-
48
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Hari Kiamat
Ada banyak variasi dari nama hari kiamat itu sendiri yang disebutkan
dalam Alquran, seperti Yaumu al-Qiyâmah152
, Yaumu al-Akhîr153
, Yaumu al-
Dîn154
, Yaumu al-Fashl155
, Yaumu al-Fat-hi156
, Al-Wâqi`ah157
, Al-Qâri`ah158
,
dan banyak yang lainnya.
Ada banyak ulama‟ yang mendefinisikan hari kiamat, ada yang sama
dan ada juga yang berbeda. Dan salah satu definisinya terinspirasi dari surat
Hȗd ayat 103 sebagai berikut:
159ََمُْموٌع َلُو النَّاُس َوَذِلَك يَ ْوٌم َمْشُهودٌ ِإنَّ ِف َذِلَك ََليًَة ِلَمْن َخاَف َعَذاَب اَْلِخرَِة َذِلَك يَ ْوٌم Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. Hari kiamat itu adalah suatu
hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi) nya, dan hari itu
adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk).
152 Seperti ََِل أُْقِسُم بِيَ ْوِم اْلِقَياَمة dalam Alquran 75:01 153
Seperti َلََقْد َكاَن َلُكْم ِفيِهْم أُْسَوٌة َحَسَنٌة ِلَمْن َكاَن يَ ْرُجو اَّللََّ َواْليَ ْوَم اَْلِخر Ibid., 60:06 154 Seperti ينِ َيْسأَلُوَن َن يَ ْوُم الدِّ َأَّيَّ dalam Ibid., 51:12. 155 Seperti َِوَما أَْدرَاَك َما يَ ْوُم اْلَفْصل dalam Ibid., 77:14. 156 Seperti ََفُع الَِّذيَن َكَفُروا ِإميَانُ ُهْم َوََل ُىْم ي ُْنظَُرون .dalam Ibid., 32:29 ُقْل يَ ْوَم اْلَفْتِح ََل يَ ن ْ157 Seperti ِةُ ِإَذا َوقَ َعت اْلَواِقَع dalam Ibid., 56:01. 158 Seperti َُوَما أَْدرَاَك َما اْلَقارَِعة dalam Ibid., 101:03. 159 Ibid., 11:103.
-
49
Al-Țabarî menafsirkan potongan ayat tersebut bahwa Allah
membangkitkan manusia dari kuburnya dan mengumpulkannya guna dibalas,
diganjar dan disiksa160
. Sedangkan potongan ayat ٌْم َمْشُهودٌ َوَذِلَك يَ و ada banyak
penafsiran terhadap potongan ayat tersebut, menurut Ibnu Abbas seperti dikutip
al-Țabarî bahwa yang menyaksikan (الشاىد) adalah Muhammad SAW, dan yang
disaksikan (املشهود) adalah hari kiamat, ia mengatakan:
دمحم, وَ دُ اىِ عن ابن عباس, قال:الشَ َ
ِلَك يَ ْوٌم : )ذَ ةِ يَ اَلَ هِ ىذِ َل ََ . ثُ ةِ امَ يَ القِ ومُ يَ ودُ شهُ امل161ََمُْموٌع َلُو النَّاُس َوَذِلَك يَ ْوٌم َمْشُهوٌد(
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “orang yang menyaksikan adalah Nabi
Muhammad, dan yang disaksikan adalah hari kiamat”. Kemudian, ia membaca
ayat (dzâlika yaumun majmû`un lahû al-nâsu wa dzâlika yaumun masyhûd)162
.
Sedang al-Râzî dalam kitab tafsirnya menyebutkan bahwa ada dua
penafsiran terhadap potongan ayat tersebut, pertama yang menyaksikan adalah
makhluk yang baik dan yang durhaka, dan kedua yang menyaksikan adalah
penghuni dunia dan penghuni langit, ia mengatakan:
ُهَما َيْشَهُدُه اْلبَ رُّ َواْلَفاِجُر. َوقَاَل َوالثَّاِن: أَنَُّو يَ ْوٌم َمْشُهوٌد َقاَل اْبُن َعبَّاٍس َرِضَي اَّللَّ َعن َْماِء 163َوأَْىُل اْْلَْرضِ آَخُروَن َيْشَهُدُه أَْىُل السَّ
Dan yang kedua: sesungguhnya hari kiamat itu adalah hari yang
disaksikan. Ibnu Abbas ra berkata, “Yang menyaksikan hari kiamat adalah
160 Al-Țabarî, Tafsîru al-Țabarî, Vol. 12, 573. 161
Ibid., 574. 162 Terjemah versi peneliti. 163
Fahru al-Dîn Al-Râzî, Tafsîru al-Fahri al-Râzî al-Musytahir bi al-Tafsîri al-Kabîri wa Mafâtîhi al-Ghaib Vol. 18 (Libanon: Dâr al-Fikr, 1981), 60.
-
50
orang yang baik dan yang durhaka”, ada juga yang mengatakan, “Yang
menyaksikan adalah ahli langit dan ahli bumi164
.
Menurut ibnu Katsîr maksud dari potongan ayat tersebut adalah hari
yang agung yang dihadiri oleh semua Malaikat, semua utusan Allah berkumpul
pada hari tersebut, dan dikumpulkan semua jenis makhluk mulai dari bangsa
jin, manusia, burung, binatang liar dan hewan melata. dan mereka dihakimi
oleh hakim yang maha Adil yang tidak pernah dlalim sedikitpun meski sebesar
biji Dzarrah, ia mengatakan:
يُعُهْم، َوَُتَْشُر ِفيِو اْلََْل ِئُق َأْي: يَ ْوٌم َعِظيٌم ََتُْضرُُه اْلَمَلِئَكُة ُكلُُّهْم، َوََيَْتِمُع ِفيِو الرُُّسُل َجَِ، َويَْ َوابِّ ْنِس َواْلِْنِّ َوالطَّْْيِ َواْلُوُحوِش َوالدَّ اْلَعاِدُل الَِّذي ََل َيْظِلُم ُكُم ِفيِهمُ ِبَِْسرِِىْم، ِمَن اْْلِ
165ِمثْ َقاَل َذرَّةٍ hari yang agung yang dihadiri oleh semua Malaikat, semua utusan Allah
berkumpul pada hari tersebut, dan dikumpulkan semua jenis makhluk mulai
dari bangsa jin, manusia, burung, binatang liar dan hewan melata. dan
mereka dihakimi oleh hakim yang maha Adil yang tidak pernah dlalim
sedikitpun meski sebesar biji Dzarrah166
.
Lalu bagaimana dengan penafsiran ayat tersebut dalam tafsir Al-
Manâr? Penulis tafsir tersebut mengatakan tentang maksud potongan ayat
tersebut sebagai berikut:
َلُو النَّاُس ُكلُُّهْم، َأْي ِْلَْجِل َما يَ َقُع ِفيِو ِمَن اْلَِْساِب الَِّذي يَ تَ َرَُّب َعَلْيِو اْْلَزَاُء. َوِف يَ ْوٌم َُيَْمُع ِِبَا اْْلُْمَلُة ُىَنا َجْعِل ََجِْع النَّاِس َلُو )ِبِصيَغِة اْسِم اْلَمْفُعوِل( ِصَفٌة ِمْن ِصَفاَِِو ُمَباَلَغٌة، َكاَنتْ
َغابُنِ (ْن َُجَْلِة: أَبْ َلَغ مِ ِف إِثْ َباِت اْْلَْمِع ; ِْلَنَّ َِْلَك )يَ ْوَم ََيَْمُعُكْم لِيَ ْوِم اْْلَْمِع َذِلَك يَ ْوُم الت َّ
164 Terjemah versi peneliti. 165 `Imâdu al-Dîn Abî al-Fidâ‟ Ismâ`îl Ibnu Katsîr, Tafsîru al-Qur’ânu al-‘aâhim Vol. 7 (Maktabah Aulâdu al-Syekh Li al-Turâts, 1999), 470. 166 Terjemah versi peneliti.
