Download - Pajak Dan Retribusi Daerah
PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH
Pajak dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah telah dipungut di
Indonesia sejak awal kemerdekaan Indonesia. Sumber penerimaan ini terus dipertahankan
sampai dengan era otonomi daerah dewasa ini. Penetapan pajak dan retribusi daerah sebagai
sumber penerimaan daerah ditetapkan dengan dasar hukum yang kuat, yaitu dengan undang-
undang, khususnya undang-undang tentang pemerintahan daerah maupun tentang
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Penetapan pajak dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah sesuai
dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan Undang-
undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
daerah menetapkan bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas
pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah bersumber dari tiga kelompok
sebagaimana di bawah ini:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu pendapatan yang diperoleh daerah dan dipungut
berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan meliputi:
a. pajak daerah;
b. Retribusi daerah, termasuk hasil dari pelayanan badan layanan umum (BLU)
daerah;
c. Hasil pengelolaan kekayaan pisahkan , antara lain bagian laba dari BUMD,
hasil kerjasama dengan pihak ketiga dan
d. Lain-lain PAD yang sah.
2. Dana perimbangan yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
3. lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Sumber pendapatan daerah yang kedua yaitu pembiayaan yang bersumber dari :
1. sisa lebih perhitungan anggaran daerah;
2. penerimaan pinjaman daerah;
3. dana cadangan daerah dan
4. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Sebagai salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian
sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai
dengan potensinya masing-masing. Sumber-sumber penerimaan tersebut dapat berupa pajak
atau retribusi. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, setiap pungutan yang
membebani masyarakat baik berupa pajak atau retribusi harus diatur dengan Undang-
Undang (UU).
DASAR HUKUM
Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
Dirubah dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Diganti dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
PAJAK DAERAH
1. Definisi Pajak
Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah. Dengan adanya
pungutan berupa pajak daerah dan retribusi daerah mungkin masyarakat masih belum ada
yang mengerti apa yang dimaksud dengan pajak daerah, sehingga perlu diberi penjelasan
mengenai artinya agar mereka yang melakukan pembayaran atas pajak tersebut tidak
merasa keberatan akan pembayaran yang mereka lakukan dan mengetahui digunakan
untuk apa uang yang mereka bayarkan itu. Definisi pajak daerah itu sendiri adalah:
a. Pengertian pajak daerah menurut Undang-undang No. 28 Tahun 2009 yaitu:
Pajak daerah, yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada
daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Yang dimaksud dengan badan disini adalah sekumpulan orang dan atau modal
yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komoditer, perseroan lainnya,
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dengan
nama dalam bentuk apapun firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi
lainnya, lembaga dan bentukbadan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap.
b. Pengertian pajak daerah menurut Marihot P. Siahaan (2010:2) yaitu:
Pajak merupakan Kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Ciri-Ciri Pajak Daerah
Menurut Azhari A. Samudra (2005:49), ada beberapa ciri yang melekat dalam
pengertian Pajak Daerah yaitu:
a) Pajak Daerah dapat berasal dari Pajak Asli Daerah maupun pajak negara yang
diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah.
b) Pajak Daerah dipungut oleh daerah terbatas di dalam wilayah administratif yang
dikuasainya.
c) Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai urusan rumah tangga
atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum.
d) Pajak Daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan Peraturan Daerah
(PERDA), maka pemungutan pajak daerah dapat dipaksakan kepada masyarakat yang
wajib membayar dalam pungutan administratifkekuasaanya.
3. Subjek Pajak dan Wajib Pajak Daerah
Menurut Mardiasmo (2008:12) subjek pajak dan wajib pajak daerah, yaitu:
a. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan Pajak Daerah.
b. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan perarturan
Perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran
pajak yang terutang, termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu.
4. Sistem pemungutan pajak daerah
Menurut marihot pahala siahaan, S.E., M.T. dalam bukunya yang berjudul “Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan Undang-undang No.28 Tahun 2009 tentang
pajak daerah dan retribusi daerah”.
