ORASI ILMIAH
Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci
Menuju Masyarakat Industri
Oleh S. Bayu Wahyono
Disampaikan dalam rangka
DIES NATALIS KE-68
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
TAHUN 2018
1
Pendidikan Bermakna sebagai Sekoci
Menuju Masyarakat Industri
Oleh S. Bayu Wahyono
Sudah sejak lama orang meyakini bahwa kunci utama bagi
kemajuan sebuah bangsa adalah pendidikan, seperti keyakinan bangsa
Eropa sejak era pencerahan, Jepang menjelang restorasi Meiji, dan
menyusul kemudian Tiongkok pasca revolusi kebudayaan. Dunia
kemudian menyaksikan, bahwa ketiga bangsa itu tampil sebagai pionir
peradaban manusia dan menjadi subyek aktif yang menentukan arah
perkembangan dunia. Melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diperoleh melalui proses pendidikan, bangsa Eropa sejak
abad 15 kemudian tampil menguasai dunia, menyebar ke berbagai
wilayah sebagai konsekuensi logis atas perubahan masyarakatnya yang
industrial. Secara kronologis bangsa Eropa meraih peran sejarahnya itu
diawali oleh lahirnya era pencerahan, penguasaan ilmu pengetahuan
alam, penguasaan teknologi, paham kapitalisme liberal, revolusi industri,
dan kemudian tampil sebagai bangsa ekspansif.
Demikian pula bangsa Jepang, berbekal niat dan tekad bulat ingin
maju sebagai sebuah bangsa dengan meniru modernisasi Barat. Mereka
sejak awal dengan jujur dan tulus meniru seperti Barat dengan
konsekuensi mendapat sebutan sebagai bangsa peniru atau imitasi.
Pengakuan jujur sebagai bangsa peniru Barat ini kemudian terbukti
menjadi energi kuat untuk terus belajar dan ingin mengungguli bangsa
yang ditirunya. Jadi dengan strategi menerjemahkan seluruh buku ilmu
pengetahuan dan teknologi Barat, bangsa Jepang tekun belajar sehingga
pelan tapi pasti berubah menjadi masyarakat industri. Bahkan kemudian
dunia tercengang atas pencapaian bangsa ini menjadi bangsa maju dan
beradab hanya dalam tempo yang singkat. Kemudian dunia pun
Orasi Ilmiah
2
menyaksikan, bangsa ini tampil sebagai kekuatan raksasa negara industri
yang produknya menguasai dunia sejak dekade 1960-an.
Menyusul kemudian bangsa China, sejak kekurangberhasilan
komunisme era Mao Zedong, dan belajar dari belum optimalnya revolusi
kebudayaan, maka pemimpin baru saat itu, Deng Xiaoping, pergi ke Barat
dan kemudian berkomitmen tinggi meniru kapitalisme dan modernisasi
Barat. Bersemboyan tidak penting kucing itu merah atau hitam, yang
penting bisa menangkap tikus, Deng mulai melakukan langkah strategis
dengan mengkombinasikan sistem politik komunis dan sistem ekonomi
kapitalisme Barat menerapkan modernisasi dalam proses pembangunan
bangsanya menuju Cina berkemajuan. Meskipun pada awalnya Cina
harus bersusah-payah dan mengalami proses jatuh-bangun, tetapi
sekarang dunia menyaksikan bahwa bangsa ini telah menjadi kekuatan
raksasa politik dan perekonomian dunia. Melalui semboyan “hanya alam
semestalah ciptaan Tuhan, selebihnya adalah made in China, bangsa ini
sekarang tampil menguasai dan bahkan mendekte arah perkembangan
politik dan ekonomi internasionnal, serta peradaban manusia.
Lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia? Sejak merdeka kita
bangsa Indonesia terus berusaha bertekad menjadi bangsa yang maju dan
diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Berbagai konsep pembangunan
telah diterapkan agar mampu menjadi bangsa maju dan tampil sebagai
salah satu kekuatan ekonomi, politik, dan kebudayaan yang
diperhitungkan dunia. Baik era pemerintahan Soekarno, pemerintahan
Soeharto, dan kemudian pasca Orde Baru, bangsa ini terus berusaha
berubah ke arah masyarakat industri. Untuk menuju ke arah itu, Soekarno
menerapkan sistem demokrasi terpimpin, Soeharto menggunakan
otoritarianisme dan pembangunanisme, dan kemudian pasca Orde Baru
menggunakan sosialisme demokrasi. Akan tetapi sebegitu jauh, bangsa
ini dapat dikatakan gagal menjadi masyarakat industri yang bertumpu
pada kekuatan sendiri. Salah satu indikator makro yang nyata adalah,
bahwa sebagai bangsa berkultur agraris, tetapi beras, kedelai, jagung, dan
bawang masih impor. Bahkan, sebagai negara kepulauan yang memiliki
Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan
3
pantai terpanjang di dunia, tetapi garam saja impor. Keyakinan pun juga
impor dari India dan Timur Tengah.
Mengapa gagal menjadi negara industri maju? Salah satu sebab
utamanya adalah lemahnya sistem pendidikan nasional yang digunakan
sebagai lokomotif penggeraknya. Sebuah bangsa akan maju jika sistem
pendidikannya dipandu oleh sistem pendidikan yang benar. Jika sistem
pendidikan nasional mengalami salah arah, maka sebuah bangsa akan
mengalami disorientasi, tidak jelas mau bergerak ke mana. Lebih parah
lagi jika gelagat salah arah sistem pendidikan itu tidak segera dikenali dan
dirasakan, atau bahkan tidak merasa sebagai salah arah, maka sebuah
bangsa akan menuju ke jurang kehancuran.
Di mana letak kegagalan bangsa ini bertransformasi menjadi
masyarakat modern-industrial? Jika kita berangkat dari tesis bahwa kunci
kemajuan bangsa adalah pendidikan, maka tempat kegagalan utama harus
kita cari pada sistem pendidikan nasionalnya. Suatu sistem pendidikan
nasional dapat dikatakan berhasil menjadikan bangsa yang maju, jika
mampu menjadikan subyek aktif yang mengambil peran bagi
pengembangan peradaban manusia. Marilah kita bertanya, apakah sistem
pendidikan nasional kita selama ini sudah menjadikan peserta didik
sebagai subyek aktif, atau justru menjadikan sekadar sebagai obyek pasif?
Ini harus kita jawab secara jujur.
Bangsa Eropa maju karena memulainya dengan mengikuti logika
berpikir modern-positivistik, yang melawan dominasi cara berpikir
teologis dan metafisik. Beberapa ciri utama modern-positivistik itu
adalah antroposentrisme dan mengandalkan akal budi. Dengan
menempatkan manusia sebagai pusat itu, manusia keluar dari alam dan
kemudian ingin mengungkap rahasia alam dengan bekal ilmu
pengetahuan, yaitu matematika, fisika, kimia, dan biologi, yang
kemudian dikenal sebagai sains. Berbekal sains itulah kemudian manusia
tampil sebagai subyek aktif mengembangkan teknologi yang kemudian
menjadi instrumen utama revolusi industri, dan kemudian melahirkan
imperalisme dan kolonialisme. Agen utama tampilnya bangsa Eropa
sebagai subyek aktif pada era pencerahan dan kemudian era revolusi
Orasi Ilmiah
4
industri adalah sistem pendidikannya yang sejak awal menggunakan
paradigma positivistik, yang menghasilkan kreator, imajinator, dan
innovator yang mendorong masyarakat berkemajuan. Meskipun dalam
perkembangan selanjutnya, positivistik mendapatkan kritik tajam dari
kalangan penganut konstruktivis dan paradigma kritis, tetapi satu hal
yang harus diakui bahwa pencapaian bangsa Eropa sebagai subyek
peradaban manusia hingga sekarang adalah berkat peran paradigma
positivisme.
Berkaca pada sejarah perkembangan bangsa Eropa, kemudian
menengok sejarah pendidikan kita sepertinya memang jauh berbeda, dan
bahkan berlangsung sebaliknya. Sejak era kolonial, jelas sistem
pendidikan dirancang untuk elite kolonial, sementara kita sebagai bangsa
terjajah hanya dijadikan sebagai obyek. Sistem pendidikan diperuntukan
hanya untuk elite, dan dirancang untuk memapankan struktur sosial yang
tidak adil, dengan bangsa Indonesia tetap sebagai obyek pasif, dan bahkan
harus ditindas baik secara fisik maupun struktur kognisinya. Di dalam
situasi ketertundukan total itu, maka pada era kolonial itu bangsa
Nusantara benar-benar tidak punya sejarah, dalam arti sebagai subyek
aktif dalam dinamika perkembangan peradaban manusia.
Salah satu implikasi paling berat praktik pendidikan era kolonial
itu adalah terbentuk dan terpatrinya mentalitas sebagai bangsa terjajah
yang terus tesedimentasi dalam struktur kognisinya. Memang dalam
beberapa kasus melahirkan generasi kritis, yang kemudian melahirkan
para pendiri bangsa yang menjadi agen utama menuju Indonesia merdeka.
Akan tetapi secara keseluruhan, bangsa ini tetap belum bisa ke luar dari
mentalitas sebagai bangsa terjajah.
Pada masa-masa awal kemerdekaan memang ada sedikit
semangat untuk tampil sebagai subyek aktif, berkeinginan menjadi
bangsa mandiri. Tetapi secara tidak sadar pada era ini membiarkan diri
pada proses belenggu berikutnya, yaitu ide-ide sosialisme-demokratik
dan komunisme untuk melawan ide-ide imperalisme, kolonialisme,
liberalisme, dan kapitalisme. Sistem pendidikan pun kemudian dijadikan
arena bagi pembentukan generasi anti kapitalisme liberal, sehingga
Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan
5
produksi pengetahuan melalui institusi pendidikan pun dirancang untuk
membentuk generasi anti Barat. Yang tidak disadari adalah, bahwa
generasi anti Barat itu pada prinsipnya adalah atas nama ide-ide gerakan
kiri yang cenderung condong ke blok Timur yang dipelopori oleh Uni
Soviet. Jadi mentalitasnya tetap sebagai bangsa terjajah, hanya ganti
penjajah saja.
