OTORISASI HADÎTS SEBAGAI SUMBER KAIDAH BAHASA (Studi Analisis Pemikiran Ibnu Mâlik dalam Pembentukan Kaidah Nahwu)
Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister
Dalam Ilmu Agama Islam
Oleh;
Aang Saeful Milah 07.2.00.1.15.08.0090
Pembimbing;
Prof. Dr. D. Hidayat. MA
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2009 M/1430 H
i
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini;
Nama : Aang Saeful Milah
Nomon Induk : 07.2.00.1.15.08.0090
Prog. Studi : Pendidikan Bahasa Arab
Menyatakan bahwa tesis dengan judul “OTORISASI HADITS SEBAGAI SUMBER
KAIDAH BAHASA, studi analisis pemikiran Ibnu Mâlik dalam pembentukan kaidah
nahwu” adalah benar hasil karya sendiri yang didukung oleh berbagai sumber terkait
dan bukan merupakan jiplakan. Apabila ternyata di kemudian hari pernyataan saya
tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar dari
sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 03 Juni 2009
Penulis
Aang Saaeful Milah
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul “OTORISASI HADITS SEBAGAI SUMBER KAIDAH
BAHASA, studi analisis pemikiran Ibnu Mâlik dalam pembentukan kaidah nahwu”.
Yang ditulis oleh Aang Saeful Milah, dengan nomor induk: 07.2.00.1.15.08.0090.
Mahasiswa konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab telah disetujui untuk dibawa ke
dalam ujian tesis.
Jakarta, 04 Juni 2009
Pembimbing
Prof. Dr. D. Hidayat. MA.
iii
Tesis saudara Aang Saeful Milah, nomor induk 07.2.00.1.15.08.0090, yang berjudul
“Otorisasi Hadîts Sebagai Sumber Kaidah Bahasa; Studi analisis pemikiran Ibnu
Malik dalam pembentukan kaidah nahwu, telah diujikan dalam sidang Munaqasyah
Magister Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pada Hari Selasa, 21 Juli 2009, dan telah diperbaiki sesuai saran dan
rekomendasi dari Tim penguji.
TIM PENGUJI
Ketua Sidang/Penguji Pembimbing/Penguji
Dr. Udjang Thalib Prof. Dr. H. D. Hidayat, MA
Tanggal, Agustus 2009 Tanggal, Agustus 2009
Penguji Penguji
Dr. H. Sahabuddin, MA Prof. Dr. Moh. Matsna, HS, MA
Tanggal, Agustus 2009 Tanggal, Agustus 2009
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
ARAB - LATIN
Pedoman transliterasi Arab - Latin yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah:
A. Konsonan
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
Alîf ` Koma di Atas ا
Bâ’ B, b Be ب
Ta’ T, t Te ت
Tsâ’ Ts, ts Te dan es ث
Jîm J, j Je ج
Hâ’ H, h ح Ha (dengan garis di bawah)
Kha’ Kh, kh Ka dan ha خ
Dâl D, d De د
Dzâl Dz, dz De dan zet ذ
Râ’ R, r Er ر
Zây Z, z Zet ز
Sîn S, s Es س
Syîn Sy, sy Es dan ye ش
Shâd Sh, sh Es dan ha ص
Dhâd Dh, dh De dan ha ض
Thâ’ Th, th Te dan ha ط
Zhâ’ Zh, zh Zet dan ha ظ
Ain ‘ koma terbalik di atas‘ ع
Ghain Gh, gh Ge dan ha غ
v
Fâ’ F, f Ef ف
Qâf Q, q Qi ق
Kâf K, k Ka ك
Lâm L, l El ل
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
Mîm M, m Em م
Nûn N, n En ن
Wâw W, w We و
Hâ’ H, h Ha هـ
lâm alîf Lâ, lâ el dan a ال
hamzah ’ Koma di atas ء
Yâ’ Y, y Ye ي
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama Fathah A A Kasrah I I
Dhammah U U
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan Huruf Nama
Fathah dan yâ’ Ai a dan i ى ...و ... Fathah dan wâw Au a dan u
Contoh: Haula : حول Husain : حسني
C. Maddah
vi
Tanda Nama Huruf Latin Nama ــا fathah dan alîf Â, â a dan garis di atas ــ
ـي ـــ kasrah dan yâ’ Î, î i dan garis di atas
ـو ـــ dhammah dan wâw Û, û u dan garis di atas
D. Tâ’ Marbûthah
Tâ’ Marbûthah yang dipakai di sini dimatikan atau diberi harakat sukûn,
dan transliterasinya adalah /h/.
Kalau kata yang berakhir dengan tâ’ marbûthah diikuti oleh kata yang
bersandang /al/, maka kedua kata itu dipisah dan tâ’ marbûthah ditransliterasikan
dengan /h/.
Contoh:
al-Makkah al-Mukarramah : مةاملكر املكة
E. Syiddah
Syiddah/tasydîd ditransliterasikan di sini dilambangkan dengan huruf, yaitu
huruf yang sama dengan huruf yang bersyiddah itu.
Contoh:
ـنا nazzala : نزل rabbanâ : رب
F. Kata Sandang
Kata sandang ditulis dengan huruf kecil. Seperti;
al-Qamar : القمر al-Syams : الشمس
G. Pengecualian Transliterasi
Pengecualian ini adalah kata-kata bahasa arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa Indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, kecuali menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan ke-konsisten-an dalam penulisan.
vii
DAFTAR SINGKATAN
Cet. : Cetakan
dkk. : dan kawan-kawan
H. : Tahun Hijriyah
hal. : Halaman
HR. : Hadis Riwayat
J. : Jilid
j. : Juz
M. : Tahun Masehi
QS. : al-Quran Surat
r.a. : Radhiya Allâh ’anhu
SAW. : Sallallâhu ‘Alaihi wa Sallam
SWT. : Subhânahu wa Ta‘âla
t.th. : Tanpa tahun
t.tp. : Tanpa tempat penerbit
tp. : Tanpa penerbit
viii
ABSTRAK
Hadîts adalah sumber otoritaf bagi kaidah nahwu, setelah al-Qur’ân. dan Ibnu Mâlik adalah ahli nahwu pertama yang mengembangkan konsep berdalil dengan Hadîts dalam pembentukan kaidah nahwu. Meskipun diakui bahwa pada masa ahli nahwu klasik pun Hadîts telah menjadi sumber kaidah nahwu, hanya saja porsi yang diberikan ahli nahwu klasik pada Hadîts Nabi SAW, tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai teks bahasa yang paling fashih dibandingkan dengan lainnya.
Tesis ini sesungguhnya menentang pemikiran ahli nahwu masa kini Muhammad al-Khadr Husayn, bahwa hadîts-hadîts yang dapat dijadikan sumber kaidah nahwu adalah hadîts mutawâtir, shahîh dan hanya berupa hadîts qaulî, bukan hadîts fi’lî atau hadîts taqrirî. Dan tesis ini memperkuat pendapat Thaha Rawi bahwa seluruh teks Hadîts yang terkandung dalam berbagai kitab Hadîts yang masyhur dapat dijadikan sebagai dalil nahwu, tanpa syarat dan ketentuan sebagaimana yang disampaikan ahli nahwu lainnya.
Pertentangan akan otorisai hadîts ini sesungguhnya juga terjadi pada masa Ibnu Malik, sikap Ibnu Mâlik (w 672 H) yang berani menyatakan bahwa Hadîts adalah sumber kedua setelah al-Qur’ân, menuai kritikan dari ahli nahwu yang hidup sezaman dan setelahnya. Seperti Abu al-Hasan al-Dhâ’i (w 680 H) dan Abu Hayyân (w 745 H). Para penentang pemikiran Ibnu Mâlik ini beralasan bahwa lafadz yang ada pada Hadîts Nabi SAW adalah bukan lafadz Hadîts Nabi SAW sesungguhnya. Karena dalam ilmu Hadîts para ulama membolehkan meriwayatkan Hadîts dengan makna. Alasan kedua adalah, periwayat Hadîts lebih banyak berasal dari kalangan Ajam. Sehingga dikhawatirkan lafadz yang diriwayatkan oleh mereka bercampur dengan bahasa yang tidak fashih.
Untuk memperkuat pendapat Thaha Rawi di atas, penulis menganalisa pemikiran Ibnu Mâlik tentang otorisasi Hadîts melalui karya-karya Ibnu Mâlik di bidang nahwu, seperti; Syawâhid al-Taudhîh, Syarh al-Umdah, Syarh al-Kâfiyah. Karya tersebut menjadi data primer yang menjadi informan original yang menceritakan akan pemikiran Ibnu Mâlik. Kaidah-kaidah yang bersumber dari Hadîts dalam karya-karya tersebut menjadi objek penelitian penulis, untuk menghasilkan pandangan Ibnu Mâlik akan otorisasi Hadîts sebagai dalil kaidah nahwu Dari penelitian ini menghasilkan berbagai kesimpulan di antaranya; dalam pandangan Ibnu Mâlik hadîts qauli, fi’li, taqriri dapat dijadikan sebagai dalil nahwu. Karenanya setiap teks Hadîts yang ada dalam kitab Hadîts, meskipun penuturnya dari kalangan sahabat, tabi’in atau bahkan bukan Muslim sekalipun, seperti Abu Jahal. Kesemuanya dapat dijadikan sebagai sumber kaidah bahasa.
ix
Abstract While the holy qur’an is the primary source for Arabic grammar, al-Hadith (the sayings of Prophet Muhammad) constitutes the secondary source, rangking immediately next to the holy qur’an as far as rhetoric and eloquence. To a muslim, the Prophet’s speech (peace be upon him) exhibits such eloquence and rhetoric as would by far excel those of any other Arab. This should be evident from the fact thet he is Allah’s messenger upon whom has descended astricly Arabic holy scripture, the qur’an. As foe the Arabic language of the prophet’s companions and followers, it was marked by the fluency and naturalness of pure native Arabs, which later generations seem to lack. The later generations were in need of rules to govern their discourse. While al-hadith is uncontestedly the second source (next to the qur’an) for legislation and Arabic language, it is a standard reference for Arabic grammar according to two of the following three viewpoint; and it is my conviction that al-Hadith will for ever remain a source for citation and quotation-side bay side with the qur’an-a fact confirmed by the Prophet’s own saying: “I have passed over to you two things whith which you shall never go astray : Allah’s Book, and may own tradition”. I have grouped the controversial views over citation from al-hadith into three tendencies. The first view is that citation from the Prophet’s Hadith to substantiate Arabic grammar is perfectly valid. This position is supported by a number of grammarians like Ibn Kharuf (d. 209 H), Ibn Mâlik (d. 672 H) and Ibnu Hisyam (d. 671 H) This is bay far the strongest position. Ibnu Mâlik, considering al-hadith asource for grammatical reference, has allowed citation from it. Indeed, of all his contemporaries there is hardly anyone who has better claim for discriminating between true and false versions of Hadith than Ibnu Mâlik himself, who is well-renowneed among the shafi’ite circles; it is through Ibn Mâlik that al-Suyuthi has narrated a number of the prophet’s sayings; it is Imam Yunini, Ibn Jama’ah, and other eminent Muslim leaders that were his Companions. His Syawahid al-Taudhih wa al-Tashhih li Musykilat al-Jami’ al-Shahih (Elucidation and Explication of problems in the true Hadith Volume) provides sufficient evidence that this scholar has pursued only that which falls within the scope of his specialization, and that he is trustworthy as regards the Prophet’s sayings which he would take up or leave whenever the need for citation or quotation arises. The second position consists in the explicit rejection of quotation or citation from al-hadith. This position is held by a group of grammarians like Abu Hayyan (d. 745 H) Abu al-Hasan Ibn al-Dha’i (d. 680 H). Those who subscribed to this second position had two pieces of evidence to put forward: [a]. the possibility of-a meaning-narration. [b]. the occurrence of numerous instances of solecism, considering the fact that quite a number of narrators were non-Arabs and lacked the native command of Arabic grammar. The third tendency is the compromise position between permitting and refraining from citation. Of those who subscribe ti this view the most prominent is Abu Ishaq al-Syatibi (d. 790 H), who distinguishes two categories of Hadith.
x
جتريد البحث
ازدهار اللغة حصلوما. احلديث النبوي هو املصدر الثاين بعد القرآن يف البيان و الفصاحة وال يشك مسلم، وال يرتاب، يف أن فصاحة النيب ال تضاهيها فصاحة، وأسلوبه يف حديثه ال .العربية
وهو املبعوث باآليات يقاربه أسلوب، فلقد مدت عليه الفصاحة رواقها، وشدت به البالغة نطاقها، .الباهرة واحلجج، املرتل عليه قرآن عريب غري ذي عوج
لكن وقع االختالف بني العلماء يف االحتجاج باحلديث النبوي يف النحو العريب، إىل ثالثة صحة االحتجاج باحلديث يف النحو العريب، ذهب إىل ذلك طائفة من النحاة . االجتاه األول: اجتاهات
وهذا ). هـ761.ت(وابن هشام ) هـ672.ت(وابن مالك ) هـ609.ت(وف منهم ابن خروقد أفصح لنا ابن مالك دائرة االستشهاد باعتبار احلديث مصدرا . االجتاه عليه املعول، وإليه املصري
.من مصادرهاذهب إىل ذلك طائفة من . رفض االستشهاد باحلديث واالحتجاج به صراحة: االجتاه الثاين وقد متسك من قال ذا . هـ680(و أبو احلسن الضائع ) هـ745.ت(م أبو حيان النحاة منه
وقوع اللحن كثريا يف األحاديث، ألن كثريا من الرواة ) ب. (جواز الرواية باملعين) أ(االجتاه بعلتني وبعض النحاة يزيد تلك علة رفضهم وهي . كانوا غري عرب، واليعلمون لسان العرب بصناعة النحو
. التصحيف ووجود وضع األحاديثوقوع ومن أبرز من ج هذا املنهج هو أبو اسحاق . االجتاه الثالث التوسط بني املنع واجلواز مايعتين ناقله مبعناه دون لفظه، وهذا مل ) أ: (فقد قسم احلديث إىل قسمني) مـ790. ت. (الشاطيب
ملقصود خاص، كاألحاديث اليت قصد عرف اعتناع ناقله بلفظه،) ب. (يقع به استشهاد أهل اللسان . وهذا يصح االستشهاد به يف النحو. ا فصاحته واألمثال النبوية
هذا حبث يف موقف النحاة من احلديث، عشت فيه مع النحو منذ نشأته وظهور احلاجة إليه، واحلديث وحاولت أن أتلمس اجلهود األوىل لوضعه، واألصول األساسية اليت اعتمد عليها من القرآن
.وكالم العرب
xi
KATA PENGANTAR
Puja dan puji hanya milik Allah Yang Maha Luhur dan Agung. Dia adalah
Dzat Yang Maha Baik, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui keinginan hamba-hamba-
Nya dan Maha Memudahkan segala urusan kekasih-kekasih-Nya. Shalawat dan salam
senantiasa tercurah pada Rasulullah SAW.
Penelitian ini adalah respon dari kegusaran penulis dalam melihat karya-karya
ahli nahwu klasik, yang lebih banyak berdalil dengan syair dari pada Hadîts Nabi
SAW. Padahal sejauh pengetahuan penulis, bahasa yang dituturkan oleh Nabi SAW
adalah bahasa fashih, terbaik dari pada bahasa lainnya. Untuk mengetahui posisi
Hadîts dalam pemikiran ahli nahwu, penulis menelitinya melalui pandangan dan
pemikiran Ibnu Malik. Dipilihnya Ibnu Mâlik sebagai tokoh ahli nahwu, bukan tanpa
alasan. Ia adalah ulama yang memiliki pengaruh terbesar dalam pemikiran nahwu.
Dan ia disebut-sebut sebagai ahli nahwu yang paling perhatian dalam membela dan
mempertahankan bahasa Hadîts Nabi SAW. Maka itu, tidak heran jika teks Hadîts
Nabi SAW mendapatkan porsi yang lebih, jika dibandingkan dengan sikap ahli
nahwu sebelumnya, terhadap teks Hadîts.
Alhamdulillah, sejak penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan studi di
sekolah pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2007, hingga
selesainya penulisan tesis ini, penulis tidak mendapatkan hambatan-hambatan berarti.
Namun demikian tantangan yang memotivasi penulis untuk lebih kritis dan giat
dalam memperkaya pengetahuan dalam bidang yang penulis tekuni, tentunya tidak
sedikit. Keberhasilan penulis dalam melewati tantangan-tantangan tersebut, tidak
terlepas dari bantuan dan dorongan dari dosen, kawan, keluarga dan semua pihak
yang ada dibalik layar keberhasilan ini.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap
jajaran staf departemen Agama yang membiayai studi yang penulis lakukan. Kepada
segenap dosen dan civitas akademika sekolah pasca sarjana UIN Jakarta, yang telah
berkhidmah dalam mengembangkan wawasan dan pengetahuan penulis, khususnya
xii
pembimbing penulis; Prof. Dr. H. D. Hidayat, MA. Dan kepada para penguji tesis ini;
Dr. Udjang Thalib, Prof. Dr. Moh. Matsna, MA dan juga Dr. Syahabuddin, MA yang
sudah penulis anggap sebagai orang tua penulis sendiri.
Kepada orang tua penulis Bpk. Abdul Hakim dan segenap keluarga, ayah
mertua penulis Bpk. H. Kusnadi dan segenap keluarga, istri penulis Hj. Nendah
Nurjannah. S.Sos yang selalu mendorong penulis untuk lebih giat dalam menuntut
ilmu, dan putra penulis Saqy Fatih Ulwan, penulis ucapkan Jazakumullah.
Pada kesempatan ini juga, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.
KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, beliau adalah guru penulis di bidang Hadîts dan ilmu
Hadîts, ajaran dan bimbingannya telah membuat penulis berani untuk mengkaji
penelitian ini, yaitu otorisasi Hadîts sebagai sumber kaidah bahasa. Segenap guru-
guru pesantren Modern Darul Ulum lido, penulis haturkan jazakumullah, beliau-
beliau adalah guru-guru penulis yang pertama kali menanamkan ilmu agama dan
bahasa Arab pada diri penulis. Kawan-kawan penulis yang berada di berbagai penjuru
dunia; Belanda, Malaysia, Mesir, Arab Saudi, Sudan, Maroko dan juga seluruh
sahabat dan teman diskusi penulis, pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih
pada mereka atas kesediaannya sebagai sahabat dan teman diskusi.
Di antara yang berperan dalam keberhasilan penulisan tesis ini adalah staf
perpustakaan sekolah pasca sarjana UIN Jakarta dan LIPIA. Khususnya Kang
Mukhtar, Lc dan Ust. Dahri, Lc; keduanya staf perpustakaan LIPIA yang selalu
membantu penulis dalam mencarikan referensi-referensi primer, sehingga proses
penulisan tesis ini lebih ringan dari semestinya.
Dan terakhir, kepada seluruh muslimin dan muslimat yang selalu mendoakan
penulis, saudara-saudara penulis yang ada di Tasikmalaya, tempat kelahiran penulis
dan seluruh orang-orang yang menyayangi penulis, penulis haturkan terima kasih.
Allah yarhamuna wa yusahhil umurana insya Allah.[]
Pondokgede, 09 Agustus 2009 Aang Saeful Milah
xiii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN PENULIS……………………………………………………….. ii PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………………… iii PENGESAHAN TIM PENGUJI………………………………………………….. iv TRANSLITERASI ………………………………………………………………. v SINGKATAN…………………………………………………………………….. viii ABSTRAKSI……………………………………………………………………... ix KATA PENGANTAR……………………………………………………………. xii DAFTAR ISI……………………………………………………………………… xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………. 1 B. Permasalahan……..……………………………………………………... 13 C. Tujuan Penelitian………………………………………………………... 15 D. Signifikansi Penelitian……………………………………………………16 E. Kajian Terdahulu yang Relevan …………………………........................ 16 F. Metode Penelitian……………………………………………………….. 18
G. Sistematika Penulisan…………………………………………................ 19 BAB II HADITS DAN NAHWU
A. Kedudukan Hadits di antara Sumber Nahwu…………………………… 22 B. Nahwu pada Periode Klasik ……………………………………………. 35 C. Aliran Pemikiran Nahwu……………………………………………….. 39
BAB III IBNU MALIK DAN AHLI NAHWU KLASIK
A. Biografi Ibnu Malik……………………………………………………. 52 B. Hadits dalam Karya Ibnu Mâlik dan Ahli Nahwu Klasik……………… 57
BAB IV PENENTUAN IBNU MALIK BERKENAAN DENGAN HUKUM FI’IL, ISIM DAN HURUF
A. Ciri-ciri Isim…………………………………………………………… 65
B. Fi’il Syarth dari al-Mudhâri’ dan Jawabnya dari al-Mâdhi…………… 66
C. Tetapnya khabar al-Mubtada’ setelah laula…………………………… 68
D. Al-Asmâ’ al-Sittah…………………………………………….............. 71
E. Membatasi Mubtada’………………………………………………….. 77
F. Khabar terdiri dari jumlah……………………………………………… 77
xiv
G. Mengedepankan khabar dari Mubtada’………………………………... 78
H. Naib al-Fâ’il……………………………………………………………. 81
I. Al-Munada……………………………………………………………… 82
J. Al-Istitsna’……………………………………………………………… 83
K. Isim al-Tafdhil atau af’al al-Tafdhil……………………………………. 85
L. Menyembunyikan huruf al-Nidâ’……………………………………… 86
M. Menyembunyikan huruf fa’ pada jawâb syarth………………………… 87
N. Fi mengandung makna ta’lîl…………………………………………… 90
O. Penggunaan …………………………atau sebaliknya إذا pada tempat إذ 90
P. Al-Mashdar…………………………………………………………….. 93
Q. al-Mamnû’ min al-Sharf……………………………………………….. 93
BAB V PENENTUAN IBNU MALIK BERKENAAN DENGAN HUKUM
TAWABI’, MAF’UL DAN ANALISA HADITS IBNU MALIK A. Na’at dan Man’ut……………………………………………………. 95 B. Mudhâf dan Mudhâf ilaih…………………………………………… 96 C. Tamyiz……………………………………………………………….. 112 D. Athaf al-Nasaq………………………………………………………. 113 E. Al-Maf’ul Ma’ah atau Athaf………………………………………… 116 F. Al-Taukid al-Lafdzi………………………………………………….. 117 G. Menyembunyikan Muakkad………………………………………….. 118 H. Badal…………………………………………………………………. 121 I. Menjaga lahjat Arab………………………………………………….. 124 J. Analisis bentuk Hadits yang menjadi sumber kaidah Ibnu Malik…… 126 K. Pengaruh pemikiran otorisasi Hadits terhadap ahli Nahwu…………. 159
BAB VI PENUTUP
xv
A. Kesimpulan…………………………………………………………….. 166 B. Saran……………………………………………………………………. 169 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………... 170 DAFTAR HADITS……………………………………………………………….. 170 RIWAYAT HIDUP PENULIS……………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Di antara hasil Konferensi Dakwah Islamiyah ke-8, yang berlangsung pada
akhir tahun 2008 M di Libya,1 adalah seruan kepada seluruh umat Islam untuk
memperdalam dan mengkaji ilmu bahasa Arab. Karena bahasa Arab memiliki arti
penting bagi umat Islam, ia terpilih menjadi bahasa al-Qur’ân dan al-Hadîts; kitab
suci umat Islam. Dalam ibadah shalat, yang merupakan ibadah wajib dan sebagai
bentuk komunikasi hamba dengan Tuhan-Nya, lafadz yang digunakan adalah bahasa
Arab, tidak dibenarkan menggunakan selainnya. Maka itu sangat tepat jika seruan
tersebut menjadi perhatian ulama dunia, karena pada nyatanya tidak sedikit umat
Islam yang salah dan menyimpang dalam memahami teks al-Qur’ân, disebabkan
1 Konferensi ini digelar oleh World Islamic Call Society (WICS) sebuah lembaga dakwah
yang didirikan Libya pada tahun 1972 M. Perhelatan akbar ini mempertemukan 460 organisasi massa Islam dari 120 Negara, di antaranya Indonesia. Kegiatan ini diselenggarakan pada 27-30 oktober 2008 dengan pembahasan utama seputar tantangan dakwah di Era global.
xvi
kurangnya memahami ilmu bahasa Arab. Karenanya Ibnu Khaldûn (w 732 H)
mewajibkan bagi ahli agama untuk belajar dan memahami ilmu bahasa Arab.2
Secara historis, bahasa Arab termasuk pada kelompok bahasa Semit.3 Di
antara bahasa-bahasa Semit yang ada, bahasa Arab adalah bahasa yang paling maju.4
Dalam pandangan Ahmad Ghafur faktor inti yang mendukung kemajuan bahasa Arab
ini adalah kitab suci umat Islam, yaitu al-Qur’ân yang diturunkan dengan
menggunakan bahasa Arab, bahkan pada masa awal kemunculan Islam, al-Qur’ân
mampu menyatukan berbagai dialek5 yang ada di jazirah Arab.6 Selain karena kitab
suci tersebut dibaca dan ditelaah oleh seluruh umat Islam bahkan umat lainnya, dari
kedua teks tersebut juga banyak melahirkan makna-makna baru bagi kata-kata bahasa
Arab, sehingga satu kata memiliki makna lebih dari satu, atau satu jenis dzat
memiliki puluhan bahkan ratusan kata.7 Selain itu, ulama Islam sendiri banyak
2 Ibnu Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hal. 545. Senada dengan Ibnu Khaldûn, Ibnu
Fâris pun menyatakan bahwa mempelajari bahasa Arab merupakan kewajiban pokok bagi pengkaji al-Qur’ân dan al-Hadîts. Lihat Ibn Fâris, al-Shâhiby, hal. 50.
3 Jurjy Zaydân, al-Falsafah al-Lughawiyah wa al-Alfâdz al-‘Arabiyyah (Dâr al-Hilâl), hal. 48. 4 Bahasa yang pernah digunakan umat manusia, dapat dibagi menjadi tiga rumpun; Pertama
Indo-Eropa. Kedua; Semit-Hemit dan Ketiga Turania. Bahasa-bahasa yang serumpun dengan bahasa Arab saat ini sangat terbatas sekali penggunanya. Bahkan menurut para ahli bahasa, tidak sedikit bahasa yang pernah digunakan manusia sebagai alat komunikasi telah hilang dari peredaran dan tidak digunakan lagi. Ini tentu berbeda dengan bahasa Arab yang hingga saat ini kian maju dan berkembang. Lihat Mahmûd Fahmi Hijâzy, Ilm al-Lughah, madkhal târikhî muqâran fi dhau’i al-Turâts wa al-Lughat al-Sâmiyyah, (Kuwait), hal. 194-213 5 Adalah merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa sekalipun suatu masyarakat berbicara satu bahasa, namun tetap mengalami perbedaan dialek yang mencolok dari satu tempat ke tempat lain. Misalnya dalam penggunaan kata-kata qultu (قلت : saya bicara), orang Mesir mengungkapkan dengan kata ult, diganti dengan u dari kosakata q. Orang Yaman mengatakan dengan ungkapan gultu kendati dalam menulis kata-kata semua orang Arab akan mengatakannya secara identik. Di Makkah, mayoritas Muslim memiliki latar belakang budaya yang beragam, karena Islam berkembang melewati batas kesukuan dan mencakup seluruh jazirah Arab, sehingga berbagai aksen terjadi kontak satu sama lain. lihat M.M. Al-A’zami, The History of the Qur’anic text. Terjemah Ali Mustafa Yaqub, Sejarah Teks al-Qur’ân (Jakarta; Gema Insani 2005), hal. 66-67. Dan untuk lebih mengenal perbedaan dialek-dialek Arab masa lampau, dapat dilihat dalam buku, Dirâsat al-Lahjât al-Arabiyyah al-Qadîmah, karya Dâwud Sallûm (Beirut; Maktabah al-Nahdhah al-Arabiyah 1987), cet. Ke-1 6 Fahd al-Rûmy, Khashâish al-Qur’ân, (Riyâdh; 1410 H), cet. Ke-5, hal. 60 7 Seperti kalimat shalat yang semula hanya bermakna ‘do’a’ kini mengalami perluasan makna. Antara lain bermakna perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. lihat Ahmad Abdul Ghofur Aththâr, Difâ’ an al-Fushha (Makkah; 1979), cet. Ke-1, hal. 35.
xvii
berkontribusi pada kemajuan bahasa Arab, misalnya dengan munculnya ilmu tafsîr,
hadîts, filsafat dan keilmuwan lainnya yang menuntut adanya istilah-istilah baru
dalam keilmuwan tersebut,8 sehingga menambah kosa kata dalam bahasa Arab.
Di antara faktor pendukung kemajuan bahasa Arab lainnya adalah
keistimewaan dari segi unsur-unsur kebahasaan yang dimiliki bahasa Arab itu sendiri.
Secara umum suatu bahasa mempunyai dua macam unsur, al-Shaut (bunyi) dan al-
Dilâlah (makna). Al-Dilâlah ini merupakan kajian leksikologi, sintaksis, morfologi
dan stilistik,9 dalam bahasa Arab dikenal dengan Qâ’idah Nahwiyah dan Qâ’idah
Sharfiyyah.10 Dari sisi keistimewaan bunyi, bahasa Arab tidak perlu diragukan lagi,
karena ia memiliki lima belas makhraj (tempat keluar) huruf dan tiga belas sifat
bunyi.11
Ibnu al-Atsîr (w. 606 H) menyatakan bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang
terjaga dan tidak dimasuki oleh kesalahan dan kecacatan, hal itu berlangsung hingga
terjadi ekspansi ke beberapa daerah yang menyebabkan bangsa Arab bercampur dan
bergaul dengan bangsa-bangsa lain.12 Sesungguhnya terjaganya kualitas keluhuran
bahasa Arab tidaklah mengherankan, karena masyarakat Arab sejak zaman jahiliyah
Bahkan menurut De’ Hammaer ditemukan kata yang menunjuk kepada unta dan keadaannya sebanyak 5.644 kata. Lihat M. Qurais Syihab, Mukjizat al-Qur’ân, hal. 96. 8 Ahmad Abd al-Ghafûr Aththâr, Difâ’ an al-Fushha, hal. 36 9 Ali Abd al-Wâhid Wâfi, Fiqh al-Lughah hal 164 10 Dalam menganalisis kebahasaan kedua kaidah ini tidak dapat dipisahkan, karena kedua-duanya merupakan kaidah yang khas dalam bahasa Arab, dan menjadi pembeda dengan bahasa-bahasa lainnya. Bahasa Arab mempunyai keistemawaan yang luar biasa dalam aspek morfologis dan sintaksis. Di antara keistimewannya itu adalah; Pertama; Dari aspek morfologis dan sintaksis, bahasa Arab adalah bahasa paling luas di antara bahasa-bahasa Semit lainnya. Kedua; Dalam bahasa Arab terdapat banyak bentuk jama’ taksîr, yang di dalam bahasa Semit lainnya hanya terdapat satu bentuk saja. Ketiga; Satu kata dasar bahasa Arab dapat melahirkan banyak kata, baik dengan perubahan harakat maupun penambahan atau tanpa penambahan huruf, seperti قال (qâla) yakni qâf, wâwu dan lâm, dapat dibentuk enam bentuk kata yang kesemuanya mempunyai makna. Selengkapnya dapat dilihat di Lisân al-Arab karya Ibnu Mandzûr. 11 Untuk mendapatkan keterangan lebih mendalam tentang pembahasan bunyi dalam bahasa Arab, dapat dilihat pada Ali Abd al-Wâhid Wafi, Fiqh al-Lughoh, hal. 165-168 12 Ibn al-Atsîr, al-Nihayah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, (Beirut; Dâr al-Kutub al-Ilmiyah 1997), cet. Ke-1, juz. 1, hal. 9
xviii
dan permulaan Islam berkomunikasi dengan fashâhah.13 Pada masa itu bahasa yang
digunakan adalah bahasa fashih, baik dalam ragam frozen, formal maupun
consultative. Bahkan sebagian peneliti bahasa mengungkapkan bahwa bahasa fashih
merupakan tabiat dan karakter bangsa Arab pada zaman jahiliyah dan permulaan
Islam.14 Terjaganya bahasa Arab fashih ini berlangsung hingga akhir abad keempat
hijriyah di daerah pedesaan, sedangkan di perkotaan hingga akhir abad kedua
hijriyah.15
Pada masa jahiliyah,16 bangsa Arab hidup bersuku-suku dengan tingkat
kefashihan yang berbeda-beda. Letak geografis tempat tinggal setiap suku yang
berbeda itu telah mengakibatkan perbedaan tingkat kefashihan antara satu tempat
dengan tempat lain. Suku pedalaman jazirah Arab memiliki tingkat kefashihan yang
berbeda dengan suku-suku yang berada di pinggiran jazirah Arab. Dan suku yang
menetap di pedalaman mempunyai tingkat kefashihan paling tinggi, suku-suku
tersebut adalah suku Tsaqîf, Kinânah, Hudzayl, Khuzâ’ah, Gatafân, Tamîm dan
Asad.17 Sedangkan suku-suku yang menetap di pinggiran jazirah Arab mempunyai
bahasa yang kurang fashih sejak zaman jahiliyah. Ini terjadi karena suku-suku
tersebut telah bercampur dengan orang-orang Ajam (non-arab).
13 Al-Fashâhah berarti ungkapan yang jelas dan nyata, serta terbebas dari kesalahan secara lingusitik. Adapaun bahasa Arab Fashih adalah bahasa Arab yang terhindar dari berbagai kerancuan, yaitu bahasa Arab baku atau bahasa Arab standar. Lihal lisân al-Arab karya Ibnu Mandzûr, juz. 5, hal. 3419-3420
14 Adonis, An Introduction to Arab Poetics, (Texas, University of Texas, Austin 1990), hal. 5 15 Abbâs Hasan, Al-Lughah wa al-Nahwu Bayna al-Qadîm wa al-Hadîts ( Mesir; Dar al-Ma’ârif), cet. Ke-2, hal. 24 16 Jurzy Zaydan membagai periode Jahiliyah pada dua masa. Jahiliyah pertama adalah sebelum masehi hingga abad kelima masehi, menurut Zaydan bahasa Arab pada masa ini belum widespread (tersebar luas). Adapun masa Jahiliyah kedua dimulai dari abad kelima masehi hingga datangnya Islam, masyarakat pada masa ini merupakan masyarakat yang pandai dalam berbahasa Arab, mereka berkomunikasi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya, karena itu pada masa ini bahasa Arab yang digunakan adalan bahasa yang baik, selamat dari kecacatan dan terpatri kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Lihat Jurjy Zaydan, al-Lughah al-Arabiyyah Kâ’in Hayy, hal 12-14. lihat juga Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyat al-Lughah al-Arabiyyah, hal. 42 17 Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hal. 555
xix
Dengan bercampurnya Ajam dan Arab, dan intensnya komunikasi antara
keduanya telah berdampak langsung pada kualitas bahasa di masyarakat tersebut,
sehingga dalam perjalanannya, muncullah Lahn18 dalam bahasa Arab, yang kemudian
membentuk bahasa yang disebut dengan bahasa ‘Amiyah.19 Akibatnya di beberapa
suku, pengguna bahasa Arab fushhah mengalami degradasi, kecuali Quraisy dan Bani
Sa’ad.20 Ini karena letak geografis Quraisy jauh dari kota-kota di luar Arab, sehingga
Quraisy memiliki bahasa yang paling fashih di antara suku lainnya.21 Dengan
munculnya lahn karena akibat kentalnya komunikasi Ajam dan Arab, berpengaruh
pula pada bacaan al-Qur’ân sebagian Muslim, bahkan kesalahan dalam membaca al-
Qur’ân ini, ditemukan pada generasi Muslim pertama.22
Sesuai dengan kenyataan di atas, sejak Islam mulai dijadikan sebuah
keyakinan masyarakat Arab, perhatian terhadap penyusunan kaidah-kaidah penulisan,
pembacaan dan penuturan bahasa Arab dirasakan sangat penting. Maka beberapa
ulama yang prihatin akan hal di atas, berusaha semaksimal mungkin, agar bahasa
18 Ibnu Mandzûr mendefinisikan lahn dengan ترك الصواب يف القراءة والنشيد (kesalahan membaca dan menyanyi (membacakan syair). Sedangkan menurut al-Barr dan yang lainnya, salah satu makna lahn adalah kesalahan dalam i’râb. lihat lisân al-Arab karya Ibnu Mandzûr, juz. 5, hal. 4013-4014 19 Bahasa Âmiyah adalah ragam bahasa yang dipergunakan oleh komunitas bangsa Arab dalam pergaulan di antara mereka, dan tidak terikat dengan kaidah gramatika bahasa. Tentunya hal itu berbeda dari bahasa Arab fushha. 20 Para ahli bahasa berbeda pendapat tentang awal kemunculan lahn dalam bahasa Arab. Ada yang berpendapat setelah munculnya Islam, dengan alasan sebelum datangnya Islam masyarakat Arab terbiasa berbicara fashih. Namun hemat penulis, lahn sesungguhnya telah ada sejak zaman jahiliyah, ini dikarenakan sebagian suku bangsa Arab, pada masa itu sudah bercampur dengan masyarakat non-Arab. Dan istilah lahn sendiri sudah dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW. Ini sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda; “Aku adalah orang Quraisy dan hidup pada suku Bani Sa’ad, jadi bagaimana bisa saya mempunyai lahn. Lihat al-Suyûthi, al-Muzhir Juz. 2, hal. 397 21 Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hal. 555 22 Diriwayatkan bahwa Imam Ali k.w mendengar orang Arab membaca al-Qur’ân, surah al-Hâqqah ayat 37 padahal yang , ال يأكله إال اخلاطئني
benar adalah إال اخلاطئون konon inilah yang menjadi motivasi Imam Ali untuk merumuskan Ilmu Nahwu. Lihat Abd al-Karim Muhammad al-As’ad, al-
Wasîth fi Târikh al-Nahwi al-‘Araby, hal. 28.
xx
Arab terjaga kemurniannya, diantara yang paling populer adalah Ali bin Abi Thâlib
dan Abu al-Aswad al-Du`aly.23
Maka itu sesungguhnya motivasi penulisan gramatika bahasa hadir dari
kesadaran masyarakat generasi pertama akan pentingnya memahami al-Qur’ân secara
mendalam.24 Sehingga peletakan kaidah nahwu merupakan kebutuhan yang tidak
dapat dihindarkan, terlebih bagi Ajam yang belum memahami bahasa Arab fashih
dengan sempurna. Selain motivasi agama, ada motivasi non-agama yang menguatkan
masyarakat Arab untuk meletakkan kaidah gramatika dalam bahasa mereka, yaitu
kebanggaan akan keluhuran dan keistimewaan yang terdapat dalam bahasa Arab.25
Mereka khawatir bahasa yang luhur ini akan rusak oleh lahn, karena becampur
dengan bahasa Ajam. Itu sebabnya mengapa kaidah bahasa Arab perlu ditulis dan
ditetapkan, antara lain sebagai alat kontrol bagi kefashihan bahasa itu sendiri.
Dalam proses penetapan kaidah gramatika bahasa Arab, para ulama nahwu
tentunya berpijak pada sumber bahasa Arab, Ahmad menyatakan bahwa sumber
nahwu terdiri dari dua macam; Mashâdir Manqûlah dan Mashâdir Ma’qûlah. Sumber
al-Manqûl terdiri dari al-Qur’ân, Hadîts Nabi SAW, dan perkataan orang Arab baik
yang berbentuk Sya’ir ataupun Natsr. Adapun al-Ma’qûl terdiri dari Qiyâsh dan
Ishtishhâb atau yang lainnya, disebut demikian karena kedua sumber tersebut
diperoleh melalui akal.26
23 Abu al-Aswad menceritakan bahwa ia bertemu Amîr al-Mu’minîn Ali. k.w, di tangannya terdapat Raq’ah. Kemudian aku bertanya; wahai
Amir al-Mu’minin apa ini? Dia menjawab; Aku telah mengamati perkataan masyarakat, dan aku temukan perkataannya telah rusak karena seringnya
berkomunikasi dengan Ajam, maka aku berinisiatif untuk melakukan sesuatu agar mereka dapat merujuk dan kembali pada ini (raq’ah). Kemudian Ali
menyerahkan Raq’ah itu kepadaku, kudapati bertuliskan الكالم كله اسم وفعل وحرف، فاالسم ما أنبأ عن املسمي، والفعل ما أنيبء به واحلرف ما جاء ملعين. . Kemudian Imam Ali
berkata kepadaku; “Selesaikan nahwu ini, dan tulislah jika kamu menemukan kesalahan lainnya. lihat Abdul Karim Muhammad al-As’ad, al-Wasîth fi Târikh
al-Nahwi al-‘Araby, hal. 28
24 Khadr Musa Muhammad Hammûd, Al-Nahwu wa al-Nuhât, (Beirut; Alam al-Kutub 2003), hal. 10
25 Bahasa Arab adalah satu-satunya bahasa yang mendapatkan pujian dari Pencipta Alam. Ini tergambar dalam firman-Nya; اإن تعقلون لعلكم عربيا قرآنا ناهأنزل (QS. Yusuf: 02). Lihat juga QS Al-Ra’d: 37, QS Thoha: 113, QS al-Zumar:
28, QS al-Syura: 7. 26 Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahwi al-Araby (Dâr al-Ma’rifah al-Jâmi’iyyah 2002), hal. 31
xxi
Tidak ada perselisihan di kalangan ahli nahwu dalam menjadikan al-Qur’ân
sebagai sumber dalam penetapan kaidah nahwu. Hal ini berbeda dengan Hadîts Nabi
SAW, yang merupakan sumber kedua setelah al-Qur’ân dalam syariat. Dalam ilmu
bahasa Arab, otoritas Hadîts sebagai sumber kaidah bahasa menjadi kontroversi,
padahal Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling fashih dalam berbahasa
Arab di antara sahabat dan seluruh umatnya. Dan pada prakteknya Hadîts kurang
diperhitungkan dalam penetapan kaidah nahwu.27 Kalaupun ada teks Hadîts Nabi
SAW dalam sebagian literature ilmu nahwu, itu sebatas pelengkap dan penguat atas
sumber lain yaitu al-Qur’ân dan perkataan orang Arab, tidak dimaksudkan sebagai
hujjah dalam penetapan kaidah nahwu.28
Kaitannya dengan kontroversi otoritas Hadîts di atas, ahli nahwu terbagi ke
dalam tiga pandangan berkenaan dengan otoritas Hadîts sebagai sumber kaidah
nahwu; Pertama, madzhab yang membolehkan. Madzhab ini adalah madzhab Ibnu
Mâlik, ia adalah ahli nahwu yang dengan tegas menyatakan bahwa Hadîts lebih
otoritatif dibandingkan dengan syair. Alasannya, perkataan Nabi SAW merupakan
perkataan paling fashih dibandingkan dengan yang lainnya. Inilah yang menjadi
alasan utama madzhab ini dalam mempertahankan dan membela Hadîts sebagai dalil
nahwu. Madzhab ini pun membantah jika peran Hadîts dalam melahirkan kaidah
nahwu baru muncul belakangan. Dalam pandangan madzhab ini, ahli nahwu klasik
pun telah berdalil dengan Hadîts, hanya saja kuantitas Hadîts yang digunakan tidak
sebanyak Hadîts yang digunakan oleh ahli nahwu yang hidup pada abad ketujuh dan
seterusnya. Maka itu ulama madzhab ini berkeyakinan kuat bahwa Hadîts adalah
sumber kaidah nahwu yang sah, keyakinan ini terwujud dalam karya-karya yang lahir
dari ulama madzhab ini. Dalam penetapan kaidah nahwu mereka menjadikan Hadîts
sebagai dalil atas kaidahnya.
27 Abd al-Hamid al-Syalqany, Mashâdir al-Lughah, (Riyâdh; Jâmi’ah al-Riyâdh 1980 M), hal. 55 28 Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahwi al-Araby, hal. 47-48
xxii
Tidak dipungkiri bahwa sebelum Ibnu Mâlik, ada ulama lain yang menjadikan
Hadîts sebagai dalil nahwu yaitu al-Suhayli (w 581 H), beliau disebut sebagai orang
pertama yang berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu. Meskipun ada
juga ulama lain yang mengatakan bahwa Ibnu Kharûf (w 609 H) adalah orang
pertama yang berdalil dengan Hadîts dalam pembentukan nahwu, namun pendapat ini
dibantah oleh Muhammad Ied, ia mengatakan bahwa pernyataan ulama kontemporer
yang mengatakan hal demikian adalah keliru, karena al-Suhayli hidup lebih awal
dibandingkan dengan Ibnu Kharûf. Selain itu al-Suhayli juga disebut sebagai
inspirator bagi Ibnu Mâlik dalam berdalil dengan Hadîts ketika menetapkan kaidah
bahasa Arab.29
Sanggahan atas pandangan para penentang Hadîts, ditegaskan pula oleh ahli
nahwu kontemporer yang mendukung madzhab ini, dengan dua jawaban; Pertama,
memang benar ada tradisi periwayatan Hadîts dengan makna, namun itu terjadi pada
masa awal Islam, sebelum kodifikasi Hadîts di kitab-kitab yang dikenal saat ini.
Karena pada awal Islam, bahasa Arab yang mereka gunakan belum rusak,
kefashihannya masih terjaga, kalaupun terjadi periwayatan dengan makna, itu hanya
pergantian lafadz Nabi SAW dengan lafadz yang sinonim. Kedua, adanya anggapan
bahwa ulama klasik tidak menggunakan Hadîts sebagai dalil gramatika, maka
sesungguhnya sikap ulama klasik tersebut tidaklah menunjukkan larangan berdalil
dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu.30 Melainkan karena tidak semua ahli
gramatika bahasa Arab menguasai periwayatan Hadîts. Sehingga absennya Hadîts
dalam karya mereka, bukanlah menunjukkan keraguan mereka akan otoritas Hadîts
sebagai sumber kaidah bahasa, melainkan karena faktor lain, seperti belum maraknya
tradisi periwayatan Hadîts pada masa itu. Ini berbeda dengan periwayatan syair, yang
mudah didapatkan dari setiap orang Arab.
Kesimpulannya menurut madzhab ini Hadîts adalah dalil dalam penetapan
kaidah nahwu, sehingga tidak perlu diragukan keotentikannya sebagai ucapan Nabi
29 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 87 30 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 9
xxiii
SAW. Karena kemampuan Nabi SAW dalam berbicara bahasa Arab fashih tidak ada
tandingannya. Maka itu tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menolak ucapan Nabi
SAW sebagai dalil. Adapun bantahan mereka terhadap para penentang Hadits sebagai
dalil Nahwu akan dianalisa dalam sub bab berikutnya.
Kedua, madzhab yang tidak membolehkan. Sebagian ahli sejarah menyatakan
bahwa pelopor ulama nahwu yang tidak membolehkan berdalil dengan Hadîts dalam
menetapkan kaidah nahwu adalah Ibnu al-Dhâ’i (w 686 H) dan Abu Hayyân (w 745
H). Ibnu al-Dhâ’i dikenal sebagai orang pertama yang mengkritisi konsep berdalil
dengan Hadîts dalam pembentukan kaidah nahwu, dan ia menyimpulkan bahwa para
ahli bahasa terdahulu seperti Sybawaih dan lainnya tidak pernah berdalil dengan
Hadîts, sikap mereka ini dalam pandangan Ibnu al-Dhâ’i disebabkan karena dalam
ilmu Hadîts ada kaidah yang menyatakan bolehnya meriwayatkan Hadîts dengan
maknanya saja.31 Sehingga lafadz yang disebut sebagai Hadîts Nabi SAW
dimungkinkan merupakan lafadz periwayat Hadîts. Pendapat ini kemudian diikuti
oleh muridnya, Abu Hayyân. Dan kemudian Abu Hayyân menjadi orang pertama
yang mengkritisi pemikiran Ibnu Mâlik, yang nota bene banyak berdalil dengan
Hadîts dalam menetapkan kaidah nahwu32.
Ulama madzhab ini menjelaskan, di antara sebab penolakan mereka adalah,
karena ketidakyakinan mereka akan lafadz Hadîts tersebut merupakan lafadz
Rasulullah SAW, ketidakyakinan ini berdasarkan dua hal; Pertama, adanya kaidah
yang mengatakan bolehnya bagi periwayat Hadîts untuk meriwayatkan suatu Hadîts
dengan maknanya saja,33 sehingga dimungkinkan lafadz Hadîts yang ia riwayatkan
bukanlah lafadz yang diucapkan Nabi SAW, namun lafadz dari periwayat Hadîts
tersebut. Buktinya ditemukan satu kisah tentang peristiwa pada masa Nabi SAW,
diriwayatkan dengan berbagai lafadz yang berbeda, padahal peristiwanya sama dan
31 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal 85 32 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz 1, hal. 14. Lihat juga di Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-
Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawi, hal. 47 33 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 86 dan lihat juga
Sa’îd al-Afghâni, fi Ushûl al-Nahwi, hal. 48
xxiv
sumbernya juga sama yaitu Rasulullah SAW. Menurut madzhab ini, hal tersebut
membuktikan bahwa Hadîts yang dikenal sekarang, lafadznya tidaklah pasti sama
dengan lafadz yang diucapkan Nabi SAW. Contohnya adalah riwayat;34
)ملكتكها مبا معك من القرآن) ( زوجتكها مبا معك من القرآن( )ها مبا معك من القرآنخذ (
Maka itu dari beberapa riwayat di atas nampaklah bahwa Rasulullah SAW
tidak melafadzkan seluruh lafadz tersebut, bahkan boleh jadi sebagiannya pun tidak,
kendati tidak menutup kemungkinan bahwa Nabi SAW menuturkan kata sinonim
dengan lafadz tersebut. Dengan demikian diyakini bahwa periwayat tidak mengutip
lafadz Nabi SAW secara keseluruhan, namun hanya menyampaikan maknanya, yaitu
kata yang sinonim dengan lafadz yang digunakan Nabi SAW. Bisa demikian karena
dalam Hadîts, yang diprioritaskan adalah makna yang disampaikan oleh Nabi SAW,
bukan lafadznya. Ini sesuai dengan apa yang dituturkan oleh salah satu periwayat
Hadîts, yaitu Sufyân al-Tsauri, “Jika aku mengatakan bahwa Hadîts yang aku
sampaikan adalah sebagaimana yang aku dengar, maka janganlah percaya, karena
yang aku sampaikan hanya maknanya saja.35
Kedua, terjadinya lahn pada ucapan periwayat Hadîts, ini dikarenakan
periwayat Hadîts mayoritas bukan penduduk Arab asli, melainkan penduduk di luar
Arab, dan mereka tidak memahami dengan baik dzauq bahasa Arab yang benar.
Dengan demikian dimungkinkan sekali Hadîts yang mereka riwayatkan
terkontaminasi dengan ucapan mereka.36 Dari kedua alasan tersebut, madzhab ini
berkeyakinan bahwa Hadîts tidak layak dijadikan dalil dalam penetapan kaidah
bahasa, karena tidak adanya kepastian bahwa lafadz Hadîts tersebut benar-benar
lafadz yang dituturkan Nabi SAW.
34 (HR. al-Bukhâri), Hadîts ini diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad. ini mengisahkan adanya
seorang wanita yang menawarkan diri pada baginda Nabi SAW untuk dijadikan istri, namun kemudian ada seseorang yang menginginkan perempuan tersebut. Dan Nabi SAW pun menikahkannya, meskipun dengan maskawin bacaan al-Qur’ân, karena laki-laki tersebut tidak memiliki harta. Hadîts ini diriwayatkan oleh berbagai periwayat Hadîts dengan lafadz yang berbeda, seperti tercantum di atas.
35 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 11 36 Hasan Handawi, Manâhij al-Sharfiyyân wa Madzâhibuhum, hal. 146. Dan lihat Al-Suyûthi,
Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 42
xxv
Ketiga, madzhab pertengahan. Di antara kedua madzhab di atas, terdapat
madzhab ketiga, yaitu sebagian ulama yang secara tegas menyatakan bahwa mereka
tidak berpihak pada salah satu di antara kedua madzhab tersebut. Karena itu, ulama
madzhab ini terkadang berdalil dengan Hadîts dan terkadang juga tidak, mereka
memiliki konsep tersendiri tentang otorisasi Hadîts, yang tentunya berbeda dengan
kedua madzhab pendahulunya. Pelopor madzhab ini adalah Imam al-Syâtibi (w 790
H), beliau mengatakan, “Kami belum pernah menemukan satu ulama nahwu pun
yang berdalil dengan Hadîts, yang kami temukan adalah mereka berdalil dengan syair
dalam penetapan kaidah nahwu, karena dalam Hadîts yang dinukil adalah maknanya
saja, bukan lafadznya. Sehingga lafadznya berbeda-beda meskipun dalam konteks
yang sama, ini tentunya berbeda dengan syair, dalam syair para periwayat lebih fokus
pada lafadznya.37
Dalam pandangan al-Syâtibi, dari sisi penukilan Hadîts terbagi ke dalam dua
macam; pertama, Hadîts yang dinukil hanya maknanya saja, tidak dengan lafadznya,
maka Hadîts ini tidak dapat dijadikan dalil. Kedua, Hadîts yang dinukil oleh
periwayat dengan makna dan lafadznya dengan maksud-maksud tertentu, yaitu untuk
menunjukkan kefashihan bahasa Nabi SAW, seperti surat-surat yang ditulis oleh
beliau, misalnya surat kepada Hamdân, Wâ’il bin Hajar, dan juga peribahasa
Rasulullah SAW. Maka itu menurut madzhab pertengahan, kategori Hadîts ini dapat
dijadikan dalil dalam pembentukan kaidah nahwu.38
Ulama kontemporer berbeda pendapat apakah al-Suyûthi bagian dari yang
sepakat atau tidak akan otoritas Hadîts sebagai dalil nahwu, karena al-Suyûthi tidak
menyatakan secara terang-terangan bahwa ia menolak Hadîts atau menerimanya
sebagai dalil nahwu. Meskipun dalam karya-karya bahasanya ia kerap menampilkan
Hadîts sebagai dalil bahasa.39 Karena itu al-Baghdâdi mengkategorikan al-Suyuthi
37 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal 90 38 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 12 39 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 91
xxvi
bagian dari madzhab pertengahan, kesimpulan ini dihasilkan setelah ia menganalisa
pendapat al-Suyûthi dalam kitab al-Iqtirâh.40
Barulah pada abad ketujuh hijriyah pandangan ahli nahwu terhadap otoritas
Hadîts mulai terbenahi, seiring hadirnya ahli nahwu berasal dari Andalusia yaitu Ibnu
Mâlik, yang secara terang-terangan membolehkan berdalil dengan Hadîts dalam
penetapan kaidah nahwu. Bahkan sejak lahirnya al-Kitab karya Sybawaih (w. 180 H)
hingga kehadiran Syarh Umdah al-Hâfidz karya Ibnu Mâlik (w. 672 H), menurut
penelitian ulama bahasa hanyalah Ibnu Mâlik yang terbanyak berdalil dengan Hadîts
dalam penetapan kaidah nahwu, yaitu berjumlah empat puluh tujuh (47) Hadîts yang
tertuang dalam karyanya Syarh Umdah al-Hâfidz.41 Komitmen Ibnu Mâlik dalam
membela keunggulan Uslub bahasa Arab dalam Hadîts ini juga dibuktikan dengan
salah satu karyanya, yaitu Syawâhid al-Tawdhîh wa al-Tashhîh.
Karenanya tidaklah mengherankan jika kemudian pemikiran nahwu Ibnu
Mâlik dikenal bahkan diikuti oleh ahli bahasa Arab yang datang kemudian, bahkan
pemikiran-pemikirannya tentang Ihtijâj bi al-Hadîts dalam pembentukan kaidah
nahwu pun menjadi rujukan utama dibandingkan ulama lainnya.
Kepopuleran pemikiran Ibnu Malik ini tersebar hingga negera Indonesia,
padahal secara geografis, Indonesia sangat jauh dengan tempat di mana Ibnu Mâlik
menetap. Namun karya Ibnu Mâlik tidak asing di kalangan santri pengkaji bahasa
Arab. Di antara karya yang paling populer adalah Alfiyah Ibnu Mâlik,42 yang memuat
seribu bait kaidah ilmu bahasa Arab. Di beberapa pesantren kitab ini adalah puncak
dan standar kemahiran santri dalam bahasa Arab.43 Bahkan santri yang mampu
menghapal bait-bait dalam kitab Alfiyah dianggap santri istimewa. Namun yang
disayangkan, sedikit sekali pengkaji ilmu bahasa Arab yang menggali pemikiran-
pemikirannya dalam konteks sumber penetapan kaidah nahwu, dan pandangannya
40 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 13
41 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 93 42 Pada awalnya kitab ini bernama al-Khulâshah, namun kemudian dikenal dengan Alfiyah, disebut demikian karena dalam kitab tersebut terkandung seribu bait kaidah nahwu.
43 Mujamil Qomar, Pesantren: dari transformasi metodologi menuju demokratisasi, hal. 286
xxvii
terhadap Ushûl al-Nahwi, khususnya terhadap Hadîts. Padahal mengenal tokoh dan
pemikirannya tidak kalah penting dari pada mengenal buah karyanya.
Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa Hadîts dan ilmu bahasa Arab adalah
bagian dari ilmu agama, karenanya mengkajinya adalah merupakan usaha yang tidak
dapat dihindarkan. Nampaknya ungkapan Muhammad bin Sirîn (W. 110 H) lebih
diperlukan saat ini, yaitu “Ilmu ini (mengenai agama) menjelma atau merupakan
keimanan, dari itu, berhati-hatilah dari siapa anda belajar ilmu itu”.44 Ini berarti
bahwa segala masalah yang berkaitan dengan ilmu ajaran Islam hendaknya diperoleh
dari seorang muslim yang mumpuni dalam bidangnya, bukan dari sebaliknya.
Untuk itulah, penulis meneliti pemikiran Ibnu Mâlik bukan hanya karena
pemikirannya dianut oleh banyak ulama ahli bahasa, namun juga karena karya dan
gagasannya sungguh bermanfaat bagi umat Islam yang cinta akan ilmu Agama,
khususnya berkaitan dengan pemikirannya terhadap Hadîts. Sehingga pemikirannya
dalam bidang sumber bahasa Arab tersebut menjadi suatu kebutuhan yang wajib
untuk diteliti.
B. PERMASALAHAN
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang penelitian yang penulis kemukakan di atas, banyak hal
yang patut untuk dikaji dan ditemukan jawabannya. Baik dari sisi Ibnu Mâlik, Hadîts
maupun sistem penetapan kaidah nahwu. Sehingga akan lahirlah beberapa
pertanyaan, misalnya;
a. Bagaimana konsep pemikiran Ibnu Mâlik tentang Hadîts?
b. Bagaimana lingkup kajian nahwu yang dikemukakan oleh Ibnu Mâlik?
c. Sejauh mana otorisasi Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu bagi Ibnu Mâlik
dibandingkan dengan ahli nahwu sebelumnya?
d. Apa yang mendasari pemikiran otorisasi Hadîts Ibnu Mâlik dan faktor-faktor
apa yang mempengaruhinya?
44 Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1, hal. 10
xxviii
e. Sejauh mana kualitas hadîts-hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik sebagai dalil
kaidahnya.
Ibnu Mâlik disebut-sebut sebagai refresentatif pemikiran ulama nahwu
Andalusia, bahkan ia banyak menghadirkan kaidah-kaidah nahwu yang sebelumnya
tidak dikenal di kalangan kedua madzhab besar nahwu yaitu; Bashrah dan Kûfah.45
Lantas;
f. Apa perbedaan mendasar antara pemikiran nahwu Andalusia dan Bashrah
serta Kûfah?
g. Sejauh mana pengaruh pemikiran Ibnu Mâlik terhadap ahli nahwu
sesudahnya?
h. Jika dilihat dari sisi keindonesiaan, mengapa pemikiran Ibnu Mâlik dan karya-
karyanya banyak memenuhi pengajian bahasa Arab di pesantren-pesantren,
padahal banyak pemikiran ahli nahwu selainnya yang telah mapan.46
Demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari latar belakang penelitian
yang penulis kemukakan di atas.
2. Batasan Masalah
Setelah mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul dari latar belakang di
muka, nampaknya tidak semua masalah tersebut dapat diteliti dalam peneltitan ini.
Maka itu sudah menjadi keharusan untuk membatasi masalah-masalah apa saja yang
akan dikaji dalam penelitian ini. Secara khusus tesis ini akan meneliti;
a. Otorisasi Hadits sebagai sumber kaidah nahwu, perspektif Ibnu Malik dan
membandingkannya dengan ulama klasik.
45 Meskipun Bashrah dan Kufah merupkan pusat pendidikan ilmu bahasa Arab, namun Ibnu
Mâlik disebut-sebut sebagai ahli nahwu yang memunculkan kaidah-kaidah yang berbeda dari keduanya. Padahal dari sisi pendidikan, Ibnu Mâlik pun mengenyam dan mengkaji al-Kitab karya Sybawaih kepada Ali Abd Abdillah bin Mâlik al-Mirsyani. Adanya perbedaan antara kaidah Ibnu Mâlik dan ahli nahwu klasik ini adalah salah satu yang akan penulis buktikan dalam penelitian ini.
46 Misalnya al-Mubarrad (w. 285 H) dengan karyanya al-Muqtadhab, Ibnu al-Khasyab (w. 567 H) dengan karyanya al-Murtajal, al-Zujajî (w. 337 H) dengan karyanya al-Jumal. lihat Hasan Musa, al-Nuhât wa al-Hadits al-Nabawî, hal. 91-72
xxix
b. Fokus kajian ini hanya pada kaidah-kaidah Ibnu Malik yang bersumber dari
Hadîts Nabi SAW dalam syarh al-Umdah, syarh al-Kâfiyah dan syawâhid al-
Taudhîh.
c. Kaidah nahwu yang akan diteliti dalam tesis ini adalah; Isim, fi’il, huruf,
tawâbi’ dan maf’ûl.
