-
PROSES BERPIKIR SISWA DALAM MENGGENERALISASI POLA
BERDASARKAN TEORI APOS
Sutarto1; Subanji
2; Intan Dwi Hastuti
2
1 IKIP) Mataram;
2 Universitas Negeri Malang
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses berpikir siswa dalam
menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS. Subjek penelitian ini adalah 5 siswa kelas
VIII SMPN 5 Malang. Pengumpulan data menggunakan instrumen tugas pemecahan
masalah generalisasi pola (TPMGP) yang dikerjakan sambil think alouds dan wawancara.
Pada tahap pertama, siswa menyelesaikan TPMGP dan pada tahap ke dua peneliti
melakukan wawancara berbasis tugas untuk memahami proses berpikir yang dilakukan
siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi
pola berdasarkan teori APOS pada tahap enkapsulasi terdiri dari dua, yaitu enkapsulasi
sempurna dan enkapsulasi tidak sempurna. Proses enkapsulasi sempurna adalah proses
berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola dimana pada tahap enkapsulasi proses subjek
menghasilkan generalisasi pola yang benar, sedangkan proses enkapsulasi tidak sempurna
adalah proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola dimana pada tahap enkapsulasi
proses subjek tidak menghasilkan generalisasi pola yang benar.
Kata Kunci: Proses berpikir, generalisasi pola, APOS.
PENDAHULUAN
Pola merupakan ide yang mendasari pemikiran matematis. Zazkis dan Liljedahl (2002)
menyatakan bahwa pola adalah jantung dan jiwa dari matematika. Vogel (2005) menyatakan bahwa
menganalisis pola, mendeskripsikan pola, dan sifat-sifatnya merupakan salah satu tujuan dari
matematika. Mulligan, dkk., (2011:796) menyatakan hampir semua matematika didasarkan pada pola
dan struktur.
Menurut National Council of Teachers of Mathematics (2000) dalam memahami pola siswa
dituntut untuk merepresentasikan, menganaliasis dan menggeneralisasi variasi pola dengan tabel,
grafik, kata-kata, dan simbol. Demikian pula di Indonesia, analisis dan generalisasi pola juga
merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika yang termuat dalam kompetensi dasar
matematika SMP/MTs adalah memahami pola dan menggunakannya untuk menduga dan membuat
generalisasi/kesimpulan (Permendikbud, 2013).
Mulligan dan Mitchelmore (2009) menyebutkan bahwa pola matematika dapat
digambarkan sebagai keteraturan yang dapat diprediksi, biasanya melibatkan numerik, spasial,
atau hubungan logis. Sedangkan Janvier (1987) menyatakan bahwa pola dapat berbentuk
graphic, numeric, verbal dan algebraic. Dalam penelitian ini menggunakan pola berbentuk
graphic/bergambar, karena pola bergambar memungkinkan seseorang mengamati dengan cara
yang berbeda (Sutarto, dkk., 2016). Dalam hal pengamatan Wertheimer (1923) menjelaskan
tentang hukum Gestlat yaiut hukum kesamaan (law of similarity), hukum kedekatan (law of
proximity), dan hukum ketertutupan (law of closure).
Generalisasi pola merupakan aspek penting dalam aktivitas matematika sekolah (Dindyal,
2007; Hargreaves, dkk., 1999; Mulligan, Mitcelmore; Zazkis dan Liljedahl, 2002). Sejalan dengan ide
ini Kchemann (2010) menyatakan bahwa generalisasi harus menjadi inti dari kegiatan matematika
sekolah. Generalisasi pola merupakan aktivitas membuat aturan umum pola berdasarkan contoh-contoh
khusus. Lebih lanjut dijelaskan bahwa generalisasi merupakan jenis tertentu dari conjecture, yang
1
-
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,
Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
2
diperoleh dari penalaran khusus ke umum (Yerushalmy, 1993). Ramussen dan Miceli (2008)
menyatakan bahwa generalisasi yang berdasarkan pada penalaran induktif disebut conjecture. Jadi
generalisasi pola dalam penelitian adalah membuat aturan umum pola berdasarkan contoh-contoh
khusus.
Penelitian tentang generalisasi pola telah dikaji oleh peneliti (Radford, 2006; Blanton dan
Kaput, 2011). Radford (2003) menjelaskan tiga tipe generalisasi pola yaitu (1) factual, (2) contextual,
dan (3) simbolic. Tipe generalisasi factual adalah tipe generalisasi berdasarkan pada fakta yang
diketahui. Sifat faktual menekankan pemikiran bahwa generalisasi ini terjadi dalam tingkatan dasar dari
generalisasi di mana semesta pembicaraan tidak melampaui gambar tertentu, misalnya gambar ke
1000, gambar ke 1000000, dan sebagainya. Tingkatan generalisasi faktual pada tingkatan tindakan
(action) secara numerik dan memungkinkan siswa untuk mengatasi kasus-kasus tertentu. Contextual
adalah tipe generalisasi berdasarkan konteks masalah dan terbatas pada objek tertentu. Symbolic adalah
tipe generalisasi yang berhubungan dengan objek aljabar atau simbol yang tidak terbatas pada objek
tertentu. Blanton dan Kaput (2011: 8) menggunakan tiga model analisis pola dan hubungannya yang
didasarkan kerangka Smith sebagai kerangka kerja dalam membahas berpikir fungsional, yaitu (1)
recursive patterning meliputi penemuan variasi dalam suatu barisan nilai, (2) covariational thinking
yang didasarkan pada analisis bagaimana dua variasi kuantitas secara simultan dan memahami bahwa
perubahan sebagai suatu yang eksplisit dan bagian dinamis serta deskripsi fungsi, dan (3) hubungan
korespondensi didasarkan pada korelasi antara variabel. Diantara penelitian tersebut, belum
mengungkap tentang proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS.
Proses berpikir dalam menggeneralisasi pola akan diuraikan berdasarkan tahapan conjecturing
tipe induksi empiris dari bilangan berhingga kasus diskrit karena conjecturing tipe ini sering ditemukan
dalam masalah yang melibatkan bilangan, dimana pola yang diamati konsisten dan masalah yang
diberikan dalam penelitian ini adalah masalah pola yang konsisten. Berikut tahapannya yaitu (1)
mengamati kasus, (2) mengorganisir kasus, (3) mencari dan memprediksi pola, (4) merumuskan
conjecture, (5) memvalidasi conjecture, (6) menggeneralisasi conjecture, (7) membenarkan
generalization. Penjelasan tahapan tersebut telah diuraikan dalam (Sutarto, dkk., 2016).
Setelah diuraikan berdasarkan 7 tahapan tersebut, maka akan dianalisis berdasarkan teori
APOS, karena teori APOS merupakan teori yang dapat digunakan sebagai suatu alat analisis
untuk mendeskripsikan perkembangan skema seseorang pada suatu topik matematika yang
merupakan totalitas dari pengetahuan yang terkait (secara sadar atau tak sadar) terhadap topik
tersebut (Dubinsky, 2001). Teori ini didasari oleh hipotesis bahwa pengetahuan matematika
seseorang akan kecenderungan untuk mengatasi situasi yang merupakan masalah matematis
dengan membangun aksi, proses, dan objek serta mengaturnya dalam skema untuk memahami
situasi dan memecahkan masalah (Dubinsky dan McDonald, 2001).
Teori APOS yang mendeskripsikan sebuah action di interiorisasi sebagai Process.
Process diencapsulasi kedalam sebuah object. Selanjutnya dikaitkan dengan pengetahuan yang
lain dalam sebuah schema. Sebuah schema juga bisa diencapsulasi sebagai sebuah object.
Penjelasan yang lebih rinci tentang teori APOS dalam (Asiala, dkk., 1996). Berdasarkan uraian
diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses berpikir siswa dalam
menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS.
METODE PENELITIAN
Subjects
Subjek dalam penelitian ini adalah 8 siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Malang yang menghasilkan rumus
atau aturan umum secara simbolik.
-
ISBN: 978 602 1150 17 7
3
Instrument
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu instrumen utama dan instrumen
bantu. Instrumen utama adalah peneliti sendiri yang bertindak sebagai perencana, pengumpul data,
penganalisis data, penafsir data, dan pelapor hasil penelitian. Instrumen bantu yang digunakan dalam
penelitian ini berupa Tugas Pemecahan Masalah Generalisasi Pola (TPMGP) yang dikerjakan sambil
think alouds dan wawancara. TPMGP yang diberikan bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang
proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola, sedangkan wawancara yang digunakan adalah
wawancara yang tidak terstruktur. TPMGP disajikan pada gambar 1 berikut.
Gambar 1. Tugas pemecahan masalah generalisasi pola
Data Analysis
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif eksploratif. Pada tahap analisis
data, kegiatan dilakukan setelah memperoleh data meliputi: (1) mentranskrip data yang diperoleh dari
wawancara, (2) mereduksi data, (3) mengodekan data, (4) mendeskripsikan proses berpikir siswa dalam
menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS, dan (5) penarikan kesimpulan. Analisis lembar
jawaban TPMGP, dan hasil wawancara berdasarkan indikator proses conjecturing dalam (Sutarto, dkk.,
2015).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagian ini akan menganalisis proses berpikir subjek S1 dan S2 dalam menggeneralisasi pola
berdasarkan teori APOS (action, process, object dan schema). Pada tahap aksi, subjek S1 mengamati
kasus dengan cara mengamati dan menghitung jumlah persegi secara utuh, tanpa membedakan persegi
hitam dan persegi putih. Pada gambar ke-1 ada 7 persegi, gambar ke-2 ada 11 persegi dan gambar ke-3
ada 15 persegi. Berdasarkan jumlah persegi pada gambar ke-1, gambar ke-2, dan gambar ke-3, subjek
S1 mengorganisir kasus dengan cara mengurutkan pola barisan bilangan. Mengurutkan pola barisan
bilangan dengan menuliskan gambar ke-1, gambar ke-2, gambar ke-3, secara berturut-turut 7, 11, 15.
Pada tahap proses, subjek S1 menginternalisasi aksi untuk mencari dan memprediksi pola dengan
cara menghitung selisih antara gambar ke-2 dan gambar ke-1, gambar ke-3 dan gambar ke-2 dan
berpikir tentang gambar selanjutnya. Selisih gambar ke-2 dan ke-1 adalah , gambar ke-3
dan ke-2 adalah , dari selisih tersebut subjek S1 memprediksi gambar ke-4 juga ditambah 4.
Pada tahap objek, subjek S1 merumuskan conjecture dengan melakukan encapsulasi proses yaitu
melihat selisih atau penambahan dari masing-masing gambar. Penambahan dari gambar ke-1 ke gambar
ke-2 adalah 4, gambar ke-2 ke gambar ke-3 adalah 4, dan gambar ke-3 ke gambar ke-4 juga 4. Dengan
melihat penambahan tersebut, subjek S1 merumuskan conjecture rumus umum untuk menentukan
banyaknya persegi pada gambar ke . Selanjutnya subjek S1 memvalidasi conjecture dengan
-
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,
Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
4
mencoba rumus pada gambar ke-1, . Setelah menghitung jumlah persegi gambar ke-1 dengan rumus dan melihat kesesuaian dengan jumlah persegi pada gambar ke-1
yang telah diketahui, subjek S1 mengatakan bahwa rumus nya salah. Setelah menyadari bahwa conjecture yang dirumuskan salah, subjek S1 pada tahap process
melakukan de-encapsulasi dengan cara mencari angka awal sebelum di tambahkan empat dengan
memanfaatkan rumus . Subjek S1 mencari angka awal dengan menghitung selisih jumlah persegi gambar ke-1 dikurangi 4, gambar ke-2 dikurangi 4 dan gambar ke-3 juga dikurangi 4.