Memang ada upaya untuk keluar dari belenggu kekuatan
penjajah, dengan berusaha tampil sebagai kekuatan alternatif. Misalnya
ide Soekarno menjadi kekuatan non-blok, dan menawarkan konsep
geniun, yaitu Pancasila. Akan tetapi sayangnya, itu semua tidak
diterapkan dalam sistem pendidikannya, sehingga proses pendidikan
tetap saja menjadi arena penundukkan peserta didik sebagai obyek pasif,
yang diisi dengan ide-ide revolusioner semu. Bahkan kemudian
menggunakan skema ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa,
dan tut wuri handayani dari Ki Hadjar Dewantara itu kemudian secara
tidak disadari menjadi basis pembentukan generasi yang mendukung
demokrasi terpimpin.
Jadi pada era ini, institusi pendidikan berfungsi utama sebagai
penanaman dan sosialisasi sistem nilai, dan nilai-nilai itu lebih banyak
diambil dari ide-ide revolusioner gerakan kiri yang anti kapitalisme
liberal Barat. Memang ada upaya untuk menanamkan nilai-nilai
keindonesiaan, tetapi sayang tidak digarap secara serius, sehingga gagal
membangun generasi patriotik beretos kerja tinggi menuju masyarakat
industri modern yang mandiri. Hampir semua produk barang-barang
industri modern diimpor dari negara-negara blok Timur, terutama Uni
Soviet. Negeri ini tetap menjadi pasar industri bangsa lain, dan konsumtif,
termasuk konsumsi pengetahuan. Karena itu, pada era ini, upaya
meningkatkan SDM kebanyakan dikirim ke negara-negara Eropa Timur.
Ketika bangsa ini memasuki era Orde Baru, tentu dengan
semangat baru dan harapan baru. Tampilnya presiden Soeharto sebagai
pemimpin bangsa, yang didukung dan bahkan dijadikan oleh kekuatan
Barat, pada awalnya menghembuskan angin harapan baru, yaitu menjadi
negara industri modern yang didukung oleh sistem pertanian tangguh.
Orasi Ilmiah
6
Sistem pendidikan nasional pun dirancang untuk mencapai cita-cita itu,
melalui ide-ide developmentalistic yang disuntikan dari Barat. Lembaga
pendidikan pun kemudian kembali dijadikan sebagai penanaman dan
sosialisasi pembangunanisme yang sarat kapitalisme liberal. Oleh karena
era Orde Baru ini bertekad membangun tatanan baru, dalam arti berbeda
dengan era sebelumnya yang condong ke sosialisme-komunisme, maka
pada era ini yang digalakkan adalah ide-ide kapitalisme Barat yang pro
pasar bebas. Di sini institusi pendidikan pun dijadikan gelanggang
pensemeian ide-ide kapitalisme liberal yang sangat anti gerakan kiri.
Lembaga pendidikan digunakan sebagai instrumen strategis
untuk menanamkan ide-ide yang sangat anti komunisme. Seluruh sumber
pengetahuan yang berbau kiri diberangus, dan kemudian digantikan
dengan ide-ide kapitalisme liberal. Paham marxisme dilarang keras, dan
digantikan oleh pengetahuan yang mendukung kapitalisme liberal. Oleh
karena itu pada era ini fungsionalisme struktural Talcott Parsons yang anti
marxis menjadi wajib, dan sangat mewarnai produksi pengetahuan dalam
sistem pendidikan nasional. Bersamaan dengan itu, bangsa ini tidak
menyadari bahwa semua itu adalah disain Barat untuk mengeksploitasi
sumber daya alam Indonesia, dan sekaligus menjadikan sebagai pasar
produk industri negara-negara kapitalis Barat dan sekutunya.
Indonesia diiming-imingi akan menjadi kekuatan baru sebagai
negara industry baru, menyusul empat naga, yaitu Korea Selatan, Taiwan,
Hongkong, dan Singapura yang diklaim Barat sebagai keberhasilan
pengikut sistem kapitalisme liberal. Atas nasehat dan dekte Barat,
Indonesia disuruh menerapkan konsep pembangunan lepas landas yang
digagas oleh W. Rostow. Sistetm pendidikan nasional pun didisain untuk
mengikuti model pembangunan anjuran Barat ini. Akan tetapi hasilnya
nol, atau gagal total, negeri ini tidak bisa tinggal landas, tetapi tetap
tinggal di landasan.
Bersamaan dengan itu, produk barang-barang industri dari negara
Barat dan sekutunya terus membanjir, tanpa diimbangi secara signifikan
dari produk industri modern Indonesia sendiri. Justru yang terjadi
sebaliknya, bangsa ini semakin konsumtif, bahkan yang mengerikan
Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan
7
adalah hasrat konsumsi itu justru terjadi pada masyarakat petani. Setelah
secara sistematis digarap oleh Barat melalui modernisasi pertanian, petani
menjadi lenyap daya kemandiriannya, seluruh produksi pertanian
semuanya bergantung pada impor, baik pupuk, obat-obatan, dan bibit.
Dunia pendidikan, khususnya fakultas pertanian memiliki andil besar
dalam menjerumuskan petani kita lenyap daya kemandiriannya.
Melalui penerapan politik pangan, Amerika Serikat terus
melancarkan serangan sistematis untuk mematikan sistem pertanian lokal
di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Dengan doktrin
Henry Kisinger, yaitu “Jika ingin menguasai negara, kuasailah minyak;
dan jika ingin menguasai masyarakat, maka kuasailah pangan”, AS
dengan tekun terus membidik masyarakat Indonesia agar semakin
dikuasai dan terus dijadikan pasar produksi pertanian dan cara
produksinya. Dulu terigu tidak ada sama sekali di Indonesia, karena
konsumsi pangan 53 persen beras, dan 47 persen ubi-ubian dan jagung.
Hanya dalam waktu 30 tahun formasi pangan bangsa ini berubah menjadi,
7 persen jagung dan ubi-ubian, 24 persen terigu, dan selebihnya adalah
beras. Maka jangan heran jika sekarang negeri agraris ini adalah impor
pangan terbesar di dunia.
Perlahan tapi pasti, sistem pertanian lokal mengalami kelumpuhan
total. Bukan sekadar menjadi tergantung dalam produksi, tetapi yang
lebih parah adalah hilangnya produksi pengetahuan lokal yang sangat
berharga untuk mengatasi problem dan peningkatan produksi pertanian
secara mandiri. Sistem pertanian nusantara yang mengintegrasikan
pertanian dan peternakan diputus oleh sistem modern yang dikenalkan
oleh Barat melalui pendidikan nasional. Semua dirancang agar pertanian
lokal tergantung pada industri petrokimia yang sejak era 1970-an telah
didirikan di Indonesia. Kehadiran industri petrokimia disambut dengan
suka cita dan dianggap sebagai dewa penyelamat pertanian berorientasi
pertumbuhan. Sistem pendidikan pun dirancang untuk memenuhi industri
petrokimia yang sarat kepentingan Barat tersebut. Bahkan modernisasi
pertanian menghajar secara bertubi-tubi sistem pertanian tradisional yang
dianggap ketinggalan. Melalui logika berpikir logosentrisme, sistem
Orasi Ilmiah
8
pendidikan nasional pelan tapi pasti menjadi penyebab tercerabut dari
akar sosio-kulturalnya. Di level sekolah menengah atas, sudah mencetak
tenaga penyuluh pertanian yang menjadi agen sistem pertanian modern
yang didekte Barat menuju situasi ketergantungan, sehingga praktis
hanya menjadi pasar besar industri petrokimia.
Hasilnya adalah sebuah fakta bahwa pertanian nusantara
mengalami kehancuran total, terutama produksi pengetahuannya. Tidak
ada lagi pengetahuan tentang bibit, predator, obat hama, dan sistem tanam
lokal penuh kemandirian. Lebih memprihatinkan lagi, bersamaan dengan
itu, sekolah pertanian hanya ingin menjadi pegawai negeri, dan bukan
menjadi petani yang transformatif dan mandiri. Maka bangsa agraris ini
kemudian kehilangan semangat menekuni pertanian, dan bahkan
melecehkannya. Akibatnya kita semua sudah tahu, seluruh kebutuhan
pertanian dari proses produksi, hasil, dan pemeliharaan adalah impor
secara besar-besaran dari negara-negara industri modern dan juga negara-
negara yang tekun konsisten sebagai bangsa agraris modern seperti
Thailand dan Vietnam.
Setelah sektor pertanian mengalami kehancuran, justru sistem
pendidikan melarikan diri dari problem fundamental pertanian itu sendiri.
Jurusan pertanian semakin ditinggalkan, dan institusi pemerintah yang
mengurus pertanian ogah-ogahan dan semangatnya hanya menyerap
anggaran. Sementara itu, beberapa sekolah kejuruan di bidang pertanian
justru menjadi penyebab generasi muda ramai-ramai meninggalkan
pertanian. Sungguh sebuah tragedi bangsa agraris. Negeri yang gagal
mengangkat martabat bangsa berkultur agraris, karena sistem pendidikan
nasionalnya gagal mendorong transformasi menuju masyarakat industri
berbasis pertanian sebagaimana dicita-citakan oleh rezim pemerintahan
Orde Baru.
