% dan 5,2%. Dari adanya
peningkatan kasus penyakit malaria maka peneliti tertarik untuk mengetahui
2
bagaimana gambaran karakteristik pasien malaria di poliklinik umum Puskesmas C
Nawangsasi periode Februari – Maret 2013.
1.2. Perumusan Masalah
Adanya peningkatan angka kejadian Malaria dari tahun ke tahun dan belum
diketahuinya karakteristik pasien Malaria. Untuk itu peneliti ingin mengetahui,
bagaimana gambaran karakteristik pasien Malaria di poliklinik umum Puskesmas C
Nawangsasi periode Februari – Maret 2013.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui, bagaimana gambaran karakteristik pasien Malaria di poliklinik
umum Puskesmas C Nawangsasi periode Februari – Maret 2013.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi frekuensi pasien Malaria berdasarkan jenis kelamin
b. Mengetahui distribusi frekuensi pasien Malaria berdasarkan umur
c. Mengetahui distribusi frekuensi pasien Malaria berdasarkan tempat tinggal
d. Mengetahui distribusi frekuensi pasien Malaria berdasarkan pemeriksaan hapuskan
darah tebal (DDR)
1.4. Manfaat Penelitian
a. Sebagai informasi dan masukan bagi pengelola program penanggulangan penyakit
malaria di Puskesmas maupun Dinas Kesehatan Kota Musi Rawas.
b. Sebagai bahan informasi untuk penelitian lebih lanjut serta menambah wawasan
ilmu pengetahuan dalam penanggulangan penyakit malaria.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Malaria
Penyakit malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit dari genus
Plasmodium yang termasuk golongan protozoa melalui perantaraan tusukan (gigitan)
nyamuk Anopheles spp. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
endemisitas tinggi.
Malaria maupun penyakit yang menyerupai malaria telah diketahui ada selama
lebih dari 4.000 tahun yang lalu. Malaria dikenal secara luas di daerah Yunani pada
abad ke-4 SM dan dipercaya sebagai penyebab utama berkurangnya penduduk kota.
Penyakit malaria sudah dikenal sejak tahun 1753, tetapi baru ditemukan parasit dalam
darah oleh Alphonse Laxeran tahun 1880. Untuk mewarnai parasit, pada tahun 1883
Marchiafava menggunakan metilen biru sehingga morfologi parasit ini lebih mudah
dipelajari. Siklus hidup plasmodium di dalam tubuh nyamuk dipelajari oleh Ross dan
Binagmi pada tahun 1898 dan kemudian pada tahun 1900 oleh Patrick Manson dapat
dibuktikan bahwa nyamuk adalah vektor penular malaria.
Pada tahun 1890 Giovanni Batista Grassi dan Raimondo Feletti adalah dua
peneliti Italia yang pertama kali memberi nama dua parasit penyebab malaria pada
manusia, yaitu Plasmodium vivax dan Plasmodium malariae. Pada tahun 1897
seorang Amerika bernama William H. Welch memberi nama parasit penyebab
malaria tertiana sebagai Plasmodium falciparum dan pada 1922 John William
Watson Stephens menguraikan nama parasit malaria keempat, yaitu Plasmodium
ovale.
Penyakit malaria hingga kini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat dunia yang utama. Malaria menyebar di berbagai negara, terutama di
kawasan Asia, Afrika,dan Amerika Latin. Di berbagai negara, malaria bukan hanya
permasalahan kesehatan semata. Malaria telah menjadi masalah sosial-ekonomi,
seperti kerugian ekonomi, kemiskinan dan keterbelakangan.
2.2. Agent Penyakit Malaria
Agent penyakit malaria adalah genus plasmodia, family plasmodiidae, dan
order Coccidiidae. Ada empat jenis parasit malaria, yaitu:
2.2.1. Plasmodium falciparum
4
Menyebabkan malaria falciparum atau malaria tertiana yang maligna (ganas)
atau dikenal dengan nama lain sebagai malaria tropika yang menyebabkan demam
setiap hari.
2.2.2. P. vivax
Menyebabkan malaria vivax atau disebut juga malaria tertiana benigna (jinak).
2.2.3. P. malariae
Menyebabkan malaria kuartana atau malaria malariae.
2.2.4. P. ovale
Jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya banyak di Afrika dan Pasifik Barat,
menyebabkan malaria ovale.
Seorang penderita dapat dihinggapi oleh lebih dari satu jenis plasmodium.
Infeksi demikian disebut infeksi campuran (mixed infection). Biasanya paling banyak
dua jenis parasit, yakni campuran antara P. falciparum dengan P. vivax atau P.
malariae. Kadang-kadang dijumpai tiga jenis parasit sekaligus, meskipun hal ini
jarang sekali terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah yang tinggi angka
penularannya.
Masa inkubasi malaria atau waktu antara gigitan nyamuk dan munculnya gejala
klinis sekitar 7-14 hari untuk P. falciparum, 8-14 hari untukP. vivax dan P. ovale, dan
7-30 hari untuk P. malariae. Masa inkubasi ini dapat memanjang antara 8-10 bulan
terutama pada beberapa strain P. vivax di daerah tropis. Pada infeksi melalui transfusi
darah, masa inkubasi tergantung pada jumlah parasit yang masuk dan biasanya
singkat tetapi mungkin sampai 2 bulan. Dosis pengobatan yang tidak adekuat seperti
pemberian profilaksis yang tidak tepat dapat menyebabkan memanjangnya masa
inkubasi.
P. falciparum, salah satu organisme penyebab malaria, merupakan jenis yang
paling berbahaya dibandingkan dengan jenis plasmodium lain yang menginfeksi
manusia, yaitu P. vivax, P. malariae, dan P. ovale. Saat ini, P. falciparum merupakan
salah satu spesies penyebab malaria yang paling banyak diteliti. Hal tersebut karena
spesies ini banyak menyebabkan angka kesakitan dan kematian pada manusia.
2.3. Patogenesis Malaria
Patogenesis malaria sangat kompleks, dan seperti patogenesis penyakit infeksi
pada umumnya melibatkan faktor parasit, faktor penjamu, dan lingkungan. Ketiga
faktor tersebut saling terkait satu sama lain, dan menentukan manifestasi klinis
5
malaria yang bervariasi mulai dari yang paling berat, yaitu malaria dengan
komplikasi gagal organ (malaria berat), malaria ringan tanpa komplikasi, atau yang
paling ringan, yaitu infeksi asimtomatik. Tanda dan gejala klinis malaria yang timbul
bervariasi tergantung pada berbagai hal antara lain usia penderita, cara transmisi,
status kekebalan, jenis plasmodium, infeksi tunggal atau campuran. Selain itu yang
tidak kalah penting adalah kebiasaan menggunakan obat anti malaria yang kurang
rasional yang dapat mendorong timbulnya resistensi. Berbagai faktor tersebut dapat
mengacaukan diagnosis malaria sehingga dapat disangka demam tifoid atau hepatitis,
terlebih untuk daerah yang dinyatakan bebas malaria atau yang Annual Parasite
Incidence –nya rendah.