-
51
َغابُِن، َأْي َغْْبُ النَّاِس بَ ْعُضُهْم بَ ْعًضا ِسيَقْت ِْلَْجِل إِثْ َباِت َما يَ َقُع ِف َذِلَك اْليَ ْوِم ِمَن الت ََّها، َوَىِذِه ِْلَْجِل إِثْ َباِت اْْلَْمِع َلُو ِف َذاَِِو بِتَ َفاُوِت أَعْ رِّ َوَجزَاُؤُىْم َعَلي ْ َماِلِِْم ِمَن اْلَْْْيِ َوالشَّ
167لَِتْصوِيِر َىْولِوِ “Hari dimana semua manusia dikumpulkan, yakni karena sesuatu yang
akan terjadi di hari itu seperti hisâb yang pembalasannya teroganisir.
Kemudian, alasan kenapa kata َجع (mengumpulkan) menggunakan bentuk isim maf`ûl adalah bentuk yang seperti ini menunjukkan sifat mubâlaghah
(lebih), sehingga jumlah dalam kalimat tersebut lebih dahsyat artinya
dibanding dengan 168يوم َيمعكم ليوم اْلمع ذلك يوم التغابن dalam menetapkan kata َجع (mengumpulkan), karena sesungguhnya hal itu disebutkan karena untuk
menetapkan sesuatu yang terjadi di hari itu yaitu hari Taghâbun,
diperlihatkannya manusia antara yang satu dengan lainnya dari berbedanya
amal mereka entah yang baik atau yang buruk dan balasannya. Sedangkan
potongan ayat ini (surah Hûd ayat 103. red) menetapkan kata َجع (mengumpulkan) karena perkumpulan itu sendiri untuk menunjukkan
kengeriannya169
”
Seperti mufassir lain, Ridlâ juga memahami potongan ayat tersebut
bahwa hari kiamat adalah hari dimana semua makhluk dikumpulkan. Akan
tetapi, dalam tafsirnya Ridlâ lebih menyoroti pemilihan kata dalam ayat
tersebut, yaitu kata َمموع yang mempunyai arti dikumpulkan. Menurut Ridlâ
pemilihan kata َجع dengan bentuk isim maf`ûl karena bentuk tersebut
menunjukkan sifat mubâlaghah atau lebih, sehingga alasan kenapa semua
makhluk dikumpulkan adalah karena agar mereka menyaksikan kedahsyatan
hari kiamat.
167 Ridlâ, Tafsîr al-Manâr, 157. 168 Alquran, 64:09. 169 Terjemah versi peneliti.
-
52
Kemudian, untuk penafsiran potongan ayat selanjutnya yaitu َوَذِلَك يَ ْوٌم
Ridlâ tidak berbeda dengan mufassir lain, bahwa hari itu disaksikan oleh َمْشُهودٌ
semua makhluk, seperti manusia, jin, malaikat, hewan dan lainnya170
.
B. Waktu Hari Kiamat
Secara jelas, tidak seorangpun yang mengetahui kapan hari kiamat
akan terjadi. Namun, secara umum para ulama‟ sepakat bahwa kiamat pasti
akan terjadi.
رُُه ِإَلَّ ِْلََجٍل َمْعُدودٍ 171َوَما نُ َؤخِّ Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang
tertentu.
Beberapa mufassir memahami ayat tersebut secara berbeda meski
hanya berbeda redaksinya, namun dengan maksud yang sama yaitu hari kiamat
tidak akan diundurkan kecuali sampai waktu yang ditentukan dan waktu
tersebut hanya diketahui oleh Allah. Ibnu Katsîr misalnya, ia memahami
potongan ayat ٍِْلََجٍل َمْعُدود dengan waktu yang ditentukan, tidak bertambah
sedikitpun dan tidak berkurang, ia mengatakan:
َها تَ َقُص ِمن ْ َها َوََل يُ ن ْ ٍة ُمَؤق ََّتٍة ََل يُ زَاُد َعَلي ْ رُُه ِإَل ْلَجٍل َمْعُدوٍد{ َأْي: ِلُمدَّ }َوَما نُ َؤخِّ172
170 Ibid., 157. 171 Alquran, 11:104 172 Ibnu Katsîr, Tafsîru Vol. 7, 471.
-
53
(wa mâ nu’akhkhiruhû illâ li ajalin ma`dûdin), maksudnya sampai
pada waktu yang ditentukan, tidak bertambah dan tidak berkurang173
.
Sedangkan al-Baghawî memahami ٍِْلََجٍل َمْعُدود dengan waktu yang
diketahui oleh Allah ( د هللامعلوم عن )174. al-Ţabarî menguraikan lebih lengkap, ia
memahami ayat tersebut sebagai berikut:
عّده ل فَ و أجَ ضى لَ قَ م أن جنيئكم بو إَل ْلن يُ ْقَضى، ف َ نكُ عَ ةِ امَ يَ القِ ومَ يَ رُ ؤخِّ ا نُ مَ وَ 175وأحَصاه، فل أييت إَل ْلجلو ذلك، َل يتقدم َميئو قبل ذلك وَل يتأخر.
“Dan kami tidak mengundurkan hari kiamat dari kalian, karena Allah
sudah menetapkan waktunya, dan hari itu tidak akan datang kecuali pada waktu
yang telah ditetapkan, tidak akan datang lebih awal ataupun lebih akhir”176
.
Sedangkan penulis kitab Zâdu al-Masîr menguraikan maksud ayat
tersebut dengan “Dan kami tidak mengundurkan hari itu kecuali sampai waktu
yang diketahui dan tidak ada yang mengetahui waktu tersebut kecuali Allah, ia
mengatakan sebagai berikut:
177مو اَلهللاعلَ يَ ََل ومٍ علُ مَ قتِ وَ اَللِ ومِ ذلك اليَ خرُ ؤَ ان ُ مَ املعىن: وَ وَ Dan artinya: dan kami tiada mengundurkan hari itu kecuali sampai
pada waktu yang telah ditentukan dimana tak seorangpun yang mengetahui
waktu itu kecuali Allah178
”.
173 Terjemah versi peneliti. 174 al-Baghawî, Tafsîr al-Baghawî, Vol. 4, 199. 175
al-Ţabarî, Tafsîru al-Ţabarî, Vol. 12. 574-575. 176 Terjemah versi peneliti. 177
Abî al-Faraj Jamâlu al-Dîn „Abdu al-Rahmân, Zâdu al-Masîr Fî ‘Ilmi al-Tafsîr, Vol 4 (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1984), 157.
-
54
Kemudian bagaimana dengan penafsiran ayat tersebut dalam tafsir Al-
Manâr? Penulis tafsir tersebut mengatakan tentang maksud ayat tersebut
sebagai berikut:
ُقُص َعْن ََ ْقدِ ٍة َمْعُدوَدٍة ِف ِعْلِمَنا ََل ََزِيُد َوََل ََ ن ْ ُر َذِلَك اْليَ ْوَم ِإَلَّ َِلنِْتَهاِء ُمدَّ يرََِن َِلَا َوَما نُ َؤخِّْكَمِتَنا، َوُىَو اْنِقَضاُء ُعْمِر نْ َيا، وَُكلُّ َما ُىَو َمْعُدوٌد ََمُْدوُد النَِّهايَِة فَ ُهَو َقرِيٌب، َوَقْد ِِبِ َىِذِه الدُّ
ِحيَحِة أَنَّ هللَا ََ َعاََل َلَْ يُْطِلْع َأَحًدا ِمْن َخْلِقِو َعَلى ثَ َبَت بُِنُصوِص اْلُقْرآِن َواْْلََحاِديِث الصَّاَعةِ 179.َوْقِت ِقَياِم السَّ
“Dan kami tidak mengundurkan hari itu kecuali sampai pada waktu
tertentu yang kami ketahui, tidak bertambah juga tidak berkurang sesuai
dengan perkiraan kami karena kebijaksanaan kami. Dan waktu tersebut
adalah habisnya umur dunia ini. Dan setiap sesuatu yang dihitung dan
dipastikan akhirnya, maka sesungguhnya sesuatu itu begitu dekat.