3. Rumusan Masalah
a. Bagaimana otorisasi Hadîts sebagai dalil kaidah nahwu dalam pandangan
Ibnu Mâlik jika dibandingkan dengan ahli nahwu klasik.
b. Kaidah-kaidah apa saja yang bersumber dari Hadîts, dan bentuk Hadîts apa
yang digunakan sebagai dalil kaidah nahwu; apakah qauli saja, atau juga fi’li,
dan taqriri. Apakah hanya hadîts marfû’ bagaimana dengan hadîts mauqûf
atau maqthû’
C. TUJUAN PENELITIAN
Dalam sikap dan ucap yang lahir dari manusia, pastinya memiliki tujuan dan
maksud tertentu,47 terlepas apakah tujuannya baik atau tidak. Begitu pula dengan
penelitian ini. Selain sebagai bukti kontribusi penulis terhadap pemikiran kaidah
bahasa Arab,48 tesis ini juga membuktikan bahwa teks Hadîts (matan) mengandung
stilistik bahasa yang luhur, di samping ia juga merupakan sumber hukum syariat.49
47 Hal ini sesuai dengan wejangan Nabi SAW. “Innama al-A’mâl bi al-Niyât..” (HR. al-
Bukhari) 48 Ketertarikan penulis pada kajian nahwu, antara lain adanya motivasi yang menyebutkan banyaknya keutamaan-keutamaan yang disampikan oleh para sahabat maupun ulama salaf bagi pengkaji nahwu. Misalnya Umar bin Khattâb r.a pernah mengatakan, “Pelajarilah bahasa Arab, karena ia dapat menguatkan akal dan menambah wibawa”, maksud dari bahasa Arab di sini adalah ilmu bahasa atau nahwu. Al-Sakhâwi juga pernah mengatakan, “Mengkaji nahwu untuk menjaga firman Allah SWT dan Sabda Nabi SAW adalah bagian dari kewajiban, karena menjaga syariat adalah kewajiban, dan untuk mencapai itu diperlukan ilmu nahwu”. Untuk mengetahui lebih jelas akan keutamaan mempelajari ilmu bahasa Arab, lihat Mahmud Fajal, Al-Hadits al-Nabawy fi al-Nahwi al-Araby, hal. 44-48. 49 Dalam penelitian ini penulis membantah bahwa dalam matan Hadîts terdapat kecacatan bahasa dari sisi kaidah nahwu. Meskipun ada ulama yang menilai keshahihan Hadîts dengan melihat apakah bahasa yang tersurat baik atau buruk, maka itu dalam pandangannya meskipun Hadîts yang diriwayatkan oleh Imam besar, shahih dari sisi sanad, namun buruk dari sisi kebahasaan, maka Hadîts itu palsu atau lemah. Inilah yang didakwakan oleh Ibnu Qayyim dalam bukunya al-Manâr al-Munîf fi
xxx
Tujuan tersebut dicapai antara lain dengan meneliti pandangan Ibnu Mâlik akan
otorisasi Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu. Dan tidak kalah pentingnya tesis ini
juga membuktikan bahwa Ibnu Mâlik adalah pelopor ahli nahwu yang paling banyak
berdalil dengan Hadîts Nabi SAW dibandingkan dengan ulama sebelumnya. Secara
spesifik, tujuan dari penelitian ini adalah;
1. Membuktikan bahwa hadits Nabi SAW dalam bentuk qauli, fi’ili, hadîst
mauqûf atau marfû’ merupakan dalil nahwu yang otoritatif.
2. Membuktikan bahwa kaidah nahwu Ibnu Mâlik memiliki corak yang
beragam atas kaidah nahwu sebelumnya, sebagai penguat atau bantahan
atas kaidah yang ada sebelum Ibnu Mâlik.
D. SIGNIFIKANSI PENELITIAN
Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.50 Itulah
ujaran Nabi Muhammad SAW, sebagai cambuk bagi umatnya untuk selalu membawa
kebaikan bagi yang lainnya. Karena itu usaha dalam penelitian ini juga memiliki
signifikansi yang besar bagi pengkaji kaidah bahasa dan Hadîts. Antara lain;
1. Bagi pengkaji ilmu bahasa, akan mendapati kaidah-kaidah yang lahir dari
Ibnu Mâlik berdasarkan Hadîts Nabi SAW yang sebelumnya tidak dikenal di
kalangan ahli nahwu klasik.
2. Bagi pengkaji Hadîts, akan mendapatkan wujud kongkrit otorisasi Hadîts
dalam kaidah nahwu melalui pemikiran Ibnu Malik.
3. Penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi tentang pemikiran Ibnu
Mâlik, tentunya bagi pengkaji bahasa Arab yang selama ini memanfaatkan
karya-karya Ibnu Mâlik.
al-Shahîh wa al-Dhaîf (Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1988). Karenanya tidaklah mengherankan jika kitab ini menuai kritikan keras dari berbagai ahli Hadîts.
Lihat. Abu Nu’aim, Hilyatul ‘Auliya للناس الناس أنفع قال اهللا إىل أحب العباد أي اهللا رسول يا قيل قال عمر ابن عن 50wa Thabaqat al-Ashfiya’, (Beirut; Dar al-Kutub 1405 H), cet.Ke-4, juz. 6, hal. 348.
xxxi
E. KAJIAN TERDAHULU YANG RELEVAN
Sejauh ini tidak banyak suatu kajian khusus yang membahas subjek ini secara
utuh. Tentu telah ada beberapa karya yang dalam satu atau lain cara membahas
sejumlah permasalahan sejenis. Sekalipun demikian, karya-karya tersebut tidak
ditujukan untuk membahas otorisasi Hadîts dalam pandangan Ibnu Mâlik. Sejauh
yang penulis temukan, kajian tersebut hanya diangkat sebagai pelengkap dari
konsentrasi kajian yang dilakukan oleh para peneliti nahwu. Namun kajian-kajian
tersebut sangat berguna bagi penelitian ini, sebagai langkah awal memasuki pintu
penelitian yang akan dilakukan. Di antara penelitian terdahulu yang relevan dengan
penelitian ini adalah;
Pertama, Al-Khilâf Bayna al-Nahwiyyîn, dirâsah wa tahlîl wa taqwîm karya
Sayid Rizki Thawil (Disertasi di Universitas Al-Azhar). Penelitian ini mengungkap
perbedaan pandangan ahli nahwu Bashrah dan Kûfah, sebagai kedua madzhab besar
dalam ilmu nahwu. Dalam penelitian ini disebutkan sebab-sebab perbedaan Bashrah
dan Kûfah dalam penetapan kaidah nahwu, dan juga pengaruhnya terhadap kajian
nahwu di Negara sekitarnya seperti Andalusia dan Baghdad. Keterkaitan penelitian
Thawil, dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah, hasil kajian Thawil
yang menyatakan bahwa adanya perbedaan pandangan para ahli nahwu terhadap
Hadîts sebagai sumber penetapan kaidah nahwu, merupakan salah satu faktor lahirnya
perbedaan dalam pembentukan kaidah nahwu.
Kedua, Al-Manhaj al-Nahwy li Ibni Mâlik, karya D. Hidayat (Disertasi IAIN
Jakarta 1998). Penelitian ini mengungkap peran Ibnu Mâlik terhadap perbedaan
kedua madzhab besar dalam ilmu nahwu, yaitu Bashrah dan Kûfah. Menurut
penelitian ini, konsep nahwu perspektif Ibnu Mâlik lebih banyak dipengaruhi oleh
aliran nahwu Andalusia, yang nota-bene tidak terlalu dikenal di kalangan ulama
nahwu. Yang menarik dari penelitian ini, diungkapnya peran Ibnu Mâlik terhadap
Ushûl al-Nahwi, salah satunya adalah Ihtijâj bi al-Hadîts. Dari penelitian ini,
diketahui bahwa Ibnu Mâlik adalah tokoh ahli bahasa Arab yang paling banyak
xxxii
mengambil hujjah dan syâhid dari Hadîts Nabi SAW, jika dibandingkan dengan ahli
nahwu sebelumnya. Namun dalam penelitian ini tidak diungkap dan diteliti sejauh
mana otorisasi Hadits dalam pandangan Ibnu Mâlik dan kaidah-kaidah apa saja yang
lahir dari teks Hadits Nabi SAW. Kekosongan inilah yang berusaha penulis kaji dan
teliti, untuk memperkuat dan membuktikan kembali bahwa Ibnu Mâlik adalah sosok
ahli nahwu yang cermat dalam menganalisa dan meletakkan kaidah nahwu dari salah
satu sumber otoritatif, Hadîts Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, Ilmu-Ilmu bahasa Arab dan perkembangannya pada zaman Dinasti
Abbâsiyah 1, karya Ade Kosasih (Tesis IAIN Jakarta 1997). Penelitian ini
mendeskripsikan perkembangan nahwu sejak awal masa kemunculannya berikut
sebab dan faktor peletakan kaidah ilmu bahasa Arab, diantaranya adalah nahwu.
Penelitian ini mempertegas keistimewaan bahasa Arab dengan mendeskripsikan
faktor-faktor kelahiran ilmu bahasa Arab yang berasal dari faktor internal dan
eksternal dari bahasa itu sendiri. Penelitian ini juga memperkuat akan kefashihan dan
keluhuran bahasa yang digunakan Nabi Muhammad SAW. Penelitian ini sangat tepat
untuk dijadikan pijakan awal dalam penelitian yang penulis lakukan. Sebagai
gambaran historis kemunculan ilmu bahasa Arab.
F. METODE PENELITIAN
Dilihat dari sumber datanya, penelitian ini termasuk bagian dari penelitian
kepustakaan. Karena sumber datanya murni dari studi pustaka. Maka itu, penelitian
ini menggunakan metode pustaka, tentunya dengan memadukan beberapa pendekatan
sesuai dengan jenis data yang diteliti. Di antaranya;
1. Pendekatan isi teks; jenis pendekatan ini dipergunakan untuk mengkaji
kandungan kaidah nahwu yang terdapat pada karya-karya Ibnu Mâlik, dan
meneliti kaidah-kaidah nahwu yang terlahir dari teks Hadîts Nabi SAW.
xxxiii
2. Pendekatan sejarah, gunanya untuk memetakan pemikiran ahli nahwu
terhadap Hadîts Nabi SAW dalam penetapan kaidah nahwu, mulai dari awal
kemunculan nahwu hingga masa Ibnu Mâlik.51
3. Pendekatan sosial-antropologis, ini penulis lakukan karena penulis meyakini
pemikiran Ibnu Mâlik tidak mungkin berdiri sendiri, pastinya dipengaruhi
oleh sosial dan budaya dimana Ibnu Mâlik tinggal.52
Dengan pendekatan-pendekatan di atas, penulis melakukan usaha-usaha yang
menunjang keberhasilan penelitian ini. Pada awalnya penulis akan mengidentifikasi
kaidah-kaidah nahwu Ibnu Mâlik yang terlahir dari Hadîts Nabi SAW, kemudian
mengelompokkannya sesuai dengan tema-tema dalam kaidah nahwu. Untuk
mengetahui bentuk-bentuk Hadîts yang digunakan oleh Ibnu Mâlik, penulis
menganalisis Hadîts tersebut dengan mengkonfirmasikannya pada kitab-kitab Hadîts.
Untuk melihat orisinalitas pemikiran Ibnu Mâlik, penulis akan menghubungkan
kaidah-kaidah yang ditetapkan Ibnu Mâlik dengan kaidah-kaidah ahli nahwu yang
hidup sebelum maupun yang semasa dengan Ibnu Mâlik. Bahkan jika ada, penulis
akan menghubungkannya juga dengan para ahli nahwu yang datang setelah Ibnu
Mâlik, ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pemikiran Ibnu Mâlik
terhadap ahli nahwu setelahnya. Dan langkah terakhir, penulis akan membuktikan
orientasi pemikiran Hadîts Ibnu Mâlik. Sehingga dalam tataran ilmiah, akan diketahui
apakah pemikiran Ibnu Mâlik merupakan pemikiran baru, atau merupakan
pengembangan konsep pemikiran pendahulunya, atau mungkin hanya mengulangi
apa yang sudah dikaji oleh para ahli nahwu sebelumnya.
Agar usaha penelitian ini menuai hasil maksimal, maka sumber data penelitian
sejatinya merupakan data-data yang menunjang langsung dalam keberhasilan
penelitian ini, baik itu data primer maupun sekunder. Data-data primer dalam
51 Dalam hal ini penulis mencoba membandingkan Ibn Mâlik dengan ahli nahwu sebelumnya, dalam berdalil dengan Hadîts ketika menetapkan kaidah nahwu, seperti Sybawaih (w. 180 H), al-Anbâry ( w. 577 H), Ibnu Ya’isy (w. 643 H), Ibnu Usfhûr (w. 669 H)
52 Meskipun pada awalnya Andalusia tidak dikenal sebagai pusat madzhab besar dalam ilmu bahasa Arab, namun tidak sedikit ulama tafsir, hadits dan bahasa yang menetap di Andalusia, seperti Tsabit bin Muhammad (627 H) dan Ali al-Mirsyani (698 H).
xxxiv
penelitian ini, penulis peroleh dari karya-karya Ibnu Mâlik, dan sungguh tidak semua
karya Ibnu Mâlik penulis jadikan sebagai data primer, namun hanya karya-karya yang
ada kaitannya dengan penelitian ini yaitu kaidah-kaidah nahwu yang ditulis oleh Ibnu
Mâlik. Antara lain; seperti Syawâhid al-Taudhih, Syarh al-Umdah dan Syarh al-
Kâfiyah..
Adapun data sekunder yang penulis gunakan untuk menunjang data primer di
atas adalah; karya-karya Ibnu Mâlik dalam bidang Nahwu yang di-syarh oleh para
ulama, seperti Audhah al-Masâlik karya Ibnu Hisyâm al-Anshary dan juga Syarh
Alfiyah Ibn Mâlik karya Ibnu Aqîl al-Hâsymy. Dan juga karya-karya lain yang ditulis
ahli nahwu klasik berkenaan dengan kaidah nahwu. Selain itu juga karya-karya
berkenaan dengan Hadîts dan nahwu yang ditulis ulama yang otoritatif di bidang
keilmuwannya menjadi data yang sangat urgen dalam tesis ini.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Pembahasan dalam Tesis ini terdiri atas enam bab, yakni Pendahuluan, Hadîts
dan Nahwu, Ibnu Mâlik dan ahli nahwu klasik, serta Penentuan Ibnu Mâlik berkenaan
dengn fi’il, isim dan huruf, tawabi’, maf’ul dan kaidah nahwu lainnya, berikut
analisis bentuk Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik. Dan yang terakhir penutup.
Bab pertama, dalam bab ini penulis menceritakan latar belakang pemilihan
topik pembahasan, kemudian dari uraian latar belakang tersebut, penulis
mengidentifikasi masalah yang ada dalam lingkup topik pembahasan. Agar kajian ini
lebih fokus dan mendalam pada suatu permasalahan, tidak semua permasalahan
tersebut dikaji dalam penelitian ini, karenanya penulis membatasi masalah-masalah
yang akan diteliti sesuai pertimbangan waktu dan konsentrasi pada topik yang
menjadi fokus dari penelitian ini. Dalam bab ini juga, penulis mengungkapkan tujuan
dan signifikansi dari penelitian, sehingga hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat
bagi siapa pun yang cinta akan perkembangan Ilmu nahwu, khususnya.
Bab kedua, Hadîts dan Nahwu. Penulis mengungkap tentang kedudukan
Hadîts di antara sumber kaidah nahwu dan perkembangan ilmu nahwu mulai dari
xxxv
awal pembentukannya hingga masa Ibnu Mâlik, dengan tujuan untuk lebih mengenal
dan menampakkan kedudukan Hadîts dalam pandangan aliran pemikiran nahwu.
Bab ketiga, penulis mengungkap sosok Ibnu Mâlik, dari sisi potret kehidupan
dan keilmuwannya. Kemudian penulis meneliti relasi Ibnu Mâlik dengan tokoh-tokoh
sezamannya dan membandingkan pandangan Ibnu Mâlik dan ahli nahwu klasik
terhadap Hadîts Nabi SAW. Tentunya dengan meneliti karya-karya yang ditulis oleh
mereka dan menganalisa riwayat hidupnya serta hubungan mereka dengan Hadîts
Nabi SAW. Sehingga diketahui sejauh mana perkenalan dan kemampuan Ibnu Mâlik
terhadap Hadîts dan Ilmu Hadîts. Karena hemat penulis, sejauh ini Ibnu Mâlik hanya
dikenal sebagai ahli nahwu saja, jarang sekali diungkap dalam literatur Hadîts bahwa
ia juga merupakan ulama yang konsen dalam Hadîts.53
Bab keempat, bab ini adalah bab inti dari penelitian ini. Dalam bab ini penulis
menganlisa kaidah-kaidah Ibnu Mâlik yang berkenaang dengan fi’il, isim dan juga
huruf, yang berpijak pada Hadîts Nabi SAW, dan membandingkannya dengan kaidah
dari ahli nahwu lain yang berpijak pada selain Hadîts, yaiu syair.
Bab Kelima, bab ini juga merupakan bab inti dalam penelitian penulis. Maka
itu dalam bab ini akan dianalisa kaidah-kaidah Ibnu Mâlik berkenaan dengan tawabi’,
maf’ul, dan kaidah lainnya. Dan untuk membuktikan bentuk-bentuk Hadîts yang
digunakan Ibnu Mâlik, dalam bab ini jug dianalisa hadîts-hadîts yang dijadikan
sumber oleh Ibnu Mâlik sebagai kaidah nahwu, dan membandingkannya dengan
pendapat ahli nahwu lain yang juga bersumber pada Hadîts tersebut.
Bab keenam, penutup yang berisi kesimpulan dari uraian-uraian yang telah
dipaparkan, penulis menguraikan point inti dari penelitian ini sebagai jawaban dari
rumusan masalah yang penulis tetapkan. Dan pastinya penelitian ini tidak sesempurna
yang diharapkan, karena itu penulis mengemukakan saran-saran bagi para pembaca
53 Hal ini berbeda dengan Imam al-Suyûthi (w. 911 H), beliau sangat populer baik di
kalangan ahli bahasa atau ahli Hadits, dan pemikirannya pun banyak dikutip oleh kalangan ahli hadits maupun ahli bahasa. Salah satu karya monumental dalam ilmu bahasa adalah al-Muzhir.
xxxvi
dan peneliti yang berkaitan dengan penelitian ini, dan hal-hal yang perlu dikaji
kembali oleh peneliti berikutnya.
BAB II
NAHWU DAN HADÎTS
A. Kedudukan Hadits di antara Sumber Nahwu
Layaknya sebuah hukum syariat yang penetapannya wajib berdasarkan dalil,
nahwu yang merupakan kaidah bahasa Arab dan menjadi perangkat penting dalam
memahami dalil-dalil syariat, al-Qur’ân dan al-Hadîts, mesti juga bersumber dari dalil
otoritatif. Karenanya memahami dan mengkaji ushûl al-Nahwi yang merupakan
kajian sumber kaidah nahwu, tidak kalah penting dari nahwu itu sendiri, bukankah
untuk menghasilkan buah manis dan pohon kokoh mesti berasal dari akar yang bagus.
Dan ushûl al-Nahwi adalah akar dari pohon yang bernama kaidah bahasa Arab.
Dalam kajian ushûl al-Nahwi, didapati perbedaan pendapat ulama bahasa
berkenaan dengan jumlah dan jenis sumber kaidah nahwu, termasuk urutan sumber
xxxvii
yang mesti didahulukan. Menurut Afaf Hasanayn ada empat dalil yang sering
digunakan ahli bahasa dalam penetapan kaidah nahwu; Pertama, dalil Naqly (simâ’i),
yaitu al-Qur’ân, Hadîts Nabi SAW dan perkataan orang Arab, baik itu berupa Syair
maupun Natsr. Kedua, dalil Qiyâs. Ketiga, Ijmâ’. Keempat, dalil Ishtishhâb al-Hâl.54
Lain halnya dengan Ibnu Jinni, dalam kitabnya al-Khashâish ia mengungkapkan
bahwa dalil nahwu hanya ada tiga, dalil Naql, Qiyâsh dan Ijmâ’.55 Sedangkan Ibnu al-
Anbâry menyebutkan dalil nahwu adalah dalil Naql, Qiyâsh dan Istishhâb al-Hâl,
beliau tidak menyebutkan Ijmâ’ sebagai sumber dalil.56 Menurut Imam al-Suyûthi
tidak disebutkannya Ijmâ’ oleh Ibnu al-Anbâry sebagai salah satu dalil nahwu,
menandakan ia berpendapat bahwa Ijmâ’ bukanlah dalil dalam penetapan kaidah
nahwu.57
Dari uraian di atas, diketahui bahwa ulama hanya berselisih pada sumber
Ma’qûl, tidak pada sumber Manqûl. Dan ulama nahwu sepakat bahwa al-Qur’ân dan
al-Hadîts merupkan sumber utama dalam penetapan kaidah nahwu, dan keduanya
patut didahulukan dalam berdalil dan menentukan kaidah nahwu. Maka itu mashâdir
manqûlah dan ma’qûlah menjadi urgen untuk dikaji dari sisi perilaku dan
pengaruhnya terhadap kaidah nahwu, sebagai gambaran awal dalam menganalisis
perilaku Hadîts dalam kaidah nahwu. Dengan demikian akan lebih mudah dalam
membandingkan posisi Hadîts sebagai sumber kaidah dengan sumber lainnya.
1. Sumber Manqûl
a. Al-Qur’ân dan Ragam Bacaannya
54 Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi (Kairo: al-Maktabah al-Akadimiyyah 1996), hal. 237-
238. Dalam istilah lain Mahmûd Ahmad Nahlah menyebutnya dengan Mashâdir Manqûlah dan Mashâdir Ma’qûlah, dan istilah inilah yang penulis gunakan. Lihat dalam karyanya Ushûl al-Nahwi al-Arâby (Dâr al-Ma’rifah al-Jâmi’iyyah 2002), hal. 31
55 Dimasukkannya Ijmâ’ sebagai dalil nahwu, menurut Ibnu Jinni karena adanya sabda Nabi SAW yang mengatakan bahwa umatnya tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan. Lihat Ibnu Jinni, al-Khashâish, (Beirut: Dâr al-Huda, tth), cet. Ke-2, juz. 1, hal. 189
56 Ibnu al-Anbâry, Al-Ighrâb fi Jadli al-I’râb, hal. 45. 57 Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 21
xxxviii
Menurut keyakinan umat Islam al-Qur’ân memiliki keluhuran bahasa, bahkan
dari sisi ini tidak ada tandingannya.58 Predikat ini tentu saja menjadikan al-Qur’ân
sebagai sumber pertama dalam penetapan kaidah nahwu, artinya jika dalam
penetapan kaidah nahwu terdapat pertentangan antara al-Qur’ân dengan teks atau
sumber lainnya, maka al-Qur’ân wajib didahulukan. Ini telah menjadi kesepakatan
ulama bahasa, siapa saja yang membuat kaidah yang bertentangan dengan struktur
bahasa al-Qur’ân, dipastikan kaidah tersebut lemah dan tidak akan diakui.59
Kendati teks al-Qur’ân disepakati kehujjahannya, tidak demikian halnya
dengan ragam bacaan al-Qur’ân, bacaan al-Qur’ân yang bentuknya beragam tidak
terlepas dari kontroversi akan keabsahannya sebagai dalil nahwu, khususnya bacaan
yang berkualitas lemah. Sebagaimana diakui, al-Qur’ân diturunkan dengan tujuh
huruf,60 yang berarti tujuh ragam bacaan,61 dan diriwayatkan oleh para ulama qirâ’at,
layaknya sebuah Hadîts Nabi SAW yang ditransmisikan oleh periwayat Hadîts.
Sehingga dimungkinkan satu ayat memiliki lebih dari dua bacaan. Maka itu, dalam
literatur kajian ushûl al-Nahwi, ulama bahasa berbeda pendapat apakah ragam bacaan
ayat-ayat suci yang ada, dapat dijadikan dalil dalam pembentukan kaidah nahwu atau
tidak. Karena ragam bacaan al-Qur’ân memiliki kualitas yang beragam, ada yang
otentik dan ada juga yang tidak.
58 Keluhuran bahasa al-Qur’ân juga merupakan mukjizat bagi siapa yang tidak yakin akan
datangnya al-Qur’ân dari Allah SWT. Bahkan Allah SWT menantang makhluk-Nya untuk membuat hal serupa, tantangan ini sesungguhnya penegasan akan ketidakmampuan makhluk-Nya dan juga pemberitahuan akan keluhuran bahasa al-Qur’ân. Ini tercermin dalam firmannya; إنو متب في كنيا رمم
صادقني كنتم إن الله دون من شهداءكم وادعوا مثله من (QS al-Baqarah: 23) بسورة فأتوا عبدنا على نزلنا59 Abdul Hamîd al-Syalqâni, Mashâdir al-Lughah, (Riyâdh: Jâmiah al-Riyâdh 1980), hal. 3 60 (HR al-Bukhâri) آن نإزل القرلى أنة ععبف سرءوا أحفاقر ها منم رسيت
61 Untuk mengetahui lebih rinci pendapat kalangan ulama tentang Hadîts ini, pembaca dapat merujuk Ibnu Qutaibah, Ta’wîl Musykil al-Qur’ân (al-Maktabah al-Ilmiyyah 1981 M), cet. Ke- 3, hal. 34. diakui bahwa ulama berbeda pendapat dalam makna “sab’ah ahruf”, Abu Hâtim bin Hibbân mengatakan ada tiga puluh lima pendapat ulama berkenaan dengan ini. Namun pendapat yang banyak dianut oleh ahli bahasa seperti al-Khalîl bin Ahmad al-Farâhidi adalah; sab’ah ahruf bermakna tujuh ragam bacaan al-Qur’ân. Al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tth), juz. 1, hal. 214
xxxix
Dari sisi kualitas periwayatan bacaan al-Qur’ân, Jalâluddin al-Bulqaini
membaginya ke dalam Mutawâtir, Ahâd dan Syâdz,62 namun pengelompokkan ini
patut ditinjau ulang, karena tingkatan ini kurang dikenal dikalangan ulama qirâ’at.
Lain halnya dengan pengelompokkan yang disajikan Abu al-Khair Ibnu al-Jaziry
yang merupakan imam ahli qirâ’at pada masanya, ia membaginya ke dalam lima
tingkatan;63 Pertama, Mutawâtir,64 yaitu bacaan yang dinukil oleh sekelompok orang
yang mustahil bersepakat untuk berbohong, mulai periwayat tingkat pertama hingga
periwayat tingkat akhir. Bacaan mutawâtir ini berjumlah sepuluh qirâ’at, namun ada
juga yang mengatakan hanya berjumlah tujuh, dan yang terakhir inilah pendapat yang
paling popular.65 Kedua, Masyhur yaitu bacaan yang memiliki sanad shahih
meskipun tidak mencapai derajat mutawatir, namun sesuai dengan kaidah bahasa
Arab66 dan juga sesuai dengan salah satu mushhaf utsmani.67 Ketiga, Ahâd yaitu
62 Yang dimaksud dengan mutawatir di sini adalah al-Qirâ’ah al-Sab’ah atau bacaan tujuh
yang telah terkenal. Ahad maksudnya adalah bacaan yang diriwayatkan oleh tiga orang yang termasuk dalam al-Qira’ah al-Asyrah, selain kelompok pertama. Adapun bacaan Syâdz adalah bacaan para tâbi’în seperti al-A’masy, Yahya bin Watstsab dan Ibnu Jubair. Menurut Imam al-Suyûthi, pengelompokkan ini patut ditinjau ulang, karena jarang sekali digunakan oleh para ulama. Lihat Al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damaskus: Dâr Ibn Katsîr 1996), cet. Ke-3, juz. 1, hal 236.
63 Al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. 1, hal. 241-242 64 Para ulama ada yang membagi Hadîts mutawatir kedalam dua bagian; Mutawatir Lafdzi
dan Mutawatir Ma’nawi. Meskipun demikian keduanya memiliki pengertian yang sama, yaitu Hadîts yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang mustahil bersepakat untuk berbohong dalam Hadîts Nabi SAW. Adapun yang membedakan keduanya hanya pada bentuk, yaitu lafdzi dan ma’nawi. Ulama berbeda pendapat dalam ungkapan ‘sekelompok orang’ ini, ada yang mengatakan berjumlah lima orang, sepuluh, empat puluh bahkan tujuh puluh orang. Ada juga yang menyebutkan bahwa Hadîts mutawatir adalah Hadîts yang diriwayatkan dari periwayat pertama hingga akhir masing-masing tingkatan berjumlah tiga ratus orang lebih, ini karena jumlah sahabat Thalût dan Muslim yang ikut perang Badr berjumlah tiga ratus orang. Imam al-Suyûthi menulis Kitâb al-Fawâ’id al-Mutakâtsirah fi al-Akhbâr al-Mutawâtirah, khusus memuat Hadîts mutawatir. Selengkapnya lihat Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm al-Hadîts, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 2006) cet. Ke-3, hal. 281. Lihat juga Imam al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr 1993), hal. 352
65 Mereka adalah 1. Abu Ja’far Yazîd bin al-Qa’qa’ (130 H), 2. Nâfi’ bin Abi Na’îm (169 H), 3. Abdullah bin Katsîr (120 H), 4. Abu al-Amr al-Ala’ (154 H), 5. Ya’qûb bin Ishâq al-Hadhramy (205 H), 6. Abdullah bin Âmir (118 H), 7. Âshim bin Badlah Abi al-Najud (127 H), 8. Hamzah bin Habib al-Ziyât (156 H), 9. Ali bin Hamzah al-Kisâ’i ( 189 H) dan 10. Khalf bin Hisyam al-Asady (229 H). Abdul Hâdi al-Fadhli, al-Qirâ’at al-Qur’âniyah, (Jeddah: Dar al-Majma’ al-Ilmi 1979), hal. 17
66 Banyak ragam bacaan yang tidak sesuai dengan kaidah Nahwu, yang kemudian ditolak oleh kalangan ahli Nahwu seperti kaidah; mensukunkan huruf hamzah yang seharusnya kasrah (QS al-Baqarah: 54) UارئكمبU وا إلىوبفت mensukunkan huruf ra’ yang seharusnya dhammah (QS al-Baqarah:
xl
bacaan yang sanadnya shahih namun bertentangan dengan rasm mushhaf dan kaidah
bahasa Arab, seperti bacaan yang diriwayatkan oleh Imam al-Hâkim.68 Keempat,
Syâdz yaitu bacaan yang memiliki sanad tidak shahih, kategori ini menjadi
kontroversi di kalangan ulama.69
Imam al-Suyûthi menambahkan satu macam lagi, sehingga berjumlah enam,
yaitu bacaan yang serupa dengan Hadîts Mudraj, yaitu menambahkan kata atau
kalimat dalam bacaan al-Qur’ân dengan maksud sebagai penjelasan lengkap atas kata
sebelumnya, jenis ini terjadi pada bacaan Ibnu Abbâs.70
Terkait dengan bacaan Syâdz di atas, ulama berbeda pendapat, apakah bacaan
Syâdz dapat dijadikan dalil dalam pembentukan kaidah nahwu? Imam al-Suyûthi
67) UكمرأميU إن الله menashabkan huruf zay yang seharusnya kasrah (QS al-Jatsiyah: 14) UيزجليU
واتقوا الله الذي تساءلون به mengkasrahkan huruf mim yang seharusnya fathah (QS al-Nisa’:1) قوما UامحالأروU. Al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. 1, hal. 237. untuk mengkaji lebih mendalam tentang ragam bacaan dan ulama Nahwu, lihat di Muhammad bin Ahmad al-Azhari, al-Qirâ’at wa Ilal al-Nahwiyyin.
67 Ibnu al-Jaziri berkata bahwa yang dimaksud ungkapan “sesuai dengan salah satu mushhaf utsmâni” adalah bacaan itu sesuai dengan apa yang ada pada salah satu mushhaf utsmâni. Seperti bacaan Ibnu Âmir (QS al-Baqarah 116) قالوا ذاتخ ا اللهلدو tanpa waw dan (QS Ali Imran: 184) رببالز
اببوالكت adanya huruf ba’ pada kedua kata, bacaan tersebut sesungguhnya terdapat pada mushhaf yang
ada di Syâm. Atau seperti bacaan Ibnu Katsîr (QS al-Taubah: 100) اتنري ججتا منهتحار تهالأن terdapat huruf min, ini juga sesungguhnya ada pada mushhaf yang ada di Makkah. Al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. 1, hal. 238
68 Imam al-Suyûthi mengutip Hadîts shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Hâkim dalam al-Mustadrak ‘ala al-Shahihayn yang memuat bacaan al-Qur’ân, namun menurutnya bacaan tersebut bertentangan dengan bacaan mutawatir. Seperti اهللا صلى النيب أن ، عنه اهللا رضي بكرة أيب عن ، اجلحدري عاصم عن menurut rasm mushhaf ,(QS al-Rahman : 76) .عليه وسلم قرأ : ( متكئني على UرفارفU خضر وعبقري حسان)
adalah انحس قريبعر وضخ UففررU لىع كئنيتم. Selengkapnya lihat di Al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. 1, hal. 242
69 Misalnya bacaan الدين موي ملك (menggunakan shigah al-Mâdhi, dan menashabkan kata يوم al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. 1, hal. 242
70 سلي كمليع احنوا أن جغتبلا تفض في من كمباسم روم جالح bacaan ini sesungguhnya mutawatir, hanya
saja Ibnu Abbâs menambahkan kalimat اسم فيوم جالح sebagai penjelasan kalimat sebelumnya. (HR Imam al-Bukhâri). Penjelasan mengenai Hadîts Mudraj dapat dilihat di Ibnu Shalâh, Muqaddimah Ibnu Shalâh fi ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 145. al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 175.
xli
mengungkapkan bahwa bacaan al-Qur’ân yang riwayatnya bersifat mutawatir
maupun ahad dapat dijadikan dalil nahwu, bahkan menurutnya jika bacaannya
bersifat Syâdz pun dapat dijadikan dalil, baik itu sesuai dengan qiyâs ataupun tidak.71
Contoh kaidah nahwu yang berasal dari ragam bacaan syâdz, yaitu bolehnya Lâm al-
Amr bersambung dengan Fi’il al-Mudhâri’ yang diawali dengan Ta’ al-Khithâb
seperti firman Allah SWT واتفل فبذلكحفرTP72PT . Meskipun dalam mushhaf utsmani,
redaksi ayat yang tertulis tidak demikian.
Bacaan yang dipermasalahkan bukan hanya bacaan Syadz, ada juga sebagian
ulama bahasa klasik seperti al-Farâ’ yang melemahkan bacaan al-Qur’ân dari ulama
qirâ’at yang cukup terkenal seperti Âshim73, Hamzah74 dan Ibnu Amir.75 Menurut
ulama yang menentang ini, dalam bacaan ketiga ulama qirâ’at tersebut terdapat
penyimpangan dari sisi kaidah bahasa Arab, dan ditemukan lahn dalam bacaannya.76
71 Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 36-37. 72 Bacaan yang digunakan dalam mushhaf utsmâni adalah واحفرفلي فبذلك menggunakan ya’.
(QS: Yunus: 58) 73 Nama lengkapnya adalah Âshim bin Bahdalah, ia seorang syaikh ahli qirâ’at di Kufah, dan
termasuk salah satu ahli qirâ’at yang tujuh. Ia termasuk kalangan tâbi’în. Beliau wafat sekitar tahun 129 H. Abdul Hâdi al-Fadhli, al-Qirâ’at al-Qur’âniyah,hal. 18. Lihat juga di Ibnu al-Bâdzis, Kitâb al-Iqnâ’ fi al-Qirâ’at al-Sab’i, (Damaskus: Dar al-Fikr 1402 H), cet. Ke-1, juz. 1, hal. 115.
74 Nama lengkapnya adalah Abu ‘Imârah Hamzah bin Habîb bin ‘Imârah, ia menjadi ahli qirâ’at setelah ‘Âshim dan al-A’masy, beliau juga seorang Imam yang selalu menjadi rujukan dalam bidang al-Qur’ân, wafat di Halwân tahun 156 H. Abdul Hâdi al-Fadhli, al-Qirâ’at al-Qur’âniyah, 18. Lihat juga di Ibnu al-Bâdzis, kitâb al-Iqnâ’ fi al-Qirâ’at al-Sab’i, juz. 1, hal. 125
75 Ia adalah Abu ‘Imrân Abdullah, beliau lebih dikenal dengan Ibnu Âmir, termasuk salah satu dari tujuh ahli qirâ’at, beliau seorang ahli qirâ’at di Syâm, yang mengambil riwayat bacaan dari al-Mughîrah bin Abi Syihâb al-Makhzûmi dari Utsmân bin ‘Âffân, ia wafat pada tahun 118 H. Abdul Hâdi al-Fadhli, al-Qirâ’at al-Qur’âniyah, hal. 17. Lihat juga di Ibnu al-Bâdzis, kitâb al-Iqnâ’ fi al-Qirâ’at al-Sab’i, juz. 1, hal 103
76 Di antara bacaan Hamzah dan ‘Âshim yang ditolak adalah riwayat Abu Bakr bin ‘Iyâsh yaitu UريءدU كوكب mendhamahkan huruf pertama dan adanya hamzah setelah huruf ya’. Ulama yang menolak bacaan ini adalah seorang ahli bahasa terkenal yaitu al-Farâ’, alasannya bacaan tersebut tidak dikenal dalam kalangan orang Arab, bacaan ini hanya dikenal di kalangan Ajam. Tidak ada dalam ucapan Arab ليفع. Akan tetapi pendapat al-Farâ’ ini dibantah oleh ulama setelahnya, sebagaimana yang penulis sebutkan di atas. Dengan beberapa alasan; Pertama, bacaan al-Qur’ân adalah sunnah, bersumber dari Nabi SAW. Jika sanadnya shahih maka Qiyâs pada bahasa Arab tidaklah berlaku. Kedua, contoh di atas yang diduga tidak dikenal dikalangan masyarakat Arab, tidaklah benar, karena dalam karya Sybawaih yaitu al-Kitâb, contoh ini ada di dalamnya. Nampaknya ini sungguh
xlii
Kritikan tersebut kemudian ditentang oleh Iman al-Suyûthi, bahwa menurutnya
bacaan mereka itu memiliki sanad mutawatir, dan tidak ada kecacatan di dalamnya.77
Sebelum Imam al-Suyûthi mengatakan hal tersebut, Ibnu Mâlik telah lebih dahulu
membantah pendapat al-Farâ, Ibnu Mâlik menegaskan bahwa diakuinya bacaan
mereka oleh segenap kaum Muslim merupakan bagian dari bukti bolehnya
menjadikan ragam bacaan al-Qur’ân sebagai dalil kaidah dan bahasa,78 dan Ibnu
Mâlik adalah di antara pelopor penggunaan ragam bacaan al-Qur’ân sebagai dalil
kaidah nahwu.
Adanya lahn dalam ragam bacaan al-Qur’ân tersebut menurut para penentang,
adalah berdasarkan ungkapan Utsmân bin Affân. r.a. ketika diserahkan padanya
beberapa mushhaf, Utsman r.a mengatakan bahwa di dalamnya terdapat lahn.79 Ada
juga riwayat lain dari Urwah, bahwa ia pernah bertanya pada Aisyah. r.a perihal
terdapatnya lahn dalam beberapa ayat,80 kemudian Aisyah menjawab bahwa itu
kesalahan para penulis ketika menulis mushhaf.81
Riwayat di atas yang dijadikan dalil oleh mereka dibantah oleh para ulama,
dengan beberapa sanggahan; Pertama, riwayat itu tidak-lah benar dari Utsmân,
karena kualitas sanad periwayatan tersebut dha`îf, yang disebabkan mudhtharib dan
munqathi’. Kedua, kalaupun riwayat itu shahih, maksudnya tidaklah demikian,
mengherankan karena al-Farâ’ adalah di antara ulama bahasa yang sangat menguasai karya Sybawaih ini, dan bagaimana mungkin ia tidak mengetahuinya. Atau boleh jadi al-Farâ’ menganggap apa yang dituangkan oleh Syabawaih bukanlah suatu ketetapan pasti, karena Sybawaih bukan dari kalangan Arab. Namun tentunya kita bertanya-tanya mengapa al-Farâ’ tidak mengkritisi pendapat Sybawaih dan justru beliau banyak mengambil ilmu darinya. Hasan Handawi, Manâhij al-Sharfiyyân wa Madzâhibuhum, (Damaskus: Dar al-Qalam 1989), cet. Ke-1, hal. 103-104
77 A l-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 37 78 Misalnya ada ulama yang membenarkan pernyataan bahwa kata اهللا berasal dari kata اله
berdasarkan riwayat bacaan وهو الذي يف السماء اله ويف األرض اله, meskipun dalam mushhaf utsmâni tertulis
lihat al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 37 (QS: al-Zukhruf: 43 & 84) إله79 Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 38 80 Ayat yang dimasud adalah (QS Thâha: 63) ذان إنان هاحرلس (QS al-Nisa: 162) قيمنيالملاة والص
الزكاة والمؤتون . 81 Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 39
xliii
karena yang dimaksud dalam riwayat tersebut berkenaan dengan metode penulisan.82
Di antara ulama yang membantah pendapat ini adalah Ibnu al-Anbâri dalam kitabnya
al-Radd ala man Khalafa Mushhaf Utsmân.83
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa ragam bacaan al-Qur’ân yang
diriwayatkan oleh para ulama juga merupakan dalil dalam kaidah nahwu. Ini sesuai
dengan pendapat jumhur ulama, bahwa ragam bacaan al-Qur’ân merupakan sunnah
yang tidak boleh ditentang, karena ragam bacaan al-Qur’ân telah terjadi pada masa
Nabi SAW, dan Nabi SAW membenarkannya.84
b. Hadîts Nabi SAW
Jika disebutkan kata Hadîts, maka difahami bahwa ia sebagai perkataan,
perbuatan, taqrir dan sifat yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW.85 Namun
ada juga ulama yang mengatakan apa yang disandarkan pada sahabat dan tâbi’în, juga
merupakan bagian dari Hadîts.86 Terminologi di atas umumya dianut oleh ahli Hadîts
dan fiqih. Sedangkan ahli nahwu memiliki terminologi sendiri tentang Hadîts Nabi
SAW. Menurut mereka dalam bidang nahwu, Hadîts adalah perkataan Nabi SAW,
sebabnya karena objek kajian nahwu adalah perkataan atau ucapan Nabi SAW saja,87
dan perkataan Nabi SAW itulah yang merupakan sumber hukum kaidah nahwu. Ada
juga sebagian ahli nahwu yang menambahkan perkataan sahabat yang diriwayatkan
ahli Hadîts dan memiliki hukum marfu’, merupakan bagian dari Hadîts, kesemuanya
itu dapat dijadikan dalil kaidah nahwu.88 Sedangkan sebab masuknya perkataan
tâbi’în di antara yang layak untuk dijadikan sumber kaidah adalah, karena adanya
beberapa perkataan mereka yang tertuang dalam kitab-kitab Hadîts seperti perkataan
82 Seperti الكتاب menjadi الكتب (dengan alif berdiri di atas huruf ta’) 83 Al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. 1, hal 587 84 Al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. 1, hal. 213. Lihat juga di Hasan Mûsa al-
Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 20 85 Mahmûd al-Thahhân, Taysir Musthalah al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr), hal. 14 86 Dalam ilmu Hadîts dikenal dengan Hadits Marfû’, Mauqûf dan Maqthû’. Lihat Ahmad al-
Utsmâni, Qawâ’id fi ‘Ulûm al-Hadîts, (Riyadh: Maktabah al-Mathbû’at al-Islamiyah 1983), cet. Ke-5, hal. 25-26
87 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 25 88 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 25
xliv
al-Zuhri, Hisyâm bin Urwah dan Umar bin Abdul Azîz. Karenanya ahli nahwu
menetapakan perkataan mereka sesungguhnya memiliki kualitas shahih untuk
dijadikan dalil nahwu.89
Banyak alasan mengapa Hadîts menjadi bagian dari sumber kaidah nahwu,
antara lain adalah kefashihan bahasa Nabi SAW, Nabi adalah orang yang paling
fashih dalam berbicara bahasa Arab. Ada beberapa riwayat yang menunjukkan
keluhuran bahasa Nabi SAW, antara lain adalah Ibnu Asâkir dalam târikh-nya
meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah mengakui bahwa ia pernah belajar bahasa
Isma’îl, dan Jibril turut serta menjaga dan mengajarkannya.90 Dan sahabat-sahabat
Nabi SAW pun mengakui keluhuran bahasa Nabi SAW, dengan mengatakan bahwa
mereka tidak pernah mendapati orang yang lebih fashih dalam bahasa Arab, kecuali
Nabi SAW.91 Selain itu Nabi SAW juga mengakui bahwa ia pernah diajarkan pula al-
Asmâ’, sebagaimana Nabi Adam a.s diajarkan.92
Alasan lain otorisasi Hadîts Nabi SAW sebagai bagian dari dalil nahwu
adalah terpeliharanya periwayatan Hadîts oleh para sahabat dan ulama setelahnya.
Sehingga otentisitas Hadîts sebagai ucapan Nabi SAW dapat dipertanggungjawabkan
dan dibuktikan secara ilmiah.93 Maka itu, dari sisi keluhuran bahasa, Hadîts menjadi
kajian urgen bagi ahli nahwu, karena bahasa yang terkandung dalam Hadîts lebih baik
dibandingkan dengan bahasa syair ataupun natsr. Kendati kuantitas kajian bahasa
Hadîts baru meningkat pada abad ketujuh, yaitu pada masa Ibnu Mâlik, namun ini
menunjukkan bahwa Hadîts bukan hanya dikaji dari sisi kandungan hukumnya,
namun juga dari sisi keluhuran stilistik bahasa.
89 Sa’îd al-Afghâni, fi Ushûl al-Nahwi, (Beirut: al-Maktab al-Islâmi 1987), hal. 46 90 Imam al-Suyuthi mengutipnya dari Asâkir, lihat riwayat selengkapnya di al-Suyûthi, al-
Muzhir, juz. 1, hal. 35. بلسان علي القرآن أنزل وإمنا يل حق « : قال ، منك أعرب هو الذي رأينا ما أفصحك ما اهللا رسول يا : رجل له فقال 91 Kitab al-Syu’ab al-Iman, bab Unzila al-Qur’ân alayya bi Lisan (HR Imam al-Baihaqi) » مبني عريب
Arabiyyin Mubin, juz 3, hal. 469 92 al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 35 93 Kesungguhan para sahabat dalam menjaga Hadîts tidak diragukan lagi, meskipun ada
riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW melarang sahabatnya menulis apa yang ia sabdakan selain dari al-Qur’ân. Pembahasan ini akan dianalisis pada bab berikutnya.
xlv
c. Perkataan orang Arab
Yang dimaksud dengan orang Arab di sini adalah mereka yang memiliki
kefashihan dalam berbahasa dan ucapannya terhindar dari penyimpangan bahasa.
Kendati demikian, tidak seluruh ucapan Arab dapat dijadikan dalil bahasa, karena
seiring kemajuan zaman, sosialisai dan pertukaran antar budaya satu negeri dengan
yang lainnya tidak dapat dihindarkan, akibatnya tidak setiap wilayah Arab mampu
mempertahankan kefashihan bahasanya. Karenanya perlu ditentukan batasan masa
dimana ucapan masyarakat Arab dapat dijadikan dalil nahwu. Sesungguhnya kajian
batasan masa ini telah diteliti ahli bahasa dan sejarah, meskipun tidak dipungkiri
terjadi perselisihan pendapat tentang batasan masa orang Arab yang dapat dijadikan
hujjah dalam bahasa fashih. Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang
menyatakan bahwa orang Arab yang sah dan perkataannya dapat dijadikan dalil
nahwu adalah orang Arab perkotaan yang hidup hingga akhir abad kedua, sedangkan
orang Arab Badui yang ada di Jazirah Arab perkataannya dapat dijadikan dalil
Nahwu hingga akhir abad keempat.94 Perbedaan batasan masa ini, ditentukan
berdasarkan kemampuan wilayah tersebut dalam mempertahankan kemurnian
bahasanya.
Ucapan masyarakat Arab ini terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu Syair dan
Natsr. Meskipun terbagi ke dalam dua bentuk, bagi ahli nahwu klasik keduanya tidak
menjadikan yang satu lebih penting dari yang lain, dalam posisinya sebagai dalil
nahwu, kendati dalam beberapa kesempatan tidak dipungkiri bahwa ahli nahwu lebih
banyak berdalil dengan syair.95 Gejala ini diakui oleh Ibrahim Anis, menurutnya ada
ahli nahwu klasik yang memisahkan antara Syair dan Nastr, di antara ulama tersebut
adalah al-Subki.96
94 Abbâs Hasan, Al-Lughah wa al-Nahwu, bayna al-Qadim wa al-Hadits, (Mesir: Dar- al-
Ma’arif t.th), hal. 24 95 Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi, hal. 86 96 Ibrâhim Anis, Min Asrâr al-Lughah, (Mesir: Maktabah al-Anjalu al-Mishriyah 1975), cet.
Ke 5 lihat juga di Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi, hal. 87
xlvi
Mengkaji syair tentunya tidak terlepas dari penyair, dengan kata lain kualitas
syair tergantung dari kualitas penyair itu sendiri. Nyatanya tidak semua syair dapat
dijadikan dalil, terlebih jika penyair tersebut hidup di masa yang bukan masa ihtijâj.
Secara historis, penyair Arab terbagi ke dalam empat periode; Pertama, masyarakat
Jahiliyah yang tidak hidup di masa Islam. Kedua, mukhadramun, yaitu masyarakat
yang hidup pada masa jahiliyah dan masa Islam. Ketiga, umat Islam yang hidup pada
masa awal kemunculan Islam. Keempat, muwalladun yaitu masyarakat yang hidup di
masa setelah jayanya Islam sampai zaman kita saat ini. Al-Baghdâdi berpendapat
tingkatan pertama dan kedua, menurut Ijmâ’ ulama bahasa, ucapan mereka dapat
dijadikan hujjah dalam kaidah nahwu, sedangkan tingkatan ketiga, menurut pendapat
yang paling unggul boleh dijadikan dalil dalam penetapan kaidah nahwu.97
Menurut al-Ashma’i penyair terakhir yang syairnya dapat dijadikan dalil
adalah Ibrahim bin Harmah (w 150 H), Ibnu Miyadah (w 149 H), Thufail al-Kannani
dan Makin al-Udzri (w 160 H), ini menunjukkan bahwa syair yang ditulis setelah
wafatnya mereka tidak ada lagi yang dapat dijadikan dalil.98 Karena setelah masa itu
penyair muncul dari kalangan muwalladun, menurut al-Suyûthi penyair pertama dari
golongan ini adalah Bisyâr bin Bard, dan menurutnya Sybawaih kerap berdalil
dengan sebagian syair Bisyâr.99 Pendapat al-Suyuthi bahwa Sybawaih berdalil dengan
syair Bisyar, menuai penentangan dari ulama bahasa.
Jika menilik pada kedua sumber bahasa pendahulunya, al-Qur’ân dan al-
Hadîts, didapati bahwa masing-masing sumber tersebut dapat berdiri sendiri menjadi
sumber kaidah nahwu, tanpa didampingi sumber lainnya. Dengan kata lain Hadîts
misalnya dapat menjadi dalil kaidah nahwu satu-satunya, jika pada sumber lain tidak
ditemukan ungkapan yang dapat dijadikan dalil. Hal ini pun berlaku pada syair,
menurut ahli bahasa, banyak kaidah-kaidah bahasa yang lahir dari sumber syair saja.
97 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab wa Lubb Lubâbi , (Kairo: Dar al-Madani 1989), cet. Ke-3,
juz. 1, hal. 6. 98 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-‘Arabiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-
Arabi 1995), cet. Ke-1, hal. 108. 99 Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 55
xlvii
Bahkan ada beberapa kaidah yang lahir berdasarkan uslub syair darurat, seperti
adanya kontroversi pada kondisi darurat syair yang men-sharf-kan af’âl al-Tafdhil.100
Contoh lain dari syair yang menjadi dalil tunggal karena tidak didapatinya
dalil dari al-Qur’ân, ini sebagaimana yang dituturkan Ibnu Hisyâm berkenaan dengan
kata مذ ومنذ, ia menyatakan bahwa mayoritas orang Arab mewajibkan jar dalam
keadaan hadir. Akan tetapi pendapat yang lebih unggul adalah menjarkan منذ untuk
al-Fi’il al-Mâdhi dibandingkan dengan merafa’kan-nya. Dan merafa’kan مذ
dibandingakan dengan menjarkan-nya.101
2. Sumber Ma’qûl
a. Qiyâs
Dalam tradisi ilmu keislaman qiyâs bukanlah ilmu baru, sebelum berkembang
dan tumbuhnya qiyâs pada ilmu nahwu, ia terlebih dahulu muncul dalam bidang ilmu
syariah yaitu ilmu ushûl al-Fiqh.102 Dan secara terminologi tidak ada perbedaan yang
mencolok antara qiyâs dalam ilmu nahwu dan qiyâs dalam ushûl al-Fiqh.103 Yang
membedakan tentunya hanya objek kajian dan illat, dalam nahwu tentu yang dianalisa
berkaitan dengan i’râb bahasa, dan persyaratan illatnya pun tidak jauh berbeda
dengan kajian ushûl al-Fiqh.
Dalam pandangan Ibnu al-Anbâri, qiyâs bukan hanya sebagai dalil nahwu
melainkan lebih jauh dari pada itu, nahwu adalah qiyâs. Menurutnya seluruh nahwu
adalah qiyâs, jadi siapa saja yang mengingkari qiyâs, maka sesungguhnya ia
mengingkari nahwu itu sendiri.104 Karena itu tidak heran jika orang pertama kali
meletakkan qiyâs dalam nahwu adalah Abu al-Aswad yang juga disebut sebagai
100 Ibnu al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1998), cet.
Ke-1, juz. 2, hal. 31 101 Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi, hal. 91 102 Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi, hal. 143 103 Hasan Handawi, Manâhij al-Sharfiyyân wa Madzâhibuhum, hal. 243 104 Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi, hal. 145
xlviii
peletak dasar kaidah nahwu, ini artinya munculnya qiyâs dalam ilmu nahwu
bersamaan dengan munculnya kaidah nahwu.105
Secara umum qiyâs telah digunakan pada masa sahabat, ini tercermin dalam
surat yang ditulis Umar bin Khattab pada qadhi-nya Abu Musa al-Asy’ari di Bashrah,
agar ketika memutuskan sesuatu hendaknya bersandar pada dalil al-Qur’ân dan al-
Hadits, jika tidak ditemukan pada keduanya maka lakukanlah qiyâs.106 Inilah
mungkin di antara alasan kuat ahli bahasa melakukan qiyâs, tentunya sesuai dengan
kaidah qiyâs yang disepakati, baik dari sisi rukun qiyâs dan bentuk qiyâs yang boleh
dan tidak diperbolahkan, seperti yang tidak dibenarkan adalah melakukan qiyâs pada
dalil manqul yang lemah.107
Dari uraian di atas dapat difahami bahwa qiyâs memiliki pengaruh besar
dalam penetapan kaidah nahwu, bahkan dalam pengembangan bahasa Arab secara
umum. Inilah dalil ma’qul pertama yang dianggap oleh sebagian ahli bahasa memiliki
peran yang besar dibandingkan dengan dalil manqul itu sendiri. Namun pembahasan
ini tidak akan dikaji lebih mendalam, karena ini bukanlah merupakan pembahasan
pokok dalam tesis ini.108
b. Ijmâ’ dan Ishtishâb
Dari uraian sebelumnya, diketahui bahwa tidak semua ahli nahwu berdalil
dengan Ijmâ’, Ibnu al-Anbâri meskipun mengakui keberadaan Ijmâ’ dalam ilmu fiqih
namun ia tidak mengakui adanya Ijmâ’ dalam ilmu nahwu.109 Ini karena pengertian
Ijmâ’ dalam ilmu fiqih dengan ilmu nahwu sangat berbeda. Pengertian Ijmâ’ dalam
bidang nahwu adalah kesepakatan ulama Bashrah dan Kufah dalam suatu kaidah.110
105 Hasan Handawi, Manâhij al-Sharfiyyân wa Madzâhibuhum, hal. 245 106 Hasan Handawi, Manâhij al-Sharfiyyân wa Madzâhibuhum, hal. 244 107 Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 73 108 Untuk lebih memahami qiyas, pembaca dapat merujuk pada kitab Muhammad Hasan
Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah. 109 Afâf Hassânayn, fi Adillah al-Nahwi, hal. 213 110 Meskipun Ibnu Jinni mengakui adanya Ijmâ’, namun ia tidak memungkiri adanya syarat-
syarat tertentu yang tidak dapat diabaikan dalam memegang Ijmâ’. Selengakapnya lihat Ibnu Jinni, al-Khasâish, juz. 1, hal. 189
xlix
Ijmâ’ ini diakui sebagai dalil jika tidak bertentangan dengan teks dalil manqul dan
juga qiyâs pada dalil manqul. Contoh Ijmâ’ dalam ilmu nahwu adalah; sepakatnya
ulama nahwu Bashrah dan Kufah dalam perkara khabar al-Mubtada’ jika terdiri dari
sifat, maka khabar itu mengandung dhamir yang merujuk pada mubtada’, seperti زيد
-sifat pada dua kalimat tersebut kedudukannya sebagai khabar al قائم، عمر حسن
Mubtada’, namun secara Ijmâ’ keduanya mengandung dhamir yang kembali pada
mubtada’.111
Ada yang perlu dilihat lebih mendalam dalam perkara Ijmâ’ ini, yaitu adanya
beberapa kaidah yang bukan Ijmâ’, namun dianggap sebagai Ijmâ’ oleh beberapa ahli
bahasa. Misalnya kata يااهللا اللهم , dari kata ini sebagian ulama berpendapat bahwa huruf
mim yang ada pada kalimat tersebut merupakan pengganti dari huruf ya’, hal ini
dinggap Ijmâ’, dengan alasan bahwa kata املله diambil dari perkataan يااهللا, karena
bertemunya dua huruf ya’ dalam satu kalimat maka huruf ya’ pertama diganti dengan
huruf mim. Padahal sesungguhnya pendapat ini hanya dianut oleh ulama Bashrah,
tidak oleh yang lainnya.112 Karena ulama Kufah memiliki pendapat lain, ungkapan
yang biasa diucapkan oleh ulama Kufah adalah ناخبرييااهللا أم , ulama Kufah cenderung
menghilangkan sebagian ucapan yang biasa diucapkan oleh ulama Bashrah, dengan
tujuan untuk mempersingkat dalam berdoa.113
Berbeda dengan Ijmâ’ dalam pandangan ilmu syariat, Ijmâ’ dalam ilmu
nahwu tidak mutlak harus diikuti.114 Ibnu Jinni di antara ulama yang membolehkan
111 Afâf Hassânayn, fi Adillah al-Nahwi, hal. 213 112 Ibnu al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, juz 1, hal. 317 113 Ibnu al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, juz 1, hal. 320 114 Afâf Hassânayn, fi Adillah al-Nahwi, hal. 218
l
keluar dari Ijmâ’, bahkan dalam beberapa kaidahnya, terkadang ia bertentangan
dengan Ijmâ’, seperti berkenaan dengan ungkapan; هذا حجر ضب خربTP115PT
Selain Ijmâ’ ada dalil lain yaitu Ishtishhâb, dalil ini hanya dianut oleh Ibnu al-
Anbâri.116 Ia mendefenisikan Ishtishhâb sebagai penetapan keadaan suatu lafadz yang
nota bene memiliki hak dalam asalnya ketika tidak memiliki dalil al-Naqli.117
Sesungguhnya Ishtishhab al-Hal adalah dalil yang berkembang di kalangan ulama
Bashrah saja, kendati demikian di kalangan mereka pun dalil ini adalah dalil yang
peling lemah, tidak dibenarkan berdalil dengan Ishtishhâb selama ada dalil lain yang
lebih kuat ketika menetapkan kaidah nahwu. Maka itu mayoritas ulama tidak
menjadikan ishtishhab sebagai bagian dari dalil nahwu.
B. Nahwu Pada periode Klasik
Kehadiran ilmu Nahwu sesungguhnya merupakan respon dari keprihatinan
Imam Ali bin Abi Thalib ketika mendengar salah seorang sahabatnya berbicara
bahasa Arab dengan stilistik yang salah.118 Respon inilah yang menjadikan titik awal
dalam penulisan kaidah nahwu, tujuannya agar masyarakat Arab yang telah
bercampur dengan Ajam dan begitu juga dengan masyarakat non Arab, dapat
memahami bahasa fashih dengan baik. Karena kualitas pemahaman seseorang
terhadap bahasa Arab, akan berpengaruh langsung pada pemahamannya terhadap teks
Agama, al-Qur’ân dan al-Hadîts.119 Meskipun dalam perjalanan kodifikasi ilmu
115 Ibnu Jinni berpendapat adanya penentangan terhadap Ijma’ nahwu sesungguhnya telah ada
sejak adanya ilmu nahwu itu sendiri. Selengkapnya lihat Ibnu Jinni, al-Khashâish, juz. 1, hal. 191-192 116 Afâf Hassânayn, fi Adillah al-Nahwi, hal. 229 117 Defenisi ini sesungguhnya terminolgi yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah dalam ilmu
ushul al-Fiqhnya, yang intinya berlandaskan pada kaidah ‘asal sesuatu itu adalah boleh, selama tidak ada dalil yang melarangnya’. Dikatakan bahwa ahli nahwu mengutip istilah ini dan kemudian diterapkan pada kaidah ushul al-Nahwi.
118 Penyimpangan bahasa adalah faktor utama pendorong peletakan kaidah nahwu. Kemunculan Lahn ini bukan hanya pada masa Ali bin Abi Thâlib, konon pada masa Nabi SAW pun sudah terjadi penyimpangan bahasa, namun saat itu Nabi SAW langsung menegurnya, karena Nabi SAW adalah orang yang paling mengerti bahasa fashih. Selengkapnya lihat Abdulkarim Muhammad al-‘Asad, al-Wasith fi târikh al-Nahwi al-Arabi, (Riyadh: Dar al-Syawâf 1992), cet. Ke-1 hal. 27.
119 Di antara syarat menjadi Mufassir dan Muhaddits adalah penguasaan yang mumpuni dalam bidang ilmu gramatika bahasa dan bahasa Arab fashih, bahkan Abbâs Hasan menyatakan kalaulah bukan karena ilmu nahwu, tentu kita tidak dapat memahami firman Allah SWT. Lihat Abbâs
li
nahwu ini tidak terlepas dari perselisihan pendapat ulama akan kaidah yang
dibangun,120 akan tetapi tidak menyurutkan generasi berikutnya untuk terus
membangun kaidah nahwu yang lebih kuat dan kokoh.
