Download - Preskas Tetanus
PRESENTASI KASUS
“TETANUS”
Oleh:
Fajar Apriyandi
107103001730
Pembimbing:
Dr. Debbie Latupeirissa, SpA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian
Kesehatan Anak Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini terutama kepada dr. Debbie Latupeirissa, SpA selaku pembimbing
dalam penyusunan makalah serta teman-teman yang turut membantu penyelesaian makalah
ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini. Saya
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penyusun
2
Jakarta, Juni 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan gejala neuromuskular akut
berupa trismus, kekauan, dan kejang otot akibat eksotoksin spesifik kuman anaerob Clostridium
tetani.1
Pada tahun 1884, Arthur Nicolaier menemukan basil anaerob Clostridium tetani. Kata
tetanus berasal dari tetanos Yunani, yang berasal dari istilah teinein dan berarti peregangan.
Tetanus pertama kali dijelaskan oleh orang Mesir kuno Edwin Smith Pappirus sekitar 3000 SM.2
Berdasarkan gejala klinis, tetanus dibagi menjadi 4, yaitu umum, lokal, kepala, neonatal.
Tetanus neonatal merupakan penyebab utama kematianbayi di Negara yang tidak maju.
Infeksi hasil dari kontaminasi tali pusat pada saat persalinan, ditambah dengan
kurangnya imunisasi ibu dapat meningkatkan risiko terkena tetanus.2 Pasien dengan tetanus
lokal dapat memberikan gejala dengan kekakuan otot-otot yang berlokasi pada tempat cedera.
Kekakuan otot disebabkan oleh disfungsi dalam interneuron yang menghambat neuron
mototrik alpha dari otot yang terkena. Pada hal ini tidak ada keterlibatan dari SSP.2
Sekitar 50-75% dari pasien yang terkena tetanus umum dapat menunjukkan adanya
trismus, adalah ketidakmampuan untuk membuka mulut sekunder
terhadap spasme otot masseter. Kaku kuduk dan disfagia merupakan keluhan awal yang dapat
menyababkkan sardonicus risus. Selama gejala berlangsung, pasien memiliki kekuatan otot dan
refleks kejang intermitten dalam menanggapi rangsangan (kebisingan, rangsang sentuhan).
Kontraksi tonik menyebabkan epistotonus (fleksi dan adduksi lengan, mengepalkan tangan
seperti tinju, dan ekstensi dari ektremitas bawah). Sselama episode ini, fungsi sensorik pasien
tidak terganggu sehingga masih bisa merasakan rasa sakit.2
3
BAB II
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Taufik Hidayat
No. Rekam Medik : 1152471
Umur : 8 tahun 4 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Ulujami RT 07/03 Pesanggrahan Jakarta Selatan
Agama : Islam
Pendidikan : Sekolah Dasar
Anak ke : 1 dari 2 bersaudara
Masuk RSF : 3 Juni 2012
Keluar RSF :
II. IDENTITAS ORANG TUA
AYAH IBU
Nama Tn. A Ny. S
Agama Islam Islam
AlamatJl. Ulujami RT 07/03
Pesanggrahan Jakarta Selatan
Jl. Ulujami RT 07/03
Pesanggrahan Jakarta Selatan
Pendidikan terakhir SMA SMP
Pekerjaan Wiraswasta Ibu Rumah Tangga
Penghasilan - -
Pernikahan ke- 1 (27 tahun) 1 (25 tahun)
III. ANAMNESIS4
Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan mulut tidak bisa membuka sejak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit (SMRS)
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan mulut tidak bisa membuka, badan kaku, mulut
menyeringai, kepala menengadah sejak 4 hari SMRS, keluhan dirasakan hilang timbul, lebih
dari sepuluh kali perhari. Kaku dirasakan sekitar 1-2 menit. Saat terjadi kaku, badan
terangkat, mulut menyeringai, leher juga terasa kaku, tangan terangkat, perut terasa
seperti papan. Lalu pasien saat kaku terlihat kepala dan tumit melengkung kebelakang
serta dada membungkuk kedepan. Pada saat terjadi kaku pasien terlihat sangat kesakitan
dan pasien sadar saat terjadi kaku tersebut. Pasien mengeluh kaku lebih sering saat
diruangan yang terang dan saat diajak bicara. Pasien juga mengeluhkan sakit gigi sejak 2
minggu yang lalu, pasien memang mengaku jarang sekali membersihkan gigi dan sakit gigi
dirasakan semakin nyeri saat 4 hari SMRS. Pasien menyamgkal riwayat trauma dan luka
pada tubuh. Pasien juga menyangkal adanya nyeri telinga dan riwayat keluar cairan dari
telinga. Pasien menyangkal adanya demam, batuk pilek, mual, muntah dan sesak. BAK
normal namun untuk BAB pasien belum sejak 4 hari yang lalu. Nafsu makan pasien
menurun dan pasien saat ini tidak bisa memakan banyak karena tidak bisa membuka mulut
secara penuh, untuk minum pasien hanya bisa minum sedikit demi sedikit. Lalu pasien
dibawa ke RS Fatmawati.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien belum pernah menderita penyakit serupa dan pasien belum pernah dirawat. Pasien
juga sebelumnya tidak pernah ada riwayat kejang saat demam maupun kejang tidak
demam.
5
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran:
Ibu rajin memeriksa kehamilan ke bidan setiap bulan, mendapat imunisasi tetanus
toksoid, rajin minum tablet besi, tidak mengalami tekanan darah tinggi, kenaikan berat
badan selama hamil kurang lebih 6 Kg.
Pasien lahir di Bidan, tanggal 14 Januari 2004, ditolong bidan, usia kehamilan 9
bulan, berat lahir 2800 gram, panjang lahir (ibu lupa), langsung menangis.