Hasil pengurangannya berturut turut 3, 7, 11. Pada tahap process ini, subjek S1 melakukan
coordination antara rumus , mencari angka awal, dan jumlah persegi masing-masing gambar dikurangi beda. Selanjutnya subjek S1 menyadari bahwa angka awal yang dicari belum tepat
karena angka awalnya masih beda.
Subjek S1 selanjutnya menggunakan cara lain yaitu mencari angka awal sebelum ditambahkan
kali dengan cara memisalkan sebagai angka awal. Gambar ke-1 ( ) ,
( ), maka . Gambar ke-2 ( ), ( ),
maka . Dari dua angka awal tersebut subjek S1 menyimpulkan bahwa angka awal sebelum
ditambahkan 4 kali adalah 3. Dalam menemukan angka awal ini subjek S1 melakukan coordination
antara angka awal yang berbeda, kali , memisalkan sebagai angka awal, untuk gambar ke-1, untuk gambar ke-2.
Pada tahap objek, subjek S1 melakukan encapsulation process dalam merumuskan conjecture
rumus umum untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar ke-n adalah ( ) . Selanjutnya subjek S1melakukan validasi conjecture berdasarkan jumlah persegi pada gambar ke-4
( ), ( ), sama dengan , , karena jumlah persegi
gambar ke-4 yang diperoleh dengan rumus ( ) sama dengan jumlah persegi yang diketahui maka rumus tersebut benar.
Pada tahapan skema, subjek S1 meyakini bahwa rumus umum untuk menentukan banyaknya
persegi pada gambar dari pola yang terbentuk adalah ( ). Subjek S1 meyakini rumus umum yang dihasilkan adalah benar setelah melakukan validasi. Dengan meyakini rumus umum
tersebut, maka subjek S1 telah menggeneralisasi conjecture yang dihasilkan.
Selanjutnya, dalam membenarkan generalisasi, subjek S1 menunjukkan contoh tertentu seperti
yang telah dilakukan pada saat memvalidasi conjecture. Contoh tertentu yang dimaksud yaitu mencari
jumlah persegi gambar ke-4 menggunakan rumus umum ( ). Selanjutnya melihat kesesuaian jumlah persegi yang dihasilkan dengan rumus dan cara manual dengan tujuan meyakinkan orang lain
bahwa conjecture yang dihasilkan adalah benar. Berikut hasil pekerjaan subjek S1 pada Gambar 1, dan
Proses berpikir subjek S1 dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS disajikan pada Diagram
1.
-
ISBN: 978 602 1150 17 7
5
Gambar 1. Hasil Pekerjaan subjek S1 dalam menggeneralisasi pola
Pada tahap action, subjek S2 mengamati kasus dengan cara mengamati dan menghitung
jumlah persegi secara utuh, tanpa membedakan persegi hitam dan persegi putih. Beberapa
action yang dilakukan adalah mengamati dan menghitung jumlah gambar ke-1 ada 7 persegi,
gambar ke-2 ada 11 persegi, dan gambar ke-3 ada 15 persegi. Berdasarkan jumlah persegi pada
gambar ke-1, gambar ke-2, dan gambar ke-3, subjek S2 mengorganisir kasus dengan cara
membuat daftar untuk mengaitkan gambar ke-1 dengan 7 (jumlah persegi gambar ke-1),
gambar ke-2 dengan 11 (jumlah persegi gambar ke-2), dan gambar ke-3 dengan 15 (jumlah
persegi gambar ke-3).
Pada tahap proses, subjek S2 melakukan interiorization action untuk mencari dan
memprediksi pola dengan cara menghitung penambahan dari gambar ke-1 ke gambar ke-2,
gambar ke-2 ke gambar ke-3, dan berpikir tentang gambar selanjutnya. Penambahan dari
masing-masing gambar diperoleh dengan cara menghitung selisih gambar ke-2 dan ke-1 adalah
, gambar ke-3 dan ke-2 adalah , dari selisih tersebut subjek S2
memprediksi gambar ke-4 juga bertambah 4.
Pada tahap objek, subjek S2 merumuskan conjecture dengan melakukan encapsulation
process yaitu memperhatikan jumlah persegi gambar ke-1 ada 7, gambar ke-2 ada 11, dan
gambar ke-3 ada 15. Dengan memperhatikan jumlah persegi tersebut dan persegi selanjutnya
selalu bertambah 4, maka subjek S2 merumuskan conjecture rumus untuk menentukan
banyaknya persegi pada gambar . Selanjutnya subjek S2 memvalidasi
conjecture dengan mencari jumlah persegi gambar ke-5 dengan cara manual dan rumus
. Dengan cara manual subjek S2 menuliskan jumlah persegi gambar
, dengan menggunakan rumus
-
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,
Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
6
. Setelah mengetahui jumlah persegi gambar ke-5 dengan cara
manual dan rumus berbeda. Subjek S2 menyadari adanya kesalahan dari rumus yang
dihasilkan, selanjutnya subjek S2 mencoba rumus untuk mencari jumlah persegi gambar
( ) dan mencocokkan dengan jumlah persegi
gambar ke-1 yang sudah diketahui ada 7. Dari hasil mencocokkan, S2 menyadari bahwa
conjecture yang dihasilkan ada kekeliruan.
Setelah mengetahui bahwa conjecture yang dihasilkan ada kekeliruan, subjek S2 kembali
ke tahap process dengan melakukan de-encapsulation. De-encapsulation yang dilakukan yaitu
dengan cara mengotak-atik rumus tersebut untuk mencari polanya. S2 menyadari bahwa
jumlah persegi gambar pertama ada 7. Berdasarkan rumus , untuk gambar
pertama tidak perlu menambahkan cukup menuliskan 7, untuk gambar ke-2 empat
nya ada 1, untuk gambar ke-3 empat nya ada 2. Pada tahap process ini, subjek S2
melakukan coordination antara rumus , jumlah persegi setiap gambar, dan
banyaknya 4 pada masing-masing gambar.
Pada tahap objek subjek S2 melakukan encapsulation process setelah menyadari
gambar ke-1 tidak perlu menambahkan cukup menuliskan 7, gambar ke-2 empat nya ada 1,
gambar ke-3 empat nya ada 2. Selanjutnya subjek S2 merumuskan conjecture untuk
menentukan banyaknya persegi pada gambar ( ) atau dapat
disederhanakan menjadi ( ) . Setelah itu, subjek S2 memvalidasi
conjecture yang dihasilkan dengan menggunakan contoh tertentu yaitu melihat kembali
kecocokan jumlah persegi gambar ke-5 secara manual dan menggunakan rumus
( ). Dengan cara manual S2 menuliskan jumlah persegi gambar
, dengan rumus ( ) ( ) .
Setelah mengetahui ada perbedaan antara perhitungan manual dengan perhitungan
menggunakan rumus. S2 mengecek lagi perhitungan manualnya dan menyadari bahwa jumlah
persegi gambar bukan 35 melainkan dan
mengatakan hasilnya sama 23.
Pada tahapan schema, subjek S2 meyakini bahwa rumus umum untuk menentukan
banyaknya persegi pada gambar dari pola yang terbentuk adalah ( ). Subjek
S2 meyakini rumus umum yang dihasilkan adalah benar setelah melakukan validasi. Dengan
meyakini rumus umum tersebut, maka subjek S2 telah menggeneralisasi conjecture yang
dihasilkan.
Selanjutnya, dalam membenarkan generalisasi, subjek S2 menunjukkan contoh tertentu
seperti yang telah dilakukan pada saat memvalidasi conjecture. Contoh tertentu yang dimaksud
yaitu mencari jumlah persegi gambar ke-6 dan ke-7 dengan cara manual dan menggunakan
rumus ( ). Selanjutnya melihat kesesuaian antara jumlah persegi yang
dihasilkan secara manual dan menggunakan rumus dengan tujuan meyakinkan orang lain
bahwa conjecture yang dihasilkan adalah benar. Dengan cara manual subjek S2 menuliskan
gambar ke-1 ada 7, gambar ke-2 ada 11, gambar ke-3 ada 15, gambar ke-4 ada 19, gambar ke-5
ada 23, gambar ke-6 ada 27, gambar ke-7 ada 31 dan seterusnya. Dengan menggunakan rumus
( ) , gambar ( ) = gambar
( ) = . Selanjutnya S2 mengatakan sama antara jumlah persegi yang
diperoleh secara manual dan menggunakan rumus, begitu juga untuk gambar-gambar yang
-
ISBN: 978 602 1150 17 7
7
lainnya. Menggeneralisasi dan membenarkan conjecture merupakan schema yang diperoleh
dari tahap action, process dan object. Berikut hasil pekerjaan subjek S2 pada Gambar 2 dan proses
berpikir subjek S2 dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS disajikan pada
Diagram 2.
Gambar 2. Hasil Pekerjaan subjek S1 dalam menggeneralisasi pola
Dalam menggeneralisasi pola untuk menentukan rumus umum banyaknya persegi pada
gambar subjek S1 dan S2 pada tahap action telah menyadari bahwa gambar ke-1,
gambar ke-2, dan gambar ke-3 membentuk sebuah pola. Untuk menggeneralisasi pola, subjek
kategori ini mengamati kasus dengan cara mengamati dan menghitung jumlah persegi secara
utuh, tanpa membedakan persegi hitam dan persegi putih. Mengamati kasus secara utuh tampa
membedakan persegi hitam dan putih ini sesuai dengan salah satu hukum Gestlat dalam
pengamatan yaitu hukum kesamaan (law of equivalence) yaitu hukum dimana seseorang
cenderung mempersepsikan stimulus yang sama sebagai suatu kesatuan (Wertheimer, 1923).
Berdasarkan jumlah persegi pada gambar ke-1, ke-2, dan ke-3, subjek tersebut
mengorganisir kasus dengan cara menuliskan jumlah persegi dalam bentuk barisan atau
membuat daftar untuk mengaitkan gambar dan jumlah persegi, sehingga memudahkan subjek
bekerja pada kasus tersebut. Menurut Allen (2001) cara yang paling umum digunakan dalam
mengorganisir-kasus tertentu adalah dengan mendaftar data atau tabel.
-
Diagram 1. Prose berpikir subjek S1 dalam menggeneralisasi pola Diagram 2. Prose berpikir subjek S2 dalam menggeneralisasi pola
berdasarkan teori APOS berdasarkan teori APOS
Kode Penjelasan Kode Penjelasan Kode Penjelasan
Mengamati kasus Menggeneralisasi conjecture Coord Coordination
Mengorganisir kasus Membenarkan conjecture Action
Mencari dan memprediksi pola InterAct Interriorization Action Process
Merumuskan conjecture Encapro Encapsulation Process Object
Memvalidasi conjecture De-Encap De-Encapsulation Schema
-
ISBN: 978 602 1150 17 7
9
Pada tahap action, subjek mengamati dan menghitung persegi secara utuh, maupun
mengorganisir kasus untuk mempermudah subjek bekerja pada kasus tersebut merupakan
reaksi dari subjek berdasarkan adanya pengaruh dari masalah yang diberikan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Dubinsky dan McDonald (2001) bahwa action merupakan transformasi
terhadap suatu hal atau objek yang dilakukan individu sebagai kebutuhan eksternal baik secara
eksplisit maupun dari memori, langkah demi langkah sebagai petunjuk melakukan operasi.
