MODUL PERKULIAHAN
PANCASILA
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA (I)
Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh
MKCU MARCOM
10 MK90003 Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Abstract Kompetensi
Pancasila is a system of ethics. The Pancasila can be used as a reference to act well. Therefore, the values of Pancasila should be understood properly.
Mahasiswa memiliki pendalaman yang memadai untuk melihat Pancasila sebagai sebuah sistem Etika. Itu artinya, Pancasila bisa secara memadai untuk dijadikan sebuah sistem bertindak bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan bisa semakin bermoral dengan pedoman Pancasila.
2016 2 Pancasila Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum http://www.mercubuana.ac.id
Materi Pengayaan
BAB VII
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
12.1. Pengantar
Aristoteles mengatakan, keutamaan bisa terjadi karena kebiasaan, bukan karena
pengetahuan. Orang yang terbiasa berbuat baik akan menjadi orang baik. Orang yang
berpengetahuan baik, belum tentu adalah orang yang baik. Sayangnya, akhir-akhir ini kita
melihat bahwa Etika hanya sebuah ilmu di atas kertas dan dunia ide. Sementara dalam
kenyataan, etika bukan hanya dikesampingkan tapi dianggap menjadi penghalang. Bahkan
ada semacam pembenaran orang untuk berbuat tidak baik. Kali ini kita akan membahas
pengantar umum, sebelum minggu depan kita bicara secara khusus tentang Pancasila
sebagai salah satu sumber nilai.
12.2. Konsep Dasar Etika
Sebelum kita memasuki apa konsep dasar etika dan hubungannya dengan komunikasi, ada
baiknya kita menjernihkan dahulu apa yang dimaksud dengan peristilahan tersebut.
Meskipun dalam banyak hal kita memang sudah akrab dengan kata-kata itu dalam hidup
sehari-hari, namun sering kali kita tidak bisa mendefinisikannya atau paling tidak kalau
ditanya apa artinya, banyak yang secara serampangan menjawab sebagai tingkah laku. Apa
itu etika? Tingkah laku. Apa itu moral? Tingkah laku juga. Apa itu etiket? Jawabannya tidak
berbeda dengan dua istilah sebelumnya. Lalu saya bertanya, kok sama artinya?
Lalu biasanya saya mengajak murid-murid saya untuk melihat secara lebih teliti sejenak.
Kata-kata itu bisa disambungkan dengan kata apa. Dari sini nanti, hasilnya akan kelihatan
berbeda. Kata moral, misalnya, yang paling umum kita dengar dihubungkan dengan
pancasila. Pada kurikulum tahun-tahun yang lalu, kita mendengar ada pendidikan moral
pancasila. Kata moral di depan kata pancasila, jelas tidak bisa diganti dengan kata etika
atau etiket. Etika pancasila dan etiket pancasila, selain kelihatan aneh, juga tidak nyambung.
Sedangkan kata etika, bisa dengan mudah disambungkan dengan kata profesi, sehingga
ada kata etika profesi. Tapi jangan pernah memberikan kuliah dengan judul etiket profesi
atau moral profesi. Nanti tidak akan nyambung. Sementara itu, satu-satunya kata yang
cocok untuk dihubungkan dengan etiket adalah kata pergaulan. Tidak mungkin pas bila kata
etiket dihubungkan dengan kata bisnis. Etiket bisnis jelas akan sangat janggal.
2016 3 Pancasila Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum http://www.mercubuana.ac.id
Hal itu menunjukkan bahwa ketiga kata itu sebenarnya berbeda konteks dan arti. Ciri-ciri
bahwa suatu kata itu sama artinya, adalah kata-kata itu bisa saling menggantikan. Misalnya
kata papa dan papi. Tentang Etika, bahkan wakil rakyat kita yang kita hormati bersama,
Badan Kehormatan DPR sampai harus melakukan study banding ke Yunani pada tahun
2010. Kata salah seorang pejabat, Nudirman, “studi banding ini wajib, agar kita tidak katak
dalam tempurung1.” Yang dipelajari adalah, bagaimana cara melakukan interupsi yang
benar? Bolehkah merokok di dalam gedung DPR ketika rapat, dll. Sampai sekarang, kita
belum mendapatkan laporan akhir dari perjalanan studi banding tersebut. Karena itulah,
sambil menunggu hasil studi banding itu, marilah kita belajar sendiri apa itu Etika dan Moral.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Etika
etika /étika/ n 1 ilmu tt apa yg baik dan apa yg buruk dan tt hak serta kewajiban moral; 2 kumpulan asas atau nilai yg berkenaan dng akhlak; 3 asas perilaku yg menjadi pedoman
etis /étis/ a 1 berhubungan (sesuai) dengan akhlak atau etika; 2 sesuai dng asas perilaku yg disepakati secara umum
Etiket
1etiket /étiket/ n tulisan dsb yg dilekatkan pd barang dagangan (label); merk dagang
2etiket /étiket/ n aturan sopan santun (tatacara) dl pergaulan2
Moral
moral n 1 (ajaran tt) baik buruk yg diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila; 2 kondisi mental yg membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, bersedia berkorban, menderita, menghadapi bahaya, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dl perbuatan;
bermoral v 1 berbudi pekerti yg baik, masih mempunyai pertimbangan yg baik dan buruk dl melakukan sesuatu; 2 sesuai dng moral atau tingkah laku yg baik: tawur-tawuran antara sesama kaum muda
moralis n 1 orang yg hidup menurut moral; 2 orang yg mengajarkan atau mempelajari moral sbg cabang filsafat; 3 orang yg menaruh perhatian thd pengaturan moral orang lain; 4 filsuf atau pengarang mengenai prinsip
moralitas n perbuatan dan tingkah laku yg baik; kesusilaan3
Kalau memperhatikan pengertian di atas, paling tidak kita bisa memahami bahwa etika itu
adalah suatu ilmu, ilmu tentang yang baik dan buruk, serta kewajiban secara moral.
