Proses Perjuangan Kemerdekaan di Surabaya
“Soemarsono — Revolusi Agustus”,
Hasta Mitra, Jkt 2008, Hlm. 30-55.
Yang saya maksud dengan ideologi cita-cita kemerdekaan itu yalah kesediaan
berkorban dengan tekad “merdeka atau mati” seperti yang saya alami di Surabaya
itu dan sebelumnya sudah disiapkan. Satu tahun lamanya kita menyiapkan secara
ideologis karena kita sudah mempunyai ancer-ancer, yang namanya momen itu, yaitu
kalau nanti Jepang menyerah, itulah saatnya proklamasi kemerdekaan dan kita
bersedia mati untuk perjuangan kemerdekaan itu. Inilah suatu kampanye yang
memberikan dan mengusahakan kesedaran kepada rakyat seperti mau lompat jauh,
ancang-ancang dengan ancer-ancernya yang jelas, yaitu kalau Jepang menyerah,
menyatakan proklamasi dan kita bersedia mempertahankan proklamasi itu sampai
mati. Ancer-ancer itu lama sebelumnya dipersiapkan dan kita memperoleh dukungan
dari anak-anak muda yang memang sudah tidak mau dijajah lagi. Itu kampanye
ideologis untuk menciptakan semangat perjuangan dan perlawanan menentang
penjajahan nanti.
Gerakan Pemuda
Pada zaman tahun ‘45, bahkan sebelum itu, tapi yang menonjol sesudah
Proklamasi ’45, yang memegang peranan adalah gerakan pemuda. Gerakan pemuda
itu, kalau menurut Bung Karno adalah tulang-punggungnya gerakan. Jadi tanpa
gerakan pemuda tidak ada gerakan rakyat. Dalam partai-partai politik, di kalangan
orang-orang senior pergerakan, mereka mempunyai teori, tapi teori ini tidak akan
ada artinya kalau tidak ada gerakan fisik yang menjalankan teori itu. Nah, seperti
Revolusi Agustus tahun 1945 itu, karena cetusan semangat pemuda dengan
semboyan “hidup atau mati untuk kemerdekaan Indonesia” itu, lahirlah gerakan
pemuda, laskar-laskar rakyat bersenjata, termasuk Badan Keamanan Rakyat – BKR
yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat – TKR. Dari TKR menjadi Tentara
Republik Indonesia - TRI dan akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia – T.N.I.
Jadi waktu zaman tahun 45 itu belum ada tentara, tetapi yang ada pemuda, oleh
sebab itu adanya tentara juga berasal dari gerakan pemuda. Karena itu yang
doorslaggevend, artinya yang paling menentukan adalah gerakan pemuda. Bung
Karno selalu dalam agitasinya itu bilang: “Berilah pilihan kepadaku 10.000 orang tua
atau kasih kepadaku 100 pemuda, tapi aku pilih yang 100 pemuda itu!” Selanjutnya
dia bilang: ”Kasih kepadaku 100 pemuda, aku akan pindahkan Gunung Semeru!”. Jadi
maksudnya memang dia butuh pemuda, sebab pemuda ini pelaksana dan pemuda ini
powerful. Nah, sekarang yang penting yalah kita membangkitkan mereka itu untuk
berjuang dan ini mereka yang mau berjuang ini tidak terbatas pada yang muda saja,
yang tua-tua pun dengan berbagai bentuk bisa memberikan sumbangan, bisa
membantu supaya ada perjuangan rakyat, perjuangan bangsa. Saya mengemukakan
perjuangan ini, kalau tidak ada pemuda, tidak ada yang muda-muda, tidak ada
perjuangan fisik, itu hanyalah dari teori ke teori saja, tidak ada yang melaksanakan.
Jangankan kok berjuang begitu, untuk angkat-junjung kursi itu saja kalau nggak ada
tenaganya yang muda-muda ini juga tidak bisa.
Apa lagi untuk perjuangan. Oleh sebab itu menurut saya, kita jangan meninggalkan
pengertian perjuangan itu dari kekuatan fisik. Dalam proses Revolusi Agustus ’45,
ada pandangan harus ada partai komunis, partai pelopor, ada partai yang harus
memimpin, yang memberikan komando atau arah pada perjuangan. Pandangan ini
memang benar. Tetapi ada kebenaran yang lain lagi, yaitu kalau tidak ada kekuatan
lain, kekuatan fisik, power fisik, physical power, itu hanyalah perjuangan dari teori
ke teori saja. Tidak ada yang melaksanakan. Pada waktu itu pemuda memang
mempunyai peranan jadi tulang punggung, mempunyai peranan yang menentukan juga.
Tetapi kalau dikatakan revolusi pemuda, itu tidak ada.
Revolusi itu mempunyai watak nasional-demokrasi dan ada klas-klas yang menjadi
pendorong untuk lahirnya revolusi. Pemuda ini sebenarnya kelompok yang tidak bisa
disamakan dengan klas. Dalam semua klas ada kelompok pemudanya. Kalau pemuda
itu bisa bersatu, karena ada satu cirinya, yaitu karena umurnya yang masih muda,
maka heroismenya tinggi, romantik, romantik heroisme pemuda. Itulah gerakan
pemuda periode tahun ‘45 dan saya mengalaminya. Kalau tahun ‘45 itu tidak ada
gerakan pemuda dari berbagai-bagai klas dengan romantik heroismenya itu, tidak
akan terjadi Revolusi 17 Agustus 1945 itu. Saya bukan mengecilkan peranan
perjuangan dari orang tua, sekarang ini juga saya sudah termasuk yang paling tua.
Kalau saya, sampai nanti masuk liang kubur, selama saya masih mampu dengan
ingatan saya, saya yah masih ingin membantu perjuangan. Itulah keinginan saya.
Tapi kalau namanya berjuang, yang jadi soal adalah fisik saya. Kalau saya naik
tangga, meskipun pelan-pelan, sudah menggèh-menggèh, terengah-engah juga.
Apalagi kalau disuruh kayak pemuda, sebab revolusi itu membutuhkan gerak yang
militan. Nah itu hanya bisa dilakukan oleh anak-anak muda, tetapi tidaklah berarti
semua anak-anak muda itu semua harus melaksanakan gerak fisik kayak begitu.
Pikirannya yang militan itu juga bisa ditulis, itu juga sama artinya. Yang penting itu
tekad kita. Kalau tekad kita memang mau berjuang, itu banyak bidangnya. Contoh
waktu di Surabaya itu. Kalau tidak ada gerakan pemuda ini, orang-orang seperti
Roeslan Abdulgani itu tidak akan bisa berjuang. Ketika saya di Surabaya, dia itu
masih di Angkatan Muda Indonesia – AMI ( Lihat Memoar Hario Kecik, hlm. 84,
Yayasan Obor Indonesia, 1995 Jkt: Angkatan Muda Indonesia (AMI) dibentuk
dengan restu pemerintah Jepang … Dengan dibentuknya AMI, Jepang berharap
bisa memantau perkembangan para pemuda itu dan menggunakannya untuk
kepentingan Jepang.), yang dikenal dengan nama Bung Tomo juga di Angkatan Muda
Indonesia, organisasi pemuda yang diizinkan oleh fasis Jepang ketika itu. Tetapi
mereka yang ilegal itulah yang berjuang bertaruh nyawa. Itu pilihan. Itulah kualitas.
Apakah selanjutnya mereka semua ikut berjuang? Kalau kita nanti berhasil, mereka
keroyokan rame-rame mencari kedudukan. Hukumnya memang begitu. Nah, di sini
saya ingin mengemukakan bagaimana supaya pemuda-pemuda jangan sampai
tergantung saja kepada yang tua-tua itu.
Yang tua-tua ini ada yang baik dan ada yang kurang baik. Orang yang berjuang itu
ada kalanya sudah tidak boleh kepalang tanggung. Saya berjuang dari umur delapan
belas tahun dan sekarang umur saya sudah delapan puluh satu, kalau saya tidak
berjuang lagi saya sudah melanggar kehormatan saya sendiri. Sampai liang kubur
pun saya sudah bertekad dan ketika itu saya sudah mendapat ijin dari istri saya.
Pokoknya kalau mati untuk perjuangan diikhlaskan. Ada di antara yang tua-tua itu
sudah kapok, sesudah ditahan, digebuki menjadi kapok atau jera, itu juga ada.
