Download - Penyakit Lansia
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Proses menua dianggap sebagai suatu proses normal dan tidak selalu menyebabkan gangguan
fungsi organ dan genetik. Berbagai faktor seperti faktor genetik, gaya hidup, dan lingkungan,
mungkin lebih besar mengakibatkan gangguan fungsi, daripada penambahan usia itu sendiri.
Di sisi lain, hubungan antara usia dan penyakit amatlah erat. Laju kematian untuk banyak
penyakit meningkat seiring dengan menuanya seseorang, terutama disebabkan oleh
menurunnya kemampuan orang usia lanjut berespons terhadap stres baik fisik mahupun
psikologik.
1.2 Tujuan
a) Memperdalam ilmu dalam melakukan proses anamnesis dengan betul dalam
mendapatkan maklumat yang tepat dan benar sehingga dapat memperoleh diagnosis
yang tepat.
b) Mempelajari gambaran klinis penyakit lansia serta komplikasinya.
c) Mempelajari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang terlibat dalam
membantu WD (working diagnosis).
d) Mempelajari etiologi penyebab penyakit demam lansia dan patofisiologi mekanisme
abnormal yang terjadi dalam tubuh sehingga timbulnya penyakit yang diduga.
e) Mempelajari penatalaksanaan yang perlu dilakukan terhadap pasien yang menderita
penyakit lansia, serta mengetahui prognosis terhadap penatalaksanaan yang
dilakukan.
f) Mengetahui langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan.
1
2. ISI
PROBLEM
- Vertigo
- Demensia
- DM tipe II terkontrol
- Parkinson
- Hipoperfusi orthostatik
- Lansia
2
2.1 Vertigo
Vertigo merupakan suatu sensasi berputar, pasien merasa bahwa dia ataupun lingkungannya
berputar. Seringkala vertigo terjadi dengan seketika, kadang-kadang, dan ketika berat
umumnya disertai dengan mual, muntah, dan jalan terhuyung-huyung. Vertigo merupakan
tipe dizziness yang paling banyak ditemukan pada perawatan primer sebanyak 54%. 1
Di perawatan primer jenis vertigonya 93% benign paroxymal positional vertigo (BPPV),
neuronitis vestibular akut, atau penyakit Meniere. Penyebab lain adalah obat-obatan (alkohol,
aminoglikosida, antikejang), antidepresan, antihipertensi, barbiturat, kokain, diuretik,
nitrogliserin, kuinin, salisilat, penyakit serebrovaskular, migrain, libirinitis akut, multipel
sklerosis, dan neoplasma intrakranial. Penyebab vertigo bisa perifer, atau sentral.1
ANAMNESIS
Dari kasus didapatkan anamnesa bahwa pasien waktu berjalan pandangan berputar-putar dan
rasa mual-mual.
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan awal mencakup pemeriksaan ortostatik, kardiovaskular, neurootologik, tajam
penglihatan, hiperventilasi selama 2 menit, tes Romberg, tes langkah tandem, pemijatan sinus
karotis, manuver Hallpike, status kognitif, simptom depresi, dan ansietas.
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darak sistolik ≥ 20 mmHg (atau ≥ 20%)
dengan atau tanpa gejala segera setelah berdiri atau setelah 2 menit berdiri (setelah ≥ 5 menit
dalam posisi terlentang)
Pemeriksaan kardiovaskular dilakukan untuk mencari kemungkinan aritmia, kelainan katup
jantung, dan bruit karotis.
Pemeriksaan neurotologik mencakup pemeriksaan telinga termasuk saraf kranial, evaluasi
telinga luar, dan tengan dan tes fistula. Tes fistula dilakukan dengan memberikan tekanan ke
telinga, dan dievaluasi terjadinya vertigo & nistigmus. Hasil positif menunjukkan adanya
fistula dari libirin bisa karena kolesteatoma, atau infeksi.
3
Tes Romberg, dan tes karotis dilakukan di bawah pengawasan yang ketat, diperlukan
monitoring elektrokardiografi (EKG). Kontra indikasi pemijatan sinus karotis bila terdapat
karotid bruit, atau terdapat tanda stenosis aorta.
Untuk mengevaluasi status kognitif dapat digunakan Mini-Mental Examination (MMSE),
skor total dari MMSE adalah 30 umumnya angka dibawah 24 suggestiv demensia atau
delirium. Untuk memastikan simptom dari depresi dapat digunakan the Centre for
Epidemiologic Studies-Depression test (CES-D) yang terdiri dari 20 pernyataan. Sedangkan
untuk evaluasi dari ansietas dapat digunakan the Hamilton Anxiety Scale (HAS) yang terdiri
dari 14 items, nilai dari rentang skala dari nol sampai empat: nol tidak ada ansietas, satu
ansietas ringan, dua ansietas sedang, tiga ansietas berat, empat ansietas sangat berat. Tujuh
psychic anxiety item untuk mendapatkan nilai psychic anxiety dengan rentang 0 sampai 28,
tujuh items sisanya untuk menampilkan nilai somatic anxiety jugak mempunyai rentang 0
sampai 28. Nilai total mulai dari rentang 0 sampai 56.1
Pemeriksaan Penunjuang
Pemeriksaan rutin termasuk EKG, gula darah, dan darah rutin. Pemeriksaan lain jugak
diperlukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi pemeriksaan tersebut harus berdasarkan
pendekatan sistematis bukan hanya pendekatan “shotgun”. Audiogram harus lengkap
dilakukan pada pasien dengan gangguan pendengaran disertai vertigo dan terdapat kelainan
pada pemeriksaan neurootologik.
Elektro-nistagmografi (ENG) adalah pemeriksaan yang dapat membantu membedakan
disfungsi vestibuler sentral dan perifer. ENG dilakukan pada pasien dengan keluhan vertigo
atau terdapat temuan dalam pemeriksaan neurootologik seperti nistigmus. Auditory
brainstem-evoked responses dilakukan pada pasien dengan asymmetric sensorineural hearing
loss untuk menyingkirkan neuroma akustik.
Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dari tulang temporal sering dikerjakan pada
pasien yang dicurigai dengan neuroma akustik atau cerebellopontine angle masses.
Computed tomography (CT) dari tulang temporal juga dapat dikerjakan bila dicurigai
terdapat kolesteatoma atau lesi pada telinga tengah.
Brainstem evoked response auditory (BERA) atau brainstem auditory evoked potential
(BAEP) suatu pemeriksaan neurologis dari fungsi batang otak auditori terhadap respon dari
stimulus auditori dilakukan pada pasien dengan kondisi seperti:
4
1. Asymmetric sensorineural hearing loss untuk menyingkirkan neuroma akustik.
2. Evaluasi dari hilangnya pendengaran dengan gangguan keseimbangan, tidak stabil
saat melangkah, atau simptom lain yang berhubungan dengan lesi pada sistem
auditori.
3. Evaluasi dari simptom yang mengarah ke penyakit Meniere.
4. Evaluasi dari dizziness setelah penyebab-penyebab lain sudah disingkirkan
5. Evaluasi dari dizziness yang terus berlanjut walaupun penyebabnya sudah mendapat
terapi
6. Evaluasi dari “true vertigo”
Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dari tulang temporal sering dikerjakan pada
pasien yang dicurigai dengan neuroma akustik atau cerebellopontine angle masses.
Computed tomography (CT) dari tulang temporal juga dapat dikerjakan bila dicurigai
terdapat kolesteatoma atau lesi pada telinga tengah.
Rontgen cervical dilakukan pada pasien dengan kecurigaan cervical dizziness. Pemeriksaan
ekokardiogram, dopler karotis, dan arteri vertebral, tilt-table testing, dan 24 jam Holter
monitoring dikerjakan bila didiagnosis presinkop.1
WORKING DIAGNOSIS
Vertigo
ETIOLOGI
Penyebab vertigo perifer
A. Benign Paroxymal Positional Vertigo/ Benign Positional Vertigo (BPPV)
Benign paroxymal positional vertigo umumnya penyebab tunggal dizziness pada lansia. BPV
merupakan kondisi episodik, sembuh sendiri, dicetuskan oleh gerakan kepala mendadak atau
perubahan pada posisi tubuh seperti berguling di tempat tidur. BPV disebabkan oleh
5
akumulasi debris dalam kanal semisirkular. Pergerakan dari debris menstimulasi mekanisme
vestibular menghasilkan simptom pada pasien. BPV kadang-kadang berkaitan temporer
dengan penyakit viral, dan menghasilkan inflamasi. Diagnosis BPV dapat ditegakkan dengan
tes Dix-Hallpike.
Terapi dari BPV saat ini adalah manuver Epley ataupun senam vertigo, yang bertujuan
untuk merelokasi debris yang melayang bebas di kanal semisirkular posterior kedalam
vestibula dari vestibular labirin agar tidak vertigo lagi saat menggerakkan kepala, atau untuk
desentasi.1
B. Labirintitis
Labirintitis merupakan penyebab lain dizziness karena vestibuler perifer, kelainan ini sembuh
dengan sendirinya. Umumnya kelainan ini akan berakhir pada hitungan dari atau beberapa
minggu. Labirintitis diperkirakan terjadi karena adanya inflamasi pada saraf vestibular.
C. Penyakit Meniere
Sindrom ini biasanya terjadi pada usia muda dan bukan penyebab umum dizziness pada
lanjut usia. Episode penyakit ini biasanya sembuh sendiri, tetapi seringkali berulang. Pada
akhirnya tercapai suatu fase kronik “burned out” yang ditandai oleh hilangnya pendengaran
makin jelas, tetapi episode dizziness berkurang.
