Nurus Shalihin, Yulia | 1
Nurus Shalihin, Yulia | 1
Nurus Shalihin
Yulia
Radikalisasi Anak Usia Dini; Studi Atas Praktik Radikalisasi Anak Usia Dini
Pada Lembaga Pendidikan Islam
2 | Radikalisasi Anak Usia Dini
KATA PENGANTAR
Penelitian dengan tema Radikalisasi Anak Usia Dini;
Studi Atas Praktik Radikalisasi Anak Usia Dini Pada Lembaga
Pendidikan Islam. Penelitian pengembangan nasional ini
mendapat bantuan dari DIPA UIN Imam Bonjol Padang melalui
Pusat Penelitian dan Publikasi Ilmiah LP2M UIN Imam Bonjol
Padang Tahun Anggran 2019. Adalah keniscayaan bagi kami
untuk mengaturkan terima kasih kepada pimpinan Pusat
Penelitian dan Publikasi Ilmiah LP2M UIN Imam Bonjol Padang
atas semua fasilitas yang disediakan untuk menunjang
terselanggaranya penelitian ini. Terima kasih tak terhingga
kepada seluruh responden dan informan yang telah memberikan
informasi dan data-data terkait dengan penelitian ini. Kiranya
Allah membalasinya dengan rahmat yang tidak terkira.
Disadari sepenuhnya bahwa penelitian ini belum cukup
memadai. Banyak hal yang perlu didiskusikan terutama terkait
dengan analisis data dengan teori. Akhirnya apabila pengetahuan
berkembang bila dia dikritisi dan diperdebatkan, maka demikian
juga halnya dengan penelitian ini, yang menuntut adanya gugatan
dan perdebatan.
Padang, November 2019
Peneliti
iii
Nurus Shalihin, Yulia | 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .............................................. 1
1.Pendahuluan ..................................................... 1
2.Perumusan Masalah ........................................ 4
3.Tujuan ............................................................. 5
4.Kajian Literatur ................................................ 5
5.Kontribusi Penelitian ....................................... 7
6.Metode Penelitian............................................. 8
6.1. Setting dan Pendekatan Penelitian ........... 8
6.2. Lokasi Penelitian ...................................... 9
6.3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ... 10
6.4. Teknik Analisis Data ................................ 10
BAB II PENDIDIKAN ISLAM TERPADU DAN
RADIKALISASI ............................................ 13
A. Radikalisme Dalam Islam .............................. 13
B. Doktrinisasi Radikalisme ................................ 18
C. Pendidikan Islam Terpadu dan Radikalisme
Islam ............................................................... 22
BAB III PROSES RADIKALISASI ANAK USIA
DINI PADA PENDIDIKAN ISLAM
TERPADU ..................................................... 27
3.1. Proses Radikalisasi Anak Usia Dini;
Bacaan Ideologi, Politik, dan Ekonomi ....... 27
3.2. Tipologi Pendidikan Anak Usia Dini ........... 31
3.3. Proses Radikalisasi Anak Usia Dini ............. 33
3.3.1.Penanaman Nilai dan Sikap
Fanatisme ............................................ 34
3.3.2.Penanaman Nilai dan Sikap
Pemaksaan Kehendak ........................ 36
3.3.3.Penanaman Nilai dan Sikap Keras ...... 38
3.3.4.Penanaman Nilai dan Sikap Berburuk
Sangka ................................................. 40
3.4. Radikalisasi Anak Usia Dini; Tipologi
Sekolah Islam Terpadu ................................ 43
iv
2 | Radikalisasi Anak Usia Dini
3.4.1. Perbandingan Penanaman Nilai
dan Sikap Fanatisme ......................... 45
3.4.2. Perbandingan Penanaman Nilai
dan Sikap Berburuk Sangka ............. 48
3.4.3. Perbandingan Penanaman Nilai
dan Sikap Keras ................................ 51
3.4.4. Perbandingan Penanaman Nilai
Dan Sikap Pemaksaan Kehendak .... 53
BAB IV PENUTUP ....................................................... 59
4.1. Kesimpulan .......................................................... 59
4.2. Saran .......................................................... 60
DAFTAR RUJUKAN ................................................... 61
v
Nurus Shalihin, Yulia | 1
BAB I
1. Pendahuluan
Beberapa tahun terakhir, radikalisme dan terorisme
menjadi masalah yang tengah menjangkiti dan mengintai anak
muda melalui pendidikan (Fanani, 2013). Hasil survey Lembaga
Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) misalnya menunjukkan
bahwa 48,9% siswa yang menjadi sampel survey menyetujui aksi
radikalisme karena agama (Fanani, 2013; Munip, 2012). Di
tingkat perguruan tinggi, dukungan mahasiswa perguruan tinggi
umum terhadap tindakan radikalisme sangat tinggi. Hasil studi
Fadjri dkk (2007) menunjukkan bahwa 65% dari 2.466 sampel
mahasiswa mendukung pelaksanaan sweeping kemaksiatan, 18%
mendukung dan terlibat dalam kegiatan sweeping. Hanya 11%
yang menyatakan tidak mendukung kegiatan sweeping, dan 6%
tidak menjawab. Alasan utama mereka mendukung sweeping
adalah karena bagian dari perintah agama (88%), karena aparat
tidak mampu menegakkan hukum (4%) dan dekadensi moral (8%)
(Munip, 2012; Muqoyyidin, 2013).
Selain itu, dalam proses pendidikan ekstrakurikuler,
sekolah formal sebagai lembaga pendidikan sangat terbuka
terhadap infiltrasi dari luar dalam proses radikalisasi. Hasil studi
Maarif Institute di 4 sekolah umum, menemukan bahwa organisasi
sosial luar sekolah membangun jaringan ke dalam organisasi
siswa intra sekolah melalui proses mentoring agama Islam.
Berbagai organisasi tersebut menyisipkan materi-materi intoleran
dan radikalisme ke dalam modul pendidikan (Gaus-AF, 2013).
Tidak hanya itu, studi PPIM menemukan adanya konten intoleran
terhadap perbedaan dan ajaran untuk menerima tindakan
kekerasan atas nama agama dalam menyikapi perbedaan. Hal ini
ditemukan pada buku teks Pendidikan Agama Islam (PAI) yang
digunakan dalam pembelajaran agama Islam di sekolah. Konten
tersebut bertolak belakang dengan ajaran Islam yang bersifat
rahmatan li al-alamin (Nasuhi, Makruf, Umam, & Darmadi,
2018).
Radikalisasi menggunakan berbagai media, sistem dan
mekanisme yang unik untuk memperkuat jejaringnya. Di Eropa
misalnya, proses penyebaran ideologi sebagai program utama
2 | Radikalisasi Anak Usia Dini
kelompok-kelompok terorisme dan fundamentalisme bersifat
informal dan terselubung tetapi sangat sistematis. Mereka
cenderung menjadikan imigran Muslim sebagai target radikalisasi
karena mereka tidak mudah diterima oleh masyarakat baru
(mayoritas) dan biasanya mereka masih memiliki hubungan yang
sangat dekat dengan negeri asalnya—pada umumnya negeri-
negeri Islam. Selain itu, mereka juga menjadikan kelompok
muslim muda yang termarginalisasi di Eropa sebagai target utama
perekrutan (Bott et al., 2009). Di Indonesia sendiri, salah satu cara
radikalisme masuk melalui sistem dan proses pendidikan formal
dan mengintai anak muda (Fanani, 2013). Hal ini tentu menjadi
catatan penting dalam memahami proses doktirinisasi yang
sistematis dalam upaya radikalisasi terhadap anak muda.
Radikalisme keagamaan menurut Azyumardi Azra
bersumber dari pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-
sepotong dan tidak utuh terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Pemahaman seperti itulah yang hampir tidak memberikan ruang
bagi akomodasi dan kompromi dengan kelompok-kelompok
Muslim lain yang umumnya moderat dan karena itu menjadi arus
utama (mainstream) umat. Kelompok umat Islam yang berpaham
seperti ini sudah muncul sejak masa al‐ Khulafa’ al‐ Rasyidun
keempat Ali ibn Abi Thalib dalam bentuk kaum Khawarij yang
sangat radikal dan melakukan banyak pembunuhan terhadap
pemimpin Muslim yang telah mereka nyatakan ‘kafir’ (Azra,
2011). Hal inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal
dengan memanfaatkan lembaga pendidikan dan mengajarkan
fundamentalisme dan radikalisme kepada para peserta didik.
Tidak heran kemudian ormas-ormas Islam garis keras yang
tumbuh pasca reformasi menjadikan pendidikan sebagai pintu
masuk yang efektif bagi penyebaran dakwah Islam garis keras.
Hal ini dapat dilihat tumbuh dan berkembangnya lembaga
pendidikan berbasis agama seperti dengan kemasan Islam Terpadu
(IT) mulai dari tingkat PAUD, TK, SD, hingga SLTA. Di sekolah-
sekolah IT ini diajarkan ciri keagamaan yang mereka anut seperti
khas Timur Tengah, leterlek dan harfiah dalam memahami Islam
serta menggunakan istilah-istilah baru yang bernuansa Arab
seperti halaqah, dawrah, mabit dan lain sebagainya (Rokhmad,
2012).
Nurus Shalihin, Yulia | 3
Jejaring lembaga pendidikan Islam ini disinyalir
dimanfaatkan untuk memasukkan konten radikal dalam proses
pembelajaran, materi ajar, bahan ajar, buku ajar dan perangkat
pendidikan lainnya. Di kota Depok misalnya, pada tahun 2016
awal, Gerakan Pemuda (GP) Ansor menemukan buku-buku untuk
Taman Kanak-Kanak (TK) dan Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD), mengandung kalimat-kalimat berisi ujaran terorisme dan
radikalis. Penulis buku yang ditemukan tersebut diduga adalah
istri pimpinan kelompok Laskar Jihad di Solo, Jawa Tengah
(Rochmi, 2016). Di Sumatera Barat, gejala radikalisme dalam
proses pendidikan dini di TK & PAUD juga mulai dirasakan oleh
beberapa orang tua murid TK & PAUD IT. Beberapa gejala
tersebut terlihat dari proses belajar anak-anak, materi ajar dan
bahan ajar para siswa. Gejala tersebut terlihat dari beberapa
respon mereka terhadap perbedaan. Hanya saja, gejala ini masih
dalam bentuk dugaan yang belum dapat dibuktikan secara ilmiah.
Namun demikian, assesmen awal penelitian menduga adanya
proses radikalisasi dalam proses pendidikan pada lembaga
pendidikan usia dini di Sumatera Barat.
Dalam konteks Sumatera Barat, pentingnya penelitian ini
dilakukan mengingat selain berdasarkan indikasi awal yang
ditemukan, juga mengacu pada studi Jeffrey Hadler dan
Azyumardi Azra tentang radikalisme. Hadler dalam A
Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia:
Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History, mengemukakan
bahwa secara historis di Minangkabau sudah pernah terjadi
gerakan pembaharuan Islam pada abad ke-18 yang disebut sebagai
the first Muslim-against-Muslim Jihad in South Asia. Memahami
sejarah gerakan paderi yang diusung oleh Tuanku Imam Bonjol,
sesungguhnya adalah upaya untuk menelusuri pertarungan antara
wahabisme menghadapi matrifocal di Minangkabau (Hadler,
2008). Bersamaan dengan itu, Azyumardy Azra juga
mengemukakan pandangan bahwa radikalisme di kalangan
muslim Indonesia bukanlah hal yang baru. Hal itu dapat
dibuktikan melalui kemunculan gerakan Paderi di Sumatera Barat
4 | Radikalisasi Anak Usia Dini
pada akhir abad-18. Pola dan bentuk gerakan Paderi yang
cenderung menggunakan kekerasan, dan teror diartikan oleh
Azumardi Azra sebagai gerakan radikal yang muncul di Sumatera
Barat, bahkan dipahami lebih modern ketimbang gerakan yang
dilakukan oleh Laskar Jihad dan Front Pembela Islam dewasa ini
(Azra, 2011).
Pandangan Jeffrey Hadler dan Azyumardi Azra tersebut
mengukuhkan bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara
sejarah pembaharuan Islam dengan radikalisasi di Sumatera Barat.
Ditangkapnya lima terduga teroris di sejumlah lokasi yang ada di
Sumbar pada Agustus 2018 lalu menunjukkan bahwa hingga hari
ini masih terdapat gejala dan gerakan radikal di Sumatera Barat.
Al Chaedar bahkan menyebutkan terdapat sekitar 3000-an anggota
terorisme di Sumatera Barat. Mereka terafiliasi dengan ISIS,
Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan jaringan Jamaah Ansharut
Khilafah (JAK) (Haluan, 2018). Maka tidak berlebihan jika
radikalisasi di Sumatera Barat terus berlangsung dengan
bentuknya yang sangat halus dan sistematis, meskipun terkadang
tidak disadari oleh etnis Minangkabau. Salah satunya adalah
radikalisasi anak pada usia dini melalui institusi pendidikan Islam.
Radikalisasi anak tersebut juga menggunakan strategi yang sama,
dan sering dilakukan oleh kelompok-kelompok terorisme, yaitu
doktrinasi perang dan mengajarkan kebencian terhadap perbedaan.
Hal ini dapat dilacak pertama, melalui perangkat formal
pendidikan seperti kurikulum, buku dan guru. Kedua melalui
aspek-aspek simbolik seperti pakaian yang dipakai oleh guru dan
pakaian untuk anak-anak, model hubungan anak laki-laki dan
perempuan, serta simbol-simbol di sekolah seperti gambar dan
lain sebagainya.
2. Perumusan Masalah
Penelitian ini, berangkat dari tesis bahwa radikalisme
tumbuh di kalangan umat Islam tidak secara spontan dan
aksidental, melainkan melalui proses yang terkadang tidak
disadari oleh umat Islam. Sebagaimana diuraikan di atas, proses
Nurus Shalihin, Yulia | 5
radikalisasi bahkan masuk melalui lembaga pendidikan di semua
tingkatan pendidikan dengan berbagai cara yang kemudian
mengubah konsepsi jihad para siswa. Tesis ini dibangun selain
mengacu pada hasil studi yang telah disinggung di atas, juga
berangkat dari pernyataan Erich Kolig (2005) bahwa radikalisme
di kalangan umat Islam tidak hanya didorong oleh alasan-alasan
struktural seperti skeptisisme terhadap pemerintahan dan
kebijakannya, tetapi juga didorong oleh doktrinasi yang salah
terhadap konsepsi Islam-jihad, dan isu takfiri. Berdasarkan latar
belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah “Bagaimana proses radikalisasi anak usia dini terjadi pada
institusi pendidikan Islam di Sumatera Barat
3. Tujuan Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami
model-model radikalisasi dalam lembaga pendidikan. Secara
spesifik, penelitian ini bertujuan memahami proses radikalisasi
anak melalui lembaga Pendidikan Islam Terpadu.
4. Kajian Literatur
Ada banyak studi terkait radikalisasi. Hasil studi yang
dipublikasikan oleh Change Institute tentang kepercayaan, narasi
dan ideologi yang menyebabkan kekerasan dan radikalisme
menyimpulkan bahwa tindakan tersebut lahir dari penafsiran yang
salah terhadap Islam. Studi ini juga menyebutkan bahwa perilaku
radikalisme adalah perilaku irasional karena lebih terlihat sebagai
ekspresi ideologi dan kepercayaan, ketimbang ekspresi ekonomi
(Ahmad, Aydin, & Barou, 2009). Studi lain menyimpulkan bahwa
faktor yang menyebabkan radikalisasi adalah kolonialisasi Barat
dan represi rezim penguasa. Selain itu isu-isu identitas, poor
political dan integrasi sosio-ekonomi serta faktor-faktor
psikologis lainnya juga menjadi faktor radikalisasi (Veldhuis &
Staun, 2009). Meskipun semua faktor tersebut berkontribusi
terhadap radikalisasi tetapi tidak cukup dapat menjelaskan
perubahan drastis pada perilaku kekerasan seperti kasus bom
6 | Radikalisasi Anak Usia Dini
London pada tahun 2005, yang dilakukan oleh pembunuh Theo
Van Gogh, Mohammed Bouyeri.
Radikalisasi menjadi fenomena kompleks untuk dikaji dan
dipahami. Terlebih tidak ada daftar dan profile pelaku radikalisme
yang lengkap. Faktor-faktor mengapa radikalisasi terjadi dan
menguat cenderung bervariasi dan dinamis (Patel, 2011). Oleh
karena itu, gerakan radikal seperti terorisme seringkali tidak
terduga, tetapi sangat mengancam keteraturan global (Silber &
Bhatt, 2007). Oleh karena itu, tidak heran jika beberapa gerakan
radikal dalam bentuk teror beberapa tahun terakhir muncul tanpa
diduga. Dan menariknya, beberapa aksi teror yang dinilai sebagai
gerakan radikal tersebut dilakukan oleh anak muda. Berdasarkan
hipotesis tersebut kemudian banyak studi tentang radikalisme
bergeser ke institusi pendidikan. Di Indonesia studi-studi tersebut
sebagaimana disinggung pada bagian pendahuluan menemukan
adanya upaya radikalisasi melalui pendidikan formal di sekolah
dan perguruan tinggi.
Studi paling mengejutkan tentang radikalisme di sekolah
dilakukan oleh LaKIP tahun 2010-2011 dengan mengambil
sampel 200 sekolah (100 SMP dan 100 SMA) di Jabodetabek.
Studi dengan pendekatan survey ini telah mewawancarai 993
siswa tingkat SMP dan SMA (Fanani, 2013; Munip, 2012), dan
hasilnya hampir separuh siswa SMP dan SMA setuju dengan
radikalisme atas nama agama. Studi ini, meskipun kontroversial
banyak dirujuk dalam literatur yang mendiskusikan radikalisme.
