Download - Proposal Putry Miranty
1
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK SETTING KOOPERATIF (RESIK) DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA DI MTSN DANGUNG-DANGUNG
PROPOSAL
Diajukan untuk memenuhi tugas MP3M
Oleh:MIRANTI PUTRINIM: 2411.012
PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)BUKITTINGGI
2013
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan ilmu dasar dalam pendidikan dan telah
dijadikan sebagai mata pelajaran wajib sejak bangku sekolah dasar sampai
menengah. Untuk dapat menjalani pendidikan dengan baik dan lancar selama
di bangku sekolah, penguasaan matematika yang baik bagi peserta didik
adalah sesuatu yang semestinya dilakukan.
Cornelius dalam Mulyono Abdurrahman mengemukakan bahwa, ada
lima alasan perlunya belajar matematika, karena matematika merupakan:
1. Sarana berpikir yang jelas dan logis2. Sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari3. Sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman4. Sarana untuk mengembangkan kreatifitas5. Sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap pekembangan
budaya.1
Mengingat pentingnya matematika di sekolah, maka pemerintah telah
melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan mutu dan sistem pengajaran
matematika, diantaranya meningkatkan kualitas guru, melengkapi sarana dan
prasarana pendidikan matematika serta menyempurnakan kurikulum.
Upaya pemerintah dalam penyempurnaan dan pengembangan
kurikulum salah satunya adalah diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). KTSP merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh
1 Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 253
1
3
pemerintah agar membawa perbaikan di dunia pendidikan. Seperti halnya
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dalam KTSP kegiatan pembelajaran
merupakan kegiatan aktif bagi peserta didik dalam membangun makna atau
pemahaman suatu konsep, sehingga dalam proses pembelajaran tersebut
peserta didik merupakan pusat kegiatan atau pelaku utama sedangkan guru
hanya sebagai fasilitator atau motivator.
Pembelajaran matematika seperti pada fenomena di atas masih belum
dapat melibatkan siswa secara aktif di dalam menemukan konsep-konsep
matematika itu sendiri. Hudoyo mengatakan bahwa: “Belajar matematika
berarti belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur yang terdapat
dalam bahasan yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep
dan struktur-struktur tersebut”.2 Oleh karena itu, pembelajaran matematika
yang diberikan harus lebih bermakna agar siswa tidak kesulitan memahami
konsep-konsep matematika dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata
siswa.
Selama ini dalam proses pembelajaran, sebagian besar pengetahuan
yang diperoleh dari guru hanya diterima secara pasif oleh siswa, sehingga
menjadikan matematika tidak bermakna bagi mereka. Dengan demikian,
dalam proses pembelajaran siswa diharapkan harus aktif menggali
pengetahuannya. Siswa harus aktif berkreasi (untuk mendapatkan)
pengetahuan yang ingin dimilikinya. Disamping itu, peran guru selain
mentransfer ilmu pengetahuan, juga diharapkan dapat menciptakan kondisi
2 Herman Hudoyo, Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika, (Malang: UNM, 2003), h. 123
4
belajar yang kondusif serta merencanakan jalannya proses pembelajaran
yang representatif secara realistik bagi siswa dalam memperoleh pengalaman-
pengalaman belajar yang optimal.
Pembelajaran matematika akan lebih bermakna dan menarik bagi
siswa apabila dalam penyampaian materi, guru menghadirkan masalah-
masalah yang kontekstual dan realistik, yaitu masalah-masalah yang sudah
dikenal dan dekat dengan kehidupan nyata sehari-hari siswa. Masalah
kontekstual dapat digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika
dalam membantu siswa mengembangkan pengertian terhadap konsep yang
dipelajari. Masalah kontekstual ini dapat digali dari situasi personal siswa,
dan situasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa, serta situasi
yang berkaitan dengan sekolah dan masyarakat.
Kesulitan dalam memahami matematika dewasa ini terutama
disebabkan oleh karena matematika banyak menggunakan sesuatu yang
abstrak, metode dan strategi yang digunakan dalam proses pembelajaran
kurang bervariasi, serta materi yang disajikan hanya berdasarkan teori yang
ada di dalam buku saja. Hal ini mengakibatkan motivasi siswa untuk belajar
rendah, sehingga pada akhirnya berimbas pada rendahnya hasil belajar
matematika yang diperoleh siswa.
Fenomena di atas, juga peneliti jumpai pada MTsN Dangung-dangung
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara peneliti dengan salah seorang
guru matematika yang mengajar di kelas VIII MTsN Dangung-dangung,
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika yang berlangsung di
5
MTsN Dangung-dangung telah menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), tetapi dalam pelaksanaannya tujuan KTSP itu belum
tercapai sebagaimana mestinya.
Berdasarkan hasil observasi tersebut, dalam proses pembelajaran
peran guru masih dominan atau disebut juga proses pembelajaran berpusat
pada guru, sementara siswa hanya mendengar, memperhatikan, mencatat dan
mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan guru. Selain itu, siswa lebih
suka menunggu pelajaran atau konsep yang diberikan oleh guru dari pada
menemukan sendiri konsep tersebut. Siswa juga lebih suka menghafal
rumus-rumus yang diberikan karena siswa tidak terbiasa menemukan rumus-
rumus yang diberikan oleh guru. Hal tersebut terjadi disebabkan karena dalam
proses pembelajaran guru kurang mengaitkan materi pelajaran dengan
masalah-masalah kontekstual yang erat dengan kehidupan nyata siswa,
sehingga matematika bersifat abstrak dan sulit untuk dipahami oleh siswa.
Fenomena di atas menyebabkan rendahnya aktivitas dan hasil belajar
matematika yang diperoleh oleh siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil ujian
Mid semester genap matematika siswa kelas VIII MTsN Dangung-dangung
yang masih banyak mendapatkan nilai di bawah Kriteria Ketuntasan
Minimun (KKM) yang ditetapkan yaitu 65, sebagaimana yang terlihat pada
Tabel 1:
Tabel 1. Persentase Nilai Ujian Mid Semester Genap Matematika Siswa Kelas VIII Tahun Pelajaran 2013/2014
No KelasJumlah Siswa
Penyebaran Nilai Siswa (%)< 65 ≥ 65
1 VIII.1 26 22 84.62 4 15.382 VIII.2 28 20 71.43 8 28.57
6
3 VIII.3 28 18 64.29 10 35.714 VIII.4 29 22 75.86 7 24.14
Sumber : Guru Matematika MTsN Dangung-dangung
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa persentase siswa yang tuntas lebih
kecil dibandingkan dengan yang tidak tuntas pada tiap kelasnya. Untuk
mengatasi masalah di atas dan mewujudkan tujuan KTSP, maka perlu
dilakukan inovasi agar siswa lebih banyak menemukan dan membangun
konsep-konsep sehingga tidak mudah lupa akan pelajaran matematika. Guru
diharapkan mampu mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan
imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran
divergen, orisinal, serta rasa ingin tahu pada siswa.
Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk
mengaktifkan siswa dan meningkatkan hasil belajar siswa adalah model
pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif adalah suatu model
pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok
kecil yang berjumlah 4 sampai 5 orang secara kolaboratif sehingga dapat
merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar.3
Model pembelajaran kooperatif bukan hanya untuk meningkatkan
hasil belajar siswa, tetapi juga untuk meningkatkan kemampuan komunikasi
dan keterampilan sosial. Hal ini sesuai dengan yang disarankan Marpaung
bahwa perlu dikembangkan model pembelajaran matematika berdasarkan
konstruksi psikologis dan konstruksi sosiologis.4 Untuk itu model
3 Isjoni, Cooperatif Learning - Efektifitas Pembelajaran Kelompok, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 15
4 Marpaung, “Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika di Sekolah..” Makalah. Disampaikan dalam Seminar Pendidikan Matematika di USD Yogyakarta, Yogyakarta, 27-28 Maret 2003.
7
pembelajaran kooperatif yang dikolaborasikan dengan pendekatan
pembelajaran matematika realistik yang dapat disingkat menjadi RESIK
(Realistik Setting Kooperatif) adalah suatu model pembelajaran yang
sepantasnya untuk diterapkan. Model pembelajaran RESIK disamping dapat
meningkatkan kemampuan komunikasi dan keterampilan sosial siswa, namun
juga dapat melatih siswa mencari solusi dari permasalahan kontekstual
matematika yang diberikan.
Dari uraian latar belakang masalah di atas peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian yang menggunakan model RESIK dalam pembelajaran
matematika pada MTsN Dangung-dangung dengan judul ”Penerapan Model
pembelajaran Matematika Realistik Setting Kooperatif (RESIK) dalam
Pembelajaran Matematika di MTsN Dangung-dangung”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat diidentifikasi
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Model pembelajaran yang digunakan cenderung terpusat kepada guru
(teacher oriented) sehingga aktivitas siswa kurang.
2. Strategi pembelajaran yang digunakan guru cenderung monoton
sehingga minat dan motivasi siswa dalam belajar matematika rendah.
3. Guru kurang mengaitkan materi pembelajaran dengan masalah-masalah
kontekstual.
8
4. Siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari konsep-konsep
matematika sehingga hasil belajar matematika siswa masih rendah dan
belum mencapai KKM.
C. Batasan Masalah
Mengingat keterbatasan waktu, tenaga, biaya serta referensi yang
mendukung, maka permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada hal-hal
berikut:
1. Model pembelajaran yang digunakan cenderung terpusat kepada guru
(teacher oriented) sehingga aktivitas siswa kurang.
2. Siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari konsep-konsep
matematika sehingga hasil belajar matematika siswa relatif rendah atau
belum mencapai KKM.
D. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah:
1. Bagaimana aktivitas siswa kelas VIII MTsN Dangung-dangung dalam
pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran
RESIK?
2. Apakah hasil belajar matematika siswa dengan menggunakan model
pembelajaran RESIK lebih baik dari hasil belajar matematika siswa
9
dengan pembelajaran konvensional di kelas VIII MTsN Dangung-
dangung?
E. Asumsi
Ada beberapa asumsi dasar yang menjadi landasan pemikiran dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Siswa memiliki kesempatan yang sama dalam mengikuti proses
pembelajaran
2. Guru mampu melaksanakan proses pembelajaran dengan model RESIK
3. Hasil tes yang dilaksanakan pada akhir penelitian merupakan gambaran
tentang hasil belajar matematika siswa.
F. Hipotesis
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah hasil belajar matematika
siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran RESIK lebih
baik dari pada hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran konvensional di kelas VIII MTsN
Dangung-dangung.
G. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang peneliti utarakan adalah bagaimana
aktivitas siswa kelas VIII MTsN Dangung-dangung selama dalam proses
pembelajaran matematika yang menggunakan model pembelajaran RESIK?
10
H. Definisi Operasional
Judul penelitian ini adalah ”Penerapan Model pembelajaran
Matematika Realistik Setting Kooperatif (RESIK) dalam Pembelajaran
Matematika Siswa Kelas VIII di MTsN Dangung-dangung”. Untuk
menghindari kesalahan dalam memahami variabel ini maka peneliti mencoba
menjelaskan istilah-istilah berikut:
Model Pembelajaran RESIK adalah model pembelajaran yang
menekankan pada masalah-masalah yang kontekstual atau erat dengan realita
kehidupan siswa dan dalam membangun pengetahuannya siswa dapat bekerja
sama dengan siswa yang lain secara berkelompok.
Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang berorientasi
pada guru dimana siswa hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru
tanpa ada usaha untuk mencari dan menggali informasi tersebut.
Pembelajaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu rangkaian
kegiatan pembelajaran yang dimulai dengan orientasi dan penyajian materi
dengan menggunakan metode ekspositori, dilanjutkan dengan pemberian
contoh soal yang diberikan oleh guru, kemudian diadakan tanya jawab, dan
terakhir guru memberikan latihan dan tugas terkait dengan materi pelajaran.
Aktivitas pembelajaran adalah kegiatan yang dilakukan seseorang
selama proses pembelajaran. Aktivitas yang dimaksud adalah kegiatan yang
dilakukan siswa atau peserta didik secara individu atau kelompok untuk
11
menyelesaikan serta mendiskusikan suatu permasalahan matematika atau
untuk menemukan konsep matematika yang mencakup keterampilan dasar.
Hasil belajar adalah gambaran kemampuan siswa dalam memenuhi
suatu tahapan pencapaian pengalaman belajar dalam satu kompetensi dasar”.5
Hasil belajar yang peneliti maksud dalam penelitian ini adalah nilai yang
diperoleh siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran yang menggunakan
model pembelajaran RESIK dan nilai tersebut diperoleh melalui tes akhir.
Lembar Kerja Siswa (LKS) adalah lembaran isinya yang mencakup
materi dalam bentuk isian yang tidak lengkap dan contoh-contoh soal yang
disajikan dalam bentuk tugas dan pertanyaan yang harus diselesaikan siswa
dengan kelompoknya. LKS yang dimaksud dalam dalam model pembelajaran
RESIK ini adalah LKS yang berisikan masalah-masalah kontekstual yang
harus diselesaikan oleh siswa sehingga siswa lebih mudah dalam memahami
konsep pelajaran matematika.
I. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana aktivitas siswa selama proses
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran RESIK.
