Download - Proposal Edit
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas kecamatan Koja tahun 2013 ditemukan
bahwa ISPA di Puskesmas Kecamatan Koja menempati urutan nomor 1 dari 10 penyakit
terbanyak di daerah tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pemukiman penduduk
sangat berdekatan dengan pabrik kosmetik, makanan, textile, serta banyak yang letaknya
berhadapan dengan jalan raya sehingga tingginya polusi udara daerah tersebut yang merupakan
salah satu penyebab gangguan saluran pernapasan.
Penyakit ISPA adalah merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tersering pada
anak-anak di negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan laporan WHO tahun 2003
didapatkan bahwa dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun terdapat 4
juta (26,67%) kematian yang diakibatkan oleh penyakit ISPA setiap tahunnya. Sebanyak dua
pertiga kematian tersebut adalah bayi (khusus bayi muda). 3
ISPA juga merupakan satu dari 3 penyakit penyebab kematian bayi selain komplikasi
perinatal, dan diare (Depkes, 1995). ISPA hingga saat ini masih mencatat sebagai masalah
kesehatan utama pada anak dinegara berkembang. Episode penyakit batuk pilek di Indonesia
diperkirakan terjadi tiga sampai enam kali pertahun. ISPA merupakan salah satu penyebab utama
kunjungan pasien di sarana pelayanan kesehatan yaitu sebanyak 40-60 % kunjungan berobat di
Puskesmas dan 15-30 % kunjungan berobat dirawat jalan dan rawat inap di rumah sakit (Depkes
RI, 2009).
Data yang diperoleh dari profil kesehatan DKI Jakarta tahun 2007 ditemukan kejadian
ISPA/Pneumonia di Jakarta timur dengan jumlah penderita 3004, 488 diantaranya adalah balita
namun yang ditangani hanya 419 balita (86%). (Profil Kesehatan DKI Jakarta, 2007).
Lebih dari dua dasawarsa ini penyakit ISPA selalu menduduki peringkat pertama dari 10
penyakit terbanyak di Indonesia. Salah satu penyebab terjadinya ISPA adalah rendahnya kualitas
udara baik didalam maupun diluar rumah baik secara biologis fisik maupun kimia (Kementrian
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007).
ISPA merupakan salah satu penyebab dari tiga penyakit yang sering melanda di Jakarta,
cuaca yang tidak menentu seperti kadang hujan, panas yang menyebabkan suhu lingkungan tidak
stabil (Dinkes DKI, 2012). Data yang diperoleh dari Puskesmas Kecamatan Koja Jakarta utara
ISPA menjadi urutan pertama dalam 10 penyakit tertinggi yang kebanyakan diderita oleh balita
yang berusia 1-4 tahun yaitu sebanyak 7.797 (33,7%) anak pada tahun 2011. (Laporan tahunan
Puskesmas kecamatan Koja,2011)
Dinegara maju diperkirakan angka kematian pertahun karena pencemaran udara dalam ruang
rumah sebesar 67% dipedesaan dan 23% diperkotaan, sedangkan dinegara berkembang angka
kematian terkait pencemaran udara dalam ruang rumah daerah perkotaan sebesar 9 % dan
didaerah pedesaan sebesar 1 % dari total kematian (WHO, 2000).
Ada banyak factor yang mempengaruhi kejadian penyakit ISPA baik secara langsung
maupun tidak langsung. Sutrisna (1993) faktor resiko yang menyebabkan ISPA pada balita
adalah sosio-ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan orang tua), status gizi, tingkat
pengetahuan ibu dan faktor lingkungan (kualitas udara). Depkes (2002) menyebutkan bahwa
faktor penyebab ISPA pada balita adalah Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), status gizi buruk,
imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik (Daulay, 1992).
Anak berumur dibawah 2 tahun mempunyai risiko terserang Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) lebih besar dari pada anak diatas 2 tahun sampai 5 tahun, keadaan ini karena pada anak di
bawah umur 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran nafasnya relatif sempit
(Rizandi, 2006).
Berdasarkan penelitian tahun 2010 yang dilakukan oleh Nuryanto diperoleh hasil bahwa
Proporsi balita yang menderita ISPA sebanyak 56%, Faktor yang berhubungan dengan penyakit
ISPA pada balita adalah status gizi balita, status imunisasi, kepadatan tempat tinggal, keadaan
ventilasi rumah, status merokok orang tua, tingkat pendidikan orang tua, tingkat pengetahuan
ibu, dan sosial ekonomi keluarga kemudian pada peneliti lain tahun 2007 oleh bagian peneliti
USU didapatkan hasil Proporsi balita yang menderita ISPA terbesar pada balita yang berumur 2-
59bulan yaitu sebesar 80%, berjenis kelamin perempuan sebesar 85,3%, status gizi tidak baik
sebesar 89,1%, berat badan lahir rendah (<2.500 gram) sebesar 92,9%, balita yang tidak ASI
eksklusif sebesar 84,2%, dan balita yang imunisasinya tidak lengkap sebesar 90,3%.
Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan napas
cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat
minum, kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila segera tidak diobati. Usia Balita adalah
kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka
morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita di Negara berkembang (Imran,
1990).
Dari uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Puskesmas tersebut,
dikarenakan keadaan lingkungan disekitar Puskesmas tersebut yang masyarakatnya sangat rentan
mengalami penyakit pernapasan, karena daerah tersebut berdekatan dengan sumber polutan,
sehingga peneliti memilih judul mengenai “Faktor-faktor yang berhubungan dengan Riwayat
Infeksi saluran pernapasan akut(ISPA) pada balita (12-59 bulan) di Puskesmas Kecamatan Koja
Jakarta Utara Tahun 2012”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
Apakah ada hubungan antara factor lingkungan, karakteristik individu balita dan
karakterisktik individu ibu dengan riwayat ISPA pada (12-59 bulan) di Puskesmas Kecamatan
Koja Tahun 2013 khususnya yang berkunjung ke poli MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit).
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan riwayat Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) pada Balita (12-59 bulan) di Puskesmas Kecamatan Koja Jakarta Utara Tahun
2013. khususnya yang berkunjung ke poli MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit).
