1032
PENERAPAN LEAN MANUFACTURING DENGAN METODE VSM DAN FMEA
UNTUK MENGURANGI WASTE PADA PRODUK PLYWOOD
(Studi Kasus Dept. Produksi PT Kutai Timber Indonesia)
IMPLEMENTATION OF LEAN MANUFACTURING USING VSM AND FMEA
TO REDUCE WASTE IN PRODUCT PLYWOOD
(Case Study Dept. Production PT Kutai Timber Indonesia)
Rahmad Hidayat1)
, Ishardita Pambudi Tama2)
, Remba Yanuar Efranto3)
Jurusan Teknik Industri, Universitas Brawijaya
Jl. Mayjen Haryono 167, Malang 65145, Indonesia
E-mail: [email protected])
Abstrak
PT Kutai Timber Indonesia merupakan salah satu perusahaan manufaktur yang bergerak dalam bidang
penghasil produk plywood sebagai produk utamanya. Pada proses produksi di perusahaan masih ditemukan
beberapa waste. Untuk mengurangi waste yang terjadi digunakan pendekatan lean manufacturing dengan
metode Value Stream Mapping (VSM) untuk pemetaan aliran produksi dan aliran informasi terhadap suatu
produk pada tingkat produksi total, serta analisis Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) untuk
mengetahui penyebab kegagalan proses yang terjadi di lini produksi. Identifikasi waste diawali dengan
penggambaran current state map, lalu dilakukan analisis waste ke dalam kategori 7 waste (Liker,2006).
Setelah itu dilakukan analisis akar penyebab timbulnya waste menggunakan fishbone diagram, dan analis
FMEA untuk mengetahui nilai RPN tertinggi yang selanjutnya akan menjadi prioritas pemberian usulan
perbaikan yang tepat dan sesuai dengan masalah dan kondisi di PT Kutai Timber Indonesia. Rekomendasi
perbaikan yang diberikan terkait dengan nilai RPN tertinggi pada waste yang teridentifikasi adalah
memberikan desain alat material handling yang lebih tepat dan ergonomis, melakukan kegiatan
maintenance, serta melakukan penambahan jumlah mesin dryer.
Kata kunci: lean manufacturing, value stream mapping, failure mode and effects analysis
1. Pendahuluan
PT Kutai Timber Indonesia (KTI)
merupakan salah satu perusahaan manufaktur
yang bergerak dalam bidang penghasil produk
plywood sebagai produk utamanya. Adapun
bentuk produk lainnya yang dihasilkan oleh
perusahaan ini, seperti second process plywood,
wood working, dan particle board. Produk yang
di hasilkan sampai di export ke luar. Penelitian
di PT Kutai Timber Indonesia ini akan
dilakukan pada produk jenis plywood dengan
ukuran 9 x 1220 x 2440 mm, karena produk ini
merupakan produk utama dari perusahaan, yang
permintaannya sangat besar. Permintaan akan
produk plywood ini rata-rata sekitar 11.400 m3
per bulan, oleh karena itu maka adanya waste
pada perusahaan ini perlu untuk di eliminasi.
Perusahaan ini memiliki waste pada lini
produksi, yaitu adanya product defect, waiting
time serta unnecessary inventori. Bentuk
product defect disini antara lain seperti pecah
diluar standar, core kasar, press mark, over
lapped atau terjadinya split pada plywood,
repair, terdapatnya patahan pada bagian
plywood, terdapatnya rongga pada core
plywood, dll. Menurut data yang diperoleh dari
PT Kutai Timber Indonesia, perusahaan ini
masih banyak menghasilkan product defect
yang jumlahnya melebihi toleransi yang telah
ditentukan oleh perusahaan. Perusahaan ini
memiliki toleransi product defect sebesar 2,50
% dari total output yang dihasilkan. Adapun
data prosentase produk defect yang terdapat di
PT Kutai Timber Indonesia pada 6 bulan
pertama tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Product Defect di PT KTI
No Bulan Product defect (%)
1 Januari 2,50 %
2 Februari 2,56 %
3 Maret 2,54 %
4 April 2,69 %
5 Mei 2,65 %
6 Juni 2,68 %
Selain itu, unnecessary inventory juga ditemui
pada lini produksi, yaitu adanya antrian
material yang akan memasuki proses dryer
1033
yang disebabkan karena mesin dryer masih
dalam proses pengerjaan material sebelumnya,
hal ini akan menimbulkan work in process
(WIP) yang dapat mengurangi produktivitas
perusahaan. Material yang mengalami antrian
ini bisa saja menghabiskan waktu lebih dari 60
menit untuk mengalami proses di mesin
berikutnya. Pada proses ini, material mengalami
penumpukan atau antrian, sehingga terdapat
beberapa material yang harus di diam kan
terlebih dahulu dan dikerjakan kemudian. WIP
ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Antrian Pada Proses Dryer
Adanya pemborosan (waste) di PT Kutai
Timber Indonesia tersebut, tentunya akan
mengakibatkan kerugian pada perusahaan.
Adapun bentuk kerugian yang dapat ditanggung
oleh perusahaan, seperti kerugian dalam hal
biaya, kurang maksimalnya jumlah produk yang
dihasilkan, serta berpengaruh terhadap efisiensi
waktu yang digunakan, sehingga adanya waste
ini perlu untuk diidentifikasi dan dianalisis,
sehingga dapat diberikan usulan perbaikan.
