i
PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI
ANTARA BADUTA STUNTING DAN NON STUNTING DI
PUSKESMAS PRAMBANAN KABUPATEN KLATEN
PUBLIKASI ILMIAH
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I
pada Jurusan Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan
Oleh :
DEWI ARI SHANDY
J310171084
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
i
ii
iii
1
PERBEDAAN ASUPAN ZAT GIZI PANGAN HEWANI ANTARA
BADUTA STUNTING DAN NON STUNTING DI PUSKESMAS
PRAMBANAN KABUPATEN KLATEN
Abstrak
Anak usia dibawah dua tahun (baduta) yaitu anak yang sedang mengalami proses
pertumbuhan yang sangat cepat. Masalah gizi baduta salah satunya stunting. Faktor
yang mempengaruhi status gizi adalah asupan protein, asupan zat besi dan asupan
zink. Pangan hewani memiliki kandungan zat gizi yang lebih baik daripada pangan
nabati, seperti protein, zat besi dan zink karena lebih mudah diserap tubuh.
Prevalensi stunting baduta di Puskesmas Prambanan sebesar 29%, angka ini masih
di atas target RPJMN 2015-2019 sebesar 28%. Menganalisis perbedaan asupan
protein, zat besi dan zink dari pangan hewani antara baduta stunting dan non
stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten. Penelitian ini bersifat
observational dengan desain cross sectional. Pengambilan sampel menggunakan
simple random sampling dengan jumlah 90 anak bawah dua tahun. Data asupan
protein, zat besi dan zink menggunakan Questional Semi-Quantitative Food
Frequency dan data status gizi dengan mengukur tinggi badan anak dua tahun. Uji
statistik yang digunakan adalah uji Independent sample T-test untuk asupan protein
dan zink dan uji Mann Whitney untuk asupan zat besi. Rata-rata asupan protein
pangan hewani pada baduta stunting yaitu 6.6 gram dan rata-rata asupan protein
pangan hewani pada baduta non stunting yaitu 9.0 gram. Rata-rata asupan zat besi
pangan hewani pada baduta stunting yaitu 1.1 mg dan rata-rata asupan zat besi
pangan hewani pada baduta non stunting yaitu 1.7 mg. Rata-rata asupan zink
pangan hewani pada baduta stunting yaitu 0.9 mg dan rata-rata asupan zink pangan
hewani pada baduta non stunting yaitu 1.3 mg. Hasil analisis uji beda asupan protein
p=0.000, zat besi p=0.000 dan zink p=0.003 pada baduta stunting dan non stunting.
Ada perbedaan asupan protein, zat besi dan zink dari pangan hewani antara baduta
stunting dan non stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten.
Kata Kunci : anak bawah dua tahun, asupan protein, asupan zat besi, asupan zink,
pangan hewani, stunting
Abstrack
Children under two years old are children who are experiencing a very rapid growth
process. One of Baduta nutrition problems is stunting. Factors affecting nutritional
status are protein intake, iron intake and zinc intake. Animal foods contain better
nutrients than plant foods, such as protein, iron and zinc because they are more
easily absorbed by the body. Baduta stunting prevalence in Prambanan Health
Center is 29%. This figure is still above the 2015-2019 RPJMN target of 28%. This
study aimed to analyze the differences in the intake of protein, iron and zinc from
animal food between stunting and non-stunting in the Prambanan Health Center in
Klaten. This study was observational with cross sectional design. Samplings were
taken using simple random sampling with a total 90 children under two years. Data
on protein, iron and zinc intake were analyzed using the Questional Semi-
2
Quantitative Food Frequency and nutritional status data by measuring the height of
a two year old child. The statistical test used was Independent sample T-test for
protein and zinc intake and the Mann Whitney Test for iron intake. The average
intake of animal food protein in baduta stunting was 6.6 grams and the average
intake of animal protein in baduta non stunting was 9.0 grams. The average intake
of animal food iron in baduta stunting was 2 mg and the average intake of animal
food in baduta non stunting was 1.7 mg. The average intake of animal food zinc in
baduta stunting was 0.9 mg and the average intake of animal food zinc in baduta
non stunting was 1.3 mg. The results of the analysis of different tests of protein
intake p=0.000, iron p=0.000 and zinc p=0.003 in stunting and non-stunting. There
was a difference in the intake of protein, iron and zinc from animal foods between
stunting and non-stunting in the Prambanan Health Center of Klaten.
Keywords : children under two years, protein intake, iron intake, zinc intake,
animal food, stunting
1. PENDAHULUAN
Salah satu masalah gizi pada balita yang sering ditemukan adalah stunting. Stunting
adalah bentuk pertumbuhan yang gagal (growth faltering) akibat dari nutrisi yang
masuk tidak terpenuhi dan berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24
bulan. Keadaan ini diperparah dengan tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up
growth) yang memadai (Hoffman et al, 2000). Indonesia menempati peringkat ke 5
di dunia dengan jumlah anak pendek terbanyak yaitu 30-39%. Prevalensi stunting
anak balita di Indonesia berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun
2018 adalah 30,8%, sedangkan prevalensi stunting anak baduta sendiri yaitu 29,9%
(terdiri dari 12,8% sangat pendek dan 17,1% pendek). Hasil penelitian pendahuluan
yang dilaksanakan pada Bulan November 2018 di Dinas Kesehatan Kabupaten
Klaten prevalensi baduta stunting tahun 2017 tertinggi di Kabupaten Klaten yaitu
di Puskesmas Prambanan sebesar 29%. Angka ini masih di atas target RPJMN
tahun 2015-2019 baduta stunting yaitu sebesar 28% (Litbangkes, 2018).