Sesungguhnya, telah disebutkan dalam Alquran dan Hadits Shahîh bahwa
sesungguhnya Allah SWT tidak pernah memperlihatkan kapan waktu
terjadinya hari kiamat kepada seseorang dari makhluk-Nya”180
Tidak berbeda dengan para mufassir lain, Ridlâ juga memahami
bahwa hari kiamat tidak akan diundurkan kecuali sampai pada hari yang telah
ditentukan, tidak bertambah dan tidak berkurang sedikitpun dan hanya Allah
yang mengetahui waktu tersebut. Selain itu, Ridlâ juga menambahkan tentang
dekatnya hari kiamat, karena segala sesuatu yang dihitung dan akhirnya
dibatasi maka sesuatu itu begitu dekat. Dan dalam penelitiannya, Ridlâ juga
mengatakan bahwa Allah tidak pernah menunjukkan kepada salah satu
hambanya tentang kapan terjadinya hari kiamat.
C. Kondisi Manusia Pada Hari Kiamat
178 Terjemah versi peneliti. 179
Ridlâ, Tafsîr al-Manâr, 157. 180 Terjemah versi peneliti.
-
55
Seperti telah dijelaskan di muka bahwa kondisi manusia setelah
dibangkitkan dari alam kubur itu pasif, pasrah, tidak beraktifitas dan hanya
menunggu apa yang akan terjadi. Kondisi tersebut juga disebutkan surah Hûd
ayat 105 meskipun tidak secara lengkap.
ُهْم َشِقيّّ َوَسِعيدٌ ي َ 181ْوَم أيَِْت ََل َََكلَُّم نَ ْفٌس ِإَلَّ ِبِِْذنِِو َفِمن ْ Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan
dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang
berbahagia.
Ayat tersebut setidaknya menyebutkan dua kondisi manusia pada saat
itu, potongan ayat pertama menjelaskan bahwa tidak seorangpun yang
berbicara kecuali atas izin Allah dan potongan ayat terakhir menjelaskan
bahwa sebagian dari mereka ada yang celaka dan sebagian yang lain
berbahagia.
Potongan ayat yang pertama ( ِيَ ْوَم أَيِْت ََل َََكلَُّم نَ ْفٌس ِإَلَّ ِبِِْذنِو) melahirkan
penafsiran berbeda dari beberapa ahli tafsir, setidaknya ada dua penafsiran
yaitu dengan arti berbicara dan memberi syafaat. Hûd bin Muhakkam
memahami َكلم dengan arti berbicara, sehingga artinya, “Tidak seorangpun
yang berbicara kecuali atas seizin-Nya”, ia menafsirkan potongan ayat tersebut
181 Alquran, 11:105.
-
56
dengan ayat lain182
yaitu surat al-Naba’ ayat 38183
. Jamaluddin Abd Rahman
juga menafsirkan kata َكلم dengan berbicara, ia mengatakan:
و ِف هللا لَ نَ ن أذِ ون, اَلمتُ اكِ سَ قِ لئِ ل اْلَ كُ فَ هللا, ذنِ فس اَلبِ لم نَ كَ ََ وم, ََل اليَ كَ يت ذلِ عىن: أيَ يَ 184ةِ اعَ الشفَ لمِ ِبذا الكَ دِ ا: املرَ يلَ قِ . وَ لمِ الكَ
Maksudnya: saat hari itu tiba, tidak seorangpun berbicara kecuali atas
izin Allah. Maka semua makhluk diam kecuali orang yang mendapatkan izin
dari Allah untuk berbicara. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan kalâm adalah syafaah185
.
Jamaluddin mengartikan kata kalâm dengan berbicara, meskipun
akhirnya ia mengutip bahwa ada juga yang mengatakan bahwa kata tersebut
berarti syafaah.
Sedangkan al-Zamakhsyarî mencoba mengkomparasikan ayat tersebut
dengan beberapa ayat lain yang secara sekilas tampak bertentangan, seperti
surat al-Nahl ayat 111186
, surat al-Mursalât ayat 35-36187
, dan surat al-Naba’
ayat 38. Dia mengatakan bahwa hari tersebut adalah hari yang panjang yang
mempunyai banyak penduduk dan tempat. Sebagian dari mereka saling
berdebat untuk membela dirinya, sebagian dari mereka menahan diri untuk
berbicara dan mereka tidak diizinkan untuk itu, sebagian dari mereka diizinkan
untuk berbicara dan mereka berbicara, sebagian dari mereka mulutnya terkunci
182 Hûd bin Muhakkam, Tafsîru Kitâbi Allah, Vol. 2, 247. ا ََل ي َ 183 َتَكلَُّموَن ِإَلَّ َمْن أَِذَن َلُو الرَّْْحَُن َوَقاَل َصَوابً يَ ْوَم يَ ُقوُم الرُّوُح َواْلَمَلِئَكُة َصفِّ Alquran, 78:38. 184
Abî al-Faraj, Zâdu al-Masîr, Vol 4, 158. 185 Terjemah versi peneliti. .Alquran, 16:111 يَ ْوَم ََتْيت ُكلُّ نَ ْفٍس ُُتَاِدُل َعْن نَ ْفِسَها َوَُ َوفَّ ُكلُّ نَ ْفٍس َما َعِمَلْت َوُىْم ََل يُْظَلُمونَ 186 .Ibid., 77:35-36 َىَذا يَ ْوُم ََل يَ ْنِطُقوَن َوََل يُ ْؤَذُن َِلُْم فَ يَ ْعَتِذُرونَ 187
-
57
dan yang berbicara adalah tangan-tangan dan kaki-kaki mereka188
. Seperti al-
Zamakhsyarî, Abî Hayyân juga menafsirkan seperti yang dijelaskan al-
Zamakhsyarî meski ia tidak mengkomparasikan beberapa ayat seperti yang
dilakukan al-Zamakhsyarî, ia juga mengatakan bahwa bisa jadi maksud dari
berbicara itu adalah berbicara tentang syafaat (189(َكلم شفاعة.
Kemudian, bagaimana tafsir Al-Manâr memahami potongan pertama
dari ayat tersebut? Ridlâ mengatakan tentang maksud ayat tersebut sebagai
berikut:
ُ ََل ََ َتَكلَُّم نَ ْفٌس ِمَن اْْلَنْ ُفِس النَّاِطَقِة ِإَلَّ يُء ِفيِو َذِلَك اْليَ ْوُم اْلُمَعَّيَّ ِبِِْذِن ِف اْلَوْقِت الَِّذي َيَِ190َأَحٌد ِفيِو قَ ْوًَل َوََل ِفْعًل ِإَلَّ ِبِِْذنِوِ هللِا ََ َعاََل ِْلَنَُّو يَ ْوُمُو اْْلَاصُّ الَِّذي ََل مَيِْلكُ
“Yakni, pada waktu dimana hari yang ditentukan itu datang, jiwa yang
bisa berbicara tidak bisa berbicara kecuali atas izin Allah SWT, karena
sesungguhnya hari itu adalah hari-Nya yang khusus dimana tidak
seorangpun yang memiliki kekuatan untuk berbicara ataupun melakukan
sesuatu kecuali atas izin-Nya191
”
Tidak berbeda dengan mufassir lain, Ridlâ juga memahami potongan
ayat tersebut bahwa pada hari itu tidak satupun dari jiwa yang bisa berbicara
berbicara kecuali atas izin Allah SWT. Ridlâ juga memberikan alasan bahwa
hal itu terjadi karena hari itu adalah hari yang khusus dimana tidak seorangpun
memiliki kekuatan untuk berbicara ataupun melakukan sesuatu kecuali atas
izin-Nya. Ridlâ tidak menyinggung apakah ada pertentangan antara ayat
188 Al-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf, Vol.3, 236. 189 Abî Hayyân, Tafsiru al-Bahru, Vol. 5, 262. 190
Ridlâ, Tafsîr al-Manâr, 158. 191 Terjemah versi peneliti.