Riwayat Nutrisi:
Pasien diberi ASI sejak lahir sampai usia 1 tahun. Mulai diberi bubur susu dari usia 2
bulan sampai 8 bulan. Mulai diberi makanan lunak dari usia 9 bulan. Sejak usia 18 bulan
pasien sudah makan nasi, sayur, tempe, dan tahu. Sebelum sakit, pasien makan tiga kali per
hari; setiap kali makan nasi satu centong, sayur satu sendok sayur, tempe atau tahu satu
potong, telur kadang-kadang, daging dan ikan sesekali. Susu formula juga tidak diberikan.
Setelah sakit nafsu makan pasien berkurang.
Riwayat Imunisasi:
BCG : 1x
DPT : 3x
Hepatitis B : 3x
Polio : 4x
Campak : 1x
Pasien lahir di padang dan pindah ke Jakarta saat usia 1 tahun dan tidak pernah
diimunisasi kembali sejak saat itu. Sejak saat itu ibu tidak pernah membawa anak ke
Posyandu dan tidak dilakukan imunisasi lagi.
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap
Riwayat Tumbuh Kembang:
Gigi pertama : 6 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 15 bulan6
Berbicara : 12 (1 kata)
Saat ini pasien sudah beraktivitas sekolah dasar kelas 3 dan tidak ada keluhan dalam
masalah perkembangannya
Kesan : Tumbuh kembang dalam batas normal
Riwayat Penyakit Keluarga:
Di dalam keluarga tidak ada penyakit serupa.
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit berat, sianosis (-), tampak kurus
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Frekuensi nadi : 100 kali/menit, regular, isi cukup
Frekuensi napas : 28 kali/menit, reguler
Suhu : 37,0 oC (axilla)
Survailens gizi :
Berat badan : 17 Kg
Panjang badan : 116 cm
Antropometri : (berdasarkan kurva NCHS)
BB/U : 17/27 x 100% = 63% gizi kurang
TB/U :116/129x100%= 90% gizi baik
BB/TB : 17/21 x 100% = 81% gizi kurang
BB ideal : 21kg
Height Age : 6 tahun 1 bulan
Kebutuhan Kalori: 90 x 21 = 1890 kalori
Anjuran Makan Cair per NGT (enteral) : 6 x 315 cc
7
Status generalis :
Kepala : Normosefali, deformitas (-).
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Wajah : Tampak resus sardonikus
Telinga : Nyeri tekan tragus -/-
Hidung : Napas cuping hidung -/-, secret -/-
Mulut : Trismus ½ cm cm, gigi tidak dapat dinilai
Tenggorokan : Sulit dinilai
Leher : kaku kuduk (+), KGB tidak teraba membesar
Tubuh : Opistotonus
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba di sela iga V sebelah medial linea midklavikula
sinistra
Perkusi : Batas kanan jantung : sela iga IV linea sternalis dextra
Batas kiri jantung : sela iga V, 1 cm medial linea midklavikula sinistra
Batas pinggang jantung : sela iga II, linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru :
Inspeksi : Tampak simetris saat statis dan dinamis
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki -/- di kedua basal paru, wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : Terlihat datar
Palpasi : teraba seperti di papan
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising Usus (+) N
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2”
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG8
Hasil pemeriksaan laboratorium
Tanggal 3/6/12 Nilai normalHematologiHemoglobin 13.4 g/dl 10,8 – 15,6 g/dL
Hematokrit 40% 35-43 %Leukosit 11.000/ul 6.0-17 ribu/uL
Trombosit 391.000/ul 150-440 ribu/uLEritrosit 4.92 juta/ul 3.10-4.7 juta/uLVER/HER/KHER/RDWVER 80.9 fl 73.0-101.0 flHER 27.2 pg 23.0-31.0 pgKHER 33.6 g/dl 28.0-32.0 g/dlRDW 13.1 g/dl 11.5-14.5 g/dlElektrolit
Natrium 139 135-147 mmol/L
Klorida 3.76 95-108 mmol/L
Kalium 104 3.10-5.10 mmol/L
VI. DIAGNOSIS
- Tetanus Derajat II
- Suspek Karies Dentis
- Imunisasi tidak lengkap
VII. DIAGNOSIS BANDING
- Tetanus derajat III
VIII. TATALAKSANA
Non medikamentosa : - O2 1 liter/menit- Rawat Ruang isolasi- Hindari kejang rangsang- Diet : Makan cair per NGT 6 x 315 cc Medikamentosa :- IVFD KaEN 1 B + KCl 10 mEq /kolf 14 tpm maintenance
9
- Diazepam 6 x 3mg iv tiap 4 jam- Tetagam 3000 IU im, paha kiri 1500 IU, paha kanan 1500 IU- AB : Ampicillin Sulbactam 4 x 700 mg iv (1)
IX. ANJURANKonsul Gigi dan MulutKonsul THT untuk mencari sumber infeksi
X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad bonam
XI. FOLLOW UP
04/06/12 HS : 5 HR : 2
S = kaku pada wajah menyeringai(+), kaku perut(+), mulut hanya terbuka 1 cm, leher kaku,
frekuensi kaku sudah mulai berkurang dari kemarin
O = KU/ Kes = Tampak sakit sedang/ CM
FN = 85 kali/menit
RR = 28 kali/menit
S = 36,0 oC
Trismus 1 cm, kaku kuduk, resus sardonikus, opistotonus, perut papan
A = Tetanus derajat II, suspek karies dentis, imunisasi tidak lengkap
P = IVFD KaEN 1 B + KCl 10 mEq /kolf 14 tpm
- Diazepam 6 x 3mg iv tiap 4 jam- AB : Ampicillin Sulbactam 4 x 700 mg iv (2)- Metronidazol 3 x 125 mg iv (1)- Konsul THT bila terbukti tidak OMSK ampicillin sulbactamstop