Stunting menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik pada masa
pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan. Dampak buruk yang dapat
ditimbulkan oleh masalah gizi kronis, dalam jangka pendek adalah terganggunya
perkembangan otak, kecerdasan, pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme
dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang adalah menurunnya kemampuan
3
kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh, dan risiko tinggi
munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah,
kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak
kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi (Black et al,
2013). Status gizi anak dipengaruhi oleh banyak faktor dan faktor-faktor tersebut
saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Menurut Ergin et al (2007) ada 3
faktor langsung penyebab stunting yaitu riwayat penyakit, BBLR (Berat Badan
Lahir Rendah) dan asupan makanan. Sedangkan faktor tidak langsung yang
mempengaruhi status gizi antara lain ASI Eksklusif, tingkat pendapatan keluarga,
jumlah anggota keluarga dan pengetahuan (Khomsan, 2010).
Pangan hewani memiliki kandungan zat gizi yang lebih baik daripada
pangan nabati, seperti protein, zat besi dan zink karena lebih mudah diserap tubuh.
Kandungan protein, zat besi, dan zink pada pangan hewani dapat berfungsi sebagai
pertumbuhan tulang. Konsumsi pangan hewani diperlukan untuk pertumbuhan
tulang pada balita (Hutapea, 2010). Pangan hewani mengandung sumber protein
yang terdiri dari asam amino esensial yang lengkap susunannya yang mendekati
apa yang diperlukan oleh tubuh kita, sehingga sumber protein dari pangan hewani
lebih baik daripada protein dari pangan nabati (Astawan, 2008). Protein yang
mengandung asam amino essensial lengkap akan mendukung pertumbuhan balita
secara optimal. Namun, apabila kandungan asam amino tidak lengkap maka
pertumbuhan optimal pada anak tidak akan terjadi (Brown, 2008).
Pangan hewani mempunyai kandungan zat besi yang lebih baik daripada
pangan nabati. Zat besi adalah elemen esensial bagi tubuh yang dibutuhkan guna
memproduksi darah, yaitu guna untuk mensintesis hemoglobin. Zat besi pangan
hewani mudah diserap antara 10-20%. Zat besi dari pangan nabati hanya dapat
diserap antara1-5%. Zat besi pada sayur diserap 1%, sedangkan zat besi pada ikan
dapat diserap dalam jumlah lebih besar yaitu 11% (Astawan, 2008).
4
Pangan hewani mempunyai nilai absorpsi seng yang lebih tinggi daripada
pangan nabati. Sumber seng yang memiliki nilai absorpsi tinggi berasal dari daging
dan susu (Solomons, 1993). Beberapa zat seperti asam sitrat, asam palmitat dan
asam pikolinik dapat meningkatkan penyerapan seng, sedangkan fitat (inositol
heksafosfat) dan serat (selulosa) menghambat absorpsi seng. Susu dan produknya
merupakan sumber seng yang penting bagi bayi dan anak-anak. Air susu ibu
mengandung protein ligand yang spesifik untuk seng, disamping asam sitrat, asam
palmitat, dan asam picolinic yang dapat meningkatkan absorpsi seng. Bahan pangan
nabati banyak mengandung asam fitat dan serat (selulosa) yang dapat menghambat
absorpsi seng (Taylor et al, 1991).
Hasil penelitian Aguayo et al (2016) yang dilakukan di India, menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara frekuensi pemberian makan yang kurang seperti
konsumsi telur, produk susu dengan pertumbuhan yang buruk dan stunting pada
anak-anak berusia 6-23 bulan. Hasil penelitian Adani dan Nindya (2017) yang
dilakukan di Kelurahan Manyar Sabrangan Surabaya pada balita usia 25-60 bulan
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara asupan protein dan zink
pada anak balita stunting dan non stunting. Penelitian yang dilakukan Losong dan
Adriani (2017) di wilayah kerja Puskesmas Tambak Wedi Kecamatan Kenjeran
Surabaya pada balita usia 12-24 bulan menunjukkan terdapat perbedaan antara
asupan zat besi dan zink pada anak balita stunting dan non stunting. Hasil penelitian
lain yang dilakukan Putra (2012) menunjukkan terdapat perbedaan antara tingkat
konsumsi protein, zat besi dan zink antara balita stunting dan non stunting di
Kelurahan Kartasura Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo pada balita usia
1-5 tahun.
Tujuan penelitian ini ada tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam
penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan asupan zat gizi pangan hewani
antara baduta stunting dan non stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten
Klaten.
5
2. METODE
Penelitian ini merupakan penelitian observational dengan pendekatan cross
sectional. Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Prambanan
Kabupaten Klaten. Waktu penelitian pada bulan Februari sampai April 2019.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak bawah dua tahun yang bertempat
tinggal di wilayah kerja Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten yang telah
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Teknik sampling dalam penelitian ini
menggunakan simple random sampling dan cara pengambilan sampel dengan cara
undian. Sampel penelitian ini sebanyak 90 anak bawah dua tahun yang terdiri dari
45 baduta stunting dan 45 baduta non stunting. Varibel dalam penelitian ini adalah
asupan protein, zat besi dan zink dari pangan hewani sebagai variabel bebas dan
stunting anak baduta sebagai variabel terikat.