-
58
tersebut (Hûd 105) dengan ayat-ayat lain atau apakah ada makhluk yang diberi
izin untuk berbicara seperti para mufassir lain yang menyinggungnya, kecuali
ia hanya mengutip beberapa ayat seperti surah al-Nabâ’ ayat 38, surah Țâhâ
ayat 108-109192
, surah al-Mursalât ayat 35-36, dan surah Yâsin ayat 65193
akan
tetapi ia tidak menyinggung dan tidak memberikan penjelasan lebih detail
kenapa ia mengutip ayat-ayat tersebut.
D. Klasifikasi Tempat Manusia
Sebelum menguraikan klasifikasi tempat manusia, terlebih dahulu
peneliti akan menguraikan klasifikasi manusia pada hari itu. Dalam potongan
akhir surah Hûd ayat 105 dikatakan bahwa di antara mereka ada yang celaka
dan ada yang berbahagia.
ُهْم َشِقيّّ َوَسِعيدٌ يَ ْوَم أيَِْت ََل َََكلَُّم نَ ْفٌس ِإَلَّ ِبِِ 194ْذنِِو َفِمن ْ Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan
dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang
berbahagia.
Ada perbedaan dari para mufassir terkait dengan potongan akhir dari
ayat tersebut, khususnya isim dlamîr منهم, apakah kembali ke kata الناس ,نفس, atau
yang lain?
ََْسَمُع ِإَلَّ ََهًْسا يَ ْوَمِئٍذ ََل ََ ن ْ يَ ْوَمِئٍذ 192 اِعَي ََل ِعَوَج لَُو َوَخَشَعِت اْْلَْصَواُت لِلرَّْْحَِن َفَل َفاَعُة ِإَلَّ َمْن أَِذَن َلُو الرَّْْحَُن َوَرِضَي َلُو قَ ْوًَل يَ تَِّبُعوَن الدَّ َفُع الشَّ Alquran, 20:108-109. وَ 193 اِىِهْم َوََُكلُِّمنَا أَْيِديِهْم َوََْشَهُد َأْرُجُلُهْم ِبَا َكانُوا يَْكِسبُونَ اْليَ ْوَم ََنِْتُم َعَلى أَف ْ Ibid., 36:65. 194 Ibid., 11:105.
-
59
Al-Țabarî dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata minhum kembali
pada kata nafsun, meskipun nafsun berbentuk tunggal tapi menunjukkan pada
makna semua, ia mengatakan:
لى عَ ادَ عَ يد, وَ عِ سَ يّّ وَ قِ ِبا، شَ رَ إَل ِبذنِ ةِ امَ يَ وم القِ لم يَ كَ اليت َل ََ وسِ النفُ هِ ن ىذِ مِ فَ 195و: )فمنهم شقي وسعيد(ولِ ِف قَ يعِ مِ اْلَ كرِ ذِ ة، بِ دَ واحِ فظِ ي ِف اللَ ىِ "النفس"، وَ
Maka dari jiwa-jiwa ini yang tidak bisa berbicara di hari kiamat
kecuali atas izin Tuhannya, ada yang celaka dan ada yang beruntung. Dan kata
minhum kembali pada “النفس”, kata tersebut berbentuk tunggal tapi
menunjukkan pada makna semua dalam ayat (فمنهم شقي وسعيد) 196.
Senada dengan Al-Țabarî, Abî Hayyân mengutip perkataan Ibnu
`Ațiyah bahwa kata minhum kembali pada kata nafsun, meski akhirnya Abî
Hayyân mengatakan bahwa ada yang mengatakan bahwa kata minhum kembali
kepada umat Muhammad197
. Ibnu Katsîr mengatakan bahwa kata minhum
kembali kepada اىل اْلمع, ia menafsirkan ayat tersebut dengan ayat 7 surah al-
Syûrâ ( ِِعْي .198(َفرِيٌق ِف اْْلَنَِّة َوَفرِيٌق ِف السَّ
Kemudian Ridlâ dalam tafsirnya mengatakan sebagai berikut:
195 al-Ţabarî, Tafsîru al-Ţabarî, Vol. 12. 576. 196 Terjemah versi peneliti. 197 Abî Hayyân, Tafsiru al-Bahru, Vol. 5, 262. 198 Ibnu Katsîr, Tafsîru Vol. 7, 471.
-
60
ائِمِ َأيْ ، َفِمَن اْْلَنْ ُفِس اْلُمَكلََّفِة الَّيِت ُُتَْمُع ِفيِو، َشِقيّّ ُمْسَتِحقّّ ِلَوِعيِد اْلَكاِفرِيَن ِبْلَعَذاِب الدَّائِمِ ُقوَن ِمَن الث َّوَاِب الدَّ ُهْم َسِعيٌد ُمْسَتِحقّّ ِلَما ُوِعَد ِبِو اْلُمت َّ 199َوِمن ْ
“Yakni, maka sebagian dari jiwa-jiwa yang mendapatkan taklîf (mukallaf)
yang berkumpul di hari itu tidak bahagia dan pantas menerima ancaman
untuk orang kafir yaitu siksa yang pedih, dan sebagian dari mereka
berbahagia dan pantas menerima apa yang telah dijanjikan kepada orang
yang bertakwa yaitu pahala yang langgeng200
”
Tidak jauh berbeda dengan mufassir lain, Ridlâ juga mengembalikan
arti dari kata منهم dengan انفس (jiwa), hanya perbedaannya disini Ridlâ memberi
batasan hanya terhadap jiwa yang mukallaf, sehingga yang tidak mukallaf tidak
masuk pada kategori منهم. Ridlâ dengan gamblang mengatakan:
ُر اْلُمَكلَِّفََّي َكاْْلَْطَفاِل َواْلَمَجاِنَّيِ ْقِسيِم َغي ْ َوََل يَْدُخُل ِف َىَذا الت َّ201
Dan jiwa-jiwa yang tidak mukallaf tidak termasuk pada pembagian
ini, seperti anak-anak dan orang-orang gila202
.
Selanjutnya, peneliti akan menguraikan klasifikasi tempat manusia
seperti yang disebutkan dalam Alquran surah Hûd ayat 106 dan potongan ayat
108:
ا الَِّذيَن َشُقوا َفِفي النَّاِر َِلُْم ِفيَها َزِفٌْي َوَشهِ 203يقٌ َفَأمَّ Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka,
di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih).
199
Ridlâ, Tafsîr al-Manâr, 158. 200 Terjemah versi peneliti. 201
Ridlâ, Tafsîr al-Manâr, 158. 202 Terjemah versi peneliti. 203 Alquran, 11:106.
-
61
ا الَِّذيَن ُسِعُدوا َففِ َماَواُت َواْْلَْرُض ِإَلَّ َما َشاَء رَبَُّك َعطَاًء َوأَمَّ ي اْْلَنَِّة َخاِلِديَن ِفيَها َما َداَمِت السََّر ََمُْذوذٍ َغي ْ
204
Adapun orang-orang yang berbahagia, Maka tempatnya di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika
Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.