Terlebih jika mengkaji pemikiran nahwu sebelum masa Ibnu Mâlik (w 672
H), akan ditemukan adanya perselisihan pemikiran nahwu di kalangan ulama, baik
dari perbedaan perangkat ushûl al-Nahwi yang digunakan, maupun dari perlakuan
ulama nahwu terhadap dalil-dalil bahasa.121 Singkatnya adanya perbedaan pemikiran
dalam ilmu ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada disiplin ilmu lainnya
seperti tafsîr, hadîts dan fiqih. Itu sebabnya dalam ilmu nahwu dikenal juga aliran
atau madzhab pemikiran nahwu, hanya saja aliran pemikiran ini diwakili oleh kota-
kota tertentu dimana para ulama nahwu menetap, bukan perorangan. Misalnya
madzhab nahwu kota Bashrah, Kûfah, Baghdad dan lainnya. Sehingga ketika
disebutkan nama seorang ahli nahwu, dan hendak mengetahui pemikirannya tentang
nahwu, baiknya diketahui terlebih dahulu di mana ia dibesarkan dan bertempat
tinggal, karena diyakini pemikiran satu ulama tidak akan terlepas dari lingkungan di
mana ia menetap. Maka itu, pemikiran seorang ahli nahwu bisa jadi refresentatif dari
pemikiran sebuah kota atau madzhab tertentu.
Hasan, al-Lughah wa al-Nahwu bayna al-Qadîm wa al-Hadîts (Mesir: Dar al-Ma’ârif), cet. Ke-2, hal. 66. Lihat juga al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damaskus: Dâr Ibnu Katsîr1996), cet. Ke-3, juz. 2, hal. 129
120 Perselisihan tidak hanya terjadi pada ulama yang hidup di kemudian hari, namun terjadi pula pada ulama-ulama awal yang merupakan perintis kaidah nahwu, yang karya-karyanya selalu dijadikan rujukan dan standar oleh ulama yang hidup setelahnya. Al-Farâhidi adalah di antara tokoh madzhab Bashrah, dan al-Kisâ’i adalah tokoh Madzhab Kûfah dan juga murid al-Farâhidi, namun keduanya memiliki perbedaan dalam kaidah ilmu nahwu, baik dari sisi metodologi, interpretasi terhadap teks dan lainnya. Contoh; dalam hal boleh tidaknya mendahulukan huruf istitsnâ’ di awal perkataan, menurut al-Kisâ’i, hal itu boleh saja seperti يدا أكل زم كامإال طع namun pernyataan ini dibantah oleh ulama Bashrah. selengkapnya lihat al-‘Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf bayna al-Nahwiyyin al-Bashariyyin wa al-Kûfiyyin, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah 1998), cet. Ke-1, juz. 1, hal. 254
121 Dalam pandangan penulis pangkal dari perbedaan bentuk kaidah nahwu yang dibangun oleh masing-masing madzhab adalah perbedaan mereka dalam kualitas pengetahuan dan pengalaman akan sumber nahwu, khususnya syair. Dan tentunya perbedaan pengalaman dan pengetahuan akan syair ini pun disebabkan beberapa faktor, baik itu faktor internal maupun eksternal. Selengkapnya lihat di Muhammad Thanthâwi, Nasy’at al-Nahw wa Târîkh Asyhar al-Nuhât, (Dâr al-Manâr 1991), hal. 73
lii
Begitu juga ketika penulis ingin membuktikan orisinilitas pemikiran nahwu
Ibnu Mâlik, penulis mengawalinya dengan menganalisa aliran madzhab nahwu yang
pernah muncul sebelum keberadaan Ibnu Mâlik. Dan juga membuktikan sebesar apa
pengaruh pemikiran ulama Andalusia bagi Ibnu Mâlik, dengan demikian akan
nampak orisinil atau tidaknya pemikiran Ibnu Mâlik. Jika tidak, lantas pemikiran-
pemikiran apa saja yang mempengaruhi sikap Ibnu Mâlik dalam menetapkan kaidah
nahwu.
Ada lima aliran pemikiran atau lebih tepatnya lima kota, yang merupakan
refresentatif dari pemikiran nahwu yang muncul sebelum Ibnu Mâlik, tentunya di
setiap aliran terdapat persamaan dan perbedaan satu sama lainnya, hal ini karena
faktor tingkat pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki para ulama nahwu yang
berbeda-beda. Pada awal kemunculan ilmu nahwu, dalam menetapkan suatu kaidah
ulama lebih banyak berpijak pada sya’ir Arab dan al-Qur’ân,122 kemudian setelah
adanya kodifikasi Hadîts, barulah muncul semangat untuk melahirkan kaidah nahwu
yang bersandar pada Hadîts Nabi SAW. Dan perbedaan tersebut makin nampak
manakala wilayah penyebaran Islam makin meluas, kecenderungan pendalaman ilmu
pengetahuan makin melebar. Jika pada masa awal para ulama lebih cenderung pada
kajian Tafsir dan Hadîts, maka pada masa berikutnya kecenderungan mereka juga
melebar pada kaidah bahasa Arab.
Secara historis, perkembangan nahwu terbagi ke dalam beberapa periode;123
Pertama, periode perintisan dan penumbuhan (Periode Bashrah), perkembangan pada
periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abu al-Aswad sampai
munculnya Al-Khalîl bin Ahmad, yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode
ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa
pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah.
122 Seperti Sybawaih dalam Kitâb-nya,dari 1450 dalil nahwu yang digunakan, 1050 di antaranya terdiri dari sya’ir. Al-Rumâni dalam karyanya Ma’âni al-Hurûf dari 338 dalil nahwu yang digunakan, 147 terdiri dari syair dan 187 terdiri dari al-Qur’ân. Al-Mufasshal karya al-Zamakhsyari dari 791 dalil, 454 terdiri dari syair dan 319 terdiri dari al-Qur’ân. Lihat Hasan Musa al-Sya’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawi, hal. 94.
123 Muhammad Thanthâwi, Nasy’at al-Nahw wa târîkh Asyhar al-Nuhât, hal. 20-28
liii
Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas (analogi), belum munculnya
perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa
pengembangan ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin
luas, mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam
menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai digunakannya metode analogi.
Kedua; periode ekstensifikasi (Periode Bashrah-Kufah), periode ini
merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi Kufah. Hal ini tidak
terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu dibangun daripada
kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya. Terjadi perdebatan
yang sengit antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut sampai
menghasilkan apa yang disebut sebagai aliran Bashrah dengan panglima besarnya
Imam Sybawaih, sedangkan aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam al-Kisâ’i.
Pada masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas tema-tema
yang saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf. Ketiga; periode penyempurnaan dan
Tarjih (Periode Baghdad), di akhir periode ekstensifikasi. Masa ini diawali dengan
hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru, Baghdad. Meskipun telah
berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa fanatisme alirannya masing-
masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan antara
pemikiran Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru yang disebut
sebagai aliran Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu telah mencapai
kesempurnaan. Aliran Baghdad mencapai keemasannya pada awal abad keempat
hijriyah. Masa ini berakhir kira-kira pada pertengahan abad keempat hijriyah. Ahli
nahwu yang hidup sampai masa tersebut dikategorikan sebagai ahli nahwu klasik.
Setelah tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Andalusia (Spanyol),
lalu di Mesir, dan akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat
ini.
Faktor-faktor geografis yang terpencar-pencar inilah yang pada akhirnya
mendorong terbentuknya madzhab-madzhab nahwu, yang awalnya berpusat di
Bashrah kemudian Kûfah, lalu tersebar ke seluruh penjuru dunia. Pengaruh faktor ini
liv
dianggap penting karena kegigihan ulama dalam menyiarkan ilmu pengetahuan ke
berbagai penjuru bumi, yang tentunya tidak terlepas dari kecenderungan pengetahuan
yang mereka miliki, telah memberikan warna pemikiran tersendiri pada kota yang
ditempatinya.124 Karena itu jika diteliti lebih mendalam keunggulan Bashrah dalam
bidang nahwu, dan keunggulan Kûfah dalam bidang tafsîr, hadîts dan fiqih, maka
tidak akan terlepas dari kecenderungan dan pengetahuan ulama-ulama, khususnya
para sahabat, tâbi’în dan atbâ’ tâbi’în yang menetap dan berdakwah di kota-kota
tersebut.125 Sehingga madzhab-madzhab nahwu yang dikenal luas di kalangan ahli
bahasa tersebut memiliki ciri khas dan pengaruh tersendiri terhadap pemikiran nahwu
ulama kemudaian.
C. Aliran Pemikiran Nahwu
1. Madzhab Bashrah
Pendiri madzhab ini adalah al-Khalîl bin Ahmad al-Farâhidî (w 1754 H),
beliau dikarunia kecerdasan luar biasa, mampu mengungkap rahasia dan keluhuran
bahasa Arab dengan cermat. Pemahamannya terhadap nadzam dan stilistik bahasa
Arab menjadi inspirasi ulama yang datang kemudian, karenanya tidak mengherankan
jika banyak santri yang mengaji dan berguru padanya. Di antara murid beliau yang
paling populer adalah Sybawaih (w 188 H), beliau dikenal sebagai murid al-Farâhidî
yang istimewa, ia merupakan ulama Nahwu yang paling produktif dan cerdas dalam
mengkaji nahwu, sehingga para ulama menjulukinya sebagai imam para ahli nahwu.
Abu Thayyib mengatakan bahwa dari sekian banyak murid yang belajar pada al-
124 Pendelegasian ulama kepada negeri-negeri yang belum mengenal Islam sudah terjadi pada masa Nabi SAW, misalnya Mush’ab bin Umair ke Yatsrib, satu rombongan yang dipimpin oleh al-Mundzir bin ‘Amir ke Najed, Abu Musa al-‘Asyari, Muadz bin Jabal dan sahabat lainnya yang diutus ke Yaman. Lihat Ali Mustafa Yaqub Sejarah, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus 2000), cet. Ke-2, hal. 166-173
125 Adanya pengaruh ulama-ulama terhadap corak pemikiran pada suatu kota tertentu, tergambar dalam pernyataan Ibnu Taimiyah, yang merupakan pemikir Islam Abad pertengahan, dalam menghubungkan tingkat pengetahuan para sahabat dan tâbi’în mengenai tafsir, beliau mengatakan; “kelompok yang paling mengetahui tafsir adalah penduduk Makkah, karena mereka menyertai Ibnu Abbas. Selanjutnya adalah orang Kûfah karena mereka menyertai Ibnu Mas’ûd. Kemudian adalah para ahli dari Madinah, seperti Zaid bin Aslam, Abdurrahman bin Zaid, dan Mâlik bin Anas. Untuk mengetahui lebih mendalam penyebaran ulama tafsir lihat. Al-Hafidz Syamsuddin al-Dâwûdi, Thabaqât al-Mufassirin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 2002) cet. Ke-1, hal. 4
lv
Farâhidî, tak satupun murid yang kecerdasannya serupa dengan Sybawaih, ia adalah
orang yang paling memahami nahwu setelah al-Farâhidî, ini dibuktikan dengan
karyanya yang disebut-sebut sebagai Qur’an-nya nahwu.126
Sebagai madzhab pertama dalam ilmu nahwu, Bashrah memiliki kekhususan
dan keutamaan dalam pemikirannya, kaidah-kaidah yang lahir dari pena ulama
Bashrah sangat kuat menghujam di kalangan ulama, maka itu tidaklah mengherankan
jika pemikirannya banyak mempengaruhi sudut pandang ulama nahwu setelahnya,
ciri yang paling menonjol dari madzhab ini adalah;
Pertama; ketelitian dan keselektifan. Ketelitiannya tergambar dalam memilih
uslub yang fashih dan ketajamannya dalam memilih dalil-dalil kuat sebagai sumber
penetapan kaidah nahwu. Bukti lain dari ketelitiannya adalah, meskipun mereka
mendengar ungkapan bahasa Arab secara langsung dari mayoritas orang Arab, namun
tidak semua ungkapan itu dijadikan dalil dalam penetapan kaidah nahwu, sebelum
terlebih dahulu ungkapan-ungkapan tersebut dipastikan keshahihannya. Sikap ini
muncul karena keteguhan prinsip ulama Bashrah untuk tidak bersandar pada riwayat
yang lemah, juga pada syair yang kurang dikenal, ini dilakukan tidak lain karena
ulama Bashrah menginginkan pondasi ilmu nahwu ini kuat, maka itu harus dibangun
dari riwayat yang mutawatir, atau yang mendekatinya.127 Karena bangunan yang
berdiri dari pondasi kuat, tidak akan mudah runtuh oleh hembusan angin dan badai.
Ketelitian dan selektifnya ulama Bashrah dalam memilih dalil terlihat juga
dari beberapa ungkapan Sybawaih dalam Kitab-nya,128 ungkapan-ungkapan tersebut
menunjukkan kehati-hatiannya dalam memilah-milah sumber ilmu bahasa, dan juga
kesungguhannya dalam meletakkan dasar-dasar kaidah nahwu yang kokoh.
Kedua; kemampuannya dalam berdalil dengan dalil aqli, mantiq dan filsafat.
Nampaknya kelebihan ini dimiliki oleh ulama Bashrah klasik, buktinya adanya
126 Untuk lebih mengenal keluhuran Sybawaih dan kecerdasannya dalam bidang nahwu, pembaca dapat merujuk pada buku; Sybawaih Imâm al-Nuhât karya Ali al-Najdi Nâshif (Kairo; Alam al-Kutub)
127 Musthafa Abd al-Aziz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 17. ."ومسعت من أوثق من العرب يقول"، "وقد قال قوم من العرب ترضي عربيتهم"، "ومسعنا من يوثق به من العرب" 128
lvi
riwayat yang mengatakan bahwa Abu Ishâq al-Hadramî (w. 117 H) adalah orang
pertama yang mengembangkan nahwu dan menawarkan qiyas sebagai sumber kaidah
ilmu nahwu.129 Keistimewaan-keistimewaan inilah yang menjadikan kota Bashrah
sebagai rujukan utama dalam bidang nahwu. Kedua keistimewaan di atas tidaklah
berdiri sendiri, pastinya ada beberapa faktor penting yang mendukungnya, antara lain;
a. Letak geografis kota Bashrah; Kota Bashrah sangat berdekatan dengan
orang Badui yang merupakan oase bahasa fashih, keluhuran bahasa Arab Badui ini
dibuktikan dengan terhindarnya bahasa yang mereka gunakan dari lahn dan kecacatan
bahasa. Kelebihan ini nampaknya dimanfaatkan betul oleh ulama dan pelajar di
Bashrah untuk menggali bahasa fashih dari sumber dan pakarnya. Pemanfaatan
kesempatan emas ini terlihat dari adanya beberapa ulama Bashrah yang sering
menyempatkan berkunjung ke wilayah Badui. Di lain kesempatan, masyarakat Badui
pun sering berkunjung ke kota Bashrah, dan tentunya kedatangan mereka disambut
baik bagai para pahlawan yang baru pulang dari medan peperangan. Karenanya jika
menilik kitab Tarajum,130 akan ditemukan pada tarajum ulama nahwu Bashrah,
sebagiannya pernah berkunjung ke wilayah Badui dan bertemu dengan orang-orang
Arab, tujuannya antara lain mendengar dan mengkaji keluhuran bahasa Arab dari
penutur aslinya. Bahkan tokoh ulama nahwu, yaitu al-Farâhidî131 pun melakukan hal
yang sama. Sebagaimana diceritakan al-Kisâ’i, bahwa ia bertanya pada gurunya, al-
Farâhidî, “Dari mana engkau mendapatkan ilmu nahwu ini?” al-Farâhidî menjawab,
“Aku mengambilnya dari orang Badui Hijâz, Najd dan Tihâmah. Setelah mendengar
129 Al-Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn (Mesir; Dar al-Ma’ârif), cet. Ke-2,
hal. 31 130 Pembaca dapat melihat pada kitab Bughyat al-Wu’ât karya al-Suyuthi, Mu’jam al-Udabâ’
karya Yâqût, al-Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibnu Katsîr dan lainnya. 131 Nama lengkapnya al-Khalîl bin Ahmad al-Farâhidi, ketokohannya dalam bidang bahasa
tidak diragukan lagi, ia disebut-sebut sebagai Sayyid al-Udabâ’. Bahkan Sufyan al-Tsaurî memujinya dengan mengatakan, “Barang siapa yang ingin melihat seseorang yang diciptakan dari emas dan minyak Misk, maka lihatlah pada al-Khalîl bin Ahmad. Lihat Yâqût, Mu’jam al-Udabâ’ (Beirut; Dâr al-Fikr 1980), cet. Ke-3, juz. 11, hal. 74.
lvii
itu, al-Kisâ’i pun bergegas berkunjung ke wilayah Badui, untuk memahami bahasa
Arab dari penutur aslinya, sebagaimana yang dilakukan gurunya.132
Maka itu dalam beberapa biografi ahli nahwu Bashrah, diketahui bahwa
sebagian dari ulamanya pernah berkunjung ke wilayah Badui seperti; Yûnus bin
Habib, al-Nadhr bin Syâmil al-Maznî dan Abu Zaid al-Anshârî. Bahkan sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa masyarakat Badui pun sering berkunjung ke kota
Bashrah, mereka terkadang tinggal dalam waktu yang lama dan terkadang juga hanya
sebentar. Tentunya kedatangan mereka disambut baik khususnya oleh pelajar bahasa
Arab.133
b. Pasar Mirbad; Pasar Mirbad yang terletak di kota Bashrah merupakan pasar
besar yang juga cukup terkenal, pasar itu merupakan tempat istirahat para musafir,
bertemunya para saudagar dari berbagai kota dan Arab Badui. Di pasar Mirbad inilah
terjadi komunikasi yang tinggi antara penduduk Bashrah dan para saudagar yang
datang dari Arab Badui. Bahkan di pasar tersebut, para penyair kerap
mengumandangkan syair, syair yang baik tentu akan mendapatkan pujian, dan
pastinya para pelajar bahasa memanfaatkan keberadaan penyair tersebut untuk
mendengar dan belajar bahasa Arab yang bebas dari penyimpangan dan kecacatan
itu.134
Kondisi ini dimanfaatkan pula oleh para ulama bahasa, mereka
menyengajakan datang ke pasar tersebut, bukan untuk berbelanja atau berniaga,
namun sekedar untuk mendengar ungkapan bahasa fashih dari para penuturnya yang
sedang berniaga di Mirbad. Karena itu, pasar ini menjadi faktor penting dalam
menunjang lahirnya Madzhab Bashrah, sebagai madzhab nahwu pertama.
132 Yâqût, Mu’jam al-Udabâ, juz. 13, hal. 169. 133 Di antara Arab Badui yang terkenal sering berkunjung ke Bashrah adalah Abu Mahdiyyah
yang kerap berbicara bahasa Arab dengan dialek Hijâj, dan al-Muntaji’ bin Nabhân yang berbicara dengan lahjat Tamîm. Musthafa abd al-Aziz, al-Madzâhib al-Nahwiyyah fi Dhau’i al-Dirâsat al-Lughawiyah al-Hadîtsah, hal. 19
134 Musthafa abd al-Aziz, Al-Madzâhib al-Nahwiyyah fi Dhau’i al-Dirâsat al-Lughawiyah al-Haditsah, hal. 18
lviii
c. Masjid Bashrah; Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, masjid
selain sebagai tempat ibadah shalat, juga merupakan tempat pembelajaran al-Qur’ân
dan kegiatan belajar mengajar lainnya.135 Hal ini pun berlangsung hingga masa
berikutnya, hingga masa berkembangnya ilmu pengetahuan di Bashrah. Masjid
Bashrah tidak kalah terkenalnya dengan pasar Mirbad, masjid ini ramai didatangi
oleh para ulama dan pelajar, untuk berdiskusi atau menuntut ilmu keislaman seperti
ilmu bahasa, kalam, tafsir dan hadîts. Di Masjid Bashrah, pembelajaran berbagai ilmu
Agama ini diasuh oleh penduduk Arab yang tinggal di Bashrah atau para utusan dari
Arab Badui yang memiliki kemampuan luhur dalam bidang ilmu bahasa dan Agama.
Maka itu setidaknya fakta ini menunjukkan bahwa masjid Bashrah memiliki peranan
penting dan menjadi faktor berarti akan kelahiran madzhab nahwu Bashrah.
2. Madzhab Kûfah
Jika mengkaji kitab tarajum ahli nahwu dan melihat pendahulu ulama Kufah,
maka akan ditemukan Abu Ja’far al-Ruwâsy136 dan Mu’âdz al-Harrâ’137 berada pada
urutan pertama, namun ini tidak berarti bahwa mereka berdua peletak madzhab
nahwu Kufah. Karena menurut kesepakatan ahli sejarah, peletak kaidah nahwu Kufah
adalah murid mereka berdua yaitu al-Kisâ’i dan al-Farâ’, kedua murid inilah yang
merumuskan pondasi ilmu nahwu Kufah, dengan penuh kesungguhan dan ketelitian,
hasilnya kaidah-kaidah yang lahir dari Kufah memiliki corak tersendiri yang berbeda
dengan madzhab Bashrah.138
Secara historis madzhab Kûfah muncul belakangan, sekitar seratus tahun
setelah kemunculan madzhab Bashrah. Hal ini bukan lantaran ilmu nahwu dianggap
135 Al-A’zami, The History of The Qura’nic Text, Alih bahasa Ali Mustafa Yaqub (Jakarta: Gema Insani 2005), cet. Ke-1, hal 66
136 Ia adalah seorang ahli nahwu di Kufah, pernah berguru pada Isa bin Amr. Salah satu karyanya berkenaan dengan Jama’ dan Mufrad, ia dijuluki al-Ru’asi karena ia mempunyai kepala yang besar. Lihat di al-Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyin wa al-lughawiyyin, hal. 125.
137 Dijuluki al-Harrâ, karena ia penjual pakaian al-Harwiyah, kemudian ia dinisbatkan pada Hirât yaitu salah satu kota di Khurasan. Ada yang mengatakan beliau adalah peletak ilmu sharaf yang wafat 187 H. lihat al-Suyuthi, Bughyat al-Wu’ât, hal. 393.
138 Syauqi Dhayf, al-Madâris al-Nahwiyyah, hal. 154. dan lihat juga di Musthafa abd al-Aziz, al-Madzâhib al-Nahwiyyah fi Dhau’i al-Dirâsat al-Lughawiyah al-Hadîtsah (Jeddah: al-Fayshaliyah 1986), hal. 38
lix
tidak penting, melainkan ulama Kûfah lebih konsentrasi pada ilmu keislaman lainnya
seperti Fiqih, Hadîts, dan Qirâ’at, sehingga perhatian mereka terhadap nahwu tidak
seserius masyarakat Bashrah pada masa itu.139 Dengan kata lain, perhatian ulama
Kûfah terhadap ilmu keislaman hampir berbarengan dengan perhatian ulama Kûfah
terhadap Bahasa. Karenanya dari sisi penguasaan Sya’ir, ulama Kûfah lebih unggul
dibandingkan dengan ulama Bashrah.140 Jika meneliti sikap para ulama Kûfah
terhadap sumber kaidah nahwu, akan kita temukan bahwa mereka lebih banyak
menggunakan sumber bahasa yang nota bene diabaikan oleh mayoritas ulama
Bashrah. Sebagaimana penulis jelaskan di awal bahwa ulama Bashrah tidak banyak
menggunakan uslub ahli kalam sebagai dalil nahwu, mereka lebih banyak
memperhitungkan akal, dan bersandar pada dalil-dalil manthiq serta sumber-sumber
filsafat, dengan demikian sikap ini berlainan sekali dengan ulama Kûfah.
Maka itu, ulama Kûfah lebih mengandalkan pendengaran, mereka banyak
mendengar ungkapan bahasa Arab fashih dari kabilah-kabilah Arab, baik yang selama
ini menjadi sumber ulama Bashrah maupun tidak, antara lain; masyarakat Arab yang
hidup di kampung Sawâd di Baghdad, seperti Arab al-Hathamiyah dan lainnya.
Selain itu ulama Kûfah juga menerima seluruh riwayat Syair dan ungkapan Arab,
tanpa memperdulikan kualitas syair tersebut, mereka menerapkannya sebagai dalil
dalam penetapan kaidah nahwu. Akibatnya, ulama Kûfah kerap menggunakan dalil
yang jarang digunakan ulama lainnya, sehingga kaidah-kaidah yang lahir dari ulama
mereka kerap berbeda dengan kaidah-kaidah yang selama ini dibangun oleh ahli
nahwu Bashrah.141
Jika diamati secara historis lebih jauh, kebesaran kedua madzhab di atas
tidaklah mengherankan, karena Irak yang merupakan tempat dua kota besar Bashrah
dan Kufah, adalah negeri yang memiliki perkembangan signifikan dalam sisi ilmu
pengetahuan, di negeri inilah awal berkembangnya ilmu-ilmu bahasa Arab.
139 Syauqi Dhayf, al-Madâris al-Nahwiyyah, (Mesir: Dar al-Ma’ârif 1976), hal. 153 140 Al-Suyûthi, al-Iqtirâh fi Ilm Ushul al-Nahwi, hal. 84 141 Lihat di Musthafa Abd al-Aziz, al-Madzâhib al-Nahwiyyah, hal. 41
lx
Kebesaran kedua kota tersebut tidak terlepas dari peran ulama pada masa
kepemimpinan Umar bin Khattab r.a sekitar tahun 14 H yang menjadikan Bashrah
dan Kufah sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kedua kota besar tersebut
memiliki perbedaan yang mencolok dari berbagai sisi, antara lain dari sisi letak
geografis, kecenderungan dan tabiat masyarakatnya, kefasihan ucapannya dan
metodologi penelitiannya dalam kaidah nahwu. Di bawah ini akan diuraikan
keunggulan dan perbedaan antara kedua madzhab di atas;
Pertama; dari sisi letak georafis, Bashrah diuntungkan karena letak kota
Bashrah berdekatan dengan masyarakat Badui, yang memiliki kefashihan dalam
bahasa Arab. Sedangkan letak kota Kufah sangat jauh dari komunitas masyarakat
Arab, jika dibandingkan dengan Bashrah. bahkan kota ini sering dikunjungi oleh
utusan-utusan dari negeri non Arab, dan terjadilah hubungan diplomatis antara
penduduk Kufah dan non Arab, akibatnya tabiat dan karakter Kufah telah bercampur
dengan Ajam, dan bahasanya pun telah terpengaruhi oleh satu sama lainnya. Maka itu
implikasinya dalam penetapan kaidah nahwu, Kufah lebih bersifat toleran dan sangat
memudahkan, tidak seketat dan seselektif masyarakat Bashrah dalam menggunakan
dalil bahasa.142
Kedua; dari sisi tabiat dan kecenderungan, penduduk Bashrah adalah
masyarakat yang keras dan sulit bersosialisasi, mungkin karena itulah mereka
menjadi pendukung Muawiyah. Adapun penduduk Kufah masyarakatnya lebih
cenderung penurut dan pecinta ketenangan. Secara politik, mereka merupakan
pendukung Ali bin Abi Thâlib yang pernah mendatangi kota mereka. Dan kelak
Kufah menjadi penolong Daulah Abbasiyah, tidak heran jika Daulah Abbâsiyah
sangat mengistimewakan masyarakat Kufah, bahkan dari sisi ilmu pengetahuan para
khalifahnya mempercayakan ulama Kufah untuk mendidik anak-anaknya. Contohnya
seorang ulama bahasa terkenal al-Kisâ’i pernah mengajarkan sastra pada khalifah al-
142 Abdul karim Muhammad al-‘Asad, al-Wasith fi tarikh al-Nahwi al-Arabi, hal. 35
lxi
Rasyîd dan kedua anaknya al-Amîn dan al-Ma’mûn, al-Farâ’ juga demikian yang
merupakan murid dari al-kisâ’i mengajarkan anak-anak al-Ma’mûn. Ibnu Sikit murid
dari al-Farâ ‘mengajarkan anak-anak al-Mutawakkil dan lainnya.143
Ketiga; Keluhuran bahasa, penduduk Bashrah memiliki karakter bahasa paling
lembut dalam berbicara bahasa fashih, karena mereka bagian dari kabilah yang
memiliki bahasa yang jernih. Di samping itu mereka sering berinteraksi dengan
masyarakat Badui, keuntungannya adalah perkataan Arab yang dijadikan sebagai
dalil nahwu oleh mereka adalah perkataan yang shahih. Ini bertolak belakang dengan
penduduk Kufah, mereka tidak memiliki lingkungan yang masyarakatnya berbahasa
luhur, sehingga terkadang mereka mengambil sumber bahasa dari kabilah yang
kefashihannya jauh lebih rendah dari Bashrah, terlebih konsentrasi mereka terhadap
ilmu nahwu, muncul jauh belakangan setelah masyarakat Bashrah.144
Keempat; penduduk Bashrah telah meletakkan undang-undang komprehensif
bagi bahasa dalam hal Rafa’, Nashab, Jar, dan Jazm. Undang-undang dan kaidah-
kaidah kebahasaan yang meeka bangun mendekati keshahihan, karena mereka
mengambil saksi atau dalil kaidah dari sumber terpercaya dan teruji kefashihanya.145
Keteguhannya dalam mempertahankan kaidah yang telah mereka bangun tercemin
dalam sikapnya ketika ada ungkapan Arab yang shahih namun bertentangan dengan
kaidah mereka, maka mereka berusaha untuk meta’wilkannya agar keduanya sejalan,
dan tidak melakukan qiyas sebagaimana yang dilakukan oleh ulama Kufah.146
Sikap Bashrah ini berbeda sekali dengan penduduk Kufah, ulama Kufah lebih
cenderungan bersikap Mutasahhil, ini tercermin misalnya ketika ada ungkapan Arab
143 Muhammad Thanthâwi, Nasy’at al-Nahw wa Târîkh Asyhar al-Nuhât,hal 76 144 Muhammad Thanthâwi, Nasy’at al-Nahw wa târîkh Asyhar al-Nuhât,hal 75 145 Abdulkarim Muhammad al-‘Asad, al-Wasith fi tarikh al-nahwi al-Arabi, hal. 36 146 Ulama Bashrah kerap menyalahkan sebagian orang Arab yang perkataan dan qirâ’atnya
tidak sejalan dengan kaidah yang mereka bangun, misalnya kaidah yang sudah masyhur di kalangan Arab إن menashab isim dan merafa’kan khabar, namun didapati dalam sebagian kondisi إن tidak melakukan itu padahal ungkapan itu bersumber dari yang shahih, seperti bacaan shahih yang diakui oleh Ulama Qira’at Sab’ah kecuali Abu Amr bin al-Ala’ yaitu لساحرانإن هذان , meskipun ada riwayat lain dari Abu Amrإن هذين لساحران . lihat Ibnu Hisyâm, Syarh Syudzûr al-Dzahâb fi ma’rifat kalâm al-‘Arab (Makkah: Dar al-Baz) hal. 46
lxii
yang shahih padahal bertentangan dengan kaidah umum, maka ulama Kufah
membolehkan qiyas, bahkan mereka menjadikan bahasa yang lemah ini sebagai
pondasi bagi kaidah umum yang baru. Ibnu Darastawayh al-Baghdâdi yang
merupakan ulama fanatik terhadap penduduk Bashrah mengatakan; al-Kisâ’i pernah
mendengar bahasa yang syadz yang tidak boleh digunakan kecuali dalam keadaan
darurat, akan tetapi ia menjadikan bahasa syadz tersebut sebagai dalil dan
membolehkan berqiyas padanya, karena itulah ilmu nahwu menjadi rusak.147
3. Madzhab Baghdad
Kemajuan pertumbuhan dan perkembangan madzhab Baghdad dalam bidang
nahwu, tidak akan terlepas dari peran aktif para pelajarnya yang menimba ilmu dari
kedua madzhab besar pendahulunya, Bashrah dan Kûfah. Kontribusi pelajar-pelajar
ini adalah kesungguhannya dalam mempelajari kaidah-kaidah nahwu yang dibangun
oleh kedua Madzhab tersebut, kemudian memilahnya dengan cara mencari pendapat
yang lebih unggul dari keduanya. Pendapat yang tepat menurut mereka akan
dipegang sebagai corak pemikirannya, tanpa melihat asal kemunculan kaidah
tersebut, dari Bashrah-kah atau Kûfah. Dengan demikian, tidak sedikit ulama nahwu
yang menyebutkan bahwa madzhab Baghdad adalah madzhab gabungan antara
pemikiran Bashrah dan Kûfah. Meskipun al-Zubaidi mengatakan bahwa Madzhab ini
lebih cenderung pada Bashrah, karena dilihat dari banyaknya jumlah kaidah yang
mereka gunakan, banyak kesesuaiannya dengan pemikiran Bashrah.148
Jika meneliti pergerakan pemikiran ahli nahwu Baghdad, akan ditemukan
dalam generasi pertama madzhab ini, kecenderungan yang berbeda-beda, misalnya
dari mereka ada yang lebih cenderung pada madzhab Kûfah, seperti Muhammad bin
Sulaiman al-Hamidh (w 305 H) dan Ahmad bin Syaqir (w 327 H). Ada juga yang
cenderung pada madzhab Bashrah misalnya Ibrâhim al-Zujaj (w 310 H), Muhammad
bin Sirâj (w 316 H), Abdurrahman al-Zujaji (w 337 H), Abu Aly al-Shaffâr (w 341
147 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, (Beirut:
Maktabah al-Ashriyah 2003), juz. 2, hal. 164 148 Musthafa Ad al-Aziz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 73
lxiii
H), dan Abdullah bin Darastawayh (w 347 H). Selain itu, ada juga sebagian ulama
Baghdad yang menggabungkan antara kedua madzhab tersebut, seperti Abdullah bin
Qutaibah al-Dînurî (w 276 H), Ali bin Sulaiman al-Akhfas al-Shaghîr (w 315 H) dan
Muhammad al-Khayâth (w 320 H).149
Demikianlah fenomena pergerakan pemikiran generasi pertama di Baghdad,
mereka memiliki kecenderungan yang berbeda-beda antara satu ulama dengan yang
lainnya. Pendapat yang menurut mereka tepat, baik itu dari Bashrah atau Kûfah, maka
itulah pendapat yang dianut. Bahkan terkadang para ulama Baghdad berijtihad
sendiri, jika menurutnya kaidah dari kedua madzhab pendahulunya kurang tepat, atau
ada dalil lain yang memberikan kaidah alternatif dari kedua pendahulunya. Maka itu
ahli sejarah bahasa menegaskan bahwa sesungguhnya hasil ijtihad para ulama
Baghdad inilah yang merupakan ciri dari pemikiran Madzhab Baghdad,150 karena
kaidah tersebut berbeda dan tidak ditemukan pada madzhab sebelumnya.
4. Madzhab Andalus
Perkembangan pemikiran nahwu di Andalusia telah mengalami proses
perkembangan dalam beberapa periode; Periode pertama, pemikiran nahwu madzhab
ini lebih banyak dipengaruhi oleh Madzhab Kûfah, ini disebabkan ulama nahwu
pertama di Andalus yaitu Jaudy bin Utsmân (w 198 H) pernah menuntut ilmu di
Kûfah dan mengaji langsung kepada beberapa tokoh ulama Kûfah seperti al-Kisâ’i,
al-Farâ’, dan lainnya. Dan ketika Jaudy kembali ke Andalusia, ia membawa kitab
karya al-Kisâ’i dan mengajarkannya pada siswa dan pelajar di Andalusia.151
Periode kedua, adalah periode dimana pelajar Andalusia beramai-ramai
berkunjung ke daerah Timur, termasuk Bashrah, di antaranya adalah Muhammad bin
Musa al-Andalûsy, beliau belajar di daerah Bashrah, dan pernah mengaji Kitab karya
Sybawaih pada Abu Ali al-Dinûrî, dan beliau juga pernah mengaji pada al-Maznî.
149 Musthafa Abd al-Aziz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 74 150 Pemikiran orisinal Baghdad seperti bolehnya me-ma’rifah-kan al-Hâl, sedangkan Bashrah
sebaliknya, wajib me-nakirah-kan al-Hâl secara muthlak. Lihat Musthafa Abd al-Aziz, al-Madzâhib al-Nahwiyyah, hal. 76
151 Abdulkarim Muhammad al-‘Asad, al-Wasith fi tarikh al-nahwi al-Arabi, hal. 147
lxiv
Dan tentunya sekembalinya dari Bashrah, Muhammad bin Mûsa menyebarkan
pemikiran Bashrah pada pelajar-pelajar di Andaluisa, bahkan para ahli sejarah
mengatakan bahwa beliau adalah orang pertama kali yang mengajarkan dan
menyebarkan pemikiran Sybawaih di Andalûsia, meskipun di Andalûsia telah
berkembang pemikiran nahwu Kûfah.
Periode ketiga, pada periode ini pelajar Andalûsia banyak mengkaji beberapa
karya ulama Baghdad, dan tidak dipungkiri pemikiran ulama Baghdad ini banyak
mempengaruhi sebagian pelajar Andalûsia. Fenomena ini tentunya menambah
wawasan bagi ulama nahwu Andalusia kemudian, khususnya ulama yang hidup
setelah munculnya ketiga perode di atas. Karenanya ciri pemikiran Andalûsia
sesunguhnya baru terlihat pada abad kelima Hijriyah, inilah awal dari kemandirian
dan kemapanan pemikiran Andalusia, meskipun pada prinsipnya pemikirannya tidak
terlepas dari pemikiran ketiga pendahulunya, Bashrah, Kûfah dan Baghdad. Kendati
demikian, kemandirian ini berlangsung hingga abad keenam dan ketujuh hijriyah.152
Di antara ciri madzhab ini adalah, terlihat dari kaidah-kaidah yang mereka
bangun lebih banyak bersumber pada teks manqul, sedikit sekali dari mereka yang
bersandar pada teori qiyâs. Nash-nash itu adalah al-Qur’ân, al-Hadîts dan perkataan
orang Arab baik yang berbentuk Syair dan Nastr.153 Selain itu ada ciri lain yang tidak
kalah menarik, yaitu kecenderungan dan usaha mereka untuk mempermudah
pembelajaran nahwu, ini dapat dilihat dari karya-karya yang lahir dari tangan ulama
Andalûsia, misalnya usahanya dalam menjelaskan dengan rapih kaidah dan
permasalahan nahwu yang nampaknya sulit, terlihat begitu mudah. Dalam aspek
penyajian pun ulama Andalusia banyak menulis ringkasan-ringkasan nahwu, baik
dalam tulisan biasa atau juga dalam bentuk nadzam, ini dilakukan untuk
mempermudah para pelajar dalam memahami nahwu yang sederhana, khususnya bagi
152 Musthafa Abd al-Azîz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 87 153 Menurut penulis kecenderungannya pada sumber manqul, antara lain disebakan karena
madzhab Andalus berkembang di saat ilmu keislaman mencapai puncak keemasan, seperti penafsiran al-Qur’ân, kodifikasi Hadits dan periwayatan syair yang sudah berkembang dengan pesat.
lxv
para pemula yang ingin mempelajari nahwu dengan singkat dan hanya sebagai
pelengkap ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya.
5. Madzhab Mesir
Kajian nahwu di Mesir muncul setelah masuknya Islam ke negeri itu,
kemunculannya berbarengan dengan semangat masyarakat Mesir untuk mengkaji al-
Qur’ân, dan dasar-dasar nahwu dipelajari untuk mempermudah pemahaman mereka
terhadap kitab suci al-Qur’ân.154 Maka itu, Ilmu Agama adalah ilmu pertama kali
yang berkembang di Mesir, yang dirintis dan kembangkan pertama kali oleh seorang
sahabat Nabi SAW Abdullah bin Amr bin al-Ash.
Secara historis, pengembangan kajian nahwu di Mesir pertama kali dipelopori
oleh al-Walid bin Muhammad al-Tamimi, yang dikenal dengan Wallâd. Semasa kecil
ia tumbuh di Mesir, kemudian setelah dewasa ia mengembara ke Irak untuk mengaji
pada al-Khalîl bin Ahmad al-Farâhidi, sekembalinya dari Irak ia mengembangkan
ilmu yang didapati dari gurunya al-Farâhidi.155 Estapet perkembangan nahwu ini
kemudian dilanjutkan oleh Abu al-Hasan al-A’ajj, ia berguru pada al-Kisâ’i. Dan
setelah munculnya madzhab ketiga yaitu Baghdad pada abad keempat hijriyah,
mulailah pemikiran Baghdad merasuki pemikiran nahwu Mesir.156
Dari tokoh-tokoh ulama ini dapat disimpulkan bahwa pada periode pertama
pemikiran nahwu di Mesir lebih diwarnai oleh pemikiran Bashrah dan Kûfah. Namun
pada abad keempat hijriah, seiring lahirnya pemikiran madzhab Baghdad, Mesir tidak
luput dari pengaruh madzhab ini. Pengaruh Andalusia di Mesir pun tidak bisa
dipandang sebelah mata, ini dibuktikan ketika lahir madzhab Andalusia,
pemikirannya langsung menyebar ke berbagai kota di Mesir.157
154 Di antara ulama yang pertama mengembangkan ilmu al-Qur’ân adalah Abdurrahman bin
Harmaz yang berdakwah di Mesir, dan kemudian menetap di sana. Beliau wafat pada 227 H, dan dimakamkan di Iskandaria. Lihat Musthafa Abd al-Azîz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 91
155 Syauqi Dhayf, al-Madâris al-Nahwiyyah, hal. 328 156 Musthafa Abd al-Azîz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 92 157 Untuk mengetahui perkembangann nahwu Mesir lebih mendalam, pembaca dapat merujuk
pada Ahmad Nashîf al-Janâbi, Al-Dirâsât al-Lughawiyyah wa al-Nahwiyyah fi Mishr, (Kairo: Dâr al-Turâts 1977)
lxvi
BAB III
IBNU MÂLIK DAN AHLI NAHWU KLASIK
A. Biografi Ibnu Mâlik
1. Asal usul Ibnu Mâlik
Ibnu Mâlik bernama lengkap Jamâl al-Dîn Abu Abdillah Muhammad bin
Abdullah bin Mâlik al-Thay al-Jayyânî al-Andalûsî al-Syâfi’î al-Nahwî al-Lughawî.
Ahli sejarah berbeda pendapat tentang nama ayah beliau, ada yang mengatakan
bahwa namanya Abdullah bin Mâlik,158 ada juga yang mengatakan ayahnya bernama
158 Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Kairo; Dar al-Hadîts 1994), juz. 13, hal. 298
lxvii
Abdullah bin Abdullah bin Mâlik.159 Perbedaan keduanya terletak pada nama
kakeknya Ibnu Mâlik, apakah nama kakeknya bernama Abdullah juga, sama seperti
nama ayahnya. Sebagian para hâfidz mengatakan ketika menjelaskan silsilah Ibnu
Mâlik, bahwa nama Abdullah disebutkan dua kali berturut-turut, dan sebagiannya lagi
menyebutkan nama Abdullah hanya disebutkan sekali. Pendapat kedua ini tersurat
pada awal tulisan syarh umdah al-Hâfidz, selain itu pendapat ini juga dianut oleh al-
Shafdî dan Ibnu Khâthib.160
Lain halnya dengan yang tersurat dalam muqaddimah al-Tashîl yang ditulis
oleh Muhammad Kâmil, beliau menulis Muhamad bin Abdullah bin Muhammad bin
Abdullah bin Mâlik, dengan tambahan Muhammad, Kamil menukilnya dari al-
Damâminî dalam awal Syarh al-Tashîl.161
Waktu kelahirannya pun diperselisihkan oleh ulama, sehingga penulis pun
tidak dapat memastikannya, ini karena Imam al-Dzahabi,162 al-Maqqari,163 Ibn al-
Imâd,164 al-Subkî, al-Asnâwî dan Yasin al-Alimî165 pun tidak dapat memastikan tahun
kelahirannya dengan pasti, mereka hanya mengkisarkan antara 600 atau 601 H. Al-
Shafdî, Ibnu Taghrî berpendapat bahwa Ibnu Mâlik dilahirkan pada tahun 601 H, ini
tentunya berbeda dengan pendapat Muhammad Kamil dan juga ulama terdahulunya
seperti al-Dâminî, Ibnu Syâkir,166 Ibnu Katsîr,167 dan al-Suyûthi168 yang mengatakan
bahwa Ibnu Mâlik dilahirkan pada tahun 600 H.
159 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 130. 160 Al-Maqqâri, Nafh al-Thîb min Ghushni al-Andalusi al-Rathîb (Beirut; Dar Shadir 1968),
juz. 2, hal. 223. 161 Adnân al-Dûrî, Muqaddimah Syarh Umdah al-Hâfidz li Ibni Mâlik, hal. 18 162 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 130 163 Al-Maqqâri, Nafh al-Thîb min Ghushni al-Andalusi al-Rathîb, juz. 2, hal. 222 164 Ibnu al-Imâd, Syadzarât al-Dzahab fi Ikhbari man Dzahab, (Beirut: Dar al-Fikr 1994), juz.
5, hal. 339 165 Adnân al-Dûry, Muqaddimah Syarh Umdah al-Hâfidz li Ibni Mâlik, (Baghdad: Maktab al-
‘Âny 1977), hal. 19 166 Adnân al-Dûry, Muqaddimah Syarh Umdah al-Hâfidz li Ibni Mâlik, hal. 19 167 Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, juz.13, hal. 267 168 Al-Suyûthi, al-Muzhir fi Ulum al-Lughah wa ‘Anwaiha (Kairo: Dar al-Turats), cet. Ke-2,
juz. 2, hal. 468
lxviii
Sedangkan tempat kelahirannya, ahli sejarah bersepakat bahwa tempat
kelahiran Ibnu Mâlik di Jayyân,169 ia merupakan salah satu kota terkenal di
Andalusia. Adapun kabilah al-Thay yang disematkan pada Ibnu Mâlik adalah
merupakan salah satu kabilah yang ada di Andalusia.170 Sepanjang usianya Ibnu
Mâlik memiliki keluhuran budi pekerti yang dikagumi oleh setiap orang. Imam al-
Dzahabi menuturkan, Ibnu Mâlik adalah orang yang tekun dalam beribadah baik itu
wajib maupun sunnah, hatinya lembut, cerdas dan sosialnya amat tinggi.171 Selain itu
ia juga seorang yang giat dalam menulis karya tulis dalam bidang bahasa.172
Ibnu Mâlik dikaruniai dua putra; Pertama, Badruddin Muhammad, beliau
dikenal sebagai ulama cerdas dalam bidang nahwu, Bayân, Arûdh, Ushûl, Manthiq
dan ia juga aktif mengikuti perkembangan fiqih dan ushûl Fiqh.173 Badruddin belajar
langsung dari ayahnya, Ibnu Mâlik. Meskipun berguru pada ayahnya, namun
169 Jayyân adalah kota terkenal di Andalusia yang terletak sebelah timur Qurtubah. Dari kota
Jayyân banyak lahir ulama-ulama besar, seperti al-Husain bin Muhammad al-Ghassyani yang populer dengan julukan al-Jayyânî (w 498 H), ia adalah tokoh ahli Hadîts di Qurtubah. Ada juga Yusuf bin Muhammad al-Jayyânî (w 545 H), ia juga merupakan ahli Hadîts. Ada juga ahli bahasa Arab, yaitu Mush’ab bin Muhammad al-Jayyânî, dan Ibnu Mâlik juga di antaranya dan lain-lain. Karenanya kemasyhuran Andalusia akan ulama-ulama besar tidak diragukan lagi. Bahkan Syaikh Abu al-Hasan al-Nubahi menulis kitab khusus yang menceritakan keluhuran ulama-ulama Andalusia. Lihat Abu al-Hasan al-Nubahi al-Andalusi, Târikh Qudhât al-Andalus (Beirut: Maktab al-Tijari t.th)
170 Adnân al-Dûry, Muqaddimah Syarh Umdah al-Hâfidz li Ibni Mâlik, hal. 20 171 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz 1, hal. 130. 172 A. Karyanya dalam bidang Sharaf dan Bahasa 1. Al-Kâfiyah al-Syâfiyah, terdiri dari tiga
ribu bait syair tentang nahwu 2. al-Wâfiyah fi Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah. 3. al-Khulâshah, yang dikenal dengan nama kitab alfiyah. 4. al-Tashîl 5. Syarh al-Tashîl. 6. al-Mufasshal fi Nadzmi al-Mufashshal 7. Sabku al-Mandzûm wa Fakku al-Makhtûm. 8. Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz. 9. Syarh al-Umdah 10. Ikmâl al-Umdah 11. Syarh Ikmâl al-Umdah 12. Syawâhid al-Tawdhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh. 13. al-Muqaddimah al-Asadiyah 14. Syarh al-Juzwaliyah 15. Naktuhu al-Nahwiyyah ala Muqaddimah Ibnu Hâjib. 16. Mukhtashar al-Syâfiyah 17. Syarh al-Khulâshah 18 Ajwibah ala As’ilah Jamâl al-Din al-Yamânî fi al-Nahwi. 19. I’jâz al-Ta’rîf fi Ilm al-Tashrîf. 20. Syarh Tashrîf Ibnu Mâlik, yang diakutip dari karyanya al-Kâfiyah 21. Qâshidah fi al-Asmâ’ al-Mu’annatsah. 22. Nadzm al-Farâid 23. Ikmâl al-A’lâm bi Matslats al-Kalâm 24. Ikmâl al-A’lam bi Tatslits al-Kalâm. 25. Tsulatsiyyât al-Af’âl. 26. Lâmiyah al-Af’âl aw al-Miftâh fi Abniyah al-Af’âl. 27. Syarh Lâmiyah al-Af’âl. 28. al-I’tidhâd fi al-Farq bayna al-Dhâd wa al-Dza. 29. al-I’timâd fi Nadzâ’ir al-Dha wa al-Dza. 30. Tuhfat al-Maudûd fi al-Maqshûr wa al-Mamdûd. 31. Syarh Tuhfat al-Mawdûd. B. Karyannya dalam bidang Qirâ’at. 1. al-Mâlikiyah fi al-Qirâ’at. 2. al-Lâmiyah fi al-Qirâ’at. 3. al-Dâliyah fi al-Qirâ’at C. Karya Ibnu Mâlik dalam al-‘Arûdh hanya satu yaitu kitab al-‘Arûdh. Lihat Adnan, Muqaddimah Syarh al-Umdah, hal. 43-45.
173 Ibnu al-Imâd, Syadzarât al-Dzahab fi Ikhbâri man Dzahab, (Beirut: Dâr al-Fikr), juz. 5, hal. 398
lxix
perbedaan dan perselisihan pendapat dengan ayahnya dalam bidang nahwu tidak
terhindarkan. Syarh Alfiyah yang ditulis pertama adalah buah pena putera Ibn Mâlik
sendiri, Muhammad Badruddin (w 686 H). Syarh ini banyak mengkritik pemikiran
nahwu yang diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian Maf’ûl Muthlaq,
Tanâzu’ dan sifat Mutasyâbihât. Meskipun kritikan Badruddin ini dianggap tidak kuat
oleh sebagian ulama, tapi putera ini yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang.
Atas dasar itu, Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid
dari ayat al-Qur’ân. Akan tetapi, karena hampir semua ilmuan mengetahui bahwa
tidak semua teks al-Qur’ân bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang sudah
dianggap baku oleh ulama, sehingga sanggahan dan kritikan ulama terhadap teori-
teori Badruddin ini pun tidak terhindarkan.
Kritikus yang pada masa mudanya bertempat di Ba’labak ini sangat rasional
dan cerdas dalam bidang nahwu, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori nahwu
yang syâdz. Karena itu, penulis-penulis syarah Alfiyah yang muncul berikutnya,
seperti Ibn Hisyâm, Ibn Aqîl, dan al-Asymûni, banyak meralat alur pemikiran putra
Ibn Mâlik tadi. Meskipun begitu, syarh Badrudin ini cukup menarik, ini terlihat dari
banyaknya ulama besar yang menulis Hâsyiyah (peluasan) untuknya, seperti karya
Ibn Jamâ’ah (w.819 H), al-‘Ainî (w.855 H), Zakaria al-Anshâriî (w.191 H), al-
Suyûthi (w.911 H), Ibn Qâsim al-Abbâdi (w.994 H), dan Qâdhi Taqiyuddin bin
Abdulqâdir al-Tamimî (w.1005 H). Selama tinggal di Ba’labak, banyak masyarakat
yang mengaji padanya, antara lain Badruddin bin Zaid. Namun setelah wafat
ayahnya, ia diminta untuk kembali ke Damaskus untuk meneruskan beberapa
pekerjaan ayahnya yang belum tuntas, seperti menulis karya yang belum rampung
dan melayani murid-murid yang hendak berguru padanya, seperti apa yang dilakukan
ayahnya semasa ia hidup.
Karya Badruddin yang merupakan penjelasan dari kitab ayahnya, Alfiyah,
dinamainya dengan syarah Ibnu Nâdhim, selain itu ia juga turut mensyarh karya-
karya ayahnya yang lain seperti al-Kâfiyah, Lâmiyah, dan ia juga menyelesaikan
syarah Tashîl dan al-Mishbâh fi al-Ikhtishâr al-Miftâh yang merupakan karya yang
lxx
mengkaji al-Ma’âni. Badruddin wafat di Damaskus hari Ahad, delapan Muharram
tahun 686 H, ada juga yang mengatakan ia wafat pada tahun 687 H. Pada waktu
wafatnya Badruddin, tidak sedikit masyarakat Damaskus yang bersedih dan merasa
kehilangan akan putra dari ulama besar ini.174
Adapun putra kedua Ibnu Mâlik adalah Taqiyuddin Muhammad bin
Muhammad, ia dikenal dengan al-Asad, Ibnu Mâlik pernah mengabadikan julukan ini
dalam salah satu karyanya, yang dinamai dengan al-Muqaddimah al-Asadiyah, ia
memiiki Masjid dan Toko, dan diduga kuat ia wafat ketika ayahnya masih hidup
sekitar 659 H.175
2. Pendidikan Ibnu Mâlik
Tersiar di kalangan ahli bahasa bahwa guru-guru Ibnu Mâlik dalam bidang
bahasa Arab dan Qira’at sulit untuk dilacak,176 ini dirasakan oleh Ibnu Hayyân, beliau
mengatakan ‘Aku telah lama meneliti guru Ibnu Mâlik, dan hasilnya tidak ada satu
pun orang yang memberitahukan perihal gurunya padaku’. Akan tetapi dengan
berlangsungnya waktu, Ibnu Hayyân mendapatkan informasi dari salah satu teman
sekaligus murid Ibnu Mâlik yaitu Sulaimân bin Abi Harb, ia menceritakan bahwa
Ibnu Mâlik pernah mengaji kepada Tsabit bin Khayyâr. Ia berasal dari tempat yang
sama dengan tempat lahirnya Ibnu Mâlik, Jayyân. Dan sesungguhnya Tsabit bin
Khayyar ini bukanlah orang yang ahli dalam bidang bahasa Arab, melainkan ia
seorang ahli dalam bidang Qira’at. Ibnu Mâlik juga pernah mengikuti majelis Abu
Ali Al-Syalaubini (w. 645 H) sekitar tiga belas hari.177
Dari berbagai literatur sejarah, sedikitnya ada tiga tempat dimana Ibnu Mâlik
menggali ilmu dan mengaji kepada para ulama, ada yang di Jayyân, Damaskus dan
Halb. Di Jayyan Ibnu Mâlik belajar qirâ’at dan nahwu dari Tsabit bin Hayyân.178 Di
174 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 225 175 Al-Maqqâri, Nafh al-Thîb min Ghushni al-Andalusi al-Rathîb, juz. 2 hal. 431 176 Adnân al-Dûry, Muqaddimah Syarh Umdah al-Hâfidz li Ibni Mâlik, hal. 25 177 Al-Maqqâri, Nafh al-Thîb min Ghushni al-Andalusi al-Rathîb, juz. 2, hal. 428-429 178 Ia dikunyahi dengan Abu al-Mudhaffar, Abu Razin dan Abu al-Hasan bin Muhammad bin
Yûsuf bin Hayyân al-Jayyâni. Ia seorang ahli nahwu dan juga ahli qira’at, wafat pada tahun 627 H. Lihat di Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât, juz. 1, hal. 482
lxxi
kota ini juga Ibnu Mâlik pernah mengaji pada Abu Ali Al-Syalaubini (w. 645 H) kira-
kira lima belas hari lamanya, dalam riwayat lain disebutkan hanya sepuluh hari.179 Di
Damaskus, Ibnu Mâlik pernah belajar pada al-Sakhâwi,180 Abu Shâdiq al-Hasn bin al-
Shabâh,181 Abu al-Fadhl Mukarram bin Muhammad bin Abi al-Shaqr,182 dan
Muhammad Abu al-Fadhl al-Mursî.183 Di Halb Ibnu Mâlik sering mengikuti
pengajian yang diasuh oleh Ibnu Ya’îsh,184 ia juga sering berdiskusi dengan Ibnu
Amrûn,185 murid dari Ibnu Ya’îsy.186
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa pendidikan Ibnu Mâlik
sangat komprehensif. Di tempat kelahirannya, Jayyân, ia sudah berkenalan dengan
ilmu bahasa Arab, hadîts dan qira’at. Studinya ia sempurnakan dengan mengadakan
rihlatul’ilmi ke berbagai kota di Timur, yang masa itu merupakan gudangnya para
ulama. Dengan demikian penulis meyakini bahwa kemampuan ijtihad-nya dalam
bidang nahwu, yang disebut-sebut sebagai ahli bahasa yang banyak berdalil dengan
179 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 131 180 Ia adalah Ibnu al-Hasan Ilmuddin Ali bin Muhammad bin Abd al-Shamad al-Sakhâwi al-
Nahwii al-Muqri’ al-Syafi’i. Dari namanya dapat diketahui bahwa ia adalah seorang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan seperti qirâ’at, nahwu dan bahasa. Ia juga seorang ahli tafsir, fiqih dan ushul fiqh. Di kalangan guru dan muridnya ia dikenal berakhlak tinggi dan rendah hati. Diketahui selama hidupnya ia pernah berguru pada al-Syâtibi dan al-Tâjj al-Kindi. Ibnu Khalkan berkata mengenainya, “Aku sering melihat al-Sakhâwi mengendari tunggangan menuju ke arah gunung, di sekitarnya terdapat dua atau tiga orang yang mengaji padanya. Untuk lebih jelasnya lihat Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 2, hal. 192-194
181 Dalam nama lengkapnya terdapat kata al-Mishri al-Kâtib, ini menunjukkan bahwa ia berasal dari Mesir dan merupakan seorang penulis. Ia wafat 632 H, selama hidupnya ia dikenal sebagai ahli sastra yang shaleh dan baik hati.
182 Ia berasal dari Damaskus, lebih dikenal dengan nama Ibn Abi al-Shaqr, dilahirkan pada tahun 458 H, beliau seorang ahli Hadîts, wafat pada tahun 635. menurut Imam al-Suyûthi dari al-Shaqr inilah, Ibnu Mâlik belajar Hadîts. Lihat Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, hal. 446
183 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 130 184 Nama lengkapnya adalah Yâ’isy bin Ali bin Yâ’isy bin Muhammad Muwaffiquddin Abu
al-Baqa’, namun ia lebih dikenal dengan nama Ibnu Yâ’isy al-Nahwî al-Halbî. Halb adalah tempat dilahirkan dan dibesarkannya. Lahir pada tahun 553 H, dan wafat pada tahun 643 H. Ia termasuk ulama besar di bidang nahwu dan sharaf. Pernah mengaji pada al-Kindi di Damaskus. Selengkapnya lihat Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 2, hal. 351
185 Nama lengkapnya adalah Jamaluddin Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Abu Said bin Amrun al-Nahwî al-Halbî. Menurut Al-Dzahabi, tahun kelahirannya diperkirakan 596 H dan wafat pada tahun 649 H. Ibnu Amrun ini belajar nahwu pada Ibnu Yâ’isy dan lainnya. Lihat Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât, juz. 1, hal. 231
186 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 130
lxxii
Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu, adalah merupakan istana yang dibangun dari
pondasi yang kuat, yaitu pondasi ilmu agama dan bahasa.
B. Hadîts dalam Karya Ibnu Mâlik dan Ahli Nahwu Klasik
Dalam bab ini akan dianalisa keterlibatan ahli nahwu seperti Ibnu Mâlik dan
yang lainnya dalam menjadikan Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu. Sehingga
keterlibatan ahli nahwu klasik dengan Hadîts dapat dibuktikan kebenarannya. Karena
tidak dipungkiri bahwa bidang ilmu apapun terlebih kaidah bahasa, akan selalu
berkaitan dengan ilmu syariat lainnya, sehingga perhatian ahli nahwu terhadap Hadîts
tidak dapat dielakkan. Meskipun pada masa awal kemunculan ilmu nahwu, kodifikasi
Hadîts belum dilakukan secara teratur.
Keterlibatan ahli nahwu klasik terhadap Hadîts tercermin dalam berbagai
bentuk; Pertama dari sisi bahasa Hadîts, ahli nahwu tersebut adalah Abu Amr bin al-
A’la (154 H),187 yang mengomentari salah satu Hadîts Nabi SAW.188 Menurutnya
kalaulah Rasulullah SAW menghendaki kata ةغر dengan makna aslinya, tentulah
Rasulullah SAW akan berkata يف اجلنني عبد أو أمة. Akan tetapi yang dimaksud dalam
Hadîts ini tidaklah demikian, karena makna yang kehendaki Rasulullah SAW adalah
makna TP189PTالبياض . Kedua, dari sisi i’râb, ini terlihat ketika Hamad bin Salamah
mengimla’kan Hadîts Nabi SAW kepada Sybawaih. Hadîts Nabi SAW tersebut
187 Ia adalah imam ulama Bashrah dalam bidang qirâ’at, nahwu dan bahasa. Ia meriwayatkan
hadîts dari Anas Bin Mâlik dan Abu Shâlih. Lihat. Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 2, hal. 231
188 Hadîts tersebut adalah; نني فية الجرد بغبع ة أوأم Hadîts ini diriwayatkan oleh banyak ahli Hadîts. Seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan lainnya, hanya saja redaksi yang digunakan sedikit berbeda-beda.
189 Menurut Abu Amr makna Hadîts tersebut adalah; ال يقبل يف الدية أال غالم أبيض أو جارية بيضاء pembahasan selengkapnya lihat; Al-Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn (Mesir; Dar al-Ma’ârif), cet. Ke-2, hal. 36
lxxiii
berkenaan dengan kata Aba al-Darda’.190 Sybawaih kemudian berusaha membetulkan
gurunya dengan mengatakan ’karena ia fikir kata Abu al-Darda , ليس أبو الدرداء
berkedudukan sebagai isim Laysa. Kemudian Hamad berkata, bahwa Sybawaih telah
melakukan lahn, karena yang dimaksud kata laysa di sini adalah bermakna
pengecualiaan.191
Sesungguhnya kedatangan Sybawaih ke Bashrah ditujukan untuk mendalami
dan mengkodifikasi Hadîts Nabi SAW, namun karena peristiwa dengan Hamad
tersebut, ia beralih pada kajian ilmu Bahasa, yaitu nahwu. Dan kemudian ia
dianjurkan oleh gurunya al-Khalîl untuk menjadi Imam ahli nahwu, dan kelak
Syabwaih disebut-sebiut sebagai pewaris ilmu nahwu al-Khalîl.192 Karena itu dalam
karya Sybawaih yaitu Kitâb tidak banyak ditemukan hadîts-hadîts Nabi SAW. Ini
dikarenakan kehati-hatian dan ketidakmampuan Sybawaih dalam mengkaji Hadits.