Studi lainnya, masih di tingkat SLTA dilakukan oleh Maarif
Institute pada 4 SMU Negeri di 4 daerah (Cianjur, Pandeglang,
Surakarta, dan Yogyakarta) menunjukkan adanya upaya upaya-
upaya dari kelompok-kelompok radikal untuk masuk ke
lingkungan sekolah dalam menyebarkan paham mereka dan
merekrut anggota dari kalangan pelajar (Gaus-AF, 2013). Di
Perguruan tinggi, perkembangan pemikiran radikal tengah
menjangkiti mahasiswa. Di UIN Jakarta, fenomena tersebut
mengalami peningkatan bersamaan dengan terbukanya kelompok-
kelompok luar dan organisasi keagamaan mengambil peran dalam
Nurus Shalihin, Yulia | 7
dinamika organisasi kemahasiswaan (Mubarak, 2013). Studi
Fadjri dkk (2007) bahkan menunjukkan bahwa 65% dari 2.466
mahasiswa mendukung pelaksanaan sweeping kemaksiatan
dengan alasan bagian dari perintah agama (88%) (Munip, 2012;
Muqoyyidin, 2013).
Berbagai literatur dari studi terdahulu merupakan studi
penting dalam penelitian ini, terutama studi yang berhubungan
dengan proses radikalisasi di lembaga pendidikan formal.
Meskipun demikian, terlihat bahwa kajian radikalisasi anak usia
dini belum tersentuh dari beberapa studi yang sudah dirangkum
dalam studi literatur tentang radikalisme yang ada di Indonesia.
Padahal fenomena tersebut tengah berlangsung melalui sistem
pendidikan Islam Terpadu yang tanpa disadari telah
mengondisikan lahirnya sikap radikalisme yang tidak saja
membahayakan masa depan generasi muda, tetapi juga tatanan
kehidupan sosial. Penelitian ini berusaha mengisi kekosongan
tersebut, dan ditujukan untuk memahami model, bentuk dan
proses radikalisasi anak usia dini pada institusi pendidikan dasar
Islam.
5. Kontribusi Penelitian
Berdasarkan penelusuran literatur, studi terhadap
radikalisasi melalui institusi pendidikan termasuk studi baru di
Indonesia. Sejauh ini, belum ditemukan studi tentang ini baik di
tingkat nasional maupun daerah. Sementara di sisi lain, jaringan
pendidikan Islam Terpadu cukup menguat pasca reformasi dan
sistem pendidikan IT ini sangat diterima oleh masyarakat
(Suyatno, 2014). Meskipun sistem pendidikan ini diterima oleh
masyarakat, tidak tertutup kemungkinan institusi pendidikan usia
dini terinfiltrasi oleh gerakan radikalisasi oleh kelompok ormas
Islam garis keras.
Kontribusi teoritis studi ini akan dapat dilihat bahwa
menurut teori tabularasa, anak-anak itu seperti kertas putih yang
akan diwarnai oleh sistem sosialisasi yang ada, baik sosialisasi
informal melalui pergaulan dan melihat keadaan, atau sosialisasi
8 | Radikalisasi Anak Usia Dini
formal melalui pendidikan. Hanya saja dapat diketahui bahwa
sosialisasi yang ada, tidak selalu searah, tapi kadang berlawanan
satu sama lain. Itu artinya akan menciptakan kebingungan dan
konflik batin dalam diri anak-anak. Dengan demikian, ada
kemungkinan anak-anak akan mengalami gangguan mental, sters
atau gila. Akan tetapi kenyataannya anak-anak tidak ada yang
mengalami gangguan jiwa, stress atau gila. Lalu bagaimana anak-
anak merespon berbagai sosialisasi yang berlawanan itu sehingga
mereka tidak mengalami stress? Dalam konteks inilah studi ini
diharapkan memberi kontribusi teoritis terhadap kekosongan yang
ditinggalkan oleh teori tabularasa. Selain hal di atas, kontribusi
akademis yang diharapkan dari studi ini adalah pertama, adanya
peta tentang potensi radikalisasi anak pada lembaga Pendidikan.
Kedua, karena studi ini bersifat eksploratif, maka studi ini
memberikan kontribusinya sebagai studi pendahuluan untuk
melihat implikasi-implikasi yang ditimbulkan dari proses
radikalisasi anak pada institusi pendidikan. Ketiga, studi ini sangat
berguna dijadikan dasar evaluasi terhadap kurikulum,
materi/doktrin yang digunakan institusi pendidikan agar anak-
anak terhidar dari praktik radikalisasi.
6. Metode Penelitian
6.1. Setting dan Pendekatan Penelitian
Studi ini adalah studi eksploratif yang mencoba untuk
menelusuri, menggali, memahami dan memetakan radikalisasi
anak usia dini pada institusi pendidikan Islam. Artinya, studi ini
akan mengamati, memahami, hingga memetakan berbagai aspek
terkait radikalisasi anak tersebut, baik aspek psikologis maupun
sosiologis. Aspek-aspek psikologis yang akan intens dikaji adalah
kognitif, persepsi, dan perilaku anak usia dini sebagai objek
radikalisasi. Sementara itu aspek sosiologis ditekankan pada
faktor-faktor lingkungan seperti bentuk doktrinasi, dan konsep-
konsep radikalisme yang diinternalisasikan pada anak usia dini.
Selain itu implikasi dua hal tersebut-aspek psikologis dan
sosiologis, terhadap perilaku anak usia dini ketika berhadapan
dengan entitas lain atau “the others” juga intens dikaji.
Nurus Shalihin, Yulia | 9
Berangkat dari hal tersebut maka setidaknya ada dua aspek
yang ditekankan dalam studi ini yaitu aspek formal pendidikan
dan aspek simbolik. Aspek formal pendidikan yang dijadikan
acuan adalah doktrin, metode pengajaran atau doktrinasi, ingatan,
pemahaman, pengetahuan, persepsi dan sikap anak usia dini
setelah menjalani proses belajar pada institusi pendidikan.
Sedangkan aspek simbolik adalah cara berpakaian, cara berbicara,
pengaturan ruang kelas, pengaturan bermain anak, cara
bersosialisasi guru, berbagai hiasan, dan lukisan.
Penelitian ini merupakan studi kualitatif, yang berusaha
memahami bentuk dan proses radikalisasi anak pada institusi
pendidikan usia dini di Sumatera Barat. Studi yang menggunakan
pendekatan kualitatif merupakan studi yang mengutamakan
deskripsi secara detail dan mendalam dengan mengutamakan
analisis pada kualitas atau substansi dari pengalaman manusia
(Marvasti, 2004). Berdasarkan hal tersebut, peneliti dalam
penelitian ini akan menggali pengalaman belajar siswa, guru serta
manajemen sekolah pada institusi pendidikan dini. Proses
penggalian pengalaman dilakukan melalui proses sharing antara
subjek penelitian dengan peneliti. Sehingga dengan demikian,
peneliti dapat menginterpretasi bagaimana proses berlangsungnya
radikalisasi anak usia dini pada institusi pendidikan Islam di
Sumatera Barat. Studi kualitatif ini akan didukung oleh data
survey terkait dengan, pertama, metode yang digunakan guru
dalam menanamkan nilai-nilai radikalisme, dan kedua, terkait
dengan respon dan sikap anak/siswa terhadap proses radikalisasi.
6.2. Lokasi Penelitian
Studi ini mengambil lokasi Provinsi Sumatera Barat
dengan Kota Padang, Bukittinggi dan Kota Solok sebagai daerah
sampel. Radikalisasi anak usia dini yang menjadi sampel dalam
studi ini adalah sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) Islam Terpadu
(IT). Jumlah sampel keseluruhan adalah 6 (enam) TK-IT, di mana
2 (dua) mewakili masing-masing kota. Pilihan terhadap jumlah
sampel lebih dikarenakan karena studi ini adalah studi kualitatif
yang menekankan pada kedalaman bukan untuk representasi.
10 | Radikalisasi Anak Usia Dini
6.3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam studi ini ada dua sumber data, yaitu responden dan
informan. Dalam memilih responden digunakan teknik purposive
random sampling yaitu pengambilan responden secara acak sesuai
tujuan penelitian. Penentuan responden diambil secara acak 2 [dua
orang] guru dan 10 [sepuluh] orang tua pada masing-masing
sekolah. Dalam studi ini yang menjadi subjek atau informan
adalah siswa, orang tua, guru, dan manajemen sekolah. Teknik
dalam memilih informan digunakan digunakan snowball
sampling, dan informan dipilih secara sengaja berdasarkan
kebutuhan informasi yang didalami lebih jauh.
Karena studi kualitatif bersifat non-linear dan siklis, maka
model yang digunakan untuk pengumpulan data studi
dokumentasi dan wawancara seperti yang ditawarkan oleh Bruce
L. Berg (2001). Selain dua metode pengumpulan data di atas,
dalam studi ini juga menggunakan observasi, survey, dan FGD)
sebagai alat pengumpulan data.
6.4. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini akan menggunakan
pendekatan yang ditawarkan oleh Earl Babbie dalam melakukan
analisis data kualitatif, yakni coding; memoing; dan concept
mapping. Tahap tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut.
Pertama, “coding” adalah proses dimana peneliti
mengklasifikasikan atau mengkategorikan data-menghubungkan
dengan berbagai retrieval system. Karena itu kemudian Babbie
memaknai bahwa coding merupakan tindakan fisik. Kedua,
“memoing” merupakan pememo-an atau mencatat secara simultan
terhadap data yang diperoleh di lapangan. Ketiga, “concept
mapping” merupakan usaha menghubungkan antar konsep dengan
data (Babbie, 2009).
Studi ini juga melengkapi analisis data dengan pendekatan
yang ditawarkan oleh Miles dan Huberman (19920), pertama,
reduksi data, di mana bahan empirik yang telah direduksi
disajikan dalam bentuk yang diorganisir dengan membuat
ringkasan terstruktur, jaringan, atau diagram, matrik, sinopsis
dengan teks.
Nurus Shalihin, Yulia | 11
Kedua, pemaparan bahan empirik, yaitu melakukan
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data ‘kasar’
yang muncul dari catatan tertulis di lapangan yang telah dilakukan
sejak mulai dan bahkan sebelum mulai mengumpulkan bahan
empirik. Kemudian berlanjut sampai pada kesimpulan-kesimpulan
finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi; melakukan
penafsiran terhadap makna dari display bahan empirik dengan
mencatat keteraturan, pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin
serta proposisi. Sama halnya dengan reduksi dan display bahan
empirik, maka verifikasi juga berlangsung sebelum, selama, dan
sesudah pengumpulan bahan empirik, sehingga membentuk
hubungan siklus yang interaktif. Dalam konteks ini dilakukan daur
ulang terhadap catatan lapangan, tukar pikiran atau
menghadapkan dengan temuan lainnya.
Secara operasional analisis data juga dilakukan dengan
menggunakan pendekatan yang ditawarkan oleh Cresswell [2015],
pertama, manajemen data, dimana data yang diperoleh melalui
angket, wawancara dan FGD diorganisasi ke dalam file-file dan
mengonversi file-file tersebut menjadi satuan teks; kata, kalimat,
cerita. Kedua, pembacaan dan memoning data. Data-data yang
telah diorganisasi ke dalam file-file; database dibaca berulang kali
secara keseluruan. Kemudian data-data tersebut diberi memo atau
catatan singkat dan ringkas.
Ketiga deskripsi, klasifikasi dan penafsiran data. Setelah
data-data dibaca dan dimemoning, maka berikutnya dilakukan
deskripsi secara detail, mengembangkan tema atau dimensi, dan
memberikan penafsiran. Teknik deskripsi data ini dilakukan
dengan cara mengelompokkan data tesk atau visual menjadi
kategori informasi yang lebih kecil, mencari bukti untuk kode
tersebut dari berbagai database yang digunakan, kemudian
memberikan label pada kode tersebut. Setelah data dideskripsikan,
maka tahap berikutnya adalah klasifikasi data dengan cara
memilah-milah teks, mencari kategori, dan tema. Langkah
berikutnya setelah klasifikasi data adalah menafsirkan data, yaitu
pengembangan kode, pembentukan tema dari kode, dan
pengorganisasian tema menjadi satuan abstraksi yang lebih luas
untuk dimaknai.
12 | Radikalisasi Anak Usia Dini
Keempat, visualisasi data. Data-data yang telah ditafsirkan
dikemas dalam bentuk teks, tabel, dan grafik. Data-data yang
diperoleh melalui angket disajakan melalui tabel dan grafik,
sedangkan data-data yang diperoleh melalui wawancara dan FGD
disajaikan dalam bentuk teks.
Nurus Shalihin, Yulia | 13
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM TERPADU DAN RADIKALISASI
Diskusi pendidikan Islam Terpadu dan radikalisasi pada
bagian ini hendak menarasikan pertama, sejarah dan berbagai teori
terkaut dengan radikalisme dalam islam. Kedua, doktrin dan
pemaknaan terhadap radikalisme, dan ketiga, sejarah dan irisan
sekolah Islam Terpadu dengan radikalisme Islam.
A. Radikalisme Dalam Islam
Memahami radikalisasi secara langsung dihadapkan pada
konsep terorisme atau kekerasan. Meskipun terma radikalisasi
dengan terorisme adalah dua hal yang berbeda, namun kedua
konsep tersebut memiliki hubungan yang sangat jelas dan dapat
dipahami garis batas antara satu sama lain. Jamal R. Nassar
(2010) menegaskan bahwa terorisme bukanlah hal yang bersifat
genetik melainkan bersifat sosial. Terorisme bukanlah tindakan
yang semata disebabkan oleh fanatisme, tetapi terjadi untuk
menegaskan tujuan dan agenda yang terorganisir oleh sekelompok
orang. Dalam konteks itu, ada dua motivasi dari aksi-aksi
terorisme, yaitu melawan kekuasaan dan dominasi, dan kedua
ekspresi dari keputusasaan dalam merespon dan melawan
kekuasaan (Nassar, 2010). Lantas, apa hubungan antara terorisme
dengan radikalisasi? Devin R. Springer etc. (2008) menegaskan
bahwa terorisme muncul diawali dengan radikalisasi-dari
menentukan target, doktrinasi hingga perekrutan anggota
(Springer, Regens, & Edger, 2008). Radikalisasi adalah proses
atau tindakan yang diekspresikan melalui kekerasan dan
menggunakan Islam sebagai ideologi atau justifikasi religious
(Patel, 2011). Dengan kata lain terorisme adalah bentuk dari
tindakan radikal.
Dari segi gerakan, istilah radikalisme pertama kali
mengacu pada aktivitas yang menuntut perluasan hak pilih bagi
seluruh warga negara. Di Prancis pada abad ke-19, kata radikal
merujuk pada aktivis tiga partai, yaitu Partai Republikan, Partai
14 | Radikalisasi Anak Usia Dini
Sosialis Radikal, dan Partai Radikal yang anti monarki (Susetyo,
2018). Secara definisi, istilah radikalisme berasal dari bahasa
Latin radix, radicis yang berarti akar. Menurut The Concise
Oxford Dictionary (1987), radikalisme berarti akar, sumber, atau
asal mula. Dalam bahasa Inggris kata radical dapat bermakna
ekstrem, menyeluruh, fanatik, revolusioner, ultra dan
fundamental. Sedangkan radicalism berarti paham atau aliran
yang radikal dalam politik dan bersikap ekstrem atau memakai
cara kekerasan dalam menginginkan pembaharuan sosial dan
politik. Ensiklopedi online Wikipedia membuat definisi yang
lebih spesifik bahwa radikalisme adalah paham yang dibuat-buat
oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau
pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan
menggunakan cara-cara kekerasan (Baidhowi, 2017).
Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa
penyakit radikalisme dapat diendap oleh siapapun atau kelompok
manapun. Namun belakangan ini istilah radikalisme sering
dikaitkan dengan agama Islam, karena munculnya berbagai
macam aksi kekerasan dan teror yang mengatasnamakan agama
Islam atau memakai simbol-simbol Islam. Istilah jihad fi
sabilillah, mati syahid, khilafah dan Islamic state (negara Islam)
populer kepermukaan dan sering diteriakkan untuk menggalang
simpati, merekrut anggota bahkan dimanfaatkan untuk
kepentingan politik (Ulya, 2016). Jika ditelisik dalam bahasa
Arab, kekerasan dan radikalisme disebut dengan beberapa istilah,
di antaranya al-‘unf, at-tatarruf, al-guluww, dan al-irhab. Kalimat
al-‘unf merupakan antonim dari ar-rifq yang berarti lemah lembut
dan kasih sayang. Abdullah an-Najjar mendefinisikan al-‘unf
dengan penggunaan kekuatan secara ilegal -main hakim sendiri-
untuk memaksakan kehendak atau pendapat. Dalam tradisi Barat
banyak istilah yang digunakan untuk menunjukkan tindakan
ekstrimisme religius dalam Islam, seperti ekstrimisme Islam yang
diungkapkan oleh Gilles Kepel, Islam Radikal menurut Emmanuel
Sivan, atau integrisme, revivalisme, dan Islamisme. (Abdullah,
2016).
Jika merujuk pada sejarah Islam, fenomena radikalisme
Islam sudah berlangsung sejak pergantian setiap khalifah, hingga
permusuhan Ali dan Muawiyah yang mewarnai dunia perpolitikan
Nurus Shalihin, Yulia | 15
Islam. Permusuhan Ali dan Muawiyah melahirkan arbitrase antar
keduanya. Dari sikap Ali tersebut muncul sebagian kelompok
penentangnya atau dikenal dengan kelompok Khawarij yang
didirikan oleh Dhu al-Khuwaysirah. Khawarij ini menganggap Ali
dan Muawiyah melakukan dosa besar serta berkesimpulan bahwa
darah mereka halal untuk dibunuh (Thoyyib, 2018). Menurut
Alim et al (2018) munculnya gerakan radikalisme Islam salah satu
akibat legitimasi teks keagamaan atau teks kultural dalam
melakukan berbagai tindakan. Kasus gerakan ekstrimisme Islam
yang merebak hampir di seluruh kawasan Islam-termasuk
Indonesia- adalah bentuk legitimasi teologis dari teks-teks
keislaman (al-Quran, Hadits dan Sumber Klasik (Classical
Sources- kitab kuning) yang jika dilihat secara kasat mata
memang mendukung sikap-sikap ekslusifisme dan ekstrimisme.