Tetapi kita tidak perlu mengutuk mereka, karena mereka sudah berjuang, cuma
kapok. Tetapi ada yang jelek, pernah berjuang, tapi kemudian berkhianat. Pada
waktu zaman Jepang juga ada yang begitu, sama saja, yang ilegal ada juga yang
begitu. Zaman G30S kemarin lebih banyak lagi yang berkhianat. Misalnya dari
seluruh pimpinan sentral itu ada puluhan orang yang mengkhianat. Maka itu perlu
berhati-hati, jangan mudah ikut-ikutan saja, karena kita harus melihat dan
perhatikan betul siapa yang menjadi pimpinan. Sebab kalau kita sudah masuk dalam
organisasi, pimpinan itu menentukan sekali. Nah, itulah yang saya maksud agar kaum
muda jangan sampai tergantung saja dengan yang tua-tua. Yang tua-tua banyak yang
mau berjuang bersama kalian, membantu kalian, tetapi yang muda-muda ini agar
percaya pada diri sendiri, percaya pada ideologi keyakinan perjuangan, inilah
dasarnya untuk berrevolusi. Revolusi itu bukan berontak. Berontak itu dari atas,
berontak bukan dari bawah dan berontak itu bisa dikomandoi. Tetapi kalau
kesadaran itu dari bawah.
Nah yang saya alami di Surabaya dan yang saya ingin ceritakan kepada teman-teman
pemuda, yalah, bahwa pemuda-pemuda dengan kesadaran dari bawah itulah yang
berjuang. Pemuda-pemuda Surabaya itu kesadarannya sangat luar biasa. Memang
kesadaran pemuda-pemuda itu bukan seperti orang-orang keluaran sekolah
Marx-House, (Marx House didirikan a.l. di Solo, Madiun, Magelang, Yogyakarta dll.
Lih. Kronik Revolusi Indonesia Jilid III, hlm. 203.) tetapi mereka yang memiliki
kesadaran mau melawan penjajah, mau mati untuk kemerdekaan itulah yang
berkorban dan itulah yang mewarnai Pertempuran 10 November 1945. Dalam
pertempuran itu yang mati bukan saja ratusan, tapi puluhan ribu. Saya ketika keluar
dari kota Surabaya terpaksa melangkahi mayat teman-teman itu - memilukan sekali.
Tetapi itulah bukti kesadaran dari bawah dan tidak ada yang menyesal dalam arti
sudah menjalani pengorbanan dan inilah revolusi dan revolusi anak-anak muda pada
waktu itu dan bukan sekedar mengikuti yang tua-tua saja. Yang tua-tua bahkan ada
kalanya diculik.
Wedana, bupati, walikota yang tidak memihak kemerdekaan ada yang diculik oleh
anak-anak muda karena bertentangan pikiran. Jadi kesadaran dari bawah ini,
artinya musti memihak Republik Indonesia.
Insiden Bendera
Pada tanggal 19 September 1945 terjadi peristiwa Insiden Bendera, dikenal juga
dengan istilah “Vlag Incident” - Insiden Bendera – di Jalan Tunjungan Surabaya.
Pada waktu itu di atas Gedung Yamato Hotel, yang pada zaman penjajahan Belanda
bernama Oranje Hotel, berkibar bendera Belanda merah-putih-biru. Setelah
melihat itu, pemuda-pemuda kampung datang ke rumah saya untuk menyampaikan
peristiwa itu. Ketika itu Roeslan Widjajasastra juga ada di tempat saya dan
pemuda-pemuda lainnya termasuk Soekarno (Salah seorang dari 11 kawan yang
dieksekusi oleh Rezim Hatta pada tanggal 19 Desember 1948 di desa Ngalian,
Keresidenan Surakarta.) juga ada di situ. Saya segera mengajak mereka:
“Mari kita turunkan bendera itu!” Waktu itu memang saya sudah dikenal juga
sebagai Pimpinan Pemuda Angkatan Muda Minyak Indonesia. Kira-kira 15 orang
segera berangkat dari rumah saya beramai-ramai menuju ke Jalan Tunjungan,
karena ada laporan bendera merah-putih-biru berkibar di sana. Di jalan-jalan kami
berteriak-teriak: “Ayo ikut kami, turunkan bendera merah-putih-biru!” Makin lama
makin banyak yang ikut kita, dengan jumlah lima puluhan kita tiba di tempat
bendera dikibarkan itu.
Kita mulai dengan modal pemuda 50 orang itu berteriak-teriak di bawah Oranje
Hotel itu: “Turunkan bendera!”, tetapi sersan penjaga itu tidak mengerti, dia orang
Inggris tidak mengerti arti “Turunkan bendera”.
Kita lalu teriak dalam bahasa Inggris: “Put down the flag, put down the flag!”, kita
teriak-teriak dalam bahasa Inggris, tetapi juga tidak diturunkan. Pada saat itu
orang yang bernama Mr. W.V.Ch. Ploegman, Walikota yang sudah diangkat oleh
Belanda keluar ke halaman Hotel sambil membawa kayu hitam yang diobat-abitkan.
Dia itu boxer, orangnya gede tinggi kayak Simson. Kita lempari dia dengan batu dan
kereweng - pecahan atap genting - dan kita berlari-lari, mundur. Sampai kira-kira
jarak 100 meter kita berhenti. Wah ini perjuangan, kita maju lagi berlawan sambil
berteriak: “Maju lagi, maju lagi, majuu, majuu, put down the flag!” Waktu itu sudah
bukan 50 lagi, tapi sudah ratusan orang. Ketika Ploegman keluar lagi dengan
membawa kayu yang diobat-abitkan, tiba-tiba dia ditikam perutnya sampai
mancurlah darah dan jatuh mati seketika. Tidak tahu siapa yang menusuk. Kalau
menurut perasaan saya banyak orang di sektar itu, termasuk pengendara becak juga
banyak yang ikut di situ. Begitulah terjadinya peristiwa matinya Ploegman pada
tanggal 19 September 1945 itu. Bersama dengan orang-orang yang ada di situ dan
para pengendara becak juga banyak yang ikut, kita lalu pasang tangga untuk naik ke
atas Hotel Oranje. Bukan satu orang saja, tapi dua, tiga orang sampai lebih dari
sepuluh orang yang naik ke atas, naik lagi terus sampai ke tempat bendera itu, lalu
dirobek birunya menjadi merah-putih dan berkibar dengan megah.
Rapat Raksasa di Lapangan Tambaksari Surabaya
Sebelum tanggal 19 September 1945 di Surabaya datang Aidit menemui saya. Kami
ada hubungan dalam perjuangan, karena waktu itu saya juga turut dalam gerakan
pemuda proklamasi. Dalam pertemuan itu dia minta supaya di Surabaya juga
diadakan momen aksi, dengan menyelenggarakan Rapat Samudra pada tanggal 19
September 1945. Dalam mempersiapkan rapat raksasa 19 September 1945 ini saya
clash dengan Roeslan Abdulgani. Pada waktu itu Roeslan Abdulgani masih pimpinan
Angkatan Muda Indonesia di Surabaya, lengkap dengan para pengurusnya termasuk
Bambang Kaslan, Supardi, Isman, Oetomo, Soetomo. Roeslan Abdulgani mengatakan,
bahwa dia tidak setuju momen aksi itu. Jadi maksud Roeslan Abdulgani bukan
dengan jalan begitu, sebab bisa clash dengan Jepang, lain waktu saja nanti dilihat
situasinya, sekarang situasinya dianggap tidak favorable.
Begitulah pendapat Roeslan Abdulgani yang kami dengar dari Chaerul Saleh.
Mendengar sikap Roeslan Abdulgani itu kami memang terbakar:
“Mari kita demonstrasi ke tempat Roeslan Abdulgani rame-rame”, Roeslan
Widjajasastra, saya, Rambe, anak-anak muda lalu datang berame-rame ke tempat
Roeslan Abdulgani. Waktu itu Roeslan Abdulgani sedang mengadakan rapat di
gedung SMA dengan para pengurusnya. Kami masuk ruangan itu dan Roeslan
Widjajasastra sambil kakinya dinaikkan di meja berkata: “Adakan rapat raksasa, ini
tidak bisa ditolak oleh pengurus saja, kami menghendaki diadakan rapat raksasa,
kami dari bawah!” Roeslan Abdulgani tidak menjawab apa-apa. Tetapi secara
kebetulan pada tanggal 19 September 1945 itu terjadi Insiden Bendera di Jalan
Tunjungan itu.