2. Untuk mengetahui apakah hasil belajar matematika siswa dengan
penerapan model pembelajaran RESIK lebih baik dari hasil belajar
5 Wina Sanjaya, Srtategi Pembalajaran Berorientasi Proses Pendidikan, (Jakatra: Rineka Cipta, 2008), h. 27
12
matematika siswa dengan pembelajaran konvensional di kelas VIII
MTsN Dangung-dangung.
J. Manfaat Penelitian
Dari penelitian diharapkan bermanfaat sebagai:
1. Bagi Siswa
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk meningkatkan
aktifitas siswa dalam proses pembelajaran, sehingga diperoleh hasil
belajar yang baik.
2. Bagi Guru
Sebagai bahan masukan bagi guru dalam upaya untuk
meningkatkan aktifitas dan hasil belajar siswa pada pembelajaran
matematika.
3. Bagi Sekolah
Hasil yang dicapai dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran
dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan
matematika di sekolah pada masa yang akan datang.
4. Bagi Peneliti
Sebagai pengetahuan dan wawasan bagi peneliti sebagai calon
guru matematika yang nantinya dapat menerapkan dan
mengembangkan model pembelajaran ini setelah berada di lapangan.
13
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pembelajaran Matematika
1. Pengertian Pembelajaran Matematika
Jika dilihat dari istilah pembelajaran matematika, maka terdapat
dua suku kata yang berbeda, yakni pembelajaran dan matematika.
Pembelajaran berasal dari kata belajar. Banyak diantara
para ahli yang berpendapat bahwa belajar merupakan
suatu proses perubahan, dimana perubahan tersebut
merupakan hasil dari pengalaman. Dengan pengembangan
teknologi informasi, belajar tidak hanya diartikan sebagai
suatu tindakan terpisah dari kehidupan manusia. Banyak
ilmuwan yang mengartikan belajar menurut sudut pandang
mereka. Beberapa definisi belajar sebagai suatu perubahan
menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
a. Nasution menyatakan bahwa, belajar adalah
”Perubahan-perubahan dalam sistem urat syaraf”.
Hilgard mengatakan bahwa, belajar adalah ”Proses
yang melahirkan atau mengubah suatu kegiatan
melalui jalan latihan (apakah dalam laboratorium
atau dalam lingkungan alamiah) yang dibedakan dari
perubahan-perubahan oleh faktor-faktor yang tidak
13
14
termasuk latihan, misalnya perubahan karena
mabuk, minuman keras, ganja dan sebagainya bukan
termasuk hasil belajar”.6
b. Wittiq menyatakan bahwa, belajar adalah
”Perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam
segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu
organisme sebagai hasil pengalaman.” Skinner
mengartikan bahwa, belajar merupakan ”Suatu
proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang
berlangsung secara progresif.”7
Dari pendapat-pendapat ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa belajar adalah terjadinya perubahan
tingkah laku pada diri orang yang belajar karena
pengalaman. Selain itu, dalam belajar ada proses
perubahan ke arah yang lebih baik, yang dapat ditunjukkan
dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan,
penalaran, kecakapan, kebiasaan, serta aspek-aspek lain
yang ada pada diri individu yang sedang belajar, sebagai
contohnya adalah dari tidak dapat menjadi dapat, dari
tidak tahu menjadi tahu dan sebagainya begitu juga dalam
hal belajar matematika. Lebih lanjut, perubahan tersebut
relatif permanen, dalam arti tidak mudah hilang, dan
6 Nasution, Didaktik Asas-asas Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 34-357 Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 64-65
15
terjadi bukan semata-mata karena kematangan atau
pertumbuhan.
Schoenfeld dalam Hamzah mendefinisikan bahwa ”Belajar matematika berkaitan dengan apa dan bagaimana menggunakannya dalam membuat keputusan untuk memecahkan masalah. Belajar matematika adalah suatu kegiatan yang berkenaan dengan penyeleksian himpunan-himpunan dari unsur matematika yang sederhana dan merupakan himpunan-himpunan baru, yang selanjutnya membentuk himpunan-himpunan baru yang lebih rumit. Demikian seterusnya, sehingga dalam belajar matematika harus dilakukan secara hierarkis. Dengan kata lain, belajar matematika pada tahap yang lebih tinggi, harus didasarkan pada tahap belajar yang lebih rendah”.8
Berdasarkan kutipan mengenai pengertian belajar matematika di
atas, dapat dipahami bahwa belajar matematika merupakan suatu tindakan
dalam membuat keputusan untuk memecahkan suatu permasalahan
matematika. Dimana, untuk memecahkan masalah dalam matematika
harus secara hierarkis, yaitu berdasarkan tahapan belajar.
Selain itu, Jerome Bruner mengatakan bahwa ”Belajar matematika
akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-
konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang
diajarkan, di samping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan
struktur-struktur.”9 Jadi, dapat dipahami bahwa siswa akan lebih mudah
memahami dan menguasai materi yang dipelajari dengan cara mengenal
konsep dan struktur yang dipelajari.
Selain belajar, juga dikenal istilah tentang pembelajaran. Menurut
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
8 Hamzah B Uno, Model Pembelajaran, (Gorontalo: Bumi Aksara, 2007), h.1309 Erman Suherman, Op. Cit, h. 43
16
lingkungan belajar. Sedangkan menurut Ahmadi, pembelajaran adalah
“Proses perubahan tingkah laku berkat pengalaman dan pelatihan, yang
artinya tujuan kegiatan belajar adalah perubahan tingkah laku yang
menyangkut pengetahuan, keterampilan, sikap, bahkan meliputi segenap
aspek kehidupan.”10
Dalam proses pembelajaran siswa belajar sebagai peserta didik dan
guru bertindak sebagai tenaga pengajar yang mengelola sumber belajar,
guna memberikan pengalaman belajar bagi siswa. Dalam interaksi yang
terjadi pada proses pembelajaran, siswalah yang dituntut untuk lebih aktif
bukanlah guru. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator,
sehingga pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran yang bisa
meningkatkan aktivitas siswa.
Agar proses pembelajaran dapat terwujud seperti apa yang
diinginkan maka pembelajaran harus lebih ditekankan pada upaya guru
untuk mendorong dan memfasilitasi siswa belajar. Dalam pembelajaran
siswa diharapkan lebih banyak berperan dalam mengkontruksi
pengetahuan bagi dirinya, begitu juga dalam pembelajaran matematika.
Menurut Erman Suherman, ”matematika hanyalah sebagai alat untuk
berpikir, fokus utama belajar matematika adalah memberdayakan siswa
untuk berpikir mengkonstruksi pengetahuan matematika yang pernah
ditemukan oleh ahli-ahli sebelumnya.”11
10 Abu Ahmadi, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2005), h. 17 11Erman Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia, 2003), h. 78
17
Jadi dalam pembelajaran matematika terlihat bahwa siswa lebih
banyak berperan untuk membangun pengetahuannya. Guru hanya sebagai
motivator dan fasilitator bagi siswa dalam belajar. Agar interaksi siswa
dalam pembelajaran matematika dapat tercipta dan siswa dapat
mengkontruksi pengetahuan, guru perlu menerapkan model pembelajaran
yang tepat. Salah satu model pembelajaran tersebut adalah model
pembelajaran matematika realistik setting (RESIK).
2. Pentingnya Pembelajaran Matematika
Secara etimologi, matematika merupakan sebuah ilmu pengetahuan
yang diperoleh dengan nalar. Hal ini dimaksudkan bahwa matematika
lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio (penalaran), sedangkan ilmu
lain lebih menekankan pada hasil observasi atau eksperimen di samping
penalaran.
Kemudian Erman Suherman, dkk mengatakan bahwa matematika
merupakan suatu ilmu pengetahuan yang sangat penting sekali untuk
kemajuan seseorang di dalam menjalani kehidupannya. Hal tersebut
disebabkan karena ilmu matematika memiliki peran sebagai berikut:
a. Ilmu deduktif,
b. Ilmu terstruktur,
c. Ratu dan pelayan ilmu.12
12 Erman Suherman, Strategi pembelajaran matematika kontemporer, (Bandung: Universitas Pendididikan Indonesia, 2003), h. 18-26
18
Adapun penjelasan dari peran ilmu matematika tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Matematika sebagai ilmu deduktif
Matematika dikenal sebagai ilmu deduktif, maka proses
pengerjaan matematika harus bersifat deduktif. Matematika tidak
menerima generalisasi berdasarkan pengamatan (induktif), tetapi
harus berdasarkan pembuktian deduktif. Meskipun demikian untuk
membantu pemikiran, pada tahap-tahap permulaan seringkali
seseorang memerlukan bantuan contoh-contoh khusus atau ilustrasi
geometris.
Dalam matematika baik isi maupun metode mencari kebenaran
berbeda dengan ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan umum
lainnya. Metode mencari kebenaran yang dipakai oleh matematika
adalah ilmu deduktif, sedangkan oleh ilmu pengetahuan alam adalah
metode induktif atau eksperimen. Namun dalam matematika mencari
kebenaran itu bisa dimulai dengan cara induktif, tetapi selanjutnya
generalisasi yang benar untuk semua keadaan harus bisa dibuktikan
secara deduktif. Dalam matematika suatu generalisasi, sifat, teori, atau
dalil belum dapat diterima kebenarannya sebelum dapat dibuktikan
secara deduktif.
b. Matematika sebagai ilmu terstruktur
Matematika mempelajari tentang keteraturan dan struktur yang
terorganisasikan. Hal itu dimulai dari unsur-unsur yang tidak
19
terdefenisi ke aksioma atau postulat. Pada akhirnya teorema konsep
matematika tersusun secara hirarkis, terstruktur, logis dan sistematis
mulai dari paling yang sederhana sampai pada konsep yang paling
kompleks. Dalam matematika terdapat topik atau konsep prasyarat
sebagai dasar untuk memahami konsep atau topik selanjutnya.
c. Matematika sebagai ratu dan pelayan
Matematika sebagai ratu atau ibunya ilmu dimaksudkan bahwa
matematika adalah sebagai sumber dari ilmu yang lain. Dengan
perkataan lain banyak ilmu-ilmu yang penemuannya dan
pengembangannya bergantung dari matematika. Sebagai contoh
banyak teori-teori atau cabang-cabang ilmu lain seperti fisika dan
kimia yang dikembangkan melalui konsep kalkulus, khususnya
tentang persamaan diferensial..
Dalam kedudukannya sebagai ratu ilmu pengetahuan, maka
tersirat bahwa matematika itu sebagai ilmu yang berfungsi untuk
melayani ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, matematika tumbuh
dan berkembang untuk dirinya sendiri sebagai suatu ilmu serta dalam
waktu yang sama juga untuk melayani kebutuhan ilmu pengetahuan
dalam pengembangan dan operasionalnya.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa matematika merupakan
sebuah ilmu pengetahuan yang harus dikuasai dan dipelajari oleh
semua manusia dalam mengikuti perkembangan dan kemajuan dunia.
Mengingat pentingnya belajar matematika, maka mata pelajaran ini
20
sudah diajarkan sejak tahap awal pendidikan, bahkan sebelum masuk
ke jenjang pendidikan, seperti Taman Kanak-kanak.
3. Tujuan Pembelajaran Matematika
Tujuan merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem
pembelajaran. Tujuan matematika di sekolah mengacu kepada fungsi
matematika serta tujuan pendidikan nasional. Tujuan umum pembelajaran
matematika menurut Erman adalah “memberikan penekanan pada
penataan nalar dan pembentukan sikap serta memberikan penekanan pada
keterampilan dalam penerapan matematika”, sedangkan tujuan khusus
pembelajaran matematika dalam KTSP antara lain:
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah.
d. Merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
e. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
f. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.13
Tujuan khusus dan umum pembelajaran matematika diatas
merupakan realisasi dari fungsi matematika baik sebagai alat, sebagai pola
13Sri Wardhani, Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika, 2008), h. 2
21
pikir, maupun sebagai ilmu. Setiap tujuan yang ingin dicapai dalam proses
pembelajaran matematika pada dasarnya merupakan sasaran yang ingin
dicapai sebagai hasil dari proses pembelajaran matematika tersebut.
Karenanya sasaran pembelajaran matematika tersebut dianggap tercapai
bila siswa telah memiliki sejumlah pengetahuan dan kemampuan dibidang
matematika yang dipelajari.
B. Pembelajaran Matematika Realistik
1. Pengertian Pembelajaran Matematika Realistik
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) pertama kali diterapkan
di Belanda pada tahun 1971 dengan nama Realistic Mathematics
Education (RME). PMR adalah pembelajaran yang harus dimulai dengan
sesuatu yang riil sehingga siswa dapat terlibat dalam proses pembelajaran
secara bermakna.14 Dalam PMR matematika dianggap sebagai aktivitas
insani (mathematics as human activities) dan harus dikaitkan dengan
realitas agar siswa dapat memahami matematika dengan mudah tanpa
harus menghafal angka-angka, rumus-rumus, dan teorema. Ini berarti
bahwa matematika harus dekat dengan siswa dan relevan dengan
kehidupan realistis. Dengan dikaitkannnya pembelajaran dengan realita
atau lingkungan maka siswa akan mudah memahami pelajaran matematika
sehingga tujuan pembelajaran matematika tersebut tercapai.