2.4. Gejala Malaria
Secara klinis, gejala dari penyakit malaria terdiri atas beberapa serangan
demam dengan interval tertentu yang diselingi oleh suatu periode dimana penderita
bebas sama sekali dari demam. Gejala klinis malaria antara lain sebagai berikut.
a. Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan berkeringat.
b. Nafsu makan menurun.
c. Mual-mual kadang-kadang diikuti muntah.
d. Sakit kepala yang berat, terus menerus, khususnya pada infeksi dengan
plasmodium Falciparum.
e. Dalam keadaan menahun (kronis) gejala diatas, disertai pembesaran limpa.
f. Malaria berat, seperti gejala diatas disertai kejang-kejang dan penurunan.
Pada anak, makin muda usia makin tidak jelas gejala klinisnya tetapi yang
menonjol adalah mencret (diare) dan pusat karena kekurangan darah (anemia) serta
adanya riwayat kunjungan ke atau berasal dari daerah malaria.
Malaria menunjukkan gejala-gejala yang khas, yaitu:
a. Demam berulang yang terdiri dari tiga stadium: stadium kedinginan, stadium
panas, dan stadium berkeringat
b. Splenomegali (pembengkakan limpa)
c. Anemi yang disertai malaise
Serangan malaria biasanya berlangsung selama 6-10 jam dan terdiri dari tiga
tingkatan, yaitu:
2.4.1. Stadium dingin
Stadium ini mulai dengan menggigil dan perasaan yang sangat dingin. Gigi
6
gemeretak dan penderita biasanya menutup tubuhnya dengan segala macam pakaian
dan selimut yang tersedia nadi cepat tetapi lemah. Bibir dan jari jemarinya pucat
kebiru-biruan, kulit kering dan pucat. Penderita mungkin muntah dan pada anak-anak
sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
2.4.2. Stadium Demam
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini penderita merasa kepanasan.
Muka merah, kulit kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, sakit kepala dan
muntah sering terjadi, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya penderita merasa sangat haus
dan suhu badan dapat meningkat sampai 41°C atau lebih. Stadium ini berlangsung
antara 2 sampai 4 jam. Demam disebabkan oleh pecahnya skizon darah yang telah
matang dan masuknya merozoit darah ke dalam aliran darah. Pada P. vivax dan P.
ovale skizon-skizon dari setiap generasi menjadi matang setiap 48 jam sekali
sehingga demam timbul setiap tiga hari terhitung dari serangan demam sebelumnya.
Nama malaria tertiana bersumber dari fenomena ini. Pada P. malaria, fenomena
tersebut 72 jam sehingga disebut malaria P.vivax/P.ovale, hanya interval demamnya
tidak jelas. Serangan demam diikuti oleh periode laten yang lamanya tergantung pada
proses pertumbuhan parasit dan tingkat kekebalan yang kemudian timbul pada
penderita.
2.4.3. Stadium Berkeringat
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali sampai-sampai tempat
tidurnya basah. Suhu badan meningkat dengan cepat, kadang-kadang sampai dibawah
suhu normal. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak. Pada saat bangun dari tidur
merasa lemah tetapi tidak ada gejala lain, stadium ini berlangsung antara 2 sampai 4
jam.
Gejala-gejala yang disebutkan diatas tidak selalu sama pada setiap penderita,
tergantung pada spesies parasit dan umur dari penderita, gejala klinis yang berat
biasanya terjadi pada malaria tropika yang disebabkan oleh plasmodium falciparum.
Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan parasit (bentuk trofozoit dan skizon)
untuk berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh seperti otak, hati dan ginjal
sehingga menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah pada organ-organ tubuh
tersebut.
Gejala berupa koma/pingsan, kejang-kejang sampai tidak berfungsinya ginjal.
Kematian paling banyak disebabkan oleh jenis malaria ini. Kadang–kadang gejalanya
mirip kolera atau disentri. Black water fever yang merupakan gejala berat adalah
7
munculnya hemoglobin pada air seni yang menyebabkan warna air seni menjadi
merah tua atau hitam. Gejala lain dari black water fever adalah ikterus dan muntah-
muntah yang warnanya sama dengan warna empedu, black water fever biasanya
dijumpai pada mereka yang menderita infeksi P. falcifarum yang berulang -ulang dan
infeksi yang cukup berat.
Secara klasik demam terjadi setiap dua hari untuk parasit tertiana
(P.falciparum, P. vivax, dan P. ovale) dan setiap tiga hari untuk parasit quartan
(P.malariae). CDC (2004) dalam Sembel (2009) mengemukakan bahwa karakteristik
parasit malaria dapat mempengaruhi adanya malaria dan dampaknya terhadap
populasi manusia. P.falciparum lebih menonjol di Afrika bagian selatan Sahara
dengan jumlah penderita yang lebih banyak, demikian juga yang meninggal
dibandingkan dengan daerah-daerah tempat parasit yang lain lebih menonjol. P. vivax
dan P. ovale memiliki tingkatan hynozoites yang dapat tetap dorman dalam sel hati
untuk jangka waktu tertentu (bulan atau tahun) sebelum direaktivasi dan menginvasi
darah. P.falciparum dan P. vivax kemungkinan mampu mengembangkan
ketahanannya terhadap obat antimalaria.
2.5. Penularan Malaria
Malaria ditularkan ke penderita dengan masuknya sporozoit plasmodium
melalui gigitan nyamuk betina Anopheles yang spesiesnya dapat berbeda dari satu
daerah dengan daerah lainnya. Terdapat lebih dari 15 spesies nyamuk Anopheles
yang dilaporkan merupakan vektor malaria di Indonesia. Penularan malaria dapat
juga terjadi dengan masuknya parasit bentuk aseksual (tropozoit) melalui transfusi
darah, suntikan atau melalui plasenta (malaria congenital).
Dikenal adanya berbagai cara penularan malaria:
2.5.1. Penularan secara alamiah (natural infection)
Penularan ini terjadi melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang infektif.
Nyamuk menggigit orang sakit malaria maka parasit akan ikut terhisap bersama darah
penderita malaria. Di dalam tubuh nyamuk parasit akan berkembang dan bertambah
banyak, kemudian nyamuk menggigit orang sehat, maka melalui gigitan tersebut
parasit ditularkan ke orang lain.
2.5.2. Penularan yang tidak alamiah
a. Malaria bawaan (congenital)
8
Terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena ibunya menderita malaria.
Disebabkan adanya kelainan pada sawar plasenta sehingga tidak ada penghalang
infeksi dari ibu kepada bayi yang dikandungnya.
b. Secara mekanik
Penularan terjadi melalui transfusi darah atau melalui jarum suntik. Penularan
melalui jarum suntik banyak terjadi pada para pecandu obat bius yang menggunakan
jarum suntik yang tidak steril.
c. Secara oral (melalui mulut)
Cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung, ayam (P.gallinasium)
burung dara (P.Relection) dan monyet (P.Knowlesi).
