Download - Referat CPCD Dengan Komplikasi SVT
BAB I
PENDAHULUAN
Kor pulmonale, atau penyakit jantung pulmonalis, adalah penyakit
rongga jantung kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit
pembuluh darah paru atau parenkim paru. Kor pulmonale dapat terjadi secara akut
maupun kronik. Penyebab akut tersering adalah emboli paru masif dan biasanya
terjadi dilatasi ventrikel kanan. Penyebab kronik tersering adalah penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) dan biasanya terjadi hipertrofi ventrikel kanan.
(Kurt.2002).
Meski prevalensi PPOK di AS mencapai 15 juta jiwa, frekuensi pasti
kor pulmonale sulit ditentukan karena keadaan ini tidak terjadi pada semua kasus
PPOK, selain juga karena pemeriksaan-pemeriksaan rutin relatif tidak sensitif
untuk mendeteksi hipertensi pulmonal. Kor pulmonale diestimasikan terjadi pada
6-7% pada semua bentuk penyakit jantung di AS, dengan PPOK (bronkitis kronis
dan emfisema) sebagai penyebab utama pada lebih dari 50% kasus. Selain itu,
kor pulmonale merupakan 10-30% bentuk dekompensasi kordis di AS
(Khozsnevis, 1999).
Aritmia ventrikular dan aritmia supraventrikular sering terjadi pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Insidensi yang dilaporkan
oleh seumlah penelitian berbeda-beda karena variasi dalam populasi (pasien
PPOK stabil atau pasien dengan eksaserbasi), ada atau tidaknya gagal ventrikel
atau penyakit jantung yang mendasari, atau pengobatan yang digunakan sebagai
manajemen aritmia (Francis, 2003).
Terjadinya aritmia pada pasien dengan kor pulmonal yang telah
mengalami gagal jantung kanan akan semakin memperburuk angka mortalitas.
Angka mortalitas pasien dengan PPOK yang memiliki komplikasi kor
pulmonalsudah cukup buruk, yakni harapan hidup 5 tahun hanya sebesar 30%.
Timbulnya aritmia akan makin memperburuk survival rate pasien. Penelitian
Hudson et al pada 70 pasien kor pulmonal menunjukkan bahwa terjadi perbedaan
angka mortalitas yang bermakna antara pasien yang tidak menderita aritmia
dengan pasien aritmia dalam 2 tahun periode penelitian. Hudson melaporkan 11
1
orang pasien kor pulmonal tanpa aritmia mortalitasnya adalah 0%. Tiga belas
pasien dengan takikardi supraventrikuler memiliki angka mortalitas 46%, dan 10
pasien dengan takikardi ventrikular memiliki angka mortalitas 100% (Francis,
2003).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kor pulmonale
1.1. Definisi
Istilah kor pulmonale, atau penyakit jantung pulmonalis, digunakan
untuk menjelaskan penyakit rongga jantung kanan akibat hipertensi pulmonal
yang disebabkan oleh penyakit pembuluh darah paru atau parenkim paru. Yang
tidak termasuk dalam definisi ini adalah kasus hipertensi pulmonal yang
disebabkan oleh gagal ventrikel kiri atau penyakit primer lain di sisi kiri antung
serta hipertensi pulmonal yang disebebkan penyakit jantung kongenital. Penyakit
paru primer menyebabkan pembesaran ventrikel kanan, mengakibatkan hipertrofi
dan pada akhirnya terjadi gagal ventrikel kanan (Kumar, 2002; Fauci et al, 2008).
Hipertensi pulmonal sekunder akibat penyakit paru kronis terjadi jika
tekanan arteri pulmonal rata-rata saat istirahat lebih dari 20 mmHg. Nilai ini
sedikit berbeda dengan hipertensi pulmonal primer, pulmonal arterial pressure
(PAP) > 25 mmHg. Pada individu muda (<50 tahun) nilai PAP berkisar antara
10-15 mmHg. Karena proses penuaan terjadi peningkatan PAP, sekitar 1
mmHg/10 tahun. Pada penderita PPOK hampir selalu terjadi peningkatan PAP,
lebih dari 20 mmHg. Nilai ini akan meningkat saar exercise, mencapai 30 mmHg
(Weitzenbaum, 2003).
