1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberagaman bahasa merupakan salah satu faktor Indonesia mendapat
perhatian dunia. Salah satu bahasa di Indonesia yang mendapat perhatian linguis
dari berbagai negara yaitu bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan salah satu
bahasa daerah di Indonesia yang masih hidup dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat. Bahasa ini tidak hanya dikenal dan digunakan oleh etnis Jawa, tetapi
juga oleh sebagian etnis lain yang ingin mempelajari bahasa Jawa untuk
membantu berkomunikasi praktis. Sebagai bahasa yang telah lama hidup dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat, tidak heran jika sejarah dan tradisinya
juga masih terpelihara oleh masyarakat.
Bahasa Jawa menempati urutan ke-11 dari 6.703 bahasa di dunia
berdasarkan jumlah penutur terbanyak. Sekarang ini, jumlah penutur bahasa Jawa
mencakup 75.500.000 orang yang tersebar di Propinsi Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Lampung, sekitar Medan, daerah-
daerah transmigrasi di Indonesia (antara lain Riau, Jambi, Kalimantan Tengah),
dan beberapa tempat di luar negeri (Suriname, New Caledonia, dan Pantai Barat
Johor) (Laksono dalam Marsono, 2011:12--13). Wilayah pakai yang luas
diimbangi dengan jumlah penutur yang relatif banyak tersebut menyebabkan
bahasa Jawa mempunyai beragam variasi yang menimbulkan kekhasan bahasa
2
yang dimiliki oleh suatu masyarakat sehingga membedakannya dengan
masyarakat lainnya.
Wilayah pakai yang luas dan variasi bahasa Jawa yang beragam pun
melahirkan pengelompokan dialek yang berbeda oleh para linguis. Uhlenbeck
(1982) membagi dialek bahasa Jawa wilayah Yogyakarta dan Solo menjadi 4
dialek dan 13 subdialek. Dialek-dialek tersebut adalah dialek Banyumas, dialek
Pesisir, dialek Surakarta, dan dialek Jawa Timur. Adapun sub-subdialeknya yaitu
subdialek Purwokerto, Kebumen, Pemalang, Banten Utara, Tegal, Semarang,
Rembang, Surakarta (Solo), Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Banyuwangi, dan
Cirebon (dalam Zulaeha, 2010:74). Sementara itu, Balai Bahasa Propinsi Jawa
Tengah dalam Peta Bahasa di Jawa Tengah (2008) membagi bahasa Jawa di Jawa
Tengah menjadi lima dialek, yaitu dialek Semarsuradupati (eks-Karesidenan
Semarang, eks-Karesidenan Surakarta, eks-Karesidenan Kedu, dan eks-
Karesidenan Pati), dialek Pekalongan (Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang,
dan Kabupaten Pemalang), dialek Wonosobo (Kabupaten Wonosobo), dialek
Banyumas (Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap, dan Kabupaten Kebumen),
dan dialek Tegal Kabupaten Tegal dan Brebes).
Salah satu wilayah pemakaian bahasa Jawa yaitu di Karimunjawa.
Karimunjawa merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Jepara. Penelitian
ini mengkaji pemakaian bahasa Jawa yang terdapat di Karimunjawa, yang
selanjutnya disingkat BJEK. Karimunjawa merupakan daerah enklave bahasa
Jawa. Enklave adalah 1 negara atau bagian negara yang dikelilingi oleh wilayah
suatu negara lain; 2 daerah (wilayah) budaya yang terdapat di dalam wilayah
3
budaya lain (KBBI, 2008:375). Enklave seringkali digunakan untuk menyebut
daerah kantong yang menjadi tempat sebaran suatu bahasa di luar daerah sebaran
bahasa asalnya.
Karimunjawa yang tersohor sebagai paradise of Java memiliki wisata
bawah laut, multietnis, dan bahasa yang saling bersinergi ini terletak di barat laut
kota Jepara tepatnya 45 mil atau 83 km dari Jepara dan 60 mil atau 110 km dari
Semarang pada koordinat 5°40‟39″--5°55‟00″ LS dan 110°31‟15″ BT. Seluruh
wilayah kepulauan di Karimunjawa berbatasan langsung dengan Laut Jawa.
Karimunjawa memiliki 27 pulau, meliputi 5 pulau yang sudah berpenghuni dan 22
pulau yang belum berpenghuni. Wilayah ini terbagi menjadi empat desa, yaitu
Desa Karimunjawa, Kemojan, Nyamuk dan Parang. Penduduknya mayoritas
bermatapencaharian sebagai nelayan.
Karimunjawa terdiri atas berbagai macam etnis, antara lain berasal dari
Jawa, Madura, Bugis, Mandar, dan Buton (Tim Mahasiswa Antropologi UGM
Angkatan 2002, 2004:7). Etnis-etnis tersebut merupakan etnis pendatang dan
bukan penduduk asli Karimunjawa. Mereka datang ke daerah tersebut dengan
berbagai tujuan (motif). Ada yang semula datang dengan tujuan berdagang
ataupun mencari daerah baru untuk bermukim. Bahkan, sampai sekarang masih
terjadi kesimpangsiuran asal muasal penduduk di Karimunjawa, yang lebih
dikenal dengan sebutan “orang Karimun”. Ada yang berpendapat bahwa asal
muasal penduduk Karimunjawa bermula dari seseorang yang bernama Dahyang
Jaya sebagai cikal bakalnya. Ada pula yang berpendapat asal muasal penduduknya
adalah orang-orang Tionghoa yang dulunya tinggal di pesisir pantai. Selain itu,
4
terdapat pendapat lain tentang penduduk Karimunjawa yaitu menurut survei yang
dilakukan Tim Mahasiswa Antropologi UGM 2002, penduduk Karimunjawa yang
berlatarbelakang suku Jawa umumnya berasal dari wilayah Jepara dan sekitarnya
seperti Bugel, Keling, Tahunan, Mlongo, dan wilayah pesisir pantai Jepara
lainnya (2004:7). Selain itu, terdapat pula sebagian penduduk Karimunjawa yang
berasal dari Yogyakarta, Solo, Magelang, dan beberapa kota di Jawa Timur. Dari
beberapa pemaparan asal muasal penduduk Karimunjawa keseluruhan merupakan
etnis-etnis pendatang sehingga dapat ditarik kesimpulan Karimunjawa bukanlah
daerah asal bahasa Jawa, tetapi hanyalah daerah kantong (enklave) pemakaian
bahasa Jawa.