Itulah sebabnya mengapa momen rapat raksasa yang mestinya 19 September 1945
itu digeser menjadi tanggal 21 September 1945. Kampanyenya dari mulut ke mulut,
memakai corong saja: “Ayo rapat samudra di Tambaksari, rapat samudra di
Lapangan Tambaksari!” Yang datang di Tambaksari itu ratusanribu orang
tumplek-blek - membeludak, belum pernah ada rapat sebesar itu. Kepada
wartawan-wartawan yang ada di situ lalu saya tanya:
“Kira-kira ada berapa orang yang datang di Rapat Umum ini?”. “Yah... paling tidak
150-ribu”, jawabnya. Jumlah sekian itu pada waktu itu sudah besar sekali. Seratus
limapuluh ribu di Tambaksari itu! Rapat raksasa di Tambaksari itu diakhiri dengan
mengikrarkan semboyan kebulatan tekad “Merdeka atau Mati!”. Dalam rapat
raksasa di Tambaksari itu mana Roeslan Abdulgani berani muncul? Dia tidak ada.
Yang bicara pada waktu itu Roeslan Widjajasastra, dia bilang pada saya: “Bung, biar
saya yang bicara dulu, kalau ditembak oleh Jepang biar saya yang di tembak dulu.
Bung sudah punya istri.” Memang, Roeslan Widjajasastra lalu naik mimbar dan
bicara dia: “Supaya kita dukung kemerdekaan kita hidup atau mati! Berani mati
untuk kemerdekaan!” Lalu datang pada saya Sapia, dia pimpinan Pemuda Indonesia
Maluku - PIM, dulu pernah ikut dalam pemberontakan Kapal Zeven-Provincie, dia
bilang: “Bolehkah saya bicara, saya bekas pemberontak kapal Zeven-Provincie? “Ya,
boleh saja” jawab saya. Dia naik ke mimbar dan bicara dengan penuh agitasi. Pada
akhirnya saya yang bicara. Saya masih ingat Pancasila, pidato Bung Karno pada
tanggal 1 Juni 1945, pada waktu itu terkenal dengan istilah Lima K. Yang kesatu
yaitu Ketuhanan, kedua Keadilan, yang kemudian jadi Kemanusiaan yang adil dan
beradab, ketiga Kebangsaan, keempat Kemerdekaan, kelima Keadilan Sosial; ini
standar. Belakangan Bung Karno juga menyebut seperti yang saya serukan di
Tambaksari dulu, yaitu:
“Lima Sila ini kalau disatukan menjadi kepal, menjadi tinju untuk meninju imperialis,
lawan-lawan bejat, lawan-lawan kemerdekaan, penjajah yang menjajah Indonesia.
Ini kepal rakyat Indonesia yang bersatu!”. Wah... saya mendapat sambutan keplokan
- tepuk tangan gemuruh - iya itu yang membakar semangat rakyat.
Pada zaman penjajahan, kalau Bung Karno bicara bisa membangkitkan semangat
rakyat dan sekarang ini untuk melawan musuh-musuh kemerdekaan, untuk
memperoleh pemerintahan yang baik, perlu massa, perlu membangkitkan massa.
Jadi pemudalah yang bisa melaksanakan revolutionaire geest, revolutionaire wil dan
revolutionaire daad itu sebagai satu kesatuan. Kalau kita yang tua-tua ini
revolutionaire wil-nya masih ada, tetapi revolutionaire daad fisiknya sudah lemes!
Lha itu perlunya pemuda. Waktu saya diundang oleh kawan-kawan di Eropa untuk
menyampaikan pengalaman, saya ditanya oleh anak saya: “Bapak nanti, apa kiranya
yang akan dibicarakan di sana?” “Ya kalau saya ditanya mengenai fakta-fakta
sejarah, ya apa adanya, tanpa catatan.
Karena memori saya masih fit, masih segar, saya akan bicara semua yang saya ingat.”
“Keinginan apa yang akan disampaikan kepada mereka?” tanya anak saya lagi. “Wah
saya menginginkan dan ingin menyampaikan kepada pemuda-pemuda jangan sampai
menjadi rusak karena maslah narkotika.
Sebab saya lihat pemuda-pemuda sekarang ini rusak, akibat kebudayaan imperialis
ini”. Itulah penjelasan saya padanya. Narkotik di Australia tiap empat pemuda satu
kena, di Indonesia tiga pemuda satu kena narkotik. Kalau sudah kena narkotik wah..
ini... mana ngerti untuk menanggapi cita-cita, karena sakit. Ini saya ingat perang
candu Tiongkok. Akibat perang candu, imperialis berhasil masuk Tiongkok.
Bukan satu imperialis tetapi beberapa imperialis sekaligus menjajah Tiongkok. Dan
sekarang narkotik ini membikin pemuda kita rusak. Tetapi bukan narkotik saja, saya
lihat itu pemuda yang istilahnya Bung Karno dengan musik ngak-ngik-ngok -
hingar-bingar - yang bisanya hanya jingkrak-jingkrak kayak begitu sudah merasuk
ke perorangan, tidak ada cita-cita kemasyarakatan, lupa akan cita-cita bersama
kepentingan bangsa. Tetapi sekarang ini bukan pemuda saja, elit juga sama. Coba
lihat saja mereka yang memerintah, apa DPR, apa menterinya, apa pegawai-pegawai
tingginya di sana, mana yang memikirkan kepentingan rakyat. Yang dipikirkan
bagaimana memperkaya diri. Bobrok moralnya! Lha kalau mempunyai pemerintah
yang elitnya kayak begitu, aparatnya begitu, jenderal-jenderalnya juga begitu,
kerjanya sibuk memperkaya diri apa yang mau diharapkan dari satu pemerintah
yang begitu? Pemuda-pemuda yang masih segar, masih fresh, masih bersih, masih
jernih musti bangkit. Dalam hal ini saya ingin mengajukan kampanye untuk melawan
itu narkotik, melawan semua yang datangnya dari kebudayaan imperialis untuk
menanamkan jiwa perjuangan revolutionaire geest, revolutionaire wil, revolutionaire
daad. Dulu di Surabaya waktu saya bicara di Tambaksari mendapat sambutan yang
hangat, saya teriak-teriak begitu dan mereka itu benar bersemangat sekali waktu
itu. Setelah saya ngomong seperti itu, lalu ditanya lagi oleh anak saya: “Apakah itu
tidak untuk menyenangkan bapak saja?”. Jadi waktu saya ditanya oleh anak saya, itu
saya jawab, bahwa saya akan mendorong untuk melakukan kampanye bagaimana
membangkitkan revolutionaire geest, revolutionaire wil, revolutionaire daad,
artinya bukan saya saja. Kalau saya kan hanya tenaga satu orang, tetapi akan
dilakukan oleh siapa saja yang sekarang ada pengertian yang bersambung dengan
saya. Marilah kita berkampanye –untuk membangkitkan bagaimana pemuda bangkit
berjuang!
Peranan Pemuda Republik Indonesia – PRI di Surabaya
Pada tanggal 21 September 1945 di Surabaya didirikan organisasi pemuda dengan
nama Pemuda Republik Indonesia - PRI. Di dalam PRI tergabung organisasi-
organisasi pemuda yang sudah terbentuk sebelumnya, antara lain Pemuda Indonesia
Maluku, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, Pemuda Indonesia Kalimantan, juga
Gabungan Pemuda Kantor/Bengkel-bengkel, Pemuda Pelajar. PRI merupakan wadah
peleburan organisasi-organisasi pemuda tersebut. Sebagai Pucuk Pimpinan PRI, di
situ ada saya, Roeslan Widjajasastra, Bambang Kaslan dan lain-lainnya. (Lihat
Memoar Hario Kecik, hlm. 701: Pucuk Pimpinan PRI. Yayasan Obor Indonesia, Jkt.
1995. ) Sebagai markasnya, PRI menempati satu gedung bekas milik Belanda yang
terletak di jalan Wilhelminalaan. Papan nama jalan markas kami itu kemudian diganti
menjadi Jalan Merdeka. PRI bikin Markas di situ dan peristiwa bersejarah,
perlucutan pertama Tentara Jepang terjadi di situ. Benar-benar itu rakyat yang
melucuti. Dalam proses pergolakan di Surabaya selanjutnya, markas kecil di Jalan
Merdeka itu pindah ke tengah kota dan Hotel Simpang yang besar di tengah kota
itu dijadikan Markas Pemuda Republik Indonesia yang baru.