Barulah ketika masa Sybawaih berlalu, ahli nahwu mulai banyak berinteraksi
dengan Hadîts Nabi SAW. Hal itu terjadi pada abad keenam Hijriyah, ketika kajian
ilmu nahwu telah banyak dituntut oleh pelajar bahasa, dan karya-karya nahwu pun
kian banyak. Di sisi lain ilmu Hadîts dan karya-karya dibidang Hadîts pun telah
menyebar ke berbagai negeri besar Muslim. Dengan kondisi demikian ahli nahwu
pun mulai banyak menilik Hadîts sebagai bagian dari kajian bahasa. Sebut saja
misalnya, al-Zamakhsyari (538 H) yang menulis karya di bidang bahasa yang
bersentuhan dengan Hadîts, karya tersebut adalah al-Fâ’iq fi Gharîb al-Hadîts, dalam
karya tersebut al-Zamakhsyari banyak berdalil dengan Hadîts yang sebelumnya tidak
banyak dilakukan ahli nahwu klasik.
Selain al-Zamakhsyari terdapat ahli nahwu lain yang juga berhubungan
dengan Hadîts, misalnya al-Suhayli (581 H) dalam karyanya ia menjelaskan Hadîts
dari sisi bahasa, bahkan ia dijuluki sebagai al-Hâfidz dan al-Muhaddits. Setelah itu
190 Redaksi Hadîts yang dimaksud adalah; اءليس من أصحايب إال من لو شئت ألخدرا الدأب سدت عليه لي 191 Al-Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn, hal. 66. 192 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 95
lxxiv
kemudian muncul al-Akbari (616 H), Ibnu Ya’îsy (643 H) dan Ibnu Mâlik (672 H).
Ibnu Mâlik adalah pemimpin para ahli nahwu yang berdalil dengan Hadîts Nabi
SAW. Ia menjelaskan kedudukan i’râb bahasa dalam Hadîts, dan ia juga banyak
melahirkan kaidah bahasa yang bersumber dari Hadîts Nabi SAW. Sikap Ibnu Mâlik
inilah yang mungkin menjadi inspirasi bagi ahli nahwu lainnya untuk berdalil dengan
Hadîts, seperti Ibnu Hisyâm (761 H) dan al-Asymûni (929 H).
Jumlah Hadîts yang terdapat dalam setiap karya nahwu, memiliki jumlah yang
beragam, dan jika dibandingkan antara ahli nahwu klasik dan kontemporer, tentulah
karya nahwu klasik lebih sedikit memuat Hadîts Nabi SAW. Karena ahli nahwu
klasik lebih banyak berisitisyhad dengan syair dan qiyas dibandingkan dengan Hadîts
Nabi SAW, ini dilakukan antara lain oleh; Abdullah bin Abi Ishâq (117 H),193 Isa bin
Amr (149 H).194 Bahkan Sybawaih dalam karyanya al-Kitab, bersyahid dengan seribu
lima ratus bait syair, empat ratus ayat al-Qur’ân dan tidak lebih dari sepuluh Hadîts.
Sikap ini kemudian diikuti oleh murid-murid mereka seperti al-Mazni, al-Mubarrad,
Tsa’lab, Abu Ali al-Farisi, Ibnu Siraj dan Ibnu Ushfur.195 Kendati Hadîts mendapat
porsi sedikit dalam karya ahli nahwu klasik, akan tetapi karya nahwu klasik dapat
dikatakan tidak terlepas dari Hadîts.
Untuk lebih memahami posisi Hadîts dalam karya nahwu, di bawah ini akan
dianalisa karya-karya nahwu Ibnu Mâlik dan ahli nahwu klasik lainnya.
1. Hadits dalam Karya Nahwu Ibnu Mâlik
a. Syawâhid al-Taudhih
Ini adalah karya yang merupakan bukti nyata kepandaian Ibnu Mâlik dalam
menganalisa Hadîts dari sisi nahwu. Sebagian ulama ada yang menyebut karya ini
sebagai i’râb al-Hadîts. Dalam metode penyajiannya, Ibnu Mâlik menetapkan satu
193 Ia adaah ahli Nahwu yang terkenal dengan pembelaannya terhadap qiyas. Lihat. Al-
Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn, hal. 31 194 Ia adalah murid ibnu Abi Ishaq, dia mencela jika ada orang Arab fashih berbicara
bertentangan dengan qiyas. Lihat. Syawqy Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, hal. 25 195 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 97
lxxv
kaidah nahwu yang kemudian disebutkan dalil dari Hadîts Nabi SAW yang terdapat
pada shahih al-Bukhâri, dan dijelaskan kaidah nahwu tersebut sesuai analisa Ibnu
Mâlik.
Dalam karya ini, Ibnu Mâlik menjelaskan kedudukan i’râb kata-kata dalam
Hadîts Nabi SAW. Tanpa melihat dan menganalisa apakah ia hadîts fi’li atau hadîts
qauli, atau bahkan perkataan non Muslim seperti Abu Jahal. Dalam pandangannya,
apapun bentuk hadîts tersebut, selama termuat dalam shahih al-Bukhâri, dipastikan
Hadîts itu shahîh dan dapat dijadikan sumber kaidah nahwu. Penjelasan ini telah
penulis uraikan di atas.
Dalam bentuk penyajian Hadîts, dalam karya ini Ibnu Mâlik hanya
menyebutkan matan atau redaksi yang akan dikaji dari sisi nahwu, sehingga jika
Hadîts itu panjang dan berbentuk cerita, Ibnu Mâlik tidak mengutip seluruh
matannya, melainkan ia mencantumkan matan yang menjadi objek kajian nahwu pada
waktu itu.
b. Syarh al-Umdah
Karya ini adalah di antara sumber primer dalam penelitian ini, didapati bahwa
tidak semua kaidah bahasa baik itu sharaf maupun nahwu dikaji dalam karya ini. Jika
dibandingkan antara syarh al-Umdah dan Alfiyah, didapati perbedaan yang saling
melengkapi. Misalnya dalam syarh al-Umdah tidak didapati pembahasan mengenai
al-I’lâl dan al-‘Ibdâl, padahal dalam alfiyah pembahasan ini diulas dengan baik. Dan
juga sebaliknya tidak ditemukan dalam alfiyah pembahasan mengenai al-Istifhâm,
sedangkan dalam syarh al-Umdah pembahasan ini dapat dinikmati oleh pengkaji
nahwu. Maka itu meskipun syarh al-Umdah disebut-sebut sebagai karya yang
komprehensif dalam membandingkan dalil-dalil bahasa, namun tetap diakui adanya
kekosongan dari kaidah-kaidah yang seharusnya diulas juga oleh Ibnu Malik dalam
karya ini.
Dalam karya ini ditemukan empat puluh satu Hadîts, dan terkadang satu
Hadîts dijadikan dalil bagi beberapa kaidah nahwu. Inilah yang nampak dalam karya
ini. hadîts-hadîts tersebut umumnya tidak disebutkan sumber rujukannya, sehingga
lxxvi
ditemukan beberapa hadîts dalam karya ini yang tidak diketahui sumber rujukannya.
Kalaupun ada, hadîts tersebut memiliki matan yang berbeda dengan apa yang dikutip
Ibnu Mâlik. Bagi penulis hal ini menunjukkan beberapa hal; Pertama, boleh jadi
penulis tidak mendapati rujukan kitab Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik, meskipun
telah dicari dalam berbagai standar kitab Hadîts. Kedua, dimungkinkan Ibnu Mâlik
melakukan pemotongan Hadîts atau menambahkan kata dalam Hadîts sebagai
penjelasan akan makna dalam Hadîts tersebut. Hal ini nampak dari hasil penelitian
penulis dalam karya ini.196 sulitnya menemukan kitab rujukan yang memuat hadîts
yang sama dengan apa yang dikutip Ibnu Mâlik .
c. Syarh al-Kâfiyah Kitab ini merupakan penjelasalan terhadap Nadzam yang ditulis oleh Ibnu
Mâlik, yang berjumlah sekitar dua ribu tujuh ratus lima puluh tujuh bait (2757). Ibnu
Mâlik membaginya ke dalam enam puluh enam (66) bab, dan enam puluh dua
pasal.197 Kitab ini ditulis sebelum alfiyah, karena alfiyah ditulis di kota Himat.
Sedangakan syarh al-Kafiyah ditulis sebelum ia berangkat ke Himat dan menetap di
Damaskus.198
Hadîts dalam kitab ini berjumlah sekitar tujuh puluh lebih. Yang dikutip dari
berbagai kitab shahih. Dalam kitab ini terkadang Ibnu Mâlik menyebutkan sumber
kutipannya dan juga terkadang tidak. Misalnya ia mengungkapkan bahwa ia mengutip
Hadîts ini dari kitab shahihain,199 maksudnya shahih al-Bukhâri dan Muslim.200
2. Hadits dalam Karya ahli Nahwu
a. al-Kitab karya Sybawaih
196 Contoh dan bentuk hadîts-hadîts tersebut dapat dilihat pada pembahasan kaidah-kaidah
nahwu yang telah penulis analisa di atas. 197 Ibnu Mâlik, Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah, juz 1, hal. 38 198 Ibnu Mâlik, Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah, juz 1, hal 47 199 Seperti ungkapannya كما ورد يف الصحيحني 200 Penyebutan sumber Hadîts banyak ditemukan dalam kitab ini. Pembaca dapat melihat
langsung pada kitab Ibnu Mâlik, Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah.
lxxvii
Dalam karya ini, Sybawaih bersyahid kurang lebih dengan sepuluh Hadîts,
namun ia tidak menyebutkan bahwa itu adalah bagian dari sabda Nabi Muhammad
SAW. Dalam karyanya Sybawaih cenderung menyebutkannya sebagai bagian dari
perkataan orang Arab. Karena ia hanya menyatakan dengan ungkapan; ‘seperti
perkataan ini’, ‘seperti perkataan kamu’. Padahal sesungguhnya ia adalah Hadîts Nabi
SAW. Misalnya ketika ia menjelaskan kaidah tanâzu’, ia bersyahid dengan salah satu
potongan Hadîts qunut.201
b. al-Mufashshal karya al-Zamakhsyari
Al-Zamakhsyari sangat memperhatikan Hadîts dalam karya bahasanya, dalam
kitab al-Mufashshal ini ia bersyahid dengan sekitar delapan belas Hadîts, sebagiannya
ia sebutkan bahwa ungkapan itu bagian dari Hadîts NabiSAW, dan sebagiannya lagi
tidak. Misalnya ketika ia menjelaskan bab af’âl al-Tafdhîl, ia bersandar pada Hadîts
Nabi SAW.202
c. Lisan al-Arab karya Ibnu Mandzûr
Karya ini mungkin tidak asing lagi di kalangan pelajar bahasa arab, karena ia
merupakan mu’jam (kamus) terbesar dan terlengkap. Dalam muqaddimahnya, Ibnu
Mandzur mengakui bahwa karyanya ini merupakan kumpulan dari lima kitab besar
yang ditulis ahli bahasa sebelumnya, yaitu; Tahdzîb karya Azhari, Muhkam karya
Ibnu Sayyidah, shihah al-Jauhari dan Nihâyah karya Ibnu al-Atsîr. Dalam karyanya
ini, Ibnu Mandzur menjelaskan kata al-Ba’ât dalam salah satu Hadîts Nabi SAW
adalah bermakna nikah.203
Di bawah ini adalah jumlah hadîts yang terdapat dalam karya nahwu klasik
sejak sybawaih hingga Ibnu Mâlik.204
201 Hadîts yang dimaksud adalah وخنلع ونترك من يفجرك Lihat. Sybawaih, al-Kitab, juz. 1, hal. 74 202 Hadîts tersebut adalah أال أخربكم بأحبكم إيل وأقربكم مين جمالس يوم القيامة Lihat. Ibnu Ya’isy, Syarh
al-Mufashshal, juz 3, hal. 7 203 Hadîts yang dimasud adalah; نم طاعتاس كماءة منالب جوزتفلي نمو لم طعتسه يليم فعوبالص هفإن اء لهوج 204 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 94
lxxviii
No Kitab Penulis Hadits Qur’an Syair 1 Kitab Sybawaih 10 400 1050 2 Ma’ani al-Huruf Al-Rumani (384 H) 4 187 147 3 Al-Mufashshal Al-Zamakhsyari 18 319 454 4 Al-Murtajal Ibnu al-Khasyab (567H) 3 113 121 5 Al-Muqarrab Ibnu Ushfur (669 H) 3 60 365 6 Syarh al-Umdah Ibnu Mâlik (672 H) 47 466 514 Dari fakta di atas, jika Hadîts dibandingkan dengan sumber nahwu lainnya
dalam karya-karya ahli nahwu, akan ditemukan bahwa Hadîts memiliki porsi yang
sangat sedikit. Fakta ini tentunya melahirkan pertanyaan, mengapa ahli nahwu lebih
banyak berdalil dengan syair dibandingkan dengan Hadîts.
Dalam sejarah, diketahui bahwa pada abad pertama, masyarakat Arab lebih
cenderung meriwayatkan syair dibandingkan lainnya, bahkan aktifitas ini menjadi
bagian dari kegiatan yang dibanggakan. Hafalan menjadi metode yang paling banyak
digunakan pada masa itu.205 Fakta ini tercermin dari pengakuan beberapa ahli nahwu,
seperti Abu Mashal, ia meriwayatkan dari Ali bin Mubarak sebanyak empat puluh
ribu bait syair.206 Dan Tsa’lab pernah sangat menyesal karena menghiraukan bait-bait
syair yang diriwayatkan oleh Abu Mashal dari Ali bin Mubarak.207
Adanya kecenderungan menghapal syair dan banyaknya periwayat yang
mentransmisikannya membuat ahli nahwu sangat mudah untuk memanfaatkan dan
menela’ahnya. Dibandingkan dengan mendapatkan Hadîts Nabi SAW yang hanya
dimiliki oleh periwayat-periwayat tertentu, dan itupun mereka bertempat tinggal di
berbagai negeri yang sangat berjauhan. Karenanya dari fakta ini, wajar saja jika ahli
nahwu klasik lebih banyak berdalil dengan syair dibandingkan dengan Hadîts. Dan
tentunya problem di atas tidak dirasakan oleh banyak ahli nahwu kontemporer,
karena Hadîts pada masa ini telah terkodifikasi dengan baik, dan syarat penerimaan
dan periwayatannya pun sangat ketat dibandingkan dengan syair. Maka itu tidaklah
205 Adonis, An Introduction to Arab Poetics, (Texas, University of Texas, Austin 1990), hal.
14 206 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz 2, hal. 123 207 Al-Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn, hal. 135
lxxix
salah jika pada abad ketujuh, Hadîts dijadikan sumber kedua setelah al-Qur’ân dalam
penetapan kaidah nahwu.
BAB IV
PENENTUAN IBNU MÂLIK BERKENAAN DENGAN HUKUM
FI’IL, ISIM DAN HURUF
R. Ciri-ciri Isim
Mengenali ciri isim adalah di antara pengetahuan dasar dalam bidang ilmu
nahwu. Karenanya bab ini sering ditemukan dalam karya-karya ilmu nahwu pada
awal pembahasan. Dengan karya Ibnu Mâlik pun tidak jauh berbeda, ia
meletakkannya dalam awal pembahasan dalam karya syarh al-Umdah. Ibnu Mâlik
lxxx
menyebutkan bahwa di antara ciri isim adalah kema’rifahannya. Ahli nahwu sering
menyebutkan bahwa kema’rifahan ini hanya ditandai dengan alif dan lam seperti kata
Kaitannya dengan ini, Ibnu Mâlik menambahkan bahwa kema’rifahan isim .الرجل
dapat ditandai juga dengan adanya huruf alif dan mim dalam suatu kata.208 Seperti
kata امصيام dan فرسام yang terdapat dalam salah satu Hadîts Nabi SAW.209
Dalam pandangan al-Sakhâwi ungkapan Hadîts tersebut mengandung dua
kemungkinan; Pertama, ungkapan itu dituturkan Nabi SAW kepada lawan bicara
yang memiliki dialek bahasa demikian. Kedua, dimungkinkan ungkapan itu berasal
dari periwayat yang merupakan pengguna dialek tersebut. Karena dalam Hadîts Nabi
SAW tersebut, kedua kata itu hanya berganti dari huruf lam menjadi mim. Sedangkan
al-Azhari berpendapat lain, menurutnya tepatnya alif pada Hadîts tersebut tidak mesti
ditampakkan, karena huruf mim pada kata tersebut telah mewakili huruf alif dan
lam.210
Menarik untuk dianalisa ungkapan al-Sakhâwi di atas yang menyatakan
bahwa adanya redaksi Hadîts seperti itu mengandung dua kemungkinan;
Pertama; kata امصيام dan فرسام dalam Hadîts tersebut kemungkinan hanya
dituturkan Nabi SAW kepada lawan bicara yang merupakan pengguna dialek
tersebut. Dalam sejarah, diakui bahwa Nabi SAW sangat menguasai berbagai bahasa
atau dialek Arab dan bahkan ia adalah merupakan orang terfashih dalam bertutur.
Karenanya dalam berkomunikasi dengan sahabatnya yang berasal dari berbagai suku,
Nabi SAW terkadang menggunakan bahasa atau dialek lawan bicaranya. Sikap inilah
yang mengundang pertanyaan Ali bin Abi Thalib kepada Nabi SAW perihal
208 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 96-97 209 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; سم لين برام امصيفر في امسام
Hadîts ini tercantum dalam kitab musnad Ahmad. Selain Ibnu Mâlik, ada juga ahli nahwu lain yang mengutip Hadîts ini dalam karya-karyanya, seperti dalam kitab al-Mufashshal, syarh Ibnu Ya’îsy, dan juga syarh al-Tashîl karya al-Marâdi.
210 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal.
lxxxi
kemampuannya dalam berkomunikasi dengan ragam bahasa yang ada di Arab.211 Dan
Nabi SAW menjawabnya, bahwa sewaktu kecil Nabi SAW dibesarkan dilingkungan
bani Sa’ad yang memiliki kefashihan bahasa yang paling baik dari suku-suku lainnya.
Maka itu pernyataan al-Sakhâwi di atas boleh jadi benar, ketika Nabi SAW
menyampaikan Hadîts tersebut, lawan bicaranya adalah merupakan pengguna bahasa
yang mengganti huruf lam menjadi mim.
Kedua; al-Sakhâwi meragukan kedhabitan periwayat. Dalam ilmu Hadits,
disebutkan bahwa setiap periwayat memiliki kualitas kedhabitan yang berbeda-beda.
Dan kualitas itu mempengaruhi pada otentisitas Hadits Nabi SAW. Artinya suatu
Hadits dapat menurun derajat keshahihannya, bila kedhabitan periwayat juga
menurun. Kendati demikian, kualitas Hadîts tidaklah mempengaruhi sikap Ibnu
Malik dalam menjadikannya sebagai dalil bahasa. Karena dalam pandangan Ibnu
Malik setiap Hadîts yang termuat dalam kitab-kitab Hadîts yang populer atau yang
tergabung dalam al-Kutub al-Tis’ah, maka ia layak untuk dijadikan dalil nahwu.
S. Fi’il Syarth dari al-Mudhâri’ dan Jawabnya dari al-Mâdhi
Dalam kaidah fi’il syarth dan jawâb al-Syarth, hendaknya fi’il yang digunakan
pada keduanya memiliki kesamaan. Jika fi’il syarth menggunakan fi’il al-Mâdhi
maka jawâbnya pun harus menggunakan fi’il al-Mâdhi. Dan begitu pula jika fi’il
syarth menggunakan fi’il al-Mudhâri’, maka jawâbnya pun mesti menggunakan fi’il
al-Mudhâri’, inilah kaidah yang dianut oleh sebagian ahli nahwu.212
Menurut Sybawaih dan mayoritas ahli nahwu, kalaupun ada teks manqûl yang
bersebrangan dengan kaidah di atas, seperti fi’il syarth dari al-Mudhâri’ dan
jawâbnya dari fi’il al-Mâdhi, maka itu hanya digunakan pada kondisi syair darurat.213
Sedangkan al-Farâ’ memiliki pendapat lain, menurutnya berlainannya bentuk fi’il
syarth dengan fi’il jawab syarth adalah kaidah yang dibolehkan, dan kaidah tersebut
211Lihat Abd al-Karim Muhammad al-As’ad, al-Wasîth fi Târikh al-Nahwi al-‘Araby, hal. 28
212 Ibnu ‘Aqîl, al-Musâ’id ala Tashhîl al-Fawâ’id, juz, 3, hal. 183 213 Al-Suyûthi, Ham’u al-Hawâmi’, juz. 2, hal. 62
lxxxii
menjadi pilihan bagi pengguna bahasa. Meskipun demikian, al-Farâ’ mengakui
bahwa kaidah yang lebih tepat adalah fi’il syarth dan jawâbnya terdiri dari fi’il yang
serupa, bisa keduanya dari fi’il al-Mudhâri’ atau fi’il Mâdhi.214
Ibnu Mâlik menegaskan pendapat al-Farâ’ ini, dan sekaligus membantah
pendapat Sybawaih dan Jumhur ahli nahwu, ia menyatakan bahwa berlainannya fi’il
syarth dan jawâb syarth adalah kaidah yang benar, karena dalam teks Hadîts banyak
ditemukan bentuk ungkapan seperti itu. Karenanya kaidah ini bukan hanya kaidah
alternatif atau hanya digunakan dalam kondisi darurat syair, melainkan ini adalah
kaidah yang tetap dan dapat digunakan dalam teks apapun.215 Hadîts yang dimaksud
Ibnu Mâlik adalah sabda Nabi SAW yang berkenaan dengan ibadah pada malam
lailatulqadr.216 Dan ucapan Aisyah. r.a. ketika mensifati ayahnya, Abu Bakr al-
Shiddiq.217 Ibnu Mâlik menyatakan bahwa dalam kedua Hadîts di atas yang fi’il syaratnya
terdiri dari fi’il al-Mudhâri’ dan jawâbnya dari fi’il al-Mâdhi adalah Hadîts yang
diriwayatkan secara lafdzi, tidak maknawi. Karenanya meskipun ahli bahasa
mendhaifkan kaidah ini dan bahkan sebagiannya mengkhususkan hanya dalam
kondisi darurat, tetapi sesungguhnya hukum yang tepat bagi kaidah ini adalah boleh
secara mutlak. Maka itu, kedua Hadîts di atas menjadi bantahan terhadap pendapat
214 Ibnu ‘Aqîl, al-Musâ’id ala Tashhîl al-Fawâ’id, juz, 3, hal. 184 215 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 372 216 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh umdah al-Hâfidz wa uddah al-Lâfidz
selengkapnya adalah; غفر ا لهم مقدت به منذن نم قملة ير ليا القدانا إميابتساحو Hadîts ini diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam shahih al-Bukhâri. Hadîts ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, namun dalam riwayat imam Muslim terdapat tambahan kalimat di tengah redaksi Hadîts tersebut, yaitu نم قملة ير ليالقد
له غفر واحتسابا إميانا قال أراه فيوافقها . Dari sini jelaslah bahwa Ibnu Mâlik menggunakan redaksi yang ada pada kitab shahih al-Bukhâri .
217 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah ىتم قمي كقامم قر . Ungkapan ini muncul ketika ‘Aisyah sedang berdialog dengan Nabi SAW tentang Abu Bakr al-Shiddiq. Kendati ini merupakan perkataan ‘Aisyah, namun ungkapan ini terdapat dalam kitab Hadîts shahih al-Bukhâri. Dalam pandangan Ibnu Malik, perkataan siapa pun yang terdapat dalam kitab Hadîts, maka dapat dijadikan dalil nahwu.
lxxxiii
ahli nahwu di atas. Dan dalam karya-karya nahwu, kaidah ini terdapat dalam bab al-
fi’il al-Mudâhari’ al-Majzum.
Berkenaan dengan al-fi’il al-Mudâhari’, diketahui bahwa nasb dan jazm
adalah bagian dari tanda i’râb fi’il mudhâri’. Sesungguhnya ada Hadîts yang secara
dzahir bertentangan dengan kaidah bahasa yang ditetapkan ahli nahwu, yaitu
berkenaan dengan al-Af’âl al-Khamsah. Dalam Hadîts Nabi SAW terdapat al-Af’âl
al-Khamsah yang dihilangkan nun-nya seperti لواخدلا ت padahal sebelum fi’il tersebut
tidak ada huruf nashab ataupun huruf jazm.218 Karena لا pada Hadîts tersebut adalah لا
nâfiyah bukan nâhiyah.
Hal tersebut merupakan contoh lain yang menunjukkan bahwa seorang ahli
nahwu dapat melahirkan kaidah-kaidah nahwu yang berbeda dengan ahli nahwu
sebelumnya, dengan berpijak pada Hadîts Nabi SAW. Ibnu Mâlik adalah di antara
tokoh tersebut.
T. Tetapnya khabar al-Mubtada’ setelah اللو
Dalam berbagai literatur ilmu nahwu ditemukan bahwa isim yang berada
setelah اللو adalah berharakat dhammah, seperti dalam ungkapan للوا زيكأ لدرمتك .
Dalam pandangan ulama Kûfah marfû’-nya kata زيد disebabkan اللو, karena اللو
merupakan refresentatif dari fi’il yang jika ditampakkan fi’il tersebut, akan terungkap
bahwa redaksi sesungguhnya adalah لو كتملأكر امكإكر من ديني زعنمي لو namun fi’il
tersebut disembunyikan dalam ungkapan tersebut. Menurut ulama Bashrah hal itu
bertujuan untuk mempersingkat dalam ucapan.219 Maka itu sebagai pengganti fi’il di
218 Redaksi Hadits yang dijadikan dalil dalam kaidah ini adalah لاوا ومنؤى تتة حنالج UلواخدتU لا
ىتتوا حمنواؤابحت (HR Abu Dawud). Berbeda dengan riwayat Abu Dawud, dalam riwayat Imam Muslim
huruf nun tersebut ditampakkan. واابحى تتوا حمنؤلا توا ومنؤى تتة حنالج UلونخدتU لا (HR Imam Muslim). 219 Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 74
lxxxiv
atas, huruf لو ditambahi dengan huruf ال, sehingga keduanya terkesan seperti satu
huruf. Menurut ulama Kûfah kaidah seperti ini adalah kaidah umum, dalam syair pun
sering terjadi penyembunyian fi’il yang diganti dengan huruf, sebagai
penyederhanaan dalam ucapan.220
Berbeda dengan ulama Kûfah, ulama Bashrah memandang marfû’-nya isim
setelah لالو disebabkan karena isim tersebut berada pada awal kalimat, yang tidak
didahului oleh sesuatu yang dapat mempengaruhi i’râb isim. Adapun keberadaan لالو
sebelum isim tidak-lah memiliki pengaruh apa-apa bagi isim yang ada setelahnya.
Karena dalam pandangan ulama Bashrah, huruf لالو hanya berpengaruh pada fi’il
tidak pada isim.221
Dalam kaidah nahwu, isim yang berada setelah لالو adalah mubtada’. Dan
tentunya setiap ada mubtada’ mesti ada khabar yang menyertai mubtada tersebut.222
Menurut ulama Bashrah jika terdapat mubtada’ setelah لالو al-Imtinâiyyah, maka
khabarnya wajib disembunyikan, pendapat ini dianut oleh masyoritas ahli nahwu
selain al-Rummâni dan al-Syajari.223 Ibnu Syajari berpendapat bahwa tetapnya khabar
setelah لالو sesungguhnya telah ada pada teks manqûl yaitu al-Qur’ân, bahkan
setidaknya ada dua ayat yang menunjukkan ditampakkan khabar ketika mubtada’
220 Selain itu, menurut ulama Bashrah terdapat syair yang juga menyembunyikan fi’il, syair
tersebut adalah; فإن قومي مل تأكاهم الضبع -Uذا نفرU أبا خراشة أما أنت menurut ulama Kûfah dibalik kata
yang digarisbawahi terdapat fi’il أن كنت ذا نفر. Fi’il tersebut disembunyikan untuk penyederhanaan,
fi’il tersebut disembunyikan dengan cara ditambahkan huruf ما pada أن sebagai pengganti dari fi’il. Syair tersebut terdapat pada al-Asymûni, Hâsyiah al-Shibbân, juz 4, hal. 49. Lihat pembahasan ini di al-Suyûthi, Ham’u al-Hawami’, juz. 2, hal. 33-34
221 Perbedaan pendapat ini terjadi antar generasi ahli nahwu. Selengkapnya lihat Ibnu Hisyâm, Mughni al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârib, juz. 1, hal. 273
222 Al-Damâmini, Ta’lîq al-Farâ’id ala Tashîl al-Fawâ’id, juz. 3, hal. 47 223 Al-Asymûni, Hâsyiah al-Shibbân, juz. 4, hal. 50-51. Lihat juga Ibnu Hisyâm, Mughni al-
Labîb ‘an Kutub al-A’ârib, juz. 1, hal. 272-273
lxxxv
berada setelah لالو al-Imtinâiyyah.224 Di kemudian hari, pendapat Ibnu al-Syajari ini
dibantah oleh Ibnu Hisyâm, ia mengatakan bahwa apa yang dinyatakan oleh Ibnu al-
Syajari tentang adanya ayat yang mengandung tetapnya khabar setelah لالو pada surat
al-Nisa’ sebagai pembenaran terhadap kaidah yang dimaksud, adalah salah. Karena
ada kaidah yang mengatakan bolehnya menggantungkan dzaraf pada kata al-
fadhlu.225
Berkenaan dengan ini, Ibnu Mâlik menjelaskan bahwa sesungguhnya khabar
setelah لالو memiliki tiga bentuk; Pertama, mukhbir anhu-nya tidak ada pengikatnya.
Kedua, mukhbir anhu yang ada pengikatnya. Jika disembunyikan khabarnya, makna
kalimat tidak mudah dimengerti. Maka itu khabarnya mesti ditampakkan. Ketiga,
mukhbir anhu yang ada pengikatnya. Maknanya mudah dimengerti meskipun
khabarnya disembunyikan.226 Berkenaan dengan masalah ini, Ibnu Mâlik
menghadirkan bentuk kedua sebagai jawaban atas apa yang diselisihkan ahli nahwu
di atas. Pada bentuk kedua ini Ibnu Mâlik berlandaskan pada Hadîts Nabi SAW.
Maka itu berdasarkan Hadîts ini boleh menampakkan khabar pada kalimat yang
mubtada’-nya didahului dengan لالو al-Imtinâiyyah.227 Hadîts Nabi SAW yang
dihadirkan Ibnu Mâlik sekaligus memperkuat pendapat al-Rummâni dan al-Syajari.
U. Al-Asmâ’ al-Sittah
224 Ayat yang dimaksud Ibnu al-Syajari adalah QS al-Nisa’: 83; هتمحرو كمليع Uل اللهفضU لالوو
متعبطان لاتي83 (قليلا إلا الش( dan QS: al-Nisa’: 113; لالول والله فض كليع هتمحرو تمطائفة له مهأن من ضلوكي . Lihat Ibnu Hisyâm, Mughni al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârib, juz. 1, hal. 273
225 Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala al-Taudhîh, juz. 1, hal. 178-179 226 Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 65 227 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam Syawâhid al-Taudhîh adalah; بكفر عهدهم حديث قومك لولا
تقضة لنبالكع لتعا فجن لهيابب . Redaksi Hadîts tersebut ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam kitabnya shahih al-Bukhâri .
lxxxvi
Pembahasan tanda i’râb nahwu adalah pembahasan yang sangat luas, di antara
sub kajiannya adalah berkenaan dengan al-Asmâ’ al-Sittah. Menurut pendapat yang
paling populer tanda i’râb al-Asmâ’ al-Sittah adalah dengan huruf; fathah dengan alif,
dhammah dengan waw, dan kasrah dengan ya’, kecuali isim 228.هن Pendapat ini
ditolak oleh sebagian ahli bahasa seperti Abu Zaid, Abu al-Khithab Abu al-Husayn
dan al-Kisâ’i, alasannya karena ada ungkapan Hadîts yang menunjukkan bahwa tanda
i’râb al-Asma’ al-Sittah adalah dengan huruf, ini tercermin dalam salah satu Hadîts
yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari pada kalimat
أبا جهل/أبو جهل 229
Dalam kaidah ilmu bahasa Arab kata فوك adalah merupakan bagian dari al-
Asmâ’ al-Sittah, karenanya huruf و dalam kata tersebut harus diganti menjadi م,
sehingga kata tersebut menjadi 230.فم Namun dalam beberapa teks Arab huruf م pada
kata tersebut tidak berubah, meskipun bergandengan dengan huruf atau kata lain. Hal
ini sebagaimana yang terdapat dalam Hadîts Nabi SAW yang diriwayatkan dalam
Shahih al-Bukhari.231 Menurut Abu Ali al-Fârisi (377 H) tetapnya huruf mim ketika
bergandengan dengan kata berikutnya, hanya terjadi pada syair darurat saja. Namun
hal ini dibantah oleh al-‘Asmûni, bahwa Hadîts yang diriwayatkan oleh Imam
228 Isim tersebut adalah أخ، أب، حم، فو، ذو. maka itu, selain نه kelima isim tersbeut oleh ulama
disebut sebagai al-Asma’ al-Khamsah. Lihat di Musthafa Ghalayini, Jâmi’ al-Durûs al-Arabiyyah, juz. 2, hal. 226
229 Anas bin Malik menceritakan bahwa, sewaktu perang Badar, Rasulullah SAW bersabda; Uلها جأبU تفقال آن درى بتاء حفرا عناب هبرض قد هدجود فوعسم ناب طلقفان Uلهو جبUأ عنا صم ظرني نم (HR al-
Bukhâri). 230 Kata فم asalnya adalah فوه yang bentuk jama’nya adalah أفواه. Lihat Ibnu Mandzûr, Lisân al-
Arab, (Dar al-Ma’arif), juz. 5, hal. 3471 231 لوفك فملخريح المس الى منعالله ت دعن بائم أطيالص (HR al-Bukhâri)
lxxxvii
Bukahari tadi menjadi dalil tetapnya huruf mim, meskipun bergandengan dengan kata
berikutnya.232
Dalam pandangan ulama Kûfah al-Asmâ’ al-Sittah yaitu فوك، أبوك، ذو ،وكأخ
merupakan mu’arrabah dari dua kedudukan.233 Sedangkan ulama مال، هنوك، محوك
Bashrah memandangnya mu’arabah dari satu kedudukan. Menurutnya huruf waw,
alif dan ya’ adalah huruf i’râb. Pendapat ini juga ditegaskan oleh al-Danûsyari bahwa
i’râb al-Asmâ’ al-Sittah dengan huruf.234 Abu al-Hasan al-Akhfasî memiliki dua
pandangan dalam hal ini; Pertama, ia sepakat dengan apa yang disampaikan ulama
Bashrah. Kedua, ia menyatakan bahwa huruf itu semua bukanlah huruf i’râb,
melainkan dalâ`il al-I’râb. Terkait dengan ini, masyarakat Arab pun terkadang
berbeda-beda dalam pengucapan al-Asmâ’ al-Sittah. Ditemukan bahwa mereka
terkadang mengucapkan seperti هذا أبك، رأيت أبك، مررت بأبكTP235PT tanpa waw, alif
dan ya’. Ada juga yang mengucapkan هذا أباك، رأيت أباك، مررت بأباك.TP236PT
Semuanya menggunakan alif baik dalam keadaan rafa’, nashab, dan jar. Ungkapan
dalam bentuk ini juga pernah diucapkan oleh Abu Hanîfah. Diriwayatkan bahwa Abu
Hanîfah pernah ditanya soal hukum tentang seseorang yang melempar batu tanpa
sengaja, lalu mengenai orang lain, dan kemudian ia wafat disebakan lemparan batu
tersebut. Apakah yang melempar dikenakan qishash. Abu Hanîfah menjawab لوال، و
232 Pembahasan ini dapat dilihat di Hâsyiyat al-Shibbân ala Syarh al-Asymuni, juz 1, hal. 73 233 Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 24 234 Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala al-Taudhîh, juz. 1, hal. 61 235 Contoh ungkapan syair yang serupa dengan ucapan tersebut adalah perkataan Ru’bah; فما ظلم هابه أبشي نوم ميف الكر ي عديدبأبه اقت lihat Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala al-Taudhîh,
juz. 1, hal. 64 236 Ada ungkapan syair yang sesuai dengan ucapan di atas, yaitu;
هاتااي غدجا يف املنغل بد قااهب أباأا واهب أإن Lihat. Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 25
lxxxviii
TP237PTرماه بأبا قبيس dalam ungkapan Abu Hanîfah ini, terlihat bahwa kata أب yang
merupakan salah satu al-Asmâ’ al-Sittah bertanda alif, padahal ia dalam kedudukan
majrûr.
Di bawah ini ada beberapa i’râb al-Asmâ’ al-Sittah yang ditetapkan Ibnu
Mâlik berdasarkan Hadîts Nabi SAW, antara lain;
i. i’râb هن dengan harakat ketika diidhâfahkan
Sebagaimana disebutkan di atas, secara umum al-Asmâ’ al-Sittah memiliki
ciri i’râb dengan huruf, yaitu waw, alif dan ya’. Ciri i’râb tersebut sebagai pengganti
dari ciri i’râb yang asli yaitu dhammah, fathah dan kasrah. Berbeda dari kelima isim
di atas, هن menjadi kontroversi di kalangan ahli nahwu, apakah ia mengunakan ciri
i’râb asli atau dengan huruf, yang juga dikenakan pada isim lainnya.
Sebagian kecil ulama berpendapat bahwa ciri i’râb هن sama dengan yang
lainnya yaitu dengan huruf.238 Sedangkan Ibnu Mâlik berpendapat bahwa ciri i’râb هن
ketika ia diidhâfahkan pada kata berikutnya adalah dengan harakat,239 dalilnya adalah
Hadîts Nabi SAW yang menuturkan وهأبيه بهن فأعضTP240PT . Di kalangan ahli nahwu
kaidah inilah yang banyak digunakan dalam berbagai literatur Arab.
237 Abu Qubais adalah salah satu gunung di Makkah.Lihat Ibnu Mandzûr, Lisan al-Arab, juz.
14, hal. 13 pada kata أيب 238 Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala al-Taudhîh, juz. 1, hal. 62 239 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 123 240 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz adalah;
Hadîts ini tercantum dalam kitab musnad Ahmad, hanya saja .من تكنوا ولا أبيه بهن فأعضوه الجاهلية بعزاء تعزى
pada musnad tersebut kata من yang digunakan Ibnu Mâlik di atas tidak ditemukan, yang tertulis adalah
kata ل إذاجالر . Boleh jadi Ibnu Mâlik mengganti kata tersebut agar lebih umum. Kendati terjadi perbedaan antara redaksi yang digunakan Ibnu Malik dan redaksi yang terkandung dalam musnad, namun hal itu tidak berpengaruh pada kaidah yang telah ditetapkan. Karena objek kata yang menjadi dalil Ibnu Mâlik terletak pada kata نأبيه به .
lxxxix
ii. tetapnya huruf Mim pada (فم) saat diidhâfahkan
Al-Danusyari menyatakan bahwa asal kata dari فم adalah فوه yang termasuk
dalam wazan ل241.فع Dalam pandangan al-Fârisi memunculkan huruf mim pada kata
saat diidhâfahkan dengan kata berikutnya, hanya boleh dilakukan pada keadaan فم
darurat. Karena dalam pandangan al-Fârisi, mim pada kata فم tidak boleh
dimunculkan selain pada syair.242
Pendapat ini kemudian dibantah oleh Ibnu Mâlik, ia berpendapat bahwa mim
dapat dimunculkan pada teks selain syair dan bukan hanya pada keadaan darurat.243
Pendapat Ibnu Mâlik ini berdasarkan Hadîts Nabi SAW. لوفائم فم لخالصTP244PT
Dalam teks Hadîts tersebut terdapat mim pada kata فم yang ditampakkan, meskipun
ia berkedudukan sebagai mudhâf.
Dalam bahasa Arab tidak sedikit ditemukan kata yang terdiri dari tiga huruf
atau lebih, namun ketika bersambung dengan kata berikutnya, huruf terakhirnya
disembunyikan. Kaitannya dengan kaidah menghilangkan huruf pada suatu kata, baik
diawal maupun diakhir kata. Hadîts yang merupakan teks klasik, yang lahir pada
masa di mana kuantitas dialek-dialek Arab masih terpelihara, turut serta dalam
menjaga bahasa ini. Misalnya menghilangkan huruf terakhir pada suatu kata,
ditemukan pada salah satu kata dalam Hadîts Nabi SAW, yaitu ketika ada salah
seorang sahabat Nabi SAW yang memanggil beliau dengan ungkapan اهللا يانيبء , Nabi
241 Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala al-Taudhîh, juz. 1, hal. 61 242 Ibnu ‘Aqîl, al-Musâ’id ala Tashhîl al-Fawâ’id, juz. 1, hal. 30. 243 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 516 244 Redaksi Hadîts yang terdapat dalam syarh al-Umdah adalah; لوفائم فم لخالص بأطي دالله عن من Hadits ini diriwayatkan dalam kitab shahih al-Bukhâri dari beberapa sahabat seperti; Ali . المسك ريح
bin Abi Thalib r.a, Abu Hurairah dan Abu Said al-Khudri.
xc
SAW menegur sahabatnya untuk tidak memanggil beliau dengan ungkapan seperti
itu, tetapi dengan ungkapan نيب اهللا tanpa hamzah di akhir kata نيبTP .245 Sebagian
ulama seperti al-Jauharî (w 398 H) menjelaskan sebab larangan tersebut adalah
karena kata نيبء bukan bagian dari bahasa Qurasiy.246 Akan tetapi Sybawaih Kitab-
nya, menjelaskan bahwa ditemukan pada sebagian masyarakat Hijâz yang
menggunakan ungkapan نيبء (menggunakan hamzah) namun itu hanya sedikit, karena
ungkapan tersebut jarang digunakan.247 Berbeda dengan Sybawaih, al-Mubarrad (w
285 H)248 tidak setuju jika ungkapan tersebut dikatakan ungkapan yang kurang
dikenal dan jarang digunakan. Al-Mubarrad menjelaskan tidak digunakannya hamzah
pada kata نيب dalam Hadîts Nabi SAW di atas ditujukan untuk meringankan pengguna
bahasa.249 Hal ini pun diakui oleh Ibnu Duraid, bahwa ia pernah mendengar orang
Arab mengatakan نابئا (dalam bentuk Isim Fa’il) baik menggunakan hamzah maupun
tidak.250 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Hamzah pada kata نيبء
merupakan bahasa yang dinukil dari orang Fashih.
فقال رسول اهللا صلى اهللا . يا نيبء اهللا : جاء أعرايب إىل رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم فقال : عن أيب ذر رضي اهللا عنه ، قال 245
هذا حديث صحيح على شرط الشيخني ، ومل خيرجاه ، وله شاهد مفسر بإسناد » « لست بنيبء اهللا ، ولكين نيب اهللا« : عليه وسلم al-Mustadrak ala al-Shahihayn (HR al-Hâkim) »ليس من شرط هذا الكتاب
246 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, (Beirut: Dar al-Fikr 1997), cet. Ke-1, juz. 5, hal. 4
247 Muhammad Dhâry Himady, al-Hadîts al-Nabawy al-Syarif wa Atsaruhu fi al-Dirâsat al-Lughawiyah wa al-Nahwiyah, hal. 66
248 Ibnu Khaldun berkata; “kami mendengar dari guru-guru di berbagai majelis ta’lim, bahwa sumber primer seni sastra dan rukun-rukunnya hanya ada empat; Pertama, Kitab al-Kâmil karya al-Mubarrad. Kedua, Adab al-Kâtib karya Ibnu Qutaibah. Ketiga, kitab al-Bayân wa al-Tabyin karya al-Jahidh dan Keempat, kitab al-Nawadhir karya Abu Ali al-Qali al-Baghdâdi. Dan selain empat kitab tersebut dikategorikan sebagai kitab sekunder. Penulis mendapati ungkapan ini di dalam sampul kitab al-Kamil karya al-Mubarrad, nampaknya ini dikutip oleh muhaqqiquntuk menunjukkan keluhuran ilmu al-Mubarrad.
249 Al-Mubarrad, al-Muqtadhab (Kairo: 1399 H), juz. 1, hal. 298 250 Ibnu Duraid, Jamharah al-Lughah, (Dar al-Shadir), juz. 3, hal. 211.
xci
Dengan demikian pernyataan Sybawaih, bahwa ungkapan نيب jarang
digunakan oleh masyarakat Arab, telah terbantahkan oleh pendapat dan saksi dari
para ulama bahasa seperti Ibnu Duraid, al-Mubarrad, Ibnu Mandzûr dan Ibnu al-Atsîr.
Dan lagi jika kata tersebut tidak populer di kalangan Arab, bagaimana mungkin kata
tersebut diucapkan di khalayak umum. Adapun larangan Nabi SAW kepada
sahabatnya yang memanggil beliau dengan ungkapan نيبء hal ini mungkin karena
sebab agama, bukan sebagai celaan pada kata tersebut atau penampikan atas
keberadaannya. Ini jika kita tidak mengakui penyembunyian hamzah pada kata
tersebut ditujukan untuk meringankan dalam pengucapan kata. Dan yang pasti ahli
bahasa tidak mengingkari keberadaan kata tersebut, dan ini adalah bagian dari
kontribusi Hadîts.
Fenomena menyembunyikan atau menghilangkan huruf dari suatu kata yang
terdapat dalam Hadîts Nabi SAW, tidak hanya terjadi pada huruf yang berada pada
awal kata sebagaimana contoh di atas, namun pada huruf akhir dari suatu kata pun
terjadi dalam salah satu Hadîts yang cukup popular. Ini berkenaan dengan sabda Nabi
tentang Abu Bakr al-Shiddîq.251 Dalam Hadîts ini huruf alif dalam kata إخوة
dihilangkan, sehingga menjadi خوة. Dalam berbagai kitab Hadîts, ditemukan bahwa
terkadang Nabi SAW menggunakan kata إخوة dan juga kata خوة. Dalam pandangan al-
Jauhari, penggunaan kedua bentuk kata tersebut pada Hadîts menunjukkan bahwa hal
tersebut majhûl.252
V. Membatasi Mubtada’
251 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 2, hal. 85. Pembahasa ini
juga dapat dilihat di Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh (Beirut: Alam al-Kutub 1983) cet. Ke 3, hal 82
252 Untuk mengetahui lebih mendalam pendapat al-Jauhari ini, lihat al-Jauhari, al-Shihâh Tâj al-Lughah wa Shihâh al-Arabiyah, (1982), juz. 1, hal. 41.
xcii
Ibnu Mâlik membagi mubtada’ kedalam dua bagian; Pertama. Mubtada’ lahu
khabar. Kedua, mubtada’ laysa lahu khabar. yang kedua ini dianggap menempati
posisi fi’il, karena ia memiliki hukum yang sama dengan fi’il, yaitu merafa’kan kata
setelahnya. Bentuk kedua ini secara umum harus didahului dengan huruf istifham
atau nafy.253 Dari uraian bentuk kedua ini, Ibnu Mâlik berpendapat bahwa membatasi
mubtada’ dengan mujarrad lebih utama dibandingkan membatasinya dengan isim al-
Mujarrad, karena mubtada’ al-Mukhbir anhu terkadang tidak berasal dari isim.254 Hal
ini berlandaskan Hadîts Nabi SAW.255
W. Khabar terdiri dari jumlah
Khabar al-Mubtada’ dapat terdiri dari isim mufrad, dharf atau jar dan majrur,
dan adakalanya juga terdiri dari jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah.256 Ibnu Mâlik
berpendapat idealnya khabar berkaitan dengan mubtada’nya, keterkaitan ini dapat
dicapai dengan kalimat yang sama dengan mubtada, meskipun dari sisi maknanya
saja, sehingga tidak membutuhkan rabith (pengikat) dari lainnya.257 Pernyataan Ibnu
Mâlik berdasarkan teks Hadîts Nabi SAW berkenaan dengan kalimat tahlîl.258
253 Contoh yang pertama adalah زيد قائم contoh yang kedua seperti أقائم الزيدان. Selengkapnya
lihat Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 156 254 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 158 255 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ل لاول حة اوبالله إلا قو زكن وز منكن
Dalam berbagai kitab Hadîts tidak ditemukan redaksi yang sesuai dengan apa yang dikutip Ibnu .الجنةMâlik ini. Kendati demikian, ditemukan redaksi yang mirip dengan redaksi Ibnu Mâlik yaitu Hadîts yang terkandung dalam sunan al-Tirmidzi dan musnad Ahmad. Redaksi tersebut adalah; ل لاولا حة وإلا قو
الجنة كنوز من كنز فإنها بالله . Jika dibandingkan antara redaksi keduanya, dimungkinkan Ibnu Mâlik
menghilangkan satu kata dalam Hadîts ini yaitu اهفإن. Meskipun demikian perbedaan antara redaksi yang digunakan Ibnu Malik dan redaksi yang ada pada kitab Hadits, tidaklah berpengaruh pada kaidah tersebut.
256 Contoh khabar dari mufrad; علي جالس dan dari jar al-Majrur; املسجدعلي يف . 257 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 165 258 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; لأفضا وم ا قلتون أنبيالنو لي منلا قب
إلا إله الله هدحلا و ريكله ش . (HR al-Tirmidzi). Hadîts ini merupakan potongan do’a Nabi SAW pada hari Arafah sewaktu menunaikan ibadah haji. Karena ia merupakan lafadz do’a, tentunyasering diucapkan
xciii
X. Mengedepankan khabar dari Mubtada’
Di antara kondisi yang mengakibatkan dilarangnya mendahulukan khabar dari
pada mubtada’ adalah, jika khabar dan mubtada’ memiliki kesamaan dalam ta’rif dan
tankir, seperti زيد صديقك atau منكخري . Menta’khirkan khabar pada kedua contoh
tersebut atau yang semisalnya adalah wajib. Sebagian ahli nahwu juga berpendapat
bahwa mendahulukan khabar dari mubtada dalam kondisi demikian tidak dibenarkan,
karena jika khabar dikedepankan, pembaca atau pendengar sulit untuk mengetahui
keberadaan khabar dari mubtada’ tersebut.
Dalam pandangan ulama Kûfah khabar tidak dibenarkan mendahului
mubtada’, baik itu khabar yang berbentuk kata tunggal maupun jumlah.259 Sebabnya,
karena jika khabar dikedepankan, maka dhamir mendahului dari dzahirnya. Dan ini
tidak dibenarkan.
Ulama Bashrah memiliki pendapat lain, menurutnya boleh mengedepankan
khabar dari pada mubtada’. Alasannya karena kaidah yang menyatakan demikian
banyak terjadi pada ungkapan masyarakat Arab dan syair.260 Sebagaimana diketahui
bahwa dalil syair dan ungkapan Arab menjadi dalil prioritas dalam madzhab Bashrah,
maka itu sebagai madzhab pertama dalam sejarah ilmu nahwu, Bashrah memiliki
kekhususan dan keutamaan dalam pemikirannya, kaidah-kaidah yang lahir dari pena
ulama Bashrah sangat kuat menghujam di kalangan ulama, maka itu tidaklah
mengherankan jika pemikirannya banyak mempengaruhi sudut pandang ulama nahwu
setelahnya, ciri yang paling menonjol dari madzhab ini antara lain;
Pertama; ketelitian dan keselektifan ulamanya. Ketelitiannya tergambar dalam
memilih uslub yang fashih dan ketajamannya dalam memilih dalil-dalil kuat sebagai
oleh seluruh umat Islam, maka otoritasnya sebagi dalil bahasa mendapat posisi tinggi dikalangan ahli nahwu.
259 Misalnya; قائم زيد، ذاهب عمرو، أبوه قائم زيد، أخوه ذاهب عمرو. 260 Misalnya; يف أكفافه لف امليت، مشنوء من يشنؤكيف بيته يؤيت احلكم ، . Lihat Ibnu Mandsur, Lisan al-
Arab, juz. 11, hal. 152
xciv
sumber penetapan kaidah nahwu. Bukti lain dari ketelitiannya adalah, meskipun
mereka mendengar ungkapan bahasa Arab secara langsung dari mayoritas orang
Arab, namun tidak semua ungkapan itu dijadikan dalil dalam penetapan kaidah
nahwu, sebelum ungkapan-ungkapan tersebut dipastikan otentisitasnya. Sikap ini
muncul karena keteguhan prinsip ulama Bashrah untuk tidak bersandar pada riwayat
yang lemah, juga pada syair yang kurang dikenal. Hal itu dilakukan karena ulama
Bashrah menginginkan pondasi ilmu nahwu yang mereka tetapkan sangat kuat, maka
itu harus dibangun dari riwayat yang mutawatir, atau yang mendekatainya.261 Karena
bangunan yang berdiri dari pondasi kuat, tidak akan mudah runtuh oleh hembusan
angin dan badai.
Bukti lain dari ketelitian dan selektifnya ulama Bashrah dalam memilih dalil,
terlihat juga dari beberapa ungkapan Sybawaih dalam Kitab-nya,262 ungkapan-
ungkapan tersebut menunjukkan kehati-hatiannya dalam memilah-milah sumber ilmu
bahasa, dan juga kesungguhannya dalam meletakkan dasar-dasar kaidah nahwu yang
kokoh.
Kedua; kemampuannya dalam berdalil dengan dalil aqli, mantiq dan filsafat.
Nampaknya kelebihan ini dimiliki oleh ulama Bashrah klasik, buktinya adanya
riwayat yang mengatakan bahwa Abu Ishâq al-Hadramî (w. 117 H) adalah orang
pertama yang mengembangkan nahwu dan menawarkan qiyâs sebagai sumber kaidah
nahwu.263
Berbeda dengan berbagai pemikiran di atas, Ibnu Mâlik menghadirkan
pemikiran lain, menurutnya dalam kaidah khabar al-Mubtada’ memiliki beberapa
bentuk; ada khabar yang boleh bahkan wajib didahulukan dari mubtada’, dan ada juga
khabar yang dapat disembunyikan, artinya tidak ditampkakkan pada suatu kalimat.
Bentuk-bentuk tersebut kesemuanya berlandaskan pada teks Hadîts Nabi SAW. Maka
261 Musthafa Abd al-Aziz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 17. ."ومسعت من أوثق من العرب يقول"، "وقد قال قوم من العرب ترضي عربيتهم"، "ومسعنا من يوثق به من العرب" 262 263 Al-Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn (Mesir; Dar al-Ma’ârif), cet. Ke-2,
hal. 31
xcv
itu, terlihat wajar jika hukum kaidah hasil pemikiran Ibnu Malik berbeda dengan
Bashrah dan Kufah yang nota bene lebih cenderung berdalil dengan syair dan
ungkapan Arab. Di bawah ini merupakan pemikiran Ibnu Mâlik berkenaan dengan
Khabar al-Mubtada’;
i. boleh mengedepankan khabar
Ibnu Mâlik berpendapat boleh mendahulukan khabar dari mubtada-nya,
meskipun khabar dan mubtada’-nya memiliki kesamaan dalam ta’rif dan tankir,
asalkan ada qarinah yang menjembatani keduanya.264 Pendapat ini berdasarkan teks
Hadîts Nabi SAW yang mendahulukan khabar dari mubtada’.265 Menurut Ibnu Mâlik
maksud dari Hadîts ini bukanlah; orang miskin adalah lelaki yang tidak memiliki
istri. Akan tetapi lelaki yang tidak memiliki istri adalah orang miskin. Karenanya
dalam Hadîts tersebut kata رجل adalah mubtada’ dan kata مسكني adalah khabar yang
dikedepankan dari mubtada’nya. Dalam pandangan Ibnu Mâlik, Hadîts tersebut
sebagai bukti bolehnya mengedepankan khabar, meskipun dalam pandangan ahli
nahwu lain tidak dibenarkan. ii. wajib mengedepankan khabar
Ibnu Mâlik menyebutkan ada tiga kondisi di mana khabar wajib didahulukan
dari mubtada’,266 salah satu kondisinya adalah manakala ada dhamir dalam mubtada
yang menunjukkan pada khabar,267 seperti perkataan هايف الدار صاحب khabar dalam
kalimat ini didahulukan. Karena jika diakhirkan akan menjadi صاحبها يف الدار dan
tentunya kalimat ini akan membingungkan, karena dhamir yang ada pada mubtada’
264 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 169 265 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah; امرأة له ليس رجل ، مسكني مسكني مسكني
(HR al-Thabrani). Dalam riwayat lain ditemukan redaksi yang berbeda, yang kandungannya ditujukan bagi perempuan. Yaitu زوج اهل ليس امرأة ، ةمسكين ةمسكين ةمسكين
266 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 171 267 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 173
xcvi
tersebut sulit menemukan rujukannya. Berdasarkan teks Hadîts di atas, Ibnu Mâlik
menetapkan kaidah tersebut.268 Hadîts ini tentunya memperkuat kaidah yang telah
ada, bahwa khabar wajib didahulukan manakala mubtada’ bergandengan dengan
dhamir.
iii. wajib menyembunyikan khabar
Di antara kondisi yang menyebabkan wajibnya mennyembunyikan khabar
adalah manakala kata yang seharusnya menjadi tempat khabar ditempai oleh al-Hâl.
Dalam kondisi ini maka khabar wajib untuk dihilangakan atau tidak ditampakkan.269
Menurut Ibnu Mâlik kaidah ini sejalan dengan Hadîts Nabi SAW.270 Dari Hadîts
tersebut, diketahui bahwa khabar dari كوني pada Hadîts itu dihilangakan, yang ada
hanya fi’il yakûnu dan isim yakûnu, sedangkan khabar yakûnu-nya ditempati oleh al-
Hâl. Karenanya khabar tersebut wajib disembunyikan. Kaidah yang bersumber dari
Hadîts ini menunjukkan sikap Ibnu Malik yang kerap menyanggah pendapat-
pendapat ahli nahwu lain yang lebih mendahulukan syair dari pada Hadîts Nabi
SAW.
Y. Naib al-Fâ’il
Ibnu Mâlik berpendapat bahwa hukum bagi Nâ’ib al-Fâ’il adalah hukum yang
sama wajibnya bagi Fâ’il. Dalam kaidah nâ’ib al-Fâ’il hendaknya fi’il yang
digunakan bershigah لعف/فيلع , jika terdiri dari tsulatsi, atau isim maf’ul atau juga
terdiri dari mashdar muqaddar.271 Dalam pandangan Ibnu Mâlik kaidah ini sejalan
268 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; نيهعي ن منسلام حء إسرالم كهرا تلا م .
U Hadîts tersebut terdapat dalam kitab al-Muwaththa’ karya Imam Mâlik. 269 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 177 270 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; با أقركون مي دبالع ه منبر وهو
اجدس. U Hadîts tersebut terdapat dalam kitab Shahih Muslim karya Imam Muslim. 271 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 184-185
xcvii
dengan Hadîts Nabi SAW أمرل ور بقتتذي الأبن ويتالطفي taqdirnya adalah أمرأن ب وقيلت رتذ الأبوو
الطفيتين ووذ Kalaulah tidak demikian maka .الطفيتين tidaklah akan menjadi rafa’272
Z. Al-Munâda
Dalam kaidah al-Munâda, i’râb baginya adalah di-nashab-kan secara lafadz
oleh huruf al-Nidâ. Kalaupun ada al-Munâda’ yang marfû’ itu hanya taqdir saja.273
Menurut sebagian ahli nahwu al-Munada’ dapat marfu’ pada kondisi tertentu.274
Berkenaan dengan ini, al-Farâ’ berpendapat bahwa al-Munâda yang kedudukannya
sebagai al-Maushûf (yang disifati) dan berbentuk nakirah harus manshub. Ini
dikarenakan kebiasaan di kalangan masyarakat Arab, al-Munâda yang dalam kondisi
demikian di-nashab-kan.275 Meskipun ketika mereka mengifradkannya lebih banyak
dirafa’kandari pada dinashabkan.
Ibnu Mâlik menguatkan pendapat yang dianut oleh al-Farâ’ ini, dengan
menghadirkan Hadîts Nabi SAW sebagai dalil tambahan dari kaidah yang dianut al-
Farâ’276. Hadîts ini merupakan lafadz do’a.277 Dalam memperkuat kaidah ahli nahwu
272 Hadist ini sengaja ditampakkan di atas, agar tidak rancu dalam pembahasan. Hadits
tersebut terdapat dalam kitab shahih Muslim. 273 Lihat pembahasan selengkapnya di Ibnu ‘Aqîl, al-Musâ’id ala Tashhîl al-Fawâ’id, juz. 2,
hal. 480 274 Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala al-Taudhîh, juz 2, hal. 169 275 Seperti perkataan يا ررا كلجيا أملقب selengkapnya lihat Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala al-
Taudhîh, juz 2, hal. 168. lihat juga al-Asymûni, Hâsyihah al-Shibbân, juz 3, hal. 138 276 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 278 277 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; بك وآمن وسواديخيايل لك سجد
. ادفع عين كل عظيمعظيم لكل ترجى اعظيم يا نفسي على جنيت ا مبيدي هذه رب فؤادي . Tidak diketahui pasti dari kitab Hadîts mana Ibnu Malik mengutip redaksi ini. Dalam penelitian penulis memang ada beberapa kitab Hadîts yang mencantumkan redaksi Hadîts ini, namun tidak sama seluruhnya, terdapat sedikit perbedaan antara keduanya. Pertama, dalam kitab majma’ al-Zawâ’id tercantum redaksi سوادي لك سجد
عظيم لكل ترجى عظيم يا نفسي على جنيت وما يدي هذه رب فؤادي بك وآمن وخيايل Kedua, dalam kitab al-
Mustadrak ala al-Shahihain على جنيت ما وهذا ، علي بنعمتك أبوء ، فؤادي آمن وبك ، وخيايل سوادي لك سجد اللهم عظيم يا ، عظيم يا ، نفسي . Dari perbandingan redaksi di atas, nampak bahwa hadîts-hadîts yang tercantum
dalam kitab Hadîts terdapat perbedaan yang signifikan dengan redaksi yang digunakan Ibnu Mâlik.
xcviii
yang telah ada, Ibnu Malik tidak hanya memperkuat pendapat mayoritas ahli nahwu,
karena pendapat minoritas pun jika sesuai dengan teks Hadîts, Ibnu Mâlik akan
mendukungnya. Selain kaidah di atas, tidak sedikit dalam karya Ibnu Malik
ditemukan kaidah-kaidah yang mendukung pendapat minoritas.