Sedangkan, arti berikutnya kurang begitu jelas ketika etika diartikan sebagai kumpulan asas
atau nilai. Kumpulan jelas belum mengacu pada ilmu. Seperti kumpulan batu, semen, dan
besi, jelas bukanlah sebuah bangunan rumah. Dalam pandangan ilmu, jelas belum memiliki
kerangka yang jelas. Etika merupakan kumpulan nilai. Maka, pertanyaan berikutnya adalah
1 http://nasional.kompas.com/read/2010/10/19/11325682/DPR.ke.Yunani.Belajar. Etika saya unduh tanggal 15 Maret 2012 2 Sugono, Dendy dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa, 2008,hal. 417 3 Sugono, Dendy dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa, 2008, hal. 948
2016 4 Pancasila Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum http://www.mercubuana.ac.id
nilai sendiri apa. Masih dalam kamus besar bahasa Indonesia, nilai memiliki beberapa arti
yaitu harga, angka kepandaian, dan hal-hal (sifat-sifat) yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan. Dalam pembahasan filsafat ini4, nilai sebagai kwalitas atau sifat penting yang
berguna bagi kemanusiaan jelas lebih tepat. Di sini harus dikatakan bahwa nilai sendiri
berharga. Dalam hal ini, nilai sebagai hal yang berkaitan dengan kwalitas manusia menjadi
lebih khas.
Etika merupakan perkembangan lebih lanjut dari filsafat alam (lih. Sejarah filsafat yang
sudah kita bahas pada bab-bab terdahulu). Artinya begini; pada masa-masa pra socrates,
fokus kajian filsafat hanya sebatas pada asal-usul alam semesta dan bagaimana
kosmologinya. Sedangkan, filsafat yang memfokuskan diri pada nilai dan penilaian yang
berupa etika, baru dikaji secara lebih sistematis sejak jaman Socrates.
Secara etimologis, Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’
adalah ethos sedangkan bentuk jamaknya adalah ta etha. Ethos mempunyai banyak arti
yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak,
perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Arti dari bentuk
jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai
untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai
arti sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Dalam lingkup kajiannya, biasanya etika dibagi dalam dua kelompok besar5. Yang pertama
adalah etika deskriptif. Dekriptif adalah kata sifat dari kata benda deskripsi. Sesuai dengan
namanya, etika deskripsi sebenarnya merupakan bidang kajian etika yang sekedar
menggambarkan bagaimana sebuah nilai moral berlaku dalam suatu masyarakat. Etika di
sini tidak banyak berbeda dengan antropologi dan sosiologi yang mengkaji tindakan
manusia tanpa disertai dengan penilaian moral apapun, kecuali sebuah deskripsi.
Etika berikutnya adalah etika normatif. Etika normatif merupakan etika yang sudah diberi
penilaian-penilaian filosofis tentang suatu tindakan. Biasanya dibedakan antara etika yang
umum dan yang terapan. Etika umum belum membahas kasus-kasus etis dalam perbuatan
manusia. Etika ini memberikan pendasaran moral fundamental yang nantinya bisa
diterapkan dalam etika khusus. Salah satu contoh etika khusus adalah etika komunikasi
yang saat ini akan kita kaji lebih mendalam. Di samping itu ada etika bisnis, etika
kedokteran, etika jurnalistik, dll. Etika normatif yang Berkaitan dengan etika ini, masih ada
4 Sebenarnya, permasalahan tentang nilai dalam filsafat jauh lebih kompleks daripada sekedar arti dalam kamus. Nilai berkaitan dengan siapa yang menentukan adanya nilai, lalu apa yang dimaksud dengan nilai, kriteria apa yang menunjuk pada nilai, dll. Bdk. Katsoff, 317-335, untuk mendalami kajian tentang nilai secara lebih mendalam dan filosofis, silahkan dibaca juga Wahono, Paulus, Nilai: Etika Aksiologis Max Haveler, Yogyakarta, Kanisius, 2004. Nilai menjadi sesuatu yang mempesona, memikat orang, mendorong orang untuk melakukan sesuatu, sekaligus menjadi tujuan seseorang dalam bertindak (hal. 11). Kajiannya bertitik tolak dari paham fenomenologi. 5 Bertens, Kees, Etika, hal. 15-19
2016 5 Pancasila Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum http://www.mercubuana.ac.id
lagi yang dikaji yaitu meta etika. Metaetika jauh lebih konseptual daripada etika umum. Meta
etika memang merupakan teori etika yang hanya membahas tentang prinsip-prinsip moral.
Sedangkan moral memiliki arti yang jauh lebih luas. Moral adalah sebuah ajaran yang
diterima secara umum tentang baik dan buruk. Perhatikan di sini, moral berarti ajaran.
Sedangkan etika berarti ilmu. Dengan demikian etika secara garis besar dapat dikatakan
sebagai sebuah ilmu tentang moral. Moral sebagai ajaran, akhirnya (nanti juga akan kita
lihat lebih lanjut) juga berbeda-beda, tergantung mana yang menjadi sumber ajarannya.
Untuk men-universal-kan (menguniversalkan) moral itu, nanti akan kita kenal istilah moral
fundamental, atau moral dasar. Ada beberapa hal yang bisa menjadi sumber ajaran moral.
Ada agama, ada masyarakat, dan ada negara6. Masing-masing sumber dan ajaran
moralnya berbeda. Ada agama Islam, Kristen, Buddha, dll. Di Indonesia ada banyak sekali
masyarakat dengan latar belakang yang berbeda suku.