Kemudian pada tanggal 23 September 1945 diadakan rapat Angkatan Muda
Indonesia – AMI - bertempat di pavilyun Gedung Nasional Indonesia – GNI di Jalan
Bubutan Surabaya. Dalam rapat itu Roeslan Abdulgani meletakkan jabatan sebagai
Ketua AMI. Dia memang mengatakan begini: “Saya memang sudah terlampau tua
untuk memimpin pemuda, saya usulkan kepada saudara-saudara, karena ada calon
yang lebih cocok dengan saudara-saudara, ya ini Soemarsono!” Lho, benar ini,
tanggal 23 September 1945 itu peristiwa sejarah. “Apakah Saudara-saudara bisa
menerima?”, lalu semua serentak aklamasi menerima, oleh karena mereka sudah
mengenal saya ini mulai dari aksi perlawanan. Sejak itu sudah tidak ada lagi
Angkatan Muda Indonesia yang dipimpin Roeslan Abdulgani, yang ada Pemuda
Republik Indonesia – PRI - dan AMI meleburkan diri ke dalam PRI. (Pada rapat
tanggal 23 September 1945 mayoritas anggota mendukung integrasi AMI ke dalam
organisasi PRI yang terbentuk dua hari sebelumnya dan dengan kemampuan sendiri
mengambil inisiatif melucuti Tentara Jepang. Para pemuda menganggap hal ini lebih
sesuai dengan semangat revolusioner Surabaya saat itu. … Pada rapat itu dilakukan
serahterima pimpinan AMI dari Ruslan Abdulgani kepada Soemarsono sebagai
pimpinan PRI. Lihat Memoar Hario Kecik hlm. 84) Roeslan Abdulgani takut aksi
perlawanan, pemimpin yang takut aksi. Jadi sudah benar kalau dia ngomong sudah
terlampau tua. Tetapi kalau menurut saya dia itu penakut, sebenarnya karena tidak
ada dedikasi, tidak ada semangat pengorbanannya. Sebagai orang perjuangan, saya
selalu kemukakan kepada istri saya waktu saya pengantin baru, kalau mati di tempat,
seperti Pak Musso, mati di mana saja, asal untuk cita-cita, untuk perjuangan rakyat,
menghamba rakyat, kalau yakin tidak merasa salah, ikhlaskan saja. Waktu Roeslan
Abdulgani itu menawarkan saya dipilih dan saya terpilih aklamasi itu, Soetomo, yang
lebih dikenal dengan nama Bung Tomo itu menyatakan juga en bloc ikut saya dan
kemudian sebagai Ketua Bagian Penerangan PRI. Itu sebabnya dia setiap malam
selalu bicara di radio. Memang Soetomo itu ada pinter-pinternya, dia menggunakan
Islam juga. Jadi dia populernya ya karena menggunakan seruan “Allahu-Akbar,
Allahu-Akbar.” Rakyat kita memang masih bisa kagum yang begitu itu dan yang
tersohor yah Bung Tomo ini. Sebenarnya Soetomo ini tidak begitu bagi orang-orang
Surabaya, artinya ya bukan apa-apa. Tapi karena merasa pengaruhnya itu besar
akhirnya Soetomo itu mendirikan organisasi baru BPRI - Barisan Pemberontakan
Rakjat Indonesia. Kemudian ada peristiwa begini. Begitu dia mengumumkan BPRI itu,
terus dia ditangkap oleh pemuda. Sebagai pendiri BPRI, Soetomo oleh mereka telah
dianggap menyalahi ketentuan organisasi PRI. Lha Soetomo alias Bung Tomo itu
digelandang ke Markas, masuk ke kamar saya.
Saya kaget juga. Waktu itu tempat saya itu diberi nama Pucuk Pimpinan Pemuda
Republik Indonesia. Di situ ada saya, Roeslan Widjajasastra dan orang-orang yang
memimpin gerakan seperti Bambang Kaslan, Supardi dsb. Dan waktu itu kalau
pemuda itu sudah bertindak kayak begitu, ya bisa selesai. Tapi karena mereka tahu,
bahwa Soetomo ini juga masuk dalam pimpinan PRI, kemudian dia dibawa ke tempat
saya. Soetomo itu jongkok di muka saya. Minta supaya ditolong untuk dikasih hidup,
sebab pemuda pada waktu itu memang sikapnya beringas. Akhirnya saya yang
memberi keterangan kepada anak-anak muda bersenjata yang menangkap Soetomo
ini.
Saya kemukakan bahwa dia tidak menyalahi apa-apa. Dia mendirikan organisasi BPRI
maksudnya bukan untuk memecah belah, tapi mengorganisasi yang belum
terorganisasi oleh pemuda. Mereka yang belum terorganisasi, misalnya ada
tukang-pengendara becak yang bukan termasuk pemuda. Nah karena saya menjadi
pucuk pimpinannya itu, jadi akhirnya dipercaya. Lalu Soetomo itu diserahkan
kembali kepada saya. Selanjutnya dia kembali sebagai ketua penerangan PRI, tapi
juga ketua BPRI.
Pertempuran Melucuti Tentara Jepang
Pertempuran melucuti tentara Jepang itu berlangsung selama tiga hari, yaitu pada
tanggal 29, 30 September 1945 dan 1 Oktober 1945, selain di Markas PRI Jalan
Merdeka juga di Genteng Kali, di Don Bosco, di Markas Kenpeitai ( Polisi Tentara
Jepang yang sangat terkenal kekejamannya pada Perang Dunia II) dan di tempat
lainnya. Dalam pertempuran perlucutan senjata itu kita pemuda memperoleh sukses
yang besar, bisa merebut sampai puluhan ribu senjata dari tentara Jepang dan
kebanyakan dari senjata itu kita rebut terutama pada awal pertempuran. Tetapi
selanjutnya tentara Jepang menyerah dan senjata diserahkan kepada pemuda.
Sebelum sampai akhir pertempuran tanggal 1 Oktober 1945 itu kita sudah dapat
melucuti tentara Jepang dan kepada kita tentara Jepang menyerahkan 80.000
karabijn dan 60 pesawat terbang di Lapangan Terbang Morokrembangan. Tetapi
satupun dari kita tidak ada yang bisa menjalankan pesawat terbang itu, karena
belum ada pilot. Melalui siaran radio, saya minta kepada teman-teman yang
mempunyai keahlian bisa menjalankan pesawat terbang ini, pilot, supaya melaporkan
diri ke Markas Besar PRI di Markas Simpang. Datang Suryadharma, waktu itu
belum jadi Laksamana Udara. Suryadarma memang pilot. Dia datang bercelana
pendek saja dan pakai kaos lengan panjang masuk ke Markas Pemuda. Saya tanya:
“Cuma you saja? Ini ada 60 pesawat.” Ya, itu revolusi! Jadi kira-kira kalau dalam
keadaan normal sulit untuk menggambarkan bagaimana waktu itu pemuda-pemuda
menempati otoritas dalam gerakan.
Seperti telah diuraikan di muka, bagaimana kita pemuda bisa memperoleh sukses
besar dalam pertempuran melucuti senjata Jepang itu, karena di dalam tubuh
tentara Jepang sendiri terdapat gerakan anti-fasis ilegal yang bekerja sama
dengan gerakan ilegal yang dipimpin oleh Widarta.
Tanpa gerakan ilegal anti-fasis orang-orang Jepang dalam tubuh pemerintahan
Jepang itu sendiri yang membantu kita, tidaklah mungkin kita memperoleh sukses
besar yang begitu cepat dalam pertempuran melucuti tentara Jepang itu. Mengenai
hal ini belum pernah ada orang yang menerangkan secara terbuka dan kejadian ini
sayalah yang menjadi saksi. Jadi benar-benar gerakan rakyat dan pemudalah yang
menghasilkan sukses besar dalam pertempuran melucuti tentara Jepang itu. Tetapi
yang aneh, ada orang yang bilang, bahwa dalam pertempuran melucuti tentara
Jepang itu yang paling berjasa itu ABRI. Padahal waktu itu belum ada ABRI, ABRI
belum lahir.
Pendaratan Tentara Sekutu (Inggris) di Surabaya
Waktu di Surabaya itu, menurut ingatan saya, pengalaman saya waktu bersama Dr.
Mustopo (Lihat Kronik Revolusi Indonesia , jlid I hlm 94 KPG 1999 tentang
Persetujuan antara pihak Sekutu dan Indonesia.), ada tekanan dari Jakarta supaya
pasukan Sekutu (Inggris) yang mau mendarat di Surabaya itu bisa diterima. Waktu
itu yang dikirim ke Surabaya itu Menteri Negara Sartono. Lalu Salyo Hadikusumo,
Menteri Keamanan ad interim, pengganti Suprijadi, datang ke Surabaya membawa
pesan: “Itu pasukan Sekutu akan mendarat di Surabaya supaya diterima dengan
baik.”