Tidak ada perbedaan dari para mufassir tentang klasifikasi tempat
manusia di Akhirat kelak, seperti yang dijelaskan secara gamblang di atas
bahwa orang-orang yang celaka tempatnya di Neraka, sedangkan orang-orang
yang berbahagia tempatnya di Surga.
Yang menjadi titik perbedaan dari beberapa mufassir adalah maksud
dari orang yang celaka (الشقي) dan orang yang berbahagia (السعيد). Jamaluddin
Abd Rahman mengatakan sebagai berikut:
ن م مَ نهُ مِ , وَ ةِ اوَ الشقَ يوِ لَ ت عَ بَ ن ُكتِ م مَ نهُ قولو َعاَل )فمنهم شقي( قال ابن عباس: مِ 205ةادَ السعَ وُ ت لَ بَ تِ كُ
maksud dari ayat )فمنهم شقي(, Ibnu Abbas berkata: sebagian dari mereka
adalah orang yang telah ditakdirkan celaka, dan sebagian dari mereka adalah
orang yang ditakdirkan beruntung206
.
Jamaluddin mengutip perkataan ibnu `Abbâs bahwa orang yang celaka
adalah orang yang ditakdirkan celaka dan orang yang berbahagia adalah orang
yang ditakdirkan bahagia.
204
Ibid., 11:108. 205
Abî al-Faraj, Zâdu al-Masîr, Vol 4, 158. 206 Terjemah versi peneliti.
-
62
Seperti Jamaluddin, Abî Hayyân juga mengutip apa yang dikatakan
ibnu `Abbâs, ia juga menyebutkan bahwa ada yang mengatakan orang yang
celaka adalah orang yang disiksa dan orang yang berbahagia adalah orang yang
diberi nikmat, ada juga yang mengatakan bahwa orang yang celaka adalah
orang tertutup rejekinya dan orang yang berbahagia adalah orang yang
mendapatkan rejeki207
. Hampir sama dengan Jamaluddin dan Abî Hayyân
meski dengan redaksi yang berbeda bahkan dengan penjelasan lebih lengkap,
Hûd bin Muhakkam mengatakan sebagai berikut:
ن يد مَ عِ أمو, والسَ طنِ ي ِف بَ قِ ن شَ ي مَ قِ بن مسعود أنو كان يقول: الشَ عن عبد هللا ا208وأمِ طنِ د ِف بَ عِ سَ
Dari Abdullah Ibnu Mas`ud sesungguhnya ia berkata: orang yang
celaka adalah orang yang telah celaka di perut ibunya, dan orang yang
beruntung adalah orang yang beruntung di perut ibunya209
.
Hûd mengutip dari ibnu Mas`ûd bahwa orang yang celaka adalah
orang yang celaka pada saat di perut ibunya dan orang yang berbahagia adalah
orang yang berbahagia pada di perut ibunya.
Ridlâ dalam tafsirnya mengatakan:
نْ َيا ِبْلِفْعِل ِبَا َكانُوا يَ ْعَمُلوَن ِمْن أَْعَماِل اْْلَْشِقَياِء ِلَفَساِد َعَقائِِدىِ ُم اْلَمْوُروثَِة َأِي الَِّذيَن َشُقوا ِف الدُّْقِليِد، َحَّتَّ َأَحاَطْت ِِبِْم َخِطيَئاَُ ُهْم َوأَْطَفَأْت نُوَر اْلِفْطرَِة ِمْن أَنْ ُفِسهِ 210مْ ِبلت َّ
207 Abî Hayyân, Tafsiru al-Bahru, Vol. 5, 262 208
Hûd bin Muhakkam, Tafsîru Kitâbi Allah, Vol. 2, 248. 209 Terjemah versi peneliti. 210 Ridlâ, Tafsîr al-Manâr, 159.
-
63
Yakni, mereka yang celaka di dunia karena melakukan pekerjaan yang
buruk disebabkan rusaknya akidah mereka yang mereka terima karena
bertaklid, sehingga kesalahan-kesalahan mereka menumpuk dan mematikan
cahaya fitrah dalam jiwa mereka211
.
Dalam memahami orang yang celaka (الشقي), Ridlâ berbeda dengan
mufassir lain. Ia mengatakan bahwa orang yang celaka adalah orang yang
dalam hidupnya di dunia melakukan kesalahan karena rusaknya akidah mereka
disebabkan mereka bertaklid. Dalam hal ini, tampak jelas bahwa sikap dia dan
gurunya, Muhammad `Abduh dalam memberantas taklid juga ikut
mempengaruhi penafsirannya.
Selain perbedaan tentang konsep orang yang celaka (الشقي) dan orang
yang berbahagia (السعيد), beberapa mufassir juga berbeda dalam memahami زفْي
dan شهيق dalam potongan terakhir ayat berikut meskipun ada juga yang berbeda
redaksi saja:
ا الَِّذيَن َشُقوا َفِفي النَّاِر َِلُْم ِفيَها َزِفٌْي َوَشِهيقٌ 212َفَأمَّ Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka,
di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih).
Menurut Al-Țabarî, زفْي adalah jeritan pertama dari Himar atau
sejenisnya, sedangkan شهيق adalah jeritannya yang terakhir ketika ia
211 Terjemah versi peneliti. 212 Alquran, 11:106.
-
64
mengulanginya dengan suara di bagian dalam ketika ia selesai menjerit213
, Al-
Țabarî juga mengutip berbagai riwayat terkait dengan arti dari dua kata
tersebut. Pertama, dari Ibnu `Abbâs bahwa زفْي adalah suara yang keras,
sedangkan شهيق adalah suara yang lemah, Kedua, dari Abî al-`Âliyah bahwa زفْي
adalah suara di tenggorokan, sedangkan شهيق adalah suara di dada, dan Ketiga,
dari Qatâdah bahwa suara orang kafir di Neraka sama seperti suara Himar,
awalnya disebut زفْي dan akhirnya disebut 214شهيق.
Tidak jauh berbeda dengan Al-Țabarî, para mufassir lain juga
mempunyai penafsiran yang hampir sama dengannya meskipun terkadang
hanya berbeda redaksinya saja. Seperti Abî Hayyân215
, Ibnu Katsîr216
, Hûd
ibnu Muhakkam217
, Jamaluddin Abd Rahman218
, dan al-Baghawî219
.
Sedikit berbeda dengan mufassir di atas, Ridlâ mengatakan:
ِهيقُ ِة اْلَكْرِب َواْْلُْزِن ِف بَُكاٍء َأْو َغْْيِه َفالزَِّفُْي َوالشَّ ْدِر ِعْنَد ِشدَّ 220َصْوََتِن ََيْرَُجاِن ِمَن الصَّ
Zafîr dan Syahîq adalah dua suara yang keluar dari dada ketika
dahsyatnya penderitaan dan kesedihan saat menangis atau yang lainnya221
.
213 Al-Țabarî, Tafsîru al-Țabarî, Vol. 12, 576. Penafsiran ini sama dengan penafsiran al-Dlahhâk,
lihat al-Dlahhâk, Tafsîru al-Dlahhâk, Vol. 1, 454. 214 Al-Țabarî, Tafsîru al-Țabarî, Vol. 12, 577. 215 Abî Hayyân, Tafsiru al-Bahru, Vol. 5, 262. 216 Ibnu Katsîr, Tafsîru Vol. 7, 472. 217 Hûd bin Muhakkam, Tafsîru Kitâbi Allah, Vol. 2, 249. 218 Abî al-Faraj, Zâdu al-Masîr, Vol 4, 158-159. 219 al-Baghawî, Tafsîr al-Baghawî, Vol. 4, 200. 220
Ridlâ, Tafsîr al-Manâr, 159. 221 Terjemah versi peneliti.