05/06/12 HS : 6 HR : 3
10
S = kaku pada wajah menyeringai(+) berkurang, kaku perut(+), mulut hanya terbuka 1 cm,
leher kaku, frekuensi kaku menurun
O = KU/ Kes = Tampak sakit sedang/ CM
FN = 80 kali/menit
RR = 24 kali/menit
S = 36,2 oC
Trismus 1 cm, kaku kuduk, resus sardonikus, opistotonus, perut papan
A = Tetanus derajat II, suspek karies dentis, imunisasi tidak lengkap
P = IVFD KaEN 1 B + KCl 10 mEq /kolf 14 tpm saat ini dengan stopper
- Diazepam 6 x 3mg iv tiap 4 jam- AB : Ampicillin Sulbactam 4 x 700 mg iv (3)- Metronidazol 3 x 125 mg iv (2)
06/06/12 HR : 7 HR : 4
S = kaku pada wajah menyeringai(+) berkurang, kaku perut(+), mulut hanya terbuka 1 cm,
leher kaku
O = KU/ Kes = Tampak sakit sedang/ CM
FN = 80 kali/menit
RR = 24 kali/menit
S = 36,5 oC
Trismus 1 cm, kaku kuduk, resus sardonikus, opistotonus, perut papan
A = Tetanus derajat II, suspek karies dentis, imunisasi tidak lengkap
P = Hasil konsul THT tidak terdapat fokal infeksi pada telinga
- Diazepam 6 x 3mg iv tiap 4 jam- AB : Ampicillin Sulbactam 4 x 700 mg iv stop- Metronidazol 3 x 125 mg iv (3)
07/06/12 HS : 8 HR : 5
11
S = kaku pada wajah menyeringai(+) berkurang, kaku perut(+), mulut hanya terbuka sedikit
leher kaku, keluhan berkurang
O = KU/ Kes = Tampak sakit sedang/ CM
TD= 110/80 mmHg
FN = 80 kali/menit
RR = 24 kali/menit
S = 36,5 oC
Trismus 3 cm, kaku kuduk, resus sardonikus, opistotonus, perut papan
A = Tetanus derajat II, suspek karies dentis, imunisasi tidak lengkap
P = Diazepam 6 x 2mg iv tiap 4 jam
- Metronidazol 3 x 125 mg iv (4)- Mulai makan lunak 400 kal
08/06/12 HS : 9 HR : 6
S = makan bubur tidak habis, tersedak(+),kaku pada wajah menyeringai(+) berkurang, kaku
perut(+), mulut hanya terbuka 3 cm, leher kaku, keluhan berkurang
O = KU/ Kes = Tampak sakit sedang/ CM
TD= 110/80 mmHg
FN = 72 kali/menit
RR = 24 kali/menit
S = 36,5 oC
Trismus 3 cm, kaku kuduk, resus sardonikus, opistotonus, perut papan
A = Tetanus derajat II, suspek karies dentis, imunisasi tidak lengkap
P = Diazepam 6 x 2mg iv tiap 4 jam
- Metronidazol 3 x 125 mg iv (5)- Mulai makan lunak 400 kal stop
09/06/12 HS : 10 HR : 7
12
S = kejang (-),kaku pada wajah menyeringai(+) berkurang, kaku perut(+), mulut hanya terbuka
3 cm, leher kaku, keluhan berkurang
O = KU/ Kes = Tampak sakit sedang/ CM
TD= 110/80 mmHg
FN = 72 kali/menit
RR = 24 kali/menit
S = 36,5 oC
Trismus 3 cm, kaku kuduk, resus sardonikus, opistotonus, perut papan
A = Tetanus derajat II, suspek karies dentis, imunisasi tidak lengkap
P = Diazepam 6 x 2mg iv tiap 4 jam
- Metronidazol 3 x 125 mg iv (6)
10/06/12 HS : 11 HR : 8
S = kejang(-) kaku pada wajah menyeringai(+) berkurang, kaku perut(+), mulut hanya terbuka
3 cm, leher kaku, keluhan berkurang
O = KU/ Kes = Tampak sakit sedang/ CM
TD= 110/80 mmHg
FN = 72 kali/menit
RR = 24 kali/menit
S = 36,5 oC
Trismus 3 cm, kaku kuduk, resus sardonikus, opistotonus, perut papan
A = Tetanus derajat II, suspek karies dentis, imunisasi tidak lengkap
P =Diazepam 6 x 2mg iv tiap 4 jam
- Metronidazol 3 x 125 mg iv (7)
13
11/06/12 HS : 12 HR : 9
S = kejang(-) kaku pada wajah menyeringai(+) berkurang, kaku perut(+), mulut hanya terbuka
3 cm, leher kaku, keluhan berkurang
O = KU/ Kes = Tampak sakit sedang/ CM
TD= 110/80 mmHg
FN = 72 kali/menit
RR = 24 kali/menit
S = 36,5 oC
Trismus 3 cm, kaku kuduk, resus sardonikus, opistotonus, perut papan
A = Tetanus derajat II, suspek karies dentis, imunisasi tidak lengkap
P =Diazepam 6 x 2mg iv tiap 4 jam dosis turun menjadi 4 x 2 mg iv
- Metronidazol 3 x 125 mg iv (8)
12/06/12 HS : 13 HR : 10
S = kejang(-) kaku pada wajah menyeringai(+) berkurang, kaku perut(+), mulut hanya terbuka
3 cm, leher kaku, keluhan berkurang
O = KU/ Kes = Tampak sakit sedang/ CM
TD= 110/80 mmHg
FN = 72 kali/menit
RR = 24 kali/menit
S = 36,5 oC
Trismus 3 cm, kaku kuduk, resus sardonikus, opistotonus, perut papan
A = Tetanus derajat II, suspek karies dentis, imunisasi tidak lengkap
P =Diazepam 4 x 2 mg iv
- Metronidazol 3 x 125 mg iv (9)
14
13/06/12 HS : 14 HR : 11
S = kejang(-) kaku pada wajah menyeringai(+) berkurang, kaku perut(+), mulut hanya terbuka
3 cm, leher kaku, keluhan berkurang
O = KU/ Kes = Tampak sakit sedang/ CM
TD= 110/80 mmHg
FN = 72 kali/menit
RR = 24 kali/menit
S = 36,5 oC
Trismus 3 cm, kaku kuduk, resus sardonikus, opistotonus, perut papan
A = Tetanus derajat II, karies dentis, imunisasi tidak lengkap
P = terdapat fokal infeksi pada gigi
-Diazepam 4 x 2 mg iv ganti oral 4 x 2 mg
- Metronidazol 3 x 125 mg iv (10)
14/06/12 HS : 15 HR : 12