Mereka mempunyai tugas untuk urusan RAPWI - Repatriation of Allied Prisoners of
War and Internees – Komite Pembebasan Tawanan Perang dan Tahanan Sekutu
- dan urusan tahanan Jepang, yang waktu itu sudah ada dalam tahanan di
penjara-penjara Surabaya. Kami juga menerima dengan baik pesan itu. Waktu itu
dibentuk Kontak Biro yang anggota-anggotanya terdiri atas wakil-wakil dari pihak
Indonesia dan wakil-wakil dari Sekutu. Kami berhubungan dengan Sekutu melalui Dr.
Mustopo dan Roeslan Abdulgani yang waktu itu membantu kami juga dalam Kontak
Biro, karena dia memang baik bahasa Inggrisnya, dia bersama Sujono Prawirobismo,
yang juga sebagai wakil dalam Kontak Biro. Dan mereka yang melakukan kontak
dengan wakil-wakil dari pihak Sekutu untuk menyampaikan pesan dari kami, yaitu:
“Kami bisa menerima pendaratan tentara Sekutu, asalkan dari pihak Sekutu juga
jangan mengganggu urusan kami.” Artinya masalah kedaulatan adalah masalah
pengurusan kami, karena waktu itu di Surabaya kami sudah bersenjata. Kami akan
membantu pasukan Inggris itu menempati gedung-gedung mana yang diperlukan dan
untuk melaksanakan urusan mereka, urusan Rapwi. Kami pada pokoknya mau
membantu. Jadi kami juga menunjukkan goodwill dan waktu itu, karena kami juga
memang sudah menerima pesan dari Pemerintah Pusat di Jakarta. Di samping itu
kami juga dibekali kewaspadaan, karena di dalam pasukan Sekutu ada pasukan
Belanda. Walaupun begitu tidak ada sama sekali dalam pikiran kami, bahwa kami
akan menyerang pasukan Sekutu atau akan bertempur dengan pasukan Sekutu yang
berada di bawah pimpinan Mallaby itu. Pasukan yang waktu itu terkenal sebagai
pasukan yang modern, pasukan yang menang perang dalam Perang Dunia Kedua itu.
Jadi memang tidak ada pikiran kami untuk bertempur melawan mereka. Buat apa
bertempur, kalau itu bisa berjalan dengan baik.
Akhirnya di Surabaya pasukan Sekutu itu telah kami bantu untuk menempati
gedung-gedung yang mereka inginkan, lalu yaa kami menyediakan kepada mereka itu
apa yang mereka perlukan dari kami.
Kami kerahkan tenaga pemuda dan rakyat. Istilahnya juga jelas: BKR - Barisan
Keamanan Rakyat. Tapi setelah tiga hari pasukan Sekutu menduduki bagian-bagian
penting di Surabaya itu, yang kami agak curiga, kenapa kok tempat-tempat yang
mereka duduki itu seperti mengepung kami.
Kedudukan kami ini yaa seperti dikepung di kota Surabaya itu. Sebelum mereka itu
melakukan perlucutan senjata, menahani pemuda-pemuda kita, timbul pikiran pada
kami, ini seolah-olah kita sedang masuk perangkap, padahal kami menerima mereka
dengan baik.
Pertempuran Tiga Hari
Meskipun kita telah memberikan goodwill kepada pihak Sekutu dan mereka telah
menduduki posisi-posisi strategis yang mengepung kota Surabaya tetapi dalam
kenyataannya, tujuan kedatangan mereka mau mengambil senjata-senjata yang
sudah ada di tangan rakyat dan pemuda kita (Lih. Kronik Revolusi Indonesia Jilid I
hlm 96, 97 KPG. Kesepakatan antara RI dan Sekutu ttg perlucutan senjata Tentara
Jepang.). Ini berarti, mereka telah melakukan tipu muslihat terhadap kami. Dengan
berat sekali, tidak bisa lain, karena kami kepepet, kami memutuskan harus
melakukan perlawanan. Waktu kami melawan itu memang cuma bersandar pada
ideologi dan semangat kami yang berkobar-kobar merdeka atau mati! Jadi akhirnya
tercetuslah pertempuran melawan Inggris yang berlangsung tiga hari, yaitu pada
tanggal 28, 29 dan 30 Oktober 1945. Kalau tidak kepepet, kami tidak akan berbuat
begitu. Rakyat dan pemuda Surabaya dalam perjuangannya pada masa-masa itu
berideologi, yaitu ideologi kemerdekaan nasional, menolak penjajahan,
mempertahankan dan membela kemerdekaan dan kedaulatan Republik Proklamasi
dengan perjuangan bersenjata. Karena Sekutu hendak mengembalikan penjajahan
dengan kekuatan bersenjatanya. Itulah ideologi kita, geest kita, jiwa kita merdeka
atau mati itu, mau merdeka, mau berkorban untuk merdeka dan bersedia mati untuk
merdeka. Untuk bisa kuat dan menang dalam perjuangan besar itu, rakyat dan
pemuda harus menggalang persatuan nasional, persatuan dari semua golongan dan
suku yang berpikiran sama.
Mengenai Surabaya ini yang saya ingin kemukakan, bahwa itu memang peristiwa yang
besar. Besar, karena perlawanan yang hebat sekali. Coba bayangkan: Inggris
mengirimkan pasukan yang waktu itu habis menang Perang Dunia Kedua, suatu
pasukan yang dikomandoi oleh Brigadir Jenderal Mallaby. Dan pasukan Inggris ini
tekniknya sudah tinggi, persenjataannya juga sudah moderen dan orang-orangnya
sudah profesional. Jadi bukan sembarang pasukan. Mengenai jumlah pasukan
Sekutu itu ada yang mengemukakan sekitar empat ribu. Tapi kalau menurut saya
lebih dari empat ribu, sebab waktu mereka berbaris masuk kota itu, selain
menghitung jumlahnya yang benar, ada terkilas gambaran, wah ini suatu ketika kita
bisa clash dengan pasukan Inggris yang mendarat ini.
Kalau menurut saya, paling tidak enam ribu, malah waktu itu dugaan saya lebih dari
itu, jadi kira-kira delapan ribu. Pertempuran tiga hari melawan Tentara Sekutu itu
memang dahsyat sekali. Karena sadar kalau sudah dikepung dan kepepet kami ya
melawan. Bagaimana melawannya? Yah seperti Mao Zedong: “Harus berani
menurunkan kaisar dari kuda tunggangan!” Itu ukurannya. Kalau berjuang tidak
dimulai dengan berani, tidak ada perjuangan. Berani, tetapi berani karena benar.
Kalau benar harus berani. Kalau salah, ya harus mengaku salah. Itulah ideologi
orang-orang perjuangan. Pemuda-pemuda Surabaya waktu itu bertempur dengan
semangat romantik-heroismenya. Panser, tank Inggris itu dihantam pakai granat,
tapi tidak mempan. Dikasih jeglongan atau parit penghalang juga tidak apa-apa. Lalu
dihampiri oleh pemuda dan naik ke atas tank, di atas panser itu. Sesudah itu
dimasukkanlah granat itu.
Sampai begitu. Yah dia mati juga. Banyak sekali kejadian seperti itu. Kita tidak bisa
melukiskan sampai begitulah semangat pengorbanan dari pemuda waktu itu. Dan
semangat pengorbanan pemuda seperti itu yang saya lihat sekarang kayak di
Palestina, yang istilahnya intifada, siap mati.
Iya, yang di zaman Jepang disebut jibaku itu kan. Rakyat, pemuda itu kalau sudah
bulat tekatnya ya begitu, tidak ragu kayak begitu. Dan itulah yang bisa mengubah
keadaan. Di Surabaya pemuda-pemuda kita memang ikhlas, romantik, romantik
heroismenya sangat tinggi.
Intervensi Presiden Soekarno
Situasi pertempuran di Surabaya waktu itu menempatkan kita dalam keadaan unggul.
Kalau melihat pertimbangan militer dan kalau kita tidak berhenti, habislah pasukan
Inggris, karena kita unggul. Tinggal beberapa jam saja Inggris akan mengibarkan
bendera putih. Untuk menyelamatkan tentaranya yang masih hidup, Brigjen Mallaby
melaporkan keadaan pasukan Sekutu di Surabaya yang sudah kepepet sekali itu
kepada D.C. Hawthorn, komandan tentara Inggris di Jawa yang berkedudukan di
Singapore, untuk minta tolong.
Pertempuran yang pertama itu tanggal 28 dan 29 Oktober 1945, lalu yang tanggal
30 Oktober 1945 diberhentikan oleh Presiden Soekarno. Kalau umpamanya 3 jam
kemudian Bung Karno baru datang menghentikan pertempuran, Komandan Korps
Tentara Inggris itu sudah menaikkan bendera putih untuk menyelamatkan
tentaranya yang masih hidup itu.