Penyebab Vertigo Sentral
Dizziness karena penyebab sentral biasanya jarang, prevalensi pada lanjut usia kurang dari 10
persen. Iskemik serebrovaskular merupakan penyebab dizziness yang makin sering seiring
peningkatan usia. Pasien dengan penyebab sentral jarang mengeluh dizziness sebagai gejala
tunggal. Dizziness yang awitannya baru terjadi disertai dengan simptom lain (sakit kepala,
gangguan visus, atau simptom neurologis) harus dipikirkan kemungkinan gangguan sistem
saraf pusat yang serius. Evaluasi lebih lanjut termasuk pencitraan sistem saraf pusat biasanya
diperlukan.
Investigasi Penyebab Dizziness
RIWAYAT PENYAKIT
Yang perlu diperhatikan pada riwayat penyakit adalah : (1) Awitan, dan perjalanan dari
simptom. (2) Simptom dari dizziness dijelaskan oleh pasien sendiri. Simptom yang dijelaskan
6
oleh pasien sendiri. Simptom yang dijelaskan menurut perkataan pasien sendiri penting
karena penelitian yang dilakukan oleh Kwong dan Pimlott menunjukkan diagnosis umumnya
dapat ditegakkan bila pasien menjelaskan dizziness-nya berdasarkan perkataannya sendiri. (3)
Subetipe dari dizziness. (4) Terapi/obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien.1
PENATALAKSANAAN
Terapi rehabilitasi vestibular (vestibular rehabilitation therapy/TPR) merupakan terapi fisik
untuk menyembuhkan vertigo. Tujuan terapi ini adalah untuk mengurangi pusing,
meningkatkan keseimbangan, dan mencegah jatuh dengan mengembalikan fungsi sistem
vestibular.
Pada VTR, pasien melakukan latihan agar otak dapat menyesuaikan dan menggantikan
penyebab vertigo. Keberhasilan terapi ini bergantung pada beberapa faktor pasien yang
meliputi usia, fungsi kognitif, kemampuan kordinasi dan gerak, dan kesehatan pasien secara
keseluruhan serta kekuatan fisik. Dalam VTR, pasien yang datang ke dokter akan menjalani
beberapa latihan dalam tingkat yang lebih tinggi, meliputi gerakan kepala, gerakan mata dan
berjalan.
Teknik reposisi kanalith merupakan metode yang paling efektif untuk BPPV yang disebabkan
pleh kristal kalsium di telinga bagian kanal posterior. Pada prosedur ini, terapis akan meminta
pasien untuk menggerakkan kepala dan tubuh. Kemudian kristal kalsium akan keluar dari
kanal posterior, dan masuk ke dalam kanal telinga bagian dalam yang akan diabsorpsi tubuh.
Infeksi telinga (misalnya otitis media, libirinitis) yang disebabkan bakteri dapat diterapi
menggunakan antibiotik. Infeksi telinga kronik dapat menggunakan metode pembedahan
miringotomi. BPPV yang tidak menunjukkan perbaikan dengan reposisi kanalit dapat diterapi
dengan pemberian meklizin. Namun, meklizin dapan menyebabkan kantuk, mulut kering, dan
penglihatan kabur. Jika meklizin tidak efektif, benzodiazepin seperti klonazepam dapat
diresepkan, atau antihistamin seperti prometazin dapat diberikan pada seorang yang
mengalami vertigo. Prometazin dapat meyebabkan kantuk, lelah, sulit tidur dan tremor.
Vertigo akibat penyakit Meniere dapat diatasi dengan diuretika serta mengurangi asupan
garam. Kortikosteroid dapat diresepkan di awal penyakit yang mengurangi peradangan dan
menstabilkan pendengaran. Antibiotik dapat digunakan ke telinga tengah untuk mengobati
7
vertigo yang disebabkan penyakut Meniere. Vertigo yang disebabkan karena migrain,
terkadang dapat diatasi dengan obat. Gangguan pembuluh darah otak, tumor, maupun
multiple sclerosis dapat diupayakan penyembuhannya dengan cara menggunakan obat,
radiasi, maupun pembedahan.1
8
2.2 DEMENSIA
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh
penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Demensia
merujuk pada sindrom klinis yang mempunyai bermacam penyebab. Demensia menunjukkan
penurunan progresif dan tidak dapat pulih. Demensia dapat terjadi mendadak misalnya pasca
strok atau cedera kepala. Beberapa penyebab demensia dapat pulih sepenuhnya bila diatasi
dengan cepat dan tepat. Demensia dapat muncul pada usia berapa pun meskipun umumnya
setelah usia 65 tahun.2
ANAMNESIS
Dari kasus hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien bila menceritakan riwayat hidup dan
pekerjaan masa lalu cukup jelas, tetapi peristiwa yang baru terjadi minggu-minggu lalu sering
lupa dan mudah tersinggung
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan fisis dan neurologis
Pemeriksaaan fisis dan neurologis pada pasien demensia dilakukan untuk mencari
keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat dihubungkan dengan
gangguan kognitifnya. Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem
motorik kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis,
parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD,
DLB atau dementia multi-infark. Penyebab sistemik seperti defisiensi vitamin B12,
intoksikasi logam berat dan hipotiroidisme dapat menunjukkan gejala-gejala yang khas. Yang
tidak boleh dilupakan adalah adanya gangguan pendengaran dan peglihatan yang
menimbulkan kebingungan dan disorientasi pada pasien yang sering disalahartikan sebagai
demensia. Pada usia lanjut, defisit sensorik seperti ini sering terjadi.
Pemeriksaan kognitif dan neuropsikiatrik
Pemeriksaan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah the mini
mental status examination (MMSE) yang dapat pula digunakan untuk memantau perjalanan
penyakit. MMSE merupakan pemeriksaan yang mudah dan cepat diekrjakan, berupa 30 point
test terhadap fungsi kognitif dan berisikan pula uji orientasi, memori kerja dan memori
episodik, komprehensi bahasa, menyebutkan kata, dan mengulang kata.
9
Sebagai contoh pasien dengan demensia vaskuler sering menunjukan campuran defisit
eksekutif frontal dan visuospasial.
Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan. Dokter harus menentukan dampak
kelainan terhadap memori pasien, hubungan di komunitas, hobi, penilaian, berpakaian, dan
makan. Pengetahuan mengenai status fungsional pasien sehari-hari akan membantu mengatur
pendekatan terapi dengan keluarga.
Pemeriksaan penunjang
Tes laboratorium pada pasien demensia tidak dilakukan dengan serta merta pada
semua kasus. Penyebab yang reversibel dan dapat diatasi seharusnya tidak boleh terlewat.
Pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin B12, darah lengkap, elektrolit dan VDRL
direkomendasikan untuk diperiksa secara rutin. Pemeriksaan tambahan yang perlu
dipertimbangkan adalah piungsi lumbal, fungsi hati, fungsi ginjal, pemeriksaan toksin di urin/
darah, dan Apolipoprotein E.2
Selain itu pemeriksaan penunjang lain yang dianjurkan adalah CT/MRI kepala.
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi tumor primer/sekunder, lokasi area infark, hematoma
subdural dan memperkirakan adanya hidrosefalus bertekanan normal atau penyakit white
matter yang luas. Abnormalitas white matter yang luas berkorelasi dengan demensia
vaskuler. SPECT dan PET scanning dapat menunjukkan hipofungsi atau hipometabolisme
temporal-parietal pada penyakit Alzheimer, namun masih dalam penelitian.
10
WORKING DIAGNOSIS
Demensia
Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostik yang sesuai dengan Diagnosis
and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke 4 (DSM-IV). Adapun kriterianya adalah:
- munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut :
a. gangguan memori
b. satu atau lebih gangguan kognitif seperti afasia, apraksia, agnosia, dan gangguan
fungsi eksekutif.
- defisit kognitif yang terdapat pada kriteria diatas menyebabkan gangguan bermakna pada
fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi
sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.2
EPIDEMIOLOGI
Insidensi demensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia. Penyebab
tersering demensia di Amerika Serikat dan Eropa adalah penyakit Alzheimer, sedangkan di
Asia diperkirakan demensia vaskular merupakan penyebab tersering demensia. Tipe
demensia lain yang lebih jarang adalah demensia tipe Lewy body, demensia fronto-temporal
(FTD) dan demensia pada penyakit Parkinson.
Secara umum dapat dikatakan bahwa frekuensi penyakit Alzheimer meningkat seiring usia,
dan mencapai 20-40% populasi berusia 85 tahun atau lebih. Proporsi perempuan yang
mengalami penyakit Alzheimer lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Antara faktor risiko
penyebab Alzheimer adalah tingkat pendidikan rendah, hipertensi, DM, dislipidemia, serta
berbagai faktor risiko timbulnya aterosklerosis dan gangguan sirkulasi pembuluh darah.
ETIOLOGI
Yang paling sering menyebabkan demensia adalah penyakit Alzheimer. Penyebab
penyakit Alzheimer tidak diketahui, tetapi diduga melibatkan faktor genetik, karena penyakit
11
ini tampaknya ditemukan dalam beberapa keluarga dan disebabkan atau dipengaruhi oleh
beberapa kelainan gen tertentu.