Pada tahap proses, subjek kategori ini melakukan interiorization action untuk mencari
dan memprediksi pola dengan cara menghitung beda dari masing-masing pola dan berpikir
tentang gambar selanjutnya. Subjek S1 dan S2 menemukan pola dari masing-masing gambar
ke-1 ke gambar ke-2 adalah 4 dan gambar ke-2 ke gambar ke-3 juga 4 dan berpikir bahwa
gambar selanjutnya juga bertambah 4. Subjek tersebut dapat menemukan pola dari
masing-masing gambar setelah melakukan interiorization beberapa action, setelah itu
dikoordinasikan untuk dapat memprediksi gambar selanjutnya, sehingga dapat digunakan
sebagai dasar melakukan encapsulation. Perubahan transformasi dari masalah yang diberikan
(eksternal) ke dalam internal (pikiran) siswa disebut interiorization. Hal ini sesuai dengan
pendapat Dubinsky (2001) bahwa interiorisasi merupakan perubahan dari suatu kegiatan
prosedural untuk mampu melakukan kembali kegiatan itu dalam imajinasi beberapa pengertian
yang berpengaruh terhadap kondisi yang dihasilkan.
Dalam melakukan interiorization action, tidak hanya melakukan koordinasi beberapa
action yang telah dilakukan, melainkan dikoordinasikan juga dengan pengetahuan awal yang
dimiliki oleh siswa. Pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa seperti mencari beda dari
masing-masing gambar.
Pada tahap object, subjek S1 merumuskan conjecture dengan melakukan encapsulation
process yaitu melihat selisih atau penambahan dari masing-masing gambar. Penambahan dari
gambar ke-1 ke gambar ke-2 adalah 4, gambar ke-2 ke gambar ke-3 adalah 4, dan gambar ke-3
ke gambar ke-4 juga 4. Dengan melihat penambahan tersebut, subjek S1 merumuskan
conjecture rumus umum untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar ke .
Sedangkan subjek S2 melakukan encapsulation process dengan memperhatikan jumlah persegi
gambar ke-1 ada 7 dan gambar selanjutnya selalu bertambah 4, maka subjek S2 merumuskan
conjecture rumus untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar .
Pada tahap memvalidasi conjecture rumus subjek S1 menggunakan
contoh tertentu yang telah diketahui dalam masalah yaitu gambar ke-1, ,
sedangkan subjek S2 memvalidasi conjecture dengan mencari jumlah persegi gambar ke-5
secara cara manual dan rumus . Dasar memvalidasi berdasarkan contoh
tertentu yang telah diketahui (misalnya validasi berdasarkan gambar ke-1, ke-2, dan ke-3)
dalam masalah dinamakan validasi internal, sedangkan validasi berdasarkan contoh tertentu
selain yang diketahui dalam masalah (misalnya validasi dengan gambar ke-4, ke-5, , ke-n)
dinamakan validasi eksternal.
Subjek kategori ini melakukan encapsulation proses yang tidak sempurna dalam
merumuskan conjecture rumus umum untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar
ke-n, karena setelah divalidasi dengan contoh tertentu, subjek mengatakan bahwa rumus atau
conjecture yang dihasilkan salah.
Setelah mengetahui bahwa conjecture yang dihasilkan salah, subjek kembali ke tahap
process untuk melakukan de-encapsilation dengan cara mencari angka awal sebelum di
-
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,
Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
10
tambahkan empat dengan memanfaatkan rumus . Subjek S1 mencari angka
awal dengan menghitung selisih jumlah persegi gambar ke-1 dikurangi 4, gambar ke-2
dikurangi 4 dan gambar ke-3 juga dikurangi 4. Hasil pengurangannya berturut turut 3, 7, 11.
Dari pengurangan tersebut, angka awalnya belum sama. Subjek S1 selanjutnya menggunakan
cara lain yaitu mencari angka awal sebelum ditambahkan kali dengan cara memisalkan
sebagai angka awal. Gambar ke-1 ( ), ( ), maka .
Gambar ke-2 ( ) , ( ) , maka . Dari dua angka
awal tersebut, diperoleh angka awal sebelum ditambahkan 4 kali adalah 3. Dalam
menemukan angka awal ini subjek S1 melakukan coordination antara angka awal yang
berbeda, kali , memisalkan sebagai angka awal, untuk gambar ke-1, untuk gambar
ke-2.
Sedangkan subjek S2 melakukan de-encapsulation setelah mengetahui bahwa conjecture
yang dihasilkan ada kekeliruan. Subjek S2 kembali ke tahap process dengan cara
mengotak-atik rumus tersebut untuk mencari polanya. S2 menyadari bahwa jumlah persegi
gambar pertama ada 7. Berdasarkan rumus , untuk gambar pertama tidak
perlu menambahkan cukup menuliskan 7, untuk gambar ke-2 empat nya ada 1, untuk
gambar ke-3 empat nya ada 2. Pada tahap process ini, subjek S2 melakukan
coordination antara rumus , jumlah persegi setiap gambar, dan banyaknya 4
pada masing-masing gambar.
Cara yang dilakukan oleh subjek S1 dan S2 dalam tahap prosess berbeda. Subjek S1
mencari angka awal, sedangkan subjek S2 melihat penambahan 4 (beda) untuk masing-masing
persegi. Cara yang berbeda, menandakan bahwa simbol yang dibentuk oleh subjek sangat
bermakna bagi dirinya dan menggambarkan pengetahuannya, hal ini sesuai dengan yang
dinyatakan oleh Steinbring (Botzer & Yerushalmy, 2008) bahwa tanda atau simbol matematika
merupakan alat untuk coding dan menggambarkan pengetahuan serta mengomunikasikan
pengetahuan matematika mereka.
Setelah subjek melakukan proses baru dan selanjutnya proses tersebut di encapsulation
sehingga menghasilkan generalisasi pola yaitu rumus umum untuk menentukan banyaknya
persegi pada gambar ke-n adalah . Proses menghasilkan merupakan proses
encapsulation, hal ini sesuai dengan pendapat Dubinsky dan McDonald (2001) bahwa
proses-proses baru dapat juga dikonstruksi (dibentuk) dengan cara mengoordinasikan
proses-proses yang sudah ada, Bila hal tersebut menjadi suatu proses sendiri untuk
ditransformasikan oleh suatu action, maka dikatakan proses itu telah di encapsulation menjadi
suatu object.
Proses encapsulation yang dilakukan oleh subjek sampai menghasilkan conjecture yang
benar berdasarkan contoh tertentu merupakan hasil dari encapsulation yang sempurna.
Selanjut subjek tersebut melakukan validasi dengan contoh tertentu dan mengatakan benar.
Validasi di sini bertujuan untuk mengetahui kebenaran dari conjecture yang dihasilkan
berdasarkan contoh tertentu, hal ini sejalan dengan pendapat Canadas dkk (2007) bahwa
memvalidasi conjecture adalah penetapan kebenaran dari untuk kasus tertentu tetapi tidak pada
umumnya. Proses merumuskan dan memvalidasi conjecture terjadi secara berulang sampai
menghasilkan conjecture yang benar.
-
ISBN: 978 602 1150 17 7
11
Pada tahapan schema, subjek S1 meyakini bahwa rumus umum untuk menentukan
banyaknya persegi pada gambar dari pola yang terbentuk adalah ( )
sedangkan subjek S2 adalah ( ) . Subjek tersebut meyakini rumus umum yang
dihasilkan adalah benar setelah melakukan validasi. Dengan meyakini rumus umum tersebut,
maka subjek telah menggeneralisasi conjecture yang dihasilkan. Generalisasi yang dilakukan
oleh subjek S1 dan subjek S2 merupakan generalisasi secara simbolik, hal ini sesuai dengan
pendapat Radford (2003) bahwa tipe generalisasi simbolik adalah tipe generalisasi yang
berhubungan dengan objek aljabar atau simbol yang tidak terbatas pada objek tertentu.
Selanjutnya, dalam membenarkan generalisasi, subjek kategori ini menunjukkan contoh
tertentu seperti yang telah dilakukan pada saat memvalidasi conjecture dan selanjutnya melihat
kesesuaian antara jumlah persegi yang dihasilkan dengan rumus dan yang telah diketahui
dalam masalah atau cara manual dengan tujuan meyakinkan orang lain bahwa conjecture yang
dihasilkan adalah benar.
PENUTUP
Proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS terdiri dari dua,
yaitu proses enkapsulasi sempurna dan enkapsulasi tidak sempurna. Proses enkapsulasi sempurna adalah
proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola dimana pada tahap enkapsulasi proses subjek menghasilkan
generalisasi pola yang benar, sedangkan proses enkapsulasi tidak sempurna adalah proses berpikir siswa dalam
menggeneralisasi pola dimana pada tahap enkapsulasi proses subjek tidak menghasilkan generalisasi pola yang
benar.
DAFTAR RUJUKAN
Asiala M, Brown A, DeVries DJ, Dubinsky E, Mathews D, Thomas K (1996). Framework for research
and curriculum development in undergraduate mathematics education. Res. Coll. Math. Educ.
6:1-32.
Blanton, Maria, L., & Kaput, James J. 2011. Functional Thinking as a Route Algebra in The
Elementary Grade. Dalam Cai, Jinva & Knuth, Eric (Eds.), Early Algebraization: A
Global Dialogue from Multiple Perspectives (hlm.5-23). New York: Springer
Heidelberg Dordrecht.
Dindyal, J. (2007). High school students use of patterns and generalisations. In J. Watson & K.
Beswick (Eds), Proceedings of the 30th annual conference of the Mathematics
Education Research Group of Australasia (pp. 236-245). Hobart, Tasmania, Australia:
MERGA Inc. Retrieved from http://www.merga.net.au/documents/RP182007.pdf
Dubinsky, E. & McDonald, M. (2011). APOS: A constructivist theory of learning in
undergraduate mathematics education research. In D. Holton et al. (Eds), The teaching
and learning of mathematics at university level: An ICMI Study (pp. 273-280). Kluwer
Academic Publisher. Retrieved from http://www.math.wisc.edu/~wilson/Courses/
Math903/ICMIPAPE.PDF
Hargreaves, M., Threlfall, J., Frobisher, L., & Shorrocks-Taylor, D. (1999). Childrens
strategies with linear and quadratic sequences. In A. Orton (Ed.), Pattern in the Teaching
and Learning of Mathematics. London: Cassell
Janvier, C. (1987). Translation processes in mathematics education. In C. Janvier (Ed.),
Problems of representation in the teaching and learning of mathematics (pp. 27-32).
Hillsdale, New Jersey: LEA.