Berdasarkan peta bahasa Salzner, bahasa di Karimunjawa adalah
campuran bahasa Jawa dan Madura (Bantu, 1972:27). Akan tetapi, berdasarkan
Peta Bahasa di Jawa Tengah (Solikhan., dkk., 2008:36--37) bahasa yang terdapat
di Karimunjawa hanya tercantum satu bahasa yaitu bahasa Jawa dialek
Semarsuradupati. Dialek Semaradipura mencakup wilayah eks-Karesidenan
Semarang, eks-Karesidenan Surakarta, eks-Karesidenan Kedu, dan eks-
Karesidenan Pati. Dalam hal ini, Karimunjawa merupakan salah satu wilayah di
eks-Karesidenan Pati.
Penduduk Karimunjawa sekarang ini merupakan generasi ketiga (berkisar
75 tahun lalu) keseluruhan merupakan etnis pendatang. Karimunjawa terdiri dari
dua pulau yang terpisah, yaitu Pulau Karimunjawa yang mayoritas penduduknya
etnis Jawa dan Pulau Kemojan yang penduduknya terdapat sekelompok etnis
Bugis. Sementara itu, orang-orang Karimunjawa didominasi oleh etnis Jawa
5
sehingga etnis-etnis minoritas lainnya dengan sukarela mengadopsi budaya Jawa
sebagai bentuk toleransi hidup berdampingan antaretnis. Selain budaya yang
mereka adopsi, tidak dapat dipungkiri bahasa yang dominan di daerah tersebut
juga bahasa Jawa sehingga secara otomatis dan tidak disadari etnis-etnis selain
Jawa juga mempelajari dan menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi
sehari-hari dengan orang Jawa. Situasi tersebut menimbulkan adanya suatu kontak
bahasa di daerah tersebut. Kontak bahasa adalah saling pengaruh antara pelbagai
bahasa karena para bahasawannya sering bertemu; tercakup di dalamnya
bilingualisme, peminjaman, perubahan bahasa, kreolisasi, dan pijinisasi
(Kridalaksana, 2008:134).
Berdasarkan observasi awal dan dari literatur menyebutkan bahwa bahasa
Jawa di Karimunjawa umumnya berasal dari Jawa Tengah. Dalam penelitian ini
Karimunjawa disebut sebagai daerah enklave sedangkan Jepara dan Yogyakarta
sebagai daerah asal. Untuk itu, akan dipaparkan perbandingan penggunaan bahasa
Jawa di enklave Karimunjawa (BJEK), bahasa Jawa Jepara (BJJ), dan bahasa
Jawa Yogya (BJY).
Tabel 1. Penggunaan bahasa Jawa di Karimunjawa (BJK) dibandingkan dengan
bahasa Jawa di Jepara (BJJ) dan bahasa Jawa Yogyakarta (BJY)
No Gloss BJY BJJ BJK
1 tangan taan taan taan
2 kiri kiw kiw kiw
3 kanan təən təən təən
4 kaki sikIl sikIl sikIl
5 berjalan mlaku mlaku mlaku
6 debu ləbu blədu awu
7 tahu ərti rəti ərti
8 kotor rəgət rush rush
6
9 banyak kɛh
akɛh
mbərah mbəru
10 pusar wudəl
udəl
udəl udəl
11 bengkak abuh
abUh abh abh
12 bersin waen
wahe
wahe
wae
wahe
13 pendek cənḍə cənḍə cənḍi
14 memberi əwɛi
ənɛi
ɛi wɛi
15 dingin aḍəm
añəp
ates atis
añəp
16 asap kukUs
kəbUl
kəbUl kel
17 awan pəḍUt
meg
meg rintən
18 bagaimana kəpiye
piye
piye piye
19 perahu prau juk guku
20 gubuk gubU akr gubU
21 kucing kuce kuce
kce
kuce
22 itu kuwi ikə kuwi
23 dekat cəra cəra
para
cəḍa
24 sedikit səṭiṭe
ṭiṭe
səṭiṭe
ṭiṭe
siṭi
25 hanya me mɛ m
26 terbang mabUr mabUr
mibər
mabUr
27 minum ombe ombe
inom
ombe
28 melihat ndələ
ndəl
ndələ
iəti
ndəl
əti
29 kikir cəṭel brənṭel məḍit
mricə
30 kencing uyoh əbər uyoh
31 menjahit njaIt njaet dndm
32 paha kempl
pupu
sempl sempl
33 sayap suwiwi
səwiwi
əlar suwiwi
7
34 gundukan
tanah gumo pugro gomo
35 pantai pəsiser gise babakan
36 lurus ləmpə ləmpə
ləncə
ləmpə
37 anak katak pərcel
ceb
kəcel precel
cebl
38 lutut ḍəkol gunḍu ḍəkol
Dari beberapa pemaparan contoh data pemakaian bahasa Jawa di
Yogyakarta, Jepara, dan Karimunjawa memperlihatkan adanya kemiripan dari
segi fonologi dan leksikal. Beberapa glos memiliki berian yang sama pada ketiga
daerah tersebut yaitu pada glos 1--5. Dari segi fonologi, terlihat beberapa fonem
yang bersubstitusi, misalnya contoh data 11 glos „bengkak‟ terdapat substitusi
bunyi u ~ ~ pada posisi ultima, data 23 glos „dekat‟ terdapat substitusi bunyi r
~ r ~ ḍ pada posisi ultima, dan pada data 32 glos „paha‟ terdapat substitusi bunyi k
~ s ~ s pada posisi penultima. Adapun perbedaan leksikon, misalnya terlihat pada
contoh data 29 dan 35. Selain adanya kemiripan fonologi dan leksikon, dari
pemaparan contoh data tersebut tampaklah adanya variasi berian yang
menunjukkan secara mandiri karakter masing-masing daerah tidak begitu
mencolok, tetapi variasi berian tersebut muncul sebagai adanya pengaruh daerah
asal terhadap daerah enklave. Dengan kata lain, pemakaian bahasa Jawa di ketiga
daerah pemakaian bahasa Jawa tersebut relatif tidak mencolok perbedaannya
sehingga secara umum pemakaian bahasa Jawa di ketiga daerah tersebut memiliki
kemiripan yang relatif tinggi sebagai bentuk adanya hubungan antara daerah asal
dan daerah enklave.
8
Pemilihan lokasi penelitian di Karimunjawa dengan tinjauan dialektologi
diakronis didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, kajian atau pun penelitian
mengenai Karimunjawa masih terbatas pada sosio-kultural dan belum adanya
penelitian bahasa secara memadai. Kedua, adanya kesimpangsiuran status bahasa
di Karimunjawa yang dalam hal ini termasuk dalam wilayah Jepara yang oleh
Pusat Bahasa (2008) dikelompokkan dalam dialek Solo-Yogja, sedangkan
menurut Katrini (2002), wilayah Jepara termasuk dalam wilayah dialek Pesisir.