Pada umumnya sumber infeksi bagi malaria pada manusia adalah manusia lain
yang sakit malaria baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis. Kecuali bagi
simpanse di Afrika yang dapat terinfeksi oleh penyakit malaria, belum diketahui ada
hewan lain yang dapat menjadi sumber bagi plasmodium yang biasanya menyerang
manusia. Malaria, baik yang disebabkan oleh P. falciparum, P. vivax, P. malariae
dan P. ovale semuanya ditularkan oleh nyamuk anopheles. Nyamuk yang menjadi
vektor penular malaria adalah Anopheles sundaicus, Anopheles aconitus, Anopheles
barbirostris, Anopheles subpictus, dan sebagainya.
Vektor malaria yang dominan terhadap penularan malaria di Indonesia adalah
sebagai berikut:
i. Wilayah Indonesia Timur, yaitu Papua, Maluku, dan Maluku Utara, di wilayah
pantai adalah An. subpictus, An. farauti, An. koliensis dan An. punctulatus sedangkan
di wilayah pegunungan adalah An. farauti.
ii. Wilayah Indonesia Tengah, yaitu Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan, NTT dan
NTB, vektor yang berperan di daerah pantainya adalah An. subpictus, An.
barbirostris. Khusus di NTB adalah An. subpictus dan An. sundaicus. Sedangkan di
wilayah pegunungan adalah An. barbirostris, An. flavirostris, An letifer. Khusus
wilayah Kalimantan, selain Anopheles tersebut di atas juga An. balabacencis.
iii. Untuk daerah pantai di wilayah Sumatera, An. sundaicus; daerah pegunungan
An.leucosphyrus, An. balabacencis, An. sinensis, dan An. maculatus.
iv. Wilayah Pulau Jawa. Vektor yang berperan di daerah pantai adalah An.sundaicus
dan An. subpictus dan di pegunungan adalah An. maculatus, An.balabacencis dan An.
aconitus.
9
2.6. Epidemiologi Penyakit Malaria
2.6.1. Distribusi Frekuensi Malaria
a. Orang
Di Indonesia, malaria merupakan masalah kesehatan yang penting, oleh karena
penyakit ini endemik di sebagian besar wilayah Indonesia terutama di luar Jawa dan
Bali. Epidemi malaria seringkali dilaporkan dari berbagai wilayah dengan angka
kematian yang lebih tinggi pada anak-anak di bawah 5 tahun dibanding orang
dewasa.
Penelitian Yulius (2007) dengan desain case series di Kabupaten Bintan Kepulauan
Riau tahun 2005-2006 terdapat 384 penderita malaria, 243 orang (63,3%) laki-laki
dan 141 orang (36,7%) perempuan, kelompok umur 5-14 tahun 23 orang (6%), 15-44
tahun 326 orang (84,9%), dan >45 tahun 35 orang (9,1%).
Penelitian Yoga dalam Sarumpaet dan Tarigan (2006) tahun 1999 di Kabupaten
Jepara Jawa Tengah, diperoleh bahwa dari 145 kasus malaria yang diteliti, 44%
berasal dari pekerjaan petani serta tidak ditemukan pada PNS/TNI/POLRI. Penelitian
Sunarsih, dkk tahun 2004-2007 dengan desain kasus kontrol, kasus malaria di
wilayah Puskesmas Pangkalbalam Kota Pangkalpinang banyak diderita responden
berumur 21-25 tahun (17,6%), umur 36-40 tahun (14,7%). Namun secara keseluruhan
fenomena tersebut menunjukkan bahwa penyakit malaria menyerang hampir seluruh
kelompok umur, 80 orang mempunyai jenis kelamin laki-laki (58,8%), perempuan
41,2% (56 orang).
b. Tempat
Batas dari penyebaran malaria adalah 64°LU (Rusia) dan 32°LS (Argentina).
Ketinggian yang dimungkinkan adalah 400 meter di bawah permukaan laut (Laut
mati dan Kenya) dan 2600 meter di atas permukaan laut (Bolivia). Plasmodium vivax
mempunyai distribusi geografis yang paling luas, mulai dari daerah beriklim dingin,
subtropik sampai kedaerah tropik. Malaria di suatu daerah dikatakan endemik apabila
kesakitannya yang disebabkan oleh infeksi alamiah, kurang lebih konstan selama
beberapa tahun berturut-turut. Berdasarkan hasil Spleen Rate (SR), yaitu persentase
penduduk yang limpanya membesar dari seluruh penduduk yang diperiksa pada
kelompok umur 2-9 tahun, suatu daerah dapat diklasifikasikan menjadi 4 tingkat
endemisitas :
i. Hipoendemik SR < 10%
ii. Mesoendemik SR 11-50%
10
iii. Hiperendemik SR > 50% (SR dewasa tinggi > 25 %)
iv. Holoendemik SR >75 % (SR dewasa rendah).
Berdasarkan AMI, daerah malaria dapat diklasifikasikan menjadi :
i. Low Malaria Incidence, AMI < 10 kasus per 1.000 penduduk
ii. Medium, AMI 10-50 kasus per 1.000 penduduk
iii. High, AMI > 50 kasus per 1.000 penduduk
Penelitian Ahmadi, dkk tahun 2008 di di Desa Lubuk Nipis Kecamatan
Tanjung Agung Kabupaten Muara Enim, terlihat bahwa dari 54 responden, yang
positif malaria terdapat 53 (98,1 %) responden yang mempunyai tempat tinggal
dengan jarak kurang dari 200 m dari hutan/kebun/semak-semak/sawah dan 1 (1,9 %)
responden yang mempunyai tempat tinggal yang berjarak lebih dari 200 m.
Digunakan jarak 200 m adalah karena 200 m adalah jarak terbang maksimum
nyamuk.
c. Waktu
Menurut data Profil Dinkes Sumut dalam Sarumpaet dan Tarigan (2006), di
Propinsi Sumatera Utara terjadi kasus malaria klinis rata-rata 82.405 per tahun
(selama tahun 1996-2000). Penyakit malaria sampai saat ini menduduki rangking ke-
7 dari 10 penyakit terbesar di Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data laporan
bulanan malaria, kejadian malaria di Kawasan Ekosistem Leuser berdasarkan Annual
Malaria Incidence (AMI) terjadi peningkatan malaria, yaitu dari 12,8 ‰ tahun 2003
meningkat menjadi 14,3 ‰ tahun 2004 dan 25,4 ‰ tahun 2005.