-
65
Jika mufassir lain menafsirkan dua kata tersebut dengan
mengandaikan suara rintihan himar, maka Ridlâ menafsirkan dua kata dengan
cara yang sederhana tanpa mengandaikan dengan hal lain, seperti yang telah
disebutkan di atas menurut Ridlâ dua kata tersebut adalah dua suara yang
keluar dari dada di saat menangis karena suatu penderitaan dan kesedihan yang
mendalam.
Selain penafsiran tersebut, dalam kitab tafsirnya Ridlâ juga mengutip
pendapat tokoh lain seperti al-Zamakhsyarî yang mengatakan bahwa زفْي adalah
mengeluarkan nafas sedangkan شهيق adalah menariknya, al-Râghib yang
mengatakan bahwa زفْي adalah berbolak-baliknya nafas sehingga tulang iganya
menggelembung, dan juga mengutip dari kitab Lisân bahwa شهيق adalah paling
jelleknya suara222
, yang akhirnya Ridlâ men-tahqîq, ia mengatakan:
َعَداِء ِمَن اِْلَمِّ َواْلَكْرِب ِإَذا اْمَتدَّ َواْشَتدَّ َفُسِمَع َصْوَُُو َكاَن َزِفْيًا، َوأَنَّ ال َس الصُّ نَِّشيَج ِف اْلُبَكاِء أَنَّ ََ نَ فَُّي َشِهيًقا ْوُت سُِّ ْدِر َواْرََ َفَع ِبِو الصَّ ُدُه ِف الصَّ 223ِإَذا اْشَتدَّ ََ َردُّ
Sesungguhnya bernafas panjang karena sedih dan menderita ketika
nafas itu memanjang dan lebih dahsyat sehingga seuaranya bisa didengar,
maka hal itu disebut zafîr, dan sesungguhnya merenggek dalam tangis
(sesenggukan) jika berulang-ulang di dalam dadanya dan suaranya terdengar,
maka hal itu disebut syahîq224
.
222 Ridlâ, Tafsîr al-Manâr,, 159-160. 223
Ibid., 160. 224 Terjemah versi peneliti.
-
66
Menurutnya, yang disebut زفْي adalah ketika seseorang bersedih atau
menderita dan ia bernafas panjang sehingga suaranya terdengar, sedangkan
yang disebut شهيق adalah ketika seseorang merenggek tangisnya atau
sesenggukan dan berulang-ulang di dalam dadanya sehingga suaranya
terdengar.
E. Waktu Manusia Tinggal
Pada saat manusia sudah tinggal di Neraka untuk yang celaka dan di
Surga untuk yang berbahagia, pertanyaan selanjutnya adalah berapa lama
mereka tinggal? Ada banyak perbedaan terkait hal ini, pada poin ini peneliti
akan menguraikan beberapa penafsiran para ahli terhadap surah Hûd ayat 107-
108 yang menerangkan tentang lama manusia tinggal.
َماَواُت َواْْلَْرُض ِإَلَّ 225َما َشاَء رَبَُّك ِإنَّ رَبََّك فَ عَّاٌل ِلَما يُرِيدُ َخاِلِديَن ِفيَها َما َداَمِت السَّMereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika
Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana
terhadap apa yang Dia kehendaki.
ا الَِّذيَن ُسِعُدوا َففِ َماَواُت َواْْلَْرُض ِإَلَّ َما َشاَء رَبَُّك َعطَاًء َوأَمَّ ي اْْلَنَِّة َخاِلِديَن ِفيَها َما َداَمِت السََّر ََمُْذوذٍ َغي ْ
226
Adapun orang-orang yang berbahagia, Maka tempatnya di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika
Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.
225
Alquran, 11:107. 226 Ibid., 11:108.
-
67
Secara sekilas dapat dipahami bahwa mereka kekal di dalamnya baik
yang di Neraka ataupun yang di Surga selama selama masih ada langit dan
bumi. Namun, ada beberapa perbedaan penafsiran dari beberapa ahli tafsir
terkait ayat tersebut, meski terkadang ada yang hanya berbeda redaksinya saja.
Setidaknya perbedaan itu ada pada potongan ayat َُماَواُت َواْْلَْرض َخاِلِديَن ِفيَها َما َداَمِت السَّ
dan َِإَلَّ َما َشاَء َربُّك.
Al-Țabarî mengatakan bahwa yang dimaksud dengan potongan ayat
َماَواُت َواْْلَْرضُ :adalah selamanya, ia mengatakan َخاِلِديَن ِفيَها َما َداَمِت السَّ
ات وَ مَ ام السَ وَ م دَ ائِ ا دَ ذَ ت: ىَ الَ أبًدا قَ امِ وَ لدَ يء بِ ف الشَ صِ ََ أن العرب إذا أرادت أن227م أبًداائِ عىن أنو دَ واْلرض، ِبَ
Sesungguhnya orang Arab ketika ingin mensifati sesuatu dengan
langgeng selamanya, maka mereka mengatakan hâdzâ dâ’imun dawâma al-
Samawâti wa al-Ardli, dengan artinya hal tersebut langgeng selamanya228
.
Al-Țabarî berlandaskan bahwa ketika orang Arab ingin mensifati
sesuatu dengan “langgeng selamanya” maka mereka akan berkata “ ى ذا دائم دوام
لسماوات واَلرضا ”, yang mana kata-kata tersebut berarti langgeng selamanya.
Di sisi lain, Al-Baghawî mengatakan sebagai berikut:
227
Al-Țabarî, Tafsîru al-Țabarî, Vol. 12, 578. 228 Terjemah versi peneliti.
-
68
اء, سََ وَ هُ ك وأللك ف َ َل ا عَ ل مَ ا وكُ مَ هُ ات اْلنة والنار وأرضُ وَ ت سََ امَ ادَ قال الضحاك: مَ لى يد عَ أبِ التَ نِ عَ ةٌ ارَ بَ ا عِ ذَ قال أىل املعاِن: ىَ رت عليو قدمك فهو أرض. قَ ااست َ ل مَ كُ َو
229ربة العَ ادَ عَ Al-Dlahhâk berkata: selama masih ada langi dan buminya Surga dan
Neraka. Dan apa yang ada di atasmu dan menaungimu disebut langit, dan
setiap sesuatu yang ada dibawah kakimu maka disebut bumi. Ahli Ma‟ani
berkata: ini istilah yang berarti selamanya yang menjadi kebiasaan orang
Arab230
.
Al-Baghawî mengutip dari Ahli al-Ma`ânî seperti yang telah
dikatakan oleh Al-Țabarî, selain itu ia juga mengutip dari apa yang dikatakan
oleh al-Dlahhâk bahwa yang dimaksud dengan َماَواُت َواْْلَْرضُ َخاِلِديَن ِفيَها َما َداَمِت السَّ
adalah selama masih ada langit dan buminya surga dan neraka, menurutnya apa
yang ada di atas dan menaungi manusia disebut langit dan apa yang ada di
bawah kaki manusia disebut bumi231
.
Abî Hayyân232
memahami potongan ayat tersebut seperti apa yang
dipahami oleh Al-Țabarî dan Al-Baghawî, yaitu tentang kebiasaan orang Arab
ketika mensifati sesuatu dengan “langgeng selamanya”, selain itu ia juga
mengutip sebuah perkataan bahwa potongan ayat tersebut adalah langit dan
buminya akhirat yang berbeda dengan langit dan bumi dunia, dan langit dan
bumi akhirat langgeng selamanya. Terkait dengan hal tersebut, Abî Hayyân
berlandaskan surah Ibrâhîm ayat 48233
yang mana ayat tersebut menunjukkan
bahwa bumi dan langit yang di dunia diganti dengan bumi dan langit yang lain.