1.2. Epidemiologi
Meski prevalensi PPOK di AS mencapai 15 juta jiwa, frekuensi pasti
kor pulmonale sulit ditentukan karena keadaan ini tidak terjadi pada semua kasus
PPOK, selain juga karena pemeriksaan-pemeriksaan rutin relatif tidak sensitif
untuk mendeteksi hipertensi pulmonal. Kor pulmonale diestimasikan terjadi pada
6-7% pada semua bentuk penyakit jantung di AS, dengan PPOK (bronkitis kronis
3
dan emfisema) sebagai penyebab utama pada lebih dari 50% kasus. Selain itu,
kor pulmonale merupakan 10-30% bentuk dekompensasi kordis di AS.
Kor pulmonale akut umumnya disebabkan oleh emboli paru masif.
Kasus emboli paru masif akut merupakan kondisi yang paling berbahaya. Terjadi
50.000 kematian per tahun di AS akibat emboli paru dan setengahnya terjadi
pada jam pertama akibat gagal jantung kanan akut. Secara global insidensi kor
pulmonal bervariasi pada beberapa negara, tergantung prevalensi merokok,
polusi udara, dan faktor risiko lain terjadinya bermacam penyakit paru (Sovari,
2011).
1.3. Etiologi
Penyebab utama terjadinya kor pulmonal adalah emboli paru, penyakit
paru obstrukif dan restriktif kronik, dan penyakit vaskular paru. Kor pulmonale
akut paling sering disebabkan oleh embolisme paru. Apabila embolus secara akut
menyumbat lebih dari 50% jaringan vaskuler paru, peningkatan beban mendadak
di sisi kanan jantung menyebabkan gagal ventrikel kanan. Ventrikel kanan
biasanya mengalami dilatasi, namun tidak hipertrofi. Penyebab lain dari kor
pulmonal akut adalah acute respiratory distress syndrome (ARDS), hal ini terjadi
akibat aspek patologik ARDS sendiri atau akibat ventilasi mekanik, khususnya
dengan kebutuhan volume tidal yang lebih tinggi, menyebabkan peningkatan
tekanan transpulmonal (Kumar, 2002; Sovari, 2011)
Kor pulmonale kronis paling sering disebabkan oleh penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK). Pada kor pulmonale kronis, berbeda dengan kor
pulmonale akut, hipertensi pulmonal yang menetap memungkinkan terjadinya
hipertrofi ventrikel kanan kompensatorik. Ventrikel kanan kurang mampu
mengakomodasi peningkatan beban tekanan dibanding ventrikel kiri. Seiring
berjalannya waktu, ventrikel kanan secara progresif mengalami dilatasi dan
akhirnya tidak mampu mempertahankan curah jantung pada tingkat normal. Jika
hal ini terjadi, timbul gejala dan tanda khas untuk gagal jantung kongestif sisi
kanan. Dekompensasi akut dapat terjadi setiap saat pada pasien dengan kor
pulmonal kronis (Kumar, 2002).
4
Terdapat dua mekanisme esensial yang mendasari timbulnya hipertensi
pulmonal yang menyebabkan kor pulmonale. Yang pertama adalah reduksi atau
kerusakan pada sejumlah besar pembuluh darah paru, menyebabkan terjadinya
aliran darah secara paksa ke pembuluh darah yang lebih sedikit, menyebabkan
kongesti dan hipertensi. Yang kedua adalah reflek vasokonstriksi dari arteriol
pulmonal sebagai respon terhadap hipoksia, hiperkapnea, atau asidosis yang
sering terjadi bersamaan dengan penyakit paru (Nowak, 2008)
Tabel. Penyakit yang memudahkan timbulnya kor pulmonale
Penyakit paru Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
Fibrosis interstisium paru difus
Ateletaksis luas persisten
Fibrosis kistik
Penyakit pembuluh darah paru Embolisme paru
Sklerosis primer pembuluh darah paru
Arteritis pulmonalis ekstensif
(granulomatosis Wegener)
Sklerosis pembuluh darah akibat radiasi,
toksin, atau obat
Penyakit yang mempengaruhi gerakan
dada
Kifoskoliosis
Kegemukan berat (pickwickian syndrome)
Penyakit neuromuskulus
Gangguan yang memicu konstriksi
arteriol paru
Asidosis metabolik
Hipoksemia
Altitude sickness kronis, obstruksi saluran
nafas besar
5
Tabel. Penyebab kor pulmonale berdasarkan proses akut dan kronis
1.4. Patogenesis
1.4.1 Patogenesis Kor Pulmonale
Sejumlah mekanisme patofisiologi berbeda dapat menyebabkan
hipertensi pulmonal dan pada akhirnya kor pulmonal, sebagai berikut : (Sovari,
2011)
- Vasokonstriksi pulmonar akibat hipoksia, menyebabkan hipertensi
pulmonar dan jika hipertensinya cukup berat, dapat mengakibatkan kor
pulmonale.