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ adalah mos sedangkan
bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu
kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis,
kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai
arti yaitu kebiasaan, adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’,
maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang
membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari
bahasa Latin. Yang perlu dipegang adalah bahwa penggunaannya berbeda.
Berkaitan dengan kata moral di sini, kita sering melihatnya secara salah kaprah ketika
menggunakan kata imoral dan amoral. Kata imoral artinya adalah bertentangan dengan
kaidah atau nilai-nilai yang dianggap bermoral. Jadi kalau ada orang jahat, bolehlah kita
menyebut dia imoral. Misalnya ada kasus seorang kakek memperkosa cucu kandungnya
sendiri. Jelas ini tindakan tidak bermoral yang imoral. Sedangkan kata amoral, berarti bebas
moral atau non moral. Artinya, tidak semua tindakan punya dimensi moral yang perlu dinilai
jahat dan tidak. Misalnya, kalau anda bangun tidur, anda akan membuka mata kanan dulu
atau mata kiri dulu, tindakan ini jelas tidak perlu dinilai secara moral. Tapi, ada juga yang
mengartikan amoral sebagai sikap yang tidak peduli dengan moral.
12.3. Dilema Moral7
6 Magnis Suseno, dalam Etika Dasar, menunjukkan bahwa ada 3 intitusi yang bertanggungjawab untuk menanamkan nilai-nilai etis yaitu agama, negara, dan masyarakat. Suseno, Frans Magnis, Etika Dasar, Yogyakarta, Kanisius, 1987, hal. 77 7 Contoh-contoh kasus yang terdapat dalam buku ini cukup menarik untuk dikaji, Higgins, Gregory C., 8 Dilema Moral Abad Ini: di pihak manakah anda?, Yogyakarta, Kanisius, 2006
2016 6 Pancasila Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum http://www.mercubuana.ac.id
Lampu merah di perempatan jalan barang kali tidak diperlukan kalau saja jalanan lancar,
juga di perempatan. Tapi karena jalanan kurang lancar, pengguna kendaraan tidak bisa
mengatur diri dan antri dengan otomatis, maka diperlukanlah lampu merah. Sebenarnya
juga, tidak diperlukan polisi yang berjaga di perempatan yang ada lampu merahnya, kalau
saja masyarakat mematuhi rambu-rambu lalu lintas yang ada dan jalanan sudah lancar.
Permasalahan kemudian berkembang, tidak diperlukanlah sebenarnya pengawas kerja
polisi lalu lintas, kalau saja semua polisi bekerja secara profesional tidak menerima suap
dari pelanggar lalu-lintas atau tidak menjamin adanya keadilan dalam masyarakat. Tetapi,
dari semua itu sebenarnya ada satu kuncinya, tidak perlulah ada semua itu, sejauh tidak ada
kemacetan. Tapi toh, nyatanya kenyataan itu terjadi. Jalanan macet. Masyarakat suka
melanggar lalu lintas dengan berbagai alasan. Ada oknum polisi yang suka memanfaatkan
keadaan hingga menyalahgunakan wewenang. Lalu disusunlah peraturan yang harus
dipatuhi bersama. Sekali lagi, semuanya tidak diperlukan kalau saja semuanya lancar dan
berjalan normal.
Demikian halnya, permasalahan moral terjadi karena ada tabrakan-tabrakan nilai-nilai moral
yang menyebabkan manusia harus memilih dan menentukan sikap. Seiring dengan
perkembangan jaman, permasalahan-permasalahan yang barupun bermunculan. Tapi, saya
rasa baik kalau kita sedikit mengkaji, dari mana akar permasalahan dilema moral itu bisa
muncul. Paling tidak ada 3 hal pokok yang mempengaruhi adanya permasalahan moral.
Yang pertama, adanya pluralisme sumber-sumber moral. Yang kedua adanya relativisme
nilai kebenaran. Dan yang ketiga, adanya kebutuhan manusia yang dalam arti tertentu
memaksa manusia meninggalkan prinsip-prinsip moralnya.
Paling tidak ada tiga sumber moral yang bahkan bisa bertabrakan antara satu dengan yang
lain. Ketiga sumber moral itu adalah agama, masyarakat, dan negara. Agama
bagaimanapun juga memegang peranan penting dalam mengajarkan moral. Ini tidak dapat
kita sangkal. Berkaitan dengan agama maka yang jahat dikatakan sebagai sebuah dosa dan
yang baik dikatakan sebagai amal saleh. Namun kenyataannya toh, kita tetap berhadapan
dengan kenyataan bahwa ada banyak agama. Sementara, ajaran agama ini bisa ditafsirkan
secara sangat relatif bagi kebanyakan orang, ada juga yang akhirnya tidak mempercayai
agama. Di dalam satu agama saja, konflik nilai moral bisa terjadi, apalagi berhadapan
dengan orang-orang yang beragama lain dan mereka menganggap ini adalah sesuatu yang
baik. Contohnya, ada agama yang mengatakan bahwa membunuh binatang itu jahat. Ada
yang mengatakan tidak jahat, sejauh cara membunuhnya tidak menyiksa si binatang. Hal ini
akan menimbulkan konflik moral yang harus disikapi dengan bijaksana akan menimbulkan
permasalahan yang lebih besar. Ingat, dalam keadaan yang biasa tidak akan menimbulkan
permasalahan, tapi ketika ada pertentangan, etika sebagai filsafat moral harus dikaji.
