PERNIKAHAN JAMAAH THARIQAH NAQSYABANDIYAH
DI DESA PAREBAAN KECAMATAN GANDING
KABUPATEN SUMENEP
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
KHOERUN NISATUL PAHMIYANTI
NIM. 11150440000033
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 /1440 H
iv
ABSTRAK
Khoerun Nisatul Pahmiyanti. NIM 11150440000033. Pernikahan
Jamaah Thariqah Naqsyabandiyah di Desa Parebaan Kecamatan Ganding
Kabupaten Sumenep. Skripsi, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440
H/2019 M. (xii- 83 halaman + 41 lampiran).
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan pernikahan thariqah
di Desa Parebaan, faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya pernikahan
thariqah, serta tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan pernikahan thariqah.
Penulis menggunakan dua jenis penelitian, yaitu Penelitian Lapangan (Field
Research) dan Penelitian Pustaka (Library Research), dengan pendekatan
kualitatif, bersifat analis deskriptif dengan teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah wawancara, dokumentasi dan studi pustaka.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pelaksanaan pernikahan thariqah
memiliki rukun dan syarat yang sangat berbeda terhadap ajaran syariat Islam, di
mana dalam rukun dan syarat pernikahannya meliputi: sighat (ijab qabul), calon
mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, tidak adanya wali dan saksi
nikah, dan mahar yang hanya berbentuk syahadat atau lantunan ayat suci Al-
Qur’an. Selain itu faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya pernikahan
thariqah yaitu menghindari maksiat (zina), dan juga adanya pernikahan thariqah
ini sebagai alternatif pernikahan yang tidak berbelit (sulit) agar tersalurkannya
hasrat seseorang yang ingin menikah dan terhindar daripada perbuatan yang
dilarang oleh Allah (zina). Tinjauan hukum Islam mengenai pelaksanaan
pernikahan thariqah ialah pengakuan Ahlu Thariqah yang memegang teguh ajaran
Ulama Hanafiyah, tetapi setelah diuji keabsahan rukun dan syarat pernikahan
menurut pendapat fuqaha menyatakan mereka tidak murni bermazhab Hanafi,
karena adanya penggabungan mazhab (Talfiq) di dalam salah satu rukun dan
syarat pernikahan, penggabungan mazhab tersebut terkait dengan syahadat atau
lantunan ayat suci Al-Qur’an yang bertentangan dengan Hanafiyah. Mereka lebih
mengacu pada Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Adanya pengharaman talfiq
tersebut karena Ahlu Thariqah tidak menggunakan dalil atau nash yang ada,
melainkan hanya menggunakan logika dalam penerapan mahar pernikahannya.
Dengan demikian pernikahan thariqah sangat bertolak belakang dengan
pernikahan yang telah diajarkan dalam syariat Islam. Pernikahan yang dianggap
sebagai alternatif (mempermudah) pelaksanaannya dan supaya terhindar dari
perbuatan zina justru sebaliknya membuat kerusakan pada tatanan hukum Islam.
Kata Kunci : Pernikahan Thariqah, Hukum Islam, Desa
Parebaan. Pembimbing : Dr. Mesraini, M.Ag..
DaftarPustaka : 1966-2018.
v
KATA PENGANTAR
Segala puja-puji syukur bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam, yang
telah melipmpahkan segala limpahan rahmat, hidayah, dan taufiq-Nya di
dunia ini, terkhusus kepada penulis. Dan dengan izin dan ridho-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: Pernikahan Thariqah Ditinjau
Dari Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Parebaan Kecamatan Ganding
Kabupaten Sumenep Jawa Timur) Sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan studi pada Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan seluruh
umatnya.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan
motivasi dari berbagai sehingga segala kesulitan dan hambatan dapat diatasi
dan tentunya dengan izin Allah SWT. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga untuk semua
pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil sehingga
terselesaikan skripsi ini, khususnya kepada:
1. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Indra Rahmatullah, SH.I., MH.
Ketua dan Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga.
3. Dr. Mesraini, M.Ag, sebagai dosen pembimbing skripsi penulis
yang dengan sabar dan ikhlas meluangkan waktu untuk
membimbing dan memberikan arahan serta saran-saran kepada
penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
vi
4. Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum. Dosen Penasehat Akademik yang
selalu bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan masukan
dan saran bagi penulis hingga terselesaikan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
mendidik dan memberikan ilmu yang berharga kepada penulis
beserta seluruh staf dan karyawan yang telah memberikan
pelayanan terpadu selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Kepada yang terisitimewa kedua orang tua penulis, Ayahanda dan
Ibunda yang bernama (Bapak Khamim dan Ibu Dasopah), yang
telah begitu banyak mencurahkan perhatian, pengorbanan serta
kasih sayangnya yang tiada bandingannya di dunia ini dan adikku
(Khafidzoh Lailatul Hasanah), tempat bercanda dan berbagi di
waktu luang maupun sempit.
7. Sahabat seperjuangan Anita Kurnia Damayanti, Khusnul Ma‟arif,
Ilham Ramdhani Rahmat, Nurdiana Ramadhan, Helma Suryani,
Luthfi Zakaria, Iqbal Farisi, Tyas Puji Istanti, Kahfil Waro, Sinta
Felisia Agnes, Ahmad Zulfi Aufar yang selalu memberikan
semangat dan warna kepada penulis. Semoga Allah selalu meridhai
persahabatan kita. Terima kasih untuk segala kenangan yang telah
terukir, semoga persahabatan kita tak berhenti sampai disini.
8. Keluarga besar HMI Hukum Keluarga, Sahabat seperjuangan.
Sahabat Kecil Hukum Keluarga-A angkatan 2015, terkhusus
keluarga ELKAMASY, teman-teman Himpunan Mahasiswa
Bogor, teman-teman Himpunan Qari Qariah Mahasiswa, keluarga
vii
Pondok Pesantren Luhur Sabilussalam, Ikatan Pelajar Perempuan
Nahdhatul Ulama cabang kota Bogor, Terimakasih untuk canda
tawa cerita yang selalu hadir dan akan selalu ada ayunan rindu
untuk kalian semua. Semoga silaturahmi kita tetap terjaga sampai
kapanpun.
9. Mereka yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah
membantu dan memberikan doa, semangat serta motivasi kepada
penulis.
Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih perlu perbaikan. Oleh
karena itu, kritik dan saran akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca dan
umumnya serta dicatat menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Amin.
Ciputat, 8 Juli 2019
Ttd.
Khoerun Nisatul. P
Penulis
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum
dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih
terbatas.
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te خ
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet س
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
Z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qo ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
ix
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrop ˋ ء
Y Ya ي
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau
monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
A fathah
I kasrah
U dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai
berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
Ai a dan i ي
Au a dan u و
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
 a dengan topi di
atas
Î i dengan topi di
atas
Û u dengan topi di
atas
Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam (ال),
x
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf
qomariyyah. Misalnya:
al-ijtihâd =اإلجتهاد
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah =الزخصح
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
.al-syuf’ah tidak ditulis asy-syuf’ah =الشفعح
Dalam penulisan ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbȗtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
syarî’ah شزيعح 1
al-syarî’ah al-islâmiyyah الشزيعح اإلسالميح 2
muqâranat al-madzâhib مقارنح المذاهة 3
Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam
transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: الثخاري
= al-Bukhâri tidak ditulis Al- Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan berpedoman
xi
pada ketentuan-ketentuan diatas:
No Kata Arab Alih Aksara
al-darûrah tubîhu al-mahzûrât الضزورج تثيح المحظىراخ 1
al-iqtisâd al-islâmî االقتصاد اإلسالمي 2
usûl al-fiqh أصىل الفقه 3
al-„asl fî al-asyya al-ibâhah األصل في األشياء اإلتاحح 4
al-maslahah al-mursalah المصلحح المزسلح 5
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. .i
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................iii
ABSTRAK ................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. .v
PEDOMAN LITERASI..............................................................................viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, Perumusan Masalah ................... 3
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 4
E. Tinjauan (review) Studi Terdahulu ...................................... 5
F. Metode Penelitian ................................................................ 7
G. Sistematika Penulisan .......................................................... 9
BAB II KETENTUAN PERNIKAHAN MENURUT FUQAHA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan ........................... 11
B. Rukun dan Syarat Pernikahan ............................................. 16
C. Hikmah dan Tujuan Pernikahan .......................................... 41
xiii
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG AHLU THARIQAH DAN
PRAKTIK PERNIKAHAN JAMAAH THARIQAH
NAQSYABANDIYAH DI DESA PAREBAAN
A. Deskripsi Singkat Ahlu Thariqah di Parebaan .................... 43
1. Desa Parebaan ............................................................... 43
2. Ahlu Thariqah ................................................................ 44
B. Praktik Pernikahan Thariqah di Parebaan ........................... 50
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK
PERNIKAHAN JAMAAH THARIQAH NAQSYABANDIYAH
DI PAREBAAN
A. Sighat dalam Pernikahan Thariqah ..................................... 55
B. Ketiadaan Wali dalam Pernikahan Thariqah ...................... 58
C. Ketiadaan Saksi dalam Pernikahan Thariqah...................... 64
D. Calon Mempelai Laki-laki dan Perempuan dalam
Pernikahan Thariqah ........................................................... 67
E. Syahadat Sebagai Mahar dalam Pernikahan Thariqah ........ 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 76
B. Saran .................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 79
LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................... 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Desa Parebaan Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep Jawa
Timur, terdapat suatu bentuk pernikahan yang dikenal dengan istilah
“Pernikahan Jamaah Thariqah Naqsyabandiyah”. Dalam pelaksanaannya
pernikahan ini hanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang akan
melangsungkan pernikahan tanpa adanya wali nikah dan saksi.1
Pernikahan Jamaah Thariqah Naqsyabandiyah ini cukup populer di
kalangan masyarakat Parebaan. Keberadaan paham ini memang berbeda
dengan paham pernikahan yang dianut oleh masyarakat sekitar. Sebagaimana
yang kita ketahui, hukum Islam telah mengatur tentang masalah pernikahan
yang harus memenuhi rukun dan syarat sahnya pernikahan. Jumhur ulama
sepakat bahwa rukun pernikahan terdiri atas: sighat (ijab dan qobul), adanya
wali, adanya dua orang saksi, calon pengantin laki-laki maupun calon
pengantin perempuan.2
Sebagaimana penamaan terhadap pernikahan ini adalah “Pernikahan
Jamaah Thariqah Naqsyabandiyah”, yang juga diambil dari golongan yang
berijtihad untuk membuat suatu model pernikahan baru tersebut, yaitu
golongan yang menamakan dirinya sebagai Ahlu Thariqah, sehingga dalam
praktiknya mempunyai perbedaan yang substansial dengan pernikahan yang
sudah diatur oleh syari’at Islam.3 Dalam praktiknya Nikah Thariqah ini tidak
memerlukan wali nikah dan saksi dalam pernikahan. Salah satu tata cara yang
membedakan antara Nikah Thariqah dan pernikahan Islam pada umumnya
adalah prosesi akad di mana Nikah Thariqah hanya dilakukan oleh kedua
mempelai di tempat yang sepi, tanpa ada wali nikah dan saksi, yang diawali
1 Ali Al-Hinduniyyah, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 02 Desember
2018 2 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), h. 46-
47 3 Mohammad Baihaqi, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Ketawang Parebaan, 02
Desember 2018.
2
dengan jabat tangan sambil memejamkan mata dan mengucapkan akad, yang
dihadiri oleh pengantin laki-laki dan perempuan, serta Habib Ahlu Thariqah.
Pernikahan ini berlangsung atas dasar asas suka sama suka dan bertujuan agar
terhindar dari perbuatan zina diantara keduanya.4
Pada dasarnya masyarakat Parebaan adalah masyarakat agamis yang
menjadikan agama Islam sebagai keyakinannya, dan secara akademik
masyarakat Parebaan mayoritas alumni pondok pesantren. Hal ini dibuktikan
dengan adanya beberapa Pondok Pesantren Salaf yang mengapit desa tersebut,
sehingga pemahaman mereka terhadap masalah keagamaan sangat dominan,
dan bisa dibilang masyarakat Parebaan adalah masyarakat yang mengenyam
pendidikan agama mulai sejak lahir sampai menjelang hayatnya, karena
keaktifan mereka dalam mendalami kajian di dalam pondok baik yang sifatnya
Nyolok5 maupun yang menetap di pondok sebagai Nyantre.
6
Dilihat dari aspek amalan ubudiyah mereka mayoritas adalah paham
syafi’iyah, yang sudah ditanamkan sejak lahir dan sudah mendarah daging
sebagaimana ajaran yang ditetapkan oleh pondok tersebut, utamanya dalam
masalah perkawinan.7 Walaupun demikian ada beberapa masyarakat yang
masih berani melawan arus dari apa yang telah didapatnya sewaktu menjadi
santri pondok (Nyantre). Seperti keyakinan yang telah ditanamkan oleh
gurunya dan masyarakat sekitar.8 Dalam masalah ini pelaku Nikah Thariqah
bahkan sebagian besar adalah mantan ustadz semasa di pondoknya dahulu dan
sebelumnya telah mempunyai keluarga melalui pernikahan paham aliran
syafi’iyah.9
4 Moh. Khoiri, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Ketawang Parebaan, 23
November 2018. 5 Yang dimaksud dengan Nyolok adalah santri yang tempat tinggalnya tidak menginap di
pondok (pulang pergi). 6 Yang dimaksud dengan Nyantre adalah santri yang tempat tinggalnya menginap di pondok.
7 Affandi M, Adat dan Upacara Perkawinan Suku Madura, Jurnal Argapuara, Vol.18 1998,
h. 71. 8 Mohammad Toha, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Ketawang Parebaan, 02
Desember 2018. 9 Masyhudi, Tokoh Agama Golongan Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 02
Desember 2018.
3
Munculnya Nikah Thariqah di Parebaan belum mendapatkan perhatian
secara khusus dari masyarakat dan pemerintah, para pelaku nikah thariqah pun
tidak mendapatkan kecaman sosial dari masyarakat. Padahal apabila ditinjau
secara umum dari ajaran fuqaha mazhab, terkesan bahwa praktik pernikahan
thariqah tersebut tidak sesuai dengan fiqih mazhab yang ada, hal ini dilihat
dari ketiadaan wali, ketiadaan saksi dan mahar yang hanya berbentuk
pengucapan kalimat syahadat atau lantunan ayat suci Al-Qur’an.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam
bagaimana praktik pernikahan thariqah ini sesungguhnya dilakukan dan
bagaimana hukumnya apabila dibedah dari hukum Islam. Hal tersebut akan
dikaji dalam bentuk penelitian skripsi dengan judul “Pernikahan Jamaah
Thariqah Naqsyabandiyah di Desa Parebaan Kecamatan Ganding Kabupaten
Sumenep Jawa Timur”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
a. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diambil beberapa
persoalan yang berhubungan dengan pernikahan thariqah di Desa Parebaan
Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep:
1. Apa faktor yang melatarbelakangi adanya pernikahan thariqah?
2. Apakah masyarakat desa Parebaan lebih memilih pernikahan thariqah
atau melalui KUA setempat?
3. Bagaimana praktik pernikahan thariqah di masyarakat Parebaan?
4. Bagaimana hukum Islam memandang pernikahan thariqah di desa
Parebaan tersebut?
b. Pembatasan Masalah
Batasan dalam penelitian ini adalah terkait dengan batasan konsep,
wilayah, dan waktu. Pertama yaitu batasan konsep, yang akan dikaji dalam
skripsi ini adalah penulis hanya fokus kepada pelaksanaan akad nikah
thariqah, yang di dalamnya meliputi: wali, saksi, dan sighat nikah. Kedua
yaitu batasan wilayah, yang mana mereka adalah masyarakat yang menetap
4
(bertempat tinggal) di Desa Parebaan dan tidak berpindah-pindah ke tempat
lain. Ketiga yaitu batasan waktu, penulis akan membatasi waktu penelitian
yang akan dikaji pada tahun 2019.
c. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut maka penulis menyusun
rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana hukum Islam dalam memandang pelaksanaan Pernikahan
Jamaah Thariqah Naqsyabandiyah di Desa Parebaan serta kaitannya
dengan faktor-faktor yang melatarbelakangi pernikahan tersebut ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian diadakan dengan harapan mampu menjawab apa yang
telah dirangkum dalam rumusan di atas, adapun tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan pernikahan thariqah di Desa
Parebaan dan mengetahui faktor faktor yang melatarbelakangi adanya
pernikahan thariqah di Desa Parebaan tersebut.
b. Untuk mengetahui hukum Islam dalam memandang pernikahan thariqah di
Desa Parebaan tersebut.
2. Manfaat Penelitian
Adanya tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat dalam segi akademik dan praktik, yaitu:
a. Secara Akademik
Diharapkan dapat memperluas khazanah keilmuan bagi peneliti, untuk
dapat dikembangkan ke depannya. Serta diharapkan juga supaya
memberikan masukan bagi perkembangan penelitian-penelitian dengan
tema serta kajian yang hampir sama yang telah dilakukan oleh penulis. Dan
dapat menjadi aspek pendukung dalam pengembangan ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan Hukum Keluarga, serta agar penelitian ini dapat
menjadi bahan kepada seluruh kalangan akademisi, mahasiswa, maupun
dosen.
5
b. Secara Praktis
Memberikan informasi dan pencerahan untuk masyarakat Parebaan dan
lainnya terhadap persoalan pernikahan thariqah. Dan dapat memberikan
kontribusi khazanah bagi lembaga-lembaga yang menangani masalah
perkawinan agar lebih merujuk pada aturan-aturan yang ditetapkan oleh
agama.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sebelum penentuan dalam judul bahasan skripsi ini, penulis melakukan
review kajian terdahulu yang berkaitan degan judul serta pembahasan yang
akan penulis bahas. Review kajian terdahulu yang berkaitan dengan penulis
diantaranya:
1. Skripsi oleh Ijmaliyah dengan judul “Nikah Segoro Getih” (Studi
akulturasi mitos dan syari’at pada masyarakat Ringinrejo Kediri).
Penelitian ini membahas tentang bagaimana pendapat masyarakat
Ringinrejo tentang mitos “Segoro Getih” dan bagaimana sistem akulturasi
(perpaduan) hukum adat dengan Syari’at Islam dalam konsep perkawinan
masyarakat Ringinrejo. Jadi, di dalam penelitian ini dijelaskan tentang
proses penentuan calon suami atau istri dan faktor-faktor yang
mempengaruhi masyarakat dalam memilih calon pasangannya, di mana
mereka lebih percaya pada mitos daripada Syari’at Islam serta bagaimana
proses akulturasi budaya lokal-Islam.10
Adapun persamaan dan perbedaan
yang penulis skripsi oleh Ijmaliyah ini dengan penelitian yang penulis teliti
adalah pokok pembahasan sama sama dalam ranah pernikahan di daerah
Jawa Timur, dan perbedaan nya adalah penulis meneliti pernikahan
thariqah di desa Parebaan Jawa Timur.
2. Skripsi oleh Mohammad Hillal dengan judul “Pencatatan Pernikahan
Thariqah di Sumenep Madura Jawa Timur”. Dalam penelitiannya ia
mengkaji tentang pencatatan pernikahan thariqah yang merupakan
10
Ijmaliyah, “Nikah Segoro Getih Sebagai Larangan Penentuan Calon Suami Istri di
Masyarakat Ringinrejo Kediri Studi Akulturasi Mitos dan Syari’at”, (Malang: Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2006), h. 12, t.d.
6
pernikahan hasil ijtihad Ahlut Thariqah yang dilaksanakannya tanpa
menggunakan wali maupun saksi, walaupun sudah dianggapnya sah oleh
masyarakat setempat dan para tokoh agama di Desa Parebaan tersebut
tetapi pernikahan ini belum bisa dipandang sah oleh pemerintah karena
belum tercatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) desa Parebaan ini.
Ditemukan hasil penelitian bahwa pada dasarnya Pernikahan Thariqah
muncul karena kekhawatiran terjadinya zina dikalangan pemuda. Oleh
karena itu, apapun bentuk metode pernikahannya harus bisa memberikan
jaminan perlindungan hukum bagi seluruh pihak, seperti yang sudah diatur
dalam Undang Undang No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) tentang pernikahan yang baik dan benar.11
Dari penelitian oleh
Mohammad Hillal ini didapati pembahasan perikahan thariqah tetapi hanya
ditinjau berdasarkan hukum positif saja terhadap pencatatan pernikahan
thoriqoh. Lain halnya yang penulis teliti yaitu pernikahan thariqah ditinjau
dari hukum Islam.
3. Jurnal oleh Ramdan Wagianto dengan judul “Tradisi Kawin Colong Pada
Masyarakat Osing Banyuwangi Perspektif Sosiologi Hukum Islam”.
Didalam jurnal ini membahas tentang kawin colong adat suku Osing, di
mana dalam adat kawin colong ini merupakan perkawinan yang dilakukan
oleh dua pasang lawan jenis yang mana mereka menikah tanpa restu dari
orang tua mempelai wanita, kemudian wanita tersebut dibawa lari kerumah
mempelai laki-laki. Perkawinan ini tetap dilakukan walaupun orang tua dari
mempelai wanita tersebut dengan terpaksa merestui anaknya untuk
menikah dengan laki-laki yang telah membawanya pergi.12
4. Skripsi oleh Miftahil Khoiri dengan judul “Mitos Masyarakat Telong
Jodoh Sak Omah dan Implikasi Dalam Pembentukkan Keluarga
Sakinah” (Studi kasus di Desa Randuangung kec. Singosari kab.
11
Mohammad Hillal, “Pencatatan Pernikahan Thoriqoh di Ketawang Parebaan Sumenep
Jawa Timur”, (Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 20014), h. 2, t.d. 12
Ramdan Wagianto “Tradisi Kawin Colong Pada Masyarakat Osing Banyuwangi
Perspektif Sosiologi Hukum Islam”, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2017), Vol. 10 No.1, h. 6, t.d.
7
Malang). Kepercayaan masyarakat terhadap mitos yang ada pada
lingkungannya memberikan pemahaman yang berbeda untuk mewujudkan
keluarga sakinah. Melihat dari tipologi masyarakat yang percaya akan hal
itu, disebabkan oleh lemahnya pengetahuan tentang agama Islam. Dan tidak
hanya itu, mereka juga melihat realita yang terjadi ketika sesorang tidak
mematuhi tradisi tersebut. Kuatnya pengaruh mitos ini sehingga
keharmonisan keluarga masih digantungkan pada taraf keyakinan mereka.13
Dari studi review yang penulis cantumkan di atas, skripsi yang akan
diangkat oleh penulis ini belum pernah diteliti sebelumnya oleh penulis
terdahulu. Karena penulis meneliti tentang Pernikahan Thariqah Ditinjau
dari Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Parebaan Kec. Ganding Kab.
Sumenep Jawa Timur).
E. Metode Penelitian
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana, dilakukan
dengan metode ilmiah yang bertujuan untuk mendapatkan data baru guna
membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala.14
Dalam
penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah melalui
pendekatan normatif doktriner yang didukung oleh pendekatan empiris.
Sebagaimana dalam pendekatan yuridis normatif ini dilakukan dengan cara
menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis terkait
dengan asas, konsepsi, doktrin dan norma hukum yang berkaitan dengan
pembuktian. Adapun pendekatan yuridis empiris yakni dilakukan dengan
melihat kenyataan yang ada dalam praktek di lapangan. Pendekatan ini
13
Miftahil Khoiri, “Mitos Masyarakat Telong Jodoh Sak Omah dan Implikasi Dalam
Pembentukkan Keluarga Sakinah Studi Kasus di Desa Randuangung Kec. Singosari Kab. Malang,
(Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2007), h. 10, t.d. 14
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h. 2,
t.d.
8
dikenal pula dengan pendekatan secara sosiologis yang dilakukan secara
langsung ke lapangan.15
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu menggunakan
penelitian lapangan (field research), dengan mengumpulkan data-data
secara langsung turun ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang
akurat tentang objek yang menjadi penelitian penulis, penelitian ini juga
dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode kualitatif deskriptif.
Adapun penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Proses dan makna lebih
ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan
sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan.
3. Sumber Data dan Tekhnik Pengumpulan Data
Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian terbagi menjadi 2
sumber, diantaranya yaitu:
a. Sumber data primer, yaitu: praktik dan pendapat yang diperoleh dari
wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat yaitu Kepala Desa,
Tokoh Adat, Tokoh Agama (Habib Ahlu Thariqah) dan pelaku
pernikahan thariqah di Desa Parebaan.
b. Sumber data sekunder
Terkait dengan buku-buku, makalah seminar, jurnal-jurnal, laporan
penelitian, artikel, majalah, dan koran yang ada kaitannya dengan
penelitian pernikahan thariqah ini, yang diperoleh melalui studi
kepustakaan.
4. Pengolahan dan Analisis Data
Dalam mengelola data yang penulis dapatkan, baik data dari wawancara
maupun data tertulis dari berbagai studi perpustakaan, penulis melakukan
analisis terhadap data tersebut dengan analisis secara deskriptif.
15
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Jakarta: PT Moyo Segoro Agung, 2007), h. 21.
9
Dalam menganalisis data yang telah terhimpun, penulis menggunakan
beberapa metode analisis data, diantaranya yaitu:
a) Metode induktif, yaitu pengambilan data yang dimulai dari kesimpulan
atau fakta-fakta khusus menuju kepada kesimpulan yang bersifat
umum, ataupun dapat diartikan dengan menganalisa data yang bersifat
khusus kemudian ditarik kesimpulan secara umum.
b) Metode deduktif, yaitu metode yang dipakai dengan menarik fakta atau
kesimpulan yang bersifat umum, untuk dijadikan fakta atau
kesimpulan umum yang bersifat khusus.16
c) Analisis reflektif, yaitu kombinasi yang kuat antara berfikir deduktif
dan induktif atau dengan mendialogkan data teoritik dan data empiris
secara bolak balik kritis. Dalam metode analisis ini akan memecahkan
masalah dengan pengumpulan data-data dan informasi untuk
dibandingkan kekurangan dan kelebihan dari setiap literatur atau
alternatif tersebut. Sehingga pada penyimpulan akan diperoleh data
yang rasional dan ilmiah.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
adalah berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Pusat
Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum
tahun 2017.
F. Rancangan Sistematika Penelitian
Agar pembahasan dalam skripsi ini dapat terperinci dengan baik, maka
penulis akan membagi pembahasan menjadi beberapa bab yang diuraikan
dalam sistematika sebagai berikut:
Bab I menguraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan
rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, studi review, yang
terakhir adalah sistematika penulisan. Dengan adanya pembahasan tersebut
16
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Jakarta: PT Moyo Segoro Agung, 2007), h. 26.
10
dapat diketahui gambaran menyeluruh dari substansi yang akan disajikan
dalam penelitian ini. Selanjutnya yaitu bab II, penulis akan menguraikan
tentang ketentuan pernikahan menurut fuqaha, yang meliputi pengertian dan
dasar hukum pernikahan, rukun dan syarat pernikahan, serta hikmah dan
tujuan pernikahan. Pembahasan akan dilanjutkan oleh penulis pada bab III
yaitu tentang gambaran umum Ahlu Thariqah dan praktik pernikahan di Desa
Parebaan, di dalamnya terkait dengan deskripsi singkat Ahlu Thariqah di Desa
Parebaan, praktik pernikahan thariqah. Selanjutnya bab IV, penulis akan
menganalisis hasil dari penelitian, yang fokusnya untuk mengetahui tinjauan
hukum Islam terhadap praktik pernikahan thariqah, terkait dengan sighat
dalam pernikahan thariqah, ketiadaan wali dan saksi dalam praktik pernikahan
thariqah, dan syahadat sebagai mahar pernikahan thariqah di Desa Parebaan
Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep Jawa Timur. Terakhir adalah bab V
yaitu penutup, yang berisi kesimpulan dari pembahasan tentang pokok
permasalahan dan saran.
11
BAB II
KETENTUAN UMUM MENURUT FUQAHA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan
1. Pernikahan menurut etimologi dan terminologi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah adalah ikatan (akad)
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran
agama.1 Sedangkan secara etimologi, nikah mempunyai arti berkumpul
bergabung ,)اجلمع) ) bersetubuh , )الضم( وطءال ).2
Adapun nikah, menurut hukum Islam mempunyai definisi sebagai
berikut:
3الزواج شرعا ىو عقد وضعو الشارع ليفيد ملك استمتاع الرجل ابملرأة ابلرجل
Perkawinan menurut syara‟ merupakan akad yang ditetapkan syara‟
untuk membolehkan bersenang-senag antara laki-laki dengan perempuan
dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.