2.6.2. Determinan Malaria
Dalam epidemiologi selalu ada 3 faktor yang diselidiki : Host (umumnya
manusia), Agent (penyebab penyakit) dan Environment (lingkungan).
a. Faktor Host
Penyakit malaria mempunyai keunikan karena ada 2 macam host yakni manusia
sebagai host intermediate (dimana siklus aseksual parasit terjadi) dan nyamuk
anopheles betina sebagai host definitive (tempat siklus seksual parasit berlangsung).
a.1. Manusia (Host Intermediate)
Secara umum dapat dikatakan bahwa pada dasarnya setiap orang dapat terkena
malaria. Setiap orang rentan terhadap penularan kecuali pada mereka yang
mempunyai galur genetika spesifik. Toleransi atau daya tahan terhadap munculnya
gejala klinis ditemukan pada penduduk dewasa yang tinggal di daerah endemis
dimana gigitan nyamuk anopheles berlangsung bertahun-tahun.Faktor-faktor yang
11
berpengaruh pada manusia ialah:
a.1.1. Kekebalan / Imunitas
Kekebalan pada penyakit malaria dapat didefinisikan sebagai adanya
kemampuan tubuh manusia untuk menghancurkan plasmodium yang masuk atau
membatasi perkembangbiakannya. Ada dua macam kekebalan, yaitu kekebalan
alamiah dan kekebalan yang didapat. Kekebalan alamiah timbul tanpa memerlukan
infeksi lebih dahulu. Kekebalan yang didapat ada yang merupakan kekebalan aktif
sebagai akibat dari infeksi sebelumnya atau vaksinasi, dan ada juga kekebalan pasif
didapat melalui pemindahan antibodi dari ibu kepada anak atau pemberian serum dari
seseorang yang kebal penyakit.
Penelitian Karunaweera dkk tahun 1998 di Srilanka, penderita malaria di daerah
endemis memiliki densitas parasit yang lebih rendah (mean=0,06%) daripada yang
tidak di daerah endemis (mean=0.12%). Faktor imunitas berperan penting
menentukan beratnya infeksi. Hal tersebut dibuktikan pada penduduk di daerah
endemis. Pada penduduk di daerah endemis ditemukan parasitemia berat namun
asimtomatik, sebaliknya pasien non-imun dari daerah non-endemis lebih mudah
mengalami malaria berat. Hal ini mungkin dikarenakan pada individu di daerah
endemis imun sudah terbentuk antibody protektif yang dapat membunuh parasit atau
menetralkan toksin parasit.
a.1.2. Umur dan Jenis Kelamin
Perbedaan angka kesakitan malaria pada laki-laki dan wanita atau pada
berbagai kelompok umur sebenarnya disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti
pekerjaan, pendidikan, perumahan, migrasi penduduk, kekebalan dan lain-lain.
Penelitian Askling, dkk tahun 1997-2003 di Swedia dengan desain penelitian kasus
kontrol menunjukkan bahwa wisatawan penderita malaria kemungkinan 1,7 dan 4,8
kali adalah pria dan anak-anak umur <1-6 tahun dibandingkan dengan wisatawan
yang tidak menderita malaria dengan nilai OR 1,7 (95% CI:1,3–2,3) dan OR 4,8
(95% CI:1,5–14,8).
a.1.3. Status Gizi
Faktor nutrisi mungkin berperan terhadap malaria berat. Menurut Nugroho
dalam Harijanto, dkk (2009), malaria berat sangat jarang di temukan pada anak-anak
malnutrisi. Penelitian Nyakeriga tahun 2004 di Kenya dengan desain penelitan
kohort, diketahui bahwa insidens malaria klinis secara signifikan lebih rendah pada
anak- anak yang menderita defisiensi zat besi dengan Relative Risk (RR) 0,7
12
(95%CI:0,51–
0,99). Defisiensi besi, riboflavin, para-amino-benzoic acid (PABA) mungkin
mempunyai efek protektif terhadap malaria berat, karena menghambat pertumbuhan
parasit.
Penelitian dengan desain kasus kontrol oleh Siswanto dan Sidia di RSU
Sumbawa tahun 1997 tentang gambaran klinik penderita malaria yang dirawat di
bagian anak RSU Sumbawa, dari 106 penderita, 66% termasuk kategori gizi baik.
Dari 24 penderita malaria berat, 70,8% termasuk gizi baik, 25,0% gizi kurang dan
4,2% termasuk gizi buruk.
a.2. Nyamuk (Host Definitive)
Penelitian Friaraiyatini, dkk tahun 2005, spesies nyamuk yang diidentifikasi
berperan dalam penularan malaria di Kabupaten Barito Selatan adalah Anopheles
latifer (56,9 %) mulai menggigit manusia mulai jam 18.00, Anopheles maculatus
(32,8 %) mulai menggigit manusia mulai jam 19.00, dan Anopheles balabacensis
(10,3 %) mulai menggigit manusia jam 20.00 waktu setempat. Puncak aktivitas
gigitan nyamuk terjadi pada jam 22.00 waktu setempat.
a.2.1. Perilaku nyamuk
Beberapa perilaku nyamuk yang penting, yaitu tempat hinggap atau istirahat (di
luar atau dalam rumah), tempat menggigit (di luar atau dalam rumah), objek yang
digigit (manusia atau manusia). Nyamuk anopheles hanya mengigit satu orang setiap
kali mengisap darah, berbeda dengan nyamuk aedes yang bisa menggigit banyak
orang saat mengisap darah.
a.2.2. Umur nyamuk (longevity)
Diperlukan waktu untuk perkembangbiakan gametosit dalam tubuh nyamuk
menjadi sporozoit yakni bentuk parasit yang siap menginfeksi manusia sehat. Apabila
umur nyamuk lebih pendek dari proses sporogoni, yakni replikasi parasit dalam tubuh
nyamuk (sekitar 5 hingga 10 hari), maka dapat dipastikan nyamuk tersebut tidak
dapat menjadi vektor.
a.2.3. Kerentanan nyamuk terhadap infeksi gametosit
Nyamuk yang terlalu banyak parasit dalam perutnya tentu bisa melebihi
kapasitas perut nyamuk itu sendiri. Perut bisa meletus dan mati karenanya.
a.2.4. Frekuensi menggigit manusia
Semakin sering seekor nyamuk yang membawa sporozoit dalam kelenjar
ludahnya, semakin besar kemungkinan nyamuk berperan sebagai vektor penular
13
penyakit malaria.
a.2.5. Siklus gonotrofik
Waktu yang diperlukan untuk matangnya telur sebagai indikator untuk
mengukur interval menggigit nyamuk pada objek yang digigit (manusia).
b. Faktor Agent
Penyebab penyakit malaria adalah genus plasmodia family plasmodiidae dan
ordo coccidiidae. Sampai saat ini di Indonesia dikenal 4 macam parasit malaria yaitu:
b.1. Plasmodium vivax
b.2. Plasmodium malariae
b.3. Plasmodium ovale
b.4. Plasmodium falciparum.
