1
PERSEPSI TERHADAP PENGEMBANGAN SISTEM PENGUKURAN,
AKUNTABILITAS, DAN PENGGUNAAN INFORMASI KINERJA DI
INSTANSI PEMERINTAH
(Studi pada Pemerintah Kabupaten Semarang)
Ratih Widya Astuti
Drs. Agustinus Santosa Adiwibowo, MSi, Akt.
ABSTRACT
This study aims to prove the perception of local government towards the development
of performance measurement systems that have been done by the government and its
influence on increased accountability and use of performance information to support
decision making in order to improve government performance.
The population of this research is all employees of the Regional Unit of Work Tools
(SKPD) and communities in the district of Semarang. The sample is determined by using
purposive sampling technique to obtain a representative sample. The sample used in this
study are structural officials (echelon 2, 3, and 4). The data in this study is the primary data
obtained from questionnaires distributed directly to the respondent. The hypothesis tested in
this study by using multiple linear regression.
The results of the conclusion of this study indicate that the limitations of information
systems are not proven to affect the development of measurement systems, accountability,
and the use of performance information. The difficulty of determining the size of a positive
influence on the development of performance measurement systems, and performance
accountability, an d no proven negative effect on the use of performance information.
Positive effect of management commitment to the development of measurement systems, and
performance accountability, and negatively affect the use of performance information.
Decision-making authority has a positive effect on the development of measurement systems,
accountability and the use of performance information. Training negatively affect the
development of measurement systems, and performance accountability, and no proven
positive effect on the use of performance information. Organizational culture a positive
influence on the development of measurement systems and the use of performance
information, and no proven positive effect on performance accountability. Development of
performance measurement system has a positive effect directly on the performance
accountability and the use of performance information, as well as an indirect positive effect
on the use of performance information via performance accountability.
Subsequent research in order to conduct interviews to increase understanding of the answers
given by respondents, using quantitative and qualitative performance data, as well as expand
the research objects, and the legislature to assess the attitudes and commitment.
Key words: development of measurement systems, accountability, use of performance
information
2
PENDAHULUAN
Dewasa ini semakin meningkat tuntutan masyarakat kepada pemerintah atas
pelayanan publik yang lebih baik. Hal ini mendorong pemerintah untuk memperbaiki
kinerjanya guna memenuhi tuntutan masyarakat. Untuk dapat menghasilkan kinerja
yang lebih baik, pemerintah perlu merapkan sistem pengukuran kinerja. Melalui
pengukuran kinerja akan menghasilkan informasi yang berguna sebagai dasar
pengambilan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena pengukuran
kinerja tidak hanya mengukur dan menilai kinerja pemerintah dalam memberikan
pelayanan publik kepada masyarakat tetapi juga menilai sejauh mana masyarakat
dapat merasakan manfaat yang diterima atas pelayanan publik tersebut (Norman,
2010).
Dengan mengimplementasikan sistem pengukuran kinerja diharapakan dapat
membantu memperbaiki kinerja pemerintah dalam mewujudkan tujuan dan sasaran,
efisiensi, dan efektivitas layanan publik secara transparan; membantu alokasi sumber
daya dan pembuatan keputusan; serta mewujudkan pertanggungjawaban publik.
Namun demikian, untuk memperbaiki kinerja pemerintah tidak cukup dengan
mengimplimentasikan sistem pengukuran kinerja saja, tetapi juga perlu partisipasi
aktif serta keterlibatan dari masyarakat sebagai pengguna akhir informasi kinerja
yang dihasilkan dari sistem pengukuran kinerja yang diterapkan.
Implementasi sistem pengukuran kinerja berdasarkan Instruksi Presiden
Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan
Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Nomor 589/IX/6/Y/1999
tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah,
yang telah diperbaiki dengan Keputusan LAN Nomor 239/IX/6/8/2003.
Sadjiarto (2008) mendefinisikan akuntabilitas sebagai hubungan antara pihak
yang memegang kendali dan mengatur entitas dengan pihak yang memiliki kekuatan
formal atas pihak pengendali tersebut. Sementara itu, Nurkhamid (2008) mengartikan
akuntabilitas kinerja sebagai wujud kewajiban pemerintah mempertanggungjawabkan
semua keberhasilan dan kegagalan pencapaian berbagai tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan oleh
pemerintah secara periodik.
Pertanggungjawaban kepada pihak yang berkepentinagan (stakeholder) ini
terangkum dalam sebuah model, yaitu Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (LAKIP). Melalui LAKIP , yang merupakan suatu langkah kongkrit
yang diharapakan memberikan dampak dan nilai positif terhadap pelaksanaan
pembangunan. LIPI (2009) menyebutkan bahwa LAKIP merupakan media
3
akuntabilitas yang dapat dipakai oleh instansi pemerintah untuk melaksanakan
kewajiban untuk menjawab kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder).
Di dalam media akuntabilitas yang dibuat secara periodik tersebut, memuat
informasi yang dibutuhkan oleh pihak yang memberikan delegasi wewenang. Melalui
media inilah secara formal dapat dilakukan pertanggungjawaban dan bahan untuk
menjawab berbagai permasalahan yang diminta oleh pihak-pihak yang
berkepentingan untuk menentukan fokus perbaikan kinerja yang berkesinambungan.
Secara teori, melalui LAKIP ini kinerja pemerintah akan dinilai secara transparan,
sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, LAKIP akan dapat
mendorong pemerintah menciptakan good governance, memberikan masukan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan pemerintah; serta
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan terwujudnya
akuntabilitas kinerja. Namun demikian, pada kenyataannya kemampuan sistem
pengukuran kinerja untuk meningkatkan kinerja, dan mewujudkan good governance
masih sering dipertanyakan dan diperdebatkan.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian mengenai sistem pengukuran kinerja di
pemerintahan menunjukkan bahwa masih terdapat masalah dalam implementasi
sistem pengukuran kinerja di setiap organisasi. Nurkhamid (2008) mengidentifikasi
bahwa permasalahan dapat muncul pada tahap pengembangan sistem pengukuran
kinerja maupun pada tahap penggunaan hasil dari implementasi sistem pengukuran
kinerja. Pada tahap pengembangan sistem, Poister dan Streib (1999) dalam
Nurkhamid (2008) menunjukkan bahwa penggunaan ukuran kinerja oleh pemerintah
lokal masih didominasi oleh output, dan workload, sedangkan yang menyangkut kos
unit, efisiensi, outcome, efektivitas, kualitas jasa, dan kepuasan publik ternyata belum
banyak digunakan. Sedangkan pada tahap penggunaan hasil implementasi sistem,
Julnes dan Holzer (2001) dalam Nurkhamid (2008) menunjukkan bahwa informasi
kinerja yang dihasilkan belum banyak digunakan untuk perencanaan strategis, alokasi
sumber daya; manajemen, monitoring, evaluasi, dan pelaporan program kepada
manajemen (pimpinan) internal organisasi, elected official (anggota parlemen),
media, dan masyarakat. Swidel dan Kelly (2002) dalam Sihaloho dan Halim (2005)
menunjukkan bahwa hampir 75% organisasi yang mengumpulkan data kinerja di
USA belum menggunakannya untuk mendukung pengambilan keputusan.
Masalah pada tahap penggunaan hasil sistem dimana informasi kinerja belum
digunakan secara optimal. Hal tersebut dapat diminimalisir dengan adanya dukungan
dari pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang meliputi legislatif, dan
masayarakat agar informasi kinerja dapat dimanfaatkan untuk perencanaan strategis,
alokasi anggaran, pengendalian dan pemantauan serta pelaporan. Sehingga dapat
4
mendukung pemerintah untuk mengembangkan sistem pengukuran kinerja yang
berkualitas dan dapat meningkatkan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah melalui
peningkatan dalam penggunaan informasi kinerja untuk mendukung pengambilan
keputusan.
Tuntutan masyarakat yang menginginkan layanan publik yang lebih baik,
serta pertanggungjawaban yang tercantum dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun
1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan Keputusan Kepala
Lembaga Administrasi Negara (LAN) Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Pedoman
Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah ditujukan untuk
menciptakan good governance. Tuntutan masyarakat dan peraturan yang berlaku
mengharuskan pemerintah daerah melaporkan kinerjanya. Kedua hal tersebut
merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi pegawai instansi
pemerintah daerah tentang pengembangan sistem pengukuran, akuntabilitas dan
penggunaan informasi kinerja. Penelitian ini mengacu pada penelitian Cavalluzzo dan
Ittner yang dilakukan pada tahun 2003, dan Nurkhamid (2008) dengan tujuan yang
sedikit berbeda. Penelitian ini ditujukan untuk membuktikan persepsi pemerintah
daerah terhadap pengembangan sistem pengukuran kinerja yang selama ini sudah
dilakukan oleh pemerintah kemudian pengaruhnya terhadap peningkatan akuntabilitas
dan penggunaan informasi kinerja untuk mendukung pengambilan keputusan guna
meningkatkan kinerja pemerintah.
KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Good Governance
Good Governance menurut United Nations Development Program (UNDP,
1994) adalah:
“Good governance is, among other things, participatory, transparent and
accountable. It is also effective and equitable. And it promotes the rule of law.