2. Tujuan Khusus
i. Diketahuinya gambaran variabel ISPA, Karakteristik individu (jenis kelamin, umur,
status imunisasi, status suplementasi vitamin A, status ASI Ekslusif dan berat badan
lahir) dan faktor lingkungan (proses pengolahan sampah rumah tangga, ventilasi udara,
kebiasaan keluarga merokok dalam rumah dan penggunaan obat nyamuk) di Puskesmas
Kecamatan Koja Jakarta Utara Tahun 2013.
ii. Diketahuinya hubungan antara karakteristik individu (jenis kelamin, umur, status
imunisasi, stastus suplementasi vitamin A, dan berat badan lahir), karakteristik
ibu(pendidikan, pengetahuan, dan pekerjaan ) dan faktor lingkungan (proses pengolahan
sampah rumah tangga, ventilasi udara, kebiasaan keluarga merokok dalam rumah dan
penggunaan obat nyamuk), dengan Riwayat ISPA pada Balita (12-59) bulan ) di
Puskesmas Kecamatan Koja Tahun 2013.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
1. Bagi Masyarakat
Dari hasil penelitian ini, masyarakat dapat mengetahui faktor mana yang paling
dominan risikonya terhadap gejala ISPA, juga faktor-faktor lain yang berhubungan
dengannya. Dengan demikian, penulis berharap kesadaran masyarakat akan muncul
sehingga mau dan mampu secara aktif ikut serta dalam upaya pencegahan ISPA, seperti
kesadaran kebersihan akan lingkungan dengan cara melakukan gotong royong secara
rutin, bagi perokok untuk tidak merokok ditempat umum, dan bagi ibu-ibu yang memiliki
balita sebaiknya rutin mengikuti posyandu dan pemberian suplementasi kapsul vitamin A
dan Imunisasi sebagai upaya pencegahan, agar anaknya dapat terpantau oleh tenaga
kesehatan secara efektif.
2. Peneliti
Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut
dalam menemukan faktor-faktor lain yang berhibungan dengan kejadian ISPA pada balita
terutama untuk melakukan penelitian dengan desain penelitian yang lainnya, dengan
demikian diharapkan dapat segera ditemukan faktor-faktor yang paling dominan dalam
mengakibatkan timbulnya ISPA pada balita di Puskesmas kecamatan Koja
3. Bagi Ahli kesehatan Masyarakat
Mendapatkan masukan dan informasi tentang pengembangan ilmu pengetahuan
secara umum serta pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita.
4. Puskesmas Kecamatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para tenaga
kesehatan khususnya tenaga kesehatan pada Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan di bidang kesehatan khususnya penanganan
pada pasien dengan ISPA ringan agar tidak berlanjut kepada ISPA yang lebih berat.
5. Dinas Kesehatan Jakarta
Pemerintah daerah dapat menjadikan penelitian ini sebagai salah satu sumber kajian
dalam menyusun program penanggulangan ISPA pada balita dan program-program lain
yang mendukung keberhasilan program tersebut.
Pemerintah juga dapat menjadikan hasil penelitian ini untuk melihat potensi social
dengan bentuk kerjasama yang baik merupakan salah satu trategi untuk menjadikan
masyarakat sehat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Definisi Infeksi Saluran Pernapasan Akut ( ISPA )
Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat dengan ISPA, istilah ini diadaptasi
dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA
meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai
berikut:
i. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
ii. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara
anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah
(termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan
ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract).
iii. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang
dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
2. Etiologi Infeksi Saluran Pernapasan Akut ( ISPA )
Etiologi ISPA ada lebih dari 200 jenis bakteri, virus, riketsia. Bakteri
penyebabnya antara lain dari genus Streptococus, Stafilococus, Pneumococus,
Hemofillus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebabnya antara lain glongan
Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-
lain. Virus golongan ini merupakan virus yang yang menyebar di udara bebas yang akan
masuk dan menempel pada saluran pernapasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung
sehingga menyebabkan ISPA (Depkes RI 2002).
Perjalanan alamiah penyakit ISPA dibagi menjadi beberapa tahap. Tahap pertama
yaitu tahap prepatogenesis dimana pada tahap ini kondisi dan agen sebagai penyebab
ISPA sudah ada namun belum menunjukan reaksi apapun, kemudian tahap inkubasi
dimana agen merusak epitel dan mukosa tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi
dan daya tahan tubuh rendah. Tahap dini penyakit ini dimana munculnya gejala seperti
demam dan batuk.
Tahap terakhir adalah tahap lanjut penyakit yang dibagi menjadi tahap sembuh
sempurna dengan atelektasis (pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara akibat pernapasan yang sangat dangkal) menjadi kronis dan
meninggal akibat pneumonia (imran, 1990). Secara umum perjalanan penyakit ISPA
yaitu agen penyakit bakteri dan virus di udara bebas akan masuk dan menempel pada
saluran pernapasan bagian atas (tenggorokan dan hidung) kemudian terjadi peradangan
yang disertai dengan pembengkakan pada jaringan tertentu sehingga berwarna
kemerahan.
Infeksi dapat menyebar ke paru-paru dan menyebabkan sesak atau pernapasan
terhambat, oksigen yang dihirup berkurang, anak menjadi kejang, bahkan bila tindakan
tidak segera ditolong bisa menyebabkan kematian (Depkes RI 2002).
3. Klasifikasi ISPA
Kebanyakan anak yang mengalami batuk atau kesulitan bernapas dapat dinilai
adanya pneumonia. Tanda-tanda yang digunakan untuk menentukan adanya pneumonia
dan untuk menentukan berat atau ringannya pneumonia. Akan tetapi, anak yang
mempunyai tanda klinis yang pasti adanya penyakit sangat berat (yaitu stridor saat
tenang, kurang gizi berat, rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit untuk bangun, atau
kejang) memerlukan penanganan khusus (WHO 2002).
Menurut Depkes RI (2004) Klasifikasi ISPA yaitu :
i. ISPA berat di tandai oleh adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam pada
waktu inspirasi.
ii. ISPA sedang bila frekuensi pernapasan menjadi cepat.
Umur kurang dari 1 tahun : 50 kali permenit atau lebih
Umur 1 sampai 4 tahun : 40 kali permenit atau lebih.
iii. ISPA ringan di tandai dengan batuk pilek tanpa napas cepat, tanpa tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam. Khusus untuk bayi di bawah 2 bulan hanya dikenal
ISPA berat dan ISPA ringan (tidak dikenal klasifikasi ISPA sedang). Batasan berat
untuk bayi kurang dari 2 bulan ialah bila frekuensai napas cepat (60 kali permenit
atau lebih) atau adanya tarikan dinding dada yang kuat.
4. Cara Penularan ISPA
Penularan bibit penyakit ISPA dapat terjadi dari penderita ISPA dan carrier yang
disebut juga reservoir bibit penyakit yang ditularkan kepada orang lain melalui kontak
langsung atau melalui benda-benda yang telah tercemar bibit penyakit termasuk udara.
Penularan melalui udara di maksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa
kontak dengan penderita maupun dengan benda yang terkontaminasi dan tidak jarang
penyakit yang sebagian ilmu besar penularannya adalah karena menghisap udara yang
mengandung penyebab atau mikroorganisme tempat kuman berada (reservoir) (Depkes
RI, 2000). ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, cipratan bersin, udara
pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran
pernapasannya. (Depkes RI 2000).