Ada beberapa tesis yang dapat diajukan untuk memahami
relasi radikalisme dengan agama, antara lain adalah pertama,
Douglas Pratt (2006) yang memahami terma fundamentalisme
dewasa ini ditemukan dalam agama-agama mayoritas di pelbagai
negara. Seringkali fundamentalisme diasosiasikan dengan
kecenderungan ekstremisme yang tumbuh dalam agama-agama.
Fakta-fakta itu dapat ditemukan dalam agama Islam, bahkan
Kristen (Pratt, 2006). Semakin tinggi kecenderungan ekstremisme,
maka semakin tinggi potensi reproduksi terorisme di satu negara.
Hal ini mengandaikan satu asumsi bahwa ekstremisme tumbuh,
erat kaitannya dengan doktrinasi tentang perang dan
ketidaksukaan terhadap perbedaan. Kedua, Abiodun Alao (2013)
yang menyebutkan bahwa Nigeria menjadi field yang menarik
diteliti, karena ia menjadi ruang dimana kekerasan seringkali
muncul ke permukaan sebagai konsekuensi dari radikalisasi
agama. Tidak sedikit masyarakat di Afrika yang menjadi korban
disebabkan oleh kekerasan beragama. Agama dalam bentuk ini
seringkali dijadikan “kambing hitam” untuk menyucikan tindakan
kekerasan dan teror. Tindakan itu seolah-olah tidak bertentangan
dengan agama dan perintah Tuhan.
Ketiga, Basia Spalek yang meminjam teori sosial Antony
Giddens (1991), Young (1999) dan Bauman (2004) tentang late
modern society. Dengan teori tersebut Basia Spalek
menghubungkan meningkatnya fenomena terorisme dengan
16 | Radikalisasi Anak Usia Dini
meningkatnya upaya membangun sistem kepercayaan-agama,
doktrin-doktrinnya, serta dengan meningkatnya reflexivity. Hal itu
membuat penyimpangan terjadi di banyak tempat dan siapapun
berpotensi menyimpang (Abbas, 2007). Perilaku agresif yang
dilandasi secara subjektif pada doktrin-doktrin agama, idealnya
dipahami dalam konteks ini. Radikalisasi dalam konteks ini,
diartikan sebagai upaya membangun sistem kepercayaan di
kalangan umat beragama dengan mengobarkan semangat
membenci perbedaan, dan menciptakan common enemy atau
musuh bersama-infidels, dan zionism.
Kekerasan dengan latar ideologi dan agama juga bukan
hanya didorong oleh sikap agresif pelaku (psychological-
problem), atau diartikan sebagai gangguan psikologis. Kekerasan
ini diproduksi dari struktur dan ideologi yang khas dan sistematis.
Begitulah Mark Juergensmeyer menjelaskan kekerasan yang
dilakukan oleh kelompok militan agama yang didorong oleh
ideologi agama dan faktor-faktor lainnya (Juergensmayer, 2000)
seperti motivasi ekonomi atau pemahaman keagamaan yang
eksklusif-tidak mampu menerima perbedaan. Di luar itu, Hannah
Arendt (1970) juga menyebutkan bahwa faktor politik dan
kekuasaan juga dapat memicu terjadinya kekerasan. Namun
Hannah Arendt tidak bermaksud menghubungkan pandangannya
itu dengan kekerasan yang dilakukan oleh individu atas dasar
pertimbangan ideologis seperti paham keagamaan ataupun faktor-
faktor budaya. Setidaknya terdapat empat cara menandai
pemikiran radikalisme yang sekaligus menjadi karakteristiknya,
yaitu: Pertama, sikap tidak toleran dan tidak mau menghargai
pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yakni
sikap yang membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain.
Ketiga, sikap eksklusif, yakni sikap tertutup dan berusaha berbeda
dengan kebiasaan orang banyak. Keempat, sikap revolusioner,
yakni kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dalam
mencapai tujuan. (Rodin, 2016).
Berbeda pula dengan Haidar Bagir dengan mengutip Noor
Huda Ismail mengatakan bahwa seseorang atau kelompok tertentu
dapat berpaham radikalisme disebabkan tiga hal, yaitu individu
yang termarjinalkan, kelompok yang memfasilitasi, dan ideologi
yang membenarkan (Bagir, 2017) Dengan temuan yang hampir
Nurus Shalihin, Yulia | 17
sama, Ahmad Rizky Mardhatillah Umar (2010) yang menelisik
konteks Indonesia mengatakan bahwa ada dua faktor yang
menyebabkan radikalisme itu muncul: Pertama, terkait dengan
sejarah umat Islam dengan rezim Orde Baru. Karena pada masa
itu politik Islam termarjinalkan secara historis akibat konfliktual
politik Islam dengan rezim yang berkuasa. Secara global adanya
marjinalisasi politik Islam oleh hegemoni politik internasional
(Amerika Serikat). Dengan kesadaran tersebut, beberapa
kelompok keagamaan mencoba mengembalikan posisi politik
Islam dengan jalan non-negara dan struktural. Kedua, ekonomi-
politik. Dalam konteks ini kelompok radikalisme tidak
mempunyai akses pada sumber modal karena dikuasai oleh
kapitalisme. Radikalisme hadir atas respon kelas untuk melawan
hegemoni kapital yang oligarkis dengan negara. Dengan keadaan
itu, Umar berpendapat bahwa radikalisme muncul atas potret
kesadaran sejarah yang berpadu dengan kesadaran kelas.
Radikalisme agama tidak hanya menjadi masalah agama
dan negara satu bangsa, tetapi ia telah menjadi persoalan
internasional. Tidak hanya negara-negara berkembang yang
berusaha dengan keras untuk mengantisipasi radikalisasi, serta
menimalisirnya. Negara-negara maju pun, khususnya Amerika
Serikat dan Inggris juga sibuk mengantisipasi serta memutus
mata-rantai terorisme. Mengapa radikalisasi seringkali
dihubungkan dengan agama? Bilveer Singh (2006) secara tegas
menggarisbawahi bahwa fundamentalisme dan ekstremisme
dalam kondisi normal tidak dapat diterima oleh Islam. Oleh
karena itu Bilveer Singh lebih cenderung menggunakan
pendekatan politik ketimbang pendekatan keagamaan untuk
memahami fenomena radikalisme agama. Kendati demikian,
dalam memahami radikalisme dan doktrinasi agama-agama tidak
dapat diabaikan. Pemerintahan Amerika Serikat memahami bahwa
sosialisasi dan pengajaran ide-ide tentang jihad di Afghanistan
menjadi fondasi bagi gerakan radikalisasi oleh Taliban (Singh,
2007).
18 | Radikalisasi Anak Usia Dini
B. Doktrinasi Radikalisme
Kenyataan hari ini gerakan radikalisme bukan hanya
menyasar orang yang kekurangan secara ekonomi, bukan hanya
merekrut orang yang terlibat dalam sejarah masa lalu, ia telah
menyusup ke kelas menengah, kelompok anak muda (Sasongko,
2017), bahkan telah merangkak ke anak usia dini melalui institusi
pendidikan (Hanafi, 2018). Dalam mengkaji dan memahami
radikalisasi anak pada institusi pendidikan dasar, kita akan dibawa
kepada pembicaraan yang salah satunya adalah rumpun psikologi
sosial. Bandura, seorang psikolog-sosial yang berusaha
mengembangkan social learning theory, memahami bahwa agresi
dan kekerasan merupakan hal yang lahir dari proses observasi,
belajar, dan mengimitasi diri terhadap berbagai objek atau model
agresif (Crossett & Spitaletta, 2010). Radikalisasi bisa dimulai
ketika seorang individu berafiliasi dengan organisasi radikal, atau
belajar secara sosial maupun melalui proses pendidikan yang
sengaja atau tidak mengajarkan materi yang berhubungan dan
sangat relevan dengan perilaku-perilaku agresif serta radikalisme
(Crossett & Spitaletta, 2010). Proses tersebut akhirnya akan
memodifikasi struktur pengetahuan individu, kepercayaan, dan
attitude. Secara sederhana social learning theory tersebut dapat
dimengerti melalui diagram di bawah ini;
Diagram 4.1.
Social Learning Theory
Nurus Shalihin, Yulia | 19
Hubungan antara perilaku, faktor lingkungan (reinforce,
punishers) dan kepercayaan, persepsi, nilai, emosi, serta makna,
sangatlah erat. Hubungan ketiga hal ini bersifat simultan dan
saling mengisi serta terintegrasi (Crossett & Spitaletta, 2010).
Dengan kata lain, teori pembelajaran sosial atau social learning
theory merupakan sebuah teori yang mengasumsikan bahwa
individu belajar mengenal perilaku baru melalui observasi dan
proses belajar terhadap faktor-faktor sosial pada lingkungan
mereka. Ini menegaskan bahwa pendidikan adalah institusi yang
paling efektif membentuk perilaku anak, termasuk
memperkenalkan perilaku agresif dan mengenal radikalisme.
Dengan teori tersebut berbagai proses belajar, dan imitasi terhadap
perilaku radikal serta doktrinasi radikalisme dapat dipahami.
Menurut hasil survey yang dilakukan Badan Intelijen
Negara tahun 2018 terhadap tiga universitas dan SMA
menunjukkan bahwa 39% mahasiswa terpapar radikalisme. Dari
penelitian diperoleh data 24% mahasiswa dan 23,3% pelajar SMA
setuju dengan jihad demi tegaknya negara Islam (Akbar, 2018).
Hasil survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP)
menunjukkan bahwa 48,9% siswa yang menjadi sampel survey
menyetujui aksi radikalisme karena agama (Fanani, 2013; Munip,
2012). Hasil studi Munip (2012) menunjukkan bahwa 65% dari
2.466 sampel mahasiswa mendukung pelaksanaan sweeping
kemaksiatan, 18% mendukung dan terlibat dalam kegiatan
sweeping. Hanya 11% yang menyatakan tidak mendukung
kegiatan sweeping, dan 6% tidak menjawab. Alasan utama mereka
mendukung sweeping adalah karena bagian dari perintah agama
(88%), karena aparat tidak mampu menegakkan hukum (4%) dan
dekadensi moral (8%) (Munip, 2012; Muqoyyidin, 2013). Data
tersebut berbanding lurus dengan apa yang dikatakan oleh Mohtar
Saman (2018) bahwa radikalisme bagaikan virus yang tidak kasat
mata dan bisa menginveksi siapa saja, termasuk anak usia dini.
Anak usia dini pada umumnya memiliki rasa ingin tahu
yang besar, unik, suka imajinasi dan fantasi, egois, dan
konsentrasi yang relatif pendek. Bahkan usia dari 0-8 tahun
digolongkan kepada usia emas bagi anak. Menurut Jean Piaget
dalam teorinya Perkembangan Kognitif (Cognitive Theory)
20 | Radikalisasi Anak Usia Dini
menyatakan bahwa anak usia dini sebenarnya memiliki cara
berpikir layaknya orang dewasa. Piaget membagi perkembangan
kognitif anak ke dalam empat tahapan, yaitu: Pertama, ketika
anak berumur 0-2 tahun. Sepanjang tahap ini bayi belajar tentang
diri sendiri dan dunia mereka melalui inderanya yang sedang
berkembang. Kedua, ketika berumur 2-7 tahun, yang dinamakan
tahap pra-operasional. Dalam proses ini, anak telah menunjukkan
aktivitas kognitif dalam menghadapi berbagai hal di luar dirinya.
Namun aktivitas berfikirnya belum mempunyai sistem yang
terorganisir atau belum sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis.
Tapi anak sudah dapat memahami realitas di lingkungan dengan
menggunakan tanda-tanda dan simbol. Ketiga, ketika berumur 7-
11 tahun atau ditahap operasional konkret. Pada tahap ini, anak
sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika atau
operasi, tetapi hanya untuk objek fisik, tanpa objek fisik, mereka
masih mengalami kesulitan dalam soal logika. Tapi egosentris
anak sudah berkurang dan kemampuannya dalam tugas-tugas
konservasi menjadi lebih baik. Keempat, Pada umur 12 tahun
keatas, timbul periode operasi baru. Periode ini anak dapat
menggunakan operasi-operasi konkritnya untuk membentuk
operasi yang lebih kompleks. Kemajuan anak selama periode ini
adalah tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda atau
peristiwa konkrit, ia mempunyai kemampuan untuk berpikir
abstrak (Redaksi, 2018; Fatimah Ibda, 2015).
Jika dilihat dari rentang usia anak dini tersebut, terdapat
banyak pendapat, salah satunya yang diungkap oleh NAEYC
(National Association for The Education of Young Children)
(1992) mengatakan bahwa anak usia dini adalah anak yang berada
pada rentang usia 0-8 tahun, yang tercakup dalam program
pendidikan di taman penitipan anak, penitipan anak pada keluarga
(family child care home), pendidikan prasekolah baik swasta
maupun negeri, TK, dan SD (Amini, 2014). Sedangkan menurut
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal I ayat 14 menyatakan bahwa
pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun
yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani
Nurus Shalihin, Yulia | 21
agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih
lanjut. Selain itu peraturan menteri kebudayaan dan pendidikan
Nomor 51 Tahun 2018 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru
Pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah
Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah
Kejuruan, mencantumkan bahwa persyaratan pencalonan peserta
didik baru untuk SD berumur tujuh tahun, namun dibolehkan juga
bagi anak yang berumur lima tahun dengan syarat rekomendasi
psikolog profesional atau dari guru sekolah (Baca: Saputra, 2019).
Jika dilihat dari persyaratan umurnya, SD di Indonesia dapat
digolongkan kepada institusi pendidikan anak usia dini. Hal ini
senada dengan studi yang dilakukan oleh Supriyono (2012) yang
menggolongkan SD kepada bentuk pendidikan anak usia dini.
Studi Prasanti & Fitriani (2018) menunjukkan bahwa ada tiga hal
yang membentuk karakter anak usia dini, yaitu keluarga,
komunitas dan sekolah. Studi tersebut menemukan bahwa yang
paling dominan dalam membentuk karakter anak dimulai dari
keluarga, sekolah, kemudian komunitas. Namun jika dilihat hari
ini peran institusi pendidikan tak kalah penting dalam menentukan
karakter seorang anak, terlebih rata-rata anak usia dini saat
sekarang ‘’diserahkan‘’ oleh orang tua ke institusi pendidikan
formal atau non-formal, swasta ataupun negeri. Di institusi
pendidikan tersebut anak diajarkan dengan kurikulum dan metode
pembelajaran yang sudah dirancang, juga peran guru yang sangat
dominan dalam menentukan karakter seorang anak. Meskipun
Piaget mengatakan bahwa seorang anak mempunyai cara berpikir
layaknya orang dewasa, namun tak dapat dipungkiri juga bahwa
anak usia dini baru mempunyai kemampuan untuk meniru, belum
mengolah. Beragam bentuk serta model institusi pendidikan anak
usia dini muncul kepermukaan, yang familiar misalnya adalah
institusi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-
kanak (TK), dan Sekolah Dasar (SD). Setidaknya menurut
Andante (2018) mengatakan bahwa institusi tersebut memiliki
tujuan empat hal, yaitu: Pertama, membentuk anak yang
berkualitas. Kedua, membantu menyiapkan anak mencapai
kesiapan belajar di sekolah. Ketiga, intervensi dini dengan
22 | Radikalisasi Anak Usia Dini
memberikan rangsangan sehingga dapat menumbuhkan potensi-
potensi yang tersembunyi. Keempat, untuk melakukan deteksi dini
terhadapmkemungkinan terjadinya gangguan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak.
C. Pendidikan Islam Terpadu dan Radikalisme Islam
Islam terpadu merupakan sebuah konsep yang digagas
oleh seorang pemikir pendidikan Islam dari Timur Tengah, Hasan
al-Banna. Hasan al-Banna dibesarkan oleh ayahnya Syeikh
Ahmad bin Abdurrhaman bin Muhammad Albana as Sadati.
Ayahnya seorang guru yang mengajarkan al-Qur’an, Hadis, Fiqh,
Bahasa dan Tawaswuf. Selain belajar dari ayahnya, al-Banna juga
belajar di sekolah Darul Ulum di Khairo pada tahun 1927. Setelah
meninggalkan Darul Ulum, al-Banna mendapat tempat di sebuah
sekolah menengah pemerintah Ismailiah. Kemudian mendirikan
sebuah Harakah Islamiah, Al-Ikhwanul Muslimin. Hal itu
didukung oleh murid-murid yang setia jadi pengikutnya
(Miftahuddin, 2008).
Setelah al-Banna meninggal, Syaikh Yusuf Qardhawi
salah seorang murid terbaik dari Ikhwanul Muslimin melanjutkan
perjuangan melalui sebuah Madrasah yang bernama Madrasah
Hasan al-Banna. Madrasah itu sengaja disematkan oleh Qardhawi
agar tetap tumbuh dan mengembangkan dua tujuan besar, yaitu:
ilmiah dan alamiah, (berilmu dan beramal). Sejauh dapat dilacak,
selama belajar dari al-Banna, semua murid selalu menanamkan
pemahaman untuk mendidik dan mengkaderkan diri dari belia,
tetap berbuat baik, mengajarkan suruhan agama dan
meninggalkan larangan agama. Di samping itu, al-Banna juga
menekankan takziyah nafs, yang nantinya sangat berperan dalam
mentarbiyahkan umat. Selain itu, al-Banna juga memahami
konsep al-fahm dengan rincian yang disebut Al-Usuk ‘Isyrin,
ikhlas, Amal, Jihad, Taat, Stabat, Tadhiyah, Tajarrad, Ukhwah,
dan Tsiqqah. Keseluruhan konsep tersebut harus dimiliki seorang
Murabby (yang mengajarkan) dan yang diajar. Semua itu harus
ditekankan terhadap belia dan pelajar, meskipun membutuhkan
Nurus Shalihin, Yulia | 23
waktu yang panjang dalam melihat hasil dari proses yang
ditempuh, karena mereka nantinya akan melanjutkan Tarbiyah di
berbagai negara.
Di Indonesia era 1980-an adalah masa pergolakan yang
penting dari perkembangan Islam. Di era ini dotrinisasi agama
kian menguat di kampus-kampus yang digerakan oleh aktivis
Islam, terutama aktivis yang terhimpun dalam Gerakan Dakwah
Kampus (GDK). Gerakan tersebut masuk melalui perguruan
tinggi yang bukan berbasis keislaman, seperti Institute Tekhnologi
Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Institute Pertanian
Bogor (IPB), dan Universitas Brawijaya (Qodir, 2011).