Untuk menganalisis waste, dibutuhkan suatu
metode yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi dan mereduksi terjadinya
waste pada system agar perusahaan dapat
menghemat sumber daya bahan baku, waktu
dan energi sehingga terjadi peningkatan
efisiensi. Salah satu pendekatan yang digunakan
untuk mengeliminasi waste tersebut adalah lean
manufacturing dengan menggunakan metode
Value Stream Mapping. Lean manufacturing
merupakan suatu metode optimal untuk
memproduksi barang melalui peniadaan
pemborosan atau waste (Wilson, 2010). Lean
manufacturing merupakan suatu pendekatan
yang dapat digunakan untuk melakukan
perbaikan terhadap pemborosan yang terjadi
pada perusahaan, sehingga lead time produksi
dapat berkurang. Terdapat 5 prinsip Lean yang
harus diperhatikan yaitu specify value, identify
value stream, flow, pulled, perfection (Hines
dan Taylor, 2000). Value Stream Mapping atau
VSM adalah suatu metode pemetaan aliran
produksi dan aliran informasi untuk
memproduksikan satu produk atau satu family
produk, yang tidak hanya pada masing-masing
area kerja, tetapi pada tingkat total produksi
serta mengidentifikasi kegiatan yang termasuk
value added dan non value added (Rother and
Shock, 2003). VSM mengelompokkan
aktivitas-altivitas yang ada pada lantai produksi
dalam aktivitas value added dan non value
added, sehingga dapat diketahui aktivitas mana
yang dapat memberikan nilai tambah dan yang
tidak memberikan nilai tambah, yang
selanjutnya dapat dilakukan langkah-langkah
untuk mengeliminasi pemborosan yang ada.
Selain itu, penelitian ini juga menerapkan
metode Failure Mode and Effects Analysis
(FMEA) untuk menganalisis penyebab
kegagalan proses dilantai produksi. FMEA
disini digunakan untuk mengidentifikasi potensi
penyebab kegagalan yang ada di produksi,
sehingga dapat mengeliminasi dan
meminimalkan resiko terjadinya kegagalan
yang akan timbul.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penlitian
ini ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-
fenomena yang ada, baik fenomena alamiah
maupun fenomena buatan manusia. Fenomena
disini bisa berupa bentuk, aktivitas,
karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan,
dan perbedaan antara fenomena yang satu
dengan fenomena lainnya.
2.1 Langkah – Langkah Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Survei Pendahuluan
Langkah awal yang perlu dilakukan, karena
hal ini bermanfaat bagi peneliti karena dapat
memberikan gambaran yang jelas tentang
obyek penelitiannya.
2. Studi literature
Studi literatur digunakan untuk mempelajari
teori dan ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan permasalahan yang
akan diteliti.
1034
3. Identifikasi masalah
Identifikasi masalah dilakukan dengan
tujuan untuk mencari penyebab timbulnya
masalah dan kemudian mencari
permasalahan yang terjadi.
4. Perumusan masalah
Rumusan masalah merupakan rincian dari
permasalahan yang dikaji.
5. Penetapan tujuan penelitian
Tujuan penelitian ditentukan berdasarkan
perumusan masalah yang telah dijabarkan
sebelumnya.
6. Pengumpulan data
Dalam tahap ini yang dilakukan adalah
mengumpulkan data yang diperlukan selama
proses penelitian berlangsung. Data yang
diperlukan yaitu:
a. Waktu siklus produk
b. Uptime dan change overtime
c. Data tinjauan umum PT Kutai Timber
Indonesia
d. Data proses produksi
e. Data jam kerja perusahaan
f. Jumlah operator
g. Data permintaan
h. Data ukuran batch produksi
i. Data scrap
j. Data produk defect
7. Pengolahan data
Langkah-langkah dalam pengolahan data
adalah sebagai berikut.
a. Menghitung waktu standar tiap proses
b. Pembuatan current state map
Current state map merupakan sebuah
gambaran aliran material dan informasi
pada proses produksi.
c. Identifikasi pemborosan
Identifikasi pemborosan diawali dengan
membuat tabel VA, NVA, dan NBVA.
Sehingga diketahui aktivitas yang tidak
memberikan nilai tambah sehingga
diketahui prosentase VA dan NVA nya.
Selanjutnya dari aktivitas tersebut akan
diidentifikasi secara manual berdasarkan
teori 7 waste, dengan melihat kondisi di
diperusahaan.
d. Menentukan akar permasalahan dengan
fishbone diagram
Dengan diagram ini maka penyebab dari
waste yang telah teridentifikasi disini
dapat diketahui untuk selanjutnya di
analisis di FMEA untuk mengetahui nilai
RPN tertingginya.
e. Menentukan takt time
Penentuan takt time untuk setiap proses,
menunjukkan seberapa sering seharusnya
suatu produk diproduksi untuk memenuhi
permintaan pelanggan. Apabila cycle
time berada diatas takt time maka proses
tersebut berjalan lebih lambat sehingga
seharusnya dilakukan perbaikan.
f. Analisis FMEA
Dilakukan dengan memberikan rating
pada severity, occurance, dan detection
sehingga menghasilkan RPN. Nilai RPN
tertinggi digunakan untuk mengetahui
jenis waste mana yang memiliki potensi
penyebab kegagalan yang tertinggi
sehingga perlu untuk dilakukan
rekomendasi perbaikan terlebih dahulu.
g. Memberikan rekomendasi perbaikan
Fokus rekomendasi perbaikan didasarkan
pada apa yang sudah dianalisa
sebelumnya, yaitu berdasarkan analisa
dari perhitungan takt time, serta nilai
RPN tertinggi yang dihasilkan dari
analisis FMEA terkait dengan jenis waste
yang telah teridentifikasi.
8. Kesimpulan dan saran
Tahap terakhir yang berisi kesimpulan yang
diperoleh dari hasil pengumpulan,
pengolahan dan analisis yang menjawab
tujuan penelitian yang ditetapkan.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Pembuatan Current State Map
Current State Map merupakan gambaran
dari proses produksi yang berlangsung dalam
perusahaan yang meliputi aliran informasi dan
material. Current State Map diperlukan sebagai
langkah awal dalam proses identifikasi waste
yang terjadi pada proses produksi plywood di
PT KTI. Adapun gambar current state map
disini dapat dilihat pada Gambar 2.