Ketiga, adanya pengaruh-pengaruh baik dari intern maupun ekstern, diantaranya
Karimunjawa merupakan masyarakat multietnis sehingga terdapat kemungkinan
bahasa yang digunakan saling mempengaruhi sehingga memberikan sumbangan
terhadap pemertahanan maupun pergeseran bahasa tersebut yang layak untuk
dikaji. Keempat, kondisi geografis Karimunjawa yang terpisah dari daerah asal
(dalam hal ini Jepara dan Yogyakarta) memberikan kemungkinan perkembangan
bahasanya sejalan ataukah lebih lambat dari daerah asalnya. Hal ini disebabkan
oleh kondisi geografis kepulauan menyebabkan hubungan dengan daerah-daerah
lain atau pun daerah asal bahasa Jawa enklave Karimunjawa (dalam hal ini Jepara
dan Yogyakarta) menjadi terbatas. Kelima, pemakaian bahasa di daerah enklave
umumnya berkaitan dengan migrasi yang terjadi pada masa lalu sehingga
diasumsikan BJEK memiliki hubungan dengan daerah asalnya, yaitu Jepara dan
Yogyakarta.
Hal-hal yang dipaparkan sebelumnya merupakan faktor-faktor yang
melandasi penelitian yang berpotensi mempengaruhi penggunaan BJEK dapat
mengalami pemertahanan maupun pergeseran. Dengan demikian, kemungkinan-
9
kemungkinan pengaruh yang ada tersebut dapat berasal dari intralinguistik
maupun ekstralinguistik bahasa yang bersangkutan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diperoleh rumusah masalah
sebagai berikut.
a. Bagaimana pemakaian bahasa Jawa di daerah enklave Karimunjawa?
b. Bagaimana perbedaan bahasa Jawa di daerah enklave Karimunjawa
dan daerah asalnya?
c. Mengapa bahasa Jawa di daerah enklave Karimunjawa mengalami
pemertahanan, di samping pergeseran yang diduga tidak paralel
dengan yang dialami bahasa Jawa di daerah asalnya?
1.3 Tujuan Penelitian
a. Mendeskripsikan pemakaian bahasa Jawa di daerah enklave
Karimunjawa yang mencakup aspek fonologi, morfologi, sintaksis,
morfofonemik, dan leksikon.
b. Mendeskripsikan perbedaan bahasa Jawa di daerah enklave
Karimunjawa dan daerah asalnya melalui perbedaan-perbedaan
diakronis dalam unit-unit lingualnya.
c. Menjelaskan alasan-alasan bahasa Jawa di enklave Karimunjawa
mengalami pemertahanan, di samping pergeseran yang diduga tidak
paralel dengan yang dialami bahasa Jawa di daerah asalnya.
10
1.4 Ruang Lingkup
Penelitian ini termasuk dalam kajian dialektologi. Dialektologi adalah
cabang linguistik yang meneliti perbedaan-perbedaan isolek dengan
memperlakukan perbedaan tersebut secara utuh (Mahsun, 1995:11). Dialektologi
memiliki dua buah cabang, yakni geografi dialek dan sosiodialek.
Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada dialektologi diakronis.
Mahsun (1995:15) memaparkan dialektologi diakronis berupaya memberikan
gambaran tentang dialek dan subdialek secara utuh dengan melihat keterhubungan
antardialek/subdialek dengan bahasa induk yang menurunkannya serta hubungan
antardialek/ antarsubdialek itu baik antarsesamanya maupun dengan dialek atau
bahasa yang lain yang pernah menjalin kontak dengan dialek atau subdialek
tersebut.
Daerah penelitian yang dipilih adalah Karimunjawa sebagai salah satu
daerah enklave bahasa Jawa. Karimunjawa dipilih karena bahasa Jawa yang
digunakan di daerah ini memiliki karakter khas sebagai wujud bahasa yang
tumbuh di tengah-tengah multikultural dan sebagai cermin dari bahasa Jawa dari
daerah asalnya, yaitu Jepara dan Yogyakarta. Daerah penelitian yang dipilih yaitu
di dua desa (Desa Kemojan dan Desa Karimunjawa) yang terdapat di dua pulau
terbesar di Karimunjawa (Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemojan). Kedua pulau
ini merupakan pulau-pulau awal yang dimukimi manusia. Selain itu, digunakan
pula bahasa Jawa di daerah asal sebagai pembanding, yaitu bahasa Jawa di Jepara
(dengan titik pengamatan Tahunan sebagai daerah pesisir pantai) dan Yogyakarta
(dengan titik pengamatan Kulonprogo).
11
Pembahasan penelitiannya ini meliputi pemaparan diakronis bahasa Jawa
di enklave Karimunjawa yang diperbandingkan dengan bahasa Jawa di daerah
asal (bahasa Jawa Yogyakarta dan Jepara) untuk melihat keterhubungan sejarah
bahasa di daerah-daerah tersebut. Sebelum pemaparan diakronis, pemaparan
secara sinkronis (meliputi fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis) juga dilakukan
untuk melihat sistem bahasa yang ada sebagai hal yang dapat diperbandingkan
untuk melihat keterhubungan bahasa di daerah tersebut. Selain itu, pemaparan
sejarah daerah dan bahasa juga dilakukan untuk mengetahui sejarah dan
keterhubungan kebahasaan daerah asal dan enklave.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diadakan dengan harapan dapat memberikan sumbangan,
baik secara teoretis ataupun secara praktis. Secara teoretis, penelitian ini
diharapkan dapat lebih mengembangkan ilmu linguistik, khususnya kajian
dialektologi. Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai invertarisasi dan pendokumentasian bahasa Jawa yang berada di daerah
enklave bahasa Jawa, yaitu Karimunjawa, membantu pemahaman masyarakat
tentang bahasa Jawa di daerah tersebut sehingga diharapkan dapat membantu
dalam berkomunikasi praktis masyarakat yang mempunyai minat terhadap bahasa
yang bersangkutan. Selain itu, dengan memahami tipe-tipe BJEK diharapkan
masyarakat yang akan berada di salah satu daerah tersebut dapat tepat sasaran
dalam menggunakan bahasa sesuai dengan lokasinya.
12
1.6 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, penelitian bahasa Jawa sudah
banyak dilakukan, baik yang berkaitan dengan kondisi sosio-kultural maupun
kebahasaan. Penelitian yang bersangkutan dengan aspek kebahasaan bahasa Jawa
antara lain pernah dilakukan oleh Sabariyanto, dkk. (1983) dalam judul Geografi
Dialek Bahasa Jawa Kabupaten Pati, Sabariyanto, dkk. (1985) dalam judul
Geografi Dialek Bahasa Jawa Kabupaten Jepara, Mubarok (2007) tentang
“Penggunaan Bahasa Jawa di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah Kajian Geografi
Dialek”, Ismiharta (2005) yang berjudul “Geografi Dialek Jawa Kulon Progo”,
Katrini (2002) mengenai “Bahasa Jawa di Jawa Tengah bagian Timur (Sebuah
Kajian Geografi Dialek”, Pujiyatno (2007) yang berjudul “Variasi Dialek Bahasa
Jawa di Kabupaten Kebumen” dan Rohmatunnazilah (2007) berjudul “Pemakaian
Bahasa Jawa di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” dengan menggunakan
tinjauan sosiodialektologi.