Pada periode ini memang ada beberapa pencapaian yang cukup
signifikan, setidaknya secara kuantitatif. Sebut saja misalnya, perluasan
sarana prasarana pendidikan dasar melalui SD Inpres, program wajib
belajar enam dan Sembilan tahun, yang semuanya dibiayai dari jual
sumber daya alam, khususnya migas dan hasil hutan. Akan tetapi
Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan
9
sayangnya tidak secara kualitatif, yang meningkatkan mutu pendidikan
dan outcome yang andal untuk mengembangkan masyarakat industri
yang bertumpu pada pengolahan sumber daya alam. Jadi sistem
pendidikan nasional dibiayai dari jual sumber daya alam, tetapi tidak
menghasilkan sumber daya manusia yang mampu mengolah kekayaan
sumber daya alamnya. Semuanya dijual mentah, tanpa pengolahan
berbasis pengetahuan sebagaimana yang seharusnya dihasilkan dari
sistem pendidikan nasionalnya. Jadi hingga jatuhnya era Orde Baru, tetap
saja belum menjadi negara industri bertumpu pada sumber daya manusia
yang dihasilkan oleh sistem pendidikan nasionalnya. Memang ada
program seperti link and macth, CBSA, pendidikan manusia seutuhnya,
dan lain-lain; namun tetap saja belum mampu menjadi subyek aktif
bangsa mandiri yang mendorong masyarakat industri.
Pasca Orde Baru, ketika Indonesia memasuki negara transisi
demokrasi, situasinya juga tidak jauh berbeda. Yang membedakan hanya
pelakunya, yaitu jika era sebelumnya adalah elite pusat, tetapi pada era
pasca Orde Baru pelakunya elite yang menyebar ke daerah. Sistem
pendidikan nasional pun berubah mengikuti sistem politiknya, yaitu lebih
menerapkan sistem pendidikan desentralistik. Meskipun demikian peran
pusat masih cukup terasa, terutama dalam perancangan kurikulum dan
tata kelola keuangan. Peningkatan alokasi 20 persen dari APBN untuk
pendidikan cukup memberikan angin segar dan menjanjikan. Akan tetapi
justru besarnya anggaran itu malah menambah persoalan, terutama yang
berkaitan dengan pertanggungjawaban administrasi keuangan. Kasus
korupsi terjadi susul-menyusul mengikuti besarnya anggaran pendidikan
nasional.
Program pendidikan pun berubah ke arah kepentingan politik elite,
dengan berorientasi mencari dukungan politik. Maka yang diprioritaskan
adalah pendidikan gratis, bantuan peralatan, dan program biasiswa yang
semuanya demi pencitraan politik elite. Bukan menyusun agenda
program yang meningkatkan kualitas pendidikan sehingga menghasilkan
outcome yang mampu mendorong kemandirian bangsa bertumpu pada
industri. Oleh karena itu jangan heran jika tumbuh kembangnya industri
Orasi Ilmiah
10
pariwisata di Bantul misalnya, justru bukan berasal dari kualitas sumber
daya manusia outcome pendidikan nasional; melainkan hasil dari
pendidikan keluarga.
Bersamaan dengan itu, institusi pendidikan nasional dijadikan
ajang untuk menyemai ideologi agama dengan menekankan pada aspek
simbolik. Sebagai ilustrasi program seperti jilbabisasi, musholanisasi,
santrinisasi, doanisasi, dan lain-lain bernuansa agama. Program seperti itu
baik saja, tetapi mengapa tidak diimbangi dengan program yang
mencerdaskan peserta didik, seperti perpustakaan dan sumber belajar lain
yang meningkatkan kualitas pendidikan. Jadi jangan heran jika sekarang
ini luas perpustakaan jauh lebih sempit daripada mushola, dan bahkan
masih banyak sekolah tidak punya perpustakaan.
Lebih dari itu, proses pendidikan nasional menjadi sama dengan
sebelumnya, yaitu menundukan peserta didik melalui ideologi. Jika dulu
ideologi sosialisme anti kapitalisme, dan kemudian ideologi pendukung
kapitalisme, dan sekarang ideologi agama. Lembaga pendidikan pun
menjadi semakin sibuk dengan upaya penebalan identitas agama, yang
berisiko terhadap kehidupan sosial politik yang segregatif. Jadi kalau
sekarang negara disibukan dengan radikalisme agama, ya memang itu
merupakan konsekuensi logis atas pengelolaan sistem pendidikan
nasional yang bias agama. Risiko lain adalah makin maraknya praktik
intoleransi dalam kehidupan sosial; serta semakin mendorong menjadi
masyarakat melodramatik. Kalau nilai pencapaian matematika rendah,
solusi yang ditawarkan bukan mencari metode pembelajaran yang pas dan
efektif-memudahkan atau efektif-menyenangkan; tetapi solusinya adalah
berdoa. Doa itu sesuatu yang baik, tetapi jika mengira bahwa hanya
dengan doa semua urusan beres, itu artinya masyarakat melodramatik.
Jadi akan terasa lebih bagus jika proses pendidikan bukan sekadar
bagaimana mengajari berdoa secara literer, tetapi sekaligus
mengintegrasikan doa dengan praktik yang dilandasi etos kerja keras.
Akan tetapi justru di situlah persoalannya, selama ini proses
pendidikan nasional boleh dikatakan gagal membentuk manusia
Indonesia yang beretos kerja keras. Sudah menjadi rahasia umum jika kita
Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan
11
sebagai bangsa masih kalah jauh dengan etos kerja seperti bangsa
Singapura, Korea Selatan, Vietnam, dan apalagi bangsa Cina. Sejak di
bangku sekolah anak-anak malas berpikir, malas membaca, malas
menulis, malas bertanya, malas berimajinasi, pokoknya malas belajar
keras. Dunia pendidikan kita dilanda oleh situasi pragmatis. Kehadiran
teknologi berbasis digital pun justru menjadikan proses belajar serba
pragmatis, yaitu maraknya praktik copy-paste.
Lebih parah lagi, situasi seperti itu juga melanda di kalangan guru.
Sudah menjadi rahasia umum juga, jika guru kita malas membaca, malas
menulis, dan karena itu daya kreativitas dan inovasinya menjadi rendah.
Kebijakan sertifikasi guru sudah tepat, tetapi sayangnya tidak
membangun etos kerja keras, sehingga penambahan penghasilan bukan
untuk meningkatkan profesionalisme, melainkan untuk gaya hidup
konsumtif. Sudah menjadi cerita umum dalam pergaulan sosial, bahwa
sertifikasi guru berbanding lurus dengan avanzanisasi. Belanja guru
untuk membeli buku sangat rendah, dan bahkan tidak sedikit guru yang
tidak mempunyai buku, kecuali buku paket dari pemerintah. Sungguh
situasi yang menyedihkan, bagaimana mungkin proses pendidikan akan
mengalami peningkatan kualitas jika minat baca sangat rendah.
Oleh karena itu jangan berharap ada guru yang kreatif, karena
malas berpikir, malas membaca, dan malas berimajinasi. Itulah sebabnya
sekarang ini di kalangan guru banyak terjadi salah konsep, seperti guru
salah memahami konsep kurikulum muatan lokal, salah memahami
konsep sumber belajar dan media pembelajaran, salah dalam memahami
konsep belajar studi wisata, dan konsep-konsep lain yang fundamental.
Untuk mengubah tata letak atau formasi bangku di kelas saja pun guru
sudah malas, meskipun tentu ada juga satu dua guru yang berusaha kreatif
memecahkan problem pembelajaran secara cerdas-kreatif.
Rasa kegelisahan guru sebagai orang yang menekuni profesi guru
pun sangat rendah. Guru kita tidak punya kegelisahan terhadap problem
pembelajran, karena dilanda oleh rutinitas, birokratik, dan
teradministrasi. Jarang sekali guru yang gelisah karena pencapaian nilai
matematika muridnya rendah. Bahkan tidak jarang malah menyalahkan
Orasi Ilmiah
12
muridnya, dan bukan berefleksi ada sesuatu yang salah dalam proses
belajarnya. Jarang sekali ada cerita guru bunuh diri karena gagal
mencapai target pencapaian belajar muridnya seperti di Jepang misalnya.
Yang sering terjadi adalah cerita guru dibunuh muridnya. Ironisnya,
ketika ada murid membunuh gurunya, guru agama dan guru Pancasila
tidak bunuh diri. Tidak ada guru agama atau guru Pancasila protes,
apalagi bunuh diri ketika menteri agama korupsi atau kitab suci dikorupsi.
Malah yang ada adalah bom bunuh diri.
Proses pendidikan nasional kurang berhasil menanamkan
pentingnya sebuah proses, tetapi hanya sekadar orientasi hasil.
Kurikulum 13 sebenarnya sudah bersepirit menghargai proses belajar,
tetapi sayangnya secara kultural tidak diselesaikan dulu. Selama ini
pengambilan keputusan untuk lulus tidaknya senantiasa berdasarkan
evaluasi berorientasi hasil, dalam bentuk angka di raport. Ini sudah
menjadi kultur yang melandan pada pengelola pendidikan dan juga
masyarakat. Hasil evaluasi yang dituntut Kurikulum 13 akhirnya
dikerjakan secara mendadak, karena guru memang tidak biasa
mengevaluasi sejak dari awal proses belajar siswa. Mengerjakan raport
baru seminggu atau dua minggu sebelumnya dengan data proses belajar
siswa yang minim. Sementara masyarakat pun kurang suka dengan model
penilaian narasi proses belajar anaknya. Mereka sudah terbiasa
memamerkan nilai rapotnya dalam bentuk angka-angka.