3.2 Analisa Current State Map
Setelah digambarkan current state map
maka pemetaan tersebut akan dijadikan acuan
untuk mengidentifikasi pemborosan yang
terjadi di sepanjang value stream. Sebelumnya
akan dilakukan pengelompokan kegiatan yang
termasuk value added (VA), non value added
(NVA),dan necessary but non value added
(NBVA). Untuk pengelompokan aktivitas
tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
1035
Dryer Log cutting Hot press Putty
dst
Arranger Glue spreader Cold pressRotary Double sawGudang
1,20 min 1,50 min0,50 min0,50 min 0,50 min0,50 min0,50 min 0,50 min5,10 minlog
1log
kayu1 log
kayu
1 pallet (93
lembar
plywood)1 pallet1 pallet1 pallet1 pallet1 pallet1 pallet
C/T = 1,36 min
C/O = 0 min
Uptime = 99 %
Available = 21 hour
C/T = 5,92 min
C/O = 0,5 min
Uptime = 98 %
Available = 21 hour
C/T = 13,90 min
C/O = 0,5 min
Uptime = 98 %
Available = 21 hour
C/T = 16,34 min
C/O = 0 min
Uptime = 95 %
Available = 21 hour
C/T = 29,94 min
C/O = 1 min
Uptime = 90 %
Available = 21 hour
C/T = 35 min
C/O = 0,5 min
Uptime = 98 %
Available = 21 hour
C/T = 117,67 min
C/O = 0 min
Uptime = 95 %
Available = 21 hour
C/T = 7 min
C/O = 0,5 min
Uptime = 98 %
Available = 21 hour
C/T = 17,70 min
C/O = 1 min
Uptime = 98 %
Available = 21 hour
(2) (3) (3)(2)(3) (2)(3)(2) (3)
1,36 min
2880 min
5,92 min
5,10 min
29,94 min
0,50 min
80 min
13,90 min
0,50 min
18,00 min
16,34 min
0,50 min
7 min
0,50 min
30,00 min
35 min
0,50 min
17,70 min
1,20 min
3,00 min
117,67 min
0,50 min
5,00 min
VA = 4,27 jam
PLT = 50,71 jam
3 min
4 min
Production
supervisor
Manager produksi
Supplier
weekly
Customer
Weekly order weekly order
Weekly
Jadwal per-shift kerja
C/T = 7,48 min
C/O = 0 min
Uptime = 95 %
Available = 21 hour
C/T = 3,81 min
C/O = 0,5 min
Uptime = 98 %
Available = 21 hour
1 min
Sander
(2)
Final selection
(2)
1 pallet
3,81 min
1,50 min
3,00 min
7,48 min
1 min
5 min
Daily
3 min
Gambar 2. Current State Map
Tabel 2. Pengelompokan VA, NVA, NBVA
No. Aktivitas Waktu
(menit)
Kategori
1 Inventory awal material log kayu yang datang dengan menaruhnya diatas
permukaan laut
2880 NBVA
2 Log kayu di transfer ke log cutting 2,00 NVA
3 Proses log cutting untuk memotong log kayu 1,36 VA
4 Log kayu yang telah dipotong di transfer ke rotary 5,10 NVA
5 Proses rotary untuk mengubah log kayu menjadi lembaran core 5,92 VA
6 Gulungan lembaran core di transfer ke proses selanjutnya 0,50 NVA
7 Gulungan lembaran core menunggu untuk diproses di dryer sehingga
menimbulkan WIP
80,00 NVA
8 Proses dryer untuk mengeringkan lembaran core sesuai standar yang telah
ditentukan
29,94 VA
9 Core di transfer ke proses arranger 0,50 NVA
10 Proses arranger untuk melakukan proses repair, seperti penutupan lubang,
bercak, dan noda pada core, serta menentukan kualitas core sesuai standar
yang ada
16,34 VA
11 Core yang telah di inspeksi menunggu untuk di transfer ke proses selanjutnya 18,00 NVA
12 Core di transfer ke proses glue 0,50 NVA
13 Proses glue untuk melakukan pengeleman terhadap core, face, dan back
sehingga menghasilkan plywood
13,90 VA
14 1 pallet plywood ditransfer ke proses cold press 0,50 NVA
15 Proses cold press untuk memberikan tekanan pada plywood sehingga lebih
merekatkan core,face, dan back
35,00 VA
16 1 pallet plywood diinspeksi dan menunggu untuk di transfer ke proses
selanjutnya
30,00 NBVA
17 1 pallet plywood di transfer ke proses hot press 0,50 NVA
18 Proses hot press untuk menyempurnakan proses glue sebelumnya 7,00 VA
19 1 pallet plywood menunggu untuk di transfer ke proses selanjutnya 5,00 NVA
20 1 pallet plywood di transfer ke proses putty 0,50 NVA
21 Proses putty untuk melakukan pendempulan sekaligus inspeksi terhadap
plywood yang mengalami defect
117,67 VA
22 1 pallet plywood menunggu untuk di transfer ke proses selanjutnya 3,00 NVA
23 1 pallet plywood di transfer ke proses double saw 1,20 NVA
1036
Lanjutan Tabel 2. Pengelompokan VA, NVA, NBVA
Dari Tabel 2, maka kita bisa mengetahui
untuk waktu yang termasuk value added time
sebesar 256,12 menit, sedangkan untuk waktu
yang termasuk non value added time adalah
sebesar 3042,8 menit. Gambar 3 adalah
perbandingan antara waktu value added time
dan non value added time.
Gambar 3. Perbandingan VA dan NVA
Dari Gambar 3 dapat diketahui bahwa
prosentase value added time hanya sebesar 7,76
% dari total waktu keseluruhan produksi yaitu
3298,92 menit. Nilai NVA yang terdapat di PT
Kutai Timber Indonesia ini cenderung besar jika
dibandingkan dengan nilai VA time nya, oleh
karena itu perlu untuk dilakukan identifikasi
agar bisa mengurangi waktu total produksi
sehingga waktu produksi dapat lebih cepat serta
dapat meminimasi waste yang ada di lini
produksi.
3.3 Identifikasi Pemborosan (Waste)
Adapun identifikasi pemborosan yang
terdapat di PT Kutai Timber Indonesia disini
adalah sebagai berikut.
1. Produksi yang berlebih (overproduction)
Pada perusahaan ini jumlah output produk
yang dihasilkan tidak pernah mengalami
overproduction dalam jumlah yang besar.
Jumlah plywood yang dihasilkan memang
ada yang kadang mengalami lebih dari
jumlah yang ditargetkan, namun kelebihan
ini hanya toleransi saja. Perusahaan ini
memiliki ketetapan yang telah disepakati
bahwa dalam melakukan proses produksi
maka outputnya nanti diperbolehkan kurang
dari atau pun lebih dari 10% dari jumlah
output yang telah ditargetkan. Sehingga
perusahaan ini tidak memiliki jenis waste
overproduction.