Good governance ensures that political, social and economic priorities are
based on broad consensus in society and that the voices of the poorest and the
most vulnerable are heard in decision-making over the allocation of
development resources”.
UNDP (1994) mengemukakan beberapa karakteristik Good Governance, yang
meliputi:
a. Participation – keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan .
b. Rule of law – kerangka hukum yang adil dan tanpa pandang bulu.
c. Transparency – kebebasan mendapatkan informasi yang berkaitan dengan
kepentingan publik.
d. Responsiveness – kecepatan dan daya tanggap lembaga publik dalam
memberikan layanan kepada stakeholder.
e. Consensus Orientation – berorientasi pada kepentingan masyarakat luas.
f. Equity – setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk
memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
5
g. Effectiveness and efficiency – pengelolaan sumber daya publik dilakukan
secara berdaya guna dan berhasil guna.
h. Accountability – pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang
dilakukan.
i. Strategic vision – penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus
memiliki visi jauh kedepan.
Keterbatasan Sistem Informasi
Bodnar (2006) mendefinisikan sistem dan informasi sebagai berikut: “Sistem
adalah sekumpulan sumber daya yang saling terkait untuk mencapai suatu tujuan.
Sedangkan informasi adalah data yang diorganisasi yang dapat mendukung ketepatan
pengambilan keputusan”.
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang juga meneliti kinerja di sektor publik
memberikan gambaran bahwa masalah dalam sistem informasi merupakan hambatan
utama dalam mencapai kesuksesan implementasi sistem pengukuran kinerja.
Nurkhamid (2008) menegaskan bahwa masalah dalam sistem informasi berhubungan
dengan keterbatasan kemampuan sistem informasi yang ada untuk memberikan data
yang reliable, valid, tepat waktu, dan dengan biaya yang efektif. Yang diperkuat
dengan pendapat Kravcuk dan Schank (1996) dalam Nurkhamid (2008) yang
menunjukkan bahwa instansi pemerintah sering menghadapi masalah yang serius
dalam pengukuran kinerja karena adanya berbagai masalah dalam sistem informasi
yang digunakan seperti perbedaan definisi data, teknologi, kemudahan akses, dan
jumlah data yang didapatkan.
Dengan adanya keterbatasan sistem informasi akan menjadi penghalang bagi
pemimpin dalam instansi pemerintah untuk mendapatkan data dengan tepat waktu
dan dapat dipercaya sehingga kemampuan pemimpin dalam menggunakan sistem
pengukuran kinerja pun menjadi terbatas. Hal ini akan menjadi penghambat bagi
pemerintah dalam mengembangkan sistem pengukuran, akuntabilitas dan penggunaan
informasi kinerja guna menghasilkan kinerja yang lebih baik.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan sebagai
berikut:
H1: Keterbatasan sistem informasi berpengaruh negatif terhadap
pengembangan sistem pengukuran, akuntabilitas, dan penggunaan
informasi kinerja.
Kesulitan Menentukan Ukuran Kinerja
Untuk dapat memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada
masyarakat, pemerintah perlu melakukan pengukuran kinerja. Beberapa penelitian
terdahulu mengemukakan bahwa masalah yang juga sering terjadi di instansi
6
pemerintah adalah kesulitan untuk menentukan ukuran kinerja yang tepat. Sihaloho
dan Halim (2005) mengungkapkan bahwa pemanfaatan ukuran-ukuran kinerja di
organisasi sektor publik masih menjadi sesuatu yang problematik. Terdapat beberapa
kesulitan bawaan dalam melakukan pengukuran kinerja yang disebabkan karakteristik
organisasi sektor publik dan beragamnya stakeholder yang berpengaruh.
Karena terlalu luasnya dimensi ukuran kinerja sehingga menyulitkan untuk
fokus pada satu ukuran kinerja, apakah berfokus pada input, proses, output ataukah
outcome. Oleh karena itu, dalam mengembangkan dan mengimplementasikan sistem
pengukuran kinerja yang berkualitas, pemerintah harus menetapkan indikator-
indikator yang tepat dalam pengukuran kinerja.
Norman (2010) mendefinisikan indikator kinerja sebagai ukuran kuantitatif
dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu kegiatan yang telah
ditetapkan. Sehingga kesulitan dalam menentukan ukuran kinerja akan berdampak
pada keterbatasan penggunaan ukuran kinerja untuk mendukung pemerintah dalam
pengambilan keputusan guna memperbaiki kinerja.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan sebagai
berikut:
H2: Kesulitan menentukan ukuran kinerja berpengaruh negatif
terhadap pengembangan sistem pengukuran, akuntabilitas, dan
penggunaan informasi kinerja.
Komitmen Manajemen
Norman (2010) mempersepsikan komitmen manajemen sama dengan
komitmen organisasi. Allen & Meyer (dalam Norman, 2010) mendefinisikan
komitmen organisasi sebagai suatu kelekatan afeksi atau emosi terhadap organisasi
seperti individu melakukan identifikasi yang kuat, memilih keterlibatan tinggi, dan
senang menjadi bagian dari organisasi. Manajemen merupakan bagian dari organisasi,
hal ini berarti bahwa komitmen manajemen merupakan kelekatan emosi orang-orang
yang tergabung dalam manajemen suatu organisasi untuk terlibat dalam upaya-upaya
mencapai misi, nilai-nilai dan tujuan organisasi tersebut. Atau dapat juga memiliki
arti sebagai suatu bentuk loyalitas yang lebih konkrit yang dapat dilihat dari sejauh
mana manajemen mencurahkan perhatian, gagasan, dan tanggungjawabnya dalam
upaya mencapai tujuan organisasi.
Organisasi dengan komitmen manajemen yang kuat dari pimpinan dan
bawahannya maka akan lebih mudah untuk mencapai hasil yang diinginkan untuk
menghasilkan kinerja yang lebih baik, dibanding dengan organisasi yang tidak
memiliki komitmen manajemen. Shields (1995) dalam Cavalluzo dan Ittner (2003)
menyatakan bahwa komitmen manajemen dapat tercermin dengan pengalokasian
7
sumber daya, tujuan, dan strategi pada berbagai rencana yang dianggap bernilai,
menolak sumber daya yang menghambat inovasi; dan memberikan dukungan politis
yang diperlukan untuk memotivasi atau menekan para individu atau pihak lain yang
menolak keberadaan inovasi. Dengan demikian, keberadaan komitmen manajemen
yang kuat sangat dibutuhkan organisasi agar dapat meningkatkan akuntabilitas kinerja
serta penggunaan yang lebih baik atas informasi kinerja yang dihasilkan.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan sebagai
berikut:
H3: Komitmen manajemen berpengaruh positif terhadap
pengembangan sistem pengukuran, akuntabilitas, dan penggunaan
informasi kinerja.
Otoritas pengambilan keputusan
Cavalluzzo dan Ittner (2003) mendefinisikan otoritas pengambilan keputusan
sebagai suatu kondisi dimana seseorang mempunyai otoritas atau hak untuk membuat
keputusan dengan persyaratan yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam rangka
mencapai tujuan strategis organisasi.
Dalam suatu organisasi memungkinkan untuk terjadinya pendelegasian
otoritas pengambilan keputusan dari pemimpin kepada bawahannya. Dengan adanya
pendelegasian otoritas pengambilan keputusan maka dapat membantu manajemen
untuk dapat mengambil keputusan dengan lebih cepat, menumbuhkembangkan
kreatifitas dan usaha dalam melakukan suatu perubahan. Selain itu juga dapat
meningkatkan akuntabilitas diantara personil organisasi sektor publik. Setiap
bawahan yang diberi otoritas untuk mengambil keputusan dan bawahan tersebut
harus mempertanggungjawabkan keputusan yang diambil untuk mencapai target yang
telah ditentukan sebelumnya.
Sehingga dengan pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dari
pimpinan kepada bawahan dalam instansi pemerintah dapat membantu organisasi
tersebut untuk dapat meningkatkan kinerjanya. Karena untuk dapat meningkatkan
kinerja dalam suatu organisasi, partisipasi dari semua pihak yang berada di dalam
organisasi tersebut akan sangat membantu untuk mencapai hasil yang diinginkan
dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat atas pelayanan publik yang lebih baik.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan sebagai
berikut:
8
H4: Otoritas pengambilan keputusan berpengaruh positif terhadap
pengembangan sistem pengukuran, akuntabilitas, dan penggunaan
informasi kinerja.
Pelatihan
Pelatihan merupakan suatu usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan
kinerja pegawai pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi
tanggungjawabnya (Parlinda, 2003). Pemanfaatan ilmu pengetahuan di dalam instansi
pemerintah sangat dibutuhkan untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik
kepada masyarakat karena setiap bagian dari rangkaian kerja dalam instansi
pemerintah harus dilaksanakan dengan terampil oleh personil dalam organisasi
tersebut. Dimana personil organisasi tersebut merupakan salah satu unsur yang
berfungsi sebagai penggerak jalannya roda organisasi sehingga personil organisasi
memiliki peranan yang penting dalam memenuhi tuntutan masyarakat atas pelayanan
publik yang lebih baik. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik maka para personil
tersebut harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup. Dengan
pengetahuan dan keterampilan yang diberikan maka dapat menunjang organisasi
sektor publik untuk mencapai sasaran yang ingin dicapai. Berbagai usaha telah
dan/atau sedang dilakukan oleh pemimpin di instansi pemerintah. Mereka menyadari
bahwa berhasil atau tidaknya tujuan organisasi tersebut bergantung pada personil
yang berada didalamnya.