Menelusuri karakteristik dan ciri-ciri dari penggerak dakwah
tersebut secara tidak langsung terkoneksi dengan jaringan
Ikhwanul Muslimin (IM) besutan al-Banna. Hanya saja di
Indonesia berubah wujud dan terpecah. Berbagai kelompok
muncul, seperti kelompok tarbiyah, halaqah, usrah dan gerakan
dakwah lainnya. Sedangkan di perguruan tinggi tidak terbendung
hingga merebak masuk di kalangan masyarakat wilayah
Indonesia.
Terbukanya kran demokrasi dengan runtuhnya Orde Baru
tahun 1998, gerakan Tarbiyah tersebut membentuk diri dalam
Partai Keadilan. Namun Partai Keadilan tersebut gagal memenuhi
standar electoral threshold, sehingga berubah menjadi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS). Saat ini PKS mencoba berubah bentuk
layaknya Muhammadiyah dan NU. Semenjak 1990-an, PKS
seakan memiliki kekuatan yang mengakar di tengah masyarakat
dan didukung oleh alumninya yang menyelesaikan pendidikan di
Timur Tengah. Gerakan dakwah PKS menguat tidak hanya di
kalangan remaja dan masyarakat, namun juga masuk melalui
sistem pendidikan. Saat ini sedikit sulit membedakan gerakan
antara yang dilakukan oleh PKS, Muhammadiyah atau NU. PKS
melalui gerakan Tarbiyah melakukan strategi besar untuk
menanamkan Ideologi; Pertama, dengan menyebarkan
pemahaman agama dan gagasan Islam yang dibungkus
sedemikian menarik untuk disebarkan terhadap masyarakat.
24 | Radikalisasi Anak Usia Dini
Program yang dilakukan melalui peribadatan training keislaman
di sekolah-sekolah (Training Awal Mula/training Islam for
beginner), (fikih perempuan/fikih nissa), membuka bimbingan
belajar, kursus-kursus bagi pelajar dan mahasiswa, pelayanan
buku-buku yang se ideologi, ceramah gratis dengan berbagai
tema, serta pembinaan terhadap anak-anak (TK-SD). Saat ini
membentuk wujud dengan Taman Kanak-kanak (TK Islam
Terpadu/TK IT). Kedua, strategi yang dilakukan adalah dengan
melakukan training kaderisasi, seperti intensif untuk anak-anak,
remaja, dan mahasiswa. Selanjutnya latihan mujahid dakwah,
training pembinaan dengan materi shalat, puasa, zakat, haji dan
iqra. Semua dilakukan secara sistematis dan berjenjang (Qodir,
2011). Dalam konteks pendidikan, hampir semua fasilitas
dipenuhi untuk menarik perhatian masyarakat agar tergabung
dalam satu tujuan yang diinginkan.
Saat ini, minat masyarakat terhadap Sekolah Islam
Terpadu (SIT) menjadi dominan (Kurnaengsih, 2015). Keadaan
tersebut tentu tidak lepas (Baca; Zuly Qodir) dari berbagai isu
yang kerap didengungkan oleh kelompok dotrinisasi keagamaan.
Isu tersebut disampaikan melalui mimbar masjid, pengajian
halaqoh, serta kampus. Juga disampaikan bahwa saat ini sangat
penting pemahaman agama bagi kalangan muslim, tidak
terkecuali bagi anak-anak yang masih sekolah. Sehingga tawaran
alternatif untuk jawaban saat ini adalah pendidikan Islam Terpadu.
Pendidikan yang diperoleh tidak hanya sebatas ilmu umum, tapi
juga paduan antara ilmu agama dan ilu umum yang selama ini
kurang tersentuh di sekolah-sekolah umum lainnya. Dasar pijakan
Islam Terpadu (IT) berlandaskan al-Qur’an dan As Sunnah.
Konsep al-Qur’an dan Sunnah yang didasari bahwa manusia
selama ini hanya mengedepankan pragmatisme kehidupan,
hedonis, dan materialis. Sehingga pemahaman agama seringkali
terpinggirkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mendaur
ulang sistem pendidikan Islam diharapkan akan melahirkan sosok
insan religius, berkepribadian, cerdas, kreatif, sehat dan
berkarakter. Dalam operasional kurikulum yang digunakan adalah
Nurus Shalihin, Yulia | 25
kurikulum nasional terhadap anak-anak PAUD dan TK Islam
Terpadu. Kemudian dikuatkan dengan nilai-nilai dan karakter
dalam setiap pelajaran, baik di dalam kelas maupun di luar kelas
(Hadisi, 2016).
Nuansa yang dibangun dalam memenuhi kompetensi
pendidikan tersebut sangat Islami dan didukung dengan sarana
prasarana, seperti; buku teks yang bernuansa Islami, referensi
merujuk kepada ensiklopedi Islam, al-Qur’an, tafsir serta
kumpulan hadis sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari. Sarana lain adalah masjid dan mushola, laboratorium
dan kebun praktik, dan lain sebagainya (Khoirunnisaa’, 2014).
Demikian juga halnya dengan tenaga pendidik, baik pemimpin
sekolah, guru, murid, ataupun yayasan itu sendiri, masing-masing
memiliki kriteria dalam proses jalannya alur pendidikan. Sebagai
pemimpin, kepala sekolah meski memiliki pemahaman agama
yang baik, dan akhlak atau kepribadian yang terpuji, keteladanan,
memiliki visi yang bagus, memiliki keberanian, keterampilan
sebagai pemimpin, dan hubungan yang harmoni dengan semua
stakeholder.
26 | Radikalisasi Anak Usia Dini
Nurus Shalihin, Yulia | 27
BAB III
PROSES RADIKALISASI ANAK USIA DINI
PADA PENDIDIKAN ISLAM TERPADU
Bagian hendak memaparkan beberapa temuan terkait
dengan proses penanaman nilai-nilai pada anak usia dini oleh
institusi Pendidikan Islam terpadu. Ada empat aspek atau nilai
yang disoroti dalam studi ini, pertama, fanatisme, kedua, berburuk
sangka, ketiga, sikap keras, dan keempat memaksakan kehendak.
Keempat nilai atau aspek tersebut menjadi pijakan untuk melihat
terjadinya proses radikalisasi. Perlu digarisbawahi bahwa studi ini
bukan dimaksudkan menemukan radikal atau radikalismenya anak
usia dini pada institusi Pendidikan Islam terpadu, melainkan studi
ini hanya memotret apakah terjadi proses penanaman nilai-nilai
radikal terhadap anak usia dini pada intitusi Pendidikan Islam
Terpadu. Meski TK/Paud Islam Terpadu yang menjadi fokus studi
ini, namun keempat nilai yang tersebut di atas juga dilihat pada
TK/Paud non Islam Terpadu sebagai bahan perbandingan.
3.1. Proses Radikalisasi Anak Usia Dini; Bacaan Ideologi,
Politik, Dan Ekonomi
Pendidikan anak usia dini yang menjadi sorotan studi ini
adalah Pendidikan Anak Usia Dini [PAUD] dan Taman Kanak-
Kanak [TK]. Secara umum Paud-TK dapat diklasifikasi menjadi
negeri dan swasta dengan afiliasi pada Kemendikbud dan
Kemenag. Artinya ada Paud-TK negeri dan swasta di bawah
koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan ada
Paud-TK di bawah koordinasi Kementerian Agama. Khusus untuk
Paud-TK yang berada di bawah kordinasi Kementerian Agama
diistilahkan dengan Raudhatul Athfal [RA].
Paud-TK tipe swasta Kemendikbud, memiliki beberapa
kategori. Ada kebangsaan dan ada pula keagamaan. Maksud
kategori kebangsaan adalah Paud-TK mengikuti secara utuh
orientasi, sistem dan kurikulum layaknya Paud-TK negari,
termasuk ke dalam kategori ini Paud-TK yang dikelola oleh
28 | Radikalisasi Anak Usia Dini
Bhayangkara. Sedangkan Paud-TK ketegori keagamaan adalah
sekolah yang dikelola oleh organisasi keagamaan seperti NU dan
Muhammadiyah, atau oleh kelompok atau orang yang menjadikan
agama sebagai simbol atau sistem dalam menjalankan pendidikan.
Paud-TK ketegori keagamaan juga memiliki tipe; Islam Terpadu
dan non Islam Terpadu.
Di Paud-TK Islam Terpadu ciri dan karakter Islam
sangatlah menonjol dan amat penting di banding sekolah Paud-TK
di luar label Islam Terpadu. Ciri dan karakter yang disasar oleh
Sekolah Islam Terpadu ini adalah menguwujudkan generasi
rabbani yang berkepribadian muslim. Dalam catatan Suyatno
(2013) ada sepuluh ciri kepribadian muslim tersebut yang
terangkum dalam muwasafat, yaitu, memiliki akidah yang lurus,
beribadah yang benar, berakhlak mulia, mandiri, berwawasan dan
berpengetahuan luas, berbadan sehat dan kuat, bersungguh-
sungguh terhadap dirinya, terampil mengelola segala urusan,
disiplin waktu, dan bermanfaat bagi orang lain. Kesepuluh
muwasafat ini menjadi ciri khas tujuan pendidikan SIT yang
diadopsi dari sepuluh muwasafat Ikhwanul Muslimin maupun
Jamaah Tarbiyah yang digariskan oleh Hasan al-Banna.
SIT pada hakikatnya adalah sekolah yang
mengimplementasikan konsep pendidikan Islam berlandaskan al-
Qur’an dan as-Sunnah. Konsep operasional SIT merupakan
akumulasi dari proses pembudayaan, pewarisan dan
pengembangan ajaran agama Islam, budaya dan peradaban Islam
dari generasi ke generasi. Istilah “Terpadu” dalam SIT
dimaksudkan sebagai penguat (taukid) dari Islam itu sendiri, Islam
yang utuh, menyeluruh, integral, bukan parsial, syumuliah bukan
juz’iyah. Semangat tersebut menjadi yang utama bagi SIT dalam
gerak da’wah di bidang pendidikan sebagai “perlawanan”
terhadap pemahaman sekuler dan dikotomi, juz’iyah. Dalam
praktiknya, SIT diartikan sebagai sekolah yang menerapkan
pendekatan dengan memadukan pendidikan umum dan
pendidikan agama menjadi satu jalinan kurikulum. Dengan
pendekatan ini, semua mata pelajaran dan semua kegiatan sekolah
Nurus Shalihin, Yulia | 29
tidak lepas dari bingkai ajaran dan pesan nilai Islam. Tidak ada
dikotomi, tidak ada keterpisahan, tidak ada sekularisasi, di mana
pelajaran dan semua bahasan tidak boleh lepas dari nilai dan
ajaran Islam ataupun sakralisasi di mana Islam diajarkan terlepas
dari konteks kemaslahatan kehidupan masa kini dan masa depan
(Admisi jsit-indonesia.com, n.d.).
Dalam mewujudkan kurikulum yang mengintegrasikan
pendidikan umum dengan pendidikan agama, maka SIT mengacu
sepenuhnya pada Kemendikbud untuk pendidikan umum,
sementara untuk pendidikan agama, masing-masing SIT
merumuskan sendiri. Artinya masing-masing SIT memiliki
otoritas sendiri dalam menentuan orientasi, muatan, dan
kurikulum keagamaan. Dalam konteks inilah dapat dipahami
munculnya berbagai variasi muatan pelajaran keagamaan sesuai
dengan kepentingan masing-masing SIT.
Kehadiran SIT disambut baik oleh masyarakat. Karena
pasca Orde Baru juga terjadi pergeseran choice of education di
kalangan menengah Muslim Indonesia. Pergeseran tersebut terjadi
ketika orang tua dari kalangan menengah Muslim Indonesia lebih
suka menyekolahkan anaka-naknya di sekolah dengan basic
keislaman yang kuat, semisal sekolah-sekolah Muhammadiyah
dan SIT, dibandingkan dengan sekolah umum. Fakta ini
berbanding terbalik dengan beberapa dekade sebelumnya, ketika
orang tua dari kalangan menengah lebih bangga menyekolahkan
anak-anaknya ke sekolah yang tidak memiliki basic keagamaan.
Era ini juga ditandai adanya perubahan besar dalam berbagai
lanskap publik, baik dalam terminologi sistem politik, isi,
produksi, distribusi, pertunjukan, dan diskursus media di
Indonesia. Pergeseran pandangan terhadap pendidikan seiring
dengan tuntutan masyarakat (social demand) yang berkembang
dalam skala yang lebih makro. Menurut Suyatno, (2015) para
orang tua ditakutkan dan dicemaskan dengan fenomena kenakalan
remaja, maka mereka terdorong untuk membekali anak mereka
sedini mungkin dengan pembiasaan nilai-nilai religius dan nilai-
nilai luhur ketimuran atau pendidikan karakter. Atas dasar itulah
30 | Radikalisasi Anak Usia Dini
para orang tua berbondong-bondong memasukkan anak mereka ke
sekolah tersebut.
Keadaan di atas dibaca dengan baik para pencetus konsep
pendidikan Islam Terpadu. Mereka dengan cepat mengetahui
bahwa para konsumen SIT, membutuhkan kemasan kurikulum
Islamis, praktis dan sedikit ‘’wah’’. Dengan demikian, dikemaslah
serangkaian kurikulum serba instan dan segera dapat dilihat,
didengar dan dirasakan manfaatnya. Para orang tua tidak
menghiraukan biaya untuk mendaftarkan anaknya ataupun SPP
yang harus dibayar. Malahan orang tua bangga dengan
‘’keberhasilan’’ anaknya yang tahu agama dan terkadang anak
menegur orang tuanya ketika di rumah dengan ilmu agama yang
didapat di sekolah. Kebanggaan ini dibawa oleh orang tua kepada
teman-temannya, termasuk juga ke tempat kerja, sehingga
tingginya sumbangan yang harus dibayar saat masuk maupun
mahalnya SPP, dianggap tidak menjadi masalah bagi orang tua
(Moedliono, 2002).
Kenyataan lain, adalah bahwa anak usia dini keluarga
perkotaan tidak dapat sehari penuh merasakan kebersamaan
dengan orang tua mereka. Hal ini merupakan akibat dari
kesibukan atau orang tua di luar rumah sebagai tanggung jawab
hidup dan tuntutan perkembangan zaman. Anak usia dini keluarga
perkotaan pada waktu siang banyak bersama pembantu rumah
tangga, pengasuh khusus (baby sitter) atau berada pada lembaga
pendidikan nonformal, di antaranya TPA, KB, Play Group, dll.
Keadaan seperti itu memberikan peluang ‘’bisnis’’ lembaga
pendidikan anak usia dini. Hal tersebut ditunjukkan dengan
bertambahnya jumlah lembaga PAUD, termasuk SIT. Rata-rata
kelas yang dimiliki penuh, fasilitasnya diupayakan semakin baik,
persaingan mendapatkan peserta didik semakin ketat. Fenomen ini
bisa melihat menjelang tahun ajaran baru masing-masing sekolah
berlomba-lomba membujuk keluarga perkotaan agar memilih
program yang ditawarkannya. Tak jarang masing-masing sekolah
memasang spanduk di berbagai sudut kota (Sutarmin et al., 2014).
Nurus Shalihin, Yulia | 31
Pendidikan memang menjadi wahana yang paling efektif
dalam menyebarkan paham keagamaan. Proses Islamisasi
masyarakat adalah penyebaran paham Islam berdasarkan nilai-
nilai dari al-Qur’an dan Hadist yang terangkum dalam wacana
teks. Agama menjadi bagian yang bukan hanya menjadi sisi
penyelamat, namun menjadi bagian dari penciptaan doktrin dan
juga dominasi pada kelompok masyarakat secara sadar. Hanya
saja karena tuntutan nilai dan moral, agama menjadi ideologi tak
terbantahkan dalam urusan keselamatan hidup. Keyakinan
masyarakat terhadap agama dalam menuju jalan keselamatan,
akhirnya memicu kemunculan model pendidikan Islam Terpadu
yang menimbulkan hegemoni tersendiri bagi khalayak masyarakat
untuk memilihkan sekolah bagi anaknya. Dengan tujuan dan dalih
agar anaknya bisa selamat dunia akhirat, berakhlak mulia,
memiliki budi pekerti luhur dengan belajar pada sekolah yang
memiliki basis agama yang kuat (Kusumawati, 2014).
Setidaknya, menurut Andante (2018) ada empat tujuan
yang hendak dicapai oleh Sekolah Paud-TK, pertama, membentuk
anak yang berkualitas. Kedua, membantu menyiapkan anak
mencapai kesiapan belajar di sekolah. Ketiga, intervensi dini
dengan memberikan rangsangan sehingga dapat menumbuhkan
potensi-potensi yang tersembunyi. Keempat, untuk melakukan
deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya gangguan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak. Melampaui hal tersebut di
atas, Paud-TK sebagai salah satu institusi pembentuk karakter
anak yang paling dominan setelah keluarga. Studi Prasanti &
Fitriani (2018) menunjukkan bahwa tiga hal yang membentuk
karakter anak usia dini, yaitu keluarga, komunitas dan sekolah,
maka yang paling dominan dalam membentuk karakter anak
dimulai dari keluarga, sekolah, kemudian komunitas.
3.2. Tipologi Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini yang menjadi sorotan studi ini
adalah Pendidikan Anak Usia Dini [PAUD] dan Taman Kanak-
Kanak [TK]. Secara umum Paud atau TK dapat diklasifikasi
32 | Radikalisasi Anak Usia Dini
menjadi, pertama, negeri dan swasta, kedua, afialisi Kemendikbud
dan Kemenag. Artinya ada Paud dan TK negeri dan swasta di
bawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan
ada Paud dan TK di bawah koordinasi Kementerian Agama.
Khusus untuk Paud dan TK yang berada di bawah kordinasi
Kementerian Agama diistilahkan dengan Raudhatul Athfal [RA].