5. Masalah ISPA di Indonesia
Di Indonesia, kasus ISPA menempati urutan pertama dalam jumlah pasien rawat
inap dan rawat jalan terbanyak. Hal ini menunjukkan angka kesakitan akibat ISPA masih
tinggi. Angka kematian balita akibat pneumonia juga masih tinggi, yaitu lebih kurang 5
per 1000 balita. Pemerintah telah merencanakan untuk menurunkan hingga 3 per 1000
balita pada 2010. Akan tetapi, keberhasilan bergantung pada banyaknya faktor risiko,
terutama yang berhubungan dengan strategi baku penatalaksanaan kasus, imunisasi, dan
modifikasi factor resiko.
Secara nasional angka cakupan penemuan penderita pneumonia pada balita
hingga saat ini masih belum mencapai target seperti tampak pada grafik berikut ini (ditjen
PPPL, kemenkes RI 2011) :
Rata-rata cakupan penemuan ISPA (Pneumonia) pada balita tahun 2010 sebesar
23% yang berarti masih jauh dari target tahun 2010 yaitu sebesar 60% (Kemenkes RI,
2011)
6. Penanggulangan dan Pencegahan ISPA
Menurut Depkes RI (2002) pencegahan penyakit ISPA ialah suatu upaya kita untuk mencegah
terjadinya suatu penyakit ISPA diantaranya adalah :
a. Pencegahan ISPA
1. Pencegahan terhadap dropflet infection
- Batuk memakai sapu tangan atau tissue
- Hawa kamar harus cukup segar
- Bila perlu perawatan memakai masker
- Berludah jangan sembarang
2. Pencegahan terhadap infectie melalui debu
- Usahakan lingkungan rumah jangan terlalu banyak debu
- Bila akan memberihkan debu dilantai, hendaknya disiram dulu (dipercik
dengan air) supaya debu tidak melayang
- Alat – alat tenu harus tetap bersih
- Alat – alat tidur, kasur, bantal – bantal harus sering dijemur
b. Penanggulangan ISPA:
Penanggulangan ISPA yaitu:
- Pemberian anti piretik seperti paracetamol, untuk menurunkan suhu tubuh
- Pemberian anti biotik untuk membunuh kuman seperti: benzil penisilin,
kotrimokasol, klorampenicol, gentamisin, streptomisin dan klikasilin.
- Pemeberian obat batuk atau pelega tenggorokan
- Penanganan cairan dengan seksama
- Pemeberian ASI adalah yang terbaik
- Membersihkan hidung dengan menggunakan sapu tangan/tissue yang bersih
(depkes RI. 2010)
7. Derajat Kesehatan
Derajat kesehatan suatu masyarakat dipengaruhi oleh beberapa komponen,
komponen tersebut harus baik agar derajat kesehatan masyarakat juga baik. H.L Blum
membagi empat komponen herediter, pelayan kesehatan , gaya hidup dan lingkungan.
H.L Blum menjabarkan teori tersebut melalui bagan berikut :
Bagan derajat kesehatan (H.L Blum)
Keempat komponen tersebut disamping berpengaruh langsung terhadap kesehehatan juga
saling mempengaruhi satu dengan yang lainya. Statusnmya kesehatan akan tercapai secara
optimal pula, salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu atau tidak optimal
maka status kesehatan akan tergeser kearah dibawah optimal.
8. Faktor-Faktor yang berhubungan dengan ISPA
Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor
individu anak, serta faktor perilaku (Depkes RI 2007).
Derajat Kesehatan
Keturuna
Lingkungan
Perilaku
PelayananKesehatan
A. Faktor lingkungan
1. Pencemaran udara dalam rumah
a. Kebiasaan meroko keluarga didalam rumah
Dampak roko tidak hanya mngancam siperokok tetapi juga orang
disekitarnya atau perokok pasif (detik health. 2011). Berdasarkan laporan
Badan Lingkungan Hidup Amerika (EPA/ Envirotmental Protection
Agency) mencatat tidak kurang dari 300 ribu anak berusia 1 – 5 tahun
menderita infeksi saluran pernafasan karena turut menghisap asap rokok
yang dihembuskan orang disekitarnya terutama ayah dan ibunya (Ramli,
2011)
Populasi yang sangat rentan terhadap asap roko adalah anak – anak,
karena merea menghirup udara lebih sering dari pada orang dewasa.
Oragan anak kecil masih lemah sehingga rentan terhadap gangguan dan
masalah dapat berkembang sehingga jika terkena dampak buruk maka
perkembangann organ tidak sesuai dengan semestinya (depkes RI, 2008)
b. Penggunaan obat nyamuk
Obat nyamuk mengandung bahan aktif yang termasuk bahan organofosfat.
Bahan aktif ini adalah dichlocovynil dimethil phosfat (DDVP), prospoxur
(karbamat), dan diethylotuamide, yang merupakan jenis insektisida
pembunuh serangga.
Resiko terbesar terdapat pada obat nyamuk bakar karena secara langsung
mengeluarkan asap yang dapat terhirup. Sementara obat nyamuk semprot
berbentuk cair memiliki konsentrasi yang berbeda karena cairan yang
dikeluarkan akan diuabah menjadi gas. Artinya, dosis lebih kecil.
Sementara obat nyamuk elektrik lebih kecil lagi karena bekerja dengan
cara mengeluarkan asap , tetapi dengan daya elektrik.
Dengan demikian makin kecil dosis bahan zat aktif, makin kecil pua bayu
yang ditimbulkan. Sekaligus, makin minim pula kemumgkinan
mangganggu kseshatan manusia yang ada disekitarnyta, ada beberapa cara
yang aman untuk penggunaan oabat nyamuk bakar, anatara lain
1. Ruangan harus ada ventilasi sehingga sirkulasi udara cukup
2. Diletakkan dibawah tempat tidur karena targetnya adalah nyamuk
bukan manusia
3. Diletakan searagh dengan aliran udara segingga tidak mnggagu
pernafasan
4. Letakkan obat nyamuk bakar dengan arak paling dekat 1,5 meter dari
manusia
5. Bila memilikoi gangguan asma, maka sebaiknya gunakan obat nyamuk
bakar pada sire hari sebelum masuk kamar. Dan keluarkan ketika akan
tidur sehingga tidak mengganggu pernafasan
Gangguan pada organ tubuh bisa rejadi jika pemakaian obat nyamuyk
tidak terkontrol seghingga dipakai dalam dosis yang berlebihan (Ditjen
Pengendalian Bersumber nBinatan( Dit P2B2), 2011)
c. Proses pengolahan sampah rumah tangga
Dalam jangka waktu yang pendek, kelihatanya pembakaran sampah di
pekarangan rumah setiap hari lebih praktis dan lebih hemat dari pada
harus menjalankan proses daur ulang yang panjang. Tapi dalam jangka
waktu yang panjang, cara – cara seperti ini sebenarnya lebih meerugikan
individu yang besangkutan, komunitas, dan lingkungan secara
keseleruhan.
Polusi yang kelihatannya sedikit ini lama – lama akan menjadi bukit.