Tetapi, perintah untuk penghentian pertempuran ini datangnya dari Bung Karno.
Sudah saya terangkan, bahwa Hawthorn dapat laporan dari Mallaby tentang situasi
pasukan Inggris di Surabaya itu dalam keadaan kepepet sekali dan minta tolong.
Mendengar laporan Brigjen Mallaby itu Mayor Jendral Hawthorn bergegas terbang
dari Singapore ke Jakarta, lalu Presiden Soekarno dicomot, Wakil Presiden Hatta
dicomot, Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin dicomot. Mereka dibawa terbang ke
Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
Saya waktu itu ikut bertempur di pinggir kota, di Wonokromo. Bersama-sama
pemuda-pemuda dan teman-teman yang lain itu saya sedang rame-ramenya
bertempur, kemudian saya dengar disuruh menghentikan tembak-menembak.
Presiden Soekarno yang memerintahkan, Presiden Republik Indonesia. Lalu saya
mencoba masuk kota, maksudnya mau menghalangi gencatan senjata itu. Ketika saya
masuk dari Ngagel berpapasan dengan mobil konvoi panjang Bung Karno itu, saya
menghadang mereka di situ. Termasuk Mallaby juga di mobil konvoi itu.
Lalu Bung Karno itu menggunakan corong pengeras suara dan menyerukan supaya
berhenti tembak-menembak: ‘’Ini Presiden Republik Indonesia Soekarno
memerintahkan berhenti, supaya jangan dilanjutkan pertempuran itu.”
Waktu saya berdiri menghadang di tengah jalan, saya tahan mobil konvoi itu dan
ketika sampai mobilnya Bung Karno itu saya agak marah dan saya katakan: “Ini kita
sudah dalam keadaan unggul kok diberhentikan? Kalau kita kepepet diberhentikan
ya bagus, tapi kita unggul kok diberhentikan. Bagaimana kok Bung tidak bicara
dengan kami yang mimpin pertempuran ini? Kami yang bertanggungjawab. Korban
pun sudah banyak dan sebentar lagi itu kita menang, kok Bung berhentikan.”
Saya belum pernah kenal pribadi dengan Bung Karno itu. Bung Karno diam saja,
Hatta juga diam saja. Lalu tidak saya duga yang keluar dari mobil kok Amir
Sjarifuddin. Amir Sjarifuddin itu termasuk pemimpin saya waktu itu, dia buka pintu
mobil dan keluar.
Kok langsung saya dirangkul, saya sudah kenal Amir Sjarifuddin sejak zaman
Gerindo. Ini pemimpin saya, Amir Sjarifuddin ini kelompok saya. Lalu saya dirangkul,
dibisiki oleh dia: “Ini sudah didiskusikan oleh kawan-kawan, oleh kami, sudah
keputusannya begini.” Oleh karena Amir Sjarifuddin sudah bilang bahwa ini sudah
keputusan, ya saya tunduk saja. Jadi saya kayak Gathutkaca ilang gapité.( Bhs.Jw.:
Kehilangan bilah penjepit ).
Kemudian malah saya diajak masuk ke mobil Amir itu, saya dibawa ke Jalan Mawar
di gedung tempat corong radio yang dipakai gembar-gembor oleh Soetomo itu.
Akhirnya saya juga ikut menyerukan berhenti tembak-menembak. Ya itu salah satu
fragmen peristiwa dalam sejarah Republik. Karena Peristiwa itu Bung Karno
kemudian jadi dekat dengan saya, lalu di rapat-rapat umum dia bilang: “Ini adikku
Kakrasana”. Tapi dalam hati saya bilang, Kakrasana yang ilang gapité itu.
Dalam salah satu perundingan setelah gencatan senjata yang diadakan pada tanggal
30 Oktober 1945 di kantor Gubernur Surabaya, Mallaby mengatakan bahwa dari
pasukan yang berada di bawah komandonya ada ribuan yang “missed or dead
inclusive white officers” (Bhs.Ingg.: “hilang atau mati termasuk perwira-perwira
kulit putih“). Dia minta kepada kami pemuda supaya mereka dikembalikan. Waktu itu
saya jawab:
“Dari kami, rakyat dan pemuda Indonesia korbannya sudah tentu lebih dari jumlah
itu. Apakah You bisa mengembalikan?” (Lihat Kronik Revolusi Indonesia Jilid I hlm
104: Perundingan tingkat tinggi di ruang kerja Gubernur Jawa Timur Surio di lantai
II. Dari pihak Indonesia hadir di samping Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta
dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, juga Gubernur Surio, Residen Sudirman,
Dul Arnowo, Sungkono, Atmadji, Soemarsono, Bung Tomo, Ruslan Abdulgani dan
Kustur. Dari pihak Inggris: Jendral D.C.Hawthorn, juga Brigadir Jendral
A.W.S.Mallaby dan Kol. Pugh.)
Memang pertempuran tiga hari melawan tentara Sekutu itu merupakan peristiwa
pertempuran yang dahsyat sekali dan kalau pertempuran itu tidak dihentikan oleh
kedatangan rombongan Presiden dari Jakarta, akan berakhir dengan kekalahan
fatal dari pasukan Mallaby. Kami patuhi perintah Presiden Republik Indonesia
karena pertimbangan perjuangan politik yang memimpin dan kami hanya
menginginkan pengakuan Kemerdekaan Republik Indonesia, pengakuan Proklamasi 17
Agustus 1945 de facto dan de jure. Di pihak lain memang benar juga alasan
gencatan senjata itu.
Bukan untuk memenangkan pertempuran, sebab pertempuran itu kelanjutan politik
dengan jalan lain. Jadi yang lebih penting memenangkan politik, bukan memenangkan
pertempuran. Pertempuran kita bisa menang, tapi politik bisa kalah. Waktu itu kami
mau berhenti bertempur atas Perintah Presiden Soekarno, itu punya arti
memenangkan politik. Artinya Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia
dipatuhi oleh rakyat, itu menjadi syarat penting untuk pengakuan internasional atas
Kemerdekaan Republik Indonesia de facto dan de jure.
Brigadir Jenderal Mallaby Tertembak
Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tertembak mati ketika baru keluar dari mobilnya
menuju masuk ke gedung Internatio, salah satu markas dari tentara Sekutu.
Tentang siapa yang menembaknya sampai sekarang masih tetap merupakan
tandatanya. Mengenai hal ini ada tiga versi, yaitu:
Versi pertama, menurut keterangan dan kesaksian Muhammad (Lihat Kronik
Revolusi Indonesia Jilid I hlm 107 ), seorang wakil dari Kontak Biro yang waktu itu
berada di dalam gedung Internatio, yang terletak di dekat Jembatan Merah. Pada
saat itu memang sedang terjadi tembak-menembak antara pihak Sekutu yang
berada di dalam gedung Internatio dan pihak pemuda yang berada di luar gedung
Internatio.
Tentara Sekutu melancarkan tembakannya lewat jendela-jendela gedung
Internatio. Para pemuda membalasnya dari luar gedung Internatio. Setelah Brigjen
Mallaby tertembak mati, pihak Sekutu menuduh bahwa para pemudalah yang
menembaknya.
Versi kedua, sebaliknya dari pihak pemuda menuduh bahwa Brigjen Mallaby justru
tertembak oleh gencaran tembakan tentara Sekutu sendiri.
Versi ketiga, menurut analisa Greg Poulgrain, Ph.D., Brigjen Mallaby memang
sengaja dibunuh sendiri oleh pihak Sekutu dengan tujuan untuk dijadikan sebagai
tuduhan provokatif, bahwa para pemudalah yang menembaknya. Dengan demikian
bisa dijadikan dalih oleh pihak Sekutu untuk mengadakan tindakan serangan
“punishment” - “hukuman” - terhadap pemuda-pemuda di kota Surabaya.
Hari Pahlawan 10 November 1945
Pertempuran yang kedua kalinya, terjadi mulai tanggal 10 November 1945. Sudah
saya terangkan, bahwa pertempuran ini memang merupakan peristiwa yang besar
sekali. Besar, karena perlawanan dari rakyat dan pemuda hebat sekali.
Sesungguhnya peristiwa 10 November itu bukan pertempuran, tetapi lebih
menyerupai hukuman, “punishment” yang diberikan oleh pihak Inggris kepada rakyat
dan pemuda di Surabaya. Dengan alasan kematian Brigjen Mallaby, dikatakan kita
menghalangi mereka dalam perlucutan senjata terhadap Jepang, tidak mau
menyerahkan tawanan Jepang dan senjatanya kepada mereka dan lain-lainnya,
mereka bertindak menghukum kita dengan kekerasan. Pada tanggal 10 November
1945 mulai jam 6.00 pagi Surabaya dihujani peluru meriam-meriam dari kapal-kapal
laut mereka dan dari udara dihujani bom-bom dari bomber-bomber mereka.