Abu Yahya Zakariya Al-Anshary di dalam bukunya yang berjudul
“Fath al-Wahhab Bi Syarh Manhaj ath-Thullab”, sebagaimana dikutip oleh
Abdul Rahman Ghazali di dalam bukunya yang berjudul “Fiqh
Munakahat” mendefinisikan:
4يتضمن اابحة وطئ بلفظ انكاح أو حنوهالنكاح شرعا ىو عقد
Nikah menurut istilah syara‟ ialah akad yang mengandung kebolehan
hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna
dengannya.
Dari pengertian tersebut, perkawinan mengandung aspek akibat hukum
bahwasanya melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan
kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi
tolong menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), Cet. Ke-3, Edisi Ke-2, h. 456. 2 Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Graha
Paramuda, 2008), h. 3. 3 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), h. 73-
74. 4 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), h. 7-10.
11
12
di dalamnya terkandung adanya tujuan atau maksud mengharapkan
keridhaan Allah SWT.5
2. Dasar Hukum Pernikahan
Islam telah mengatur hidup manusia dengan berpasang pasangan
melalui jenjang pernikahan. Dasar hukum dianjurkannya perkawinan
dalam agama Islam terdapat dalam firman Allah SWT dan hadits-hadits
Nabi Muhammad SAW.
Firman Allah di dalam Al-Qur‟an surat An-Nur ayat 32:
الي من عبادكم وإمائكم إن يكون وا ف قراء ي غنهم هللا من وأنكحوا األيمى منكم والص
فضلو وهللا واسع عليم
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Fiman Allah di dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 3: ا ف واحدة أو ما فإن خفتم أل ت عدلو مث ن وثلث ورابع فانكحوا ما طاب لكم من النساء
لك أدن أل ملكت اتعىلى أيانكم ذ
Artinya: “Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga, atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
5 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2003), h. 7-10.
13
Nabi Muhammad SAW bersabda:
باب م ن استاع عن عبد هللا بن مسعود هنع هللا يضر قال, قال لنا رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص )يمعشر الش
ع ف عليو ابلصوم منكم الباءة فانو لو ف لي ت زوج فإنو اغض للبصر واحصن للفرج ومن ل يست
فق عليو وجاء( (رواه البخاري مسلم) .مت
Artinya: “Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu
serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena
sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan
memelihara kemaluan”.(HR. Bukhari Muslim).6
Nabi Muhammad SAW bersabda:
)رواه ابن ماجو(النكاح سنت فمن رغب عن سنت ف ليس من
Artinya: “Nikah merupakan salah satu sunnahku (tuntunanku), barang
siapa tidak melaksanakan sunnahku, maka dia bukan golonganku”.
(Riwayat Ibnu Majah).7
Hukum asal nikah itu sendiri adalah lebih cenderung untuk dianjurkan,
tetapi asalnya hukum nikah itu mubah.8 Menurut Jumhur Ulama,
pernikahan mempunyai 5 (lima) hukum yang berbeda-beda sesuai dengan
situasi yang dialami oleh seseorang.
1. Mubah (jaiz)
Hukum asal pernikahan adalah mubah atau boleh, asalkan sudah
memenuhi syarat dan rukun nikah.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur‟an surat An-Nur ayat 32:
أليمى منكم والصالي من عبادكم وإمائكم نكح ا وا
Artinya: “Dan nikahkanlah orang orang yang masih sendirian di antara
kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dan hamba hamba
sahayamu yang perempuan”.
6 Moh. Machfuddin Aladip, Terjemah Bulughul Maram, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1985), h. 491. 7 Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, (Cairo: Daarul Hadits, 1998), h. 1846.
8 Syihabuddin Al-Qalyubi, Al-Mahalli, (Beirut: Daar Al-Fikri, 1994), Juz 3, h. 206.
14
2. Sunnah, bagi orang yang nafsunya mendesak dan sudah mampu
menikah, sedang dia masih dapat menahan diri dari berbuat zina. Bagi
dia menikah lebih utama daripada tekun beribadah karena hidup
sendirian atau tidak menikah seperti pendapat dalam agama Nasrani,
yang tidak dibenarkan dalam Islam.
Zurinal dan Aminuddin di dalam bukunya yang berjudul “Fiqih
Ibadah” mengkutip sebuah hadits riwayat Thabarani dari Sa‟ad bin Abi
Waqas, Rasulullah SAW bersabda:
محة. )رواه الرباين( 9هللا ابدلنا بشالرىبانية النفية الس
Artinya: “Sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetaan dengan
cara yang lurus lagi ramah (nikah) kepada kita”. (HR. Thabrani).
Dan juga di dalam hadits dari Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda:
)رواه مسلم( ت زوجوا فإين مكاثر بكم األمم ي وم القيامة، ول تكون وا كرىبانية النصارى
Artinya: “Nikahlah kalian, karena aku akan membanggakan banyaknya
jumlah kalian pada ummat-ummat lain. Dan janganlah kalian seperti
pendeta-pendeta Nasrani”. (HR. Muslim)
3. Wajib bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk kawin, dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina
seandainya tidak kawin. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum,
bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang telah
dilarang oleh Allah. Jika penjagaan diri itu haru dengan melakukan
perkawinan, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan
perkawinan itupun menjadi wajib. Sesuai dengan kaidah:
مال يتم الواجب ال بو ف هو واجب
Artinya: “Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka
sesuatu itu hukumnya wajib juga”.10
9 Zurinal Z dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, (Jakarta: CV. Sejahtera, 2008), h. 210-211.
10 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), h. 18-19.
15
Allah berfirman di dalam Al-Qur‟an surat An-Nur: 33
دون نكاحا حت ي غني هم هللا من فضلو وليست عفف الذين ل ي
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu nikah, hendaklah
menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka
dengan karunia-Nya”.
4. Makruh bagi seseorang yang tidak memenuhi nafkah lahir dan batin
kepada Istrinya, serta nafsunya tidak mendesak untuk menikah.
Apabila seorang laki-laki menyadari bahwa ia tidak mampu
membelanjai isterinya atau membayar maharnya dan tidak mampu
memenuhi hak-hak isterinya, maka laki-laki tersebut hukumnya
makruh untuk menikah dengan seorang wanita, sebelum ia
menjelaskan keadaannya kepada calon isterinya, atau sampai datang
saatnya dia mampu memenuhi hak-hak isterinya. Sebaliknya, seorang
wanita (calon isteri), apabila ia menyadari bahwa dirinya tidak mampu
untuk memenuhi hak-hak suaminya, atau ada hal-hal yang
menyebabkan ia tidak dapat melayani kebutuhan batin calon suaminya,
tetapi ia wajib menerangkan kepada calon suaminya.11
5. Haram bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak
mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban dalm rumah tangga. Sehingga jika
melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan isterinya,
maka hukum perkawinan bagi orang tersebut haram. Allah SWT
berfirman di dalam Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah ayat 195 melarang
orang melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan:
هلكة ول ت لقوا ابيديكم ال الت
Artinya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan”. Termasuk juga pernikahan itu hukumnya haram, apabila
seseorang menikah dengan maksud untuk menelantarkan orang lain,
11
Zurinal Z dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, (Jakarta: CV. Sejahtera, 2008) h. 212.
16
masalah wanita yang dinikahi itu tidak diurus hanya agar wanita itu
tidak dapat menikah dengan orang lain.12
B. RUKUN DAN SYARAT SAHNYA PERNIKAHAN
Rukun pernikahan merupakan hal-hal yang wajib dilaksankan pada saat
melangsungkan pernikahan. Dalam Islam sebenarnya banyak perbedaan
pendapat yang terjadi antara imam mazhab, berikut penulis rincikan rukun dan
syarat pernikahan menurut pandangan fuqaha:
1. Imam Syafi’i
Sighat (ijab qabul)
Mazhab ini berpendapat bahwa, redaksi akad harus merupakan kata
bentuk dari lafal al-tazwij (التزويج) dan al-nikah (النكاح), selain dari lafal
tersebut maka tidak sah.13
Menurut ulama syafi‟i, bahwa pernikahan baru
dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul
antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnnya, dan
dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka
tanpa adanya akad.14
Syarat sahnya ijab dan qabul menurut mazhab Syafi‟i yaitu:
- Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
- Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai laki-laki.
- Memakai kata-kata Nikah dan Tazwij, atau yang semisal dengannya.
- Antara ijab dan qabul harus jelas maksudnya.
- Bersambungnya antara ijab dan qabul oleh pengantin laki-laki
dengan wali perempuan. Kata “bersambung” ini maknanya adalah
tidak diperbolehkan adanya batasan waktu di dalam pengucapan ijab
dan qabul, karena dikhawatirkan mengurangi keabsahan di dalam
pelaksanaan ijab qabul tersebut.
- Orang yang berkaitan dengan ijab dan qabul tidak boleh dalam
keadaan ihram haji ataupun umrah. Ijab dilakukan oleh pihak wali
12
Abdul Rahman Al-Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2003), h. 20-
21. 13
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid II, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 311. 14
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 309.
17
mempelai wanita atau wakilnya, sedangkan qabul dilakukan oleh
mempelai laki-laki atau wakilnya.15
Contoh kalimat akad nikah:
بنت ... بهر ... حال انكحتك و زوجتك ...
Artinya: “Aku nikahkan dan aku kawinkan engkau dengan anakku …
binti… dengan mas kawin… tunai”.
Jawaban atau kalimat qabul yang digunakan wajiblah sesuai dengan
ijab, yaitu:
... حال قبلت ت زوجو و نكحو لن فس بهر
Artinya: “Aku terima nikahnya dan kawinnya untukku dengan mas
kawin … tunai”.16
Wali nikah
Menurut Imam Syafi‟i, wali nikah hukumnya adalah wajib karena
merupakan rukun di dalam pernikahan. Maka, jika tidak adanya wali
nikah, pernikahan tersebut batal atau tidak sah. Pernyataan ini dilandasi
oleh dalil Jumhur Ulama yang menyatakan wajibnya wali di dalam
pernikahan.17
Nabi Muhammad SAW bersabda:
بخاري مسلم(ال)رواه ل نكاح ال بول و شاىدي عدل
Artinya: “Tidak sah pernikahan tanpa adanya wali dan dua orang saksi
yang adil”. (HR. Bukhari Muslim)
Syafi‟i melarang ketiadaan wali, karena berdasarkan qiyas wali
dengan hakim dan saksi, maksudnya adalah bahwa wanita itu tidak boleh
menghukumi untuk dirinya sendiri dan tidak boleh bersaksi untuk
dirinya sendiri.18
15
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), h. 59. 16
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 70. 17
Mahmoud Syaltout dan Mohammad Ali As-Sayis, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah
Fiqih, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), h. 126. 18
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid II, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 30.
18
Syarat wali menurut Imam Syafi‟i yaitu:
- Islam. - Baligh. - Berakal sehat. - Merdeka. - Laki-laki. - Adil.
19
- Mempunyai hak perwalian. - Tidak terdapat halangan perwaliannya.
20 Tetapi untuk menikahkan perempuan kafir dzimmi
21 tidak disyaratkan
walinya beragama Islam. Demikian pula untuk menikahkan budak
perempuan, tidak disyaratkan walinya harus adil.22
Nabi Muhammad SAW bersabda:
ا امرأة نكحت بغي اذن وليها فنكاحها ابطل، فنكاحها )رواه ابطل، فنكاحها ابطل اي
امحد, و ابو داود (
Artinya: “Perempuan mana saja, menikah tanpa izin walinya, maka
nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal”. (HR. Ahmad, Abu
Daud, dishahihkan oleh As-Suyuthi dan Al-Albani).
Saksi nikah
Menurut Imam Syafi‟i, di dalam pernikahan harus adanya dua orang
saksi laki-laki muslim dan adil.23
Nabi Muhammad SAW bersabda: عليو وسلم قال ل نكاح إل بول وشاىدي عدل، وما كان من نكاح أن النب صلى الل
لان ول من ل ول لو )رواه ابن حبان( على غي ذلك ف هو ابطل فإن تشاجروا فالس
19
Musthafa Diibu Bhigha, Fiqih Menurut Mazhab Syafi’i, (Semarang: Cahaya Indah, 1986),
h. 251. 20
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 71. 21
Kafir Dzimmi adalah kafir yang telah patuh dan tunduk pada pemerintah Islam yang telah
ditegakkan kepada mereka hukum-hukum Islam. 22
Musthafa Diibu Bhigha, Fiqih Menurut Mazhab Syafi’i, (Semarang: Cahaya Indah, 1986),
h. 252. 23
Mustofa Al-Khin dan Mustofa Al-Bugho, Kitab Fikah Mazhab Syafie, (Kuala Lumpur:
Batu Caves, 2005), h. 804.
19
Artinya: “Sesungguhnya Nabi Bersabda: “Tidak pernikahan kecuali
dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Pernikahan yang bukan atas
jalan demikian, maka bathil. Seandainya mereka berbantah, maka
sulthan yang menjadi wali orang-orang yang tidak mempunyai wali”.
(HR. Ibnu Hibban : 1247).
Syarat saksi menurut Imam Syafi‟i sebagai berikut:
- Islam.
Firman Allah di dalam Al-Qur‟an surat At-Taubah ayat 71:
هون عن المنكر والمؤمنون والمؤمنات ب عضهم أولياء ب عض يمرون ابلمعروف وي ن
إن ا يعون الل ورسولو أولئك سي رمحهم الل لل عزيز ويقيمون الصلة وي ؤتون الزكاة وي
حكيم
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma‟ruf, mencegah dari yang
mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah,
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
- Baligh.
- Berakal.
- Minimal 2 (dua) orang laki-laki yang adil.
Firman Allah di dalam Al-Qur‟an surat At-Talaq ayat 2: فإذا ب لغن أجلهن فأمسكوىن بعروف أو فارقوىن بعروف وأشهدوا ذوي عدل منكم
لكم يوعظ بو من كان ي ؤمن ذ هادة لل ومن ي تق الل يعل ابلل والي وم الخر وأقيموا الش
و مرجال
Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu
dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
20
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya
Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”.
- Hadir dalam ijab qabul.
- Merdeka bukan budak.
- Akad harus disaksikan oleh laki laki yang dapat mendengar dan
melihat.24
Calon pengantin
a. Calon pengantin laki-laki.
Syari‟at Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi
oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu:
1) Calon suami beragama Islam.
Ketentuan ini ditetapkan, karena dalam hukum Islam laki-laki
yang sudah berumah tangga merupakan sebagai pengayom atau yang
menjadi dasar utama untuk menjadi pemimpin keluarga, maka dari itu
laki-laki diwajibkan beragama Islam agar mengerti hukum Islam.25
Di
dalam hukum umumpun berlaku kebiasaan hukum istri mengikuti
hukum suami, sebagaimana hukum anak mengikuti hukum anaknya.26
Nash keharaman wanita muslimah menikah dengan laki-laki non
muslim tercantum dalam Al-Qur‟an surat Al-Mumtahanah ayat 10:
أعلم ييانن فإن اجرات فامتحن و ىن هللا ياي ها الذين أمن وا اذا جاءكم المؤمنات مه
ار لىن حل لم لون لن علمتمو ىن مؤمنات فل ت رجعوىن ال الكف ولىم ي
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah
kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
24
Mustofa Al-Khin dan Mustofa Al-Bugho, Kitab Fikah Mazhab Syafie, (Kuala Lumpur: Batu
Caves, 2005), h. 803. 25
Mustofa Al-Khin dan Mustofa Al-Bugho, Kitab Fikah Mazhab Syafie, (Kuala Lumpur: Batu
Caves, 2005), h. 806. 26
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2003), h. 50-51.
21
(benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal
bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pulagi
bagi mereka”. Laki-laki muslim yang ingin menikah dengan wanita
beragama lain (ahli kitab), oleh Al-Qur‟an diperkenankan.
Sebagaimana di dalam Al-Qur‟an surat Al-Maidah ayat 5: يبات وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم وطعامكم حل لم الي وم أحل لكم ال
لكتاب من ق بلكم إذاوالمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا ا
يان ءا ر مسافحي ول متخذي أخدان ومن يكفر ابل تموىن أجورىن مصني غي ت ي
ملو وىو ف الخرة من الاسرين ف قد حبط ع
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan menikahi)
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu”.27
2) Terang (jelas) bahwa ia seorang laki-laki
Terang (jelas) bahwa calon suami itu benar-benar laki-laki. Hal
ini diisyaratkan agar pelaksanaan hukum itu lancar, tidak mengalami
hambatan-hambatan. Hukum Islam ditetapkan untuk kemaslahatan
manusia. Dalam hal perikatan hukum Islam, menghendaki adanya
pelaksanaan perolehan hak dan kewajiban.28
3) Tidak dipaksa (kemauan sendiri).
4) Tidak beristeri dari empat orang.
5) Calon mempelai laki-laki mengetahui isterinya tidak haram dinikahi
(bukan mahram calon mempelai perempuan). Persyaratan ini
diperlukan untuk melandasi supaya jangan sampai pernikahan
27
Abdul Rahman Al-Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), h. 52-
54. 28
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h.
65.
22
tersebut merupakan pelanggaran hukum. Karena, jika laki-laki
tersebut ada hubungan mahram, maka melaksanakan persetubuhan
itu hukumnya dosa dan tidak sah.
6) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
Hal tersebut didasarkan pada firman Allah di dalam Al-Qur‟an surat
An-Nisa ayat 23:
ما قد سلف وأن تمعوا ب ي األخت ي ال
Artinya: “Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”.
7) Tidak sedang melakukan ihram atau haji.29
b. Calon pengantin wanita
1) Beragama Islam atau ahli Kitab
Wanita selain Kitabiyah tidak boleh dinikahi oleh laki-laki
muslim, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah
ayat 221:
ولت نكحوا المشركات حت ي ؤمن
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman”.
2) Terang bahwa ia wanita, bukan khunsa (banci).
Karena pernikahan itu adalah perjanjian antara wanita dan laki-
laki, maka perlu kejelasan yang melakukan akad tersebut, demikian
pula perlu jelas orangnya. Inilah pentingnya penyebutan wanita itu
dalam akad. Lebih nyata lagi wanita itu akan menandatangani
kesanggupannya dalam pencatatan perkawinan. 30
3) Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya.
4) Tidak dipaksa (kemauan sendiri)
5) Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah.
29
Abdul Rahman Al-Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2003), h. 55-
56. 30
Musthafa Diibu Bhigha, Fiqih Menurut Mazhab Syafi’i, (Semarang: Cahaya Indah, 1986),
h. 249.
23
6) Calon mempelai wanita bukan mahrom calon suaminya.
7) Belum pernah di li‟an (sumpah li‟an) oleh calon suaminya.
8) Wanita itu jelas orangnya.
9) Tidak dalam ihram, haji, ataupun umrah.31
2. Imam Abu Hanifah
Sighat (ijab qabul)
Menurut Mazhab Hanafi, akad boleh dilakukan dengan segala
redaksi yang menunjukkan maksud “Nikah”, bahkan sekalipun dengan
lafal al-tamlik (kepemilikan), al-hibah (penyerahan), al-ba’i (penjualan),
al-‘atha’ (pemberian), al-ibahah (pembolehan), dan al-ihlal
(penghalalan), sepanjang akad tersebut disertai dengan qarinah (kaitan)
yang menunjukkan arti nikah. Akan tetapi akad tidak sah jika dilakukan
dengan lafal al-ijarah (upah) atau al-‘ariyah (pinjaman), sebab kedua
kata tersebut tidak memberi arti kelestarian atau kontinuitas.
Dalam sighat ijab qabul menurut ulama Hanafiyah, kata na-ka-ha
yang berarti nikah atau kawin memiliki keabsahan yang sangat kuat di
dalam suatu akad, karena Imam Abu Hanifah menggunakan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari:32
حدثنا علي بن عبد هللا حدثنا سفيان مسعت أاب حازم يقول مسعت سهل بن سعد الساعدي يقول: اين لفي القوم عند رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص إذ قامت امرأة فقالت ي رسول هللا
فقالت ي رسول هللا انا إنا قد وىبت نفسها لك فر فيها رأيك فلم يبها شيئا مث قامت قد وىبت نفسها لك فر فيها رأيك فلم يبها شيئا مث قامت الثا لثة فقالت إنا قد وىبت نفسها لك فر فيها رأيك فقام رجل فقال فقالت ي رسول هللا أنكحنيها قال )ىل عندك من شيء( قال ل قال )اذىب فاطلب ولو خامتا من حديد( فذىب فلب مث
وجدت شيئا ول خامتا من حديد فقال )ىل معك من القران شيء( قال جاء فقال مارواه . )با معك من القران( معي سورة كذا وسورة كذا قال )اذ ىب فقد أنكحتكها
( البخاري مسلم Artinya: “Ali bin Abdullah bercerita kepada kita, Sufyan bercerita
kepada kita, aku mendengar Abi Hazim berkata: aku mendengar Sahl bin
31
Musthafa Diibu Bhigha, Fiqih Menurut Mazhab Syafi’i, (Semarang: Cahaya Indah, 1986),
h. 250. 32
Muhammad Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008),
Juz 3, Cet. IV, h. 447.
24
Saad al-Sa‟idi berkata: sesungguhnya aku benar-benar di dalam suatu
kaum di sisi Rasulullah SAW. Tiba-tiba seorang perempuan berdiri
kemudian berkata: ya Rasulullah, sesungguhnya dia benar-benar
menghibahkan dirinya kepadamu, maka lihatlah dia dan bagaimana
menurutmu. Nabi tidak menjawabnya. Kemudian dia berdiri lagi dan
berkata: ya Rasulullah, sesungguhnya dia benar-benar menghibahkan
dirinya kepadamu, maka lihatlah dia dan bagaimana menurutmu. Nabi
tidak menjawabnya , kemudian dia berdiri untuk ketiga kalinya lalu
berkata: ya Rasulullah, sesunggunhnya dia benar-benar menghibahkan
dirinya kepadamu, maka lihatlah dia dan bagaimana menurutmu.
Kemudian seorang laki-laki berdiri dan berkata: ya Rasulullah
nikahkanlah aku dengannya. Kemudian Nabi bertanya: apakah engkau
memiliki sesuatu? Lelaki itu menjawab: tidak. Nabi bersabda pergilah
dan carilah sesuatu walaupun cincin dari besi. Kemudian Nabi bersabda:
apakah engkau memiliki sesuatu dari Al-Qur‟an?, Lelaki itu menjawab:
aku menguasai surat ini dan surat ini. Kemudian Nabi bersabda:
pergilah, sungguh aku telah menikahkanmu dengannya dengan sesuatu
yang engkau kuasai dari Al-Qur‟an”. Syarat ijab dan qabul menurut Imam Abu Hanifah, sebagai berikut:
- Ijab dan qabul harus dilaksanakan dalam satu majelis. Pelaksaan ijab
dan qabul wajib hukumnya menghadirkan kedua calon mempelai
(pengantin laki-laki dan perempuan)
- Memakai kata-kata Nikah atau Tazwij, dan yang semisal dengannya
seperti al-tamlik yang berarti kepemilikan, al-hibah yaitu penyerahan,
al-ba’i yaitu penjualan, dan lain sebagainya.
- Tidak mengharuskan bersambung antara ijab dan qabul. Maknanya
adalah membolehkan adanya jarak antara ijab dan qabul, asalkan
dalam keadaan satu majelis dan tidak ada hal-hal yang menunjukkan
salah satu berpaling dari maksud akad tersebut. Karena, Imam Hanafi
lebih menekankan kepada ucapannya walaupun terdapat selang waktu
agak lama, maka tetap dianggap sah sighat ijab qabul tersebut.33
- Antara ijab dan qabul harus jelas maksudnya.
- Orang yang berkaitan dengan ijab dan qabul tidak boleh dalam
keadaan ihram haji ataupun umrah.34
Mazhab Hanafi yaitu membolehkan akad nikah dengan cara paksa,
tidak dilakukan secara sukarela atau atas kehendak sendiri.35
Akad nikah
33
Abu Hanifah, Fiqih Akbar, (Beirut: Dar Al-Ilmiyah, 1994), h. 115. 34
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), h. 59 35
Pada awal Bab Talak dalam kitab Majma’ Al-Anhar yang bermazhab Hanafi dijelaskan
bahwa, talak, nikah, ruju‟, sumpah talak dan memerdekakan sahaya adalah sah bila dilakukan secara
pemaksaan. Demikian pula dengan zhihar, ila‟, khulu‟, kewajiban haji, zakat, memaafkan orang
25
boleh dilakukan oleh orang yang safih (dungu), baik dia memperoleh
izin dari walinya atau tidak. Menurut ulama Hanafiyah, rukun nikah
hanya ijab dan qabul saja. Selain daripada ijab dan qabul hanya sebagai
anjuran di dalam pernikahan.
Wali Nikah
Abu Hanifah di dalam fatwanya, mengatakan bahwa wali tidak
termasuk ke dalam rukun nikah karena wanita yang telah baligh dan
berakal sehat boleh memilih sendiri calon suaminya dan boleh
melakukan akad nikah terhadap dirinya sendiri, baik dia perawan
maupun janda. Menurutnya, tidak ada seorangpun yang mempunyai
wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat orang
yang dipilihnya itu adalah se kufu (sepadan) dengannya, dan maharnya
tidak kurang dari mahar mitsil.36
Tetapi bila dia memilih seseorang laki-
laki yang tidak se kufu dengannya, maka walinya boleh menentangnya,
dan meminta kepada qadhi (hakim) untuk membatalkan akad nikahnya.37
Nabi Muhammad SAW bersabda:
)رواه ابو داود( اه ي ل و ن ا م ه س ف ن ب ق ح ا ب ي لث ا
Artinya: “Wanita janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri daripada
walinya”. (H.R. Abu Daud)
Di dalam kitab al-Mabsuth, Abu Hanifah berkata bahwasanya
perempuan bikr (gadis) atau janda pada hakikatnya sama, jika laki-laki
itu sekufu bagi perempuan tersebut, maka nikah itu sah. Kecuali, jika
laki-laki itu tidak sekufu bagi perempuan, maka bagi para wali ada hak
untuk membatalkan akadnya.38
(membebaskan hukuman), masuk Islam, berdamai dalam hal tebusan, perwalian, penyusuan, sumpah,
nazar, dan wadi‟ah. 36
Mahar mitsil adalah mahar yang diminta pada sebuah pernikahan seperti mahar untuk para
istri pada umumnya. 37
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 345. 38
Syam Al-Din Al-Sarkhasi, Kitab al-Mabsuth Jilid 5, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1989), h. 10.
26
Meskipun Imam Abu Hanifah memberi kebebasan pada anak gadis
yang telah mencapai usia pubertas untuk menikah berdasarkan
pilihannya, izin wali ini tetap merupakan salah satu syarat perkawinan.39
Adapun dalil yang dijadikan hujjah oleh ulama yang tidak
mensyaratkan adanya wali, baik dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah, ada di
dalam firman Allah SWT Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 240:
عروف وهللا عزي ز حكيم فل جناح عليكم ف ما ف علن ف أن فسهن من م
Artinya: “Maka tidak ada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat
yang makruf terhadap diri mereka”.
Mereka mengatakan pendapat tersebut berdasarkan dalil atas
dibolehkannya wanita bertindak melakukan akad nikah untuk dirinya
sendiri. Adapun dalil Sunnah, mereka berhujjah dengan hadits Ibnu
Abbas yang disepakati ke shahihannya, yaitu sabda Nabi Muhammad
SAW:
)رواه البخاري ا من وليها والبكر تستأمر ف ن فسها وإذن ها صمات هااألي أحق بن فسه
مسلم(
Artinya: “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan
gadis diminta pendapat mengenai dirinya dan izinnya adalah diamnya”.
(HR. Bukari Muslim)
Abu Hanifah memperkuat pendapatnya kembali karena adanya dalil,
Firman Allah SWT di dalam Alqur‟an surat Al-Baqarah ayat 232:
ن هم وإذا طلقتم النساء ف ب لغن أجلهن فل ت عضلو ىن أن ي نكحن أزواجهن إذا ت راضوا ب ي
لكم أزكى لكم وأطهر اابلمعروف ذلك ي وعظ بو من كان منكم ي ؤمن ابهلل والي وم األخر ذ
ت علمون وهللا ي علم وأن تم ل
Artinya: “Apabila kamu meletakkan isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin
39
Ahmad Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 188.