Pemungutan pajak daerah saat ini menggunakan tiga sistem pemungutan pajak, yaitu:
a) Dibayar sendiri oleh wajib pajak (self assessment), yaitu sistem pengenaan pajak yang
memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan
SPTPD(Surat Pemberitahuan Pajak Daerah).
b) Ditetapkan oleh kepala daerah (official assessment), yaitu system penegenaan pajak
yang dibayar oleh wajib pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh kepala daerah
atau pejabat yang ditunjuk melalui surat ketetapan pajak daerah atau dokumen lain
yang dipersamakan.
c) Dipungut oleh pemungut pajak (with holding), yaitu sistem pengenaan pajak yang
dipungut oleh pemungut pajak pada sumbernya.
5. Jenis Pajak dan Tarif Pajak Daerah
Sesuai UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berikut
jenis-jenis Pajak Daerah:
a. Pajak Daerah Tingkat I atau Pajak Propinsi terdiri dari:
1) Tarif PKB yaitu pajak atas kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan
bermotor, Tarif paling tinggi 10%, dengan perincian:
Tarif PKB untuk kendaraan bermotor pribadi kepemilikan pertama
ditetapkan paling tinggi 2%, kepemilikan kedua dan seterusnya tarif dapat
ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 10%.
Tarif PKB untuk kendaraan bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam
kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan,
pemerintah/TNI/POLRI, pemerintah daerah ditetapkan 2%.
Tarif PKB untuk kendaraan bermotor alat berat dan alat besar ditetapkan
0,2%.
2) Tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi penyerahan pertama sebesar 20% dan
penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1%.
3) Tarif PBBKB paling tinggi sebesar 10%.
4) Tarif pajak air permukaan ditetapkan paling tinggi 10%.
5) Tarif pajak rokok 10%.
6) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 5%
7) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 10%
8) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5%
9) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan 20%
b. Pajak Daerah Tingkat II atau Pajak Kabupaten/Kota:
1) Tarif Pajak Hotel sebesar 10%.
2) Tarif Pajak Restoran 10%.
3) Tarif Pajak Hiburan 35%.
4) Tarif Pajak Reklame 25%.
5) Tarif Pajak Penerangan Jalan 10%.
6) Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Bahan 25%.
7) Tarif Pajak Parkir 30%.
8) Tarif Pajak Air Tanah 20%.
9) Tarif Sarang Walet 10%.
10) Tarif PBB 0,3%.
11) Tarif BPHTB 5%.
6. Cara perhitungan Pajak
Besarnya pokok pajak dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar
pengenaan pajak. Cara perhitungan ini digunakan untuk setiap jenis pajak daerah, yang juga
merupakan dasar perhitungan untuk semua jenis pajak pusat.
Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
Contoh Kasus Pajak Daerah
Untuk lebih mendalami tentang bagaimana menghitung Pajak Kendaraan Bermotor dan
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, maka akan diberikan contoh-contoh kasus yang terjadi
di masyarakat.
1. Pada bulan Maret tahun 2008 Tuan A membeli mobil baru merk Toyota Alphard
dengan harga Rp 650.000.000,-. Sebelumnya Tuan A telah memiliki Motor Harley
Davidson dengan Nilai Kendaraan Rp 350.000.000,- atas nama Tuan A, serta mobil
Toyota Innova dengan Nilai Kendaraan Rp 220.000.000 atas nama Istri Tuan A. Jika
Nilai Jual Kendaraan Bermotor dianggap sama dengan harga pembelian, hitung
besarnya PKB dan BBNKB atas kendaraan tersebut pada tahun 2008.
2. Pada tahun 2010, Tuan A tidak membayarkan Pajak Kendaraan Bermotor atas
mobilnya. Jika diasumsikan pada 5 tahun pertama kendaraan tersebut mengalami
depresiasi 10% per tahun, hitunglah besarnya Pajak Kendaraan Bermotor dan
BBNKB atas kendaraan tersebut jika pada bulan Juni 2012 kendaraan tersebut dijual
kepada Tuan B.