S = kejang(-) kaku pada wajah menyeringai(+) berkurang, kaku perut(+), mulut hanya terbuka
3 cm, leher kaku, keluhan berkurang
O = KU/ Kes = Tampak sakit sedang/ CM
TD= 110/80 mmHg
FN = 88 kali/menit
RR = 22 kali/menit
S = 36,4 oC
Trismus 3,5 cm, kaku kuduk, resus sardonikus, opistotonus, perut papan
A = Tetanus derajat II, karies dentis, imunisasi tidak lengkap
P =Diazepam 4x2 mg po
- Metronidazol 3 x 125 mg iv (11) ganti oral
- Vaksin TT
15
15/06/12 HS : 16 HR : 13
S = kejang(-) kaku pada wajah menyeringai(+) berkurang, kaku perut(+), mulut hanya terbuka
3 cm, leher kaku, keluhan berkurang
O = KU/ Kes = Tampak sakit sedang/ CM
TD= 110/80 mmHg
FN = 72 kali/menit
RR = 24 kali/menit
S = 36,5 oC
Trismus 3 cm, kaku kuduk, resus sardonikus, opistotonus, perut papan
A = Tetanus derajat II, karies dentis, imunisasi tidak lengkap
P =Diazepam 4 x 2 mg po
- Metronidazol 3 x 125 mg po
16
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien adalah seorang anak laki-laki berusia 8 tahun dengan tetanus derajat 2 yang
disebabkan oleh adanya infeksi pada gigi akibat oral hygiene buruk. Luka ini merupakan port d’
entree dari infeksi tetanus.7
Pada pemeriksaan anamnesis pasien mulai menunjukkan gejala mulut sulit dibuka serta
sulit menelan yang merupakan spasme otot-otot menelan pada hari ke 3. Selain itu, gejala kaku
juga sudah mulai dirasakan pada daerah punggung dan kaki, serta perut seperti papan dan kaku
juga dirasakan pada otot wajah, kaku dirasakan jika terutama terkena rangsang seperti cahaya
atau pendengaran dan kaku dirasakan seluruh tubuh dengan frekuensi yang tinggi diduga
karena efek toksin tetanospasmin yng sudah mulai menyebar ke peredaran sistemik.
Diperkirakan infeksi fokal pada pasien ini terdapat di gigi karena pasien mengeluh sakit gigi.3.5
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya risus sardonikus yaitu spasme pada otot-
otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas merupakan gejala dari pasien tetanus.
Pasien juga mengeluhkan hiperekstensi badan saat kaku yaitu opistotonus, serta kaku kuduk,
perut seperti papan. Selain itu, pada pasien juga didapatkan adanya kesulitan untuk membuka
mulut atau yang disebut trismus (+) ½ cm yang merupakan spasme dari otot masseter. Otot-
otot wajah sering terkena karena jalur akson yang lebih pendek. Gejala-gejala di atas
mendukung diagnosis tetanus pada pasien ini. Pada pasien ini juga tidak didapatkan adanya
hipertensi dan takikardi karena aliran impuls otonomik masih terkendali sehingga tidak
menyebabkan aktivitas berlebih pada saraf simpatik.3
Berdasarkan Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett, maka pasien ini termasuk dalam
derajat II (sedang): Trismus sedang, spasitisitas jelas, takipnea kejang rangsang, sedikit atau
tanpa disfagia.5
Dari hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan dalam keadaan normal.
17
Prinsip pengobatan tetanus terdiri atas tiga upaya yaitu, mengatasi akibat eksotoksin
yang sudah terikat pada susunan saraf pusat, menetralisasi toksin yang masih beredar dalam
darah dengan antitoksin tetanus, dan menghilangkan kuman penyebab dengan antibiotik.
Pasien diberikan HTIG sebagai antitoksin yang dapat menurunkan mortalitas dengan
menetralisasi toksin yang beredar di sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat,
walaupun toksin yang telah melekat pada jaringan saraf tidak terpengaruh dengan diberikan
segera dan dosis 3000 unit intramuskular. Sedangkan antibiotik yang diberikan pada pasien ini
adalah Ampicillin injeksi. Pasien sebaiknya dirawat, dimana observasi dan pemantauan
kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus menerus, sedangkan stimulasi diminimalisasi.
Pasien juga diberikan terapi suportif berupa diet tinggi kalori dan protein karena pada pasien
tetanus dapat mengalami penurunan berat badan karena ketidakmampuan menelan dan
meningkatnya laju metabolisme akibat pireksia dan aktivitas muskular. Bentuk makanan
tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Pada pasien didapatkan adanya
trismus, makanan dapat diberikan oral per NGT.5
Prognosis pada pasien tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas
pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode awal pengobatan, imunisasi, lokasi fokus infeksi,
penyakit lain yang menyertai, beratnya penyakit, dan penyulit yang timbul. Pada pasien ini
didapatkan tanda vital yang baik dari hasil pemeriksaan sehingga prognosis ke arah yang baik,
untuk fungsi pasien sehari-hari agak terganggu dengan adanya gejala-gejala yang dialami pasien
dan untuk tingkat kekambuhan pasien tidak tinggi karena pasien langsung menjalani
pengobatan.