Ribuan rumah di kota Surabaya dan di kampung-kampung hancur terkena peluru
meriam dan bom-bom mereka dan ribuan mayat bergelimpangan di mana-mana.
Berhari-hari mereka lakukan serangan tersebut dengan kejam dan tak ada
pertimbangan perikemanusiaan sama sekali. Tujuan mereka supaya kita minta ampun,
menyerah pada mereka. Di Surabaya itu kita mengalami, bahwa kekejaman
imperialis itu memang luar biasa. Puluhan ribu rakyat yang menjadi korban
pemboman dalam dua kali pertempuran di Surabaya. Tetapi rakyat dan pemuda
Surabaya sama sekali tidak ada pikiran menyerah atau minta ampun, bahkan
mendidih semangatnya untuk meneruskan perlawanan bersenjata terhadap siapa
saja yang akan memaksakan kembalinya penjajahan di bumi Indonesia tercinta.
Apapun beayanya, betapapun pengorbanan yang dituntut dari rakyat dan pemuda
yang berjuang pada waktu itu, rakyat dan pemuda Surabaya akan tetap
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan tetap melawan setiap usaha dari
manapun yang akan mengembalikan penjajahan di Indonesia. Ideologi dan semangat
rakyat serta pemuda Surabaya semacam itulah yang mendorong kami
memperjuangkan kepada Presiden/Pemerintah Indonesia untuk menjadikan tanggal
10 November 1945 itu sebagai “Hari Pahlawan” yang setiap tahun diperingati
Bangsa Indonesia. Hari yang sangat bersejarah bagi perjuangan rakyat Indonesia.
Sebenarnya setiap kita belajar sejarah, itu bukanlah sejarahnya raja-raja,
pemimpin-pemimpin besar secara perorangan begitu. Saya dianggap pahlawan di
Surabaya juga tidak mau. Saya bukan pahlawan.
Pahlawan itu pengertiannya kolektif. Di sini saya ingin mengemukakan pandangan
mengenai pahlawan menurut pendapat kita. Kita berpendapat kata pahlawan itu
bukan tertuju kepada perorangan, tetapi pahlawan dalam pengertian seperti Hari
Pahlawan ini, “Hari Pahlawan 10 November” itu. Saya pernah menghadap kepada
Presiden Republik Indonesia, Bung Karno untuk mengemukakan pikiran saya tentang
makna Hari Pahlawan ini.
Ternyata Bung Karno sebelumnya juga sudah mempunyai paham teori mengenai
kepahlawanan seperti yang saya kemukakan itu. Jadi waktu itu dengan Bung Karno
tidak sulit untuk memperoleh kesatuan mengenai pengertian pahlawan itu. Adapun
yang saya kemukakan kepada Bung Karno yalah: “Begini besar pengorbanan rakyat.
Tapi meskipun begitu, yang masih hidup, pemuda-pemuda itu tidak ada pikiran
menyerah. Dan tidak ada pikiran juga, karena korban begitu banyak tekanan begitu
besar, bombardemen luar biasa, tidak ada pikiran untuk minta ampun, tidak ada.
Walaupun korban begitu banyak, tapi semangat melawan imperialisme tetap
berkobar.
Itulah yang secara ideologis yang menjadi pengertian mengenai pahlawan itu. Jadi
bukan tertuju kepada orang, tetapi kepada semangat dari perlawanan itu, yaitu
rakyat sebagai klas yang tertindas ini meneruskan perjuangan bagaimanapun
beratnya.” Karena itu pengertiannya bukan mengenai perorangan.
Pengertian semangat perjuangan tanpa mengenal ampun melawan penindasan
penjajahan itulah yang disimpulkan sebagai pahlawan dan hari itu dijadikan “Hari
Pahlawan”. Itulah kesimpulan historis saya bersama Bung Karno. Jadi ini pengertian
kita mengenai pahlawan itu. Waktu Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya itu
korbannya banyak sekali. Konon, ada keterangan bahwa Inggris mengakui dalam
peristiwa itu jumlah korban dari pihak rakyat mencapai 20.000 yang gugur, belum
lagi yang luka-luka.
Selanjutnya, saya ingin juga mengemukakan, pada zaman periode Suharto ini. Ada
yang mempersoalkan mengenai pengertian pahlawan itu, bahkan sampai dibawa ke
pengadilan, karena waktu itu dari Kodam – Komando Daerah Militer - Jakarta Raya,
ada yang mengemukakan, siapa yang menjadi pahlawan waktu penyobekan bendera di
Hotel Oranje di Surabaya itu. Kalau tidak salah waktu itu Kolonel Manuhutu apa
begitu, kecuali itu ada orang lain lagi yang juga menganggap dialah yang merobek, itu
Kusno Wibowo dan ada yang lain lagi, semuanya ada tiga orang. Mereka itu berebut,
minta supaya pengadilan memutuskan mana yang benar.
Nah, waktu itu saya mengemukakan pendapat, karena saya dimintai pendapat. Itu
yang benar, menurut saya bukan Manuhutu, bukan Kusno Wibowo, tapi itu
pengertian kolektif. Bukan tiga orang, kalau mau disebut namanya, itu kira-kira
delapan orang waktu penyobekan bendera di Tunjungan Hotel Oranje itu. Dan
delapan orang yang naik sampai ke tiang bendera itu, lalu ada yang naik sampai ke
puncaknya, dia kalau tidak ditolong oleh orang yang berdiri untuk bisa naik, dia juga
tidak bisa naik sampai ke puncak. Dan ini yang naik delapan orang ini ke atap Hotel
Oranje, kalau tidak ada massa di bawah yang mendukung, tidak bisa juga. Lha itu
pengertian pahlawan sesungguhnya. Jadi bukan “aku”, tapi “kolektif”.
Pada suatu waktu di Menteng 31 Jakarta diadakan rapat Yayasan 10 November.
Saya datang, banyak teman-teman dari Surabaya waktu itu juga datang. Ada
Roeslan Abdulgani di situ, ada bekas Menteri Petera - Pengerahan Tenaga Rakyat -
Soedibjo. Lalu Pak Dibjo ini bicara di situ.
Dia bilang: “Inilah pahlawannya!”, sambil menunjuk saya. Maksudnya, orang-orang itu
mengemukakan, bahwa merekalah yang hebat pada waktu peristiwa Surabaya itu,
tapi Pak Dibjo ini bilang, yang hebat itu Soemarsono. Karena Pak Dibjo waktu itu
tinggalnya di Penilih Surabaya, kebetulan rumahnya berhadapan dengan rumah saya.
Dia memimpin satu batalyon, saya waktu itu juga sebagai Ketua Pemuda Republik
Indonesia.
Dia tahu persis dari permulaan gerakan-gerakan rakyat dan pemuda pada waktu itu,
ya gerakan lencana, gerakan pekik, gerakan bendera, sampai kepada demonstrasi,
sampai kepada merebut senjata, dia tahu semua. Oleh sebab itu dia bilang: “Ini!”
sambil menunjuk kepada saya. Apa yang dibilang Pak Dibjo itu saya sanggah juga
waktu itu, bahwa sebenarnya yang benar itu peranan kolektif.
Sanggahan saya itu akhirnya yang diterima, termasuk Kusno Wibowo waktu itu juga
bisa menerima. Dan memang sejarah juga begitu jalannya. Bahwa ada disebut orang,
umpamanya Soemarsono Pimpinan Pemuda, itu cuma ancer-ancer saja untuk
menguatkan kebenaran, bahwa Peristiwa itu memang terjadi, tapi bukan karena
Soemarsono itu yang segala-galanya. Sebab terjadinya sejarah itu semua juga
secara kolektif.
Oleh sebab itu pengertian menurut sosialisme-ilmu atau Marxis itu landasannya
kolektif. Menurut saya itulah pengertian pahlawan yang objektif. Lain kalau
menurut pandangan kapitalis atau pandangan individualis itu memang orang-orang
itu yang disebut pahlawan. Kalau pengertiannya begitu, itu bisa mengelirukan
perjalanan sejarah, bisa mengelirukan peranan kolektif. Itulah antara lain ada
kalanya yang menimbulkan kultus individu - pemujaan pada perseorangan.
Itu menurut pendapat saya tidak perlu sebenarnya. Memang pemimpin musti ada.