27
lagi dengan bakal suaminya, apabila telah dapat kerelaan diantara
mereka dengan cara yang ma‟ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada
orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari
kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,
sedangkan kamu tidak mengetahui”. Abu Hanifah menggunakan metode qiyas dalam masalah persyaratan
pernikahan tanpa adanya wali, yang mana pernikahan seorang
perempuan gadis maupun janda yang melakukan akad nikah secara
langsung untuk dirinya ialah berdasarkan:40
- Kekuasaan atas orang merdeka hanya ada dalam kondisi darurat, sebab
ia bertentangan dengan prinsip kebebasan individu. Kebebasan disini
berarti seseorang boleh mengurusi seluruh urusannya, asal ia tidak
mengganggu kebebasan orang lain, dan mengesahkan pernikahan hanya
karena akad yang dilakukan wali adalah kekuasaan yang ada di luar
kondisi darurat dan bertentangan dengan kebebasan seseorang yang
sudah baligh dan berpikiran sehat dalam kondisi normal. Abu Hanifah
tidak akan memberlakukan pendapatnya ini sebelum wanita tersebut
telah mencapai akhir baligh, karena ia adalah kelemahan yang
disebabkan oleh kurang semprnanya kemampuan.
- Wanita tersebut punya hak yang sempurna atas hartanya. Sehingga, ia
juga punya hak yang sempurna atas pernikahannya. Kedua hak ini tidak
berbeda, sebab alasan keduanya adalah usia baligh dan pikiran sehat.
Karena itu, bila ia berhak atas harta maka ia juga berhak atas pernikahan.
- Seorang pemuda yang sudah akil baligh berhak menikahkan dirinya,
sehingga seorang pemudi yang telah akil baligh juga memiliki hak yang
sama atas pernikahan dirinya.41
Abu Hanifah berpendapat bahwa usia baligh bagi anak laki-laki yaitu
17 tahun atau 18 tahun, sedangkan bagi anak perempuan adalah 18 tahun
dalam kondisi apapun. Ia berpendapat demikian, karena tidak ada
40
Satria Effendi , Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2011), h. 130. 41
Abdul Aziz Asy-Syinawi, Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta: Ummul Quro, 2013), h.
165.
28
pendapat secara Tauqifi (melalui wahyu) yang menjadikan batas baligh
dengan usia.42
Saksi nikah
Menurut ulama Hanafiyah, saksi nikah hukumnya dalah istishab atau
hanya dianjurkan dan tidak menjadi keharusan untuk dihadirkan saat
prosesi nikah.43
Abu Hanifah memandang bahwa saksi nikah itu boleh
seorang laki-laki dan dua orang perempuan tanpa diisyaratkan harus adil,
dan yang demikian itu akad nikahnya tetap sah walaupun dihadiri oleh
dua orang saksi yang fasik. Sebab menurut mazhab ini, tujuan dari
dihadirkannya saksi yaitu hanya untuk pemberitahuan bahwa pernikahan
tersebut telah dilaksanakan. Namun, mereka berpendapat kesaksian
perempuan saja pernikahannya tidak sah, maka harus adanya saksi laki-
laki walaupun ia fasik.44
Landasan hukum mazhab Hanafiyah mengenai saksi nikah
diperbolehkan bagi laki-laki fasik yaitu firman Allah di dalam Al-Qur‟an
surat Al-Baqarah ayat 282:
هداء إذا ما دعو اول يب الش
Artinya: “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan)
apabila mereka dipanggil”.
Syarat sahnya saksi di dalam perkawinan menurut golongan
Hanafiyah yaitu saksi diperbolehkan satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan. Dan juga saksi diperbolehkan dua orang buta atau dua orang
fasik sekalipun. Sementara orang tuli, orang tidur dan orang mabuk tidak
boleh menjadi saksi.45
Mazhab Hanafi memahami bahwa kesaksian wanita dapat diterima
dalam pernikahan dengan syarat mereka harus didampingi oleh seorang
laki-laki, karena menurut mazhab Hanafi jika seorang saksi itu lupa
maka yang lain dapat mengingatkan.
42
Marwan Kamaruddin, Batas Usia Nafkah Anak dalam Islam, (Banda Aceh: Lembaga
Naskah Aceh, 2013), h. 50. 43
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 312. 44
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 313-317. 45
Zakiyah Daradjat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 82.
29
Landasan hukum kesaksian 2 (dua) orang perempuan yaitu firman
Allah di dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 282: ى فاكت ب و تم بدين إل أجل مسم نكم كاتب ي أي ها الذين آمنوا إذا تداي ن ه وليكتب ب ي
ولي تق ابلعدل ول يب كاتب أن يكتب كما علمو الل ف ليكتب وليملل الذي عليو الق
ئا فإن كان الذي عليو ال يع الل ربو ول ي بخس منو شي ق سفيها أو ضعيفا أو ل يست
دين من رجالكم فإن ل يكون رجلي ا شهي أن يل ىو ف ليملل وليو ابلعدل واستشهدو
هداء أن تضل إحداها ف تذكر إحداها األخرى ول ف رجل وامرأتن من ت رضون من الش
هداء إذا ما دعو لكم أقسط ا أن تكت ب و ا ول تسأمو يب الش ه صغيا أو كبيا إل أجلو ذ
هادة وأدن أل ت رتبوا إل أن تكون تارة حاضرة تديرون ها نكم عند الل وأق وم للش ب ي
هدوا إذا ت باي عتم ول يضار كاتب ول شهيد وإن ف ليس عليكم جناح أل تكت بوىا وأش
وي علمكم الل بكل شيء عليم ت فعلوا فإنو فسوق بكم وات قوا الل والل
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang
akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu,
30
baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan
(yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Calon pengantin
1) Syarat calon mempelai laki-laki, sebagai berikut:
- Beragama Islam
Ketentuan ini ditetapkan, karena dalam hukum Islam laki-laki yang
sudah berumah tangga merupakan sebagai dasar utama untuk menjadi
pemimpin keluarga, maka dari itu laki-laki diwajibkan beragama Islam
agar mengerti hukum Islam.46
- Berakal sehat.
- Baligh.
- Terang (jelas) bahwa ia seorang laki-laki
- Tidak dipaksa (kemauan sendiri).
- Tidak beristeri dari empat orang.
- Calon mempelai laki-laki mengetahui isterinya tidak haram dinikahi
(bukan mahram calon mempelai perempuan).
- Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
Hal tersebut didasarkan pada firman Allah di dalam Al-Qur‟an surat
An-Nisa ayat 23:
ما قد سلف وأن تمعوا ب ي األخت ي ال
Artinya: “Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”.
46
Mustofa Al-Khin dan Mustofa Al-Bugho, Kitab Fikah Mazhab Syafie, (Kuala Lumpur: Batu
Caves, 2005), h. 806.
31
- Tidak sedang melakukan ihram atau haji.47
2) Syarat calon mempelai perempuan
- Beragama Islam atau ahli Kitab
- Terang bahwa ia wanita, bukan khunsa (banci).
- Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya.
- Tidak dipaksa (kemauan sendiri)
- Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah.
- Calon mempelai wanita bukan mahrom calon suaminya.
- Belum pernah di li‟an (sumpah li‟an) oleh calon suaminya.
- Wanita itu jelas orangnya.
- Tidak dalam ihram, haji, ataupun umrah.48
3. Iman Hambali
Sighat (ijab qabul)
Menurut pendapat mazhab ini, akad nikah dianggap sah jika
menggunakan lafal al-nikah )النكاح( dan al-zawaj )الزواج( , juga lafal-lafal
pembentukannya. Dan juga dianggap sah dengan lafal al-hibah, dengan
syarat harus disertai penyebutan mas kawin, selain kata-kata yang
disebutkan tidak digunakan, maka akad nikahnya batal atau tidak
dianggap sah.49
Dalil yang mereka gunakan bagi sahnya akad dengan menggunakan
lafal al-hibah ada di dalam Al-Qur‟an surat Al-Ahzab ayat 50:
وىبت ن فسها للنب إن أراد النب أن يست نكحها وامرأة مؤمنة إن
Artinya: “Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada
Nabi kalau Nabi mau menawininya”.
Syarat sighat ijab dan qabul menurut Imam Hambali yaitu ijab dan
qabul harus dilaksanakan dalam satu majelis, menggunakan kata-kata
Nikah atau Tazwij dan yang semisal dengannya, makna ijab dan qabul
47
Abdul Rahman Al-Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2003), h. 55-
56. 48
Musthafa Diibu Bhigha, Fiqih Menurut Mazhab Syafi’i, (Semarang: Cahaya Indah, 1986),
h. 250. 49
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 316.
32
disyaratkan kesegeraan dalam akad, artinya qabul harus segera
dilaksanakan setelah ijab secara langsung tidak dalam keadaan terpisah
(oleh perkataan lain).50
Wali nikah
Mazhab ini berpendapat, bahwa wali nikah hukumnya adalah wajib,
maka batal atau tidak sah pernikahannya jika tidak ada wali di dalam
pernikahan.51
Ibnu Qudamah dari mazhab Hambali menyatakan
bahwasanya wali nikah wajib hadir di dalam pernikahan karena termasuk
kepada rukun nikah. Ia menggunakan dalil hadits tentang kewajiban
adanya wali di dalam pernikahan yaitu sabda Nabi Muhammad, yang
berbunyi:
ل نكاح ال بول و شاىدي عدل
Artinya: “Tidak sah pernikahan tanpa adanya wali dan dua orang saksi
yang adil”. Syarat perwalian menurut Imam Ahmad bin Hambal, yaitu:
- Islam. - Baligh. - Berakal sehat. - Merdeka. - Laki-laki. - Adil.
52
- Mempunyai hak perwalian. - Tidak terdapat halangan perwaliannya.
53
Saksi nikah
Mengenai saksi nikah, pendapat Imam Hambali sama dengan pendapat
Imam Syafi‟i yang menyatakan bahwa perkawinan harus dengan dua
orang saksi, muslim, adil dan tidak boleh orang yang fasik. Dan juga
50
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 312. 51
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 314. 52
Musthafa Diibu Bhigha, Fiqih Menurut Mazhab Syafi’i, (Semarang: Cahaya Indah, 1986),
h. 251. 53
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 71.
33
menurut ulama Hanabilah, bahwasanya saksi diperbolehkan satu orang
laki-laki dan dua orang perempuan.54
Asy-Syaibani salah satu ulama Hanabilah mendefinisikan bahwa
kesaksian yaitu:
ت د ه ش و أ د ه ش أ ظ ف ل ب و م ل ا ع ب ار ب خ األ
Artinya: “Informasi (pengakuan) dengan apa yang ia ketahui, dengan
menggunakan lafadz asyhadu (aku bersaksi) atau syahadtu (aku telah
menyaksikan)”.55
Calon pengantin laki-laki dan perempuan.
Yang harus menjadi kriteria syarat sahnya calonmempelai laki-laki,
sebagai berikut:
- Islam
- Tidak dipaksa (kemauan sendiri).
- Tidak beristeri dari empat orang.
- Calon mempelai laki-laki mengetahui isterinya tidak haram dinikahi
(bukan mahram calon mempelai perempuan).
- Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
Hal tersebut didasarkan pada firman Allah di dalam Al-Qur‟an surat
An-Nisa ayat 23:
ما قد سلف وأن تمعوا ب ي األخت ي ال
Artinya: “Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”.
- Tidak sedang melakukan ihram atau haji.56
Syarat sahnya calon mempelai perempuan yaitu:
- Terang bahwa ia wanita, bukan khunsa (banci).
Karena pernikahan itu adalah perjanjian antara wanita dan laki-laki,
maka perlu kejelasan yang melakukan akad tersebut, demikian pula
perlu jelas orangnya. Inilah pentingnya penyebutan wanita itu dalam
54
Zakiyah Daradjat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti wakaf, 1995), h. 82. 55
Majmu‟atun Min al-Muallifina, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Wizarah
al-Auqati wa asy-Syuun al-Islamiyah, 2013), h. 216. 56
Abdul Rahman Al-Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2003), h. 55-
56.
34
akad. Lebih nyata lagi wanita itu akan menandatangani
kesanggupannya dalam pencatatan perkawinan. 57
- Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya.
- Tidak dipaksa (kemauan sendiri)
- Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah.
- Calon mempelai wanita bukan mahrom calon suaminya.
- Belum pernah di li‟an (sumpah li‟an) oleh calon suaminya.
- Wanita itu jelas orangnya.
- Tidak dalam ihram haji maupun umrah.58
4. Imam Malik
Sighat (ijab qabul)
Menurut mazhab ini, bahwasanya akad nikah dianggap sah jika
menggunakan lafal al-nikah )النكاح( dan al-zawaj )الزواج(. Juga dianggap
sah dengan lafal al-hibah )الهبه( , tetapi dengan syarat harus disertai
dengan penyebutan mas kawin. Jadi, jika di dalam akad pernikahan
tersebut tidak menggunakan lafal-lafal yang telah disebutkan di atas,
maka pernikahan yang demikian itu tidak dianggap sah atau dapat
dikatakan batal.59
Dalil yang mereka gunakan bagi sahnya akad pernikahan dengan
menggunakan lafal al-hibah adalah firman Allah di dalam Al-Qur‟an
surat Al-Ahzab ayat 50:
وامرأة مؤمنة إن وىبت ن فسها للنب إن أراد النب أن يست نكحها
Artinya: “Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada
Nabi jika Nabi mau mengawininya”.
Syarat sighat ijab dan qabul menurut Malikiyah, yaitu:
- Lafadz yang digunakan bermakna jelas seperti al-nikah, al-zawaj, dan
yang semakna dengannya.
- Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis.
57
Musthafa Diibu Bhigha, Fiqih Menurut Mazhab Syafi’i, (Semarang: Cahaya Indah, 1986),
h. 249. 58
Musthafa Diibu Bhigha, Fiqih Menurut Mazhab Syafi’i, (Semarang: Cahaya Indah, 1986),
h. 250. 59
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 311.
35
- Bersambungnya antara ijab dan qabul oleh pengantin laki-laki dengan
wali perempuan.
Wali nikah
Menurut Imam Malik, pernikahan tidak sah kecuali dengan adanya
wali, dan wali itu merupakan syarat sahnya pernikahan, dalam riwayat
Asyhab darinya dan Syafi‟i juga menyatakan demikian.60
Syarat menjadi wali nikah menurut Imam Malik, diantaranya:
- Islam
- Dewasa
- Laki-laki
Landasan hukum Imam Malik mengemukakan adanya wali dalam
perkawinan yaitu firman Allah di dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah
ayat 234, yang berbunyi: ن فسهن ابلمعروف والل با ت عملون فإذا ب لغن أجلهن فل جناح عليكم فيما ف علن ف أ
خبي
Artinya: “Dan apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.
Imam Malik berpendapat bahwa perwalian itu didasarkan atas ke
‘ashabahan (keluarga „ashabah), kecuali anak laki-laki dan keluarga
terdekat adalah lebih berhak menjadi wali.61
Saksi
Malikiyah tidak mencantumkan saksi ke dalam rukun pernikahan,
hanya saja, mereka berpendapat bahwasanya kesaksian dalam perkawinan
hukumnya adalah istishab yang berarti dianjurkan dan bukan merupakan
suatu kewajiban yang harus dipenuhi di dalam rukun nikah. Menurut
pendapat Imam Malik, bahwasanya saksi hukumnya tidak wajib di dalam
pernikahan, akan tetapi sebelum suami mendukhul (mencampuri) istrinya,
maka wajiblah ia mengumumkan (i‟lan) atau mendatangkan dua orang
60
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid II, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 14. 61
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terjemah Abdurrahman, A. Haris Abdullah, Juz 2, cet.
Ke- 1, (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1990), h. 374-375.
36
saksi. Apabila ia tidak mendatangkan dua orang saksi atau tidak
mengumumkannya, maka pernikahan tersebut batal.62
Dalil yang menjadi objek kesaksian tersebut adalah sabda Nabi
Muhammad SAW:
ف وف أعلن )رواه ابو داود(وا ىذا النكاح واضرب وا عليو ابلد
Artinya: “Umumkanlah pernikahan ini dengan memukul rebana”. (HR.
Abu Daud)
Calon pengantin laki-laki dan perempuan
Menurut pendapat Imam Malik, syarat-syarat calon mempelai laki-laki
dan perempuan adalah sebagai berikut:
- Berakal.
- Baligh.
- Kedua mempelai harus terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat
mereka dilarang kawin.
- Keduanya tidak sedang dalam keadaan ihram.
- Yang melakukan pernikahan harus jelas orangnya (terang).63
Mahar
Mahar merupakan salah satu di antara hak istri yang didasarkan atas
kitabullah, sunnah Rasul dan ijma‟ kaum Muslimin. Imam Malik
berkata, “Ukuran mahar minimalnya seperempat dinar berupa emas atau
tiga dirham berupa perak atau yang senilai dengan tiga dirham”.64
Jika
akad dilakukan kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi
percampuran (ba’da dukhul), maka suami harus membayar tiga dirham.
Namun, jika belum terjadi percampuran (qabla dukhul), maka dia boleh
memilih antara membayar tiga dirham atau membayar faskh akad,65
kemudian membayar mahar musamma.66
62
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 314. 63
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 346. 64
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid II, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 34. 65
Fasakh akad adalah pembatalan akad perkawinan. 66
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 365.
37
Mahar terdiri atas 2 macam:
1) Mahar Musamma
Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-
laki dan pengantin perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad. Para
Ulama Mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar
tersebut karena telah diatur di dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 20:
تم كان زوج و استبدال زوج م وإن أردت ئا ااحداىن قنارا فل تخذو ءات ي منو شي
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang
lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambilnya
kembali”.67
2) Mahar Mitsil
Mahar mitsil adalah standar nilai (mahar) yang diterima oleh
wanita-wanita sebandingnya di lingkungan kerabatnya yang berasal
dari garis ayahnya, seperti saudara atau bibi, bukan dari garis ibunya.
Sebab, Ibu terkadang berasal dari keluarga yang memiliki tradisi yang
berbeda dengan keluarga si Ayah. Jika tidak ditemukan wanita yang
sebanding dengan garis ayahnya, maka carilah wanita yang sebanding
atau sebayanya di lingkungan kampungnya.68
Tentang mahar mitsil ini, para ulama mazhab sepakat bahwa
mahar bukanlah salah satu rukun akad, sebagaimana halnya dalam jual
beli, tetapi merupakan salah satu konsekuensi adanya akad. Oleh
karena itu, akad nikah boleh dilakukan tanpa menyebutkan mahar, dan
bila sudah terjadi percampuran, maka ditentukanlah mahar mitsil. Jika
sang istri ditalak qobla dukhul (sebelum dicampuri), maka ia tidak
berhak atas mahar, melainkan harus diberi mut’ah (pemberian sukarela
dari suami). Pemberian mut‟ah itu sendiri dapat berupa pakaian, cincin,
dan lain-lain.69
Dalam kitab Kifayah Al-Ahyar, Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-
Husaini menyebutkan bahwa mas kawin adalah nama harta yang
67
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 364. 68
Abu Malik Kamal, Shahih Fikih Sunnah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 261. 69
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 366.
38
diberikan dari laki-laki kepada perempuan sebab pernikahan atau sebab
persetubuhan. Di dalam Al-Qur‟an, mas kawin juga dinamakan
shadaqah, nihlah, faridhah, dan ajr.70
Para ulama sepakat bahwa mahar termasuk salah satu syarat sahnya
pernikahan, dan tidak boleh mengadakan persetujuan untuk
meninggalkannya.71
Berdasarkan firman Allah SWT di dalam surat
An-Nisa ayat 4 yang berbunyi:
ريئا ء صدقاتن حنلة فإن طب لكم عن شيء م وءات وا النسا نو ن فسا فكلوه ىنيىئا م
Artinya: “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudia jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu
dengan senang hati, maka makalah (ambilah) pemberian itu (sebagai
makanan makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
Firman Allah SWT di dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 25:
ع م ن نكم طول أن ي نكح الم ومن ل يست ا ملكت ايانكم م ؤمنات فمن م
حصنات امل
ىلهن انكحو ىن يذن أ وهللا اعلم ييانكم ب عضكم من ب عض ف ف ت ياتكم المؤمنات
ر مسافحات ول متخذات أخدان فإذا لمعروف مصن وءات وىن أجورىن اب ات غي
لعذاب ذالك لمن أحصن فإن أت ي بفاحشة ف عليهن نصف ما على المحصنات من ا
ر لكم و خشي غفور رحيم اهللا العنت منكم وأن تصربوا خي
Artinya: “Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak
cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman,
ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang
kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebagian kamu adalah
dari sebagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin
tuan mereka, dan berilah mas kawin mereka menurut yang patut,
sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina
70
Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatu al-Ahyar, Terjemah Achmad Zaidun dan
A.Ma‟ruf Asrori, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1997), h. 406. 71
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid II, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 449.
39
dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki sebagai piaraannya;
dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian
mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka
separuh separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami. Kebolehan menikahi budak itu adalah bagi orang-orang
yang takut kepada kemasyrakatan menjaga diri (dari perbuatan zina)
diantara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Mahar dapat berupa sebagai berikut:
1. Semua benda yang dapat dijadikan alat penukaran (tsaman) dalam jual
beli. Maksudnya adalah, mahar dapat berupa barang yang bernilai
ekonomis, suci, halal, bisa dimanfaatkan, dan diserah-terimakan,
misalnya uang, barang, atau sejenisnya. Allah SWT berfirman di dalam
Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 4:
ئا م نو ن فسا فكلوه ىني ري ئا وءات وا النساء صدقا تن حنلة فإن طب لكم عن شيئ م
Artinya: “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu
dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
2. Menurut Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad bin Hambal, bahwasanya
setiap pekerjaan (jasa) yang mendapat upah boleh dijadikan sebagai
mahar. Misalnya mengajarkan Al-Qur‟an, pekerjaan tangan,
pelayanan, dan sejenisnya.
Allah SWT telah mengisakan kepada kita, tentang Bapak tua yang
menikahkan Musa AS dengan salah satu puterinya dengan mahar
bekerja selama delapan tahun pada pekerjaan si Bapak. Allah SWT
berfirman di dalam Al-Qur‟an surat Al-Qashas ayat 27:
ن ر ج ت ن ى أ ل ع ي ات ى ت ن ى اب د ح إ ك ح ك ن أ ن أ د ي ر أ ين إ ل قا ت م مت أ ن إ ف ج ج ح اين
ي ال الص ن م هللا اء ش ن إ ن د ج ت س ك ي ل ع ق ش أ ن أ د ي ر ا أ م و ك د ن ع ن م ا ف ر ش ع
40
Artinya: “Berkatalah dia (Syu‟aib): “Sesungguhnya aku bermaksud
menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar
bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan
sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku
tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang baik”. Hal tersebut memang syari‟at ummat
sebelum Islam, namun selama tidak ada dalil yang membatalkannya,
maka ia tetap sah dan berlaku bagi kita.
Selain itu, dalam cerita tentang wanita yang menyerahkan dirinya
untuk dikawini, Rasulullah SAW berkata pada laki-laki yang ingin
mengawininya:
)رواه صحيح خباري مسلم(اذىب ف قد أنكحتكها با معك من القران
Artinya: “Pergilah, aku telah nikahkan kamu dengannya dengan (mahar)
Al-Qur‟an yang kamu miliki”. (HR. Shahih Bukhari Muslim).
Dalam hadits tersebut, yang dimaksud mahar Al-Qur‟an disini adalah
jasa pengajaran satu surah atau lebih dari Al Qur‟an yang ia hapal kepada
mempelai wanita.
1. Memerdekakan budak atau tawanan
Hal ini berdasarkan hadits berikut:
ن : أ ال ق س ن أ ن : ع اب ح ب ال ن ب ب ي ع ش و ت ب ث ن : ع اد ا مح ن ث د : ح د ي ع س ن ب ة ب ي ت ا ق ن ث د ح
(ا )رواه البخاريه ق د ا ص ه ق ت ع ل ع ج , و ة ي ف ص ق ت ع ملسو هيلع هللا ىلص أ هللا ل و س ر
Artinya: “Qutaibah bin Sa‟id telah menceritakan kepada kami: Hammad
telah menceritakan kepada kami: dari Tsabit dan Syu‟aib bin Habhab,
dari Anas, dia berkata: Sesunggyhnya Rasulullah SAW memerdekakan
Shafiyah, dan menjadikan tebusannya sebagai mas kawinnya”. (H.R.
Bukhari, no. 5086).72
2. Memeluk Islam dapat dijadikan sebagai mahar.
Dikisahkan oleh Anas bin Malik, di dalam perkataannya: “Abu Thalhah
menikahi Ummu Sulaim dengan mahar “masuk Islam”. Dikisahkan
bahwa Ummu Sulaim lebih dahulu memeluk Islam daripada Abu
72
Abu Daud Sulaiman bin Asy‟ast Asy-Syijistani, Sunan Abi Daud, Edisi IV, (Beirut: Darul
Kutub Al-Ilmiyyah, 2010), h. 336.
41
Thalhah. Saat melamarnya, Ummu Sulaim berkata kepadanya, “Aku telah
memeluk Islam. Jika kamu masuk Islam, maka aku bersedia menikah
denganmu”, Abu Thalhah pun masuk Islam dan menjadikannya sebagai
mahar antara keduanya.73
C. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Pernikahan bertujuan untuk memenuhi hajat manusia, sesuai
petunjuk agama, dalam rangka mewujudkan keluarga harmonis, sejahtera,
bahagia lahir dan batin, berlandaskan cinta kash sayang. Dalam Al-
Qur‟an surat Ar-Rum ayat 21, Allah SWT menyatakan bahwa isteri
diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk laki-laki.74
Supaya tercipta
kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai roh keIslaman yakni sakinah,
mawaddah, dan rahmah (mencintai, merasa tentram dan kasih sayang)
antara suami isteri.
Firman Allah di dalam Al-Qur‟an surat Ar-Rum ayat 21:
نكم م ها وجعل ب ي رمحة إن ف ودة و ومن ءايتو أن خلق لكم من أن فسكم أزواجالتسكن وا إلي
رون يت لقو ذلك أل م ي ت فك
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia yang
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang, sesungguhnya yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.75
Imam Al-Ghazali menguraikan di dalam Ihyanya tentang faedah
melangsungkan perkawinan, maka tujuan pernikahan diantaranya ialah:
1. Mendapatkan dan melangsungan keturunan
2. Memenuhi hajat naluri untuk mendapatkan kasih sayang, dan
ketentraman hidup.
73
Abu Malik Kamal, Shahih Fikih Sunnah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 250-253. 74
Zurinal Z dan Amiruddin, Fiqih Ibadah, (Jakarta: CV. Sejahtera, 2008), h. 209. 75
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2012), h. 261-262.
42
3. Motivasi memilih pasangan hidup.76
4. Memenuhi perintah agama.
5. Menimbulkan kesungguhan bertanggung jawab, menerima hak dan
kewajiban.
6. Membangun keluarga bahagia, masyarakat muslim damai.
7. Memelihara diri dari kerusakan.
8. Meningkatkan ibadah kepada Allah.
9. Mencari harta yang halal.77
Adapun hikmah pernikahan, diantaranya yaitu:
1. Mampu membuat wanita melaksankan tugasnya sesuai dengan tabiat
kewanitaan yang diciptakan.
2. Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan
berkembang biak dan berketurunan.
3. Mampu menjaga suami dan istri agar tidak terjerumus dalam perbuatan
nista, dan mampu menahan syahwat dan pandangan dari sesuatu yang
diharamkan oleh Allah SWT.
76
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2003), h. 81. 77
Abdul Rahman Al-Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2003), h. 28-
29.