Kultur semacam itu juga tercermin dalam sistem apresiasi kita
sebagai bangsa terhadap proses. Bangsa ini lebih suka pada barang jadi,
dan tidak menghargai proses, pergulatan, atau jatuh-bangun. Jangan
heran jika cita-cita anak sekarang, ingin jadi dokter, jadi insinyur, atau
jadi pegawai negeri. Semuanya ingin sesuatu atau simbol yang sudah jadi,
bukan proses usahanya. Jarang sekali dalam masyarakat kita anak
bercita-cita ingin jadi kreator atau innovator. Kita jarang mendengar anak
bercita-cita ingin jadi pembuat sepeda, pembuat mobil, atau pembuat
jarum suntik, atau juga membuat obat, atau membuat kunci inggris.
Itu juga berimbas pada siapa yang paling dikagumi. Bangsa ini
selalu mengagumi tokoh yang berkaitan dengan konflik, perang, atau
Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan
13
tokoh yang berkaitan dengan perasaan atau afeksi. Jarang sekali kita
mengagumi tokoh yang berprestasi pada ranah kognisi, seperti pemikir
atau filosuf. Jarang sekali mengagumi tokoh pembuat atau keterampilan
tinggi. Yang dikagumi pasti tokoh-tokoh yang dianggap penyelamat
dalam situasi krisis perang, mulai dari para nabi, raja, patih, presiden, atau
perdana menteri. Dalam dunia tokoh imajiner pun yang dikagumi juga
heroisme perang, mulai dari gatutkaca, si buta dari gua hantu, wiro
sableng, satria baja hitam, hingga superman. Jarang sekali bangsa kita
mengidolakan heroisme Gutenberg penemu mesin cetak, Marconi
penemu radio, Newton penemu grafitasi bumi, Thomas Edison salah satu
penemu listrik, Einstein penemu hukum relativitas, doter Alexander
Fleming penemu pinisilin, Nartosabdo si jenius musik Jawa, atau
Tjokorda penemu tiang pancang bebas hambat atau sosro bahu.
Proses pendidikan nasional juga kurang mengajari
berkembangnya imajinasi, tetapi lebih banyak dilanda oleh metode
menghafal atau rumusan definitif. Proses pendidikan kita selama ini
mengidap apa yang disebut sebagai “sindroma adalah”. Berbagai sumber
belajar, mulai dari buku, bahan ajar, modul, apalagi power point,
semuanya penuh dengan rumusan definitif, sehingga yang diajarkan
adalah “adalah”. Kalau dalam proses pembelajaran yang disampaikan
“adalah”, maka pertanyaannya yang mendominasi “apakah”, dan karena
itu jawabnya ya “adalah.” Jarang sekali proses pendidikan berisi tentang
adu argumen, adu gagasan, adu pikiran, debat, dan diskusi tentang sesuatu
yang memecahkan persoalan atau penambahan pengetahuan. Maka
jangan heran jika peserta didik kita selama ini sulit bertanya, atau bahkan
takut bertanya. Proses pendidikan kita masih bersifat indoktrinatif,
definitif, pemindahan, dan normatif yang disampaikan dengan metode
hafalan. Dengan demikian proses pendidikan mematikan imajinasi
peserta didik.
Proses pendidikan seperti itu akan sangat sulit menghasilkan
sumber daya manusia yang kreatif, inovatif, dan imajinatif, yang
merupakan persyaratan dasar bagi upaya terwujudnya masyarakat
industri. Murid hanya sekadar pendengar, penurut, dan penerima apa
Orasi Ilmiah
14
yang dikehendaki oleh penyampai. Sekolah bukan menjadi arena bagi
pengembangan imajinasi yang merangsang peserta didik untuk terus
melakukan tawaran gagasan, eksperimen temuan, dan asah keterampilan,
yang semuanya menjadikan peserta didik berkembang sebagai kreator
dan innovator. Atau menjadi peserta didik yang mletik akal, pikir, dan
keterampilanya. Jika proses pendidikan hanya berisi tentang paket-paket
pengetahuan yang dikerjakan secara administratif, birokratif, dan
teknokratik, maka jangan berharap akan mampu menghasilkan peserta
didik yang compatible dengan tuntutan masyarakat industri. Semuanya
hanya akan menuju pada jebakan rutinitas, formalitas, dan tidak ada
pertaruhan-pertaruhan.
Bagaimana dengan proses pendidikan di perguruan tinggi?
Situasinya tidak jauh berbeda dengan situasi pada proses pendidikan di
level bawahnya. Sejak awal perguruan tinggi dijadikan sebagai mitra oleh
pemerintah menuju masyarakat industri maju. Pemerintah menjadikan
perguruan tinggi sebagai mitra dalam menyediakan SDM maupun hasil-
hasil riset yang mendorong terciptanya masyarakat industri. Akan tetapi
sebegitu jauh, hasilnya masih jauh dari harapan. Sebagai indikator adalah,
semakin banyaknya angka pengangguran lulusan perguruan tinggi, dan
tiadanya hasil riset yang memadai untuk diproduksi secara massal. Sudah
tampak nyata di depan mata, bahwa lulusan perguruan tinggi banyak yang
menganggur, dan kalau toh bekerja, banyak sekali hanya kerja
serampangan yang tidak ada hubungannya dengan disiplin ilmunya.
Contoh paling gampang, bisa dilihat pada pegawai jasa transportasi
online yang banyak sekali lulusan perguruan tinggi. Artinya, sarjana
hanya jadi tukang ojek online, dan bahkan ada yang lulusan pascasarjana.
Bagaimana tidak prihatin, keterampilan gojek yang bisa dipelajari hanya
satu dua hari, harus dikerjakan oleh tenaga kerja yang berkualifikasi
sarjana atau pascasarjana yang belajarnya lebih dari 8 tahun. Ini adalah
tragedi.
Salah satu persolan kurang optimalnya perguruan tinggi dalam
mendorong masyarakat industri adalah tiadanya sinergi antara
pemerintah, perguruan tinggi, dan korporasi bisnis. Persoalan ini sudah
Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan
15
muncul sejak awal dekade 1980-an, hingga sekarang masih sama saja,
tetapi tidak ada solusi. Artinya, bahwa problem lambat atau gagalnya
membangun masyarakat industri sudah sejak lebih dari empat puluh
tahun lalu, tetapi tidak ada solusi. Jadi masyarakat kita sebenarnya jalan
di tempat, atau mengalami stagnasi. Alasan klasik biasanya adalah,
investor ragu membiayai hasil riset perguruan tinggi karena kurang
berkualitas. Perguruan tinggi pun responsnya lambat, dan biasanya tidak
mencari apa penyebab rendahnya mutu riset perguruan tinggi. Sudah
menjadi rahasia umum, jika riset yang didanai dari APBN penuh dengan
formalitas, tidak ada pertaruhan, dan sekadar memenuhi logika
administratif.
Sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa riset di perguruan
tinggi lebih kuat kecenderungan mengikuti logika administrasi, dan
bukan sebaliknya. Riset yang semacam itu sudah tentu akan berkualitas
rendah, karena hanya mengikuti kewajiban administratif. Belum
berkembang kultur di kalangan peneliti perguruan tinggi, bahwa
pertaruhan hasil risetnya adalah diproduksi massal atau tidaknya oleh
dunia industri. Sistem apresiasi atau regulasi di perguruan tinggi pun tidak
berorientasi ke sana, tetapi regulasinya lebih pada pemenuhan kewajiban
administratif. Tidak ada dosen yang dielu-elukan karena hasil risetnya
berhasil diproduksi massal oleh dunia industri. Oleh karena itu sejak dulu
riset-riset dari dunia perguruan tinggi dan juga lembaga riset pemerintah
begitu sedikit konstribusinya terhadap dinamika masyarakat industri.
Kalau kita mau jujur, apakah barang-barang industri rumah tangga,
sandang-pangan, alat transportasi, dan sarana di kantor kita ini semua
adakah yang merupakan hasil dari riset perguruan tinggi? Bahkan ketika
saya berkunjung ke LIPI, tidak satu pun sarana-prasarana yang dipakai
oleh peneliti LIPI produk dari hasil riset mereka sendiri. Semuanya serba
impor. Memang ada terpajang di ruang loby prototipe mobil kancil hasil
rancangan LIPI, tetapi ya hanya dipajang saja, tidak ada kalangan investor
yang berniat memproduksi massal.
Di UNY juga terus berusaha meningkatkan hasil riset dari para
dosen dan mahasiswa. Salah satu yang diunggulkan adalah mobil listrik
Orasi Ilmiah
16
yang selama ini telah dikompetisikan pada level internasional. Akan
tetapi orientasinya apakah akan diproduksi secara massal oleh dunia
industri, atau hanya sekadar untuk lomba? Jika memang perguruan tinggi
menjadi bagian dari upaya membangun masyarakat industri tentu sejak
awal harus orientasi produksi massal. Jika memang sejak awal kurang
begitu layak untuk produksi massal karena alasan ekonomis, maka UNY
perlu segera merevisi tentang pilihan isu strategisnya. Hasil penelitian
Nurfina Aznam tentang kunir putih justru pilihan yang strategis dan
compatible dengan kultur bangsa agraris seperti Indonesia. Seharusnya
riset seperti itu yang terus mendapat apresiasi dari pemerintah, karena
sangat layak diproduksi secara massal dan bisa kompetitif.
Kalau kita bertanya, sudah berapa bilyun rupiah dana dihabiskan
untuk aktivitas riset selama Indonesia merdeka? Tetapi apa hasilnya bagi
upaya membangun masyarakat indsutri? Saya kira ini perlu direnungkan
secara mendalam, karena hasilnya memang tidak sepadan dengan biaya
dan tenaga yang telah dikeluarkan. Jika itu yang terjadi tentu ada yang
salah dalam proses pendidikan dan riset selama ini. Sudah menjadi
rahasia umum, bahwa mengguritanya dominasi logika administratif, telah
membuat riset perguruan tinggi dan riset pada lembaga pemerintah pada
umumnya kurang kompetitif di mata dunia industri. Riset kita selama ini
lebih banyak mengikuti logika administratif, sehingga sibuk pada
kegiatan pengumpulan data yang biasanya tersebar ke berbagai daerah.