Pada penyakit Alzheimer, beberapa bagian otak mengalami kemunduran, sehingga terjadi
kerusakan sel dan berkurangnya respon terhadap bahan kimia yang menyalurkan sinyal di
dalam otak.Di dalam otak ditemukan jaringan abnormal (disebut plak senilis dan serabut
saraf yang semrawut) dan protein abnormal, yang bisa terlihat pada otopsi. Demensia sosok
Lewy sangat menyerupai penyakit Alzheimer, tetapi memiliki perbedaan dalam perubahan
mikroskopik yang terjadi di dalam otak.
Penyebab ke-2 tersering dari demensia adalah serangan stroke yang berturut-turut. Stroke
tunggal ukurannya kecil dan menyebabkan kelemahan yang ringan atau kelemahan yang
timbul secara perlahan. Stroke kecil ini secara bertahap menyebabkan kerusakan jaringan
otak, daerah otak yang mengalami kerusakan akibat tersumbatnya aliran darah disebut
infark.Demensia yang berasal dari beberapa stroke kecil disebut demensia multi-infark.
Sebagian besar penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau kencing manis, yang
keduanya menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak. Demensia juga bisa terjadi
setelah seseorang mengalami cedera otak atau cardiac arrest.2
Penyebab lain dari demensia adalah:
- Penyakit Pick
- Penyakit Parkinson
- AIDS
- Penyakit Creutzfeldt-Jakob
Hidrosefalus bertekanan normal terjadi jika cairan yang secara normal mengelilingi otak dan
melindunginya dari cedera, gagal diserap sebagaimana mestinya. Hidrosefalus ini
menyebabkan demensia yang tidak biasa, dimana tidak hanya menyebabkan hilangnya fungsi
mental tetapi juga terjadi inkontinensia air kemih dan kelainan berjalan.
Orang yang menderita cedera kepala berulang (misalnya petinju) seringkali mengalami
demensia pugilistika (ensefalopati traumatik progresif kronik); beberapa diantaranya juga
menderita hidrosefalus.
12
Usia lanjut yang menderita depresi juga mengalami pseudodemensia. Mereka jarang makan
dan tidur serta sering mengeluh tentang ingatannya yang berkurang; sedangkan pada
demensia sejati, penderita sering memungkiri hilangnya ingatan mereka.2
GEJALA
Demensia biasanya dimulai secara perlahan dan makin lama makin parah, sehingga keadaan
ini pada mulanya tidak disadari. Terjadi penurunan dalam ingatan, kemampuan untuk
mengingat waktu dan kemampuan untuk mengenali orang, tempat dan benda. Penderita
memiliki kesulitan dalam menemukan dan menggunakan kata yang tepat dan dalam
pemikiran abstrak (misalnya dalam pemakaian angka).
Sering terjadi perubahan kepribadian. Demensia karena penyakit Alzheimer biasanya dimulai
secara samar. Gejala awal biasanya adalah lupa akan peristiwa yang baru saja terjadi; tetapi
bisa juga bermula sebagai depresi, ketakutan, kecemasan, penurunan emosi atau perubahan
kepribadian lainnya. Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara; penderita menggunakan
kata-kata yang lebih sederhana, menggunakan kata-kata yang tidak tepat atau tidak mampu
menemukan kata-kata yang tepat. Ketidakmampuan mengartikan tanda-tanda bisa
menimbulkan kesulitan dalam mengemudikan kendaraan. Pada akhirnya penderita tidak
dapat menjalankan fungsi sosialnya.
Demensia karena stroke kecil memiliki perjalanan penyakit dengan pola seperti menuruni
tangga. Gejalanya memburuk secara tiba-tiba, kemudian agak membaik dan selanjutnya akan
memburuk kembali ketika stroke yang berikutnya terjadi. Mengendalikan tekanan darah
tinggi dan kencing manis kadang dapat mencegah stroke berikutnya dan kadang terjadi
penyembuhan ringan.
Beberapa penderita bisa menyembunyikan kekurangan mereka dengan baik. Mereka
menghindari aktivitas yang rumit (misalnya membaca atau bekerja). Penderita yang tidak
berhasil merubah hidupnya bisa mengalami frustasi karena ketidakmampuannya melakukan
tugas sehari-hari. Penderita lupa untuk melakukan tugasnya yang penting atau salah dalam
melakukan tugasnya.2
13
PATOBIOLOGI DAN PATOGENESIS
Komponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik, neurofibrilly
tangles, hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovaskular, dan Hirano bodies. Plak
neuritik mengandung b-amyloid ekstraselular yang dikelilingi neuritis distrofik, sementara
plak difus adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi amyloid tanpa abnormalitas
neuron. Deteksi adanya Apo E di dalam plak β-amyloid dan studi mengenai ikatan high-
avidity antara Apo E dengan β-amyloid menunjukkan bukti hubungan antara amyloidogenesis
dan Apo E.
Plak neuritik mengandung protein komplemen, mikroglia yang teraktivasi, sitokin-sitokin,
dan protein fase-akut, sehingga komponen inflamasi juga diduga terlibat pada patogenesis
penyakit Alzheimer. Gen yang mengkode the amyloid precursor protein (APP) terletak pada
kromosom 21, menunjukkan hubungan potensial patologi penyakit Alzheimer dengan
sindrom Down, yang dideritai oleh semua pasien penyakit Alzheimer yang muncul pada usia
40 tahun.
Adanya dan jumlah plak senilis adalah satu gambaran patologis utama yang penting untuk
diagnosis penyakit Alzheimer. Jumlah plak meningkat seiring usia, dan plak ini juga muncul
di jaringan otak orang usia lanjut yang tidak demensia.
Neurofibrillary tangles merupakan struktur intraneuron yang mengandung atau yang
terhiperfosforilasi pada pasangan filamen helix. Individu usia lanjut yang normal juga
diketahui mempunyai neurofibrillary tangles di beberapa lapisan hipokampus dan korteks
entorhinal, tapi struktur ini jarang ditemukan di neokorteks pada seseorang tanpa demensia.
Neurofibrillary tangles ini tidak spesifik untuk penyakit Alzheimer dan juga timbul pada
penyakit lain, seperti subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), demensia pugilistika
(boxer’s dementia), dan the parkinsonian dementia complex of Guam.
Pada demensia vaskular patologi yang dominan adalah adanya infark multipel dan
abnormalitas substansia alba. Infark jaringan otak yang terjadi pasca strok dapat
menyebabkan demensia bergantung pada volume total korteks yang rusak dan bagian mana
yang terkena. Umumnya demensia muncul pada strok yang mengenai beberapa bagian otak
(multi-infarct dementia) atau hemisfer liri di otak. Semsntara abnormalitas substansia alba
(diffuse white matter disease atau leukoaraiosis atau penyakit Binswanger) biasanya
substansia alba ini dapat ditemukan pada pemeriksaan MRI pada daerah subkorteks bilateral,
14
berupa gambaran hiperdens abnormal yang umumnya tampak di beberapa tempat.
Abnormalitas substansia alba ini dikenal sebagai cerebral autosomal dominant arteriopathy
with subaortical infarct and leukoencephalopathy (CADASIL), yang secaa klinis terjadi
demensia yang progersif yang muncul pada dekade kelima sampai ketujuh kehidupan pada
beberapa anggota keluarga yang mempunyai riwayat migren dan strok berulang tanpa
hipertensi.
Petanda anatomis pada fronto-temporalis dementia (FTD) adalah terjadinya atrofi yang jelas
pada lobus temporal dan/atau frontal, yang dapat dilihat pada pemeriksaan perncitraan saraf
seperti MRI dan CT. atrofi yang terjadi terkadang sangat tidak simetris. Secara mikroskopis
selalu didapatkan glikosis dan hilangnya neuron, serta pada beberapa kasus terjadi
pembengkakan dan penggelembungan neuron yang berisi cytoplasmic inclusion. Sementara
pada demensia dengan Lewy body, sesuai dengan namanya, gambaran neuropatologinya
adalah adanya Lewy body di seluruh korteks, amigdala, cingulated cortex, dan substansia
nigra. Lewy body adalah cytoplasmic inclusion interneuron yang terwarnai dengan periodic
acid-Schiff (PAS) dan ubiquitin, yang terdiri dari neurofilamen lurun sepanjang 7 sampai 20
nm yang dikelilingi material amorfik. Lewy body dikenali melalui antigen terhadap protein
neurofilamen yang terfosforilasi maupun yang tidak terfosforilasi, ubiquitin, dan protein
presinap yang disebut α-synuclein. Jika pada seseorang demensia tidak ditemukan gambaran
patologis selain adanya Lewy body maka kondisi ini disebut diffuse Lewy body disease,
sementara bila ditemukan juga plak amyloid dan neurofibrillary tangles maka disebutkan
varian Lewy body dari penyakit Alzheimer.
Defisit neurotransmiter utama pada penyakit Alzheimer, juga pada demensia tipe lain, adalag
sistem kolinergik. Walaupun sistem noradrenergik dan serotonin, somatostatin-like reactivity,
dan corticotropin-releasing factor juga berpengaruh pada penyakit Alzheimer, defisit
asetilkolin tetap menjadi proses utama penyakit dan menjadi target sebagian besar terapi yang
tersedia saat ini untuk penyakit Alzheimer.2
15
2.3 DIABETES MELLITUS TIPE II TERKENDALI
ANAMNESIS
Dari kasus hasil anamnesis mendapatkan bahwa pasien mempunyai riwayat kencing
manis diketahui sejak 2 tahun yang lalu.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. Glukosa darah sewaktu
II. Kadar glukosa darah puasa
III. Tes toleransi glukosa
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75
gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
WORKING DIAGNOSIS
16
Cek GDS
Diabetes Mellitus tipe 2 terkendali.