14Sutarto Hadi, Pendidikan Matematika Realistik, (Banjarmasin: Tulip Banjarmasin, 2005), h.37
22
Siswa tidak dipandang sebagai penerima pasif akan tetapi harus
diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika
di bawah bimbingan guru.
2. Prinsip-prinsip Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)
Pada PMR siswa tidak dianggap sebagai gelas kosong yang harus
diisi dengan air. Melainkan siswa dipandang sebagai manusia yang
memiliki seperangkat pengetahuan pengalaman yang diperoleh melalui
interaksi dengan lingkungannya. Dalam PMR siswa dituntut aktif pada
proses pembelajaran, sebagaimana pribahasa Cina “saya dengar, maka
saya lupa, saya lihat, maka saya ingat, saya lakukan, maka saya mengerti”.
Oleh karena itu, guru harus menghindari pembelajaran dengan metode
ceramah tetapi guru harus dapat mendorong aktivitas siswa.
Treffers mengemukakan prinsip-prinsip Pembelajaran Matematika
Realistik (PMR) yang merupakan karakteristik pendidikan matematika
realistik itu sendiri adalah sebagai berikut:15
a. Prinsip kegiatan
Siswa harus diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam proses
pengembangan seluruh perangkat perkakas dan wawasan matematis
sendiri. Dalam hal ini siswa dihadapkan pada masalah yang
memungkinkan ia membentuk bagian-bagian masalah tersebut dan
mengembangkan secara bertahap algoritma, misalnya cara mengalikan
dan membagi berdasarkan cara kerja nonformal.
15 Treffers, 1987, Pembelajaran Matematika Realistik, (Online), tersedia: http://www.ditnaga-dikti.org/ditnaga/files/PIP/MRE.pdf. Diakses: 9 november 2010.
23
b. Prinsip nyata
Matematika realistik harus memungkinkan siswa dapat
menerapkan pemahaman matematika dan perkakas matematikanya
untuk memecahkan masalah. Siswa harus mempelajari matematika
sedemikian hingga bermanfaat dan dapat diterapkan untuk
memecahkan masalah sesungguhnya dalam kehidupan.
c. Prinsip bertahap
Belajar matematika artinya siswa harus melalui berbagai tahap
pemahaman, yaitu dari kemampuan menemukan pemecahan informal
yang berhubungan dengan konteks, menuju penciptaan berbagai tahap
melalui hubungan langsung dan pembuatan bagan. Kondisi untuk
sampai pada tahap berikutnya tercermin pada kemampuan yang
ditunjukkan pada kegiatan yang dilakukan. Kekuatan prinsip tahap ini
dapat membimbing pertumbuhan pemahaman matematika siswa dan
mengarahkan hubungan longitudinal dalam kurikulum matematika.
d. Prinsip saling menjalin
Prinsip saling menjalin ini ditemukan pada setiap jalur
matematika, misalnya antar topik-topik seperti kesadaran akan
bilangan, mental aritmatika, perkiraan (estimasi), dan algoritma.
e. Prinsip interaksi
Dalam matematika realistik belajar matematik dipandang
sebagai kegiatan sosial. Pendidikan harus dapat memberikan
kesempatan bagi para peserta didik untuk saling berbagi strategi.
24
Dengan mendengarkan apa yang ditemukan orang lain dan
mendiskusikan temuan ini, siswa mendapatkan ide untuk memperbaiki
strateginya. Interaksi dipercaya dapat menghasilkan refleksi yang
memungkinkan siswa meraih tahap pemahaman yang lebih tinggi.
f. Prinsip bimbingan
Guru maupun program pendidikan mempunyai peranan
terpenting dalam mengarahkan siswa untuk memperoleh pengetahuan.
Mereka mengendalikan proses pembelajaran yang lentur untuk
menunjukkan yang seharusnya dipelajari siswa, serta untuk
menghindari pemahaman semu melalui proses hafalan. Siswa
memerlukan kesempatan untuk membentuk wawasan dan perkakas
matematisnya sendiri, karena itu pengajar harus memberikan
lingkungan pembelajaran yang mendukung berlangsungnya proses
tersebut. Artinya mereka harus dapat meramalkan bila dan bagaimana
mereka dapat mengantisipasi pemahaman dan keterampilan siswa
untuk mengarahkannya mencapai tujuan pembelajaran. Dalam hal ini
perbedaan kemampuan siswa harus diperhatikan, sehingga setiap
siswa mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan
pengetahuannya dengan cara yang paling sesuai untuk mereka
masing-masing.
Sedangkan menurut Gravemeijer dalam Febriani prinsip-
prinsip PMR adalah sebagai berikut:
a. Guide Reinvetion/Progressive Mathematizing: melalui topik matematika yang disajikan, siswa harus diberi kesempatan
25
untuk mengalami proses yang sama dengan proses yang dilalui oleh pakar matematika ketika menemukan konsep-konsep matematika. Hal ini dilakukan dengan cara: memasukkan sejarah matematika, memberikan soal-soal kontekstual yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi (soal divergen), dilanjutkan dengan matematisasi prosedur pemecahan yang sama, serta perancang rute belajar sedemikian rupa, sehingga siswa menemukan sendiri.
b. Didactical phenomenology: topik-topik yang diajarkan berasal dari fenomena sehari-hari. Topik ini dipilih dengan dua pertimbangan : (a) aplikasinya, (b) kontribusinya untuk perkembangan matematika lanjut.
c. Self-Development Models: siswa mengembangkan model mereka sendiri sewaktu memecahkan masalah soal-soal konstekstual. Pada awalnya siswa akan menggunakan model pemecahan informal. Setelah terjadi interaksi dan diskusi di kelas, salah satu pemecahan yang dikemukakan siswa akan berkembang menjadi model yang formal.
Tiga prinsip di atas dapat dijabarkan menjadi lima karakteristik
pembelajaran matematika. Menurut Soedjadi PMR mempunyai
beberapa karakteristik sebagai berikut:
a. Menggunakan konteks “dunia nyata”, artinya dalam pembelajaran matematika realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.
b. Menggunakan model, artinya istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models), baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.
c. Menggunakan kontribusi siswa, artinya pemecahan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.
d. Interaktif, artinya aktifitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.
e. Intertwin, artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.
3. Langkah-langkah Pembelajaran Menurut PMR
26
Apabila dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang telah dijelaskan di
atas maka langkah-langkah pembelajaran matematika realistik adalah:
a. Bagaimana “guru” menyampaikan matematika kontekstual sebagai starting point pembelajaran?
b. Bagaimana “guru” menstimulasi, membimbing, dan menfasilitasi agar prosedur, algoritma, symbol, skema, dan model, yang dibuat oleh siswa mengarahkan mereka untuk sampai kepada matematika formal?
c. Bagaimana “guru” memberi, atau mengarahkan kelas, kelompok, maupun individu untuk menciptakan free production, menciptakan caranya sendiri dalam menyelesaikan soal atau menginterpretasikan problem kontekstual, sehingga tercipta berbagai macam pendekatan, atau metode penyelesaian atau algoritma?
d. Bagaimana “guru” membuat kelas bekerja secara interaktif sehingga interaksi di antara mereka antara siswa dengan siswa dalam kelompok kecil, dan antara anggota-anggota kelompok dalam presentasi umum, serta antara siswa dan guru?
e. Bagaimana “guru” membuat jalinan antara topik dengan topik lain, antara konsep dengan konsep lain, antara satu simbol dengan simbol lain di dalam rangkaian topik matematika?16
Penjelasan kelima langkah tersebut di atas adalah sebagai berikut:
a. Langkah pertama: Guru memberikan masalah kontekstual yang
dekat dengan kehidupan siswa dan meminta siswa untuk
memahaminya. Pada tahap ini “karakteristik” pembelajaran
matematika dengan pendekatan realistik adalah menggunakan
masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal.
b. Langkah kedua: Guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal
dengan cara memberikan petunjuk atau saran-saran yang bersifat
terbatas terhadap bagian-bagian tertentu yang belum dipahami
siswa. Hal ini berarti guru memberikan penjelasan masalah
kontekstual yang diberikan di awal pertemuan agar dapat
16 Erman Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: UPI, 2003), h. 151
27
mempermudah siswa. PMR yang muncul pada langkah ini yaitu
karakteristik kedua menggunakan model.
c. Langkah ketiga: Siswa secara individual menyelesaikan masalah
kontekstual dengan cara mereka sendiri. Peran guru di sini adalah
memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara
mereka sendiri. Tahap ini siswa dibimbing untuk “reinvention”
(menemukan) sendiri tentang ide/konsep dari soal matematika
secara progesif.
d. Langkah keempat: Guru meminta siswa membentuk kelompok
secara berpasangan dengan teman sebangkunya, bekerja sama
mendiskusikan penyelesaian masalah-masalah yang telah
diselesaikan secara individu (negosiasi, membandingkan, dan
berdiskusi). Guru mengamati kegiatan yang dilakukan siswa dan
memberi bantuan jika dibutuhkan.
Dipilih kelompok berpasangan, dengan pertimbangan efisiensi
waktu. Setelah diskusi berpasangan dilakukan, guru menunjuk
wakil-wakil kelompok untuk menuliskan masing-masing ide
penyelesaian dan alasan dari jawabannya. Kemudian guru sebagai
fasilitator dan modarator mengarahkan siswa berdiskusi,
membimbing siswa mengambil kesimpulan sampai pada rumusan
konsep/prinsip berdasarkan matematika formal (idealisasi,
abstraksi). Karakteristik PMR yang muncul yaitu interaksi.
28
e. Langkah kelima: Dari hasil diskusi kelas, guru mengarahkan
siswa untuk menarik kesimpulan suatu rumusan konsep atau
prinsip dari topik yang dipelajari. Karakteristik PMR yang muncul
pada langkah ini adalah adanya interaksi antar siswa dengan guru.
4. Kelebihan dan Kekurangan Penerapan PMR
Beberapa kelebihan dari Pembelajaran Matematika Realistik
(PMR) adalah sebagai berikut:
a. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan
sehari-hari (kehidupan dunia nyata) dan kegunaan matematika pada
umumnya bagi manusia.
b. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang
dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa.
c. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus
tunggal dan tidak harus sama antara satu orang dengan yang lainnya.
Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri,
asalkan orang itu bersungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau
masalah tersebut.
d. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu
dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara
29
penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan proses penyelesaian
soal atau masalah tersebut.
e. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa bahwa dalam mempelajari matematika. Proses pembelajaran
merupakan sesuatu yang utama dan harus dijalani untuk menemukan
sendiri konsep-konsep matematika, dengan bantuan pihak lain yang
sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani
sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan
terjadi.
Sedangkan beberapa kerumitan dalam penerapan pendekatan PMR
adalah sebagai berikut:
a. Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan
pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak
mudah untuk dipraktekkan, misalnya mengenai siswa, guru dan
peranan soal kontekstual.
b. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang
dituntut PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika
yang perlu dipelajari siswa, terlebih lagi karena soal-soal tersebut
harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
c. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk
menyelesaikan soal, juga bukanlah hal yang mudah bagi seorang
guru.
30
d. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui soal-soal
kontekstual, proses pematematikaan horisontal dan vertikal juga
bukan merupakan sesuatu yang sederhana. Proses dan mekanisme,
berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu
siswa dalam melakukan penemuan kembali konsep-konsep
matematika tertentu.
C. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
berdasarkan paham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan
strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang
tingkat kemampuannya berbeda dalam mempelajari materi pelajaran. Dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap anggota kelompok harus saling
bekerjasama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran.
Sesuai dengan pendapat Davids dan Kroll (dalam Nur Asma)17 dan Wina
Sanjaya18 ” bahwa belajar kooperatif adalah kegiatan yang berlangsung di
lingkungan belajar siswa dalam kelompok atau tim kecil yang saling berbagi
ide-ide dan bekerja secara kolaboratif untuk memecahkan masalah-masalah
yang ada dalam tugas akademik mereka.”
Pembelajaran kooperatif memberikan kesempatan kepada siswa
untuk memperoleh pengetahuan bukan hanya dari guru saja tetapi juga dari
17 Nur Asma, Model Pembelajaran Kooperatif, (Padang: UNP Press, 2008), h. 218Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan (Jakarta: Rineka
Cipta, 2008), h. 240
31
siswa lainnya. Dalam pembelajaran kooperatif siswa akan saling
bekerjasama dan saling membantu antar anggota kelompok.
Hal di atas senada dengan pernyataan Slavin bahwa belajar
kooperatif adalah ” Cooperative learning methods share the ide that
students work together to learn and are responsible for their teammates
learning as well as their own”. Definisi ini mengandung pengertian bahwa
dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama, saling menyumbangkan
pemikiran dan saling bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar
baik secara individual maupun secara kelompok.19 Sehingga dalam proses
pembelajaran akan terjadi interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan
siswa dan siswa dengan guru.
Jadi dapat dipahami bahwa belajar kooperatif berdasarkan suatu ide
bahwa setiap siswa bekerja sama dalam kelompok dan sekaligus
bertanggung jawab pada aktivitas belajar kelompoknya. Sehingga seluruh
anggota kelompok dapat menguasai materi pelajaran dengan baik. Pada
dasarnya dalam pembelajaran kooperatif guru berfungsi sebagai fasilitator
dan pengayom. Diharapkan agar siswa benar-benar menerima ilmu dari
pengalaman belajar bersama-sama dengan rekan-rekannya.