43
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN AHLU THARIQAH
DAN PRAKTIK PERNIKAHAN DI DESA PAREBAAN
A. Deskripsi Singkat Ahlu Thariqah di Parebaan
1. Desa Parebaan
Asal mula desa Parebaan dahulunya disebut dengan kata Papareng dan
Rebbe yang diakhiri oleh akhiran 'an', jika digabungkan maka menjadi
Parebaan. Pemerintah desa Parebaan merupakan satu pemerintahan yang
ada sejak zaman kerajaan, sesuai dengan perkembangan keadaan dan
kondisi masyarakatnya, maka wilayah Parebaan ini terdiri dari 2 (dua)
dusun, yaitu dusun masjid dan dusun keramas.1
Desa Parebaan terletak di bagian perbatasan atau pinggiran wilayah
kecamatan Ganding. Desa ini memiliki luas administrasi 0,3 km dengan
luas wilayah 30.160 ha, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Desa Ketawang Daleman
b. Sebelah Timur : Desa Ketawang Karay dan Larangan
c. Sebelah Selatan & Barat : Desa Ketawang Laok, Kecamatan
Guluk-guluk.2
Pada dasarnya masyarakat Parebaan adalah masyarakat agamis, yang
menjadikan agama Islam sebagai keyakinannya. Secara akademik,
masyarakat Parebaan ini rata-rata alumni pondok pesantren, dimana faktor
ini juga didukung dengan adanya beberapa Pondok Pesantren Salaf yang
mengapit desa tersebut, sehingga pemahaman mereka terhadap masalah
keagamaan sangat dominan dan dapat dikatakan masyarakat Parebaan
adalah masyarakat yang mengenyam pendidikan agama mulai sejak lahir
sampai menjelang hayatnya, karena keaktifan mereka yang mengikuti
kajian di Pondok Pesantrennya. Mayoritas masyarakat Parebaan
berpedoman kepada mazhab Syafi‟i yang sudah mendarah daging,
sebagaimana ajaran yang diterapkan oleh pondok tersebut dari amalan
1 Abdullah, Kepala KUA Desa Parebaan Kecamatan Ganding, Interview Pribadi, Parebaan, 22
Januari 2019. 2 Ketawang Parebaan Kuliah Kerja Nyata, Wikipedia Pulau_Madura/2018/02/03/profil-
desa.html.
43
44
„ubudiyah (ibadah) maupun amalan muamalah yang mereka gunakan
hingga saat ini.3
Di samping sangat memegang teguh ajaran yang sudah disyari‟atkan
dalam Islam, masyarakat Parebaan juga sangat memegang teguh
kebudayaan yang sudah bertahun-tahun mereka lakukan yang telah
diwasiatkan oleh nenek moyangnya, contohnya seperti anak yang sudah
beranjak dewasa harus dibawa kepada seorang kyai yang menguasai ilmu
untuk memagari anaknya dari senjata tajam (kekebalan) atau ilmu-ilmu
hitam supaya dapat menghindari dari orang-orang yang bermaksud jahat
(sihir), dan juga agar anak tersebut tidak mudah berbuat dosa besar (zina),
karena ketika ilmu itu sudah dimasukkan ke dalam tubuh seseorang ada
beberapa pantangan yang harus ditaati, seperti tidak boleh melakukan dosa
besar. Maka apabila pantangan tersebut dilanggar, ada konsekuensinya
bahwa tubuh yang telah dipagari oleh ilmu-ilmu tersebut maka akan
membusuk atau seseorang itu dapat terkena penyakit yang sangat sulit
untuk disembuhkan, sehingga pemagaran ilmu di dalam tubuh seseorang
tersebut tidak hanya dibatasi untuk kekebalan dari berbagai penyakit, akan
tetapi supaya tidak terjerumus dalam perbuatan yang dilarang oleh agama.4
Penduduk desa Parebaan pada umumnya bermata pencaharian sebagai
petani dan pedagang. Secara umum kondisi fisik desa Parebaan tidak
memiliki kesamaan dengan desa-desa lain di wilayah kecamatan Ganding.
Tanah nya yang seluas 30.160 ha yang terbagi dalam satu fungsi
penggunaan yaitu tanah pekarangan, pemukiman, dan lahan kering.5
2. Ahlu Thariqah
Tarekat Naqsyabandiyah adalah salah satu tarekat yang secara khusus
dikenal dengan praktik dan teknik zikirnya yang memiliki karakter
tersendiri di dalam hati (khafi).6 Tarekat Naqsyabandiyah ini memiliki
kebijakan dan ikhtiar yang tidak terpisahkan dari berbagai ritual ibadah.
Pada zaman Abu Bakar as-Siddiq hingga zaman Syekh Abu Yazid al-
3 Amir Syaifuddin, Kepala Desa, Interview Pribadi, Parebaan, 17 Januari 2019.
4 Ahmad Mu‟is, Sekretaris Desa, Interview Pribadi, Interview Pribadi, Parebaan, 17 Januari
2019. 5 Ketawang Parebaan Kuliah Kerja Nyata, Pulau_Madura/2018/02/03/profil-desa.html.
6 Muhammad Arifin Ilham, Hikmah Zikir Berjamaah, (Jakarta: Republika, 2003), h. 1-3.
45
Bistami, saat tarekat ini dikenal dengan nama Shiddiqiyah, amalan
khususnya adalah dzikir khafi (dzikir dalam hati). Ketika dikenal dengan
nama Taifuriyah, tarekat ini mengedepankan tema khusus yakni cinta dan
makrifat. Periode setelahnya, Tarekat Naqsyabandiyah diperkuat dengan
delapan prinsip asas, yakni yad kard (ingat; senantiasa menyebut nama
Allah), baz gasyt (kembali; mengembalikan segalanya pada Allah), dan
nigah dasy (waspada; selalu menjaga pikiran dan perasaan), yad dasy
(mengingat kembali; bahwa segala sesuatu berasal dari Allah), hush dar
dam (sadar sewaktu bernafas; menyadari keberadaan Allah dalam setiap
hela nafas), nazar bar qadam (menjaga langkah), safar dar watan
(melakukan perjalanan di daerah sendiri/batin), dan khalwat dar anjuman
(sunyi sepi di tengah keramaian; selalu menyibukkan diri dengan ibadah).7
Pernikahan thariqah ini muncul di Desa Parebaan Kecamatan Ganding
Kabupaten Sumenep awal mulanya dibawa oleh seorang ustadz yang
bernama Masyhudi yang telah lama menuntut ilmu di salah satu Pondok
Pesantren yang bernama “Rhoudhatut Thalibin”, pesantren tersebut
bertempat di Kabupaten Pamekasan, kemudian Masyhudi dipercaya oleh
pengasuh pondok tersebut dan diangkat menjadi seorang ustadz.
Kemudian ia mempunyai banyak relasi melalui orang-orang yang
bertandang ke Pondok atau sowan ke pengasuh pondok itu, hingga suatu
ketika ia bertemu dengan seseorang yang bernama Achmad Zaini, tepatnya
pada tahun 2013 yang berasal dari desa Banyuates Sampang, di mana dia
juga adalah seorang santri alumni salah satu Pondok Pesantren di
Pamekasan yang pada saat itu sedang menjalani misinya sebagai seorang
yang mengunjungi setiap Pondok Pesantren dan kebetulan sedang
berkunjung ke tempat Masyhudi mondok.8
Berawal dari pertemuan tersebut, terjadilah komunikasi dan saling
tukar pengalaman juga pengetahuan antara Masyhudi dan Achmad Zaini,
hingga pada akhirnya Achmad Zaini bercerita tentang keberadaan cara
pernikahan baru yang dia anut, dan pernikahan itu dikenal dengan istilah
“Nikah Thariqah”. Menurutnya, pernikahan ini merupakan hasil dari
7 Ahmad Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah, (Jakarta: PT Al-Husna Zikra, 1999), h.
60-61. 8 Mohammad Khoiri, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 17 Januari 2019.
46
golongan Ahlu Thariqah Naqsyabandi. Di mana pernikahan ini
mempunyai perbedaan dengan pernikahan yang telah ditentukan oleh
imam madzhab secara syar‟i. Nikah Thariqah ini diartikan sebagai jalan
khusus dalam melakukan pernikahan, sehingga yang berhak melakukan
pernikahan ini adalah orang-orang yang sudah menganut Thariqah saja.
Bagi orang yang melakukan pernikahan dengan tatacara Nikah Thariqah
ini, maka ada jaminan anaknya kelak akan menjadi seorang Wali atau
petinggi Agama. Selain itu menurutnya, pernikahan ini mempunyai tujuan
untuk menjaga kemashlahatan ummat agar tidak terjerumus dalam jurang
perzinahan, sehingga melahirkan sebuah bentuk pernikahan baru sebagai
alternatif bagi kaum muslimin agak tidak terjebak dalam maksiat yang
memang dilarang oleh Allah SWT.9
Ketika Ustadz Masyhudi mendapatkan ilmu baru dalam pelaksanaan
akad pernikahan Thariqah dari Achmad Zaini, dia tidak langsung
mengimani keberadaan metode pernikahan tersebut, ia masih bertanya-
tanya benarkah metode yang baru didapatnya telah diakui kebenarannya
oleh ulama dan telah termaktub dalam kitab-kitab fiqih, ataukah hanya
hasil buatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan hanya
mengada-ada saja, dengan begitu akhirnya Achmad Zaini menegaskan
kepada Masyhudi untuk mencari kebenaran atas keberadaan Nikah
Thariqah yang tidak merujuk pada Ulama atau kitab-kitab fiqih, melainkan
langsung bertanya kepada orang yang telah dianggap sebagai wali. Karena,
menurut Achmad Zaini Nikah Thariqah itu adalah bentuk pernikahan yang
memang berbeda dengan metode pernikahan secara syari‟at.
Walaupun sudah dijelaskan secara detail oleh Achmad Zaini sebagai
pembawa paham Nikah Thariqah, Masyhudi tidak langsung percaya akan
kebenaran metode pernikahan tersebut, melainkan Masyhudi terus
menerus mencari jawaban atas keraguannya dalam pernikahan Thariqah
itu.10
Pada suatu ketika, Masyhudi menceritakan hal tersebut kepada
temannya yang sama-sama menjadi ustadz pada waktu itu. Ia menceritakan
tentang ilmu pernikahan yang baru ia dapat dari seorang musafir yang baru
9 Masyhudi, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019.
10 Masyhudi, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 01 Februari 2019.
47
ia kenalnya, setelah ia menceritakan dari awal hingga akhir tentang
pernikahan Thariqah beserta tata cara pernikahan tersebut, kemudian
teman-temannya pun merasa terheran (penasaran) dan ingin membuktikan
kebenaran metode pernikahan barunya itu. Beberapa waktu kemudian
ketika ada kesempatan, teman dari Masyhudi langsung pergi ke tempat
seorang kyai yang menurut masyarakat sekitar kyai itu mempunyai
pangkat wali (welina Allah) dan bertempat tinggal di Pamekasan,
kedatangan teman teman Masyhudi ini adalah untuk mendapatkan jawaban
atas persoalan pernikahan Thariqah tersebut. Ketika teman-teman
Masyhudi tersebut masuk ke dalam rumah kyai tersebut dan duduk, teman
Masyhudi langsung membuka obrolan tentang pernikahan thariqah yang ia
dapat dari seorang musafir yang bernama Ahmad Zaini tersebut.
Kemudian, sang kyaipun menjawab “Boleh melaksanakan pernikahan
tersebut, tetapi pernikahan itu digunakan untuk sebagian golongan saja,
yang menggunakannya adalah orang-orang mukmin yang memang
mempunyai pegangan atau sudah menguasai aliran thariqah dan yang
sudah mu‟tamat hakikat atau orang „alim yang mukmin dan ma‟rifah nya
sudah sangat dekat kepada Allah. Jadi, pernikahan tersebut memang
dibenarkan dalam Islam karena tanpa adanya wali yang dzahirpun
pernikahannya sudah sah seperti pendapatnya Abu Hanifah, ketika
perempuan yang akan kamu nikahi sudah mengerti hukum atau baligh
maka boleh saja dengan cara pernikahan thariqah seperti ini”.11
Sejak adanya peristiwa tersebut, ustadz Masyhudi dan teman-temannya
langsung mengimani atau mempercayai kebenaran dari pernikahan
tersebut dan kemudian mengamalkannya hingga saat ini. Kemudian,
setelah Masyhudi pulang ke rumah karena ia sudah lulus di Pondoknya
pada saat itu, Masyhudi langsung mengamalkan cara pernikahan tersebut,
akan tetapi dia tidak mau langsung mempublikasikan kepada masyarakat
tentang adanya cara pernikahan yang baru ia percayainya tersebut.
Kemudian Masyhudi menihak dengan seorang perempuan asal Madura
yang bertempat tinggal di Desa Parebaan juga, perempuan itu bernama
Nihayatus Sa‟adah. Di dalam pernikahannya, Masyhudi dan juga calon
11
Masyhudi, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019.
48
istrinya tetap menggunakan akad pernikahan secara hukum Islam, karena
secara tidak langsung ia merasa khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan ketika mempublikasikan model pernikahan yang baru
dikenalnya. Setelah resmi menikah, ia sering pergi ke luar kota tanpa
didampingi oleh istri, disanalah ia mengamalkan Nikah Thariqah ketika
jauh dari isterinya (ke luar kota). Hal seperti itu ia lakukan karena
beralasan khawatir sampai terjerumus ke dalam perbuatan yang telah
dilarang oleh Allah (berbuat zina).12
Seperti di dalam perkataan Masyhudi:“Nikana guleh ben bineh selaen
ngangguy se biasa ngangguy nikah thariqah keyah polana mondeddi anak,
anaeh bhekkal deddi oreng wali”. Jadi, ketika menikahi isterinya
Masyhudi tidak menggunakan pernikahan secara syari‟at saja, melainkan
menggunakan metode pernikahan thariqah juga dengan harapan ketika
mempunyai keturunan, maka anaknya kelak akan menjadi seorang wali
Allah atau petinggi agama seperti yang telah dijelaskan oleh gurunya.13
Masyhudi menggunakan praktik pernikahan thariqah meskipun sudah
mempunyai isteri, hal itu ia lakukan karena daripada ia melakukan
perbuatan yang dilarang oleh Allah (zina), lebih baik ia menggunakan
metode pernikahan tersebut, walaupun pada saat itu ia belum berani untuk
mempublikasikan secara langsung kepada orang-orang, karena ia takut
ajaran yang ia bawakan ini dianggap ajaran sesat oleh orang awam.
Metode yang diajarkan dalam pernikahan thariqah ini yaitu
membolehkannya seorang laki-laki dan perempuan menikah tanpa adanya
wali nikah ataupun saksi nikah. Maka dari itu, pernikahan ini sangat
mudah untuk dilakukan bagi orang yang percaya akan metode pernikahan
tersebut karena hal itu bisa dianggap menjadi salah satu solusi yang tepat
ketika berada jauh dari isteri dan dalam keadaan mempunyai keinginan
syahwat yang sudah tidak bisa dibendung lagi untuk melakukan hubungan
badan dengan lawan jenis.14
12
Moh. Khoiri, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Ketawang Parebaan, 23 November
2018. 13
Masyhudi, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019. 14
Moh. Khoiri, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Ketawang Parebaan, 23 November
2018.
49
Pada tahun 2015 Masyhudi bertemu teman-temannya ketika dahulu ia
mondok di Pamekasan, tepatnya di Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin,
kemudian ia menceritakan metode pernikahan thariqah tersebut kepada
teman-teman yang lainnya dan ia pun berusaha untuk meyakinkan bahwa
pernikahan thariqah memang dibenarkan dalam Islam karena telah
mendapatkan fatwa dari seorang kyai pada saat ia menanyakan tentang
kebenaran pernikahan tersebut. Lalu teman-temannya seperti Mohammad
Khoiri, Ahmad Baihaqi, Ali Al-Hinduniyah, Abul, Martala, dan Supandi
menerima atas kebenaran ajaran pernikahan thariqah yang telah Masyhudi
ceritakan. Akhirnya, disanalah mereka membuat suatu kelompok atau
golongan untuk menganut aliran thariqah secara syari‟at.
Thariqah yang mereka percayai yaitu Thariqah Naqsyabandi, penulis
mewawancarai salah satu Habib Ahlu Thariqah, ia mengemukakan
pendapatnya, yang berisi:
“Jadi, tarekat ini adalah jalan menuju Allah, karena orang itu ingin
benar-benar taqarrub ilallah. Jalan tasawwufnya yaitu menggunakan
tarekat Junaidiyyah, dan thariqah ini berpegang teguh kepada imam Abu
Hanifah. Ajaran tarekatnya di sepertiga malam kita mendalami keimanan
kita untuk mengenal Allah lebih dekat dengan dzikir dan amalan
„ubudiyah lainnya. Thariqah ini berpedoman kepada Al-Qu‟ran, As-
Sunnah, ijma‟ karena kami mentaati ajaran-ajaran Abu Hanifah secara
menyeluruh”.15
Masyhudi dan teman-temannya menganut Tarekat Naqsyabandi supaya
dapat mendekatkan diri kepada Allah dan menurutnya dapat meningkatkan
keimanannya hingga mencapai kepada mu‟tamat hakikat16
seperti orang
„alim yang mukmin dan ma‟rifah17
nya sudah sangat dekat kepada Allah
agar dapat melaksanakan pernikahan thariqah tersebut secara sempurna
seperti yang sudah diajarkan oleh guru sebelumnya.
Seiring berjalannya waktu, penganut aliran Ahlu Thariqah ini terus
bertambah dengan pesat di Desa Parebaan Kecamatan Ganding Kabupaten
15
Ali Al-Hinduniyyah, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019. 16
Dalam pemaparan Habib Ali Al-Hinduni, yang dimaksud dengan Mu‟tamat Hakikat adalah
tingkatan keimanan seseorang yang sudah benar benar memiliki gelar „alim atau beriman (kyai atau
ulama). 17
Ma‟rifah dapat diartikan sebagai rasa kecintaan seseorang kepada Allah yang sudah sangat
dekat dengan sang penciptanya.
50
Sumenep, dan sekarang pernikahan thariqah sudah tidak asing lagi, karena
mereka menganggap metode pernikahan ini adalah metode pernikahan
yang efektif dan praktis untuk dilakukan dan tidak sulit karena tujuannya
supaya menghindari daripada perbuatan dosa besar yang telah dilarang
oleh Allah SWT.
B. Praktik Pernikahan Thariqah di Parebaan
Awal mula pertemuan antara calon mempelai laki-laki dan calon
mempelai perempuan terjadi secara alami, walaupun tidak sedikit dari
orang-orang golongan Thariqah yang menjodohkan anak-anak mereka
dengan saudaranya sendiri. Sehingga dengan hal ini, mereka bisa saling
menjaga keturunan satu dengan yang lainnya.18
Setelah terjadinya perkenalan, selanjutnya adalah peminangan atau
yang biasa disebut dengan lamaran. Dalam prosesi lamaran ini, orang tua
calon suami mendatangi kediaman perempuan, dengan tujuan meminta
anaknya untuk dipinang atau tidak dilepas pada orang lain (epangger)19
.
Pada proses peminangan ini, rumah dari keluarga perempuan dihadiri oleh
keluarga calon mempelai laki-laki. Kedua keluarga tersebut saling
bercengkrama untuk mengenal lebih dekat antar keluarga. Acara lamaran
keduanya pun dimulai, dari pihak laki-laki meminta izin untuk melamar
seorang anak perempuannya yang akan dijadikan sebagai calon istri.
Kemudian, keluarga si perempuan mempunyai hak untuk menyetujui atau
tidak dari lamaran tersebut, jika pihak perempuan menyetujui lamaran itu,
maka keduanya harus saling berkomitmen untuk menghormati dan
memahami dalam berbagai perbedaan keduanya, prosesi lamaran pun telah
selesai, dan ditutup dengan lantunan do‟a untuk memanjatkan keridhaan
Allah atas semua yang kita libatkan dalam acara tersebut.20
Selanjutnya, kedua belah pihak keluarga menentukan tanggal pernikahan.
18
Ahmad Muis, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 01 Januari 2019. 19
Epangger diartikan sebagai orang lain sudah tidak diperbolehkan lagi masuk untuk melamar
perempuan tersebut karena sudah ada yang memiliki. 20
Ali Al-Hinduniyyah, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019.
51
Setelah ditentukannya tanggal pernikahan, pada prosesi ini biasanya
yang berada dari golongan Ahlu Thariqah yaitu dari pihak calon mempelai
laki-laki, keluarga dari pihak laki-laki menjemput Habib Ahlu Thariqah
untuk mendatangi keluarga calon mempelai perempuan, sekaligus
memberikan arahan dan kesepakatan untuk melaksanakan pernikahan
thariqah. Setelah semuanya dipersiapkan dengan matang, dan kedua
keluarga mempelai telah setuju untuk melaksanakan pernikahan, maka
pernikahan inipun berlangsung. Dengan menggunakan pakaian gamis
berwana putih untuk calon pengantin perempuan, dan baju koko berwarna
putih untuk calon pengantin laki-laki. Seluruh keluarga hanya berada di
tempat kediaman (rumah) mempelai perempuan yang akan dinikahinya.
Prosesi pernikahan pun dimulai, salah satu Habib Ahlu Thariqah
mengajak kedua pengantin ke tempat yang sepi untuk melakukan akad
nikah, tanpa dihadiri oleh wali dan saksi. Setelah sampai di tempat
tersebut, sang Habib memberikan arahan dalam pelaksanaan akad nikah,
ketika kedua mempelai telah mengerti pelaksanaan pernikahan tersebut,
maka Habib yang mendampingi dan memberikan arahan tadi mulai
meninggalkan kedua calon mempelai, dan Habib tersebut hanya
menyaksikan dari kejauhan untuk mengawasi keduanya dan memastikan
mereka benar-benar menikah dengan paham golongan tersebut.
Kemudian kedua mempelai saling memejamkan mata, calon mempelai
laki-laki dan perempuan saling berjabat tangan seerat mungkin, jempol
calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan sama-sama
menyentuh, kemudian sighat mulai dibacakan oleh pengantin laki-laki,
yang berbunyi: “Neat engsun panikagi syekh warumani lansirullah
syahudeh malaekat se empa‟ pangolona Nabi Muhammad e pakabin e
jeuheur awwel maskabinah syahedet sejati Allahu Muhammad abeli dha‟
ka Allah tor jumennengah dhibi‟ laa ilaaha illallah muhammadur
rosulullah”.21
Artinya: “Saya niat, menikahkan diri saya atas syekh
warumani lansirullah syuhada malaikat yang empat penghulunya beserta
Nabi Muhammad, yang dikawinkan dijauhar awwal, dengan maskawin
syahadat sejati Allah dan Muhammad kembali kepada Allah dengan
21
Masyhudi, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019.
52
berdirinya sendiri lafadz Laa ilaaha illallah Muhammadurrosulullah”.
Pembacaan akad ini mengandung maksud, karena yang menjadi wali nikah
langsung Allah SWT, dan Nabi Muhammad yang bertindak sebagai
penghulu. Kemudian disaksikan oleh 4 (empat) malaikat.
Setelah selesai, maka jempol tangan keduanya boleh dilepaskan dan
boleh membuka mata. Pernikahan thariqah pun telah dinyatakan sah oleh
Habib Ahlu Thariqah, ketika semua akad pernikahan telah terlaksana maka
seluruh keluarga boleh ikut serta meramaikan setelah selesai akad
pernikahan tersebut.
Rukun dan syarat pernikahan thariqah, antara lain:
Calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan.
Dalam pernikahan thariqah calon mempelai laki-laki dan perempuan
memiliki syarat sebagai berikut:
- Beragama Islam.
- Berakal sehat.
- Baligh.
- Suka sama suka (tidak dipaksa atau kemauan sendiri).
- Kedua mempelai bukan orang yang haram dinikahi.
- Tidak sedang melaksanakan ihram.22
Sighat (ijab qabul).
Dalam ijab dan qabul pernikahan thariqah ini, yang membaca sighat
harus laki-laki dan kedua mempelai memejamkan mata. Kemudian,
mempelai laki-laki mulai membacakan sighat yang berbunyi: “Neat
engsun panikagi syekh warumani lansirullah syahudeh malaekat se empa‟
pangolona Nabi Muhammad e pakabin e jeuheur awwel maskabinah
syahedet sejati Allahu Muhammad abeli dha‟ ka Allah tor jumennengah
dhibi‟ laa ilaaha illallah muhammadur rosulullah”.23
Artinya: “Saya niat,
menikahkan diri saya atas syekh warumani lansirullah syuhada malaikat
yang empat penghulunya beserta Nabi Muhammad, yang dikawinkan
dijauhar awal, dengan maskawin syahadat sejati Allah Dan Muhammad
kembali kepada Allah dengan berdirinya sendiri Laa ilaaha illallah
22
Mohammad Baihaqi, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Ketawang Parebaan, 02
Desember 2018. 23
Masyhudi, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019.
53
Muhammadurrosulullah”. Pembacaan akad ini mengandung maksud,
karena yang menjadi wali nikah langsung Allah SWT, dan Nabi
Muhammad. Kemudian disaksikan oleh 4 (empat) malaikat.
Pembacaan sighat tersebut mengandung arti bahwasanya mempelai
laki-laki menikahkan dirinya kepada perempuan atas dasar Allah yang
Maha Menyaksikan segalanya dan wali Allah (Nabi Muhammad).
Maksud daripada malaikat yang empat penghulunya yaitu mempunyai
makna pernikahan mereka dihadirkan oleh 4 (empat) malaikat, keempat
malaikat tersebut diantaranya adalah: malaikat di samping kanan dan kiri
yaitu Rakib dan Atid yang bertugas sebagai mencatat kebaikan dan
keburukan manusia, kemudian malaikat Jibril menyampaikan wahyu pada
Nabi dan Rasul, Mikail yang dapat memberi rizqi kepada manusia
terutama untuk kedua mempelai yang akan menyempurnakan separuh
agamanya. Dan mereka mempercayai adanya 4 (empat) malaikat ini hadir
dan menyaksikan keduanya (calon mempelai laki-laki dan perempuan)
pada pernikahan tersebut.24
Di dalam kalimat sighat pernikahan thariqah tersebut disebutkan
“Jauhar Awal”, makna dari kata tersebut adalah pernikahan kedua
mempelai dilaksanakan ketika di bulan Jumadil Awal. Jika pernikahan itu
dilaksanakan di bulan Syawal maka kalimat tersebut akan diubah sesuai
dengan pelaksanaan pernikahan keduanya.25
Mahar (berbentuk syahadat)
Harus di tempat yang sepi
Wanita-wanita yang boleh dinikahi menurut paham Nikah Thariqah
adalah:
Suka sama suka.
Tanpa adanya wali.
Tidak boleh wanita yang sedang dinikahi orang.
Mahar berupa syahadat atau lantunan ayat Al-Qur‟an.26
Adapun aturan yang harus dijalani oleh penganut Ahlu Thariqah yaitu:
24
Martala, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 01 Februari 2019. 25
Masyhudi, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 01 Februari 2019. 26
Moh. Khoiri, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Ketawang Parebaan, 23 November
2018.
54
Wajib mendekatkan diri kepada Allah, sehingga bisa mencapai maqam
wali Allah.
Dilarang bermain perempuan.
Tidak sembarang orang menggunakan metode pernikahan thariqah
tersebut.27
Ali Al-Hinduniyah (Habib Ahlu Thariqah) berpendapat: “Jadi, Thariqah
ini adalah perjalanan menuju Allah, kalau dengan bahasa nya yaitu thariq
yang berarti jalan. Orang-orang thariqah ini adalah orang-orang yang
berjalan dan betul-betul ingin mendalami keimanannya kepada Allah, dan
thariqah ini dinisbatkan kepada Allah. Nama Naqsyabandi ini julukan oleh
Syekh Baharuddin, ia yang menjulukkan kata Naqsyabandi. Jalan yang
diambil yaitu fiqih-fiqih yang diajarkan oleh Imam Junaidiyah. Thariqah ini
sudah hampir lama berdiri, dari tahun 2009 lalu. Tetapi, baru banyak yang
masuk ke dalam thariqah ini ketika tahun 2015. Thariqah ini sendiri
memegang teguh ajaran agama Islam dan berpedoman kepada Imam Abu
Hanifah, yang mana dalam penerapan pernikahan thariqah tidak
menggunakan adanya wali dan saksi”.28
Menurut paham Thariqah ini, wali itu dapat langsung menggunakan
Allah dan saksinya adalah Nabi Muhammad. Metode pernikahan yang
mereka gunakan ini mengacu pada zaman Nabi Adam AS, di mana ketika
melakukan pernikahan dengan Siti Hawa hanya kedua mempelai saja (Adam
dan Hawa), tanpa diketahui orang lain selain Allah dan Nabi Muhammad,
karena pada waktu itu belum ada orang selain mereka berdua. Sehingga
dalam salah satu rukun dan syarat pernikahan thariqah yaitu diharuskan
berada di tempat yang sepi, membayangkan seolah-olah hanya tinggal
berdua saja dengan perempuan yang akan dinikahi, dan Habib Thariqah
(tokoh agama Ahlu Thariqah) hanya mengawasinya dari jarak kejauhan.29
27
Moh. Khoiri, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Ketawang Parebaan, 01 Februari
2019. 28
Ali Al-Hinduniyyah, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019. 29
Masyhudi, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019.