Polusi ini perlahan – lahan akan membuat sebagian orang seharusnya
hodup sehat menjadi sakit, antara alain sakit gangguan pernafasan (asma,
paru – paru dll)
Pembakaran samah rumah tangga pada kondisi pembakaran dan suhu yang
rendah dapat menimbulkan gas racun dioksin dan furan. Dioksin bersifat
ada terus menerus atau persistent dan terakumulasi secara biologi
(bioacumulated), dab tersebar di dalam lingkungan dalam konsentrasi
yang rendah.
Tingkat konsentrasinya rendah, sampai parts per trilion ( satu per 10
pangkat 12), terakumulasi sepanjang kehidupan dan ada teus menerus,
walaupun tidak ada penambhan lagi kedalam lingkungan, hal ini dapat
meningkatkan resiko terkena kangker dan efek lainya terhadap binatan dan
manusia (suamiku, 2011)
2. Keadaan ventilasi udara dirumah
Terdapat vebntilasi yang baik seingga terjadi pertukaran udara dalam ruangan,
tersedia lubang udara yang cukup dan dibersihkan secara berkala. Ventilasi
mempunyai banyak fungsi, fungsi pertama adalah menjaga agar aliran udara
didalam ruangan tersebut tetap segar, fungsi kedua adalah untuk membebaskan
udara ruangan dari bakteri – bakteri terutama bakteri pathogen, karena disitu
selalu menjadi aliran udara yang terus menerus.
Fungsi lainya adalah menjaga agar ruangan tetap didalam kelembaban yang
optimun ukuran ventilasi udara yang memenuhi standar kesehatan adalah minimal
10% luas lantai ruang (Depkes RI, 2004)
B. Karakteristik Ibu
1. Pendidikan ibu
Menurut nonoatmodjo (2003) tingkat oendididkan sangat berpengaruh terhadap
pengetahuan khususnya dalam pembentukan perilaku, semakin tinggi tingkat
kecerdasan seseorang tentang suatu hal dan semakin matangf pertimbangan
seseorang untuk mengambil sebuah keputusan
Pendidikan merupakan upaya nyata untuk memfasilitasi individu dalam mencapai
kemandirian serta kematangan mentalnya sehingga dapat survive didala
kompentesni kehidupan atau usaha sadar dan terencana secara aktif untuk
mengembangkan diri (UU normor , 20 tahub 2003).
Penyerapan informasi yang beragam dan berbeda dipengaruhi oleh tingakt
pendidikan. Pendidikan akan berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan manusia
baik pikiran, perasaan maupun sikapnya, semakin tinggi tingkat pendidikan
semakin tinggi pula kemampuan dasar yang dimiliki seseorang, khususnya dalam
melakukan perawatan terhadap balitanya dan kondisi lingkungan ruamhnya
( tingkat pendidikan dapat mendasari sikap ibi dalam menyerap dan mengubah
sisten informasi)
2. Pengetahuan ibu
Pengetahuan merupakan suatu wawasan yang akan menyebabkan perubahan
seseorang dala bersikap dan bertindak dalam mengatasi permasalahan yang
timbul dalam kehidupan, pengetahuan yang baik dan benar akan membimbing
seseorang untuk merubah perilaku baru kearah yang lebih baik. Ibu dengan
pengetahuan rendah mempunyai resiko sebasar 4.9 kali untuk mnegatasi ISPA
tidak tepat ketika bayi dan balitanya sakit dibandingkan dengan ibu dengan
pengetahuan yang tepap (sutrisna, 1993)
3) status bekerja ibu
Ibu yang bekerja diluar rumah hanya mempercayakan pengasuhan anaknya
kepada pengasuh, dimana pengasuh tersebut kadang kurang memperhatikan
asupan makanan anaknya yang berdampak kepada kesehatan balita tersebut
sehingga balita tersebut mudah terserang penyakit, meskipun si ibu sudah
menyiapkan makanan yang sehat namun itu tidak menjamin anaknya akan
memakan makanan yang sudah disiapaan si ibu yang bekerja tersebut (Ayu, 2008)
Sedangkan pada ibu yang tidak bekerja lebih banyak menghabiskan waktu untuk
mengasuh anaknya, dengan demikian anaknya dapat terpantau dengan baik jika
ibu memiliki pengetahuan yang baik perihal mengasuh anak maka asupan makan
dan pola asuhnya akan baik yang berdampak baik bagi pertumbuhan dan
perkembangan anaknya (Ayu, 2008)
3) kepadatan hunian rumah
Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan nomor
829/MENKES/SKVII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang
minimal menempati luas rumah 8m². dengan criteria tersebut diharapkan dapat
mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Keadaan tempat tinggal
yang padat dapat meningkatkan factor polusi dalam rumah yang telah ada.
c. factor individu balita
1) umur
Sejumlah studi yang besar menunjukan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus
melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden
ISPA tertinggi pada umur 6-12 bulan (Elisabeth BH, 2003).
Anak umur 2 tahun mempunyai risiko terserang infeksi saluran pernapan akut lebih
besar daripada anak diatas 2 tahun sampai 5 tahun, keadaan ini karena pada anak
dibawah umur 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran saluran
pernapasannya relative sempit (Rizandi, 2006).
2) jenis kelamin
Berdasarkan pada Pedoman Kerja Jangka Menengah Nasional Penanggulangan
Pneumonia Balita Tahun 2005-2009, anak laki-laki memiliki risiko lebih tinggi
daripada anak perempuan untuk terkena ISPA.
Jenis kelamin dianggap dapat mempengaruhi tingkat keparahan suatu penyakit
ataupun kekbalan tubuh balita dalam menghadapi penyakit infeksi. Penelitian yang
telah dilakukan di Buenos Aires, Argentina menunjukan bahwa pemberian ASI lebih
memberikan perlindungan kepada bayi perempuan daripada bayi laki-laki dan
pemberian susu formula pada bayi perempuan dapat meningkatkan kejadian ISPA
pada bayi tersebut (Polack, 2008)
Penyakit ISPA dapat terjadi pada setiap orang dengan tidak memandang suku, ras,
agama, umur, jenis kelamin dan status social.
Namun insiden ISPA pada anak balita berdasarkan jenis kelamin disebutkan bahwa
insiden ISPA pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan (Anom, 2006)
3) berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada
msa balita. Bayi dengan berat badna lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian
yang lebih besar dibandingkan dnegan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-
bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat kekbalan tubuh kurang sempurna
sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran
pernapsan lainnya (Depkes, 2002).