Arends dalam Armizoni mengemukakan ciri-ciri dari pembelajaran
kooperatif adalah:
1. Siswa bekerja di dalam tim untuk menguasai pelajaran.2. Tim dibentuk dari siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan
rendah.3. Tim dibentuk dari gabungan ras dan jenis kelamin.
19 Op.cit, h. 1
32
4. Sistem penilaian lebih berorientasi pada kelompok dari pada individu.Dari ciri-ciri di atas dapat diketahui bahwa di dalam pembelajaran
kooperatif siswa didorong untuk bekerjasama pada suatu tugas bersama.
Kelompok yang memperoleh nilai yang paling tinggi akan diberikan
penghargaan oleh guru yang ditujukan keseluruh anggota kelompok bukan
perindividu.
Dalam pembelajaran kooperatif pembentukan kelompok tidak hanya
melihat siswa dari kemampuan akademik saja, tetapi juga dipertimbangkan
suku, budaya, jenis kelamin, dan ekonomi. Hal ini dapat menghindari
ketidakadilan dan sesuatu yang lazim dapat terjadi dalam pembagian
kelompok. Pada pembagian kelompok biasa guru cenderung
mengelompokkan siswa berdasarkan urutan nama atau kepandaian siswa
saja. Pengelompokkan yang didasarkan pada beberapa aspek tersebut
menyebabkan anggota kelompok sangat heterogen.
Dengan adanya kelompok heterogen, siswa yang pintar bisa berbagi
ilmu dengan teman kelompoknya yang lain sehingga siswa yang memiliki
kemampuan rendah tidak merasa rendah. Pengelompokkan heterogenitas
selain memudahkan guru untuk mengelola kelas, pengelompokkan ini juga
membantu siswa untuk berinteraksi satu sama lainnya. Siswa dilatih untuk
memiliki rasa tanggung jawab dengan masalah yang ada serta juga dituntut
keaktifan dalam berdiskusi dengan kelompoknya.
Model pembelajaran kooperatif juga akan menghilangkan rasa
persaingan dan pengucilan yang sering terjadi antar siswa pada
33
pembelajaran matematika. Dalam hal ini tiga konsep utama yang menjadi
karakteristik pembelajaran kooperatif, yaitu: a). Penghargaan kelompok, b).
Pertanggungjawaban individu, dan c). Kesempatan yang sama untuk
berhasil.20
1. Penghargaan kelompok
Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk
memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok akan
diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan.
2. Pertanggungjawaban individual
Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran setiap anggota
kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitik beratkan pada aktifitas
anggota kelompok yang saling mendukung, saling membantu dan saling
peduli.
3. Kesempatan yang sama untuk berhasil
Pembelajaran kooperatif menggunakan metode penskoran untuk
menentukan nilai perkembangan individu. Nilai perkembangan ini
berdasarkan pada peningkatan skor tes yang diperoleh siswa dari tes
sebelumnya. Dengan menggunakan metode ini setiap siswa baik yang
berprestasi rendah, sedang ataupun tinggi sama-sama memperoleh
kesempatan untuk berhasil dan berbuat sesuatu yang terbaik bagi
kelompoknya.
Dalam proses kooperatif yang efektif terdapat segi-segi reaksi,
interaksi, partisipasi, kontribusi dan dinamika. Bennet dalam Isjoni
20 Robert E Slavin, Cooperative Learning, (Bandung: Nusa Media, 2008), h. 10
34
menyatakan ada lima unsur dasar yang dapat membedakan pembelajaran
kooperatif dengan kerja kelompok, yaitu: a). Positif Interdepedence, b).
Interaction Face to face, c). Adanya tanggungjawab pribadi mengenai
materi pelajaran dalam anggota kelompok, d). Membutuhkan keluwesan,
dan e). Meningkatkan keterampilan kerjasama dalam memecahkan masalah
(proses kelompok).21
1. Positif Interdepedence
Positif Interdepedence, yaitu hubungan timbal balik yang
didasari adanya kepentingan yang sama atau perasaan diantara
anggota kelompok dimana keberhasilan seseorang merupakan
keberhasilam yang lain pula atau sebaliknya. Positif Interdepedence
menandakan bahwa usaha setiap anggota mempengaruhi keberhasilan
kelompok dan setiap anggota kelompok bertanggungjawab
memberikan kontribusi bagi usaha dan keberhasilan kelompok.
2. Interaction Face to face
Interaction Face to face, yaitu interaksi yang langsung terjadi
antar siswa tanpa adanya perantara. Tidak adanya penonjolan kekuatan
individu, yang ada hanya pola interaksi dan perubahan yang bersifat
verbal diantara siswa yang ditingkatkan oleh adanya saling hubungan
timbal balik secara positif sehingga dapat mempengaruhi hasil
pendidikan dan pengajaran.
21 Isjoni, Cooperative Learning-Efektifitas Pembelajaran Kelompok. (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 41- 43
35
D. Pembelajaran RESIK
Model pembelajaran RESIK merupakan kolaborasi antara
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dengan model pembelajaran
kooperatif. Salah satu ciri pembelajaran matematika dengan menggunakan
model RESIK adalah menggunakan masalah kontekstual sebagai tolak awal
untuk menanamkan konsep dalam pembelajaran kepada siswa. Masalah
kontekstual disini yaitu masalah-masalah yang dekat dengan kehidupan nyata
siswa, sehingga mereka lebih mudah memahami konsep matematika.
Dalam pembelajaran RESIK guru memberikan masalah kontekstual
pada siswa. Untuk membantu siswa dalam menyelesaikan masalah tersebut,
maka guru meminta siswa bekerjasama dengan siswa yang lain secara
kooperatif. Dengan adanya kerjasama secara kooperatif dalam kelompok-
kelompok kecil, maka mereka bisa saling membantu dalam memahami dan
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Guru berperan membantu
jika siswa mengalami kesulitan dalam memahami dan memecahkan masalah
yang diberikan.
Dalam model pembelajaran RESIK, siswa diharapkan dapat
memahami sendiri suatu konsep, tanpa dijelaskan terlebih dahulu oleh guru.
Jadi, prinsip konstruksi pengetahuan oleh siswa, menjadi perhatian utama
dalam model pembelajaran RESIK. Selain itu, model pembelajaran RESIK
dirancang untuk menyediakan kondisi yang memungkinkan dapat
meningkatkan dan memperluas pegetahuan siswa. Untuk tercapainya hal ini,
36
sangat dibutuhkan perencanaan aktifitas atau pemecahan masalah secara baik
dan sesuai.
Prinsip dasar dalam model pembelajaran RESIK adalah bahwa suatu
pengetahuan semestinya dipahami sendiri oleh siswa melalui aktifitas atau
pemecahan masalah yang dilakukannya. Pengetahuan tersebut bukan hasil
transfer dari guru melainkan melalui aktifitas atau pengalaman siswa dalam
memecahkan masalah bersama dengan kelompoknya.
Suradi mengemukakan bahwa komponen penting yang harus
disiapkan oleh guru dalam model pembelajaran RESIK ini yaitu perangkat
pembelajaran dan Lembar Kerja Siswa (LKS).22 Selain menyiapkan perangkat
pembelajaran, guru juga perlu menyiapkan media pembelajaran yang relevan
dengan pokok bahasan yang sedang dipelajari. Media yang digunakan harus
bersifat kontekstual sehingga menunjang siswa dalam belajar. Misalnya, agar
siswa dapat menemukan rumus volume balok, guru dapat menggunakan
sebuah kotak pensil atau kotak sepatu yang berbentuk balok. Kemudian
Suradi juga mengemukakan bahwa “Ada lima komponen dalam model
pembelajaran RESIK, yaitu sintak model pembelajaran RESIK, sistem sosial,
prinsip reaksi, sistem pendukung, dampak instruksional, dan dampak
pengiring”.23 Berikut akan diuraikan kelima komponen tersebut, yaitu:
1. Sintaks Model Pembelajaran RESIK
22 Suradi, Model Pembelajaran Resik Sebagai Strategi, 2006, http://puslitjaknov.org/data/file/2008, h. 12
23 Ibid, h.15
37
Sintaks menunjukkan keseluruhan alur atau urutan kegiatan
pembelajaran. Sintaks model pembelajaran RESIK terdiri dari enam
fase, yaitu:
a. Memotivasi siswa
Guru memotivasi siswa agar aktif dalam proses pembelajaran
b. Menyajikan informasi dan melibatkan siswa dalam memahami
masalah kontekstual
Dalam hal ini guru memberikan masalah kontekstual dan
meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. Jika siswa
mengalami kesulitan dalam memahami masalah tersebut, maka
guru memberikan penjelasan mengenai bagian yang tidak dipahami
siswa.
c. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar dan
memberikan tugas kelompok
Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok secara
heterogen yang terdiri dari empat sampai lima orang. Kemudian
masing-masing kelompok diberi Lembaran Kerja Siswa (LKS).
d. Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Siswa mendiskusikan soal-soal yang terdapat dalam LKS.
Guru berkeliling mengamati kegiatan siswa dan memberikan
bantuan bagi siswa yang memerlukan.
e. Diskusi dan negosiasi
38
Guru memilih kelompok tertentu untuk mempresentasikan
hasil kerja dan diskusi kelompoknya di depan kelas. Kemudian
meminta kelompok lain untuk menanggapinya.
f. Evaluasi dan penghargaan
Guru memberikan kuis untuk melihat pemahaman masing-
masing siswa serta memberikan penghargaan pada penampilan
kelompok terbaik pada pertemuan itu.
2. Sistem Sosial
Dalam model pembelajaran RESIK, dikembangkan suasana proses
pembelajaran yang demokratis. Interaksi antar siswa dalam melakukan
aktivitas belajar melalui pendekatan realistik pada kelompok masing-
masing menjadi perhatian penting, demikian juga halnya dengan
interaksi antar siswa pada fase diskusi dan negosiai. Dalam hal ini guru
berfungsi memfasilitasi agar interaksi antar siswa dapat berjalan dengan
baik.
Menurut Suradi prinsip-prinsip yang dikandung dalam model
pembelajaran RESIK adalah “a.kerjasama, b.kebebasan menyampaikan
pendapat, c. tanggungjawab pada diri sendiri dan kelompok, d.
kesamaan derajat”.24 Setiap prinsip tersebut juga mengandung norma-
norma tertentu, seperti saling membantu, saling menghargai dan
sebagainya.
3. Prinsip Reaksi
24 Ibid, h.19
39
Prinsip ini berkaitan dengan cara guru mempehatikan dan
mempelakukan siswa, termasuk bagaimana guru memberikan respon
terhadap pertanyaan, jawaban dan tanggapan serta aktivitas yang
dilakukang siswa. Pada model pembelajaran RESIK, guru berperan
sebagai fasilitator dan moderator. Sebagai fasilitator maksudnya adalah
guru menyediakan sumber-sumber belajar, mendorong siswa untuk
belajar, memberikan bantuan bagi siswa untuk dapat belajar dan
mengkonstruksi pengetahuannya secara optimal. Sedangkan peran
sebagai moderator maksudnya adalah guru sebagai pemimpin diskusi
kelas, mengatus mekanisme sehingga diskusi kelas berjalan lancar dan
mengarahkan diskusi sehingga hasil yang diharapkan dapat tercapai.
4. Sistem Pendukung
Sistem pendukung suatu model pembelajaran merupakan semua
sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk menerapkan model
tersebut. Dalam pembelajaran dengan menggunkan model RESIK
diperlukan sejumlah bahasn dan media pembelajaran yang sesuai untuk
mendukung proses pembelajaran. Untuk setiap pokok bahanasan yang
akan dibahas, guru perlu menyiapkan perangkat pembelajaran bahan
ajar yang realistik dengan siswa, Lembar Kerja Siswa (LKS), perangkat
evaluasi dan media pembelajaran yang relevan.
5. Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring
40
Setiap model pembelajaran selalu diharapkan menghasilkan
dampak instruksional dan dampak pengiring. Menurut Ratumanan
dalam Suradi dampak instruksional adalah:
“Hasil belajar yang dicapai langsung dan mengarahkan para siswa pada tujuan yang diharapkan, misalnya penguasaan terhadap materi A. sedangkan dampak pengiring adalah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses belajar mengajar, sebagai akibat tercapainya suasana belajar yang dialami langsung oleh siswa tanpa pengarahan langsung dari guru, contohnya kemampuan komunikasi matematika”. 25
Berdasarkan hal di atas, maka pada model RESIK siswa
diharapkan untuk dapat memahami sendiri suatu konsep tanpa terlebih
dahulu dijelaskan oleh guru. Pada akhirnya pengetahuan yang dimiliki
siswa tidak diperoleh dari penjelasan guru, tetapi pengetahuan itu
diperoleh siswa melalui aktivitas dan pemecahan masalah bersama
teman sekelompoknya. Selain itu, model RESIK dirancang untuk
memfasilitasi suatu kondisi yang memungkinkan siswa untuk
membangun dan memperluas pengetahuannya.