Untuk menjawab pada kasus pertama, hal yang perlu diketahui adalah menentukan
besarnya Dasar Pengenaan Pajak (DPP), yaitu dilihat dari Nilai Jual Kendaraan Bermotor
(NJKB). Dalam kasus ini, besarnya NJKB diasumsikan sama dengan harga pembelian, maka
besarnya DPP adalah sebesar Rp 650.000.000,-. Kemudian kita menentukan berapa besarnya
tarif pajak atas kendaraan tersebut. Sebelumnya Tuan A telah memiliki kendaraan berupa
motor Harley atas nama Tuan A dan mobil Toyota Avanza atas nama istri Tuan A. Hal ini
perlu dilakukan untuk menentukan apakah Tuan A dikenakan Tarif Pajak Progresif atau
tidak. Didalam aturan Peraturan Gubernur No 168 Tahun 2012 pasal 10 dinyatakan bahwa
pajak progresif dikenakan terhadap kendaraan bermotor kedua dan seterusnya yang dimiliki
dan/atau dikuasai oleh orang pribadi berdasarkan nama dan/atau alamat yang sama.
Sehingga kalau mengacu pada aturan tersebut, maka mobil baru Tuan A adalah mobil
yang kedua, walaupun mobil pertamanya atas nama istrinya, namun karena memiliki alamat
yang sama, maka dikategorikan sebagai mobil kedua. Sementara itu motor Harley atas nama
Tuan A adalah jenis sepeda motor, bukan mobil sehingga tidak berpengaruh pada tarif pajak
progresif atas mobil.
Jadi besarnya Pajak Kendaraan Bermotor mobil Toyota Alphard milik Tuan A adalah
Tarif Pajak PKB x Dasar Pengenaan Pajak = 2% x Rp 650.000.000 = Rp 13.000.000,-
Besarnya BBNKB yang harus dibayarkan oleh Tuan A adalah
Tarif Pajak BBNKB x DPP = 10% x Rp 650.000.000 = Rp 65.000.000,-
Pada pertanyaan kedua, diasumsikan bahwa nilai jual kendaraan bermotor Toyota Alphard
mengalami penyusutan sebesar 10% pertahun pada 5 tahun pertama. Sehingga besarnya nilai
jual kendaraan tersebut adalah
Tahun 2009 : Rp 585.000.000
Tahun 2010 : Rp 520.000.000
Tahun 2011 : Rp 455.000.000
Tahun 2012 : Rp 390.000.000
Setelah kita mengetahui nilai jual kendaraannya yang dijadikan sebagai Dasar Pengenaan
Pajak, langkah berikutnya adalah menghitung besarnya PKB dengan mengalikan Dasar
Pengenaan Pajak dengan tarif pajak sebesar 2% (kendaraan kedua). Dalam kasus ini, Tuan A
tidak melakukan pembayaran sejak tahun 2010, sehingga kepadanya diberikan sanksi
administrasi berupa denda sebesar 2% per bulan untuk paling lama 15 bulan sejak saat
terutang pajak (bulan Maret 2010). Sehingga denda administrasi dihitung per tahun pajak,
yaitu untuk tahun pajak 2010 dendanya 2% x 15 bulan, tahun pajak 2011 dendanya 2% x 15
bulan dan tahun pajak 2012 dendanya 2% x 4 bulan.
Fungsi Pajak Daerah
Sebagaimana fungsi pajak umumnya, pajak daerah mempunyai fungsi utama namun
yang membedakan pajak umumnya diperuntukan untuk negara sedangkan pajak daerah
sebagai Pendapatan Asli Daerah.
a. Fungsi Penerimaan (Budgetair)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
Contoh: dimasukkannya pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
sebagai penerimaan dalam negeri.
b. Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam
bidang sosial dan ekonomi.
Contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras dapat ditekan serta
demikian pula dengan barang mewah.
Dasar Hukum Pemungutan Pajak Daerah
Dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah adalah Undang-Undang
No.34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang No.28 Tahun 2009.
Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di
bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.