Pengambilan data asupan protein, zat besi dan zink diperoleh dengan
wawancara asupan makanan anak bawah dua tahun dengan mengisi formulir Semi
Quantitative Food Frequency Questionnare (FFQ) dan kemudian dianalisis dengan
menggunakan program nutrisurvey. Data PB/U diperoleh dari pengukuran dengan
menggunakan alat baby length board dengan ketelitian 0,1 cm. Hasil pengukuran
dibandingkan dengan umur untuk mengetahui status gizi berdasarkan nilai Z-Score.
Uji kenormalan menggunakan uji Kolmogorof Smirnov dengan hasil asupan
protein (p=0,168) dan asupan zink (p=0,092) yang berarti berdistribusi normal,
sedangkan asupan zat besi (p=0,007) yang berarti berdistribusi tidak normal. Uji
beda yang digunakan yaitu uji Independent sample T-test untuk asupan protein dan
asupan zink karena data berdistribusi normal dan uji Mann Whitney untuk asupan
zat besi karena data berdistribusi tidak normal. Pengujian menggunakan tingkat
kepercayaan 95% dengan menggunakan program komputer SPSS. Penelitian ini
telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan (FEKP) Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan nomer etical clearance
1992/B.1/KEPK-FKUMS/III/2019.
6
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik Orang Tua
Karakteristik orang tua baduta digolongkan berdasarkan umur,
pekerjaan dan pendidikan ibu baduta. Distribusi karakteristik orang tua
dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1.
Distribusi Karakteristik Orang Tua
Sampel
Status Gizi Anak Baduta
Stunting Non stunting
N % N %
Umur Ibu
17-25 th
26-35 th
36-45 th
Jumlah
Pekerjaan Ibu
IRT
Buruh
Wiraswasta
Pegawai swasta
PNS
Jumlah
Pendidikan Ibu
SD
SMP
SMA
PT
Jumlah
7
30
8
45
21
9
12
0
3
45
5
8
25
7
45
15.6
66.7
17.8
100
46.7
20.0
26.7
0
6.7
100
11.1
17.8
55.6
15.6
100
10
25
10
45
26
6
8
2
3
45
1
6
29
9
45
22.2
55.6
22.2
100
57.8
13.3
17.8
4.4
6.7
100
2.2
13.3
64.4
20.0
100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur ibu paling banyak
berumur 26-35 tahun yaitu 66.7% untuk anak baduta stunting dan 55.6%
untuk anak baduta non stunting. Klasifikasi umur ibu dalam penelitian ini
berdasarkan klasifikasi usia menurut Depkes RI (2009) yaitu masa remaja
akhir: 17-25 tahun, masa dewasa awal: 26-35 tahun dan masa dewasa akhir
36-45 tahun. Usia 26-35 tahun merupakan usia dewasa awal untuk ibu anak
baduta. Menurut Budiman (2013) usia dewasa memberikan kesempatan
lebih besar untuk belajar dan mengembangkan daya tangkap dan pola pikir
seseorang. Semakin bertambahnya usia maka akan semakin berkembang
7
pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperoleh
semakin meningkat. Rahardjo (2011) menyatakan bahwa usia dapat
menggambarkan kematangan seseorang dalam melakukan pengasuhan
terhadap anak (pembentukkan pola konsumsi makan) yang dapat
mempengaruhi status gizi.
Distribusi pekerjaan ibu paling banyak pada anak baduta stunting
dan non stunting adalah ibu rumah tangga yaitu 46.7% untuk anak baduta
stunting dan 57.8% untuk anak baduta non stunting. Pekerjaan ibu sangat
berkaitan erat dengan waktu yang digunakan untuk mengasuh anaknya,
sehingga ibu dapat memberikan pengasuhan yang baik (Suhendri, 2009).
Ibu yang tidak bekerja lebih baik dalam hal pengasuhan anaknya yang
artinya ibu yang tidak bekerja balitanya mempunyai status gizi lebih baik
dibandingkan dengan balita yang ibunya bekerja (Sulistyorini dan Rahayu,
2009). Ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu yang lebih banyak untuk
anaknya dibandingkan ibu yang bekerja. Ibu yang tidak bekerja akan
menyediakan makanan dengan jenis dan jumlah yang tepat, sehingga akan
mempengaruhi kualitas pemberian makanan untuk mendukung
pertumbuhan dan perkembangan anak balita (Aridiyah, 2015).
Distribusi pendidikan ibu paling banyak pada anak baduta stunting
dan non stunting adalah SMA yaitu 55.6% untuk anak baduta stunting dan
64.4% untuk anak baduta non stunting. Tingkat pendidikan ibu akan
mempengaruhi sikap dan pola pikir ibu dalam memberikan makanan kepada
anaknya. Ibu dengan pendidikan tinggi akan mencari, memperoleh dan
menerima berbagai informasi dalam memilih bahan makanan, mengolah
makanan yang sehat dan bergizi sehingga kebutuhan zat gizi anak terpenuhi
(Rozali, 2016). Pendidikan ibu juga dapat mempengaruhi status gizi anak
karena semakin tinggi pendidikan maka akan semakin tinggi pengetahuan
dan kesadarannya untuk menjaga kesehatan anaknya (Zafar dkk, 2009).