2. Waktu menunggu (waiting time)
Adapun waste waiting time yang
teridentifikasi dalam pembuatan produk
plywood di PT Kutai Timber Indonesia
disini adalah sebagai berikut:
a. Core yang telah diinspeksi di proses
arranger mengalami waiting time untuk
di transfer ke proses glue.
b. 1 pallet plywood yang telah diproses di
hot press mengalami waiting time untuk
di transfer ke proses putty
c. 1 pallet plywood yang telah melewati
proses double saw menunggu untuk di
transfer ke proses sander.
d. 1 pallet plywood yang telah melewati
proses sander menunggu untuk di
transfer ke proses final selection untuk di
inspeksi akhir.
e. 1 pallet plywood yang telah jadi
menunggu untuk di transfer ke gudang,
Berdasarkan Tabel 2, Waiting time terbesar
terjadi saat core mau memasuki proses glue,
yaitu 18 menit yang selanjutnya akan
diidentifikasi terlebih dulu agar diketahui
penyebabnya yang harapannya bisa
No. Aktivitas Waktu
(menit)
Kategori
24 Proses double saw untuk melakukan pemotongan pada dua sisi plywood sesuai
dengan ukuran jenis produk yang mau dibuat
17,70 VA
25 1 pallet plywood menunggu untuk di transfer ke proses selanjutnya 3,00 NVA
26 1 pallet plywood di transfer ke proses sander 1,50 NVA
27 Proses sander untuk memberikan pelapisan pada plywood yang telah melewati
proses potong
3,81 VA
28 1 pallet plywood menunggu untuk di transfer ke proses selanjutnya 5,00 NVA
29 1 pallet plywood di transfer ke proses final selection 1,00 NVA
30 Proses final selection untuk melakukan inspeksi akhir terhadap plywood 7,48 VA
31 1 pallet plywood yang telah jadi , menunggu untuk di transfer ke proses
selanjutnya
4,00 NVA
32 1 pallet plywood yang telah jadi di transfer ke gudang 3,00 NVA
1037
mengurangi jenis waste tersebut.
3. Transportasi (transportation)
Pada proses pembuatan plywood ini tidak
ditemukan jenis waste transportation.
4. Proses yang berlebih (overprocessing)
Semua proses produksi yang ada termasuk
value added time, sehingga tidak ditemukan
adanya pengulangan proses yang dirasa
kurang penting ataupun pemborosan proses
yang tidak menghasilkan nilai tambah.
5. Persediaan yang berlebih (inventory)
Pada proses pembuatan plywood ini tidak
terjadi jenis waste inventory dalam bentuk
material bahan baku maupun produk jadi.
Pada awal proses log kayu sebagai material
utama pembuatan plywood ini dilakukan
inventory di laut dengan cara diapungkan.
Pada proses inventory ini tidak
menghabiskan biaya penyimpanan untuk
perusahaan sendiri, karena material yang
disimpan ditempatkan di laut. Sedangkan
untuk produk jadinya, plywood tidak
menghabiskan waktu yang sangat lama
untuk disimpan di gudang. Plywood yang
telah diproduksi ini bisa saja dikirim
langsung ke customer dan bisa juga
diinventory hanya selama 2 hari untuk
menunggu dikirim ke customer karena
pengiriman disini menggunakan transportasi
laut.
Tetapi pada proses produksinya,
unnecessary inventory ditemukan dilini
produksi lembaran core yang akan
memasuki proses dryer. Seperti data waktu
VA, NBVA, dan VA yang ada di tabel 4
diatas, maka kita bisa mengetahui bahwa
pada proses produksi pembuatan plywood ini
terdapat waktu antrian atau WIP yang sangat
lama yaitu terdapat pada proses yang mau
memasuki mesin dryer. Pada WIP time ini,
waktu antrian mencapai 80 menit.
6. Gerakan yang tidak perlu (motion)
Tidak teridentifikasi adanya gerakan-
gerakan yang tidak diperlukan yang dapat
menyebabkan pemborosan dalam lini
produksi. Sehingga tidak ada pemborosan
gerakan yang tidak perlu pada pembuatan
produk plywood ini.
7. Produk cacat (product defect)
Sebelumnya terdapat 5 jenis produk defect,
namun setelah dilakukan perhitungan
diagram pareto, maka defect yang akan
diidentifikasi adalah sebagai berikut:
a. Pecah diluar standar, pada jenis defect ini
serat plywood pecah dan terpisah
menembus ketebalan venir diluar standar
yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Penyebab dari pecahnya venir disini bisa
saja berasal dari memang adanya pecahan
pada material bahan baku atau log kayu
nya sendiri. Tetapi faktor utama yang
menyebabkan pecahnya plywood disini
adalah karena proses material handling
yang kurang hati-hati sehingga
menyebabkan defect. Selain itu juga di
sebabkan karena proses repair yang
kurang sempurna.
b. Core kasar, yaitu salah satu jenis defect
pada plywood dimana keadaan core tidak
rata pada permukaannya atau tingkat
kekasarannya lumayan tinggi. Penyebab
utama dari defect disini adalah karena
pengaruh pisau potong yang sudah tidak
tajam lagi, dan tidak dilakukan
penggantian pada saat sudah seharusnya
dilakukan pergantian.
3.4 Analisa Penyebab Timbulnya Waste
Langkah selanjutnya yang dilakukan yaitu
melakukan analisa penyebab timbulnya waste.
Untuk mengetahui akar penyebab dari
timbulnya waste disini maka akan dianalisa
menggunakan fishbone diagram. Selanjutnya
penyebab-penyebab yang telah teridentifikasi
akan dipilih faktor penyebab utamanya untuk
diidentifikasi lebih lanjut dengan analisis
FMEA. Adapun rekap hasil analisis fishbone
dan FMEA disini dapat dilihat seperti Tabel 13.