EPIDEMIOLOGI
Diabetes mellitus tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan (lebih dari 90%).
Timbul makin sering setelah umur 40 dengan catatan pada decade ke 7 kekerapan diabetes
mencapau 3 sampai 4 kali lebuh tinggi daripada rata-rata orang dewasa. Pada keadaan dengan
kadar glukosa tidak terlalu tinggi atau belum ada komplikasi, biasanya pasien tidak berobat
ke rumah sakit atau ke dokter. Ada juga yang didiagnosis sebagai diabetes tetapi karena
kekurangan biasanya pasien tidak berobat lagi. Hal ini menyebabkan jumlah pasien diabetes
yang tidak terdiagnosis lebih banyak daripada yang terdiagnosis.
Tanpa intervensi yang efektif, kekerapan DM tipe 2 akan meningkat dengan
disebabkan oleh berbagai hal misalnya bertambahnya usia harapan hidup, berkurangnya
kematian akibat infeksi dan meningkatnya faktor resiko yang disebabkan oleh karena gaya
hidup yang salah seperti kegemukan, kurang gerak dan pola makan tidak sehat.
ETIOLOGI
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan bertambahnya umur, intoleransi terhadap
glukosa juga meningkat, jadi untuk golongan usia lanjut diperlukan batas glukosa darah yang
lebih tinggi daripada orang dewasa non usia lanjut.
Pada NIDDM, intoleransi glukosa pada lansia berkaitan dengan obesitas, aktivitas
fisik yang berkurang,kurangnya massa otot, penyakit penyerta, penggunaaan obat-obatan,
disamping karena pada lansia terjadi penurunan sekresi insulin dan insulin resisten. Lebih
dari 50% lansia diatas 60 tahun yang tanpa keluhan, ditemukan hasil Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) yang abnormal. Intoleransi glukosa ini masih belum dapat dikatakan sebagai
diabetes. Pada usia lanjut terjadi penurunan maupun kemampuan insulin terutama pada post
reseptor.
Beberapa faktor yang berkaitan dengan penyebab diabetes mellitus pada lansia:
1. Umur yang berkaitan dengan penurunan fungsi sel pankreas dan sekresi insulin.
2. Umur yang berkaitan dengan resistensi insulin akibat kurangnya massa otot dan
perubahan vaskuler.
3. Obesitas, banyak makan.
4. Aktivitas fisik yang kurang
5. Penggunaan obat yang bermacam-macam.
17
6. Keturunan
7. Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya
tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi
degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan
patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa
gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah
adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan
otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatanlazim.,
gejala-gejala akibat DM pada lansua yang sering ditemukan adalah :
1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10.Neuropati viseral
11.Amiotropi
12.Ulkus Neurotropik
13.Penyakit ginjal
14.Penyakit pembuluh darah perifer
15.Penyakit koroner
16.Penyakit pembuluh darah otak
17.Hipertensi
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi diabetes melitus pada usia lanjut belum dapat diterangkan seluruhnya,
namun didasarkan atas faktor-faktor yang muncul oleh perubahan proses menuanya sendiri.
Faktor-faktor tersebut antara lain perubahan komposisi tubuh, menurunnya aktifitas fisik,
18
perubahan life style, faktor perubahan neurohormonal khusunya penurunan kadar DHES dan
IGF-1 plasma, serta meningkatnya stres oksidatif. Pada usia lanjut diduga terjadi age related
metabolic adaptation, oleh karena itu munculnya diabetes pada usia lanjut kemungkinan
karena aged related insulin resistance atau aged related insulin sebagai hasil dari preserved
insulin action despite age.3
Berbagai faktor yang mengganggu homeostasis glukosa antara lain faktor genetik,
lingkungan dan nutrisi. Berdasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses menua,
yaitu faktor intrinsik yang terdiri atas faktor genetikdan biologik serta faktor ekstrinsik seperti
faktor gaya hidup, lingkungan, kultur dan sosial ekonomi, maka timbulnya DM pada lanjut
usia bersifat muktifaktorial yang dapat mempengaruhi baik sekresi insulin maupun aksi
insulin pada jaringan sasaran.4
Faktor resiko diabetes melitus akibat proses menua:4,5
Penurunan aktifitas fisik
Peningkatan lemak
Efek penuaan pada kerja insulin
Obat-obatan
Genetik
Penyakit lain yang ada
Efek penuaan pada sel
Menyebabkan resistensi insulin dan penurunan sekresi insulin à gangguan toleransi glukosa
dan diabetes melitus tipe 2. Perubahan progresif metabolisme karbohidrat pada lanjut usia
meliputi
perubahan pelepasan insulin yang dipengaruhi glukosa dan hambatan pelepasan glukosa yang
diperantarai insulin. Besarnya penurunan sekresi insulin lebihtampak pada respon pemberian
glukosa secara oral dibandingkan dengan pemberian intravena. Perubahan metabolisme
karbohidrat ini antara lain berupa hilangnya fase pertama pelepsan insulin. Pada lanjut usia
sering terjadi hiperglikemia (kadar glukosa darah >200 mg/dl) pada 2 jam setelah
pembebanan glukosa dengan kadar gula darah puasa normal (<126 mg/dl) yang
disebutIsolated Postchallenge Hyperglikemia (IPH) 1
19
PENATALAKSANAAN
Langkah I: Menentukan tujuan pelaksanaan, yaitu:
1. Mempertahankan kesehatan badan dan kualitas hidup
2. Meniadakan hiperglikemi dan gejalanya
3. Mengkaji dan menerapi penyakit komorbid seperti hipertensi, penyakit
kardiovaskuler, Alhzeimer, dan lain-lain
4. Meniadakan efek samping obat terutama hipoglikemi
5. Membuat berat badan menjadi ideal
6. Mencegah kalau mungkin dan menerapi komplikasi
7. Mengenali disabilitas dan mengurangi hendaya sosial yang terjadi
20
Langkah II:
Melakukan assesement untuk mengetahui kapasitas penderita baik fisik, psikologis,
fungsional, lingkungan, sosial dan ekonomi. Pemeriksaan mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, psikologis, fungsional, pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan oleh suatu tim
multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin dan terpadu.
Langkah III:
Melakukan terapi dan rehabilitasi pada penderita DM usia lanjut. Target yang ingin dicapai
tetap dama dengan usia dewasa muda yaitu HbA1c <7%, dan ini sangat sulit pada lansia
karena terdapat berbagai macam kendala seperti:
Adanya berbagai penurunan fungsi organ karena proses menua
Adanya penyakit komorbid
Penuruan kapasitas fungsional yang menyebabkan penurunan aktifitas fisik
Penurunan fungsi kognitif penderita à meningkatnya resiko hipoglikemi
Adanya polifarmasi meningkatkan efek samping dan interaksi obat lain dengan obat-
obat antihiperglikemik
Pilihan utama terapi diabetes pada lansia adalah terapi tanpa obat atau sering disebut sebagai
perubahan gaya hidup yang meliputi:
1. Diet
Diberikan diet dengan jumlah kalori sesuai BMI, dengan pembatasan sesuai penyakit
komorbid atau faktor resiko atherosklerosis lain yang ada. Komposisi normal biasanya 60-
65% karbohidrat komplek, 20% protein dan 15-20% lemak. Disamping itu juga diberikan
suplemen dan vitamin A, C, B komplek, E, Ca, selenium, zinc dan besi. Untuk hasil yang
baik pada terapi diet ini perlu perhatian khusus pemberian makanan pada lansia dengan
diabetes:
Akses terhadap makanan:
Disabilitas fungsional
- Keterampilan menyapkan makanan yang kurang/jelek
- Dukungan formal maupun informal yang buruk untuk mendapatkan makanan
21
Sumber daya keuangan yang terbatas
o Asupan makanan:
Apresiasi terhadap bau dan rasa yang menurun
Gigi yang buruk dan atau xerostomia
Kebiasaan makan yang sudah berakar
Kesukaan atas makanan masa lalu atau masakan tradisional
2. Olahraga
Disesuaikan dengan kapasitas fungsionalnya. Bila masih bisa berjalan disuruh berjalan,
bila hanya bisa duduk olahraga dengan duduk. Apabila tidak dapat, bisa dilakukan dengan
gerakan atau latihan pasif di tempat tidur. Prinsip terapi olahraga adalah dengan memperbaiki
aktifitas fisik, menurunkan kadar gula darah, mencegah terjadinya imobilitas yang
mempercepat munculnya kompliasi makrovaskuler diabetes.
Apabila dengan terapi tanpa obat di atas gula darah atau HbA1c belum turun atau
terkendali, sesuai dengan target makan diberikan terapi dengan obat antihiperglikemik.
3. Obat
Terutama obat untuk menurunkan gula darah harus dipilih yang bekerja pendek,
mempertimbangkan kapasitas ginjal, hepar dan saluran cerna agar tidak terjadi efek samping.
Patut juga diperhatikan status sosial ekonomi penderita dalam memilih obat mengingat obat
ini biasanya dipakai dalam jangka waktu lama bahkan dapat seumur hidup. Obat yang dipilih
apakah obat anti diabetik oral atau insulin disesuaikan dengan klisifikasi DMnya dan keadaan
klinisnya seperti penyakit komorbid atau BMI nya.
Untuk penderita diabetes lansia gemuk, obat hiperglikemik oral yang dipilih adalah
inhibitor alfa Glukosidase (acarbose), biguanide atau thiazolidinedione, karena obat-obat ini
selain menurunkan kadar gula darah juga dapat menuurnkan berat badan, tetapi bila terdapat
ganguan fungsi hati atau ginjal baik biguanide atau thiazolodinedione tidak boleh dipakai.