3.2 Distribusi Asupan Protein dari Pangan Hewani
Asupan protein dari pangan hewani baduta didapatkan dengan
wawancara kepada responden yaitu ibu baduta tentang asupan protein
8
baduta selama 3 bulan terakhir dengan formulir FFQ semi kuantitatif.
Distribusi sumbangan asupan protein dari pangan hewani berdasarkan status
gizi baduta menurut indeks PB/U dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Distribusi Asupan Protein dari Pangan Hewani
Asupan protein pangan
hewani
Status Gizi Anak Baduta
Stunting Non stunting
Mean
Minimal
Maksimal
6.6 ± 2.9
3.2
16.6
9.0 ± 3.2
4.0
18.1
Tabel 2. menunjukkan bahwa rata-rata asupan protein pangan
hewani pada baduta stunting sebesar 6.6 gram, angka ini lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata asupan protein pangan hewani pada baduta
non stunting yaitu sebesar 9.0 gram. Nilai standar deviasi pada baduta
stunting 2.9 lebih kecil dari non stunting yaitu 3.2, nilai asupan protein
pangan hewani minimal pada baduta stunting 3.2 gram lebih kecil dari non
stunting yaitu 4.0 gram dan nilai asupan protein pangan hewani maksimal
pada baduta stunting yaitu 16.6 gram lebih kecil dari non stunting yaitu 18.1
gram.
3.3 Distribusi Asupan Zat Besi dari Pangan Hewani
Asupan zat besi dari pangan hewani baduta didapatkan dengan
wawancara kepada responden yaitu ibu baduta tentang asupan zat besi
baduta selama 3 bulan terakhir dengan formulir FFQ semi kuantitatif.
Distribusi asupan zat besi dari pangan hewani berdasarkan status gizi baduta
menurut indeks PB/U dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.
Distribusi Asupan Zat Besi dari Pangan Hewani
Asupan zat besi pangan
hewani
Status Gizi Anak Baduta
Stunting Non stunting
Mean
Minimal
Maksimal
1.1 ± 0.7
0.2
3.3
1.7 ± 0.9
0.4
4.2
9
Tabel 3. menunjukkan bahwa rata-rata asupan zat besi pangan
hewani pada baduta stunting sebesar 1.1 mg, angka ini lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata asupan zat besi pangan hewani pada baduta
non stunting yaitu sebesar 1.7 mg. Nilai standar deviasi pada baduta stunting
0.7 lebih kecil dari non stunting yaitu 0.9, nilai asupan zat besi pangan
hewani minimal pada baduta stunting 0.2 mg lebih kecil dari non stunting
yaitu 0.4 mg dan nilai asupan zat besi pangan hewani maksimal pada baduta
stunting yaitu 3.3 mg lebih kecil dari non stunting yaitu 4.2 mg.
3.4 Distribusi Asupan Zink dari Pangan Hewani
Asupan zink dari pangan hewani baduta didapatkan dengan
wawancara kepada responden yaitu ibu baduta tentang asupan zink baduta
selama 3 bulan terakhir dengan formulir FFQ semi kuantitatif. Distribusi
asupan zink dari pangan hewani berdasarkan status gizi baduta menurut
indeks PB/U dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4.
Distribusi Asupan Zink dari Pangan Hewani
Asupan zink pangan
hewani
Status Gizi Anak Baduta
Stunting Non stunting
Mean
Minimal
Maksimal
0.9 ± 0.5
0.1
2.3
1.3 ± 0.7
0.4
3.2
Tabel 4. menunjukkan bahwa rata-rata asupan zink pangan hewani
pada baduta stunting sebesar 0.9 mg, angka ini lebih rendah dibandingkan
dengan rata-rata asupan zink pangan hewani pada baduta non stunting yaitu
sebesar 1.3 mg. Nilai standar deviasi pada baduta stunting 0.5 lebih kecil
dari non stunting yaitu 0.7, nilai asupan zink pangan hewani minimal pada
baduta stunting 0.1 mg lebih kecil dari non stunting yaitu 0.4 mg dan nilai
asupan zink pangan hewani maksimal pada baduta stunting yaitu 2.3 mg
lebih kecil dari non stunting yaitu 3.2 mg.
10
3.5 Distribusi Sumbangan Asupan Protein dari Pangan Hewani
Sumbangan asupan protein dari pangan hewani baduta didapatkan
dengan wawancara kepada responden yaitu ibu baduta tentang asupan
protein baduta selama 3 bulan terakhir dengan formulir FFQ semi kuantitatif
kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada usia
1-3 tahun. Distribusi sumbangan asupan protein dari pangan hewani
berdasarkan status gizi baduta menurut indeks PB/U dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5.
Distribusi Sumbangan Asupan Protein dari Pangan Hewani
Kategori sumbangan
asupan protein
Status Gizi Anak Baduta
Stunting Non stunting
N % N %
Tidak cukup
Cukup
Jumlah
15
30
45
33.3
66.7
100
3
42
45
6.7
93.3
100
Distribusi pada Tabel 5. menunjukkan bahwa sumbangan asupan
protein pangan hewani paling tinggi pada anak baduta stunting dan anak
baduta non stunting adalah tingkat konsumsi protein cukup (≥20% dari
AKG) yaitu 66.7% pada anak baduta stunting lebih rendah dari anak baduta
non stunting yaitu 93.3%.