Tetapi ketika data sudah terkumpul, tidak tau harus diapakan, atau tidak
dianalisis untuk pertaruhan pada tantangan dunia industri. Semuanya
hanya dikerjakan sekadar memenuhi kewajiban administratif, karena itu
sudah menjadi cerita klasik bahwa hasil riset hanya ditumpuk memenuhi
rak kantor.
Salah satu persoalan mendasar yang sering diangkat atas
kegagalan ini adalah tiadanya sinergitas antara pemerintah, perguruan
tinggi, dan dunia industry. Akan tetapi persoalan ini sudah teridentifikasi
sejak dekade 1980-an, dan hingga sekarang masih terus di seputar
problem ini. Artinya, pasti ada sesuatu yang menjadi penghambat
permanen yang membuat persoalan ini juga menjadi permanen hingga
Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan
17
sekarang. Mengikuti logika ini maka pasti ada kepentingan di balik itu
semua yang hanya menguntungkan bagi beberapa gelintir orang. Pihak
seperti ini tentu tidak ingin bangsa ini maju, karena jika maju maka akan
mengancam kepentingan bisnis mereka. Sebagai ilustrasi, gagalnya
mengembangkan industri otomotif selama ini misalnya, tentu tidak luput
dari skema persoalan tersebut. Para birokrat dan pengambil keputusan
lebih mengikuti kehendak kapitalisme global yang bergerak di bidang
industri otomotif untuk tetap menguasai pasar besar industri otomotif di
Indonesia. Tentu para elite yang ditundukan oleh kapitalisme global
seperti itu tidak menghendaki negeri ini mandiri. Akibatnya, seluruh
sumber daya manusia yang disediakan oleh dunia pendidikan bekerja di
sektor industry otomotif ini hanya sekadar sebagai pekerjaan tukang, dan
bukan pada pekerjaan strategis seperti disainer mesin. Pola hubungan
kolusif seperti itu juga merambah hampir semua industri di Indonesia,
terutama yang berkait erat dengan kalangan investor kapitalisme global.
Sekarang masyarakat marak mendiskusikan masyarakat industri
4.0 menyusul perubahan dari masyarakat offlline ke masyarakat online,
atau era digital. Akan tetapi problem dasar yang dihadapi tetap saja
seperti ketika menghadapi problem mau menjadi masyarakat industri
konvensional. Jadi pertama, Indonesia tetap saja menjadi pasar potensial
atas produk berbagai industri telekomunikasi dan digital. Oleh karena itu,
ketika dunia pendidikan merespons problem industri 4.0 juga dengan
penyikapan kultur yang sama. Pembukaan prodi-prodi ICT menjamur bak
cendawan di musim hujan, tetapi juga tidak dirancang untuk menuju
kedaulatan telekomunikasi dan kedaulatan digital. Akhirnya, negeri ini
hingga fase perkembangannya sekarang, yang berkembang tetap hanya
watak konsumtifnya, jika dibanding produktifnya. Jadi bagaimana
mungkin jika pada upaya menjadi negara industri konvensional saja
gagal, tiba-tiba kita mau menjadi masyarakat industri 4.0 yang menuntut
persyaratan dasar lebih rumit.
Begitulah, praksis pendidikan di Indonesia selama ini, sebuah
praksis pendidikan yang menempatkan peserta didikan sebagai objek
pasif belaka. Lembaga pendidikan juga penyebar wacana dominatif,
Orasi Ilmiah
18
sehingga membentuk lapisan-lapisan yang mengubur potensi kesadaran
kritis. Otak murid dilapisi dengan pengetahuan, ideologi, dan doktrin-
doktrin berlapis-lapis dan tersedimentasi dalam struktur kognitifnya.
Akibatnya mereka tidak bisa berpikir, tetapi meniru dan menjadi pembela
berdarah-darah pada sebuah ideologi yang tentu saja orientasinya terbalik
ke masa lalu. Pendidikan tidak dirancang untuk melahirkan generasi yang
menatap masa depan, tetapi lebih ditarik ke masa lalu, sehingga hanya
menjadi generasi nostalgik, keluh-kesah, dan beretos kerja rendah.
Pendidikan hanyalah menjadi mesin pendesain yang mengikuti
logika positivistik, pe-remote control murid, sehingga kehilangan
spontanitas berpikir, letupan gagasan berbeda, sehingga kehilanagn
makna. Semua adalah sudah terdesain, diarahkan, dan optimalisasi ke
arah efektivitas tujuan. Murid ibarat benda yang diletakan pada mesin ban
berjalan, rutin bergerak ke arah yang sudah ditetapkan. Akibatnya sekolah
tidak menghasilkan ide besar, menginspirasi, semua menjadi benda-
benda yang tampak hidup, tapi mati.
Lalu bagaimana untuk mengatasi persoalan semua itu, terutama
jika dikaitkan dengan kehendak untuk berkembang menjadi masyarakat
industri? Di sini saya menawarkan pendidikan bermakna, yang memiliki
potensi menjadi sekoci bagi upaya menuju masyarakat industri yang lebih
substansial.
Pendidikan Bermakna
Apa itu pendidikan bermakna? Pendidikan bermakna secara
konseptualistik merupakan kombinasi antara pedagogi kritis dan
pendidikan partisiparotis. Pedagogi kritis berarti berwatak kritik, dalam
arti proses pendidikan harus emansipatoris, yaitu membebaskan dari
struktur-struktur buatan manusia yang menindas baik itu pada tingkat
produksi pengetahuannya maupun praksisnya. Ini berarti pendidikan
harus memiliki proyek utama membangun kesadaran kritis yang peka
terhadap ketidakadilan. Sementara itu pendidikan partisipatoris sebuah
proses pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif
dalam memproduksi pengetahuan dan menyelesaikan persoalan aktual
Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan
19
yang dihadapi sehari-hari. Jadi proses pendidikan di sini adalah sebuah
keterlibatan aktif dari peserta didik yang berorientasi pada pemecahan
masalah.
Akan tetapi pendidikan bermakna yang bersumber dari kedua
konsep besar tersebut belum cukup. Sebuah proses pendidikan baru bisa
disebut pendidikan bermakna jika bersifat historis dan sesuai dengan
kondisi sosio-kultural Indonesia serta memiliki daya antisipatif visioner.
Historis artinya, pendidikan mesti berangkat, berproses, dan berantisipasi
secara dialektik dari pergulatan bangsa ini sejak mengenal peradaban,
hingga kekinian, dan masa depan. Sementara itu sesuai kondisi sosio-
kultural mengandung makna bahwa setiap proses pendidikan mesti
berangkat dari sosio-kultur bangsa ini secara dinamis dan dialektik. Jika
bangsa ini berkultur agraris-maritim misalnya, maka proses pendidikan
bermakna mesti menjadi bagian dari upaya mengembangkan kompetensi
yang dibentuk dan sekaligus membentuk budaya agraris-maritim secara
cerdas dan kreatif. Oleh karena itu, watak utama pendidikan bermakna
adalah mengajari berpikir, bukan meniru-imitatif; mengajari mencipta-
produktif, bukan mengkonsumsi belaka; mengunyah, bukan menelan
untal-malang. Singkatnya pendidikan bermakna menghasilkan outcome
yang berkesadaran kritis, membebaskan, dan otonom-berdaya. Jadi
sebuah pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif
yang berpikir dan berdaya cipta, bukan objek pasif yang berimitasi dan
berkonsumsi belaka. Pendidikan bermakna adalah pilar utama dari
sebuah bangunan bangsa yang berdaulat bernama Indonesia.
Pendidikan bermakna akan membebaskan praktik pendidikan
yang mendominasi dan menghegemoni pikiran sebuah bangsa secara
kolektif pada suatu periode, dan bahkan secara terus-menerus.
Sebagaimana kita rasakan, praksis pendidikan kita selama ini lebih
menyedihkan karena semuanya diarahkan untuk pendisiplinan pikiran.
Semuanya serba sentralistik dan penuh semangat penyeragaman, dan
karena itu pendidikan lebih bersifat teknokratik, demi pertumbuhan
ekonomi yang basis industrinya ditopang oleh modal asing. SDM
outcome pendidikan menghamba pada kepentingan pemilik modal, yang
Orasi Ilmiah
20
sebagian besar adalah kaum kapitalisme global. Jadi tetap saja pendidikan
hanya melahirkan sumber daya manusia bermental jongos, dan bahkan
menjadi jongos beneran ketika ramai-ramai menjadi TKI.
Sekolah hanya melahirkan generasi imitasi, dan karena itu malas
berpikir. Kalau toh diajari berpikir itu pun dengan logika berpikir
konvensional. Imitasi bukanlah aktivitas berpikir, tetapi meniru dan
karena itu tidak lebih hanya generasi pengagum, penikmat, dan
konsumtif. Imitasi bukanlah bermimikri yang mockery, atau meniru dan
sekaligus mengejak terhadap yang ditirunya. Imitasi adalah meniru secara
pasif terhadap yang ditirunya, karena itu gampang dikontrol oleh yang
ditirunya. Peniru selamanya tidak akan menjadi aslinya, dan karena itu
tidak akan bisa menjadi melampauinya. Lembaga sekolah selama ini telah
begitu lama melakukan praktik demikian, dan yang lebih memprihatinkan
hingga fase perkembangannya yang sekarang, tidak menyadarinya.
Bahkan yang terjadi melakukan selebrasi atas peniruannya itu, dan
dengan demikian juga merayakan ketertundukannya terhadap yang
ditirunya. Lembaga pendidikan adalah ibu kandung generasi imitasi yang
dirayakannya secara gegap-gempita.