E. Pembelajaran Konvensional
Berdasarkan kamus besar Indonesia, konvensional berarti tradisional,
jadi pembelajaran konvensional juga dapat disebut dengan pembelajaran yang
dilaksanakan secara tradisional. Dave Meier (1999) mengatakan bahwa:
Pembelajaran tradisional di era industri cenderung menekankan fungsi reftil: belajar menghafal, meniru, guru sebagai pusat kekuasaan, pembelajar sebagai pelajar yang patuh dan pasif, mengikuti rutin dan contoh yang tetapkan oleh hierarki, sistem yang
25 Suradi, Op.cit, h.22
41
digerakkan oleh semangat mempertahankan diri (takut akan kegagalan), tanpa perhatian pada perasaan dan ikatan sosial dilingkungan pendidikan, tanpa usaha untuk mengajar murid cara berkreasi, memecahkan masalah dan berfikir sendiri.26
Dari kutipan di atas dapat jelas bahwa pembelajaran konvensional
adalah pembelajaran yang berorientasi pada guru dimana siswa hanya
menerima apa yang dikatakan guru tanpa berusaha sendiri atau mandiri.
Menurut Nasution, ciri-ciri pembelajaran kovensional adalah:
1. Tujuan tidak dirumuskan secara spesifik ke dalam kelakuan yang dapat diamati dan diukur
2. Bahan pelajaran diberikan kepada kelompok, kepada kelas sebagai keseluruhan tanpa memperhatikan murid secara individual
3. Bahan pelajaran kebanyakan berbentuk ceramah, kuliah, tugas tertulis dan media lainnya menurut pertimbangan guru.
4. Berorientasi kepada kegiatan guru dengan mengutamakan proses mengajar
5. Murid-murid kebanyakan bersikaf “pasif”, karena terutama harus mendengarkan uraian guru.
6. Murid semuanya harus belajar menurut kecepatan yang kebanyakan ditentukan oleh kecepatan guru mengajar.
7. Penguatan biasanya baru diberikan setelah diadakan ulangan atau ujian.
8. Keberhasilan belajar kebanyakan dinilai guru secara subjektif9. Diharapkan bahwa hanya sebagian kecil saja akan menguasai bahan
pelajaran sepenuhnya sebagain lagi akan menguasai untuk sebagian saja dan ada lagi yang akan gagal
10. Pengajaran terutama berfungsi sebagai penyebar, penyalur pengetahuan.
11. Siswa biasanya menempuh beberapa tes atau ulangan mengenai bahan yang telah dipelajari dan berdasarkan beberapa angka itu ditentukan angka rapor untuk semester itu.27
Dari ciri-ciri di atas terlihat bahwa pembelajaran konvensional yang
berlangsung antara guru dengan siswa hanya satu arah. Siswa cenderung
26 Dave Meier, The Accelerated Learning (Hand Book, (Bandung : Kaifa, 1999), h. 8427Nasution, Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2005), h. 209-212
42
mengikuti semua yang diajarkan oleh guru yang pada akhirnya ia merasa
tergantung dengan materi yang diberikan oleh guru.
Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah suatu rangkaian kegiatan belajar yang dimulai dengan orientasi dan
penyajian informasi yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari
dengan menggunakan metode ekspositori, dilanjutkan dengan pemberian
contoh soal yang diberikan oleh guru. Setelah itu diadakan tanya jawab
sampai akhirnya guru merasa bahwa apa yang telah diajarkan dapat
dimengerti oleh peserta didik atau siswa. Pada tahap akhir guru memberikan
tugas untuk dikerjakan di rumah.
F. Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran
Prinsip belajar pada dasarnya adalah melakukan aktivitas, sebagai
mana yang di kemukakan oleh Sardiman. A. M bahwa “Setiap orang yang
belajar harus aktif, tanpa aktivitas proses belajar tidak mungkin terjadi.28 Jadi,
aktivitas merupakan hal yang penting dalam belajar matematika. Aktivitas
yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan siswa atau peserta didik
secara individu atau kelompok untuk menyelesaikan serta mendiskusikan
suatu permasalahan matematika atau untuk menemukan konsep matematika
yang mencakup keterampilan dasar.
Conny Semiawan (dalam Ilmadi) menyatakan bahwa kemampuan-
kemampuan atau keterampilan dasar tersebut antara lain:
28Sardiman A.M, Interaksi dan Motifasi Belajar Mengajar. (Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2001), h. 95
43
Mengobservasi atau mengamati, menghitung, mengukur, mengklasifikasi, mencari hubungan ruang atau waktu, membuat hipotesis, merencanakan, menafsir data, menyusun kesimpulan sementara (inferensi), meramalkan, menerapkan dan mengkomunikasikan.
Untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan di atas, siswa
diharapkan mampu bekerja secara individu atau kelompok untuk
mengembangkan konsep dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan di
dalam matematika sehingga keterampilan tersebut dapat menumbuhkan
aktivitas siswa.
Selain aktivitas membaca, mendengar, serta mengerjakan soal-soal
masih banyak lagi aktivitas yang dilakukan siswa seperti:
a. Visual activities, seperti: membaca, memperhatikan gambar, demonstrasi percobaan, pekerjaan orang lain.
b. Oral activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi dan interupsi.
c. Listening activities, seperti: Mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, musik dan pidato.
d. Writing activities, seperti: menulis cerita karangan, laporan, angket, menyalin.
e. Drawing activities, seperti: menggambar, membuat grafik, membuat peta, dan membuat diagram.
f. Motor activities, seperti: melakukan percobaan, membuat konstruksi, model meresapi, bermain, berkebun, beternak.
g. Mental activities, seperti: menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan.
h. Emosional activities, seperti: menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup.29
Karena keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya yang peneliti miliki,
maka aktivitas siswa yang diamati dalam penelitian ini adalah:
a. Menyelesaikan masalah-masalah realistik
29 Sardiman, Op. Cit, h. 99
44
b. Berdiskusi dalam kelompok kooperatif untuk menyelesaikan tugas
yang diberikan oleh guru.
c. Mengisi LKS dengan lengkap.
d. Mengemukakan pendapat terhadap penyelesaian masalah-masalah
realistik dalam kelompok atau kelas.
e. Menjawab pertanyaan realistik yang diberikan oleh guru.
f. Mengajukan pertanyaan kepada guru
G. Hasil Belajar Matematika siswa
Kegiatan pembelajaran merupakan proses yang berisi serangkaian
kegiatan pendidikan dengan maksud akan adanya perubahan dalam diri siswa.
Untuk mengetahui keberhasilan proses pembelajaran tersebut, dapat dilihat
dari hasil belajarnya. Agar kita mudah menganalisis keberhasilan siswa dalam
belajar, maka kita harus memahami terlebih dahulu pengertian hasil belajar.
Menurut Wina Sanjaya “hasil belajar merupakan gambaran
kemampuan siswa dalam memenuhi suatu tahapan pencapaian pengalaman
belajar dalam satu kompetensi dasar”.30 Menurut Bloom (dalam Sudjana)
“hasil belajar dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu tipe hasil belajar
bidang kognitif, afektif, dan psikomotor”.31 Untuk kurikulum yang berlaku
saat ini, ketiga tipe hasil belajar sudah digunakan. Agar lebih jelasnya ketiga
tipe tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
30 Wina Sanjaya, Op.Cit, h. 2731 Nana Sudjana, Op. cit, h. 50
45
1. Ranah kognitif
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental
(otak).32 Dalam ranah kognitif ini ada enam tingkatan:
a. Pengetahuan (knowledge) adalah kemampuan seseorang untuk
mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang
nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus dan sebagainya, tanpa
mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya. Pengetahuan
atau ingatan ini adalah merupakan proses berfikir yang paling rendah.
b. Pemahaman (comprehension) adalah kemampuan seseorang untuk
mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan
diingat. Pemahaman merupakan kemampuan berfikir yang setingkat
lebih tinggi dari ingatan atau hafalan.
c. Penerapan atau aplikasi (application) adalah kesanggupan seseorang
untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tatacara ataupun
metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan
sebagainya, dalam situasi yang baru dan kongkrit.
d. Analisis (analysis) adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau
menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang
lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian
atau faktor-faktor yang satu dengan yang lainnya. Analisis ini adalah
merupakan proser berfikir setingkat lebih tinggi dari pada aplikasi.
32 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 49
46
e. Sintesis (synthesis) adalah kemampuan berfikir yang merupakan
kebalikan dari proses berfikir analisis. Sintesis ini merupakan proses
berfikir setingkat lebih tinggi dari pada analisis.
f. Penilaian atau penghargaan atau evaluasi (evaluation) adalah
kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu
situasi, nilai atau ide. Penilaian ini merupakan proses berfikir paling
tinggi dalam ranah kognitif.
2. Ranah Afektif
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai.
Dalam ranah afektif ini terdiri dari lima jenjang:
a. Menerima atau memperhatikan (receiving atau attending) adalah
kepekaan seseorang dalam menerima ransangan (stimulus) dari luar
yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan
lain-lain.
b. Menanggapi (responding) adalah kemampuan dimiliki oleh seseorang
untuk mengikut-sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu
dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara.
c. Menilai atau menghargai (valuing) adalah memberikan nilai atau
memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek.
d. Mengatur atau mengorganisasikan (organization) adalah
mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang
lebih universal, yang membawa kepada perbaikan umum.
47
e. Karakterisasi melalui suatu nilai adalah keterpaduan semua nilai yang
telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan
tingkah lakunya.
3. Ranah psikomotor
Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan
(skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman
belajar tertentu. Hasil belajar psikomotor merupakan kelanjutan dari hasil
belajar kognitif dan hasil belajar afektif.33
Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni faktor
dari dalam diri siswa itu dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau
faktor lingkungan. Faktor yang datang dari diri siswa terutama
kemampuan yang dimilikinya. Faktor kemampuan siswa besar sekali
pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Di samping faktor
kemampuan yang dimiliki siswa, juga ada faktor lain, seperti motivasi
belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial
ekonomi, faktor fisik dan psikis. Adanya pengaruh dalam diri siswa,
merupakan hal yang logis dan wajar, sebab hakikat pembelajaran adalah
perubahan tingkah laku individu yang diingini dan disadarinya. Siswa
harus merasakan adanya kebutuhan untuk belajar dan berprestasi. Ia harus
berusaha mengerahkan segala daya dan upaya untuk dapat mencapainya.
Gagne mengemukakan ada lima kemampuan yang merupakan hasil
belajar yang ingin dicapai.
33Ibid, h. 50-58
48
a. Kemampuan intelektual, yang merupakan hasil belajar yang terpenting dari sistem persekolahan.
b. Strategi kognitif, mengatur cara belajar dan berfikir seseorang dalam artian yang seluas-seluasnya, termasuk kemampuan memecahkan masalah.
c. Informasi verbal, pengetahuan dalam arti informasi dan fakta.d. Keterampilan motorik yang diperoleh disekolah antara lain
keterampilan menulis, membaca, menggunakan jangka, dan sebagainya.
e. Sikap dan nilai yang berhubungan dengan arah serta intensitas emosional yang dimiliki seseorang sebagaimana dapat disimpulkan dari kecendrungannya bertingkah laku terhadap orang, barang atau kejadian.34
Jadi berdasarkan uraian di atas, penulis bahwa hasil belajar dapat
digunakan untuk mengetahui sejauh mana siswa menguasai dan
memahami pelajaran yang diterimanya. Tipe hasil belajar yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah tipe hasil belajar aspek kognitif
yang berupa tes hasil belajar, jadi jenis tes yang akan digunakan adalah tes
essay atau uraian.
H. Lembar Kerja Siswa (LKS)
Sumber belajar adalah merupakan bahan/materi untuk menambah
ilmu pengetahuan yang mengandung hal-hal baru bagi si pelajar. Ardiwinata
(dalam Djamarah) berpendapat bahwa sumber-sumber belajar itu dapat
berasal dari manusia, buku atau perpustakaan, media massa, alam lingkungan
dan media pendidikan.35 Dengan demikian, Lembar Kerja Siswa (LKS) dapat
34 Muhammad Azhar, Proses Belajar Mengajar, (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), h. 14-15
35Djamarah Sayaiful Bahri dan A. Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), h. 49
49
dikategorikan sebagai salah satu sumber belajar yang dapat digunakan oleh
siswa.
Berdasarkan penjelasant diatas dapat dikatakan bahwa LKS
merupakan salah satu sumber belajar yang berbentuk lembaran yang berisikan
materi secara singkat, tujuan pembelajaran, petunjuk mengerjakan pertanyan-
pertanyaan dan sejumlah pertanyaan dan soal-soal yang harus diselesaikan
oleh siswa.
Langkah-langkah menyusun LKS menurut Abdi dan Hartono (dalam
Fitra Mayasari) adalah sebagai berikut :
1. Analisis kurikulum pada materi yang akan dibuatkan LKS2. Menyusun peta kebutuhan LKS3. Menentukan judul-judul LKS4. Rumusan kompetensi dasar LKS diturunkan dari buku pedoman
khusus pengembangan silabus5. Menentukan alat penilaian6. Menyusun materi yang sesuai.
Dalam membuat LKS yang baik, ada beberapa petunjuk yang harus
diperhatikan oleh guru. Jones (dalam Andayani) menyatakan LKS yang baik
untuk diberikan kepada peserta didik, haruslah:
1. Dapat menampung keragaman kemampuan siswa di kelas2. Bahasanya cukup dimengerti (Tidak terlalu sulit)3. Format dan gambar harus jelas (mudah dipahami)4. Mempunyai tujuan yang jelas5. Memiliki isi yang memerlukan pemikiran dan pemprosesan infromasi,
seperti ringkasan materi, contoh soal, dan soal-soal latihan6. Tetap memiliki gambaran umum tentang materi.