4) status gizi
Status gizi menjadi indicator ketiga dalam menentukan derajat kesehatan anak. Status
gizi yang baik dpat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak untuk
mencapai kematangan yang optimal. Gizi yang cukup juga dapat memperbaiki
ketahanan tubuh sehingga diahrapkan tubuh akan bebas dari segala penyakit. Status
gizi ini dapat membantu untuk mendeteksi lebih dini risiko terjadinya masalah
kesehatan. Pemantauan status gizi dapat digunakan sebagai bentuk antisipasi dalam
merencanakan perbaikan status kesehatan anak (Aziz, 2002)
5) vitamin A
Vitamin A sebagai slah satu factor yang dapat menurunkan kejadian ISPA, vitamin A
mengatur system kekebalan tubuh (imunitas).
System kekbalan membantu mencegah atau melawan infeksi dengan cara membuat
sel darah putih yang dapat mengahancurkan berbagai bakteri dan virus berbahaya.
Vitamin A dapat membantu limfosit (salah satu tipe sel arah putih) untuk berfungsi
lebih efektif dalam melawan infkesi (Astawan.M, 2003)
Pemberian suplementasi vitamin A pada anak balita sangat berperan untuk masa
pertumbuhan, daya tahan tubuh dan kesehatan terutama pad apenglihatan. Vitamin A
esensial untuk kesehatan dan kelangsungan hidup karena dapat meningkatkan daya
tahan tubuh terhadap infeksi.
Kekurangan Vitamin A (KVA) dapat menyebabkan fungsi kekbalan tubuh menurun,
sehingga mudah terserang infeksi. Lapisan sel yang menutupi trakea dan paru-paru
mengalami keratinisasi, tidak mengeluarkan lender, sehingga mudah dimasuki
mikroorganisme atau virus, dan menybabkan infeksi saluran pernapasan.
Berbagai penelitian menunjukan bahwa suplai vitamin A dapat menurunkan 23%
angka kematian akibat ISPA. Perbedaan kematian antara anak yang kekurangan
dengan anak yang tidak kekurangan vitamin A kurang lebih sebesar 30% (Almatseir,
2006
6) status imunisasi
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan
alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematia ISPA
berasal dari jensi ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, makan peningkatan cakupan imunisasi
akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA.
Untuk mengurangi factor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi
lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita
ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.
Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak
an pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian
pneumonia balita dapat dicegah dengan imunisasi (DPT) 6% kematian pneumonia
dapat dicegah (Wahab,2000).
Jenis, manfaat dan jadwal imunisasi dasar pada balita (Rezeki dkk, 2011) antara lain:
A. BCG
Vaksin BCG diberikan sebelum berumur 3 bulan, namun untuk mencapaui cakupan
yang lebih luas, Kementrian Kesehatan mengajukan vaksin BCG pada umur antara 0-
12 bulan. Vaksin BCG disuntuka didaerah lengan kana atas sesuai anjuram WHO,
karena lebih mudah dilakukan. Vaksinasi BCG dapat mencegah tuberculosis berat di
otak, paru dan organ tubuh lain.
B. Hepatitis B
Vaksin hepatitis B (Hep B) pertama kali diberikan setelah lahir, karena vaksi n Hep B
merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai
penularan dari ibu kepada bayinya segera setelah lahir. Hep B 2 diberikan setelah satu
bulan setelah imunisasi Hep B 1 yaitu pada saat bayi berumur 1 bulan. Imunisasi Hep
B 3 diberikan pada umur 3-6 bulan. Vaksin Hep B dapat mencegah radang hati dan
kangker virus hepatitis B.
C. Polio
Terdapat 2 jenis vaksin polio yang berisi virus polio-1,2 dan 3.
- OVP (oral polio vaccine), berisi vaksin hidup dilemahkan, diteteskan dimulut
- IPV (inactivated polio vaccine), berisi vaksin in-aktif, disuntikkan.
Polio-0 diberikan pada saat bayi lahir sesuai pedoman Kemenkes sebagai tambahan
untuk mendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi. Mengingat OPV berisi virus polio
hidup maka diberikan pada saat bayi meninggalkan rumah sakit/rumah tidak
mecemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat ditularkan melalui tinja.
Untuk imunisasi dasar (polio-2,3,4) dinerikan pada umur 2,4 dan 6 bulan, interval
antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu. Vaksin polio dapat mencegah
kelumpuhan akibat virus polio.
A. DPT
Imunisasi DPT diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DPT tidak boleh diberikan
sebelum umur 6 minggu) dengan jarak 4-8 minggu. DPT-1 diberikan pada umur 2 bulan,
DPT -2 umur 4 bulan dan DPT-3 pada umur 6 bulan. Vaksin DPT dapat mencegah
penyakit difteri, pertusis dan tetanus.
B. Campak
Vaksin campak disuntikkan pada umur 9 bulan. Dari hasil studi Badan Penelitian
dan Pengembangan dan Dirjen PPM & PL Kementrian Kesehatan di 4 provinsi, 18,6%-
32,6% anak sekolah mempunyai kadar campak dibawah batas perlindungan, sehingga
dijumpai kasus campak pada usia sekolah. Vaksin campak dapat mencegah penyakit
campak berat yang dapat menyerang paru, otak dan pencernaan.
7) ASI Ekslusif
ASI Ekslusif adalah pemberian ASI saja pada bayi sampai usia 6 bulan tanpa
tambahan cairan apapun atau makanan lainnya (WHO,2009). Menurut Depkes RI 2005,
ASI Ekslusif adalah pemberian hanya ASI saja tanpa makanan dan minuman lain. ASI
Ekslusif dianjurkan sampai 6 bulan pertama kehidupan (Depkes RI,2005)
ASI adalah cairan putih yang dihasilkan oleh kelenjar payudara ibu melalui proses
menyusui , ASI merupakan makanan yang disiapkan untuk bayi mulai masa kehamilan
payudara sudah mengalami perubahan untuk memproduksi ASI. Makanan-makanan yang
diramu menggunakan teknologi modern tidak bisa menandingi keunggulan ASI karena
ASI mempunyai gizi yang tinggi dibandingkan dengan makanan buatan manusia ataupun
susu yang bersal dari hewan sapi, kambing atau kerbau.
ASI Ekslusiif diberikan kepada bayi dengan alsan Karenna didalam ASI
mengandung banyak manfaat dan kelebihan, antara lain menurunkan resiko penyakit
infeksi misalnya diare, ISPA, infeksi telinga. Disamping itu ASI juga bisa mencegah
penyakit non infeksi misalnya alergi, obesitas, kurang gizi, asma dan eksem. ASI juga
dapat meningkatkan kecerdasan anak (Utami, 2000)
2) Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi
dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA dikeluarga baik yang dilakukan
oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari
masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan yang
lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu ataupun beberapa anggota
keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota
keluarga lainnya.
Peran aktif keluarga masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena
penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau
keluarga. Hal ini perlu medapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini
sering meyerang balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang sebagian besar
dekat dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika
anaknya sakit.
Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini pneumonia dan
kapan mencari pertolongan dan rujukan pada system pelayanan kesehatan agar penyakit
anak balitanya tidak menjadi lebih berat. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan
jelas bahwa peran keluarga dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA
sangatlah penting, sebab bila praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang
kurang/baik akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi
bertambah berat (Imran, 1990)
9) Balita
Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun (anak usia
dibawah lima tahun) (WHO 2000). Masa balita merupakan periode penting dalam proses
tumbuh kembang manusia, pertumbuhan dan perkembangan di masa itu menjadi penentu
keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya (Aziz, 2009).
10. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
Manajemen Terpadu Balita Sakit adalah suatu manajemen untuk balita sakit yang
datang di pelayanan kesehatan, dilaksanakan secara terpadu, baik mengenai beberapa
klasifikasi penyakit, status gizi, staus imunisasi maupun penanganan balita sakit tersebeut
dan konseling yang diberikan.
MTBS merupakan manajemen anak sakit untuk 2 kelompok usia yaitu kelompok
usia 7 hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun. Protocol MTBS
dikemas dalam satu buku bagan. Bagan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah
petugas kesehatan mengikuti setiap langkah untuk memeriksa balita sakit. Petugas
kesehatan akan mudah mengikuti langkah-langkah yang ada dalam bagan tersebut. Setiap
langkah dengan maksud tertentu tertulis dalam bagan tersebut dengan bentuk tanda
khusus dalam kotak, baris dengan warna dasar tertentu dan tulisan dengan huruf cetak
biasa dan cetak teb.
Upaya pemerintah dalam menekan angka kematian akibat pneumonia diantaranya
melalui penemuan kasus pneumonia balita sedini mungkin di pelayanan kesehatan dasar,
penatalaksanaan dan rujukan. Adanya keterpaduan dengan lintas program melalui
pendekatan MTBS di puskesmas serta penyediaan obat dan peralatan puskesmas
perawatan dan di daerah terpencil (Depkes RI, 2007)
Faktor Penunjang Karakteristik individu balita:Umur Jenis KelaminBerat badan lahirStatus imunisasiStatus giziASI EkslusifVitamin A Karakteristik keluarga balita:status bekerja ibupendidikan ibuSosio ekonomiPengetahuan ibu Perilaku :Praktik penanggulangan ISPA Etiologi :Parasit BakteriVirus
Faktor PenguatFaktor pelayanan kesehatan :
UKM
ISPA pada anak usia 0-5 tahun
Faktor PemungkinLingkungan :
Ventilasi rumahPencemaran udara dalam
rumahKepadatan hunian
B. Kerangka Teori
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di adopsi
dari teori factor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan H.L Blum 1981 dan faktor-faktor
yang mempengaruhi ISPA Depkes RI, 2007
Gambar.3
Kerangka Teori
C. Kerangka Konsep
Gambar.4
Kerangka Konsep
Variabel DependentVariabel Independent
Faktor lingkungan :
Pencemaran udara dalam rumah
- Kebiasaan merokok keluarga di dalam rumah
- Penggunaan obat nyamuk
- Proses pengolahan sampah rumah tangga
Keadaaan ventilasi udara dirumah
Karakteristik individu balita :
Umur Jenis Kelamin Berat badan lahir Suplementasi vitamin A Status imunisasi ASI ekslkusif
Karakteristik ibu balita :
Pendidikan ibu Pengetahuan ibu Status bekerja ibu
RIWAYAT ISPA PADA BALITA
D. Hipotesis
Hipotesis ini menyatukan bahwa adanya suatu hubungan, pengaruh dan perbedaan antara
dua atau lebih variable (Nursalam, 2009)
1. Ada hubungan factor lingkungan pencemaran udara dalam rumah (kebiasaan
merokok keluarga dalam rumah, penggunaan obat nyamuk, dan proses
pengolahan sampah rumah tangga) dengan kejadian ISPA pada balita di
Puskesmas Kecamatan Koja pada Tahun 2012.
2. Ada hubungan ventilasi udara dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas
Kecamatan Koja pada Tahun 2012.
3. Ada hubungan karakteristik individu balita (umur, jenis kelamin, berat badan
lahir, suplementasi vitamin A, ASI Eksklusif dan status imunisasi) dengan
kejadian ISPA pada balita di Puskesma Kecamatan Koja pada Tahun 2012.
4. Ada hubungan karakteristik orang tua (ibu) (pendidikan, pengetahuan, dan
pekerjaan) dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Kecamatan Koja pada
Tahun 2012.
BAB III
Metedologi penelitian
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Kecamatan Koja Jakarta Utara pada tahun
2013. Penelitian ini membahas bagaimana faktor-faktor yang berhubungan dengan
Riwayat infeksi saluran pernapasan akut pada balita (12-59) di Puskesmas Kecamatan
Koja. Penelitian ini menggunakan studi kuantitatif dengan pengumpulan data primer dan
data sekunder.
B. Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah cross ssectional yang mempelajari kejadian ISPA pada
balita denga karakteristik balita (umur, jenis kelamin, berat badan lahir, suplementasi
kapsul vitamin A, dan status imunisasi), karakteristik orang tua (ibu) (pendidikan,
pengetahuan dan pekerjaan) dan faktor lingkungan : pencemaran udara dalam rumah
(kebiasaan merokok keluarga dalam rumah, penggunaan obat nyamuk dan proses
pengolahan sampah rumah tangga) dan ventilasi udara. Dengan teknik sampling
Accidental sampling dimana penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja
yang kebetulan/Accidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila
dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data.
C. Kriteria Penelitian
Criteria penelitian dalam penelitian ini yaoitu sebagai berikut:
5. kriteria inklusi
kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap
anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel (nonoatmodjo, 2010) yaitu
sebagai berikut:
a. Balita usia 12-59 bulan yang berkunjung ke poli MTBS puskesmas
kecamatan koja
b. Bersedia menjadi responden dan dapat memahami bahasa
indonesia
c. Balita yang mempunyai riwayat kejadian ISPA dalam kurun waktu
kurang dari 2 minggu
6. Kriteria ekslusi
kriteria eksklusi adalah yang sudah masuk kriteria inklusi namun dikeluarkan lagi
sehingga lingkupnya di perkecil lagi agar tidak menimbulkan bias (nonoamodjo,
2010) yaitu sebagai berikut:
a. Balita yang memiliki riwayat penyakit gangguan saluran
pernafasan sejak lahir
b. Balita yang memiliki penyakit kronis
c. Balita yang menderita ispa lebih dari 2 minggu
D. Variable dan Definisi Operasional Variable
1. Variable
Berdasarkan pada kerangka konsep penelitian maka penulis mengelompokkan
variable menjadi dua bagian, yaitu:
a. Variable mempengaruhi (independent)
Variable independent dalam penelitian ini adalah karakterristik anak: jenis
kelamin, umur, berat badan lahir, status suplementasi vitamin A, status
imunisasi.