55
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PERNIKAHAN
THARIQAH DI PAREBAAN
1. Sighat Pernikahan Thariqah
Dalam praktik pernikahan thariqah yang hanya dilakukan berdua
antara pihak laki-laki dan pihak perempuan dengan didampingi oleh salah
seorang Habib yang ikut serta menyaksikan dari kejauhan tempat kedua
mempelai menikah, di mana hal ini menjadi salah satu syarat dari
pernikahan thariqah. Setelah berada dalam kondisi yang tenang, kemudian
dilanjutkan dengan berjabat tangan se-erat mungkin antara kedua mempelai
dengan jempol saling menyentuh antara laki-laki dan perempuan yang akan
melakukan akad pernikahan, kemudian sighat nikahpun dilantunkan oleh
calon mempelai laki-laki.1
Adapun sighat yang digunakan dalam akad pernikahan thariqah ini
adalah sighat khusus berdasarkan hasil ijtihad golongan thariqah sendiri,
yang berbunyi:
“Neat engsun panikagi syekh warumani lansirullah syahudeh malaekat se
empa‟ pangolona Nabi Muhammad e pakabin e jeuheur awwel maskabinah
syahedet sejati Allahu Muhammad abeli dha‟ ka Allah tor jumennengah
dhibi‟ laa ilaaha illallah muhammadur rosulullah”.2
Artinya: “Saya niat, menikahkan diri saya atas syekh warumani lansirullah
syuhada malaikat yang empat penghulunya beserta Nabi Muhammad, yang
dikawinkan di jauhar awwal, dengan maskawin syahadat sejati Allah Dan
Muhammad kembali kepada Allah dengan berdirinya sendiri Laa ilaaha
illallah Muhammadurrosulullah”. Dengan cara berjabatan dengan jempol
saling menyentuh antara kedua calon kemudian jempol tangan tersebut
dilepaskan ketika sighat akad selesai dibacakan.
Pembacaan sighat tersebut mengandung arti bahwasanya mempelai
laki-laki menikahkan dirinya kepada perempuan atas dasar Allah yang
Maha Menyaksikan segalanya dan wali Allah (Nabi Muhammad). Maksud
daripada malaikat yang empat penghulunya yaitu mempunyai makna
1 Moh.Khoiri, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019.
2 Masyhudi, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019.
55
56
pernikahan mereka dihadirkan oleh 4 (empat) malaikat, keempat malaikat
tersebut diantaranya adalah: malaikat di samping kanan dan kiri yaitu Rakib
dan Atid yang bertugas sebagai mencatat kebaikan dan keburukan manusia,
kemudian malaikat Jibril menyampaikan wahyu pada Nabi dan Rasul,
Mikail yang dapat memberi rizqi kepada manusia terutama untuk kedua
mempelai yang akan menyempurnakan separuh agamanya. Dan mereka
mempercayai adanya 4 (empat) malaikat ini hadir dan menyaksikan
keduanya (calon mempelai laki-laki dan perempuan) pada pernikahan
tersebut.3
Di dalam kalimat sighat pernikahan thariqah tersebut disebutkan
“Jauhar Awal”, makna dari kata tersebut adalah pernikahan kedua
mempelai dilaksanakan ketika di bulan Jumadil Awal. Jika pernikahan itu
dilaksanakan di bulan Syawal maka kalimat tersebut akan diubah sesuai
dengan pelaksanaan pernikahan keduanya.4
Sighat pernikahan Thariqah ini apabila dianalisis dari pendapat fuqaha
mazhab, bahwasanya jumhur ulama sepakat sighat akad nikah tidaklah
berbeda, hanya saja bentuk pengucapan lafadznya yang membedakan
dengan pendapat para ulama lainnya. Telah dipaparkan sebelumnya,
bahwa golongan Ahlu Thariqah ini berpegang teguh kepada ajaran Imam
Abu Hanifah atau Ulama Mazhab Hanafiyah.5
Menurut Mazhab Hanafi, sighat akad nikah boleh dilakukan dengan
segala redaksi yang menunjukkan maksud “Nikah”, bahkan sekalipun
dengan lafal al-tamlik (kepemilikan), al-hibah (penyerahan), al-ba‟i
(penjualan), al-„atha‟ (pemberian), al-ibahah (pembolehan), dan al-ihlal
(penghalalan), sepanjang akad tersebut disertai dengan qarinah (kaitan)
yang menunjukkan arti nikah. Akan tetapi akad tidak sah jika dilakukan
dengan lafal al-ijarah (upah) atau al-„ariyah (pinjaman), sebab kedua kata
tersebut tidak memberi arti kelestarian atau kontinuitas.
3 Moh. Khoiri, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 02 Januari 2019.
4 Masyhudi, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019.
5 Ali Al-Hinduniyyah, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019.
57
Syarat ijab dan qabul menurut Imam Abu Hanifah, sebagai berikut:
- Ijab dan qabul harus dilaksanakan dalam satu majelis. Pelaksaan ijab
dan qabul wajib hukumnya menghadirkan kedua calon mempelai
(pengantin laki-laki dan perempuan).
- Memakai kata-kata Nikah atau Tazwij, dan yang semisal dengannya
seperti al-tamlik yang berarti kepemilikan, al-hibah yaitu penyerahan,
al-ba‟i yaitu penjualan, dan lain sebagainya.
- Tidak mengharuskan bersambung antara ijab dan qabul. Maknanya
adalah membolehkan adanya jarak antara ijab dan qabul, asalkan
dalam keadaan satu majelis dan tidak ada hal-hal yang menunjukkan
salah satu berpaling dari maksud akad tersebut. Karena, Imam Hanafi
lebih menekankan kepada ucapannya walaupun terdapat selang waktu
agak lama, maka tetap dianggap sah sighat ijab qabul tersebut.6
- Antara ijab dan qabul harus jelas maksudnya.
- Orang yang berkaitan dengan ijab dan qabul tidak boleh dalam
keadaan ihram haji ataupun umrah.7
Dalam sighat ijab qabul menurut ulama Hanafiyah, kata na-ka-ha
yang berarti nikah atau kawin memiliki keabsahan yang sangat kuat di
dalam suatu akad, hal ini Imam Abu Hanifah menggunakan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari:8
حدثنا علي بن عبد هللا حدثنا سفيان مسعت أاب حازم يقول مسعت سهل بن سعد الساعدي يقول: اين لفي القوم عند رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص إذ قامت امرأة فقالت اي رسول هللا إهنا قد وىبت نفسها لك فر فيها رأيك فلم جيبها شيئا مث قامت فقالت اي رسول هللا اهنا
نفسها لك فر فيها رأيك فلم جيبها شيئا مث قامت الثا لثة فقالت إهنا قد وىبت قد وىبت نفسها لك فر فيها رأيك فقام رجل فقال فقالت اي رسول هللا أنكحنيها قال )ىل عندك من شيء( قال ال قال )اذىب فاطلب ولو خامتا من حديد( فذىب فطلب مث جاء فقال
ل )ىل معك من القران شيء( قال معي سورة ما وجدت شيئا وال خامتا من حديد فقا)رواه البخاري . كذا وسورة كذا قال )اذ ىب فقد أنكحتكها مبا معك من القران(
مسلم(
6 Abu Hanifah, Fiqih Akbar, (Beirut: Dar Al-Ilmiyah, 1994), h. 115.
7 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), h. 59.
8 Muhammad Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008),
Juz 3, Cet. IV, h. 447.
58
Artinya: “Ali bin Abdullah bercerita kepada kita, Sufyan bercerita kepada
kita, aku mendengar Abi Hazim berkata: aku mendengar Sahl bin Saad al-
Sa‟idi berkata: sesungguhnya aku benar-benar di dalam suatu kaum di sisi
Rasulullah SAW. Tiba-tiba seorang perempuan berdiri kemudian berkata:
ya Rasulullah, sesungguhnya dia benar-benar menghibahkan dirinya
kepadamu, maka lihatlah dia dan bagaimana menurutmu. Nabi tidak
menjawabnya. Kemudian dia berdiri lagi dan berkata: ya Rasulullah,
sesungguhnya dia benar-benar menghibahkan dirinya kepadamu, maka
lihatlah dia dan bagaimana menurutmu. Nabi tidak menjawabnya ,
kemudian dia berdiri untuk ketiga kalinya lalu berkata: ya Rasulullah,
sesunggunhnya dia benar-benar menghibahkan dirinya kepadamu, maka
lihatlah dia dan bagaimana menurutmu. Kemudian seorang laki-laki
berdiri dan berkata: ya Rasulullah nikahkanlah aku dengannya. Kemudian
Nabi bertanya: apakah engkau memiliki sesuatu? Lelaki itu menjawab:
tidak. Nabi bersabda pergilah dan carilah sesuatu walaupun cincin dari
besi. Kemudian Nabi bersabda: apakah engkau memiliki sesuatu dari Al-
Qur‟an?, Lelaki itu menjawab: aku menguasai surat ini dan surat ini.
Kemudian Nabi bersabda: pergilah, sungguh aku telah menikahkanmu
dengannya dengan sesuatu yang engkau kuasai dari Al-Qur‟an”. (HR.
Bukhari Muslim)
Jika penulis analisis sighat pernikahan thariqah ini dengan
menggunakan pendapat Imam Abu Hanifah, bahwasanya sighat ijab qabul
perikahan thariqah terlihat jelas telah memenuhi rukun dan syarat sighat
ijab qabul ulama mazhab Hanafiyah. Penulis menguji syarat pertama, yaitu
ijab dan qabul dilaksanakan di dalam satu majelis dan dihadirkan oleh
kedua calon mempelai laki-laki dan perempuan. Kedua, terdapat kesamaan
pada redaksi lafadz ijab dan qabul yang menggunakan kata “Nikah”,
hanya saja di dalam pernikahan thariqah lafadz “Nikah” ini menggunakan
bahasa daerah yang berbunyi “Neat engsun panikagi”, jika diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia artinya adalah “Saya nikahkan diri saya”.
Syarat sighat lainnya yaitu ijab dan qabul jelas maknanya, dan kedua calon
pengantin tidak dalam keadaan ihram.
Maka setelah penulis bedah antara sighat ijab dan qabul pernikahan
thariqah dengan sighat ijab qabul menurut ulama Hanafiyah, yaitu tidak
ada perbedaan yang bertentangan dengan syariat Islam.
2. Ketiadaan Wali dalam Pernikahan Thariqah
Salah satu metode yang digunakan dalam pernikahan thariqah adalah
tidak adanya syarat untuk mendapatkan izin dari wali perempuan yang
akan dinikahi, karena menurut paham Thariqah wali itu dapat langsung
59
menggunakan Allah. Seperti yang dipaparkan oleh Habib Ali Al-
Hinduniyyah bahwasanya:
يع عليم وهللا مس
Artinya: “Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Menurutnya, Allah adalah dzat yang paling sempurna dapat mendengar
dan mengetahui seluruh isi hati manusia, maka cukuplah Allah yang dapat
mengetahui seluruh perbuatan hambanya dan sekaligus dapat menjadi wali
dari pernikahan thariqah ini, karena tujuan pernikahan ialah untuk
kemashlahatan, jadi sama seperti berlomba-lomba dalam kebaikan untuk
menjalankan ibadah kepada Allah SWT.9
Persepsi Ahlu Thariqah terkait wali nikah yaitu dapat langsung
menggunakan Allah SWT, seperti pada zaman Nabi Adam AS dan Siti
Hawa dalam pelaksanaan pernikahan yang hanya disaksikan oleh Allah
(sebagai wali) dan Nabi Muhammad (sebagai saksi).
Mereka tidak memasukkan wali nikah ke dalam rukun karena
berpedoman kepada firman Allah di dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah
ayat 240, yang berbunyi:
كم ف ما ف علن ف أن فسهن من معروف وهللا عزي ز حكيم فل جناح علي
Artinya: “Maka tidak ada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat yang
makruf terhadap diri mereka, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.
Di dalam pelaksanaan akad nikah thariqah memang tidak memerlukan
adanya wali nikah, hanya saja calon mempelai perempuan diwajibkan
orang yang sudah mengerti hukum dan se kufu, karena menurut paham
golongan tersebut, wanita yg sudah mampu menikahkan dirinya sendiri
maka walinya gugur terhadap hak perwaliannya. Sehingga wanita (gadis
maupun janda) diperbolehkan untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa izin
dari walinya.10
9 Ali Al-Hinduniyyah, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019.
10 Mohammad Baihaqi, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 01 Februari
2019.
60
Seperti yang dipaparkan oleh Habib Ali:
“Mon nikah thariqah ta‟ usah nganguy welli, asal seneng padhe
seneng polanah e jhemana Nabi Adam anika ta‟ usah ngangguy welli se
penting abeli hukum Allah e, se makabin langsung Allah SWT”.11
Artinya: “Kalau nikah thariqah tidak perlu pakai wali (nikah) asalkan
senang sama senang dan perempuan sudah mengerti hukum maka boleh
menikah, karena di zamannya Nabi Adam pernikahan tidak memakai wali
(nikah) yang menikahkan langsung Allah SWT”.
Begitupun dengan pemaparan oleh Mohammad Khoiri:
“Nikah Thariqah reya ngangguy syare‟ata Nabi Adam se‟ ta‟ usah
ngangguy welli teppaen akabin”.12
Artinya: “Nikah Thariqah ini menggunakan syari‟atnya Nabi Adam yang
tidak perlu menggunakan wali ketika nikah”.
Kemudian pendapat dari Ustadz Masyhudi mengenai wali dalam
pernikahan Thariqah:
”E dhalem nikah Thariqah ta‟ ngangguy welli polanah nindeh kabina
Nabi Adam”.13
Artinya: “Di dalam pernikahan Thariqah tidak menggunakan wali karena
menggunakan cara nikahnya Nabi Adam”.
Pendapat lainnya tentang perwalian nikah thariqah yang dikemukakan
oleh Bapak Martala (Anggota Ahlu Thariqah), menurutnya:
“Cara nika je ghebey emmaenan, reng akabin benni, ka angguy neng
sennengan. Cara nika angguy bile kepepet bei, ketembeng ngalakoni zina,
ben oreng seng ngangguycara nika wejib masemma‟ terros ka Allah lebet
dhikker”.14
Artinya: “Cara pernikahan ini jangan digunakan untuk mainan. Orang
nikah untuk bersenang-bersenang, cara ini juga agar jauh daripada
11
Ali Al-Hinduniyyah, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 01 Februari 2019. 12
Mohammad Khoiri, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019. 13
Masyhudi, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019. 14
Martala , Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Ketawang Parebaan, 02 Desember
2018.
61
perbuatan zina, orang yang menggunakan cara pernikahan ini wajib untuk
mendekatkan diri kepada Allah (taqorrub ilallah) dengan cara berdzikir”.
Ketiadaan wali di dalam pernikahan thariqah, apabila dianalisis dari
pendapat fuqaha mazhab Hanafi pernikahan harus didasarkan pada asas
sukarela dari kedua belah pihak, dan asas se kufu. Namun dalam hal ini,
wali nikah mempunyai hak untuk menyanggah selama anak perempuannya
belum hamil atau belum melahirkan seorang anak.15
Adapun dalil yang digunakan oleh golongan Hanafiyah, terkait tidak
perlu adanya wali nikah dalam rukun nikah di dalam Al Qur‟an surat Al-
Baqarah ayat 240 dan 232:
ن هم وإذا طلقتم النساء ف ب لغن أجلهن فل ت عضلو ىن أن ي نكحن أزواجهن إذا ت راضوا ب ي
لكم أزكى لكم وأطهر اذلك ي وعظ بو من كان منكم ي ؤمن ابهلل والي وم الخر ذ ابلمعروف
ت علمون وهللا ي علم وأن تم ال
Artinya: “Apabila kamu meletakkan isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin
lagi dengan bakal suaminya, apabila telah dapat kerelaan diantara mereka
dengan cara yang ma‟ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang
yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih
baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak
mengetahui”.
عزي ز حكيم ف وهللا ف أن فسهن من معرو كم ف ما ف علن فل جناح علي
Artinya: “Maka tidak ada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat yang
makruf terhadap diri mereka”.
Ayat-ayat di atas tersebut digunakan oleh golongan Hanafiyah. Karena
menurut mereka, ayat-ayat tersebut sudah jelas maksud dan tujuannya,
bahwa seorang wanita boleh melakukan atau menentukan jalan hidupnya
sendiri tanpa harus bergantung kepada orang lain, asalkan perbuatan
tersebut masih dalam koridor ma‟ruf. Begitu juga dengan pernikahan
15
Mahmoud Syaltout dan M.Ali As-Sayis, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), h. 112.
62
thariqah, karena yang terpenting adalah laki-laki yang hendak menikahi
wanita tersebut harus sederajat atau sekufu, jika tidak sekufu, maka
walinya boleh membatalkannya.
Abu Hanifah menggunakan hadits Nabi yang berbunyi:
. )رواه ابو داود(ليهاالث يب احق بن فسها من و
Artinya: “Wanita sayib (janda) lebih berhak mengenai dirinya daripada
walinya”.16 (HR. Abu Daud)
Abu Hanifah menggunakan metode qiyas dalam masalah persyaratan
pernikahan tanpa adanya wali, yang mana pernikahan seorang perempuan
gadis maupun janda yang melakukan akad nikah secara langsung untuk
dirinya ialah berdasarkan:17
- Kekuasaan atas orang merdeka hanya ada dalam kondisi darurat, sebab
ia bertentangan dengan prinsip kebebasan individu. Kebebasan disini
berarti seseorang boleh mengurusi seluruh urusannya, asal ia tidak
mengganggu kebebasan orang lain, dan mengesahkan pernikahan hanya
karena akad yang dilakukan wali adalah kekuasaan yang ada di luar
kondisi darurat dan bertentangan dengan kebebasan seseorang yang
sudah baligh dan berpikiran sehat dalam kondisi normal. Abu Hanifah
tidak akan memberlakukan pendapatnya ini sebelum wanita tersebut
telah mencapai akhir baligh, karena ia adalah kelemahan yang
disebabkan oleh kurang semprnanya kemampuan.
- Wanita punya hak yang sempurna atas hartanya. Sehingga, ia juga punya
hak yang sempurna atas pernikahannya. Kedua hak ini tidak berbeda,
sebab alasan keduanya adalah usia baligh dan pikiran sehat. Karena itu,
bila ia berhak atas harta maka ia juga berhak atas pernikahan.
- Seorang pemuda yang sudah akil baligh berhak menikahkan dirinya,
sehingga seorang pemudi yang telah akil baligh juga memiliki hak yang
sama atas pernikahan dirinya.18
16
Mahmoud Syaltout dan M.Ali As-Sayis, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), h. 113. 17
Satria Effendi , Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2011), h. 130. 18
Abdul Aziz Asy-Syinawi, Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta: Ummul Quro, 2013), h.
165.
63
Abu Hanifah berpendapat bahwa usia baligh bagi anak laki-laki yaitu
17 tahun atau 18 tahun, sedangkan bagi anak perempuan adalah 18 tahun
dalam kondisi apapun. Ia berpendapat demikian, karena tidak ada
pendapat secara Tauqifi (melalui wahyu) yang menjadikan batas baligh
dengan usia.19
Menurut analisis penulis jika dibedah terkait permasalahan wali
dalam pernikahan thariqah yaitu memiliki kesamaan dengan pandangan
fuqaha mazhab Hanafi. Di mana dalam pernikahan thariqah tidak
menjadikan wali sebagai rukun nikah, akan tetapi adanya wali hanya
sebagai anjuran. Di dalam pernikahan thariqah sendiripun menggunakan
aturan ketika wanita tersebut akan dinikahi, maka wanita tersebut
disumpah untuk berpegang teguh kepada ajaran Thariqah. Mereka benar
benar harus mengimani ajaran thariqah, mulai dari ajaran „ubudiyah
maupun muamalahnya.
Ahlu Thariqah memegang landasan hukum yang telah dijelaskan
sebelumnya terhadap masalah wali nikah, jika perempuan tersebut sudah
mengerti hukum dan memenuhi syarat untuk menikah, maka menurut
golongan tersebut tidak ada salahnya jika seorang perempuan
menikahkan dirinya sendiri tanpa walinya.20
Dari sinilah penulis
menganalisa, bahwasanya dalam masalah wali menurut pandangan Imam
Abu Hanifah yang sebelumnya juga telah dijelaskan, maka perwalian
wanita yang telah mengerti hukum dan se kufu diperbolehkan untuk
menikahkan dirinya sendiri tanpa ada wali di dalam pernikahan.
Namun ada yang perlu penulis kritisi, mengenai ketiadaan wali nikah
dengan mengqiyaskan kepada pernikahan Nabi Adam dan Siti Hawa.
Jika penulis menelaah lebih lanjut, paham golongan Thariqah ini
mempunyai perbedaan yang sangat substansial dengan pernikahan yang
telah disyariatkan dalam Islam. Bahkan, hal ini juga bisa dikatakan
menjadi suatu kejutan bagi intelektual muslim, karena masih ada umat
Islam di zaman ini yang masih menggunakan syariat terdahulu, yang
telah lama ditinggalkan setelah diutusnya Muhammad menjadi Nabi dan
19
Marwan Kamaruddin, Batas Usia Nafkah Anak dalam Islam, (Banda Aceh: Lembaga
Naskah Aceh, 2013), h. 50. 20
Ali Al-Hinduniyyah, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019.
64
Rasul dan seharusnya kita jadikan sebagai pedoman ajaran-ajarannya di
dalam melaksanakan hukum Islam. Alangkah lebih baiknya, kita sebagai
umat Islam supaya mengikuti ajaran syariat Islam yang berpedoman
kepada Nabi Muhammad SAW, dan telah Allah amanahkan untuk
menyampaikan risalahnya kepada umat Islam sekalian, maka kitapun
harus meneladani ajaran-ajarannya dengan baik.
3. Ketiadaan Saksi dalam Pernikahan Thariqah
Saksi nikah menurut golongan Ahlu Thariqah ini tidak termasuk ke
dalam rukun nikah, yang artinya tidak diwajibkan untuk menghadirkan
saksi di dalam pernikahan, karena menurut golongan tersebut bahwasanya
saksi nikah sudah terwakili oleh Nabi Muhammad sebagai saksi tunggal
dalam pernikahan. Menurut paham golongan ini, bhawasanya Nabi
Muhammad dijadikan sebagai saksi dapat diqiyaskan dengan prosesi
pernikahan antara Nabi Adam dan Siti Hawa. Di mana pernikahan mereka
tidak dihadiri oleh saksi manusia selain mereka berdua, dan hanya Allah
lah yang menyaksikannya.21
Jika penulis bedah tentang persaksian di dalam pernikahan, menurut
ulama Hanafiyah, saksi nikah hukumnya dalah istishab atau hanya
dianjurkan dan tidak menjadi kewajiban untuk dihadirkan saat prosesi
nikah.22
Abu Hanifah memandang bahwa saksi nikah boleh seorang laki-
laki dan dua orang perempuan tanpa diisyaratkan harus adil, dan yang
demikian itu akad nikahnya tetap sah walaupun dihadiri oleh dua orang
saksi yang fasik. Sebab menurut mazhab ini, tujuan dihadirkannya saksi
yaitu hanya untuk pemberitahuan bahwa pernikahan tersebut telah
dilaksanakan. Namun, mereka berpendapat kesaksian perempuan saja
pernikahannya tidak sah, maka harus adanya saksi laki-laki walaupun ia
fasik.23
Syarat sahnya menjadi saksi di dalam perkawinan menurut golongan
Hanafiyah yaitu diperbolehkan satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan. Dan juga saksi diperbolehkan dua orang buta atau dua orang
21
Masyhudi, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 01 Februari, 2019. 22
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 309-310. 23
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2010), h. 313.
65
fasik sekalipun. Sementara orang tuli, orang tidur dan orang mabuk tidak
boleh menjadi saksi.24
Mazhab Hanafi memahami bahwa kesaksian wanita dapat diterima
dalam pernikahan dengan syarat mereka harus didampingi oleh seorang
laki-laki, karena menurut mazhab Hanafi jika seorang saksi itu lupa maka
yang lain dapat mengingatkannya. Landasan hukum yang mereka gunakan
terhadap kesaksian 2 (dua) orang perempuan yaitu firman Allah di dalam
Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 282: نكم كا تم بدين إل أجل مسمى فاكت بوه وليكتب ب ي تب اي أي ها الذين آمنوا إذا تداي ن
تق عدل وال يب كاتب أن يكتب كما علمو الل ف ليكتب وليملل الذي عليو الق ولي ابل ئا فإن كان الذي عليو الق سفيها أو ضعيفا أو ال يس تطيع أن الل ربو وال ي بخس منو شي ف رجل يل ىو ف ليملل وليو ابلعدل واستشهدوا شهيدين من رجالكم فإن ل يكون رجلي
خر وال يب وامرأتن من ت رضون من الشهداء أن تضل إحداها ف تذكر إحداها ال لكم أقسط عند الل الشهداء إذا ما دعوا وال تسأموا أن تكت بوه صغريا أو كبريا إل أجلو ذ
نكم ف ليس عليكم وأق وم للشهادة وأدن أال ت رتبوا إال أن تكون تارة حا ضرة تديرون ها ب ي نو جناح أال تكت بوىا وأشهدوا إذا ت باي عتم وال يضار كاتب وال شهيد وإن ت فعلوا فإ
وي علمكم الل فسوق بكم وات قوا الل بكل شيء عليم واللArtinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang
akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu,
baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
24
Zakiyah Daradjat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 82.
66
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan
(yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Dalil yang menjadi objek kesaksian tersebut adalah sabda Nabi
Muhammad SAW:
ف وف )رواه ابو داود( . أعلن وا ىذا النكاح واضرب وا عليو ابلد
Artinya: “Umumkanlah pernikahan ini dengan memukul rebana”. (HR.
Abu Daud)
Jika Menurut golongan Ahlu Thariqah, bahwasanya saksi nikah hanya
bertujuan untuk pemberitahuan saja, dan kehadiran para saksi yang fasik
sekalipun diperbolehkan dan pernikahannya tetap sah. Di dalam
pelaksanaan nikah thariqah sendiri sebenarnya tetap menggunakan saksi,
yang menyaksikan adalah Habib Ahlu Thariqah yang hadir pada saat
prosesi akad nikah, tetapi Habib tersebut berada tidak terlalu dekat dengan
kedua calon memepelai, karena di dalam rukun pernikahan Thariqah
tertulis kedua mempelai harus berada di tempat yang sepi untuk
membayangkan hadirnya Allah, Nabi Muhammad, dan para malaikat yang
turut serta menyaksikan pernikahan tersebut.25
Jadi, di dalam
penerapannya selama prosesi nikah tetap ada orang yang menyaksikan,
tetapi menurut pemahaman secara kontekstual menyatakan bahwa saksi
tetap tidak ada di dalam rukun dan termasuk kedalam syarat pernikahan
yang hanya dianjurkan, karena golongan ini memaknai saksi sebagai
makna asli lafadz yaitu melihat tanpa panca indra sekalipun.26
Kesaksian pernikahan golongan Ahlu Thariqah dengan pendapat
fuqaha mazhab Hanafi memiliki kesamaan yang hanya berpendapat
bahwasanya saksi tidak dimasukkan ke dalam rukun pernikahan, hanya
sebagai anjuran untuk terlaksanya prosesi akad nikah tersebut. Syarat saksi
menurut mazhab Hanafi juga memiliki kesamaan dengan paham golongan
Ahlu Thariqah yang membolehkan jika seorang laki-laki menjadi saksi dan
25
Masyhudi, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019. 26
Mohammad Khoiri, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 30 Januari 2019.
67
dua orang perempuan ikut menjadi saksi pernikahan, dan di dalam
persyaratan menjadi saksi ulama Hanafiyah tidak memberikan syarat harus
laki-laki yang adil, sebab saksi yang fasikpun menurutnya adalah sah atau
diperbolehkan dalam pernikahan.