Lembaga pendidikan adalah pabrik kesadaran palsu, bukan arena
menyemaikan kesadaran kritis. Representasi murid adalah representasi
yang dibentuk, dipandang, dan mengalami objektivikasi tanpa otonomi.
Sekolah tidak menjadi arena bagi membangun kesadaran kritis yang
menjadikan murid mampu sebagai subyek aktif dan memandang secara
cerdas-kreatif dalam pergulatannya dengan perkembangan peradaban
manusia. Seruan dari teori kritis, jadikanlah lembaga pendidikan sebagai
arena emansipatoris, di Indonesia terdengar sayup-sayup. Yang terdengar
lebih nyaring adalah seruan rohaniawan dan borjuis yang
menyembunyikan penindasannya. Kolosi keduanya mampu
membungkam dan meninabubukan murid dalam samudra kemapanan,
sehingga murid tidak punya kepedulian karena itu dunia ini sudah selesai
tanpa masalah. Murid tidak lagi peka dan peduli dengan ketidakadilan
struktural.
Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan
21
Lembaga pendidikan tidak lebih hanya mewariskan dan
memindahkan pola yang sudah digunakan oleh pemiliknya, yaitu Barat
pelopor moda produksi kapitalisme dan Timur Tengah pengkonstruksi
Tuhan monoteisme. Lembaga pendidikan di Indonesia tidak mengajari
bagaimana caranya membuat pola dan sekaligus mengembangkannya.
Karena itu lembaga pendidikan, terutama sekolah, hanyalah peminjam
pola, tidak peduli pola itu sudah usang atau tidak, kontekstual atau tidak.
Lebih repot lagi, lembaga sekolah mengajari cara berpikir dan praktik
polaritatif itu, sehingga murid peniru ulung, dan bukan pencipta.
Lembaga sekolah seperti itu tidak menghasilkan murid yang
berkehendak, tetapi hanya melahirkan murid yang dikehendaki,
dikehendaki oleh para pendukung kemapanan baik dalam “cara berpikir”
maupun praktik.
Jangan heran kalau murid sekarang bukan saja tidak boleh
bertanya, tetapi memang tidak bisa bertanya, dan karena itu apalagi
menjawabnya. Semuanya diajari atas kehendak kelompok mapan, dan
guru adalah agen utama kelompok mapan itu. Lihatlah murid kita, kalau
toh diajari bertanya, maka itu adalah pertanyaan kelompok mapan. Dan
bukan hanya itu, murid juga sekaligus diajari menjawabnya. Jadi
pertanyaan dan sekaligus jawabannya itu pada hakekatnya adalah bukan
pertanyaan dan jawaban murid, melainkan pertanyaan dan sekaligus
jawaban kelompok mapan yang agen utamanya adalah guru, yang
sekaligus kepanjangan dari negara yang tidak otonom terhadap
kapitalisme dan agama. Karena itu murid tidak punya representasi
kesejatian, tetapi direpresentasikan oleh kesadaran palsu yang dibentuk
oleh kelompok mapan. Lembaga sekolah tidak lebih sekadar pembuat
“patung-patung” , dan repotnya patung-patung itu kopong, karena hanya
diisi oleh imitasi.
Oleh karena itu tidak perlu heran jika proses imitasi itu
berlangsung pada berbagai aspek, mulai dari sistem hukum, sistem
politik, ekonomi, dan juga kebudayaan. Dengan kata lain, tidak tumbuh
karya peradaban di negeri ini, karena telah lama macet sebagai akibat dari
proses imitasi yang intensif dan masif. Sistem hukum, politik, ekonomi,
Orasi Ilmiah
22
persis meniru Barat yang tanpa dikontekstualisasikan dengan proses
historis bangsa ini. Bahkan sistem keyakinan juga meniru persis dari
pusatnya, yaitu Timur Tengah, tanpa mempertimbangkan proses historis
bangsa ini. Semuanya adalah ahistoris. Karena itu bisa juga dikatakan
terlalu lama bangsa ini tidak memiliki sejarahnya sendiri, terus senantiasa
menjadi objek karya peradaban eksternal. Jangan heran jika dalam acara
di televisi semuanya adalah meniru persis seperti dari sumbernya, mulai
dari Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, acara Kuliner, apalagi
acara kuis. Semuanya adalah imitasi total. Lebih memprihatinkan yang
dituru adalah yang berkaitan dengan hiburan hura-hura, dan makan,
karena acara sepeti itulah yang tidak rumit.
Itulah tragedi pendidikan nasional yang selama ini terus
berlangsung tanpa menyadari kekeliruan sejak dari landasan filosofis,
teoretik, dan praksisnya. Semua itu karena tidak menggunakan prinsip
serta menerapkan pendidikan bermakna yang merupakan arena penyemai
subyek aktif, berkesadaran kritis, membebaskan, memilik mimbar
akademik, komunitas epistemik, dan masyarakat argumentatif.
Pendidikan bermakna bisa membangun kesadaran kritis yang sensitif
terhadap isu fundamental yaitu ketidakadilan dan peka terhadap berbagai
bentuk dominasi dan hegemoni, serta pada akhirnya lembaga pendidikan
menjadi arena pengembangan berpikir, bukan imitasi.
Merujuk pada Deluze beberapa ciri berpikir dalam filsafat
konvensional itu antara lain: (1) Proses berpikir beroperasi atas dasar
pangakuan, pengetahuan, dan kemiripan -apakah berupa kemiripan antara
objek dan representasi, khususnya dan konsep, atau antara pernyataan-
pernyataan dalam pikiran. Hal ini berarti semua modus perdebaan tunduk
kepada-dan dengan demikian bakal berpikir pada dasar-identitas. Dalam
filsafat Kant, karakterisasi atas citra tradisional atas pemikiran ini
mencapai formulasi paling mendalam di bawah bentuk concordia atau
keselarasan dari semua bidang dalam otak. Namun demikian, kemiripan,
pengakuan , dan harmoni tidak memberi kita kejelasan mengapa kita
berpikir; apa kekuatan yang memaksa kita berpikir; (2) Sama seperti
pemikiran diasumsikan memiliki akal sehat dan sifat yang baik-kemauan-
Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan
23
untuk-kebenaran- maka kesalahan hanya terjadi saat pikiran sedang
disesatkan, biasanya sebagai konsekuensi dari “terganggu oleh keinginan
dan dorongan dari tubuh”. Contoh salah hitung 6 + 5 = 12, dianggap
bukan kesalahan berpikir melainkan kesalahan anak yang belum lancar
membaca atau belum paham aritmatika. Bisa juga kesalahan itu karena
konsekuensi dari keadaan tertentu (misalnya karena melihat dari kejauhan
atau kurang cahaya). Ini berarti filsafat gagal mempertimbangkan
kesalahan “asli”, bahkan sebelum Nietzsche, filsafat gagal memikirkan
tentang sense; apakah itu sense atau non-sense sama sekali (Durie dalam
Edkins & Williams, 2009: 170).
Kemiripan dan apalagi imitasi ditolak oleh Deleuze sebagai
prinsip berpikir, karena dalam kenyataannya kemiripan tidak memberi
kemungkinan untuk menjelaskan mengapa kita berpikir. Karena itu
berlawanan dengan citra pemikiran filsafat lama, Deleuze
mengembangkan “new image of thought” atau citra beru pemikiran
sebagai berikut:
1. Apa yang memaksa kita untuk berpikir? Bukannya pengakuan atau
kemiripan yang memaksa kita untuk berpikir, tetapi malah kita
dipaksa untuk berpikir ketika pemikiran itu sedang bertemu dengan
kekerasan tertentu –ketika ia bertemu dengan sesuatu yang tidak
dapat dipikirkan, yang berada di luar jangkauan konsep-konsep
yang pikiran normalnya beroperasi. Dengan kata lain, dalam
pertemuan seperti itu pemikiran tidak tepat mengetahui dengan
siapa/apa ia berhadapan, dalam keadaan tersebut, Deluze
berpendapat bahwa yang dihadapi adalah yang “dapat diindra”-
dengan demikian, pertemuan yang terdiri dalam keadaan bisa
diindra. Dalam pengindaraan dan melalui pengindraanlah pikiran
terbangunkan (Deluze, 1994: 139).
2. Akan tetapi, jika peristiwa yang diindra ini berada di luar
jangkauan pengetahuan, bagaimana pikiran bisa terbangunkan?
Dalam cara bagaimana pikiran dipaksa untuk berpikir? Deleuze
menunjukkan, peristiwa pengindaraan semacam itu
Orasi Ilmiah
24
membingungkan pikiran sehingga memaksa pikiran untuk
menghadapi problem (Deleuze, 1994: 140).
Begitulah, imitasi bukanlah aktivitas berpikir, tetapi meniru dan
karena itu tidak lebih hanya generasi pengagum, penikmat, dan
konsumtif. Imitasi bukanlah bermimikri yang mockery, atau meniru dan
sekaligus mengejak terhadap yang ditirunya. Imitasi adalah meniru secara
pasif terhadap yang ditirunya, karena itu gampang dikontrol oleh yang
ditirunya. Peniru selamanya tidak akan menjadi aslinya, dan karena itu
tidak akan bisa menjadi melampauinya. Lembaga sekolah selama ini telah
begitu lama melakukan praktik demikian, dan yang lebih memprihatinkan
hingga fase perkembangannya yang sekarang, tidak menyadarinya.
Bahkan yang terjadi melakukan selebrasi atas peniruannya itu, dan
dengan demikian juga merayakan ketertundukannya terhadap yang
ditirunya. Lembaga pendidikan adalah ibu kandung generasi imitasi yang
dirayakannya secara gegap-gempita.
Lembaga pendidikan adalah pabrik kesadaran palsu, bukan arena
menyemaikan kesadaran kritis. Representasi murid adalah representasi
yang dibentuk, dipandang, dan mengalami objektivikasi tanpa otonomi.