AA. Al-Istitsna’
Secara umum kaidah i’râb mutsanna memiliki dua tanda, yaitu ketika dalam
keadaan rafa’ maka tandanya alif, dan ketika dalam keadaan nasb dan jar ditandai
dengan ya’.278 Namun ada beberapa ungkapan Arab yang tidak selaras dengan kaidah
tersebut, yaitu ungkapan atau perkataan yang digunakan oleh sebagian kabilah Arab,
antara lain; Kinanah, Bani Harits bin Ka’ab, Bani Anbar, Bani Hajim dan keturunan
Rabi’ah.279 Di antara teks Arab yang mendokumuntasikan dialek kabilah ini adalah
Hadits Nabi SAW280 لةان في ليرلا وت di antara kabilah yang populer menggunakan
bentuk bahasa seperti ini adalah Bani Harits bin Ka’ab, karenanya dalam ungkapan
mereka apapun kedudukan i’râb mutsanna selalu dengan alif, menurut mereka
kedudukan mutsanna seperti kata maqshur.281 Sesungguhnya Hadits tersebut
bukanlah satu-satunya Hadîts yang mewakili dialek Bani Harits bin Ka’ab, banyak
Misalnya, kata yang menjadi objek pembahasan ini yaitu al-Munâda adalah kata عظيم kedua redaksi Hadîts tersebut tidak memuat huruf alif pada kata adzim. Ini penting untuk dianalisa karena jika Ibnu Mâlik mengutip Hadîts bukan dari sumber aslinya, maka kaidah yang dibangun dari Hadîts ini lemah. Inilah yang perlu dianalisa lebih mendalam. Dan sejauh penelitian penulis, tidak ditemukan kitab Hadîts yang memuat redaksi yang sama dengan redaksi yang digunakan Ibnu Mâlik tersebut.
278 Musthafa Ghalayini, Jâmi’ al-Durûs al-Arabiyyah, juz. 2, hal. 225 279 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur’ân, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1993), juz. 6,
hal. 145 رمضان فأمسى بنا وقام بنا تلك الليلة وأوتر بنا ثم انحدر زارنا أبي طلق بن علي في يوم من عن قيس بن طلق قال 280عليه وسلم يقول لا بأصحابه حتى بقي الوتر ثم قدم رجلا فقال له أوتر بهم فإني سمعت رسول الله صلى الله إلى مسجد فصلى
(HR al-Nasâ’i) وتران في ليلة281 Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 97
xcix
Hadîts shahih lain yang menunjukkan kedudukan i’râb mutsanna yang dalam kondisi
nashb yang ditandai dengan alif.282
Selain itu, sikap Ibnu Mâlik dalam memperkuat kaidah ahli nahwu klasik
tercermin juga dalam kaidah al-Itstitsnâ’ (pengecualiaan). Dalam bebrbagai karya
nahwu, ditemukan bahwa ahli nahwu membagi al-Mustatsna ke dalam dua bentuk;
Pertama, al-Muttashil283 yaitu jika al-Mustatsna minhu sejenis dengan al-Mustatsna.
Kedua, al-Munqathi’284 adalah kebalikan dari al-Muttashil, yaitu al-Mustatsna minhu
tidak sejenis dengan al-Mustatsna.285
Berkenaan dengan i’râb al-Mustatsna, Ibnu Mâlik berpendapat bahwa i’râb al-
Mustatsna al-Munqathi’ memiliki dua macam. Pertama, dinashabkan, ini adalah
bahasa yang digunakan orang-orang Hijâz. Kedua, menjadikan al-Mustastna sebagai
Badal dari al-Mustatsna minhu, dan ini adalah bahasa yang digunakan orang
Tamim.286 Pendapat Ibnu Mâlik ini memperkuat pendapat Sybawaih yang berdalil
dengan syair.287 Ibnu Mâlik memperkuat pendapatnya dengan berdalil pada teks
Hadîts Nabi SAW.288 Karena dalam pandangan Ibnu Mâlik Hadîts ini mengandung
kaidah al-Mustatsna al-Munqathi’.289
282 Seperti إياكم وهاتان الكعبتان املوسومتان dan Hadîts lain يوم القيامةإين وإياك وهذان وهذا، يف مكان واحد
Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 98 283 Misalnya; ادعيون إال سافراء املسج 284 Misalnya; احتقرتالد ك الال إارتب 285 Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz. 3, hal. 127 286 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz,hal. 379 287 Syair tersebut adalah ل كذاأن أفع كذا إال حل ذلك لافعلن pembahasan selengkapanya tentang
kaidah ini dapat dilihat di, Sybawaih, Al-Kitâb, juz. 2, hal. 374 288 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz,hal. 379-380 289 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; الصالحني في أبلغ سلاح من نيطاللشيما
اء منسون إلا النجوزتالم Hadîts ini diriwayatkan dari Abu Dzarr. Sejauh penelitian penulis, Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik ini, tercantum dalam kitab musnad Ahmad. Akan tetapi keduanya terdapat perbedaan, yaitu pada kata al-Syaithan. Dalam kitab musnad Ahmad redaksi Hadîts-nya menggunakan kata mufrad طان اميللش sedangakan Ibnu Mâlik menggunakan kata jama’ ام ينيطاللش . Meskipun demikian perbedaan itu tidak akan merubah kaidah yang telah ditetapakan Ibnu Mâlik, karena objek kajian nahwu Ibnu Mâlik dalam Hadîts ini bukan pada bentuk kata tersebut, akan tetapi berkenaan dengan al-Istitsnâ’.
c
BB. Isim al-Tafdhil atau af’al al-Tafdhil
Isim al-Tafdhîl atau af’al al-Tafdhîl adalah sifat yang diambil dari fi’il untuk
menunjukkan bahwa satu di antara kedua kata yang ada dalam suatu kalimat
mengandung makna lebih dari yang lainnya. Dan kedua kata itu harus memiliki sifat
yang sama.290 Ibnu Mâlik berpendapat bahwa jika ada ungkapan atau teks yang lebih
otoritatif menyalahi kaidah ini, maka teks yang mengandung tafdhîl tersebut harus
ditakwilkan.291
Meskipun Ibnu Mâlik meyakini bahwa Hadîts adalah sumber hukum nahwu
kedua, dan merupakan dalil otoritaf. Namun diakuinya bahwa tidak semua teks
Hadîts Nabi SAW sejalan dengan kaidah nahwu yang telah ada. Misalnya dalam
kaidah af’al al-Tafdhîl ia menemukan ada teks Hadîts yang menyalahi kaidah di atas.
Yaitu Hadîts yang berkenaan dengan dua keburukan, namun yang satu lebih sedikit
keburukannya.292 Misalnya sabda Nabi SAW yang mengungkapkan bahwa seseorang
yang duduk di atas bara api lebih baik baginya dari pada ia duduk di atas kuburuan.293
Dalam pandangan Ibnu Mâlik kaidah af’al al-Tafdhîl adalah ungkapan yang
menyatakan bahwa adanya sesuatu yang lebih dibandingkan dengan yang lainnya.
290 Misalnya هل منأفضد وعيس من لمل أعليخ lihat Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah,
juz, 1, hal. 193. 291 Misalnya ada ungkapan Arab yang mengatakan اءتالش من رف أحيالص dalam ungkapan ini
terdapat af’al al-Tafdhîl yang menunjukkan bahwa satu di antara dua kata tersebut mengandung makna yang lebih. Namun dua kata di atas memiliki sifat yang berbeda. Karena فيالص dan اءتالش adalah cuaca yang berbeda. Karenanya Ibnu Mâlik mengatakan bahwa ungkapan ini perlu ditakwilkan. Selengakapnya lihat Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 767
292 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 768 293 Redaksi Hadîts tersebut adalah لأن لسجأ يكمدلى حمجرةع ريخ له أن من لسجلى ير عقب tidak
ditemukan dalam kitab Hadîts yang memuat redaksi yang sama dengan redaksi Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik. Namun diakui bahwa banyak Hadîts serupa yang terkandung dalam berbagai kitab Hadîts seperti dalam shahih Muslim, sunan Abi Dawud, sunan al-Nasa’i, sunan Ibnu Majah bahkan musnad Ahmad. Redaksi dalam kitab Hadîts tersebut yaitu لأن لسجي كمدلى أحة عرمج رقحفت هابثي لصخجلده إلى فت ريخ
له نأ من لسجلى ير عقب . Jika dibandingkan antara kedua redaksi di atas, nampaknya tidak terlalu banyak perbedaan. Hanya saja dimungkinkan Ibnu Mâlik menghapus bagian tengah dari redaksi sebenarnya. Meskipun demikian dihilangkannya redaksi bagian tengah Hadîts tersebut, pastinya tidak akan mengurangi substansi makna bahkan kaidah yang telah ditetapkan Ibnu Mâlik.
ci
Seperti ini lebih pandang dari) هذا أطول من هذا (ini lebih baik dari ini) هذا أحسن من هذا،
ini) dan kedua kata yang dibandingkan tersebut harus memiliki sifat kebaikan dan
sifat kepanjangan, sesuai dengan af’al atau isim al-Tafdhîl-nya. 294 kaitannya dengan
teks Hadîts di atas, disebutkan ريخ له من (ia lebih baik dari), padahal kedua-duanya
memiliki sifat buruk. Bukankah duduk di bara api dan kuburan suatu keburukan.
Karenanya Hadîts ini menyalahi kaidah di atas, dan wajib untuk ditakwilkan.
Inilah di antara sikap Ibnu Mâlik terhadap Hadîts yang berbenturan dengan
kaidah yang telah ada, ia tidak melemahkan bahkan meninggalkan Hadîts tersebut,
karena Hadîts adalah sumber hukum, melainkan ia mentakwilkannya. Sehingga ia
tidak melanggar kaidah yang ada, dan juga tidak mengenyampingkan teks Hadîts.
CC. Menyembunyikan huruf al-Nidâ’
Menurut kebanyakan ahli nahwu, huruf al-Nidâ’ dapat disembunyikan
manakala munâda’-nya menjadi mudhâf atau tidak diketahui tanpa isyarat tertentu.
Ibnu Mâlik menambahkan kondisi lain yang menyebabkan bolehnya huruf al-Nidâ’
disembunyikan yaitu; manakala al-Munâda dapat dikenali baik dengan huruf nidâ’
maupun isim al-Isyârah.295 Pendapat ini berdasarkan dua teks Hadîts Nabi SAW;
Pertama, TP296PTتنفرجي أزمة اشتدي . Kedua, Hadîts Nabi SAW yang merupakan
kutipan dari ucapan Nabi Musa a.s. TP297PTحجر ثوبي . Kedua Hadîts di atas terdapat
al-Munâda yang hurup al-Nidâ’-nya disembunyikan.
DD. Menyembunyikan huruf fa’ pada jawâb syarth
294 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 766 295 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 295 296 Tidak ditemukann redaksi Hadîts tersebut dalam kitab-kitab Hadîts. Penulis hanya
mendapatinya dalam syarh al-Hadîts yaitu kitab faydh al-Qadîr, juz 1, hal. 659 297 Hadîst ini tercantum dalam kitab shahîh al-Bukhâri, shahîh Muslim, musnad Ahmad dan
sunan al-Tirmidzi. Dengan redaksi yang sama.
cii
Sebuah kalimat yang mengandung syarth dan jawab al-syarth, mesti
menggunakan fa’ pada jawab al-Syarth. Jumhur ahli nahwu berpendapat bahwa wajib
bagi jawâb al-Syarth didahului dengan huruf fa’ jika salah satu syarat dalam kaidah
ini tidak terpenuhi, tujuannya agar hubungan antara syarth dan jawâbnya tidak
terputus.298 Kalaupun huruf fa’ hendak disembunyikan, maka itu hanya dibolehkan
dalam syair darurat.299 Berkenaan dengan ini Sybawaih pernah bertanya pada
gurunya, al-Khalîl, tentang ungkapan إن تأتين أنا كرمي , kemudian al-Khalîl menjawab
bahwa ungkapan demikian (menyembunyikan huruf fa’ pada jawab al-syarth) hanya
dibolehkan ketika dalam kondisi darurat.300 Karena kalimat أنا كرمي berkedudukan
sebagai mubtada’.301 Dalam penjelasannya, al-Khalîl mencontohkan kalimat yang
menyembunyikan huruf fa’ dalam kondisi darurat.302 Jika al-Khalîl dan Sybawaih membolehkan untuk menyembunyikan fa’ dalam
kondisi darurat, berbeda dengan al-Mubarrad, ia menegaskan bahwa pendapat yang
dikemukakan oleh Sybawaih berserta gurunya adalah pendapat yang salah, karena
bolehnya menyembunyikan fa’ pada kondisi darurat dalam syair adalah pendapat
yang lemah.303
Sedangkan al-Syalubin berpendapat bahwa fa’ harus disertakan dengan
kalimat ismiyyah304 baik itu yang mengandung permintaan305 atau tidak.306 Adapun di
298 Musthafa Ghalayini menyebutkan bahwa ada dua belas tempat di mana jawab al-Syarth
wajib didahului dengan huruf fa’. Lihat Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz. 2, hal. 192-193
299 Al-Asymûni, Hâsyiah al-Shibbân, juz. 4, hal. 19 300 Contoh syair darurat yang menyembunyikan huruf fa’ adalah syair Tsabit bin Hasan; ,Lihat; Khâlid Sa’ad Muhammad Sya’bân من يفعل احلسنات اهللا يشكرها والشر بالشر عند اهللا مثالن
Ushûl al-Nahwi inda Ibni Mâlik, hal. 98 301 Sybawaih, Al-Kitâb, juz. 3, hal. 64-65 302 Contoh tersebut adalah إن تأين أنا صاحبك lihat. Sybawaih, Al-Kitâb, juz. 1, hal. 437
303 Al-Mubarrad, Al-Muqtadhab, juz. 2, hal. 71 304 Khâlid Sa’ad Muhammad Sya’bân, Ushûl al-Nahwi inda Ibni Mâlik, hal. 99 305 Seperti ungkapan زيد فاهللا يغفر لهإن قام 306 Seperti ungkapan إن قام زيد فعمرو قائم
ciii
antara yang mengkhususkannya pada kondisi darurat ialah Ibnu Hisyâm, ia berdalil
dengan ayat al-Qur’ân yang menyembunyikan huruf fa’, namun digantikan dengan
idza al-Fujâiyyah.307 Dalam penjelasannya Ibnu Hisyâm juga mengutip pendapat al-
Mubarrad yang melarang menyembunyikan fa’ meskipun dalam syair. Meskipun
demikian Ibnu Hisyâm juga mengakui bahwa ada ahli nahwu lain seperti al-Akhfasî
yang menyatakan bolehnya menyembunyikan fa’ pada jawâb al-Syarth, karena ada
natsr fashih yang menunjukkan kebolehan itu.308
Dari penjelasan Ibnu Hisyâm di atas, diketahui bahwa al-Akhfasî
membolehkan menyembunyikan huruf fa’, sebagai pilihan alternatif. Pendapat ini
kemudian dikuatkan oleh Ibnu Mâlik dengan menghadirkan tiga teks Hadîts Nabi
SAW sebagai dalil bolehnya menyembunyikan jawâb al-Syarth dalam kondisi
apapun, tidak hanya dalam keadaan darurat. Pendapat Ibnu Mâlik ini sekaligus
membantah apa yang dianut oleh mayoritas ahli nahwu.
Hadîts tersebut antara lain; Pertama, sabda Nabi SAW yang ditujukan pada
Sa’ad berkenaan dengan pentingnya menafkahi keluarga,309 dalam Hadîts ini huruf
fa’ dan al-Mubtada’ disembunyikan dari kalimat jawâb al-Syarth. Jika ditampakkan
keduanya maka redaksi kalimat tersebut akan berbeda.310 Inilah yang selalu dianggap
oleh ahli nahwu sebagai pengkhususan bagi kondisi darurat, padahal tidaklah
demikian. Meskipun tidak dipungkiri bahwa menyembunyikan huruf fa’ ini banyak
ditemukan pada syair, dan sedikit terjadi pada teks manqul lainnya. Kondisi ini
tentunya bukan berarti bahwa menyembunyikan huruf fa’ hanya dibolehkan pada
syair.
307 Ayat yang dimaksud Ibnu Hisyâm adalah إذاا وأذقن اسة النمحوا را فرحإن بهو مهصبئة تيا سبم تمقد ديهمإذا أي مطون هقني (QS al-Rum: 36)
308 Ibnu Hisyâm, Mughni al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârib, juz. 1, hal. 187 309 Hadîts tersebut adalah كأن إن ذرت كثتراء وأغني ريخ أن من مهذرالة تع Hadîts ini diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhâri dalam kitab shahih al-Bukhâri. Selain itu juga banyak ahli Hadîts lain yang meriwaytkannya. Ini menandakan bahwa Hadîts ini adalah Hadîts populer. Dan pastinya berkualitas shahih.
310 Yaitu أن ذرت كثتراء وف أغنيريخ
civ
Kedua, sabda Nabi SAW yang diceritakan oleh Ubay bin Ka’ab.311 Dalam
Hadîts ini terlihat bahwa jawâb إن pertama disembunyikan, begitu juga dengan syarth
kedua disembunyikan juga. Sehingga huruf fa’ yang seharusnya terangkai dalam إن
jawâb syarth tidak didapati. Padahal jika ditampakkan akan terlihat semuanya.312
Ketiga, adalah sabda Nabi SAW kepada Hilâl bin Umayyah.313 Dalam Hadîts ini
banyak hal yang disembunyikan; di antaranya fi’il yang menashabkan al-Bayyinah
dan fi’il al-Syarth setelah إن ال. Tentunya fa’ al-Jawâb dan mubtada’-nya juga
disembunyikan. Dan jika ditampakkan akan terlihat kalimat tersebut berbeda dengan
aslinya.314
Ketiga Hadîts di atas, nampaknya cukup sebagai bantahan terhadap pendapat
mayoritas ahli nahwu yang mengatakan bahwa menyembunyikan huruf fa’ hanya
dibolehkan pada saat darurat dan itu pun khusus pada syair. Dari sikap Ibnu Mâlik
ini, disimpulkan bahwa ia hendak menunjukkan bahwa Hadîts memiliki keluhuran
bahasa untuk dijadikan sebagai dalil nahwu.
EE. Fi mengandung makna ta’lîl
311 Hadîts yang dimaksud adalah; اء فإنا جهاحبإلا صو استعما تبه . Konteks Hadîts ini berkaitan
dengan cara menjaga barang temuan. Hadîts dijadikan dalil sebagai bolehnya menyembunyikan huruf fa’ pada fi’il fastamti’ yang merupakan jawab al-Syarth. Hadîts ini shahih, karena diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri. Namun imam al-Bukhâri juga meriwayatkan redaksi lain yang menggunakan huruf fa’pada fi’il istamti’. Yaitu اء فإنا جهاحبإلا صو تعمتا فاسبه padahal keduanya diriwayatkan dari sahabat yang sama yaitu Ubay bin Ka’ab.
بها استمتعف إن ال جيىءو أخدهااحبهاص جاء فإن 312 ظهرك في حد أو البينة 313 Hadîts ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri. Namun ia juga
menghadirkan redaksi yang berbeda dalam kitab shahihnya yaitu; ةنيإلا البو دفي ح ركظه . Meskipun ada perbedaan, hal ini tidak akan mempengaruhi ketetapan kaidah Ibnu Mâlik.
أحضر البينة وإن ال حتضرهارفجزاؤك حد يف ظهرك 314
cv
Hukum asal i’râb al-Maf’ûl lahu jika berasal dari mashdar adalah
dinashabkan.315 Jika tidak terdiri dari mashdar, maka tidak dibenarkan untuk
dinashabkan, sebagai penggantinya ia harus didahului dengan lâm al-Ta’lîl.316 Dalam
kaidah al-Maf’ûl lahu, jika ia bukan dari mashdar, menurut Ibnu Mâlik boleh
menggunakan huruf al-Jar sebagai pengganti lâm al-Ta’lîl, misalnya huruf ba’ atau
fi. Ibnu Mâlik berpendapat bahwa ada huruf fi yang bermakna ta’lîl.317 Temuan ini
berdasarkan pada Hadîts Nabi SAW yang didalamnya mengandung al-Maf’ûl lahu
namun terdiri dari jâr dan majrûr.318
FF. Penggunaan atau sebaliknya إذا pada tempat إذ
Jumhur ahli nahwu berpendapat bahwa ذإ adalah dzaraf yang digunakan untuk
masa lampau. Ia dapat digandengkan dengan jumlah ismiyyah dengan syarat khabar
al-Mubtada’-nya tidak terdiri dari fi’il al-Mâdhi. Selain itu, ia juga dapat
digandengkan dengan jumlah fi’liyah, dengan syarat fi’il-nya menggunakan fi’il al-
Mâdhi secara lafadz dan makna. Atau secara makna tidak secara lafadz. Sedangkan اذإ
adalah dzaraf yang digunakan untuk masa akan datang, dan ia hanya digandengkan
dengan jumlah fi’liyah.319
Berkenaan dengan hukum ini, Sybawaih menceritakan bahwa ia pernah
bertanya pada gurunya, al-Khalîl, tentang kaidah إذا. Kemudian al-Khalîl menjawab
bahwa fi’il yang seharusnya didahului dengan إذا dapat ditempati oleh إذ, seperti pada
315 Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz 3, hal. 44 316 Seperti firman Allah SWT ضالأرا وهعضام وللأن (QS al-Rahman: 10) 317 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 397. Lihat juga Ibnu Mâlik
Syawahid al-Taudhih, hal. 67 318 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; أة أنرام لتخد ارة في النهر Hadîts
ini diriwayatkan dari Abu Hurairah, yang tercantum dalam musnad Ahmad. 319 Ibnu Hisyâm, Mughni al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârib, juz. 1, hal. 80
cvi
ungkapan أكذتذ إرق تلو . Begitu juga dengan إذا ia dapat menempati إذ untuk masa
lampau. Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa إذا diperuntukkan bagi waktu yang
telah diketahui.320 Berdasarkan fatwa gurunya ini, kemudian Sybawaih berpendapat
bahwa إذ digunakan untuk masa lampau dan إذا digunakan untuk masa yang akan
dating.321
Pendapat Sybawaih ini kemudian diikuti oleh al-Mubarrad (w 285 H), ia
menegaskan bahwa kaidah yang menyatakan إذ dapat digunakan untuk menjelaskan
masa lampau adalah benar.322 Namun kemudian pendapat ini ditentang oleh al-
Zamakhsyari, menurutnya penempatan إذ pada tempat إذا adalah kaidah yang tidak
dibenarkan. Berkenaan dengan ayat al-Qur’ân yang memperkuat kaidah di atas, al-
Zamakhsyari menyatakan bahwa ayat yang di dalamnya terdapat penggunaan إذ pada
tempat إذا dalam salah satu ayat al-Qur’ân323 adalah seperti ungkapan keseharian kita
yaitu سوف أصوم أمس. Dalam pandangan al-Zamakhsari ayat tersebut dapat
mengandung makna إذا yang menunjukkan pada masa akan dating, ketika kisah yang
diceritakan Allah SWT tersebut bertujuan untuk meyakinkan. Meskipun Allah SWT
mengungkapkannya dengan lafadz yang telah terjadi pada masa lampau, namun ia
mengandung makna untuk masa akan dating.324 Sedangakan keberadaan salah satu
320 Sybawaih, Al-Kitâb, juz. 1, hal. 433 321 Sybawaih, Al-Kitâb, juz. 4, hal. 229 322 Al-Mubarrad, Al-Muqtadhab, juz 2, hal. 53 323 Ini adalah potongan ayat dari وا الذيناب كذبا بالكتبما ولنسا به أرلنسر فوون فسلمعالأغلال إذ) 70 (ي
يسحبون والسلاسل أعناقهم في (QS Ghafir: 70-71) 324 Al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil (Beirut: Dar al-
Fikr: 1977), cet. Ke-1, juz. 3, hal. 436
cvii
ayat al-Qur’ân yang mengandung dzaraf إذا yang bermakna 325,إذ al-Zamakhsyari
menjelaskannya bahwa itu hanya khusus digunakan dalam cerita masa lampau.326
Bagi sebagian ahli nahwu ayat-ayat yang dikemukakan al-Zamakhsyari
tersebut sesungguhnya menunjukkan dan menguatkan pendapat yang dikemukakan
oleh Sybawaih dan ahli nahwu lainnya, bahwa dzaraf إذا yang nota bene digunakan
untuk masa akan datang, ternyata bergandengan dengan fi’il al-Mâdhi yang
menggambarkan masa lampau. Padahal itu merupakan tempat yang seharusnya
diduduki dzaraf إذ. Karenanya kedua ayat ini seharusnya menjadi dalil bagi Sybawaih
dan lainnya, bukan sebagai pengecualiaan sebagaimana yang dijelaskan al-
Zamakhsyari di atas.
Dalam pandangan Ibnu Mâlik penggunaan dzaraf إذ yang seharusnya
digunakan untuk kalimat masa lampau, namun menempati kalimat bermakna akan
datang, yang seharusnya ditempati oleh إذا adalah penggunaan yang benar dan tidak
menyalahi kaidah. Dalilnya adalah perkataan Waraqah bin Nufal dalam salah satu
Hadîts Nabi SAW.327 Dalam pandangan Ibnu Mâlik Hadîts tersebut merupakan
pembenaran atas kaidah yang menyatakan bolehnya menggunakan إذ untuk makna
akan dating.328 Sedangkan dalil ayat yang disampaikan al-Zamakhsyari di atas, dalam
pandangan Ibnu Mâlik ayat-ayat tersebut justru menjadi penguat akan kaidah yang
lahir dari Hadîts Nabi SAW tersebut, bukan sebaliknya.
325 Ayat selengkapnya adalah اا يهأي وا الذيننوا لا آمكونت وا كالذينقالوا كفرو انهمووا إذا لإخبرض في ضالأر
وا أوى كانغز وا لوا كانندا عنوا ماتا ممل قتلوا وعجلي الله ة ذلكرسفي ح قلوبهم اللهيي وحي ميتيو اللها ولون بممعت صريب )156( QS Ali Imran: 156)
326 Al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil, juz. 1, hal. 473. قومك يخرجك إذ حيا أكون ليتني 327 328 Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 9
cviii
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa perbedaan antara ahli nahwu di atas,
didasarkan pada dua hal; Pertama, perbedaan dalam memandang teks manqûl, yaitu
ayat al-Qur’ân. Kedua, berlainannya perangkat dalil yang digunakan. Terlepas dari
itu, Ibnu Mâlik berhasil mematahkan argumen penolakan kaidah bolehnya
menggunakan dzaraf إذ pada masa akan dating, berdasarkan Hadîts Nabi SAW, yang
menurutnya ahli nahwu banyak yang tidak menghiraukan Hadîts ini.329
GG. al-Mashdar
i. Dalam pandangn Ibnu Mâlik mashdar dapat bekerja sebagai fi’il, yaitu
menashabkan isim.330 Pandangan ini berdasarkan analisa Ibnu Mâlik terhadap teks
Hadîts Nabi SAW, yang mengandung mashdar dan berperilaku menashabkan isim
yaitu pada kata هأتر331.ام
ii. berkaitan dengan mashdar juga, Ibnu Mâlik berkontribusi dalam
menghadirkan shigah baru dari mashdar al-Hay’ah. Shigah tersebut adalah لة332.فع
Shigah ini lahir berdasarkan analisanya terhadap teks Hadits Nabi SAW yang
mengandung mashdar al-Hay’ah.333
HH. al-Mamnû’ min al-Sharf
Berkenaan dengan kaidah al-Mamnû’ min al-Sharf, Ibnu Mâlik memberikan
kategori baru dalam kaidah ini. Ia menyatakan bahwa di antara isim al-Mamnû’ min
al-Sharf adalah isim yang ditambahi alif dan nûn untuk ma’rifah. Alif dan nûn ini
329 Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 10 330 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal 695 331 Hadîts tersebut adalah لة منل قبجالر هأتروء امضالو (HR Imam Mâlik ) 332 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 726 333 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; فإذا ملتوا قتسنلة فأحإذا القتو متحذب
الذبحة فأحسنوا (HR Muslim)
cix
mesti didahului oleh tiga, empat atau lima huruf, sehingga diketahui bahwa huruf alif
dan nûn adalah huruf tambahan bukan asli.334
Dan meskipun sebelum alif, ada tiga huruf yang kedua dan ketiganya mudgham,
maka itu juga termasuk dalam al-Mamnû’ min al-Sharf, ini sesuai dengan teks Hadîts
Nabi SAW ان اللهم ايدسوح حس برالقد .335
Kesimpulan dari pembahasan bab ini adalah, Ibnu Malik telah berkontribusi
besar dalam memperkuat bangunan kaidah yang berkenaan dengan isim, fi’il dan juga
huruf. Terlebih ia menghadirkan dalil lain yang sebelumnya langka digunakan oleh
ahli nahwu sebelumnya, yaitu Hadîts Nabi SAW.
Dalam penetapan kaidah fi’il, isim dan huruf yang berlandaskan Hadîts Nabi
SAW di atas, Ibnu Mâlik memiliki sikap beragam terhadap kaidah yang telah
ditetapkan oleh ahli nahwu klasik, sikap tersebut antara lain, memperkuat apa yang
telah ada dan mengkritisi bahkan membantah pendapat yang telah muncul sebelum
kedatangan Ibnu Mâlik, hal ini karena dalil yang digunakan antara ahli nahwu klasik
dan Ibnu Mâlik memiliki perbedaan. Dan Ibnu Malik berkeyakinan bahwa Hadits
lebih layak untuk didahulukan sebagai pijakan dalam penetapan kaidah nahwu
dibandingkan dengan syair.
334 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 864 335 Sejauh penelitian penulis dalam berbagai kitab Hadîts, ditemukan bahwa Hadîts yang
mengandung do’a ini berkenaan dengan salah seorang sahabat Nabi SAW yaitu Hassan bin Tsabit. Namun tidak ditemukan redaksi Hadîts yang sesuai dengan apa yang dikutip Ibnu Mâlik dalam karyanya. Hanya saja memang ada beberapa redaksi Hadîts yang mirip dengan apa yang dikutip Ibnu Mâlik, seperti; Pertama, dalam Shahîh al-Bukhari, Shahîh Muslim dan sunan al-Nasa’i, kata Hassan ditempati oleh dhamir yang memang merujuk pada Hassan yaitu مالله هدوح أيس برالقد . Kedua, dalam
kitab sunan al-Tirmidzi tersurat إن الله ديؤان يسوح حس برالقد dalam riwayat ini fi’il al-Amr yang ada pada redaksi Ibnu Mâlik ditempati oleh fi’il al-al-Mudhâri’. Ketiga dalam kitab Musnad Ahmad disebutkan dengan redaksi yang agak mirip, yaitu إن الله زل عجو ديؤان ليسوح حس برالقد . Penulis tidak mengetahui pasti sumber kitab Hadîts yang menjadi rujukan Ibnu Mâlik, dan meskipun redaksi Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik tidak sama dengan redaksi Hadîts dalam kitab-kitab tersebut, akan tetapi Hadîts yang terdapat pada kitab sunan al-Tirmidzi dan Musnad Ahmad mengandung hukum nahwu yang sama dengan redaksi Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik. Sehingga adanya perbedaan dalam redaksi di atas, tidaklah mengganggu pada otentisitas kaidah yang telah ditetapkan Ibnu Mâlik.
cx
BAB V
PENENTUAN IBNU MÂLIK BERKENAAN DENGAN HUKUM TAWABI’,
MAF’UL DAN ANALISA HADÎTS IBNU MÂLIK
L. Na’at dan Man’ût
Dalam kaidah na’at man’ût, sebagian ahli nahwu berpendapat bahwa tidak
dibenarkan na’at memiliki makna khusus dari makna yang terkandung di dalam
man’ût.336 Berbeda dengan itu, dalam kaidah athaf al-Bayân, justru sebaliknya tâbi’
(kata yang mengikuti kata sebelumnya) harus memiliki makna lebih khusus
dibandingkan dengan matbû’-nya.337
Dalam pandangan Ibnu Mâlik, pernyataan ulama di atas bertentangan dengan
teori dan dalil naqli. Pertama, secara teori, na’at dan tâbi’ dalam kaidah athaf al-
Bayân keduanya sama-sama sebagai penyempurna dan penjelas dari kata
sebelumnya. Sebagai penjelas tentunya harus mengandung makna yang spesifik dari
kata sebelumnya. Maka itu pernyataan sebagian ahli nahwu di atas, tidak-lah tepat
karena bertentangan dengan teori ini. Kedua, kaidah di atas yang menyatakan bahwa
na’at tidak dibenarkan memiliki makna lebih khusus dibandingkan dengan man’ût,
bertentangan dengan teks Hadîts Nabi SAW.338 Dalam salah satu teks Hadîts terdapat
na’at yang mengandung makna lebih khusus dibandingakan dengan man’ût. Seperti
TP339PTالقدوس الملك سبحان . Maka itu jika kaidah di atas benar, bagaimana mungkin
336 Pembahasan ini dapat dilihat juga di Ibnu ‘Aqîl, al-Musâ’id ala Tashhîl al-Fawâ’id,
(Damaskus: Beirut 1982) cet. Ke-1, juz. 2, hal. 403 337 Ini adalah pendapat yang banyak dianut oleh ahli nahwu klasik. Sedangkan ahli nahwu
kontemporer lebih cenderung berpendapat bahwa idealnya tâbi’ mengandung makna yang sama dengan matbû’ atau bahkan lebih umum darinya. Lihat. Ibnu ‘Aqîl, al-Musâ’id ala Tashhîl al-Fawâ’id, juz 2, hal. 424.
338 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 599 339 Hadîts ini merupakan do’a yang selalu dibaca Nabi Muhammad ketika usai melaksanakan
shalat witir. Tentu saja kalimat atau ucapan Nabi SAW yang berbentuk do’a adalah kategori dalil Hadîts yang kuat bagi ahli nahwu. Ulama nahwu sepakat bahwa teks Hadîts yang merupakan do’a dan dibaca oleh para sahabat adalah dalil nahwu yang otoritatif. Meskipun Imam al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadîts ini gharîb. Hadîts yang dijadikan dalil oleh Ibnu Mâlik ini diriwayatkan dari Ubay bin
cxi
dapat bertentangan dengan teks yang lebih otoritatif, yang bersumber dari penutur
yang keluhuran dan kefashihan bahasanya tidak diragukan lagi.
Dalam redaksi Hadîts tersebut kata al-Quddûs berkedudukan sebagai na’at
bagi kata al-Mâlik. Dan al-Quddûs340 memiliki makna yang lebih khusus dibandingan
dengan al-Mâlik,.341 Maka itu teks Hadîts ini menjadi bantahan bagi pendapat yang
menyatakan larangan na’at memiliki makna khusus dari makna yang terkandung di
dalam man’ût. Dalam kaidah ini, Ibnu Mâlik menyanggah pendapat ahli nahwu
klasik. Bantahannya ini berdasarkan Hadîts Nabi SAW. Sikap Ibnu Mâlik ini
mencerminkan pandangannya akan otorisasi Hadîts sebagai dalil nahwu. Maka itu
wajar jika kaidah yang muncul dari Ibnu Mâlik terkadang berbeda dengan ahli nahwu
lainnya, karena perbedaan pijakan dalam menetapkan kaidah nahwu
M. Mudhâf dan Mudhâf ilaih
Berkenaan dengan kaidah idhâfah, banyak permasalahan yang muncul dari
kaidah ini. Ibnu Mâlik sendiri dalam kitab syarh al-Umdah, sedikitnya menyebutkan
empat belas permasalahan terkait dengan kalimat idhâfah,342 baik itu yang terjadi
pada mudhâf maupun pada mudhâf ilaih-nya. Di antara permasalahan yang ada pada
kitab tersebut, sebagian dalil dalam menetapkan kaidahnya adalah berdasarkan Hadîts
Nabi SAW, antara lain;
i. kandungan makna idhâfah (kontribusi Hadits dalam memaknai kata)
Makna asal dari kalimat idhâfah adalah لـ (untuk/bagi), namun kalimat
idhâfah juga dapat memiliki makna lain, misalnya من (dari) atau يف (di). Secara umum Ka’ab dan tercantum dalam berbagai kitab Hadîts, seperti; Sunan Abi Dâwud, Sunan al-Tirmidzi, sunan al-Nasâ’i, dan musnad Ahmad. Bahkan Hadîts tersebut dimuat dalam berbagai bab, karena Rasulullah SAW mengucapkannya tidak hanya pada satu kesempatan atau waktu tertentu saja, melainkan berulang kali.
340 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz, 4, hal. 23 341 Pengertian selengkapnya lihat di Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-
Atsar, juz, 4, hal. 358-359 342 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 480-516
cxii
banyak kalimat idhâfah yang memiliki makna ganda, bisa bermakna ‘untuk’ dan juga
bermaka ‘dari’. Ibnu Mâlik berpendapat bahwa ada kalimat idhâfah yang hanya
bermakna يف dan tidak bisa bermakna lain atau mangandung makna ganda.343
Pendapat Ibnu Mâlik ini berdasarkan teks Hadîts Nabi SAW.344
Dalam Hadîts tersebut terdapat dua kalimat idhâfah ; Pertama, اطم ربوي dalam
pandangan ahli nahwu, pada kalimat idhâfah sesungguhnya tersembunyi huruf yang
jika ditampakkan memiliki jenis dan makna yang beragam. Dan dalam pandangan
Ibnu Mâlik huruf yang tersembunyi di antara dua kata di atas adalah huruf يف dan
hanya memiliki satu makna yaitu (di). Kedua, kata امر صيهش dalam kalimat ini, Ibnu
Mâlik juga berpendapat bahwa makna dari kalimat idhâfah tersebut juga sama dengan
makna yang ada pada kalimat pertama. Dan tidak mungkin dalam kedua kalimat
tersebut mengandung makna selain dari يف, sebagaimana disebutkan di atas.
Sesunguhnya jika menganalisa teks Hadîts secara komprehensif, akan
ditemukan kontribusi Hadîts dalam memaknai suatu kata bahasa Arab. Bahkan
banyak kata-kata dalam bahasa Arab yang memiliki makna baru, setelah Nabi SAW
memaknainya. Dan ada juga kosa kata baru bahasa Arab sebagai alat komunikasi
yang muncul atau ditemukan pertama kali dalam teks Hadîts Nabi SAW, yang
sebelumnya tidak pernah dikenal oleh masyarakat Arab.
Kata adalah hal penting dalam bahasa, perkembangan kosa kata sesungguhnya
dipengaruhi juga oleh perkembangan peradaban manusia, karena itu jika pada masa
jahiliyah kosa kata bahasa lebih cenderung terbatas dan stagnan, maka dengan
343 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 483 344 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; شهر صيام من أفضل وليلة يوم رباط
Hadîts ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad Ahmad. Selain itu, Hadîts ini .وقيامه
diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dengan sedikit perbedaan redaksi اطم ربولة يليو ريخ ام منر صيهش Jika dibandingkan keduanya, yang membedakannya hanya pada isim al-Tafdhîl. Namun itu .وقيامهbukanlah objek pembahasan saat ini, sehingga tidak mempengaruhi pembahasan kaidah mudhâf.
cxiii
datangnya Hadîts Nabi SAW, bahasa Arab kian berkembang bahkan kosa kata baru
banyak bermunculan dari Hadîts. Ini menandakan bahwa Hadîts berperan penting
dalam perkembangan bahasa Arab.345 Dari segi kosa kata, ada dua bentuk bagaimana
Hadîts berkontribusi pada kosa kata Bahasa Arab; pertama, memindahkan makna
satu kata kepada makna yang lain, proses ini sering disebut dengan Majâz. Kedua,
menciptakan suatu kata yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal di kalangan
orang Arab. Bentuk ini bisa melalui proses irtijâl, Qiyâs atau Isytiqâq.346 Peran Hadîts
bagi kedua bentuk di atas, umumnya melalui dua cara;
a. Mengalihkan makna
Ulama berbeda pendapat dalam hal apakah bahasa Nabi SAW merupakan
pengalihan dari bahasa Arab sebagai bagian dari budaya dan peradaban kepada
syariat, atau Nabi SAW independen dalam meletakkan bahasa. Pendapat yang paling
tepat adalah pendapat Ibnu Burhân bahwa Rasulullah SAW memindahkan dari
bahasa Arab biasa kepada bahasa syara’. Dalam proses pemindahan ini tidak terlepas
dari salah satu di antara dua bentuk yang disebutkan di awal yaitu majaz.347
Lafadz islami yang muncul pada masa Nabi SAW adalah merupakan lafadz
lama yang bermakna baru. Sebelumnya masyarakat Arab telah mengenal lafadz
tersebut, namun ketika Nabi SAW menjelaskan ayat-ayat global dalam al-Qur’ân,
Nabi SAW menafsirkan sebagian lafadznya dengan makna yang tidak dikenal
sebelumnya, yang dijelaskannya hanyalah hakikat syariat dari suatu lafadz tersebut.
Terkadang Nabi SAW menjelaskan suatu kata dengan ucapan dan sikap beliau,
misalnya ketika Nabi menjelaskan kata shalat dalam salah satu firman Allah SWT.348
Nabi SAW tidak menjelaskannya secara bahasa, yaitu do’a. Akan tetapi Nabi SAW
menjelaskannya makna shalat dengan perilakunya.349 Pada akhirnya banyak istilah-
345 Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyât al-Lughah al-Arabiyah, hal. 8 346 Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyât al-Lughah al-Arabiyah, hal. 57 347 Al-Suyûthi, al-Muzhir, Juz 1, hal. 294-296 (QS al-An’âm: 72) أقيموا الصلاة 348349 Sabda Nabi SAW ليوني أصمتأيا رلوا كمص (HR al-Bukhâri)
cxiv
istilah dalam ilmu fiqih yang terbangun dari ucapan Nabi SAW, bahkan menurut ahli
bahasa jumlah makna baru bagi suatu kata tertentu yang datang dari Nabi SAW
mencapai ratusan bahkan ribuan kata.350
b. Menciptakan kata
Tidak kecil peran Hadîts dalam menciptakan kata baru atau istilah baru,
proses pembentukan kata baru ini dapat melalui berbagai cara, antara lain; Pertama;
al-Irtijal, Irtijal adalah menciptakan kata baru yang tidak ada sebelumnya, Irtijal ini
tidak diterima kecuali berasal dari sumber terpercaya akan kefashihannya, maka itu
irtijal dapat diterima jika yang menyampaikannya terbukti menguasai bahasa fahih.351
Penjelasan Hadîts terhadap bahasa yang dianggap asing oleh sebagian
sahabat, sesungguhnya memiliki rahasia tertentu, baik berdasarkan sosok lawan
bicara Nabi SAW, atau untuk siapa kata itu ditujukan. Jika kata asing yang ada pada
Hadîts Nabi SAW ditujukan untuk seluruh kaum Muslim, misalnya ada satu lafadz
atau lebih yang tidak difahami sahabat, maka mereka bertanya langsung pada Nabi
SAW agar kata yang asing bagi mereka, menjadi jelas, dan kemudian Nabi SAW
berusaha menjelaskannya. Misalnya, salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abu
Tamimah al-Hujaimi yang tidak faham kata yang disabdakan Nabi yaitu املخيلة
kemudian Nabi menjelaskan kata tersebut yaitu; سبل اإلزار (menjulurkan kain/sarung
hingga di bawah mata kaki).352
Dan jika kata asing tersebut ditujukan hanya untuk orang-orang tertentu,
misalnya untuk utusan dari berbagai suku Arab yang nota bene memiliki dialek
berbeda-beda. Maka Nabi SAW hanya menggunakan kalimat yang dapat difahami
350 Muhammad Dhâry Himadî, al-Hadîts al-Nabawî al-Syarif wa Atsaruhu fi al-Dirâsat al-
Lughawiyah wa al-Nahwiyah, hal. 125 351 Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyât al-Lughah al-Arabiyah, hal. 59 يا رسول اهللا، حنن قوم : فقال" إياك و املخيلة : " أنه قال أليب متيمة اهلجيمي:وقد روي عن النيب صلى اهللا عليه وسلم 352
"سبل اإلزار" لم عرب، فما املخيلة فقال صلى اهللا عليه وس Lihat al-Mubarrad, al-Kamil fi al-Lughah wa al-Adab, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif), juz. 2, hal. 288. Hadîts ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dan Abu Dawud, dengan redaksi yang berbeda namun bermakna sama.
cxv
lawan bicaranya. Karenanya tidaklah heran jika Ali k.w bertanya pada Nabi SAW
perihal perkataan Nabi SAW yang tidak dimengerti oleh Ali k.w ketika Nabi SAW
berbicara pada salah satu utusan Arab, padahal Ali k.w dan Nabi SAW berasal dari
satu keturunan.353
Selain itu ada beberapa kalimat untuk nama-nama tertentu yang sebelumnya
tidak dikenal, dan Nabi SAW adalah orang yang pertama yang memberikan arti baru
bagi kata tersebut. Misalnya kata dalam salah satu sabda Nabi SAW354 حظرية yang
dalam Hadîts ini bermakna pagar surga, padahal kata ini hanya bermakna kandang
binatang terbuat dari kayu yang menjaganya dari dinginnya udara.355 Nabi SAW juga
pernah menyebutkan kata الضراح yang bermakna rumah di langit.356 Menurut Ibnu
Khalawayh penjelasan kata ini tidak ditemukan pada ucapan Arab, kecuali dari
Hadîts Nabi SAW saja.357
Kedua; Ta’rîb, yaitu memindahkan kata dari bahasa Ajam ke bahasa Arab,
sedangkan muarrab adalah kalimat-kalimat yang dinukil dari bahasa asing ke dalam
bahasa Arab, baik itu terjadi perubahan atau tidak. Ada juga istilah lain yaitu al-
Dakhil yaitu kosa kata asing yang masuk ke dalam bahasa Arab, baik itu digunakan
oleh orang fashih pada masa Jahiliyah dan Islam, atau digunakan juga pada generasi
berikutnya dari kalangan muwalladun, yaitu mereka yang disebut-sebut sebagai orang
yang datang setelah masa ihtijaj.358 Ulama berbeda pendapat tentang adanya muarrab
353 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 1, hal. 8. Lihat juga di
Muhammad Dhâry Himady, al-Hadîts al-Nabawy al-Syarif wa Atsaruhu fi al-Dirâsat al-Lughawiyah wa al-Nahwiyah, hal. 146
القدس حظرية من إياه اسقيته إلا مخافتي من عبيدي من عبد يدعها ولا 354 . (HR Ahmad). 355 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 1, hal. 389 356 راحالض ماء يف بيتحه من املعمور البيت وهو ] الضريح [ ويروى الكعبة حيال السعه املقابله وهي املضاروقد واملضار
صحف فقد بالصاد رواه ومن وجماهد علي حديث يف رهذك جاء Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 3, hal. 75
357 Al-Suyûthi, al-Muzhir, Juz 1, hal. 301 358 Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyât al-Lughah al-Arabiyah, hal 133
cxvi
dalam al-Qur’ân. Imam al-Syâfi’i di antara yang menolak adanya muarrab di dalam
al-Qur’ân.359
Di antara cara yang digunakan Hadîts dalam memperkaya kosa kata bahasa
Arab adalah dengan cara ta’rîb. Misalnya dalam Hadîts Nabi SAW ditemukan kata360
yang bermakna jama’ah. Sebagian ahli bahasa برازق atau diriwayatkan juga برازيق
menyebutkan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Paris yang diarabkan. Ada juga
Hadîts yang memuat kata361 سبيج yang bermakna baju atau pakaian, sebagian ahli
bahasa mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari Paris. Ada juga Hadîts yang
memuat kata زرمق, merupakan bahasa Ajam, sebagian orang mengatakan itu berasal
dari bahasa Ibrani.362 Ada juga kata الديباج yang merupakan bahasa paris yang
dita’rîbkan.363 Selain berkontribusi pada pengayaan kosa kata bahasa Arab melalui irtijal,
isytiqaq, majaz dan ta’rîb. Hadîts juga berperan dalam menghapus makna bahasa
Arab yang pada masa jahiliyah digunakan, kemudian pada masa Nabi SAW
dihilangkan dan tidak digunakan lagi, karena instruksi baginda Nabi Muhammad
SAW, di antaranya; ،النشيطة، الفضولاملرباع، dan kata الصفي, kata-kata tersebut
dihilangkan atas instruksi Nabi SAW364 Selain itu ada kata-kata yang juga hilang dari
peredaran masyarakat Arab seperti; 365.دعدع، لعلع Adapun mengganti kalimat dengan
kalimat lain, banyak ditemukan juga dalam Hadîts Nabi SAW. Seperti kalimat خبثت
359 Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyât al-Lughah al-Arabiyah, hal. 135 360 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 1, hal. 118 361 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 2, hal. 298 362 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 2, hal. 273 363 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 2, hal. 92 364 Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 69-70 365 Ibnu Faris, al-Shâhibi, (Kairo: Mathba’ah Isa tth), hal. 58
cxvii
Ada juga mengganti kosa kata 366.لقست نفسي harus diganti dengan kalimat نفسي
dengan kosa kata lain, seperti, عبدي diganti menjadi فتاي. Dan panggilan seorang
hamba sahaya pada tuannya dari ريب menjadi 367.سيدي Berdasarkan uraian di atas,
tidak mengherankan jika ulama banyak yang mengkaji ta’rîb, baik dalam al-Qur’ân
ataupun dalam ungkapan lainnya, meskipun kebanyakan ulama berkeyakinan bahwa
tidak ada kata muarrab dalam al-Qur’ân368
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ahli nahwu telah berperan
penting menjadikan Hadîts sebagai dalil otoritatif dalam ranah kebahasaan, yang
sebelumnya telah dialfakan oleh sebagian ahli bahasa. Maka itu, ini membuktikan
bahwa Hadîts dalam pandangan ahli bahasa sangat berperan dalam menjaga
otentisitas bahasa.
Fakta-fakta di atas juga sekaligus membantah anggapan sebagian ulama
bahasa seperti Ibnu al-Dha’i (w 680 H), Abu Hayyan al-Andalusi (w 745 H) dan ahli
nahwu lainnya yang meragukan otentisitas dan keluhuran redaksi bahasa Hadîts, yang
nota bene bersumber dari orang yang terfashih dalam bahasa Arab, Rasulullah SAW.
Dan dalam hal ini, Ibnu Mâlik (w 672 H) di antara orang yang paling berperan dalam
membela eksistensi Hadîts sebagai dalil otoritatif dalam kaidah bahasa.
ii. terpisahnya antara mudhâf dan mudhâf ilaih
Dalam kaidah umum ilmu nahwu, terdapat pembahasan mengenai kalimat
idhâfah, di dalamnya disebutkan bahwa kata yang berkedudukan sebagai mudhâf dan
366 نة عائشع قال قالت سلى الله ولرص ه اللهليع لمسلا و قولني كمدأح ثتبفسي خن لكنقل ولي تفسي لقسن
(HR. Muslim), bab karâhatu qauli al-Insân khabutsat nafsi. 367 ة أبي عنريرول قال قال هسلى الله رص الله ليهع لمسلا و قولني كمددي أحبع فكلكم بيدالله ع لكنقل ولي ايلا فتو
-bab hukmu ithlâq lafdhah al-Abd wa al-Ammah wa al ,(HR. Muslim)سيدي ليقل ولكن ربي العبد يقلMawâli.
368 Untuk mendapatkann contoh lain dari ta’rîb lihat di Sa’di Dhannawi, al-Mu’jam al-Mufashshal fi al-Muarrab wa al-Dakhil, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 2004) cet. Ke-1.
cxviii
mudhâf ilaih mesti bergandengan, huruf al-Jarr yang merupakan pemisah di antara
keduanya mesti disembunyikan, meskipun sebagian ahli nahwu membolehkan
menampakkannya.369
Ulama Kûfah berpendapat bahwa boleh memisahkan antara mudhâf dengan
mudhâf ilaih selain dengan dzaraf dan huruf al-Jar. Asalkan keduanya dalam kondisi
darurat syair. Dalam pandangan ulama Kûfah, banyak ditemukan terpisahnya mudhâf
dengan mudhâf ilaih dalam berbagai syair darurat.370 Dalam memperkuat pendapat
ini, al-Kisâ’i menyebutkan bahwa ia pernah mendengar orang Arab memisahkan
mudhâf dengan mudhâf ilaih dalam ucapannya.371 Selain itu Abu Ubaidah juga
bersaksi bahwa ia pernah mendengar ungkapan orang Arab yang memisahkan
mudhâf dengan mudhâf ilaih.372
Sedangakan ulama Bashrah berpendapat bahwa tidak dibenarkan memisahkan
mudhâf dan mudhâf ilaih karena ia adalah kalimat satu paket. Kecuali pemisahnya
dari dzaraf dan huruf al-Jar. Selainnya tidak diperbolehkan. Seperti dalam ungkapan
syair Amr bin Qamî’ah.373
Jika mengamati dalil yang dikemukakan oleh al-Kisâ’i, yang merupakan
perkataan Arab. Adalah dalil lemah yang kemungkinan menjadi sasaran empuk bagi
369 Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz. 3, hal. 206 lihat juga Al-Azhari,
Syarh al-Tashrîh ala al-Taudhîh, juz 2, hal. 59 370 Syair yang dimaksud adalah; Dalam syair ini mudhâf زج القلوص أبي مزاده - فزججتها بمزجة
dan mudhâf ilaih dipisahkan oleh kata القلوص yang merupakan maf’ul, bukan dzaraf atau huruf al-Jarr. Dipisahkannya mudhâf dan mudhâf ilaih karena keduanya dalam kondisi darurat syair. Padahal redaksi sesungguhnya adalah القلوص هادزأبي م جز lihat. Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 382
371 Ucapan orang Arab yang dimaksud adalah; لغا ذهاماهللا وز دي dalam ucapan ini mudhâf dan
mudhâf ilaih dipisahkan oleh kata واهللا lihat. Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 385 372 Ucapan orang Arab yang dimaksud adalah; نإاة الشت جتفر تسمعص وتالل وه رباه dalam ucapan
ini mudhâf dan mudhâf ilaih dipisahkan oleh kata واهللا lihat. Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 385
373 Ungkapannya adalah تربعتا اسمداتيس أتا–ملا رهلا م نم موالي رلله د dalam ungkapan ini memang mudhâf dan mudhâf ilaih terpisah, namun dipisahkan dengan dzaraf, maka ia dibolehkan. Dan redaksi ungkapan itu sesungguhnya موا اليهلا م نم رلله د lihat. Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 385
cxix
ahli nahwu lain untuk mengkritisi pemikirannya. Al-Kisâ’i merupakan tokoh penting
dalam pemikiran nahwu Kufah, hanya saja diakui bahwa ulama Kufah cenderung
mutasahhil dalam menyeleksi dalil-dalil yang akan dijadikannya sebagai sumber
kaidah. Khususnya perkataan orang Arab baik itu berupa syair maupun natsr.
Akibatnya perkataan Arab yang menjadi dalil al-Kisa’i ini, banyak dibantah oleh ahli
nahwu lainnya.
Al-Anbâri misalnya, ia mengkritisi ungkapan Arab yang dijadikan pijakan
oleh al-Kisa’i, menurutnya dalil yang dikemukakan oleh al-Kisâ’i dan Abu Ubaidah
adalah dalam kalimat sumpah. Karena pemisah antara mudhâf dan mudhâf ilaih
adalah kalimat sumpah yang bertujuan untuk penguatan (taukid). Maka itu dalam
pandangan al-Anbâri, kedua dalil di atas yang merupakan perkataan Arab tidaklah
masuk dalam kategori ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada dalil kuat
yang menunjukkan bolehnya memisahkan mudhâf dan mudhâf ilaih kecuali pada
kalimat sumpah, sebagaimana disebutkan di atas.374
Sedangkan dalil yang dikemukakan oleh ulama Bashrah, meskipun mereka
sangat selektif dalam memilah perkataan Arab yang dijadikan dalil dalam suatu
kaidah, namun mereka tidak melihat dalil lain yang lebih otoritatif, yaitu Hadîts Nabi
SAW. Maka pendapatnya pun dibantah oleh Ibnu Mâlik.
Ibnu Mâlik juga membantah pendapat Al-Anbâri di atas, menurutnya boleh
memisahkan antara mudhâf dengan mudhâf ilaih, asalkan pemisahnya tidak berasal
dari fâ’il, mungkin bisa dari munâda atau sifat mudhâf. Pemisahan ini dibolehkan
bukan hanya dalam kondisi darurat syair saja, akan tetapi berlaku dalam kondisi
apapun.375 Dalam kaidah ini Ibnu Mâlik berdalil dengan Hadîts Nabi SAW yang
menunjukkan adanya teks kalimat yang menunjukkan terpisahnya mudhâf dan
mudhâf ilaih.376
374 Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 388. 375 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 491 376 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; لفه متاركو أناحبي لي تص Hadîts
ini diriwayatkan dari Abu darda’. Hadîts ini terdapat dalam kitab Shahîh al-Bukhâri, yang terulang dua
cxx
Dalam Hadîts tersebut terdapat kalimat idhâfah اركواحبي تص , namun kalimat
idhâfah di atas dipisahkan oleh kata لي. Sehingga dari Hadîts ini Ibnu Mâlik
meletakkan kaidah bolehnya memisahkan antara mudhâf dan mudhâf ilaih, dengan
catatan pemisahnya bukan dari fa’il.
Yang menjadi cacatan penting dalam perdebatan ini adalah, tidak
digunakannya Hadîts oleh madzhab Bashrah sebagai dalil dalam penetapan kaidah
bolehnya memisahkan mudhâf dengan mudhâf ilaih. Dan bukan lantaran mereka
tidak sepakat bahwa Hadîts adalah merupakan dalil otoritatif dalam penetapan kaidah
nahwu. Melainkan ini lebih disebabkan karena dua hal;
Pertama; di masyarakat Bahsrah, ilmu keagamaan baru berkembang setelah
berkembangnya ilmu nahwu. Dan seratus tahun kemudian, setelah munculnya
madzhab Kufah, barulah ulama Bashrah mengembangkan kajiannnya pada bidang
ilmu syariat seperti Hadîts Nabi SAW. Sehingga kalaulah sejak masa awal Hadîts
telah menjadi objek kajiannya, tentunya ulama Bashrah akan berdalil dengan Hadîts
Nabi SAW.
Kedua, kodifikasi Hadîts. Diketahui bahwa pada awal kemunculan nahwu di
Bashrah, Hadîts belum terkodifikasi dengan baik, untuk lebih jelasnya, berikut akan
diuraikan sejarah kodifikasi Hadîts, sebagai fakta sejarah bahwa tidak digunakannya
Hadîts sebagai dalil nahwu, bukan lantaran keengganan ahli nahwu untuk
menggunakannya, namun pada masa itu Hadîts belum terkodifikasi secara utuh.
Sejarah kodifikasi Hadîts penting untuk dianalisa dalam sub bab ini.
Kaitannya dengan penentang Hadîts, sebagian mereka beranggapan bahwa Hadîts
belum dikodifikasi pada awal keislaman, sehingga ini menjadi alasan bagi mereka kali dalam dua bab yang berbeda. Terdapat perbedaan redaksi Hadîts antara yang ada di shahîh al-Bukhâri dan syarh al-Umdah. Dalam shahîh al-Bukhâri tertulis لفه متاركوا أناحبي لي تص perbedaannya
terletak pada alif setelah huruf waw jama’ah. Dalam bab lain tertulis له متاركون أناحبي لي تص dalam redaksi ini, tetapnya huruf nun. Meskipun demikian hal tersebut tidak mempengaruhi kaidah yang telah ditetapkan Ibnu Mâlik, karena yang menjadi objek dalil dalam Hadîts ini adalah terpisahnya mudhâf dan mudaf ilaih, bukan berkenaan dengan tetap tidaknya huruf nun dalam waw jama’ah ketika ia menjadi mudhâf.
cxxi
untuk meragukan otentisitas lafadz Hadîts sebagai lafadz Nabi SAW. Kaitannya
dengan pembahasan di atas, bahwa madzhab Bashrah dan Kufah tidak banyak
berpijak pada Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu, di antara sebabnya adalah
belum terkodifikasinya Hadîts secara utuh. Sehingga bagi sebagian ulama mereka
mendapatkan ungkapan Arab dalam bentuk syair lebih mudah dibandingkan dengan
mendapatkan riwayat Hadîts Nabi SAW. Untuk membuktikanya, di bawah ini akan
dianalisa sejarah kodifikasi Hadîts, khususnya pada masa Nabi SAW, sahabat dan
tâbi’în, yang dimungkinkan berpengaruh pada pemikiran kedua madzhab besar
nahwu, yaitu Bashrah dan Kufah.
a. Pada Masa Nabi SAW
Pada masa awal kenabian, Rasulullah SAW sangat menganjurkan kaum
Muslim untuk mengkaji dan memperhatikan kandungan al-Qur’ân saja, maka itu pada
masa tersebut, para sahabat hanya terfokus dalam menyebarkan al-Qur’ân, tidak ada
yang lainnya. Bagi siapa saja yang belum mampu membaca dan menulis al-Qur’ân,
maka Rasulullah SAW membuat tim khusus sebagai guru bagi sahabatnya yang
lain.377 Itu sebabnya pada masa awal kenabian muncul larangan menulis selain al-
Qur’ân, termasuk Hadîts Nabi SAW.378
Namun larangan ini di-naskh oleh Hadîts lain yang menunjukkan bolehnya
menulis Hadîts Nabi SAW.379 Nampaknya lahirnya izin menuliskan apa yang Nabi
sabdakan, lebih ditujukan bagi siapa yang khawatir lupa akan sabda-sabda beliau.