- Perubahan anatomi dari pembuluh darah paru sekunder karena penyakit
parenkim atau alveolar paru (seperti emfisema, tromboemboli paru,
penyakit paru interstisial, ARDS, dan penyakit reumatoid). Kondisi-
kondisi ini dapat menyyebabkan peningkatan tekanan darah pulmonar,
yang pada akhirnya juga menyebabkan kor pulmonale.
- Peningkatan viskositas darah sekunder akibat gangguan hematologi
(polisitemia vera, anemia sickle cell).
- Hipertensi pulmonar primer idiopatik.
6
Akibat dari mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan arteri pulmonar.
Curah jantung dari ventrikel kanan seperti halnya di kiri disesuaikan
dengan preload, kontraktilitas dan afterload. Meski dinding ventrikel kanan tipis,
namun masih dapat memenuhi kebutuhan saat terjadi aliran balik vena yang
meningkat mendadak (seperti saat menarik nafas). Peningkatan afterload akan
menyebabkan perbesaran yang berlebihan. Hal ini terjadi karena tahanan di
pembuluh darah paru sebagai akibat gangguan di pembuluh sendiri maupun akibat
kerusakan parenkim paru. Peningkatan afterload ventrikel kanan dapat terjadi
karena hiperinflasi paru akibat PPOK, sebagai akibat kompresi kapiler alveolar
dan pemanjangan pembuluh darah dalam paru. Peningkatan ini juga dapat terjadi
ketika volume paru turun mendadak akibat reseksi paru demikian pula pada
restriksi paru ketika pembuluh darah mengalami kompresi dan berubah bentuk.
Afterload meningkat pada ventrikel kanan juga dapat ditimbulkan pada
vasokonstriksi dengan hipoksia atau asidosis (Sudoyo,W.2006).
1.4.2 Patologi hipertrofi ventrikel kanan
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respon adaptif lokal mulai
terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respon tersebut mencakup
reaksi neurohumoral serta perubahan molekular dan morfologik di dalam
jantung. Salah satu respon neurohumoral yang paling dini terhadap penurunan
curah jantung adalah peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Katekolamin
menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan
peningkatan kecepatan jantung (Kumar, 2002).
Seiring dengan waktu, jantung yang kelebihan beban akan berespon
dengan mengalami berbagai remodelling, termasuk hipertrofi dan dilatasi.
Karena serat otot jantung pada orang dewasa tidak lagi mampu berproliferasi
secara bermakna, adaptasi struktural awal terhadap beban kerja yang terus
menerus tinggi adalah hipertrofi setiap serat otot. Secara morfologi terdapat 2
jenis hipertrofi, yakni :
- Hipertrofi konsentrik. Pola hipertrofi ini terjadi akibat jantung hanya
mendapat beban tekanan (misal, hipertensi, stenosis katup). Hipertrofi
7
ditandai dengan peningkatan garis tengah setiap serat otot, menyebabkan
ketebalan dinding ventrikel meningkat tanpa peningakatan ukuran rongga
jantung.
- Hipertrofi eksentrik. Pola hipertrofi ini terjadi apabila jantung mendapat
beban volume abnormal, bukan beban tekanan (misal, regurgitasi katup
atau pirau abnornal). Pada keadaan ini panjang setiap serat bertambah,
ditandai dengan peningkatan ukuran jantung serta peningkatan ketebalan
dinding.
Hipertrofi mulanya berfungsi sebagai respon adaptif positif, hampir
sama dengan hipertrofi serat otot rangka yang memungkinkan seorang atlet
mengakomodasi peningkatan beban kerja. Meski memiliki efek hemodinamik
potensial, hipertrofi ini harus dibayar mahal oleh sel. Kebutuhan oksigen
miokardium yang mengalami hipertrofi meningkat, karena massa sel miokard
dan tegangan di dinding ventrikel meningkat. Hal ini pada akhirnya
menyebabkan iskemia miokardium yang akan mengganggu kontraktilitas miosit,
bahkan kematian prematur miosit (Kumar, 2002).