Kchemann, D. (2010). Using patterns generically to see structure. Pedagogies: An
International Journal, 5(3), 233250. doi: 10.1080/1554480X.2010.486147
-
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,
Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
12
Mulligan, J., & Mitchelmore, M. 2009. Awareness of Pattern and Structure in Early
Mathematical Development. Mathematics Education Research Journal, 21(2): 33-49
Mullingan, J.T., Mitchelmore, M.C., English, L.D., & Robertson, G. (2011). Implementing a
Pattern and Structure Mathematics Awareness Program (PASMAP) In Kindegarden. In
L. Sparrow, B. Kissane, & C. Hurst (Eds.) Shaping the Future of Mathematics
Education. Proceedings of the 33rd Annual Conference of the Mathematics Education
Research Group of Australasia (pp 797804). Retrieved from
http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED521029.pdf
Nasional Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principles and standards for school
mathematics. Reston, VA: NCTM.
Radford, L. 2003. Gestures, Speech, and the Sprouting of Signs: A Semiotic-Cultural
Approach to Students Types of Generalization. Mathematical Thinking And Learning,
5(1), 3770.
Ramussen, D., & Miceli, S. 2008. Discovering Geometry Condensed Lessons. United States
of America. Kendall Hunt Publishing.
Sutarto, Nusantara, T., Subanji, & Sisworo. (2015). Indicator of conjecturing process in a
problem solving of the pattern generalization. Proceding ICERD, UNESA Surabaya, pp.
32-45.
Sutarto, Nusantara, T, Subanji, & Sisworo (2015). Local conjecturing process in the solving of
pattern generalization problem. Educational Research and Reviews. Vol. 11(8), pp.
732-742, DOI: 10.5897/ERR2016.2719
Vogel, R. (2005). Patterns: A fundamental idea of mathematical thinking and learning. ZDM,
37(5), 445-449. doi 10.1007/s11858-005-0035-z
Wertheimer, M. (1923). Untersuchungen zur Lehre von der Gestalt: II (Investigations in
Gestalt Theory: II). Psychologische Forschung, 4, 301350.
Yerushalmy, M. (1993). Generalization, induction, and conjecturing: a theoretical
perspective. In Schwartz, J.L., Yerushalmy, M., & Wilson, B. The geometric supposer:
what is it a case of?. Hillsdale, NJ Lawrence Erlbaum Associates.
Zazkis, R., & Liljedahl, P. (2002). Generalization of patterns: the tension between algebraic
thinking and algebraic notation. Educational Studies in Mathematics, 49: 379402. Wertheimer M (1923). Untersuchungen zur Lehre von der Gestalt: II (Investigations in Gestalt Theory:
II). Psychol. Forschung 4:301-350.
-
ISBN: 978 602 1150 17 7
13
DESKRIPSI KESALAHAN KONSTRUKSI PENYELESAIAN MASALAH
GEOMETRI SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Taufiq Hidayanto; Subanji; Erry Hidayanto
Universitas Negeri Malang
Abstrak: Penyelesaian masalah merupakan salah satu standar yang harus dukuasai oleh
siswa menurut NCTM maupun kurikulum yang berlaku saat ini. Begitupun juga dengan
geometri, salah satu bagian kajian matematika yang perlu dikuasai siswa di sekolah.
Namun, tidak sedikit siswa yang mengalami kesalahan-kesalahan dalam memecahkan suatu
masalah geometri yang berdampak pada kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah
yang diberikan. Untuk itu, perlunya seorang guru untuk mengetahui letak kesalahan siswa
dalam memecahkan masalah geometri agar dapat melakukan perbaikan terhadap kesalahan
yang dialami oleh siswa tersebut. Kajian dalam makalah ini menyajikan deskripsi kesalahan
konstruksi pemecahan masalah geometri dari 6 siswa subjek yang terdiri atas 2 siswa dari
kelompok atas, 2 kelompok sedang, dan 2 kelompok bawah. Subjek yang merupakan siswa
SMP diberikan masalah geometri untuk diselesaikan, kemudian diwawancarai berbasis
tugas untuk menggali letak kesalahan struktur berpikirnya. Selanjutnya, struktur berpikir
siswa dianalisis letak kesalahan siswa berdasarkan teori kesalahan konstruksi konsep dan
pemecahan masalah matematika menurut Subanji (2015). Hasil Analisis menunjukkan
bahwa semua subjek mengalamai mislogical construction dan lubang konstruksi.
Mislogical construction terjadi karena siswa mengalami kesalahan logika berpikir dalam
melakukan prosedur pemecahan masalah. Lubang konstruksi terjadi karena skema-skema
yang digunakan untuk mengonstruksi pemecahan masalah belum lengkap.
Kata Kunci: Analisis Kesalahan, Skema, Konstruksi Penyelesaian Masalah, Geometri
Problem Solving merupakan bagian yang terpadu dalam pembelajaran matematika dan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari program dan tujuan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan tujuan
pembelajaran matematika berdasarkan kurikulum yang berlaku saat ini, yaitu KTSP maupun
kurikulum 2013. NCTM (2000: 52-55) memberikan rekomendasi bahwa program pembelajaran
sebaiknya penyelesaian masalah digunakan untuk membangun pengetahuan baru, mendukung siswa
mampu menyelesaikan masalah dalam matematika maupun konsteks lain, mendukung siswa mampu
menyelesaikan masalah dengan berbagai macam strategi, dan mendukung siswa mampu mencermati
dan merefleksikan ide penyelesaian masalah yang dikemukakan.
Selain problem solving, materi geometri merupakan salah satu standar yang
direkomendasikan NCTM juga kompetensi yang perlu dicapai siswa menurut kurikulum yang berlaku
saat ini. Geometri diaplikasikan dalam menyelesaikan masalah dalam konteks matematika yang lain,
permasalahan kehidupan nyata, maupun ilmu diluar konteks matematika (Yilmaz dalam Biber, Tuna,
& Korkmaz, 2013: 50). NCTM (2000:41) menekankan bahwa geometri sangat erat dengan konteks di
dalam maupun di luar matematika. Di dalam matematika, geometri dapat digunakan sebagai alat
untuk membantu pemahaman konsep aljabar, penggunaan geometri misalnya yaitu dengan konsep
luasan persegi panjang (aljabar tile) untuk menentukan faktor bentuk kuadrat. Di luar matematika,
misalnya penetuan volume dalam perhitungan debit air, penggunaan konsep luas untuk menentukan
area lahan maupun pendirian bangunan. Hal tersebut menunjukkan bahwa geometri berkaitan erat
dengan antarkonsep dalam matematika maupun di luar matematika.
Akhir-akhir ini, beberapa penelitian tentang geometri telah dikaji. Biber, et al
mengemukakan temuan kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah geometri yaitu (1) siswa
hanya memperhatikan tampilan geometris saja tanpa melihat sisi karakteristik geometri yang
menyertainya, (2) siswa gagal menghubungan sifat-sifat geometris yang telah diketahuinya dengan
-
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,
Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
14
konssep lain yang digunakan untuk menyelesaikan maslalah, dan (3) mereka menggeneralisasi sifat
yang hanya sesuai dengan kondisi tertentu tanpa memperhatikan kondisi lain. Menurut Ozerem
(2012), permasalahan siswa pada geometri yaitu masalah miskonsepsi, kurangnya skema yang
dimiliki dan kemampuan penalaran, serta kesalahan dalam melakukan operasi dasar. Namun,
penelitian-penelitian tersebut sebatas mengungkap permasalahan siswa yang mengalami kesalahan-
kesalahan penyelesaian masalah yang dilakukannya, belum sampai mengungkap struktur berpikir
siswa yang mengalami kesalahan.
Struktur berpikir tidak lepas dengan skema yang digunakan siswa dalam menyelesaikan
masalah. Nunokawa (2005) memberikan pernyataan terkait pembelajaran berdasar teori skema.
Pengetahuan dasar siswa tidak hanya memuat pengetahuan prosedural maupun konseptual namun
juga pengetahuan mengenai situasi yang sesuai dengan pengetahuan matematis lain yang terkait.
Siswa yang kaya dengan skemata dapat menyelesaikan berbagai masalah menggunakan pengetahuan
tersebut dengan mudah. Siswa menggunakan skema-skema tersebut dalam menyelesaikan masalah
yang dihadapinya.
Chinnappan (2003) juga menyatakan, skema dapat berupa konsep-konsep lain yang terkait
dengan suatu konsep tertentu termasuk informasi mengenai prosedur yang sesuai ketika siswa hendak
menggunakan konsep-konsep yang saling terkait tersebut. Dengan kata lain, Skema sendiri dapat
dikonstruksi dari skema-skema lain yang saling terkait. Selanjutnya, skema tersebut menjadi struktur
pengetahuan yang mengindikasikan kumpulan informasi yang membentuk suatu makna tertentu.
Sebagai contoh, siswa dapat membangun skema seputar teorema pythagoras. Skema-skema lain yang
termasuk dalam konsep tersebut adalah bilangan (termasuk operasinya), bentuk aljabar, dan segitiga.
Misalnya, ketika siswa harus menyelesaikan masalah yang melibatkan teorema pythagoras, mereka
akan perlu menggunakan prosedur untuk menyelesaikan persamaan, manipulasi aljabar, atau
membuat ilustrasi gambar untuk memviasualisasi masalah.
Derry (1996: 165) menyatakan bahwa konstruktivis radikal percaya semua pemahaman
logis-matematis dan konseptual yang baru dikonstruksi berdasarkan skema yang terkonstruksi
sebelumnya. Selanjutnya, siswa menggunakan struktur pengetahuannya sebagai upaya untuk
mengonstruksi pemahamannya terhadap situasi yang mereka observasi dan kaji. Proses ini melibatkan
asimilasi pola aktivitas skema mental yang terkonstruksi sebelumnya, selanjutnya menggunakan
skema tersebut dalam menyelesaikan masalah dan berfikir lain secara langsung. Selanjutnya,
Chinnappan dan Thomas (2003) berpendapat bahwa skema yang terstruktur dengan baik dapat
memberi manfaat bagi siswa dalam mengasimilasi ide matematis baru karena skema dapat
mengaitkan banyak pengetahuan. Dengan kata lain, skema memberikan banyak manfaat untuk
menginterpretasikan perkembangan pengetahuan dan makna matematis.
Subanji (2015:10) menguraikan kajian mengenai struktur berpikir dalam proses konstruksi
pemecahan masalah matematika. Ketika struktur masalah yang dihadapi oleh siswa jauh lebih
kompleks dibanding struktur berpikirnya, siswa akan mengalami kesulitan dalam proses konstruksi
karena siswa akan mengalami kesulitan dalam proses asimilasi atau akomodasi. Untuk melakukan
asimilasi, siswa belum memiliki skema yang sesuai dengan masalah yang dihadapi dan untuk
melakukan akomodasi, yaitu mengubah skema lama atau membentuk skema baru, masih mengalami
kesulitan karena belum cukup memiliki skema yang dapat digunakan untuk membentuk skema baru.