2016 7 Pancasila Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum http://www.mercubuana.ac.id
Sementara itu, negara bisa juga memberikan ajaran moral yang dalam bentuk hukum dan
perundang-undangan. Tidak semua ajaran agama bisa memadai untuk merumuskan ajaran
moral suatu agama yang berlain-lainan. Bahkan, apa yang diajarkan oleh negara bisa
sangat bertentangan dengan ajaran agama. Contohnya adalah pelegalan aborsi dan
perkawinan sejenis. Ada beberapa negara yang melegalkan tindakan tersebut. Namun, hal
ini tidak bisa secara tuntas menyelesaikan permasalahan moral.
Masyarakat dengan adatnya juga memiliki ajaran moral tersendiri. Kita tahu, adat suatu
masyarakat biasanya ada terlebih dahulu dibandingkan dengan agama dan negara. Itulah
sebabnya, mengapa kebiasaan adat yang dinilai biadab tidak mudah untuk dihapuskan
hanya dengan adanya negara dan agama. Contohnya adalah adanya kebiasaan mengayau
dalam suatu daerah. Tanpa memandang bagaimana sikap orangnya, asalkan berasal dari
kelompok musuh lalu seakan-akan kelompok tertentu berhak untuk melakukan pembunuhan
di pihak musuh.
Permasalahan moral yang kedua bisa terjadi karena adanya relatifisme untuk menentukan
nilai kebenaran. Dalam hal ini pertimbangannya jauh lebih filosofis. Banyaknya hal-hal baru,
terutama berkaitan dengan tekhnologi, menuntut sebuah study khusus yang membahas hal
tersebut. di bidang komunikasi, munculnya media massa dalam bentuk cetakan dan juga
elektronik, bagaimanapun juga harus dikaji segi etisnya. Pada jaman kerajaan majapahit,
misalnya, di Indonesia, tidak diperlukan kajian etis tentang iklan. Tapi, hal ini tidak bisa
diabaikan untuk jaman sekarang. Selain bidang komunikasi, bidang yang paling revolusioner
dan harus disikapi berkaitan dengan etika adalah tekhnologi kedokteran seperti cloning
manusia, rekayasa genetika, bayi tabung, dll. Yang jelas, masalah-masalah tersebut tidak
bisa diselesaikan dengan mengacu pada hukum Tuhan.
Dan yang ketiga, permasalahan moral bisa muncul terutama karena adanya kecenderungan
besar untuk meninggalkan nilai-nilai yang sudah ada. Saya akan mengutip satu contoh
pandangan yang berusaha untuk meninggalkan nilai-nilai ortodoks itu. dalam buku karangan
ada 5 doktrin yang berusaha meninggalkan nilai-nilai yang sudah ada8:
1. pandangan bahwa hidup manusia sebagaimana adanya tidak perlu dihormati secara
khusus.
2. Pandangan bahwa kebahagiaan dan kemalangan, kesenangan dan kesusahan, lebih
penting dari hidup itu sendiri.
3. Pandangan bahwa orang yang punya kesadaran diri dan taraf intelegensi tertentu
saja yang mempunyai hak hidup.
4. Pandangan bahwa untuk mempunyai keinginan, kebutuhan, dan hak-hak, orang
harus terlebih dahulu punya konsepnya.
8 Jenny Teichmen, Etika Sosial,Yogyakarta, Kanisius, 2007, hal. 4
2016 8 Pancasila Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum http://www.mercubuana.ac.id
5. Pandangan bahwa teori moral harus bersesuaian sejauh mungkin dengan apapun
yang mempunyai nilai kepraktisan pada jamannya.
Berikut ini beberapa aliran-aliran dalam etika yang sekarang banyak berkembang dan
diterapkan dalam berbagai bidang:
a. Hedonisme
Hedonisme merupakan neo-epichurean atau merupakan bentuk baru dari filsafat epichurus
yang memang terkenal karena etikanya. Sejak kelahirannya, manusia berusaha
mendapatkan kesenangan. Manusia selalu menjauhkan diri dari ketidaksenangan. Maka
kesenangan itulah yang baik, dan ketidaksenangan adalah buruk. Menurut Aristippos
(sekitar 433-355 sM) salah seorang murid Socrates, kesenangan bersifat badani dan
aktual9, bukan kesenangan dari masa lampau atau masa depan karena hanya sekadar
ingatan dan antisipasi kesenangan. Artinya, yang baik adalah kesenangan saat ini dan di
sini pada hari ini; bersifat badani, aktual dan individual. Kesenangan ada batasnya, yang
penting adalah pengendalian diri. Pengendalian diri bukan berarti meninggalkan
kesenangan, tapi menggunakan kesenangan dengan baik dan tidak membiarkan diri
terhanyut olehnya. Inilah persis kesenangan epichurean dengan makna hedonisme jaman
sekarang. Begitu mendengar kata hedonis, maka yang terbayang biasanya adalah gaya
hidup yang hura-hura dan dicap serba negatif.
Ephicuros misalnya, mengelompokkan keinginan dalam 3 macam. keinginan yang pertama
adalah keinginan alamiah yang perlu, keinginan berikutnya adalah keinginan alamiah yang
tidak perlu, dan keinginan yang ketiga adalah keinginan yang sia-sia. Contoh keinginan
alamiah yang perlu adalah makan yang sehat. Sedangkan contoh keinginan yang tidak perlu
adalah keinginan untuk makan enak. Perlu dicatat, untuk makan sehat biasanya tidak perlu
enak. Makanan yang mahal juga tidak berarti sehat. Pun sebaliknya, makanan yang murah
juga belum tentu sehat. Dan contoh ketiga untuk keinginan yang sia-sia adalah kekayaan.