Peningkatan beban kerja jantung memudahkan terjadinya dilatasi
jantung, atau pembesaran rongga. Miokardium menjadi lebih tebal, kurang
elastis, dan tonus normal miokard menurun. Hal inilah yang kemudian
menyebabkan kardiomegali pada CHF. Saat miokard mengalami dilatasi,
kemampuan miokard untuk berkontraksi secara adekuat juga menurun, yang
kemudian menyebebkan terjadi dekompensasi (Francis, 2003).
1.4.3 Patogenesis gagal jantung
Gagal jantung adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan
terganggunya struktur dan atau fungsi jantung, menyebabkan dispnea atau fatik
saat istirahat atau beraktivitas. Keadaan ini terjadi karena jantung tidak mampu
memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan. Yang tidak termasuk dalam definisi ini adalah kondisi
yang gangguan curah jantungnya terjadi akibat kekurangan darah arau proses lain
yang mengakibatkan gangguan aliran balik darah ke jantung (Nowak, 2004)
8
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure,
hampir selalu disertai dengan peningkatan kongsti (bendungan) di sirkulasi vena
(backward failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu menyemprotkan
dalam jumlah normal darah vena yang disalurkan ke dalamnya sewaktu diastol
(Nowak, 2004).
Penyebab tersering gagal jantung sisi kiri adalah hipertensi sistemik,
penyakit katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit
miokardium primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal
ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria
pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal ventrikel
kiri, seperti pada pasien dengan penyakit intrinsik parenkim paru dan / pembuluh
paru (kor pulmonale) dan pada pasien dengan penyakit katup pulmonal atau
trikuspid. Keadaan ini kadang terjadi pada penyakit jantung kongenital.
Faktor-faktor penyebab gagal jantung kongestif (Nowak, 2004) :
1. Kelemahan miokard
Kelemahan miokard terutama disebabkan oleh atherosklerosis dan
stenosis pada arteri koroner. Ketika stenosis mencapai 50-70%, hanya
kebutuhan oksigen miokard pada istirahat yang dapat dipenuhi.
Atheroskerosis secara progresif akan menyebabkan hipoksia jaringan dan
nekrosis. Miokard yang mengalami nekrosis akan akan digantikan oleh
jaringan ikat fibrosa yang lebih kaku, mengakibatkan penurunan
compliance ventrikular.
Proses lain yang menyebabkan kelemahan miokard adalah
trombosis di arteri koroner, vasospasme yang berkembang pada penderita
infark miokard, miokarditis atau kardiomiopati.
2. Restriksi sistem pompa
Bahkan saat mikardium tidak mengalami kerusakan dan secara
adekuat disuplai oleh oksigen, jantung masih tidak dapat menjalankan
fungsi pompanya secara adekuat karena adanya restriksi pada sistem
pompa. Malfungsi katup jantung adalah salah satu penyebabnya. Katup
yang inkompeten, tidak dapat menutup dengan kuat, akan menyebabkan
aliran balik (backward) dalam sirkulasi jantung atau paru. Jika katup
9
tidak dapat terbuka secara nomal, penurunan aliran darah menuju jantung
dapat menyebabkan penurunan cardiac output.
Keadaan lain yang dapat mengganggu sistem pompa jantung
antara lain malformasi kongenital, massa intrakardia (tersering adalah
myxoma, tumor endotel pada atrium kiri; 35-50% tumor primer kardia),
atau disritmia. Disritmia dapat disebabkan oleh iskemia, infark, imbalans
elektrolit, atau keadaan lain yang dapat mengganggu sistem konduksi
jantung.
3. Peningkatan afterload
Kegagalan mempertahankan cardiac output juga dapat terjadi akibat
overload. Saat miokardium secara konstan mengalami beban fisik yang
tinggi, volume sekuncup dan kontraktilitas jantung akan menurun secara
bermakna. Penurunan ini terjadi terutama saat terjadi peningkatan
afterload. Keadaan ini dijumpai pada kor pulmonale atau hipertensi
sistemik. Pada kor pulonale, ventrikel kanan dihadapkan pada penyakit
paru tertentu yang menyababkan hipertensi pulmonal. Pada kasus
hipertensi sistemik, peningkatan tekanan darah akan menyebabkan
peningkatan resistensi yang harus diatasi oleh ventrikel kiri untuk
mempertahankan cardiac output.