Nurkhamid (2008) berpendapat bahwa pelatihan dapat menciptakan
mekanisme bagi para pegawai untuk memahami, menerima, dan merasakan secara
nyaman inovasi, dan mengurangi perasaan tertekan atau kebingungan kepada para
pegawai akibat proses implementasi. Misal pelatihan dalam menyusun Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), Rencana Strategis (RENSTRA),
dan Rencana Kerja (Renja), menentukan target kinerja suatu program,
mengembangkan indikator kinerja suatu program, menggunakan informasi kinerja
program untuk membuat keputusan, menghubungkan kinerja suatu program dengan
pencapaian tujuan strategis instansi tersebut. Selain itu, pelatihan yang diberikan
kepada personil juga dapat meningkatkan komunikasi antara divisi dan departemen
tentang pelayanan publik, kinerja, serta pengukuran kinerja (Nurkhamid, 2008).
Dimana jumlah personil yang tergabung dalam divisi-divisi tersebut memiliki
pengaruh terhadap terwujudnya akuntabilitas kinerja dan penggunaan informasi
kinerja jika mereka mampu untuk memahami proses pengukuran kinerja secara
kuantitatif maupun kualitatif.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan sebagai
berikut:
9
H5: Pelatihan yang diberikan kepada para personil organisasi
berpengaruh positif terhadap pengembangan sistem pengukuran,
akuntabilitas, dan penggunaan informasi kinerja.
Budaya Organisasi
Robbins (2006) mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture)
sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang
membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain.
Budaya organisasi memiliki peran penting bagi sebuah organisasi dimana
dapat digunakan sebagai pemberi identitas bagi anggota organisasi, menumbuhkan
komitmen kolektif, meningkatkan stabilitas sistem sosial, dan membentuk prilaku.
Schein (1992); Julnes dan Holzer (2001); dalam Nurkhamid (2008) menyatakan
bahwa budaya organisasi merupakan suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang
ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan
maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang
timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan
cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagaimana cara
yang benar untuk memahami, memikirkan, dan merasakan berbagai masalah tersebut.
Terkait dengan pengukuran kinerja, Julnes dan Holzer (2001) dalam Sihaloho
dan Halim (2005) telah membuktikan bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap
implementasi sistem pengukuran kinerja. Dalam penelitian ini, budaya organisasi
direfleksikan dengan sikap keterbukaan organisasi terhadap perubahan dan inovasi
(yaitu sistem pengukuran kinerja). Dimana orang-orang yang tergabung dalam
organisasi tersebut dapat mengeksplorasi potensi organisasi untuk mencapai hasil
yang diinginkan dengan melihat seberapa terbukanya mereka menerima perubahan.
Sikap organisasi ini dapat dinilai dengan keberadaan sistem reward yang menghargai
inovasi dan pengambilan risiko dalam suatu organisasi serta dengan mengevaluasi
persepsi dan perilaku pimpinan dan stafnya terhadap inovasi dan perubahan.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan sebagai
berikut:
H6: Budaya organisasi berpengaruh positif terhadap pengembangan
sistem pengukuran, akuntabilitas, dan penggunaan informasi kinerja.
Persepsi
Robbins (2006) mendefinisikan persepsi sebagai berikut “Persepsi adalah
proses yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka
dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka”.
10
Sejumlah faktor berperan dalam membentuk dan kadang memutar-balik
persepsi faktor-faktor ini dapat berada dalam pihak pelaku persepsi, dalam objek atau
target yang dipersepsikan, atau dalam konteks situasi dimana persepsi itu dibuat.
Ketika individu memandang ke objek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang
dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu
pelaku persepsi itu. Di antara karakteristik pribadi yang mempengaruhi persepsi
adalah sikap, kepribadian, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan
harapan. Selain itu, konteks di mana kita melihat suatu objek atau peristiwa juga
penting. Waktu di mana suatu objek atau peristiwa dilihat dapat mempengaruhi
pemahaman, seperti juga lokasi, cahaya, panas, atau sejumlah faktor-faktor
situasional lainnya.
Teori Atribusi
Persepsi individu terhadap manusia berbeda dengan persepsi individu
terhadap benda mati seperti meja, mesin atau bangunan, karena individu perlu
menyimpulkan tindakan seseorang. Hal yang tidak kita lakukan pada benda mati.
Benda mati tunduk pada hukum alam, tetapi tidak memiliki kepercayaan, motif, atau
keinginan. Individu memilikinya. Akibatnya adalah ketika individu mengobservasi
individu lain, individu tersebut berusaha untuk mengembangkan penjelasan-
penjelasan tentang mengapa mereka melakukan sesuatu dengan cara-cara tertentu.
Persepsi dan pendapat individu tentang tindakan seseorang, oleh karenanya, akan
dipengaruhi secara signifikan oleh asumsi-asumsi yang dibuat tentang keadaan
internal individu tersebut.
Teori atribusi diperkenalkan oleh Fritz Heider (1958) pertama kali mengenai
atribusi kausalitas. Atribusi merupakan proses menyimpulkan motif, maksud, dan
karakterisik orang lain dengan melihat pada perilakunya yang tampak. Teori atribusi
diajukan untuk mengembangkan penjelasan bahwa perbedaan penilaian seorang
individu terhadap individu lain tergantung pada arti atribusi yang kita berikan pada
perilaku tertentu.
Pada dasarnya teori atribusi mengemukakan bahwa ketika individu-individu
mengamati perilaku, individu-individu tersebut berupaya menentukan apakah
perilaku tersebut disebabkan oleh faktor internal atau eksternal (Robbins, 2006).
Perilaku yang disebabkan internal adalah perilaku yang diyakini berada di bawah
kendali pribadi individu tersebut. Sedangkan perilaku yang disebabkan faktor
eksternal dilihat sebagai hasil dari sebab-sebab luar, yaitu individu tersebut dipandang
terpaksa berperilaku demikian oleh situasi.
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini diduga bahwa pegawai
pemerintah dipandang terpaksa berperilaku demikian oleh situasi. Situasi yang
dimaksud, disebabkan oleh adanya tuntutan dari masyarakat dan peraturan yang
11
mengatur bahwa pegawai pemerintah harus mempertanggungjawabkan sukses-gagal
kinerjanya kepada pihak yang mendelegasikan wewenang kepadanya dengan tujuan
untuk menciptakan good governance. Tuntutan masyarakat dan peraturan tersebut
merupakan faktor eksternal yang menyebabkan pegawai pemerintah berperilaku.
Karena dengan peraturan yang mengikat, pegawai pemerintah dipandang terpaksa
berperilaku.
Pengembangan Sistem Pengukuran Kinerja
Sistem adalah sekumpulan sumber daya yang saling terkait untuk mencapai
suatu tujuan (Bodnar, 2006). Sedangkan pengukuran kinerja adalah penentuan secara
periodik efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan karyawannya
berdasarkan sasaran, standar, dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya
(Mulyadi, 2001: 415). Sehingga sistem pengukuran kinerja adalah seperangkat
bagian-bagian yang saling berhubungan erat satu dengan lainnya yang bertujuan
untuk menilai secara periodik efektivitas operasional SKPD di Kabupaten Semarang.
Sistem pengukuran kinerja perlu dikembangkan guna mendukung pemerintah
meningkatkan kinerjanya dalam rangka memberikan pelayanan publik yang lebih
baik. Sehingga pengembangan sistem pengukuran kinerja yang terkait dengan
penelitian ini adalah proses pengumpulan ukuran kinerja yang dilaporkan secara
teratur melalui sistem informasi suatu instansi pemerintah. Dengan demikian,
pengembangan sistem pengukuran kinerja tercerminkan dengan adanya
pengembangan berbagai ukuran kinerja yang akan digunakan oleh suatu organisasi.
Ukuran kinerja tersebut menggambarkan pentingnya suatu jasa/layanan, hasil suatu
program, dan proses untuk menghasilkan jasa/layanan tersebut. Sehingga ukuran
kinerja dapat dijadikan alat yang dapat membantu organisasi memahami, mengelola,
dan meningkatkan kinerjanya.
Akuntabilitas Kinerja
Jack A. Brinzius dan Michael D. Cambell dalam Sudiarto (2009) mengemukakan
bahwa akuntabilitas kinerja adalah:
“Suatu maksud dari pertimbangan kebijakan dan program dengan mengukur
hasilnya atau hasil dibandingkan dengan standardnya. Sehingga akuntabilitas
kinerja dapat dipahami sebagai instrumen pertanggungjawaban yang meliputi
berbagai indikator dan mekanisme kegiatan pengukuran, penilaian, dan
pelaporan kinerja secara menyeluruh serta bertanggungjawab atas
keberhasilan atau kegagalan program guna memberikan pelayanan kepada
masyarakat”.