Epichuros sendiri justru menganjurkan hidup yang sederhana.
b. Eudomonisme
Aristoteles menganggap manusia mengejar tujuan akhir dan terbaik bagi hidupnya, yaitu
kebahagiaan: eudaemonia. Tapi ia mengingatkan, kesenangan adalah semu dan bukan
9 "Makan, minum dan bergembira, karena besok kita mati." Bahkan sekilas keinginan harus
memanjakan, karena takut kesempatan harus selamanya hilang. Ada sedikit atau tidak ada perhatian
dengan masa depan, masa kini mendominasi dalam mengejar untuk kesenangan segera. Hedonisme
Cyrenaic didorong mengejar kenikmatan dan kesenangan tanpa ragu-ragu, percaya kesenangan
menjadi satu-satunya yang baik.
2016 9 Pancasila Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum http://www.mercubuana.ac.id
tujuan akhir yang ingin dicapai. Jika manusia menjalankan fungsinya dengan baik, ia akan
mencapai tujuan akhirnya untuk menjadi manusia yang baik, dan itulah kebahagiaan hakiki,
kesenangan rohani, intelektual (akal), dan keutamaan moral (budi).
Manusia adalah baik dari segi moral jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang
tepat dalam perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual.
Didorong hati nurani, akal, budi, dan naluri, manusia menyusun konsepsi kebahagiaan pada
berbagai bidang kehidupan. Pada setiap bidang kehidupan, manusia menetapkan nilai-nilai
kebahagiaan. Dengan demikian,kebahagiaan bukan pertama-tama mengacu pada hal yang
menyenangkan. Kebahagiaan harus dilihat dalam konteks bagaimana manusia
memerankan dirinya dengan baik dan benar sesuai dengan kedudukannya. Pandangan ini
agak mirip dengan kelompok deontologisme. Kelompok deontologisme berpendapat bahwa
segala sesuatu baik sejauh mengikuti aturan yang ada.
c. Utilitarisme
Bagi utilitarisme, yang baik adalah yang berguna. Pandangan ini biasanya dikaitkan dengan
konsekuensionalisme. Konsekuensialisme adalah bagian dari teori etika normatif yang
mengatakan bahwa konsekuensi perilaku seseorang merupakan dasar utama untuk setiap
penilaian tentang kebenaran perilaku itu. Jadi, dari sudut pandang konsekuensialis, tindakan
secara moral benar adalah tindakan yang yang akan menghasilkan hasil yang baik, atau
konsekuensi. Utilitarianisme berada pada tataran masyarakat atau negara. Jeremy
Bentham10 menekankan bahwa manusia sesuai hakikatnya ditempatkan di bawah dua titik
yang berkuasa penuh: ketidaksenangan dan kesenangan. Kebahagiaan tercapai jika
manusia memiliki kesenangan bebas dari kesusahan. Karena itu, suatu perbuatan akan
dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan dan memenuhi kebahagiaan sebanyak
mungkin orang. Menurut Bentham, moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan
menimbang kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia, yakni masyarakat
keseluruhan.
Suatu perbuatan dapat dimaknai baik jika menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi semua
orang. Dalam taraf yang ekstrim, pengorbanan sebagian orang dianggap hal yang wajar
demi nilai guna yang lebih besar. Contohnya adalah upaya pembersihan kota yang harus
menggusur para pedagang kaki lima.
12.4. Menggali Ortodoksi Moral
10 Jeremy Bentham adalah filsuf pendiri utilitarianisme asal Inggris. Ia dilahirkan di London pada tahun 1748, menempuh pendidikan di Oxford, dan kemudian mendapatkan kualifikasi sebagai seorang barrister (advokat) di London.Bentham merupakan salah seorang filsuf empirisme dalam bidang moral dan politik
2016 10 Pancasila Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum http://www.mercubuana.ac.id
Berhadapan dengan adanya pluralisme moral semacam itu, etika berfungsi untuk menggali
kembali ortodoksi moral sehingga terbangun sebuah moral fundamental atau moral dasar
yang sifatnya universal. Ortodoksi adalah nilai-nilai yang lebih asali berkaitan dengan
hakekat moral itu sendiri. Moral fundamental bukanlah moral gabungan dari berbagai ajaran
yang ada, bukan pula sebuah upaya untuk mendamaikan pertentangan moral, namun lebih
berupaya untuk memberikan argumentasi yang lebih mendasar berkaitan dengan kebaikan
moral.
Contohnya adalah hidup manusia. Di sebagian ajaran mengatakan bahwa hidup manusia
harus dibela dan dijamin karena menjadi hak dasar manusia untuk mendapatkan hak-hak
yang lainnya yang lebih memadai. Di satu sisi, ada ajaran moral yang tidak begitu
memperhitungkan nilai kehidupan manusia karena asas nilai guna (utility). Namun, seperti
saya contohkan tadi, ada juga sebagian masyarakat adat yang melegalkan pembunuhan
seseorang yang merupakan anggota kelompok musuh, meskipun anak kecil sekalipun. Hal
itu masih ada kajian etis dari para filosof yang merelatifir nilai kehidupan manusia. Maka,
mau tidak mau kita harus memilih dan mengkaji,kira-kira ajaran moral yang manakah yang
paling bisa berlaku secara universal.
Dalam bidang moral, dikenal sebuah hukum yang disebut dengan slippery slope11. Slippery
slope (lereng yang curam) biasa dikenal juga dengan crack in the foundation (celah fondasi)
merupakan hukum yang mengatakan bahwa jika Anda membuat pengecualian terhadap
aturan, atau jika Anda membuat peraturan yang bergantung pada perbedaan halus, dengan
segera orang akan mengabaikan aturan atau aturan yang sama sekali karena mereka tidak
akan menerima perbedaan antara pengecualian dan yang lainnya. Artinya, jika kita
melonggarkan satu prinsip moral yang meskipun berupa pengecualian, kebanyakan orang
akan segera yang mengikuti pengecualian ini tanpa memperhatikan nilai-nilai moral yang
lebih mendasar.