Paud-TK tipe swasta Kemendikbud, memiliki beberapa
kategori berdasarkan orientasi, ada kebangsaan dan ada kategori
keagamaan. Maksud kategori kebangsaan adalah Paud-TK
mengikuti secara utuh orientasi, sistem dan kurikulum layaknya
Paud-TK negari, termasuk ke dalam kategori ini Paud-TK yang
dikelola oleh Bhayangkara. Sedangkan Paud-TK ketegori
keagamaan adalah sekolah yang dikelola oleh organisasi
keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah, atau oleh kelompok
atau orang yang menjadikan agama sebagai simbol atau sistem
dalam menjalankan pendidikan. Paud-TK ketegori keagamaan
juga memiliki tipe; Islam Terpadu dan non Islam Terpadu.
Paud-TK Islam Terpadu yang menjadi fokus studi ini
paling tidak memiliki tiga tipologi, pertama, Paud-TK yang
bergabung dalam perkumpulan Jaringan Sekolah Islam Terpadu
[JSIT], kedua Paud-TK yang bergabung dengan Asosiasi Sekolah
Sunah Indonesia [ASAI], dan ketiga Paud-TK yang sama sekali
tidak memiliki afiliasi dengan organsasi apapun.
Kategori pertama, Paud-TK yang tergabung dengan JSIT
adalah sekolah-sekolah yang dikelola oleh sebuah yayasan yang
memiliki irisan Partai Keadilan Sejahtera [PKS]. Sebagaimana
kemunculan sekolah Islam Terpadu digagas oleh pentolan Partai
Keadilan/PKS yang mengambil filosofi Pendidikan pada Hasan Al
Bana, maka kehadiran sekolah ini juga memiliki kepentingan
politis. Oleh karena itu, Paud-TK yang terafiliasi pada JSIT ini,
dapat dikatakan sekolah yang beroritasi pada politik. Kategori
kedua, Paud-TK yang tergabung dengan ASAI adalah sekolah
yang dikelola oleh yayasan memiliki irisan dengan kelompok
keagamaan salafi. Sekolah ini tentunya, tidak memiliki orientasi
politik sebagaimana JSIT dalam membangun basis massa politik,
Nurus Shalihin, Yulia | 33
melampaui itu, sekolah ini memiliki orientasi ideologis ketimbang
politis. Sedangkan ketgori ketiga, yaitu sekolah-sekolah yang
tidak memiliki afiliasi adalah sekolah-sekolah yang dikelola oleh
yayasan berorientasi pada bisnis akademik. Sekolah-sekolah ini
tidak memiliki kepentingan ideologi dan politik, tetapi lebih
berkepentingan secara ekonomis.
3.3. Proses Radikalisasi Anak Usia Dini
Guru adalah instrumen penting dan utama dalam membentuk karakter anak. Melalui guru nilai, sikap dan perilaku anak ditransformasikan. Di Paud-TK Islam Terpadu ciri dan karakter Islam sangatlah menonjol dan amat penting di banding sekolah Paud-TK di luar label Islam Terpadu.
Secara umum studi ini menemukan, pertama, telah terjadi dan sedang berlangsung proses penanaman nilai-nilai radikal terhadap anak usia dini pada Paud-TK Islam Terpadu dalam kategori atau tingkat intensitas sedang dengan persentase 63.50%.
Tabel 1
Radikalisasi Anak Usia Dini
No Aspek Radikalisasi Nilai Rata-
Rata Persentase Kategori
1 Fanatisme 3.06 76,65 Tinggi
2 Memaksakan Kehendak 2.66 66,58 Sedang
3 Sikap Keras 2.39 59,87 Sedang
4 Berburuk Sangka 2,05 51,40 Sedang
Rata-rata 2,54 63,50 Sedang
Kedua, data pada Tabel 3.1 di atas menunjukkan bahwa
dari empat varian yang ada, maka aspek fanatisme paling tinggi
dengan persentase 76,65%, diiringi dengan pemaksaan kehendak
sebesar 66%, sikap keras sebesar 59%, dan berburuk sangka
sebesar 51.40%. Ketiga, varian fanatisme masuk pada katogori
tinggi, sedangkan memaksakan kehendak, sikap keras dan
berburuk sangka termasuk pada kategori sedang.
34 | Radikalisasi Anak Usia Dini
3.3.1. Penanaman Nilai dan Sikap Fanatisme
Secara sederhana fanatisme diartikan sebagai sebuah faham
atau pandangan ekstrim yang menganggap ide, nilai atau
kebenaran hanya diri atau kelompok tertentu, dan mengabaikan
fakta dan arugumen orang atau kelompok lain. Menurut Chung,
Baverland dan Farelly dalam Exploring Consumer Fanaticism;
Extraordinary Devotion in The Cunsumption Context (2008)
fanatik memiliki kecenderungan untuk bersikers terhadap subuah
gagasan yang menganggap diri sendiri atau kelompok tertentu,
dan mengabaikan fakta yang mungkin bertentangan dengan
pikiran atau keyakinan.
Goddard (2001) mendefinisikan fanatisme dengan suatu
keyakinan yang membuat seseorang buta sehingga mau
melakukan segala hal apapun demi mempertahankan keyakinan
yang dianutnya. Ada dua bentuk ekspresi dari fanatisme, yaitu
antusiasme (enthusiasm) dan kesetiaan (devotion). Kedua hal
tersebut dilakukan secara ekstrem atau berlebihan. Antusiasme
mengandaikan adanya tingkatan keterlibatan dan ketertarikan atau
kepedulian terhadap objek fanatik, sementara kesetiaan
meniscayakan keterikatan emosi dan kecintaan, komitmen, serta
dibarengi dengan adanya tingkah laku secara aktif (Nugraini,
2016).
Dengan demikian fanatisme dapat difahami sebuah sebuah
faham atau keyakinan yang ekstrim terhadap sesuatu; nilai, ide
dan lain sebagainya yang kebenarannya hanya ada pada diri atau
kelompok tertentu dan mengabaikan kebenaran dari orang atau
kelompok lain. Pengikut faham ini akan loyal dan totalitas
memperjuangkan dan mengabdikan diri pada obyek fanatik.
Merujuk hal di atas, maka antusias, kesetiaan, sikap ekstrim
(berlebihan) dan pengabdiaan menjadi dimensi untuk melihat
fanatisme. Dalam studi ini, keempat dimensi fanatisme tersebut
dikembangkan menjadi delapan indikator; penanaman keyakinan
terhadap Al Qur;an dan Sunnah sebagai sumber kebenaran,
penanaman nilai-nilai Pancasila, penanaman nilai-nilai keislaman,
penanaman kepatuhan kepada orang tua dan guru, larangan
Nurus Shalihin, Yulia | 35
mengikuti selain yang diperintahkan Al Qu’an dan Sunnah,
larangan makanan produk Barat, larangan menonton film tidak
islami, dan larangan mengucapkan dan merayakan ulang tahun.
Kedelapan indikator fanatisme tersebut di atas diklasifikasi
menjadi dua kategori, pertama, kategori yang merepresentasikan
Islam, dan kedua kategori yang merepresantasikan sesuatu di luar
Islam. Indikator yang masuk pada kategori Islam adalah sumber
kebenaran, nilai-nilai keislaman, mengikuti perintah Al Qur’an
dan Sunnah, dan kepatuhan pada orang tua dan guru. Sedangkan
indikator yang masuk pada kategori di luar Islam adalah nilai-nilai
Pancasila, film tidak islami, ulang tahun, dan produk Barat.
Tabel 2
Fanatisme
NO INDIKATOR FANATISME
Nilai
Rerata
Persentase Kriteria
1 Penanaman keyakinan tentang sumber kebenaran 3,60 90,00 Tinggi
2 Penanaman nilai-nilai keislaman; 3,53 88,25 Tinggi
3 Doktrin untuk tidak mengikuti selain yang
diperintah Al Qur’an & Sunnah; 3,47 86,75 Tinggi
4 Penanaman kepatuhan terhadap orang tua & guru 3,40 85,00 Tinggi
5 Doktrin untuk tidak menonton film tidak islami; 2,88 72,00 Sedang
6 Penanaman nilai-nilai Pancasila; 2,81 70,25 Sedang
7 Doktrin untuk tidak merayaan ulang tahun; 2,63 65,75 Sedang
8 Doktrin untuk tidak memakan produk Barat 2,21 55,25 Sedang
Rata-Rata 3,06 76,65 Sedang
Data pada Tabel 2 di atas memberi informasi penting,
pertama, empat indikator fanatisme masuk pada kategori tinggi,
yaitu penenaman keyakinan bahwa hanya Al Qur’an dan Sunnah
sajalah yang menjadi sumber kebenaran, penanaman nilai-nilai
keislaman, penanaman sikap kepatuhan hanya kepada orang tua
dan guru, dan larangan untuk mengikuti sesuatu selaian yang
diperintahkan Al Qur’an dan Sunnah. Empat indikator fanatisme
lainnya masuk pada kategori sedang, masing-masing adalah,
penenaman nilai-nilai Pancasila, larangan menonton film yang
36 | Radikalisasi Anak Usia Dini
tidak islami, larangan mengucapkan dan merayakan ulang tahun,
dan larang memakan produk Barat seperti KFC dan CFC.
Kedua, intensitas penanaman nilai dan sikap fanatisme yang
bersumber dari Islam berlangsung secara intensif dengan
frekuensi tinggi, sedangkan sesuatu yang berasal di luar Islam
intensitasnya berada pada skala atau level sedang. Artinya di satu
sisi, terjadinya penguatan fanatisme pada aspek keagamaan,
namun di pihak lain terjadi pelemahan dimensi di luar keagamaan
termasuk nilai-nilai kebangsaan seperti yang ditunjukkan oleh
item 6, dimana Pancasila menempati posisi yang tidak siginifikan.
Apa yang dapat dimaknai dari data dan fakta di atas adalah
pertama, ada kecenderungan yang kuat bahwa anak-anak usia dini
memiliki potensi yang sangat besar untuk menerima segala
sesuatu yang terkait dengan Islam baik subtansi maupun simbol.
Sebaliknya ada kecenderungan yang kuat anak-anak usia dini
akan menolak sesuatu yang datang atau berasal dari luar Islam.
Kedua, dominan proses doktrinisasi nilai dan sikap fanatisme
yang berasal dari Islam dan menolak sesuatu yang datang dari luar
Islam, maka anak-anak usia dini berpotensi besar untuk tidak
toleran; mengakui dan menerima perbedaaan dan keberagaman,
dan hidup berdampingan dengan kerjasama dengan orang yang
tidak sealiran, seetinik dan seagama.
3.3.2. Penanaman Nilai dan Sikap Pemaksaan Kehendak
Pemaksaan kehendak dalam ilmu sosial lebih dekat koersi.
Secara sederhana koersi adalah penggunaan pakasaan untuk
memperoleh sesuatu yang diinginkan. Koersi lebih tepat dimaknai
sebagai salah satu strategi untuk melakukan kontrol sosial.
Sebagai sebuah strategi, koersi adalah sebuah tindakan untuk
mengontrol tindakan sosial. Sebagai sebuah tindakan, Bartos dan
Wehr (2003) mengkospetualisasikan koersi dengan tindakan yang
memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu yang orang tersebut
tindak ingin melakukan. Ada dua model orang memaksakan
kehendak atau melakukan tindakan koersif. Pertama, memaksakan
kehendak dengan cara melukai, menyiksa dan membunuh. Model
kedua dengan mengancam, mengintimidasi dan negosiasi. Kedua
Nurus Shalihin, Yulia | 37
model ini diistilahkan oleh Bartos dan Wehr (2003) dengan actual
coercion dan therat coercion.
Menurut Tedeshi dan Felson di dalam konsep koersif
terdapat ancaman, hukuman dan paksaan sebagai strategi penting
untuk menyakiti atau mendapatkan kepatuhan dari target yang
menolak untuk disakiti atau untuk patuh. Oleh kerenanya, bagi
Tedeshi dan Felson strategi koersif dipandang sebagai suatu
instrumen yang digunakan oleh si pelaku untuk menyakiti
targetnya atau untuk membuat targetnya mematuhi tuntunan
pelaku. Ada tiga yang menjadi taget dari pelaku koersif ini,
pertama: mengontrol perilaku orang lain yang menjadi tujuan
utama, kedua: untuk menegakkan keadilan, dan ketiga untuk
mempertahankan atau melindungi identitas (Susantyo, 2011).
Ada enam dimensi yang dijadikan indikator untuk melihat
aspek pemaksaan kehendak dalam studi ini. Keenam hal tersebut
adalah, kewajiban mematuhi setiap nasehat guru, balasan pahala
dan surga bagi orang yang membela agama Islam, larangan
menyanyikan lagu selain lagu islami, masuk sekolah agama
setalah taman kanak-kanak, keharusan menyampaikan agar orang
tuan memakai pakaian seperti guru mereka di sekolah dan
temasisasi perang dengan permainan bermain peran.
Tabel 3
Memaksakan Kehendak
NO INDIKATOR
Nilai
Rerata Persentase Kriteria
1 Kewajiban mematuhi setiap nasehat
guru;
3,53 88,25 Tinggi
2
Doktrin adanya balasan pahala dan
surga untuk orang yang membela
agama Islam;
3,42 85,50 Tinggi
3 Larangan anak-anak menyanyikan
lagu selain lagu-lagu islami;
2,60 65,00 Sedang
4 Doktrin agar masuk ke sekolah agama
setelah taman kanak-kanak;
2,48 62,00 Sedang
38 | Radikalisasi Anak Usia Dini
Data pada Tabel 5 menggambar bahwa, ada tiga kategori
dari enam indikator penanaman sikap pemaksaan kehendak, yaitu
tinggi, sedang dan rendah. Penanaman sikap agar mematuhi
semua nasehat guru dan doktrinisasi adanya balasan pahala dan
surga kepada orang-orang yang membela agama Islam masuk
pada ketegori intensitas tinggi. Penanaman sikap memaksakan
hendak agar anak-anak tidak menyanyikan selain lagu-lagu islami,
masuk sekolah agama setelah taman kanak-kanak dan keharusan
anak-anak memberitahu orang tua mereka agar mengikuti pakaian
yang sama dengan yang dipakai guru disekolah termasuk pada
kategori intensitas sedang. Satu dimensi penanaman sikap
pemaksaan kehendak masuk pada intensitas rendah, yaitu
doktrinisasi perang melalui permainan bermain peran.
3.3.3. Penanaman Nilai dan Sikap Keras
Sikap keras dalam Islam diistilahkan dengan ghuluw yaitu
sikap keras, kaku, berlebih-lebihan, dan melebihi batas atau sikap
ekstrem. Dalam terminologi syari’at sikap eksrem dimaknai
sebagai sikap berlebih-lebihan dalam suatu perkara atau bersikap
ekstrem pada satu masalah dengan melampaui batas yang telah
disyariatkan. Karwadi (2014) memaknai sikap keras hampir sama
seperti definisi radikalisme dalam KBBI, yaitu: Pertama, paham
atau aliran yang radikal dalam politik. Kedua, paham atau aliran
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan
politik dengan cara kekerasan atau drastis. Ketiga, sikap ekstrem
dalam suatu aliran.
Sikap keras berhubungan dengan self interest, yaitu
kekukuhan dalam memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok.
Self interest ini merupakan tindakan isolitif, sebuah tindakan yang
5
Keharusan anak-anak menyampaikan
agar orang tua mengikuti pakaian
sama dengan yang dipakai guru di
sekolah;
2,35
58,75
Sedang
6 Doktrin perang melalui permainan
peran
1,60 40,00 Rendah
Rata-rata 2,66 66,58 Sedang
Nurus Shalihin, Yulia | 39
berupaya memenuhui kebutuhan privat dan mengabaikan
kepentingan publik. Self interest oleh Plato diposisikan sebagai
sesuatu yang negatif dan merupakan biang kejahatan dan dosa.
Bagi Plato self-interest hanya akan mendorong individu berlaku
tidak adil terhadap orang lain (Pramudya, 2010). Selain self
interest, sikap keras juga berhubungan dengan closed self
persepective, yaitu kekukuhan pada perspektif sendiri dan
menutup diri dari perspektif orang lain. Hal ini berawal dari
adanya pertama, klaim kebenaran, dimana hanya diri atau
kelompok merekalah yang benar sehingga tidak memerlupkan
persepketif lain. Kedua, adanya pandangan negarif atau asumsi
negatif terhadap orang atau kelompok lain.
Enam dimensi yang dijadikan indikator untuk melihat
intensitas penanaman sikap keras pada anak usia dini. Keenam
dimensi tersebut adalah pertama, doktrin adanya keharusan bagi
anak untuk menyuruh orang tua mereka tidak shalat agar
melaksanakan shalat. Kedua, doktrin adanya keharusan bagi anak
untuk menyuruh orang tua mereka yang tidak berpuasa agar
melaksanakan puasa. Ketiga, doktrin adanya keharusan berjuang
untuk membela agama. Keempat, doktrin adanya kaharusan
menjauhi membaca komik yang tidak islami. Kelima, adanya
doktrin keharusan menjauhi orang yang tidak sama tata cara
ibadahnya, dan keenam adanya doktrin keharusan melawan orang
yang tidak menjalankan ajaran Islam.
Tabel 4.
Bersikap Keras
NO INDIKATOR Nilai
Rerata Persentase Kriteria
1 Keharusan menyuruh orang tua
untuk melaksanakan shalat 3,16 79,00 Tinggi
2 Keharusan menyuruh orang tua
untuk berpuasa; 3,04 76,00 Tinggi
3 Keharusan berjuang membela
agama; 2,48 62,00 Sedang
4 Keharusan menjahui membaca
komik-komik yang tidak islami; 2,44 61,00 Sedang
5 Keharusan menjahui orang yang tak 1,79 44,75 Rendah
40 | Radikalisasi Anak Usia Dini
sama tatacara ibadahnya;
6
Kaharusan melawan orang-orang
yang tidak menjalankan ajaran
Islam.
1,46 36,50 Rendah
Rata-Rata 2,39 59,87 Sedang
Data pada table 4 di atas menggambarkan, ada tiga
kategori penanaman nilai dan sikap keras pada anak usia dini,
yaitu tinggi, sedang dan rendah. Dimensi yang masuk pada
kategori intensitas tinggi adalah pembentukan sikap keras agar
anak menyuruh orang tua mereka untuk shalat dan puasa.