18
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot
dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di
dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal.2,3
2.2 Mikrobiologi
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat
dimana-mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran
binatang peliharaan dan manusia. Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif
berbentuk batang yang selalu bergerak, dan merupakan bakteri anaerob obligat yang
mengahsilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai
raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun pada
lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai
desinfektan dan pendidihan selama 20 menit. Tetanospasmin ini merupakan rantai
polipeptida tunggal. Dengan autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk
membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi
pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan rantai
ringan (50kDa) berperan untuk memblokade perlepasan neurotransmiter. Telah diketahui
urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino dari dua toksin tetanus secara
parsial bersifat homolog.2,5
Clostridium tetani menghasilkan dua eksotoksin, tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi
tetanolysin tidak diketahui dengan pasti. Tetanospasmin adalah neurotoksin dan
menyebabkan manifestasi klinis tetanus. Berdasarkan beratnya, tetanospasmin adalah salah
satu toksin yang paling kuat dikenal. Perkiraan dosis mematikan manusia minimum adalah
2,5 nanogram per kilogram berat badan manusia. 1,3
19
Gambar 1. Clostridium Tetani
2.3 Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun, individu
dengan imunitas penuh dan kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat
dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus
masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia. Pada tahun 2002, jumlah
estimasi yang berhubungan dengan kematian pada semua kelompok adalah 213.000, yang
terdiri dari tetanus neonatorum sebanyak 180.000 (85%). Di Amerika Serikat sebagian besar
kasus tetanus terjadi akibat trauma akut, seperti luka tusuk, laserasi atau abrasi. Tetanus
didapatkan akibat trauma di dakam rumah atau selama bertani, berkebun dan aktivitas luar
ruangan yang lain. Trauma yang menyebabkan tetanus bisa berupa luka besar tetapi dapat
juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidak mencari pertolongan medis, bahkan pada
beberapa kasus pasien tidak dapat diidentifikasi adanya trauma. Tetanus dapat pula
berkaitan dengan luka bakar, infeksi teling tengah, pembedahan, aborsi, dan persalinan. 2,3
Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey serologis skala luas
terhadap antibodi tetanus dan difteri yang dilakukan antara tahun 1988-1994 menunjukkan
bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk Amerika Serikat di atas 6 tahun terlindungi
terhadap tetanus. Sedangkan pada anak antara 6-11 tahun sebesar 91%, persentase ini
menurun dengan bertambahnya usia; hanya 30% individu berusia di atas 70 tahun (pria
45%, wanita 21%) yang mempunyai tingkat antibodi yang adekuat.5
20
2.4 Patogenesis
Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C.tetani. C.tetani sendiri tidak menyebabkan
inflamasi dan port d’entree tetap tampak tenang tanpa tanda inflamasi, kecuali apabila ada
infeksi oleh mikroorganisme yang lain.Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan
nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin: tetanospasmin dan
tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi
bakteri.1,3
Tetanosapsmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup lebih
dari 5% dari berat organisme. Tokisn ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat
150.000Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000
Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif terhadap protease dan dipecah oleh
protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai
ini. Ujung karbooksil dari rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino
memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk
mencegah pelepasan neurotransmiter dari neuon yang dipengaruhi. Tetanoplasmin yang
dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada gangliosida GD1b
dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat
memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di
seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar ke dalam badan sel di batang otak dan saraf
spinal. 3,5
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf otonom.
Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan
mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh,
gejala-gejala tetanus akan muncul. Transpor intraneuronal retroged lebih jauh terjadi
dengan meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak jelas. 3,5
21
Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang menghubungkan
rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek toksin
dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neuritransmiter. Sinaptobrevin merupakan protein
membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung
neuritransmiter. Rantai ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang
membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegahperlepasan
neurotrnasmiter.1,5
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin
menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade perlepasan
neurotransmiterinhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneuron yang
menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik
ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu(karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik
preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi.
Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke
dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum
yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori
neuron motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi pada ujung
neuromuskuler. Pusat medulla dan hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin
mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Efek prejungsional dari
ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua spasme dan dapat berperan
pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus sefalik, myopati yang terjadi setelah
pemulihan.5
Aliran efek yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan
menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks
inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis
berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau
ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur
aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer
tangan dan kaki relatif jarang terlibat.5
22
Gambar 2. Proses masuknya c. Tetani ke dalam tubuh
Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya kontrol
otonomik dengan aktivitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang
berlebihan.5
Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Penulihan membutuhkan tumbuhnya
ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi lama. 5
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan
yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka
memasuki aliran limfe dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal: sawar
darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika
diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf
yang pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan
23
urutan keterlibatan serabut sarafdi kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus
generalisata.5
2.5 Manifestasi klinis
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan tanah, kotoran
binatang, atau logam berkaratdapat menyebabkan tetanus. Trauma yang menyebabkan
tetanus hanyalah trauma ringan.3,5
Tetanus generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang
ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa inkubasi
bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat, median
onset setelah trauma adalah 7 hari. 3,5
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi
otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut,
sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus
atau rahang terkunci. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang
menyebabkan ekspresi wajah yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot
untuk menelan dan menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal
dan eksternal dapat berlangsung secara beberapa menit dan dirasakan nyeri.
Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tibuh menyebabkan
opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada.
Refleks tendon dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak,
sedangkan kesadaran tidak terpengaruh. 3,5
Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat episodik.
Kontraksi otot ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan,
stimulus stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat
bervariasi berdasarkan keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat
sehingga menyebabkan fraktur ata ruptur tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat
24
berat, terus menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan
gagal napas. Spasme ini dapat terjadi berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang
ringan. Spasme faringeal sering diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan
dengan terjadinya aspirasi dan obsktruki jalan napas akut yang mengancam nyawa.