LKS memiliki keunggulan, seperti yang dikatakan oleh Hartati (dalam
Fitra Mayasari) sebagai berikut:
50
1. Membantu siswa untuk mengembangkan, memperbanyak kesiapan2. Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi atau
individual sehingga dapat kokoh atau mendalam tertinggal di dalam jiwa tersebut
3. Dapat membangkitkan kegairahan belajar siswa4. Mampu mengarahkan cara belajar siswa, sehingga lebih memiliki
motivasi yang kuat untuk belajar giat5. Dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan
maju sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, jika LKS
disusun dengan baik seperti langkah-langkah diatas maka dalam
penggunaannya LKS dapat membuat pembelajaran yang dilakukan berhasil
karena LKS dapat mengarahkan siswa untuk menemukan dan
mengembangkan konsep sendiri dengan atau tanpa bantuan guru dan juga
membangkitkan minat belajar siswa. Dengan adanya LKS dalam proses
pembelajaran akan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Berdasarkan uraian di atas, maka penyusunan LKS dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Melakukan analisis kurikulum pada materi yang akan dimuat dalam
LKS
2. Menentukan judul-judul LKS
3. Rumusan Kompetensi Dasar (KD) LKS diturunkan dari buku pedoman
khusus pengembangan silabus mata pelajaran MTsN Dangung-dangung
4. Materi pelajaran dalam LKS disusun berdasarkan silabus mata pelajaran
MTsN Dangung-dangung
5. Tiap LKS diperuntukkan untuk satu pokok bahasan materi dalam
penelitian
51
6. LKS memuat materi, contoh soal, serta soal-soal yang harus dipecahkan
atau diselesaikan oleh siswa dalam kelompoknya.
7. Menentukan alat penilaian.
Dalam model pembelajaran realistik setting kooperatif (RESIK) ini,
LKS dipersiapkan untuk menunjang kegiatan pembelajaran yang mencakup
materi dalam bentuk isian yang tidak lengkap dan contoh-contoh soal yang
disajikan dalam bentuk tugas dan pertanyaan yang harus diselesaikan siswa
dengan kelompoknya. Penyusunan LKS bertujuan agar siswa dapat dengan
mudah memahami materi pelajaran dan soal-soal yang berhubungan dengan
materi tersebut.
I. Kerangka Konseptual
Dalam pembelajaran matematika banyak sekali faktor yang dapat
mempengaruhi hasil belajar. Namun, hasil belajar matematika siswa masih
belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Sebahagian siswa beranggapan
matematika adalah mata pelajaran yang menakutkan, pelajaran yang kurang
diminati dan juga pelajaran yang paling sulit. Hal ini terjadi karena
pembelajaran matematika selama ini cendrung hanya berupa kegiatan
menghitung angka-angka, seolah-olah tidak ada makna dan kaitannya dengan
peningkatan kemampuan berfikir untuk memecahkan berbagai persoalan.
Keberhasilan siswa dalam belajar tidak terlepas dari peran guru serta
kemampuan dan minat diri siswa sendiri. Guru dituntut dapat menciptakan
kondisi belajar yang memungkinkan siswa terlibat secara aktif menggali dan
52
mengkonstruk, dan berpartisipasi dalam belajar sehingga dapat meningkatkan
kemampuan belajar secara optimal.
Oleh karena itu diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat
menjadikan pembelajaran lebih bermakna bagi siswa dan meningkatkan
aktivitas siswa dalam pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang
dapat diterapkan adalah model pembelajaran RESIK. Dengan menerapkan
model pembelajaran RESIK diharapkan siswa lebih aktif menggali dan
menemukan konsep matematika sehingga pembelajaran lebih bermakna bagi
kehidupan siswa. Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat skema kerangka
konseptual sebagai berikut:
Gambar. 1 Skema kerangka konseptual penelitian
Siswa kelas VIII MTsN Dangung-dangung
Penentuan Kelas Penelitian
Kelas kontrolKelas eksperimen
Proses pembelajarankonvensional
Proses pembelajaran dengan model RESIK
Aktivitas siswa
Analisis tes akhir
Hasil belajar
dibandingkan
Analisis tes akhir
Hasil belajar
53
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Sesuai dengan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka jenis
penelitian ini adalah gabungan penelitian eksperimen semu (Quasi
Experiment) dan penelitian deskriptif. Penelitian eksperimen semu adalah
penelitian eksperimen yang tidak berhasil mengusahakan atau mewujudkan
hal-hal yang dipersyaratkan pada penelitian eksperimen murni (True
Experiment), yaitu kondisi-kondisi di sekitar yang tidak dapat dikontrol
secara ketat sehingga memungkinkan dapat mempengaruhi hasil akhir seperti
keadaan ekonomi, psikologi, letak, waktu, status dan lain-lain36. Penelitian
eksperimen semu adalah penelitian eksperimen yang penyamaan kelompok
kontrol dengan kelompok eksperimen hanya dalam satu karakter saja dan
minimal dilakukan dengan cara menjodohkan atau matching anggota
kelompok.37 Penelitian ini dapat dilakukan dengan cara memberikan
perlakuan (treatmen) pada kelas eksperimen dengan model pembelajaran
Realistik setting Kooperatif (RESIK) dan memberikan perlakuan belajar biasa
(konvensional) pada kelas kontrol, kemudian membandingkan hasil
belajarnya. Data yang diolah adalah data setelah diberikan perlakuan tersebut.
Sedangkan penelitian deskriptif bertujuan untuk melihat gambaran
mengenai situasi atau kejadian. Situasi yang diperhatikan pada penelitian ini
36 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), h. 20937 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitani Pendidikan, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya. 2009), h. 316
57
54
adalah aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan menggunakan
model pembelajaran RESIK. Data diperoleh dari lembar observasi aktivitas
belajar siswa yang diberikan pada kelas eksprimen dan hasilnya
dideskripsikan tanpa adanya pengujian hipotesis secara statistik.
B. Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
statistik dua kelompok (Randomized control group only design). Dalam
penelitian ini beberapa subjek yang diambil dari populasi dikelompokkan
menjadi dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Perlakuan yang diberikan pada eksperimen adalah dengan model
pembelajaran realistik setting kooperatif (RESIK) sedangkan pada kelas
kontrol menggunakan model pembelajaran konvensional. Pada akhir
penelitian ini kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi tes akhir untuk
melihat hasil belajar. Menurut Suryabrata rancangan dalam penelitian ini
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Rancangan penelitian
Kelompok Perlakuan TestKelompok eksperimen X TKelompok control O T
Keterangan:X = Perlakuan dengan model pembelajaran realistik setting kooperatif
(RESIK).O = Pembelajaran dengan model pembelajaran konvensionalT = Test akhir38
38 Sumadi Suryabrata, Metode penelitian pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 104
55
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh siswa
kelas VIII MTsN Dangung-dangung yang berjumlah empat lokal yang
terdaftar pada Tahun Ajaran 2013/2014. Untuk jelasnya, dapat dilihat pada
Tabel 3 berikut:
Tabel 3. Jumlah Siswa Kelas VIII MTsN Dangung-dangung Tahun Ajaran 2013/2014
No Kelas Jumlah siswa1 VIII. 1 26 orang2 VIII. 2 28 orang3 VIII. 3 28 orang4 VIII. 4 29 orang
(Sumber: Guru Bidang Studi Matematika Kelas VIII MTsN Dangung-
dangung)
2. Sampel
Sesuai dengan masalah yang diteliti dan metode penelitian yang
digunakan, maka dibutuhkan 2 kelas sebagai sampel yang diambil dari
populasi sebanyak 4 kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan menggunakan teknik
simple random sampling. Agar sampel yang diambil representatif artinya
benar-benar mencerminkan populasi, maka pengambilan sampel dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengumpulkan nilai Mid semester genap matematika siswa kelas
VIII MTsN Dangung-dangung.
56
b. Melakukan uji normalitas populasi terhadap nilai Mid semester genap
matematika kelas VIII. Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah
populasi tersebut berdistribusi normal atau tidak. Hipotesis yang
diajukan adalah:
H0 : Populasi berdistribusi normal
H1 : Populasi tidak berdistribusi normal
Langkah-langkah dalam menentukan uji normalitas ini yaitu: 1) Menyusun skor hasil belajar siswa dalam suatu tabel skor,
disusun dari yang terkecil sampai yang terbesar.2) Skor yang telah disusun dijadikan bilangan baku Zi dengan
rumus sebagai berikut:
zi=
x i−x
sKeterangan : s = Simpangan Bakux= Skor rata-rataxi = Skor dari tiap siswa
3) Untuk tiap bilangan baku ini dengan menggunakan daftar dari distribusi normal baku dihitung peluang :
F ( zi )=P( z≤zi )
4) Menghitung jumlah proporsi skor baku z1 , z2 , .. . .. zn , yang
lebih kecil atau sama zi,
yang dinyatakan dengan S(zi ) dengan
menggunakan rumus :
S( zi )=banyaknya z1 , z2 ,. . . zn yang≤zi
n
5) Menghitung selisih antara F(zi ) dengan S(zi ), kemudian tentukan harga mutlaknya.
6) Ambil harga mutlak yang terbesar dan harga mutlak selisih
diberi simbol L0 , L0 = Maks F(zi ) – S(zi )
7) Kemudian bandingkan L0 dengan nilai kritis L yang diperoleh dan daftar nilai kritis untuk uji Liliefors pada taraf α yang dipilih, yang ada pada tabel pada taraf nyata yang dipilih.
Kriteria pengujiannya :
57
(1) Jika L0 < Ltabel berarti populasi berdistribusi normal.
(2)Jika L0 > Ltabel
berarti populasi tidak berdistribusi normal.39
Uji normalitas dilakukan dengan cara Uji Liliefors, setelah
dilakukan uji ini diperoleh hasil dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4. Uji Normalitas Data Tes Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Populasi
Kelas populasi
x̄ n L0 Ltabel
VIII.1 51.46154 26 0.1488 0.1706VIII.2 53.23214 28 0.0764 0.1682VIII.3 59.75 28 0.1349 0.1682VIII.4 57.13793 29 0.1464 0.1634
Dari Tabel 4 terlihat bahwa seluruh populasi berdistribusi
normal dengan taraf nyata )05,0( . Melakukan uji homogenitas
variansi dengan uji Bartlett. Uji ini bertujuan untuk melihat apakah
populasi mempunyai variansi yang homogen atau tidak. Uji Bartlett
dilakukan karena variansi populasinya lebih dari dua. Dengan
pengujiannya sebagai berikut:
Hipotesis yang diajukan yakni:
H0 :σ 1
2 =σ 22 =σ 3
2 =σ 42
H1 : Paling kurang ada satu pasang var iansi yang tidak sama
Untuk menentukan uji homogenitas ini dilakukan dengan beberapa
langkah:
39 Sudjana, Metoda Statistika, (Bandung : Tarsito Bandung, 2005), h. 466
58
1) Hitung k buah ragam contoh s1, s2, …sk dari contoh-contoh berukuran n1, n2, ...nk dengan
N=∑i=1
k
ni
2) Gabungkan semua ragam contoh sehingga menghasilkan dugaan gabungan:
sp2=
∑ ¿i=1
k(ni−1 )s
i2
N−k¿
3) Dari dugaan gabungan tentukan nilai peubah acak yang mempunyai sebaran Bartlett:
b=[( si
2)n i−1
.( s22 )
n2−1.. .( sk2 )
nk−1 ]1
N−k
s p2
b≤bk (α ; n1 , n2 . .. . .nk )
bk (α ;n1 , n2 . .. . .nk )=[n1 bk (α ;n 1 )+.n2 bk (α ; n2 )+ .. .. . .. ..nk bk (α ;nk ) ]
NDengan kriteria pengujian sebagai berikut:
Jika b ≥ bk (α ;n) , H0 diterima berarti data homogen
Jika b < bk (α ;n), H0 ditolak berati data tidak homogen.40
Berdasarkan hasil uji homogenitas variansi yang telah dilakukan
dengan cara uji Bartlett, dari kelima kelas populasi diperoleh hasil
analisisnya bahwa b ≥ bk (α ; n) atau 0,94 > 0,92. Dengan demikian
hipotesis nolnya diterima dengan kesimpulan bahwa populasi bersifat
homogen (sama).
4). Melakukan analisis variansi untuk melihat kesamaan rata-rata
populasi. Analisis ini bertujuan untuk melihat apakah populasi
mempunyai kesamaan rata-rata atau tidak. Uji ini menggunakan teknik
anava satu arah dengan langkah sebagai berikut yaitu:
Langkah-langkah untuk melihat kesamaan rata-rata populasi yaitu:
40 Ronald, E. Walpole. Pengantar Statistika, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka, 1993), h. 391 Edisi Ketiga
59
1) Tuliskan hipotesis statistik yang diajukan
H0 = μ1=μ2=μ3=μ4
H1= Paling kurang ada satu pasang var iansi yang tidak sama
2) Tentukan taraf nyatanya (α )
3) Tentukan wilayah kritiknya dengan menggunakan rumus:
f >f α [ k−1 , N−k ]4) Tentukan perhitungan dengan bantuan tabel yaitu:
Tabel 5. Data Hasil Belajar Siswa Kelas Populasi
Populasi1 2 3 KX11
X12
......X1n
X21
X22
......X2n
X31
X32
......X3n
Xk1
Xk2
......Xkn
Total T1 T2 T3 Tk T......