Marilah kita ambil contoh doktrin ketiga dari kelompok liberal di atas, Pandangan bahwa
orang yang punya kesadaran diri dan taraf intelegensi tertentu saja yang mempunyai hak
hidup. Maka, dalam pandangan ini, orang-orang gila yang intelegensinya terlalu rendah,
tidak bisa diberikan hak hidup. dari segi utility, atau nilai gunanya, pandangan ini tentu
sangat berguna bagi kebanyakan orang. Orang dengan intelegensi kelewat rendah, lebih
banyak merepotkan orang lain. Mereka tidak berperan apapun dalam pembangunan
bernegara. Dan yang jelas, orang-orang ini tidak bisa disembuhkan. Lalu, apakah demi
pembangunan kwalitas masyarakat mereka boleh dimusnahkan? Kalau mereka boleh untuk
dimusnahkan, lalu apakah boleh adanya pembunuhan dengan alasan kwalitas manusia
11 Bdk. Lamb, David, Down The Slippery Slope, Arguing on Applied Ethics, London, Routledge, 1988,
2016 11 Pancasila Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum http://www.mercubuana.ac.id
yang tidak memadai? Bolehkah orang-orang dengan intelegensi kelewat rendah ini dibedah
otaknya dan dijadikan bahan penelitian di laboratorium?
Akibat lain yang bisa muncul, embrio yang belum memiliki otak dan bahkan yang sudah
memiliki otak namun belum punya intelegensi, harus dikatakan belum memiliki hak hidup
secara penuh. Lalu, apakah mereka boleh diaborsi? Maka marilah kita lihat efek lebih
lanjutnya, kalau mereka boleh diaborsi, lalu haruskah aborsi dilegalkan dengan alasan hak
hidup embrio belum penuh? Kalau ini dilegalkan, lantas bolehkah kita yang merasa normal
lalu menyeleksi bayi yang akan dilahirkan? Itulah efek dari tebing yang curam.
Argumen slippery slope ini jelas tidak valid jika itu dimaksudkan untuk menjadi titik logika.
Dalam hal ini berarti bahwa "jika b merupakan pengecualian terhadap A, maka tidak ada
bagian dari A adalah benar." Pengecualian khusus untuk aturan atau prinsip tidak dengan
cara apapun secara logis berarti bahwa aturan tersebut dinyatakan tidak pernah dibenarkan
berlaku dalam setiap kasus. Bahkan, menyebut sesuatu pengecualian "
Tampaknya argumen ini dimaksudkan untuk menjadi lebih argumen tentang psikologi
masyarakat, dan tampaknya menjadi sesuatu yang lebih seperti "jika Anda membuat
pengecualian terhadap aturan, khususnya aturan dihargai atau waktu dihormati, orang akan
berpikir memerintah sewenang-wenang untuk memulai dan akan melihat ada alasan untuk
mengikutinya. " Oleh karena itu, setiap pengecualian terhadap aturan, dan dengan demikian
akhirnya menyebabkan aturan tidak diikuti sama sekali. Atau argumen lain dimaksudkan
mungkin "orang tidak dapat secara umum membuat perbedaan halus, jadi jika Anda
membuat pengecualian terhadap aturan (waktu dihormati), orang akan berpikir Anda telah
menunjukkan aturan untuk menjadi cacat dan karena itu tidak perlu untuk diikuti." Versi yang
sedikit berbeda, dan lebih canggih adalah prinsip ini "jika Anda membuat pengecualian
terhadap aturan, orang akan menggeneralisasi alasan untuk pengecualian itu dan
menerapkannya pada aspek lain dari aturan yang mereka generalisasi juga akan berlaku."
Contoh yang sederhana dalam hal komunikasi adalah demikian, memfitnah (dalam arti
bahasa Indonesia12) adalah jahat secara moral. Tapi bayangkan bila kemudian ada yang
mengatakan, fitnah untuk seorang calon presiden yang baik agar lolos dalam pemilu, boleh
karena tujuannya baik. Orang akan segera mencari alasan untuk mengatakan bahwa
tujuannya baik, yang penting fitnahnya diperbolehkan. Ini akan sangat berbahaya. Sesegera
mungkin, kebanyakan orang akan mengatakan bahwa finah itu boleh. Maka, untuk
menghindari hal ini, pentinglah bagi kita untuk kembali ke ortodoksi moral. Masalah moral
kalau di’abai’kan, akan memicu permasalahan-permasalahan lain yang lebih serius13.
12 Memfitnah dalam bahasa Arab memiliki arti mencobai, agak berbeda maknanya dengan bahasa Indonesia yang artinya menyebarkan berita yang tidak benar. 13 Prinsip moral slippery slope seolah bertentangan dengan apa yang disebut oleh Joseph Fletcher dengan apa yang disebut sebagai etika situasi. Dalam etika situasi memang dikenal istilah prima facie (yaitu tindakan moral tanpa pertimbangan khusus, dan etika norma (pertimbangan moral dengan
2016 12 Pancasila Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum http://www.mercubuana.ac.id
12.5. Mendengarkan suara hati
Kata suara hati, mungkin dapat kita mengerti dengan mudah karena kebiasaan saja. Artinya,
kita sudah akrab dengan istilah suara hati. Namun, sering kali masih cukup bias untuk
mengartikan suara hati. Suara hati biasa kita lihat sebagai hati nurani. Suara terdalam
manusia. Hati nurani adalah intuisi yang memandu kita untuk memberikan penilaian benar
dan salah. Secara psikologis hati nurani sering digambarkan sebagai institusi yang
menyebabkan perasaan menyesal bila seorang manusia melakukan tindakan yang
bertentangan / nya nilai-nilai moral dan perasaan kejujuran atau integritas ketika tindakan
tersebut sesuai dengan norma-norma. Sejauh mana hati nurani moral yang memberikan
informasi ‘penghakiman diri’ sebelum tindakan dan apakah seperti penilaian moral harus
didasarkan pada alasan telah disebabkan perdebatan melalui banyak dari sejarah filsafat
Barat .