Sekolah tidak menjadi arena bagi membangun kesadaran kritis yang
menjadikan murid mampu sebagai subyek aktif dan memandang secara
cerdas-kreatif dalam pergulatannya dengan perkembangan peradaban
manusia. Seruan dari teori kritis, jadikanlah lembaga pendidikan sebagai
arena emansipatoris, di Indonesia terdengar sayup-sayup. Yang terdengar
lebih nyaring adalah seruan rohaniawan dan borjuis yang
menyembunyikan penindasannya. Kolusi keduanya mampu
membungkam dan meninabubukan murid dalam samudra kemapanan,
sehingga murid tidak punya kepedulian karena itu dunia ini sudah selesai
tanpa masalah. Murid tidak lagi peka dan peduli dengan ketidakadilan
struktural.
Lembaga pendidikan tidak lebih hanya mewariskan dan
memindahkan pola yang sudah digunakan oleh pemiliknya, yaitu Barat
pelopor moda produksi kapitalisme dan Timur Tengah pengkonstruksi
Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan
25
Tuhan monoteisme. Lembaga pendidikan di Indonesia tidak mengajari
bagaimana caranya membuat pola dan sekaligus mengembangkannya.
Karena itu lembaga pendidikan, terutama sekolah, hanyalah peminjam
pola, tidak peduli pola itu sudah usang atau tidak, kontekstual atau tidak.
Lebih repot lagi, lembaga sekolah mengajari cara berpikir dan praktik
polaritatif itu, sehingga murid sekadar peniru ulung, dan bukan pencipta.
Lembaga sekolah seperti itu tidak menghasilkan murid yang
berkehendak, tetapi hanya melahirkan murid yang dikehendaki,
dikehendaki oleh para pendukung kemapanan baik dalam “cara berpikir”
maupun praktik.
Jangan heran kalau murid sekarang bukan saja tidak boleh
bertanya, tetapi memang tidak bisa bertanya, dan karena itu apalagi
menjawabnya. Semuanya diajari atas kehendak kelompok mapan, dan
guru adalah agen utama kelompok mapan itu. Lihatlah murid kita, kalau
toh diajari bertanya, maka itu adalah pertanyaan kelompok mapan. Dan
bukan hanya itu, murid juga sekaligus diajari menjawabnya. Jadi
pertanyaan dan sekaligus jawabannya itu pada hakekatnya adalah bukan
pertanyaan dan jawaban murid, melainkan pertanyaan dan sekaligus
jawaban kelompok mapan yang agen utamanya adalah guru, yang
sekaligus kepanjangan dari negara yang tidak otonom terhadap
kapitalisme dan agama. Karena itu murid tidak punya representasi
kesejatian, tetapi direpresentasikan oleh kesadaran palsu yang dibentuk
oleh kelompok mapan. Lembaga sekolah tidak lebih sekadar pembuat
“patung-patung” , dan repotnya patung-patung itu kopong, karena hanya
diisi oleh imitasi.
Oleh karena itu tidak perlu heran jika proses imitasi itu
berlangsung pada berbagai aspek, mulai dari sistem hukum, sistem
politik, ekonomi, dan juga kebudayaan. Dengan kata lain, tidak tumbuh
karya peradaban di negeri ini, karena telah lama macet sebagai akibat dari
proses imitasi yang intensif dan masif. Sistem hukum, politik, ekonomi,
persis meniru Barat yang tanpa dikontekstualisasikan dengan proses
historis bangsa ini. Bahkan sistem keyakinan juga meniru persis dari
pusatnya, yaitu Timur Tengah, tanpa mempertimbangkan proses historis
Orasi Ilmiah
26
bangsa ini. Semuanya adalah ahistoris. Karena itu bisa juga dikatakan
terlalu lama bangsa ini tidak memiliki sejarahnya sendiri, terus senantiasa
menjadi objek karya peradaban eksternal. Jangan heran jika dalam acara
di televisi semuanya adalah meniru persis seperti dari sumbernya, mulai
dari Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, acara Kuliner, apalagi
acara kuis. Semuanya adalah imitasi total. Lebih memprihatinkan yang
ditiru adalah yang berkaitan dengan hiburan hura-hura, dan makan,
karena acara sepeti itulah yang tidak rumit.
Sekolah pun kemudian juga menjadi arena beroperasinya
ideologi kapitalisme secara masif dan intensif, yang agennya lagi-lagi
adalah negara yang dikontrol oleh kekuatan kapital. Mereka inilah yang
kemudian mempasifkan murid untuk belajar dibawah kesadaran palsu.
Murid pun kemudian teralineasi dengan lingkungan belajarnya, karena
telah dibius dengan khayalan-khayalan atau kisah sukses masyarakat
Barat. Akibatnya murid tidak bangga dan gemar pada kultur agraris-
maritim, tetapi malah mengagumi kisah sukses masyarakat kapitalis.
Murid menjadi terasing (teralienasi) dengan lingkungan budayanya
sendiri yang agraris-maritim. Proses ini beroperasi terus melalui institusi
pendidikan, sehingga tidak heran jika murid sejak awal sudah tercerabut
dari akar budayanya. Sekolah tidak dijadikan sebagai arena kesadaran
kritis, yang menjadi subyek aktif mengkonstruksi kebudayaan secara
transformatif. Budaya agraris-maritim tidak mengalami transformasi ke
arah budaya progresif dengan aktor utama adalah learning outcome dari
lembaga pendidikan sekolah. Sekolah hanya melahirkan generasi imitasi,
dan karena itu malas berpikir. Kalau toh diajari berpikir itu pun dengan
logika berpikir konvensional.
Sudah sejak lama bangsa ini tidak mau bersulit-sulit, atau sedi kit
gelem kangelan. Pingin hidup enak, tetapi tidak mau bekerja keras,
disiplin, dan gemar detail (lihat artikel saya di Kompas). Tidak mampu
mengunyah, karena tidak tahu konsep differance, difer atau menunda.
Tidak diberi kesempatan untuk jeda, berhenti sejenak agar memiliki sikap
kritis terhadap materi pelajaran. Semuanya dijejali, didoktrin, disuapi,
dan harus menelan langsung.
Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan
27
Sumber utama praktik pendidikan indoktrinatif itu adalah
keterpukauan terhadap pembelajaran berparadigma positivistik dan
behavioristik. Menempatkan peserta didik hanya sebagai objek belaka,
dikendalikan oleh berbagai model dan disasin pembelajaran yang telah
dirancang secara seragam oleh pusat. Seluruh perangkat pendidikan
mulai dari kurikulum, pilihan model pembelajaran, bahan ajar dan buku
ajar, media pembelajaran dan berbagai bentuk evaluasi pembelajaran
telah di buat oleh Jakarta dan kemudian adalah keharusan untuk
diterapkan oleh daerah. Praktik pendidikan indoktrinatif seperti itu secara
disignifikan dilakukan oleh rezim Orde Baru.
Ketika Indonesia memasuki pasca Orde Baru, atau sering disebut
sebagai era reformasi, praktik pendidikan indoktrinatif seperti itu juga
masih terasa. Jadi terasa ironis, katanya demokrasi pendidikan dan
desentralisasi pendidikan, tetapi dalam banyak kasus sentralisasi
pendidikan juga masih terasa. Kurikulum dan pengadaan buku juga
bersifat sentralistik karena kepentingan proyek birokrat Jakarta. Memang
kemudian ada otonomi pendidikan, tetapi otonomi pendidikan justru
membuat pendidikan menjadi perusahaan yang melakukan komodifikasi
jasa pendidikan. Perubahan sistem politik ke sistem demokrasi,
melahirkan otonomi daerah dan otonomi pendidikan, tetapi kemudian
mengkondisikan pendidikan semakin liberal. Liberalisasi pendidikan ini
lantas pendidikan lebih berorientasi pada pasar, dan lembaga pendidikan
yang dianggap baik semakin sedikit membuka akses bagi kalangan
masyarakat miskin. Jadi liberalisasi pendidikan terbukti telah menjadikan
institusi pendidikan menjadi bagian dari memapankan struktur sosial
yang tidak adil. Perguruan tinggi favorid, seperti UGM, ITB, UI, UNDIP,
UNAIR, USU, UNHAS, pada era liberalisasi pendidikan ini semakin
dihuni oleh mahasiswa yang berasal dari kalangan keluarga kaya. Bahkan
UGM, yang dahulu terkenal sebagai universitas kerakyatan, sekarang
semakin elitis. Keluarga dari kalangan kelas bawah atau apalagi warga
miskin semakin sulit kuliah di UGM karena biayanya semakin mahal.
Memang dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang memberikan kuota bagi warga miskin
Orasi Ilmiah
28
melalui program bidik misi. Akan tetapi daya serapnya tidak lebih dari 5
persen dari total mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi favorid.
Perguruan tinggi yang mencetak SDM unggul, terbukti lebih banyak dari
kelas menengah ke atas, dan di tangan generasi orang kaya itulah negeri
ini kemudian diserahkan untuk memimpin kelak di kemudian hari. Jadi
kepekaan dan kepedulian terhadap orang miskin sangat diragukan karena
mereka memang bukan dari kalangan warga miskin.
Lalu kemudian untuk mengatasi agar proses pendidikan segera
keluar dari cengkeraman positivistik, diperkenalkan pendidikan
berparadigma konstruktivistik. Sejumlah metode pembelajaran diubah
dari yang tadinya teacher center menjadi student center, atau
menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif. Akan tetapi dalam
praktiknya terjadi sebuah ironi karena guru yang merupakan garda
terdepan tidak paham akan esensi pembelajaran konstruktivistik.
Sementara kalangan birokrat pendidikan juga segan melepaskan watak
sentralistiknya karena demi kepentingan akses anggaran.