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-
otot di seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya
pertama kali terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk
mempengaruhi seluruh tubuh. Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang
dihasilkan, tetanus lokal dijumpai. Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh
tertentu. Mortalitas sangatlah berkurang. Perkecualian untuk ini adalah tetanus
sefalik di mana tetanus lokal yang berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf
kranial; paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya, daripada spasme. Tetapi
progresi ke tetanus generalisata umum terjadi dan mortalitasnya tinggi. 3,5
Badai autonomik terjadi dengan adanya instabilitas kardiovaskular yang tampak
nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan hipotensi
berat, bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini lebih merupakan akibat
perubahan resistensi vaskular sistemik daripada perubahan pengisian jantung dan
kekuatan jantung.
Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain mencakup salivasi
profus dan meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare, dan gagal ginjal
curah tunggi (high output renal failure) semua berkaitan dengan gangguan otonomik.
25
Gambar 3. Patofisiologi infeksi c. Tetani
Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya
fatal apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang
dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah
perawatan setelah potongan tali pusat, kebersihan lingkungan dan kebersihan saat
mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama
kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran
khas tetanus neonatorum. Diantara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan
retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup. 3,5
Tetanus lokal
26
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya
terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat
peran toksin pada tempat yang berhubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya
bersifat ringan dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus
generalisata dapat terjadi. Namun demikian secara umum prognosismya baik. 3,5
Tetanus sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi
setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai
trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7.
Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi. 3,5
2.6 Perjalanan klinis
Masa inkubasi berkisar antara 3-21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada tetanus
neonatorum, gejala biasanya muncul 4-14 hari setelah lahir, rata-rata sekitar 7 hari.1,4
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10
hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme
pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan
tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan
spasme otot yang semakin parah. Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari
setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelag 2-3 minggu
tetapi kekauan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson
terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu samapi 4
minggu. 1,3
2.7 Derajat keparahanTerdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan (Philsips, Dakar, Udwadia) yang dilaporkan.1,5
Variable Tolak ukur Nilai
27
Masa inkubasi < 48 jam
2- 5 hari
6- 10 hari
11-14 hari
≥ 14 hari
5
4
3
2
1
Lokasi infeksi Internal/umbilical
Leher, kepala, dinding tubuh
Ekstremitas proksimal
Ekstremitas distal
Tidak diketahui
5
4
3
2
1
Imunisasi Tidak ada
Mungkin ada/ibu dapat
>10 tahun lalu
<10 tahun lalu
Proteksi lengkap
10
8
4
2
0
Faktor pemberat Penyakit trauma
Membahayakan jiwa
Keadaan yang tidak langsung
Berbahaya
10
8
4
2
28
Keadaan tidak berbahaya
Trauma/penyakit ringan
1
0
Tabel 1. tolak ukur dan besarnya nilai (Philips) pada tetanus
Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolak ukur, yaitu masa inkubasi, port d
entree, status imunologi, dan faktor yang memberatkan. Berdasarkan jumlah angka yang
diperoleh, derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi tetanus ringan (angka < 9), tetanus
sedang (angka 9-16), dan tetanus berat (angka > 16). Tetanus ringan dapat sembuh sendiri
tanpa pengobatan, tetanus sedang dapat sembuh dengan pengobatan baku, sedangkan tetanus
berat memerlukan perawatan khusus yang intensif.3
Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett:
DERAJAT I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spasitisitas generalisata, tanpa gangguan
pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
DERAJAT II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang tampak jalas, spasme singkat sampai
sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih dari 30 kali per menit,
disfagia ringan.
DERAJAT III (berat) : Trismus berat, spasitisitas generalisata, spasme reflek berkepanjangan,
frekuensi pernafasan lebih dari 40 kali per menit, serangan apnea, disfagia berat, dan takikardi (
lebih dari 120 kali per menit).
DERAJAT IV (sangat berat) : Derajat III dengan gangguan otonomik berat, melibatkan sistem
kardiovaskuler, hipertensi berat dan takikardi terjadi berselingan dengan hipotensi dan
bradikardi, salah satunya dapat menetap.5
2.8 Komplikasi
29
Laryngospasm (spasme pita suara) dan / atau kejang otot-otot respirasi menyebabkan gangguan bernapas. Patah tulang belakang atau tulang
panjangyang diakibatkan dari kontraksi dan kejang-kejang. Hiperaktif dari sistem saraf otonom dapat mengakibatkan hipertensi dan / atau irama jantung yang
abnormal. Infeksi nosokomial karena perawatn di rumah sakit dalam jangka waktu yang lama. Infeksi sekunder dapat mencakup sepsis, didapatkan dari
pemasangan kateter, pneumonia dan ulkus decubitus.4
Sistem Komplikasi
Jalan napas Aspirasi
Laringospasme/obstruksi
Obstruksi berkaitan dengan sedatif
Respirasi Apne
Hipoksia
Gagal nafas
ARDS
Komplikasi trakeostomi (stenosis trakea)
Kardiovaskuler Takikardia, hipertensi, iskemia
Hipotensi, bradikardia
Asistol, gagal jantung
Ginjal High output renal failure
Gagal ginjal oligouria
Stasis urin dan infeksi
Gastrointestinal Stasis gaster
30
Ileus
Diare
Perdarahan
Lain-lain Penurunan berat badan
Tromboembolus
Sepsis dengan gagal organ multipel
Fraktur vertebra selama spasme
Ruptur tendon akibat spasme
Tabel 2 Komplikasi-komplikasi tetanus5
2.9 Diagnosis
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus tidaklah mungkin
apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara lengkap dan vaksin
ulangan yang sesuai telah diberikan. Sekret luka hendaknya dikultur pada kasus yang
dicurigai tetanus. Namun demikian, Clostridium tetani dapat diisolasi dari luka pasien tanpa
tetanus sering tidak ditemukan dari pasien tetanus, kultur yang positif bukan merupakan
bukti bahwa organisme tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus. Leukosit
mungkin meningkat.
Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil yang normal. Elektromyogram
mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya
interval tenang yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non spesifik
dapat dijumpai pada elektromyogram. Enzim otot mungkin meningkat. Kadar antitoksin
serum ≥ 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar inin tetanus tidak mungkin terjadi,
walaupun ada beberapa kasus yang terjadi pada kadar antitoksin yang protektif.5
31
2.10 Penatalaksanaan
Pencegahan
o Imunisasi aktif
Imunisasi dengan tetanus toksoid yang diabsorbsi merupakan tindakan
pencegahan yang paling efektif dalam praktek. Semua individu dewasa yang
imun secara parsial atau tidak sama sekali hendaknya mendapatkan vaksin
tetanus, seperti halnya pasien yang sembuh dari tetanus.5
o Penalaksanaan luka
Penatalaksanaan luka yang baik membutuhkan pertimbangan imunisasi
pasif dengan TIG dan imunisasi aktif dengan vaksin.
o Tetanus neonatorum
Penatalaksanaan yang dimaksudkan untuk mencegah tetanus neonatorum
mencakup vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan; upaya untuk
meningkatkan proporsi kelahiran yang dilakukan di rumah sakit dan pelatihan
penolong kelahiran non medis.5
Pengobatan
Strategi pengobatan melibatkan tiga prinsip pentalaksanaan:organisme yang
terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin
lebih lanjut; toksin yang terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya
dinetralisasi; dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat
diminimasi.5
2.11 Pentalaksanaan umum
Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, di mana observasi dan
pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus menerus, sedangkan
stimulasi diminimalisasi. Perlindungan terhadap jalan napas bersifat vital. Luka
hendaknya dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan dibridemen secara
menyeluruh.5
32
Netralisasi dari toksin yang bebas
Antitoksin menurunkan mortilitas dengan menetralisasi toksin yang beredar di
sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang telah
melekat pada jaringan saraf tdak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusia
(TIG) merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan segera dengan dosis terbagi
karena volumenya besar. Dosis optimalnya belum diketahui, namun demikian
beberapa penelitian menunjukkan bahwa dosis sebesar 500 unit sama efektifnya
dengan dosis yang lebih tinggi. Imunoglobulin intravena merupakan alternatif lain
daripada TIG tapi konsentrasi antitoksin spesifik dalam formulasi ini belum
distandarisasi. Paling baik memberikan antitoksin sebelum memanipulasi luka.
Manfaat memberikan antitoksin pada insisi proksimal luka atau dengan menginfiltrasi
luka belumlah jelas. Dosis tambahan tidak diperlukan karena waktu paruh antitoksin
yang panjang. Antibodi tidak dapat meembus sawar darah otak. Antitoksin tetanus
kuda tidak tersedia di Amerika Serikat, tetapi masih dipergunakan di tempat lain.
Lebih murah dibandingkan antitoksin manusia, tetapi waktu paruhnya lebih pendek
dan pemberiannya sering menimbulkan hipersensitivitas dan serum sicknesss
syndrome.5
Menyingkirkan sumber infeksi
Jika ada, luka yang nampak jelas hendaknya didebridemen secara bedah. Walaupun
manfaatnya belum terbukti, terapi antibiotik diberikan pada tetanus untuk
mengeradikasi sel-sel vegetatif, sebagai sumber toksin. Penggunaan penisilin (10
sampai 12 juta unit intravena setiiap hari selama 10 hari) telah direkomendasikan
dan secra luas dipergunakan selama bertahun-tahun, tetapi merupakan antagonis
GABA dan berkaitan dengan konvulsi. Metronidazol mungkin merupakan antibiotik
pilihan. Metronidazol (500 mg tiap 6 jam atau 1 gr tiap 12 jam) digunakan oleh
beberapa ahli berdasarkan aktivitas antimikrobial metronidazol yang bagus.
Metronidazol aman dan pada penelitian yang membandingkan dengan penisilin
menunjukkan angka harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan penisilin
33
karena metronidazol tidak menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA seperti
yang ditunjukkan oleh penisilin.5
Pengendalian rigiditas dan spasme
Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun kombinasi untuk
mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat mengancam respirasi
karena menyebabkan laringospasme atau kontraksi terus menerus otot-otot
pernafasan. Regimen yang ideal adalah regimen yang dapan menekan aktivitas
spasmodik tanpa menyebabkan sedasi berlebihan dan hipoventilasi. Harus dihindari
stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi utamanya adalah sedasi dengan
menggunakan benzodiazepin. Benzodiazepin memperkuat agonisme GABA dengan
menghambat inhibitor endigen pada reseptor GABAA. Diazepam dapat diberikan
melalui rute yang bervariasi, murah dan dipergunakan secara luas, tapi metabolit
kerja panjangnya (oksazepam dan desmetildiazepam) dapat terakumulasi dan
berakibat koma berkepanjangan. Sebagai sedasi tambahan dapat diberikan
antikonvulsan, terutama fenobarbiton yang lebih jauh memperkuat aktivitas
GABAergik dan fenithiazin, biasanya klorprimazin. Barbiturat dan klorpromazin ini
merupakan obat lini kedua.5
Penatalaksanaan respirasi
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin dibutuhkan
pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau laringospasme atau
untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus, gangguan kemampuan
menelan atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus diantisipasi dan
diterapkan secara elektif dan secara dini.5
Pengendalian disfungsi otonomik
Metode non farmaklokgis untuk mencegah instabilitas otonomik didasarkan pada
pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan pasien. Sedasi sering merupakan terapi
pertama. Benzodiazepin, antokonvulsan dan terutama morfin sering dipergunakan.