Dalam konteks instansi pemerintah, akuntabilitas kinerja disajikan dalam
suatu bentuk laporan yang disebut Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah, yang selanjutnya disebut LAKIP. LAKIP merupakan media akuntabilitas
12
yang dapat digunakan oleh instansi pemerintah guna melaksanakan kewajiban untuk
menjawab kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder). LIPI (2009)
mengungkapkan bahwa melalui media inilah secara formal dapat dilakukan dengan
pertanggungjawaban dan bahan untuk menjawab berbagai permasalahan yang
diminta oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menentukan fokus perbaikan
kinerja yang berkesinambungan.
Sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun
1999 dibangun dan dikembangkan dalam rangka perwujudan pertanggungjawaban
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi serta pengelolaan sumber daya pelaksanaan
kebijakan dan program yang dipercayakan kepada setiap instansi pemerintah,
berdasarkan suatu sistem akuntabilitas yang memadai. Dalam hal ini, setiap instansi
pemerintah secara periodik wajib mengkomunikasikan pencapaian tujuan dan sasaran
strategis organisasi terhadap stakeholders, yang dituangkan melalui LAKIP (LIPI,
2009). Penyusunan LAKIP, berdasarkan SAKIP, dilakukan melalui proses
penyusunan rencana strategis, penyusunan rencana kinerja, serta pengukuran dan
evaluasi kinerja.
Penggunaan Informasi Kinerja
Norman (2010) mendefinisikan informasi kinerja sebagai data dari suatu
penampilan, unjuk kerja maupun prestasi kerja dari seseorang atau kelompok yang
diolah menjadi bentuk yang lebih berguna bagi dan lebih berarti bagi yang
menerimanya. Dengan tersedianya informasi kinerja dapat meningkatkan
akuntabilitas kinerja dan penggunaan informasi kinerja guna mendukung pembuatan
keputusan yang berorientasi pada hasil senhingga manfaat pengumpulan informasi
kinerja akan diperoleh secara optimal. Kloot (1999) menegaskan bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi peningkatan penggunaan informasi kinerja adalah
informasi kinerja yang dihasilkan dari implementasi sistem pengukuran kinerja telah
digunakan untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja suatu organisasi.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan sebagai
berikut:
H7: Pengembangan sistem pengukuran kinerja berpengaruh positif
secara langsung terhadap akuntabilitas kinerja dan penggunaan
informasi kinerja, serta berpengaruh positif secara tidak langsung
terhadap penggunaan informasi kinerja melalui akuntabilitas kinerja.
13
METODE PENELITIAN
Variabel Bebas (Independent Variable)
1. Keterbatasan Sistem Informasi (X1)
Variabel ini mengungkapkan keterbatasan kemampuan sistem informasi yang
dimiliki suatu organisasi untuk memberikan data yang diperlukan secara
valid, reliabel, dan tepat waktu. Variabel ini diukur berdasarkan jawaban
responden dengan menggunakan 3 instrumen pernyataan yang dimodifikasi
dari penelitian Nurkhamid (2008) dengan menggunakan skala Likert 1 (sangat
tidak setuju) sampai dengan 5 (sangat setuju).
2. Kesulitan Menentukan Ukuran Kinerja (X2)
Variabel ini mengungkapkan tingkat permasalahan pendefinisian dan
penginterpretasian ukuran kinerja yang dihadapi oleh organisasi. Variabel ini
diukur berdasarkan jawaban responden terhadap 3 instrumen pernyataan
mengenai berbagai kesulitan menentukan ukuran kinerja yang dimodifikasi
dari penelitian Nurkhamid (2008), dan dengan menggunakan skala Likert 1
(sangat tidak setuju) sampai dengan 5 (sangat setuju).
3. Komitmen Manajemen (X3)
Variabel ini mengukur tingkat komitmen manajemen untuk menyediakan
sumber daya dalam implementasi sistem pengukuran kinerja organisasi.
Variabel ini diukur berdasarkan jawaban responden dengan menggunakan 3
instrumen pernyataan yang dimodifikasi dari penelitian Nurkhamid (2008)
dengan menggunakan skala Likert 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan 5
(sangat setuju).
4. Otoritas Pengambilan Keputusan (X4)
Variabel ini mengungkapkan tingkat otoritas pengambilan keputusan
berdasarkan informasi kinerja yang didelegasikan oleh organisasi kepada
personilnya untuk mendukung pencapaian tujuan strategis organisasi.
Variabel ini diukur berdasarkan jawaban responden dengan menggunakan 3
instrumen pernyataan yang dikembangkan dari penelitian Nurkhamid (2008)
dengan menggunakan skala Likert 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan 5
(sangat setuju).
5. Pelatihan (X5)
Variabel ini mengungkapkan pelatihan yang sudah diberikan oleh organisasi
kepada personil organisasi yang terkait dengan implementasi
14
sistem pengukuran kinerja. Variabel ini diukur berdasarkan jawaban
responden dengan menggunakan 4 instrumen pernyataan yang dimodifikasi
dari penelitian Nurkhamid (2008) dengan menggunakan variabel dummy,
angka 1 untuk SKPD yang memberikan pelatihan kepada personil organisasi,
dan angka 0 untuk yang tidak memberikan pelatihan.
6. Budaya Organisasi (X6)
Variabel ini menunjukkan sikap (attitude) pimpinan beserta stafnya terhadap
perubahan (inovasi) dan kebijakan organisasi dalam menanggapi inovasi
sebagai suatu kegiatan yang berisiko (risk taking). Variabel ini diukur
berdasarkan jawaban responden dengan menggunakan 3 instrumen pernyataan
yang dikembangkan dari penelitian Nurkhamid (2008) dengan menggunakan
skala Likert 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan 5 (sangat setuju).
Variabel Terikat (Dependent Variable)
1. Pengembangan Sistem Pengukuran Kinerja (Y1)
Variabel ini menunjukkan upaya organisasi melakukan pengembangan sistem
pengukuran kinerja yang dicerminkan dengan penentuan dan penetapan
berbagai tipe ukuran kinerja yang berorientasi hasil untuk berbagai
kebijakan/program/kegiatan yang dijalankan oleh suatu organisasi. Variabel
ini diukur berdasarkan jawaban responden dengan menggunakan 3 instrumen
pernyataan yang dimodifikasi dari penelitian Nurkhamid (2008) dengan
menggunakan skala Likert 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan 5 (sangat
setuju).
2. Akuntabilitas Kinerja (Y2)
Variabel ini mengungkapkan tingkat akuntabilitas kinerja yang dirasakan oleh
para manajer suatu organisasi. Variabel ini diukur berdasarkan jawaban
responden dengan menggunakan 3 instrumen pernyataan yang dimodifikasi
dari penelitian Nurkhamid (2008) dengan menggunakan skala Likert 1 (sangat
tidak setuju) sampai dengan 5 (sangat setuju).
3. Penggunaan Informasi Kinerja (Y3)
Variabel ini menunjukkan berbagai jenis penggunaan informasi kinerja untuk
mendukung pengambilan keputusan dalam suatu organisasi. Variabel ini
diukur berdasarkan jawaban responden dengan menggunakan 7 instrumen
pernyataan yang dimodifikasi dari penelitian Nurkhamid (2008) dengan
menggunakan skala Likert 1 (sangat tidak setuju) sampai dengan 5 (sangat
setuju).
15
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) pada pemerintah Kabupaten Semarang. Pejabat eselon dua, tiga, dan empat
merupakan sampel untuk mewakili populasi dari SKPD.\Pemilihan sampel penelitian
ini di dasarkan pada metode purposive sampling dimana sampel yang dipilih
berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria pemilihan sampel untuk pemerintah, adalah
pejabat eselon dua, tiga, dan empat selaku pihak yang terlibat dan bertanggungjawab
dalam penyusunanan RENSTRA dan LAKIP pada seluruh SKPD di Pemerintah
Kabupaten Semarang.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif. Dan
sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer
merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara langsung melalui
penyampaian kuesioner kepada responden di lingkungan Kabupaten Semarang, yang
terdiri dari pejabat eselon di seluruh SKPD di Kabupaten Semarang.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data primer dari responden dilakukan dengan survey,
yaitu dengan cara pengumpulkan data pokok (data primer) dari suatu sampel dengan
menggunakan instrumen kuesioner dengan cara memberikan daftar pernyataan
tertulis kepada responden secara langsung dengan mendatangi setiap SKPD yang
berada di wilayah Kabupaten Semarang.
Metode Analisis Data
Kualitas Data
Penelitian yang mengukur variabel dengan menggunakan instrumen dalam
kuesioner harus dilakukan pengujian kualitas terhadap data yang diperoleh dengan uji
realibitas (menggunakan coeffecient cronbach’s alpha) dan uji validitas
(menggunakan correlate bivariate antara tiap skor item pernyataan dengan skor total
variabel). Uji realibitas dan uji validitas dilakukan untuk mengetahui ketepatan alat
ukur dalam mengukur obyek yang diteliti.