Salah satu, aspek yang penting dalam hukum perpajakan adalah wewenang fiskus
(petugas pemungut pajak) dalam memungut pajaknya dari masyarakat.Hal ini dapat juga
disebut sebagai asas-asas pajak atau asas dalam pengenaan pajak. Asas-asas ini terdiri dari :
1. Asas Domisili (Domicile Principle). Contohnya, seperti yang dianut di Indonesia. Orang
yang telah menetap atau berdomisili di Indonesia melebihi waktu 183 hari dalam 12 bulan
dapat dikenakan pajak di Indonesia.
2. Asas Kewarganegaraan. Pengenaan pajak yang didasarkan pada kewarganegaraannya.Asas
ini tidak dianut oleh Indonesia.Contohnya, seperti yang dianut oleh Amerika Serikat dan
Filipina. Dimanapun wrga negara AS dan Filipina berada, mereka dapat dikenakan pajak oleh
negara mereka.
3. Asas Sumber ( Source Principle) : menurut asas ini, suatu negara berwenang mengenakan
pajak atas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Contohnya, seperti produser film
dari India yang melakukan syuting atau membuat film di Indonesia dapat dikenakan pajak
penghasilan atas film yang dibuatnya di Indonesia. Contoh lainnya, seorang konsultan IT dari
Singapura yang datang ke Indonesia, penggantian imbalan atau pembayaran atas jasanya
tersebut dapat dikenakan pajak di Indonesia.
Asas-asas ini akan dibicarakan lebih lanjut dan merupakan dasar pengenaan dalam
pajak internasional atau penghindaran pajak berganda antar negara-negara.
Hukum pajak dibedakan menjadi 2, yaitu hukum pajak material dan hukum pajak
formal.Hukum pajak material memuat tentang pertanyaan APA, SIAPA, dan
BERAPA.Contoh hukum pajak material adalah UU PPh (Pajak Penghasilan) dan UU PPN
(Pajak Pertambahan Nilai).Hukum pajak formal memuat tentang ketentuan-ketentuan dalam
hukum pajak material dan contohnya terdapat pada UU KUP (Ketentuan Umum
Perpajakan).Pertanyaan dalam hukum pajak formal, mengenai BAGAIMANA mewujudkan
hukum pajak material.
1. Hukum Pajak Material
Hukum pajak material dapat juga disebut sebagai ketentuan material dalam
perpajakan.Berarti, mengatur hal-hal secara materi dalam perpajakan.Siapa yang dikenakan
pajaknya atau siapa subjek pajaknya.Apa objek yang dikenakan pajaknya. Berapakah besar
tarif pajaknya dan besarnya pajak yang terutang. Berikut ini merupakan contoh-contoh
hukum pajak material secara rinci, diantaranya :
· UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
· UU No. 18 tahun 2000 tentag Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Atas
Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM)
· UU No. 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB)
· UU No. 13 tahun 1985 tentang Bea Materai
· UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
· UU No. 20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.
2. Hukum Pajak Formal
Dalam hukum pajak formal, diatur mengenai ketentuan bagaimana pelaksanaan atau
cara untuk mewujudkan hukum pajak material menjadi kenyataan. Dapat dikatakan bahwa
hukum pajak material mengatur pajak secara materinya, sedangkan hukum pajak formal
adalah ketentuan pajak secara formalnya atau dalam ketentuan-ketentuannya. Berikut ini
merupakan undang-undang yang memuat hukum pajak formal, yaitu :
· UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Dan Tata cara Perpajakan (UU KUP)
· UU No. 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU PPSP)
· UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
Salah satu, contoh umumnya dalam hukum pajak formal adalah mengenai seseorang
yang menjadi Wajib Pajak (WP).Hal ini diatur dalam UU KUP.Seseorang WP dalam UU
Kup diatur mengenai cara-cara yang dia tempuh dalam membayar pajaknya.Dimulai dari
mendaftarkan diri ke KPP (Kantor Pelayanan Pajak) setempat untuk mendapatkan NPWP
(Nomor Pokok Wajib Pajak).Kemudian, bagaimana WP menyetorkan pajaknya dengan SSP
(Surat Setoran Pajak) ke bank dan melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan) ke KPP. Semua
hal mengenai sistem dan prosedur pajak akan dibahas dalam hukum pajak formal yang
tercantum dalam UU KUP. Selain itu, UU KUP dapat dikatakan sebagai induk atau dasar dari
ketentuan-ketentuan pajak yang berlaku di Indonesia. Mengenai sistem dan prosedur pajak
akan dibahas lebih lanjut dalam postingan yang akan datang.