4. Calon Pengantin dalam Pernikahan Thariqah
Pada pernikahan thariqah, calon mempelai laki-laki dan perempuan
dapat memenuhi syarat calon kedua mempelai, meliputi:
- Beragama Islam.
- Berakal sehat.
- Baligh.
- Suka sama suka (tidak dipaksa atau kemauan sendiri).
- Kedua mempelai bukan orang yang haram dinikahi.
- Tidak sedang melaksanakan ihram.27
Dalam pelaksanaan pernikahan thariqah, apabilah persyaratan calon
mempelai laki-laki dan perempuan ini dianalisis dari pendapat mazhab
Hanafi, maka calon mempelai laki-laki dan perempuan memiliki syarat
sebagai berikut:
1) Syarat calon mempelai laki-laki, sebagai berikut:
- Beragama Islam
Ketentuan ini ditetapkan, karena dalam hukum Islam laki-laki yang
sudah berumah tangga merupakan sebagai pengayom atau yang
menjadi dasar utama untuk menjadi pemimpin keluarga, maka dari itu
laki-laki diwajibkan beragama Islam agar mengerti hukum.28
- Berakal sehat.
- Baligh.
- Terang (jelas) bahwa ia seorang laki-laki
- Tidak dipaksa (kemauan sendiri).
- Tidak beristeri dari empat orang.
- Calon mempelai laki-laki mengetahui isterinya tidak haram dinikahi
(bukan mahram calon mempelai perempuan).
27Mohammad Baihaqi, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Ketawang Parebaan, 02
Desember 2018. 28
Mustofa Al-Khin dan Mustofa Al-Bugho, Kitab Fikah Mazhab Syafie, (Kuala Lumpur: Batu
Caves, 2005), h. 806.
68
- Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
Hal tersebut didasarkan pada firman Allah di dalam Al-Qur‟an surat
An-Nisa ayat 23:
ما قد سلف وأن تمعوا ب ي الخت ي اال
Artinya: “Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”.
- Tidak sedang melakukan ihram atau haji.29
2) Syarat calon mempelai perempuan
- Beragama Islam atau ahli Kitab
- Terang bahwa ia wanita, bukan khunsa (banci).
- Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya.
- Tidak dipaksa (kemauan sendiri)
- Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah.
- Calon mempelai wanita bukan mahrom calon suaminya.
- Belum pernah di li‟an (sumpah li‟an) oleh calon suaminya.
- Wanita itu jelas orangnya.
- Tidak dalam ihram, haji, ataupun umrah.30
Jika penulis bedah berdasarkan syarat ketentuan calon mempelai laki-laki
dan perempuan, dalam pernikahan thariqah ini semuanya telah sesuai
dengan pemaparan hukum menurut mazhab Hanafi. Jadi, di dalam
praktiknya calon kedua mempelai telah mengikuti aturan hukum Islam
yang memang mereka berpegang teguh pada golongan Hanafiyah.
5. Syahadat Sebagai Mahar dalam Pernikahan Thariqah
Dalam pernikahan thariqah, syahadat maupun lantunan ayat suci Al-
Qur‟an dapat dijadikan sebagai mahar seorang suami yang diberikan
kepada istrinya. Salah satu anggota Ahlu Thariqah ini memaparkan
pendapatnya, bahwa mahar disini bukan termasuk ke dalam rukun nikah,
29
Abdul Rahman Al-Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2003), h. 55-
56. 30
Musthafa Diibu Bhigha, Fiqih Menurut Mazhab Syafi‟i, (Semarang: Cahaya Indah, 1986),
h. 250.
69
hanya saja mahar dijadikan sebagai syarat kesanggupan laki-laki untuk
membimbing perempuan di dalam rumah tangganya.31
Jika penulis bedah dengan menggunakan pendapat para ulama (Hanafi,
Syafi‟i, Hambali) sepakat bahwa mahar termasuk salah satu syarat sahnya
pernikahan, dan tidak boleh mengadakan persetujuan untuk
meninggalkannya.32
Berdasarkan firman Allah SWT di dalam surat An-Nisa ayat 4 yang
berbunyi:
نو ن فسا فكلوه ىنيىئا مريئا دقاتن نلة فإن طب لكم عن شيء م ء ص وءات وا النسا
Artinya: “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudia jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
Firman Allah SWT di dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 25:
ن ي نكح ال نكم طوال أن يستطع م ومن ل ؤمنات فمن ما ملكت ايانكم ممحصنات امل
نكحو ىن بذن أىلهن انكم ب عضكم من ب ع فاف ت ياتكم المؤمنات وهللا اعلم بي ر مسافحات وال متخذات أخدان فإذا أحصن ىن ابلمعروف مصن وءات وىن أجور ات غي
خشي فإن أت ي بفاحشة ف عليهن نصف ما على المحصنات من العذاب ذالك لمن ر لكم واهللا يم غفور رح العنت منكم وأن تصبوا خي
Artinya: “Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak
cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia
boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu
miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebagian kamu adalah dari
sebagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan
mereka, dan berilah mas kawin mereka menurut yang patut, sedang
merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan
(pula) wanita yang mengambil laki-laki sebagai piaraannya; dan apabila
mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan
perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh separuh hukuman
dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. Kebolehan menikahi
budak itu adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyrakatan
menjaga diri (dari perbuatan zina) diantara kamu, dan kesabaran itu lebih
baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
31
Mohammad Baihaqi, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 02 Desember
2018. 32
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid II, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 443.
70
Syariat Islam tidak memberikan batas minimal ataupun maksimal
terhadap ukuran mahar karena terdapat berbagai macam kehidupan
manusia antara kaya dan miskin, lapang dan sempit. Setiap tempat
memiliki kebiasaan dan tradisi yang berbeda pula, sehingga tidak ada
batasan tertentu agar setiap orang dapat menunaikannya sesuai
kemampuan kondisi kemampuan, kondisi ekonomi dan adat keluarganya.33
Mahar dalam hal ini, haruslah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya,
baik berupa uang, cincin (perhiasan), atau dapat berbentuk makanan,
bahkan pengajaran al-qur‟an dan lain sebagainya, sepanjang telah
disepakati bersama antara kedua belah pihak.34
Mas kawin juga dapat
berupa cincin besi, seuntai bunga mawar, atau kalung intan, sesuai dengan
kadar kemampuan sang suami.35
Mahar dapat berupa sebagai berikut:
1. Semua benda yang dapat dijadikan alat penukaran (tsaman) dalam jual
beli. Maksudnya adalah, mahar dapat berupa barang yang bernilai
ekonomis, suci, halal, bisa dimanfaatkan, dan diserah-terimakan, misalnya
uang, barang, atau sejenisnya. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur‟an
surat An-Nisa ayat 4:
ئا مري ئ نو ن فسا فكلوه ىني ا وءات وا النساء صدقا تن نلة فإن طب لكم عن شيئ م
Artinya: “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya”.
2. Menurut Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad bin Hambal, bahwasanya setiap
pekerjaan (jasa) yang mendapat upah boleh dijadikan sebagai mahar.
33
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Cairo: Dar al-Fath li I‟lam al-„Arabi, 1999), Jilid 2, h.
101-102. 34
Muhammad Baghir. Fiqih Praktis II Menurut al-Qur‟an, al-Sunnah, dan Pendapat Para
Ulama, (Bandung: Karisma, 2008), h. 131. 35
Muhammad Syarur, Dirasah Islamiyah Mu‟asharah Nahw Ushul Jadidah li al-Fiqh al-
Islami Terjemah Sahiroh Syamsudin Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, (Yogyakarta: El-SAQ,
2004), h. 437.
71
Misalnya mengajarkan Al-Qur‟an, pekerjaan tangan, pelayanan, dan
sejenisnya.
Allah SWT telah mengisakan kepada kita, tentang Bapak tua yang
menikahkan Musa AS dengan salah satu puterinya dengan mahar bekerja
selama delapan tahun pada pekerjaan si Bapak.
Firman di dalam Al-Qur‟an surat Al-Qashas ayat 27:
فإن أمتمت عشرا تجرين ثاين حجج اب ن ت ىات ي على أن قال إين أريد أن أنكحك إحد
من وما أريد أن أشق عليك ستجدين إن شاء عندك فمن الصالي الل
Artinya: “Berkatalah dia (Syu‟aib): “Sesungguhnya aku bermaksud
menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar
bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan
sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak
hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang baik”. Hal tersebut memang syari‟at ummat
sebelum Islam, namun selama tidak ada dalil yang membatalkannya, maka
ia tetap sah dan berlaku bagi kita. Selain itu, dalam cerita tentang wanita yang menyerahkan dirinya
untuk dikawini, Rasulullah SAW berkata pada laki-laki yang ingin
mengawininya:
)رواه صحيح خباري مسلم(اذىب ف قد أنكحتكها مبا معك من القران
Artinya: “Pergilah, aku telah nikahkan kamu dengannya dengan (mahar)
Al-Qur‟an yang kamu miliki”. (HR. Shahih Bukhari Muslim).
Dalam hadits tersebut, yang dimaksud mahar Al-Qur‟an disini adalah
jasa pengajaran satu surah atau lebih dari Al Qur‟an yang ia hapal kepada
mempelai wanita.
3. Memerdekakan budak
Diceritakan oleh Anas, bahwasanya Rasulullah SAW memerdekakan
Shafiya dan menjadikan pemerdekaannya sebagai mahar. (HR Bukhari
Muslim). Kalangan yang membolehkan memerdekakan budak dijadikan
sebagai mahar antara lain, Imam Syafi‟i, Ahmad bin Hambal, dan Daud
72
Azh-Zhahiri. Namun hal ini ditolak oleh kalangan ahli fikih berbagai
negeri dengan alasan bertentangan pada prinsip-prinsip dasar (ushul
fiqih). Menurut logika mereka, pemerdekaan budak berarti penghapusan
kepemilikan atas diri budak tersebut, dan penghapusan ini tidak
megandung unsur penhalalan sesuatu.
4. Memeluk Islam dapat dijadikan sebagai mahar.
Dikisahkan oleh Anas bin Malik, di dalam perkataannya: “Abu
Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar “masuk Islam”.
Dikisahkan bahwa Ummu Sulaim lebih dahulu memeluk Islam daripada
Abu Thalhah. Saat melamarnya, Ummu Sulaim berkata kepadanya, “Aku
telah memeluk Islam. Jika kamu masuk Islam, maka aku bersedia
menikah denganmu”, Abu Thalhah pun masuk Islam dan menjadikannya
sebagai mahar antara keduanya.36
Jika mahar ini dibedah menurut pandangan fuqaha mazhab, golongan
Hanafiyah berpendapat, mengajarkan Al-Qur‟an (seluruh atau sebagian)
kepada isteri, tidak sah untuk dijadikan mahar.37
Karena menurut
golongan Hanafiyah, mengajarkan Al-Qur‟an dan perkara lain yang
sejenisnya, berupa ketaatan dan kedekatan kepada Allah itu tidak sah
untuk dijadikan upah atau imbalan harta. Maka tidak sah mahar berupa
lantunan Al-Qur‟an dan diwajibkan mahar mitsil, karena itu adalah
manfaat yang tidak bisa diganti dengan harta.38
Namun, penulis akan membedah perkara syahadat atau ayat Al-Qur‟an
yang dijadikan sebagai mahar ini dengan pendapat Jumhur Ulama.
Menurut Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah membolehkan mahar
dalam bentuk ayat Al-Qur‟an atau pengajaran Al-Qur‟an, agar tidak ada
persetubuhan antara laki-laki dan perempuan sebelum memberikan
sesuatu sebagai maharnya, dan ini semua termasuk ke dalam mahar
berupa jasa.39
36
Abu Malik Kamal, Shahih Fikih Sunnah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 250-253. 37
Ibnu Abidin, Hasyisyah Radd al-Mukhtar, (Mesir: Syirkah Nathba‟ah Mustashfa al-Baby
al-Halaby wa Auladuhu, 1966), Juz 3, h. 100. 38
Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami Wa‟adillatuhu, (Mesir: Daar al-Fikr, 1989), h. 238. 39
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Terjemah Imam Ghazali Sa‟id
dan Ahmad Zaidun, (Jakarta: Pusaka Amani, 2002), Jilid 2, h. 432.
73
Dalil yang digunakan oleh Jumhur Ulama tersebut ialah, sabda Nabi
Muhammad SAW yang berbunyi:
. )رواه صحيح خباري مسلم(اذىب ف قد أنكحتكها مبا معك من القران
Artinya: “Pergilah, aku telah nikahkan kamu dengannya, dengan mahar
Al Qur‟an yang kau miliki”. (HR. Shahih Bukhari Muslim)
Penafsiran hadits di atas adalah mahar Al-Qur‟an di sini bermakna jasa
pengajaran satu surah atau lebih dari Al-Qur‟an yang ia hapal untuk
mempelai perempuan. Jadi, berdasarkan hasil analisis mengenai syahadat
atau lantunan ayat suci Al-Qur‟an yang dijadikan sebagai mahar yaitu
diperbolehkan dalam Islam, karena kalimat syahadat termasuk kalam
Allah yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan mahar tersebut diperbolehkan
menurut pendapat Syafi‟iyah, Malikiyah, dan Hanabilah.
Dari data-data yang telah diuji, ternyata di dalam praktik pelaksanaan
pernikahan thariqah tidak 100% murni menggunakan praktik pernikahan
ulama Hanafiyah. Karena, ketika penulis analisis dari pemaparan
sebelumnya terdapat penggabungan mazhab )التلفيق(. Kata talfiq sendiri
mempunyai arti mendatangkan suatu cara (dalam ibadah maupun
muamalah) yang tidak pernah dinyatakan oleh ulama mujtahid.
Wahbah Az-Zuhaily mengutip pendapat 4 mazhab tentang hukum
bertalfiq yang akan diuraikan sebagai berikut:
Pendapat Hanafiyah: “Seorang muqallid (orang yang bertaqlid) diberi
kebebasan untuk mengikuti siapa saja, dan orang awam dalam setiap
perkara ketika bertaqlid terhadap perkataan mujtahid (orang yang
berijtihad) akan memudahkan baginya karena tidak mengerti hal-hal yang
dilarang menurut nash atau akal, karena Rasulpun menyukai keringanan
yang dibebankan kepada umatnya”.40
Pendapat Syafi‟iyah: “Sebagian pendapat Syafi‟iyah menyatakan
larangan talfiq, dan sebagian lainnya membolehkan adanya talfiq, apabila
dalam permasalahan yang memenuhi syarat terhadap mazhab yang
diikuti”.
40
Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqhu Al-Islami Wa‟adillatuhu, (Damaskus: Dar El-Fikr, 2008), h.
46.
74
Pendapat Hanabilah: “Diperbolehkannya talfiq karena tidak adanya dalil
syar‟i atas ketidakbolehan talfiq dalam bermazhab, baik dalam
mengambil perkara yang mudah dan ringan, atau mengambil rukhsah
(keringanan)”.
Pendapat Malikiyah: “Yang paling kuat menurut ulama muta‟akhirin dari
pengikut Malikiyah adalah membolehkan bertalfiq, yang dibenarkan pula
kebolehannya menurut „Urfh al-Maliki dalam penjelasannya “Syahru al-
Kabir” oleh “Addairi, dan berfatwa pula oleh “Alamah al-Adwiy tentang
diperbolehkannya talfiq”.41
Penulis membedah adanya talfiq di dalam rukun dan syarat mahar
pernikahan thariqah, terkait masalah syahadat atau lantunan ayat suci Al-
Qur‟an yang dijadikan sebagai mahar (mas kawin) dalam pernikahan.
Yang kita ketahui dari awal penjelasan, golongan ahlu thariqah mengakui
bahwa mereka memegang teguh ajaran-ajaran ulama Hanafiyah. Namun,
setelah penulis uji berdasarkan rukun dan syarat mahar menurut golongan
Hanafiyah berpendapat: “Mengajarkan Al-Qur‟an (seluruh atau sebagian)
kepada isteri, tidak sah untuk dijadikan mahar”.42
Karena menurut
golongan tersebut, mengajarkan Al-Qur‟an dan perkara lain yang
sejenisnya, berupa ketaatan dan kedekatan kepada Allah itu tidak sah
untuk dijadikan upah atau imbalan harta. Maka tidak sah mahar berupa
lantunan ayat Al-Qur‟an dan diwajibkan mahar mitsil, karena itu adalah
manfaat yang tidak bisa diganti dengan harta.43
Menurut pemaparan Habib Ahlu Thariqah menyatakan bahwa:
“Dalam prinsipnya mahar pernikahan ini memang sangat
mempertimbangkan pendapatan keseharian anggotanya, maka dari itu
supaya tidak ada pengeluaran besar untuk menjalankan ibadah
(pernikahan) mahar yang digunakan golongan thariqah ini hanya
menggunakan lantunan dua kalimat syahadat atau dapat ditambah dengan
lantunan ayat suci Al-Qur‟an, dengan terlantunkan kalam Allah maka
41
Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqhu Al-Islami Wa‟adillatuhu, (Damaskus: Dar El-Fikr, 2008), h.
97. 42
Ibnu Abidin, Hasyisyah Radd al-Mukhtar, (Mesir: Syirkah Nathba‟ah Mustashfa al-Baby
al-Halaby wa Auladuhu, 1966), Juz 3, h. 100. 43
Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami Wa‟adillatuhu, (Mesir: Daar al-Fikr, 1989), h. 238.
75
sudah memiliki makna kesanggupan laki-laki untuk memimpin
keluarganya”.44
Penjelasan tentang mahar sebelumnya telah dipaparkan secara rinci
oleh penulis, dan di sini penulis membedah pendapat golongan Ahlu
Thariqah tentang permasalahan mahar, bahwasanya mereka tidak
menggunakan dalil keabsahan hukum terhadap syahadat atau lantunan
ayat suci Al-Qur‟an yang dijadikan sebagai mahar, mereka (Ahlu
Thariqah) hanya mengatakan berdasarkan kenyataan pada masa Nabi
Adam AS dan logika masing-masing di dalam memaknai adanya mahar
berbentuk syahadat tersebut. Kemudian, talfiq dalam permasalahan mahar
tersebut tidak diperbolehkan, karena jika mereka mengukur hukum talfiq
ini dengan kemaslahatan, maka kemashlahatan di sini bersifat negatif
(tidak tercapainya suatu kebaikan) yang mana golongan Ahlu Thariqah
ini hanya menggunakan kemudahan memahami hukum semata dan tidak
menggunakan dalil atau nash yang ada. Sama saja mereka menganggap
ringan ajaran agama dan mempermainkan hukum syara‟.
44
Ali Al-Hinduniyyah, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan thariqah adalah bentuk pernikahan yang mana
pelaksanaannya hanya dilakukan oleh calon pengantin laki-laki dan
perempuan yang akan melaksanakan pernikahan tanpa adanya wali
dan saksi nikah. Sebagaimana penamaan terhadap pernikahan ini
adalah “Pernikahan Thariqah”, yang juga diambil dari golongan
yang berijtihad untuk membuat suatu model pernikahan baru tersebut,
yaitu golongan yang menamakan dirinya sebagai Ahlu Thariqah,
sehingga dalam praktiknya mempunyai perbedaan yang substansial
dengan pernikahan yang telah diatur oleh syari‟at Islam.1
Setelah penulis melakukan analisis dari bab 1 sampai dengan
bab 4 maka skripsi ini dapat disimpulkan bahwa:
a). Faktor-faktor penyebab munculnya metode pernikahan thariqah
yaitu menurut mereka pernikahan tersebut merupakan salah satu cara
yang paling efektif dan tidak sulit dalam melakukan pernikahan, yang
mana penganut paham thariqah tersebut adalah penganut mazhab
Hanafi, di mana dalam pelaksanaan pernikahannya golongan
Hanafiyah tidak menjadikan wali dan saksi sebagai rukun nikah,
karena mazhab ini menimbang bahwasanya perempuan yang sudah
baligh (mengerti hukum Islam) maka perempuan tersebut
diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri tanpa ada wali. Faktor
yang kedua yaitu, supaya meminimalisir hal-hal yang dilarang oleh
Allah, seperti berbuat zina dan lain sebagainya. Dengan melakukan
metode pernikahan seperti ini menurut golongan Ahlu Thariqah, maka
manusia dapat menyalurkan syahwatnya melalui pernikahan yang
telah disyari‟atkan oleh Islam.2
b). Dalam praktiknya Nikah Thariqah ini tidak memerlukan wali
nikah dan saksi dalam pernikahan. Salah satu tata cara yang
1 Mohammad Baihaqi, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Ketawang Parebaan, 02
Desember 2018. 2 Martala, Anggota Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 02 Februari 2019.
76
77
membedakan antara Nikah Thariqah dan pernikahan Islam pada
umumnya adalah prosesi akad di mana Nikah Thariqah hanya
dilakukan oleh kedua mempelai di tempat yang sepi, tanpa ada wali
nikah dan saksi, yang diawali dengan jabat tangan sambil
memejamkan mata dan mengucapkan akad, yang dihadiri oleh
pengantin laki-laki dan perempuan, serta Habib Ahlu Thariqah yang
mengawasi pernikahan tersebut dari kejauahan.3
Berdasarkan hasil analisis penulis, bahwasanya dari data-data
analisis di atas penulis membedah adanya talfiq di dalam rukun dan
syarat mahar pernikahan thariqah, terkait masalah syahadat atau
lantunan ayat suci Al-Qur‟an yang dijadikan sebagai mahar (mas
kawin) dalam pernikahan. Yang kita ketahui dari awal penjelasan,
golongan ahlu thariqah mengakui bahwa mereka memegang teguh
ajaran-ajaran ulama Hanafiyah. Namun, setelah penulis uji
berdasarkan rukun dan syarat mahar menurut golongan Hanafiyah
berpendapat: “Mengajarkan Al-Qur‟an (seluruh atau sebagian) kepada
isteri, tidak sah untuk dijadikan mahar”.4 Karena menurut golongan
tersebut, mengajarkan Al-Qur‟an dan perkara lain yang sejenisnya,
berupa ketaatan dan kedekatan kepada Allah itu tidak sah untuk
dijadikan upah atau imbalan harta. Maka tidak sah mahar berupa
lantunan ayat Al-Qur‟an dan diwajibkan mahar mitsil, karena itu
adalah manfaat yang tidak bisa diganti dengan harta.5
Penulis membedah pendapat golongan Ahlu Thariqah tentang
permasalahan mahar, bahwasanya mereka tidak menggunakan dalil
keabsahan hukum terhadap syahadat yang dijadikan sebagai mahar,
mereka hanya mengatakan berdasarkan kenyataan dan logika masing-
masing di dalam memaknai adanya mahar berbentuk syahadat
tersebut. Kemudian, talfiq dalam permasalahan inipun tidak
diperbolehkan karena, jika mereka mengukur hukum talfiq ini dengan
menggunakan kemaslahatan, maka kemaslahatan di sini bersifat
negatif (tidak tercapainya suatu kebaikan) yang mana golongan Ahlu
3 Ali Al-Hinduniyyah, Habib Ahlu Thariqah, Interview Pribadi, Parebaan, 31 Januari 2019.
4 Ibnu Abidin, Hasyisyah Radd al-Mukhtar, (Mesir: Syirkah Nathba‟ah Mustashfa al-Baby al-
Halaby wa Auladuhu, 1966), Juz 3, h. 100. 5 Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami Wa’adillatuhu, (Mesir: Daar al-Fikr, 1989), h. 238.
78
Thariqah hanya menggunakan kemudahan memahami hukum tetapi
tidak menggunakan dalil atau nash yang ada. Sama saja mereka
menganggap ringan ajaran agama dan mempermainkan hukum syara‟.
B. Saran-saran
Menyikapi permasalahan yang timbul di dalam rukun dan syarat
pernikahan thariqah, penulis memiliki beberapa saran diantaranya:
1. Bagi lembaga pemerintah yang telah diberikan kewenangan untuk
menjadi penengah dan memberi solusi terhadap permasalahan
yang timbul dalam agama Islam diharapkan agar lebih responsif
dalam menangani permasalahan yang menyimpang dari tatanan
hukum Islam. Sehingga, hal-hal yang seharusnya tidak diajarkan
dalam syariat Islam, dapat diantisipasi segera mungkin. Agar tidak
menyebar luas bagi masyarakat yang tergolong awam tentang
agama.
2. Sedangkan bagi kalangan intelektual muslim sendiri, seyogyanya
mempunyai respon dan solutif terhadap problematika terkait
permasalahan agama dimasyarakat, dengan menunjukkan sikap
tegas dan informatif, sehingga masyarakat awam tidak
terpengaruh dengan hal-hal yang berkaitan syariat Islam yang
nantinya dapat merusak aqidah Islamiyah, baik dilakukan secara
kolektif maupun personal, dengah harapah tidak adanya
kebergantungan terhadap para ulama yang tidak diberi
kewenangan secara khusus oleh negara.
3. Bagi masyarakkat yang sekiranya masih awam dalam bidang
keagamaan, agar tidak mudah menerima paham-paham baru
dengan serta merta, akan tetapi juga berusaha untuk memenuhi
berusaha untuk mengikuti seluk-beluk paham golongan tersebut.
Sehingga, tidak dapat terpengaruh dengan hal-hal yang dapat
merusak tatanan akidah yang sudah ditanamkan oleh para „ulama
sebagai pewaris Rasulullah dalam menyampaikan syariat yang
telah termaktub dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
79
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad, Sunan Ibnu Majah, Cairo: Daarul Hadits, 1998.
Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Bandung: CV. Pustaka Setia,
1999.
Abidin Ibnu, Hasyisyah Radd al-Mukhtar, Juz 3, Mesir: Syirkah Nathba’ah
Mustashfa al-Baby al-Halaby wa Auladuhu, 1966.
Aladip, Moh. Machfuddin, Terjemah Bulughul Maram, Semarang: PT. Karya
Toha, 2010.
Al-Husaini, Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayatu al-Akhyar, Terjemah Achmad
Zaidun dan A.Ma’ruf Asrori, Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1997.
Al-Qalyubi, Syihabuddin, Al-Mahali, Beirut: Daar Al-Fikri 1984.
Al-Khin, Mustofa dan Mustofa Al-Bugho, Kitab Fikah Mazhab Syafie, Kuala
Lumpur: Batu Caves, 2005.
Al-Sarkhasi, Syam Al-Din, Kitab al-Mabsuth, Jilid 5, Beirut: Dar Al-Fikr, 1989.
Al-Muallifina, Majmu’atun Min, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah,
Kuwait: Wizarah al-Auqati wa asy-Syuun al-Islamiyah, 2006.
Asy-Syinawi, Abdul Aziz, Biografi Empat Imam Mazhab, Jakarta: Ummul
Quro, 2013.
Al-Bukhari, Muhammad Ismail, Shahih al-Bukhari, Juz 3, Cet. IV, Beirut: Dar
al - Kutub al-Ilmiyah, 2008.
Baghir, Muhammad, Fiqih Praktis II Menurut al-Qur’an, al-Sunnah dan
Pendapat Para Ulama, Bandung: Karisma, 2008.
80
Baihaqi, Ahmad Rafi, Membangun Surga Rumah Tangga, Surabaya: Gita
Media Press, 2006.
Bhigha, Musthafa Diibu, Fiqih Menurut Mazhab Syafi’i, Semarang: Cahaya
Indah, 1986.
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.
Ke- 3, Edisi Ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2011.
Ghazali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group,
2003.
Hillal, Mohammad, Pencatatan Pernikahan Thoriqoh di Ketawang Parebaan
Sumenep Jawa Timur, Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim, 2014.
Ijmaliyah, Nikah Segoro Getih Sebagai Larangan Penentuan Calon Suami Istri
di Masyarakat Ringinrejo Kediri Studi Akulturasi Mitos dan Syari’at,
Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2006.
Kamal, Abu Malik, Shahih Fikih Sunnah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Khoiri, Miftah, Mitos Masyarakat Telong Jodoh Sak Omah dan Implikasi dalam
Pembentukkan Keluarga Sakinah Studi Kasus di Desa Randuangung Kec.
Singosari Kab. Malang, Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim, 2007.
Kamaruddin, Marwan, Batas Usia Nafkah Anak dalam Islam, Banda Aceh:
Lembaga Naskah Aceh, 2013.
M. Affandi, Adat dan Upacara Perkawinan Suku Madura, Vol.18, Jurnal
81
Argapuara, 1998.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2010.
Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Terjemah Imam
Ghazali Sa’id danAhmad Zaidun, Jakarta: Pusaka Amani, 2002.
Rahman, Ahmad, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Jilid II, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Sholeh, Asrorun Ni’am, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga,
Jakarta: Graha Paramuda, 2008.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, Jakarta: Prenada Media Group,
2003.
Syarur, Muhammad, Dirasah Islamiyah Mu’asharah Nahw Ushul Jadidah li al-
Fiqh al-Islami Terjemah Sahiroh Syamsudin Metodologi Fiqh Islam
Kontemporer, Yogyakarta: El-SAQ, 2004.
Sulaiman, Abu Daud, Sunan Abi Daud, Edisi IV, Beirut: Darul Kutub Al-
Ilmiyyah, 2010.
Shomad, Abdul, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2012.
Syaltout, Mahmoud dan Mohammad Ali As-Sayis, Perbandingan Mazhab
Dalam Masalah Fiqih, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993.
82
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,
1991.
Z, Zurinal dan Aminuddin, Fiqh Ibadah, Jakarta: CV. Sejahtera, 2008.
Sumber wawancara pribadi
Interview Pribadi dengan Mohammad Toha, Anggota Ahlu Thariqah, Parebaan,
02 Desember 2018.
Interview Pribadi dengan Mohammad Khoiri, Anggota Ahlu Thariqah,
Parebaan, 23 November 2018.
Interview Pribadi dengan Masyhudi, Anggota Ahlu Thariqah, Parebaan, 02
Desember 2018.
Interview Pribadi dengan Syaifuddin Amir, Kepala Desa, Parebaan, 17 Januari
2019.
Interview Pribadi dengan Ahmad Mu’is, Sekretaris Desa, Parebaan, 17 Januari
2019.
Interview Pribadi dengan Ali Al-Hinduniyyah, Habib Ahlu Thariqah, Parebaan,
31 Januari 2019.
Sumber Internet
Ketawang Parebaan Kuliah Kerja Nyata, Wikipedia Pulau_Madura
/2018/02/03/profil-desa.html.
Sumber Jurnal
Wagianto, Ramdan, Tradisi Kawin Colong Pada Masyarakat Osing
Banyuwangi Perspektif Sosiologi Hukum Islam, Vol. 10, No. 1, Yogyakarta:
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
83
Sosiologi Hukum Islam, Vol. 10, No. 1, Yogyakarta: Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017.
LAMPIRAN
Transkrip Wawancara
Informan : Ali Al-Hinduniyyah (Habaib / Tokoh Pembesar Thariqah
Naqsyabandi)
Usia : 61 Tahun
1. Bagaimana sejarah atau awal mula berdirinya Thariqah Naqsyabandi ini ya
bah?
Jadi, Thariqah yaitu perjalanan menuju Allah, kalau dengan bahasa nya yaitu
thariq yaitu jalan. Orang-orang thariqah ini adalah orang-orang yang berjalan dan
betul-betul ingin kenal betul kepada Allah, thariqah ini dinisbatkan kepada Allah.
Naqsyabandi ini julukan oleh Syeich Baharuddin, ia yang menjulukkan kata
Naqsyabandi. Jalan yang diambil yaitu fiqih-fiqih yang diajarkan oleh imam
Junaidiyah. Thariqah ini sudah hampir lama berdiri, dari tahun 2009 lalu. Tetapi,
baru banyak yang kemudian masuk kepada thariqah ini pada tahun 2015.
Thariqah ini sendiri memegang teguh ajaran-ajaran Islam dan berpedoman kepada
Imam Abu Hanifah.
2. Usia berapa Abah dan Ummi ketika menikah dahulu?
Abah waktu umur 29 baru menikahi Ummi. Pada saat itu Ummi umur 21 tahun,
jadi Abah baru menyelesaikan studi 8 tahun di Maroko makanya ketika Abah
pulang ke Madura 1 tahun setelah selesai S2 di Maroko Abah langsung melamar
Ummi, dan umur 29 Abah menikahi Ummi.
3. Apakah ada amalan-amalan ubudiyah khusus terkait dengan Thariqah ini
Abah?
Kalau untuk masalah amalan, ya seperti ngaji dan kajian setiap malam itu sangat
penting. Jadi, setelah shalat isya kita dzikir (taqorub ilallah) sampai jam 10
malam. Baru setelah itu kita mendalami kitab Tasawwuf sampai dengan jam 12
malam. Jalan untuk mendekatkan diri kita kepada Allah dengan cara berdzikir
dengan kalimat Thayyibah sampai 3000 kali, dan wajib membawa air putih
masing masing, letakkan boto minum atau gelasnya di depan shaff (barisan) kita.
Lalu setelah selesai ber-taqorub ilallah minumlah air yang telah dibawa masing-
masing supaya keberkahan mengalir kepada diri kita semua.
4. Untuk pernikahan sendiri, di dalam Thariqah ini apa saja rukun dan syarat
yang harus dilakukan oleh kedua mempelai sebelum menikah?
Untuk rukun pernikahan masih sama seperti jumhur ulama hanya saja kami
berpegang teguh kepada Abu Hanifah yang tidak diwajibkan atas wali dan saksi.
Jadi, di dalam pelaksanaan akad nikahnya tetap membutuhkan calon mempelai
laki-laki dan calon mempelai perempuan, kemudia ijab qabul, yang terakhir
adalah syahadat atau lantunan ayat Al-Qur‟an sebagai pemberian laki laki kepada
perempuan yang memberikan makna telah sanggup untuk menjalankan
kewajibannya dan menerima haknya yang telah diatur oleh Islam.
5. Bagaimana prosesi peminangan dan praktik dari pernikahan Thariqah ini
sendiri ya pak ?
Pada proses peminangan ini, rumah dari keluarga perempuan dihadiri oleh
keluarga calon mempelai laki-laki. Kedua keluarga tersebut saling bercengkrama
untuk mengenal lebih dekat antar keluarga. Acara lamaran keduanya dimulai, dari
pihak laki-laki meminta izin untuk melamar seorang anak perempuannya yang
akan dijadikan sebagai calon istri. Kemudian, keluarga si perempuan mempunyai
hak untuk menyetujui atau tidak dari lamaran tersebut, jika pihak perempuan
menyetujui lamaran itu, maka keduanya harus saling berkomitmen untuk
menghormati dan memahami dalam berbagai perbedaan keduanya, prosesi
lamaran pun telah selesai, dan ditutup dengan lantunan do‟a untuk memanjatkan
keridhaan Allah atas semua yang kita libatkan dalam acara tersebut.
Selanjutnya, kedua belah pihak keluarga menentukan tanggal pernikahan.
Setelah ditentukannya tanggal pernikahan, pada prosesi ini biasanya yang berada
dari golongan Ahlu Thariqah yaitu dari pihak calon mempelai laki-laki, keluarga
dari pihak laki-laki menjemput Habib Ahlu Thariqah untuk mendatangi keluarga
calon mempelai perempuan, sekaligus memberikan arahan dan kesepakatan untuk
melaksanakan pernikahan thariqah. Setelah semuanya dipersiapkan dengan
matang, dan kedua keluarga mempelai telah setuju untuk melaksanakan
pernikahan, maka pernikahan inipun berlangsung. Dengan menggunakan pakaian
gamis berwana putih untuk calon pengantin perempuan, dan baju koko berwarna
putih untuk calon pengantin laki-laki. Seluruh keluarga hanya berada di tempat
kediaman (rumah) mempelai perempuan yang akan dinikahinya.
Tata cara pernikahan thariqah harus dilakukan di tempat yang sepi,
keduanya saling memejamkan mata, kemudian calon mempelai laki-laki dan
perempuan saling berjabat tangan seerat mungkin, jempol tangan pihak laki-laki
dan pihak perempuan sama-sama menyentuh, sighat mulai dibacakan oleh
pengantin laki-laki, yang berbunyi: “Neat engsun panikagi syekh warumani
lansirullah syahudeh malaekat se empa‟ pangolona Nabi Muhammad‟e
pakabin‟e jeuheur awwel maskabinah syahedet sejati Allahu Muhammad abeli
dha‟ ka Allah tor jumennengah dhibi‟ laa ilaaha illallah muhammadur
rosulullah”.
Artinya: “Saya niat, menikahkan diri saya atas syekh warumani lansirullah
syuhada malaikat yang empat penghulunya beserta Nabi Muhammad, yang
dikawinkan dijauhar awwal, dengan maskawin syahadat sejati Allah Dan
Muhammad kembali kepada Allah dengan berdirinya sendiri Laa ilaaha illallah
Muhammadurrosulullah”. Setelah selesai pengucapan ijab qabul, maka jempol
tangan keduanya boleh dilepaskan dan boleh membuka mata. Selesai tata cara
pernikahan tersebut, maka pernikahan ini sudah dinyatakan sah oleh Habib Ahlu
Thariqah (Ulama Thariqah).
Selama akad berlangsung, Abah mengawasi calon mempelai laki-laki dan
perempuan dari kejauhan, ini bertujuan untuk persaksian pernikahan keduanya,
dan memastikan keduanya benar-benar secara sakral telah melaksanakan
pernikahan secara sempurna.
6. Apakah ada faktor atau alasan yang melatarbelakangi adanya pernikahan
Thariqah seperti ini ya Abah?
Pernikahan Thariqah ini sudah barang tentu diperbolehkan karena untuk
meminimalisirkan maksiat (perzinahan), karena di dalam pernikahan thariqah ini
juga mempunyai aturan bagi penganutnya, supaya setelah melakukan pernikahan
ini pelaku tidak lagi berbuat serong seperti pada maraknya perkembangan zaman
yang sudah semakin brutal dan secara terang-terangan melakukan zina di tempat
keramaian.
Seperti pada zamannya Nabi Adam yang tidak menikah lagi selain Siti
Hawa, dalam artian bukan hanya mengambil enaknya saja karena bebas
mengawini siapapun tanpa melibatkan orang tua sebagai wali nikah. Tetapi,
mewajibkan bagi penganutnya agar senantiasa mendekatkan diri kepada Allah
melalui dzikir kepada Allah, baik lewat hati maupun lewat lisan seperti yang
dilakukan oleh ahlu thariqah pada umumnya.
7. Ketika Abah dan Ummi menikah dahulu, apakah sudah menerapkan tata
cara pernikahan Thariqah ini?
Abah dulu menikah di tahun 1988 dengan Ummi masih pakai akad pernikahan
seperti biasa mengikuti yang diajarkan oleh guru dan orang tua Abah dulu. Jadi,
dulu Abah masih penganut faham Syafi‟iyah.
8. Menurut Abah sendiri, apa yang melandasi tidak adanya wali dan saksi di
dalam pernikahan thariqah ini?
Menurut paham Thariqah wali itu dapat langsung menggunakan Allah.
يع عليم وهللا س
Allah adalah dzat yang paling sempurna dapat mendengar dan mengetahui
seluruh isi hati manusia, maka cukuplah Allah yang dapat mengetahui seluruh
perbuatan hambanya dan sekaligus dapat menjadi wali dari pernikahan thariqah
ini, karena tujuan pernikahan ialah untuk kemashlahatan dan ibadah, jadi sama
seperti berlomba-lomba dalam kebaikan untuk menjalankan ibadah kepada Allah
SWT.
“Mon nikah thariqah ta‟ usah nganguy welli, asal seneng padhe seneng polanah
e jhemana Nabi Adam anika ta‟ usah ngangguy welli se penting abeli hukum
Allah e, se makabin langsung Allah SWT”. Artinya: “Kalau nikah thariqah tidak
perlu pakai wali (nikah) asalkan senang sama senang dan perempuan sudah
mengerti hukum ( baligh dan sekufu) maka boleh menikah, karena di zamannya
Nabi Adam pernikahan tidak memakai wali (nikah) yang menikahkan langsung
Allah SWT”.
9. Bagaimana pelaksanaan mahar di pernikahan thariqah ini Abah?
Di dalam pelaksanaan pernikahan thariqah ini, kami menggunakan mahar yang
berbentuk syahadat dan ayat Qur‟an.
10. Apakah tidak adanya ukuran mahar di pernikahan Thariqah ini ya Abah?
prinsipnya mahar pernikahan ini memang sangat mempertimbangkan pendapatan
keseharian anggotanya, maka dari itu supaya tidak ada pengeluaran besar untuk
menjalankan ibadah (pernikahan) mahar yang digunakan golongan thariqah ini
hanya menggunakan lantunan dua kalimat syahadat atau dapat ditambah dengan
lantunan ayat suci Al-Qur‟an, dengan terlantunkan kalam Allah maka sudah
memiliki makna kesanggupan laki-laki untuk memimpin keluarganya.
11. Sebelum dan sesudahnya terimakasih banyak Abah sudah mau meluangkan
waktunya untuk menyelesaikan tugas Annisa, mohon maaf ya Bah kalau
Annisa banyak tutur kata yang salah kepada Abah selama bertanya tadi.
Iya dek, hati hati pulangnya dek Annisa.
12. Wassalamu’alaikum Abah Ummi
Wa‟alaikum salam warahmatullah
Informan : Masyhudi (Habaib / Tokoh Pembesar Thariqah Naqsyabandi)
Usia : 58 Tahun
1. Bagaimana sejarah atau awal mula berdirinya Thariqah Naqsyabandi ini ya
pak?
Berawal dari pertemuan dengan Achmad Zaini, hingga pada akhirnya Achmad
Zaini bercerita dengan saya tentang keberadaan cara pernikahan baru yang dia
anut, dan pernikahan itu dikenal dengan istilah “Nikah Thariqah”. Menurut Zaini,
pernikahan ini merupakan hasil dari golongan Ahlu Thariqah Naqsyabandi. Di
mana pernikahan ini mempunyai perbedaan dengan pernikahan yang telah
ditentukan oleh imam madzhab secara syar‟i. Nikah Thariqah ini diartikan
sebagai jalan khusus dalam melakukan pernikahan, sehingga yang berhak
melakukan pernikahan ini adalah orang-orang yang sudah menganut Thariqah
saja. Bagi orang yang melakukan pernikahan dengan tatacara Nikah Thariqah ini,
maka ada jaminan anaknya kelak akan menjadi seorang Wali atau petinggi
Agama. Selain itu menurutnya, pernikahan ini mempunyai tujuan untuk menjaga
kemashlahatan ummat agar tidak terjerumus dalam jurang perzinahan, sehingga
melahirkan sebuah bentuk pernikahan baru sebagai alternatif bagi kaum muslimin
agak tidak terjebak dalam maksiat yang memang dilarang oleh Allah SWT.
Ketika saya mendapatkan ilmu baru dalam pelaksanaan akad pernikahan
Thariqah dari Achmad Zaini, saya tidak langsung mengimani keberadaan metode
pernikahan tersebut, ia masih bertanya-tanya benarkah metode yang baru
didapatnya telah diakui kebenarannya oleh ulama dan telah termaktub dalam
kitab-kitab fiqih, ataukah hanya hasil buatan orang-orang yang tidak bertanggung
jawab dan hanya mengada-ada saja, dengan begitu akhirnya Achmad Zaini
menegaskan kepada saya untuk mencari kebenaran atas keberadaan Nikah
Thariqah yang tidak merujuk pada Ulama atau kitab-kitab fiqih, melainkan
langsung bertanya kepada orang yang telah dianggap sebagai wali. Karena,
menurut Achmad Zaini Nikah Thariqah itu adalah bentuk pernikahan yang
memang berbeda dengan metode pernikahan secara syari‟at.
Walaupun sudah dijelaskan secara detail oleh Achmad Zaini sebagai
pembawa paham Nikah Thariqah, saya tidak langsung percaya akan kebenaran
metode pernikahan tersebut, melainkan Masyhudi terus menerus mencari jawaban
atas keraguannya dalam pernikahan Thariqah itu. Pada suatu ketika, saya
menceritakan hal tersebut kepada teman yang sama-sama menjadi ustadz pada
waktu itu ketika saya mengabdi di Pondok. saya menceritakan tentang ilmu
pernikahan yang baru saya dapat dari seorang musafir yang baru ia kenalnya,
setelah ia menceritakan dari awal hingga akhir tentang pernikahan Thariqah
beserta tata cara pernikahan tersebut, kemudian teman-temannya pun merasa
terheran (penasaran) dan ingin membuktikan kebenaran metode pernikahan
barunya itu. Beberapa waktu kemudian ketika ada kesempatan, teman saya
langsung pergi ke tempat seorang kyai yang menurut masyarakat sekitar kyai itu
mempunyai pangkat wali (welina Allah) dan bertempat tinggal di Pamekasan,
kedatangan teman teman Masyhudi ini adalah untuk mendapatkan jawaban atas
persoalan pernikahan Thariqah tersebut. Ketika teman-teman saya masuk ke
dalam rumah kyai tersebut dan duduk, teman saya langsung membuka obrolan
tentang pernikahan thariqah yang ia dapat dari seorang musafir yang bernama
Ahmad Zaini tersebut.
Kyai itu menjawab “Boleh melaksanakan pernikahan tersebut, tetapi
pernikahan itu digunakan untuk sebagian golongan saja, yang menggunakannya
adalah orang-orang mukmin yang memang mempunyai pegangan atau sudah
menguasai aliran thariqah dan yang sudah mu‟tamat hakikat atau orang „alim
yang mukmin dan ma‟rifah nya sudah sangat dekat kepada Allah. Jadi,
pernikahan tersebut memang dibenarkan dalam Islam karena tanpa adanya wali
yang dzahirpun pernikahannya sudah sah seperti pendapatnya Abu Hanifah,
ketika perempuan yang akan kamu nikahi sudah mengerti hukum atau baligh
maka boleh saja dengan cara pernikahan thariqah seperti ini”.
Sejak adanya peristiwa tersebut, saya dan teman-teman langsung
mengimani atau mempercayai kebenaran dari pernikahan tersebut dan kemudian
mengamalkannya hingga saat ini. Lalu, setelah saya pulang ke rumah karena saya
sudah lulus di Pondok pada saat itu, saya langsung mengamalkan cara pernikahan
tersebut, akan tetapi saya tidak mau langsung mempublikasikan kepada
masyarakat tentang adanya cara pernikahan yang baru ia percayainya tersebut.
Kemudian saya menikah dengan seorang perempuan asal Madura yang bertempat
tinggal di Desa Parebaan juga, perempuan itu bernama Nihayatus Sa‟adah. Di
dalam pernikahan, saya dan juga calon istri tetap menggunakan akad pernikahan
secara hukum Islam, karena secara tidak langsung saya merasa khawatir akan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ketika mempublikasikan model pernikahan
yang baru dikenalnya. Setelah resmi menikah, saya sering pergi ke luar kota tanpa
didampingi oleh istri, disanalah saya mengamalkan Nikah Thariqah ketika jauh
dari isterinya (ke luar kota). Hal seperti itu saya lakukan karena beralasan
khawatir sampai terjerumus ke dalam perbuatan yang telah dilarang oleh Allah
(berbuat zina).
“Nikana guleh ben bineh selaen ngangguy se biasa ngangguy nikah thariqah
keyah polana mondeddi anak, anaeh bhekkal deddi oreng wali”. Jadi, ketika
menikahi isttri saya tidak menggunakan pernikahan secara syari‟at saja,
melainkan menggunakan metode pernikahan thariqah juga dengan harapan ketika
mempunyai keturunan, maka anaknya kelak akan menjadi seorang wali Allah
atau petinggi agama seperti yang telah dijelaskan oleh guru saya pada waktu itu.
Saya menggunakan praktik pernikahan thariqah meskipun sudah
mempunyai isteri, hal itu saya lakukan karena daripada melakukan perbuatan
yang dilarang oleh Allah (zina), lebih baik saya menggunakan metode pernikahan
tersebut, walaupun pada saat itu belum berani untuk mempublikasikan secara
langsung kepada orang-orang, karena saya takut ajaran yang saya bawakan ini
dianggap ajaran sesat oleh orang awam.
2. Kalau boleh saya tahu, bapak sudah dikaruniai berapa keturunan?
Anak saya ada 4 dek.
3. Usia berapa Bapak dan Ibu ketika menikah dahulu?
Umur bapak pada waktu itu 27 tahun sudah melamar Ibu, kalau Ibu masih 22
tahun.
4. Apakah ada amalan-amalan ubudiyah khusus terkait dengan Thariqah ini
Abah?
Ya kita dzikir itu pasti dek, setiap malam kita I‟tikaf di masjid buat fokus
mengingat tuhan kita.
5. Untuk pernikahan sendiri, di dalam Thariqah ini apa saja rukun dan syarat
yang harus dilakukan oleh kedua mempelai sebelum menikah Pak?
Yang wajib itu harus ada ijab qabul dan calon pengantin laki-laki dan perempuan
6. Bagaimana praktik dari pernikahan Thariqah ini sendiri Pak?
Prosesi pernikahan ini dimulai dari salah satu saya atau Habib Ahlu Thariqah
yang lain mengajak kedua pengantin ke tempat yang sepi untuk melakukan akad
nikah, tanpa dihadiri oleh wali dan saksi. Setelah sampai di tempat tersebut,
Habib memberikan arahan dalam pelaksanaan akad nikah, ketika kedua mempelai
telah mengerti pelaksanaan pernikahan tersebut, maka Habib yang mendampingi
dan memberikan arahan tadi mulai meninggalkan kedua calon mempelai, dan
Habib tersebut hanya menyaksikan dari kejauhan untuk mengawasi keduanya dan
memastikan mereka benar-benar menikah dengan paham golongan tersebut.
Kemudian kedua mempelai saling memejamkan mata, calon mempelai laki-laki
dan perempuan saling berjabat tangan seerat mungkin, jempol calon mempelai
laki-laki dan calon mempelai perempuan sama-sama menyentuh, kemudian sighat
mulai dibacakan oleh pengantin laki-laki, yang berbunyi: “Neat engsun panikagi
syekh warumani lansirullah syahudeh malaekat se empa‟ pangolona Nabi
Muhammad e pakabin e jeuheur awwel maskabinah syahedet sejati Allahu
Muhammad abeli dha‟ ka Allah tor jumennengah dhibi‟ laa ilaaha illallah
muhammadur rosulullah”.
7. Apakah ada faktor atau alasan yang melatarbelakangi adanya pernikahan
Thariqah seperti ini ya Pak?
Faktor yang paling mendasar yak arena untuk menghindari perbuatan zina dek,
daripada zina lebih baik kita menikah kan kata Allah. Kalau sudah menikahkan
bebas. Apa yang lakukan dapet pahala.
8. Menurut Bapak sendiri, apa yang melandasi tidak adanya wali dan saksi di
dalam pernikahan thariqah ini?
Imam Hanafi di dalam fatwanya kan membolehkan wanita menikahkan dirinya
sendiri dek, tanpa adanya wali dan saksi. Kita berpegang teguh dengan Imam
Hanafi, asalkan perempuan itu harus yang se kufu dan sudah mengerti hukum atau
baligh.
9. Bagaimana pelaksanaan mahar di pernikahan thariqah ini Pak?
Untuk mahar, kita menggunakan ayat-ayat Allah seperti syahadat dan lain-lain.
10. Selain syahadat dan ayat Al-Qur’an apa tidak ada lagi ukuran mahar yang
lebih dari itu Pak?
Tidak ada dek, karena syahadat dan ayat Al-Qur‟an itu saja sudah cukup untuk
kesanggupan laki-laki memimpin keluarga.
11. Sebelum dan sesudahnya terimakasih banyak Bapak dan Ibu sudah mau
meluangkan waktunya untuk menyelesaikan tugas Annisa, mohon maaf ya
Pak kalau Annisa banyak tutur kata yang salah kepada Bapak Ibu selama
bertanya tadi.
Iya de
12. Wassalamu’alaikum
Wa‟alaikum salam dek
Informan : Mohammad Khoiri (Anggota Ahlu Thariqah)
Usia : 57 Tahun
1. Kalau boleh saya tahu, Bapak anggota Ahlu Thariqah betul Pak?
Iya dek, saya sekaligus yang membersihkan masjid ini untuk kajian rutinitas setiap
malam.
2. Bagaimana sejarah atau awal mula berdirinya Thariqah Naqsyabandi ini ya
Pak?
Thariqah ini muncul di Desa Parebaan awal mulanya dibawa oleh seorang ustadz
yang bernama, tempat tinggal beliau dekat dengan saya. Masyhudi telah lama
menuntut ilmu di salah satu Pondok Pesantren “Rhoudhatut Thalibin”, pesantren
itu bertempat di Kabupaten Pamekasan, kemudian Masyhudi dipercaya oleh
pengasuh pondok tersebut dan diangkat menjadi seorang ustadz. Setelah
Masyhudi mempunyai banyak relasi melalui orang-orang yang bertandang ke
Pondok atau sowan ke pengasuh pondok itu, hingga suatu ketika Masyhudi
bertemu dengan seseorang yang bernama Achmad Zaini, tepatnya pada tahun
2013, dia berasal dari desa Banyuates Sampang, di mana dia juga adalah seorang
santri alumni salah satu Pondok Pesantren di Pamekasan yang pada saat itu
sedang menjalani misinya sebagai seorang yang mengunjungi setiap Pondok
Pesantren dan kebetulan sedang berkunjung ke tempat Masyhudi mondok.
3. Usia berapa Bapak menikah dengan Ibu dahulu?
Sekitar umur 29/30 saya baru menikah dek
4. Apakah ada amalan-amalan ubudiyah khusus terkait dengan Thariqah ini
Abah?
Kita menerapkan pendekatan hati kita saja kepada Allah dek, setiap malam kita
berdzikir dan rutin untuk kajian persoalan agama.
5. Untuk pernikahan sendiri, di dalam Thariqah ini apa saja rukun dan syarat
yang harus dilakukan oleh kedua mempelai sebelum menikah Pak?
Rukun nya tetap sama saja dek, ada ijab qabul, calon suami dan calon istri, hanya
saja kita tidak menggunakan wali dan saksi dek. Tapi, masalah wali ini jangan
dibuat untuk mainan karena wanita yang belum baligh atau mengerti agama tidak
boleh mengawinkan dirinya sendiri dek, jadi harus wanita yang sudah baligh dan
memilik laki laki yang se Kufu dengannya supaya dapat membimbing keluarga.
6. Bagaimana praktik dari pernikahan Thariqah ini sendiri?
Dalam praktik pernikahan thariqah ini hanya dilakukan berdua antara pihak laki-
laki dan pihak perempuan dengan didampingi oleh salah seorang Habib yang ikut
serta menyaksikan dari kejauhan tempat kedua mempelai menikah, di mana hal
ini menjadi salah satu syarat dari pernikahan thariqah. Setelah berada dalam
kondisi yang tenang, kemudian dilanjutkan dengan berjabat tangan se-erat
mungkin antara kedua mempelai dengan jempol saling menyentuh antara laki-laki
dan perempuan yang akan melakukan akad pernikahan, kemudian sighat
nikahpun dilantunkan oleh calon mempelai laki-laki,
Pembacaan sighat tersebut mengandung arti mempelai laki-laki
menikahkan dirinya kepada perempuan atas dasar Allah yang Maha Menyaksikan
segalanya dan wali Allah (Nabi Muhammad). Maksud daripada malaikat yang
empat penghulunya yaitu mempunyai makna pernikahan mereka dihadirkan oleh
4 (empat) malaikat, keempat malaikat tersebut diantaranya adalah: malaikat di
samping kanan dan kiri yaitu Rakib dan Atid yang bertugas sebagai mencatat
kebaikan dan keburukan manusia, kemudian malaikat Jibril menyampaikan
wahyu pada Nabi dan Rasul, Mikail yang dapat memberi rizqi kepada manusia
terutama untuk kedua mempelai yang akan menyempurnakan separuh agamanya.
Dan mereka mempercayai adanya 4 (empat) malaikat ini hadir dan menyaksikan
keduanya (calon mempelai laki-laki dan perempuan) pada pernikahan tersebut.
Setelah semuanya selesai, Habib baru memutuskan sahnya suatu perkawinan ini
de.
7. Apakah ada faktor atau alasan yang melatarbelakangi adanya pernikahan
Thariqah seperti ini ya Pak?
di zaman sekarang de, maksiat sudah di mana-mana. Kalau kita biarkan anak-
anak berpacaran nanti jatuhnya dosa karna khawatir zina. Makanya untuk
menyalurkan syahwat ya pernikahan ini memang sangat alternatif untuk
mengurangi maksiat dan zina, supaya seseorang yang ingin menyalurkan
syahwatnya daripada berzina, lebih baik menikah dengan cara Islam seperti ini.