Penelitian Yasinzai dan Kakarsulemankhel tahun 2004-2006 di Barkhan dan
Kohlu Pakistan dari 3340 kasus suspek malaria, 1095 (32.78%) ditemukan positif
parasit malaria pada sediaan darah. Dari kasus positif, 579 (52.87%) didentifikasi
sebagai infeksi P. falciparum dan 516 (47.12%) kasus P. vivax. Tidak ditemukan
kasus infeksi P. malariae dan P. ovale.
c. Faktor Environment
Penelitian Suwito, dkk, tahun 2005 di Puskesmas Benteng Bangka Belitung
dengan desain penelitian kasus kontrol, diperoleh bahwa adanya rawa-rawa di sekitar
lingkungan rumah juga merupakan faktor risiko kejadian malaria. Hasil analisis
diperoleh nilai OR 2,6 (95% CI: 1,08-6,14). Artinya responden yang menderita
malaria 2,6 kali kemungkinan di sekitar rumahnya terdapat rawa-rawa dibandingkan
dengan responden yang tidak menderita malaria. Penelitian Sunarsih, dkk dengan
desain kasus kontrol tahun 2004-2007 di wilayah Puskesmas Pangkalbalam Kota
Pangkalpinang , faktor lingkungan yang mempunyai hubungan signifikan dengan
kejadian malaria adalah keberadaan genangan air di sekitar rumah dengan OR 3,267
(95% CI:1,600 – 6,671). Kuatnya asosiasi ini didukung hasil uji multivariat dengan
nilai OR 3,445 (95% CI:1,550 – 7,661). Artinya, responden yang menderita malaria
kemungkinan 3,445 kali memiliki genangan air di sekitar rumah dibandingkan yang
tidak menderita malaria.
Faktor lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan dimana manusia dan
nyamuk berada, lingkungan tersebut terbagi atas lingkungan fisik, lingkungan kimia,
lingkungan biologik dan lingkungan sosial budaya.
c.1. Lingkungan fisik meliputi :
14
c.1.1. Suhu udara, sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus sporogoni atau
masa inkubasi ekstrinsik. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek
masa inkubasi ekstrinsik.
c.1.2. Kelembaban udara, kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk.
c.1.3. Hujan, hujan yang diselingi oleh panas akan memperbesar kemungkinan
berkembangbiakan anopheles.
c.1.4. Angin, jarak terbang nyamuk dapat diperpendek arau diperpanjang tergantung
kepada arah angin.
c.1.5. Sinar matahari, pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk
berbeda-beda.
c.1.6. Arus air, An. barbirostris menyukai tempat perindukan denga air yang statsi
atau mengalir sedikit, sedangkan An. minimus menyukai aliran air cukup deras.
c.2. Lingkungan kimiawi, dari lingkungan ini yang baru diketahui pengaruhnya
adalah kadar garam dari tempat perindukan.
c.3. Lingkungan biologik, tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai jenis
tumbuh-tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk karena dapat
menghalangi sinar matahari yang masuk atau melindungi dari serangan makhluk
hidup lain.
c.4. Lingkungan sosial budaya, kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut
malam, di mana vektornya lebih bersifat eksofilik (lebih suka hinggap/ istirahat di
luar rumah) dan eksofagik (lebih suka menggigit di luar rumah) akan memperbesar
jumlah gigitan nyamuk, penggunaan kelambu, kawat kasa dan repellent akan
mempengaruhi angka kesakitan malaria dan pembukaan lahan dapat menimbulkan
tempat perindukan buatan manusia sendiri (man made breeding places).
2.7. Pencegahan Malaria
2.7.1. Pencegahan Primer
a. Tindakan terhadap manusia14
a.1. Edukasi adalah faktor terpenting pencegahan malaria yang harus diberikan
kepada setiap pelancong atau petugas yang akan bekerja di daerah endemis. Materi
utama edukasi adalah mengajarkan tentang cara penularan malaria, risiko terkena
malaria, dan yang terpenting pengenalan tentang gejala dan tanda malaria,
pengobatan malaria, pengetahuan tentang upaya menghilangkan tempat perindukan.
a.2. Melakukan kegiatan sistem kewaspadaan dini, dengan memberikan penyuluhan
15
pada masyarakat tentang cara pencegahan malaria.
a.3. Proteksi pribadi, seseorang seharusnya menghindari dari gigitan nyamuk dengan
menggunakan pakaian lengkap, tidur menggunakan kelambu, memakai obat penolak
nyamuk, dan menghindari untuk mengunjungi lokasi yang rawan malaria.
a.4. Modifikasi perilaku berupa mengurangi aktivitas di luar rumah mulai senja
sampai subuh di saat nyamuk anopheles umumnya menggigit.
b. Kemoprofilaksis (Tindakan terhadap Plasmodium sp)
Walaupun upaya pencegahan gigitan nyamuk cukup efektif mengurangi
paparan dengan nyamuk, namun tidak dapat menghilangkan sepenuhnya risiko
terkena infeksi. Diperlukan upaya tambahan, yaitu kemoprofilaksis untuk
mengurangi risiko jatuh sakit jika telah digigit nyamuk infeksius. Beberapa obat-obat
antimalaria yang saat ini digunakan sebagai kemoprofilaksis adalah klorokuin,
meflokuin (belum tersedia di Indonesia), doksisiklin, primakuin dan sebagainya.
Dosis kumulatif maksimal untk pengobatan pencegahan dengan klorokuin pada orang
dewasa adalah 100 gram basa. Untuk mencegah terjadinya infeksi malaria terhadap
pendatang yang berkunjung ke daerah malaria pemberian obat dilakukan setiap
minggu; mulai minum obat 1-2 minggu sebelum mengadakan perjalanan ke endemis
malaria dan dilanjutkan setiap minggu selama dalam perjalanan atau tinggal di daerah
endemis malaria dan selama 4 minggu setelah kembali dari daerah tersebut.
Pengobatan pencegahan tidak diberikan dalam waktu lebih dari 12-20 minggu
dengan obat yang sama. Bagi penduduk yang tinggal di daerah risiko tinggi malaria
dimana terjadi penularan malaria yang bersifat musiman maka upaya pencegahan
terhadap gigitan nyamuk perlu ditingkatkan sebagai pertimbangan alternatif terhadap
pemberian pengobatan profilaksis jangka panjang dimana kemungkinan terjadi efek
samping sangat besar.
c. Tindakan terhadap vektor
c.1. Pengendalian secara mekanis
Dengan cara ini, sarang atau tempat berkembang biak serangga dimusnahkan,
misalnya dengan mengeringkan genangan air yang menjadi sarang nyamuk.
Termasuk dalam pengendalian ini adalah mengurangi kontak nyamuk dengan
manusia, misalnya memberi kawat nyamuk pada jendela dan jalan angin lainnya.
c.2. Pengendalian secara biologis
Pengendalian secara biologis dilakukan dengan menggunakan makhluk hidup
yang bersifat parasitik terhadap nyamuk atau penggunaan hewan predator atau
16
pemangsa serangga. Dengan pengendalian secara biologis ini, penurunan populasi
nyamuk terjadi secara alami tanpa menimbulkan gangguan keseimbangan ekologi.
Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk, melakukan radiasi terhadap nyamuk
jantan sehingga steril dan tidak mampu membuahi nyamuk betina. Pada saat ini
sudah dapat dibiakkan dan diproduksi secara komersial berbagai mikroorganisme
yang merupakan parasit nyamuk. Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri
yang banyak digunakan, sedangkan Heterorhabditis termasuk golongan cacing
nematode yang mampu memeberantas serangga.