Dalam hal ini perlu proses lagi agar dapat terjadi proses konstruksi, yakni menguraikan (atau
memotong) masalah ke bagian-bagiannya. Masalah yang sudah terurai menjadi informasi-informasi
yang lebih sederhana akan mudah untuk diasimilasi atau diakomodasi. Berikutnya dapat berlangsung
restrukturisasi, pengaitan antar komponen berpikir dan membentuk skema baru yang lebih kompleks
yang dapat mengasimilasi atau mengakomodasi masalah yang kompleks (keseluruhan). Proses
pemecahan struktur masalah yang kompleks ke bagian-bagiannya ini oleh Subanji disebut proses
analitik.
-
ISBN: 978 602 1150 17 7
15
Berdasarkan kajian di atas, peneliti menguraikan deskripsi kesalahan konstruksi penyelesian
masalah yang ditinjau dari struktur berpikir yang melibatkan skema siswa. Kesalahan tersebut dikaji
berdasarkan teori kesalahan konstruksi konsep dan pemecahan masalah yang dikemukana oleh
Subanji (2015). Kesalahan yang terjadi pada siswa meliputi:
1. Pseudo Construction, yaitu konstruksi yang seakan-akan benar tetapi siswa tidak dapat
memberikan justifikasi atau konstruksi seakan-akan salah tetapi siswa bisa memperbaiki
kesalahannya setelah refleksi
2. Lubang Konstruksi, yaitu konstruksi konsep atau penyelesaian masalah dimana skema yang
terbentuk dalam proses konstruksi ada yang belum lengkap
3. Mis-analogical Construction, yaitu konstruksi konsep atau penyelesaian masalah dimana dalam
proses konstruksinya terjadi kesalahan berpikir analogi
4. Mis-logical construction, yaitu konstruksi konsep atau penyelesaian masalah dimana dalam
proses konstruksinya terjadi kesalahan berpikir logis
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan kualitatif dengan jenis deskriptif. Subjek dalam penelitian ini yaitu
enam siswa SMP kelas VIII terdiri atas 2 kelompok atas, 2 siswa kelompok sedang, dan 2 siswa
kelompok bawah berdasarkan prestasi hasil belajar siswa. Siswa diberikan masalah geometri dan
diwawancarai berbasis tugas terhadap penyelesaian masalah yang diajukan oleh siswa. Kemudian,
struktur berpikir siswa dideskripsikan berdasarkan teori kesalahan konstruksi konsep dan pemecahan
masalah matematika menurut Subanji (2015). Berikut instrumen penelitian beserta struktur masalah
yang diberikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan didapatkan dari hasil wawancara dengan siswa subjek setelah
mengerjakan masalah yang diberikan. Selanjutnya, proses berpikir siswa dipetakan dan
dideskripsikan.
Deskripsi Kesalahan Konstruksi Siswa S1 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri
Siswa berhasil mengasimilasi informasi dari masalah yang diberikan. Siswa mampu
menyebutkan bahwa masalah yang diberikan melibatkan bentuk setengah lingkaran dan memiliki
diameter 10 cm, akibatnya jari-jarinya adalah 5 cm. Selain itu, siswa mampu menyebutkan bahwa
masalah yang dicari adalah luas daerah yang diarsir, yaitu berbentuk segitiga siku-siku. Namun, siswa
gagal mengakomodasi salah satu bagian segitiga. Proses pengerjaan S1 tersaji pada Gambar 1.
Gambar di samping adalah
setengah lingkaran dengan
diameter 10 cm dan BD = 2 cm.
Luas daerah yang diarsir adalah
................
A B
C
D
-
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,
Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
16
Gambar 1. Penyelesaian Masalah oleh S1
Berikut kutipan wawancara peneliti menggali informasi proses berpikir siswa dalam menyelesaikan
masalah.
P : Kemarin gimana ini kamu ngerjakannya?
S1 : saya mencari panjangnya ini [AB], karena ini [AD] panjangnya 10, berarti ini [AB] panjangnya
8. Trus saya cari tingginya tu [BC], 10 ini diameter trus saya bagi 2, kayak jari-jarinya gitu,
P : berarti luas daerah yang diarsir gimana?
S1 : ya pakai luas itu, setengah alas kali tinggi. Yaitu setengah kali 8 kali tingginya 5, jadinya 20
Berdasarkan wawancara dengan S1, siswa telah mengetahui alas segitiga dan tinggi segitiga, namun
penentuan ukuran tinggi segitiga masih salah. S1 menganggap tinggi segitiga adalah 5 cm, yaitu sama
dengan jari-jari setengah lingkaran. Akibatnya, S1 menghasilkan jawaban salah. Berdasarkan teori
kesalahan konstruksi menurut Subanji (2015), S1 mengalami mislogical construction, yaitu terletak
pada kesalahan logika siswa dalam menentukan ukuran tinggi segitiga (BC) yang dianggap sama
panjang dengan jari-jari. Lubang Konstruksi juga terjadi karena terdapat skema-skema yang belum
terkontruksi dalam struktur berpikir siswa. Kesalahan struktur berpikir siswa tersaji pada Gambar 2.
Keterangan:
Kode Penjelasan
MG Masalah Geometri
SL Setengah Lingkaran
D Diameter
BD Panjang ABC Segitiga Siku-siku ABC
SAB Sisi AB Panjang AD Panjang BC Panjang LS Luas Segitiga yang Diarsir
LK Lubang Konstruksi
MC Mislogical Construction
Gambar 2. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S1
MG
SL
BD
AB
LS
Selesai
AD
ABC
SAB
D
BC
MC
LK
-
ISBN: 978 602 1150 17 7
17
Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S2 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri
Siswa S2 merupakan kelompok atas. Ketika menyelesaikan masalah yang diberikan, siswa S2
telah memiliki skema diameter lingkaran, luas setengah lingkaran, dan luas segitiga. Namun, S2 tidak
dapat menyelesaikan masalah dengan tepat. Siswa S2 mampu mengasimilasi informasi yang terdapat
pada masalah. Siswa S2 memahami yang telah diketahui dari masalah yaitu terdapat bentuk setengah
lingkaran, terdapat diameter lingkaran,dan segitiga siku-siku. Siswa S2 juga telah mampu
mengakomodasi dari informasi tersebut untuk menentukan panjang alas segitiga siku-siku, yaitu 10
cm dikurangi dengan 2 cm, yaitu 8 cm. Meskipun demikian, siswa S2 gagal dalam mengakomodasi
untuk menentukan tinggi segitiga dan gagal mengakomodasi strategi penyelesaian masalah. Siswa S2
menyebut bahwa untuk menyelesaikan masalah yaitu dengan mengurangkan luas setengah lingkaran
dengan luas segitiga. Berikut ini kutipan wawancara peneliti dengan siswa S2.
P : bagaimana tadi mengerjakannya?
S2: jadi, lingkarannya setengah, trus dikali 3,14. Ini karena diameternya 5 kan berarti kan luas
lingkarannya pi r kuadrat, ini jadinya 5 kali 5. trus setengah kali 68,5. 68,5 dibagi 2 itu 34,25.
Trus alasnya segitiga...........trus tadi diameternya kan 10 ya, berarti ini 10, trus ini 2, berarti A
ke B kan 8.
P : maksudnya apa yang kamu cari ini?
S2: luas lingkaran, trus dikurangi luas segitiga.
Gambar 3 menunjukkan pengerjaan S2 namun belum selesai pada jawaban akhir.
Gambar 3. Penyelesaian Masalah oleh S2
Berdasarkan kutipan wawancara dengan S2 dan Gambar 3, siswa S2 tidak berhasil pada jawaban yang
diinginkan. Kesalahan konstruksi yang dialami S2 yaitu ide penyelesaian masalah. Siswa S2
menyebutkan bahwa untuk menyelesaikan masalah yaitu dengan mengurangkan luas lingkaran
dengan luas segitiga. Menurut teori kesalahan konstruksi menurut Subanji (2015), masalah tersebut
mengindikasikan bahwa siswa mengalami mislogical construction. Hal tersebut terjadi karena
kesalahan berpikir logis siswa, yaitu untuk menyelesaikan masalah adalah dengan mengurnagkan luas
segitiga dari luas setengah lingkaran meskipun sebenarnya subjek belum menemukan luas segitiga. S2
juga mengalami lubang konstruksi karena terdapat skema-skema pengonstruksi struktur masalah.
Ringkasnya, struktur berpikir siswa S1 disajikan dalam Gambar 4 berikut:
-
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,
Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
18
Keterangan:
Kode Penjelasan
MG Masalah Geometri
SL Setengah Lingkaran
D Diameter
BD Panjang ABC Segitiga Siku-siku ABC
SAB Sisi AB Panjang AD Panjang BC Panjang LSL Luas Setengah Lingkaran
LSL-LS Luas Setengah Lingkaran
Dikurangi Luas Segitiga
LS Luas Segitiga yang
Diarsir
LK Lubang Konstruksi
MC Mislogical Construction
Gambar 4. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S2
Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S3 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri
Siswa S3 merupakan siswa dalam kelompok sedang. Siswa S3 telah mempunyai skema skema
yang cukup dalam menyelesaiakn masalah yang diberikan, meskipun berlebihan. Skema yang telah
dimiliki yaitu keliling lingkaran termasuk diameter lingkaran, segitiga, dan luas segitiga. Namun
siswa S3 tidak dapat menyelesaikan masalah yang diberikan dengan tepat.
Siswa S3 berhasil mengasimilasi informasi diameter dan mendapatkan jari-jari setengah
lingakaran. S3 juga dapat mnegasimilasi informasi bahwa luas yang dicari adalah segitiga siku-siku.
Namun, S3 gagal mengakomodasi strategi pemecahan masalah. Awalnya, S3 mencari keliling
setengah lingkaran. Menurutnya, keliling lingkaran tersebut dapat digunakan untuk mencari jari-jari
setengah lingkaran tetapi S3 gagal melogikakan idenya tersebut. Dan menyimpulkan bahwa alas
segitiga panjnagnya 5 cm dan tingginya 8 cm. Berikut ini kutipan wawancara peneliti dengan siswa
S3:
P : coba, kamu ceritakan kembali, kemarin gimana ngerjakannya?
S3 : ini mencarinya yaitu setengah keliling, yaitu pi kali d. ini diameternya 10, sehingga 3,14 dikali
10 dibagi 2. Ini tak jadiin pecahan campuran hasilnya dikali dibalik, jadinya 15,7 trus saya bikin
16.
MG
SL
BD
AB
LSL - LS
Selesai
AD
ABC
SAB
D
LSL
LS
MC
LK
-
ISBN: 978 602 1150 17 7
19
P : kemarin kenapa kok ambil pakai keliling itu?
S3 : ini kalo nggak salah untuk nyari jari-jari dulu
P : trus akhirnya luas segitiganya berapa?
S3 : setengah kali alas kali tinggi
P : ini alasnya mana?
S3 : ini, 5
P : trus tingginya?
S3 : 8
P : delapan dapat dari mana?
S3 : 10 dikurangi 2
Siswa S3 merajut skema diameter dengan setengah lingkaran mendapatkan luas setengah lingkaran
dan diharapkan untuk mendapatkan jari-jari lingkaran menunjukkan siswa mengalami mislogical
construction. Siswa mengalami kesalahan konstruksi logika karena mengaharapakan dapat
menemukan panjang jari-jari lingkaran dan digunakan untuk mencari luas segitiga, yaitu dianggap
sebagai alasnya. Selanjutnya, siswa S3 mendapatkan BC dari setengah diameter dan dirajut dengan
skema AB menghasilkan luas segitiga menunjukkan siswa S3 mengalamai mislogical construction.