Beberapa penelitian bahasa Jawa secara umum dari berbagai kajian
dipaparkan sebagai berikut. Mubarok (2007) deskripsi perbedaan leksikal yang
ada di dalam Bahasa Jawa Dialek Banyumas (BJDB) melalui perhitungan
dialektometri, memetakan perbedaan leksikal dengan peta isoglos dan heteroglos,
dan memaparkan karakteristik BJDB pada tataran fonologi, morfologi, dan
semantik. Hal tersebut serupa dengan yang dilakukan oleh Ismiharta (2005)
mengenai “Geografi Dialek Jawa Kulon Progo menguraikan tentang gejala bahasa
di bidang fonetik dan morfologi, perhitungan isoglos dan heteroglos, gejala unik,
serta perhitungan secara statistik dengan dialektometri. Lebih lanjut, pembahasan
13
secara sinkronis dengan memperhatikan faktor geografis dan sosiokultural pernah
dilakukan oleh Pujiyatno (2007) mengenai “Variasi Dialek Bahasa Jawa di
Kabupaten Kebumen mengkaji perbedaan variasi dialek bahasa Jawa di
Kabupaten Kebumen pada tataran fonologi, morfologi, dan tingkat tutur,
memetakan variasi dialek, dan memaparkan faktor-faktor yang menyebabkan
perbedaan tersebut secara geografis dan sosiokultural. Selain itu, kajian
sosiodialektologi Rohmatunnazilah (2007) berjudul “Pemakaian Bahasa Jawa di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memaparkan secara sinkronis, yaitu
deskripsi variasi pemakaian BJB pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis,
maupun leksikal, serta mendeskripsikan tingkat tutur BJB, dan secara diakronis
mendeskripsikan perkembangan historis BJB sehingga dapat ditetapkan daerah
penelitian (DP) yang masih mempertahankan bentuk retensi dari bahasa Jawa
kuna atau yang sudah menggunakan bentuk inovasi.
Penelitian yang berhubungan dengan daerah penelitian (Karimunjawa)
antara lain oleh Sabariyanto, dkk. (1985) dalam judul Geografi Dialek Bahasa
Jawa Kabupaten Jepara mengkaji pemakaian bahasa Jawa di wilayah Kabupaten
Jepara dengan kajian geografi dialek yang mengambil titik pengamatan sejumlah
31 desa di sembilan kecamatan (Kecamatan Clering, Bangsri, Mlonggo, Batealit,
Jepara, Mayong, Pecangakan, Kedung, dan Welahan). Dalam hal ini, Kabupaten
Jepara yang waktu itu berjumlah 10 kecamatan hanya diambil 9 kecamatan
sebagai titik pengamatan dengan pertimbangan satu kecamatan mengalami
kesulitan akses transportasi, yaitu Kecamatan Karimunjawa. Dalam penelitian
tersebut diperoleh hasil unsur bahasa Jawa di Jepara, baik fonologi maupun
14
morfologinya jika dibandingkan dengan bahasa Jawa Baku tidak memiliki ciri
yang sangat mencolok, tetapi dari unsur leksikon ditemukan beberapa leksikon
yang khas bahasa Jawa Jepara.
Sabariyanto, dkk. (1983) dalam judul Geografi Dialek Bahasa Jawa
Kabupaten Pati. Sama halnya dengan penelitian tentang bahasa Jawa Jepara,
bahasa Jawa Pati juga tidak memiliki perbedaan-perbedaan yang mencolok jika
dibandingkan dengan bahasa Jawa baku, baik fonologi maupun morfologinya,
tetapi dari unsur leksikon ditemukan beberapa leksikon yang khas bahasa Jawa
daerah tersebut. Dari segi morfologinya, bahasa Jawa Pati mempunyai ciri khas
pada bentuk yang menyatakan milik, yaitu munculnya penanda -em pada akhir
nomina seperti halnya -mu pada bahasa Jawa baku.
Katrini (2002) dalam disertasinya mengenai “Bahasa Jawa di Jawa Tengah
Bagian Timur (Sebuah Kajian Geografi Dialek) membahas secara kuantitatif
menggunakan metode dialektometri yang mencakup 60 titik pengamatan yang
tersebar di pantai utara (kota Semarang, Magelang, Yogyakarta), dan pantai
selatan ke arah timur hingga perbatasan daerah Propinsi Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang meliputi Demak, Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Blora, Semarang,
Grobogan, Magelang, Sleman, Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, Wonogiri,,
Klaten, Sukoharjo, Boyolali, dan Sragen. Dari perhitungan dialektometri tersebut,
wilayah penelitian terbagi menjadi dua wilayah dialek, yaitu wilayah utara
termasuk wilayah dialek pesisir dan wilayah sebelah selatan termasuk dalam
wilayah dialek Yogya-Sala (Nagari). Di samping itu, secara kualitatif penelitian
ini menjabarkan ciri-ciri umum yang membedakan antara dialek Pesisir dengan
15
dialek Yogya-Sala (Nagari) yang mencakup perbedaan fonologis, morfologis,
maupun leksikal.
Sementara itu, kajian bahasa Jawa ditinjau dengan dialektologi diakronis
telah banyak dilakukan oleh para linguis maupun peneliti lainnya. Kajian-kajian
tersebut meliputi kajian dialektologi diakronis secara umum maupun kajian
khusus mengenai dialektologi diakronis di suatu enklave. Beberapa dari kajian
tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Sukmawati (2012) yang berjudul “Enklave Bahasa Jawa di Provinsi
Bengkulu: Kajian Dialektologi Diakronis” ini bertujuan untuk mendeskripsikan
secara sinkronis dan diakronis bahasa Jawa yang terdapat di enklave Bengkulu.
Penelitian mengambil dua titik pengamatan, yaitu Kelurahan Kemumu dan Desa
Tangsi Duren. Pengumpulan data dilakukan dengan metode pupuan lapangan
dengan teknik catat dan rekam. Data primer yang digunakan untuk keperluan
analisis diperoleh dengan wawancara terstruktur menggunakan daftar Swadesh
yang telah direvisi oleh Blust dan kosakata dasar budaya. Analisis data dilakukan
dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data yang diperoleh dianalisis secara
sinkronis dari tataran fonologi, leksikon, morfologi, morfofonemik, dan sintaksis.