3.5 Penentuan Takt Time
Sesuai dengan data yang diperoleh dari PT
Kutai Timber Indonesia, jumlah permintaan
akan produk jenis plywood ukuran 9 x 1220 x
2440 mm ini memiliki rata-rata 11.400 m3 tiap
bulannya. Dalam 1 bulan terdapa 30 hari kerja
sehingga permintaannya 380 m3 /hari. Pada
perusahaan ini terdapat 4 stasiun kerja sehingga
1 stasiun kerjanya adalah 95 m3 /hari yaitu
sekitar 38 pallet /hari. Untuk jam kerja yang
tersedia (available time) di perusahaan ini yaitu
21 jam /hari yaitu 1260 menit /hari setelah
dikurangi dengan waktu istirahat dan pergantian
shift. Perhitungan takt time dilakukan pada
setiap proses dimulai dari proses yang paling akhir yaitu final selection.
Adapun contoh perhitungan dari takt time
untuk proses final selection adalah sebagai
berikut:
1038
Final selection
Uptime = 95% ; scrap = 0,01%
Customer demand = 38 pallet/hari : 95%(1- 0,01%)
= 40 pallet/hari
Takt time = 𝑎𝑣𝑎𝑖𝑙𝑎𝑏𝑙𝑒 𝑤𝑜𝑟𝑘𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑚𝑒 𝑝𝑒𝑟 𝑑𝑎𝑦
𝑐𝑢𝑠𝑡𝑜𝑚𝑒𝑟 𝑑𝑒𝑚𝑎𝑛𝑑 𝑟𝑎𝑡𝑒 𝑝𝑒𝑟 𝑑𝑎𝑦 (Pers.1)
=
= 31,5 menit/pallet
Adapun rekap data hasil perbandingan takt
time dengan cycle time yaitu pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan Takt Time dan CT No. Proses Takt time
(menit/pallet)
Cycle time
(menit)
1 Cutting 24,7 1.36
2 Rotary 24,7 5.92
3 Dryer 25,2 29,94
4 Arranger 28 16.34
5 Glue 29,3 13.90
6 Cold press 29,3 35.00
7 Hot press 29,3 7.00
8 Putty 30 117.67
9 Double
saw
31,5 17.70
10 Sander 31,5 3.81
11 F.Selection 31,5 7.48
Dari Tabel 3, maka kita bisa mengetahui bahwa
terdapat beberapa proses yang cycle time nya
berada diatas takt time yang menunjukkan
bahwa proses tersebut berjalan lebih lambat dari
yang seharusnya, sehingga selanjutnya dapat
diberikan rekomendasi perbaikan agar proses
ini dapat lebih baik lagi.
3.6 Analisis FMEA
FMEA dilakukan untuk menghasilkan nilai
RPN dengan cara mengalikan nilai rating
severity, occurance, dan detection. Untuk
penentuan kriteria dan rating severity,
occurance, dan detection didapatkan dari hasil
brainstorming dengan value stream manager di
PT Kutai Timber Indonesia. Adapun kriteria
dan rating dari severity, occurance, dan
detection yang dihasilkan adalah sebagai
berikut.
1. Severity
Severity merupakan tingkat keseriusan
waste yang terjadi. Adapun severity untuk
masing-masing waste dapat dilihat
padaTabel 4,5,dan Tabel 6.
Tabel 4. Severity Waste Waiting Time Rating Effect Kriteria
1 Tidak ada
akibat
Tidak terjadi waiting time
2 Sangat ringan Terjadi waiting time, tetapi
tidak berpengaruh pada proses
produksi
3 Ringan Terjadi waiting time, dan
memiliki pengaruh yang sangat
kecil terhadap proses
berikutnya
4 Sangat rendah Terjadi waiting time, dan
berpengaruh pada 1 proses
berikutnya
5 Rendah Terjadi waiting time, dan
berpengaruh pada 2 proses
berikutnya
6 Sedang Terjadi waiting time, dan
berpengaruh pada 3 proses
berikutnya
7 Tinggi Terjadi waiting time, dan
berpengaruh pada 4 proses
berikutnya
8 Sangat tinggi Terjadi waiting time, dan
berpengaruh pada sebagian
besar proses berikutnya
9 Berbahaya Waiting time sangat sering
terjadi, sehingga proses
produksi tidak efektif
10 Sangat
berbahaya
Proses produksi tidak dapat
dilakukan
Tabel 5. Severity Unnecessary Inventory
Rating Effect Kriteria
1 Tidak ada
akibat
Tidak terjadi work in process
(WIP)
2 Sangat ringan Terjadi WIP hanya di 1 proses
WIP tidak menyebabkan waiting
time diproses lainnya
3 Ringan Terjadi WIP hanya di 1 proses
WIP menyebabkan waiting time
di 1 proses lainnya
4 Sangat rendah Terjadi WIP hanya di 1 proses
WIP menyebabkan waiting time
di > 1 proses lainnya
5 Rendah Terjadi WIP pada 2 proses
WIP tidak menyebabkan waiting
time diproses lainnya
6 Sedang Terjadi WIP pada 2 proses
WIP menyebabkan waiting time
di 1 proses lainnya
7 Tinggi Terjadi WIP pada 2 proses
WIP menyebabkan waiting time
di > 1 proses lainnya
8 Sangat tinggi Terjadi WIP pada ≥ 3 proses
WIP menyebabkan waiting time
di 1 proses lainnya
9 Berbahaya Terjadi WIP pada ≥ 3 proses
WIP menyebabkan waiting time
di > 1 proses lainnya
10 Sangat
berbahaya Semua proses terjadi WIP
WIP menyebabkan waiting time di semua
proses lainnya
1039
Tabel 6. Severity Product Defect Rating Effect Kriteria
1 Tidak ada
akibat
Kegagalan produk tidak memiliki
pengaruh terhadap proses
produksi
Produk masuk dalam kualitas A
2 Sangat ringan Menimbulkan gangguan yang
sangat kecil pada proses produksi
Produk masuk dalam kualitas A
Membutuhkan waktu repair yang
sangat kecil
3 Ringan Menimbulkan gangguan yang
kecil pada proses produksi
Produk masuk dalam kualitas A
Membutuhkan waktu repair yang
kecil
4 Sangat rendah Menimbulkan gangguan yang
kecil pada proses produksi
Produk masuk dalam kualitas B
Membutuhkan waktu repair yang
kecil
5 Rendah Menimbulkan gangguan yang
kecil pada proses produksi
Produk masuk dalam kualitas B
Membutuhkan waktu repair yang
sedang
6 Sedang Menimbulkan gangguan yang
sedang pada proses produksi
Produk masuk dalam kualitas C
Membutuhkan waktu repair yang
sedang
7 Tinggi Menimbulkan gangguan yang
sedang pada proses produksi
Produk masuk dalam kualitas C
Membutuhkan waktu repair yang
besar
8 Sangat tinggi Menimbulkan gangguan yang
besar pada proses produksi
Produk masuk dalam kualitas C
Membutuhkan waktu repair yang
besar
9 Berbahaya Menimbulkan gangguan yang
serius pada proses produksi
Produk masuk dalam kualitas
D
Membutuhkan waktu repair
yang sangat besar 10 Sangat
berbahaya
Menimbulkan gangguan yang
sangat pada proses produksi
Produk masuk dalam kualitas
D
Tidak bisa dilakukan repair
ataupun rework
2. Occurance
Occurance merupakan rating yang
menunjukkan tingkat keseringan terjadinya
suatu waste. Adapun kriteria dan rating pada
occurance dapat dilihat pada Tabel 7,8, dan
Tabel 9.