Adapun sebab larangan penulisan tadi, nampaknya ditujukan bagi orang yang
memiliki kemampuan lebih dalam hafalan, sehingga khawatir hafalannya bercampur
dengan al-Qur’ân. Dengan kata lain jika kekhawatiran bercampurnya Hadîts dengan
al-Qur’ân dapat dihilangkan maka larangan itu tidak berlaku kembali.380 Maka itu
kemudian Rasulullah SAW mengizinkan para sahabatnya untuk menuliskan apa yang
377 Al-A’dzami, the histori of the qur’anic tex, hal. 68 P378Pنعيد أبي عس ريدول أن الخسلى الله رص ه اللهليع لمسوا لا قال وبكتي تنع نمو بكت يعن رآن غيالقر هحمفلي Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 63. (HR Muslim)
379 Ibnu Katsîr, Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 127 380 Ibnu Shalâh, Muqaddimah Ibnu Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 214
cxxii
ia sabdakan, dan semenjak itu banyak sahabat yang menuliskan sabda-sabda beliau
dan menjaganya agar tidak bercampur dengan al-Qur’ân.381 Bahkan Nabi SAW
menganjurkan sahabatnya untuk mengikat ilmu dengan tulisan.382
Bukti lain adanya tradisi penulisan Hadîts pada masa Nabi SAW adalah,
riwayat Abu Hurairah yang menceritakan bahwa ketika terjadi fathu Makkah (8 H),
Rasulullah SAW berdiri menyampaikan khutbah, seteleh selesai, datang seorang laki-
laki bernama Abu Syah, ia meminta pada Nabi SAW untuk menuliskan khutbah yang
telah disampaikannya, kemudian Nabi SAW menyuruh sahabatnya yang lain untuk
menuliskan dan memberikannya pada Abu Syah.383 Bahkan Abu Hurairah, mengakui
bahwa ia adalah orang yang paling banyak menulis sabda Nabi SAW di antara
sahabat-sahabatnya.384 Abdullah bin Umar juga mengakui bahwa ia menulis segala
apa yang ia dengar dari Nabi SAW, dan meskipun diingatkan oleh masyarakat
Quraisy agar tidak menuliskan sabda Nabi SAW, namun ia tetap menuliskannya,
setelah Nabi SAW mengizinkannya.385
Bukti nyata adanya tradisi penulisan Hadîts pada masa Nabi SAW adalah
adanya shuhuf yang memuat Hadîts Nabi SAW, antara lain ada al-Shahifah al-
381 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 20-21. Lihat juga di Ibnu Abdi al-Barr,
Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 70-77 382 Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 72
رسول فقام الجاهلية في لهم بقتيل ليث بني من رجلا خزاعة قتلت مكة فتح عام أنه هريرة أبو حدثنا سلمة أبو حدثنا 383 تحل ولا قبلي لأحد تحل لم وإنها ألا والمؤمنني رسوله عليهم وسلط الفيل مكة عن حبس الله إن فقال وسلم هعلي الله صلى الله إلا ساقطتها يلتقط ولا شجرها يعضد ولا شوكها يختلى لا حرام هذه ساعتي هاوإن ألا نهار من ساعة لي أحلت وإنما ألا بعدي لأحدشدنم نمقتل و قتيل له ور فهين بخيظرا النى إمودا يإمو قادي ل فقامجر ل منن أهمقال اليي و لهاه أبفقال ش با لي اكتول يسالله ر (HR. al-Bukhâri) شاه لأبي اكتبوا وسلم عليه الله صلى الله رسول فقال
384 و نعبه نه ببنم نقال أخيه ع تمعا سة أبريرقول ها يم ا منحبأص بيلى النص ه اللهليع لمسو دأح ديثا أكثرح هني عا إلا منكان م د منبن الله عرو بمع هكان فإن بكتلا يو بأكت Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa
Fadhlih, juz. 1, hal. 70. Diriwayatkan juga dalam shahih al-Bukhâri, kitab al-Ilm قريش فنهتين حفظه أريد وسلم عليه اهللا صلى اهللا رسول من أمسعه شيء كل أكتب كنت : قال عمرو بن اهللا عبد عن 385
ذلك رتفذك ، الكتاب عن فأمسكت ؟ والغضب الرضا يف يتكلم وسلم عليه اهللا صلى اهللا رسول ، تسمعه شيء كل أتكتب : وقالوا» حق إال منه خيرج ما بيده نفسي فوالذي اكتب « : وقال فيه إىل بإصبعه فأومأ وسلم عليه اهللا صلى اهللا لرسول Ibnu Abdi al-
Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 71
cxxiii
Shadiqah yaitu sebuah catatan milik Abdullah bin Amr bin ‘Ash, ini sebagaimana
dikabarkan oleh Mujâhid.386 Bahkan diriwayatkan bahwa Sa’ad bin Ubadah memiliki
shahifah yang memuat hadîts-hadîts Rasulullah SAW, dan kemudian putranya
meriwayatkan Hadîts dari shahifah ini.387
b. Masa al-Khulafa al-Rasyidun
Ketatnya dalam menjaga teks al-Qur’ân pada masa awal kenabian,
dipertahankan oleh Abu Bakr al-Shiddiq, ia mengumpulkan seluruh hadîts-hadîts
yang ada, kemudian membakarnya.388 Bahkan ketika Umar bin Khattab hendak
menuliskan sunnah-sunnah Nabi SAW, terlebih dahulu ia meminta fatwa dari
sahabat-sahabatnya, dan mereka menyetujuinya, namun Umar r.a tidak
melakukkannya, karena khawatir umat Muslim lebih mengutamakan Hadîts
dibandingkan dengan al-Qur’ân.389 Bahkan Ali r.a pernah berkhutbah di depan
sahabat-sahabat; ‘barang siapa yang memiliki tulisan selain al-Qur’ân agar ia
menghapusnya, karena kecelakaan umat terdahulu adalah karena mereka lebih
mengikuti perkataan ulama dan meninggalkan al-Qur’ân’.390
Namun larangan itu pun tidak berlarut-larut, karena tidak lama setelah itu Abu
Bakr r.a dan Umar r.a menulis Hadîts kembali, bahkan menyarankan pada para
sahabat-sahabatnya untuk menulis Hadîts. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa
sebab dari larangan tersebut hanyalah kekhwatiran akan ditinggalkannya al-Qur’ân
oleh umat Muhammad SAW.391 Dalam sejarah, dikenal sejumlah sahabat yang
membolehkan penulisan Hadîts seperti Umar, Ali, Hasan, Abdullah bin Amr bin al-
من مسعت ما فيها! لصادقةا هذه: فقال عنها فسألت صحيفة العاص بن عمرو بن اهللا عبد عند رأيت: قال جماهد عن 386
.Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz .أحد فيها وبينه بيين ليس وسلم، عليه اهللا صلى اهللا، رسول1, hal. 72
387 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 24 388 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 39 389 Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 64. 390 Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 63-64 391 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 41
cxxiv
Ash, Anas, Jabir, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.392 Bahkan ada riwayat yang
mengatakan bahwa Umar bin Khattab menganjurkan sahabatnya untuk menulis.393
c. Masa Tâbi’în
Generasi tâbi’în mengambil ilmu dari para sahabat, mereka mengetahui mana
perkara yang dibenarkan dan mana yang tidak, pastinya dari sahabat. Dan mereka
juga banyak meriwayatkan Hadîts dari sahabat, maka itu tâbi’în sangat mengetahui
sekali kapan penulisan Hadîts itu diperbolehkan dan juga dilarang.394 Keputusan para
sahabat dalam membolehkan penulisan Hadîts berpengaruh pada generasai
berikutnya yaitu tâbi’în, karenanya ditemukan di antara tâbi’în yang juga
membolehkannya seperti; Basyir bin Nahik dan Said bin Zubair. Meskipun demikian
ada juga dari kalangan tâbi’în yang melarangnya seperti; al-Sya’bi dan Ibrahim al-
Nakha’i.395
Contoh lain dari pengaruh sahabat dalam menjaga Hadîts adalah, anjuran Abu
Hurairah dan Said al-Khudri, bahwa ia memberi kesempatan pada tâbi’în untuk
membuat shuhuf yang memuat hadîts-hadîts Nabi SAW, karena Abu Hurairah dan
sahabat lainnya pernah melakukan hal yang sama pada saat Nabi SAW masih ada.396
Bahkan di antara tâbi’în ada yang mendapatkan warisan shuhuf yang memuat Hadîts
Nabi SAW, yaitu Hammam bin Munabbih yang mendapatkan shuhuf dari Abu
Hurairah, maka dikenallah dengan shahifah Hammam.397 Lain halnya dengan Basyir
bin Nuhaik, yang menulis hadîts-hadîts dari Abu Hurairah, dan setelah memiliki
banyak Hadits, Basyir melaporkannya bahwa ia telah menulis hadîts-hadîts yang
didapatinya dari Abu Hurairah, dan Abu Hurairah mengijazahkannya.398
392 Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 72 Atsar ini » بالكتاب العلم قيدوا « :يقول ، اخلطاب بن عمر مسع أنه ، سفيان أيب بن اهللا عبد بن امللك عبد عن 393
diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak ala al-Shahihayn. 394 Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 321 395 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 42 396 Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 70 397 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, 32 398 Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 72
cxxv
Namun sesungguhnya penulisan Hadîts secara kolektif dan teratur baru terjadi
pada masa pertengahan tâbi’în, yaitu masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Umar yang
merupakan khalifah pada masa Bani Umayyah ini, memerintahkan bawahannya yang
ada di Madinah yaitu Abu Bakr bin Hazm untuk menuliskan Hadîts yang ia dapati.
Dan setelah itu barulah para ulama menulis Hadîts secara sistematis, dan ulama
pertama yang berperan aktif dalam urusan ini adalah Ibnu Syihâb al-Zuhri (w 124
H).399 Menurut pengakuannya Umar bin Abdul Aziz memerintahkan padanya untuk
membuat daftar Hadîts Nabi SAW, dan menyebarkannya ke seluruh negeri
Muslim.400
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengumpulan Hadîts secara
teratur dimulai pada masa Umar bin Abdul Aziz, meskipun tradisi penulisannya
dalam shuhuf telah dilakukan oleh sahabat pada masa Nabi Muhammad SAW, dan
tradisi ini terus dilakukan dan tidak pernah terputus meskipun setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW.401
Dan pada masa akhir tâbi’în, barulah terjadi pemalsuan Hadîts, disebabkan
banyaknya aliran pemikiran dalam Islam. Karenanya pada masa ini bukan hanya
penulisan yang terus ditingkatkan, namun juga hafalan-hafalan Hadîts pun terus
digiatkan agar hadîts-hadîts palsu lebih mudah untuk diidentifikasi.402
Dari uraian di atas, difahami bahwa tradisi penulisan Hadîts telah terjadi pada
masa Nabi SAW. Adapun adanya larangan Nabi SAW pada sebagian sahabat untuk
menulis Hadîts, merupakan kekhususan bagi sahabat yang khawatir tercampurnya
antara al-Hadîts dan al-Qur’ân. Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa
larangan tersebut telah di-nasakh oleh Hadîts yang menyatakan bolehnya menuliskan
399 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, 44-45. Lihat juga di Muhammad Ajâj al-
Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 329-330. 400 Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 77 401 Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 332 402 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 48
cxxvi
Hadîts Rasulullah SAW. Dalam pandangan ahli Hadîts, hadîts-hadîts yang
menyatakan bahwa Abu Bakr telah membakar Hadîts, adalah hadîts lemah.403
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa sejak awal Hadîts telah ditulis oleh
para sahabat, hanya saja masih dalam bentuk shuhuf. Belum terkodifikasi secara utuh.
Karenanya wajar saja jika sebagian ulama mengalami kesulitan dalam mendapatkan
Hadîts, tidak semudah ketika mereka mendapatkan syair. Kondisi itu berbeda dengan
masa Ibnu Mâlik, yang nota bene Hadîts telah terkodifikasi dengan baik, sehingga
ahli nahwu pada masa itu tidak mengalami kesulitan dalam merujuk teks Hadîts,
ketika mereka membutuhkan pembenaran dari dalil simâ`i.
iii. menyembunyikan mudhâf
Bagi Ibnu Mâlik, Hadîts bukan hanya sebagai dalil akan bolehnya
memisahkan mudhâf dengan mudhâf ilaih. Melainkan lebih dari itu, ia menyatakan
bahwa boleh menyembunyikan mudhâf, meskipun mudhâf ilaih-nya ditampakkan.404
Pendapat ini didasarkan pada dua teks Hadîts yang menyembunyikan mudhâf-
nya. Padahal mudhâf ilaih-nya nampak. Pertama, Hadîts yang berkenaan dengan
pentingnya bersiwak sebelum menunaikan shalat.405 Dalam Hadîts Nabi SAW ini,
kata عنيبس berkedudukan sebagai mudhâf ilaih, sedangkan mudhâf-nya
disembunyikan. Dalam pandangan Ibnu Malik, mudhâf-nya adalah فلض , sehingga jika
mudhâf-nya ditampakkan, maka kalimatnya akan beredaksi لفضعنيبالة سص . Kedua,
Sabda Nabi SAW ketika beliau ditanya tentang berapa lama dajjal menetap di bumi?
403 Al-A’dzami, Dirâsat fi al-Hadits al-Nabawi wa Târikh Tadwinih, juz. 1, hal. 32 404 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 501 405 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; للاة فضاك الصولى بالسلاة عر الصياك بغسو
عنيبالة سص Hadîts ini tercantum dalam kitab majma’ al-Zawâ’id dengan sedikit perbedaan, yaitu; الصالة فضل .صالة سبعني سواك بغري الصالة على بسواك Perbedaannya adalah pada kata siwak. Yang pertama menggunakan alif
lam dan kedua tidak menggunakannya. Hadîts ini juga ditemukan dalam musnad Ahmad dengan redaksi yang hampir sama yaitu للاة فضاك الصولى بالسلاة عر الصياك بغسو عنيبفا سضع . Hadîts yang berkenaan dengan siwak tersebut seluruhnya diriwayatkan dari ‘Aisyah. Menurut Imam al-Hakim, Hadîts ini shahih.
cxxvii
Nabi SAW menjawab 406 عنيبا أرموي dalam Hadîts ini Ibnu Mâlik berpendapat bahwa
عنيبأر adalah berkedudukan sebagai mudhâf ilaih, dan mudhâf disembunyikan yaitu
ثبل . Sehingga jika mudhâf ini ditampakkan, maka Hadîts tersebut beredaksi عنيبا أرموي
ثبل .407
Analisa Ibnu Mâlik terhadap dua Hadîts tersebut, sungguh sangat mendalam.
Jika seseorang yang tidak mengetahui dan menguasai dzauq bahasa Arab, tentu tidak
akan memahami kandungan Hadîts tersebut. Ini tercermin dari ketelitiannya dalam
menganalisa satu kata yang majrur, namun tidak nampak hal yang menyebabkan
majrurnya kata tersebut, yaitu kata عنيبس dan عنيبأر . Dengan analisanya, ia mendapati
bahwa kata yang memajrurkannya adalah kata yang tersembunyi yang berkedudukan
sebagai mudhâf. Maka itu dari Hadîts ini, lahirlah kaidah yang menetapkan bahwa
boleh menyembunyikan mudhâf, meskipun mudhâf ilaihnya tetap ditampakkan.
N. Tamyîz
Dalam kaidah umum tentang bilangan, tamyîz bagi bilangan murakkab (dari
sebelas sampai sembilan puluh sembilan) dan dua puluh, adalah mufrad dalam
keadaan nashab.408 Ibnu Mâlik berpendapat jika tamyîz dari bilangan tersebut
berbentuk jamak, maka tamyiznya disembunyikan, dan yang menempatinya adalah
406 Dalam karyanya, Ibnu Mâlik nampaknya tidak mengutip langsung redaksi Hadîts dari
periwayatnya. Ia hanya menceritakan kembali peristiwa dalam Hadîts tersebut dengan tetap mempertahankan ucapan Nabi SAW yaitu عنيبا أرموي . Hadîts ini diriwayatkan dalam kitab musnad
Ahmad. Dalam kitab tersebut, memuat redaksi sebagai berikut; جرخال يجتي في الدث أملبفي فيهم بأرري لا عنيأد عنيبا أرموي أو عنيبة أرنس أو عنيبلة أرلي أو عنيبا أررهش . Meskipun terjadi perbedaan redaksi, hal ini tidak
berpengaruh pada kaidah yang telah ditetapkan. 407 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 502 408 Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz 3, hal. 117
cxxviii
badal, yaitu kata yang merupakan pengganti dari tamyîz.409 Ini sejalan dengan Hadîts
fi’li yang merupakan perkataan Ibnu Mas’ûd.410 Dalam Hadîts tersebut, terdapat kata-kata yang berkedudukan sebagai tamyîz,
yaitu تاض بنخحقة، م،تون بنلب ،تون بنة ،لبذعج disebut tamyîz karena kata-kata tersebut
datang setelah bilangan murakkab dan ia merupakan mufrad yang dalam keadaan
nashab. Ini tentunya sesuai dengan kaidah ahli nahwu secara umum. Akan tetapi
dalam rangkaian kata pada Hadîts tersebut terdapat kata lain yang berbeda dengan
kata-kata sebelumnya yaitu kata نياض بخم . Tentu saja sulit untuk mengatakan bahwa
kata tersebut merupakan tamyiz, meskipun ia datang setelah bilangan murakkab.
Dalam hal ini Ibnu Mâlik menyebutnya sebagai badal dan ia merupakan
pengganti dari tamyîz yang disembunyikan. Karena kata tersebut adalah jamak,
sehingga tidak bisa disebut sebagai tamyîz bagi bilangan murakkab. Maka itu dari
Hadîts ini, Ibnu Mâlik menetapkan suatu kaidah bahwa kata jamak yang muncul
setelah bilangan murakkab, bukanlah berkedudukan sebagai tamyiz melainkan ia
sebagai badal.
O. Athaf al-Nasaq
i. hak ma’thûf dengan tsumma
Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa Hadîts juga berkontribusi dalam
memaknai kata atau huruf dalam bahasa Arab. Dan kajian ini tidak luput dari analisa
Ibnu Mâlik. Nampaknya ia kerap mengamati perilaku huruf dan kata-kata dalam
Hadîts, yang kemudian ia kaitkan dengan kaidah tata bahasa. Maka itu di antara peran
Ibnu Mâlik adalah memunculkan Hadîts sebagai dalil dalam tata bahasa, yang
sebelumnya diabaikan oleh sebagian ahli nahwu.
409 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 528 410 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ىول قضسلى الله رص ل اللههعي لمسو
حقة وعشرين جذعة وعشرين لبون بنت وعشرين ذكورا مخاض بني وعشرين مخاض بنت عشرين الخطإ دية في (HR Abu Dawud)
cxxix
Berkenaan dengan sikap Ibnu Mâlik di atas, terdapat salah satu kaidah yang
ditetapkan Ibnu Mâlik berkenaan dengan kaidah athaf. Diketahui bahwa huruf athaf
adalah waw, fa, tsumma, hatta, aw dan lainnya.411 Ibnu Mâlik berpendapat bahwa jika
dalam suatu kalimat terdapat huruf athaf yang menggunakan ثم maka makna yang
terkandung dalam rangkaian kalimat tersebut terdapat jeda waktu antara ma’thûf
dengan al-Ma’thûf alaih. Baik jeda waktunya sebentar ataupun lama.412 Kaidah ini
tercermin dalam salah satu Hadîts Nabi SAW yang menceritakan bagaimana Jibrîl a.s
mengajarkan Muhammad SAW shalat.413
Dalam Hadîts tersebut terdapat ungkapan لى ثملى صول فصسالله ر , dalam
pandangan Ibnu Mâlik Hadîts tersebut menceritakan bahwa ketika Jibrîl a.s
mencontohkan cara shalat, maka Nabi Muhammad mengikutinya setelah Jibrîl a.s
menyelesaikan pada setiap gerakan shalat. Misalnya ketika Jibrîl a.s ruku’, maka
Nabi SAW diam sejenak lalu kemudian mengikuti gerakan yang dilakukan Jibrîl. a.s.
Maka itu, dari Hadîts ini Ibnu Mâlik menetapkan bahwa jika dalam kalimat terdapat
huruf athaf dengan ثم maka di dalamnya terdapat jeda waktu antara ma’thûf dan
ma’thûf ilaih. Dalam bahasa lain athaf tsumma memiliki makna littartîb dan
littarâkhi.414
ii. tidak selamanya ىتح menunjukkan berurutan.
Sebagian ulama mengatakan bahwa ىتح adalah huruf athaf yang memiliki
kandungan makna adanya urutan antara ma’thûf dengan al-Ma’thûf alaih. Pendapat
411 Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz 3, hal. 244. Lihat juga Ibnu Mâlik,
Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 606 412 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 611 413 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; ريل أنل جبزلى نلى فصول فصسالله ر
فصلى صلى ثم وسلم عليه الله صلى الله رسول فصلى صلى ثم وسلم عليه الله صلى الله رسول فصلى صلى ثم وسلم عليه الله ىصلأمرت بهذا قال ثم وسلم عليه الله صلى الله رسول فصلى ىصل ثم وسلم عليه الله صلى الله رسول (HR Imam Mâlik).
414 Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz 3, hal. 245
cxxx
ini dibantah oleh Ibnu Mâlik, ia mengatakan bahwa ىتح tidak selamanya
menunjukkan adanya urutan suatu kalimat antara ma’thûf dengan al-Ma’thûf alaih.415
Pendapat Ibnu Mâlik ini berdasarkan pada Hadîts Nabi SAW.416
Dalam Hadîts tersebut kata زجالع ma’thuf pada رقد. Tentu saja dalam Hadîts itu
tidak mengandung makna berurutan antara زجالع dan رقد. Karena ma’thuf pada Hadîts
tersebut merupakan bagian dari al-Ma’thuf alaih. Ungkapan Hadîts tersebut mungkin
sama dengan ungkapan keseharian kita seperti; ميوت الناس حيت األنبياء .
iii. menyembunyikan waw athaf
Dalam sebuah kalimat, sering didapati bahwa di dalamnya mengandung
rangkaian kata, antara satu kata dengan kata berikutnya saling berkaitan, dan kata
yang muncul belakangan memiliki kandungan hukum yang sama dengan kata
sebelumnya. Agar tidak mengandung kerancuan, maka di antara kata-kata tersebut
diletakkan huruf athaf. Athaf dengan menggunakan huruf dalam kaidah bahasa Arab
disebut dengan athaf al-Nasaq.417 Seperti ungkapan جاء خالد وعلي. Dari ungkapan
tersebut, jika huruf athaf yaitu ‘waw’ yang berada di antara kata khalid dan Ali
dihilangkan, maka makna dari kalimat tersebut akan berubah. Pendengar atau
pembaca akan menganggap bahwa kata Ali bergandengan dengan kata khalid,
sehingga maknanya akan menjadi khalid Ali telah datang. Padahal yang dimaksud
adalah khalid dan Ali telah datang.
415 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 616 416 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; العجز حتى قدربقضاء و شيء كل
والعجز الكيس أو والكيس Tidak ditemukan sumber rujukan yang memuat Hadits yang sesuai dengan apa yang dikutip Ibnu Mâlik. Akan tetapi ditemukan Hadits lain yang mirip dengan hadits tersebut, yaitu
والعجز الكيس أو والكيس العجز حتى بقدر شيء كل terlihat perbedaan antar keduanya, yaitu pada kata بقضاء. Dalam karya Ibnu Mâlik terdapat kata tersebut, padahal dalam kitab-kitab hadits tidak demikian. Namun perbedaan ini tidak berpengaruh pada kaidah yang telah ditetapkan Ibnu Mâlik
417 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 606
cxxxi
Maka itu jika dalam suatu kalimat terdapat rangkaian kata yang tidak ada
pemisahnya, padahal semestinya ditengahi dengan huruf athaf, tentunya maknanya
akan rancu. Namun dalam pandangan Ibnu Mâlik, jika ketidakberadaan huruf athaf
tidak mengubah makna yang ada pada suatu kalimat, maka dalam kondisi ini boleh
menyembunyikan waw athaf.418 Pendapat Ibnu Mâlik ini berdasarkan adanya teks
Hadîts yang menunjukkan suatu kalimat yang terangkai dari kata-kata, namun tidak
ditengahi dengan waw athaf. Meskipun demikian kalimat tersebut dapat difahami
maknanya, tanpa ada kerancuan di dalamnya.419
P. Al-Maf’ul ma’ah atau Athaf
Ahli nahwu menetapkan bahwa kata yang berada setelah huruf waw memiliki
empat hukum. Pertama, wajib nashab sebagai ma’iyyah. Kedua, waw tersebut
sebagai waw athaf, dan i’râb nya mengikuti kata ma’thûf. Ketiga, lebih tepat nashab.
Keempat, lebih tepat sebagai athaf.420
Berkenaan dengan hukum-hukum tersebut, Ibnu Mâlik menyebutkan bahwa
ada kata yang muncul setelah huruf waw memiliki dua hukum i’râb, dan kedua-
duanya sah untuk diterapkan. Pandangan Ibnu Mâlik ini berdasarkan adanya Hadîts
Nabi SAW yang memiliki dua kemungkinan hukum i’râb tersebut, Hadîts Nabi
SAW yang dimaksud adalah فكي تة أنأئموTP421PT .
418 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 640 419 دصتل قجر اره مندين مه منهدر به منثو اع منه صرب اع منره صمت (HR Muslim) 420 Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz. 3, hal. 74. 421 Kajian tentang Hadîts ini setidaknya membuktikan kemahiran Ibnu Mâlik dalam bidang
Hadîts. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa kata ةأئم yang terdapat dalam Hadîts tersebut dapat dibaca dengan rafa atau dengan nashab. Dalam penelitian penulis Hadîts ini diriwayatkan dari Abu dzarr dan terdapat dalam dua kitab Hadîts; Pertama, dalam kitab musnad Ahmad, dalam kitab ini kata dalam keadaan nashab, sebagaimana yang dikutip Ibnu Mâlik. Kedua, Hadîts tersebut terdapat أئمة
dalam kitab Sunan Abi Dâwud, akan tetapi ةأئم dalam kitab tersebut dalam keadaan rafa’. Meskipun
redaksi Hadîts dalam kitab ini agak berbeda, yaitu فكي متة أنأئمو دي منعون بأثرتسذا يء بهالفي namun tidak mengganggu dalam penetapan kaidah ini, karena yang membedakan keduanya hanya isim dhamir, yang satu menggunakan tunggal dan lainnya menggunakan jama’. Adapun perbedaan i’râb pada kata
cxxxii
Dalam pandangan Ibnu Mâlik, teks Hadîts di atas yang mengandung kata ةأئم
setelah huruf waw tersebut, memiliki dua hukum i’râb . Pertama, ia dapat dirafa’kan,
jika kata tersebut diathafkan pada تأن . Kedua, ia dapat dinashabkan, jika kata
tersebut berkedudukan sebagai al-Maf’ûl ma’ah, dan fi’ilnya disembunyikan yaitu
takûnu422.
Dari sikap Ibnu Mâlik di atas, disimpulkan bahwa Ibnu Mâlik memberikan
alternatif hukum yang berlandaskan Hadîts. Yaitu satu kata memiliki dua
kemungkinan hukum, adapun keputusannya diserahkan kepada pembaca, tergantung
dari kecenderungan masing-masing setiap orang. Sikap Ibnu Mâlik ini, tentunya
melahirkan implikasi pada teks yang memiliki tipe seperti Hadîts di atas, sehingga
suatu kata yang berada setelah huruf waw memiliki dua kemungkinan hokum dan dua
pemahaman. Contoh dari kaidah buah pemikiran Ibnu Mâlik ini, terlihat juga di
beberapa perkataan Arab, antara lain syair.423
Q. Al-Taukid al-Lafdzi
Jika sebelumnya Ibnu Mâlik memberikan alternatif hukum i’râb pada satu
kata setelah huruf waw. Lain halnya dengan kaidah al-Taukid al-Lafdzi pada kata
.Dalam kaidah ini Ibnu Mâlik bersikap kebalikan dari sikap di atas .جمعاء dan أجمع
Dalam kaidah ini justru ia memastikan satu kedudukan i’râb pada kedua kata tersebut.
Sementara ahli Nahwu sebelumnya, memberikan alternatif hukum i’râb bagi kedua
kata yang berkedudukan sebagai taukid tersebut.
,dalam disiplin ilmu nahwu أئمة hal itu justru menjadi dalil akan adanya pilihan kedudukan أئمةsebagaimana yang dijelaskan Ibnu Mâlik di atas.
422 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 405 423 Syair ini menurut Ibnu Mâlik memiliki dua kemungkinann hukum i’râb sebagaimana yang
terjadi pada Hadîts Nabi SAW di atas. Syair-nya adalah ابطبالذكر الض حربلف يتفي م ريالسو تفما أن pembahasan selengkapanya tentang syair ini dapat dilihat di Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 404
cxxxiii
Misalnya, dalam kaidah ini al-Farâ’ mengangkat dua contoh ungkapan yang
mengandung taukid yaitu عمأج رني القصبجأع dan ungkapan اءعمج ارني الدتبجأع, Dalam
pandangan al-Fara’ kedua kata taukid tersebut yaitu عمأج dan اءعمج dapat memiliki
dua kemungkinan hukum i’râb; Pertama, jika kedua kata tersebut marfû’, maka
kedudukan keduanya sebagai taukîd. Kedua, jika keduanya manshûb, maka
kedudukannya sebagai al-Hâl.424
Ibnu Mâlik berpendapat bahwa kaidah tersebut mungkin saja benar, namun
tidak berlaku pada teks Hadîts Nabi SAW اكم جاتنالإبل ت ة منهيماء بعمج .425 Dalam Hadîts
ini, kata اءعمج hanya memiliki satu hukum i’râb, yaitu sebagai al-Taukîd al-Lafdzi,
tidak sebagaimana yang disebutkan al-Farâ’ di atas. Meskipun demikian, pendapat
Ibnu Mâlik ini berbeda dengan al-Syalubin yang merupakan gurunya, al-Syalubin
berpendapat bahwa اءعمج pada Hadîts tersebut sebagai sifat bagi ةهيم426.ب
R. Menyembunyikan Muakkad
Dalam kadiah nahwu, taukid terbagi dua macam. Ada al-Taukid al-Lafdzi dan
ada juga al-Taukid al-Ma’nawi. Jika kita hendak menegaskan lafadz yang akan kita
ungkapkan pada lawan bicara, sangatlah mudah, yaitu dengan mengulangi kata yang
hendak dikuatkan atau ditegaskan, dalam ilmu bahasa ini disebut dengan al-Taukid
al-Lafdzi. Sedangkan jika yang hendak kita tegaskan adalah makna dari ungkapan
kita, dalam kaidah bahasa Arab disebut dengan taukid maknawi, yaitu dengan cara
menyebutkan kata النفس، الغني، مجيع، كال أو كلتا dan lainnya.427
424 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 575 425 Hadîts ini diriwayatkan dari Abu Hurairah, dan Hadîts tersebut tercantum dalam dua kitab
Hadîts, yaitu al-Muwatha’ dan Sunan Abi Dâwud. Keduanya memuat redaksi Hadîts yang sama. Tidak ada perbedaan satu sama lainnya.
426 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 576 427 Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz 3, hal. 232
cxxxiv
Berkaitan dengan hukum i’râb maknawi, Sybawaih berpendapat bahwa taukid
maknawi mempunyai dua hukum; rafa’ dan nashab.428 Misalnya dalam kalimat أتاين
taukid pada kalimat tersebut menurut Sybawaih bisa dalam keadaan اخوه انفسهما
nashab, jika taqdirnya أعينهما انفسهما dan bisa juga rafa’ jika taqdirnya pada مها صاحيب
.انفسهما
Sedangkan berkenaan dengan muakkad, Ibnu Mâlik berpendapat bahwa
terkadang muakkad dapat disembunyikan, seperti apa yang dijelaskan Sybawaih. Dan
menurutnya, jika muakkad disembunyikan i’râb taukid lebih cenderung manshub.429
Pendapat ini berdasarkan teks Hadîts Nabi SAW yang menunjukkan hal demikian,
yaitu; TP430PTأجمعني جلوسا فصلوا . Dalam pandangan Ibnu Mâlik muakkad pada Hadîts
tersebut disembunyikan, karena ungkapan tersebut mengandung kata كمينأع , sehingga
pada Hadîts tersebut, seakan-akan Nabi SAW bersabda عنيمأعينكم أج.
Pendapat Ibnu Mâlik di atas kemudian dikomentari oleh al-Damâmini, ia
mengatakan bahwa dalam riwayat lain taukid pada Hadîts tersebut adalah rafa’ yaitu
Selain itu ada juga .صلوا yang merupakan taukid bagi dhamir fa’il pada fi’il أمجعون
428 Ini terlihat dalam kalimat أتاين اخوه انفسهما taukid pada kalimat tersebut menurut Sybawaih
bisa dalam keadaan nashab, jika taqdirnya أعينهما انفسهما dan bisa juga rafa’ jika taqdirnya pada مها lihat Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 567 صاحيب انفسهما
429 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 568 430 Diakui bahwa dalam berbagai kitab Hadîts, redaksi teks Hadits tersebut berbeda-beda,
sehingga hal ini menjadi kontroversi di kalangan ahli nahwu. Misalnya dalam kitab shahih al-Bukhâri, Muwaththa’ Imam Mâlik dan shahih Imam Muslim dan juga sunan Abi Dawud termuat redaksi yang berbeda yaitu لواا فصلوسون جعمأج . Sedangkan dalam kitab sunan Ibnu Majah dan musnad Imam Ahmad
tercantum redaksi yang sama dengan apa yang dikutip Ibnu Mâlik yaitu لواا فصلوسج عنيمأج . Ini menunjukkan bahwa Ibnu Mâlik menggunakan redaksi yang ada pada kitab musnad Ahmad. Dan tentunya perbedaan ini berpengaruh pada kaidah yang telah ditetapkan Ibnu Mâlik. Meskipun demikian ini juga membuktikan hal lain berkenaan dengan sikap Ibnu Mâlik, bahwa Hadits yang terdapat dalam kitab Hadits dapat dijadikan dalil nahwu, tanpa mempertimbangkan adanya riwayat lain yang berbeda.
cxxxv
pendapat yang mengatakan bahwa kedudukan kata tersebut sebagai al-Hal, sehingga
harus dalam kondisi nashab. Maka itu redaksinya menjadi جلوسا جمتمعني. Meskipun
demikian kedua bahasa di atas tidak digunakan oleh ulama Bashrah, menurut
madzhab Bashrah taukid di sini kembali pada dhamir yang tersembunyi, atau dengan
kata lain muakkadnya tersembunyi, sebagaimana pendapat yang dinyatakan Ibnu
Mâlik di atas. Dari perdebatan di atas, antara Ibnu Mâlik dan al-Damâmini, menarik untuk
dianalisa. Jika menganalisa sumber yang digunakan kedua ahli nahwu di atas, kedua-
duanya berpijak pada Hadîts Nabi SAW, yang membedakan keduanya adalah sumber
riwayat yang digunakan kedua ahli nahwu di atas. Al-Damâmini menggunakan
redaksi yang ada pada kitab shahih al-Bukhâri, Muwaththa’ Imam Mâlik, shahih
Muslim dan juga sunan Abi Dawud. Sedangkan Ibnu Mâlik menggunakan redaksi
yang ada pada kitab sunan Ibnu Majah dan musnad Imam Ahmad. Dalam perspektif
ilmu Hadîts jika ada redaksi Hadîts yang bertentangan dengan riwayat lain, maka
dilihat dari periwayat Hadîts tersebut, jika di antara kedua periwayat tersebut terdapat
periwayat yang lebih tsiqah dan memiliki kualitas yang lebih tinggi, maka riwayat
tersebut-lah yang digunakan.431
Maka itu jika menggunakan perspektif ilmu Hadîts, kaidah al-Damamini
tentunya lebih unggul dibandingkan dengan Ibnu Mâlik, karena ia menggunakan
redaksi Hadîts yang terdapat dalam kitab yang lebih shahih dibandingkan dengan
kitab rujukan Ibnu Mâlik.432 Meskipun demikian, inilah yang membedakan pemikiran
Ibnu Mâlik dengan ahli nahwu lainnya dalam berdalil dengan Hadîts Nabi SAW.
Mungkin saja Ibnu Mâlik tidak menganalisa sejauh itu, karena dalam pandangannya
setiap Hadîts yang ada pada kitab Hadîts, boleh dijadikan sebagai dalil nahwu,
431 Ibnu Shalâh, Muqaddimah Ibnu Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 296 432 Ulama Hadits sepakat bahwa kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an adalah shahih al-
Bukhari, kemudian shahih Muslim dan seterusnya. Sedangan musnad Ahmad dan Ibnu Majah berada pada urutan keenam dan kesembilan. lihat al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 51
cxxxvi
meskipun dalam riwayat lain ditemukan redaksi yang berbeda. Itu sebabnya Ibnu
Mâlik disebut sebagai ahli nahwu mutasahhil dalam berdalil dengan Hadîts.
S. Badal
Sebagaimana diketahui bahwa Nabi SAW adalah orang terfashih dalam
berbahasa Arab, ucapannya juga penuh hikmah, ini sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Aisyah r.a bahwa jika Nabi SAW berbicara, susunan kata yang keluar begitu
indah.433 Keindahan inilah yang dimanfaatkan oleh ahli bahasa, dengan keyakinan
bahwa Hadîts yang merupakan perkataan Nabi SAW menyimpan kontribusi besar
bagi bahasa. Baik itu dari sisi kosa kata, tarkib maupun bayan. Begitu juga dengan
kaidah badal. Badal di sini dapat difahami sebagai salah satu kaidah nahwu atau juga
sebagai salah satu kaidah sharaf, kedua-duanya merupakan kaidah bahasa.
Meskipun Nabi SAW tidak pernah berbicara dengan menggunakan sebagian
ashwat beberapa dialek seperti ‘An’anah434, Kisykisyah435, Kaskasah436 dan
433 نة عائشع ضير ا اللههنأن ع بيلى النص ه اللهليع لمسث كان ودحديثا يح لو هدع اداه العصول إن ……لأحسر
(HR al-Bukhari)كسردكم الحديث يسرد يكن لم وسلم عليه الله صلى الله434 Lahjah al-An’anah adalah perubahan hamzah menjadi ‘ain pada suatu kata. Misalnya kata
Penggunaan lahjah ini hanya ditemukan .اخلبع menjadi اخلبء Contoh lain adalah .كعص menjadi كأصpada bahasa Tamim, Qays, Asad dan Mesir. Lihat di Abdul Ghaffâr Himâd Hilâl, al-Lahjât al-Arabiyyah, nasy’atan wa tathawwuran, (Kairo: Maktabah Wahbah 1993), cet. Ke-2, hal. 168. Untuk memahami lebih mendalam pembahasan mengenai lahjat, lihat juga Ibrahim Anis, fi al-Lahjât al-Arabiyah, (Kairo: Maktabah al-Mishriyah) cet. Ke-4.
435 Lahjah Kisykisyah adalah bentuk penambahan syin pada kaf khitab muannats dalam waqaf. Misalnya kata كب (biki) dibaca بكش ‘bikasy’ atau kata كليع (alaiki) dibaca كشليع (alaikisy). Lahjah ini digunakan pada saat waqaf, namun pada prakteknya ada juga yang menggunakan pada saat washal, dengan cara tidak menyebutkan kaf khitab dan mengkasrahkannya ketika washal dan mensukunkannya pada saat waqaf. Misalnya kata alaiki dibaca alaisyi ketika washal, dan dibaca alaisy ketika wakaf. Penggunaan lahjah semacam ini hanya ditemukan pada kabilah Rabi’ah dan kabilah Mudhar. Lihat di Abdul Ghaffâr Himâd Hilâl, al-Lahjât al-Arabiyyah, nasy’atan wa tathawwuran, (Kairo: Maktabah Wahbah 1993), cet. Ke-2, hal. 162.
436 Lahjah al-Kaskasah adalah perubahan kaf khitab mudzakkar menjadi sin. Misalnya kata ‘alaika dibaca ‘alaikas. Penggunaan lahjah semacam ini hanya ditemukan pada kabilah Rabi’ah dan kabilah Mudhar. Lihat di Abdul Ghaffâr Himâd Hilâl, al-Lahjât al-Arabiyyah, nasy’atan wa tathawwuran, (Kairo: Maktabah Wahbah 1993), cet. Ke-2, hal. 164
cxxxvii
Syansyanah,437 yang oleh sebagian ulama bahasa disebut sebagai bagian dari bahasa
yang buruk,438 akan tetapi Hadîts Nabi SAW mempunyai pengaruh dan ikatan dengan
ashwat-ashwat tersebut, baik melalui periwayatan maupun penukilan oleh orang–
orang Arab yang bukan dari kalangan Quraisy, mereka banyak mengutip Hadîts Nabi
SAW dan menyebarkannya dengan bahasa mereka, tidak dengan bahasa Quraisy. Ini
untuk mempermudah dalam penyampaian dan penyebaran ke berbagai daerah yang
tidak menguasai dialek Quraisy, yang sering Nabi SAW gunakan.
Ibnu Faris mengungkapkan, di antara sunah Arab adalah mengganti huruf satu
dengan huruf lainnya, dan juga menempatkan sebagian huruf di tempat huruf lainnya.
Namun pendapat ini dibantah Abu al-Thîb, ia menegaskan yang dimaksud dengan
ibdal tidaklah demikian, ibdal adalah adanya kesamaan makna dalam berbagai dialek
yang beraneka ragam, meskipun bentuk lafadznya memiliki kemiripan akan tetapi
menuju pada satu makna.439 Dalam Hadîts pun sering terjadi ibdal, ini menunjukkan
bahwa Hadîts pun turut serta dalam menjaga ‘sunnah’ Arab ini.
Wujud kontribusi Hadîts dalam al-Ibdâl al-Shauty tercermin dalam bentuk
yang luas dan detail, misalnya dalam mengganti huruf ya’ dengan waw tercermin
dalam sebuah Hadîts yang diriwayatkan Ibnu Umar;440 حيث menjadi حوث. Atau
sebaliknya mengganti huruf waw menjadi ya’ pada kata لغوت menjadi لغيت yang
terkandung dalam sebuah Hadîts yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.441 Meskipun
437 Lahjah al-Syansyanah adalah perubahan huruf kaf yang terletak diakhir kata menjadi syin.
Misalnya kata labbaika yang berarti aku memenuhi panggilanmu, berubah menjadi labbaisya dengan makna yang sama. Penggunaan lahjah ini hanya ditemukan pada bahasa Yaman. Abdul Ghaffâr Himâd Hilâl, al-Lahjât al-Arabiyyah, nasy’atan wa tathawwuran, (Kairo: Maktabah Wahbah 1993), cet. Ke-2, hal. 166
438 Al-Suyûthi, al-Muzhir fi ‘Ulûm al-lughah wa ‘Anwa’iha, (Kairo: Maktabah al-Iman), cet. Ke-3, juz. 1, hal. 221-226
439 Al-Suyûthi, al-Muzhir fi ‘Ulûm al-lughah wa ‘Anwa’iha, juz, 1. hal 460 440 Riwayat Ibnu Umar ما حوث وقعتا ارم, Lihat al-Khatîb al-Baghdâdi, kitâb al-Kifâyah fi Ilm
al-Riwâyah, hal. 182. قال عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا قلت لصاحبك أنصت يوم الجمعة والإمام يخطب فقد لغيت عن أبي هريرة 441
ا همإنة وريرة أبي هلغ اد هينو الزأبتولغ فقد و(HR. Muslim)
cxxxviii
ada sebagian ulama Hadîts seperti Abu Zinâd berpendapat bahwa kata لغيت adalah
kata yang berasal dari Abu Hurairah Dengan kata lain Hadîts ini adalah hadîts
mudraj.
Meskipun kata tersebut menjadi kontroversi apakah ia ucapan Nabi SAW atau
ucapan Abu Hurairah, pada nyatanya Hadîts tersebut telah memberikan kontribusi
pada bahasa, dan telah tersebar dan dikutip di berbagai karya ilmiah. Bahkan An’anah
dan Tamim yang disebut oleh sebagian ahli bahasa klasik bagian dari yang
mendhaifkan bahasa tersebut, juga merupakan bagian dari periwayat Hadîts ini,
karenanya tidak layak bagi mereka untuk tidak menyukai bahasa tersebut.442
Uraian di atas tentunya merupakan gambaran akan luasnya kontrubisi Hadîts
dalam kaidah badal, dari sisi kaidah bahasa secara umum. Adapun kaidah badal,
perspektif ahli nahwu, ada contoh yang menarik berkenaan dengan boleh tidaknya
megganti isim ma’rifah dengan nakirah. Ulama Kûfah menyebutkan bahwa boleh
isim ma’rifah diganti dengan nakirah, asalkan kedua lafadz tersebut memiliki
kesamaan dalam lafadz. Seperti pada kata ةاصين dalam salah satu firman Allah
SWT.443
Ibnu Mâlik membantah pendapat di atas, ia menyatakan bahwa syarat yang
menyebutkan harus adanya kesamaan lafadz antara isim yang diganti dengan yang
mengganti adalah tidak benar. Karena ada dalil lain yang menunjukkan bolehnya
mengganti ma’rifah dengan nakirah, meskipun kedua lafadz tersebut berbeda.444
Pendapat Ibnu Mâlik ini berdasarkan Hadîts Nabi SAW;445 Dalam Hadîts ini, kata بر
442 Muhammad Dhâry Himady, al-Hadîts al-Nabawy al-Syarif wa Atsaruhu fi al-Dirâsat al-
Lughawiyah wa al-Nahwiyah, hal. 64 )16 (خاطئة كاذبة ناصية) 15 (اصيةبالن لنسفعن ينته لم لئن كلا 443 (QS: al-Alaq: 15-16) 444 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 582-583 445 Redaksi Hadîts dalam syarh al-Umdah adalah; لأى هر هبر زل عجي قال وفإن قد هألتفقال س قد هتأير أراه أنى نورا Hadîts ini diriwayatkan dari dari Abu Dzarr. Dalam kitab musnad Ahmad, Hadîts ini
cxxxix
diganti dengan kata اورن. Tentu saja kedua lafadz tersebut berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Yang pertama ma’rifah dan kedua nakirah. Inilah dasar dari kaidah
yang dimunculkan Ibnu Mâlik, bahwa boleh mengganti kata ma’rifah dengan nakirah,
meskipun kedua lafadz kata tersebut berbeda.
T. Menjaga Lahjat Arab
Imam al-Suyûthi menyebutkan bahwa Ibnu Mâlik sangat menguasai dialek
Arab.446 Karenanya, tidak heran ketika Ibnu Mâlik mendapati teks manqûl seperti
Hadîts Nabi SAW dan perkataan sahabat yang bertentangan dengan kaidah bahasa
yang ada, ia tidak langsung melemahkan bahasa yang terdapat pada teks tersebut.
Melainkan ia menganalisa dan mengkaji kemungkinan adanya dialek pada masa awal
islam yang seirama dengan Hadîts Nabi SAW. Kelebihan ini nampak dari kajian Ibnu
Mâlik terhadap hadîts-hadîts Nabi SAW yang dianggap bermasalah oleh sebagian
ahli nahwu. Teks Hadits yang bermasalah tersebut kemudian ditegaskan
keshahihannya oleh Ibnu Mâlik, karena ungkapan tersebut sesuai dengan salah satu
dialek Arab yang pernah ada.
Dalam pandangan Ibnu Mâlik, bahasa yang lahir dari masyarakat Arab klasik
(yang hidup pada masa ihtijaj) adalah bahasa fashih, dan mereka tidak mungkin
menuturkan bahasa yang buruk, meskipun bahasa tersebut digunakan oleh sebagian
kecil masyarakat Arab. Sikap ini berimplikasi pada sikapnya terhadap teks manqûl
yang mengandung dialek Arab klasik yang jarang dituturkan oleh mayoritas
masyarakat Arab. Misalnya;
memiliki dua redaksi yang berbeda, pertama sesuai dengan apa yang dikutip Ibnu Mâlik. Kedua, adalah لأى هر هبر زل عجو قال وأب ذر قد هألتفقال س ورى نأن اهأر .
446 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 130
cxl
i. menghilangkan tanwîn pada kata مثاىن
Ungkapan tersebut terdapat pada salah satu perkataan sahabat Nabi SAW
yaitu Abu Barzah.447 Ibnu Mâlik mengakui bahwa sesungguhnya lafadz yang lebih
tepat pada kata انيثم dalam Hadîts tersebut adalah انياثم . Karena huruf terakhir dari
kata tersebut adalah huruf ya’, sehingga jika dalam keadaan manshûb, ya’-nya harus
ditampakkan.448 Dalam hal ini Ibnu Mâlik berpendapat bahwa pada kata انيثم
sesungguhnya memiliki tiga bentuk, bentuk yang ketiga adalah hendaknya kata
tersebut dalam keadaan manshûb dan bertanwin. Kecuali jika ditulis dengan bahasa
Rabi’iyyah. Karena bagi mereka ketika ada kata yang manshub dengan tanwin, maka
mereka mensukunkannya, sehingga sang penulis tidak menambahinya dengan alif.
Dan siapa yang mengabadikannya dalam bentuk tulisan, ia akan menuliskannya
dalam keadaan waqaf. Maka itu, dalam bahasa tutur jika alif tersebut disembunyikan baik ketika
waqaf, maupun washal, maka ia juga harus disembunyikan juga ketika dituangkan
dalam bentuk tulisan.449
Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa Ibnu Mâlik tidak menyalahkan
tulisan dalam Hadîts tersebut, namun justru menguatkannya dengan membuktikan
bahwa bahasa yang digunakan dalam Hadîts itu, adalah merupakan bahasa yang juga
digunakan oleh salah satu kabilah di Arab. Dengan sikap ini, setidaknya Ibnu Mâlik
membuktikan bahwa Hadîts berperan dalam menjaga ragam bahasa yang ada di
masyarakat Arab tempo dulu. Dan bukan hanya Hadîts tersebut, ada juga Hadîts lain
yang ditunjukkan Ibnu Mâlik yang mengandung bahasa Rabi’ah.450 Tentu saja bagi
447 Hadits yang dimaksud adalah توغز عول مسالله ر ات ستوغز أو عبات سووأ غز انيثم (HR al-
Bukhâri ) 448 Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 47 449 Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 49 -Hadîts ini diriwayatkan oleh Imam al وهات ومنع البنات ووأد الأمهات عقوق عليكم حرم الله إن 450
Bukhâri. Dalam Hadîts ini tulisan yang diterima secara umum adalah منعا namun dalam teks hadîts
cxli
yang tidak menguasai dialek Arab, secepatnya ia akan menyalahkan Hadîts tersebut,
dan dianggap sebagai hadîts palsu, karena menyalahi salah satu kaidah nahwu.
Dengan pertimbangan bahwa tidak mungkin Hadîts yang merupakan teks yang
memiliki kandungan bahasa yang tinggi bertentangan dengan kaidah nahwu.
ii. menggunakan عشر اثنا
Pada salah satu Hadîts Nabi SAW, terdapat perkataan sahabat yang seakan-
akan menyalahi kaidah bahasa.451 Dalam Hadîts tersebut terdapat kata ااثن رشع .
Ungkapan tersebut dianggap menyalahi kaidah bahasa secara umum, karena bahasa
yang sering digunakan pada kalimat tersebut adalah ىاثن رشع , namun kata dalam
Hadîts tersebut menggunakan alif. Menurut Ibnu Mâlik penggunakan seperti itu tidak
salah, karena kalimat itsna asyar yang menggunakan alif adalah bahasa yang
digunakan oleh Bani al-Harits bin Ka’ab. Bagi mereka kata tersebut harus seperti al-
Mutsanna. Dan mesti digandengkan dengan alif meski dalam kondisi apapun, karena
dalam pandangan Bani al-Harits bin Ka’ab kata tersebut seperti al-Maqshûr.452
U. Analisis bentuk Hadits yang menjadi sumber kaidah Ibnu Mâlik
Secara historis diakui bahwa ahli nahwu klasik berdalil dengan Hadîts dalam
pembentukan kaidah nahwu, meskipun jika dianalisa dari sisi kuantitas Hadîts, tidak
sebanding dengan jumlah Hadîts yang ada. Setidaknya ini menunjukkan bahwa
kehadiran Ibnu Mâlik sebagai ahli nahwu yang banyak berdalil dengan Hadîts
bukanlah warna baru dalam pemikiran ilmu nahwu, karena ahli nahwu klasik seperti
sybawaih, al-Rummâni, al-Zamakhsyari dan Ibnu Ushfûr pun merujuk pada Hadîts
tersebut huruf alif disembunyikan. Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 49
451 اففرا قناثن رشال عجر (HR. al-Bukhâri) 452 Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 97
cxlii
dalam menetapkan kaidah nahwu.453 Kendati demikian, ahli nahwu yang secara
terang-terangan menjadikan Hadîts sebagai sumber kedua dalam penetapan kaidah
nahwu, diawali oleh Ibnu Mâlik. Akibatnya sikap ini melahirkan kontroversi baru di
kalangan ahli nahwu. Ahli nahwu yang semasa dan yang datang kemudian menentang
apa yang dilakukan Ibnu Mâlik. Kesimpulan ini berdasarkan fakta sejarah bahwa
kontroversi Hadîts sebagai dalil bahasa muncul setelah lahirnya karya-karya Ibnu
Mâlik dalam bidang nahwu. Ini menunjukkan bahwa ijtihad Ibnu Mâlik memiliki
pengaruh dan perhatian besar di kalangan ahli bahasa. Kalaulah ijtihad ini muncul
dari orang biasa yang tidak banyak memahami kaidah nahwu dan Hadîts, tentu saja
ahli nahwu tidak akan menanggapi ijtihadnya dengan serius.
Ibnu Mâlik lebih dikenal sebagai ahli bahasa, namun sesungguhnya ia juga
merupakan ahli dalam bidang Hadîts, ketekunanya dalam menelaah hadîts-hadîts
Nabi SAW diakui oleh ulama, antara lain oleh Al-Maqqâri, ia mengatakan bahwa
ketekunan Ibnu Mâlik dalam menelaah Hadîts Nabi SAW memiliki bukti otentik.454
Imam al-Suyûthi yang merupakan ahli bahasa dan Hadîts juga menyebutkan bahwa
Ibnu Mâlik adalah di antara ulama yang tekun dalam mengkaji Hadîts.455 Bukti lain
dari keahlian Ibnu Mâlik dalam bidang Hadîts adalah keberadaan murid-muridnya
yang merupakan ahli dalam bidang Hadîts seperti al-Qathb al-Yunini dan Badruddin
Ibnu Jama’ah.456 Imam al-Suyûthi mengakui bahwa ia pernah mendapatkan Hadîts
melalui jalur periwayatan Ibnu Mâlik.457
Ibnu Mâlik juga mengetahui perbandingan riwayat satu dengan yang lainnya,
ini tercermin dalam salah satu ungkapannya يف إحدي الروايتني ketika hendak
453 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 94 454 Al-Maqqâri, Nafh al-Thîb min Ghushni al-Andalusi al-Rathîb (Beirut; Dar Shadir 1968),
juz. 2, hal. 422 455 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, (Beirut:
Maktabah al-Ashriyah 2003), juz. 1, hal. 130 456 Bahkan diceritakan al-Yunini mengaji kitab shahîh al-Bukhâri pada Ibnu Mâlik. Lihat al-
Suyûthi, Thabaqat al-Huffâdz, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), cet. Ke- 1, hal. 520 457 Hadîts tersebut adalah م اليضامون يف رؤيته كما ينظرون إىل القمرلينظرن قوم إىل ر. Lihat. Al-
Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 2, hal. 404-405, no. 16
cxliii
menyebutkan salah satu Hadîts sebagai dalil kaidah hukum al-Fi’il al-Mu’tal bisa
sejalan dengan hukum al-Fi’il al-Shahih.458
Untuk mengetahui perspektif Ibnu Mâlik terhadap Hadîts Nabi SAW, perlu
juga menganalisa pengertian-pengertian yang dituturkan ulama yang dikenal sebagai
ahli Hadîts. Sehingga diketahui adakah persamaan dan perbedaan istilah yang
digunakan antara ahli Hadîts dengan Ibnu Mâlik. Dalam ilmu Hadîts, yang dimaksud
dengan Hadîts adalah perkataan, perbuatan, sifat dan taqrir yang disandarkan pada
Nabi Muhammad SAW. Namun tidak dipungkiri bahwa ada istilah-istilah lain yang
dikenal di kalangan ahli Hadîts berkenaan dengan sebutan bagi apa yang datang dari
Nabi SAW, seperti atsar, khabar dan sunnah. Di kalangan ahli Hadîts ada yang
menyamakan pengertian istilah-istilah tersebut dan ada juga yang membedakannya.
Misalnya Imam Nawawi menjelaskan bahwa ahli Fiqih Khurâsan menamai perkataan
sahabat (hadits mauqûf) dengan atsar, dan menamai Hadîts yang bersumber dari Nabi
SAW dengan khabar. Tetapi secara umum ahli Hadîts menamai Hadîts Nabi dan
perkataan shabat dengan atsar juga. Sementara sebagian ulama memakai kata atsar
untuk perkataan-perkataan tâbi’în saja.459
Al-Zarkasyi menggunakan kata atsar untuk Hadîts mauqûf, namun ia juga
membolehkan menggunakan atsar untuk perkataan Rasulullah SAW (hadits marfû’).
Al-Thahâwi menggunakan kata atsar untuk hal yang datang dari Nabi SAW dan
sahabat, kesimpulan ini dianalisa dari karyanya yang berjudul ma’âni al-Atsar, yang
di dalamnya menjelaskan hadîts-hadîts Nabi yang marfû’ dan mauqûf. Sedangkan al-
Thabari menggunakan atsar khusus untuk Hadîts marfû’ saja. Kesimpulan ini juga
didapat dari analisa karyanya yang berjudul tahdzîb al-Atsar yang didalamnya
menerangkan hadîts-hadîts marfû’ saja.
Tidak mudah menemukan istilah Hadîts yang didefinisikan langsung oleh
Ibnu Mâlik. Untuk mendapatkannya perlu menganalisa hadîts-hadîts yang digunakan
Ibnu Mâlik dan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan pada Hadîts Nabi SAW di
458 Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 21 459 Al-Tirmisi, Manhaj Dzawi al-Nadzar, (Beirut: Dar al-Fikr 1995), hal. 8
cxliv
dalam karya-karya Ibnu Mâlik. Defenisi Hadîts Ibnu Mâlik penting untuk dianalisa
agar tujuan dari tulisan ini, yaitu menganalisa pemikiran Ibnu Mâlik dalam
pembentukan kaidah nahwu yang bersumber dari Hadîts dapat dibuktikan dengan
baik.
Tidak dipungkiri bahwa kajian yang mengulas tentang persfektif ahli nahwu
terhadap Hadîts telah dilakukan oleh ahli nahwu sejak lama. Karenanya terminologi
Hadîts dalam pandangan ahli nahwu secara umum dimungkinkan dapat dilacak
keberadaannya. Dan pandangan ahli nahwu tersebut pun perlu dibandingkan dengan
pandangan Ibnu Mâlik, ini dimaksudkan untuk membuktikan adanya kesamaan dan
perbedaan dalam pandangan mereka tentang Hadîts Nabi SAW.
Ahli nahwu memiliki pandangan sendiri tentang Hadîts Nabi SAW, menurut
mereka dalam bidang ranah kajian nahwu, Hadîts adalah perkataan Nabi SAW. Ini
karena objek kajian nahwu adalah perkataan atau ucapan Nabi SAW saja,460 dalam
istilah ahli Hadîts, bentuk seperti itu disebut sebagai hadîts qauli, itulah yang
merupakan sumber hukum kaidah nahwu. Ada juga sebagian ahli nahwu yang
menambahkan perkataan sahabat yang diriwayatkan oleh ahli Hadîts dan
mengandung hukum marfû’, adalah merupakan bagian dari Hadîts, kesemuanya itu
dapat dijadikan dalil kaidah nahwu.461 Bahkan perkataan tâbi’în pun disebut sebagai
sumber kaidah, alasannya karena adanya beberapa perkataan mereka yang tertuang
dalam kitab-kitab Hadîts, seperti; perkataan al-Zuhri, Hisyâm bin Urwah dan Umar
bin Abdul Azîz, karenanya para ahli nahwu menetapkan perkataan tâbi’în
sesungguhnya memiliki otoritas sebagai dalil nahwu462
Selanjutnya untuk mendapatkan pengertian Hadîts yang dianut Ibnu Mâlik,
teks-teks Hadîts yang terdapat dalam karya-karya nahwu Ibnu Mâlik, dianalisa dan
dibandingkan dengan pemikiran ahli nahwu dan ahli Hadîts yang telah diuraikan di
atas. Hasil dari analisa tersebut antara lain;
460 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 25 461 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, Al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 25 462 Sa’îd al-Afghâni, Fi Ushûl al-Nahwi, (Beirut: al-Maktab al-Islâmi 1987), hal. 46
cxlv
i. berdalil dengan hadîts qauli
Dalam karya-karya Ibnu Mâlik, ditemukan bahwa ia berdalil dengan hadîts
qauli, yaitu perkataan Nabi SAW, seperti ketika Ibnu Mâlik menjelaskan kaidah
tamyîz,463 dalam kaidah tersebut Ibnu Mâlik berdalil dengan hadîts qauli.464 Dari sini
diketahui bahwa sikap ibnu Mâlik ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh
mayoritas ahli nahwu, bahwa fokus ahli nahwu terhadap teks Hadîts adalah hadîts
qauli. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ibnu Mâlik menggunakan hadîts
qauli dalam menetapkan kaidah nahwu.
ii. berdalil dengan hadîts fi’li
Dalam karyanya, Ibnu Mâlik juga berdalil dengan hadîts fi’li, yaitu; sikap atau
perbuatan Nabi SAW yang diceritakan oleh sahabat atau istri Nabi SAW. Tentunya
lafadz Hadîts kategori ini dipastikan bukan dari Rasulullah SAW, melainkan ucapan
sahabat Nabi SAW.465 Dalam pandangan hukum syariat diakui bahwa kandungan
hadîts fi’li memiliki kekuatan hukum seperti hadîts qauli, yakni keduanya bersumber
dari Nabi SAW. Namun tidak demikian halnya dalam perspektif hukum nahwu,
lafadz hadîts fi’li bukanlah lafadz Nabi SAW, melainkan lafadz sahabat. Sehingga
kualitas kedua bahasa tersebut berbeda, karena lafadz yang datang dari Nabi SAW
adalah lafadz yang terbaik dibandingkan dengan lafadz sahabat. Meskipun demikian
hadîts fi’li tetap dijadikan sebagai dalil nahwu oleh Ibnu Mâlik, contoh ungkapan
463 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 466 464 Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah; لو فقأنكمدد مثل احا أحبذه Hadîts
ini diriwayatkan dari Abu Sa’îd al-Khudri dan Abu Hurairah. Ini adalah hadîts qauli, karena Hadîts ini merupakan ucapan langsung Nabi SAW. Redaksi Hadîts ini terdapat dalam kitab sunan Abi Dâwud dan al-Mu’jam al-Kabîr karya al-Thabrâni. Meskipun Hadîts ini diriwayatkan juga oleh ahli Hadîts lain dalam kitab yang berbeda-beda, namun redaksi hadîts-hadîts tersebut sedikit berbeda dengan apa yang digunakan Ibnu Mâlik. Seperti dalam kitab Shahîh Muslim dan musnad Ahmad, tertulis فإن كمدأح
لو فقد مثل أنا أحبذه periwayat dalam kedua kitab Hadîts tersebut juga adalah Abu Sa’îd al-Khudri. Meskipun Hadîts ini diriwayatkan dalam redaksi yang berbeda, namun perbedaan tersebut tidak berpengaruh pada kaidah yang telah ditetapkan Ibnu Mâlik. Karena perbedaan teks Hadîts tersebut tidak berpengaruh pada pembahasan tamyîz yang merupakan objek dalam Hadîts ini, yaitu kata ابذه.