Karakteristik ibu: penididikan, penegetahuan, dan status bkerja ibu. Serta
karakteristik lingkungan: proses pengolhan sampah rumah tangga, ventilasi
udara, penggunaan obat nyamuk, dan kebiasaa meroko keluarga didalam
ruamh.
b. Variable dipengaruhi (dependent)
Variable dependent dalam penelitian ini adalah kejadian infeksi saluran
pernafasan akut (ispa) pada balita.
2. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional ini bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau
pengamatan terhadap variable – variable yang bersangkutan serta pengembangan
instrument (alat ukut) (nonoatmodjo, 2005). Untuk lebih memudahkan penulisan
dalam memahami penelitian ini, maka akan dijelaskan variable-variabel yang diteliti
dalam bentuk define operasional, kategori, skala ukur, dan cara ukur yang digunakan
No Variabel Definisi
Operasional
Alat ukur Cara
Ukur
Hasil ukur Skala
1 Riwayat ISPA pada balita
Balita pernah
mengalami infeksi
saluran pernapasan
akut yang
berlangsung sampai
14 hari ( saluran
pernapasan adalah
organ dari hidung
sampai gelembung
paru. Beserta organ-
organ disekitarnya :
sinus, ruang telinga
tengah dan selaput
paru), dengan gejala
batuk dan pilek
(Depkes RI, 2007)
Wawancara kuesioner 1. Ya, bila anak
mengalami ISPA
dalam 6 bulan
terakhir
2. Tidak, bila anak
tidak mengalami
ISPA dalam 6
bulan terakhir
Ordinal
2 Kebiasaan
merokok didalam
rumah
Terdapatnya
seseorang anggota
atau lebih yang
menghisap rokok
dalam rumah
(Depkes, 2002)
Wawancara Kuesione
r
1. Ada, bila ada
anggota
keluarga yang
merokok
didalam rumah
2. Tidak, Bila
tidak ada
anggota
keluarga yang
Ordinal
merokok
didalam rumah
3 Penggunaan obat
nyamuk
Jenis obat nyamuk
yang dipakai
didalam rumah yang
mengandung
senyawa kimia dan
parikular yang
dilepaskan keudara
ketika digunakan
(Depkes RI, 2002)
Wawancara Kuesione
r
1. Bakar
2. Non bakar
(semprot,
bodylotion,
elektrik/listrik)
3. Tidak pakai
Nominal
4 Proses
pengolahan
sampah rumah
tangga
Proses untuk
mengubah
karakteristik dan
komposisi sampah
yang dilakukan
anggota keluarga
untuk
menghilangkan dan
mengurangi sifat
bahaya atau sifat
racun (Gatut et al,
2007)
Wawancara Kuesione
r
1. Dibakar
2. Tidak dibakar
(dibuang
dilahan
kosong,
dibuang ke
kali/sungai,
ditimbun,
diangkut
prtugas
setempat,
diolah)
Ordinal
5 Keadaan ventilasi udara dirumah
Luas Penghawaan
atau ventilasi
alamiah yang
permanen minimal
10% dari luas lantai
(Myrnawati, 2004)
Wawancara Kuesione
r
1. Tidak
memeuhi
syarat
kesehatan
apabila luas
ventilasi
kurang dari
10% luas lantai
Ordinal
2. Memenuhi
syarat
kesehatan
apabila luas
ventilasi ≥10%
luas lantai
6 Umur Umur individu yang
terhitung mulai saat
dilahirkan sampai
berulang tahun
(Elisabeth BH
dalam Nursalam,
2003)
Wawancara Kuesione
r
1. ≤24 bulan
2. >24 bulan
Ordinal
7 Jenis kelamin Mengacu pada
status seks pada
balita seseorang,
terdiri dari tampilan
fisik yang
membedakan antara
laki-laki dan
perempuan
(Henderson,
Christine, 2006)
Wawancara Kuesione
r
1. Laki-laki
2. perempuan
Ordinal
8 Berat badan lahir Berat badan bayi
sesaat setelah lahir
(Depkes RI, 2002)
Wawancara Keusione
r
1. BBLR, jika
berat badan <
2500 gram
2. Normal, jika
berat badan
≥2500 gram
Ordinal
9 Suplementasi vitamin A
Pemberian vitamin
A kepada anak yang
Wawancara Kuesione
r
1. Tidak lengkap
2. lengkap
Ordinal
berusia 6-59 bulan
yang bertujuan
selain untuk
mencegah kebutaan
juga untuk
menanggulangi
kekurangan vitamin
A, yangdiberikan
pada bulan Februari
dan Agustus
(Depkes, 2006)
10 Status imunisasi Pemberian
imunisasi secara
lengkap kepada bayi
yaitu BCG 1kali,
DPT 3 kali, Polio 4
kali, Hepatitis B 3
kali, serta Campak 1
kali ( Depkes RI,
2002)
Wawancara Kuesione
r
1. Tidak lengkap
2. lengkap
Ordinal
11 ASI eksklusif Pemberian ASI saja
tanpa makanan dan
minuman tambahan
lain pada bayi
berumur 0-6 bulan
(WHO,2001)
Wawancara Kuesione
r
1. Tidak, bila
tidak sesuai
dengan definisi
ASI eksklusif
2. Ya, apabila
sesuai dengan
definisi ASI
eksklusif
Ordinal
12 Pendidikan ibu Jemjang
pendididkan
terakhir yang
Wawancara Kuesione
r
1. Rendah (tidak
sekolah, SD,
SLTP)
Ordinal
ditempuh oleh ibu,
terdiri atas
pendidikan dasar
(wajib belajar 9
tahun) dan
pendidikan tinggi
(UU No.20 tahun
2003 tentang system
pendidikan
nasional)
2. Tinggi (SLTA,
Perguruan
Tinggi)
13 Pengetahuan ibu Tingkat
pengetahuan ibu
yang
diklasifikasikan
berdasarkan
pengetahuan tentang
gejala, atau tanda
penyebab, cara
penularan, cara
pencegahan ISPA
(jurnal Kes-Mas
FKM UI, 2010)
Wawancara Kuesione
r
1. Kurang, jika
jawaban yang
benar <60%
2. Sedang, jika
jawaban yang
benar 60-80%
3. Baik, jika
jawaban yang
benar ≥80%
Ordinal
14 Status pekerjaan ibu
Kegiatan untuk
menambah mata
pencarian untuk
mencakup
perekonomian
keluarga. (Sarlito,
Sarwono, 1996)
Wawancara Kuesione
r
1. Bekerja
2. Tidak bekerja
Ordinal
E. Populasi dan Sample
1. Populasi Penelitian
Keseluruhan objek atau objek yang diteliti tersebut adalah populasi penelitian atau
universe (nonoatmojo, 2005). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pasien balita 12- 59 bulan yang dating berkunjung ke puskesmas ciracas
Jakarta timur khususnya poli MTBS November 2012
2. Sampel Penelitian
Sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi ini disebut “sampel peneliti” jumalag sampel.