Sebaliknya penderita yang kurus sebaiknya dipilih terapi dengan insulin karena dapat
menungkatkan berat badan. Sulfoniuria dan non sulfoniuria insulin secretagoue
(repaglinide/nateglinide) lebih tepat dipilih untuk penderita dengan berat badan normal.
22
Indikasi penggunaan insulin pada penderita diabetes antara lain: DM tipe 1, DM tipe 2
yang tidak bisa dikontol dengan obat oral, DM tipe 2 dengan penyakit akut berulang dan
berhubungan dengan hiperglikemi, DM tipe 2 dengan penyakit komorbid yang merupakan
kontraindikasi OHO, DM tipe 2 dengan operasi yang lama (pre/pascaoperatif), DM tipe 2
dengan malnutrisi/kurus dan malaise berat, koma diabetik (ketoasidosis diabetik,
hiperosmolar nonketotik dan asidosis laktat) dan perempuan hamil.
Penatalaksanaan DM pada lanjut usia tidak akan berhasil bila tidak melakukan
langkah beriuktnya setelah diet, olahraga dan obat, yaitu melakukan edukasi, evaluasi dan
rehabilitasi pada penderita. Edukasi: memberikan penjelasan mengania DM dan komplikasi
yang akan terjadi sampai kepada apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan oleh penderita dan keluarganya. Pada edukasi perlu dibuat komitmen antara dokter,
penderita dan keluarganya mengenai tujuan akhir terapi yang diberikan, bukan hanya sekedar
mengontrol gula darah tetapi juga mencegah komplikasi dengan mengeliminir semua faktor
resiko atherosclerosis yang dimiliki oleh penderita dan sekaligus menerapi komorbid yang
ada.
Evaluasi: evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan terutama untuk: evaluasi status
fungsional penderita, harapan hidup, support social dan financial serta hasrat/ kemauan lansia
itu sendiri untuk berobat. Bila tidak memperhatikanhal-hal tersebut biasanya akan terjadi
kegagalan terapi atau kebosanan penderita diabetes untuk terus berobat.
Rehabilitasi: sangat penting dilakukan dengan program individual untuk tiap penderita,
tergantung kepada kapasitas fungsional penderita, komplikasi DM dan penyakit komorbid
yang diderita. Pada prinsipnya rehabilitasi harus dilakukan secepatnya tidak perlu menunggu
kondisi pasien stabil, tetapi harus sesuai dengan keadaan penderita saat itu.
PENCEGAHAN
- Pencegahan primer : mencegah agar tidak timbul penyakit DM dengan mengetahui
faktor yang berpengaruh terjadinya diabetes mellitus antara lain ;
a) Keturunan
b) Kegiatan jasmani yang kurang
c) Kegemukan/distribusi lemak
d) Nutrisi berlebih
e) Faktor lain, obat-obat dann hormone.
23
- Pencegahan sekunder : mencegah agar walaupun sudah timbul penyakit, namun
penyulitnya tidak terjadi
- Pencegahan tersier :usaha mencegah agar tidak terjadi kecacatan lebih lanjut
walaupun sudah terjadi penyulit.
Usaha pencegahan mencakup :
- Pendekatan pada penduduk, berusaha mengubah dan memperbaiki gaya hidup agar
menguntungkan terhadap tidak timbulnya diabetes mellitus atau penyulitnya. (primer
dan sekunder)
- Pendekatan perorangan pada mereka yang beresiko tinggi untuk mengidap penyakit
diabetes mellitus dan pada pasien /penyandang diabetes mellitus (primer, sekunder
dan tersier).6
KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi akibat DM sering diklasifikasikan secara berbeda, antara lain
penggolongan antara komplikasi akut (ketoasidosis, koma hiperosmolar non ketotk) dan
kronik (retinopati diabetika, neuropati diabetika, nefropati diabetika dan penyakit
kardiovaskuler), klasifikasi berdasarkan komplikasi spesifik dari diabetesnya (nephropati,
retinopati dan neuropati) dan komplikasi makrovaskuler (penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskuler dan penyakit perifer) yang mungkin terjadi pada penderita non diabetik aan
tetapi tampil lebih dini dan lebih berat pada penderita diabetes.
24
2.4 Penyakit Parkinson
ANAMNESIS
Dari kasus didapatkan anamnesis bahwa pasien mengalami tremor pada kedua tangan
DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Penyakit Parkinson merupakan 80% dari kasus-kasus Parkinsonism. Terdapat dua istilah
yang harus dibedakan yaitu Penyakit Parkinson dan Parkinsonism:
Penyakit Parkinson adalah bagian dari Parkinsonism yang sedara patologis ditandai oleh
degenerasi ganglia basalis terutama substansia nigra pars compacta disertai adanya inklusi
sitoplasmik eosinofilik yang disebut Lewy bodies. Parkinsonism adalah suatu sindrom yang
ditandai oleh tremor waktu istirahat, kekakuan, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural
akibat penurunan kadar dopamin dengan berbagai macam sebab. Sindrom ini disebut sebagai
Sindrom Parkinson. Sindrom Parkinson (SP) diklasifikasikan sebagai berikut:7
1. Primer atau idiopatik:
- Penyebab tidak diketahui
- Sebagian besar merupakan Penyakit Parkinson
- Ada peran toksin yang berasal dari lingkungan
- Ada peran faktor genetik, bersifat sporadis
2. Sekunder atau akuisita:
- Timbul setelah terpajan suatu penyakit/zat
- Infeksi dan pasca infeksi otak (ensefalitis)
- Terpapar kronis oleh toksin seperti 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine
(MPTP), Mn, CO, sianida, dan lain-lain
- Efek samping obat penghambat reseptor dopamin dan obat yang menurunkan
cadangan dopamin.
- Pasca strok
25
- Lain-lain: hipotiroid, hipoparatiroid, tumor/trauma otak, hidrosefalus bertekanan
normal.
3. Sindrom Parkinson Plus:
Gejala Parkinson timbul bersama gejala neurologi lain seperti: progressive supraneural
palsy, multiple system atrophy, cortical-basal ganglionic, degeneration, Parkinson-dementia-
ALS complex pf Guam, progressive palidal atrophy, diffuse Lewy body disease (DLBD).7
4. Kelainan Degeneratif Diturunkan (heredodegenerative disorder):
Gejala Parkinsonism menyertai penyakit-penyakit yang diduga berhubungan dengan penyakit
neurologi lain yang faktor keturunan memegang peran sebagai etiologi, seperti: Penyakit
Alzheimer, Penyakit Wilson, Penyakit Hutington, Demensia frontotemporal pada kromosom
17q21, X-linked dystonia parkinsonism.
WORKING DIAGNOSIS
Penyakit Parkinson
ETIOLOGI
Beberapa penelitian pada penderita PP baik penelitian berdasarkan autopsi pasien yang sudah
meninggal dan penelitian epidemiologis, maupun penelitian pada hewan primata yang dibuat
menderita PP, menghasilkan beberapa dugaan penyebab PP seperti tersebut di bawah ini:
1. Faktor Genetik
Ditemukan 3 gen yang menjadi penyebab gangguan degradasi protein dan mengakibatkan
protein beracun tak dapat didegradasi di ubiquitin-proteasomal pathway.
Kegagalan degradasi ini menyebabkan peningkatan apoptosis di sel-sel SNc sehingga
meningkatkan kematian sel neuron di SNc. Inilah yang mendasari terjadinya PP sporadik
yang bersifat familial. Pada penelitian didapatkan kadar sub unit alfa dari proteasome 20S
menurun secara bermakna pada sel neuron SNc penderita PP, dibandingkan dengan orang
normal, demikian jugak didapatkan penurunan sekitar 40% 3 komponen (chymotriptic, trytic
dan postacidic) dari proteasome 26S pada sel neuron SNc penderita PP.
26
Peran faktor genetik juga ditemukan dari hasil penelitian terhadap kembar monozigot (MZ)
dan dizigot (DZ), dimana angka intrapair concordance pada MZ jauh lebih tinggi
dibandingkan DZ.7
2. Faktor Lingkungan
Sebagian setuju bahwa bahan-bahan beracun seperti carbon disulfide, manganese, dan pelarut
hidrokarbon yang menyebabkan Sindrom Parkinson; demikian juga pasca ensefalitis. Pada
penelitian selanjutnya ternyata parkinsonism yang terjadi bukan PP. Saat ini yang paling
diterima sebagai etiologi PP adalah proses stres oksidatif yang terjadi di ganglia basalis,
apapun penyebabnya. Berbagai penelitian telah dilakukan antara lain peranan xenobiotik
(MPTP), pestisida/herbisida, terpapar pekerjaan terutama zat kimia seperti bahan-bahan cat
dan logam, kafien, alkohol, diet tinggi protein, merokok, trauma kepala, depresi dan stres;
semuanya menunjukkan peranan masing-masing melalui jalan yang berbeda dapat
penyebabkan PP maupun sindrom Parkinsom baik pada penelitian epidemiologis maupun
eksperimental pada primata.