Hasil analisis tersebut kemudian dibandingkan antara satu dengan lainnya untuk
mendapatkan ciri-ciri yang khas yang terdapat dalam bahasa Jawa di enklave
Bengkulu. Selanjutnya, data dianalisis secara diakronis untuk menentukan tingkat
kekerabatan antara dialek/subdialek yang dibandingkan. Untuk menemukan
tingkat kekerabatan antara dialek/subdialek dalam bahasa Jawa di enklave
Bengkulu digunakan metode komparatif dengan teknik leksikostatistik. Hasil
16
analisis data disajikan dengan menggunakan kata-kata biasa dan tabel-tabel.
Hasilnya menunjukkan tidak adanya perbedaan yang mencolok antara BJEB
dengan bahasa di daerah asalnya. Perbedaan paling terlihat pada tataran leksikal,
yaitu banyak kata-kata bahasa Jawa yang telah digantikan oleh kata-kata bahasa
Indonesia. Selain itu, penggunaan tingkat tutur sudah mulai ditinggalkan oleh
masyarakat Jawa di enklave Bengkulu dalam percakapan sehari-hari.
Ibrahim (2010) dalam tesisnya yang berjudul “Enklave Bahasa Galela di
Kabupaten Pulau Morotai” mendeskripsikan bahasa Galela yang dituturkan di
Kabupaten Pulau Morotai secara sinkronis dan diakronis. Deskripsi sinkronis
meliputi deskripsi fonologis, proses morfofonemik, leksikal, morfologis, dan
sedikit konstruksi sintaksis. Sementara itu, deskripsi diakronis, berupa
penelusuran hubungan antara bahasa Galela yang dituturkan di Pulau Morotai
dengan bahasa Galela yang dituturkan di tempat asalnya, yaitu Halmahera Utara.
Penelitian ini menggunakan alat 200 kosakata dasar Swadesh dan kosakata dasar
budaya. Dalam penelitian ini terdapat tiga titik pengamatan dan pada tiap titik
pengamatan diambil tiga informan. Penelitian ini menggunakan metode pupuan
lapangan dengan teknik catat dan rekam dalam mengumpulkan datanya.
Sementara itu, dalam menganalisis data, penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan menggunakan
perhitungan leksikostatistik dan dialektometri, sedangkan metode kualitatif
dilakukan dengan mencari inovasi bersama dalam tataran fonologis, morfologis,
dan leksikal. Dari penelitian ini, diketahui bahwa bahasa Galela di enklave
Kabupaten Pulau Morotai masih memiliki hubungan erat dengan bahasa Galela di
17
Halmahera Utara. Hal ini terlihat dari persentase kekerabatan yang tinggi di antara
keduanya yang terlihat dari perhitungan leksikostatistik dan dialektometri.
Zawarnis (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Variasi Dialektal Bahasa
Jawa di Lampung” membahas variasi dialektal bahasa Jawa di Lampung meliputi
variasi leksikal dan fonologis. Pengambilan data dilakukan dengan metode
wawancara terhadap lima belas informan. Pengolahan data melalui perhitungan
dialektometri dan penyusunan berkas isoglos. Informan yang dipilih adalah
informan yang berasal dari suku Jawa yang dilahirkan di Lampung. Zawarnis
melakukan penelusuran distribusi variasi bahasa Jawa di Lampung melalui
analisis berdasarkan pengelompokkan jumlah etimon dan medan makna. Dari
penelitian ini dapat diketahui bahwa secara leksikal hubungan antara variasi
bahasa Jawa di lampung dengan bahasa Jawa di daerah asalnya hanya merupakan
perbedaan dialek. Adapun secara fonologis, variasi yang muncul menunjukkan
perbedaan yang tinggi ketika dibandingkan dengan bahasa Jawa di daerah asalnya.
Duwila (2009) dalam tesisnya yang berjudul” Kajian Dialektologi
Diakronis Enklave Melayu Bacan, Ternate, dan Sula di Provinsi Maluku Utara”
mendeskripsikan variasi bahasa Melayu yang digunakan di Maluku Utara.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan sinkronis dan
diakronis. Analisis secara sinkronis dan diakronis dilakukan dengan tujuan
melihat ciri-ciri kebahasaan dari masing-masing enklave bahasa Melayu,
sekaligus dapat menentukan daerah manakah di Maluku Utara yang merupakan
daerah relik atau daerah inovasi. Melayu Bacan digunakan sebagai pembanding
untuk melihat ciri-ciri linguistik Melayu Ternate maupun Melayu Sula. Melayu
18
Bacan digunakan sebagai bahan pembanding dengan pertimbangan Melayu Bacan
telah digunakan sebelumnya oleh Adelaar (1994) dalam merekonstruksi bahasa
Melayu.
Lembaga Bahasa Nasional (1972) menerbitkan Peta Bahasa-Bahasa di
Indonesia yang di dalamnya membahas bahasa-bahasa beserta dialek dan sub-
subdialeknya dan peta pada sejumlah daerah di Indonesia, mencakup Sumatra,
Jawa dan Madura, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, serta Maluku
dan Irian Barat. Kajian serupa mengenai bahasa dan peta bahasa diterbitkan oleh
Pusat Bahasa (2008) yang berjudul Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia yang
menjabarkan kekerabatan dan pemetaan bahasa di Indonesia yang mencakup
deskripsi 442 bahasa di Indonesia. Buku ini merupakan hasil sementara
pengolahan data dari 2.185 daerah pengamatan. Hasilnya lebih terfokus pada
perhitungan dialektometri yang disajikan dalam bentuk peta bahasa. Menurut
buku ini, bahasa Jawa yang dituturkan di Jawa Tengah terdapat lima dialek, yaitu
dialek Solo-Jogja, dialek Pekalongan, dialek Wonosobo, dialek Banyumas, dan
dialek Tegal. Dalam hal ini, bahasa di Karimunjawa termasuk dalam dialek Solo
Jogja karena masih termasuk karesidenan Pati yang merupakan wilayah pakai
dialek Solo-Jogja.
Kajian mengenai bahasa dan peta bahasa Jawa juga terdapat pada Peta
Bahasa di Jawa Tengah yang dilakukan oleh Solikhan, dkk (2008). Penelitian
tersebut merupakan penelitian lanjutan pada tahun 2006 yang baru sampai tahap
penabulasian data, kemudian dilakukan perhitungan dialektometri dan
leksikostatistik untuk membuktikan varian-varian tersebut dalam satu dialek
19
ataupun tidak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif
untuk mengkaji secara sinkronis (menentukan status isolek sebagai bahasa, dialek,
atau subdialek dan menentukan jumlah dialek/ bahasa) bahasa Jawa dan membuat
peta unsur-unsur kebahasaan.