Hal ini karena siswa menganggap bahwa BC sama dengan panjang jari-jari setengah lingkaran. Siswa
S3 juga mengalami lubang konstruksi, yaitu untuk mencari BC, siswa harus mengonstruksi panjang
OC dan dirajut dengan OB menghasilkan BC menggunakan teorema pythagoras.
Apabila dipetakan, struktur berpikir siswa S3 disajikan pada Gambar 5.
Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S4 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri
Siswa S4 termasuk dalam kategori siswa sedang. Siswa S4 telah melakukan adaptasi terhadap
masalah yang diberikan namun masih gagal dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Skema
yang telah dimilikinya yaitu diameter lingkaran, segitiga siku-siku, dan luas segitiga. Siswa S4 telah
berhasil mengasimilasi informasi yaitu menyadari bahwa untuk menyelesaiakan masalah, ia
menggunakan informasi diameter lingkaran untuk mencari panjang alas segitiga. Namun, siswa S4
gagal dalam melakukan akomodasi untuk mencari ukuran tinggi segitiga. Siswa S4 menggunakan
asumsi bahwa tinggi segitiga adalah tiga kali lipat dari panjang BD yaitu menghasikan 6 cm.
Akibatnya, jawaban yang dikemukakan siswa S4 menjadi salah.
-
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,
Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
20
Keterangan:
Kode Penjelasan
MG Masalah Geometri
SL Setengah Lingkaran
D Diameter
BD Panjang ABC Segitiga Siku-siku ABC
SAB Sisi AB Panjang AD Panjang BC Panjang
KSL Keliling Setengah
Lingkaran
R Jari-jari
LS Luas Segitiga yang
Diarsir
LK Lubang Konstruksi
MC Mislogical Construction
Gambar 5. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S3
Berikut kutipan wawancara peneliti dengan siswa S4:
P : coba kamu jelaskan lagi ini, kamu kemarin ngerjakannya gimana?
S4: ini kan diameternya dari A ke D adalah 10, Pak. Trus dikurangi sama ini [BD], yaitu 2, jadinya 8.
Trus nyari BC itu, saya tambahkan-tambahkan gitu. Jadi, BC nya 6.
P : 6 itu dari mana?
S4: dari 3 kali lipatnya
P : jadi luasnya segitiga berapa?
S4: jadi setengah kali alas kali tinggi. Alasnya itu 8 kali tingginya 6, trus dibagi 2. 8 kali 6 itu 48 trus
dibagi 2, hasilnya 24............
MG
SL
BD
AB
Selesai
BC
ABC
SAB
D
KSL
LS
R
LK
MC
-
ISBN: 978 602 1150 17 7
21
Apabila diakitkan dengan teori kesalahan konstruksi (Subanji, 2015), siswa S4 mengalami
mislogical construction. Kesalahan utamanya yaitu ketika Ia menganggap bahwa ukuran tinggi
segitiga adalah tiga kali ukuran panjang BD, yaitu 6 cm. Hal ini mengakibatkan juga terjadinya
lubang konstruksi, yaitu seharusnya siswa mengonstruksi panjang OC untuk mencari ukuran tinggi
segitiga menggunakan teorema pythagoras. Karena terdapat skema yang belum terkonstruksi, struktur
berpikir S4 juga mengalami lubang konstruksi. Struktur berpikir siswa S4 dalam menyelesaikan
masalah tersaji dalam Gambar 6.
Keterangan:
Kode Penjelasan
MG Masalah Geometri
SL Setengah Lingkaran
D Diameter
BD Panjang ABC Segitiga Siku-siku ABC
SAB Sisi AB Panjang AD Panjang BC Panjang LS Luas Segitiga yang Diarsir
LK Lubang Konstruksi
MC Mislogical Construction
Gambar 6. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S4
Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S5 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri
Siswa S5 tergolong dalam kelompok siswa berkemampuan rendah. Dalam menyelesaikan
masalah yang diberikan, siswa S5 telah mampu ngasimilasi informasi yang diketahi, yaitu mengetahui
bahwa yang diketahui adalah setengah lingkaran dengan diameter 10 cm dan luas yang dicari adalah
luas segitiga siku-siku. Namun, siswa S5 gagal mengakomodasi strategi untuk menemukan panjang
BC. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan siswa S5:
P : coba, kamu jelaskan lagi, kamu kemarin gimana ngerjakannya?
S5: pertama saya mencari luas lingkaran, yaitu pi kali r kali r dikali setengah
P : sehingga ketemunya.....
S5 : 39, 25
MG
SL
BD
AB
Selesai
AD
ABC
SAB
D
BC LS
LK
MC
-
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,
Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
22
P : trus selanjutnya mau cari apa ini?
S5 : trus waktu tu saya pengen cari yang ini [menunjuk daerah setengah lingkaran]
P : nah itu carinya gimana?
S5 : pi kali r kali r kali setengah, lalu ketemunya 6,28
P : trus kemudian, ini mencari apa ini? Itu gimana?
S5 : mencari nilai ini [Luas Setengah Lingkaran] dikurangi ini [Luas daerah BCD] hasilnya 32, 87,
trus kayak pindah ruas gitu. Sehingga ketemu 4, 10 875
P : jadi luasnya adalah.....
S5 : 8 kali 4 sama dengan 32
Berdasarkan wawancara di atas, siswa S5 mengalami mislogical construction dan lubang konstruksi.
Mislogical construction terjadi ketika S5 menentukan BC dengan mencari luas-luas setengah
lingkaran. Mislogical pertama, S5 menganggap daerah yang dibatasi titik BCD merupakan setengah
lingkaran, selanjutnya luas setengah lingkatan dikurangi dengan luas daerah BCD untuk mencari BC.
Hal ini mengahsilkan BC adalah 4, namun logika untuk menemukannya tidak tepat. Dengan
-
ISBN: 978 602 1150 17 7
23
ditemukannya BC, terdapat skema yang belum terkonstruksi dalam struktur berpikir S5 sehingga
mengakibatkan lubang konstruksi. Berikut struktur berpikir siswa dalam menonstruksi penyelesaian
masaalah tersaji dalam Gambar 6.
Keterangan
Kode Penjelasan
MG Masalah Geometri
SL Setengah Lingkaran
D Diameter
BD Panjang ABC Segitiga Siku-siku ABC
SAB Sisi AB Panjang AD Panjang BC Panjang LSL Luas Setengah Lingkaran
R Jari-jari
LBCD Luas daerah yang dibatasi
BCD
LS Luas Segitiga yang
Diarsir
LK Lubang Konstruksi
MC Mislogical Construction
Gambar 6. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S5
Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S6 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri
Siswa S6 tergolong siswa kelompok rendah. Siswa S6 memiliki skema yang cukup namun
prosedur pengerjaannya masih salah. S6 mampu mencoba menyelesaikan masalah, namun tidak
mampu menjelaskan langkah maupun menjastifikasi langkah penyelesaian masalah yang dibuat.
Berikut wawancara peneliti dengan Siswa S6:
P : cara menemukan jawaban ini gimana?
S6 : ngawur, Pak
P : Coba kamu jelaskan gimana coba?
S6 : awalnya nyari luas lingkarannya ini dulu [Luas Setengah Lingkaran],
MG
SL
BD
BC
LS
Selesai
R LBCD
D
LSL
SS
SAB
AB
LK MC
-
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,
Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
24
P : terus kemudian cari apa lagi?
S6 : trus cari panjang AC, yaitu pakai pythagoras
P : caranya gimana ini.......? ketemunya berapa?
S6 : 9
P : kalo udah ketemu AC 9, luasnya berarti?
S6 : alas kali tinggi, yaitu ............
P : 4 ini dapat dari mana?
S6 : gak tau, ngawur aja .....
Apabila dikaitkan dengan teori kesalahan konstruksi, Siswa S6 mengalamai mislogical construction
dan lubang konstruksi. Mislogical construction terjadi ketika Ia hendak menentukan BC. S6
menjawab ngawur untuk menentukan BC adalah 4, namun meuliskan BC adalah dua kali BD ketika
hendak menentukan AC. Setelah BC ditemukan, S6 langsung menentukan luas segitiga, padahal
terdapat skema pengonstruksi penyelesaian masalah belum ada. Hal ini menyebabkan struktur
berpikir S6 mengalami lubang konstruksi. Struktur berpikir S6 disajikan dalam Gambar 7.
Keterangan
Kode Penjelasan
MG Masalah Geometri
SL Setengah Lingkaran
D Diameter
BD Panjang ABC Segitiga Siku-siku ABC
SAB Sisi AB Panjang AD Panjang BC Panjang AC Panjang LSL Luas Setengah
Lingkaran
LS Luas Segitiga yang
Diarsir
LK Lubang Konstruksi
MC Mislogical Construction
Gambar 6. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S6
MG
SL
BD
AB
LS
Selesai
AD
ABC
SAB
D
BC
AC
LSL
LK
MC
-
ISBN: 978 602 1150 17 7
25
Pembahasan
Stacey (2015) menyatakan Students will always tend to work with what they are given rather
than introduce new things into the problem, yaitu siswa akan selalu bekerja dengan apa yang telah
diketahui daripada mengenali hal baru dalam masalah. Hal tersebut terjadi pada subjek S1 hingga S6.
Mereka sebatas melihat dan mengadaptasi penyelesaian masalah berdasarkan keterangan yang telah
diketahui dalam masalah. Dalam hal ini, mereka berhasil mengasimilasi namun gagal dalam
mengakomodasi hal-hal yang telah mereka ketahui dalam masalah. Akhirnya, mereka tidak dapat
menyelesaikan masalah dengan tepat.
Semua subjek tidak dapat menyelesaikan masalah karena struktur berpikir mereka mengalami
kesalahan. Pertama, mereka tidak menggunakan logika yang tepat ketika hendak menentukan salah
satu skema penyusun konstruksi masalah. Dengan demikian, mereka mengalami misogical
construction (Subanji, 2015). S1 menentukan BC dari AD (diameter setengah lingkaran) yaitu
berasumsi bahwa BC adalah setengah dari AD, sehingga mendapatkan BC bernilai 5 cm. S2
berpendapat bahwa luas setengah lingkaran dikuragi dengan segitiga yang diarsir merupakan prosedur
untuk menyelesaikan masalah, meskipun gagal dalam menemukan luas segitiga yang dimaksud. S3
beranggapan bahwa BC sama dengan panjang jari-jari lingkaran. S4 berasumsi bahwa BC adalah tiga
kali panjang BD yaitu tiga kali 2 menghasilkan 6. S5 berargumentasi bahwa untuk mencari BC, ia
perlu menemukan luas setengah lingkaran dan luas bagian BCD, selanjutnya dikurangkan. Hasil
pengurangan tersebut sama dengan luas segitiga yang dimaksud. S 6 beranggapan bahwa BC adalah
dua kali BD sehingga didapatkan BC sama dengan 4 cm. Kesalahan logika yang dialami semua
subjek tersebut mengakibatkan mereka tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tepat.
Berikutnya, terdapat skema-skema pengonstruksi penyelesaian masalah yang belum ada.