Penanaman sikap keras agar anak harus berjuang membala agama
dan menjauhi untuk membaca bacaan yang tidak islami seperti
komik masuk pada kategori intensitas sedang. Sementara
penanaman sikap keras agar anak menjauhi orang yang tidak
setatacara ibadahnya dan keharusan melawan orang yang tidak
menjalankan ajaran Islam masuk kategori intensitas rendah.
3.3.4. Penanaman Nilai dan Sikap Berburuk Sangka
Berburuk sangka dalam terminologi psikologi sosial dapat
diartikan sebagai prasangka (prejudice), yaitu suatu sikap
perasaan orang-orang terhadap golongan tertentu, bisa itu
golongan ras, ataupun kebudayaan yang notabennya berlainan
dengan kelompoknya (Sihabudin & Amiruddin, 2008). Prasangka
sosial menurut Papalia dan Sally, (1985) adalah sikap negatif yang
ditujukan pada orang lain yang berbeda dengan kelompoknya
tanpa adanya alasan yang mendasar pada pribadi orang tersebut.
Allport, (dalam Zanden, 1984) menguraikan bahwa prasangka
social merupakan suatu sikap yang membenci kelompok lain
tanpa adanya alasan yang objektif untuk membenci
kelompok tersebut. Menurut Sears individu yang berprasangka
pada umumnya memiliki sedikit pengalaman pribadi dengan
kelompok yang diprasangkai. Oleh karenanya, prasangka
cenderung tidak didasarkan pada fakta-fakta objektif, tetapi
Nurus Shalihin, Yulia | 41
didasarkan pada fakta-fakta yang minim yang diinterpretasi
secara subjektif.
Ciri-ciri prasangka sosial menurut Brigham (1991) dapat
dilihat dari kecenderungan individu untuk membuat kategori
sosial. Kategori sosial adalah kecenderungan untuk membagii
dunia sosial menjadi dua kelompok, yaitu“kelompok kita” (in
group) dan “kelompok mereka” (out group). In group adalah
kelompok sosial di mana individu merasa dirinya dimiliki atau
memiliki (“kelompok kami”), sedangkan out group adalah grup di
luar grup sendiri (“kelompok mereka”). Timbulnya prasangka
sosial dapat dilihat dari perasaan in group dan out group yang
menguat, dan terjadinya penguatan perasaan in group dan out
group sangat erat kaitannya dengan streotipe, perasaan frustasi,
dan dogmatisme.
Dalam studi ini, ada lima dimensi yang dijadikan sebagai
indikator untuk melihat tingkat prasangka atau berburuk sangka,
yaitu, larangan untuk tidak mempercayai orang atau ajaran yang
diberikan oleh orang lain, larangan untuk tidak bermain dengan
orang yang tidak sekeyakinan atau seagama, larang berteman
dengan orang yang tidak seetnis, doktrin bahwa selain orang islam
adalah orang berdosa, selain Islam/orang kafir adalah musuh.
Sepintas kelima indikator ini tidak ada yang perlu
dipersoalkan karena hal tersebut sudah biasa bahkan menjadi
kelaziman atau keharusan dalam agama. Hanya saja karena kelima
doktrin tersebut dibangun di atas basis kecurigaan, perasaan
negatif dan antipati terhadap orang atau komunitas yang berbeda,
maka ia akan berimplikasi secara sosial. Sebab kelima indikator
masing-masing menggambarkan atau merepresentasikan social
trust, social sacred, sosial enemy, social network, dan kerjasama.
Hal ini tentunya sangat berpotensi membangun sikap
merendahkan, perasaan negatif, serta tindak permusuhan dan
diskriminatif sebagaimana yang dikemukan oleh Browr tentang
dimensi kognitif, dimana prasangka menimbulkan keyakinan
kognitif yang bersifat merendahkan, afektif; pengekpresian
42 | Radikalisasi Anak Usia Dini
perasaan negatif dan konatif; tindakan permusuhan, dan
diskriminatif (Alfandi, 2013).
Tabel 5
Berburuk Sangka/Prasangka
NO INDIKATOR
Nilai
Rerata Persentase Kriteria
1
Larangan untuk tidak mudah percaya pada orang
atau ajaran yang diberikan orang yang tidak dikenal;
3,07 76,75 Tinggi
2 Larangan untuk tidak bermain dengan orang yang tidak sekeyakinan/seagama;
2,09 52,25 Sedang
3 Penanaman nilai bahwa orang yang bukan Islam
adalah orang yang berdosa; 2,05 51,25 Sedang
4 Penanaman nilai bahwa selain Islam atau orang
kafir adalah musuh; 1,56 39 Rendah
5 Larangan untuk tidak berteman dengan orang
yang tidak seetnis. 1,51 37,75 Rendah
Rata-Rata 2,05 51,40 Sedang
Data pada Table 5 mengambarkan pertama, ada tiga
kategori intensitas penanaman nilai dan sikap berburuk sangka,
yaitu tinggi, sedang dan rendah. Penanaman nilai distrust terhadap
ajaran atau orang/komunitas asing atau tidak dikenal masuk pada
kategori intensitas tinggi. Penanaman larangan untuk tidak
berkerjasama dengan orang atau komunitas yang tidak
sekayakinan atau segama dan penanaman doktrin social sacred
terhadap orang atau komunitas di luar dari Islam berada pada
kategori intensitas sedang. Sedangkan penanaman doktrin social
enemy terhadap non muslim dan penanaman larangan untuk tidak
membangun jaringan atau berteman dengan orang di luar
komunitas; suku, kelompok, aliran dan semacamnya tingkat
intensitasnya berada pada level rendah.
Kedua, tingginya intensitas penamaman larangan untuk
tidak mudah percaya pada orang atau ajaran yang diberikan oleh
orang yang tidak dikenal, menyiratkan bahwa seiring dengan
terjadinya proses penguatan sosial trust dalam kelompok inti di
satu sisi, pada kelompok luar justeru terjadi proses pelebaran jarak
sosial. Meski demikian, kondisi sosial tersebut tidak berpotensi
terjadinya benturan sosial, karena ada kecenderungan kelompok
muslim tidak mengganggap kelompok non muslim sebagai
musuh. Hal ini tergambar dari tidak begitu kuatnya intensitas
penanaman doktrin yang menganggap orang di luar Islam sebagai
musuh seperti terlihat pada item 4 Tabel 5.
Nurus Shalihin, Yulia | 43
Ketiga, meski tidak begitu tingginya intensitas proses
doktrinasi terhadap orang di luar Islam yang dianggap berdosa
serta penanaman larangan bermain dengan orang atau komunitas
yang tidak sekeyakinan/segama, namun proses tersebut secara
sublim semakin memperkuat streotipe dan memperlebar jarak
hubungan sosial orang muslim dengan non muslim. Hal ini
diperkuat dengan fakta adanya streotipe terhadap kelompok luar
selain dari non muslim cenderung melemah seperti yang terlihat
pada item 5 Tabel 5.
3.4. Radikalisasi Anak Usia Dini; Tipologi Sekolah Islam
Terpadu
Studi ini juga menemukan ada tiga varian atau tipologi
Sekolah Paud-TK IT, pertama, Paud-TK IT yang bergabung
dalam perkumpulan Jaringan Sekolah Islam Terpadu [JSIT].
Kedua, Paud-TK IT yang bergabung dengan Asosiasi Sekolah
Sunah Indonesia [ASESI], dan ketiga Paud-TK IT yang sama
sekali tidak memiliki afiliasi dengan organsasi apapun.
Paud-TK IT yang tergabung dengan JSIT adalah sekolah-
sekolah yang memiliki irisan dengan Partai Keadilan Sejahtera
[PKS]. Sebagaimana kemunculan sekolah Islam Terpadu digagas
oleh pentolan Partai Keadilan/PKS yang mengambil filosofi
Pendidikan pada Hasan Al Bana, maka kehadiran sekolah ini juga
memiliki kepentingan politis. Oleh karena itu, Paud-TK IT yang
terafiliasi pada JSIT ini, dapat dikatakan sekolah yang beroritasi
pada politik. Dalam catatan Kurniawan, (2016) rata-rata SIT
berada di bawah naungan Jaringan Islam Terpadu (JSIT) yang
berhaluan ke Partai Keadilan Sejahtera PKS. Yusup (2017)
dengan mengutip Noorhaidi Hasan menyebutkan bahwa JSIT
berhaluan ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Melalui JSIT, PKS
tidak hanya memperkenalkan modernisasi manajemen
kelembagaan pendidikan Islam, tetapi juga menanamkan ideologi
Islam ala PKS. Jauh dari itu, JSIT juga memiliki orientasi politik
yang digunakan untuk membangun struktur organisasi untuk
memobilisasi dukungan kepada PKS.
44 | Radikalisasi Anak Usia Dini
Tidak semua Sekolah Islam Terpadu berafiliasi dan
menjadi bagian dari JSIT. Ada Sekolah Islam Terpadu yang
berafiliasi dengan ASESI. Sekolah ini memiliki irisan dengan
gerakan salafi Indonesia. Tidak seperti JSIT yang beririsan dengan
kepentingan politik, maka sekolah yang tergabung dengan ASESI
lebih kental beririsan dengan ideologi salafi. Artinya sekolah ini
memiliki orientasi idelogis ketimbang politis. Selain JSIT dan
ASESI, ada juga Sekolah Islam Terpadu yang justeru tidak
memiliki afiliasi dengan organisasi apapun. Kerena itu, sekolah
ini tidak berafiliasi dan beririsan dengan kepentingan politik dan
ideologi, melainkan lebih berorientasi pada kepentingan
ekonomis-bisnis.
Dari ketiga tipologi sekolah Paud-TK IT tersebut di atas
ditemukan bahwa proses penanaman nilai-nilai radikal masih
dalam ketegori sedang. Paud-TK IT JSIT intensitas penanaman
nilai-nilai radikal berada pada level tertinggi dengan persentase
65.00%, diiringan oleh Paud-TK IT ASESI sebesar 73,05%
persen, dan Paud-TK Non Afiliasi berada pada urutan terendah
sebesar 62,75%.
Tabel 6.
Radikalisasi pada Tiga Tipologi TK/ PAUD
Data-data pada Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa
pertama, sekolah Paud-TK IT yang memiliki afiliasi (ASESI
87,25% & JSIT 80,25%) lebih tinggi tingkat intensitasnya
radikalisasinya di bandingkan dengan Paud-TK IT yang tidak
memiliki afiliasi (73,05%).
Nurus Shalihin, Yulia | 45
Kedua, ada kesamaan pada tipologi sekolah Paud-TK IT
yang memiliki afiliasi pada aspek fanatisme, dimana kedua
tipologi; JSIT dan ASESI intensitas penanaman nilai-nilai
fanatisme berada pada level tinggi, sementara Paud-TK IT Non
Afialiasi intensitasnya berada pada kategori sedang. Hanya saja
sekolah Paud-TK IT ASESI lebih tinggi tingkat intensitas dalam
menanamkan nilai-nilai fanatisme (87,25%) di banding Paud-TK
JSTI (80.25%).
Ketiga, dalam aspek berburuk sangka, SIT tipologi ASESI
dan JSIT berada dalam kategori sedang, sedangkan SIT Non
Afiliasi berada pada level rendah. Artinya PAUD-TK IT ASESI
(67,05%) paling tinggi tingkat intensitas penanaman nilai dan
sikap berburuk sangka SIT, berikutnya PAUD-TK IT JSIT
(54,25%) dan paling rendah tingkat intensitas penanaman nilai
dan sikap berbutuk sangka adalah PAUD-TK IT Non Afialisasi
(48,25%).
Keempat, ketiga tiplogi SIT, baik Paud-TK IT JSIT,
PAUD-TK IT ASESI maupun PAUD-TK IT Non Afiliasi pada
aspek sikap keras, ketiganya masuk pada kategori sedang. SIT
tertinggi dalam aspek penanaman nilai dan sikap keras adalah
PAUD-TK IT ASESI (75%00), berikutnya PAUD-TK IT JSIT
(62,25%), dan yang paling rendah adalah PAUD-TK IT Non
Afialiasi.
Kelima, dalam aspek memaksakan kehendak, ketiga
tipologi SIT sama-sama berada dalam kategori intensitas sendang.
Namun paling tertinggi tingkat intensitas penanaman nilai dan
sikap pemaksaan kehendak adalah PAUD-YK IT Non Afiliasi
(72,75%), setelahnya PAUD-TK IT ASESI (64,05) dan paling
terendah adalah PAUD-TK IT JSIT (63,29%).
3.4.1. Perbandingan Penanaman Nilai dan Sikap Fanatisme
Secara umum studi ini menemukan bahwa dari delapan
aspek yang menjadi indikator fanatisme, maka SIT Paud-TK IT
ASESI paling tinggi tingkat intensitasnya dalam menanamkan
nilai dan sikap fanatisme (87,25%), diikuti oleh SIT Paud JSIT
46 | Radikalisasi Anak Usia Dini
(80,25%). Kedua SIT tersebut berada pada level intensitas tinggi.
Sedangkan SIT Non Afiliasi berada pada posisi terendah di antara
ketiga tipologi, dimana tingkat intensitasnya dalam menanamkan
nilai dan sikap fanatisme berada pada level sedang (73,05%).
Tabel.7
Perbandingan Fanatisme
Data pada Tabel 7 di atas memperlihatkan bahwa, pertama,
ada tiga kategori tingkat intensitas pada aspek penanaman nilai
dan sikap fanatisme, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Lima hal
yang masuk pada kategori tinggi bagi PAUD-TK IT JSIT, yaitu,
pertama, penanaman keyakinan tentang Al Qur’an dan Sunnah
sebagai sumber kebenaran (91,75%), kedua, penanaman larangan
untuk tidak mengikuti selain yang diperintah Al Qur’an dan
Sunnah (86,75%), ketiga, penanaman kepatuhan hanya pada orang
tua dan guru (86,75%), keempat, penanaman nilai-nilai keislaman
(85,00%), dan kelima, penanaman larangan untuk tidak menonton
film yang tidak islami (81,75%). Tiga hal yang masuk pada
kategori sedang, yaitu, pertama, penanaman larangan memakan
produk Barat seperti KFC, CFC masuk pada kategori rendah
(75,00%), kedua, penanaman larangan untuk merayakan hari
ulang tahun (57,75%), dan ketiga, penanaman nilai-nilai Pancasila
(60,00%).
Nurus Shalihin, Yulia | 47
Pada PAUD-TK IT ASESI, enam masuk kategori
intensitas tinggi, yaitu, pertama, penanaman larangan untuk tidak
mengikuti selain yang diperintah Al Qur’an dan Sunnah (97,50%),
kedua, penanaman larangan untuk merayakan hari ulang tahun
(97,50%), ketiga, penanaman keyakinan tentang Al Qur’an dan
Sunnah sebagai sumber kebenaran (97,25%), keempat, penanaman
kepatuhan hanya pada orang tua dan guru (96,75%), kelima,
penanaman larangan untuk tidak menonton film yang tidak islami
(95,00%), dan keenam, penanaman nilai-nilai keislaman (77,50).
Sedangkan, penanaman nilai-nilai Pancasila (75,00%) dan
penanaman larangan memakan produk Barat seperti KFC, CFC
(62,50%), keduanya masuk pada kategori intensitas sedang.
Bagi Paud-TK IT Non Afiliasi, ada lima hal yang masuk
pada ketegori tinggi, yaitu, pertama, penanaman nilai-nilai
keislaman (91,25%), kedua, penanaman keyakinan tentang Al
Qur’an dan Sunnah sebagai sumber kebenaran (88,50%), ketiga,
penanaman larangan untuk tidak mengikuti selain yang diperintah
Al Qur’an dan Sunnah (85,50%), keempat, penanaman kepatuhan
hanya pada orang tua dan guru (82,75%), dan kelima, penanaman
nilai-nilai Pancasila (76,00%). Dua masuk pada kategori sedang,
yaitu penanaman larangan untuk tidak menonton film yang tidak
islami (64,50%), dan penanaman larangan untuk merayakan hari
ulang tahun (57,75%), sedangkan penanaman larangan memakan
produk Barat seperti KFC, CFC masuk pada kategori rendah
(43,25%).
Kedua, ada empat aspek yang sama di antara ketiga
tipologi SIT; PAUD-TK IT JSIT, ASESI dan Non Afiliasi berada
dalam kategori intensitas tinggi. Masing-masing adalah pertama,
penanaman nilai dan sikap hanya Al Qur’an dan Sunnah saja yang
menjadi sumber kebenaran. Dalam konteks ini, PAUD-TK IT
ASESI (97,25%) paling tinggi tingkat intensitasnya, setelahnya
PAUD-TK IT JSIT (91,75%), dan paling rendah adalah PAUD-
TK IT Non Afiliasi (88,50%). Kedua, penanaman nilai dan sikap
untuk tidak mengukuti selain yang diperintahkan Al Qur’an dan
Sunnah. Pada bagian ini PAUD-TK IT ASESI (97,50%) paling
48 | Radikalisasi Anak Usia Dini
tinggi intensitasnya, setelahnya PAUD-TK IT JSIT (86,75%), dan
paling rendah PAUD-TK IT Non Afiliasi (85,50%). Ketiga,
penanaman nilai dan sikap kepatuhan hanya kepada orang tua dan
guru. Dalam hal ini, PAUD-TK IT ASESI (96,75%) juga yang
paling tinggi tingkat instnsitasnya dibandingkan dengan PAUD-
TK IT JSIT (86,75%), sedangkan PAUD-TK IT Non Afiliasi
menempati posisi paling rendah (82,75%). Keempat, penanaman
nilai-nilai keislaman. Pada bagian ini PAUD-TK IT Non Afiliasi
(91,25%) paling tinggi tingkat intensitasnya, diikuti PAUD-TK IT
JSIT (85,00%), sedangkan intensitas paling rendah pada aspek ini
adalah PAUD-TK IT ASESI (77,50%).