465 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 465
cxlvi
hadîts fi’li yang digunakan Ibnu Mâlik adalah; نابر عن جد ببالله ع اريصالأن هل قال أنوسي رهن
TP466PTاهللا hadîts fi’li ini dikutip Ibnu Mâlik ketika ia menjelaskan kaidah al-Hâl.
iii. berdalil dengan hadîts mauqûf
Ibnu Mâlik juga berdalil dengan ucapan sahabat, yang dalam ilmu Hadîts
disebut sebagai hadîts mauqûf. Ada kesamaan dan perbedaan antara hadîts fi’li dan
hadîts mauqûf. Dari sisi lafadz Hadîts, kesamaannya adalah keduanya sama-sama
merupakan ucapan yang bersumber dari sahabat Nabi SAW. Adapun perbedaannya
adalah jika hadîts fi’li memiliki kandungan hukum syariat yang disandarkan pada
Nabi Muhammad SAW, sedangankan hadîts mauqûf hanya merupakan perkataan
sahabat dan kandungan hukumnya tidak selamanya dapat disandarkan pada Nabi
SAW.
Ditemukan dalam karya nahwu Ibnu Mâlik, pada beberapa kaidah nahwu Ibnu
Malik berdalil dengan perkataan sahabat, misalnya dalam menyatakan kaidah fi’il
syarth dan jawâb-nya. Ibnu Mâlik menyatakan bahwa boleh menggunakan fi’il syarth
dari fi’il al-Mudhâri’ dan jawâbnya dari fi’il al-Mâdhi’, kaidah tersebut berlandaskan
466 Hadîts fi’li yang dijadikan dalil dalam kaidah al-Hâl oleh Ibnu Mâlik adalah;
نابر عن جد ببالله ع اريصالأن هى قال أنهول نسلى الله رص ه اللهليع لمسو نع عيان بويالح انبالحوسيئة ين نياحد اثنبو Dalam literatur Hadîts biasanya hadîts fi’li diawali dengan pernyataan sahabat bahwa ia melihat Nabi SAW melakukan ini dan itu….’ Dan hadîts fi’li yang dijadikan dalil oleh Ibnu Mâlik ini adalah perkataan Jâbir bin Abdullah yang merupakan seorang sahabat. Hadîts ini diriwayatkan dalam musnad Ahmad. Meskipun redaksi kata-kata dalam Hadîts ini datang dari sahabat, namun kandungan hukum syariatnya bersandar pada Nabi Muhammad SAW, karena itu teks ini dinamai dengan Hadîts. Selain dari Jâbir, Hadîts di atas diriwayatkan juga oleh Samurah bin Jundab dengan redaksi yang berbeda dengan di atas, yaitu ول أنسلى الله رص ه اللهليع لمسى وهن نع عيان بويان الحويسيئة بالحن عة نرمس ب نبدنج . Hadîts Samurah ini terdapat dalam berbagai kitab Hadîts, seperti sunan al-Nasâ’i, al-Tirmidzi, dan Abu Dâwud. Dan nampaknya Ibnu Mâlik lebih cenderung menggunakan redaksi Hadîts yang terkandung dalam kitab musnad Ahmad. Meskipun demikian perbedaan redaksi tersebut tidak mengganggu ketetapan kaidah yang dibuat oleh Ibnu Mâlik, karena keduanya sama berbentuk hadîts fi’li dan juga mengandung kaidah al-Hâl, pada kata سيئةن.
cxlvii
pada ucapan ‘Aisyah r.a.467 Bahkan ucapan ini dijadikan bantahan terhadap ahli
nahwu yang menyatakan bahwa kaidah ini hanya khusus digunakan pada syair.468
Selain ucapan ‘Aisyah ada juga ucapan sahabat lain yang djadikan dalil
nahwu oleh Ibnu Mâlik, misalnya; perkataan Ibnu Abbâs, Umar r.a, dan Amr bin
Ma’ad.469 Kesimpulannya, sikap Ibnu Mâlik ini tidak jauh berbeda dengan sikap ahli
nahwu lainnya, yaitu menjadikan ucapan sahabat Nabi SAW sebagai dalil kaidah
nahwu.
iv. berdalil dengan perkataan non Muslim
Ibnu Mâlik juga berdalil dengan perkataan non Muslim yang semasa dengan
Nabi Muhammad SAW, yaitu perkataan Abu Jahal.470 Ibnu Mâlik berdalil dengan
perkataan ini dalam kaidah; tetapnya alif dalam kata يراك setelah ميت al-Syarthiyyah.471
Inilah mungkin yang berbeda dari Ibnu Mâlik dengan ahli nahwu lainnya. Diketahui
sebab diterimanya Hadîts sebagai dalil nahwu baik itu hadîts mauqûf atau hadîts
marfû’ antara lain adalah ucapan tersebut berasal dari orang mulia. Sedangan Abu
Jahal, yang merupakan tokoh kafir yang menentang dakwah Nabi SAW adalah orang
467 Ucapan ‘Aisyah ini merupakan komentar akan sosok Abu Bakr al-Shiddîq yang merupakan ayah kandungnya. Ungkapannya adalah هل إنجر ى أسيفتم قمي كقامم قر , ucapan ‘Aisyah ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab Shahîh al-Bukhâri.
468 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal 372 469 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 1018 470 Perkataan yang dimaksud adalah ىتم اكري اسالن قد لفتخت . Ungkapan Abu Jahal ini ditujukan
pada Abu Shafwân. Ibnu Mâlik mengutipnya dalam kitab Syawâhid al-Taudhîh, yang merupakan kumpulan Hadîts Shahîh yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri. Namun ketika penulis merujuk pada kitab Shahîh Bukhari, redaksi yang digunakan Ibnu Mâlik dengan apa yang ada pada kitab Shahîh al-Bukhâri terdapat sedikit perbedaan, yaitu adanya huruf ام antara kata ميت dan يراك karena
dalam kitab Shahîh al-Bukhâri redaksi hadîts yang tertulis adalah; ىتا مم اكري اسالن قد لفتخت تأنو ديل سأه dan juga tidak dijelaskan apa kedudukannya dalam ما dalam karya Ibnu Mâlik tidak tercantum الواديi’râb. Ini penting karena objek yang dijadikan dalil oleh Ibnu Mâlik adalah dua kata yang berada di antara ما tersebut. Sehingga dikhawatirkan Ibnu Mâlik melakukan kesalahan dalam mengambil dalil nahwu. Tentunya ini perlu penelitian lebih mendalam, dan sejauh penelitian penulis tidak ditemukan ulama yang memberikan komentar berkaitan dengan hadîts tersebut.
471 Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 17
cxlviii
yang buruk. Bahkan Ibnu Mâlik sendiri mengatakan la’natullah ketika mengutip
ucapannya.472
Dari sini dapat terlihat perbedaaan sikap antara ahli nahwu dan ahli Hadîts
terhadap teks Hadîts. Mungkin saja secara hukum apa yang diucapakan oleh Abu
Jahal tidak diterima karena ia bukan merupakan sumber hukum syariat. Akan tetapi
dalam pandangan ahli nahwu Abu Jahal merupakan orang Arab yang faham akan
kefashihan bahasa Arab, karena dalam ilmu nahwu, tidak penting agama atau aliran
apa yang dianut penutur bahasa, asalkan ia sesuai dengan syarat dan ketetapan
sebagai bahasa fashih, maka ia dapat dijadikan sumber kaidah nahwu. Terlebih Abu
Jahal hidup di masa ihtijaj. Sebagaimana ditetapkan ahli bahasa bahwa batasan masa
diterimanya ungkapan Arab sebagai dalil bahasa, yang menurut pendapat paling kuat
adalah; Pertama, orang Arab perkotaan yang hidup hingga akhir abad kedua. Kedua,
orang Arab Badui yang hidup di Jazirah Arab hingga akhir abad keempat.473
Berdasarkan prinsip di atas, Abu Jahal termasuk orang Arab yang hidup pada
masa ihtijâj, karena ia hidup di masa sebelum hijrah. Tidak diketahui alasan pasti
Ibnu Mâlik menjadikan ucapan Abu Jahal sebagai dalil nahwu, apakah alasannya
sebagaimana yang disebutkan di atas, atau karena ucapan tersebut terdapat dalam
kitab Hadîts yang paling shahih, sehingga ucapan tersebut dipastikan fashih karena
diriwayatkan oleh orang-orang kredibel dalam meriwayatkan Hadîts.
v. hadîts bagian dari perkataan Arab
Dalam salah satu karya nahwu, ketika Ibnu Mâlik hendak membuktikan
bahwa kaidah na’at boleh memiliki makna yang lebih khusus dibandingkan dengan
man’ût adalah kaidah otoritatif. Ibnu Mâlik menyatakan bahwa; “kaidah itu terjadi
472 Redaksi yang digunakan Ibnu Mâlik adalah قول أبو جهل، لعنة اهللا، لصفوانومنها".... : Lihat.
Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Taudhîh wa al-Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, hal. 17 473 Abbâs Hasan, al-Lughah wa al-Nahwu, bayna al-Qadim wa al-Hadîts, (Mesir: Dar- al-
Ma’arif tth), hal. 24
cxlix
pada perkataan Arab, di antaranya Hadîts Nabi SAW”.474 Dari ungkapan Ibnu Mâlik
ini, setidaknya menunjukkan bahwa ia mendudukkan Hadîts sebagai bagian dari
perkataan Arab, karena memang Nabi SAW adalah orang Arab. Secara hukum syariat
tentunya berbeda antara perkataan orang Arab secara umum dan perkataan Nabi
Muhammad SAW. Karenanya ungkapan Ibnu Mâlik ini menunjukkan bahwa dalam
perspektif ilmu nahwu, kedudukan Hadîts Nabi SAW sama dengan perkataan lainnya
yaitu bagian dari perkataan orang Arab yang wajib dijadikan dalil nahwu. Dan
kalaupun perkataann Nabi SAW diriwayatkan oleh orang-orang terbaik dan terpuji
maka ini menjadi nilai lebih dalam ilmu periwayatan, jika dibandingkan dengan
periwayatan syair dan natsr. Artinya jika syair yang merupakan perkataan Arab tidak
diragukan otorisasinya sebagai sumber kaidah nahwu, maka tentunya tidak ada alasan
untuk meragukan Hadîts sebagai sumber yang lebih otoritatif.
Dalam pandangan Ibnu Mâlik seluruh Hadîts dapat dijadikan dalil nahwu,
baik itu yang diriwayatkan secara makna atau lafdzi. Sikap inilah di antara yang
mengundang kecaman dari sebagian ahli bahasa, yaitu mudahnya Ibnu Mâlik dalam
berdalil dengan Hadîts, tanpa melihat dan membandingkannya dengan riwayat lain.
Jika ada riwayat lain yang menghadirkan redaksi yang sedikit berbeda, hal itu tidak
menjadikan kaidah yang telah dilahirkan Ibnu Mâlik menjadi lemah. Misalnya Ibnu
Mâlik menjadikan Hadîts وناقبعتي لائكة فيكممTP475PT sebagai dalil dalam beberapa
474 Dalam salah satu karyanya tertulis واقع يف كالم العرب كثريا فمن ذلك قول النيب lihat Ibnu Mâlik,
Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 599. 475 Hadîts ini diriwayatkan dari seorang sahabat yang bernama Abu Hurairah. Hadîts ini
diriwayatkan juga oleh banyak ahli Hadîts dalam berbagai kitab. Pertama, oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab Shahîh al-Bukhâri. Redaksi Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik nampaknya sesuai dengan apa yang ada pada kitab Shahîh al-Bukhâri dalam berbagai bab, kecuali pada bab dzikr al-Malâ’ikah. redaksi Hadîts yang terdapat pada pada bab tersebut agak berbeda; لائكةون الماقبعتلائكة يل ملائكة بالليمار وهبالن Kedua, Hadîts ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dalam kitab Shahîh Muslim, kasus yang terjadi dalam kitab ini, sama dengan apa yang terjadi pada Shahîh al-Bukhâri, yaitu adanya dua redaksi yang berbeda dalam satu kitab tersebut. Ketiga, diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dalam musnad Ahmad, dalam kitab ini ada tiga redaksi Hadîts yang berbeda-beda, ada juga yang sama dengan kedua Hadîts yang telah disebutkan sebelumnya, namun ada pula yang berbeda, yaitu; لائكة لله إنون ماقبعتلائكة يم
النهار وملائكة الليل . Jika semua redaksi Hadîts yang disebutkan tersebut hukumnya Shahîh, maka dapat
cl
kaidah, antara lain dalam kaidah al-Af’âl al-Khamsah476 dan Na’at477. Bagi Ibnu
Mâlik Hadîts tersebut dijadikan sebagai pembenaran akan ungkapan لكأي نو
TP478PTثياغرلبا . Menurut al-Suyûthi boleh jadi benar kedua kaidah tersebut jika
berdasarkan teks Hadîts yang dikutip Ibnu Mâlik yang bersumber dari shahih al-
Bukhâri dan al-Muwaththa’. Meskipun kaidah tersebut benar, namun al-Suyûthi
menolak jika Hadîts tersebut sebagai dalil bagi kedua kaidah di atas, karena
menurutnya ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa terdapat kata lain sebelum
kata وناقبعتي. Hadîts ini riwayat dari Abu Hurairah yang tercantum dalam musnad
Ahmad, dalam kitab tersebut tertulis لائكة لله إنون ماقبعتي .
Dalam pandangan imam al-Suyûthi bahwa waw jamâ’ah pada fi’il وناقبعتي
kembali pada kata sebelumnya yaitu لائكةم . Dan waw jama’ah pada fi’il di sini adalah
dhamir yang menunjukkan pada fâ’il. Dan waw tersebut bukan menunjukkan jumlah
fâ’il. Maka itu dalam pandangan al-Suyûthi istinbath Ibnu Mâlik dari Hadîts ini
tertolak, karena ada riwayat lain yang menunjukkan hal yang berbeda dengan apa
yang dilihat Ibnu Mâlik 479. Sesungguhnya Ibnu Mâlik bukanlah orang pertama yang
berdalil dengan riwayat ini, ada ahli nahwu lain yang merupakan inspirator Ibnu
disimpulkan bahwa Ibnu Mâlik berdalil dengan salah satu redaksi Hadîts tersebut dan meninggalkan yang lainnya. Dan jika menggunakan redaksi yang lain akan mengganggu otentisitas kaidah nahwu yang disampaikan Ibnu Mâlik. Dari sikap ini dapat disimpulkan bahwa Ibnu Mâlik menggunakan semua Hadîts sebagai dalil nahwu, meskipun ada redaksi lain yang berbeda dengan redaksi yang digunakannya, meskipun mengandung makna yang sama.
476 Untuk lebih mengetahui pembahasan mengenai al-Af’âl al-Khamsah, lihat Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 129
477 Untuk lebih mengetahui pembahasan mengenai kaidah Na’at , lihat Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 540
478 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 53. Lihat juga al-Suyûthi, Ham’u al-Hawâmi’ Syarh Jam’u al-Jawâmi’, juz. 1, hal. 160
479 Al-Suyûthi , Ham’u al-Hawâmi’ Syarh Jam’u al-Jawâmi’, juz. 1, hal. 160
cli
Mâlik, yaitu al-Suhayli yang menjadikan Hadîts itu sebagai dalil dari salah satu
kaidah-nya.480
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan Ibnu Mâlik dan
pandangan Imam al-Suyûthi terhadap Hadîts memiliki perbedaan yang cukup
mendalam. Akibatnya perbedaan ini melahirkan kaidah-kaidah nahwu yang
berlainan. Perbedaan dalam menginterpretasi suatu sumber kaidah, akan melahairkan
kaidah yang berbeda pula. Maka itu dalam tesis ini, hadîts-hadîts yang digunakan
Ibnu Mâlik dinalisa dan dibandingkan dengan riwayat lain, dalam tesis ini analisa
tersebut ditempatkan pada catatan kaki, sehingga pembahasan pokok tentang
perbandingan kaidah Ibnu Mâlik dengan ahli nahwu lainnya tidak terkesampingkan.
Dan setidaknya analisa riwayat Hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik ini, dapat menjadi
gambaran sesungguhnya dari pemikiran dan pandangan Ibnu Mâlik terhadap teks
Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu.
vi. posisi Hadîts di antara Sumber lainnya
Bagi Ibnu Mâlik, Hadîts memiliki kedudukan tinggi sebagai sumber kaidah
nahwu setelah al-Qur’ân. Ketika ada ahli nahwu yang berdalil dengan syair, dan
kaidah tersebut bertentangan dengan ungkapan dalam Hadîts Nabi SAW, maka dalam
pandangan Ibnu Mâlik kaidah yang bersumber dari syair tersebut akan
dikesampingkan, karena teks Hadîts lebih otoritatif dibandingkan dengan teks
syair.481 Bahkan ada beberapa kaidah yang sebelumnya tidak terdapat dalam
khazanah ilmu nahwu klasik, namun muncul dari tangan Ibnu Mâlik berdasarkan
Hadîts Nabi SAW. Karena Hadîts pada masa awal kemunculan ilmu nahwu tidak
menjadi prioritas sebagai sumber kaidah Nahwu.
Implikasi dari pemikiran Ibnu Mâlik ini adalah jika pembenaran suatu kaidah
bahasa tidak ditemukan dalam al-Qur’ân, maka ia merujuk pada Hadîts Nabi SAW,
480 Lihat juga Muhammad Fajjâl, al-Idhâh fi Syarh al-Iqtirâh, (Damaskus: Dar al-Qalam 1989), cet. Ke-1, hal. 88-85
481 Ibnu Mâlik, Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah, (Makkah: Dar al-Ma’mun 1982), cet. Ke-1, juz. 1, hal. 91
clii
dan jika didapati dalam Hadîts maka ia mengabaikan sumber lain yang lebih rendah
otoritasnya, terlebih jika teks tersebut bersebrangan dengan teks Hadîts. Dan
kalaupun ada syair yang sejalan dengan teks Hadîts dalam suatu kaidah, itu semata-
mata hanya pelengkap dari hukum yang terdapat dalam teks Hadîts. Misalnya kaidah
yang mengatakan boleh menyembunyikan huruf al-Nidâ’, dalam menetapkan kaidah
ini Ibnu Mâlik berdalil dengan dua Hadîts Nabi SAW.482 Meskipun sebelumnya ada
ahli nahwu yang berpendapat lain akan kaidah tersebut berdasarkan syair. Misalnya
ulama Bashrah memandang kaidah boleh menyembunyikan huruf al-Nidâ’ adalah
kaidah syadz dan tidak boleh mengkiyaskan padanya. Sedangkan ulama Kûfah
mengkiyaskan pada kaidah tersbut.
Meskipun ada natsr dan nadzam yang memperkuat pendapat ulama Bashrah,
Ibnu Mâlik tidak menghiraukannya, bahkan ia tetap berpegang pada kedua Hadîts
tersebut.483 Sikap inilah di antara yang membedakan Ibnu Mâlik dengan ahli nahwu
sebelumnya dalam memposisikan Hadîts sebagai sumber kaidah. Maka itu tidak
sedikit ulama kontemporer yang menyebutkan bahwa Ibnu Mâlik telah menempatkan
Hadîts pada posisinya yang tepat.484 Meskipun tidak dipungkiri ada ulama lain yang
bersebrangan dengannya.
vii. analisis sebab-sebab penolakan Hadits.
Ahli bahasa sepakat bahwa bahasa Nabi SAW adalah bahasa yang terfashih
dibandingkan dengan ucapan masyarakat Arab lainnya, hanya saja sebagian ulama
meragukan apakah Hadîts yang sampai pada kita saat ini, lafadznya masih sama
dengan lafadz ketika Nabi SAW mensabdakannya. Maka itu, dari sini dapat
disimpulkan bahwa yang menjadi penyebab penolakan mereka terhadap Hadîts
adalah dua hal; Pertama, periwayatan Hadîts hanya dengan makna. Kedua, para
482 Kedua Hadîts tersebut adalah; Pertama, ثويب حجر . Kedua, اشتدي أزمة تتفرجى pembahasan ini
akan dianalisa lebih mendalam dalam pembahasan ‘menyembunyikan huruf al-Nida’. 483 Ibnu Mâlik, Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah, juz. 1, hal. 92 484 Ibnu Mâlik, Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah, juz. 1, hal. 92
cliii
periwayat Hadîts bukanlah orang Arab, sehingga dimungkinkan ketika meriwayatkan
Hadîts ia menggunakan bahasa cacat yang jauh dari kefashihan. Abdul Hamid al-
Syalqâni menambahkan dua penyebab lain yang menjadi alasan ulama bahasa dalam
menolak Hadîts, yaitu; al-Tashîf dan pemalsuan Hadîts.485 Penyebab-penyebab ini
akan dianalisa kebenarannya satu persatu, agar diketahui sejauh mana otentisitas
sebab penolakan mereka terhadap Hadîts tersebut. Karena sikap mereka ini
berpengaruh pada kaidah nahwu yang ada, ini terlihat dari kaidah-kaidah mereka
yang sangat bersebrangan dengan kaidah Ibnu Mâlik yang nota bene berdasarkan
Hadîts Nabi SAW.
a. Meriwayatkan Hadîts dengan makna
Jika diamati lebih mendalam hadîts-hadîts dalam karya Ibnu Mâlik yang
dijadikan sebagai sumber kaidah nahwu, akan ditemukan beberapa Hadîts yang
diduga diriwayatkan dengan makna. Identifikasi ini terlihat dari adanya redaksi
Hadîts yang dijadikan sebagai sumber kaidah memiliki redaksi lain, meskipun satu
makna. Seperti terjadi pada kaidah bolehnya menyembunyikan muakkad yang
berlandaskan pada Hadîts لواا فصلوسون جعمأج , dalam riwayat lain disebutkan عمأجني .
Tentu saja terlalu dini untuk mengatakan bahwa Hadîts tersebut diriwayatkan
dengan makna, karena boleh jadi Nabi SAW menuturkan ungkapan seperti itu di
berbagai tempat. Untuk mengetahui hokum periwayatan Hadîts dengan makna, maka
mesti menganalisa perspektif ahli Hadîts berkenaan dengan boleh atau tidaknya
meriwayatkan Hadîts dengan makna. Karena problem ini adalah merupakan masalah
yang selalu dijadikan alasan bagi sebagian ahli nahwu, seperti; Ibnu al-Dha’i dan Abu
Hayyân untuk menolak Hadîts sebagai sumber kaidah bahasa.
Dalam transmisi Hadîts, periwayat pertama adalah para sahabat, mereka
adalah orang yang mendengarkan langsung apa yang dituturkan Rasulullah SAW, dan
mereka paling mengetahui maksud dari Hadîts yang dituturkan tersebut. Karena itu
urgen sekali untuk mengetahui sejauh mana etika dan cara sahabat ketika
485 Abdul Hamîd al-Syalqâni, Mashâdir al-Lughah, (Riyâdh: Jâmiah al-Riyâdh 1980), hal. 56
cliv
menyampaikan sabda Nabi SAW pada sahabat lain atau tâbi’în, yang tidak
mendengar dan bertemu langsung dengan Nabi SAW.
Dalam literatur ilmu Hadîts dan sejarah, digambarkan bagaimana kehati-
hatian sahabat dan kekhawatirannya jatuh pada jurang kesalahan dalam meriwayatkan
sabda Nabi SAW. Karenanya mayoritas sahabat berusaha menjaga lafadz Hadîts Nabi
SAW, diharapkan lafadz yang diriwayatkan olehnya, sama persis dengan lafadz yang
mereka dengar dari Rasululah SAW, tanpa penambahan dan pengurangan. Sikap ini
sesungguhnya sesuai dengan arahan Nabi SAW bagi siapa yang mendengar Hadîts
Nabi SAW agar menyampaikannya sesuai dengan apa yang ia dengar.486 Contoh
kasusnya adalah; ketika Nabi SAW meminta salah satu sahabatnya, al-Barâ’,
mengulangi salah satu do’a yang diajarkannya, al-Barâ’ menyebutkan ‘warasulika’
padahal yang benar adalah wanabiyyika, dan Rasulullah SAW memperbaikinya
sambil menunjuk dadanya.487 Riwayat ini menunjukkan akan perhatian Rasulullah
SAW akan orisinal lafadz yang ia sabdakan, artinya para sahabat dididik untuk tetap
menjaga lafadz yang dituturkan Rasulullah SAW.
Di antara sahabat Nabi SAW yang terkenal akan kesungguhan dan
ketelitiannya dalam menjaga lafadz Hadîts Nabi SAW adalah; Abdullah bin Umar,
beliau pernah meriwayatkan Hadîts ‘Islam itu didirikan atas lima perkara..”,488
kemudian Hadîts itu diulangi oleh kawannya, dan Ibnu Umar berkata, “Letakkan
puasa ramadhan di akhir ucapan, sebagaimana aku mendengarnya dari mulut
Rasulullah SAW.489 Dari riwayat di atas, nampaklah ketelitian para sahabat dalam
486 Untuk mengetahui keutamaan-keutamaan yang diberikan bagi periwayat Hadîts yang
menyampaikan sabda Nabi SAWsesuai dengan apa yang ia dengar, pembaca dapat merujuk pada Kitâb; Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 1978), juz. 1, hal. 39.
487 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, (Dar al-Ilmi al-Malayîn 1959), cet. Ke-1, hal. 80-81
488 نن عاب رمع ضير ا اللهمهنول قال قال عسلى الله رص ه اللهليع لمسو نيب لاملى الإسس عمخ هةشلا أن اد إلا إله الله رمضان وصوم والحج الزكاة وإيتاء الصلاة وإقام الله رسول محمدا وأن (HR al-Bukhâri)
489 Al-Khatîb al-Baghdâdi, Kitâb al-Kifâyah fi Ilm al-Riwâyah (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 1988), hal. 176. lihat juga, Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, (Beirut, Dar al-Fikr 1990), hal. 128.
clv
meriwayatkan Hadîts, bahkan mereka melarang menambahkan atau menghilangkan
satu huruf pun dari Hadîts Nabi SAW, meskipun hal itu tidak merubah makna.
Sikap ini bukan hanya dianut oleh sahabat, tâbi’în yang merupakan generasi
kedua setelah sahabat pun bersikap demikian. Ibnu ‘Aun mengatakan; “Yang aku
ketahui di antara orang yang sangat ketat menjaga lafadz Hadîts adalah; al-Qâsim bin
Muhammad di Hijâz, Rajâ’ bin Haywah di Syâm dan Muhammad bin Sirîn di
Bashrah.490 Kehati-hatian ahli Hadîts dalam menjaga lafadz Nabi SAW bisa terlihat
juga dari sikap Ibrâhim bin Maysarah dan Thawûs ketika menyampaikan sebuah
Hadîts, mereka senantiasa menjaga huruf-huruf dalam Hadîts Nabi, bahkan Thawûs
hingga menghitung huruf perhuruf, agar tidak ada huruf yang ditambah atau
dihilangkan, yang akibatnya mengurangi keotentikan Hadîts Nabi SAW.491
Kesungguhan ulama dari kalangan sahabat dan tâbi’în dalam meriwayatkan
Hadîts Nabi SAW dengan penuh ketelitian dan kehati-hatian ini, menunjukkan akan
hukum asal meriwayatkan Hadîts adalah dengan menjaga lafadz dan huruf yang
sesuai dengan apa yang Nabi SAW sabdakan. Ini ditegaskan oleh Ibnu al-Atsîr, ia
menjelaskan bahwa tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa; menjaga lafadz
Hadîts, huruf, titik dan i’râbnya merupakan bagian dari syariah dan hukum, maka itu
menukil dan meriwayatkan Hadîts dengan mejaga lafadznya adalah pekerjaan utama
yang tidak boleh diabaikan.492
Sikap ideal ini bukan hanya dianut oleh ahli Hadîts saja, ulama-ulama yang
dikenal sebagai ahli fiqih pun bersikap demikian dalam menjaga keotentikan lafadz
Nabi SAW, Mâlik bin Anas yang merupakan ahli fiqih adalah merupakan ulama yang
senantiasa menyampaikan Hadîts huruf-perhuruf, agar yang mendengarkannya tidak
menghilangkan satu huruf pun dari apa yang disabdakan Nabi SAW.493 Imam Mâlik
490 Al-Khatîb al-Baghdâdi, Kitâb al-Kifâyah fi Ilm al-Riwâyah, hal. 206. Lihat juga
Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 129 491 Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn 129 492 Ibnu al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl fi Ahâdîts al-Rasûl (Maktabah Dar al-Bayân 1969), juz. 1,
hal. 97 493 Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn 130. Meskipun demikian Mâlik bin
Anas membolehkan meriwayatkan Hadîts dengan makna, jika maknanya benar, dan tentunya harus
clvi
menjelaskan bahwa; meriwayatkan hadîts marfû’ dengan maknanya saja tidaklah
dibenarkan, sedangkan meriwayatkan hadîts yang tidak marfû’ (hadîts mauquf)
dengan maknanya, maka itu dibolehkan. Karenanya tidaklah mengherankan jika
Imam Mâlik dikenal ketelitiannya dalam menjaga Hadîts Nabi SAW. Diriwayatkan
bahwa Imam Mâlik sangat menjaga huruf-huruf seperti ba, ya dan ta’ dalam Hadîts
Rasululah SAW. Mungkin alasan dari sikapnya ini adalah, karena ketiga huruf
tersebut memiliki kesamaan dalam bentuk, sehingga jika titik pada huruf tersebut
tidak diperhatikan dengan cermat, maka makna dari teks itu akan mengalami
perubahan.494 Riwayat di atas setidaknya menunjukkan pada generasi Islam akan
kesungguhan ulama dalam menjaga lafadz Nabi SAW.
Imam al-Syâfi’i yang juga murid dari Imam Mâlik berkata ketika menjelaskan
sifat periwayat khabar Ahad; “Orang yang menyampaikan Hadîts mesti tsiqah dalam
agamanya dan terkenal kejujurannya dalam berbicara. Berakal ketika meriwayatkan
Hadîts dan sangat memahami kandungan maknanya. Ketika meriwayatkan Hadîts
harus dengan huruf-huruf yang ia dengar, tidak boleh meriwayatkannya dengan
makna, karena jika ia meriwayatkan Hadîts dengan makna dan ia tidak mengetahui
kandungan makna sesungguhnya, tanpa disadari boleh jadi ia menghalalkan yang
haram atau mengharamkan yang halal. Dan jika ia meriwayatkan Hadîts dengan
huruf-huruf yang sesuai dengan yang ia dengar dari periwayat sebelumnya, maka
kekhawatiran tersebut akan terhindari495
Ibnu al-Shalâh membenarkan pendapat di atas, bahwa periwayat yang tidak
menguasai bahasa Arab fashih dan bukan seorang alim dalam bidang ilmu syariat,
tidak dibenarkan meriwayatkan Hadîts dengan makna. Adapun periwayat alim dan
yang mengetahui maksud dari kandungan Hadîts, maka ulama salaf berbeda pendapat
akan kebolehannya meriwayatkan Hadîts dengan makna. Menurut Ibnu al-Shalâh
memenuhi syarat-syarat tertentu. Lihat Al-Khatîb al-Baghdâdi, Kitâb al-Kifâyah fi Ilm al-Riwâyah, hal. 188.
494 Ahmad Muhammad Syâkir, al-Bâ’its al-Hatsits Syarh Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts li Imam Ibn Katsîr, (Beirut, Dar al-Fikr 1983), cet. Ke-1, hal. 136-137
495 Al-Syâfi’i, al-Risâlah, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts 2005), cet. Ke-3, hal. 392
clvii
mayoritas ulama salaf membolehkannya, dengan syarat jika ia menguasai dengan
baik bidang ilmu syariat dan bahasa serta mengetahui kandungan Hadîts dengan
sempurna.496
Dari segi boleh atau tidaknya meriwayatkan Hadîts dengan makna, Ibnu al-
Atsîr al-Jazirî membaginya ke dalam empat bagian; Pertama, hadîts muhkam. Maka
Hadîts ini boleh diriwayatkan dengan makna, karena lafadznya hanya mengandung
satu hukum saja. Kedua, Hadîtsnya jelas namun mengandung sesuatu yang tidak
jelas. Maka Hadîts ini tidak boleh diriwayatkan dengan makna, kecuali oleh ahli fiqih
yang mengetahui ilmu syariat dan metode ijtihad, karena meskipun makna Hadîts
nampak jelas, namun terkadang mengandung majaz dan kekhususan, sehingga
khawatir terjadi kesalahan dalam periwayatan. Ketiga, Hadîts yang kontroversial,
Hadîts ini tentunya tidak boleh diriwayatkan dengan maknanya. Keempat, Hadîts
yang kandunganya bersifat global.497
Kendati demikian, diakui bahwa sebagian ulama membolehkan meriwayatkan
Hadîts dengan maknanya dalam kondisi darurat, selama memenuhi syarat tertentu dan
tetap menjaga keshahihan bahasa dan makna Hadîts. Ulama yang membolehkan
meriwayatkan Hadîts dengan maknanya adalah al-Hasan Sya’by dan Ibrahim.498
Pandangan bolehnya meriwayatkan Hadîts dengan makna, sesungguhnya berasal dari
kalangan sahabat, seperti; Ali r.a, Abdullah bin Masûd, Abdullah bin Abbâs, Abu
Darda’, Abu Hurairah, Anas bin Mâlik, ‘Aisyah, Amr bin Dinâr, Amir al-Sya’bî,
Ibrahim al-Nakha’i, Mujahid, Ikrimah, Ibnu Abi Najih, Amr bin Murrah, Ja’far bin
Muhammad bin Ali, Sufyân bin Uyainah dan Yahya bin Said al-Qaththân.499
Bahkan Watsilah bin al-Asqa’ pernah berkata; cukuplah bagi kalian, jika aku
menyampaikan Hadîts dengan maknanya saja.500 Sikap ini muncul boleh jadi karena
melihat sikap Ibnu Mas’ud, Abu Darda’ dan Anas, yaitu jika mereka meriwayatkan
496 Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts,hal. 236 497 Ibnu al-Atsir, Jami’ al-Ushul fi AHadîts al-Rasul, juz. 1, hal. 98-99. 498 Al-Khatîb al-Baghdâdi, Kitâb al-Kifâyah fi Ilm al-Riwâyah, hal. 206 499 Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 132 500 Ibnu Abdi al-Barr, Jami’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 78
clviii
Hadîts terkadang berkata, ‘atau seperti ini’, ‘atau yang senada dengannya’, ‘atau yang
mendekatinya’501 ‘atau sebagaimana Rasulullah SAW bersabda’.502 Dan mungkin
dianggapnya ungkapan seperti itu menunjukkan keraguan dalam meriwayatkan lafadz
Nabi SAW yang otentik, sehingga sikap ini dianggap kebolehan dalam meriwayatkan
Hadîts dengan makna.
Al-Baghdâdi mengakui bahwa adanya tradisi periwayatan Hadîts dengan
makna, namun itu hanya terjadi pada masa awal islam, ketika Hadîts belum
dikodifikasi dan tertulis dalam kitab-kitab Hadîts. Karena hadîts-hadîts yang telah
terkandung dalam kitab, sesuai kesepakatan ulama tidak dibenarkan mengganti
lafadznya dengan lafadz yang lain, meskipun lafadz tersebut sinonim dengannya.503
Kalaupun periwayatan Hadîts dengan makna itu terjadi pada ulama, pastinya sejalan
dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh ahli Hadîts, misalnya syarat yang
dikemukakan Ibnu Katsîr, antara lain; seyogyanya bagi pelajar Hadîts memahami
bahasa Arab. Al-Asma’i berkata, aku khawatir jika pelajar tidak mengetahui bahasa
Arab akan termasuk pada sabda Nabi, ‘Barang siapa yang berbohong atas-ku, maka
bersiaplah ia duduk di tungku api neraka.504 Hal yang senada juga diungkapkan oleh
Syu’bah, “kekhawatiran ini sungguh sangat beralasan, karena tidak pernah ada dalam
ucapan Nabi saw lahn yang menunjukkan kelemahannya dalam berbicara bahasa
Arab”, sehingga jika itu ada, dipastikan berasal dari periwayat, bukan dari Nabi
SAW.
Muhammad Ajâj berpendapat bahwa Hadîts yang sampai pada kita saat ini,
sesungguhnya sesuai dengan lafadz yang diucapkan Nabi SAW, buktinya dalam
literatur sejarah dikenal beberapa sahabat dan tâbi’în yang memiliki kekuatan dan
kecepatan dalam menghafal, seperti Abdullah bin Abbâs dari kalangan sahabat dan
501 Ibnu Katsîr, Ikhtishar ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 136 502 Ibnu Abdi al-Barr, Jami’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 79 503 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab wa Lubb Lubâbi , ju. 1, hal. 15 504 Ibnu Katsîr, Ikhtishar ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 139
clix
Nâfi’ maula Abdullah bin Umar, mereka semua dikenal sebagai orang yang teliti dan
tidak pernah salah dalam hapalannya505.
Maka itu, menurut Muhammad Ajâj adanya perbedaan lafadz Hadîts dalam
satu riwayat, tidak selamanya menunjukkan bahwa Hadîts tersebut diriwayatkan
dengan makna, akan tetapi hal itu menunjukkan pada beberapa kemungkinan,
pertama, hal itu terjadi biasanya pada Hadîts yang berkenaan dengan perilaku
Rasulullah SAW yang disaksikan langsung oleh para sahabat Nabi SAW, dan
diceritakan dengan lafadz sahabat, jika demikian maka Hadîts tersebut bukanlah
termasuk objek kajian nahwu, karena objek kajian nahwu adalah hadîts qaulî atau
ucapan Nabi SAW. Kedua, adanya beberapa riwayat yang berbeda bukanlah karena
diriwayatkan dengan makna, namun boleh jadi karena satu tema yang sama
disabdakan di beberapa tempat oleh Nabi SAW. Sebagaimana diketahui Nabi SAW
menjawab para penanya sesuai dengan kemampuan para penanya, dan banyaknya
jumlah sahabat yang meminta fatwa Nabi SAW dalam satu kesempatan atau dalam
beberapa kesempatan tentang satu permasalahan yang sama, sehingga hal ini
memungkinkan lafadz yang diucapkan Nabi SAW berbeda satu sama lainnya,
makanya ini mengesankan bahwa adanya riwayat yang sama, namun berbeda
lafadznya. Akibatnya sebagian orang menyimpulkan bahwa Hadîts tersebut telah
mengalami perubahan lafadz,506 padahal tidaklah demikian.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan sesungguhnya hukum asal
meriwayatkan Hadîts Nabi Saw adalah dengan lafadz yang sesuai dengan apa yang
Nabi SAW tuturkan, adapun adanya periwayatan dengan makna, ini lebih disebabkan
kondisi darurat. Berkenaan dengan ini ahli Hadîts telah menatapkan aturan main dan
syarat meriwayatkan Hadîts dengan makna, ini dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya kecacatan dalam lafadz dan makna Hadîts. Kesimpulan ini didapat, salah
satunya berdasarkan adanya fakta sejarah akan kesungguhan dan kehati-hatian para
505 Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 136 506 Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 137
clx
sahabat dan tâbi’în dalam meriwayatkan Hadîts yang sesuai dengan lafadz yang Nabi
SAW sabdakan.
b. Periwayat bukan dari kalangan orang Arab
Alasan lain yang juga dilontarkan oleh para penentang Hadîts, dan peragu
akan otentisitas redaksi Hadîts sebagai bahasa yang paling baik dan otoritatif untuk
dijadikan sumber kaidah nahwu setelah al-Qur’an adalah, adanya dugaan bahwa
mayoritas periwayat berasal dari kalangan Ajam. Sehingga Hadîts yang pada mulanya
memiliki bahasa yang fashih, telah berganti menjadi bahasa yang buruk, karena
diriwayatkan oleh orang yang tidak memahami dzauq arabi. Untuk membuktikan
apakah benar apa yang dituduhkan para penentang, berikut akan dinalisa periwayat-
periwayat dari generasi awal hingga periode kodifikasi Hadîts Nabi SAW.
Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT untuk makhluk semesta alam, di
antara tugasnya adalah menyatukan seluruh umat manusia, baik itu Ajam maupun
Arab, bersatu dan berpadu dalam panji ilahi. Tidak ada keutamaan bagi orang Arab
atas orang Ajam, kemuliaan hanya dilihat dari ketakwaan seseorang pada Allah SWT.
Nabi SAW juga menyerukan kepada sahabat-sahabatnya untuk menyampaikan apa
yang mereka dengar dari Nabi SAW.507 Maka itu sebagai sebuah kewajiban bagi
periwayat Hadîts untuk menyampaikan sabda Nabi SAW yang ia dengar baik dari
Nabi SAW secara langsung maupun dari orang lain yang terbukti kejujuran dan
keadilannya.508
Sahabat adalah orang pertama yang terpercaya mengemban amanah ini,
mereka adalah orang-orang Arab yang fashih dalam berbahasa Arab. Ketika ekspansi
Islam ke berbagai negara dan pelosok dunia, orang Arab dan Ajam telah bercampur,
507 (HR al-Bukhâri) همن ى لهعأو وه نلغ مبى أن يسع اهدفإن الش ائبالغ اهدلغ الشبلي 508 Kejujuran dan keadilan ini merupakan syarat dari hadîts shahîh. Menurut Ibnu al-Shalâh
hadîts shahîh adalah Hadîts yang disandarkan kepada Nabi SAW, yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabith, diterima oleh periwayat yang adil dan dhabith, tidak ada kejanggalan dan tidak berillat. Penjelasan selengkapnya lihat Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 18-19
clxi
yang menyatukan mereka hanyalah Islam, mereka bekerja sama dalam membangun
agama ini. Di antara dakwah yang mereka lakukan adalah menyampaikan Hadîts
yang mereka dengar kepada yang belum mendengarnya. Lantas dari kalangan
manakah para periwayat Hadîts tersebut, apakah dari kalangan Arab atau Ajam? Ini
penting untuk diketahui, karena adanya fakta periwayatan Hadîts dengan makna
terjadi pada generasi sahabat, dan jika sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan Hadîts
tersebut berasal dari kalangan Ajam, maka adanya lahn dalam sabda Nabi SAW yang
kita dapati saat ini, boleh jadi benar. Untuk menganalisanya, dapat dilakukan dengan
dua metode; Pertama, al-Thariqah al-Washfiyah, ini digunakan untuk meneliti
tingkatan-tingkatan terbaik dalam setiap generasi, dan mengenal siapa saja periwayat
yang paling terkenal dan terbanyak dalam meriwayatkan Hadîts, sehingga penelitian
akan lebih terfokus pada sahabat-sahabat tersebut. Kedua, al-Tharîqah al-Ihshâiyyah,
ini dilakukan untuk menganalisa jumlah data periwayat Hadîts dari kalangan Arab
dan Ajam. Sehingga secara statistik akan ditemukan dari kalangan manakah
periwayat terbanyak berasal. Data ini dianalisa untuk membuktikan kebenaran
dugaan para penentang Hadîts, bahwa periwayat Hadîts mayoritas berasal dari
kalangan Ajam.
i. Al-Thariqah al-Washfiyah
Para periwayat Hadîts tentunya berasal dari berbagai generasi, disini akan
dianalisa tiga generasi yang disebut-sebut sebagai generasi terbaik yaitu sahabat,
tâbi’în dan tâbi’it tâbi’în.509
Pertama, pada tingkatan sahabat. Dalam terminologi ilmu Hadîts sahabat
adalah orang yang bertemu Nabi SAW, beriman padanya dan ia wafat dalam keadaan
Islam.510 Keadilan para sahabat tidak perlu dipertanyakan lagi, karena keadilannya
509 (HR al-Bukhâri) مهلوني الذين ثم مهلوني الذين ني ثماس قرالن ريخ 510 Meskipun ada perbedaan di kalangan ulama tentang pengertian sahabat, namun pengertian
ini adalah pengertian yang paling banyak diikuti oleh kalangan ulama Hadîts. Lihat Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 301. Lihat juga al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 372-376.
clxii
telah ditetapkan dalam al-Qur’ân, Hadîts dan Ijmâ’ ulama.511 Begitupula dengan
kemampuannya dalam bahasa Arab fashih, diyakini perkataan mereka terbebas dari
penyimpangan bahasa Arab. Para ulama berselisih pendapat tentang jumlah para
sahabat. Imam al-Syâfi’i mengatakan jumlah sahabat yang bertemu dengan Nabi
SAW dan yang meriwayatkan Hadîts sekitar enam puluh ribu sahabat.512 Dan yang
terakhir wafat adalah Amir bin Watsilah al-Laytsi yang wafat pada tahun 100 H,513
adapun sahabat yang terbanyak meriwayatkan Hadîts berjumlah sembilan orang,514
mereka adalah;
1. Abu Hurairah: 5374 Hadîts 2. Abdullah bin Umar: 2630 Hadîts
3. Anas bin Mâlik: 2286 Hadîts 4. ‘Aîsyah: 2210 Hadîts
5. Abdullah bin Abbâs :1660 Hadîts 6. Jâbir bin Abdillah: 1540 Hadîts
7. Abu Saîd al-Khudri:1170 Hadîts 8. Abdullah bin Mas’ûd:848 Hadîts
9. Abdullah bin Amr bin al-Ash: 700 Hadîts
Kedua, pada tingkatan tâbi’în. Al-Khatîb al-Baghdâdi mendefinisikan bahwa
yang disebut dengan tâbi’în adalah mereka yang pernah bersahabat dengan sahabat
Nabi SAW. Dalam ungkapan al-Hâkim, tâbi’în adalah orang yang bertemu dengan
sahabat dan meriwayatkan Hadîts dari sahabat, meskipum ia tidak bersosialisasi
dengan sahabat tersebut.515
Imam al-Hâkim membagi tâbi’în kedalam lima belas tingkatan,516 yang paling
tinggi adalah mereka yang meriwayatkan Hadîts dari sepuluh sahabat yang utama,
dan berikutnya adalah mereka yang lahir pada masa Rasulullah SAW dan merupakan
511 Ini adalah kesepakatan ulama Hadits dari ahlu sunnah, karena ada sebagian ahlu syi’ah yang mengingkarinya, untuk mengetahui pembahasan ini, pembaca dapat melihat skripsi penulis yang berjudul Adâlah al-Shahabah bayna Ahli Sunnah wa al-Syi’ah (Jakarta; UIN Syarif Hidayatullah, fakultas dirasat islamiyah 2005). Pembahasan keadilan shahabat ini dapat dilihat juga di, Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 302. Dan lihat juga al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 377.
512 Ibnu Katsîr, Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 180 513 Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 307. Dan lihat juga al-
Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 388-390. 514 Ahmad Muhammad Syâkir, al-Bâ’its al-Hatsîts Syarh Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 182 515 Ibnu Katsîr, Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts, hal 186 516 Al-Irâqi, al-Taqyîd wa al-Idhâh Syarh ‘Ulûm al-Hadîts (Makkah, Maktabah al-Tijâriyah
1993), cet. Ke-1, hal. 300.
clxiii
keturunan dari para sahabat seperti; Abdullah bin Abi Thalhah dan As’ad bin Sahl bin
Hanif.517
Menurut ahli sejarah tâbi’în yang hidup terakhir kali adalah Khalf bin khalifah
(w 181 H), ia dikategorikan sebagai tâbi’în terakhir yang wafat, karena ia adalah
tâbi’în yang bertemu dengan sahabat yang terkahir kali wafat, yaitu; Abu Thufail
Amir bin Watsilah. Maka itu berakhirnya masa tâbi’în bersamaan dengan wafatnya
Khalf pada tahun 181 H.518
Pada masa tâbi’în inilah banyak dari kalangan Ajam yang masuk Islam, nama
mereka dikenali dengan sebutan mawâli, Muslim Ajam inilah yang kemudian
mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh hingga di kemudian hari mereka
menjadi Ulama. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan bahwa ketika al-
‘Ibadilah wafat, ahli fiqih di seluruh penjuru dunia terdiri dari kalangan mawali,
kecuali di Madinah.519 Di antara tâbi’în yang memiliki ketelitian dalam menjaga
Hadîts dan termasuk di antara yang banyak meriwayatkannya adalah; Sa’îd bin al-
Musayyab bin Hizn al-Quraisyi al-Makhzûmi,520 Nâfi’ Maula Ibnu Umar,521
517 Tingkatan kedua, al-Mukhadramun dari kalangan tâbi’în, yaitu mereka yang hidup di masa
Jahiliyah dan masa Rasulullah SAW, mereka beriman namun tidak bersahabat dengan Muslim lainnya, diperkirakan berjumlah sepuluh orang. Namun al-Irâqi menambahkan 20 orang sehingga menjadi 30 orang, antara lain; Abu Amr al-Syaibani, Suwaid bin Gaflah al-Kindi, Abu Utsmân al-Nahdi, Abu Muslim al-Khulani, Ahnaf bin Qais, Aslam maula Umar, Uwais bin Amir al-Qarni, dan Ka’ab al-Ahbar. Tingkatan ketiga adalah tâbi’în dari kalangan ahli fiqih yang berjumlah tujuh orang dan berasal dari Madinah. Mereka adalah Sa’id bin al-Musayyab, al-Qasim bin Muhammad, Urwah bin Zubair, Kharijah bin Zain, Abu Salamah bin Abdurrahman, Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah dan Sulaiman bin Yasar. Selengkapnya lihat al-Irâqi, al-Taqyîd wa al-Idhâh Syarh ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 300.
518 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 357 519 Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 371 520 Ibnu Hanbal berkata bahwa Sa’îd bin al-Musayyab adalah sebaik-baik tâbi’în. Ayah dan
kakeknya adalah seorang sahabat. Said gemar bepergian untuk menuntut Hadîts, ia pernah mendengar Hadîts langsung dari Umar, Utsmân, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit dan lainnya. Ia wafat pada tahun 94 H. lihat, Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, (Beirut: Dâr al-Fikr), juz. 2, hal. 375.
521 Ia seorang ahli fiqih yang tsiqah, ia pernah menjadi khadim Ibnu Umar selama tiga puluh tahun, Imam Mâlik bin Anas adalah di antara kawan Nâfi’. Imam Mâlik pernah berkata; jika aku telah mendengar Nâfi’ menyampaikan sebuah Hadîts dari Ibnu Umar, maka aku tidak perlu mendengar lagi dari yang lainnya”. Imam al-Bukhâri berkata; sanad yang paling shahih adalah dari Mâlik dari Nâfi’ dan Ibnu Umar. Dalam khidmahnya pada agama, Umar bin Abdul aziz pernah mengrimnya ke Mesir untuk mengajarkan sunnah dan ilmu Agama. Nâfi’ wafat pada tahun 117 H. Lihat Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, juz. 5, hal. 367
clxiv
Muhammad bin Sirîn,522 Ibnu Syihâb al-Zuhri523 Sa’îd bin Jubair al-Asadî al-Kûfî.524
Ketiga, pada tingkatan Atbâ’ tâbi’în, mereka adalah Muslim yang bertemu dengan
tâbi’în, beriman pada Nabi SAW dan wafat dalam keadaan Islam. Ulama populer dan
merupakan pimpinam madzhab fiqih yang termasuk dalam katagori atbâ’ tâbi’în
adalah Imam Mâlik bin Anas,525 (w 79 H) dan Imam al-Syâfi’i, (w 204 H).526 Adapun
Abu Hanîfah, menurut pendapat yang lebih unggul termasuk dalam katagori tâbi’în,
karena ia pernah bertemu dengan sahabat Nabi dan meriwayatkan Hadîts dari mereka,
yaitu; sahabat Anas bin Mâlik, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Jaz’i, Abdullah bin
Unais dan ’Aisyah binti Ajrad. Adapun pemimpin madzhab fiqih terakhir yaitu
Ahmad bin Hanbal termasuk dalam katagori atbâ’u atbâ’i tâbi’în, karena ia wafat
pada tahun 241 H, sedangkan masa atbâ’ tâbi’în berakhir hingga tahun 220 H.527
Selain itu ada juga ulama-ulama lain yang termasuk atbâ’ tâbi’în antara lain; Sufyân
522 Ayah Muhammad bin Sirin adalah seorang maula Anas bin Mâlik dan Ibunya Shafiyyah
adalah seorang maula Abu Bakr, ia pernah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat, antara lain Zaid bin Tsabit, Anas bin Mâlik, Abu Hurairah, Huzaifah bin Yaman dan lainnya. Banyak ulama yang memberikan kesaksian akan kemuliannya, antara lain; Ibnu ‘Auf pernah berkata: Muhammad bin Sirin selalu menyampaikan Hadîts huruf perhuruf. Hisyâm bin Hasân berkata: ‘Ibnu Sirin adalah orang yang paling jujur yang pernah aku temui di muka bumi ini’. Muhammad bin Sirin wafat pada tahun 110 H. Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, juz. 4, hal. 181
523 Ia seorang alim dan ahli fiqih yang pernah berkawan dengan Sa’id bin al-Musayyab selama delapan tahun, ia selalu menulis Hadîts yang ia dengar. Al-Zuhri juga dikenal sebagai orang yang paling teliti dan terperinci dalam menukil Hadîts. Amr bin dinar berkata; aku tidak pernah menemukan seseorang yang selalu menulis Hadîts yang sesuai dengan teksnya kecuali al-Zuhri. Karenanya ia dikenal sebagai orang yang tamak dalam menulis Hadîts, konon Hadîts yang dimilikinya mencapai seribu dua ratus Hadits. Lihat Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, juz. 4, hal. 177
524 Sa’id adalah ulama yang meriwayatkan Hadîts dari Abdullah bin Zubair, Abu Said al-Khudri. Ia dibunuh oleh al-Hajjaj pada tahun 95 H, karena ia pergi bersama al-Asyats. Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân,juz. 2, hal. 371
525 Ia lahir pada tahun 93 H, seorang Imam di Madinah dan juga Amir al-Mukminin dalam bidang Hadits. Imam al-Syâfi’i mengatakan bahwa Hujjatullah setelah masa tâbi’in berakhir adalah Imam Mâlik. Ia menulis kitâb al-Muwatha’, kitab tersebut pernah dikonsultasikan pada tujuh puluh ahli fiqih di Madinah. Ia wafat pada tahun 179 H. Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, juz. 4, hal. 135
526 Keshalehan dan kecerdasannya dalam bidang fiqih cukup terkenal di kalangan ulama, ia disebut-sebut sebagai salah satu Imam Madzhab fiqih yang paling banyak pengikutnya. Riwayat hidup selengkapnya lihat Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, juz. 4, hal. 163
527 Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 357-358
clxv
al-Tsauri al-Kûfi,528 Sufyan bin Uyainah,529 al-Layts bin Sa’ad bin Abdurrahman al-
Fahmi.530 Ulama masa tersebut dikenal sebagai ahli Hadîts yang ketat dalam menjaga
lafadz Hadîts.
ii. al-Tharîqah al-Ihshâ’iyyah
Untuk mengetahui persentase ulama Hadîts yang berasal dari kalangan Ajam
dalam tingkatan sahabat dan tâbi’în, dapat ditelusuri dalam kitab al-Thabaqât al-
Kubra karya Ibnu Sa’ad.531 Kitab ini menyajikan pembagian sahabat dan tâbi’în di
berbagai penjuru bumi ke dalam tingkatan sesuai berdasarkan tahun hidupnya. Akan
tetapi tidak semua tingkatan dianalisa di sini, hanya tingkatan sahabat dan tâbi’în
yang di kota-kota besar saja, seperti; Bashrah, Madinah dan Makkah, sehingga akan
diketahui persentase ulama dari kalangan Ajam yang meriwayatkan Hadîts,
dibandingkan dengan orang Arab sendiri, yang disebut-sebut sebagai pemilik dan
penguasa bahasa Arab fashih.
Tingkatan tâbi’în di Bashrah;532
TINGKATAN ARAB AJAM JUMLAH
Pertama 46 5 51
Kedua 103 9 112
Ketiga 43 11 54
528 Ia dikenal di kalangan ahli Hadîts karena kekuatan hafalannya, maka itu ia dijuluki sebagai
Amir al-mukminin dalam bidang Hadîst (seperti Imam Mâlik ), ia wafat pada tahun 161 H. Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, juz 2, hal 386
529 Ia pernah bertemu dengan delapan puluh tujuh tâbi’în, dan ia mendengar Hadîts dari tujuh puluh orang di antara mereka. Diperkirakan ia telah meriwayatkan Hadîts sebanyak tujuh ribu Hadîts. Al-Ajali mengatakan ia adalah orang Kufah yang diakui ketsiqahannya di lakangan ahli Hadits. Ia wafat pada tahun 198 H pada usia 91 tahun. Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, juz 2, 391
530 Ia ahli fiqih dan ahli Hadîts di Mesir, Imam Bukhâri dan Imam Muslim adalah di antara orang yang paling banyak meriwayatkan Hadîts darinya. Ketsiqahannya diakui oleh Ahmad bin Hanbal, al-Syâfi’i, dan Sufyan al-Tsauri. Ia wafat pada tahun 175 H. Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, juz 4, 127
531 Penelitian ini sebelumnya pernah dilakukan oleh Hasan Mûsa al-Syâ’ir dalam bukunya al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 38-39. Dan penulis menganalisa kembali dalam kitab al-Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad.
532 Ibnu Sa’ad, al-Thabaqât al-Kubra, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 1997), cet. Ke-2, juz. 7
clxvi
Keempat 48 15 63
Kelima 36 14 50
Keenam 28 11 39
Ketujuh 47 4 51
Kedelapan 11 2 13
Jumlah keseluruhan tingkatan tâbi’în di Bashrah adalah 433, dari kalangan
Ajam hanya berjumlah 71 orang, maka nisbah orang Arab kira-kira 84% dan Ajam
16%. Data ini menunjukkan bahwa periwayat Hadîts dari kalangan tâbi’în di Bashrah
mayoritas berasal dari kalangan Arab.
Tingkatan tâbi’în di Madinah;533
TINGKATAN ARAB AJAM JUMLAH
Pertama 130 19 149
Kedua 160 98 258
Ketiga 23 - 23
Keenam 22 18 40
Ketujuh 21 12 34
Jumlah keseluruhan tingakatan tâbi’în di Madinah adalah 504, dari kalangan
Ajam hanya berjumlah 147 orang, maka nisbah rrang Arab kira-kira 70% dan Ajam
30%. Data ini menunjukkan bahwa periwayat Hadîts dari kalangan tâbi’în di
Madinah mayoritas berasal dari kalangan Arab.
Tingkatan tâbi’în di Makkah;534
TINGKATAN ARAB AJAM JUMLAH
Pertama 11 - 11
Kedua 23 4 27
533 Ibnu Sa’ad, al-Thabaqât al-Kubra, juz. 5 534 Ibnu Sa’ad, al-Thabaqât al-Kubra, juz. 6
clxvii
Ketiga 38 13 51
Keempat 21 2 23
Kelima 16 3 19
Jumlah keseluruhan tingkatan tâbi’în di Makkah adalah 131, dari kalangan
Ajam hanya berjumlah 22 orang, maka nisbah orang Arab kira-kira 83% dan Ajam
17%. Data ini menunjukkan bahwa periwayat Hadîts dari kalangan tâbi’în di
Madinah mayoritas berasal dari kalangan Arab.
Secara umum dari data statistik di atas jumlah seluruh tâbi’în baik di Bashrah,
Madinah dan Makkah berjumlah sekitar 79 % dari kalangan Arab, dan 21% dari non
Arab. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tâbi’în dari kalangn Arab lebih banyak
dibandingkan dengan non arab, bahkan tidak lebih dari seperlimanya saja.
Kesimpulannya, apa yang dinyatakan para penentang Hadîts, bahwa mayoritas
periwayat Hadîts berasal dari kalangan Ajam, tidaklah banar. Meskipun diakui ada
beberapa tingkatan yang berasal dari kalangn Ajam, namun jumlahnya hanya sedikit.
Sehingga data ini merupakan bantahan bagi yang mengatakan periwayat Hadîts lebih
banyak dari kalangan Ajam, yang disebut-sebut tidak menguasai bahasa fashih.
c. al-Tashhîf
Tashhîf ini penting untuk dianalisa lebih mendalam, karena tashhîf dianggap
oleh sebagian ahli bahasa sebagai penyebab penolakan ahli nahwu terhadap Hadîts,
sehingga mereka enggan menjadikannya sebagai salah satu sumber bahasa.535 Ahli
bahasa dan Hadîts bersepakat bahwa makna tashhîf adalah perubahan dalam kalimat.
Karenanya di antara definisi tashhîf adalah perubahan titik atau harakat dalam huruf
tanpa berubahnya bentuk tulisan. Seseorang yang mengutip ungkapan dari shahifah
akan selalu berhubungan dengan lafadz suatu ungkapan yang terangkai dari kata-kata.
Itu sebabnya, ada kemungkinan kata yang hurufnya tidak bertitik memiliki
535 Abdul Hamîd al-Syalqâni, Mashâdir al-Lughah, hal. 56
clxviii
interpretasi bacaan yang beragam. Misalnya dalam shahifah terdapat kata فحمة jika
tidak bertitik kemungkinan ada yang membaca قحمة atau فخمة dan lainnya. Maka itu
al-Zamakhsyari mengungkapkan bahwa tashhîf adalah gembok yang kuncinya hilang.
Artinya sulit untuk mencari solusi ketika terjadi tashhîf, karena yang mengetahui
pasti bacaan kata yang di shahifah tertentu, adalah sang guru yang menulisnya.536
Bukan hanya kuncinya hilang, namun sebagian ahli bahasa mengatakan
bahwa tashhîf adalah bencana besar dalam tradisi tulis menulis sastra, maka itu
mereka tidak memberikan toleransi dalam hal ini. Itu sebabnya tashhîf menjadi
problem yang sulit untuk dilepaskan dalam dunia tulis menulis Arab, tidak
mengherankan jika Ahmad bin Hanbal bertanya pada siapapun yang aktif dalam
dunia tulis menulis, ‘siapakah yang mampu terbebas dari kesalahan dan tashhîf ?537
Ini karena tulisan Arab pada tempo dulu belum dapat membedakan bentuk huruf satu
dengan huruf lainnya yang memiliki kemiripan, seperti huruf ح ,ج dan خ. Juga antara
س atau ذ dan د dan ش. Kemiripan bentuk suatu huruf dengan huruf lainnya menjadi
sebab terjadinya tashhîf.