3.6 Distribusi Sumbangan Asupan Zat Besi dari Pangan Hewani
Sumbangan asupan zat besi dari pangan hewani baduta didapatkan
dengan wawancara kepada responden yaitu ibu baduta tentang asupan zat
besi baduta selama 3 bulan terakhir dengan formulir FFQ semi kuantitatif
kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada usia
1-3 tahun. Distribusi sumbangan asupan zat besi berdasarkan status gizi
baduta menurut indeks PB/U dapat dilihat pada Tabel 6.
11
Tabel 6.
Distribusi Sumbangan Asupan Zat Besi dari Pangan Hewani
Kategori sumbangan
asupan zat besi
Status Gizi Anak Baduta
Stunting Non stunting
N % N %
Kurang
Cukup
Baik
Jumlah
4
11
30
45
8.9
24.4
66.7
100
0
8
37
45
0
17.8
82.2
100
Distribusi pada Tabel 6. menunjukkan bahwa sumbangan asupan zat
besi pangan hewani paling tinggi pada anak baduta stunting dan anak baduta
non stunting adalah tingkat konsumsi zat besi baik (>10% dari AKG) yaitu
66.7% pada anak baduta stunting lebih rendah dari anak baduta non stunting
yaitu 82.2%.
3.7 Distribusi Sumbangan Asupan dari Pangan Hewani
Sumbangan asupan zink dari pangan hewani baduta didapatkan
dengan wawancara kepada responden yaitu ibu baduta tentang asupan zink
baduta selama 3 bulan terakhir dengan formulir FFQ semi kuantitatif
kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada usia
1-3 tahun. Distribusi sumbangan asupan zink berdasarkan status gizi baduta
menurut indeks PB/U dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7.
Distribusi Sumbangan Asupan Zink dari Pangan Hewani
Kategori sumbangan
asupan zink
Status Gizi Anak Baduta
Stunting Non stunting
N % N %
Kurang
Cukup
Baik
Jumlah
2
7
36
45
4.4
15.6
80.0
100
0
4
41
45
0
8.9
91.1
100
12
Distribusi pada Tabel 7. menunjukkan bahwa sumbangan asupan
zink pangan hewani paling tinggi pada anak baduta stunting dan anak baduta
non stunting adalah tingkat konsumsi zink baik (>10% dari AKG) yaitu
80.0% pada anak baduta stunting lebih rendah dari anak baduta non stunting
yaitu 91.1%.
3.8 Perbedaan Asupan Protein Pangan Hewani antara Baduta Stunting
dan Non Stunting
Hasil dari uji perbedaan asupan protein pangan hewani antara baduta
stunting dan non stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten dapat
dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8.
Perbedaan Asupan Protein Pangan Hewani antara Baduta Stunting dan
Non Stunting
Asupan protein Status Gizi Anak Baduta Sig (p)
Stunting Non stunting
Mean
Minimal
Maksimal
6.6 ± 2.9
3.2
16.6
9.0 ± 3.2
4.0
18.1
0.000
Tabel 8. menunjukkan bahwa hasil analisis uji Independent sample
T-test, diperoleh hasil dengan p-value sebesar 0.000 yang berarti ada
perbedaan asupan protein pangan hewani antara baduta stunting dan non
stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Prakoso (2015) yang dilakukan di Desa Kopen
Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali pada balita usia 24-59 bulan
menyatakan bahwa ada perbedaan tingkat konsumsi protein antara anak
balita stunting dan non stunting. Hasil penelitian Adani dan Nindya (2017)
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara asupan protein
anak balita stunting dan non stunting pada balita usia 25-60 bulan.
Penelitian lain yang dilakukan Aguayo et al (2016) yang dilakukan di India,
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi pemberian makan
yang kurang seperti konsumsi telur, produk susu yang mana tinggi protein
13
dengan pertumbuhan yang buruk dan stunting pada anak-anak berusia 6-23
bulan.
Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian
terbesar tubuh sesudah air. Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat
digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan
jaringan tubuh (Almatsier, 2010). Angka kecukupan protein tergantung dari
macam dan jumlah bahan makanan nabati dan hewani yang dikonsumsi
manusia setiap harinya (Kartasapoetra, 2010). Bahan makanan hewani
merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun mutunya,
seperti: telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang (Almatsier, 2010).
Pangan hewani mengandung sumber protein yang terdiri dari asam amino
esensial yang lengkap susunannya yang mendekati apa yang diperlukan oleh
tubuh kita, sehingga sumber protein dari pangan hewani lebih baik daripada
protein dari pangan nabati (Astawan, 2008).
Kualitas dan kuantitas asupan protein yang baik dapat berfungsi
sebagai Insulin growth factor 1 (IGF-1) yang merupakan mediator dari
hormon pertumbuhan dan pembentuk matriks tulang (Mikhail et al, 2013).
Asupan protein yang kurang dapat merusak massa mineral tulang dengan
cara merusak produksi IGF-1, yang mempengaruhi pertumbuhan tulang
dengan merangsang poliferasi dan diferensiasi kondrosit di lempeng epifisi
pertumbuhan dan akan memengaruhi osteoblas (Sari dkk, 2016). Hal
tersebut berarti bahwa jika balita kekurangan asupan protein dapat
menyebabkan pertumbuhan linier terganggu dan mengakibatkan stunting.
Kekurangan protein pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor dan
gangguan pertumbuhan tulang pada anak-anak dibawah lima tahun
(Almatsier, 2010).