Pengendalian nyamuk dewasa dapat dilakukan oleh masyarakat yang memiliki
temak lembu, kerbau, babi. Karena nyamuk An. aconitus adalah nyamuk yang
senangi menyukai darah binatang (ternak) sebagai sumber mendapatkan darah, untuk
itu ternak dapat digunakan sebagai tameng untuk melindungi orang dari serangan An.
aconitus yaitu dengan menempatkan kandang ternak diluar rumah (bukan dibawah
kolong dekat dengan rumah).
c.3. Pengendalian secara kimiawi
Pengendalaian secara kimiawi adalah pengendalian serangga mengunakan
insektisida. Dengan ditemukannya berbagai jenis bahan kimiayang bersifat sebagai
pembunuh serangga yang dapat diproduksi secara besar-besaran, maka pengendalian
serangga secara kimiawi berkembang pesat.
2.7.2. Pencegahan Sekunder
a. Pencarian penderita malaria
Pencarian secara aktif melalui skrining yaitu dengan penemuan dini penderita
malaria dengan dilakukan pengambilan slide darah dan konfirmasi diagnosis
(mikroskopis dan /atau RDT (Rapid Diagnosis Test)) dan secara pasif dengan cara
malakukan pencatatan dan pelaporan kunjungan kasus malaria.
b. Diagnosa dini
b.1. Gejala Klinis
Diagnosis malaria sering memerlukan anamnesis yang tepat dari penderita
tentang keluhan utama (demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit
kepala, mual, muntah, diare, dan nyeri otot atau pegal-pegal), riwayat berkunjung dan
bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemis malaria, riwayat tinggal di daerah
endemis malaria, riwayat sakit malaria, riwayat minum obat malaria satu bulan
terakhir, riwayat mendapat transfusi darah. Selain itu juga dapat dilakukan
pemeriksaan fisik berupa :
17
b.1.1. Demam (pengukuran dengan thermometer ≥37.5 °C)
b.1.2. Anemia
b.1.3. Pembesaran limpa (splenomegali) atau hati (hepatomegali)
b.2. Pemeriksaan Laboratorium
b.2.1. Pemeriksaan mikroskopis
b.2.2. Tes Diagnostik Cepat (RDT, Rapid Diagnostic Test)
b.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi umum penderita, meliputi
pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah leukosit, eritrosit dan trombosit.
Bisa juga dilakukan pemeriksaan kimia darah, pemeriksaan foto toraks, EKG
(Electrokardiograff), dan pemeriksaan lainnya.
c. Pengobatan yang tepat dan adekuat
Berbeda dengan penyakit-penyakit yang lain, malaria tidak dapat disembuhkan
meskipun dapat diobati untuk menghilangkan gejala-gejala penyakit. Malaria menjadi
penyakit yang sangat berbahaya karena parasit dapat tinggal dalam tubuh manusia
seumur hidup. Sejak 1638, malaria diobati dengan ekstrak kulit tanaman cinchona.
bahan ini sangat beracun tetapi dapat menekan pertumbuhan protozoa dalam darah.
Saat ini ada tiga jenis obat anti malaria, yaitu Chloroquine, Doxycyline, dan
Melfoquine. Tanpa pengobatan yang tepat akan dapat mengakibatkan kematian
penderita. Pengobatan harus dilakukan 24 jam sesudah terlihat adanya gejala.
Pengobatan spesifik untuk semua tipe malaria:
c.1. Pengobatan untuk mereka yang terinfeksi malaria adalah dengan menggunakan
chloroquine terhadap P. falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale yang masih
sensitif terhadap obat tersebut.
c.2. Untuk pengobatan darurat bagi orang dewasa yang terinfeksi malaria dengan
komplikasi berat atau untuk orang yang tidak memungkinkan diberikan obat peroral
dapat diberikan obat Quinine dihydrochloride.
c.3. Untuk infeksi malaria P. falciparum yang didapat di daerah dimana ditemukan
strain yang resisten terhadap chloroquine, pengobatan dilakukan dengan memberikan
quinine.
c.4. Untuk pengobatan infeksi malaria P. vivax yang terjadi di Papua New Guinea
atau Irian Jaya (Indonesia) digunakan mefloquine.
c.5. Untuk mencegah adanya infeksi ulang karena digigit nyamuk yang mengandung
malaria P. vivax dan P. ovale berikan pengobatan dengan primaquine. Primaquine
18
tidak dianjurkan pemberiannya bagi orang yang terkena infeksi malaria bukan oleh
gigitan nyamuk (sebagai contoh karena transfusi darah) oleh karena dengan cara
penularan infeksi malaria seperti ini tidak ada fase hati.
2.7.3. Pencegahan Tertier
a. Penanganan akibat lanjut dari komplikasi malaria
Kematian pada malaria pada umumnya disebabkan oleh malaria berat karena
infeksi P. falciparum. Manifestasi malaria berat dapat bervariasi dari kelainan
kesadaran sampai gangguan fungsi organ tertentu dan gangguan metabolisme. Prinsip
penanganan malaria berat:
a.1. Pemberian obat malaria yang efektif sedini mungkin
a.2. Penanganan kegagalan organ seperti tindakan dialisis terhadap gangguan fungsi
ginjal, pemasangan ventilator pada gagal napas.
a.3. Tindakan suportif berupa pemberian cairan serta pemantauan tanda vital untuk
mencegah memburuknya fungsi organ vital.
b. Rehabilitasi mental/ psikologis
Pemulihan kondisi penderita malaria memberikan dukungan moril kepada
penderita dan keluarga di dalam pemulihan dari penyakit malaria, melaksanakan
rujukan pada penderita yang memerlukan pelayanan tingkat lanjut.
19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran karakteristik
penderita malaria di Poliklinik Umum Puskesmas C Nawangsasi.
3.2. Populasi Dan Sampel
3.2.1. Populasi
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai maka populasi dalam penelitian ini adalah
semua pasien malaria di Poliklinik Umum Puskesmas C Nawangsasi Periode
Februari – Maret 2013.
3.2.2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah seluruh pasien malaria (Total Sampling) yang
berkunjung di Poliklinik Umum Puskesmas C Nawangsasi Periode Februari – Maret
2013.
3.3. Variabel Penelitian
3.3.1. Klasifikasi
Variabel bebas penelitian ini adalah jenis kelamin, umur, alamat, dan apusan
darah tebal. Sedangkan variabel independen atau tergantung adalah variabel akibat,
yang dipengaruhi oleh variabel dependen. Dalam penelitian ini variabel terikatnya
adalah malaria.
3.4. Pengumpulan Data
3.4.1. Prosedur Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data penelitian yaitu dengan melihat data sekunder dari
buku register mencatat status penderita rawat jalan di Poliklinik Umum
Puskesmas C Nawangsasi Periode Februari – Maret 2013 kemudian dicatat
sesuai lembar checklist dengan sub variabel yang dibutuhkan.
20
3.4.2. Pengolahan Data Pengolahan data yang digunakan pada penelitian ini adalah
analisis univariat untuk mendeskripsikan distribusi frekuensi jenis kelamin,
umur, alamat, dan hasil apusan darah tebal yang nantinya akan dipersentasekan.