Adapun pustaka mengenai sosio-kultural Karimunjawa terdapat pada
laporan penelitian Mahasiswa Antropologi UGM (2004) yang berjudul
“Hubungan Antarsuku Bangsa dan Ekologi di Karimunjawa”. Selain itu juga
terdapat sebuah artikel yang berjudul “Rayuan Pulau Kemujan” (2013) yang
disusun oleh Ekspedisi Traveler‟sNote Edisi September 2013 Volume 3. Kedua
karya tersebut memuat seputar kehidupan sosial dan budaya di Karimunjawa,
khususnya Pulau Kemujan.
Penelitian ini pada dasarnya akan membahas hal yang sama dengan
penelitian-penelitian sebelumnya. Namun, sejauh pengamatan penulis, kajian
secara khusus terhadap bahasa Jawa di daerah Karimunjawa belum pernah
dilakukan oleh peneliti lain. Dari berbagai pustaka yang telah dipaparkan
sebelumnya, tampaklah bahwa kajian mengenai Karimunjawa masih terbatas pada
kondisi sosiokulturalnya dan belum mencakup kajian bahasa. Oleh karena itu,
penulis merasa penelitian ini layak untuk dilakukan.
1.7 Landasan Teori
Dialektologi merupakan ilmu tentang dialek; atau cabang dari linguistik
yang mengkaji perbedaan-perbedaan isolek dengan memperlakukan perbedaan
tersebut secara utuh (Mahsun, 1995:11). Menurut Kridalaksana (2008:49)
20
dialektologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa-bahasa
dengan memperlakukannya sebagai struktur yang utuh.
Dialektologi memiliki dua cabang, yaitu geografi dialek dan sosiodialek.
Sosiodialek adalah cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat
di dalam ragam-ragam bahasa, dengan bertumpu kepada satuan sosial ragam-
ragam bahasa tersebut. Adapun geografi dialek adalah cabang dialektologi yang
mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa, dengan
bertumpu kepada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam tersebut
(Dubois dkk., dalam Ayatrohaedi, 1979:28). Geografi dialek bertujuan untuk
mencari dan menemukan hal-hal yang berhubungan dengan biologi bahasa,
sosiologi bahasa, dan hubungan antara kata dengan hal atau benda yang
dilambangkan (Jaberg dalam Ayatrohaedi, 1979:29). Geografi dialek mempunyai
kedudukan yang penting dalam ilmu bahasa. Dengan penelitian geografi dialek
maka sebenarnya pada satu waktu dan kesempatan telah dapat memperoleh
gambaran umum mengenai sejumlah dialek sehingga hal tersebut sangat
menghemat waktu, tenaga, dan dana (Meillet dalam Ayatrohaedi, 1979:30).
Variasi-variasi bahasa dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor, antara lain,
letak geografis, tata tingkat dalam masyarakat, dan profesi masing-masing
kelompok penutur dalam batas-batas saling mengerti (Parera, 1991:26). Variasi
bahasa yang ditentukan oleh faktor tata tingkat disebut sosiolek, sedangkan
variasi-variasi bahasa yang ditentukan oleh letak geografis disebut dialek.
Menurut Parera (1991:26), tiap-tiap individu dalam satu masyarakat
bahasa mempunyai ciri tersendiri dalam berbahasa baik dalam hal pengucapan,
21
pemilihan kata, preferensi penggunaan bentuk bahasa, dan langgam bahasa yang
disebut idiolek. Dialek dan idiolek merupakan kajian dari geografi dialek. Adapun
menurut Guiraud (dalam Ayatrohaedi, 1979:3), setiap ragam (variasi) bahasa
dipergunakan di suatu daerah tertentu dan lambat laun terbentuklah anasir
kebahasaan yang berbeda-beda pula, di antaranya dalam lafal, tata bahasa, dan
tata arti, serta setiap ragam mempergunakan salah satu bentuk khusus.
Ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam
perbedaan (diversity in unity, unity in diversity). Adapun ciri-ciri lainnya adalah
(1) dialek merupakan seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda,
yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya
dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama; dan (2) dialek
tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa (Meillet dalam
Ayatrohaedi, 1979:2). Sementara itu, hal-hal yang menjadi pembeda dialek adalah
perbedaan fonologis, perbedaan semantik, perbedaan onomasiologis, perbedaan
semasiologis, dan perbedaan morfologis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dialek merupakan salah satu
bentuk variasi bahasa di antara satu kelompok penutur dengan kelompok penutur
lain dalam suatu masyarakat yang cenderung memiliki kesamaan ciri-ciri umum
dengan dialek lain di sekitarnya dengan batas-batas geografis tertentu sehingga
tidak membuat masing-masing kelompok mempunyai bahasa yang berbeda,
misalnya kesamaan bentuk ujaran tanpa perbedaan referen yang diacunya.
Kajian sosiodialek merupakan kajian yang mempelajari variasi bahasa
dalam dialek yang berbeda dari suatu bahasa sebagai suatu sistem yang meliputi
22
berbagai tataran bahasa. Variasi bahasa yang dikaji adalah variasi bahasa
berdasarkan perbedaan kelompok-kelompok masyarakat atau sosial dalam dialek
tertentu. Jika disimpulkan, sosiodialek mengkaji perubahan tuturan dalam suatu
bahasa karena kontak sosial yang terjadi antarwilayah atau ruang geografis yang
berbeda sehingga timbul daerah pembauran (inovasi) dan daerah peninggalan
(relik).
Fernandez (1993:28) kajian sosiolinguistik (dialeksosiolinguistik) juga
perlu diketahui sebagai informasi penting dalam upaya mengkaji aspek deskripstif
(sinkronis). Menurut beliau, perubahan sosial yang terjadi antara wilayah atau
ruang geografis yang berbeda sehingga timbul daerah pembaruan (inovasi) dan
daerah peninggalan (relik). Situasi tersebut tidak terjadi secara serentak dan instan
di daerah pakai bahasa tersebut sehingga kadang-kadang perubahan tersebut
belum mencapai pelosok pengaruh perubahan bahasanya. Daerah tersebut lebih
dikenal daerah konservatif.
Mahsun (1995) berpendapat bahwa kajian dialektologi yang menyeluruh
dan komprehensif harus bersifat sinkronis dan diakronis. Pendapat tersebut
didasarkan pada pandangannya bahwa setiap kajian dialektal yang didasarkan
pada pertimbangan perbedaan sinkronis haruslah mempertimbangkan secara
serius mekanisme perubahan diakronis (vii). Mahsun (1995:15) menambahkan
bahwa dialektologi diakronis berupaya memberikan gambaran tentang dialek dan
subdialek secara utuh dengan melihat keterhubungan antardialek/subdialek
dengan bahasa induk yang menurunkannya serta hubungan antardialek/
23
antarsubdialek itu baik antarsesamanya maupun dengan dialek atau bahasa yang
lain yang pernah menjalin kontak dengan dialek atau subdialek tersebut.