3. Umur (Proses Menua)
Tidak semua orang tua akan menderita PP, tetapi deguaan adanya peranan proses menua
terhadap terjadinya PP didasarkan pada penelitian-penelitian epidemiologis tentang kejadian
PP. pada penderita PP terdapat suatu tanda reaksi mikroglial pada neuron yang rusak dan
tanda ini tidak terdapat pada proses menua yang normal, sehingga disimpulkan bahwa proses
menua merupakan faktor risiko yang mempermudah terjadinya proses degenerasi di SNc
tetapi memerlukan penyebab lain (biasanya multifaktorial) untuk terjadinya PP.
4. Ras
Angka kejadian PP lebih tinggi pada orang kulit putih dibandingkan kulit berwarna.
5. Cedera Kranioserebral
Prosesnya belum jelas. Trauma kepala, infeksi, dan tumor di otak lebih berhubungan dengan
Sindrom Parkinson daripada PP.
6. Stres Emosional
Diduga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya PP.7
27
PATOFISIOLOGIS
Secara umum dapat dikatakan bahwa Penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar
dopamin akibat kematian neuron di substansia nigra pars compacta (SNc) sebesar 40-50%
yang disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies) dengan penyebab
multifaktor.
Substransia nigra (black substance), adalah suatu regio kecil di otak yang terletak sedikit di
atas medula spinalis. Bagian ini menjadi pusat kontrol/koordinasi dari seluruh pergerakan.
Sel-selnya menghasilkan neurotransmiter yang disebut dopamin, yang berfungsi untuk
mengatur seluruh pergerakan otot dan keseimbangan badan yang dilakukan oleh sistem saraf
pusat. Dopamin diperlukan untuk komunikasi elektrokimia antara sel-sel neuron di otak
terutama dalam mengatur pergerakam, keseimbangan dan refleks postural, serta kelancaran
komunikasi. Pada PP sel-sel neuron di SNc mengalami degenerasi, sehingga produksi
dopamin menurun, akubatnya semua fungsi neuron di sistem saraf pusat (SSP) menurun dan
menghasilkan kelambanan gerak (bradikinesia) kelambanan bicara dan berfikir (bradifrenia),
tremor, dan kekakuan (rigiditas).7
Hipotesis terbaru proses patologi yang mendasari proses degenerasi neuron SNc adalah stres
oksidatif. Stres oksidatif menyebabkan terbentuknya formasi oksiradikal, seperti dopamin
duinon yang dapat bereaksi dengan alfa sinuklein (disebut protofibrils). Formasi ini
memupuk, tidak dapat di degrasi oleh ubiquitin-proteasomal pathway, sehingga
menyebabkan kematian sel-sel SNc. Mekanisme patogenik lain yang perlu dipertimbangkan
antara lain:
- Efek lain dari stres oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal dengan nitric-
oxide (NO) yang menghasilkan peroxynitric radical.
- Kerusakan mitokondria sebagai akibat penurunan produksi adenosin trifosfat (ATP)
dan akumulasi elektro-elektron yang yang memperburuk stres oksidatif, akhirnya
menghasilkan peningkatan apoptosis dan kematian sel.
- Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin yang memicu
apoptosis sel-sel SNc.
DIAGNOSIS
28
Penyakit Parkinson
Diagnosis PP dibuat dengan ketentuan berdasarkan gambaran klinis, di samping adanya
pemeriksaan penunjang seperti CT-scan, MRI, dan PET atau indikasi untuk menyingkirkan
diagnosis Sindrom Parkinson selain PP.
GAMBARAN KLINIS
Umum:
1. Gejala mulai pada satu sisi (hemiparkinsonism)
2. Tremor saat istirahat
3. Tidak didapatkan gejala neurologis lain
4. Tidak dijumpai kelainan laboratorik
5. Perkembangan lambat
6. Respon terhadap levodopa cepat dan dramatis
7. Gangguang refleks postural tidak dijumpai pada awal penyakit.
Khusus: gejala motorik pada penyakit parkinson (TRAP):
1. Tremor: 1. Llaten, 2. Saat istirahat, 3. Bertahan saat istirahat, 4. Saat gerak disamping
adanya tremor saat istirahat.
2. Rigiditas
3. Akinesia/bradikinesia: 1. Kedipan mara berkurang, 2. Wajah seperti topeng, 3.
Hipofonia (suara kecil), 4. Air liur menetes, 5. Akatisia/takikinesia (gerakan cepat
tidak terkontrol), 6. Mikrografia (tulisan semakin kecil), 7. Cara berjalan: langkah
kecil-kecil, 8. Kegelisahan motorik (sulit duduk atau berdiri)
4. Hilangnya refleks postural. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan sejumlah kriteria:
1. Klinis, 2. Menurut Koller, 3. Menurut Gelb
1. Kriteria Diagnosis Klinis
29
- Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia,
atau
- Tuga dari 4 tanda motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia, ketidakstabilan postural
2. Kriteria Diagnosis Klinis Modifikasi
Diagnosis possible: adalah salah satu gejala: tremor,rigiditas, akinesia atau
bradikinesia,gangguan refleks postural. Tanda-tanda minor yang membantu ke arah
diagbosos klinis possible: Myerson sign, menghilang atau berkurangnya ayunan lengan,
refleks menggenggam.
Diagnosis probable: kombinasi dari dua gejala tersebut di atas (termasuk gangguan refleks
postural), salah satu dari tiga gejala pertama asimetris.
Diagnosis definite: setiap kombinasi 3 dari 4 gejala; pilihan lain: setiap dua dengan satu dari
tiga gejala pertama terlihat asimetris.
3. Kriteria Diagnosis Koller
Didapati 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik: tremor istirahat atau gangguan refleks
postural, rigiditas, bradikinesia yang berlangsung satu tahun atau lebih.
Respons terhadap terapi levodopa yang diberikan sampai perbaikan sedang (minimal 1.000
mg/hari selama1bulan), dan lama perbaikan 1 tahun atau lebih.
4. Kriteria Diagnosis Gelb
Diagnosis possible: adanya 2 dari 4 gejala kardinal (resting tremor, bradikinesia, rigiditas,
onset asimetrik). Tidak ada gambaran yang menuju ke arah diagnosis lain termasuk
halusinasi yang tidak berhubungan dengan obat, demensia supranuclear gaze palsy atau
disotonom. Mempunyai respons yang baik terhadap levodopa atau agonis dopamin.
Diagnosis probable: terdapat tiga dari 4 gejala kardinal, tidak ada gejala yang mengarah ke
diagnosis lain dalam 3 tahun, terdapat respon yang baik terhadap levodopa atau agonis
dopamin.7
Diagnosis definite: seperti probable disertai dengan pemeriksaan histopatologis yang positif
30
Untuk menentukan berat ringannya penyakit, digunakan penetapan stadium klinis Penyakit
Parkinson berdasarkan Hoehn dan Yahr, sebagai berikut:
I. Unilateral, ekspresi wajah berkurang, posisi fleksi lengan yang terkena, tremor,
ayunan lengan berkurang.
II. Bilateral, postur membungkuk ke depan, gaya jalan lambat dengan langkah kecil-
kecil, sukar membalikkan badan.
III. Gangguan gaya berjalan menonjol, terdapat ketidak stabilan postural
IV. Disabilitasnya jelas, berjalan terbatas tanpa bantuan,lebih cenderung jatuh.
V. Hanya mampu terbaring atau duduk di kursi roda, tidak mampu berdiri/berjalan
meskipun dibantu, bicara tidak jelas, wajah tanpa ekspresi, jarang berkedip.
PENATALAKSANAAN
Secara garis besar konsep terapi farmakologis maupun pembedahan pada PP dibedakan
menjadi 3 hal yaitu:
- Simptomatis, untuk memperbaiki gejala dan tanda penyakit.
- Protektif,dengan cara mempengaruhi patofisiologi penyakit
- Restoratif, mendorong neuron baru atau merangsang pertumbuhan dan fungsi sel
neuron yang masih ada.
Pilihan terapi PP dapat dibagi menjadi beberapa pendekatan sebagai berikut:
- Meningkatkan transmisi dopaminergik dengan jalan: 1) meningkatkan kosentrasi
dopamin pada sinap (levodopa), 2). Memberikan agonis dopamin, 3). Meningkatkan
pelepasan dopamin, 4) menghambat re-uptake dopamin. 5) menghambat degradasi
dopamin.
- Memanipulasi neurotransmiter non-dopaminergik dengan obat-obat antikolinergik
dan obat-obat lain yang dapat memodulasi sistem non-dopaminergik
- Memberikan terapi simtomatik terhadap gejala parkinsonism yang muncul.
31
- Memberikan obat-obat neuroprotektif untuk menghambat progresivitas PP dengan
mencegah kematian sel-sel neuron.
- Terapi pembedahan: ablasi (tallamotomy, pallidotomy). Stimulasi otak dalam, brain
grafting (bertujuan untuk memperbaiki atau mengembalikan seperti semula proses
patologis yang mendasari).
- Terapi pencegahan/preventif: menghilangkan faktor risiko atau penyebab PP.
Tujuan utama terapi PP adalah memulihkan disabilitas fungsional yang disandang penderita.