Subanji (2015) menyebut adanya lubang konstruksi dalam struktur berpikir subjek. Mereka perlu
adanya skema pusat lingkaran (misalkan O), OC, segitiga siku-siku OBC, dan teorema phytagras,
untuk dapat menentukan BC. Setelah ditemukannya BC, mereka dapat merajutnya dengan AB yang
berhasil ditemukannya sehingga mendapatkan luas daerah yang diinginkan.
Skemp (1976) mengungkapkan gagasan pemahaman instrumental dan relasional.
Permasalahan pada subjek tersebut negindikasikan bahwa mereka hanya mengandalkan pemahaman
instrumentalnya dan kurang dalam menggunakan pemahaman relasional. Hal ini tampak bahwa
mereka mampu dalam melakukan perhitungan namun tidak dapat berlogika dengan tepat dalam
menentukan skema-skema pengonstruksi penyelesaian masalah. Sehingga, mereka mengalami
mislogical construction dan lubang konstruksi yang berdampak pula pada kesalahan dalam konstruksi
penyelesaian masalah yang diberikan.
PENUTUP
Berdasarkan hasil deskripsi didapatkan bahwa semua subjek mengalami mislogical
construction dan lubang konstruksi. Lubang konstruksi terjadi ketika siswa mengalami kesalahan
logikanya dalam menyelesaikan masalah. Lubang konstruksi terjadi karena terdapat skema tertentu
yang belum ada dalam struktur berpikir siswa. Mislogical construction dan lubang konstruksi
menyebabkan siswa mengalami kesalahan dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.
Berdasarkan kajian tersebut, siswa perlu adanya restrukturusisasi berpikir terhadap struktur-struktur
berpikir yang mengalami kesalahan. Restrukturisasi berpikir tersebut dikenal dengan defragmenting
(Nusantara & Subanji, 2015). Defragmenting adalah proses penataan ulang struktur berpikir siswa
sehingga menjadi struktur berpikir yang lebih lengkap dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.
-
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,
Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
26
DAFTAR RUJUKAN
Biber, Cagri, Tuna, Abdulkadir, & Korkmaz, Samet. 2013. The mistakes and the misconceptions of
the eighth grade students on the subject of angles. European Journal of Science and
Mathematics Education, 1(2): 50 59.
Chinnappan, Mohan. 2003. Schema Construction among Pre-service Teachers and the Use of IT in
Mathematics Teaching: A Case Study. Mathematics Teacher Education and Development,
5 (2003): 32-44.
Chinnappan, Mohan dan Thomas, Mike. 2003. Teachers Function Schemas and their Role in
Modelling. Mathematics Education Research Journal, 15 (2): 151-170.
Derry, Sharon J. 1996. Cognitive Schema Theory in the Constructivist Debate. Educational
Psychologist, 31(3/4): 163 174 .
NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. US: National Council of Teachers
of Mathematics.
Nunokawa, Kazuhiko. 2005. Mathematical problem solving and learning mathematics: What we
expect students to obtain. Journal of Mathematical Behavior, 24 (2005):325340.
Nusantara, Toto & Subanji. 2015. Defragmenting Proses Berpikir Matematik melalui Pemetaan
Kognitif untuk Memperbaiki Kesalahan Matematika Siswa. Laporan Hibah Penelitian
Pascasarjana (Hibah Pasca) UM. Malang: Lemlit UM
Ozerem, Aysen. 2012. Misconceptions In Geometry And Suggested Solutions For Seventh Grade
Students. Procedia Social and Behavioral Sciences 55 (2012): 720-729.
Subanji. 2015. Teori Kesalahan Konstruksi Konsep dan Pemecahan Masalah Matematika. Malang:
UM Press
-
ISBN: 978 602 1150 17 7
27
KOMUNIKASI MATEMATIS LISAN SISWA HOMESCHOOLING
BERKEPRIBADIAN INTROVERT PADA MATERI OPERASI IRISAN DAN
GABUNGAN DUA HIMPUNAN
Fitri Umardiyah; Subanji; Dwiyana
Universitas Negeri Malang
Abstrak: Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keadaan yang muncul di homeschooling
dimana terdapat siswa yang dapat menjawab soal secara tertulis namun kurang dapat
menjawab soal secara lisan. Komunikasi secara lisan erat kaitannya dengan kepribadian
karena kepribadian mempengaruhi cara orang berkomunikasi. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan komunikasi matematis lisan siswa Homeschooling
berkepribadian introvert pada materi operasi irisan dan gabungan dua himpunan. Indikator
untuk melihat komunikasi matematis lisan terdiri atas tiga hal yaitu 1) menyampaikan ide
matematis kepada orang lain, 2) menggunakan bahasa / lambang matematika untuk
menyampaikan ide matematis, 3) memberikan alasan dari jawaban yang telah dibuat, yang
semuanya mencakup materi operasi irisan dan gabungan dua himpunan. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui pemberian
tes kepribadian JEPQRS, observasi, dan wawancara. Berdasarkan hasil pemilihan subjek
menggunakan tes JEPQRS, terpilih lima siswa introvert. Hasil observasi dan wawancara
menunjukkan bahwa komunikasi matematis lisan sangat jarang dilakukan. Siswa lebih
sering mengungkapkan ide melalui tulisan, kurang inisiatif dalam hal berkomunikasi secara
lisan, menjelaskan diagram venn melalui tulisan, tidak bisa membaca notasi pembentuk
himpunan dengan benar, dan memberikan alasan dari jawaban yang ia buat melalui tulisan.
cenderung pasif, baru mengemukakan pendapat ketika ditanya, jawaban yang diberikan pun
singkat dan lebih banyak menuliskan jawaban.
Kata Kunci: komunikasi matematis lisan, homeschooling, introvert, materi operasi irisan
dan gabungan dua himpunan
Proses belajar mengajar merupakan penentu keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan.
Siswa yang belajar diharapkan mengalami perubahan baik dalam bidang pengetahuan, pemahaman,
ketrampilan, nilai dan sikap. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri setiap siswa memiliki karakter dan
gaya belajar yang berbeda sehingga hasil belajarnya pun berbeda. Oleh sebab itu, sering muncul
pembelajaran-pembelajaran yang menfasilitasi siswa sesuai dengan kadar kemampuan pemahaman
dan hasil belajarnya. Selain itu, muncul pula alternatif lain berupa sekolah yang mengutamakan
karakter, bakat dan minat siswa. Hal ini dikarenakan setiap siswa memiliki kemampuan berbeda.
Salah satu pendidikan alternatif yang sekarang sedang ramai dibicarakan adalah
homeschooling. Homeschooling semakin diakui keberadaannya ketika pemerintah memberikan
kebijakan bahwa pendidikan yang dilakukan keluarga dan lingkungan termasuk dalam pendidikan
jalur informal. Beberapa anak mampu berkembang optimal di sekolah, namun sebagian mengalami
kegagalan. Menurut Korkmaz (2013), faktor yang mempengaruhi seseorang beralih ke homeschooling
adalah faktor perbedaan gender , faktor sosial, dan faktor ekonomi.
Seiring digalakkannya pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan keaktivan siswa,
pembelajaran didesain dalam diskusi kelompok. Dengan pembelajaran kooperatif, siswa tidak hanya
mengomunikasikan ide-idenya sendiri melainkan juga mengomunikasikan ide dengan teman yang
lain. Akan sangat berbeda jauh dengan sistem pembelaran di homeschooling yang lebih
mengutamakan belajar individu satu guru-satu siswa. Proses interaksi berpikir siswa homeschooling
hanya dengan guru. Siswa mendapat perhatian khusus dalam pembelajaran. Adakalanya dengan
-
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,
Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
28
perhatian khusus yang diberikan dapat meningkatkan kemampuan siswa, namun disisi lain muncul
suatu problematika tentang proses komunikasi dalam pembelajaran.
Seringkali guru merasa kesal terhadap siswa yang susah diatur, siswa yang banyak
bertanya, siswa yang bersikap dingin, siswa yang tidak pernah bertanya, ataupun siswa yang
bersikap keras hati, dan sebagainya. Kekesalan guru tersebut pada dasarnya disebabkan oleh
ketidaktahuan guru terhadap tipe kepribadian para siswa, sehingga guru merasa kesal dengan
sikap siswa yang tidak sesuai dengan keinginan guru, kemudian memarahi, tanpa memahami,
dan tanpa memberikan solusi yang sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan siswa
(Suhadianto: 2009).
Siswa introvert mengacu pada siswa yang yang memiliki kecenderungan tingkah laku serta
sifat-sifat yang tertutup, dan kurang suka bersosialisasi. Eysenck (dalam Feist, J. dan Feist, G.,
2010:413) mengemukakan individu yang termasuk dalam tipe introvert adalah individu yang selalu
mengarahkan pandangannya pada dirinya sendiri. Seluruh perhatian diarahkan kedalam hidup jiwanya
sendiri. Tingkah lakunya terutama ditentukan oleh apa yang terjadi dalam pribadinya sendiri.
Sedangkan dunia luar baginya tidak banyak berarti dalam penentuan tingkah lakunya, sebab itu
individu dengan tipe ini kerapkali jarang mengadakan kontak dengan lingkungan sekelilingnya.
Dalam pembelajaran, guru harus sering mendekati siswa yang pemalu dari waktu ke waktu
dengan cara yang lembut, dan berpengaruh agar mereka memperoleh rasa percaya diri (Hanley ,
2005). Siswa harus mendapat perhatian dari guru sesuai dengan porsi kebutuhannya. Dengan begitu
siswa yang berkepribadian introvert akan merasa terpenuhi rasa kenyamanan dalam belajar dan tidak
minder terhadap teman yang lain. Homeschooling dapat enjadi alternatif bagi siswa introvert karena
pembelajaran berlangsung dengan sestem satu guruuntuk satu siswa sehingga siswa introvert
mendapatkan perhatian yang penuh.
Komunikasi matematis merupakan hal yang sangat diperlukan untuk mempelajari
bahasa dan simbol-simbol matematika. Selain dari itu, komunikasi matematika juga dapat
melatih siswa untuk mengemukakan pendapat secara jujur, fakta dan rasional. Berbagi ide
dan wawasan dilakukan dengan maksud memperdalam pemahaman matematika siswa
(Brendefur dan Frykholim, 2004). Dalam pembelajaran, siswa sering kali menuliskan
pemikirannya dengan bahasa mereka.
Materi himpunan dipilih karena merupakan materi mendasar yang menjadi dasar dasar
dari materi lainnya. Himpunan disajikan dalam beberapa cara, seperti menyatakan dengan
kalimat, notasi pembentuk himpunan dan mendaftar anggota-anggotanya. Dengan
menyajikan himpunan dalam bentuk notasi matematika maka akan tampak komunikasi
matematis siswa dalam menuliskan simbol-simbol matematika. Pada materi himpunan
terdapat suatu hubungan antara menyatakan bahasa sehari ke dalam simbol matematika.
Materi yang akan dijadikan bahan penelitian difokuskan pada operasi irisan dan
gabungan dua himpunan. Pada materi operasi irisan dan gabungan dua himpunan terdapat
konsep yang menggunakan simbol matematika yaitu berupa notasi himpunan, diagram venn
sebagai salah satu representasi himpunan, dan penerapan operasi irisan dan gabungan dalam
kehidupan nyata. Dengan materi tersebut dapat dilihat komunikasi matematis yang meliputi
penggunaan simbol matematis dan penerapan dalam kehidupan nyata.