Hati Nurani adalah kesadaran akan kewajiban berhadapan dengan sistuasi konkret yang
saya hadapi kini dan disini. Berkaitan dengan adanya kesadaran tentang perbuatan dan
tentang pelaku. Suara hati berfungsi sebagai vindex (menilai perbuatan yang telah
berlangsung), sebagai index (menilai perbuatan yang akan datang), sebagai ludex (menilai
perbuatan yang sedang dilakukan). Kemutlakan hati nurani, tuntutannya mutlak, tidak dapat
di tawar-tawar. Memerintahkan tanpa syarat (imperatif kateoris). Mengikuti hati nurani
merupakan hak dasar bagi setiap orang. Hati nurani adalah norma terakhir bagi perbuatan-
perbuatan kita14. Hati nurani bisa keliru tuntutannya mutlak tapi belum tentu benar.
Suara hati memiliki sifat personal dan adipersonal. Dikatakan bersifat personal karena selalu
berkaitan erat dengan pribadi yang bersangkutan dan hanya memberi penilaiannya tentang
perbuatan saya sendiri. Sedangkan, dikatakan bersifat adipersonal, karena hati nurani (Nur
= cahaya) berarti hati yang diterangi, terhadap hati nurani seakan kita menjadi “pendengar”,
mempunyai aspek transenden, yang melebihi pribadi kita, dan karena aspek adipersonal ini,
hati nurani memiliki dimensi religius. Penentuan baik buruk , benar salah. Perbuatan yang
dilakukan atas desakan hati nurani belum tentu secara objektif juga baik.Yang sebenarnya
mau diungkapkan bukanlah baik buruknya perbuatan itu sendiri, melainkan bersalah
tidaknya si pelaku. Maka kita tidak pernah boleh bertindak bertentangan dengan hati nurani
kita. Akan tetapi manusia wajib juga mengembangkan hati nuraninya dan seluruh
kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang (yang subjektif dan objektif
menjadi sama).
kasus khusus). Pijakan filosofisnya adalah eksistensialisme. Namun, keduanya sebenarnya berada dalam satu garis yang tidak bertentangan. Tentang Etika Situasi, silahkan dilihat dalam Suseno, Frans Magnis, 12 Tokoh Etika Abad ke 20, Yogyakarta, Kanisius, 2000, 111 14 Bdk. Purwo Hadiwardaya, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta, Kanisius, 1990, hal. 15
2016 13 Pancasila Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum http://www.mercubuana.ac.id
Contohnya begini, seorang anak yang lahir dan besar di lingkungan para penjahat dan
terbiasa dengan kekerasan, akan menganggap bahwa kekerasan itu hal yang wajar. Suara
hatinya tidak akan menegur apa-apa, ketika dia memukuli orang yang menurutnya tidak
menyenangkan. Itulah pentingnya etika. Etika secara rasional mendidik dan membentuk
suara hati agar semakin tajam dan benar secara objektif.
Hati nurani butuh penyegaran, didikan, latihan, rekreasi, reorientasi, penanaman paradigma.
Hati nurani merupakan pemberian Sang Pencipta yang perlu dibina. Pembinaan ini ada
yang halus dan jitu, ada yang kurang tepat dan longgar, serta ada pula yang tumpul. Hati
nurani yang tumpul biasanya disebabkan adanya salah didikan yang ditanamkan sejak kecil.
Keadaan hati nurani (longgar, tumpul, maupun jitu), semuanya bergantung pada pendidikan
lingkungan.
Orang dari jaman dahulupun sudah menyadari akan peran informasi-informasi yang
didapatkan dari lingkungan terhadap perilaku manusia. Kualitas hati nurani yang dimiliki
seseorang tidak dapat lepas dari pengaruh lingkungan. sekitar orang tersebut. Melalui
lingkunganlah seseorang membentuk nilai-nilai moral dan tanggung jawab. Lingkungan
merupakan menjadi sumber pengetahuan bagi hati nurani. Lingkungan yang berpengaruh
itu dapat berupa keluarga, teman, pergaulan, budaya, agama, dan tradisi. Jika seseorang
hidup dalam lingkungan yang baik maka hati nurani yang terbentuk akan memiliki kualitas
yang baik dan sebaliknya. Orang yang bertindak dengan mendengarkan dan manaati suara
hatinya adalah orang yang bertanggung jawab dan tanggung jawab manusia tidak dapat
dilepaskan dari kebebasannya.
12.6. Pancasila sebagai landasan etika
Pemahaman Pancasila sendiri selain sebagai ideologi, pandangan hidup, kepribadian, dan
kebudayaan negara-bangsa adalah kristalisasi nilai, standar etika, serta manifestasi norma,
dalam aspek moralitas pikiran-tindakan-ucapan. Dengan demikian, seluruh ruang kehidupan
bermasyarakat-bernegara berada dalam koridor landasan ideologis Pancasila.
Hal ini merujuk pada arti kata ideologi itu sendiri, Althusser sendiri menekankan pula bahwa
ideologi adalah relasi imajiner individu-individu terhadap kenyataan real eksistensi mereka,
yaitu ideologi sebagai kekuatan material dalam masyarakat yang menyerap individu-individu
sebagai subjek dalam ideologi tertentu, misalnya relasi imajiner guru-murid menghasilkan
praktik material tentang cara berinteraksi antara guru dan murid15.