Tabel 7. Occurance Waiting Time Rating Effect Kriteria
1 Tidak ada Tidak terjadi waiting time
2 Sangat rendah Terjadi waiting time selama ≤
2 menit
3 Rendah Terjadi waiting time selama ≤
10 menit
4 Sedang Terjadi waiting time selama ≤
20 menit
5 Terjadi waiting time selama ≤
30 menit
6 Terjadi waiting time selama ≤
45 menit
7 Tinggi Terjadi waiting time selama ≤
1 jam
8 Terjadi waiting time selama ≤
1,5 jam
9 Sangat tinggi Terjadi waiting time selama ≤
2 jam
10 Terjadi waiting time selama >
2 jam
Tabel 8. Occurance Un. Inventory
Rating Effect Kriteria
1 Tidak ada Tidak terjadi work in process
(WIP) selama proses produksi
2 Sangat rendah Terjadi WIP selama ≤ 15
menit
3 Rendah Terjadi WIP selama ≤ 30
menit
4 Sedang Terjadi WIP selama ≤ 1 jam
5 Terjadi WIP selama ≤ 1,5 jam
6 Terjadi WIP selama ≤ 2 jam
7 Tinggi Terjadi WIP selama ≤ 2,5 jam
8 Terjadi WIP selama ≤ 3 jam
9 Sangat tinggi Terjadi WIP selama ≤ 4 jam
10 Terjadi WIP selama > 4 jam
Tabel 9. Occurance Product Defect
Rating Effect Kriteria
1 Tidak ada Tidak terjadi kegagalan (99%
produk jadi)
2 Sangat
rendah
Kemungkinan terjadinya
kegagalan ≤ 1,5 %
3 Rendah Kemungkinan terjadinya
kegagalan ≤ 2 %
4 Sedang Kemungkinan terjadinya
kegagalan ≤ 2,5 %
5 Kemungkinan terjadinya
kegagalan ≤ 3 %
6 Kemungkinan terjadinya
kegagalan ≤ 4 %
7 Tinggi Kemungkinan terjadinya
kegagalan ≤ 5 %
8 Kemungkinan terjadinya
kegagalan ≤ 6 %
9 Sangat
tinggi
Kemungkinan terjadinya
kegagalan ≤ 8 %
10 Kemungkinan terjadinya
kegagalan > 8 %
3. Detection
Detection merupakan rating yang
menunjukkan tingkat kemudahan
terdeteksinya suatu waste. Adapun kriteria
nya dapat dilihat pada Tabel 10.
1040
Tabel 10. Detection Rating Effect Kriteria
1 Hampir pasti Sangat jelas, sangat mudah untuk
diketahui
2 Sangat tinggi Jelas bagi indra manusia
3 Tinggi Memerlukan inspeksi
4 Agak tinggi Inspeksi yang hati-hati dengan
menggunakan indra manusia
5 Sedang Inspeksi yang sangat hati-hati
dengan indra manusia
6 Rendah Memerlukan inspeksi, dan
bantuan
alat/metode/pembongkaran
sederhana
7 Sangat rendah Memerlukan inspeksi, dan
bantuan
alat/metode/pembongkaran
kompleks
8 Jarang Memerlukan inspeksi, dan
bantuan
alat/metode/pembongkaran
kompleks yang mahal
9 Sangat jarang Kemungkinan besar tidak dapat
dideteksi
10 Hampir tidak
mungkin
Tidak dapat dideteksi
Untuk perhitungan nilai RPN pada FMEA
dapat dilihat seperti Tabel 12.
3.7 Rekomendasi Perbaikan
Rekomendasi perbaikan diberikan kepada
4 nilai RPN terbesar yang dihasilkan dari
analisis FMEA. Adapun ususlan perbaikan
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pengaturan Jumlah Operator dan
Kapasitas Mesin
Dari perhitungan RPN di Tabel FMEA,
diketahui bahwa penyebab yang berpengaruh untuk
jenis waste waiting time dan unnecessary
inventory adalah sama, yaitu penyebab
utamanya dikarenakan kurangnya kapasitas
mesin dryer yang ada di lini produksi. Selain
itu, terkait dengan analisis waktu takt time,
ternyata proses dryer ini memang mempunyai
cycle time yang lebih besar dari waktu takt time,
yang artinya proses ini berjalan lebih lambat
dari yang seharusnya. Oleh karena itu
penambahan kapasitas terkait dengan jumlah
mesin di proses dryer ini perlu dilakukan agar
bisa mengurangi waktu antrian yang ada serta
bisa mengatasi besarnya waktu cycle time
terhadap waktu takt time nya. Adapun
perhitungan nya pada persamaan 2.