Uji Asumsi Klasik
Pengujian asumsi klasik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji
Normalitas (dengan melihat grafik histogram, dan normal probability plot), Uji
Linearitas (uji Langrange Multiplier), Uji Multikolinearitas (dengan menganalisis
16
nilai tolerance dan VIF (Variance Inflation Factor)), dan Uji Heteroskedastisitas (uji
Glejser).
Pengujian hipotesis dilakukan secara multivariate dengan menggunakan
analisis regresi berganda. Analisis regresi berganda digunakan untuk menguji
pengaruh dua atau lebih variabel independen terhadap variabel dependen (Ghozali,
2005). Persamaan Regresi Berganda dalam penelitian ini adalah:
Persamaan regresi 1:
y1= β0 + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 + β5x5 + β6x6 + e
Persamaan regresi 2:
y2= β0 + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 + β5x5 + β6x6 + β7y1 + e
Persamaan regresi 3:
y3= β0 + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 + β5x5 + β6x6 + β7y1 + β8y2 + e
Keterangan:
x1 : keterbatasan sistem informasi
x2 : kesulitan menentukan ukuran kinerja
x3 : komitmen manajemen
x4 : otoritas pengambilan keputusan
x5 : pelatihan
x6 : budaya organisasi
y1 : pengembangan sistem pengukuran kinerja
y2 : akuntabilitas kinerja
y3 : penggunaan informasi kinerja
β : koefisien regresi
β0 : konstanta
e : error
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini penyebaran kuesioner hingga kembali memerlukan
jangka waktu kurang lebih 1 bulan dimulai pada tanggal 14 Maret 2011 sampai
dengan 15 April 2011. Kuesioner yang disebar berjumlah 420 dengan jumlah
kuesioner yang kembali berjumlah 300 kuesioner dan dengan tingkat respon rate
sebesar 71%. Sebanyak 6 kuesioner dari pemerintah (pejabat eselon) tidak dapat
17
diikutsertakan dalam analisis karena pengisian yang tidak lengkap. Dan terdapat 16
kuesioner yang menyebabkan outlier data sehingga tidak dapat diolah. Kuesioner
yang dikeluarkan dari data adalah kuesioner dengan nomor 36, 37, 39, 73, 74, 83,
107, 138, 143, 178, 209, 212, 217, 238, 253, dan 262. Sehingga data yang dapat
diolah adalah sebanyak 278 kuesioner (66,19%) dapat digunakan seluruhnya.
Tabel 4.1
Penyebaran dan Pengembalian Kuesioner
NO SKPD SEBAR KEMB
ALI
ANALI
SIS
%
KEMB
ALI
%
ANALI
SIS
1 Sekretariat Daerah Kabupaten Semarang 44 29 25 66% 59%
2 Sekretariat DPRD 11 6 6 55% 55%
3 Inspektorat 15 15 12 100% 80%
4 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 19 6 4 32% 21%
5 Badan Kepegawaian Daerah 13 11 11 85% 85%
6
Badan Keluarga Berencana dan
Pemberdayaan Perempuan 13 10 9 77% 69%
7 Badan Lingkungan Hidup 13 13 13 100% 100%
8 Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa 13 12 12 92% 92%
9 Kantor Arsip Daerah 5 3 3 60% 60%
10 Kantor Ketahanan Pangan 5 5 5 100% 100%
11 Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu 6 5 5 83% 83%
12 Kantor Perpustakaan Daerah 5 5 5 100% 100%
13 Satuan Polisi Pamong Praja 5 5 5 100% 100%
14 RSUD Ambarawa 14 7 7 50% 50%
15 RSUD Ungaran 14 6 5 43% 36%
16
Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan
Perlindungan Masyarakat 5 3 2 60% 40%
17
Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan
Daerah 18 12 11 67% 61%
18 Dinas Pendidikan 19 14 13 74% 68%
19 Dinas Kesehatan 17 8 8 47% 47%
20
Dinas Perhubungan, Komunikasi dan
Informatika 17 15 14 88% 82%
21
Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan
Pariwisata 17 16 14 94% 82%
22 Dinas Perindustrian dan Perdagangan 15 10 10 67% 67%
23
Dinas Bina Marga, Sumber Daya Air dan
Sumber Daya Mineral 15 14 13 93% 87%
24
Dinas Cipta Karya, Perumahan, dan
Kebersihan 15 13 12 87% 87%
25 Dinas Peternakan dan Perikanan 17 11 11 65% 65%
26
Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan
Transmigrasi 19 15 14 79% 74%
27 Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan 18 12 11 67% 67%
28 Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil 20 10 10 50% 50%
29
Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah 13 9 9 69% 69%
Jumlah 420 300 273 71% 66%
Sumber : Data Primer yang diolah, 2011
18
Tabel 4.2
Karakteristik Demografi Responden
Karakteristik Pejabat Eselon
Karakteristik Pejabat Eselon
Jumlah % Jumlah %
Usia: Jenis Kelamin:
30-40 Tahun 54 0.2 Pria 153 0.56
41-50 Tahun 146 0.53 Wanita 120 0.44
>50 Tahun 73 0.27 Jabatan:
Pendidikan: Eselon II 4 0.01
SLTA 6 0.02 Eselon III 75 0.27
Diploma 9 0.03 Eselon IV 194 0.71
D IV/S1 176 0.65
S2 82 0.3
Masa Kerja:
≤ 10 Tahun 11 0.04
11-20 Tahun 122 0.45
21-30 Tahun 119 0.43
> 30 Tahun 21 0.08
Sumber : Data Primer yang diolah, 2011
Statistik deskriptif variabel penelitian
Tabel 4.3
Statistik Deskriptif Variabel Penelitian
Variabel Penelitian
N
Teoritis Aktual Stan
dar
Devi
asi Kategori Min Max
Rata-
rata Min Max
Rata-
rata
Keterbatasan Sistem Informasi (X1) 278 3 15 9 3 15 9,09 2,626 Sedang
Kesulitan Menentukan Ukuran
Kinerja (X2) 278 3 15 9 3 15 8,55 2,997 Sedang
Komitmen Manajemen (X3) 278 3 15 9 4 15 11,70 1,951 Tinggi
Otoritas Pengambilan Keputusan
(X4) 278 3 15 9 4 15 11,91 1,864 Tinggi
Pelatihan (X5) 278 0 4 2 0 4 3,65 0,906 Tinggi
Budaya Organisasi (X6) 278 3 15 9 3 15 10,90 2,083 Sedang
Pengembangan Sistem Pengukuran
Kinerja (Y1) 278 3 15 9 6 15 11,83 1,633 Tinggi
Akuntabilitas Kinerja (Y2) 278 3 15 9 6 15 12,45 1,549 Tinggi
Penggunaan Informasi Kinerja (Y3) 278 7 35 21 13 35 27,48 3,475 Tinggi
Sumber : Data Primer yang diolah, 2011
Dengan membandingkan nilai kisaran dengan nilai rata-rata maka
disimpulkan bahwa penilaian responden terhadap komitmen manajemen, otoritas
pengambilan keputusan, pelatihan, dan budaya organisasi, pengembangan sistem
pengukuran kinerja, akuntabilitas kinerja serta penggunaan informasi kinerja adalah
pada tingkat ‘tinggi’. Sedangkan untuk keterbatasan sistem informasi, kesulitan
menentukan ukuran kinerja, dan komitmen manajemen berada pada tingkat ‘sedang’.
19
Uji Kualitas Data
Uji Reliabilitas
Tabel 4.5
Hasil Uji Realibilitas Variabel Cronbach’s
Alpha
Standar Keterangan
Keterbatasan Sistem Informasi
Kesulitan Menentukan Ukuran Kinerja
Komitmen Manajemen
Otoritas Pengambilan Keputusan
Pelatihan
Budaya Organisasi
Pengembangan Sistem Pengukuran Kinerja
Akuntabilitas Kinerja
Penggunaan Informasi Kinerja
0,698
0,887
0,670
0,717
0,825
0,683
0,775
0,744
0,838
0,6
0,6
0,6
0,6
0,6
0,6
0,6
0,6
0,6
Reliabel
Reliabel
Reliabel
Reliabel
Reliabel
Reliabel
Reliabel
Reliabel
Reliabel
Sumber : Data Primer yang diolah, 2011
Uji Validitas
Tabel 4.6
Hasil Uji Validitas Variabel Pernyataan Correlation
Pearson Signifikansi
Keterangan
Keterbatasan Sistem Informasi
(X1)
1
2
3
0,780
0,795
0,795
0,000
0,000
0,000
Valid
Valid
Valid
Kesulitan Menentukan Ukuran
Kinerja (X2)
1
2
3
0,902
0,901
0,908
0,000
0,000
0,000
Valid
Valid
Valid
Komitmen Manajemen (X3) 1
2
3
0,798
0,792
0,735
0,000
0,000
0,000
Valid
Valid
Valid
Otoritas Pengambilan
Keputusan (X4)
1
2
3
0,832
0,728
0,834
0,000
0,000
0,000
Valid
Valid
Valid
Pelatihan (X5) 1
2
3
4
0,821
0,801
0,843
0,769
0,000
0,000
0,000
0,000
Valid
Valid
Valid
Valid
Budaya Organisasi (X6) 1
2
3
0,786
0,771
0,785
0,000
0,000
0,000
Valid
Valid
Valid
Pengembangan Sistem
Pengukuran Kinerja (Y1)
1
2
3
0,863
0,836
0,779
0,000
0,000
0,000
Valid
Valid
Valid
Akuntabilitas Kinerja (Y2) 1
2
3
0,841
0,844
0,755
0,000
0,000
0,000
Valid
Valid
Valid
Penggunaan Informasi Kinerja
(Y3)
1
2
3
4
5
6
7
0,616
0,730
0,727
0,704
0,696
0,741
0,746
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
Sumber : Data Primer yang diolah, 2011
20
Uji Asumsi Klasik
Uji Normalitas
Nilai Asymp. Sig yang dihasilkan dari uji statistik One-Sample Kolmogorov
Smirnov, pada ketiga regresi adalah 0,056, 0,000, dan 0,043. Sehingga dapat
dikatakan bahwa data residual yang digunakan dalam penelitian ini tidak berdistribusi
secara normal karena pada regresi 2 dan 3 memiliki nilai Asymp. Sig. (2-tailed)
kurang dari 5%.