3.9 Perbedaan Asupan Zat Besi Pangan Hewani antara Baduta Stunting
dan Non Stunting
Hasil dari uji perbedaan asupan zat besi pangan hewani antara
baduta stunting dan non stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten
Klaten dapat dilihat pada Tabel 9.
14
Tabel 9.
Perbedaan Asupan Zat Besi Pangan Hewani antara Baduta Stunting dan
Non Stunting
Asupan zat besi Status Gizi Anak Baduta Sig (p)
Stunting Non stunting
Mean
Minimal
Maksimal
1.1 ± 0.7
0.2
3.3
1.7 ± 0.9
0.4
4.2
0.000
Tabel 9. menunjukkan bahwa hasil analisis uji Mann Whitney,
diperoleh hasil dengan p-value sebesar 0.000 yang berarti ada perbedaan
asupan zat besi pangan hewani antara baduta stunting dan non stunting di
Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Losong dan Adriani (2017) yang dilakukan di wilayah
kerja Puskesmas Tambak Wedi Kecamatan Kenjeran Surabaya pada balita
usia 12-24 bulan menunjukkan terdapat perbedaan antara asupan zat besi
pada anak balita stunting dan non stunting. Penelitian yang dilakukan Putra
(2012) menunjukkan terdapat perbedaan antara tingkat konsumsi zat besi
antara balita stunting dan non stunting di Kelurahan Kartasura Kecamatan
Kartasura Kabupaten Sukoharjo pada balita usia 1-5 tahun. Hasil penelitian
lain yang dilakukan Rivera dkk (2003) menyatakan bahwa suplementasi
besi, seng dan vitamin A dapat meningkatkan pertumbuhan balita yang
kualitas dietnya buruk.
Zat besi adalah salah satu mineral mikro yang terbanyak dalam
tubuh manusia. Zat besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu
heme dan non heme. Besi heme ditemukan dalam produk hewani, terutama
daging, ikan, dan unggas. Besi heme memiliki tingkat absorbsi yang tinggi
karena penyerapannya tidak dihambat oleh bahan penghambat. Sekitar 50%
hingga 60% dari zat besi dalam daging, ikan, dan unggas adalah besi heme,
sisanya besi non heme. Besi non heme terdapat dalam tumbuh-tumbuhan,
seperti kacang, buah, sayuran, biji-bijian, tahu (Gropper & Smith, 2012).
Pangan hewani mempunyai kandungan Fe yang lebih baik daripada pangan
nabati. Zat besi pangan hewani mudah diserap antara 10-20%, Zat besi dari
15
pangan nabati hanya dapat diserap antara1-5%. Zat besi pada sayur diserap
1%, sedangkan zat besi pada ikan dapat diserap dalam jumlah lebih besar
yaitu 11% (Astawan, 2008).
Asupan zat besi disimpan dalam otot dan sumsum tulang belakang.
Jika kecukupan zat besi inadekuat, maka simpanan zat besi pada sumsum
tulang belakang yang digunakan untuk memproduksi Hemoglobin (Hb)
menurun. Hb berfungsi sebagai pembawa oksigen dari paru-paru keseluruh
tubuh. Apabila Hb menurun, eritrosit protoporfirin bebas akan meningkat
yang akan mengakibatkan sintesis heme berkurang dan ukuran eritrosit akan
mengecil (eritrosit mikrositik). Kondisi yang seperti ini akan
mengakibatkan anemia besi (Zhang et al, 2011). Selain dapat menyebabkan
anemia besi, defisiensi besi dapat menurunkan kemampuan imunitas tubuh,
sehingga penyakit infeksi mudah masuk kedalam tubuh. Anemia besi dan
penyakit infeksi yang berkepanjangan akan berdampak pada pertumbuhan
linier anak (Soliman et al, 2014).
3.10 Perbedaan Asupan Zink Pangan Hewani antara Baduta Stunting
dan Non Stunting
Hasil dari uji perbedaan asupan zink pangan hewani antara baduta
stunting dan non stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10.
Perbedaan Asupan Zink Pangan Hewani antara Baduta Stunting dan Non
Stunting
Asupan zink Status Gizi Anak Baduta Sig (p)
Stunting Non stunting
Mean
Minimal
Maksimal
0.9 ± 0.5
0.1
2.3
1.2 ± 0.7
0.4
3.2
0.003
Tabel 10. menunjukkan bahwa hasil analisis uji Independent sample
T-test, diperoleh hasil dengan p-value sebesar 0.003 yang berarti ada
perbedaan asupan zink pangan hewani antara baduta stunting dan non
stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten. Hasil penelitian ini
16
sejalan dengan penelitian Adani dan Nindya (2017) yang dilakukan di
Kelurahan Manyar Sabrangan Surabaya pada balita usia 25-60 bulan
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara asupan zink pada
balita stunting dan non stunting. Hasil penelitian Losong dan Adriani (2017)
yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Tambak Wedi Kecamatan
Kenjeran Surabaya pada balita usia 12-24 bulan menunjukkan terdapat
perbedaan antara asupan zink pada anak balita stunting dan non stunting.
Penelitian lain yang dilakukan Mikhail, dkk (2013) bahwa kekurangan
asupan mikronutrien seperti kalsium, zink, magnesium, dan vitamin A dapat
menghambat pertumbuhan sehingga menyebabkan terjadinya stunting pada
anak usia 0-4 tahun di Mesir.