Mana bisa tanpa pimpinan, ada ranglijst, ada nomor satu, nomor dua, tapi semuanya
itu sebenarnya harus dalam kesatuan kolektif. Begitu juga peranan saya, kalau
umpamanya tidak dibantu oleh teman-teman yang banyak begitu, tidak ada
peranannya apa-apa.
Sekarang ini juga saya kemukakan, bahwa pemimpin itu menurut pengalaman saya,
umur saya 81 tahun sekarang ini, pengalaman berjuang sejak berumur 18 tahun, saya
tidak pernah merasa diri saya itu lebih daripada teman-teman yang lain. Jadi kalau
ada semacam orang, memang ada kalanya orang itu, di antara kita juga banyak yang
menyombongkan diri, kalau orang Belanda bilang:
haantje de voorste, semacam jagoanlah. Artinya, kalau nomor satu dialah orangnya.
Orang yang kayak begitu itu ada. Tetapi kalau menurut saya itu subjektif. Dilihat
secara objektif, sebenarnya perbedaan itu kuantitatif saja.
Yang benar yaitu kolektif itu, peranan bersama, lalu bisa menjadi kekuatan ya
karena kolektif itu. Saya memang ambil peranan di Surabaya, sebagai Ketua Pemuda
Republik Indonesia di Surabaya waktu itu. Tetapi dalam melaksanakan peranan yang
saya alami kuwalahan juga, sering itu nggak bisa tidur, seperti bingung juga. Tetapi
karena ada organisasi, bisa dibantu oleh organisasi. Sebab kalau sudah perorangan
begitu akhirnya bisa menjadi masalah diktator, atau sentralisme yang berlebih,
atau “haantje de voorste” - sok paling jagoan sendiri itu.
Dan menurut saya kalau dalam organisasi pemimpinnya “haantje de voorste”,
sentralisme yang berlebih, saya pikir organisasinya tidak akan kuat, nantinya ada
saja sandungan. Yang benar yaitu: dari bawah, ke kolektif, lalu bergerak bersama.
Peranan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia – BKPRI
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus ’45, di berbagai daerah timbul
organisasi-organisasi pemuda revolusioner yang semula masing-masing terpisah dan
tidak ada koordinasi. Atas imbauan dari Angkatan Pemuda Indonesia Jakarta, maka
pada tanggal 10 November 1945, bersamaan waktu dengan rame-ramenya
pertempuran di Surabaya, berlangsunglah Kongres Pemuda Seluruh Indonesia yang
pertama di Yogyakarta, yang dihadiri oleh wakil-wakil organisasi-organisasi pemuda
yang sudah ada pada masa itu. Delegasi dari berbagai daerah kepulauan, dari
Sumatra, dari Kalimantan, Sulawesi semua bisa datang. Kongres membicarakan
masalah-masalah apa yang harus dikerjakan oleh pemuda.
Peranan Kongres ini sangat besar dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia,
karena Kongres ini yang doorslaggevend – menentukan. Kongres yang menghimpun
dan menyatukan kekuatan rakyat dan pemuda dalam mempertahankan dan
mengkonsolidasi Republik Indonesia. Jadi bukan seperti yang sering diuar-uarkan,
seolah-olah Maklumat X Hatta tentang peranan berdirinya partai-partai itu yang
menentukan pengkonsolidasian kekuatan Republik Indonesia. Dengan maksud untuk
ikut serta dalam kongres saya berangkat dari Surabaya dan sudah sampai di Yogya
pada tanggal 9 November 1945 malam hari. Tetapi sebelum mendaftarkan diri ke
panitia kongres, karena mendengar keadaan genting, saya kembali ke Surabaya
bersama Widarta dan yang lain termasuk seorang sopir. Widarta dan saya tidak
jadi menghadiri Kongres Pemuda yang direncanakan itu dan sampai kembali di
Surabaya pagi hari sebelum terjadi pemboman 10 November 1945. Sementara itu
ketika Kongres Pemuda sedang berlangsung terjadi suatu peristiwa yang
menggemparkan dan sekaligus mengharukan.
Saudara Muntalib sebagai wakil PRI dan wakil ketua delegasi dari Jawa Timur naik
ke mimbar dan memerintahkan delegasi Jawatimur pulang ke front Surabaya.
Saudara Muntalib kemudian gugur dalam pertempuran di Surabaya. Markas kami
ketika itu di Pacarkeling, markas PRI sebelumnya di Hotel Simpang. Tiap pagi saya
keluar dari tempat tersebut bersama Bambang Kaslan dan Supardi sesuai dengan
situasi pertempuran Oktober 1945.
Walaupun saya tidak hadir, tetapi saya dipilih oleh Kongres Pemuda menjadi salah
seorang pimpinan Badan Kongres. Kongres Pemuda Seluruh Indonesia yang pertama
10 Nopember ‘45 di Yogya itu mengambil keputusan: Organisasi-organisasi pemuda
yang ada di daerah-daerah yang seazas setujuan, seperti umpamanya API -
Angkatan Pemuda Indonesia - Jakarta, di bawah pimpinan Wikana, Aidit; Pemuda
Republik Indonesia Surabaya, PRI, di bawah pimpinan saya, Soemarsono; lalu AMRI
di Semarang - Angkatan Muda Republik Indonesia, itu di bawah pimpinan Soekarno,
lalu di Yogya Gerpri - Gerakan Pemuda Republik Indonesia - dan lain-lain organisasi
yang seazas setujuan itu berkumpul menjadi satu, mengadakan fusi atau lebur
menjadi satu organisasi dengan memakai nama Pemuda Sosialis Indonesia, disingkat
Pesindo. Itu jadi satu organisasi baru, lebur. Sebagai Ketua Pesindo waktu itu
dipilih Krissubanu. Organisasi-organisasi pemuda yang lain, walaupun tidak berfusi
menjadi Pesindo, tidak seazas setujuan, tidak mau lebur bersatu dengan Pesindo ini
tetap menggalang persatuan dengan Pesindo.
Organisasi pemuda seperti Ikatan Pelajar Indonesia - IPI, Angkatan Muda Kereta
Api Indonesia, Angkatan Muda Guru Republik lndonesia, Pemuda Puteri Indonesia -
PPI, Gerakan Pemuda Islam Indonesia - GPII, Kebaktian Rakyat Indonesia
Sulawesi – KRIS - dan lain-lainnya, bersama Pesindo, organisasi pemuda yang baru
saja terbentuk itu, mengambil keputusan mengadakan persatuan nasional bukan
dalam bentuk fusi, tetapi dengan bentuk federasi, sehingga seluruhnya ada 17
organisasi pemuda bersatu dalam satu federasi. Dalam federasi, artinya organisasi
itu masing-masing berdiri sendiri, tapi mengadakan persatuan pimpinan. Yang
menjadi badan pimpinannya waktu itu yalah Dewan Pimpinan Badan Kongres Pemuda
Republik Indonesia – Dewan Pimpinan BKPRI. Lalu dibentuk badan eksekutifnya yang
diberi nama Badan Pekerja Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia atau
disingkat - Badan Pekerja BKPRI, sebagai organ pelaksana program perjuangan dan
program pembangunan dan mengadakan persatuan. Ha, bentuk persatuan ini yang
menyerupai Front Nasional.
Jadi organisasi-organisasi pemuda yang waktu itu besar peranannya ada tujuhbelas
organisasi, bersatu dalam persatuan federatif di bawah satu pimpinan yang dipilih
oleh mereka. Di atas badan eksekutif ini ada legislatifnya yang merupakan
perwakilan organisasi-organisasi tersebut, dipimpin oleh Chaerul Saleh waktu itu,
Supeno dari Pesindo, dari IPPI Tatang Mahmud, dari GPII yang diwakili oleh
Boechori.
Lalu Badan Pekerja Urusan Pembangunan itu diserahkan pimpinannya kepada Wikana,
sedangkan Badan Pekerja Urusan Perjuangan pimpinannya diserahkan kepada saya,
Soemarsono, yang melakukan kepemimpinan eksekutif membentuk Dewan Pimpinan
Pemuda di daerah-daerah.
Dengan dibentuknya BKPRI ini, maka terwujutlah Front Persatuan Nasional dari
organisasi-organisasi yang mempunyai pengaruh besar di kalangan pemuda yang
bersatu dalam satu kepemimpinan perjuangan.
Lalu dengan BKPRI ini kita bergerak. Untuk apa? Ya, waktu itu saya sebagai Ketua
Badan Pekerja Urusan Perjuangan BKPRI bertugas terutama untuk menggerakkan
pemuda-pemuda menghadapi usaha Belanda mengagresi dan menjajah kembali
Indonesia. Karena BKPRI berpusat di Madiun akhirnya saya juga ikut pindah ke
Madiun.