B. Kriteria Perpajakan Daerah
Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian
kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi. Untuk itu, pemerintah
daerah dalam melakukan pungungutan pajak harus tetap “menempatkan” sesuai dengan
fungsinya. Adapun fungsi pajak di kelompokan menjadi dua yaitu: fungsi budgeter dan fungsi
regulator. Fungsi budgeter, yaitu apabila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara
digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Fungsi regulator
yaitu apabila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan, misalnya
pajak minuman keras dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi
minuman keras, pajak ekspor komoditas tertentu dalam rangka menghindari kelangkaan
produk tersebut dalam negeri.
Menurut Teresa Ter-Minassian (1997), beberapa kriteria dan pertimbangan yang
diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan pada tingkat pemerintahan pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota yaitu sebagai berikut:
1. Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk tujuan distribusi
pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
2. Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu mobile. Pajak daerah
yang sangat mobile akan mendorong pembayar pajak merelokasi usahanya dari daerah yang
beban pajaknya tinggi ke daerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang
tidak terlalu mobile akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarif pajak yang berbeda
sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat.
3. Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah, seharusnya diserahkan kepada
pemerintahan pusat.
4. Pajak daerah seharusnya visible dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas bagi pembayar
pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang dapat dengan mudah
dihitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas daerah.
5. Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah lain karena akan
memperlemah hubungan antara pembayar pajak dan pelayanan yang diterima (pajak adalah
fungsi dari pelayanan).
6. Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk
menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil penerimaan, idealnya, harus
elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu berfluktuasi.
7. Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah di administrasikan atau
dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan
data, seperti identifikasi jumlah pembayar pajak, penegakan hukum dan komputerisasi.
8. Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya pada semua
tingkat pemerintahan, tetapi penyerahan kewenangan pemungutannya kepada daerah akan
tetap sepanjang manfaatnya dapat dilokasikan bagi pembayar pajak local
C. Peningkatan Penerimaan Pajak Daerah
Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari pajak
daerah pada dasarnya perlu memerhatikan dua hal, yaitu dasar pengenaan pajak dan tarif
pajak. Pemerintahan daerah cenderung menggunakan tarif yang tinggi agar memperoleh total
penerimaan pajak daerah yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara
teoritis tidak selalu menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini bergantung pada
respon wajib pajak, permintaan, dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak lebih
tinggi.Formulasi model ini dikenal sebagai Model Leviathan.
Model Leviathan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa peningkatan penerimaan pajak
daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan
pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang
meminimalkan barang terhadap pengenaan pajak sedemikian rupa, sehingga mencapai total
penerimaan maksimum. Model Laviathan ini dapat dikembangkan untuk menganalisis
hubungan lebih lanjut antara tarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai total
penerimaan maksimal.
RETRIBUSI DAERAH
Retribusi Daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau Badan
Retribusi dibagi atas tiga golongan:
a. Retribusi Jasa Umum;
Dalam menetapkan tarif Retribusi Jasa Umum, prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif didasasrkan pada kebijakan daerah dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan. Untuk mencapai sasaran dimaksud, penetapan tarif Retribusi Jasa Umum, antara lain, dimaksudkan untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan dan membantu golongan masyarakat kurang mampu sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. Dengan demikian prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum dapat berbeda menurut jenis pelayanan dalam jasa yang bersangkutan dan golongan pengguna jasa.
b. Retribusi Jasa Usaha;
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha swasta sejenis yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
c. Retribusi Perizinan Tertentu.