Perubahan bahasa dapat disebabkan oleh faktor intralinguistik, yaitu faktor
bahasa itu sendiri, dan dapat pula disebabkan oleh faktor ekstralinguistik, seperti
faktor geografis, budaya, aktivitas ekonomi, politik, mobilitas sosial, kelas sosial,
sifat masyarakat pendukungnya, persaingan prestise, migrasi, dan kontak bahasa.
Dengan demikian, masyarakat yang bersifat heterogen berhubungan dengan
bahasa yang digunakan juga selalu menunjukkan berbagai variasi internal sebagai
akibat keberagaman latar belakang budaya penuturnya. Hal tersebut seperti yang
dituturkan oleh Mackey (1973) dalam teorinya geolinguistik yang
mengungkapkan bahwa kekuatan bahasa dapat diukur dengan sejumlah indikator,
di antaranya demografi (berkaitan dengan jumlah penutur), persebaran, ekonomi,
ideologi, dan kultural (Wijana, 2012:37).
Kontak bahasa merupakan salah satu faktor penyebab perubahan leksikal
suatu bahasa, baik pada perubahan bentuk-bentuk semantik, perubahan/
penambahan karena konsep baru, penggantian kata asli dengan kata pinjaman, dan
kadang perubahan vocabulary secara keseluruhan (Ibrahim & Machrus,
1982:177). Senada dengan pendapat tersebut, Wijana & Rohmadi (2012:6)
mengungkapkan kontak bahasa, baik yang bersikap individual (bilingual) maupun
sosial (diglosia) menimbulkan berbagai fenomena kebahasaan, seperti interferensi,
integrasi, pijin, kreol, alih kode, campur kode, pemilihan dan pemilahan bahasa.
Metode komparatif dipakai untuk membandingkan bahasa, dialek, ataupun
subdialek yang diasumsikan memiliki relasi/hubungan. Salah satu teknik dalam
24
metode komparatif yaitu leksikostatistik. Mahsun (2012:213) membagi langkah-
langkah teknik leksikostatistik terdiri atas (a) mengumpulkan kosakata dasar
bahasa yang berkerabat, (b) menerapkan dan menghitung pasangan-pasangan
mana yang merupakan kata kerabat, dan (c) menghubungkan hasil perhitungan
yang berupa persentase kekerabatan dengan kategori kekerabatan.
Leksikostatistik memberikan manfaat tidak hanya bagi antropolog dan
historikus, tetapi juga bagi linguis. Manfaat tersebut berhubungan dengan data
leksikostatistik, yaitu memberikan isyarat perkembangan bahasa yang dapat
mengambarkan waktu pisahan antara bahasa dan dialek yang dapat memberikan
sumbangan sumber untuk menentukan migrasi bangasa dan perkembangan
kebudayaan dan suku yang diteliti. Selain itu, leksikostatistik juga memberikan
sumbangan bagi penentuan lokasi geografis bahasa dan kontak budaya antara
bahasa dan bangsa pemakai (Parera, 1991:110).
Keraf (1991: 127--135) menjabarkan penghitungan kata yang berkerabat
menggunakan teknik leksikostatistik berpedoman sebagai berikut.
a. Mengeluarkan glos yang tidak akan diperhitungkan dalam penerapan
kata yang berkerabat, yaitu (1) kata-kata kosong/ tidak terealisasi, (2)
kata pinjaman, (3) kata-kata jadian pada sebuah kata benda yang bukan
kata dasar, (4) jika dalam glos ada kata yang sama, yang satu
merupakan kata dasar diperhitungkan dan kata jadiannya tidak
diperhitungkan, serta mengisolasi morfem terikat;
b. Menetapkan kata kerabat yang dapat berupa kata identik, yaitu kata
yang sama formatifnya dan kata yang memiliki korespondensi bunyi;
c. Menghitung presentase kata kerabat dengan rumus jumlah kata kerabat
dibagi jumlah kata dasar yang diperbandingkan dan dikalikan seratus
persen; dan
d. Setelah didapatkan presentase kata kekerabatan kemudian
dihubungkan dengan kategori tingkat kekerabatan bahasa untuk
menentukan hubungan kekerabatannya apakah sebagai satu bahasa,
keluarga bahasa (subfamily), rumpun bahasa (stock), mikrofilum,
mesofilum, atau makrofilum.
25
Tingkat Bahasa Presentase Kata Kerabat
Bahasa (Language)
Keluarga bahasa (subfamily)
Rumpun bahasa (stock)
Mikrofilum
Mesofilum
Makrofilum.
100-81
81-36
36-12
12-4
4-1
1-<1
Adapun untuk mengetahui hubungan kekerabatan seberapa besar
perbedaaan dan status kebahasaan bahasa Jawa di enklave dan daerah asal
digunakan teknik dialektometri. Menurut Revier (dalam Ayatrohaedi, 1983:32),
dialektometri ialah ukuran secara statistik yang dipergunakan untuk melihat
perbedaan dan persamaan yang terdapat di tempat-tempat yang diteliti dengan
membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti
tersebut. Dialektometri digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan
antardaerah pengamatan. Rumus perhitungan dialektometri adalah:
S x 100
n = d
Keterangan:
S : jumlah beda dengan daerah pengamatan lain
n : jumlah peta yang diperbandingkan
d : jarak kosakata dalam persentase
Hasil yang diperoleh dari perhitungan ini berupa jarak unsur-unsur
kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan. Hasil ini kemudian digunakan
untuk menentukan hubungan antardaerah pengamatan dengan kriteria sebagai
berikut.
81 % ke atas : dianggap perbedaan bahasa
51 % -- 80 % : dianggap perbedaan dialek
31 % -- 50 % : dianggap perbedaan subdialek
26
21 % -- 30 % : dianggap perbedaan wicara
20 % ke bawah: dianggap tidak ada perbedaan
1.8 Metode Penelitian
Penelitian ini terfokus pada penggunaan bahasa Jawa oleh masyarakat
keturunan Jawa di Karimunjawa, khususnya di Pulau Kemujan dan Pulau
Karimunjawa. Dalam hal ini, diambil desa-desa yang terdapat di kedua pulau
tersebut sebagai titik pengamatan yang berjumlah dua desa, yaitu Desa Kemujan
dan Desa Karimunjawa. Kedua desa dari kedua pulau tersebut dipilih dengan
pertimbangan berdasarkan literatur dan survei awal masyarakat Jawa pertama kali
datang dan bermukim di kedua daerah tersebut. Dipilih salah satu desa yang
mayoritas etnis Jawa, yaitu Desa Karimunjawa yang diasumsikan bahasa Jawa
yang digunakan masih bersifat homogen dan Desa Kemujan yang didominasi
etnis Bugis sehingga bahasa Jawa di daerah tersebut diasumsikan heterogen
karena terpengaruh bahasa etnis lain. Dari kedua desa yang berlatar belakang
berbeda tersebut diharapkan akan tampak dengan jelas ada tidaknya pengaruh
kontak bahasa terhadap bahasa Jawa yang digunakan sehingga akan tampak
perkembangan membaik atau memburuk dari bahasa Jawa daerah asalnya, yaitu
dialek Yogyakarta khususnya bahasa Jawa di Kabupaten Jepara. Selanjutnya,
dipilih sampel yang mewakili popolasi tersebut yang diperoleh dari berian
beberapa penduduk yang dipilih sebagai informan yang masing-masing mewakili
titik pengamatan.