229 al-Baghawî, Tafsîr al-Baghawî, Vol. 4, 200. 230 Terjemah versi peneliti. 231 al-Baghawî, Tafsîr al-Baghawî, Vol. 4, 200. Lihat juga al-Dlahhâk, Tafsîru al-Dlahhâk, Vol. 1, 455. 232 Abî Hayyân, Tafsiru al-Bahru, Vol. 5, 262. َماَواتُ 233 َر اْْلَْرِض َوالسَّ ُل اْْلَْرُض َغي ْ .Alquran, 14:48 يَ ْوَم َُ َبدَّ
-
69
Selain itu, ia juga mengutip surah al-Zumar ayat 74 yang akhirnya ia
mengatakan bahwa penghuni akhirat pasti ada yang menaungi, entah itu langit
yang diciptakan Allah atau `Arsy yang menaungi mereka. Kemudian, Abî
Hayyân berkesimpulan bahwa apapun yang menaunginya disebut langit234
.
Sama dengan Abî Hayyân, Ibnu Katsîr mengutip dari Abû Ja‟far tentang
kebiasaan orang Arab terkait dengan mensifati kata “langgeng selamanya”, ia
juga memahami potongan ayat tersebut bahwa langit dan bumi di dunia diganti
dengan langit dan bumi di Akhirat235
. Berbeda dari mufassir lain, Hûd bin
Muhakkam mengatakan bahwa Surga ada di langit sedangkan Neraka ada di
bumi236
.
Terkait dengan potongan ayat tersebut, Ridlâ dalam tafsirnya mengatakan:
َمَواِت الَّيِت َُِظلُُّهْم َواْْلَْرِض ا َأيْ َة َدَواِم السَّ َرُحونَ َها ُمدَّ لَّيِت َماِكِثََّي ِفيَها ُمْكَث بَ َقاٍء َوُخُلوٍد، ََل يَ ب ْْعِبَْي ِبَْعىَن َُِقلُُّهْم، َوَىَذا ِبَْعىَن قَ ْولِِو ِف آََّيٍت أُْخَرى: َخاِلِديَن ِفيَها أَبًَدا فَِإنَّ اْلَعَرَب ََْستَ ْعِمُل َىَذا الت َّ
َوامِ 237الدَّ
Yakni, mereka tinggal di dalamnya dan tidak keluar selama
langgengnya langit yang menaungi mereka dan langgengnya bumi yang ada
dibawah mereka. Hal ini selaras dengan ayat lain yaitu (khâlidîna fîhâ abadâ),
karena sesungguhnya orang Arab menggunakan pernyataan ini dengan arti
langgeng238
.
234 Abî Hayyân, Tafsiru al-Bahru, Vol. 5, 262. 235 Ibnu Katsîr, Tafsîru Vol. 7, 472. 236 Hûd bin Muhakkam, Tafsîru Kitâbi Allah, Vol. 2, 247. 237
Ridlâ, Tafsîr al-Manâr, 160. 238 Terjemah versi peneliti.
-
70
Tidak jauh berbeda dengan mufassir yang lain, Ridlâ juga mengatakan
bahwa mereka tinggal di neraka ataupun di surga selama langgengnya langit
yang menaungi mereka dan bumi yang ada di bawah mereka. Ridlâ
menafsirkan potongan ayat tersebut dengan ayat lain yaitu خالدين فيها ابدا, ia juga
menyebutkan tentang kebiasaan orang Arab terkait dengan potongan ayat
tersebut yang memang sudah menjadi kebiasaanya dalam mengungkapkan
sesuatu yang bersifat selamanya.
Selain itu, Ridlâ menyalahkan orang yang mengatakan bahwa langit
dan bumi yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah langit dan bumi di
dunia. Ia mengatakan:
نْ َيا، َفِإنَّ ُة َدَواِمَهَما ِف الدُّ اَعِة، َوَغَلَط َمْن َقاُلوا اْلُمرَاُد ُمدَّ ُل َوََ ُزوُل ِبِقَياِم السَّ َىِذِه اْْلَْرَض َُ َبدَُّىَو َوَسَاُء ُكلٍّ ِمْن أَْىِل النَّاِر َوأَْىِل اْْلَنَِّة َما ُىَو فَ ْوقَ ُهْم، َوأَْرُضُهْم َما ُىْم ُمْسَتِقرُّوَن َعَلْيِو وَ
239ََتْتَ ُهمْ
Dan orang yang mengatakan tentang maksud potongan ayat tersebut
bahwa langgengnya langit dan bumi itu di dunia adalah salah. Karena
sesungguhnya, bumi ini akan diganti dan akan lenyap ketika kiamat
terjadi. Dan langitnya para ahli neraka dan ahli surga adalah sesuatu yang
ada di atas mereka, sedangkan bumi mereka adalah apa yang ada di bawah
mereka240
.
Menurut Ridlâ, orang yang mengatakan bahwa selama langgengnya
langit dan bumi dalam potongan ayat tersebut adalah langit dan bumi yang ada
di dunia itu pendapatnya salah, karena bumi yang ada di dunia akan terganti
dan akan lenyap seiring dengan datangnya hari kiamat. Kemudian, langit yang
239
Ridlâ, Tafsîr al-Manâr, 160. 240 Terjemah versi peneliti.
-
71
ada di akhirat adalah apa yang ada di atas mereka, sedangkan buminya adalah
apa yang ada di bawah mereka. Penafsiran Ridlâ terhadap potongan ayat
tersebut bisa dikatakan meliputi penafsiran-penafsiran mufassir yang telah
peneliti uraikan di atas.
Perbedaan lain terkait dengan ayat tersebut adalah dalam potongan
ayat َِإَلَّ َما َشاَء َربُّك, secara sekilas dapat dipahawi bahwa maksud dari ayat tersebut
adalah kecuali jika Allah menghendaki yang lain. Sedangkan pemahaman luas
secara sekilas adalah mereka akan kekal di dalamnya kecuali jika Allah
berkehendak lain maka mereka tidak akan kekal selamanya. Lalu bagaimana
penafsiran para mufassir terhadap potongan ayat ini?
Perbedaan penafsiran terhadap potongan ayat ini ada di dua tempat.
Pertama, potongan ayat pertama yaitu untuk orang yang celaka di neraka,
sedang yang kedua adalah potongan ayat kedua yaitu untuk orang yang
bahagia/beruntung di Surga. Hal ini menjadi berbeda karena perbedaan tentang
sesuatu yang dikecualikan, apakah yang dikecualikan itu adalah orang yang
celaka (ahli syîqâ’) untuk potongan ayat pertama, bukan orang yang celaka
(ahli syîqâ’) tapi masuk neraka, atau waktu mereka tinggal?
Untuk potongan ayat pertama, Al-Baghawî mengutip perkataan
sebagian ulama bahwa pengecualian dalam potongan ayat yang pertama adalah
untuk kaum mu‟min yang masuk neraka karena dosa yang telah diperbuat,
kemudian mereka dikeluarkan dari neraka, ia mengatakan:
-
72
هم هللا النار لُ دخُ املؤمنَّي يَ نَ مِ ومٍ اَل قَ عُ رجِ اء يَ قَ اء ِف أىل الشِ ثنَ فقال بعضهم: اَلستِ ْلن الذين فوىا, ث َيرجهم منها فيكون ذلك استثناء من غْياْلنس, بذنوب اقت
241سعداء استثنا ىم خرجوا من النارأ Maka sebagian dari Ulama berkata: pengecualian dalam ahli syiqâ’ kembali
pada orang-orang mu‟min yang dimasukkan ke Neraka oleh Allah karena
dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Kemudian mereka dikeluarkan dari
Neraka. Maka hal tersebut termasuk dalam Istitsnâ`u Min Ghairi al-Jinsi,
karena mereka yang dikeluarkan dari Neraka termasuk orang yang
beruntung yang dikecualikan oleh Allah242
.