Akibatnya banyak terjadi ironi dan keanehan dalam praktik
pembelajaran di sekolah. Katanya konstruktivistik tapi diajari prinsip
benar salah, pilihan berganda, dan tidak argumentatif. Misal citra visual
patih Gajah Mada, ya hanya seperti rekaan Mohammad Yamin yang ada
dalam benak guru dan murid. Sementara jika ada murid yang
menggambar Gajah Mada berbadan kurus atau tidak bermuka tambun
seperti rekaan Yamin, pasti oleh guru disalahkan. Jadi proses
pembelajaran seperti itu bukan bersifat konstruktivistik, tetapi tetap
indoktrinatif. Murid tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan
imajinasinya. Sementara instrumen evaluasi pembelajaran masih banyak
menggunakan prinsip benar-salah dan pilihan berganda. Jarang sekali
guru menggunakan soal-soal esai yang mampu merangsang imajinasi
siswa. Anehnya dalam setiap visi misi sekolah selalu ingin membentuk
murid yang cerdas, kreatif, dan inovatif. Sebuah cita-cita yang sulit
diwujudkan karena proses pembelajarannya bersifat indoktrinatif dan
bukan praksis pembelajaran konstruktivistik. Pembelajaran berparadigma
konstruktivistik merupakan bagian dari pendidikan bermakna, karena itu
Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan
29
fakta ironi dan keanehan praktik pembelajaran tersebut juga indikasi
belum menerapkan pendidikan bermakna, sehingga gagal membangun
peserta didik yang kaya imajinasi dan sarat argumentatif.
Memang kemudian diperkenalkan kurikulum 2013 yang
berorientasi pada pembelajaran proses, bukan orientasi hasil. Harus
diakui kurikulum 13 memiliki kandungan pendidikan bermakna, karena
menekankan proses dan bukan hasil dalam suatu proses pembelajaran.
Akan tetapi dalam praktiknya tidak berjalan sesuai dengan tipologi
idealnya, akibat tiadanya upaya memenuhi prasyarat utamanya. Salah
satu prasyarat itu adalah kemampuan guru dalam melakukan penelitian
kualitatif. Jika mau berhasil dalam implemntasi kurikulum 13,
kompetensi guru dalam melakukan observasi terhadap proses belajar
siswa harus dipenuhi lebih dahulu. Akan tetapi prasyarat dasar ini tidak
dipenuhinya, sehingga kurikulum 13 sekadar ganti nama saja, dari
kurikulum KTSP. Guru tidak punya kompetensi observasional, sehingga
gagal melakukan pengamatan secara cermat dan jujur terhadap proses
belajar siswanya. Parahnya lagi, guru tidak memiliki kultur menulis,
meskipun sekadar bersifat diskriptif. Oleh karena itu ketika membuat
laporan akhir proses belajar murid, hanya sekadar formalitas dan tanpa
data akurat. Guru tidak terbiasa mendokumentasikan catatan lapangan
selama satu semester proses belajar siswanya. Kebiasaan guru menulis
laporan dalam buku raport murid hanya seminggu sebelum hari akhir
semester. Akibatnya guru di samping minim data observasional, juga
kesulitan mendiskripsikan laporan sebagai hasil evaluasi belajar siswa.
Jadi sekadar copy paste dari satu diskripsi hasil belajar murid ke murid
satunya. Tidak ada variasi pelaporan diskriptif berdasarkan aktvitas
belajar masing-masing individu muridnya. Kurikulum 13 pada fase
evaluasi ini mengalami kegagalan total, dan ini lagi-lagi tragedi
pendidikan nasional.
Dalam pandangan pendidikan bermakna, pendidikan harus
merupakan proses diskursif yang menyediakan mimbar akademik untuk
secara adil (fair) dan bebas-terbuka dalam mempertahankan teori dan
tesis secara agrumentatif. Karena itu lembaga pendidikan adalah
Orasi Ilmiah
30
komunitas epistemik yang penghuninya harus melepaskan berbagai
bentuk ideologi, ketika akan terlibat dalam argumentasi dalam mencari
pengetahuan logis. Tidak berhenti di situ, bahwa pengetahuan logis itu
harus digunakan untuk upaya perubahan sosial yang emansipatoris dan
partisipatoris. Ini mengandung dua sifat kritis sekaligus, yaitu
emansipatoris pada level pemikiran, dan sekaligus pada level praksis.
Oleh karena itu saatnya menerapkan pendidikan bermakna. yaitu
sebuah proses penyemai subjek aktif yang memfasilitasi peserta didik
memiliki pilihan-pilihan dalam upaya mencari pengetahuan tanpa
kekangan dari sebuah struktur yang menindas. Ini tidak berarti
membiarkan peserta didik menjadi pribadi yang liar, melainkan
melakukan tertib dengan penuh kesadaran yang berorientasi pada
keentingan publik. Sepanjang kekangan struktur demi kepentingan
membangun etika publik, dalam pandangan pendidikan bermakna justru
mendapat dukungan. Inilah sebabnya dari sudut pandang pendidikan
bermakna subjek aktif menuntut etika tanggung jawab, sebuah etika yang
dikembangkan demi tujuan pencapaian kepentingan publik, kepentingan
bersama. Jadi jika siswa bertindak tertib dan jujur, bukanlah atas
kekangan struktur, melainkan sebuah proses kesadaran individual bahwa
tindakan itu dilakukan demi kepentingan publik. Dari sini kemudian
muncul kesadaran kolektif untuk tertib bersama atas dasar orientasi
menjaga kepentingan bersama, dan inilah wujud etika tanggung jawab.
Pendidikan bermakna mesti menjadikan peserta didik
berkesadaran kritis, dalam arti memiliki kesadaran politis untuk
mengubah struktur mapan yang menindas dan eskploitatif. Peserta didik
harus memiliki pandangan bahwa tidak ada yang natural dalam dunia
sosial, semua adalah sebuah konstruksi sosial. Segala upaya dari kekuatan
dominatif yang berusaha menaturalkan kemapanan perlu dicurigai
sebagai bentuk penindasan struktural. Ini berarti peserta didik harus
memiliki kepekaan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan struktural.
Oleh karena itu peserta didik dalam pendidikan bermakna harus menjadi
bagian dari gerakan yang membebaskan dari berbagai belenggu struktural
yang melakukan pendisiplinan, penyeragaman, dan penguniversalan ilmu
Dies Natalis Ke-68 Fakultas Ilmu Pendidikan
31
pengetahuan, yang akhirnya memapankan struktur baik pada level pikiran
maupun dalam struktur masyarakat secara nyata. Pendidikan bermakna
membebaskan dari cara berpikir oposisi biner dan hierarkis yang menjadi
sumber penindasan.
Lembaga sekolah dalam pandangan pendidikan bermakna, harus
menjadi arena peserta didik mampu berpikir, dan bukan proses peniruan
atau imitasi. Ini mensyaratkan meningggalkan cara pembelajaran yang
indotrinatif dan mendikte peserta didik. Hanya dengan proses pendidikan
berpikir dalam arti sesungguhnya ini, maka peserta didik akan mampu
beradu argumen, adu wacana, debat, curah pendapat, dan berimajinasi.
Ini adalah bibit untuk menjadi peserta didikan mampu berkreasi,
penemuan, berinovasi, dan bukan melakukan peniruan atau imitatif.
Pendidikan bermakna adalah sebuah proses pembelajaran yang
terlibat, semua terlibat untuk pemecahan masalah. Oleh karena pemilik
masalah adalah rakyat kebanyakan dengan berbagai latar belakang, maka
membiarkan masyarakat warga secara cerdas-kreatif mengkonstruksi dan
memaknai berbagai bentuk pendidikan yang pas dengan problem yang
mereka hadapi secara partikular. Biarkanlah rakyat Aceh, Riau,
Kalimantan, Sulawesi, NTT, dan Papua terlibat secara aktif dalam
mencari berbagai bentuk pembelajaran yang sesuai dengan persoalan
yang mereka hadapi. Biarkanlah mereka menentukan kriteria mereka
sendiri yang historis dan sesuai dengan konteks sosio-kultural masing-
masing. Tidak perlu ada standar pusat yang selama ini tidak lebih
berpretensi sok tahu terhadap problem pendidikan pada masing-masing
daerah. Karena itu dalam konteks praksis pendidikan bermakna, harus
membiarkan daerah secara otonom memformulasikan pendidikan secara
desentralistik dan demokratis atas dasar indentifikasi masalah mereka
sendiri.
Melalui pendidikan bermakna sekaligus menjadi wacana
evaluatif terhadap berbagai praksis pendidiakan di Indonesia yang selama
ini indoktrinatif, dominatif, dan membelenggu. Dengan begitu
pendidikan bermakna sekaligus upaya keluar dari berbagai belenggu
struktural, sehingga makin emansipatoris dan partisipatoris yang
Orasi Ilmiah
32
melahirkan generasi inovatif, kreatif, arif, dan sekaligus berkesadaran
kritis. Melalui pendidikan bermakna inilah yang berpotensi melahirkan
Indonesia yang berdaulat dalam percaturan global baik secara politik,
ekonomi, dan kebudayaan.
Begitulah, sedikit tawaran untuk ikut berpartisipasi dalam upaya
mendorong masyarakat industri baik konvensional maupun masyarakat
industri 4.0 melalui pendidikan bermakna. Ini juga sekaligus sebagai
terhadap Fakultas Ilmu Pendidikan yang beriniat melakukan langkah
rintisan membangun mazhab Karangmalang. Oleh karena itu, berbagai
langkah akademik perlu ditempuh, seperti produktivitas pemikiran yang
relevan dan peka terhadap perkembangan masyarakat. Melalui langkah
rintisan seperti itu, bukan mustahil Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, akan
senantiasa menjadi bagian memajukan bangsa ini, meskipun hanya
sekadar menyediakan sekoci.