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
Jenis-jenis Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu
sebagaimana dimaksud di atas sebagai berikut:
RETRIBUSI JASA UMUM RETRIBUSI JASA
USAHA
RETRIBUSI PERIZINAN
TERTENTU
1. Retribusi Pelayanan
Kesehatan;
1. Retribusi Pemakaian
Kekayaan Daerah;
1. Retribusi Izin Mendirikan
Bangunan;
2. Retribusi Pelayanan
Persampahan/Kebersihan;
3. Retribusi Penggantian
Biaya Cetak Kartu Tanda
Penduduk dan Akte Catatan
Sipil;
4. Retribusi Pelayanan
Pemakaman dan Pengabuan
Mayat;
5. Retribusi Pelayanan Parkir
di Tepi Jalan Umum;
6. Retribusi Pelayanan Pasar;
7. Retribusi Pengujian
Kendaraan Bermotor;
8. Retribusi Pemeriksaan Alat
PemadamKebakaran;
9. Retribusi Penggantian
Biaya Cetak Peta; dan
10. Retribusi Pengujian
Kapal Perikanan.
2. Retribusi Pasar Grosir
dan/atau Pertokoan;
3. Retribusi Tempat
Pelelangan;
4. Retribusi Terminal;
5. Retribusi Tempat
Khusus Parkir;
6. Retribusi Tempat
Penginapan/
Pesanggrahan/Villa;
7. Retribusi Penyedotan
Kakus;
8. Retribusi Rumah Potong
Hewan;
9. Retribusi Pelayanan
Pelabuhan Kapal;
10.Retribusi Tempat
Rekreasi dan Olah Raga;
11.Retribusi
Penyeberangan di Atas
Air;
12.Retribusi Pengolahan
Limbah Cair; dan
13.Retribusi Penjualan
Produksi Usaha Daerah.
2. Retribusi Izin Tempat
Penjualan Minuman
Beralkohol;
3. Retribusi Izin Gangguan;
dan
4. Retribusi Izin Trayek.
Retribusi Jasa Umum Retribusi Jasa Usaha Retribusi Perizinan
Tata Cara Penghitungan Retribusi
Pasal 151
(1) Besarnya Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
(2) Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
(3) Apabila tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sulit diukur maka
tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh Pemerintah Daerah.
(4) Rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mencerminkan beban yang dipikul oleh Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut.
(5) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
(6) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retri
Tata Cara Pemungutan
Pasal 160
(1) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.(2) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
karcis, kupon, dan kartu langganan.(3) Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang
membayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari Retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD.
(4) Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didahului dengan Surat Teguran.
(5) Tata cara pelaksanaan pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
D. Peranan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Mendukung Pembiayaan Daerah
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah pada
umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, yang
merupakan salah satu komponen PAD, belum memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan.
Untuk mengantisifasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, pungutan pajak dan
retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan
desentralisasi. Keadaan ini diperlihatkan dari suatu studi yang dilakukan oleh LPEM-UI
bekerja sama dengan clean Urban Project bahwa banyak permasalan yang terjadi di daerah
berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh hal
berikut:
1. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2000 daerah kabupaten/kota dimungkinkan
untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Akan tetapi, melihat kriteria pengadaan
pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan
pajak pusat dan pajak provinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif
rendah dan terbatas, serta bervariasi antardaerah. Rendahnya basis pajak ini untuk sebagian
daerah berarti memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis
ekonomi.
2. Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah
Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan pusat.Dari segi upaya
pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “negosiasi” daerah
terhadap pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
3. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah
Hal ini mengakibatkan pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar.
PAD masih tergolong memiliki tingkay buoyancy yang rendah. Salah satu sebabnya adalah
diterapkannya sistem “target” dalam pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah
lebih condong memenuhi target tersebut.Walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi,
pemasukan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target yang ditetapkan.
4. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah
Hal ini mengakibatkan kebocoran yang sangat berati bagi daerah.Selama ini, peranan PAD
dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antardaerah,
yaitu kurang dari 10% hingga 50%.Sebagian besar daerah provinsi hanya dapat membiayai
kebutuhan pengeluarannya kurang 10%.
5. Variasi dalam penerimaan diperparah lagi dengan sistem bagi hasil (bagi hasil
didasarkan pada daerah penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu).