Metode-metode yang digunakan adalah metode eklektik. Metode ini
bersifat memilih yang terbaik dari berbagai sumber, baik dari bahasa, orang/
informan, dan cara analisis). Sebagai contoh, ketika bahasa tersebut mengenal
27
tingkat tutur maka juga digunakan daftar tanya dan informan yang mengerti
tingkat tutur dan dianalisis dengan bantuan ilmu lain, yaitu sosiolinguistik.
Dalam mengumpulkan data digunakan metode pupuan lapangan dengan
teknik catat dan rekam. Data primer untuk keperluan analisis diperoleh dengan
wawancara terstruktur menggunakan daftar kosakata budaya. Kosakata dasar
budaya terdiri dari 200 kosakata dasar Swadesh, 915 kata budaya menurut bidang,
60 struktur frasa, dan 43 kalimat sederhana. Selain itu, wawancara juga dilakukan
pada beberapa tokoh untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai sejarah,
budaya, dan hal-hal yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa Jawa di titik
pengamatan.
Ketersediaan tuturan berian tidak terlepas dari adanya informan yang
dipilih berdasarkan kriteria pembahan. Dari setiap titik pengamatan diambil satu
pembahan primer dan satu pembahan sekunder. Adapun pembahan yang dipilih
setidaknya memenuhi 75% dari syarat-syarat pembahan ideal sebagai berikut.
a) Berusia pertengahan (25--60 tahun), diasumsikan pembahan pada
usia ini telah menguasai bahasa atau dialeknya, tetapi belum
sampai pada taraf pikun;
b) Memiliki artikulator yang lengkap, dimaksudkan dengan adanya
artikulator lengkap memungkinkan pembahan memberikan data
yang benar dan valid;
c) Berpendidikan cukup, maksudnya pembahan memiliki latar
pendidikan yang tidak terlalu tinggi, tetapi juga tidak terlalu
rendah. Pembahan yang memiliki latar pendidikan yang terlalu
tinggi dikhawatirkan mendapat pengaruh kebahasaan dari luar,
sedangkan pembahan yang memiliki latar pendidikan yang terlalu
rendah dikhawatirkan kesulitan dalam memahami pertanyaan yang
diajukan sehingga tidak bisa memberikan data seperti yang
diharapkan;
d) Tidak buta huruf, dimaksudkan jika peneliti mengalami kesulitan
dalam menuliskan data kebahasaaan yang diucapkan pembahan
maka peneliti dapat meminta pembahan menuliskan beberapa
berian yang mereka ucapkan. Hal tersebut dilakukan untuk
28
memastikan berian sesuai dengan pengetahuan dan penguasaan
pembahan terhadapa bahasanya;
e) Merupakan penduduk pribumi, sekurang-kurangnya sampai 2
generasi di atasnya. Hal ini mengingat bahwa pembahan yang
orang tuanya bukan merupakan penduduk pribumi dikhawatirkan
bahasa/dialek yang digunakan mendapat pengaruh dari
bahasa/dialek orang tuanya; dan
f) Mobilitas ke luar daerah kecil, maksudnya pembahan tidak
pernah/jarang melakukan perjalanan ke daerah lain. Semakin tinggi
mobilitas seseorang maka pengaruh terhadap bahasanya juga
semakin tinggi sehingga dikhawatirkan bahasa yang digunakan
tidak lagi murni.
Dalam menganalisis data digunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Data yang diperoleh dianalisis secara sinkronis mencakup tataran fonologi,
morfologi, sintaksis, morfofonemik, dan leksikon. Hasil analisis tersebut
kemudian diperbandingkan antara yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan
kekhasan bahasa Jawa yang digunakan di enklave bahasa Jawa tersebut.
Selanjutnya, data dianalisis secara diakronis untuk menentukan tingkat
kekerabatan antara dialek-subdialek dalam bahasa Jawa di Karimunjawa dengan
menggunakan metode komparatif dengan teknik leksikostatistik dan
dialektometri. Metode komparatif digunakan pula untuk membandingkan data
satu dengan data lainnya karena dengan adanya perbandingan dapat diketahui ada
tidaknya hubungan kesamaan dan perbedaan (Sudaryanto, 1986:63).
Tahap analisis data selanjutnya adalah membuat perhitungan statistik
dengan metode leksikostatistik dan dialektometri. Metode leksikostatistik
merupakan metode yang membandingkan bahan-bahan yang terkumpul dari
tempat penelitian sehingga dapat dilihat persamaannya dengan tujuan untuk
mengetahui hubungan kekerabatan di antara semua titik pengamatan. Adapun
29
metode dialektometri digunakan untuk melihat perbedaan-perbedaan yang ada
pada bahasa berkerabat tersebut.
Adapun hasil analisis data disajikan dengan metode informal dan metode
formal. Metode informal diwujudkan dengan uraian kata-kata, sedangkan metode
formal dirumuskan dengan menggunakan tanda dan lambang (Sudaryanto,
1993:145).
1.9 Sistematika Penyajian
Laporan penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I berupa pendahuluan
yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode penelitian,
sistematika penyajian, dan rencana kerja. Bab II membahas deskripsi ekologi
bahasa di Karimunjawa yang mencakup keadaan kebahasaan, sosial budaya, letak
geografis, keadaan alam, pembagian administratif, sosial kemasyarakatan
(penduduk dan transmigrasi), sarana transportasi, pariwisata, perekonomian, dan
lokasi penelitian. Bab III menguraikan deskripsi sinkronis bahasa Jawa enklave
Karimunjawa yang berisi deskripsi fonologi, deskripsi morfologi, dan deskripsi
leksikon. Bab IV menguraikan deskripsi diakronis bahasa Jawa enklave
Karimunjawa. Bab V menjelaskan implikasi ekologi terhadap pemertahanan dan
pergeseran bahasa. Selanjutnya, diakhiri dengan penutup pada bab VI yang
meliputi kesimpulan dan saran.