Adanya tashhîf dalam teks apapun sangat membahayakan bagi setiap pengkaji
atau pembaca yang berusaha memahami teksnya, terlebih dalam hukum syariat, bisa
saja yang halal menjadi haram dan juga sebaliknya. Terlebih ada riwayat yang
mengatakan; kafirnya umat Nashrani disebabkan terjadinya tashhîf dalam kitab Injil
milik Nabi Isa a.s.538 Dan ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa terjadinya
fitnah pertama kali dalam Islam disebabkan adanya tashhîf dalam surat Utsmân, yaitu
536 Al-Askari, Tashhîfât al-Muhadditsîn, (Kairo: al-Maktabah al-Arbiyah al-Haditsah 1982),
cet. Ke-1, juz. 1, hal. 39 537 Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 2, hal. 353 538 Dalam Injîl, Allah SWT berfirman; لوتالب من كتلدي وبين تأن Kemudian terjadi tashhîf pada
umat Nabi Isa a.s, sehingga firman tersebut menjadi لوتالب من كتلدو يينب تأن. Lihat di Al-Askari, Tashhîfât al-Muhadditsîn, juz 1, hal. 23
clxix
ketika Utsmân menulis surat yang diperuntukkan bagi yang menjadi Amir di
Mesir.539
Ibnu al-Shalâh menyebutkan bahwa tashhîf terjadi pada beberapa tempat,540
antara lain; ada tashhîf sanad,541 matan,542 pendengaran,543 penglihatan,544 lafdzi,545
dan ma’nawi.546 Pembagian tashhîf tersebut bisa jadi berpengaruh langsung pada
bahasa secara umum, tapi tidak pada kaidah nahwu, karena nahwu hanya membahas
i’râb bahasa. Maka itu keberadaan tashhîf ini tidak terlalu berpengaruh besar pada
penetapan Hadîts sebagai dalil nahwu. Meskipun Ibnu Hajar menyatakan bahwa
tashhîf lebih banyak terjadi pada matan dibandingkan dengan nama-nama dalam
sanad.547
Selain dalam Hadîts, tashhîf juga terjadi dalam syair, terlebih syair muncul
sebelum datangnya Hadîts Nabi SAW, karenanya jika penyebab penolakan Hadîts
539 Dalam surat tersebut, redaksi yang benar adalah إذا جاءكم فاقبلوه pada surat ini terjadi
tashhîf, sehingga penduduk setempat memahaminya إذا جاءكم فاقتلوه dengan demikian terjadilah apa yang telah terjadi, yaitu pembunuhan.
540 Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts, hal. 295 541 Seperti al-Thabari mengatakan عتبة بن البذر menggunakan huruf ba’ dan dza, padahal yang
benar adalah ردابن الن menggunakan nun dan dal. 542 Seperti ketika Ghundar meriwayatkan Hadîts dari Jabir, يوم األحزاب على أكحله يمي أبر dan ia
telah melakukan tashhîf dengan mengatakan مي أبير. 543 Sebagian ahli Hadîts ada yang mengatakan dalam sanad mereka عاصم األحوال dengan
berkata واصل األحدب 544 Ibnu Lahi’ah pernah meriwaytkan Hadîts احتجر رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم يف املسجد. Padahal
yang benar adalah احتجم يف املسجد, konon sebab tashhîf ini karena Ibnu Lahi’ah mengutipnya dari shahifah.
545 Mengganti huruf tsa pada kata كثر dengan sin, sehingga menjadi كسر 546 Sebagian orang ada yang melakukan tashhîf ma’nawi pada Hadîts زر غبا تزدد حبا dengan
mentashhîf-nya menjadi زرعنا تردد حنا. Penulis mengutip contoh-contoh tersebut dalam kitab Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm Hadîts,hal. 295 dan Al-Askari, Tashhîfât al-Muhadditsîn, juz. 1, hal. 41. Dan lihat juga al-Suyuthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 363.
547 Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhûd al-Muhadditsîn fi Naqdi Matn al-Hadîts al-Nabawi al-Syarîf (Mu’assasah Abdul Karim1986), hal. 296
clxx
sebagai dalil nahwu lebih dikarenakan banyaknya kesalahan dalam tulisan, lalu
bagaimana dengan syair, yang metode periwayatannya tidak seketat dan sedetil
periwayatan dalam Hadîts. Kondisi ini sangat mengherankan, meskipun tashhîf
terjadi dalam dunia sastra, namun mereka tetap menjadikannya sebagai dalil nahwu.
Sedangkan pada Hadîts tidaklah demikian, standar ganda inilah di antara yang
menjadi kritikan ulama bahasa548 kepada para penolak Hadîts sebagai dalil nahwu.
Meskipun tashhîf menjadi perkara menyeramkan bagi dunia Hadîts
khususnya, yang akibatnya menyebabkan keraguan di sebagian ahli bahasa untuk
menjadikannya sebagai sumber kaidah bahasa. Namun sesunguhnya kekhawatiran
tersebut tidak seharusnya menjadikan ahli bahasa ragu akan keotentikan redaksi
Hadîts sebagai sabda Nabi SAW. Karena ulama Hadîts telah melakukan beberapa
langkah agar terhindar kita terhindar dari tashhîf. Di antaranya; Pertama, seseorang
yang hendak berguru Hadîts hendaknya belajar secara langsung dari orang terpercaya,
bergaul dengannya, dan tidak mengandalkan dari shuhuf yang ditulis oleh sang guru.
Kedua, memastikan apa yang ditulis oleh periwayat benar-benar dari gurunya, dan
ditulis dengan kaidah penulisan yang jelas. Ketiga; usaha menjaga Hadîts dari tashhîf
ini dilakukan ulama dengan menulis karya-karya yang khusus menganalisa ada atau
tidaknya tashhîf dalam Hadîts. Antara lain; Taqyyîd al-Ilm karya Abu Ali al-
Ghassâni, Masyâriq al-Anwâr karya al-Qâdhi Iyâdh, Mathâli’ al-Anwâr karya Ibnu
Qurqul, al-Tanbîh ala Hudûts al-Tashhîf, Tashhîfât al-Muhadditsîn karya al-Askari.
Karya-karya tersebut umumnya ditulis pada abad ketiga dan keempat hijriyah.549
Sehingga ahli nahwu yang hidup setelah abad ketiga dapat merujuk pada karya-karya
tersebut agar terhindar dari tashhîf, yang pada akhirnya tidak ada alasan untuk
menolak Hadîts sebagai dalil nahwu.
Ibnu Katsîr memberikan solusi tegas dalam perkara tashhîf ini, antara lain ia
mengatakan bahwa obat dari racun tashhîf adalah mendengarkan langsung dari mulut
guru yang memiliki hafalan kuat. Kalaupun sang guru melakukan lahn, maka sikap
548 Abdul Hamîd al-Syalqâni, Mashâdir al-Lughah,hal. 59 549 Al-Askari, Tashhîfat al-Muhadditsin, juz 1, hal. 23-28
clxxi
yang tepat hendaknya periwayat mentransmisikan redaksi yang terbebas dari
kecacatan bahasa saja, dan meninggalkan riwayat yang memiliki kecacatan bahasa.
Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Sirîn dan Abu Ma’mar, mereka berpendapat
meskipun sang guru melakukan lahn maka periwayat hendaknya mentransmisikan
apa yang ia terima dari guru tanpa penambahan dan pengurangan. Pendapat ini
kemudian dibantah olah Ibnu al-Shalâh, menurutnya sikap ini adalah sikap ghuluw
(berlebihan) dalam mempertahankan redaksi lafadz dari guru.550
Kesimpulan dari uraian di atas, meskipun tashhîf terjadi pada sebagian Hadîts
Nabi SAW, namun ulama Hadîts telah melakukan pencegahan dan seleksi ketat
dalam proses menerima dan meriwayatkan Hadîts, sehingga tashhîf yang menjadi
kecacatan dalam periwayatan dapat terhindarkan, terlebih adanya karya-karya ilmiah
yang ditulis ahli Hadîts dalam meneliti keberadaan tashhîf dalam Hadîts Nabi SAW
dapat membantu kekhawatiran ini. Usaha ini setidaknya membuktikan bahwa
penyakit ini telah terobati. Karenanya alasan sebagian ahli bahasa yang menolak
Hadîts sebagai sumbernya, kini sulit untuk mendapatkan pembenarannya.
d. Pemalsuan Hadîts
Kesenjangan waktu antara wafatnya Nabi SAW dengan waktu kodifikasi
Hadîts, yang menurut A’zami memakan waktu sekitar seratus tahun lebih,551 telah
menyebabkan maraknya upaya-upaya pemalsuan Hadîts. Jika tashhîf terjadi karena
ketidaksengajaan, lain halnya dengan pemalsuan Hadîts, pemalsuan Hadîts disinyalir
karena faktor kesengajaan dan niat dari pemalsu Hadîts berdasarkan motivasi yang
beragam, baik itu bersifat agama maupun duniawi.
Jika dianalisa dari bentuk-bentuk Hadîts palsu yang beredar dan terdeteksi
oleh ahli Hadîts, diketahui bahwa motivasi mereka sangat beragam, antara lain;552
550 Ibnu Katsîr, Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 140 551 Al-A’dzami, Dirâsat fi al-Hadits al-Nabawi wa Târikh Tadwinih, (Beirut: al-Maktab al-
Islami 1992), juz. 1, hal 72. 552 Akram Dhiya’ al-Umra, Bu’ûts fi Târikh al-Sunnah al-Musyarrafah (Mu’assasah al-
Risâlah 1975), cet. Ke-3, hal. 21
clxxii
Pertama, pembelaan terhadap aliran, baik aliran politik maupun aliran agama.
Menurut sebagian ahli sejarah, faktor inilah yang muncul pertama kali dalam dunia
pemalsuan Hadîts. Yaitu ketika terjadi fitnah antara Ali bin Abi Thalib dan
Mu’awiyah bin Abi Shafyân. Faktor politik inilah awal kali pendorong sebagian umat
untuk memalsukan Hadîts, sebagai pembenaran atas pilihan politiknya.553. Kedua,
niat untuk menghancurkan agama Islam, ini dilakukan oleh orang-orang zindik.
Diketahui bahwa banyak dari kalangan intelektual yang tidak senang akan adanya
Islam, mereka ingin melawan Islam secara terang-terangan namun tidak kuasa
melakukannya, yang pada akhirnya mereka merusak syariat Islam, agar umatnya ragu
akan keyakinan agamanya. Baik dari sisi akidah maupun muamalah.554
Ketiga. Motivasi duniawi, seperti mendekati penguasa. Pemalsu Hadîts
sengaja menyebutkan Hadîts Nabi SAW dengan tujuan agar sang raja atau penguasa
mengasihinya, padahal Hadîts tersebut palsu. Keempat, mencari popularitas, biasanya
Hadîts palsu ini disampaikan kepada masyarakat awam yang tidak mengetahui
banyak Hadîts, sehingga masyarakat awam akan menganggap pemalsu Hadîts sebagai
orang alim di bidang Hadîts, padahal nyatanya ia pendusta.
Melihat fenomena pemalsuan Hadîts dengan berbagai motif di atas, kalangan
sahabat, tâbi’în dan generasi selanjutnya tidak bersikap diam, banyak yang mereka
lakukan untuk membendung pemalsuan ini, antara lain; berusaha memperkenalkan
pelaku pemalsuan Hadîts kepada masyarakat, agar tindakan pemalsu Hadîts tidak
553 Hadîts palsu ini banyak ditemukan berkenaan dengan kesucian ahli bait, sebagai pembenaran akan Imam Ali bin Abi Thalib, meskipun tidak dipungkiri ada sebagian hadîts shahîh yang menyatakan keluhuran ilmu dan akhlak Ali k.w di mata Nabi SAW. Al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 181. Maka itu, setelah kejadian fitnah kubra tersebut, ahli Hadîts lebih selektif lagi dalam menerima Hadîts, bahkan mereka melihat sedetil mungkin perangai dan pemikiran periwayat Hadîts. Hal tersebut sebagaiman yang digambarkan oleh Ibnu Sirin; نن عاب قال سريين وا لمكوني
يؤخذ فلا البدع لأه إلى وينظر حديثهم فيؤخذ السنة أهل إلى فينظر رجالكم لنا سموا قالوا الفتنة وقعت فلما الإسناد عن يسألونمديثهح Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1, hal. 10
الفرس خلق تعاىل اهللا إن « : قال وسلم عليه اهللا صلى النيب عن ، هريرة أيب عن ، املهزم أيب عن ، سلمة بن محاد عن 554 Artinya; Sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan kuda, lalu .» منها نفسه خلق مث ، فعرقت فأجراها
menjalankannya hingga berkeringat. Kemudian dia menciptakan dirinya dari kuda. Imam al-Baihaqi, al-Asmâ’ wa al-Shifât, (Kairo: Dar al-Hadîts 2002), hal.381
clxxiii
diikuti oleh umat lainnya. Hal ini tercermin dari beberapa sikap sahabat dan tâbi’în
ketika ada yang meriwayatkan Hadîts pada mereka. Contohnya; Abdullah bin Abbâs
yang secara terang-terangan tidak mau mendengarkan Hadîts dari orang yang ia tidak
kenal, karena khawatir periwayat tersebut telah membuat hadîts palsu, Umar bin
Khattâb, Anas bin Mâlik dan Mu’awiyah juga demikian.555 Itulah yang dilakukan
para sahabat dan tâbi’în dalam menjaga Hadîts Nabi SAW dari para pendusta agama.
Tentu tujuannya sebagai upaya pemurnian dan penjagaan syariat Islam dari
pendustaan ahli bid’ah.
Meskipun kodifikasi Hadîts Nabi SAW telah dimulai sejak masa Nabi SAW
dan terbukti ada beberapa sahabat dan tabi’în yang mengkodifikasikan hadits-hadits
yang mereka dengar, namun kodifikasi pada masa itu hanya parsial dan dilakukan
oleh orang per-orang, yakni tidak semua mengkodifikasikan apa yang mereka dengar
dari Rasulullah SAW. Seandainya mereka melakukan kodifikasi secara serempak dan
dipeloporoi oleh pemerintah maka jalan yang dilalui oleh para pemalsu Hadîts tentu
akan terputus.
Pemalsuan Hadîts adalah perilaku haram, Nabi SAW mengancam bagi siapa
yang melakukannya akan duduk di atas tungku api neraka. Maka itu ahli Hadîts,
merumuskan cara-cara mendeteksi hadîts-hadîts palsu, antara lain; dengan cara
melihat pengakuan pemalsu bahwa ia telah melakukan pemalsuan Hadîts Nabi
SAW,556 subyektifitas periwayat, keganjilan dalam materi Hadîts dan lainnya.557
Kesimpulan dari uraian di atas, meskipun terjadi pemalsuan Hadîts pada masa
sahabat dan tâbi’în, akan tetapi sikap buruk ini dapat dicegah dan diidentifikasi,
sehingga hadîts-hadîts palsu yang lahir dari pendusta dapat dibendung dengan cepat.
Bahkan banyak ahli Hadîts yang mengumpulkan hadîts-hadîts palsu dalam satu kitab
555 Akram Dhiya’ al-Umra, Bu’uts fi Tarikh al-Sunnah al-Musyarrafah hal 19-20 فهي ، حديث أربعمائة وضع أنه الزنادقة من رجل عندي أقر « : يقول ، املهدي مسعت : قال ، سليمان بن جعفر عن 556
» الناس أيدي يف جتول lihat al-Baghdâdi, kitâb al-Kifâyah fi Ilm al-Riwâyah, hal. 77 557 al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, hal. 187-189
clxxiv
tertentu, seperti; al-Maudhu’at karya Ibnu al-Jauzi, tujuannya agar umat Islam tidak
terjebak dalam syariat yang salah.
V. Pengaruh pemikiran ibnu Mâlik terhadap ahli Nahwu
Sebagaimana yang disebutkan penulis di awal, bahwa Ibnu Mâlik adalah
ulama Andalusia yang pemikirannya memiliki pengaruh paling besar bagi para ahli
bahasa yang hidup setelahnya. Ini terlihat dari banyaknya ulama yang men-syarh
karya-karya yang ditulis oleh Ibnu Mâlik.
Secara geografis, Mesir dan Syam adalah dua kota yang disebut-sebut paling
banyak merujuk pada pemikiran Ibnu Mâlik, bahkan pengaruh Ibnu Mâlik ini
mengalahkan pengaruh ulama-ulama Baghdad yang nota bene pernah menjadi pusat
ilmu pengetahuan. Di antara karya Ibnu Mâlik yang paling polpuler adalah Alfiyah,
sehingga terkadang ahli bahasa menyebut Ibnu Mâlik dengan sebutan shahibul
alfiyah.558 Bukan hanya pada abad lampau, masa kini pun pemikiran Ibnu Mâlik tetap
hidup, khususnya di Indonesia. Pesantren dan majelis ta’lim banyak menjadikan
Alfiyah sebagai kurikulum wajib bagi santri senior yang hendak mematangkan ilmu
nahwu-nya.
Selain itu banyak ulama bahasa yang mengambil manfaat atau lebih tepatnya
berguru pada Ibnu Mâlik, dengan cara menggali kemampuan yang dimiliki Ibnu
Mâlik, khususnya Qira’ât dan bahasa Arab. Selain putranya yang mengaji pada beliau
yaitu Badruddin Muhammad, ada juga ulama lain yang menimba ilmu dari Ibnu
Mâlik, antara lain; Syamsuddin bin Ja’wân, Syamsuddin bin Abu al-Fath al-Ba’lî,
Ala’ bin al-Aththâr, Zaenudin Abu Bakr al-Mazzy, Syaikh Abu al-Husayn, Abu
Abdullah al-Shayrafî, Badruddin bin Jamâ’ah, Syihâbuddin bin Mahmûd, Syihâbudin
bin Ghanîm, Nashruddin al-Syafi’i, Ibnu Nuhâs Bahâ’uddin Abu Abdillah
Muhammad bin Ibrâhim. Dan ahli Hadîts, seperti Imam Nawawi pun banyak
mengutip pemikiran Ibnu Mâlik, hal ini tercermin dalam salah satu karyanya syarh
558 Untuk lebih lengkap mengenal pengaruh pemikiran Ibnu Mâlik, lihat Muhammad Thanthâwi, Nasy’at al-Nahw wa târîkh Asyhar al-Nuhât, hal 160-174.
clxxv
shahîh Muslim, selain itu ada juga al-Ilm al-Fariqî, Ilmuddin al-Barzalî dan juga
lainnya.559 Meskipun Ibnu Mâlik telah wafat di Damaskus pada 12 Sya’ban di tahun
672 H silam,560 karya Ibnu Mâlik hingga saat ini terus dikaji di berbagai lembaga
pendidikan di seluruh dunia,
Bahkan jika kita mengkaji karya al-Azhari yaitu syarh al-Tashrîh dan al-
Suyûthi dalam karyanya Ham’u al-Hawâmi’, ditemukan di dalamnya pendapat-
pendapat Ibnu Mâlik yang ada pada kitab syarh al-Umdah. Meskipun mereka tidak
menyebutkannya secara langsung, karena pemikiran Ibnu Mâlik memiliki ciri khas
tersendiri, yang berbeda dengan lainnya. Sehingga jika ada yang mengutip
pemikirannya tanpa menyebutkan sumber rujukan, bagi sebagian ahli sangat mudah
untuk memastikan bahwa itu adalah pemikiran Ibnu malik. Di sisi lain, ada juga ahli
nahwu yang secara terang-terangan mengutip pemikiran Ibnu Mâlik dalam syarh al-
Umdah. Misalnya; Ibnu Hisyâm dalam Mughni al-Labîb dan juga al-Asymûni dalam
karyanya Hâsyiyah al-Shibbân.561
Bukti kepopuleran lainnya adalah, banyak para ahli tafsir dan hadîts yang
merujuk pada karya-karya Ibnu Mâlik. Bahkan juga banyak lembaga pendidikan yang
menjadikan karya Ibnu Mâlik -khususnya Alfiyah- sebagai rujukan utama dalam
pembelajarannya. Sehingga ini menjadi bukti kepopuleran tersendiri bagi karya dan
pemikiran Ibnu Mâlik.
Dalam bidang bahasa Hadîts, keluhuran Hadîts sebagai sumber yang kaya
akan dialek Arab lama, tentunya tidak diragukan lagi. Ini dibuktikan oleh beberapa
ahli bahasa, seperti Abi al-Biqâ’i al-‘Akbarî (616 H) dalam karyanya, I’râb al-Hadîts
al-Nabawî, Jamâl al-Din bin Mâlik (672 H) dalam kitabnya Syawâhid al-Tawdhîh li
Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh, al-Mubarrad dalam karyanya Jamharah al-Lughah, al-
Jauhari dalam karyanya al-Shihhâh dan lainnya.
559 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 130 560 Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 134 561 Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 65-66
clxxvi
Menurut Muhammad Dhârî, diakuinya bahasa Hadîts oleh ahli bahasa sebagai
teks bahasa Arab yang memiliki nilai kebahasaan yang sangat tinggi telah
mengundang berbagai ahli bahasa untuk mengkajinya. Sekurang-kurangnya hal itu
menunjukkan pada dua hal; Pertama, tidak dibenarkannya mencela kefashihan dialek
yang ada dalam Hadîts, meskipun itu tidak sesuai dengan kaidah nahwu secara
umum, karena keberadaan lahjat Arab lebih dahulu dari pada kaidah nahwu. Fakta ini
juga merupakan bantahan bagi orang yang mengatakan adanya lahn pada sebagian
bacaan al-Qur’ân dan Hadîts Nabi SAW. Kedua, manfaat dari keberadaan dialek ini,
sesungguhnya untuk meluruskan pendapat sebagian ulama lampau yang mendhaifkan
beberapa lafadz Hadîts, dan menyatakan adanya lahn dalam ungkapan baginda Nabi
SAW, bahkan mengingkari keberadaannya dalam bahasa Arab. Dalam pandangan
Muhammad Dhârî sikap ulama ini disebabkan akan kurangnya mereka dalam
menelaah dan mengkaji kekayaan bahasa Arab.562
Kaitannya dengan otorisasi Hadîts, banyak ahli bahasa yang hidup sezaman
maupun setelah Ibnu Mâlik, berdalil dengan Hadîts dalam berbagai bentuk, baik
dalam bentuk sharaf, nahwu dan lainnya, selama masih dalam naungan kaidah
bahasa. Dan tentunya pemikiran mereka tidak terlepas dari pengaruh pemikiran Ibnu
Malik. Seperti kaidah-kaidah di bawah ini;
i. al-Alfâdz al-Mutarâdhifah
Ucapan Nabi SAW adalah merupakan bahasa terfashih di antara penutur
bahasa lainnya, hal ini diakui oleh Abu Hayyân al-Andalusî (w 745 H) ia menyatakan
bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang paling fashih dalam berbicara bahasa
Arab, Nabi SAW tidak pernah berkata selain dengan bahasa yang fashih, stilistik
yang indah dan popular. Jika ditemukan pada ucapan Nabi SAW bahasa yang tidak
biasa dituturkannya, hal ini semata-mata dilakukan untuk menyesuaikan dengan
lawan bicaranya. Dalam pandangan sebagian ulama, Allah SWT telah mengajarkan
562 Muhammad Dhârî Himadî, al-Hadîts al-Nabawy al-Syarif wa Atsaruhu fi al-Dirâsat al-
Lughawiyah wa al-Nahwiyah, hal. 61-62
clxxvii
bahasa kepada Nabi SAW secara langsung, tanpa bantuan seorang guru.563 Pendapat
demikian dianut oleh beberapa ulama fiqih maupun Hadîts, seperti; al-Râfi’i, al-
Syâfi’i, Ibnu Fâris dan juga ulama lainnya; mereka menuturkan bahwa kefashihan
Nabi SAW dalam berbicara bahasa Arab merupakan tauqify dari Allah SWT.564
Karena itu banyak ditemukan dalam hadîts-hadîts shahîh, dialek-dialek Arab yang
jarang digunakan oleh sahabat Nabi SAW. Fakta ini disebut oleh sebagian ulama
sebagai keunggulan dari Hadîts Nabi SAW.
Di antara permasalahan yang menjadi perhatian ahli bahasa adalah berkaitan
dengan al-Alfâdz al-Mutarâdifah. Ibnu Darastawayh berpendapat bahwa tidak
dibenarkan adanya dua lafadz yang berbeda namun memiliki satu makna, kecuali
kedua lafadz itu berasal dari kaum yang berbeda, karena mustahil dari satu bahasa
ada dua lafadz yang memiliki satu makna.565 Kaitannya dengan ini, ditemukan Hadîts
yang diduga oleh sebagian orang mengandung kata sinonim, padahal kata itu bukan
sinonim dari satu suku Arab, melainkan berasal dari suku Arab yang berbeda,
misalnya kata املدية dan السكني. Kata tersebut terdapat dalam shahih al-Bukhâri yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah.566 Bukan hanya pada sinonim, pada kata antonim
pun Hadîts berkontribusi besar dalam menjaga kata-kata dalam bahasa Arab.567
ii. al-Itbâ’
Di antara sumber dialek adalah al-Itbâ’ yang berarti adanya satu kata yang
mengikuti kata lain dari sisi wazan-nya, dengan maksud untuk menyempurnakan dan
563 Al-Baghdâdi, khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 11-12. 564 Dalam riwayat al-Dailamî, disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengatakan bahwa
pengtetahuannya akan nama-nama yang ada di bumi ini, diajarkan langsung oleh Allah SWT, sebagaimana nabi Adam a.s diajarkan hal yang serupa oleh Allah SWT. Pembahasan selengkapnya lihat; Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 35
565 Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 384 566 هنع الله ضية رريرأبي ه نه عليع لى اللهول الله صسن أن رباب بفذه اء الذئبا جماهنا ابمهعان مأترام تقال كان لمسو
ضى به للكبرى إحداهما فقالت لصاحبتها إنما ذهب بابنك وقالت الأخرى إنما ذهب بابنك فتحاكمتا إلى داود عليه السلام فقفخرجتا على سليمان بن داود عليهما السلام فأخبرتاه فقال ائتوني بالسكني أشقه بينهما فقالت الصغرى لا تفعل يرحمك الله هو ابنها
U (HR al-Bukhâri)المديةU قط إلا يومئذ وما كنا نقول إلا UلسكنيUبو هريرة والله إن سمعت باقال أ فقضى به للصغرى567 Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 384
clxxviii
memperkuat kata sebelumnya,568 Hadîts pun ikut serta dalam melestarikan itba’.
Sabda Nabi SAW membuktikan akan hal itu; إنه حار يار. Menurut al-Kisâi’ kata يار
merupakan itba’, karena ia tidak bermakna, keberadaannya hanya memperkuat dan
mempertegas kata sebelumnya.569
iii. al-Qalb
Dalam pemikiran ilmu nahwu, disebutkan bahwa melahirkan kata dari asalnya
disebut dengan Isytiqâq, sedangkan membalikkannya dalam berbagai wazn disebut
tashrif. Isytiqâq kabir dilandasi dengan al-Qalb dan isytiqâq akbar dilandasi dengan
ibdal.570 Sebagian ulama bahasa menyatakan bahwa telah terjadi qalb dalam dialek
Arab, yaitu membalikkan satu huruf dengan huruf sesudahnya yang berada dalam
satu kata. Bentuk dialek ini tetap dilestarikan dalam teks Hadîts Nabi SAW,
diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah mengatakan kata571 الطبيخ, menurut Ibnu
Duraid dalam kata ini telah terjadi Qalb yaitu antara huruf thâ’ dan ba 572.البطيخ Ini
menunjukkan bahwa orang Arab terkadang berbicara menggunakan qalb.
Kendati demikian kaidah ini tidak terlepas dari pada kontroversi, Ibnu
Darastawayh misalnya; ia di antara orang yang menentang telah terjadinya qalb pada
kata tersebut. Menurutnya kata الطبيخ dalam Hadîts tersebut berbeda dengan kata البطيخ,
maka itu menurutnya apa yang disangkakan oleh sebagian orang telah terjadi qalb
pada kata yang ada dalam teks Hadîts tersebut merupakan pendapat yang salah.573
568 Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 414 569 Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 415 570 Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyât al-Lughah al-Arabiyah, (Kairo: Maktabah
al-Da’wah al-Islamiyah 1980), cet. Ke-1, hal. 120 P571P الشك من أمحد « ، » أو البطيخ بالرطب الطبيخأن النيب صلى اهللا عليه وسلم كان يأكل « عن أنس بن مالك«
(HR Ibnu Hibbân) 572 Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 477 573 Al-Suyûthi, al-Muzhir, juz. 1, hal. 481
clxxix
iv. Jama’ Taksir
Jamak taksir adalah bagian dari pembahasan ilmu sharaf, disebut jamak taksir
karena jamak ini mengalami perubahan dari bentuk awalnya yaitu mufrad. Perubahan
jamak taksir ini adakalanya melalui proses penambahan dan pengurangan huruf.
Adakalanya juga melalui perubahan bunyi, baik dengan penambahan maupun
pengurangan.574 Dari tiga puluh sembilan bentuk jamak taksir, tidak semuanya
terdapat dalam al-Qur’ân.575 Dan dalam hal ini, Hadits ikut serta menjaga bentuk-
bentuk jamak taksir ini.
Dalam Hadîts ditemukan kata yang berbentuk jamak taksir, di antaranya
Hadîts Nabi SAW yang berkaitan dengan istisqâ’.576 Dalam Hadîts tersebut terdapat
ungkapan االعبد yang merupakan jamak dari دالعب , padahal selain itu ia telah memiliki
jamak seperti; ادالعب dan دبيالع. Hal itu setidaknya menunjukkan keberadaan jamak
taksir yang menyalahi qiyâs yang telah ditetapkan bagi jamak taksir, dan ini bukanlah
bahasa yang buruk dan aib. Karena ada beberapa kata lain yang dalam rumusan qiyâs
tidak ditemukan, misalnya; untuk jamak dari kata بيص Hadîts menggunakan bentuk
jamak ,Ibnu al-Atsîr menyatakan bahwa bentuk jamak tersebut adalah sah . صبوة
meskipun diakui kata jakam ةبيص (menggunakan ya’) lebih banyak digunakan.577
v. Shighah dan binâ’ lafadz
Yang sangat nampak perbedaan dialek bahasa Arab dengan dialek lainnya
adalahditentukan dari bentuk bina’ dan shighah pada suatu lafadz. Satu lafadz
memiliki binâ’ dan shighah lebih dari satu, sebagaimana terjadi dalam al-Qur’ân pada
574 Musthafa Ghalayini, Jâmi’ al-Durûs al-Arabiyyah, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah 1994), cet. Ke-30, juz. 2, hal. 28
575 Untuk mengetahui perilaku jamak taksir dalam al-Qur’ân, lihat tesis Mamat Zaenudin, Jama’ Taktsir: studi analisis perilaku gramatikal dan semantik jamak taksir dalam al-Qur’ân (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2003) –xii, 167 p. T 871
,Ibnu al-Atsîr جمع العبد كالعباد والعبيد: القصر واملد العبدا ب]هؤالء عبداك بفناء حرمك [ حديث االستسقاء 576al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 3, hal. 154
577 Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 3, hal. 10
clxxx
kata578 احلج ada yang menggunakan fathah (al-Hajju) ada juga yang menggunakan
kasrah (al-Hijju). Hal ini juga terjadi juga pada Hadîts Nabi SAW. Bahkan lebih dari
itu, perbedaan dialekterlihat dari bedanya dalam bina’ lafadz terjadi dalam bentuk
perbedaan huruf, tidak pada harakat sebagaimana contoh di atas. Seperti ditemukan
pada teks Hadîts Nabi SAW dalam kalimat,579 yang merupakan salah satu dari أضحاة
empat dialek dari kata 580.أضحية
هر معلوماتالحج أشlihat QS Ali Imran 97. (menggunakan kasrah) البيتحجولله على الناس 578
(menggunakan fathah) lihat QS al-Baqarah 197. 579 (HR al-Nasâ’i) امت في كل عيل بلى أهاةإن عحأض 580 Hadist di atas menggunakan salah satu dari empat bahasa pada kalimat أضحية yaitu; أضحية,
ياضحا jama’nya ضحية dan أضاحي bentuk jama’nya أضحية dan أضحاة jama’nya أضحي. Lihat Ibnu al-Atsîr, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, juz. 3, hal. 70.
clxxxi
BAB VI PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hadits adalah sumber otoritaf bagi kaidah Nahwu. Meskipun diakui bahwa
pada masa ahli nahwu klasik pun Hadîts telah menjadi sumber kaidah nahwu, hanya
saja porsi yang diberikan ahli nahwu klasik pada Hadîts Nabi SAW, tidak sesuai
dengan kedudukannya sebagai teks bahasa yang paling fashih dibandingkan dengan
lainnya.
Tesis ini sesungguhnya menentang pemikiran ahli nahwu masa kini
Muhammad al-Khadr Husayn, bahwa hadits-hadits yang dapat dijadikan sumber
kaidah nahwu adalah hadits mutawatir, shahih dan hanya berupa hadits qauli, bukan
hadits fi’li atau hadits taqriri. Dan tesis ini memperkuat pendapat Thaha Rawi bahwa
seluruh Hadits dalam berbagai kitab hadits yang masyhur dapat dijadikan sebagai
dalil nahwu tanpa syarat dan ketentuan sebagaimana yang disampaikan ahli nahwu
lainnya.
Pertentangan akan otorisai hadits ini sesungguhnya juga terjadi pada masa
Ibnu Malik, sikap Ibnu Mâlik (w 672 H) yang berani menyatakan bahwa Hadîts
adalah sumber kedua setelah al-Qur’an, menuai kritikan dari ahli nahwu yang hidup
sezaman dan setelahnya. Seperti Abu al-Hasan al-Dha’i (w 680 H) dan Abu Hayyan
(w 745 H). Para penentang pemikiran Ibnu Mâlik ini beralasan bahwa lafadz yang
ada pada Hadîts Nabi SAW adalah bukan lafadz Hadîts Nabi SAW sesungguhnya.
Karena dalam ilmu Hadîts para ulama membolehkan meriwayatkan Hadîts dengan
makna. Alasan kedua adalah, periwayat Hadîts lebih banyak berasal dari kalangan
Ajam. Sehingga dikhawatirkan lafadz yang diriwayatkan oleh mereka bercampur
dengan bahasa yang tidak fashih.
Untuk memperkuat pendapat Thaha Rawi di atas, dalam tesisi ini dianalisa
pemikiran Ibnu Mâlik tentang otorisai hadits sebagai sumber kaidah nahwu, dalam
penelitian ini karya-karya Ibnu Mâlik di bidang nahwu, seperti Syawahid al-Taudhih,
clxxxii
Syarh al-Umdah, Syarh al-Kafiyah menjadi data primer yang menjadi informan
original yang menceritakan akan pemikiran Ibnu Mâlik. Kaidah-kaidah yang
bersember dari Hadîts dalam karya-karya tersebut kemudian dianalisa perilakunya.
Sehingga menghasilkan pandangan Ibnu Mâlik akan otorisasi Hadîts sebagai dalil
kaidah Nahwu
Setelah menganalisis kontroversi otorisasi Hadîts sebagai sumber kaidah
nahwu dengan mengkaji alasan-alasan yang dikemukakan oleh masing-masing
kelompok. Dan juga setelah menganalisis perilaku Hadîts dalam karya-karya Ibnu
Mâlik dalam bidang nahwu, seperti syarh al-Umdah, Syarh al-Kâfiyah dan Syâwahid
al-Taudhîh. Dapat disimpulkan bahwa;
1. Dalam pandangan Ibnu Mâlik Hadits adalah sumber otoritaf bagi kaidah
Nahwu meskipun ada beberapa teks Hadîts yang memiliki redaksi yang
beragam, menurutnya kesemuanya dapat dijadikan dalil Nahwu. Pemikiran ini
diwujudkan dalam karya-karya Nahwu-nya, yang selalu menonjolkan Hadîts
dan mengedepankannya jika bertentangan dengan sumber lain yang kualitas
bahasanya di bawah Hadîts seperti syair, qiyas dan lainnya.
2. Ibnu Mâlik adalah ahli nahwu pertama yang mengembangkan konsep berdalil
dengan Hadîts dalam pembentukan kaidah nahwu. Sehingga kehadirannya
melahirkan berbagai kontroversi di kalangan ahli Nahwu. Meskipun demikian
karya-karyanya tetap menjadi rujukan utama di kalangan ahli Hadîts dan Tafsir,
terlebih bagi ahli Nahwu yang hidup setelahnya.
3. Ibnu Mâlik adalah ulama yang Mutasahhil dalam berdalil dengan Hadîts. Ini
dibuktikan dalam pengunaannnya terhadap seluruh Hadîts sebagai dalil Nahwu,
tanpa mempertimbangkan adanya riwayat lain yang semakna dengan Hadîts
yang ia gunakan. Karena dalam pandangan Ibnu Mâlik setiap teks Hadîts yang
ada dalam kitab Hadîts adalah dalil kaidah Nahwu, meskipun penuturnya dari
kalangan sahabat, tabi’in atau bahkan bukan Muslim sekalipun, seperti Abu
Jahal.
clxxxiii
4. Kaidah yang bersumber dari Hadîts yang ada dalam karya-karya Ibnu Mâlik
memiliki peran yang beragam. Ada yang sebagai penguat atas kaidah yang ada
yang bersumber selain dari Hadîts. Ada yang sebagai penentang atas kaidah
yang ada yang lahir dari ahli nahwu klasik. Selain itu ada juga yang merupakan
kaidah orisinil, yang belum ada sebelumnya. Dan hanya muncul dari Ibnu
Mâlik, dengan berdasarkan Hadîts Nabi SAW
5. Pemikirin Ibnu Mâlik di atas, tidak terlepas dari kritikan ahli nahwu yang
hidup sezaman atau yang jauh setelahnya. Alasan yang dikemukakan oleh
penentang Hadîts sebagai dalil kaidah Nahwu yang antara lain; Pertama,
adanya toleransi dalam meriwayatkan Hadîts dengan makna. Kedua, periwayat
mayoritas berasal dari Ajam. Ketiga, adanya tashhîf dalam Hadîts. Keempat,
terjadinya pemalsuan Hadîts. Kesemuanya telah dibantah oleh para ahli Hadîts
maupun ahli Nahwu.
Alasan-alasan tersebut tentu saja dibantah oleh para pengikut Ibnu Mâlik,
dengan bantahan sebagai berikut; Bolehnya meriwayatkan Hadîts dengan makna
hanya terjadi pada masa awal kedatangan Islam, dan masyarakat pada masa itu masih
menggunakan bahasa fashih. Sedangkan tuduhan bahwa mayoritas periwayat dari
kalangan Ajam telah dibuktikan oleh ahli sejarah, bahwa periwayat Hadîts mayoritas
berasal dari Arab. Adapun adanya pemalsuan dan tashhîf dalam Hadîts adalah
merupakan penyakit yang sudah terobati, yaitu dengan adanya syarat dan ketentuan
yang ketat yang ditetapkan ahli Hadîts dalam metode penerimaan dan periwayatan
Hadîts.
Sesungguhnya selain dalam karya-karya nahwu Ibnu Mâlik, Hadîts juga
banyak terdapat dalam karya-karya nahwu yang ditulis oleh ahli Nahwu pada awal
lahirnya kaidah Nahwu. Diawali dari Sybawaih hingga saat ini. Hanya saja kuantitas
Hadîts yang mereka gunakan tidak sebanding dengan jumlah Hadîts yang ada.
Namun sedikitnya jumlah Hadîts yang digunakan ahli nahwu klasik tidaklah
menunjukkan bahwa mereka menentang Hadîts sebagai dalil nahwu.
clxxxiv
Karena itu, apabila Imam al-Syâfi’i (w. 204 H) pada masa klasik dijuluki
Nâshir al-Sunnah (pembela sunnah) oleh warga kota suci Makkah, karena beliau
berhasil mematahkan argumentasi para pengingkar sunnah. Dan pada masa kini.
Muhammad Musthafa al-A’zami dijuluki sebagai pembela eksistensi Hadîts karena
beliau berhasil meruntuhkan kelompok orientalis yang menolak Hadîts berasal dari
Nabi Muhammad SAW. Maka sesungguhnya Ibnu Mâlik (w. 672 H) lebih layak
diberi gelar pembela keluhuruan bahasa Hadîts Nabi SAW, karena berhasil
mendobrak pemikiran dan tradisi ulama nahwu dalam Ihtijâj bi al-Hadîts.
B. SARAN
Setelah mengamati seluruh kandungan tesis ini, maka penulis menyarankan
kepada siapa saja yang cinta akan ilmu Nahwu, untuk melengkapi kajian ini. Karena
banyak hal yang masih perlu dilanjutkan dan dituntaskan berkenaan dengan judul
tesis ini. antara lain;
1. Sumber primer yang digunakan dalam kajian ini tidaklah merupakan
seluruh karya Ibnu Mâlik, maka itu perlu untuk dikaji juga sumber lain yang ditulis
Ibnu Mâlik dalam bidang Nahwu.
2. Selain karya-karya Ibnu Mâlik, penting juga untuk menganalisa perilaku
Hadîts dalam karya-karya ahli Nahwu kontemporer. Sehingga akan terlihat perbedaan
pandangan mereka dan ahli Nahwu klasik dalam menggunakan Hadîts sebagai dalil
kaidah Nahwu.
3. Untuk mengkaji sejauh mana pengaruh pemikiran Ibnu Mâlik dalam kaidah
Nahwu yang bersumber dari Hadîts dalam menginterpretasi ayat al-Qur’ân dan
Hadîts Nabi SAW.
Demikianlah kesimpulan dan saran yang dapat disampaikan. Harapan penulis
semoga karya ini bermanfaat bagi pecinta ilmu dan masyarakat umumnya. Dan
semoga karya ini menjadi tambahan informasi khususnya bagi para pengkaji karya-
karya Ibnu Mâlik dalam bidang nahwu dan juga para pengkaji Hadits. Wa Allah
A’lam[]
clxxxv
DAFTAR PUSTAKA
Adonis, An Introduction to Arab Poetics, (Texas, University of Texas, Austin 1990)
Al-Anbârî, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf (Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 1998),
cet.Ke-1
Al-Alûsî, Sayyid Mahmûd Syukry, Ittihâf al-Amjâd fi mâ Yashihhu bihi al-Isytisyhâd,
(Baghdad; Mathba’ah al-Irsyâd 1982)
Anis, Ibrahim, Fi al-Lahjât al-Arabiyah, (Kairo: Maktabah al-Mishriyah) cet. Ke-4
Al-As’ad, Abdul Karim Muhammd. al-Wasîth fi Târikh al-Nahwi al-‘Araby (Riyâd;
Dar al-Shawâf 1992) cet 1
Al-Askari, Tashhîfât al-Muhadditsîn, (Kairo: al-Maktabah al-Arbiyah al-Haditsah
1982), cet. Ke-1
Aththâr, Ahmad Abdul Ghofur, Difâ’ an al-Fushha (Makkah; 1979), cet.Ke-1
Al-Aziz, Musthofa Abd. al-Madzâhib al-Nahwiyyah fi Dhay’i al-Dirasat al-
Lughowiyah al-Hadîtsah (Makkah; Maktabah al-Faysholiyah 1986), cet.Ke-1
Al-A’zami, M. Musthafa. The History of the Qur’anic text. Terjemah Ali Mustafa
Yaqub, Sejarah Teks al-Qur’an (Jakarta; Gema Insani 2005), cet. Ke-1
-----------, Dirâsat fi al-Hadits al-Nabawi wa Târikh Tadwinih, (Beirut: al-Maktab al-
Islami 1992)
Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab wa Lubb Lubâbi , (Kairo: Dar al-Madani 1989),
cet. Ke-3
--------------, Kitâb al-Kifâyah fi Ilm al-Riwâyah (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
1988)
Al-Baihaqi, al-Asma’ wa al-Shifat, (Kairo: Dar al-Hadits 2002)
Al-Daminî, Musfir. Maqoyîs Naqd Mutûn al-Sunnah, (Riyadh 1984) cet 1
clxxxvi
al-Dâwûdi, Al-Hafidz Syamsuddin, Thabaqât al-Mufassirin, (Beirut: Dar al-Kutub
al-
Ilmiyah 2002), cet. Ke-1
Al-Dîn, Ahmad Husayn Syaraf, al-Lughoh al-‘Arabiyyah fi Ushûr ma Qobla al-
Islâm (1970)
Dhayf, Syauqî, al-Madâris al-Nahwiyyah (Mesir; Dar al-Ma’ârif ), cet.Ke-3
-----------------, Kitâb al-Radd ala al-Nuhat, Li Ibni Madho’ al-Qurthuby (Dar al-
Ma’ârif), cet.Ke-3
Fajâl, Mahmud. al-Hadîts al-Nabawy fi al-Nahwi al-‘Aroby (Riyadh; Adwa’ al-Salaf
1997), cet. Ke-2
------------------, al-Sayr al-Hatsîts ila al-Isytisyhâd bi al-Hadîts fi al-Nahwi al-Araby
(Riyadh; Adwa’ al-Salaf 1997), cet. Ke-2
-------------------, al-Ishbah fi Syarh al-Iqtirâh, (Damaskus; Dar al-Qolam 1989),
cet. Ke-1
Ghalayini, Musthafa, Jâmi’ al-Durûs al-Arabiyyah, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah
1994)
Hasan, Abbas, Al-Lughah wa al-Nahwu Bayna Al-Qodîm wa Al-Hadîts ( Mesir; Dar
al-Ma’ârif), cet. Ke-2
Handawi, Hasan. Manâhij al-Shorfiyyîn wa Madzâhibuhum (Damaskus;Dar al-Qolam
1989), cet. Ke-1
Hammud, Khadr Musa Muhammad, Al-Nahwu wa al-Nuhât, (Beirut; Alam al-Kutub
2003), cet. Ke-1
Hamadî, Muhammad Dharî. Al-Hadîts al-Nabawy al-Syarîf wa Atsaruhu fi al-
Dirâsat al-Lughowiyyah wa al-Nahwiyyah (Baghdad 1982 M), cet. Ke-1
Hassânayn, Afâf, Fi Adillah al-Nahwi (Kairo: al-Maktabah al-Akadimiyyah 1996)
Hijazy, Mahmud Fahmy. Ilm al-Lughoh, madkhol tarikhy muqoron fi dhau’i al-turots
wa al-lughot al-samiyyah, (Kuwait, Wikalah al-Mathbu’ah)
Hilâl, Abdul Ghaffâr Himâd, al-Lahjât al-Arabiyyah, nasy’atan wa tathawwuran,
(Kairo: Maktabah Wahbah 1993), cet. Ke-2
clxxxvii
Al-Ibady, Ahmad Mukhtar, Tarikh al-Maghrib wa al-Andalus, (Beirut; Dar al-
Nahdhah al-Arabiyyah)
Ibnu al-Imâd, Syadzarât al-Dzahab fi Ikhbari man Dzahab, (Beirut: Dar al-Fikr 1994)
Ibnu Mâlik, Syawâhid al-Tawdlîh wa al-Tashhîh, (Beirut; ‘Alam al-Kutub 1983), cet.
Ke-3
-------------, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, (Baghdad; Mathba’ah al-
‘Any 1977)
------------, Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah, (Makkah: Dar al-Ma’mun 1982), cet. Ke-1
Ibnu Faris, al-Shâhiby fi fiqh al-Lughah al-Arabiyyah, (Beirut; Maktabah al-Ma’arif
1993), cet. Ke-1
Ibrahim Musthafa, Ihya’ al-Nahwi (Kairo; Dar al-Kitab al-Islamy 1992), cet. Ke-2
Ibnu Jinnî, al-Khashaish, (Beirut; Dar al-Huda ), cet. Ke- 2
Ibnu Abi Hasyim, Akhbâr al-Nahwiyyin (Dar al-I’tisham 1981), cet. Ke-1
Ibnu Mandzûr, Lisân al-Arab (Dâr al-Ma’ârif)
Ibnu al-Atsir, al-Nihayah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar (Beirut; Dâr al-Kutub al-
Ilmiyah 1997) cet 1
Ibnu Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, (Beirut; Dar al-Fikr)
Ibnu Khalkân, Wafayât al-A’yân wa Abnâ’u Abanâ’i al-Zamân, (Beirut: Dâr al-Fikr)
Ibnu Aqîl, Syarh Ibnu Aqîl ala Alfiyah Ibn Mâlik, (Beirut; al-Maktabah al-Ashriyyah
1988)
Ibnu ‘Aqîl, al-Musâ’id ala Tashhîl al-Fawâ’id, (Damaskus: Beirut 1982) cet. Ke-1
Ibnu Hisyâm, Audhoh al-Masâlik ila Alfiyah Ibn Mâlik, (Beirut; Dar Ihya’ al-
Turats1966), cet. Ke-6
Ibnu Hisyâm, Syarh Syudzûr al-Dzahâb fi ma’rifat kalâm al-‘Arab (Makkah: Dar al-
Baz)
Ibnu al-Bâdzis, kitâb al-Iqnâ’ fi al-Qirâ’at al-Sab’i, (Damaskus: Dar al-Fikr 1402 H),
cet. Ke-1
Ibnu Duraid, Jamharah al-Lughah, (Dar al-Shadir)
Al-Irâqy, Alfiyah al-Hadîts, (Kairo; Maktabah al-Sunnah 1988), cet. Ke-2
clxxxviii
----------, al-Taqyîd wa al-Idhâh Syarh ‘Ulûm al-Hadîts (Makkah, Maktabah al-
Tijâriyah 1993), cet. Ke-1
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, al-Manâr al-Munîf fi al-Shahîh wa al-Dlaîf (Beirut; Dar
al-Kutub al-Ilmiyah 1988)
al-Janâbi, Ahmad Nashîf, al-Dirâsât al-Lughawiyyah wa al-Nahwiyyah fi Mishr,
(Kairo: Dâr al-Turâts 1977)
al-Jawabi, Muhhamd Thahir, Juhud al-Muhadditsin fi Naqdi Matn al-Hadits al-
Nabawi al-Syarif (Muasasah Abdul karim1986)
al-Jauhari, al-Shihâh Tâj al-Lughah wa Shihâh al-Arabiyah, (1982),
al-Khatîb, Muhammad Ajâj, al-Sunnah Qabla Tadwîn, (Beirut, Dar al-Fikr 1990),
Al-Maqqâri, Nafh al-Thîb min Ghushni al-Andalusi al-Rathîb (Beirut; Dar Shadir
1968)
Al-Mubarrad, al-Muqtadhab (Kairo: 1399 H
Al-Nîsâbûrî, Muslim, Shahîh Muslim, (Beirut; Dâr al-Fikr 1992), cet. Ke-1
Nahlah, Mahmûd Ahmad. Ushûl al-Nahwi al-Araby (Dâr al-Ma’rifah al-Jâmi’iyyah
2002)
Nâshif, Ali al-Najdi, Sybawaih Imâm al-Nuhât, (Kairo; Alam al-Kutub)
Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur’ân, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1993)
Al-Rajihy, Abduh. Durûs fi al-Madzahib al-Nahwiyyah (Beirut; Dar al-Nahdhah
1980)
Al-Rûmî, Fahd. Khoshoish al-Qur’ân, (Riyâdh; 1410 H) cet 5
Al-Suyûthi, Al-Muzhir fi Ulûm al-Lughoh wa Anwâ’uha (Kairo; Dar al-Turôts ) cet 3
-------------, Kitâb al-Iqtirôh fi Ilmi Ushûl al-Nahwi (1988) cet 1
-------------, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damaskus: Dâr Ibnu Katsîr 1996), cet. Ke-
3
-------------, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr 1993),
-------------, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, (Beirut:
Maktabah al-Ashriyah 2003),
clxxxix
Al-Syâir, Hasan Musa. al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy (Wazârah al-Tsaqofah wa
al-Syabâb 1980), cet. Ke-1
Al-Syalqany, Abd al-Hamid. Mashâdir al-Lughoh, (Riyâdh; Jami’ah al-Riyâdh 1980
M), cet. Ke-1
Sulthany, Muhammad Alî. Syawâhid al-Nahwiyyah li Buhuts al-Alfiyah (Damaskus
Dar al-Ashama’ 2001), cet. Ke-1
Sya’ban, Kholid Sa’ad Muhammad, Ushûl al-Nahwi Inda Ibni Mâlik (Kairo;
Maktabah al-Adab 2006), cet. Ke-1
Sallûm, Dâwud. Dirâsat al-Lahjât al-Arabiyyah al-Qadîmah (Beirut; Maktabah al-
Nahdhah al-Arabiyyah 1987), cet. Ke-1
Syâhîn, Taufiq Muhammad. Awâmil Tanmiyat al-Lughoh al-Arabiyyah, (Kairo;
Maktabah Wahbah 1993), cet. Ke-2
Syâkir, Ahmad Muhammad, al-Bâ’its al-Hatsits Syarh Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts li
Imam Ibn Katsîr, (Beirut, Dar al-Fikr 1983), cet. Ke-1
Al-Syâfi’î, al-Risâlah, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts 2005), cet. Ke-3,
Shihab, M. Quraish, Mukjizat al-Qur’ân (Bandung; Mizan 2003), cet. Ke-14
Al-Thawil, Sayid Rizki. Al-Khilâf Bayna al-Nahwiyyin (Makkah; Maktabah al-
Fayshaliyah 1985), cet. Ke-1
Al-Thanthawy, Muhammad, Nasy’at al-Nahwi, (Dar-al-Manâr 1991)
Al-Tirmisi, Manhaj Dzawi al-Nadzar, (Beirut: Dar al-Fikr 1995)
al-Umra, Akram Dhiya’, Bu’uts fi Tarikh al-Sunnah al-Musyarrafah (Muassasah al-
Riaslah 1975) cet. Ke-3
Wafî, Ali Abd al-Wahid. Fiqh al-Lughah, (Kairo; Dar al-Nahdhah), cet. Ke-8
Ali Mustafa Yaqub Sejarah, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka
Firdaus 2000), cet. Ke-2
Yâqût, Mu’jam al-Udabâ’ (Beirut; Dâr al-Fikr 1980), cet. Ke-3
Zaydân, Jurjy. al-Falsafah al-Lughowiyah wa al-Alfâdz al-Arabiyyah (Dâr al-Hilâl)
-----------------, Al-Lughoh al-Arabiyyah Kâ’in Hayy, (Beirut; Dâr al-Jîl 1988), cet.
Ke-2
cxc
Al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tth)
Al-Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn (Mesir; Dar al-Ma’ârif), cet.
Ke-2
Al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil (Beirut: Dar
al-Fikr: 1977), cet. Ke-1
DAFTAR HADITS
Hal Kaidah Penutur Teks Hadits 65 Ciri Isim Nabi SAW سلي من برام امصيفر في امسام 67 Fi’il Syarth Nabi SAW غفر ا لهم مقدت به منذن نم قملة ير ليا القدانا إميابتساحو 68 al-af’al al-khamsah Nabi SAW واابحى تتوا حمنؤلا توا ومنؤى تتة حنالج UلواخدتU لا 71 Khabar setelah
laula Nabi SAW لاك لومديث قوح مهدهربكف ع تقضة لنبالكع لتعا فجن لهيابب
71 Al-Asma al-Sittah Nabi SAW هبرض قد هدجود فوعسم ناب طلقفان Uلهو جبUأ عنا صم ظرني نمUلها جأبU تفقال آن درى بتاء حفرا عناب
72 Al-Asma al-Sittah Nabi SAW لوفك فملخريح المس الى منعالله ت دعن بائم أطيالص 73 Al-Asma al-Sittah Nabi SAW ىزعاء تزة بعاهليالج وهن فأعضلا أبيه بهوا وكنمن ت 75 Hadzf al-Harf Nabi SAW اهللالست بنيبء اهللا ، ولكين نيب 77 Khabar jumlah Nabi SAW ل لاولا حة وبالله إلا قو زكن وز منة كننالج 78 Taqdim al-khabar Nabi SAW ; لأفضا وم ا قلتون أنبيالنو لي منلا قب إلا إله الله هدحلا و ريكله ش 80 Taqdim al-khabar Nabi SAW امرأة له ليس رجل ، مسكني مسكني مسكني 81 Taqdim al-khabar Nabi SAW نيهعي ن منسلام حء إسرالم كهرا تلا م . 81 Hadzf al-khabar Nabi SAW با أقركون مي دبالع ه منبر وهاجد وس 82 Naib al-fail Nabi SAW أمرل ور بقتتذي الأبن ويتالطفي 82 Al-munada Nabi SAW جنيت ا مبيدي هذه رب فؤادي بك وآمن وسواديخيايل لك سجد
. ادفع عين كل عظيمعظيم لكل ترجى اعظيم يا نفسي على 83 Mutsanna Nabi SAW لةان في ليرلا وت 84 Al-Istitsna Nabi SAW ماينيطاللش لغ سلاح منفي أب الحنيالص اء منسون إلا النجوزتالم 85 Isim al-Tafdhil Nabi SAW لأن لسجي كمدلى أحمجرةع ريخ له أن من لسجلى ير عقب
cxci
88 Hadzf harf fa Nabi SAW كذ أن إنتر كثتراء وأغني ريخ أن من مهذرالة تع 89 Hadz harf awamil Nabi SAW ةنيالب أو دفي ح ركظه 90 Fi makna ta’lil Nabi SAW أة أنرام لتخد ارة في النهر 94 Al-Mamnu’ min
al-Sharf Nabi SAW اللهم ايد سوح انحس برالقد
95 Na’at man’ut Nabi SAW انحبلك سوس المالقد 97 Idhafah Nabi SAW اطم ربولة يليل وأفض ام منر صيهامه شقيو . 98 - Nabi SAW ليوني أصمتأيا رلوا كمص 99 - Nabi SAW "فما املخيلة فقال : فقال" ة إياك و املخيل ،عرب يا رسول اهللا، حنن قوم
"سبل اإلزار" صلى اهللا عليه وسلم 100 - Nabi SAW لاا وهعدي دبع بيدي منع افتي منخا إلا مهتقيس اهإي ة منظريس حالقد . 102 - Nabi SAW لا قولني كمدأح خثتفسي بن لكنقل ولي تفسي لقسن
102 - Nabi SAW ال قولني كمددي أحبع فكلكم بيدالله ع لكنقل ولي ايفت
سيدي ليقل ولكن ربي العبد يقل ولا104 Idhafah Nabi SAW لفه متارك أناحبي لي وتص 106 Nabi SAW وا لابكتي تنع نمو بكت يعن رآن غيالقر هحمفلي 111 Idhafah Nabi SAW للاة فضاك الصولى بالسلاة عر الصياك بغسو عنيبالة سص 112 Tamyiz جرخال يجتي في الدث أملبفي فيهم عنيبري لا أرأد عنيبأر
شهر أربعني أو ليلة أربعني أو سنة أربعني أو يوما113 Tamyiz ; ىول قضسلى الله رص ه اللهليع لمسة في وطإ ديالخ
رينعش تاض بنخم ورينني عشاض بخا مذكور رينعشو تون بنلب رينعشة وذعج
114 Makna tsumma Nabi SAW ريل أنل جبزلى نلى فصول فصسلى الله رص ه اللهليع لمسو لى ثملى صول فصسلى الله رص ل اللههعي لمسو لى ثملى صول فصسر ثم وسلم عليه الله صلى الله
115 Makna hatta Nabi SAW ء كليش اء وربقضى قدتز حجس العالكيو س أوالكي والعجز
116 Hadzf harf waw Nabi SAW قدصل تجم راره ندين مه منهدر به منثو اع منه صرب من تمره صاع
116 Maf’ul ma’ah Nabi SAW فكي متة أنأئمو دي منعون بأثرتسذا يء بهالفي 118 Taukid Nabi SAW اكم جاتنالإبل ت ة منهيماء بعمج 121 - Aisyah ول نسلى الله رص ه اللهليع لمسو لم كني درسديث يالح
cxcii
دكمركس 122 - Nabi SAW فقد طبخي امالإمة وعمالج موي صتأن احبكلص إذا قلت
ة لغيتلغ اد هينو الزقال أبتولغ فقد وا همإنة وريرأبي ه 123 Badal لأى هر هبر زل عجي قال وفإن قد هألتفقال س قد هتأيا رورن
أراه أنى125 Hadzf tanwin توغز عول مسالله ر ات ستوغز أو عبا سووأ تغز انيثم 125 - Nabi SAW إن الله مرح كمليع قوقات عهالأم أدوات ونالب عنمات وهو
126 Itsna atsar اقنا ففراثن رشال عجر لينظرن قوم إىل رم اليضامون يف رؤيته كما ينظرون إىل - 127
.القمر130 Hadits qauli لو فقأنكمدد مثل احا أحبذه 131 Hadits fi’li Jabir bin
Abdillah نسيئة بالحيوان الحيوان بيع عن وسلم عليه الله صلى الله رسول نهى بواحد اثنين
132 Hadits mauquf Aisyah هن لرج ى أسيفتم قمي كقامم قر 132 Mata syarthiyyah Abu Jahal ىتم اكري اسالن قد لفتخت 132 al-af’al al-khamsah وناقبعتي لائكة فيكمم 137 Hadzf harf nida ثويب حجر 137 Hadzf harf nida اشتدي أزمة تتفرجى 132 Mata syarthiyyah Abu Jahal ىتا مم اكري اسالن قد لفتخت تأنو ديل سادي أهالو
cxciii
Riwayat Hidup Penulis Nama : Aang Saeful Milah Tempat,Tgl, lahir : Tasikmalaya 11 Desember 1981 Orang tua : Abdul Hakim dan Yayah Juwariyah Status : Menikah Istri : Hj. Nendah Nurjannah. S.Sos. Anak : Saqy Fatih Ulwan Pekerjaan : Guru dan Dosen Bahasa Arab Alamat : Jl. H. Taqwa Jati Makmur, Pondok gede, Bekasi.
Hp: 081317416590. Email; [email protected]
• PENDIDIKAN
SDI Nurul Ikhlas. Jakarta Utara 1994 MTs Pesantren Modern Darul Ulum lido. Bogor 1997 MA Pesantren Modern Darul Ulum lido. Bogor 2000 Pesantren Tahfidz Manba’ al-Furqon. Bogor 2005 S1 Dirasat Islamiyah (Prog. Internasional). (S.S.I) -Kerjasama UIN Jakarta & Al Azhar Cairo, Mesir- 2005 S1 Hadits dan Ilmu Hadits (Lc) -Pesantren luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah, Ciputat- 2006 S2 Pendidikan Bahasa Arab -Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah- 2009 • PENGALAMAN
Relawan Zakat Dompet Dhuafa Republika 2004 Pimpinan Rumah Belajar Bait al-Hikmah 2005 Instruktur Pesantren Kilat al-Hikmah, Bank Indonesia 2005 Penerjemah Buku Berbahasa Arab 2005 Pengajar di Sekolah Islam Akselerasi Al Marjan 2007
cxciv
Pengajar di Ma’had Aly As Syafi’iyah 2008 Kontributor/Penulis di H.U Republika Sekarang Pemimpin Redaksi Buletin JERNIH Sekarang Dosen Bahasa Arab STAI Bina Madani Sekarang Dosen Agama Islam Universitas Az Zahra Sekarang
cxcv