Ketiga, ada kesamaan kategori tinggi dan sedang hanya
antara SIT; Paud-TK IT JSTI dan ASESI. Satu aspek, yaitu,
penanaman larangan untuk tidak menonton film yang tidak islami,
antara ASESI dan JSIT sama-sama berada pada kategori intensitas
tinggi. Sedangkan aspek penanaman larangan memakan produk
Barat seperti KFC, CFC, dan penanaman nilai-nilai Pancasila,
keduanya sama-sama berada pada kategori intensitas sedang.
Keempat, kesamaan antara SIT; Paud-TK IT JSIT dan Non
Afiliasi hanya terjadi pada aspek penanaman larangan untuk
merayakan hari ulang tahun yang berada pada kategori intensitas
sedang. Tidak ada kesamaan yang terjadi antara SIT; ASESI
dengan Non Afiliasi.
Kelima, ada dua aspek yang tidak ada kesamaan antara
ketiga tipologi. Ketiga aspek tersebut adalah, penanaman larangan
memakan produk Barat seperti KFC, CFC, dan penanaman
larangan untuk tidak menonton film yang tidak islami. Keduanya
adalah berada pada kategori rendah dan sedang, yang hanya
dimiliki oleh SIT Non Afiliasi.
3.4.2. Perbandingan Penanaman Nilai dan Sikap Berburuk
Sangka
Ada tiga kategori pada aspek penanaman nilai dan sikap
berburuk sangka, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Dari lima aspek
yang menjadi indikator berburuk sangka, maka SIT Paud-TK IT
Nurus Shalihin, Yulia | 49
ASESI paling tinggi tingkat intensitasnya dalam menanamkan
nilai dan sikap berburuk sangka (67,05%), diikuti oleh SIT Paud
JSIT (54,25%). Kedua SIT tersebut berada pada level intensitas
sedang. Sedangkan SIT Non Afiliasi berada pada posisi terendah
di antara ketiga tipologi, dimana tingkat intensitasnya dalam
menanamkan nilai dan sikap berburuk sangka berada pada level
rendah (48,25%).
Tabel 8
Perbandingan Berburuk Sangka
Data pada Tabel 8 di atas menggambarkan bahwa,
pertama, tidak ada satupun aspek penanaman nilai dan sikap
berburuk sangka yang masuk pada kategori tinggi pada SIT Paud-
TK IT JSIT. Empat dari lima aspek masuk kategori intensitas
sedang, dan satu masuk pada kategori rendah pada SIT Paud-TK
IT JSIT. Keempat aspek tersebut adalah, pertama, penanaman
nilai dan sikap larangan untuk tidak mudah mempercayai atau
menerima orang atau ajaran yang diberikan orang yang tidak
dikenal. Kedua, penanaman nilai dan sikap larangan untuk tidak
bermain dengan orang yang tidak sekeyakinan atau seagama.
Ketiga, penanaman doktrin bahwa selain orang Islam adalah
berdosa. Keempat, penanaman doktrin bahwa di luar Islam atau
orang kafir adalah musuh. Sedangkan penanaman nilai dan sikap
larangan berteman dengan orang yang tidak seetinis, sekelompok,
dan sealiran berada pada kategori rendah.
50 | Radikalisasi Anak Usia Dini
Kedua, hanya ada dua kategori; tinggi dan sedang, dan
tidak ada aspek yang masuk kategori rendah pada SIT Paud-TK
IT ASESI. Dua aspek masuk pada kategori intensitas tinggi, dan
tiga aspek masuk pada kategori sedang. Kedua aspek kategori
tinggi tersebut adalah pertama, penanaman doktrin bahwa selain
orang Islam adalah berdosa, dan kedua, penanaman nilai dan sikap
larangan untuk tidak mudah mempercayai atau menerima orang
atau ajaran yang diberikan orang yang tidak dikenal. Tiga aspek
kategori intensitas sedang adalah, pertama, penanaman nilai dan
sikap larangan berteman dengan orang yang tidak seetinis,
sekelompok, dan sealiran berada pada kategori rendah. Kedua,
penanaman nilai dan sikap larangan untuk tidak bermain dengan
orang yang tidak sekeyakinan atau seagama. Ketiga, penanaman
doktrin bahwa di luar Islam atau orang kafir adalah musuh.
Ketiga, pada SIT Paud-TK IT Non Afiliasi dari lima aspek
penanaman nilai dan sikap berburuk sangka, satu masuk kategori
intensitas tinggi, satu intensitas rendah dan tiga intensitas sedang.
Penanaman nilai dan sikap larangan untuk tidak mudah
mempercayai atau menerima orang atau ajaran yang diberikan
orang yang tidak dikenal masuk pada kategori intensitas tinggi.
Penanaman nilai dan sikap larangan untuk tidak bermain dengan
orang yang tidak sekeyakinan atau seagama masuk pada kategori
intensitas sedang. Sedangkan tiga kategori intensitas rendah
adalah, pertama, penanaman doktrin bahwa selain orang Islam
adalah berdosa, kedua, penanaman doktrin bahwa di luar Islam
atau orang kafir adalah musuh, dan ketiga, penanaman nilai dan
sikap larangan untuk tidak bermain dengan orang yang tidak
sekeyakinan atau seagama.
Keempat, ada satu aspek penanaman nilai dan sikap
berburuk sangka yang sama masuk pada ketiga tipologi SIT.
Aspek tersebut adalah penanaman nilai dan sikap larangan untuk
tidak bermain dengan orang yang tidak sekeyakinan atau seagama.
Kelima, pada satu sisi ada kesamaan antara SIT JSIT
dengan SIT ASESI dan SIT JSIT dengan SIT Non Afiliasi, di
pihak lain ada pula kesamaan antara SIT ASESI dengan SIT Non
Nurus Shalihin, Yulia | 51
Afiliasi. Satu kesamaan antara JSIT dengan ASESI ditemukan
dalam menanamkan doktrin bahwa di luar Islam atau orang kafir
adalah musuh berada pada level intensitas sedang. Sedangkan
kesamaan antara JSIT dengan Non Afiliasi pada penanaman nilai
dan sikap larangan berteman dengan orang yang tidak seetinis,
sekelompok, dan sealiran. Kedua-duanya sama-sama berada pada
level intensitas rendah. Satu aspek kesamaan antara SIT ASESI
dengan SIT Non Afiliasi dalam penanaman nilai dan sikap
larangan untuk tidak mudah mempercayai atau menerima orang
atau ajaran yang diberikan orang yang tidak dikenal. Satu aspek
tersebut berada pada level intensitas tinggi.
3.4.3. Perbandingan Penanaman Nilai dan Sikap Keras
Tiga kategori intensitas dalam menanamkan nilai dan
sikap keras pada masing-masing tipologi SIT, yaitu tinggi, sedang
dan rendah. Studi ini menemukan bahwa ketiga tipologi SIT;
JSIT, Asesi dan Non Afiliasi berada pada kategori intensitas
sedang dalam menanamkan nilai dan sikap keras. Ketiga tipologi
SIT tersebut di atas, SIT Asesi (75,00%) berada pada tingkat
intensitas paling tinggi, diikuti oleh SIT JSIT (62,25%), dan SIT
Non Afiliasi (57,25%) berada pada posisi paling rendah.
Tabel 9
Perbandingan Sikap Keras
N
o
Indikator
Sikap
Keras
Kelompok sekolah
JSIT ASESI Non Afiliasi
Rerata % Kategori Rerata % Kategori Rerata % Kategori
1
menyuruh
orang tua
untuk melaksana
kan shalat
3,13 78,25 Tinggi 3,50 87,50 Tinggi 3,15 78,75 Tinggi
2
menyuruh orang tua
untuk
berpuasa
3,00 75,00 Sedang 3,50 87,50 Tinggi 3,04 76,00 Tinggi
3 berjuang membela
agama
2,40 60,00 Sedang 2,50 62,50 Sedang 2,53 63,25 Sedang
52 | Radikalisasi Anak Usia Dini
4
menjahui
orang
yang tidak setatacara
dalam
beribadah
2,00 50,00 Sedang 2,50 62,50 Sedang 1,61 40,25 Rendah
5
melawan orang
yang tidak
menjalankan agama
Islam
1,66 41,50 Rendah 2,00 50,00 Sedang 1,31 32,75 Rendah
6
membaca komik-
komik
yang tidak Islami
2,80 70,00 Sedang 4,00 10,00 Tinggi 2,11 52,75 Sedang
Rata-rata 2,49 62,25 Sedang 3 75,00 Sedang 2,29 57,25 Sedang
Data pada Tabel 9 di atas, memberi informasi bahwa
pertama, SIT JSIT memiliki ketiga kategori intensitas; tinggi,
sedang dan rendah. Satu aspek masuk pada kategori intensitas
tinggi, yaitu penanaman nilai dan sikap agar anak menyuruh orang
tua mereka melaksanakan shalat. Penanaman doktrin keharusan
melawan orang yang tidak menjalankan agama Islam berada pada
kategori intensitas rendah. Empat aspek masuk pada ketegori
sedang, yaitu, pertama, penanaman nilai dan sikap untuk
menyuruh orang tua melaksanakan puasa, kedua, penanaman
doktrin untuk tidak membaca komik yang tidak islami, ketiga,
doktrin keharusan berjuang membela agama, dan keempat,
penanaman doktrin keharusan menjauhi orang yang tidak
setatacara dalam menjalankan ibadah.
Kedua, hanya ada dua kategori; tinggi dan sedang pada
SIT Asesi dalam menanamkan nilai dan sikap berburuk sangka.
Tiga aspek pada ketegori intesitas tinggi, dan tiga aspek pula
kategori intensitas sedang. Ketiga aspek yang berada pada level
intensitas tinggi adalah, pertama, penanaman nilai dan sikap agar
anak menyuruh orang tua mereka melaksanakan shalat. Kedua,
penanaman nilai dan sikap untuk menyuruh orang tua
melaksanakan puasa, dan ketiga, penanaman doktrin untuk tidak
membaca komik yang tidak islami. Aspek pertama dalam kategori
Nurus Shalihin, Yulia | 53
intensitas sedang adalah penanaman doktrin keharusan berjuang
membela agama. Aspek kedua, penanaman doktrin keharusan
menjauhi orang yang tidak setatacara dalam menjalankan ibadah,
dan aspek ketiga penanaman doktrin keharusan melawan orang
yang tidak menjalankan agama Islam.
Ketiga, dua aspek berintensitas tinggi, dua aspek
berintensitas sedang, dan aspek berinstnsitas rendah dalam
menanamkan nilai dan sikap keras ditemukan pada tipologi SIT
Non Afiliasi. Aspek yang termasuk pada kategori intensitas tinggi
adalah, pertama, penanaman nilai dan sikap agar anak menyuruh
orang tua mereka melaksanakan shalat, dan kedua, penanaman
nilai dan sikap untuk menyuruh orang tua melaksanakan puasa.
Aspek pertama berintensitas sedang adalah penanaman doktrin
keharusan berjuang membela agama, sedangkan aspek kedua
adalah penanaman doktrin untuk tidak membaca komik yang tidak
islami. Penanaman doktrin keharusan menjauhi orang yang tidak
setatacara dalam menjalankan ibadah, serta penanaman doktrin
keharusan melawan orang yang tidak menjalankan agama Islam
merupakan dua aspek termasuk kategori intensitas rendah.
3.4.4. Perbandingan Penanaman Nilai dan Sikap Pemaksaan
Kehendak
Ada tiga kategori tingkat intensitas penanaman nilai dan
sikap pemaksaan kehendak; tinggi, sedang dan rendah. Ketiga
tipologi SIT berada dalam kategori intensitas sedang, dan Paud-
TK IT Non Afiliasi (72,75%) berada pada posisi paling tertinggi,
diikuti Paud-TK IT Asesi (64,05%), sedangkan Paud-TK JSIT
(63,29%) berada pada posisi paling rendah.
54 | Radikalisasi Anak Usia Dini
Tabel 10.
Perbandingan Pemaksaan Kehendak
Data pada Tabel 10 di atas memperlihatkan, pertama,
Paud-TK IT JSIT memiliki ketiga kategori tingkat intensitas;
tinggi, sedang dan rendah. Dua aspek berada pada level intensitas
tinggi, tiga aspek berada pada level intensitas sedang, serta satu
aspek berada pada level intensitas rendah. Kedua aspek
penanaman nilai dan sikap pemaksaan kehendak kategori
intensitas tinggi adalah pertama, penanaman doktrin ada balasan
pahala dan surga untuk setiap orang yang membela agama Islam,
dan kedua, penanaman doktrin keharusan mengikuti setiap
nasehat guru. Ketiga aspek penanaman nilai dan sikap pemaksaan
kehendak level intensitas sedang adalah, pertama, penanaman
doktrin larangan menyanyikan lagu selain lagu-lagu islami.
Kedua, penanaman doktrin agar melanjutkan ke sekolah agama
setelah taman kanak-kanak. Ketiga, penanaman doktrin agar anak-
anak mengaharuskan orang tua mereka memakai pakaian seperti
yang dipakai guru di sekolah. Sedangkan aspek penanaman
doktrin keharusan berperang dengan cara bermain peran, berada
pada level intensitas rendah.
Kedua, dua aspek penanaman nilai dan sikap pemaksaan
kehendak berintensitas tinggi, tiga berintensitas sedang, serta satu
Nurus Shalihin, Yulia | 55
berintensitas rendah pada SIT tipologi Asesi. Dua aspek
berintensitas tinggi adalah, pertama, penanaman doktrin ada
balasan pahala dan surga untuk setiap orang yang membela agama
Islam, dan kedua, penanaman doktrin keharusan mengikuti setiap
nasehat guru. Tiga aspek berintensitas sedang adalah pertama,
penanaman doktrin larangan menyanyikan lagu selain lagu-lagu
islami. Kedua, penanaman doktrin agar melanjutkan ke sekolah
agama setelah taman kanak-kanak. Ketiga, penanaman doktrin
agar anak-anak mengaharuskan orang tua mereka memakai
pakaian seperti yang dipakai guru di sekolah. Sedangkan aspek
berinsitas rendah adalag penanaman doktrin keharusan berperang
dengan cara bermain peran.
Ketiga, hanya ada dua level intensitas; tinggi dan sedang
pada SIT Non Afiliasi dalam menanamkan nilai dan sikap
pemaksaan kehendak. Dua aspek berintensitas tinggi dan empat
berintensitas sedang. Dua aspek berintensitas tinggi adalah
pertama, pertama, penanaman doktrin keharusan mengikuti setiap
nasehat guru, dan kedua, penanaman doktrin ada balasan pahala
dan surga untuk setiap orang yang membela agama Islam.
Keempat aspek berintensitas sedang adalah pertama, penanaman
doktrin agar melanjutkan ke sekolah agama setelah taman kanak-
kanak. Kedua, penanaman doktrin agar anak-anak mengaharuskan
orang tua mereka memakai pakaian seperti yang dipakai guru di
sekolah. Ketiga, penanaman doktrin larangan menyanyikan lagu
selain lagu-lagu islami, dan keempat penanaman doktrin
keharusan berperang dengan cara bermain peran.
Apa yang dapat dipahami dari data di atas adalah afiliasi
sekolah berhungan dengan irisan, orientasi dan kepentingan.
Pertama, fanatisme menjadi varaian paling dominan dan sangat
berkontribusi besar dalam membentuk sikap radikal anak usia dini
pada ketiga tipologi Paud-TK IT. Salah satu argumen yang dapat
diajukan adalah ada kekuatan antusias dan kesetiaan yang
melibatkan emosi, kedekatan, keterlibatan, kepedulian dan
kecintaan terhadap objek fanatik. Dalam konteks ini obyek fanatik
tersebut adalah Al Qur’an dan Sunnah, guru dan orang tua, Islam,
56 | Radikalisasi Anak Usia Dini
Pacasila, makanan, dan parayaan ulang tahun. Obyek fanatik
tersebut di atas menjadi magnet menarik antusias dan kesetiaan
orang karena hal tersebut sesuatu yang dekat dan intim dengan
kehidupan sehari-hari. Penanaman sikap fanatik pada gilirannya
melahir fanatisme; sebuah faham atau keyakinan yang ekstrim
terhadap sesuatu; nilai, ide dan lain sebagainya yang
kebenarannya hanya ada pada diri atau kelompok tertentu dan
mengabaikan kebenaran dari orang atau kelompok lain. Menurut
Chung, Baverland dan Farelly dalam Exploring Consumer
Fanaticism; Extraordinary Devotion in The Cunsumption Context
(2008) fanatik memiliki kecenderungan untuk bersikers terhadap
subuah gagasan yang menganggap diri sendiri atau kelompok
tertentu, dan mengabaikan fakta yang mungkin bertentangan
dengan pikiran atau keyakinan. Pengikut faham ini akan loyal dan
totalitas memperjuangkan dan mengabdikan diri pada obyek
fanatik.
Kedua, pada aspek berburuk sangka, Paud-TK IT ASESI
dan JSIT termasuk pada kategori intensitas sedang, sementara
Paud-TK Non Afiliasi berada masuk kategori intensitas rendah.
Salah satu penyabab adalah adanya pengaruh dari irisan dan
kepentingan dari masing-masing SIT. Rendahnya intensitas
penanaman sikap berburuk sangka pada Paud-TK IT Non Afiliasi
lantaran sekolah ini nyaris tidak memiliki irisan dengan politik
dan juga tidak berpentingan terhadap ideologi tertentu. Orientasi
sekolah ini jelas untuk bisnis dan sangat berkepentingan secara
ekonomis. Berbeda dengan Paud-TK IT ASESI yang berisan
dengan gerakan salafi dan memiliki kepentingan secara ideologis.
Hal yang sama juga pada Paud-TK IT JSIT yang beririsan dengan
PKS dan memiliki kepentingan secara politis.