Uji Linearitas
Nilai R Square yang dihasilkan dari uji Langrange Multiplier, pada ketiga
regresi adalah 0,002, 0,002, dan 0,002. Nilai R² yang didapat adalah sebesar 0,002
pada ketiga regresi dan dengan jumlah N sebanyak 278, maka c² hitung sebesar 0,556
yang diperoleh dari perkalian antara R² dengan N. Nilai c² hitung lebih kecil dari pada
c² tabel yang sebesar 124,342. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model
yang digunakan adalah model linear.
Uji Multikolinearitas
Nilai tolerance dan VIF yang dihasilkan pada uji multikolinearitas, didapat
nilai tolerance di atas 0,01 dan nilai VIF di bawah 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa
berarti tidak ada multikolinearitas antar variabel dalam model regresi.
Uji Heteroskedastisitas
Nilai signifikansi yang dihasilkan dari uji Gejser, pada ketiga regresi yang
digunakan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa variabel-variabel yang memiliki
nilai probabilitas di bawah tingkat kepercayaan 5%. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam ketiga model regresi terdapat heteroskedastisitas.
Hasil pengujian hipotesis dari ketiga model regresi berganda
Tabel 4.20
Hasil Uji t Regresi 1
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 4.856 .781 6.218 .000
KSI -.051 .038 -.082 -1.335 .183
KMUK .057 .033 .105 1.743 .082
KM .114 .050 .137 2.272 .024
OPK .262 .050 .299 5.282 .000
P -.005 .093 -.003 -.051 .959
BO .230 .044 .294 5.205 .000
a. Dependent Variable: PSPK
Sumber: Data primer yang diolah, 2011
21
Tabel 4.22
Hasil Uji t Regresi 2
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 4.069 .755 5.388 .000
KSI -.016 .034 -.027 -.467 .641
KMUK .098 .030 .190 3.286 .001
KM .089 .046 .112 1.926 .055
OPK .171 .047 .206 3.633 .000
P -.041 .084 -.024 -.493 .623
BO .015 .042 .021 .364 .716
PSPK .388 .055 .409 7.063 .000
a. Dependent Variable: AK
Sumber: Data primer yang diolah, 2011
Tabel 4.24
Hasil Uji t Regresi 3
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 5.722 1.456 3.931 .000
KSI -.086 .063 -.065 -1.358 .176
KMUK -.023 .056 -.020 -.408 .684
KM -.301 .085 -.169 -3.545 .000
OPK .311 .088 .167 3.521 .001
P .068 .154 .018 .439 .661
BO .538 .077 .322 6.994 .000
PSPK .543 .110 .255 4.955 .000
AK .804 .111 .358 7.215 .000
a. Dependent Variable: PIK
Sumber: Data primer yang diolah, 2011
Analisis dan Pembahasan
Pengaruh Keterbatasan Sistem Informasi terhadap Pengembangan Sistem
Pengukuran, Akuntabilitas, dan Penggunan Informasi Kinerja
Hipotesis pertama yang diajukan menyatakan bahwa keterbatasan sistem
informasi berpengaruh negatif terhadap pengembangan sistem pengukuran,
akuntabilitas, dan penggunaan informasi kinerja. Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh koefisien variabel keterbatasan sistem informasi dari ketiga regresi adalah
positif, yaitu -0,051, -0,016, -0,086 dengan nilai signifikansi 0,183, 0,641, 0,176.
Karena nilai signifikansi keterbatasan sistem informasi pada ketiga regresi lebih besar
dari 0,05 atau 5% sehingga tidak signifikan. Maka dapat disimpulkan bahwa
keterbatasan sistem informasi tidak terbukti berpengaruh negatif terhadap
22
pengembangan sistem pengukuran, akuntabilitas dan penggunaan informasi kinerja.
Sehingga hipotesis pertama ditolak.
Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian Cavalluzzo dan Ittner
(2003), serta Norman (2010) yang menyatakan bahwa keterbatasan sistem informasi
terbukti berpengaruh negatif terhadap pengembangan sistem pengukuran kinerja,
akuntabilitas kinerja dan penggunaan informasi kinerja. Hasil penelitian ini juga
berbeda dengan penelitian Nurkhamid (2008) yang menyatakan bahwa keterbatasan
sistem informasi tidak terbukti berpengaruh negatif terhadap pengembangan sistem
pengukuran kinerja, namun terbukti berpengaruh terhadap akuntabilitas kinerja dan
penggunaan informasi kinerja.
Berdasarkan deskripsi data yang disajikan dalam statistik deskriptif, dan
keterbatasan sistem informasi berpengaruh positif terhadap pengembangan sistem
pengukuran, akuntabilitas dan penggunaan informasi kinerja, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pemerintah Kabupaten Semarang tidak begitu mengalami
masalah dengan sistem informasi pada saat mengembangkan sistem pengukuran
sampai pada saat penggunaan informasi kinerja untuk pengambilan keputusan. Yang
berarti kemampuan sistem informasi menjadi tidak terbatas untuk memberikan data
yang reliabel, valid, tepat waktu dan dengan biaya yang efektif.
Pengaruh Kesulitan Menentukan Ukuran Kinerja terhadap Pengembangan
Sistem Pengukuran, Akuntabilitas, dan Penggunan Informasi Kinerja
Hipotesis kedua yang diajukan menyatakan bahwa kesulitan menentukan
ukuran kinerja berpengaruh negatif terhadap pengembangan sistem pengukuran,
akuntabilitas, dan penggunaan informasi kinerja. Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh koefisien variabel kesulitan menentukan ukuran kinerja dari ketiga regresi
yaitu 0,057, 0,098, -0,023 dengan nilai signifikansi 0,082, 0,001, 0,684. Karena nilai
signifikansi dari regresi 3 variabel kesulitan menentukan ukuran kinerja lebih besar
dari 0,05 sehingga tidak signifikan. Berbeda dengan regresi 1 dan 2, yang memiliki
nilai signifikansi di bawah 0,10 dan 0,05 sehingga signifikan. Kemudian untuk
koefisien dari regresi 1 dan 2 memiliki nilai positif maka dapat disimpulkan bahwa
kesulitan menentukan ukuran kinerja terbukti berpengaruh positif terhadap
pengembangan sistem pengukuran dan akuntabilitas kinerja serta berpengaruh negatif
terhadap penggunaan informasi kinerja. Sehingga hipotesis kedua ditolak.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Norman (2010) yang
menyatakan bahwa kesulitan menentukan ukuran kinerja tidak terbukti berpengaruh
negatif terhadap pengembangan sistem pengukuran kinerja, dan akuntabilitas kinerja
serta berpengaruh negatif terhadap penggunaan informasi kinerja.
23
Berdasarkan deskripsi data yang disajikan dalam statistik deskriptif, dan
kesulitan menentukan ukuran kinerja berpengaruh positif terhadap pengembangan
sistem pengukuran, akuntabilitas dan penggunaan informasi kinerja, hasil penelitian
ini mengindikasikan bahwa pemerintah Kabupaten Semarang tidak begitu mengalami
masalah dengan kesulitan menentukan ukuran kinerja ketika sedang mengembangkan
sistem pengukuran dan pertanggungjawaban kepada pihak yang berkepentingan.
Namun pada saat penggunaan informasi kinerja, Hal ini mungkin dapat disebabkan
pengadopsian terhadap suatu ukuran kinerja di instansi pemerintah yang lebih
dipengaruhi oleh mandat atau ketentuan dari luar instansi (Peraturan Pemerintah,
Instruksi Presiden, dan PERDA) sehingga pemerintah Kabupaten Semarang tidak
mengalami kesulitan untuk fokus pada satu ukuran kinerja. Dan pengaruh berbagai
ketentuan atau peraturan yang mewajibkan setiap instansi pemerintah di Indonesia
untuk menyusun RenStra dan LAKIP.