Uptime = 90% ;scrap = 0,58%
P =
( ) =
( ) (Pers.2)
P = 50 pallet/hari
Ni = T
x
D N =
x
N = 1,19 N = 2 buah mesin dryer
Dengan cara yang sama maka untuk proses
putty dihasilkan 4 operator
b. Perbaikan Desain Material Handling
Dari nilai RPN yang dihasilkan di tabel
FMEA, maka faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya defect pecahnya produk diluar
standar adalah karena adanya tekanan yang
keras terhadap material, dorongan, serta adanya
material yang jatuh saat proses pemindahan ke
alat material handling, yang disebabkan karena
kurang ergonominya alat manual material
handling yang digunakan. Sehingga, usulan
perbaikan yang dapat diberikan terhadap waste
produk defect ini. Adapun usulan desain
sebelum dan sesudah perbaikan seperti Gambar
4 dan Gambar 5. Adapun ukuran-ukuran yang
dipakai pada usulan desain ini yaitu
berdasarkan standar dimensi tubuh yang di
tetapkan oleh Stephen Pheasant dalam bukunya
yang berjudul “Bodyspace: Anthropometry,
Ergonomics and the Design of Work (second
edition), 2003". Untuk bagian-bagian alat,
persentil yang digunakan, serta nilai ukuran
yang dipakai pada usulan desain dapat dilihat
seperti Tabel 11.
Tabel 11. Ukuran Dimensi Tubuh yang Dipakai No. Bagian alat pada
desain
Persentil yang
digunakan
Ukuran
yang
dipakai
1. Diameter
pegangan
Presentil bawah
(5-th) pria
4,5 cm
2. Tinggi pegangan
dari lantai
(menyesuaikan
tinggi siku dari
lantai)
Persentil rata-
rata (50-th) pria
109 cm
(Sumber: Pheasant, 2003)
Sedangkan untuk ukuran-ukuran lainnya pada
desain disesuaikan dengan ukuran desain awal.
Untuk ukuran tinggi penyangga pada desain
setelah perbaikan akan disesuaikan dengan
tinggi plywood yang dipindahkan yaitu setinggi
1 pallet plywood (93 lembar).
1041
Tabel 12. Nilai RPN Failure Severity Failure mode Occurance Recommended action Detection RPN
Waiting
time
sebelum
memasuki
proses glue
4 Kurangnya jumlah mesin dryer
pada masing-masing stasiun
kerja, sehingga menghasilkan
selisih waktu proses dalam
pembuatan face, back dan core,
sehingga menyebabkan adanya
waiting time material yang akan
memasuki proses glue
4 Melakukan penambahan
jumlah mesin dryer sesuai
kebutuhan
2 32
Ada waktu transportasi material
handling dari stasiun kerja lain
2 Transportasi pemindahan
material dipercepat dengan
memberikan alat material
handling yang tepat
2 16
Unnecessa
ry
inventory
(WIP) pada
proses
dryer
3 Kurangnya jumlah mesin dryer,
sehingga menyebabkan WIP.
Mesin dryer memiliki waktu
proses yang lebih lama jika
dibandingkan dengan proses
sebelumnya, sehingga lamanya
proses ini membutuhkan jumlah
mesin dryer yang lebih pula
5 Melakukan penambahan
jumlah mesin dryer sesuai
kebutuhan
2 30
Pecah
diluar
standar
pada
lembar
plywood
5
Adanya tekanan yang keras
terhadap material, dorongan,
serta adanya material yang jatuh
saat proses pemindahan ke alat
material handling, yang
disebabkan karena kurang
ergonominya alat manual
material handling yang
digunakan
5 Mengurangi tekanan pada
material, dan mencegah
jatuhnya material dengan
memberikan usulan desain alat
material handling yang lebih
ergonomis
2 50
Proses repair yang kurang
sempurna
2 Memperbaiki kinerja karyawan
dengan memberikan pelatihan,
dll, agar proses repair lebih
sempurna
3 30
Core kasar
pada
plywood
3 Pisau penyayat pada mesin rotary
sudah tidak tajam lagi, karena
pemakaiannya telah melebihi
usia pakai produkstifnya
2 Melakukan maintenance
dengan melakukan
pemeriksaan secara berkala
serta mengganti pisau yang
ketajamannya telah berkurang,
sesuai usia pakai produktif nya
7 42
Kualitas kayu kurang bagus 1 Melakukan penanaman bibit
jenis kayu yang berkualitas,
sesuai dengan data history
kualitas kayu yang dimiliki
oleh perusahaan
6 18
Gambar 4. Desain Sebelum Perbaikan
Gambar 5. Desain Setelah Perbaikan
Ukuran yang di pakai pada desain tentunya
memperhatikan ukuran persentil dimensi tubuh
pekerja. Dengan usulan perbaikan ini,
harapannya tidak ada lagi material yang jatuh
dan material yang terkena tekanan yang cukup
keras karena telah telah dilakukan perbaikan
pada pembatas alat material handling. Selain
itu dalam proses pemindahannya, pekerja tidak
lagi memberikan dorongan berupa tekanan
langsung pada material, melainkan pekerja
dapat mendorong pada pegangan seperti yang
telah diusulkan. Dengan meminimasi penyebab
terjadinya defect, mana kemungkinan terjadinya
produk defect pun dapat diminimasi.
c. Penerapan Maintenance
Kegiatan maintenance diperlukan untuk
mengatasi defect core kasar. Untuk penentuan
1042
Mulai
Diagram Sebab
Akibat + Fault
Tree Analysis
(FTA)
FMEA untuk
mengetahui RPN
Selesai
Mengetahui
perilaku
kerusakan?
Komponen
Menyebabkan
kerusakan?
Komponen sesuai
dengan masa pakai ?
RPN besar?
Pengawasan secara
teknis dapat dilakukan
dan ekonomis
Perawatan secara
interval dapat dilakukan
dan ekonomis
Definisi tindakan,
teknik, dan
parameter
perawatan
Predictive Maintenance
Perawatan dengan
menginspeksi dan
pencegahan
Preventive Maintenance
Perawatan berulang
Corrective maintenance
ditentukan perawatan
denganpekerjaan
perbaikan rehabilitatif
tidak
tidak
Ya
Ya
Yatidak
tidak
Ya Ya
tidaktidak
Ya
jenis maintenance akan di pilih setelah
melakukan perhitungan RPN seperti alur pada
Gambar 6.