Zink sangat berkaitan dengan metabolisme tulang, sehingga sangat
penting dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan (Anindita, 2012).
Pangan hewani mempunyai nilai absorpsi seng yang lebih tinggi daripada
pangan nabati. Sumber seng yang memiliki nilai absorpsi tinggi berasal dari
daging dan susu (Solomons, 1993). Beberapa zat seperti asam sitrat, asam
palmitat dan asam pikolinik dapat meningkatkan penyerapan seng,
sedangkan fitat (inositol heksafosfat) dan serat (selulosa) menghambat
absorpsi seng. Susu dan produknya merupakan sumber seng yang penting
bagi bayi dan anak-anak. Air susu ibu mengandung protein ligand yang
spesifik untuk seng, disamping asam sitrat, asam palmitat, dan asam
picolinic yang dapat meningkatkan absorpsi seng. Bahan pangan nabati
banyak mengandung asam fitat dan serat (selulosa) yang dapat menghambat
absorpsi seng (Taylor et al, 1991).
Asupan zink yang terdapat pada pangan hewani juga memiliki peran
yang sangat penting terhadap pertumbuhan manusia karena mempunyai
struktur dan peran dibeberapa sistem enzim yang terlibat dalam
pertumbuhan fisik, imunologi dan fungsi reproduksi. Apabila terjadi
kekurangan zink maka dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik pada anak-
anak (Abunada, et al 2013). Hormon-hormon penting yang berhubungan
dengan zink yang terlibat dalam pertumbuhan tulang seperti samatomedin-
17
c, osteocalcin, testosteron, hormon tiroid dan insulin. Zink juga dapat
mempercepat efek vitamin D terhadap metabolisme tulang dengan stimulasi
sintesis DNA di sel-sel tulang. Zink sangat berkaitan dengan metabolisme
tulang, sehingga sangat penting dalam tahap pertumbuhan dan
perkembangan (Anindita, 2012).
Protein hewani terutama daging, hati, kerang, dan telur merupakan
sumber zink yang paling baik (Almatsier, 2010). Dampak apabila
kekurangan zink akan terjadi menurunnya ketajaman indera perasa,
melambatnya penyembuhan luka, gangguan pertumbuhan, penurunan
kematangan seksual, gangguan pembentukan IgG, dan gangguan
homeostatis (Siswanto, et al 2013). Dampak lain apabila kekurangan zink
yaitu dapat meningkatkan resiko diare dan infeksi saluran nafas (Anindita,
2012).
4. PENUTUP
Ada perbedaan asupan protein pangan hewani antara baduta stunting dan non
stunting di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten dengan nilai (p=0.000). Ada
perbedaan asupan zat besi pangan hewani antara baduta stunting dan non stunting
di Puskesmas Prambanan Kabupaten Klaten dengan nilai (p=0.000). Ada perbedaan
asupan zink pangan hewani antara baduta stunting dan non stunting di Puskesmas
Prambanan Kabupaten Klaten dengan nilai (p=0.003)
PERSANTUNAN
Terimakasih kepada Ibu Susi Dyah Puspowati, SP., M.Si., selaku Dosen
Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, nasehat, waktu dan masukan
kepada penulis selama proses pembuatan skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abunada, S., Jalambo, O., Ramadan, dan Zabut. 2013. “Nutritional assessment of
zinc among adolescents in the Gaza Strip-Palestine”. Journal of
Epidemiology, pp.105-10.
18
Adani, F. Y., dan Nidya, T. S. 2017. “Perbedaan Asupan Energi, Protein, Zink dan
Perkembangan Pada Balita Stunting dan Non Stunting”. Skripsi. Surabaya:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
Aguayo, V. M., Nair, R., Badgaiyan, N., dan Krishna, V. 2016. “Determinants of
Stunting and Poor Linear Growth in Children Under 2 Years of Age in India:
An in-Depth Analysis of Maharashtra’s Comprehensive Nutrition Survey”.
Maternal and Child Nutrition. Doi: 10.1111/mcn.12259.
Almatsier, S. 2010. “Prinsip Dasar Ilmu Gizi”. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Angka Kecukupan Gizi (AKG). 2013. Jakarta.
Anindita, P. 2012. “Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga,
Kecukupan Protein dan Zinc dengan Stunting (Pendek) Pada Balita Usia 6-
35 Bulan di Kecamatan Tembalang Kota Semarang”. Skripsi. Semarang:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro.
Aridiyah, F. O., Rohmawati, N., Ririanty, M. 2015. “Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan
dan Perkotaan (The Factors Affecting Stunting on Toddlers in Rurals and
Urban Areas)". E-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 3 (1).
Astawan, M. 2008. “Sehat dengan Hidangan Hewani”. Penebar Swadaya: Depok.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes). 2018. “Hasil Utama
Riskesdas 2018”. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta.
Brown, J. E. 2008. “Nutrition Through the Life Cycle, Fourth Edition”. Belmont:
Thomson Wadswoth.
Budiman, R. 2013. “Kapita Selekta Kuesioner”. Salemba Medika: Jakarta.
Depkes RI. 2009. “Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008”. Jakarta.
_________. 2014. “Pedoman Gizi Seimbang”. Kementerian Kesehatan RI.
Available at http://gizi.depkes.go.id. (diakses pada tanggal 5 Oktober 2018):
Jakarta.
Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten. 2017. “Hasil Pemantauan Status Gizi Balita”.