Pengaruh Komitmen Manajemen terhadap Pengembangan Sistem Pengukuran,
Akuntabilitas, dan Penggunan Informasi Kinerja
Hipotesis ketiga yang diajukan menyatakan bahwa komitmen manajemen
berpengaruh positif terhadap pengembangan sistem pengukuran, akuntabilitas, dan
penggunaan informasi kinerja. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh koefisien
variabel komitmen manajemen dari ketiga regresi, yaitu 0,114, 0,089, -0,301 dengan
nilai signifikansi 0,024, 0,055, 0,000. Karena nilai signifikansi variabel komitmen
manajemen pada ketiga regresi lebih kecil dari 0,05 dan 0,10 sehingga signifikan.
Maka dapat disimpulkan bahwa variabel komitmen manajemen terbukti berpengaruh
positif pada pengembangan sistem pengukuran, dan akuntabilitas kinerja. Serta
terbukti berpengaruh negatif pada penggunaan informasi kinerja. Sehingga hipotesis
ketiga ditolak.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Laurensius dan Halim (2005)
serta Norman (2010) yang menyatakan bahwa komitmen manajemen terbukti
berpengaruh positif terhadap pengembangan sistem pengukuran kinerja, akuntabilitas
kinerja, namun tidak terbukti berpengaruh positif terhadap penggunaan informasi
kinerja.
Berdasarkan deskripsi data yang disajikan dalam statistik deskriptif, dan
variabel komitmen manajemen terbukti berpengaruh positif terhadap pengembangan
sistem pengukuran, dan akuntabilitas kinerja serta berpengaruh negatif terhadap
penggunaan informasi kinerja. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa
pemerintah Kabupaten Semarang memiliki komitmen manajemen dalam
pengembangan sistem pengukuran dan akuntabilitas kinerja. Namun tidak pada
penggunaan informasi kinerja. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan informasi
24
kinerja dilakukan tanpa memperhatikan kesiapan sumber daya organisasi. Sehingga
guna mendukung Pemerintah Kabupaten mengembangkan sitem pengukuran,
mertanggungjawaban, dan menggunakan informasi kinerja yang dihasilkan, maka
perlu ditingkatkannya kesiapan sumber daya. Kesiapan sumber daya dapat
mempengaruhi sikap keterbukaan personil organisasi dalam menerima perubahan.
Salah satu penyebab yang dapat membuat personil organisasi tidak terbuka dalam
menerima perubahan adalah adanya perasaan tidak nyaman, kebingungan, atau
bahkan tertekan atas perubahan yang diterima. Dengan demikian, personil organisasi
di pemerintah Kabupaten Semarang perlu dibekali dengan pengetahuan dan
keterampilan yang berguna dalam menghadapi perubahan. Sehingga personil
organisasi yang merupakan sumber daya organisasi siap untuk menerima perubahan.
Pengaruh Otoritas Pengambilan Keputusan terhadap Pengembangan Sistem
Pengukuran, Akuntabilitas, dan Penggunan Informasi Kinerja
Hipotesis keempat yang diajukan menyatakan bahwa otoritas pengambilan
keputusan berpengaruh positif terhadap pengembangan sistem pengukuran,
akuntabilitas, dan penggunaan informasi kinerja. Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh koefisien ketiga regresi dari variabel otoritas pengambilan keputusan dari
ketiga regresi yaitu 0,262, 0,171, 0,311 dengan nilai signifikansi 0,000, 0,000, 0,001.
Maka dapat disimpulkan bahwa variabel otoritas pengambilan keputusan terbukti
berpengaruh positif terhadap pengembangan sistem pengukuran, akuntabilitas, dan
penggunaan informasi kinerja. Karena nilai signifikansi dari ketiga regresi variabel
otoritas pengambilan keputusan lebih kecil dari 0,05 dan sehingga signifikan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis keempat diterima.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Laurensius dan Halim (2005),
serta Cavalluzzo dan Ittner (2003) yang menyatakan bahwa otoritas pengambilan
keputusan terbukti berpengaruh positif terhadap pengembangan sistem pengukuran,
akuntabilitas dan penggunaan informasi kinerja.
Berdasarkan deskripsi data yang disajikan dalam statistik deskriptif, dan
variabel otoritas pengambilan keputusan terbukti berpengaruh positif terhadap
pengembangan sistem pengukuran, dan akuntabilitas, dan penggunaan informasi
kinerja. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa otoritas pengambilan keputusan
yang selama ini telah dimiliki aparat pemda telah digunakan pada saat
mengembangkan sistem pengukuran hingga penggunaan informasi kinerja. Yang
mana pemerintah Kabupaten Semarang telah menggunakan otoritas atau hak untuk
mendukung proses pengambilan keputusan pada saat mengembangkan sistem
pengukuran hingga penggunaan informasi kinerja.
25
Pengaruh Pelatihan terhadap Pengembangan Sistem Pengukuran,
Akuntabilitas, dan Penggunan Informasi Kinerja
Hipotesis kelima yang diajukan menyatakan bahwa pelatihan berpengaruh
positif terhadap pengembangan sistem pengukuran, akuntabilitas, dan penggunaan
informasi kinerja. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh koefisien dari ketiga regresi
yaitu -0,005, -0,041, 0,068 dengan nilai signifikansi 0,959, 0,623, 0,661. Karena nilai
signifikansi pada ketiga regresi dari variabel otoritas pengambilan keputusan lebih
besar dari 0,05 sehingga tidak signifikan. Maka dapat disimpulkan bahwa variabel
pelatihan terbukti berpengaruh negatif terhadap pengembangan sistem pengukuran,
dan akuntabilitas kinerja serta tidak terbukti berpengaruh positif terhadap penggunaan
informasi kinerja. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis kelima ditolak.
Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian Nurkhamid (2008),
Laurensius dan Halim (2005), serta Cavalluzzo dan Ittner (2003) yang menyatakan
bahwa pelatihan terbukti berpengaruh positif terhadap pengembangan sistem
pengukuran kinerja, akuntabilitas kinerja dan penggunaan informasi kinerja.
Berdasarkan deskripsi data yang disajikan dalam statistik deskriptif, dan
variabel pelatihan terbukti berpengaruh negatif terhadap pengembangan sistem
pengukuran, dan akuntabilitas kinerja serta tidak terbukti berpengaruh positif
terhadap penggunaan hasil kinerja. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa
pemerintah Kabupaten Semarang telah memberikan pelatihan kepada personil
organisasi. Dalam penelitian ini, pelatihan terbukti berpengaruh negatif terhadap
pengembangan sistem pengukuran dan akuntabilitas kinerja, serta tidak terbukti
berpengaruh terhadap penggunaan informasi kinerja. Hal ini mungkin disebabkan
pelatihan yang diberikan sudah lebih dari cukup namun dirasa masih kurang atau
dengan kata lain kurangnya pemahaman personil organisasi terhadap pelatihan yang
diberikan sehingga personil organisasi tidak merasa nyaman dan pelatihan yang
diberikan tidak mampu mengurangi perasaan tertekan atau kebingungan. Hasil
penelitian ini tidak mendukung pernyataan Nurkhamid (2008) yang menyatakan
bahwa pelatihan akan menciptakan mekanisme bagi para pegawai untuk memahami,
menerima, dan merasakan secara nyaman inovasi, dan mengurangi perasaan tertekan
atau kebingungan kepada para pegawai akibat proses implementasi sistem
pengukuran kinerja. Misal personil organisasi kurang mampu untuk menganalisis
data, menyajikan laporan kinerja dalam bentuk yang mudah dipahami, dan membuat
laporan khusus sesuai dengan karakteristik stakeholder. Sehingga tidak dapat
mendukung pemerintah Kabupaten Semarang untuk menggunakan informasi kinerja
yang dihasilkan.
26
Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Pengembangan Sistem Pengukuran,
Akuntabilitas, dan Penggunan Informasi Kinerja
Hipotesis keenam yang diajukan menyatakan bahwa budaya organisasi
berpengaruh positif terhadap pengembangan sistem pengukuran, akuntabilitas, dan
penggunaan informasi kinerja. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh koefisien dari
ketiga regresi variabel budaya organisasi yaitu 0,230, 0,015, 0,538 dengan nilai
signifikansi 0,000, 0,716, 0,000. Regresi 2 memiliki nilai signifikansi lebih dari 0,05
sehingga tidak signifikan. Karena nilai signifikansi model regresi 1 dan 3 dari
variabel budaya organisasi lebih kecil dari 0,05 sehingga signifikan. Maka dapat
disimpulkan bahwa variabel budaya organisasi terbukti berpengaruh positif terhadap
pengembangan sistem pengukuran, dan penggunaan informasi kinerja. Serta tidak
terbukti berpengaruh positif terhadap akuntabilitas kinerja. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa hipotesis keenam ditolak.
Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian Nurkhamid (2008),
Laurensius dan Halim (2005), serta Cavalluzzo dan Ittner (2003) yang menyatakan
bahwa budaya organisasi terbukti berpengaruh positif terhadap pengembangan sistem
pengukuran kinerja, akuntabilitas kinerja dan penggunaan informasi kinerja.
Berdasarkan deskripsi data yang disajikan dalam statistik deskriptif, dan
variabel budaya organisasi terbukti berpengaruh positif terhadap pengembangan
sistem pengukuran, dan penggunaan informasi kinerja serta tidak terbukti
berpengaruh positif terhadap akuntabilitas kinerja. Hasil penelitian ini
mengindikasikan bahwa pemerintah Kabupaten Semarang memiliki budaya
organisasi yang menunjukkan keterbukaan personil organisasi terhadap perubahan
(pengembangan sistem pengukuran kinerja) dan penggunaan informasi kinerja.