Nilai tengah
x̄1 x̄2 x̄3 x̄k x̄ . ..
Perhitungannya dengan mengunakan rumus:
Jumlah Kuadrat Total (JKT) =∑i=1
k
∑j=1
ni
X i , j2 −
T. .. .2
N
Jumlah Kuadrat untuk nilai tengah kolom (JKK) =∑i=1
k T i2
n−
T . . .. .2
N
Jumlah Kuadrat galat (JKG) = JKT – JKK
Hasil perhitungannya masukan datanya dalam tabel berikut:
Tabel 6 . Analisis Ragam Bagi Data Hasil Belajar Siswa Kelas Populasi
Sumber
keragamanJumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
f hitung
60
Nilai tengah kolom
Galat
JKK
JKG
k−1
N−k
s12= JKK
k−1
s22= JKG
N−k
s12
s22
Total JKT N−1
5)Keputusannya:
Diterima H0 jika f <f α (k−1 , N−k )
Tolak H0 jika f >f α (k−1 , N−k ) 41
Analisis variansi dilakukan dengan cara teknik anava satu
arah dengan f <f α (k−1 , N−k ) , diperoleh kesimpulan bahwa
2,573 < 2,704, artinya keempat kelas populasi memiliki rata-rata
yang sama atau hipotesis nolnya diterima.
c. Setelah didapatkan keempat populasi berdistribusi normal,
mempunyai variansi yang homogen serta mempunyai kesamaan rata-
rata, maka diambil sampel dua kelas secara lotting. Kelas yang
terambil pertama adalah kelas yang ditetapkan sebagai kelas
eksperimen yaitu kelas VIII2, dan kelas yang terambil kedua adalah
kelas yang ditetapkan sebagai kelas kontrol yaitu kelas VIII1.
D. Variabel dan Data
1. Variabel
Variabel variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Variabel bebas yaitu model pembelajaran RESIK
41 Ibid, h.383-391
61
b. Variabel terikat yaitu aktivitas siswa dan hasil belajar siswa dalam
pembelajaran matematika setelah tindakan diberikan.
2. Data
a. Jenis data
Jenis data dalam penelitian ini adalah:
1) Data primer yaitu data dari lembar observasi dan data hasil
belajar siswa pada ke dua kelas yang menjadi sampel yang
diperoleh dari tes hasil belajar
2) Data sekunder merupakan data tentang nilai ujian Mid semester
genap matematika siswa kelas VIII MTsN Dangung-dangung
yang terdaftar pada tahun 2013/2014.
b. Sumber data
1) Siswa kelas VIII MTsN Dangung-dangung tahun ajaran
2013/2014 untuk mendapatkan data primer
2) Guru bidang studi matematika MTsN Dangung-dangung untuk
mendapatkan data sekunder.
E. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Tahap Persiapan
62
Pada tahap persiapan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Meninjau sekolah tempat penelitian diadakan.
b. Mengajukan surat permohonan penelitian.
c. Konsultasi dengan guru bidang studi yang bersangkutan.
d. Menetapkan jadwal pelaksanaan penelitian.
e. Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar
Kerja Siswa (LKS) sebagai pedoman dalam proses pembelajaran.
f. Merancang instrumen lembar observasi untuk melihat aktivitas
siswa.
g. Menyusun kisi-kisi soal tes akhir hasil belajar.
h. Menetapkan kelas sampel yaitu kelas VIII2 sebagai kelas eksperimen
dan VIII1 kelas kontrol.
i. Merancang soal tes akhir. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
j. Menvalidasikan semua instrumen kepada dosen dan guru
matematika.
2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan ini dilakukan perlakuan diantaranya
dengan menerapkan model pembelajaran RESIK untuk kelas eksperimen,
dan menerapkan pembelajaran konvensional untuk kelas kontrol, dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
Tabel 8. Kegiatan yang dilakukan pada kelas sampel No Pembelajaran dengan Model RESIK Pembelajran konvensional
63
1 Kegiatan pendahuluana. Guru mengabsen siswa dan
mempersiapkan kondisi kelas untuk belajar.
b. Guru menyampaikan apersepsi kepada siswa untuk membangkitkan ingatan siswa tentang materi terdahulu.
c. Guru memberikan motivasi kepada siswa dengan mengkaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari.(Komponen pemberian motivasi)
d. Guru menyampaikan pokok bahasan dan tujuan pembelajaran.
e. Guru menyampaikan kepada siswa apa yang akan mereka lakukan dalam kerja kelompok menyelesaikan masalah kontekstual pada LKS.
Kegiatan pendahuluana. Guru mengabsen siswa dan
mempersiapkan kondisi kelas untuk belajar.
b. Guru menyampaikan apersepsi kepada siswa untuk membangkitkan ingatan siswa tentang materi terdahulu.
c. Guru memberikan motivasi kepada siswa dengan mengkaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari.
d. Guru menyampaikan pokok bahasan dan tujuan pembelajaran.
2 Kegiatan intiEksplorasia. Guru menyajikan informasi tentang
materi yang akan dipelajari siswa dengan cara menggunakan masalah kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari siswa. (Komponen penyajian informasi dan melibatkan siswa memahami masalah kontekstual)
b. Guru meminta siswa memahami masalah kontektual yang diberikan dan memberikan kesempatan untuk bertanya
c. Guru meminta siswa duduk berkelompok sesuai dengan kelompok yang telah dibentuk sebelumnya. (Komponen pengorganisasian siswa dalam kelompok)
d. Guru membagikan LKS yang akan diselesaikan siswa dengan masing-masing kelompok
Elaborasi e. Siswa melakukan aktivitas yang
telah ditentukan guru (mempelajari
Kegiatan intia. Guru menjelaskan dan
memberikan inti pelajaran
b. Guru memberikan contoh -contoh soal
c. Guru memberikan latihan.
d. Siswa diminta menyelesaikan soal yang diberikan.
e. Guru menjelaskan apa yang tidak dipahami siswa
64
materi, memecahkan dan menyelesaikan masalah kontekstual pada LKS) dalam kelompoknya secara kooperatif.
f. Guru mengawasi aktivitas siswa, membimbing siswa dan memberikan bantuan berupa penjelasan secukupnya (tanpa memberikan jawaban terhadap masalah yang sedang dipehkan siswa), dapat pula memberikan pertanyaan yang meransang siswa berpikir dan mengarahkan siswa memahami masalah yang sebenarnya dan mengarahkan siswa kepada pemecahan masalah yang dihadapi. (Komponen membimbing kelompok belajar)
g. Setiap kelompok diminta untuk memeriksa hasil kerja mereka sebelum menuliskan jawaban kelompok didalam LKS.
Konfirmasih. Guru memberikan penekanan,
bahwa setiap anggota kelompok harus saling membantu agar materi yang dipelajari dipahami oleh semua anggota kelompoknya.
i. Siswa melaporkan hasil penyelesaian masalah atau hasil dari aktivitas kelompoknya
j. Guru menentukan kelompok tertentu untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya (komponen diskusi)
k. Guru meninta kelompok lain menanggapi hasil yang dipresentasikan temannya sehingga terjadinya diskusi dan negosiasi antar kelompok yang dipimpin oleh guru. (komponen negosiasi)
l. Guru mengajukan pertanyaan yang akan mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dan memberi kesempatan pada siswa untuk mengajukan pertanyaan.
65
3 Kegiatan penutupa. Guru dan siswa bersama-sama
menyimpulkan pelajaranb. Guru melakukan evaluasi dengan
memberikan kuis kecil (komponen evaluasi)
c. Guru memberikan reward kepada kelompok yang kerja samanya baik dan semua anggotanya mampu menjawab pertanyaan guru (komponen penghargaan)
d. Guru memberikan tugas rumah.
Kegiatan penutupa. Guru menyimpulkan
pelajaranb. Guru melakukan evaluasic. Guru memberikan tugas
rumah
3. Tahap Akhir
Untuk mengetahui hasil belajar yang diperoleh siswa pada kedua
kelas sampel, guru memberikan tes akhir pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol.
F. Instrumen Penelitian
1. Lembar Observasi
Penggunaan lembar observasi dimaksudkan untuk melihat sejauh
mana peningkatan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Lembar
observasi ini diisi oleh seorang observer. Lembar observasi disusun
berdasarkan aktivitas yang dilihat pada penelitian ini. Hal-hal yang
diperhatikan dari aktivitas yang dilakukan siswa antara lain:
a. Memahami dan menyelesaikan masalah-masalah realistik
b. Berdiskusi dalam kelompok kooperatif untuk menyelesaikan tugas
yang diberikan oleh guru.
c. Mengisi LKS dengan lengkap.
66
d. Mengemukakan pendapat terhadap penyelesaian masalah-masalah
realistik dalam kelompok atau kelas.
e. Menjawab pertanyaan-pertanyaan realistik yang diberikan oleh guru.
f. Mengajukan pertanyaan kepada guru.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
a. Menyusun format lembar observasi
b. Menvalidasi lembar observasi kepada dosen dan guru matematika
c. Mengisi lembar observasi pada saat observasi
2. Tes Hasil Belajar
Materi yang diujikan adalah materi yang diberikan pada saat
penelitian. Tes hasil belajar ini dilaksanakan untuk melihat sejauh mana
pemahaman siswa terhadap materi yang telah dipelajari. Dalam
penelitian ini hal-hal yang dilakukan untuk memperoleh hasil tes yang
baik adalah sebagai berikut:
a. Menyusun tes
Langkah-langkah dalam menyusun tes adalah sebagai berikut:
1) Menentukan tujuan mengadakan tes yaitu untuk mendapatkan
hasil belajar siswa.
2) Membuat batasan terhadap bahan pelajaran yang akan diujikan.
3) Menyusun kisi-kisi tes hasil belajar. Kisi-kisi soal tes uji coba.
4) Menyusun butir-butir soal tes yang akan diujikan.
5) Butir soal yang diujikan dalam bentuk soal essay.
67
b. Validitas tes
Suatu tes dikatakan valid jika tes tersebut dapat mengukur
apa yang hendak diukur. Pada penelitian ini validitas yang
digunakan adalah validitas isi. Hal ini berarti isi tes tersebut telah
sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan sesuai dengan materi
yang diajarkan. Validitas ini ditentukan dengan meminta
pertimbangan para ahli yaitu validator dalam hal ini divalidasi oleh
dosen dan guru matematika
c. Melakukan uji coba tes
Agar soal yang disusun memiliki kriteria soal yang baik, maka
soal tersebut perlu diujicobakan terlebih dahulu dan kemudian
dianalisis untuk mendapatkan mana soal yang memenuhi kriteria.
Dalam penelitian ini soal diujicobakan ke kelas VIII3. Alasan peneliti
mengambil kelas ini sebagai kelas uji coba karena kelas tersebut
memiliki kriteria yang relatif sama dengan kelas sampel.
d. Analisis Butir Soal
Analisis ini dilakukan untuk melihat dan mengindentifikasi
soal-soal yang baik, kurang baik dan soal yang tidak baik sama sekali.
Analisis ini mencakup perhitungan terhadap daya pembeda, indeks
kesukaran dan reliabilitas soal.
1) Daya pembeda soal
68
Analisis daya pembeda mengkaji butir-butir soal dengan
tujuan untuk mengetahui kesanggupan soal dalam membedakan
siswa yang tergolong mampu dengan siswa yang tergolong
kurang mampu atau lemah prestasinya.42 Daya pembeda soal
ditentukan dengan mencari indeks pembeda soal. Untuk
menghitung daya pembeda soal essay, dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
a) Data diurutkan dari nilai tertinggi sampai terendah.b) Kemudian diambil 27% dari kelompok yang mendapat nilai
tinggi dan 27% dari kelompok yang mendapat nilai rendah.c) Hitung “degress of freedom” (df) dengan rumus:
df = (nt -1) + (nr -1)
nt = n r = 27% N = nd) Cari indeks pembeda soal dengan rumus :
Ip =
M t−M r
√∑ Xt2+∑ X
r2
n .(n−1 )
Keterangan:
I p = Indeks pembeda soal
Mt = Rata-rata skor kelompok tinggi
Mr = Rata-rata skor kelompok rendah
∑ X2t= Jumlah kuadrat deviasi skor kelompok tinggi
rX 2
= Jumlah kuadrat deviasi skor kelompok rendahn = 27% NN = Banyak peserta tes
42 Ibid, h. 119
69
Suatu soal mempunyai daya pembeda soal yang berarti
(signifikan) jika I p hitung ¿ Ip tabel pada df yang telah
ditentukan.43
Setelah dilakukan uji coba dengan df =14 dan I p tabel=
2,14 didapat daya pembeda soal pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Daya Pembeda Soal Setelah Dilakukan Uji Coba
No Ip Keterangan1 2,61 Signifikan2 2,299 Signifikan3 4,573 Signifikan4 4,749 Signifikan5 2,567 Signifikan
Dari Tabel 9 dapat dilihat semua daya pembeda soal tes
signifikan. Untuk lebih jelasnya perhitungan daya pembeda soal uji
coba soal tes dapat dilihat pada Lampiran XII.