Menurut Al-Baghawî, orang-orang yang dikeluarkan dari Neraka
tersmasuk orang yang beruntung yang dikecualikan oleh Allah. sedangkan
pengecualian untuk potongan ayat kedua adalah kembali ke masa saat mereka
tinggal di neraka sebelum masuk surga243
. Ibnu Katsîr244
mengatakan bahwa
terkait dengan potongan ayat tersebut ada banyak sekali perbedaan dari para
ahli tafsir seperti yang diceritakan oleh Abû al-Faraj ibn al-Ajauzî245
dan para
ahli tafsir lain, Ibnu Jarîr dalam kitabnya juga mengutip dan menguraikan
perbedaan-perbedaan tersebut dan ia memilih pendapat yang ia kutip dari
Khâlid ibnu Ma`dân, al-Dlahhâk, Qatâdah, dan Abî Sunân246
. Kemudian, ibnu
katsîr mengutip apa yang diriwayatkan oleh ibnu Abî Hâtim dari ibnu `Abbâs
dan Hasan bahwa pengecualian dalam potongan ayat pertama tersebut kembali
pada Ahli Tauhîd yang maksiat yang dikeluarkan oleh Allah dari Neraka
241 al-Baghawî, Tafsîr al-Baghawî, Vol. 4, 200. 242 Terjemah versi peneliti. 243 al-Baghawî, Tafsîr al-Baghawî, Vol. 4, 200. 244 Ibnu Katsîr, Tafsîru Vol. 7, 472-473. 245 Abû al-Faraj menyebutkan bahwa pengecualian untuk potongan ayat yang pertama (Ahli
Neraka) ada tujuh pendapat, sedangkan pengecualian untuk potongan ayat yang kedua (Ahli
Surga) ada enam pendapat. Selengkapnya lihat Abî al-Faraj, Zâdu al-Masîr, Vol 4, 160-161. 246 Selengkapnya lihat Al-Țabarî, Tafsîru al-Țabarî, Vol. 12, 579-583. Kemudian, terkait dengan
pendapat al-Dlahhâk bisa dilihat di al-Dlahhâk, Tafsîru al-Dlahhâk, Vol. 1, 455.
-
73
karena mendapat Syafa`ah dari ahli Syafa`ah247
, sedangkan pengecualian untuk
potongan ayat yang kedua, ibnu Katsîr mengatakan bahwa maksud
pengecualian ini adalah langgengnya mereka di surga dengan segala
kenikmatannya bukanlah perkara yang wajib bagi dzat Allah, melainkan hal ini
menjadi hak kekuasaan Allah248
.
Lalu bagaimana penafsiran dalam tafsir Al-Manâr tentang potongan
ayat tersebut? Dalam tafsirnya, Ridlâ menulis sebagai berikut:
ائَِم ُىَو اْلُمَعدُّ َِلُْم ِف اَْلِخرَِة، اْلُمَناِسُب ِلِصَفِة أَنْ ُفِسِهُم اْْلَُهوِل َأْي: أَنَّ َىَذا اْْلُُلوَد الدَّْلَناُه ِمرَارًا ِإَلَّ َما َشاَء -الظَّاِلَمِة الَّيِت َأَحاَطْت ِِبِْم لُْلَمُة َخِطيَئاِِتَا َوَفَساُد َأْخَلِقَها َكَما َفصَّ
َقى ِف قَ ْبَضِة َا ُوِضَع ِبَِشيَئِتِو، َوَسيَ ب ْ رَبَُّك ِمْن ََ ْغِيٍْي ِف َىَذا النِّظَاِم ِف َطْوٍر آَخَر، فَ ُهَو ِإَّنَّ 249َمِشيَئِتوِ
“Yakni, sesungguhnya keabadian ini dianggap pantas untuk mereka,
karena sifat mereka yang bodoh dan gelap, yang meliputi gelapnya
kesalahan mereka dan rusaknya akhlak mereka seperti yang telah kami
uraikan – kecuali jika Tuhanmu berkehendak untuk mengubah hukum ini
pada kondisi yang lain, karena sesungguhnya ia menetapkan sesuai
dengan apa yang Ia kehendaki250
.”
Hampir sama dengan apa yang telah dikutip Ibnu Katsîr dalam
pengecualian potongan ayat yang kedua, Ridlâ mengatakan bahwa jika
memang Tuhan menghendaki untuk mengubah hukum ini pada kondisi yang
lain maka ia akan mengubahnya, karena Ia menetapkan sesuai dengan
kehendak-Nya. Akan tetapi, meski Ridlâ dalam penafsiran potongan ayat ini
247 Ibnu Katsîr, Tafsîru Vol. 7, 473. 248 Ibid., 473. 249
Ridlâ, Tafsîr al-Manâr, 160. 250 Terjemah versi peneliti.
-
74
“pasrah total” terhadap kehendak Tuhan, namun dalam penafsiran potongan
ayat selanjutnya yaitu ُِإنَّ َربََّك فَ عَّاٌل ِلَما يُرِيد, Ridlâ mengatakan bahwa Tuhan tidak
akan mengubahnya. Ia mengatakan sebagai berikut:
َر َذِلَك فَ َعَلُو، َما َشاَء -ِإنَّ رَبََّك فَ عَّاٌل ِلَما يُرِيُد َكاَن، َوَما َلَْ َيَشْأ َلَْ َيُكْن، فَ ُهَو ِإْن َشاَء َغي َْتَضْتُو ِحْكَمُتُو، َوَما َكاَن َكَذِلَك َلَْ َيُكْن ِإخْ َا ََ تَ َعلَُّق َمِشيئَ ُتُو ِبَا َسَبَق ِبِو ِعْلُمُو َواق ْ َلًفا َوِإَّنَّ
َىَذا اْلَوِعيَد ُمَقيٌَّد ِبَِشيَئِتِو، َوِىَي ِلَشْيٍء ِمْن َوْعِدِه َوََل ِمْن َوِعيِدِه َكُخُلوِد أَْىِل النَّاِر ِفيَها، َفِإنَّ 251َُتْرِي ِبُْقَتَضى ِعْلِمِو َوِحْكَمِتوِ
“(Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana Terhadap Apa Yang Ia
Kehendaki) maksudnya, Jika Ia mengendaki yang lain maka akan
melakukannya, apa yang Ia kehendaki akan terjadi dan apa yang tidak Ia
kehendaki tidak akan terjadi, dan sesungguhnya kehendak-Nya bergantung
pada sifat ilmu-Nya dan kebijaksanaan kehendak-Nya. Karena itu, Ia tidak
akan mengingkari janji dan ancaman-Nya, seperti langgengnya Ahli
neraka di Neraka, maka sesungguhnya ancaman ini terikat dengan
kehendak-Nya. Dan hal ini berjalan sesuai dengan kehendak sifat ilmu-
Nya dan kebijaksanaan-Nya252
.”
Menurut Ridlâ, Tuhan adalah Maha Pelaksana terhadap apa yang Ia
kehendaki. Jika Ia berkehendak maka sesuatu pasti akan terjadi, dan jika Ia
tidak berkehendak maka sesuatu pasti tidak akan terjadi. Jika Ia menghendaki
yang lain maka Ia akan melakukannya. Namun, kehendak Tuhan masih
bergantung pada sifat ilmu-Nya dan sifat kebijaksanaan-Nya. Karena itu,
Tuhan tidak akan mengingkari janji dan ancaman-Nya, seperti langgengnya
Ahli neraka di neraka.
251
Ridlâ, Tafsîr al-Manâr, 161. 252 Terjemah versi peneliti.