Morfin terutama bermanfaat karena stabilitas kardiovaskuler dapat terjadi karena
gangguan jantung. Dosisnya bervariasi antara 20 sampai 180 mg per hari. Mekanisme 34
aksi yang dipertimbangkan adalah penggantian opioid endogen, pengurangan
aktifitas refleks simpatis dan pelepasan histamin. Fenotiazin, terutama klorpromazin
merupakan sedatif yang berguna, antikolinergik dan antagonis a adrenergik dapat
berperan terhadap stabilitas kardiovaskular.5
Penatalaksanaan intensif suportif
Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Faktor yang ikut menjadi
penyebabnya mencakup ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya laju
metabolisme akibat pireksia atau aktivitas muskular dan masa kritis yang
berkepanjangan. Oleh karena itu, nutisi hendaknya diberikan seawal mungkin. Nutiri
enteral berkaitan dengan insidensi komplikasi yang rendah dab lebih murah daripada
nutrisi parenteral.5
Pentalaksanaan lain
Penatalaksanaan lain meliputi hidrasi, untuk mengontrol kehilangan cairan yang tak
tampak dan kehilangan cairan yang lain, yang mungkin signifikan;kecukupan
kebutuhan gizi yang meningkat dengan pemberian enteral maupunmparenteral;
fisioterapi untuk mencegah kontraktur; dan pemberian heparin dan antikoagulan
yang lain untuk mencegah emboli paru. Fungsi ginjal, kandung kemih dan saluran
cerna harus dimonitor. Perdarahan gastrointestinal dan ulkus dekubitus harus
dicegah dan infeksi sekunder harus diatasi.5
Vaksinasi
Pasien yang sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif diimunisasi karena imunitas
tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang menyebabkan tetanus.
2.12 Tatalaksana Medikamentosa5
Farmakologi obat-obatan yang biasa dipakai pada tetanus:
Diazepam. Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik.
Mendepresi semua tingkatan sistem saraf pusat, termasuk bentukan limbik dan
retikular, mungkin dengan meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmiter
inhibitori utama.35
o Dosis dewasa
Spasme ringan : 5-10 mg oral tiap 4-6 jam apabila perlu
Spasme sedang: 5-10 mg i.v apabila perlu
Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg perjam
o Dosis pediatrik
Spasme ringan : 0,1-0,8 mg/kg/hari daam dosis terbagi tiga kali atau
empat kali sehari
Spasme sedang sampai spasme berat : 0,1-0,3 mg/kg/hari i.v tiap 4
sampai 8 jam.
o Kontraindikasi: hipersensitivitas, glaukoma sudut sempit.
o Interaksi: toksisitas benzodiazepin pada sistem saraf pusat meningkat apabila
dipergunakan bersamaan dengan alkohol, fenotiazin, barbiturat dan MAOI;
cisapride dapat meningkatkan kadar diazepam secara bermakna.
Fenobarbital. Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan
depresi pernafasan. Jika ada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi
diperlukan untuk mendapatkan efek sedasi yang diinginkan.
o Dosis dewasa: 1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari
o Dosis pediatrik: 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari.
o Kontraindikasi: hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-paru
berat, dan nefritis.
o Interaksi: dapat menurunkan kloramfenikol, digitoksin, kortikosteroid,
karbamazepin, teofilin, verapamil, metronidazol dan antikoagulan.
Baklofen. Baklofen intratekhal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara
eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan
infus diazepam. Keseluruhan dosis baklofen diberikan sebagai bolus injeksi. Dosis
dapat diulang setelah 12 jam atau lebih apabila spasme paroksismal kembali terjadi.
o Dosis dewasa: < 55 tahun: 100 mcg IT, > 55 tahun : 800 mcg IT
o Dosis pediatrik: < 16 tahun : 500 mcg IT, > 16 tahun: seperti dosis dewasa
36
o Kontraindikasi: hipersensitifitas
Penisilin G. Berperan dengan mengganggua pembentukan polipeptida dinding otot
selama multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap
mikriorganisme yang rentan. Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Dosis besar
penisislin i.v dapat menyebabkan anemia hemolititk dan neurotoksisitas.
o Dosis dewasa: 10-24 juta unit/hari i.v terbagi dalam 4 dosis
o Dosis pediatrik: 100.000-250.000 U/kg/hari i.v/i.m dosis terbagi 4 kali/hari
o Kontraindikasi: hipersensitivitas.
Metronidazol. Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa.dapat
diabsorbsi ke dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagaian yang terbentuk
mengikat DNA dan menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel.
Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari. Beberapa ahli merekomendasikan
metronidazol sebagai antibiotik pada terapi tetanus karena penisilin G juga
merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat efek toksin.
o Dosis dewasa: 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 gr i.v tiap 12 jam, tidak lebih
dari 4 gr/hari.
o Dosis pediatrik: 15-30 mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam, tidak lebih darri
2 gr/hari.
o Kontraindikasi: hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan.
2.13 Prognosis
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode
awal pengobatan, imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai, beratnya
penyakit, dan penyulit yang timbul. Masa inkubasi dan periode onset merupakan faktor
yang menentukan prognosis dala klasifikasi Cole dan Spooner.3
37
Klasifikasi prognostik menurut Cole-Spooner
Kelompok prognostic Periode awal Masa inkubasi
I
II
III
< 36 jam
>36 jam
Tidak diketahui
±6 hari
>6 hari
Tidak diketahui
Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I mempunyai angka kematian lebih
tinggi daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif menurunkan angka kematian akibat
kegagalan napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu, pemberian nutrisi yang cukup
ternyata juga menurunkan angka kematian.4
38
Daftar Pustaka
1. Sunarmo S. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis . Edisi kedua.Ikatan dokter anak
indonesia.Jakarta . 2008
2. Panduan Pelayanan Medis RSCM Departemen Ilmu Penyakit Anak.2007
3. Buku saku pelayanan kesehatan anak dirumah sakit.2009
4. http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/6/3/101.full
5. Fauci, Braunwald et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th edition.
McGraw-Hill: United State. 2008. Page 840-
6. CDC. Tetanus. (cited 2009 November 19th ). 2006. Avalaible at:
www.cdc.gov/niP/publications/pink/tetanus.pdf
7. Kiking R. Tetanus. Medan: USU Digital Library, 2004;1-9.
8. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7392754
9. http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/6/3/101.full
10.http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/tetanus.html
11.http://www.emedicinehealth.com/tetanus/article_em.htm
39