Namun hasil penelitian ini tidak mampu membuktikan pengaruh positif budaya
organisasi terhadap akuntabilitas kinerja. Hal ini mungkin disebabkan ada
hubungannya dengan pelatihan yang diberikan kepada personil organisasi. Pelatihan
yang diberikan kurang dapat dipahami oleh personil organisasi. Sehingga tidak
mampu mengurangi perasaan tertekan dan kebingungan pada saat
pertanggungjawaban (akuntabilitas kinerja). Hasil penelitian ini tidak mendukung
pernyataan Nurkhamid (2008) yang menyatakan bahwa pelatihan akan menciptakan
mekanisme bagi para pegawai untuk memahami, menerima, dan merasakan secara
nyaman inovasi, dan mengurangi perasaan tertekan atau kebingungan kepada para
pegawai akibat proses implementasi. Misal personil organisasi kurang mampu untuk
menganalisis data, menyajikan laporan kinerja dalam bentuk yang mudah dipahami,
dan membuat laporan khusus sesuai dengan karakterisitik stakeholder.
27
Pengaruh Pengembangan Sistem Pengukuran Kinerja terhadap Akuntabilitas,
dan Penggunan Informasi Kinerja
Hipotesis ketujuh yang diajukan menyatakan bahwa pengembangan sistem
pengukuran kinerja berpengaruh positif secara langsung terhadap akuntabilitas
kinerja dan penggunaan informasi kinerja, serta berpengaruh positif secara tidak
langsung terhadap penggunaan informasi kinerja melalui akuntabilitas kinerja.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh koefisien positif variabel pengembangan
sistem pengukuran kinerja dari regresi 2 dan 3 yaitu 0,388, 0,543 dengan nilai
signifikansi 0,000, 0,000. Karena nilai signifikansi untuk kedua regresi lebih kecil
dari 0,05, sehingga signifikan. Kemudian, hasil penelitian menunjukkan bahwa
variabel akuntabilitas kinerja pada regresi 3 memiliki nilai koefisien positif sebesar
0,804 dengan nilai signifikansi 0,000. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
variabel pengembangan sistem pengukuran kinerja terbukti berpengaruh positif
secara langsung terhadap akuntabilitas kinerja dan penggunaan informasi kinerja,
serta tidak langsung terhadap penggunaan informasi kinerja melalui akuntabilitas
kinerja. Sehingga dapat hipotesis ketujuh diterima.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Norman (2010), Nurkhamid
(2008), Laurensius dan Halim (2005), serta Cavalluzzo dan Ittner (2003) yang
menyatakan bahwa budaya organisasi terbukti berpengaruh positif terhadap
pengembangan sistem pengukuran kinerja, akuntabilitas kinerja dan penggunaan
informasi kinerja.
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa, pemerintah Kabupaten Semarang
menggunakan informasi kinerja yang dihasilkan oleh implementasi sistem
pengukuran kinerja untuk akuntabilitas kinerja dan mendukung pengambilan
keputusan. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori atribusi yang diperkenalkan oleh
Fritz Heider (1958). Dalam penelitian ini, pegembangan sistem pengukuran
berpengaruh positif secara langsung terhadap akuntabilitas dan penggunaan informasi
kinerja serta berpengaruh positif secara tidak langsung terhadap penggunaan
informasi kinerja melalui akuntabilitas kinerja menunjukkan bahwa pegawai
pemerintah dipandang terpaksa berperilaku demikian oleh situasi. Situasi yang
dimaksud, disebabkan oleh adanya tuntutan dari masyarakat dan peraturan yang
mengatur bahwa pegawai pemerintah harus mempertanggungjawabkan sukses-gagal
kinerjanya kepada pihak yang mendelegasikan wewenang kepadanya dengan tujuan
untuk menciptakan good governance. Tuntutan masyarakat dan peraturan tersebut
merupakan faktor eksternal yang menyebabkan pegawai pemerintah berperilaku.
Karena dengan peraturan yang mengikat, pegawai pemerintah dipandang terpaksa
berperilaku.
28
SIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keterbatasan sistem informasi tidak
terbukti berpengaruh negatif terhadap pengembangan sistem pengukuran,
akuntabilitas, dan penggunaan informasi kinerja; kesulitan menentukan ukuran
kinerja berpengaruh positif terhadap pengembangan sistem pengukuran, dan
akuntabilitas kinerja, serta tidak terbukti berpengaruh negatif terhadap penggunaan
informasi kinerja; komitmen manajemen berpengaruh positif terhadap pengembangan
sistem pengukuran kinerja dan akuntabilitas kinerja, dan berpengaruh negatif
terhadap penggunaan informasi kinerja; otoritas pengambilan keputusan berpengaruh
positif terhadap pengembangan sistem pengukuran, akuntabilitas, dan penggunaan
informasi kinerja; pelatihan yang diberikan kepada para personil organisasi
berpengaruh negatif terhadap pengembangan sistem pengukuran, dan akuntabilitas
kinerja, serta tidak terbukti berpengaruh positif terhadap penggunaan informasi
kinerja; budaya organisasi berpengaruh positif terhadap pengembangan sistem
pengukuran kinerja dan penggunaan informasi kinerja serta tidak terbukti
berpengaruh positif terhadap akuntabilitas kinerja; pengembangan sistem pengukuran
kinerja berpengaruh positif secara langsung terhadap akuntabilitas kinerja dan
penggunaan informasi kinerja, serta berpengaruh positif secara tidak langsung
terhadap penggunaan informasi kinerja melalui akuntabilitas kinerja.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu penyebaran kuesioner
untuk pejabat eselon 2, 3, dan 4 di Kabupaten Semarang tidak dapat dilakukan ke
semua pejabat eselon; tidak dilakukannya wawancara, tidak digunakannya data
kuantitatif dan kualitatif kinerja, serta tidak melibatkan pihak legislatif yang
merupakan perwakilan dari masyarakat Kabupaten Semarang; penelitian ini tidak
memenuhi asumsi klasik karena menyalahi asumsi normalitas dan
heteroskedastisitas.
Saran yang dapat dikemukakan instansi pemerintah harus memperhatikan
kesiapan sumber daya sebelum menggunakan informasi kinerja yang dihasilkan.
selain itu, pemerintah Kabupaten Semarang perlu meningkatkan budaya organisasi;
penelitian selanjutnya agar dapat melakukan wawancara untuk meningkatkan
pemahaman atas jawaban yang diberikan oleh responden, menggunakan data
kuantitatif dan kualitatif kinerja, serta memperluas obyek penelitian; dan melibatkan
pihak legislatif untuk menilai sikap dan komitmen (dukungan) pihak legislatif
terhadap pengembangan sistem pengukuran, akuntabilitas, dan penggunaan informasi
kinerja guna meningkatkan kualitas layanan kepada publik.
29
DAFTAR PUSTAKA
Bodnar, George H. 2006, Sistem Informasi Akuntansi, Edisi Sembilan (Terj.) Julianto
Agung Saputra dan Lilis Setiawati. Yogyakarta: ANDI.
Cavalluzzo, Ken S dan Christopher D. Ittner. 2003. Implementing Performance
Measurement Innovations: Evidence From Government. www.SSRN.com.
(diakses 14 Desember 2010).
Ghozali, I. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Kloot, Louise. 1999. Performance Measurement and Accountability in Victorian
Local Government. International Journal of Public Sector Management
Volume 12 No. 7, 565-583
LIPI, 2009. Pedoman Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Tahun 2009, Jakarta.
Mulyadi. 2001. Akuntansi Manajemen Konsep, Manfaat, dan Rekayasa. Yogyakarta:
Salemba Empat.
Norman, Fachruzzaman. 2010. “Implementasi Sistem Pengukuran Kinerja Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kota Bengkulu”. Simposium Nasional
Akuntansi XIII, Purwokerto.
Nurkhamid, Muh. 2008. “Implementasi Inovasi Sistem Pengukuran Kinerja Instansi
Pemerintah”, Jurnal Akuntansi Pemerintah, Vol. 3, No. 1, Oktober 2008: 45-
76.
Robbins, Stephen., 2006, Perilaku Organisasi, Edisi 10. Jakarta: PT INDEKS.
Sadjiarto, Arja. 2000. “Akuntabilitas dan Pengukuran Kinerja Pemerintahan”, Jurnal
Akuntansi & Keuangan, Vol. 2, No. 2, Nopember 2000: 138 – 150.
Sihaloho, Ferry L dan Abdul Halim. 2005. “Pengaruh Faktor-Faktor Rasional,
Politik, dan Kultur Organisasi terhadap Pemanfaatan Informasi Kinerja
Instansi Pemerintah Daerah”. Simposium Nasional Akuntansi VIII, Solo.
Sudiarto. 2009. Pengawasan dan Akuntabilitas Kinerja Sekretariat Negara RI.
http://www.setneg.go.id. (Diakses pada Mei 2011).