Menghitung persentase dengan rumus sebagai berikut
P = F x100% n
Keterangan : P = Jumlah persentase yang dicari. F = Jumlah skor yang
diperoleh. n = Jumlah responden
3.5. Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Poliklinik Umum Puskesmas C Nawangsasi
pada bulan Mei 2013
3.6. Keterbatasan Penelitian
Dalam setiap penelitian pasti mempunyai kelemahan-kelemahan yang ada,
kelemahan tersebut tertulis dalam keterbatasan. Dalam penelitian ini kelemahan
atau keterbatasan yang dihadapi oleh peneliti adalah: Dalam melakukan
penelitian adanya pertimbangan mengenai keterbatasan waktu, dana dan
keahlian.
21
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan data yang didapatkan dari rekam medis di poliklinik umum
puskesmas C Nawangsasi selama periode Februari – Maret 2013 didapatkan pasien
yang menderita malaria sebanyak 18 kasus dengan distribusi frekuensi yang berbeda.
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1. Distribusi frekuensi pasien malaria berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.1.1. Distribusi frekuensi pasien malaria berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
Laki-laki 15 83,33%
Perempuan 3 16,67%
Total 18 100%
Dari tabel 4.1.1. menunjukkan bahwa distribusi frekuensi pasien malaria berdasarkan
jenis kelamin di poliklinik umum Puskesmas C Nawangsasi sebagian besar adalah
pria yaitu sebanyak 15 orang atau 83,33%
4.1.2. Distribusi frekuensi pasien Malaria berdasarkan umur
Umur Jumlah Persentase (%)
< 25 tahun 9 50%
25-45 tahun 8 44,44%
46-55 tahun 1 5,56%
>55 tahun 0 0%
Total 18 100%
Dari tabel 4.1.2. menunjukkan bahwa distribusi frekuensi pasien Malaria berdasarkan
umur di poliklinik umum Puskesmas C Nawangsasi sebagian besar adalah kategori
<25 tahun yaitu sebanyak 9 orang atau sebesar 12%.
4.1.3. Distribusi frekuensi pasien baru Diabetes Melitus berdasarkan tempat tinggal
22
Tabel 4.1.3. Distribusi frekuensi pasien baru Diabetes Melitus berdasarkan tempat
tinggal
Tempat Tinggal Jumlah Persentase (%)
A 2 11,11%
B 1 5,55%
C 1 5,55%
D 2 11,11%
E 3 16,67%
F 4 22,22%
G1 1 5,55%
H 1 5,55%
I 1 5,55%
M 2 11,11%
Total 18 100%
Dari tabel 4.1.3. menunjukkan bahwa distribusi frekuensi pasien malaria berdasarkan
tempat tinggal di poliklinik umum Puskesmas C Nawangsasi memiliki frekuensi
tertinggi di desa F. Trikoyo sebanyak 4 orang atau 22,22%
4.1.4. Distribusi frekuensi pasien baru Malaria berdasarkan Hasil Apusan Darah
Tebal (DDR)
Hasil DDR Jumlah Persentase (%)
Positif
- Vivax
- Ovale
- Malariae
- Falciparum
13
8
4
0
1
72,22%
61,53%
30,76%
0
76,7%
Negatif 4 22,22%
Mixed 1 5,55%
Total 22 100%
Dari tabel 4.1.4. menunjukkan bahwa distribusi frekuensi pasien malaria berdasarkan
hasil apusan darah tebal di poliklinik umum Puskesmas C Nawangsasi yaitu dengan
hasil apusan darah tebal positif sebanyak 13 pasien atau 72,22% dengan jenis parasit
terbanyak adalah plasmodium vivax sebanyak 8 pasien atau 61,53%.
23
24
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Distribusi frekuensi pasien Malaria berdasarkan umur dan jenis kelamin
Dari penelitian didapatkan kelompok jenis kelamin yang terbanyak menderita malaria adalah kelompok laki-laki sebesar 15 orang (83,33%) sementara itu dari kelompok usia yang paling mendominasi adalah kelompok usia dibawah 25 tahun sebanyak 9 orang (50%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sunarsih, dkk tahun 2004-2007 kasus malaria di wilayah Puskesmas Pangkalbalam Kota Pangkalpinang, bahwa malaria banyak diderita responden berumur 21-25 tahun (17,6%) dan umur 36-40 tahun (14,7%). Menurut penelitian Yulius (2007) di Kabupaten Bintan Kepulauan Riau tahun 2005-2006 dari 384 penderita malaria terdapat penderita dengan kelompok umur 5-14 tahun 23 orang (6%), 15-44 tahun 326 orang (84,9%), dan >45 tahun 35 orang (9,1%).
Sementara berdasarkan distribusi jenis kelamin hal ini sesuai dengan penelitian Yulius (2007) di Kabupaten Bintan Kepulauan Riau tahun 2005-2006 dari 384 penderita malaria, 243 orang (63,3%) laki-laki dan 141 orang (36,7%) perempuan.
5.2. Distribusi frekuensi pasien Malaria berdasarkan tempat tinggal
Hasil penelitian ini menunjukkan angka kejadian tertinggi terdapat pada desa F (Trikoyo) yaitu sebanyak 4 kasus (22,22%). Sementara itu di desa lain didapatkan hasil yang tidak berbeda jauh.
Faktor tempat tinggal mempengaruhi distribusi malaria, hal ini disebabkan perbedaan habitat dan aktivitas manusia di dalam habitat tersebut. Menurut penelitian Friaraiyatini (2005) jenis pekerjaan menunjukkan ada pengaruh yang bermakna terhadap kejadian malaria (Chi-square, p<0,01). Penelitian Piyarat tahun 1986 dalam Friaraiyatini (2005) menyatakan bahwa orang yang tempat bekerjanya di hutan mempunyai risiko untuk tertular penyakit malaria karena dihutan merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles sp dengan kepadatan yang tinggi. Dibuktikan juga oleh hasil penelitian Harijanto (2000) dalam Friaraiyatini bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan (berkebun, nelayan dan buruh yang bekerja pada malam hari) dengan kejadian malaria.
Menurut penelitian Ginandjar, dkk Di Wilayah Kerja Puskesmas Kepil I Kabupaten Wonosobo tahun 2004 pekerjaan subyek penelitian kelompok kasus malaria tertinggi adalah petani/buruh tani (32,9%) dan yang terendah (1,4%) sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Seperti juga umur dan jenis kelamin, maka perbedaan proporsi kejadian malaria berdasarkan jenis pekerjaan lebih banyak berhubungan dengan keterpaparan oleh gigitan nyamuk. Pekerjaan sebagai petani ada kalanya membutuhkan kegiatan di malam hari, yang merupakan saat nyamuk Anopheles menggigit.
Faktor geografi dan meteorology di Indonesia sangat menguntungkan transmisi malaria di Indonesia. Pengaruh suhu ini berbeda-beda bagi setiap spesies. Pada suhu 26,7 c masa inkubasi ekstrinsik adalah 10-12 hari untuk Plasmodium falciparum dan 8-11 hari untuk Plasmodium vivax, 14-15 hari untuk Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale. Berikut merupakan faktor penentu kondisi lingkungan dalam persebaran malaria :
Suhu
25
Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang optimum berkisar antara 20 dan 30 c. makin tinggi suhu (sampai batas tertentu), maka makin pendek masa inkubasi ekstrinsik dan sebaliknya makin rendah suhu, maka makin panjang masa inkubasi ekstrinsik.
KelembabanKelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60 % merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi, nyamuk lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria.
HujanPada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemik malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung dari jenis dan deras hujan, jenis vektor, dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles.
KetinggianSecara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah. Hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Pada ketinggian di atas 2000 meter jarang ada transmisi malaria. Hal ini bisa berubah bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh dari El-Nino. Di pegunungan Papua, yang dulu jarang ditemukan malaria, kini lebih sering ditemukan malaria. Ketinggian paling tinggi masih memungkinan transmisi malaria ialah 2500 meter di atas permukaan laut (di Bolivia).
AnginKecepatan dan arah angina dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia.
Sinar matahariPengaruh sinar matahari terhadap larva nyamuk berbeda-beda. Anopheles sundaicus lebih suka tempat yang teduh, Anhopheles hyrcanus sp dan Anopheles pinctulatus sp lebih suka tempat yang terbuka. Anopheles barbirostris dapat hidup baik di tempat yang teduh maupun yang terang.
Arus airAnopheles barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis atau lambat. Anopheles minimus menyukai aliran air yang deras, dan Anopheles letifer menyukai air tergenang.
Kadar garamAnopheles sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya 12 18 % dan tidak berkembang pada kadar garam 40 % keatas. Namun, di Sumatera Utara ditemukan pula perindukan Anopheles sundaicus dalam air tawar.
Lingkungan BiologikTumbuhan bakau, lumut, ganggang, dan tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti iakn kepala timah, gambusia, nila, mujair, dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Adanya ternak seperti sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia apabila ternak tersebut tidak dikandangkan tidak jauh dari rumah.
Lingkungan Sosial BudayaKebiasaan untuk di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat
26
eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria antara lain dengan menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah, dan menggunakan obat nyamuk. Berbagai kegiatan manusia seperti pembuatan bendungan, pembuatan jalan, pertambangan, dan pembangunan pemukiman baru sering mengakibatkan perubahan lingkungan yang menguntungkan penularan malaria (man-made malaria). Peperangan dan perpindahan penduduk dapat menjadi factor penting untuk meningkatkan malaria. Meningkatnya pariwisata dan perjalanan dari daerah endemic mengakibatkan meningkatnya kasus malaria yang diimport (Suriadi,1999).
5.3. Distribusi frekuensi pasien Malaria berdasarkan apusan darah tebal
Pemeriksaan apusan tebal positif didapatkan sebanyak 13 pasien atau 72,22%
dengan jenis parasit terbanyak adalah plasmodium vivax sebanyak 8 pasien atau
61,53%.
Berdasarkan persebaran malaria di Indonesia, baik yang disebabkan oleh P.
falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale semuanya ditularkan oleh nyamuk
anopheles. Nyamuk yang menjadi vektor penular malaria adalah Anopheles
sundaicus, Anopheles aconitus, Anopheles barbirostris, Anopheles subpictus, dan
sebagainya. Vektor malaria yang dominan terhadap penularan malaria di Indonesia
adalah sebagai berikut:
Wilayah Indonesia Timur, yaitu Papua, Maluku, dan Maluku Utara, di
wilayah pantai adalah An. subpictus, An. farauti, An. koliensis dan An.
punctulatus sedangkan di wilayah pegunungan adalah An. farauti.
Wilayah Indonesia Tengah, yaitu Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan, NTT
dan NTB, vektor yang berperan di daerah pantainya adalah An. subpictus, An.
barbirostris. Khusus di NTB adalah An. subpictus dan An. sundaicus.
Sedangkan di wilayah pegunungan adalah An. barbirostris, An. flavirostris,
An letifer. Khusus wilayah Kalimantan, selain Anopheles tersebut di atas juga
An. balabacencis.
Untuk daerah pantai di wilayah Sumatera, An. sundaicus; daerah pegunungan
An. leucosphyrus, An. balabacencis, An. sinensis, dan An. maculatus.
Wilayah Pulau Jawa. Vektor yang berperan di daerah pantai adalah An.
sundaicus dan An. subpictus dan di pegunungan adalah An. maculatus, An.
balabacencis dan An. aconitus
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
27
6.1 Simpulan
Penelitian mengenai distribusi frekuensi penderita malaria di puskesmas C
Nawangsasi didapatkan hasil yaitu sebanyak 22 pasien menderita malaria. Proporsi
terbesar penderita adalah pria sebanyak 15 orang (83,33%), rentang umur tertinggi
adalah <25 tahun yaitu sebanyak 9 pasien (50%). Domisili yang memiliki penderita
DM tertinggi terdapat pada 3 desa yaitu desa F sebanyak 4 pasien (22,22%).
Sementara hasil apusan darah tebal positif didapatkan sebanyak 13 pasien atau
72,22% dengan jenis parasit terbanyak adalah plasmodium vivax sebanyak 8 pasien
atau 61,53%.
6.2. Saran
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memelihara kesehatan dengan
mencari informasi tentang kesehatan sebanyak-banyaknya.
2. Melakukan promosi kesehatan bagi populasi yang memiliki faktor risiko
terkena malaria.
3. Memperbanyak jumlah sampel sehingga diharapkan variabel dapat dianalisis
dengan lebih akurat lagi.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI, 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2008.
http://www.depkes.go.id
2. Waiman, Sulaiman, 2005. Alternatif Penanggulangan Malaria Falciparum
Resisten: Hasil Penelusuran dan Analisis dari Beberapa Penelitian. Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan, Th. 37 No. 2 : 1015-1017.
3. Sembel, Dantje T., 2009. Entomologi Kedokteran. Edisi I. Penerbit Andi,
Yogyakarta.
4. Chin, James, 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular.
http://www.digilib.litbang.depkes.go.id
5. WHO, 2008. Malaria Disease Burden in SEA Region.
http://www.who.int.com
6. Soedarto, 2003. Zoonosis Kedokteran. Cetakan I. Universitas Airlangga,
Surabaya.
7. Harijanto, P.N.,dkk, 2009. Malaria dari Molekuler ke Klinis. Edisi II. EGC,
Jakarta.
8. Achmadi, Umar Fahmi, 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah.
Universitas Indonesia, Jakarta.
9. Murwani, Arita, 2009. Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Mitra Cendikia,
Yogyakarta.
10. Soedarto, 1990. Protozoologi Kedokteran. Cetakan I. Widya Medika,
Jakarta.
11. Oswari, E, 2003. Penyakit dan Penanggulangannya. Cetakan V. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
12. Depkes RI,1995. Malaria Epidemiologi 1. Direktorat Jenderal Pencegahan
dan Pemberantasan Penyakit Menular dan Lingkungan Pemukiman, Jakarta.
13. Hiswani, 2004. Gambaran Penyakit dan Vektor Malaria di Indonesia.
http://www.library.usu.ac.id
29