Gambar 6. Diagram Alir Penentuan Jenis
Maintenance
Sesuai dengan perhitungan RPN pada
Tabel FMEA, defect core kasar ini mempunyai
nilai RPN 42, yang tergolong kecil, sehingga
dipilih corrective maintenance.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan pada proses produksi plywood ukuran
9 x 1220 x 2440 mm di PT Kutai Timber
Indonesia, maka adapun kesimpulan yang dapat
diambil adalah sebagai berikut.
1. Setelah dilakukan analisa terhadap value
added time dan non value added time pada
current state map yang menggambarkan
aliran informasi dan aliran material di area
produksi PT Kutai Timber Indonesia, maka
terdapat 3 jenis waste yang teridentifikasi
yaitu waste product defect, waiting time, dan
unnecessary inventory.
2. Dari ketiga jenis waste yang teridentifikasi,
adapun faktor-faktor yang paling
berpengaruh dalam menyebabkan terjadinya
waste disini adalah sebagai berikut.
a. Waiting time
Penyebab terjadinya waste waiting time
disini adalah kurangnya jumlah mesin
dryer pada masing-masing stasiun kerja,
sehingga menghasilkan selisih waktu
proses dalam pembuatan face, back dan
core, yang menyebabkan adanya waiting
time material yang akan memasuki proses
glue, selain itu waste waiting time ini
juga disebabkan karena adanya waktu
transportasi material handling dari
stasiun kerja lain.
b. Unnecessary inventory (WIP)
Penyebab terjadinya waste unnecessary
inventory (WIP) disini adalah kurangnya
jumlah mesin dryer, sehingga
menyebabkan WIP. Mesin dryer
memiliki waktu proses yang lebih lama
jika dibandingkan dengan proses
sebelumnya, sehingga lamanya proses ini
membutuhkan jumlah mesin dryer yang
lebih pula.
c. Product defect
Penyebab terjadinya product defect pecah
diluar standar adalah adanya tekanan
yang keras terhadap material, dorongan,
serta adanya material yang jatuh saat
proses pemindahan ke alat material
handling, yang disebabkan karena kurang
ergonominya alat manual material
handling yang digunakan, selain itu juga
disebabkan karena adanya proses repair
yang kurang sempurna. Untuk waste
product defect core kasar disebabkan
karena pisau penyayat pada mesin rotary
sudah tidak tajam lagi, karena
pemakaiannya telah melebihi usia pakai
produktifnya dan disebabkan karena
kualitas kayu yang kurang bagus.
3. Adapun rekomendasi perbaikan berdasarkan
nilai RPN tertinggi terhadap 3 waste yang
terjadi adalah sebagai berikut.
a. Waiting time
Waiting time disebabkan kurangnya
jumlah mesin dryer pada masing-masing
stasiun kerja, sehingga menghasilkan
selisih waktu proses dalam pembuatan
face, back dan core. Perbaikan yang
diusulkan adalah melakukan penambahan
jumlah mesin dryer dari 1 mesin menjadi
2 mesin, sehingga diharapkan dapat
meminimasi waiting time yang terjadi.
b. Unnecessary inventory
Unnecessary inventory disebabkan
karena kurangnya jumlah mesin dryer,
sama seperti penyebab yang ada di waste
waiting time, sehingga menyebabkan
WIP pada proses ini. Usulan perbaikan
yang diberikan adalah penambahan
jumlah mesin dryer dari 1 mesin menjadi
2 mesin, sehingga diharapkan dapat
meminimasi jumlah material yang
mengalami WIP.
c. Product defect
1043
Terdapat 2 jenis product defect yang
diberikan usulan perbaikan pada
penelitian ini, antara lain adalah sebagai
berikut.
1) Pecah diluar standar
Pecah diluar standar disebabkan karena
adanya tekanan yang keras terhadap
material, dorongan, serta adanya material
yang jatuh saat proses pemindahan ke
alat material handling, yang disebabkan
karena kurang ergonominya alat manual
material handling yang digunakan.
Usulan perbaikan yang diberikan adalah
dengan memberikan desain alat material
handling yang lebih tepat dan ergonomis,
yaitu dengan memberikan perbaikan pada
pembatas dan pendorong alat material
handling. Dengan usulan perbaikan ini,
diharapkan tidak ada lagi material yang
jatuh saat proses material handling, tidak
ada lagi tekanan yang keras pada
material, sehingga jumlah product defect
yang disebabkan proses material
handling ini dapat diminimasi.
2) Core kasar
Core kasar disebabkan karena pisau
penyayat pada mesin rotary sudah tidak
tajam lagi, karena pemakaiannya telah
melebihi usia pakai produktifnya. Usulan
perbaikan yang diberikan adalah dengan
melakukan corrective maintenance yaitu
menentukan perawatan dengan pekerjaan
perbaikan rehabilitatif. Dengan
melakukan corrective maintenance
disini, harapannya pisau yang
ketajamannya telah berkurang dapat
dilakukan pergantian sehingga jumlah
produk yang defect pun dapat
diminimasi.
Daftar Pustaka
Hines, P. and Taylor, D. (2000). Going Lean: A
Guide to Implementation. Lean Enterprise
Research Centre, Cardiff Business School
Liker, Jeffrey K. (2006). The Toyota Way: 14
Prinsip Manajemen dari Perusahaan
Manufaktur Terhebat di Dunia. Jakarta:
Erlangga
Rother, M and Shook, Jhon. (2003). Learning to
See Value Stream Mapping ti Create Value and
Elimite Muda. USA: The Lean Enterprise
Institute, Inc
Wignjosoebroto, Sritomo. (2009). Tata Letak
Pabrik dan Pemindahan Bahan. Surabaya:
Guna Widya
Wilson, Lonnie. (2010). How to Implement
Lean Manufacturing. USA: McGraw-Hill
Pheasant, Stephen. (2003). Bodyspace:
Anthropometry, Ergonomics and the Design of
Work. Taylor and Francis.