Demikian pula, distribusi pajak antardaerah juga sangat timpang karena basis pajak
antardaerah juga sangat bervariasai.Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan
yang sangat rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar
dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan
kemampuan masyarakat sehingga biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat menjadi
sangat bervariasi.
Tidak signifikannya peran PAD dalam anggaran daerah tidak lepas dari sitem tax
assignment di Indonesia yang masih memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah
pusat untuk mengumpulkan pajak-pajak potensial (yang tentunya dilakukan berdaasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu), seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan
bea masuk. Kenyataan menunjukan bahwa distribusi kewenangan perpajakan antara daerah
dan pusat sangat timpang, yaitu jumlah penerimaan pajak yang dipungut oleh dearah hanya
sebesar 3,39% dari total penerimaan pajak (pajak pusat dan pajak daerah). Ketimpangan
dalam penguasaan sumber-sumber penerimaan pajak tersebut memberikan petunjuk bahwa
pertimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah di Indonesia dari sisi revenue
assignment masih terlalu sentralistis.
E. Optimalisasi Pungutan Pajak dan Retribusi Daerah dalam Rangka Meningkatkan
Kemampuan Keuangan Daerah
Ciri utama yang menunjukan suatu daerah otonom mampu berotonomi, terletak pada
kemampuan keuangan daerah.Artinya, daerah otonom memiliki kewenangan dan kemampuan
untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan
sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.
Ketergantungan kepada bantuan pusat hasil seminimal mungkin, sehingga PAD, khususnya
pajak dan retribusi daerah, menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh
kebijakan pertimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem
pemerintahan negara.
Dalam jangka pendek, kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan adalah
melakukan intensifikasi terhadap objek atau sumber pendapatan daerah yang sudah ada,
terutama melalui pemanfaatan teknologi dan informasi. Dengan melakukan efektivitas dan
efisiensi sumber atau objek pendapatan daerah, produktivitas PAD akan meningkat tanpa
harus melakukan perluasan sumber atau objek pendapatan baru yang mendapatkan studi,
proses, dan waktu yang panjang. Dukungan teknologi informasi secara terpadu guna
mengintensifkan pajak mutlak diperlukan karena sistem pemungutan pajak yang
dilaksanakan selama ini cenderung tidak optimal.Masalah konvensional dan masih banyak
sistem berjalan secara varsial sehingga informasi yang disampaikan tidak konsisten, versi
data yang berbeda, dan data tidak up-to-date.Pemasalahan pada sistem pungutan pajak cukup
banyak, misalnya data wajib pajak/retribusi, penetapan jumlah pajak, jumlah tagihan pajak,
dan target pemenuhan pajak yang tidak optimal.
Secara umum, upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka
meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak daerah
dan retribusi daerah, antara lain dengan cara-cara berikut:
1. Memperluas basis penerimaan
Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat dipungut oleh
daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial, yaitu mengidentifikasi
pembayar pajak baru/potensial dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data dan
objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis pungutan.
2. Memperkuat proses pemungutan
Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu antara lain mempercapat
penyusunan Perda, mengubah tarif, khususnya tarif retribussi dan peningkatan SDM.
3. Meningkatkan pengawasan
Hal ini dapat ditingkatkan, yaitu dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan berkala,
memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanski terhadap penunggak pajak dan sanksi
terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang diberikan
oleh daerah.
4. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan.
Tindakan yang dilakukan oleh daerah, yaitu memperbaiki prosedur administrasi pajak
melalui penyederhanaan administrasi pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap
jenis pemungutan.
5. Meningkatkan kafasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan intasi terkait di daerah.
Selanjutnya, ekstensifikasi perpajakn juga dapat dilakukan, yaitu melalui kebijaksanaan
pemerintah untuk memberikan kewenangan perpajakan yang lebih besar kepada daerah pada
mas mendatang. Untuk itu, perlu perubahan dalam sistem perpajakan Indonesia melalui
sistem pembagian langsung atau beberapa basis pajak pemerintahan pusat yang lebih tepat di
pungut oleh daerah.
.