Biasanya penatalaksanaan dilakukan secara komprohensif baik dengan obat, perbaikan diet
dengan mengurangi asupan protein sampai 0,5-0,8 gram/kg BB per hari, terapi fisik berupa
latihan teratur untuk mempertahankan penderita tetap dapat berjalan.7
Untuk dapat memahami pemilihan terapi obat kita perlu mengetahui proses degradasi
dopamin (DA) di otak. Dopamin memiliki 2 reseptor yaitu D1 yang bersifat eksitatorik dan
reseptor D2 yang bersifat inhibitorik. Dalam keadaan normal setelah DA dilepaskan dari
ujung saraf nigrostriatum akan merangsang reseptor D1 dan D2. Keberadaan DA bila tidak
diperlukan lagi akan dikonversi sebagai:
- 3-0-methyldopa oleh enzim cathecol-0-methyltransferase (COMT)
- 3-4 dihydroxyphenilacetic acid oleh enzim monoamine axidase (MAO)
TERAPI MEDIKAMENTOSA
Ada 6 macam obat utama yang dipergunakan untuk penatalaksanaan PP, yaitu:
- Obat yang mengganti dopamin (Levodopa, Carbidopa)
- Agonis Dopamin (Bromocriptine, Pergolide, Pramipexole, Ropinirol)
- Antikolinergik (Benztropin, Triheksifenidil, Biperiden)
- Penghambat Monoamin oxidase/MAO (Selegiline)
- Amantadin
- Penghambat Catechol 0-Methyl Transferase/COMT (Tolcapone, Entacapone)
32
Terapi Pembedahan
Ada beberapa tipe prosedur pembedahan yang dikerjakan untuk penderita PP, yaitu:
- Terapi ablasi lesi di otak
- Terapi stimulasi otak dalam
- Transpantasi otak
Terapi rehabilitasi
Rehabilitasi penderita PP sangat penting. Tanpa terapi rehabilitasi penderita PP akan
kehilangan kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari. Latihan yang diperlukan penderita
PP meliputi latihan fisioterapi, okupasi dan psikoterapi.
Latihan fisioterapi meliputi: latihan gelang bahu dengan tongkat, latihan ekstensi trunkus,
latihan Frenkle, dan latihan isometrik.7
Latihan okupasi yang memerlukan pengkajian aktivitas kehidupan sehari-hari pasien,
pengkajian lingkungan tempat tinggal atau pekerjaan. Dalam pelaksanaan latihan dipakai
berbagai macam strategi, antara lain:
- Strategi kognitif
- Strategi gerak
- Strategi keseimbangan
33
2.5 OSTEOATRITIS
Oesteoartritis (OA) merupakan penyakit generatif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago
sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA, prevelansi OA
lutut radiologis di indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada pria dan 12.7% pada
wanita. Pasien OA biasanya mengeluh saat melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan
pada sendi yang terkena. Pada derajat yang lebih berat nyeri dapat di rasakan terus-menerus
sehingga sangat menganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi yang cukup tinggi dan
sifatnya kronik progresif,OA mempunyai dampak sosio-ekonomik yang besar, baik di negar
maju maupun di negara berkembang.
Terapi OA pada umumnya simptomatik, misalya dengan pengendalian faktor-faktor
resiko,latihan, intervensi fisioterapi, dan teraoi farmakologis, pada OA fase lanjut sering
diperlukan pembedahan. Untuk membantu mengurrangi keluhan nyeri OA, biasanya
digunakan analgetik atau obat anti-inflamasi non steroid (OAINS).
ANAMNESIS
Dari kasus hasil anamnesis mendapatkan bahwa pasien sakit lutut bila berjalan. Bila bangun
dari duduknya lutut sering berbunyi kretek-kretek.
PEMERIKSAAN
A. Pemeriksaan Fisik
Hambatan Gerak
Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada OA yang masih dini (secara radiologis).
Biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa
digoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah
gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja).
Krepitasi
Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinik OA lutut. Pada awalnya hanya berupa
perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang
34
memeriksa. Dengan bertambahnya beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar samapi jarak
tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat
sendi digerakan atau secara pasif di manipulasi.
Pembengkakan Sendi Yang Sering Asimetris
Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tak
banyak (lebih dari 100 cc). Sebab lain ialah karena adanya osteofit, yamg dapat mengubah
permukaan sendi.
Tanda-Tanda Peradangan
Tanda-tanda peradangan pada sendi(nyeri tekan, ganguan gerak, rasa hangat yang merata dan
warna kemerahan) mungkin di jumpai pada OA karena adanya sinovitis. Biasanya tanda-
tanda ini tak meninjol dan timbul belakangan,seringkali dijumpai di lutut, pergelangan kaki,
dan sendi-sendi kecil tangan dan kaki.
Perubahan Bentuk (Deformitas) Sendi Yang Permanen
Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama,perubahan permukaan
sendi,berbagai kecacatan dan gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan sendi.
Perubahan Gaya Berjalan
Keadaan ini hamper selalu berhubungan dngan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan.
Terutama di jumpai pada OA lutut, sendi paha dan OA tulang belakang dengan stenosis
spinal. Pada senid-sendi lain, seperti tangan bahu, siku dan pergelangan tangan, osteoarthtitis
juga menimbulkan gannguan fungsi.
B. Pemeriksaan Penunjang
Radiografis
Pada sebagian besar kasus radiografi pada sendi yang terkena osteoarthritis sudah cukup
memberikan gambaran diagnostik yang lebih cangih
Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah :
35
Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang
menggung beban)
Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
Kista tulang
Oseofut pada pinggir sendi
Perubahan struktur anatomi sendi
Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi diatas, sevcara radiografi OA dapat
digradasi menjadi ringan samapai berat. Harus diingat bahwa pada awal penyakit,
radiografi sendi seringkali masih normal.
C. Pemeriksaan Laboratorium
Hsil pemeriksaan pada OA biasanya ak banyak berguna. Darah tepi (emoglobin,laju endap
darah, leokosit) dalam batas-batas normal, kecuali OA generalisata yang harus dibedakan
dengan artritis peradangan. Pemeriksaan immunologi (ANA, rematoid dan komplemen) juga
normal. Pada OA yang disetai peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas,
pleositosis ringan sampai sedang peningkatan ringan sel peradangan (<8000/m) dan
peningkatan protein.
GEJALA KLINIS
Nyeri sendi merupakan gejala utama, terutama sendi-sendi penyangga tubuh. Nyeri brsifat
khas yaitu meningkat bila untuk aktifitas. Penyebab nyeri pada osteoarthritis bukas
disebabkan oleh menipisnya rawan sendi tetapi karena spasme otot periartikuler, mikrofraktur
subkondral,iritasi ujung saraf pada sinovitis.
Selain nyeri keluhan lain yaitu kaku sendi yang biasanya tidak lebih dari ½ jam,
biasanya kaku sendi terjadi setelah istirahat lama pada gerakan sendi sering terdengar bunyi
”cracking”. Pada pemeriksaan fisik dapat di jumpai nyeri tekan dan gerak pada sendi yang
terserang, pada fase lanjut didapatkan keterbatasan gerak dan pada perabaan didapatkan
krepitus pada saat sedi di gerakan. Pada palpasi didapatkan sendi yang membesar disertai
kelemahan otot partikuler. Pada lutut dapat di jumpai genu varus atau valgus.
WORKING DIAGNOSIS
36
Osteoatritis
EPIDEMIOLOGI/FAKTOR RESIKO
OA adalah penyakit sendi yang paling sring ditemukan pada manusia. OA lutut merupakan
penyebab utama hendaya (disability) kronik di negara-negara berkembang. Dibawah usia 55
tahun, distribusi sendi OA pada laki-laki dan perempuan sama pada orang yang berusia lebih
tua, OA panggul lebih sering pada laki-laki, sedangkan OA sendi antarflang dan pangkal
jempol sering terjadi pada perempuan. Terdapat perbedaan prevalens OA dan pola
kertelibatan sendi. OA sendi antarflang, dan terutama, OA panggul lebih jarang padaa orang
berkulit hitam afrika selatan dari pada kulit putih pada populasi yang sama. Tidak di ketahui
apakah karena keturunan genetik atau karena gaya hidup dan perkejaan.
Faktor tertinggi OA adalah usia. Peningkatan prigresif prevalensi OA dijumpai seiring
dengan peningkatan usia. Pada survai radiografik terdapat perempuan berusia kurang dari 45
tahun hanya 2% menderita OA namun antara, usia 45 dan 65 tahun angkanya 68 %. Pada
laki-laki, angkanya serupa tapi sedikit lebih rendah pada kelompok usia tua. Trauma besar
dan pengunaan sendi berulang merupakan risiko untuk OA. Kerusakan tulang rawan atau
sendi dapat terjadi pada saat cedera atau saat sesudahnya, bahkan tulang rawan yang normal
akan mengalami degenerasi bila sedikit tidak stabil.
Pola keterlibatan sendi dipengaruhi oleh beban yang berkaitan dengan perkejaan
(vokasioanal) atau avokasioanl sebelumnya. Sementara keterkaitan antara kegemukan dan
OA lutut telah lama diketahui, hubungan kausal antara keduanya hanya baru-baru ini di
buktikan. Untuk orang yang memiliki masa tubuh berada di quintile teritmggi pada
pemeriksaan dasar, risiko relatif mengalami OA lutut dalam 36 tahun mendatang adalah 1,5
untuk laki-laki dan 2,1 untuk perempuan. Untuk OA lutu yang parah, resiko relatif menibgkat
menjadi 1,9 untuk laki-laki dan 3,2 umtuk perempuan, yamg mengisyaratkan bahwa
kegemukan berperan besar dalam etiologi kasus OA lutut yang parah. Sementara nyeri sendi
merupakan utama yang menyebabkan pasien OA mencari pengobatan, hubungan antara
keparahan patologik OA dan gejala tidak erat. Faktor resiko untuk nyeri dan kecacatan pada
pasien belom diketahui. Untuk tingkat keparahan patologi yang sama, gejala lebih besar
kemungkinannya timbul pada perempuan dari pada laki-laki, pada mereka yang mendapat
santunan daripada yang bekerja.