Perhitungan sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus uji beda dua
proporsi 9lameshoe, et. Al, 1997) sebagai berikut:
n={ z
1−α2√P0 (1−P0 )+z1−β √ Pa (1−Pa ) }2
(Pa−P0)
n = besar sample minimum
1−α2
= nilai distribusi normal baku ( tabel Z) pada α tertentu
z1−β= nilai distribusi normal baku ( tabel Z) pada β tertentu
¿95%=1.96)
P0= proporsi di populasi (0.75) (Ria,2011)
Pa= perkiraan proporsi di populasi (15%=0.60)
(Pa−P0)= perkiraan selisih proporsi yang diteliti dengan proporsi di populasi
n=¿ 122
Dengan menggunakan rumusan tersebut. Maka diperoleh sampel minimal sebesar
122 responden
(dapet dari mana 122....??? tolong dirinci perhitungannya)
(nanti kami cari lagi dokter)
F. Teknik Pengambilan Sample
Dalam pengambilan sampel penelitian ini digunakan cara atau teknik-teknik
tertentu, sehingga sampel tersebut sedapat mungkin mewakili populasinya. Cara ini
biasanya disebut Accidental sampling dimana penentuan sampel berdasarkan kebetulan,
yaitu siapa saja yang kebetulan/incidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan
sebagai sampel bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber
data.
Didalam penelitian survey tehnik sampling ini sangat penting dan perlu
diperhatikan masak-masak. Sebab teknik pengambilan sampel yang tidak baik akan
mempengaruhi validitas hasil penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2005).
Bagaimana cara menentukan sampel dengan metode apa ini harus jelas dan pati akan jadi
pertanyaan di presentasi proposal dan kalian harus tahu kalau yg kalian tampilkan diatas itu
teorinya tapi riilnya seperti apa?? jelaskan
G. Pengukuran dan Pegamatan variable Penelitian
1. Pembuatan kuesioner
Pembuatan kuesioner dilakukan oleh peneliti sendiri, kuesioner terdiri dari 14
variabel yang akan diamati dan diambil datanya, adapun variabel-variabel yang ada
yaitu : variabel Dependen yaitu kejadian ISPA pada balita dan variabel Independen
terdiri dari : karakteristik anak (jenis kelamin, umur, berat badan, lahir, vitamin A,
status imunisasi, status ASI) karakteristik ibu (pendidikan, pengetahuan, pekerjaan)
karakteristik lingkungan (kebiasaan membuang sampah, asap dapur, ventilasi udara,
kebiasaan merokok didalam rumah, penggunaan obat nyamuk)
2. Pengukuran variabel
Pengukuran dalam penelitian ini merupakan jenis pengukuran kuantitatif, yaitu
melakukan identifikasi besar kecilnya variasi niai. Jadi yang diukur adalah
variabilitas dari suatu ciri subjek penelitian, hingga data yang didapatkan berupa data
kontinu dari skala nominal, ordinal dan interval. Variabel yang diamati melalui
pertanyaan dituangkan kedalam instrumen pengukuran atau kuesioner.
Untuk memudahkan pengukuran dan analisis bivariat, maka penulis
mengkategorikan beberapa variabel Independen dan variabel Dependen, dengan
terlebih dahulu memberikan skor terhadap pertanyaan. Adapun variabel yang diberi
skor adalah variabel pengetahuan ibu, variabel tersebut merupakan variabel dari
pertanyaan komposit. Sedangkan variabel yang lainnya tidak perlu diberi skor nilai
karena sudah dapat langsung dikategorikan.
Pada variabel pengetahuan dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu kurang jika
jawaban yang benar kurang dari 60%, sedang jika jawaban yang benar 60-80% dan
baik jika jawaban benar lebih dari atau sama dengan 80% (khomsan dkk, 2004)
Buat dummy tabelnya untuk setiap variabel masukkan ke dalam lampiran
(kami masih belum mengerti tentang dummy dokter, maaf sebelumnya bisa di
beri contoh)
H. Uji Validitas dan Uji Reabilitas
Uji validitas dan reabilitas dilakukan ditempat yang berbeda dari tempat
penelitian yang dilakukan pada bulan Oktober 2013.
1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang ingin diukur (Notoatmodjo, 2005). Validitas pengukuran
berkaitan dengan tiga unsur (Pratiknya, 1986) yaitu :
a) Alat ukur
b) Metode ukur
c) Pengukur (peneliti)
Dari pengertian tersebut diketahui bahwa walaupun seorang peneliti telah
memilih alat dan metode yang baku atau valid, tetapi kalau pelaksanaan pengukuran
kurang tepat dan teliti maka hasilnyapun tidak akan valid (Pratiknya, 1986).
Pada penelitian ini penulis menggunakan validitas isi yaitu suatu alat ukur
pengukuran ditentukan sejauh mana isi alat tersebut mewakili semua aspek yang
dianggap sebagai aspek kerangka konsep.
Teknik kolerasi yang dipakai adalah teknik kolerasi “Product Moment” yang
rumusnya sebagai berikut (Notoatmodjo, 2005) :
R=N ( Σ XY )−(Σ X Σ Y )
√¿¿¿
Keputusan uji :
Bila r hitung lebih besar dari r tabel Ho ditolak, artinya variabel valid.
Bila r hitung lebih kecil dari r tabel Ho gagal ditolak, artinya variabel tidak valid
Setelah kuesioner pengetahuan divaliditaskan menurut definisi operasional
(pengertian ISPA, bagian saluran pernafasan yang terkena ISPA, gejala pada penyakit
ISPA, resiko yang menyebabkan anak terkena ISPA, penyebab terjadinya ISPA, cara
efektif mencegah ISPA, pencegahan penularan ISPA, gejala ISPA anak dibawah 2 bulan,
tindakan yang ibu lakukan ketika anak ISPA, yang harus dihindari ketika anak demam,
suhu tubuh anak ketika demam), kemudian diteliti melalui uji validitas, ternyata hanya
ada 4 pertanyaan yang valid, yaitu pertanyaan 1 (0.582), pertanyaan 2 (0.430), pertanyaan
5 (0.508) dan pertanyaan 10 (0.508), dimana r hitung lebih besar dari r tabel (0.3598).
Sementara untuk pertanyaan yang tidak valid, uji kuesioner hanya dilakukan satu
kali tetapi telah dilakukan beberapa modifikasi pada pertanyaan-pertanyaan yang tidak
valid tanpa merbuah struktur variabel pada definisi operasional yang akan diteliti untuk
dijadikan kuesioner pada penelitian. Pengukuran yang valid adalah pengukuran yang
reliabel, tetapi sebaliknya pengukuran yang reliabel belum tentu valid, kalau ketepat
ukuran tidak terpenuhi (Pratiknya, 2000)
2. Uji Realibilitas
I. Pengumpulan Data
J. Pengolahan Data
K. Teknik Analisis Data