Komunikasi matematis dapat dilihat melalui indikator yang dibuat. Komunikasi
matematis lisan siswa homeschooling terjadi antara siswa dengan guru. Indikator komunikasi
matematis yang digunakan adalah sebagai berikut.
-
ISBN: 978 602 1150 17 7
29
Indikator komunikasi matematis lisan
a. Menyampaikan ide matematis kepada orang lain
b. Menggunakan bahasa / lambang matematika untuk menyampaikan ide matematis
c. Memberikan alasan dari jawaban yang telah dibuat
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif . Penelitian ini
merupakan jenis penelitian deskriptif. Penelitian ini bermula dari penggalian data berupa informasi
dalam bentuk cerita rinci atau asli yang diungkapkan apa adanya sesuai dengan bahasa dan
pandangan subjek penelitian. Hal yang dideskripsikan dalam penelitian ini adalah komunikasi
matematis siswa homeschooling berkepribadian introvert pada materi operasi irisan dan gabungan
dua himpunan melalui subjek penelitian. Pendeskripsian ini ditelusuri melalui observasi terhadap
subjek penelitian dalam pembelajaran matematika. Pendeskripsian ini juga dilakukan dengan
memberikan tes tulis dan melakukan wawancara terstruktur kepada subjek penelitian.
Peneliti berperan sebagai perencana, pengumpul data (observasi, proses pembelajaran,
pemberian tes, dan pelaksanaan wawancara), penganalisis data, dan pelapor hasil penelitian. Pada
penelitian ini, peran peneliti bersifat observasi partisipatif karena peneliti sebagai observer sekaligus
sebagai guru. Dengan kata lain, peneliti menjadi insrumen utama dalam penelitian. Penelitian ini
dilaksanakan di Homeschooling Primagama Malang, Jl.Candi Mendut Barat C17 Kota Malang.
Instrumen pendukung dalam penelitian ini meliputi tes kepribadian, lembar observasi, tes, dan
pedoman wawancara.
1. Tes kepribadian
2. Lembar observasi
3. Tes
4. Pedoman wawancara
Pada proses pengumpulan data,peneliti melakukan tahap 1) pemilihan subjek penelitian, 2)
observasi pembelajaran, 3) pemberian tes tulis, 4) pelaksanaan wawancara. Subjek yang dipilih adalah
siswa Homeschooling Primagama Malang kelas VII yang berkepribadian introvert. Siswa kelas VII di
Homeschooling Primagama Malang belum mendapatkan materi himpunan pada semester ganjil
karena kurikulum di Homeschooling Primagama Malang masih menggunakan Kurikulum 2006.
Subjek memperoleh materi himpunan pertama kali pada saat penelitian dilakukan.
Peneliti melakukan observasi di Homeschooling Primagama Malang untuk mencari informasi
adanya siswa introvert. Peneliti mengadakan tes kepribadian kepada siswa kelas VII untuk
mengetahui kepribadian ekstrovert-introvert. Tes kepribadian yang digunakan diadaptasi dari angket
JEPQR-S (Junior Eysenck Personality Questionare Revised- Short form). Berdasarkan hasil tes
kepribadian, dipilih siswa yang berkepribadian introvert. Berdasarkan informasi dari kepala sekolah
Homeschooling Primagama Malang, seluruh siswa kelas VII tidak ada yang tuna wicara. Informasi
tersebut sebagai dasar bahwa siswa yang menjadi subjek penelitian dapat diteliti komunikasi
matematis lisannya. Langkah yang dilakukan setelah memperoleh data valid dari lapangan adalah
melakukan proses analisis data. Aktivitas dalam analisis data meliputi reduksi data, penyajian data,
dan penarikan kesimpulan. Teknik pengecekan keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah triangulasi. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi teknik dan triangulasi sumber
untuk mengecek keabsahan data.
-
Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,
Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur
30
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Hasil Pengembangan Instrumen
Peneliti mengembangkan instrumen sebelum melakukan pengambilan data. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian adalah tes kepribadian, lembar observasi, dan pedoman wawancara.
Peneliti mengembangkan instrumen pada bulan Januari-Februari 2016. Instrumen yang dibuat peneliti
terlebih dahulu divalidasi ke para ahli sebelum digunakan untuk penelitian di lapangan.
Subjek dalam penelitian dipilih berdasarkan hasil tes kepribadian. Tes kepribadian yang
digunakan diadaptasi dari angket JEPQRS (Junior Eysenck Personality Questionare Revised- Short
form). Tes terdiri atas 24 soal dimana 12 item untuk menguji kebohongan siswa dan 12 item untuk
mengetahui tingkat ekstroversi. Proses adaptasi angket JPEQRS mempertimbangkan tiga faktor yaitu
kebahasaan, usia siswa, kondisi lingkungan di Indonesia.
Item kebohongan terdapat pada nomor 2,4,6,8,10,12,14,16,18, dan 20. Item ekstraversi
terdapat pada nomor 1,3,5,7,9,11,13,15,17,19,21, dan 23. Setiap jawaban iya diberi skor 1 dan
jawaban tidak diberi skor 0, kecuali pada item bertanda * diberi skor yang berkebalikan. Apabila
skor kebohongan maka subjek tersebut terindikasi bohong dan harus mengulang tes. Jika skor
pada item ekstraversi maka siswa tersebut termasuk siswa cenderung introvert.
Peneliti melakukan observasi terhadap performa subjek pada pelaksanaan pembelajaran.
Peneliti menggunakan lembar observasi sebagai pedoman hal apa saja yang harus diobservasi. Untuk
keperluan tersebut, peneliti mengembangkan instrumen lembar observasi. Sesuai dengan indikator
komunikasi matematis tulis dan lisan, peneliti mengembangkan lima aspek untuk mendukung
kegiatan observasi pembelajaran yaitu sebagai berikut.
Cara siswa menyatakan himpunan dalam diagram Venn
Cara siswa menyatakan himpunan dalam notasi pembentuk himpunan
Tindakan siswa ketika ia butuh bantuan
Cara siswa menyampaikan respon terhadap pertanyaan guru
Cara siswa memberikan alasan terhadap jawaban yang dibuat
Masing-masing aspek dilengkapi dengan rumusan performa siswa. Observer dapat memberi tanda
pada performa yang muncul. Apabila ada kejadian di lapangan yang diluar dugaan, observer dapat
menambahkan keterangan pada kolom catatan.
Wawancara dilakukan dengan tujuan mengetahui komunikasi matematis lisan siswa.
Pertanyaan wawancara harus sesuai dengan fokus penelitian. Oleh karena hal tersebut, peneliti
membuat pedoman wawancara sebagai acuan dalam memberikan pertanyaan kepada subjek
penelitian. Pedoman wawancara memuat item pertanyaan yang dapat mengungkap indikator
komunikasi matematis lisan dan sesuai dengan materi. Pengembangan pedoman wawancara
memperhatikan lima hal sebagai berikut.siswa. Pengembangan pedoman wawancara memperhatikan
empat hal sebagai berikut.
Kepribadian introvert
Kemungkinan jawaban muncul
Pertanyaan pelacak apabila siswa tidak bisa menjawab
Pertanyaan lanjutan
Bisa mengungkap komunikasi lisan (sesuai indikator)
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini tersaji pada lampiran.
b. Hasil Pengambilan Data
Subjek penelitian merupakan elemen penting dalam sebuah penelitian. Peneliti melakukan
pemilihan subjek dengan memberikan tes kepribadian kepada siswa Homeschooling kelas VII pada 18
Februari 2016 pada saat mereka berkumpul di kantor untuk mengikuti kelas psikologi. Siswa yang
mengerjakan tes sebanyak 11siswa.
-
ISBN: 978 602 1150 17 7
31
Sistem penskoran terbagi menjadi dua, yaitu untuk menilai kebohongan dan tingkat
ekstroversi. Skor kebohongan yang 6 mengindikasikan bahwa siswa bohong dan tes harus diulang.
Skor ekstroversi yang < 6 menunjukkan bahwa siswa mempunyai kepribadian introvert. Hasil tes
kepribadian di sajikan dalam tabel 1. Siswa yang dipilih sebagai subjek penelitian adalah siswa yang
tidak bohong dan memiliki kepribadian introvert dengan skor relatif rendah sebanyak lima siswa.
Tabel 1. Hasil Tes Kepribadian
No Siswa
Skor Kesimpulan
Skor
Kebohongan
Skor
Ekstroversi
Bohong/
Tidak
Ekstrovert/
Introvert
1 Siswa 1 (YW) 5 3 Tidak Bohong Introvert
2 Siswa 2 4 5 Tidak Bohong Introvert
3 Siswa 3 4 5 Tidak Bohong Introvert
4 Siswa 4 7 3 Bohong -
5 Siswa 5 5 9 Tidak Bohong Ekstrovert
6 Siswa 6 (JS) 5 2 Tidak Bohong Introvert
7 Siswa 7 4 8 Tidak Bohong Ekstrovert
8 Siswa 8 (RC) 4 2 Tidak Bohong Introvert
9 Siswa 9 (VA) 4 3 Tidak Bohong Introvert
10 Siswa 10 (EA) 4 2 Tidak Bohong Introvert
11 Siswa 11 4 4 Tidak Bohong Introvert
Keterangan : Siswa yang terpilih sebagai subjek penelitian adalah siswa yang bertanda merah. Subjek
akan disebut sesuai dengan inisial
Setelah subjek terpilih, peneliti mengobservasi siswa selama pembelajaran, kemudian peneliti
melakukan wawancara untuk mengungkap lebih mendetail tentang komunikasi lisan.
1. YW
YW belum bisa menggambarkan diagram Venn dengan sempurna. YW tidak membuat kotak
dan tidak menuliskan semesta himpunannya. Penamaan diagram Venn masih belum konsisten karena
terkadang menggunakan huruf kapital, huruf kecil, bahkan digunakan bersamaan. YW menyertakan
tanda titik didekat bilangan untuk menunjukkan anggota himpunan.
Membuat notasi pembentuk himpunan merupakan hal yang sulit bagi YW. Dia masih perlu
diingatkan untuk membuat kurung kurawal sebelum menuliskan himpunan. YW jarang menggunakan
simbol-simbol matematis seperti lebih sering menggunakan kata elemen daripada simbol . YW
sering terbalik dalam menuliskan simbol irisan dan gabungan dan terbalik dalam menggunakan
kurang dari dan lebih dari.
YW masih kurang peka dalam menyadari apa yang ia bingungkan terhadap materi irisan dan
gabungan dua himpunan. Dia mengetahui kalau dia merasa ada sesuatu yang hilang dalam skemanya,
namun kurang cepat dalam menyadari. YW memberitahu guru bahwa dia kebingungan dan meminta
diulang dari awal.
Cara YW memberikan respon terhadap pertanyaan guru adalah dengan cara bertanya balik
kepada guru karena belum mengerti secara jelas tentang maksud pertanyaan sekaligus untuk
meyakinkan bahwa persepsi yang dia tangkap adalah benar. Setelah merasa pertanyaan jelas, YW
meminta waktu untuk berpikir dulu kemudian menjawab. Apabila gur