ETIOLOGI
37
a) Usia lebih dari 40 tahun
b) Jenis kelamin : kemungkinan wanita terkena lebih besar dari pada pria
c) Suku bangsa
d) Genetik
e) Kegemukan dan penyakit metabolik
f) Cedera sendi, pekerjaan, dan olahraga
g) Kelainan pertumbuhan
h) Kepadatan tulang
PATOGENESIS
Patogenensis pada saat ini masih menjadi perdebatan,dahulunya osteoarthtitis dianggap suatu
proses degeneratif murni. Pada kenyataannnya proses osteoarthitits didapatkan peran sitokin
inflamasi dalam patogenesisnya.
OA merupakan penyakit gangguan homeostatis metabolisme rawan sendi dengan
kerusakan struktur proteoglikan yang penyebabnya diperkirakan multifaktoral anatara lain
karena faktor umur stres mekanis dan khemis, pengunaan sendi yang berlebihan,defek
anatomik, obesitas, genetik humoral dan faktor kebudayaan. Mikrofaktor pada permukaan
rawan sendi maka akan diikuti dengan menurunya sintesis glikosaminaglikan serta poliferasi
kondrosit. Selain berpoliferasi kondrosit merespon suatu trauma rawan sendi dengan
memproduksi sitokin antara lain interleukin
Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi OA primer dan OA sekunder.
OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada
hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan local pada sendi. OA
sekunder adalah OA yang di dasari oleh adanya kelainan edokrin, inflamasi, metabolik,
pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama. OA
primer lebih sering ditemukan dari pada OA sekunder.
KOMPLIKASI
38
Pada umumnya pasien datang dengan keluhan yang brlangsung lama, tetapi berkembang
secara perlahan
Nyeri Sendi
Keluahan ini merupakan keluhan utama yang membawa pasien ke dokter. Nyeri biasanya
bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu
kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih di bandingkan dengan gerakan yang lain.
Hambatan Gerakan Sendi
Gannguan ini niasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan
bertambahnya rasa nyeri.
Kaku Pagi
Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti duduk di
kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama tau bahkan setelah bangun tidur
Krepitasi
Rasa gemeretak (kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit.
Pembesaran Sendi (Deformitas)
Pasien mungkin menunjukan bahwa salah satu sendinya secara pelan-pelan membesar.
Perubahan Gaya Berjalan
Geajala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien. Hampir semua pasien OA
pergelangan kaki,tumit, lutut tau panggul berkembang menjadi pincang. Gannguan berjalan
dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian
pasien OA yang umumnya tua.
PENATALAKSAAN OSTEOARTHTITIS
39
Prinsip penatalaksaan mengontrol nyeri secara kontinu,mempertahankan fungsi sendi serta
memperbaiki kualitas hidup penderita
Langkah 1 : nonfarmakologi
a. penyuluhan penderita
b. bantuan tenaga sosial profesioanl
c. latihan aerobik
d. menurunkan berat badan
e. terapi kerja, proteksi sendi, mengubah pola kebiasaan, pemakaian sepatu yang
nyaman.
f. Diet yang bergizi
Langkah 2 :
Pengunaan analgesik sederhana acetaminofen, dosis acetaminofen tidak boleh lebih dari
4g/hari atau ibuprofen dosis rendah, ibu profen 3 x 400 mg, pemakaian topikal.
Langkah 3:
Bila nyeri tidak terkontrol dengan analgesik sederhana maka digunakan NSAID, hati-hati
pada umur >65, pemakaian steroid, riwayat ulkus peptikum atau pendarahan lambung. Pada
penderita dengan resiko maka dianjurkan memberikan misoprosrol, famotidine atau
Omeperazol. Hati-hati pada penderita gangguan fungsi ginjal, hipertensi pemakaian ACE
inhibitor sebaiknya memakai golongan COX-2 spesifik inhibitor, bila ada kontra-indikasi
pemakaian NSAID ATAU COX-2 maka dianjurkan pemakaian analgesik golongan opiat
dosis 200-300 mg.
Langkah 4 :
Khususnya Pada OA lutut bila ada efusi sendi maka dilakukan aspirasi dan injeksi steroid
intraartikuler (triamcinolon exacetonine 40 mg).
Langkah 5 :
40
Bila nyeri tidak terkontrol dengan obat sistemik maka dapat diberikan analgesik topikal
misalnya metilsalisilat atau capsaicin.
Langkah 6 :
Injeksi intraartikuer steroid atau hyaluronan (khusus pada OA lutut)
Nama generik Nama dagang Dosis harian catatan
Ibuprofen
Ketoprofen
Naproksen
Diklofonak
Etodolak
Indometasin
Piroksikam
Meloksikam
Nabumeton
Celecoxib
etoricoxib
Anafen,bufect
Profenid,kaltrofen
Naxen,synflex
Voltaren,altranac
Lodine
Dialon
Rexil,feldene
Atrilox,loxinic
Goflex
Celebrex
arcoxia
5-40mg/kg
150-300mg
1000-2000mg
100-200mg
600-1200mg
75-200mg
20mg
7.5-15mg
1000-1500mg
200-800mg
60-120mg
Aman untuk anak >6th
Dosis ↓ pd gang,hati,ginjal,lansia
Dosis ↓ pd gang,hati,ginjal,lansia
Dapat ↑ enz.tranaminase hati
Digunakan untik terapi PDA
Dosis ↓ pd gang hati dan lansia
Lansia: max 1000mg
Kl pada alergi sulfonamid
PROGNOSIS
Kita harus memutuskan apakah pengobatan osteoarthritis saja akan memperbaiki fungsi sendi
yang sakit ataukah pengobatan tentang masalah yang lainnya juga diperlukan. Disamping itu
keberadaan penyakit lain (misalnya penyakit renal,ulkus peptikum dan hipertensi ) dapat
membuat pengobatan osteoartritis menjadi lebih berbahaya dan sulit dilaksanakan.
41
Pasien harus diberatahu dahulu mengenai sifat penyakitnya dan apa yang bisa
diharapkan secara realistik dari pengobatan yang akan didapatkannya.harapan yang tidak
realistik dapat menimbulkan frustasi dan depresi disamping kesalahpahaman antara pasien
dan dokter.
Prognosis osteiartritis kurang baik dalam jangka waktu satu sampai dua tahun.
42
PENUTUP
KESIMPULAN
Penuaan merupakan proses yang telah bermula sejak dari dalam uterus lagi. Setiap orang
bertanggung jawab atas proses penuaan pada dirinya. Pendedahan pada radiasi, pemilihan
makanan yang banyak mengandung bahan awet dan pewarna, kurangnya olahraga dan
banyak lagi faktor lain bisa menyebabkan kecepatan proses penuaan. Proses penuaan
menyebabkan berbagai penyakit dan masalah psikososial. Masalah psikososial itu sendiri
seperti sebuah lingkaran yang menyebabkan penyakit seseorang itu makin berat. Dimensia
yang juga dipanggil pikun merupakan suatu gejala yang tidak asing lagi pada lansia yang
disebabkan oleh degenerasi pada sel otak. Semakin tua seseorang, semakin rentan ia pada
berbagai penyakit karena menurunnya reaksi imunologi dalam tubuh. Fungsi organ lain juga
menurun. Fungsi hati yang menurun menyebabkan masalah metabolism manakala fungsi
pancreas yang terganggu disebabkan penuaan menyebabkan diabetes mellitus tipe II.
Penyembuhan dari suatu penyakit juga lebih lambat. Pemeriksaan pada lansia hendaklah
dilakukan secara holistic karena pada lansia, gejalanya tidak spesifik pada 1 penyakit saja.
Diagnosis holistik bagi lansia ini disebut asesmen geriatric yang meliputi anamnesa,
pemeriksaan fisis, asesmen lingkungan dan daftar masalah.
Walaupun proses penuaan tidak dapat diundur atau bersifat irreversible, ia bisa diperlambat
dengan mengamalkan cara hidup yang sehat. Sebagai contoh, orang Jepang terkenal dengan
gaya hidup dan pola makanannya yang sehat. Walaupun terdapat pendapat bahwa semakin
maju sesuatu Negara itu semakin banyak penyakit yang timbul ini terbukti salah oleh Negara
maju ini.
43
Daftar Pustaka
1. Probosuseno, Husni N. A., Rochmah W. Dizziness pada lanjut usia. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jilid I. Jakarta : Interna Publishing, 2010: 826-36
2. Rochmah W. Demensia. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jilid I. Jakarta : Interna Publishing, 2010: 837-44
3. Sukadji K. Pentalaksanaan gizi pada diabetes mellitus. Dalam : Soegondo S, et al (editor). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta : Balai penerbit FKUI 2007: 43-66
4. Rochmah W. Diabetes melitus pada usia lanjut. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta : Interna Publishing, 2010: 1967-71
5. Waspadji S. Diabetes mellitus, penyulit kronik dan pencegahannya. Dalam : Soegondo S, et al (editor). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta : Balai penerbit FKUI 2007: 163-74
6. Suyono S. Patofisiologi diabetes mellitus.. Dalam : Soegondo S, et al (editor). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta : Balai penerbit FKUI 2007: 7-15
7. Rahayu R. A. Penyakit parkinson. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jilid I. Jakarta : Interna Publishing, 2010: 851-58
8. Askandar T., Setiawan P. B., Santoso D., Soegiarto G. 2007. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Airlangga universitas press cetakan pertama. Hal 247-253
44