“Relasi imajiner” inilah yang akan membentuk sebuah kesepakatan bersama dalam
kehidupan sosial, atau konsensus bersama dalam bingkai kesatuan ideologi ataupun
15 Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta, 2005
2016 14 Pancasila Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum http://www.mercubuana.ac.id
karakter. Kesatuan inilah yang membentuk ikatan antara manusia-manusia yang bermukim
dalam satu wilayah tertentu dalam bangunan kesadaran sebagai bangsa.
“Menurut Renan syarat bangsa ialah ‘kehendak akan bersatu.’ Perlu orang-orangnya
merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: ‘le desir d’etre
ensemble’, yaitu kehendak akan bersatu”. Dalam bangsa tersebutlah, akan ditemukan ikatan
yang tidak semata dibangun lewat persamaan historis an sich, dan geo-politik, namun
mengacu kepada kesadaran sejarah, budaya, politik, dan ekonomi. Jelas, pada level
semantik tersebut akan ditemukan perbedaan dengan frasa masyarakat atau warga-negara
sekalipun. Dengan begitu, akan ditemukan pula bagaimana sebuah hubungan antara
manusia, lembaga, serta tata-peraturan akan di”main”kan lewat kerangka legitimasi dan
legalitas.
Perwujudan ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak lepas pula dari
kesatuan sistematika etika yang dipraktekkan. Pancasila sendiri mendasarkan tata-etika
pada lima prinsip negara Indonesia yang dipaparkan dalam pidato Lahirnya Pancasila, 1
Juni 1945 sebagai pedoman dalam penggalian kembali etik yang sesuai dengan kepribadian
bangsa. Disini, pertautan antara ideologi, etika, serta standar moralitas yang bertujuan
pendisiplinan masyarakat.
Kekuasaan menurut pandangan Foucault tidaklah dimiliki melainkan bermain/dimainkan
terus-menerus:
“…power is not something which can be possessed by individuals or social groups. Rather, it must be seen as something constantly in play. Power relations, such as those between employers and employees, or between mothers and doctors, are always susceptible to reversal…..Foucault does not limit the sphere of power relations to interactions between the individuals and state apparatuses: they extend throughout the social field, operating between men and women, professionals and their client.”
Secara umum, keberadaan kekuasaan dan legitimasi ideologi inilah yang memberikan
“ruang-kuasa” wacana/diskursus untuk mengatur mana yang baik dan buruk serta rumusan
antropologi ke”warga”an. Dengan begitu, dimensi etika disini sangat dibutuhkan untuk
menjadi landasan bagi beroperasinya “kuasa” ideologi serta kekuasaan negara yang
mewujud dalam ISA (Ideological State Aparatus), sebagai bentukan aktor yang menjalankan
seperangkat praktik ritual-ritual, dimana praktik tersebut selalu terdapat dalam eksistensi
material, seperti lembaga pendidikan, agama, atau institusi kebudayaan dan RSA
(Represive State Aparatus), yang dibentuk untuk membenarkan tindakan yang “diucapkan”
lewat kuasa-fisik serta kekuatan pengadilan, militer, polisi, birokrasi, termasuk institusi
negara sekalipun, hal ini mengacu pada logika yang melekat pada negara yaitu pemaksaan.
Keberadaan Pancasila lewat seperangkat etika tak bisa melepaskan dari konsep
kebudayaan yang menurut Kluckhohn antara lain bahasa, sistem pengetahuan, organisasi
sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi,
2016 15 Pancasila Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum http://www.mercubuana.ac.id
dan kesenian. Pada akhirnya, penafsiran kembali etika Pancasila sebagai seperangkat
sistem kebudayaan tak bisa dilepaskan dari frase “bangsa” sekaligus ikatan geopolitik-
geohistoris, bahkan konsensus bersama yang menghasilkan kontrak politik. Dengan
demikian, sintesa antara lima prinsip (nasionalisme, internasionalisme, demokrasi,
kesejahteraan sosial, dan ke-Tuhanan yang berkebudayaan) dalam Pancasila melahirkan
kembali kesatuan dan kesadaran berbudaya dan berpengetahuan lewat bingkai etika
Pancasila.
Secara umum, dapat ditangkap bahwa fenomena demokrasi, metode perwakilan, model
permusyawaratan pada ranah perencanaan serta pengambilan keputusan adalah
rasionalisasi dari adanya hakikat kebangsaan, nilai kemanusiaan, serta sarana pencapaian
tujuan dari negara tersebut. Pada akhirnya, interpretasi etika sebagai sistem kebudayaan
dibangun pada adanya kenyataan/realita bahwa Indonesia dibangun atas nilai kepribadian
serta rangkaian sejarah peradaban.
2016 16 Pancasila Pusat Bahan Ajar dan eLearning
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
1. Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2001
2. Gauthier, David, “The Social Contract as Ideology”, in Contemporery Political
Philosophy: An Anthology, Robert E. Goodin and Phillip Pettit (eds), Blackwell,
Oxford, 1997
3. Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2002
4. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000
5. P. J. Suwarno, Pancasila budaya bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1993
6. Panji Setijo, Pendidikan Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010
7. R. Soeprapto, Pancasila Menjawab Globalisasi, Yayasan Taman Pustaka,
Tangerang, 2004
8. Rawls, John, “The Domain of the Political and Overlapping Consensus”, in
Contemporery Political Philosophy: An Anthology, Robert E. Goodin and Phillip Pettit
(eds), Blackwell, Oxford, 1997
9. Rawls, John, Political Liberalism, Columbia University Press, New York, 1996
10. St. Sularto dkk., Rindu Pancasila: Merajut Nusantara, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, 2010
11. Syahrial Syarbaini, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2004
12. Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011