Klaten.
Gropper, S. S., Smith, J. L., dan Groff, J. L. 2012. “Advence Nutrition and Human
Metabolism”. Fifth ed. Belmon, Wadsworth, Cengange Learning: USA.
19
Hoffman, D. J., Sawaya, A. L., Verreschi, I., Tucker, K. L., Roberts, S. B. 2000.
“Why Are Nutritionally Stunted Children at Increased Risk of Obesity?
Studies of Metabolic Rate and Fat Oxidation in Shantytown Children from
São Paulo, Brazil. Am J Clin Nutrition 72:702–7.
Hutapea. 2010. “Biosintesis metabolic Skunder Edisi Kedua”. Terjemahan oleh
Bambang Srigandono. IKIP semarang Press: Semarang.
Kartasapoetra, M. M. 2010. “Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktivitas
Kerja)”. Rineka Cipta: Jakarta.
Khomsan, A. 2010. “Pangan dan Gizi untuk Kesehatan”. Rajagrafindo Persada:
Jakarta.
Lanham-New, S. A., MacDonald, I. A., dan Roche, H. M. 2015. “Metabolisme Zat
Gizi (Nutritional and Metabolism)”. EGC: Jakarta.
Losong, N. H. F., dan Adriani, M. 2017. “Perbedaan Kadar Hemoglobin, Asupan
Zat Besi, dan Zinc pada Balita Stunting dan Non Stunting”. Skripsi.
Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
Mikhail, W. Z. A., Sobhy, H. M., El-sayed, H. H., Khairy, S. A., Salem, H. Y. A.,
dan Samy, M. A. 2013. “Effect of Nutritional Status on Growth Pattern of
Stunted Preschool Children in Egypt”. Academic Journal of Nutrition 2 (1):
01-09.
Prakoso, B. A. 2015. “Perbedaan Tingkat Konsumsi Energi Protein Vitamin A dan
Perilaku KADARZI pada Anak Balita Stunting dan Non Stunting di Desa
Kopen Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali”. Skripsi. Surakarta: Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pudyani, S. 2005. “Reversibilitas Klasifikasi Tulang Akibat Kekurangan Protein
Pre dan Post Natal”. Yogyakarta.
Putra, P. T. A. 2012. “Perbedaan Tingkat Konsumsi Energi, Protein dan Zat Gizi
Mikro Antara Anak Balita Stunting dan Non Stunting di Kelurahan Kartasura
Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo”. Skripsi. Surakarta: Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Rahardjo, S. 2011. “Karakteristik Keluarga yang Berhubungan dengan Status Gizi
Balita Umur 6-59 Bulan”. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Rozali, N. A. 2016. “Peranan Pendidikan Pekerjaan Ibu dan Pendapatan Keluarga
terhadap Status Gizi Balita di Posyandu RW 24 dan 08 Wilayah Kerja
Puskesmas Nusukan Kota Surakarta”. Skripsi. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
20
Rudolf, M., dan Levene, M. 2010. “Pediatric and Child Health”. Edisi ke-2
Blackwel Publishing.
Siswanto., Budisetyawati., dan Ernawati, F. 2013. “Peran Beberapa Zat Gizi Mikro
dalam Sistem Imunitas”. Gizi Indon , 36(1), pp.57-64.
Soliman, A. T., Sanctis, V. D., dan Kalra, S. 2014. “Anemia and Growth”. Indian
Journal of Endocrinology and Metabolism 18.Suppl 1: S1–S5.
Solomons, N. W. 1993. Zinc. Dalam: Macrae R, Robinson RK, Sadler MJ, eds.
“Encyclopedia of food science, food technology and nutrition”. Academic
Press 4980-94: London.
Suhardjo. 2008. “Perencanaan Pangan dan Gizi”. Bumi Aksara: Jakarta.
Suhendri, U. 2009. “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi di Bawah
Lima Tahun di Puskesmas Sepatan Kecamatan Sepatan Kabupaten
Tangerang Tahun 2009”. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Sulistyorini, E dan Rahayu, T. 2009. “Hubungan Pekerjaan Ibu Balita Terhadap
Status Gizi Balita di Posyandu Prima Sejahtera Desa Pandean Kecamatan
Ngemplak Kabupaten Boyolali Tahun 2009”. Skripsi. Boyolali: Akbid Estu
Utomo.
Supariasa, I. D. N., Bakri, B., dan Fajar, I. 2012. “Penilaian Status Gizi”. Buku
Kedokteran EGC: Jakarta.
Taylor, C. M., Bacon, J. R., dan Aggett, P. J. 1991. “Homeostasis regulation of zinc
absorption and endogenous lossess in zinc deprived man”. Am J Clin Nutr
53:755-63.
World Health Organization (WHO). 2010. “Nutrition Landscape Information
System (NLIS) Country Profile Indicators: Interpretation Guide”. Geneva:
World Health Organization.
Zafar, S., Yasin, H. S., dan Siddiqi, A. 2009. “Early Childhood Caries: Etiology,
Clinical Considerations, Consequences and Management”. Clinical Nutrition
Journal.
Zhang, J., Shi, J., Himes, J. H., Du, Y., Yang, S., Shi, S., dan Zhang, J. 2011.
“Undernutrition status of children under 5 years in Chinese rural areas – data
from the National Rural Children Growth Standar Survey”. Asia Pasific J
Clin Nutrition; 20(4): 584-592.