Lagi pula Imam Hanafi pun mengajarkan kepada muridnya untuk mempermudah
hukum, maka yang sekiranya hukum itu sulit tidak apa-apa kalau kita ingin
mengambil kemudahan hukum tersebut.
8. Ketika Bapak menikahi Ibu dahulu, apakah sudah menerapkan tata cara
pernikahan Thariqah ini?
Belum dek, dulu saya nikah masih menggunakan pernikahan Imam Syafi‟i. tapi,
setelah saya masuk sebagai Ahlu Thariqah saya berubah mazhab jadi mengikuti
ajaran-ajaran Imam Hanafi yang digunakan oleh Thariqah ini. Akhirnya saya
menikah lagi dengan Ibu tapi dengan menggunakan syariat mazhab Hanafiyah
atau bahasa yang lebih jelasnya nikah thariqah.
9. Menurut Bapak sendiri, apa yang melandasi tidak adanya wali dan saksi di
dalam pernikahan thariqah ini?
Ya karena sudah menggunakan tatanannya Abu Hanifah, ketika waktu Nabi
Adam dahulu menikah dengan Siti Hawa juga kan tidak menggunakan wali dan
saksi, karena sudah terwakili semuanya oleh Allah dan Muhammad. Untuk
masalah perwalian perempuannya, golongan kami memiliki syarat agar wanitanya
itu telah baligh atau mengerti hukum dan sederajat. Kalau sudah memnuhi
persyaratan keduanya, yasudah menikahkan dirinya sendiri tanpa ada wali kan
diperbolehkan. Peraturan yang harus dijalani oleh penganut Ahlu Thariqah yaitu
wajib mendekatkan diri kepada Allah, sehingga bisa mencapai maqam wali Allah
dan dilarang bermain perempuan.
10. Bagaimana pelaksanaan mahar di pernikahan thariqah ini Pak?
Di sini kita pakai syahadat dan kalam-kalam Allah dalam pemberian mahar
kepada calon istri.
11. Apakah tidak adanya ukuran mahar dalam pernikahan Thariqah ini ya
Pak?
Maksudnya batasan mahar ya dek? Kalau setahu bapak, mahar lantunan satu
ayatpun sudauh cukup dan dapat dijadikan simbol kesanggupan laki-laki dalam
mempin kehidupan keluarganya kelak.
12. Sebelum dan sesudahnya terimakasih banyak Abah sudah mau meluangkan
waktunya untuk menyelesaikan tugas Annisa, mohon maaf ya Bapak kalau
Annisa banyak tutur kata yang salah kepada Abah selama bertanya tadi.
Iya dek, nanti main lagi ke sini ya
13. Wassalamu’alaikum
Wa‟alaikumussalam
Informan : Mohammad Baihaqi (Anggota Ahlu Thariqah)
Usia : 42 Tahun
1. Kalau boleh saya ingin bertanya-tanya tentang Ahlu Thariqah Pak,
kebetulan saya mendapat arahan dari warga untuk ke rumah Bapak
Oh iya iya… betul saya pengikut tarekat ini dek, apa saja yang mau ditanyakan?
2. Bagaimana sejarah atau awal mula berdirinya Thariqah Naqsyabandi ini ya
?
Kalau untuk awal mula sejarahnya saya kurang begitu mengerti dek, Cuma
memang ajaran tarekat ini tersebar pada tahun 2015, dan Bapak masuk ke dalam
anggota tarekat ini.
3. Usia berapa Bapak dan Ibu ketika menikah dahulu?
Umur 26 saya menikah, pada waktu itu istri saya umur 22 tahun.
4. Apakah ada amalan-amalan ubudiyah khusus terkait dengan Thariqah ini
Pak?
Amalan khusus sih tidak ada dek, cuma kita selalu mengadakan pengajian dan
dzikir bersama setiap malam harinya sampai kadang larut malam. Nanti ada
kajian dari Habib Thariqahnya.
5. Untuk pernikahan sendiri, di dalam Thariqah ini apa saja rukun dan syarat
yang harus dilakukan oleh kedua mempelai sebelum menikah?
Rukunnya dan syaratnya yaitu:
a. Adanya calon laki-laki dan perempuan. Dalam pernikahan thariqah calon
mempelai laki-laki dan perempuan memiliki syarat:
- Beragama Islam.
- Berakal sehat.
- Baligh.
- Suka sama suka (tidak dipaksa atau kemauan sendiri).
- Kedua mempelai bukan orang yang haram dinikahi.
- Tidak sedang melaksanakan ihram.
- Tidak adanya wali dan saksi.
b. Sighat (ijab dan qabul)
Yang berbunyi: “Neat engsun panikagi syekh warumani lansirullah
syahudeh malaekat se empa‟ pangolona Nabi Muhammad e pakabin e
jeuheur awwel maskabinah syahedet sejati Allahu Muhammad abeli dha‟
ka Allah tor jumennengah dhibi‟ laa ilaaha illallah muhammadur
rosulullah”.
c. Mahar berbentuk syahadat atau lantunan ayat Al-Qur‟an.
d. Harus di tempat yang sepi. Karena untuk membayangkan nantinya akan
disaksikan oleh Allah, Nabi Muhammad, dan para malaikat.
6. Bagaimana praktik dari pernikahan Thariqah ini sendiri?
Praktiknya pelaksanaannya harus kedua mempelai saja yang berada di tempat
pernikahan, karna untuk menjaga kesakralan sighat pernikahan. Kemudian sama
sama memegang erat jempol keduanya, lalu mempelai laki-laki mengucapkan
sighat.
7. Apakah ada faktor atau alasan yang melatarbelakangi adanya pernikahan
Thariqah seperti ini ya Abah?
untuk meminimalisirkan zina, dengan cara seperti ini kan masih menganut ajaran
Hanafiyah, jadi masih diperbolehkan dalam Islam.
8. Ketika Bapak daan Ibu menikah dahulu, apakah sudah menerapkan tata
cara pernikahan Thariqah ini?
Sudah, saya menikah dengan langsung menggunakan tatacara pernikahan
thariqah.
9. Menurut Bapak sendiri, apa yang melandasi tidak adanya wali dan saksi di
dalam pernikahan thariqah ini?
Ya karena tarekat ini kan berpegang teguh ajarannya Imam Abu Hanifah, jadi
tidak adanya wali dan saksipun tetap sah pernikahannya.
10. Bagaimana pelaksanaan mahar di pernikahan thariqah ini Pak?
Mahar di sini menggunakan syahadat dek, jadi sama saja sudah melantunkan ayat
suci Al-Qur‟an.
11. Apakah tidak adanya ukuran mahar di pernikahan Thariqah ini ya Pak?
hanya stahadat dan Al-Qur‟an saja untuk maharnya.
12. Sebelum dan sesudahnya terimakasih banyak Bapak dan Ibu sudah mau
meluangkan waktunya untuk menyelesaikan tugas Annisa, mohon maaf
kalau Annisa banyak tutur kata yang salah kepada Bapak dan Ibu selama
bertanya tadi.
Iya dek, sama-sama
13. Wassalamu’alaikum
Wa‟alaikumussalam warahmatullah
Informan : Martala (Anggota Ahlu Thariqah)
Usia : 32 Tahun
1. Oh gitu pak, kalau boleh tahu Bapak termasuk anggota thariqah di daerah
sini ya Pak?
Iya betul, saya Ahlu Thariqah Naqsyabandi di Parebaan ini
2. Bagaimana sejarah atau awal mula berdirinya Thariqah Naqsyabandi ini ya
Pak?
Thariqah ini didirikan sudah lama, tapi baru tersebar dan banyak anggota yang
masuk di tahun 2015.
3. Usia berapa Bapak dan Ibu ketika menikah dahulu?
Dulu saya menikah dengan istri saat usia 29 tahun, istri umur 25 tahun.
4. Apakah ada amalan-amalan ubudiyah khusus terkait dengan Thariqah ini
Abah?
Kalau malam saja si dek, kita rutin kajian mendengarkan ceramah sekaligus
I‟tikaf di masjid kadang sampai sepertiga malam.
5. Untuk pernikahan sendiri, di dalam Thariqah ini apa saja rukun dan syarat
yang harus dilakukan oleh kedua mempelai sebelum menikah?
Kalau untuk rukunnya masih sama dengan ulama lain dek, Cuma kita memegang
teguh ajaran ulama Hanafiyah, jadi rukunnya ada calon mempelai laki-laki dan
perempuan, sighat (ijab qabul), harus di tempat yang sepi, tidak ada wali, tidak
ada saksi.
6. Bagaimana praktik dari pernikahan Thariqah ini sendiri?
Praktiknya sangat simple dek, kedua mempelai sama sama ada di tempat yang
sepi, lalu sighat ijab qabul langsung dibacakan oleh salon pengantin laki-laki,
setelah selessai sighat pembacaan syahadat sebagai mahar.
7. Apakah ada faktor atau alasan yang melatarbelakangi adanya pernikahan
Thariqah seperti ini Pak?
Ya salah satu faktor utamanya untuk menghindari daripada zina.
8. Bagaimana pelaksanaan mahar di pernikahan thariqah ini Pak?
Yang tadi sudah saya sebutkan, maharnya berupa syahadat dan ayat Qur‟an.
9. Apakah tidak adanya ukuran mahar di pernikahan Thariqah ini ya Abah?
Tidak, cukup dua itu saja (mahar atau ayat suci Al-Qur‟an).
10. Sebelum dan sesudahnya terimakasih banyak Abah sudah mau meluangkan
waktunya untuk menyelesaikan tugas Annisa, mohon maaf ya Bah kalau
Annisa banyak tutur kata yang salah kepada Abah selama bertanya tadi.
Iya, sama-sama dek, hati-hati pulangnya.
11. Wassalamu’alaikum
Wa‟alaikum salam warahmatullah
Informan : Ahmad Mu’is (Sekretaris Desa dan Anggota Ahlu Thariqah)
Usia : 40 Tahun
1. Bagaimana sejarah atau awal mula berdirinya Thariqah Naqsyabandi ini ya
Pak?
Oh, berdirinya thariqah ini awal mulanya Ustadz Masyhudi yang membawa ajarn
ini kemudian mengajarkan kepada saya, karena berhubung kami adalah sahabat
dekat.
2. Usia berapa Bapak dan Ibu ketika menikah dahulu?
Ketika itu saya menikah umur 30 tahun dek, istri saya umur 25 tahun.
3. Apakah ada amalan-amalan ubudiyah khusus terkait dengan Thariqah ini
Abah?
Amalan khusus tidak ada dek, hanya dzikir rutinitas setiap malam selesai shalat
Isya.
4. Untuk pernikahan sendiri, di dalam Thariqah ini apa saja rukun dan syarat
yang harus dilakukan oleh kedua mempelai sebelum menikah?
Rukunnya sudah pasti ada calon mempelai, ijab qabul, mahar berbentuk syahadat
dan bisa menggunakan ayat suci Al-Qur‟an.
5. Bagaimana prosesi peminangan dan praktik dari pernikahan Thariqah ini
sendiri ya pak ?
Awal mula pertemuan antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai
perempuan terjadi secara alami saja dek, walaupun tidak sedikit dari orang-orang
golongan Thariqah yang menjodohkan anak-anak mereka dengan saudaranya
sendiri. Jadi, mereka bisa saling menjaga keturunan satu dengan yang lainnya.
Dalam praktiknya sama seperti pernikahan pada umumnya, hanya saja yang
membedakan tidak adanya wali dan saksi, serta mahar yang hanya berupa
lantunan ayat suci Al-Quran.
6. Apakah ada faktor atau alasan yang melatarbelakangi adanya pernikahan
Thariqah seperti ini ya Abah?
Supaya ada praktik pernikahan yang tidak ribet (susah).
7. Ketika Bapak dan Ibu menikah dahulu, apakah sudah menerapkan tata
cara pernikahan Thariqah ini?
Belum dek, kita menikah masih menggunakan cara pernikahan biasa Imam
Syafi‟i, ketika masuk ke golongan Ahlu Thariqah barulah saya menikah dengan
pernikahan thariqah.
8. Menurut Bapak sendiri, apa yang melandasi tidak adanya wali dan saksi di
dalam pernikahan thariqah ini?
ketiadaan wali dan saksi di sini itu juga harus memiliki syarat, seperti
pendapatnya Abu Hanifah, bahwasanya wanita yang sudah baligh dan laki-laki
sendiri.
9. Bagaimana pelaksanaan mahar di pernikahan thariqah ini Bapak?
Mahar pada pernikahan ini tidak memerlukan biaya besar dek, karena hanya
menggunakan lantunai ayat Allah dan dua kalimat syahadat.
10. Apakah tidak adanya ukuran mahar di pernikahan Thariqah ini ya Bapak?
Tidak dek, ya hanya itu saja tadi. Mahar dengan ayat Allah sudah cukup dijadikan
maharnya.
11. Sebelum dan sesudahnya terimakasih banyak Abah sudah mau meluangkan
waktunya untuk menyelesaikan tugas Annisa, mohon maaf ya Bah kalau
Annisa banyak tutur kata yang salah kepada Abah selama bertanya tadi.
Iya adek, hati hati pulangnya ya
12. Wassalamu’alaikum
Wa‟alaikumussalam
Informan : Mohammad Toha (Anggota Ahlu Thariqah)
Usia : 40 Tahun
1. Bapak sudah lama menjadi Ahlu Thariqah ini pak?
Ya, dari semenjak berdirinya thariqah saya langsung mempunyai niat untuk
gabung supaya dapat lebih taqorrub dengan Allah.
2. Bagaimana sejarah atau awal mula berdirinya Thariqah Naqsyabandi ini ya
bah?
Thariqah ini kan sebenarnya jalan ya dek, jadi kalau kita artikan secara syariatnya
yaitu jalan menuju Allah. Maka yang akan sampai kepada derajat orang-orang
mukmin yang betul-betul ingin dekat dengan Allah. Thariqah ini juga mengacu
kepada ajaran Hanafiyah dek, jadi tidak dengan sembarang orang menilai thariqah
ini tidak memiliki landasan yang kuat. Padahal, jika dilihat dari sudut ketaatan
dalam menjalankan ibadah, Thariqah ini tidak pernah meninggalkan yang
namanya dzikir (beri‟tikaf) pada waktu malam.
3. Usia berapa Bapak dan Ibu ketika menikah dahulu?
Waktu itu saya menikahi istri sekitar umur 30-an, istri saya masih berumur 23
tahun.
4. Apakah ada amalan-amalan ubudiyah khusus terkait dengan Thariqah ini
Bapak?
Sebenarnya, untuk amalan-amalan khusus tidak ada dek, hanya kita memiliki
komitmen atau istiqamah untuk dekat terus dengan Allah. Nah, caranya adalah
setiap malam kita tetap menjalankan sunnah-sunahnya Baginda, lalu dilanjut
dengan dzikir dan ceramah.
5. Untuk pernikahan sendiri, di dalam Thariqah ini apa saja rukun dan syarat
yang harus dilakukan oleh kedua mempelai sebelum menikah?
Intinya pernikahan thariqah ini harus dihadiri oleh calon mempelai laki-laki dan
perempuan, kemudian adanya lafadz dari pihak laki-laki untuk mengawinkan
dirinya kepada perempuan yang ingin ia nikahi. Untuk wali dan saksi di sini kita
tidak menggunakannya, karena pada hakikatnya wanita yang sudah mampu untuk
menikah dengan sendirinya, dan mengetahui baik buruknya suatu perkara itu
telah dianjurkan supaya dapat menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali dan
saksi, dengan syarat yang tadi harus terpenuhi.
6. Bagaimana praktik dari pernikahan Thariqah ini sendiri?
Pengantin laki-laki dan perempuan cukup melaksanakan di tempat yang sepi
tanpa dihadiri oleh siapapun, kedua tangan mempelai sama-sama memegang erat
sambil mempelai laki-laki membacakan sighat akad nikah.
7. Apakah ada faktor atau alasan yang melatarbelakangi adanya pernikahan
Thariqah seperti ini ya Pak?
Sebenarnya hanya satu faktor yang mendasar di dalam pernikahan ini dek, yaitu
untuk mencegah dari perbuatan zina atau perbuatan yang telah dilarang oleh
Allah.
8. Ketika Bapak dan Ibu menikah dahulu, apakah sudah menerapkan tata
cara pernikahan Thariqah ini?
Pastinya belum dek, tapi ketika kita mengimanani ajaran thariqah ini ya harus
mengikuti dari awal hingga akhir ajarannya. Saya menikah menggunakan
pernikahan thariqah ketika tahun 2016. Sekarang ya thariqah ini sudah luas
penyebarannya. Dulu bapak ketika masuk anggota ini masih sangat sedikit sekali
dek.
9. Menurut Bapak sendiri, apa yang melandasi tidak adanya wali dan saksi di
dalam pernikahan thariqah ini?
Sudah dijelaskan tadi sebelumnya, kita menggunakan ajaran Hanafiyah. Makanya
tidak perlu ada wali maupun saksi dalam pernikahan, asalkan mereka sama sama
mengerti hukum dan se kufu.
10. Bagaimana pelaksanaan mahar di pernikahan thariqah ini Pak?
Untuk masalah mahar, kami menggunakan syahadat dan ayat Allah dek, karena
mahar itu juga fungsinya pemberian yang tidak harus membebani diri seseorang.
Jadi, syahadat dan ayat Allah pun sudah termasuk sahnya pemberian mas kawin
untuk perempuan.
11. Apakah tidak adanya ukuran mahar di pernikahan Thariqah ini ya pak?
Tidak, ya hanya itu saja tadi.
12. Sebelum dan sesudahnya terimakasih banyak Abah sudah mau meluangkan
waktunya untuk menyelesaikan tugas Annisa, mohon maaf ya Bah kalau
Annisa banyak tutur kata yang salah kepada Abah selama bertanya tadi.
Iya dek
13. Wassalamu’alaikum
Wa‟alaikum salam
Informan : Bapak Amir Syaefuddin (Kepala Desa Parebaan)
Usia : 49 Tahun
1. Jadi gini pak, kedatangan saya kesini untuk menanyakan prihal Ahlu Thariqah
yang telah berjalan beberapa tahun yang lalu, menurut bapak sendiri bagaimana
dengan adanya golongan yang mengatasnamakan dirinya sebagai Ahlu Thariqah
Naqsyabandi ini pak?
Oh tentang masalah itu dek, iya jadi sekitar 6 tahun yang lalu memang golongan itu
sudah ada dek, tapi baru diikuti oleh sebagian warga ini 4 tahun terakhir sekitar tahun
2015 mereka sudah memiliki pengikut yang lumayan banyak dari warga Parebaan ini.
2. Untuk masalah amalannya memang mereka setiap malam dzikir dan lain
sebagainya ya pak?
Ya, untuk masalah amalan ubudiyah mereka memang kalau saya perhatikan pengikutnya
itu sangat rajin dalam hal ibadah, sampai di tengah malam pun saya sering mendengar,
masih ada orang yang berdzikir dan menyampaikan ceramah seperti layaknya kajian di
malam hari dek.
3. Kalau menurut bapak dalam hal pernikahan golongan mereka bagaimana pak?
Memang kalau menurut saya, ada satu permasalahan dalam pernikahannya dek. Jadi,
mereka tidak menganggap wali dan saksi itu ada. praktik penerapan nikahnya pun
mungkin berbeda juga dengan kita.
4. Menanggapi hal itu, bapak dan staf-staf lainnya di Parebaan ini bagaimana pak?
Sebenarnya ketika dulu baru tersebar ajaran mereka, itu para warga khususnya cabang
ranting Nahdhatul Ulama di sinipun sudah pernah bermusyawarah terhadap golongan
seperti tadi, hanya saja ketika kita ingin meminta penjelasan mereka secara detail,
mereka merasa enggan untuk mempublikasikan golongan thariqah tersebut. Mereka
(Ahlu Thariqah) berpendapat “Semua makhluk hidup itu bebas menggunakan jalan
pemahaman dan pikirannya sendiri selagi dia tidak mengganggu siapapun itu, jadi selagi
jama‟ah saya tidak mengganggu aktivitas bapak-bapak semua di sini, maka tidak ada
salahnya untuk memilih jalan beribadahnya masing-masing”.
Teguran dari pihak tokoh-tokoh agama di Parebaan ini pun sudah pernah kita
lakukan, namun mereka tetap dengan kekeh ingin melaksanakan apa yang mereka
anutnya. Dan dari pihak cabang Nahdhatul Ulama sendiri belum mempertegas,
bahwasanya di dalam desa ini terdapat segolongan orang yang dapat merubah ajaran
syarit Islam yang seharusnya di sini memegang teguh ulama Syafi‟iyah di dalam
permasalahan „ubudiyah maupun muamalahnya. Jadi, pihak-pihak yang telah berwenang
di desa ini pun dapat diartikan angkat tangan dan cabang NU di Parebaan ini hanya
berpendapat “Jika dalam teguran pun mereka belum mau meninggalkannya, maka fardhu
kifayah kami telah gugur, dan yang seharusnya mengurusi masalah ini adalah langsung
dari pemerintah”. Tetapi, pemerintah di Sumenep inipun jarang adanya komunikasi baik
antara warganya maupun staf-staf pengurus desanya.
5. Oh seperti itu bapak, setelah saya mendengar pemaparan tadi memang sangat
ironis juga ya pak jika mendengar pemerintah yang tidak pernah sigap dalam
melaksanakan amanah yang mereka embannya.
Iya dek, jadi kamipun sebagai staf desa ini, terutama bapak sebagai kepala desanya
memang bukannya tidak mau mengurusi permasalahan seperti itu, hanya saja dari pihak
yang berwenang pun sudah angkat tangan, bahkan ada yang memang membiarkannya
begitu saja. jadi kurangnya simpati pemerintah dalam hal ini dek.
6. Iya pak, mungkin terimakasih banyak kepada bapak untuk informasinya ya pak.
Semoga untuk kedepannya pemerintah supaya mengawasi betul permasalahan
yang ada di wilayah yang mereka amanahkan untuk dijaga dalam hal
kemasyrakatan dan kehidupannya ya pak
Iya dek, aamiin..
7. Saya izin pamit ya pak, semoga lain waktu bisa silaturrahim ke rumah bapak lagi
Iya dek, kamu hati hati ya. Bapak selalu menunggu kedatangan kamu ke rumah bapak
lagi ya, jangan sungkan-sungkan main lagi ke rumah bapak ya dek
8. Iya pak, pamit pak.. wassalamu’alaikum
Wa‟alaikumussalam warahmatullah
Informan : Bapak H. Abdullah, S.Ag, M.SI (Kepala KUA Desa Parebaan)
Usia : 52 Tahun
1. Data kependudukan Desa Parebaan ini sendiri berapa ya pak?
Jadi, desa Parebaan ini ada 2 dusun dek, yaitu: Dusun Keramas dan Dusun
Masjid. Asal mula desa Parebaan dahulunya disebut dengan kata Papareng dan
Rebbe yang diakhiri oleh akhiran an, jika digabungkan maka menjadi Parebaan.
Pemerintah desa Parebaan merupakan satu pemerintahan yang ada sejak zaman
kerajaan, sesuai dengan perkembangan keadaan dan kondisi masyarakatnya.
2. Untuk pencatatan pernikahan di Desa ini sendiri dari tahun tahun
sebelumnya kira-kira berapa ya pak?
Oh datanya ya, bentar nanti saya kasih data pernikahan dari 3 tahun ke elakang
saja ya dek
3. Kalau boleh tahu, warga Desa Parebaan ini apakah sudah seluruhnya yang
menikah tercatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) Ganding ini ya pak?
Kita di sini sudah memerintahkan supaya setiap pernikahan wajib tercatatkan oleh
negara, karena mengikuti peraturan yang telah dibuat oleh negara. Tapi kadang,
ada saja orang yang memang menganggap hal seperti ini (pencatatan nikah) rumit
dan sulit untuk pasangan yang memang mempunyai latar belakang “tidak
mampu” atau warga miskin. Kami sudah membuat surat keterangan tidak mampu
untuk warg yang memang membutuhkan dalam permasalahan ketidakmampuan
administrasi pencatatan pernikahan ini. Namun, ada saja warga yang memang
tidak mau melapor atau bahkan tidak mau dicatatkan pernikahannya karna
berbagai faktor.
4. Lalu bagaimana pak jika ada warganya yang menikah tapi bukan di KUA
setempat ini pak?
Ya pada intinya kita sudah menegur dan menganjurkan kepada warga tentang
pentingnya pencatatan pernikahan ini. Tapi jika memang warga itu secara diam-
diam menikah (tidak dilaksanakan di KUA setempat), konsekuensi pernikahan
mereka jika adanya permasalahan apapun dikedepannya itu menjadi tanggungan
mereka sendiri. Karna, kami telah mengingatkan dan menjalankan tugas kami
yang semestinya.
5. Oh, seperti itu pak. Terkait data data pernikahan warga Parebaan nanti
saya boleh izin membawa pulang lembarannya ya pak?
Iya dek, boleh nanti saya printkan dahulu dan saya tanda tangani ya.
6. Baik bapak terimakasih sebelum dan sesudahnya ya pak
Iya dek, sama-sama.
LAMPIRAN
Informan : Ali Al-Hinduniyyah
Usia : 61 tahun
Sebagai : Habaib / Tokoh Pembesar Ahlu Thariqah di Parebaan
Informan : Mohammad Khoiri
Usia : 57 tahun
Sebagai : Anggota Ahlu Thariqah di Parebaan
Informan : Masyhudi
Usia : 58 tahun
Sebagai : Habaib / Tokoh Pembesar Ahlu Thariqah di Parebaan
Informan : Mohammad Baihaqi
Usia : 42 tahun
Sebagai : Anggota Ahlu Thariqah di Parebaan
Informan : Mohammad Toha
Usia : 40 tahun
Sebagai : Anggota Ahlu Thariqah di Parebaan
Informan : Martala
Usia : 32 tahun
Sebagai : Anggota Ahlu Thariqah di Parebaan
KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) PAREBAAN GANDING
Informan : Bapak Amir
Usia : 49 Tahuh
Sebagai : Kepala Desa Parebaan
Informan : Bapak Mu’is
Usia : 40 Tahuh
Sebagai : Anggota Ahlu Thariqah dan Sekretaris Desa Parebaan
Informan : Bapak Kesah Sraji
Usia : 53 Tahuh
Sebagai : Ketua Majelis Ulama Sumenep
NAMA-NAMA ANGGOTA AHLUT THARIQAH DI DESA PAREBAAN
NO SUAMI/ISTERI
1 Ali Al-Hinduniyah / Radiah Sulfiyatun Wahyuni
2 Mohammad Khoiri / Itriyah
3 Masyhudi / Nihayatus Sa’adah
4 Mu’is Junaidi / Faihatun Hasanah
5 Ja’far / Siti Farida
6 Martala / Afifatul Aini
7 Mohammad Khotib / Siti Maryam
8 Mohammad Habsyi / Mahtumatul Husniah
9 Sugeng Waluyo / Nur Halimah
10 Thariqul Jani / Unzilatun Ni’mah
11 Achmad Akhyar / Arina Hidayah
12 Mohammad Suhri / Helfiyah
13 Mursidi / Harirah
14 Nanang Cahyadi / Siti Aisyah
15 Mohammad Suhri / Sahlah Jufri
16 Ulul Azmi / Marwiyah
17 Khoirul Anas / Latifatu Masruroh
18 Durrahman / Nur Mahdalena
19 Ahmad Saufi / Tulfatul Mardia
20 Maltub / Naizah Khoiriyyah
21 Mohammad Ikbal Absori / Sulimah Hainiyah
22 Taufiqurrahman / Zairoh Kibtiyah
23 Samhaji / Wardanah
24 Faturrahman / Lailatul Qomariyah
25 Muhammad Muslich / Tria Oktami
26 Achmad Hasani / Minhatun Aminah
28 Mohammad Romsi / Nurul Jannah
29 Imamuddin / Maryam
30 Misdali / Umsa
31 Badruttamam / Tartilah
32 Ibnu Syarifuddin
33 Muhammad Riyadi
34 Salehoddin
35 Hanif Fauzan
36 Achmad Habibi
37 Subairi Jaisah
38 Darwis Rafiqi
39 Erfan Lukman
40 Upik Usman Karsono