Tema ideologi dan politik sangat akrab dengan berburuk
sangka atau dalam istilah psikologi sosial disebut dengan
prasangka. Menurut Gordon Allport prasangka adalah sikap
antipati yang berdasarkan generalisasi yang salah atau generalisasi
yang tidak luwes. Jones mengatakan bahwa prasangka adalah
sikap antipati yang berlandaskan pada cara menggneralisasi yang
Nurus Shalihin, Yulia | 57
salah dan tidak fleksibel (Alfandi, 2013). Antipati dapat dirasakan
dan dinyatakan, dan dapat langsung diarahkan oleh kelompok atau
individu kepada kelompok tertentu. Di dalam prasangka, kata
“antipati” merupakan kata kunci, yang oleh Websters Dictionary
disebut sebagai “perasaan negatif” (Alfandi, 2013). Kepemilikan
sifat attitude-attitude positif dan negatif di dalam prasangka,
menjadi stimulus yang dapat memberikan pengaruh terhadap
tingkah laku sesorang terhadap kelompok lain. Prasangka akan
muncul dalam bentuk perbuatan, yang kerap kali muncul adalah
sikap yang mengandung nilai-nilai diskriminatif tanpa alasan-
alasan yang objektif (Gerungan, 1996 dalam Sihabudin &
Amiruddin, 2008). Dengan begitu, adanya sikap prasangka
menjadi sikap yang sangat berpotensial untuk terciptanya
kekonflikan di dalam berkomunikasi antar umat beragama. Alo
Liliweri dalam (Alfandi, 2013) menyatakan bahwa salah satu
pemicu terjadinya konflik antar dan intern umat beragama adalah
karena adanya ketidaksepahaman yang dibangun oleh masing-
masing pemeluk agama.
Ketiga, paling tingginya posisi SIT Paud-TK Asesi, diikuti
SIT Paud JSIT dan paling rendahnya posisi SIT Paud-TK Non
Afiliasi sangat berhubungan dengan kekuatan dan kepentingan
ideologi. Ideologi memerlukan sikap keras, karena ia berhubungan
dengan way of life yang menjadi tuntunan hidup. Sikap keras
berhubungan dengan self interest, yaitu kekukuhan dalam
memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok. Self interest ini
merupakan tindakan isolitif, sebuah tindakan yang berupaya
memenuhui kebutuhan privat dan mengabaikan kepentingan
publik. Self interest oleh Plato diposisikan sebagai sesuatu yang
negatif dan merupakan biang kejahatan dan dosa. Bagi Plato self-
interest hanya akan mendorong individu berlaku tidak adil
terhadap orang lain (Pramudya, 2010). Selain self interest, sikap
keras juga berhubungan dengan closed self persepective, yaitu
kekukuhan pada perspektif sendiri dan menutup diri dari
perspektif orang lain. Hal ini berawal dari adanya pertama, klaim
kebenaran, dimana hanya diri atau kelompok merekalah yang
58 | Radikalisasi Anak Usia Dini
benar sehingga tidak memerlupkan persepketif lain. Kedua,
adanya pandangan negarif atau asumsi negatif terhadap orang atau
kelompok lain.
Keempat, tingginya posisi SIT Paud-TK Non Afiliasi,
Paud-TK Asesi posisi kedua, dan Paud-TK JSIT pada posisi
terendah mengandaikan bahwa orientasi bisnis dan ideologi
memiliki kepentingan yang besar terhadap kekuasaan, dimana
pemaksaan kehendak menjadi bagian inheren dari kekuasaan.
Pemaksaaan kehendak mengandaikan kekuasaan, dimana will to
power menjadi dasar dan pusat pergerakan ekonomi, ideologi dan
politik. Kerena ekonomi, ideologi dan politik berhubungan dengan
will to power, maka pemaksaan kehendak menjadi salah satu
instrumen untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi, ideologi dan
politik.
Nurus Shalihin, Yulia | 59
BAB IV
PENUTUP
Bagian ini merupakan akhir dari diskusi tentang proses
radikalisasi anak usia dini pada lembaga pendidikan Pendidikan
Islam. Ada dua hal yang menjadi perhatian dalam menutup
pembahasan ini, yaitu simpulan dari temuan penelitian
sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian ketiga, dan
keempat. Kedua, apa yang bisa digunakan dari hasil studi ini
untuk memformulasikan gagasan atau sebuah model yang bisa
dikembangkan dalam kehidupan masyarakat.
4.1. Kesimpulan
Merujuk rumusan masalah penelitian ini yaitu, bagaimana
proses radikalisasi anak usia dini terjadi pada institusi pendidikan
Islam di Sumatera Barat yang telah dirumuskan pada latar
belakang, maka studi ini menemukan; pertama, secara umum
bahwa telah dan sedang berlangsung penanaman nilai dan sikap
radikal terhadap anak usia dini pada SIT Paud-TK.
Kedua, radikalisasi anak usia dini yang terjadi pada
lembaga pendidikan Islam terpadu masih dalam kategori sedang.
Artinya penanaman nilai dan sikap radikal berada pada level
intensitas sedang. Ketiga, empat varian radikalisasi; fanatisme,
berburuk sangka, sikap keras dan pemaksaan kehendak, maka
fanatisme adalah varian yang berkontribusi besar dalam
penanaman nilai dan sikap radikal, diikuti varian memaksakan
kehendak, dan sikap keras, sedangkan varian berburuk sangka
berada pada posisi terendah.Keempat, dari tiga tipologi SIT; JSIT,
Asesi dan Non Afiliasi, maka SIT; Paud-TK Asesi berada pada
posisi tertinggi dalam menanamkan nilai dan sikap radikal, dan
diikuti Paud-TK JSIT, sedangkan SIT Paud-TK Non Afiliasi
berada pada posisi terendah.
Ketiga, di tengah keragaman gerakan keagamaan,
pendidikan Islam bukanlah realitas yang tunggal. Keragaman dan
dinamikanya ditentukan oleh berbagai realitas yang dihadapi.
60 | Radikalisasi Anak Usia Dini
Kehadiran SIT tidak semata-mata dipengaruhi oleh perbedaan
paham keagamaan, melainkan juga pemahaman ideologis
terhadap paham keagamaan. Dalam perjalanannya institusi
pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ideologi,
politik, dan ekonomi yang mengitari kehidupan masyarakat
sehari-hari.
Cacatan penting dari studi ini ialah pertama, sekolah Paud-
TK IT sebagai salah satu instrumen pembentuk karakter memiliki
potensi besar dalam menanamkan nilai, sikap dan membentuk
karakter radikal pada anak usia dini. Hal ini dimungkinkan karena
ada otoritas penuh bagi sekolah tersebut menentukan corak,
orientasi, muatan dan kurikulum dalam pendidikan keagamaan.
Kedua, terjadinya radikalisasi dalam arti penanaman nilai yang
mengarah pada pembentukan sikap radikal pada anak usia dini di
Paud-TK IT, menunjukkan bahwa institusi pendidikan (Paud-TK
IT) dan anak usia dini sangat rentan menjadi obyek eksploitasi
untuk berbagai motif dan kepentingan, baik ideologis, politis
maupun ekonomis.
4.2. Saran
Berangkat dari temuan studi ini, dimana telah dan sedang
terjadi penanaman nilai dan sikap radikal terhadap anak usia dini
pada lembaga pendidikan Islam Terpadu, maka diperlukan model
pembelajaran atau strategi membangun pendidikan anak usia dini
yang menekankan pendekatan moderasi.
Nurus Shalihin, Yulia | 61
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, A. (2016). Gerakan Radikalisme Dalam Islam:
Perspektif Historis. Addin, 10(1), 1.
https://doi.org/10.21043/addin.v10i1.1127
Akbar, W. (2018). BIN Ungkap 39 Persen Mahasiswa Terpapar
Radikalisme. Retrieved from
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180429023027-
20-294442/bin-ungkap-39-persen-mahasiswa-terpapar-
radikalisme
Alim, N., Pairin, Ikhsan, M., Samrin, & Syamsuddin. (2018).
Singularitas Agama: Identifikasi Aliran dan Paham Radikal
di Kendari. Al-Ulum, 18(2), 271–300.
https://doi.org/10.30603/au.v18i2.487
Abbas, T. (2007). Islamic Political Radicalism: A European
Perspective. Manchester: Edinburgh University Press.
Ahmad, A., Aydin, H., & Barou, J. (2009). Studies into Violent
Radicalisation: The Beliefs Ideologies and Narratives.
London: The Change Institute.
Alao, A. (2013). Islamic radicalisation and violent extremism in
Nigeria. Conflict, Security & Development, 13(2), 127–147.
http://doi.org/10.1080/14678802.2013.796205
Arendt, H. (1970). On Violence. New York: A Harvest/HBJ Book.
Azra, A. (2011). Akar Radikalisme Keagamaan: Peran Aparat
Negara, Pemimpin Agama dan Guru untuk Kerukunan Umat
Beragama. In Workshop Memperkuat Toleransi melalui
Institusi Sekolah (pp. 14–15). Bogor: The Habibie Center.
Bagir, H. (2017). Islam Tuhan Islam Manusia Agama dan
Spiritual di Zaman Kacau (I; A. B. dan Ahmad Baiquni, ed.).
Bandung: PT Mizan Pustaka.
Baidhowi. (2017). Islam Tidak Radikalisme dan Terorisme.
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang,
3(1), 197–218.
Babbie, E. (2009). The Basic of Social Research. California:
Wadsworth.
62 | Radikalisasi Anak Usia Dini
Berg, B. L. (2001). Qualitative Research Methods for The Social
Sciences. London: Allyn and Bacon.
Bott, C., Castan, W. J., Dickens, R., Rowley, T., Smith, E., Lark,
R., & Thompson, G. (2009). Recruitment And Radicalization
Of School-Aged Youth By International Terrorist Groups.
Arlington.
Crossett, C., & Spitaletta, J. A. (2010). Radicalization: Relevant
Pyschological and Sociologial Concepts. USA: U.S. Army
Asymmetric Warfare Group: The John Hopkins University.
Fanani, A. F. (2013). Fenomena Radikalisme di Kalangan Kaum
Muda. Ma’arif, 8(1), 4–13.
Gaus-AF, A. (2013). Pemetaan Problem Radikalisme di SMU
Negeri di 4 Daerah. Ma’arif, 8(174–191).
Hadler, J. (2008). A Historiography of Violence and the Secular
State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of
History. The Journal of Asian Studies, 67(3), 971–1010.
http://doi.org/10.1017/S0021911808001228
Haluan. (2018). Analisis pengamat Terorisme; Ribuan Teroris
‘Lahir’ di Sumbar. Retrieved September 10, 2018, from
https://www.harianhaluan.com/news/detail/70939/ribuan-
teroris-‘lahir’-di-sumbar
Hadisi, L. (2016). Efektifitas Pendidikan Karakter Pada Sekolah
Anak Usia Dini. AL-Izzah, 11(1979–9726), 1–17.
Hanafi, R. (2018). Cegah Radikalisme Sejak Usia Dini, BNPT
Sasar PAUD dan TK. Retrieved from
https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4228266/cegah-
radikalisme-sejak-usia-dini-bnpt-sasar-Paud-dan-tk
Juergensmayer, M. (2000). The Global Rise of Religious Violence.
London: University of California Press.
Khoirunnisaa’. (2014). KUALITAS LAYANAN TERPADU (
TOTAL QUALITY SERVICE ) PADA PERGURUAN. An-
Nuha, 1 No 1, 2–16.
Kurnaengsih. (2015). Konsep sekolah islam terpadu. Risalah
Pendidikan Dan Studi Islam, 1(1), 78–84.
Kurnaengsih. (2015). Konsep sekolah islam terpadu. Risalah
Nurus Shalihin, Yulia | 63
Pendidikan Dan Studi Islam, 1(1), 78–84.
Miftahuddin. (2008). Pengaruh Ideologi Ikhwanul Muslimin
Terhadap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidaytullah.
Munip, A. (2012). Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah.
Jurnal Pendidikan Islam, 1(2), 159–181.
Muqoyyidin, A. W. (2013). Membangun Kesadaran Inklusif-
Multikultural untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam. Jurnal
Pendidikan Islam, 2(1), 131–151.
https://doi.org/10.14421/jpi.2013.21.131-151
Muqoyyidin, A. W. (2013). Membangun Kesadaran Inklusif-
Multikultural untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam. Jurnal
Pendidikan Islam, 2(1), 131–151.
https://doi.org/10.14421/jpi.2013.21.131-151
Marvasti, A. B. (2004). Qualitative Research in Sociology.
London: Sage Publications.
Munip, A. (2012). Menangkal Radikalisme Agama di
Sekolah. Jurnal Pendidikan Islam, 1(2), 159–181.
Muqoyyidin, A. W. (2013). Membangun Kesadaran Inklusif-
Multikultural untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam. Jurnal
Pendidikan Islam, 2(1), 131–151.
http://doi.org/10.14421/jpi.2013.21.131-151
Nassar, J. R. (2010). Globalization and Terrorism: The Migration
of Dreams and Nightmares. Manoa: The University of
Hawai.
Nasuhi, H., Makruf, J., Umam, S., & Darmadi, D. (Eds.). (2018).
Intolerasni Dalam Buku Pendidikan Islam? Telaah Atas Isi
dan Kebijakan Produksi. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah.
Neuman, W. L. (2007). Basic of Social Research; Qualitatif and
Quantitatif Approach. Boston: Pearson Education, Inc.
Patel, F. (2011). Rethinking Radicalization. New York.
Pratt, D. (2006). Terrorism and Religious Fundamentalism:
Prospects for a Predictive Paradigm. Marburg Journal of
Religion, 11(1), 1–15.
64 | Radikalisasi Anak Usia Dini
Qodir, Z. (2011). Sosiologi Agam (Pertama). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rodin, D. (2016). ISLAM DAN RADIKALISME: Telaah atas
Ayat-ayat “Kekerasan” dalam al-Qur’an. Addin, 10(1), 29.
https://doi.org/10.21043/addin.v10i1.1128
Rodin, D. (2016). ISLAM DAN RADIKALISME: Telaah atas
Ayat-ayat “Kekerasan” dalam al-Qur’an. Addin, 10(1), 29.
https://doi.org/10.21043/addin.v10i1.1128
Rochmi, M. N. (2016). Ajaran radikalisme ditemukan dalam buku
TK. Retrieved September 10, 2018, from
https://beritagar.id/artikel/berita/ajaran-radikalisme-
ditemukan-dalam-buku-tk
Rokhmad, A. (2012). Radikalisme Islam Dan Upaya
Deradikalisasi Paham Radikal. Walisongo: Jurnal Penelitian
Sosial Keagamaan, 20(1), 79–114.
Silber, M. D., & Bhatt, A. (2007). Radicalization in The West:
The Homegrown Threat. New York: NYPD Intelegence
Division.
Singh, B. (2007). Talibanization of Southeast Asia: Losing the
War on Terror to Islamist Extremist. London: Praeger
Security International.
Springer, D. R., Regens, J. L., & Edger, D. N. (2008). Islamic
Radicalism and Global Jihad. Washington DC: Georgetown
University Press.
Suyatno, S. (2014). Sekolah Islam terpadu; Filsafat, ideologi, dan
tren baru pendidikan Islam di Indonesia. Jurnal Pendidikan
Islam, 2(2), 355–377.
http://doi.org/10.14421/jpi.2013.22.355-377
Sarman, M. (2018). Meretas Radikalisme Menuju Masyarakat
Inklusif. In LKiS (I).
https://doi.org/10.1192/bjp.111.479.1009-a
Sasongko, J. P. (2017). ISIS dan Fenomena Radikalisme
Keagamaan Kelas Menengah. Retrieved from
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170201135943-
20-190578/isis-dan-fenomena-radikalisme-keagamaan-kelas-
Nurus Shalihin, Yulia | 65
menengah
Susetyo, H. (2018). Sudah Tepatkah Kita Menggunakan Istilah
Radikalisme? Baca selengkapnya di artikel “Sudah Tepatkah
Kita Menggunakan Istilah Radikalisme?”,
https://tirto.id/cPHG. Retrieved from https://tirto.id website:
https://tirto.id/sudah-tepatkah-kita-menggunakan-istilah-
radikalisme-cPHG
Thoyyib, M. (2018). Radikalisme Islam Indonesia. TA’LIM :
Jurnal Studi Pendidikan Islam, 1(1), 90–105. Retrieved from
http://e-
jurnal.unisda.ac.id/index.php/talim/article/view/636%0Ahttp:
//moraref.kemenag.go.id/documents/article/97874782241954
595
Ulya, I. (2016). RADIKALISME ATAS NAMA AGAMA: Tafsir
Historis Kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah.
Addin, 10(1), 113. https://doi.org/10.21043/addin.v10i1.1131
Umar, A. R. M. (2010). Melacak Akar Radikalisme Islam di
Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 14(2), 169–
186. https://doi.org/10.1158/1541-7786.MCR-07-0324
Veldhuis, T., & Staun, J. (2009). Islamist Radicalisation: A Root
Cause Model. Den Haag: Nedherlands Institute of
Internationa Relations Clingendael.
Amini, M. (2014). Hakikat Anak Usia Dini. Perkembangan Dan
Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini, 65. Retrieved
from repository.ut.ac.id/4697/1/PAUD4107-M1.pdf
Andante. (2018). Peran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Dalam Mengembangkan Potensi dan Pembentukan Karakter
Anak. Retrieved from
http://anggunpaud.kemdikbud.go.id/index.php/berita/index/2
0181121140117/Peran-Pendidikan-Anak-Usia-Dini-PAUD-
Dalam-Mengembangkan-Potensi-dan-Pembentukan-
Karakter-Anak
Fatimah Ibda. (2015). Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget.
Jurnal Intelektualita, 3(1), 27–38.
Prasanti, D., & Fitriani, D. R. (2018). Pembentukan Karakter
66 | Radikalisasi Anak Usia Dini
Anak Usia Dini: Keluarga, Sekolah, Dan Komunitas. Jurnal
Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 2(1), 13–19.
https://doi.org/10.31004/obsesi.v2i1.2
Redaksi. (2018). No Title. Retrieved from
https://kumparan.com/@kumparanmom/tahapan-
perkembangan-anak-yang-perlu-anda-tahu
Saputra, I. A. (2019). Syarat yang Harus Dipenuhi Anak untuk
Masuk SD Negeri. Retrieved from
https://kumparan.com/@kumparanmom/syarat-yang-harus-
dipenuhi-anak-untuk-masuk-sd-negeri-
1551076774350842203
Supriyono. (2012). Jenis-Jenis Pendididikan Anak Usia Dini (
PAUD ). 1–8.
Nurus Shalihin, Yulia | 67