2) Indeks kesukaran soal
Untuk mengetahui indeks kesukaran soal dapat
digunakan rumus berikut ini:
%1002
mn
DDI rt
k
Keterangan : Ik = Indeks Kesukaran soal Dt = Jumlah skor kelompok tinggi Dr = Jumlah skor kelompok rendah m = Skor setiap soal benar n = 27 % x N N = Banyak peserta tes
43Pratiknyo Prawironegoro, Evaluasi Hasil Belajar Khusus Analisis Soal Bidang Studi Matematika, (Jakarta: Dirjen Dikti P2I. PTK, 1985), h.11-12
70
Kriteria: Ik < 27% Soal Sulit 27% Ik ¿ 73% Soal Sedang Ik > 73 % Soal mudah44
Setelah dilakukan uji coba tes dan dilakukan perhitungan
maka didapatkan indeks kesukaran soal pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Indeks Kesukaran Soal Setelah DilakukanUji Coba
No Ik Keterangan1 86,25% Mudah2 75,63% Mudah3 59,06% Sedang4 49,06% Sedang 5 47,50% Sedang
Dari Tabel 10, dapat dilihat bahwa semua soal tes yang
terdiri dari 5 item tersebut memiliki tingkat kesukaran sedang dan
mudah. Untuk lebih jelasnya perhitungan indeks kesukaran soal
dapat dilihat pada Lampiran XI.
3) Klasifikasi Soal
Setelah dilakukan perhitungan indeks daya pembeda (Ip)
dan indeks kesukaran soal (Ik) maka ditentukan soal yang akan
digunakan. Klasifikasi soal uraian menurut Pratiknyo adalah:
a) Item tetap dipakai jika Ip signifikan 0% < Ik < 100%b) Item diperbaiki jika:
Ip signifikan dan Ik = 0% atau Ik = 100%
Ip tidak signifikan dan 0%< Ik <100%
c) Item diganti jika Ip tidak signifikan dan Ik = 0% atau I
k =100%.45
44Ibid, h. 1145 Ibid, h. 16
71
Berdasarkan hasil analisis soal uji coba terlihat bahwa
semua soal memiliki daya pembeda yang signifikan dan indeks
kesukaran soal yaitu 3 soal kategori sedang dan 2 soal kategori
mudah, sehingga seluruh butir soal tersebut dapat dipakai.
4) Reliabilitas tes
Reliabel artinya dapat dipercaya. Tes bisa dikatakan reliabel
apabila tes tersebut memberikan hasil yang tetap apabila diujikan
berulang-ulang kali.46 Untuk menentukan reliabilitas ini dapat
digunakan rumus Metode Alpha yaitu sebagai berikut:
r11 = ( k
k−1 )[1 −∑ Si
S i]
Keterangan:
r11 = Nilai reliabilitas
∑ S i = Jumlah variansi skor tiap-tiap item
St = Variansi total
k = Jumlah item.
Adapun langkah-langkah mencari nilai reliabilitas dengan
metode Alpha adalah sebagai berikut:
Langkah 1: Menghitung variansi skor tiap-tiap item dengan rumus:
Si =∑ X i
2 −(∑ X i)
2
NN
Dimana:
46 Asnelly Ilyas, Op.Cit, h. 67
72
Si = Variansi skor tiap-tiap item
∑ X i2 = Jumlah kuadrat item Xi
(∑ X i )2
= Jumlah item Xi dikuadratkan N = Jumlah responden
Langkah 2: Kemudian menjumlahkan variansi semua item dengan rumus:
∑ S i = S1 + S2 + S3 + . .. + S ¿ ¿
Dimana:
∑ S i= Jumlah variansi semua item
S1, S2, S3, …Sn = Variansi item ke –1, 2, 3, … n
Langkah 3: Menghitung varians total dengan rumus:
St =∑ X t
2 −(∑ X t)
2
NN
Dimana:St = Variansi total
∑ X t2
= Jumlah kuadrat X total
2 tX= Jumlah X total dikuadratkan
N = Jumlah responden
Langkah 4: Masukkan nilai Alpha dengan rumus:
r11 = ( kk−1 )[1 −
∑ Si
S i]47
Klasifikasi reliabilitas yaitu:48
Tabel 11. Kriteria Reliabilitas Soal
Nilai r11 Kriteria
0,90 ¿ r11¿ 1,00 Reliabilitas tinggi sekali
0,70 ¿ r11¿ 0,90 Reliabilitas tinggi
0,40 ¿ r11¿ 0,70 Reliabilitas cukup
47 Riduwan, Op.Cit, h. 115-11648 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta.2002), h. 178
73
0,20 ¿ r11¿ 0,40 Reliabilitas rendah
0,00 ¿ r11¿ 0,20 Reliabilitas sangat rendah
Berdasarkan hasil uji coba soal, diperoleh perhitungan
reliabilitas tes sebesar r11 = 0,59.
G. Teknik Analisis Data
Analisis terhadap data penelitian dilakukan bertujuan untuk menguji
kebenaran hipotesis yang ditujukan dalam penelitian. Teknik analisis data
dalam penelitian ini adalah:
1. Lembar Observasi
Data aktivitas yang diperoleh melalui lembar observasi dapat
dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
P =
FN X 100%
Keterangan:
P = Persentase masing aktivitas setiap pertemuan
F = Frekuensi aktivitas yang dilakukan
N = Jumlah siswa
Penilaian aktivitas dapat dilakukan dengan kriteria sebagai berikut49:
1% - 25% : Rendah sekali 26% - 50% : Rendah 51% - 75% : Tinggi 76% - 99% : Tinggi sekali
49Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 115
74
2. Tes hasil belajar
Tes hasil belajar dianalisis dengan menggunakan uji-t. Sebelum
melakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji
homogenitas.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah sampel
berasal dari populasi yang terdistribusi normal. Dalam penelitian
ini uji normalitas yang digunakan adalah uji Liliefor karena
datanya berupa hasil belajar.
Hipotesis yang diajukan adalah:Ho : Sampel berdistribusi normalH1 : Sampel berdistribusi tidak normal
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1) Data x1, x2 , x3 , . .. .. . . , xn diperoleh dan disusun dari data yang terkecil sampai yang terbesar.
2) Data dijadikan bilangan baku z1, z2 , z3 ,. .. . .. . , zn dengan menggunakan rumus:
S
XXZ i
i
Dimana:S = Simpangan bakuX = Skor rata-rataX i = Skor dari tiap soal
3) Dengan menggunakan daftar distribusi normal baku dihitung
peluang F (Z i )=P (Z≤Z i )4) Menghitung jumlah proporsi skor baku yang lebih kecil atau
sama Zi yang dinyatakan dengan S(Zi ) dengan menggunakan rumus:
S (Z i )=Banyaknya Z1 , Z2. . .. .. . .. , Zn yang ≤Z i
n
75
5) Menghitung selisih antara F(Zi ) dengan S(Zi ) kemudian tentukan harga mutlaknya.
6) Ambil harga mutlak yang terbesar dari harga mutlak selisih
itu diberi simbol L0 , , L0=maks |F (Z i )−S (Z i )|
7) Kemudian bandingkan L0 dengan nilai kritis yang diperoleh
dari daftar nilai kritis untuk uji lilifor pada taraf a=0 ,05 . Kriterianya adalah terima H0 bahwa data hasil belajar
berdistribusi normal jika L0¿ Ltabel .50
b. Uji Kesamaan Dua Variansi (Homogenitas)
Uji kesamaan dua variansi dilakukan untuk melihat apakah
kedua data homogen atau tidak, uji ini dilakukan dengan cara uji
dua variansi yang dikenal dengan uji kesamaan dua variansi atau
uji f. uji f ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Tulis H1 dan H0 yang diajukan
H0 : σ12=σ2
2
H1 :σ 12≠σ2
2
2) Tentukan nilai sebaran f dengan v1=n1−1 , dan v2=n2−1
3) Tetapkan taraf nyata α
4) Tentukan wilayah kritiknya jika H1 :σ 12≠σ2
2
maka wilayah kritiknya adalah:
f <f
1−α2
(v1 , v2 ) , dan
f >f α2
(v1 , v2)
5) Tentukan nilai f bagi pengujian H0 : σ12=σ2
2
f =
s1
s2
Keputusannya:
H0 diterima jika:f
1−α2
(v1 , v2 )<
f <f α2
(v1 , v2).Berarti datanya homogen.
50 Sudjana, Op.Cit, h. 466
76
H0 ditolak jika:f <f
1−α2
(v1 , v2 ) ,atau
f >f α2
(v1 , v2), datanya tidak homogen51
c. Uji Hipotesis
Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas,
selanjutnya dilakukan uji hipotesis. Uji hipotesis bertujuan untuk
menentukan apakah hasil belajar matematika siswa kedua kelas
sampel berbeda secara uji satu arah, dengan hipotesis statistik
H1 : μ1>μ2 dengan uraian yaitu:
H0 : μ1=μ2 : Hasil belajar matematika siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan model pembelajaran RESIK
sama dengan hasil belajar siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran
konvensional.
H1 : μ1>μ2 : Hasil belajar matematika siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan model pembelajaran RESIK
lebih baik dari hasil belajar siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran
konvensional.
Berdasarkan uji normalitas dan uji homogenitas variansi
maka rumus yang digunakan untuk menguji hipotesis, adalah skor
51 Ronald, E. Walpole. Op Cit, h. 314- 315
77
hasil belajar siswa berdistribusi normal dan data berasal dari
sampel yang bervariansi homogen, maka rumusnya:
1) Hipotesis yang diajukan adalah:
H0 : μ
1=μ
2
H1 : μ1>μ
2
2) Tetapkan taraf nyatanya (α )
3) Tentukan wilayah kritiknya yaitu: t >tα
4) Tentukan rumus uji hipotesisnya yaitu:
t=x1−x2
SP √ 1n1
+1n2 dengan sp
2=
(n1−1 )s12+(n2−1 )s2
2
n1+n2−2
Dimana:x1 : Nilai rata-rata kelompok eksperimen
x2 : Nilai rata-rata kelompok kontrol
n1 : Jumlah siswa kelompok eksperimenn2 : Jumlah siswa kelompok kontrol
s12 : Variansi hasil belajar kelompok eksperimen
s22 : Variansi hasil belajar kelompok kontrol
5) Kriteria:
Terima H0 jika t <t1−α , dengan dk=n1+n2−2 selain itu H0
ditolak.52
52 Ibid, h. 239
78
Daftar Pustaka
Abdurrahman Mulyono, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta:
Rineka
Hudoyo Herman, Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika,
(Malang: UNM, 2003), h. 123
Isjoni, Cooperatif Learning - Efektifitas Pembelajaran Kelompok, (Bandung:
Alfabeta, 2009), h. 15
Sanjaya Wina, Srtategi Pembalajaran Berorientasi Proses Pendidikan, (Jakatra:
Rineka Cipta, 2008), h. 27
Nasution, Didaktik Asas-asas Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 34-35
Syah Muhibbin, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.
64-65
B Uno Hamzah, Model Pembelajaran, (Gorontalo: Bumi Aksara, 2007), h.130
Ahmadi Abu, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2005), h.
17
79
Suherman Erman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung:
UPI, 2003), h. 151
Sutarto Hadi, Pendidikan Matematika Realistik, (Banjarmasin: Tulip
Banjarmasin, 2005), h.37
Treffers, 1987, Pembelajaran Matematika Realistik, (Online), tersedia:
http://www.ditnaga-dikti.org/ditnaga/files/PIP/MRE.pdf. Diakses: 9 november
2013
Asma Nur, Model Pembelajaran Kooperatif, (Padang: UNP Press, 2008), h. 2
Sanjaya Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan (Jakarta:
Rineka Cipta, 2008), h. 240
Isjoni, Cooperative Learning-Efektifitas Pembelajaran Kelompok. (Bandung:
Alfabeta, 2009), h. 41- 43
Suradi, Model Pembelajaran Resik Sebagai Strategi, 2006,
Meier Dave, The Accelerated Learning (Hand Book, (Bandung : Kaifa, 1999), h.
84
Nasution, Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 209-212Sardiman, Interaksi dan Motifasi Belajar Mengajar. (Jakarta: PT Raja grafindo
Persada, 2001), h. 95
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1995), h. 49
Azhar Muhammad, Proses Belajar Mengajar, (Surabaya: Usaha Nasional, 1993),
h. 14-15
Bahri Djamarah Sayaiful , Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1995), h. 49
Arikunto Suharsimi, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), h.
209
Dinata Sukma Nana Syaodih, Metode Penelitani Pendidikan, (Bandung : PT
Remaja Rosdakarya. 2009), h. 316
Suryabrata Sumadi, Metode penelitian pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 104
Sudjana, Metoda Statistika, (Bandung : Tarsito Bandung, 2005), h. 466
80
Walpole Ronald, Pengantar Statistika, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka, 1993), h.
391 Edisi Ketiga
Prawironegoro Pratiknyo, Evaluasi Hasil Belajar Khusus Analisis Soal Bidang
Studi Matematika, (Jakarta: Dirjen Dikti P2I. PTK, 1985), h.11-12
Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta.2002), h. 178
Dimyati , Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 115