Gambar. Ilustrasi penyebab terjadinya gagal jantung kongestif
10
CHFKelemahan miokardium
Atherosklerosis
Kardiomiopati
Vasospasme koroner
Restriksi sistem pompa
Kelainan katup
Obstruksi intrakardia
Disritmia
Peningkatan afterload
Cor pulmonale
Hipertensi sistemik
Defek kongenital
1.5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis kor pulmonale umumnya non spesifik. Pasien bisa
asimptomatik, khususnya pada awal perjalanan penyakit, dan sering kali tanda
dan gejala penyakit ditutupi oleh penyakit paru yang mendasari.
Gejala
Pasien dapat mengeluhkan cepat letih, teakipnea, sesak saat beraktivitas
(dyspnea d’effort) dan batuk. Nyeri dada angina juga dapat terjadi dan sering
disebabkan akibat iskemia ventrikel kanan (biasanya nyeri dada tidak respon
dengan nitrat) atau peregangan arteri pulmonal.
Hemoptosis dapat terjadi akibat ruptur arteri pulmonal yang mengalami
dilatasi atau athrosklerotik. Kondisi lain yang dapat meyebabkan hemoptoe
seperti infark paru, tumor, dan bronkiektasis harus dieksklusikan terlebih dahulu.
Pada sejumlah kecil kasus pasien mengeluhkan suara serak (hoarseness) akibat
kompresi nervus laringeal rekuren kiri akibat dilatasi arteri pulmonal.
Pada kasus yang lanjut, kongesti hepatik sekunder akibat gagal ventrikel
kanan dapat menyebabkan timbulnya anoreksia, rasa tidak enak pada daerah
hipokondrium kanan, dan ikterik. Selain itu, pingsan saat beraktivitas, yang juga
terjadi pada kasus yang berat, menandakan kegagalan dalam meningkatkan COP
selama exercise, menyebabkan hipotensi yang bermakna.
Peningkatan tekanan arteri paru dapat menyebabkan peningkatan
tekanan atrium kanan, vena perifer dan kapiler. Akibat peningkatan gradien
hidrostatik, terjadi transudasi cairan dan terakumulasi menjadi edema perifer.
Selain itu hipoksemia yang sering terjadi pada pasien PPOK juga dapat
menyebabkan penurunan GFR dan retensi garam dan air, sehingga menyebabkan
edema perifer.
Membedakan gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan
11
Berdasarkan gejala yang timbul, dapat dibedakan sisi jantung yang
mengalami kegagalan (failure), apakah gagal jantung sisi kiri atau sisi kanan.
Atrium kiri menerima oksigen dari paru dan meneruskannya ke ventrikel kiri,
yang kemudian memompanya ke seluruh tubuh. Jika ventrikel kiri tidak
memompa secara efisien, darah akan kembali masuk ke pembuluh darah paru,
dan kadang cairan dapat masuk ke ruang pernafasan, menyebabkan kongesti.
Kongesti paru yang terjadi dapat menyebabkan sesak nafas. Gejala lain dari
gagal ventrikel kiri adalah lemas (fatik), dispnea (orthopnea, paroksismal
nokturnal dispnea), dan produksi sputum (kadang disertai darah) akibat kongesti
paru.
Gagal jantung kanan terjadi saat resistensi aliran darah dari jantung
kanan (atrium kanan, ventrikel kanan, paru atau arteri pulmonal) menuju paru
atau saat katup trikuspid, yang memisahkan atrium kanan dan ventrikel kanan
tidak berfungsi dengan baik. Hal ini kemudian akan menyebabkan aliran balik
dan peningkatan tekanan jantung kanan. Tekanan juga akan meningkat di hati
dan vena tungkai, menyebabkan pembesaran hati disertai nyeri, asites dan edema
tungkai . Gejala utama dari gagal jantung kanan adalah edema dan nokturia
(buang air kecil berlebihan pada malam hari karena terjadi redistribusi cairan saat
pasien berbaring).
Karena CHF menyebabkan tubuh terisi oleh cairan yang berlebihan,
ginjal mungkin tidak lagi dapat membuang natrium dan air, manimbulkan gagal
ginjal akut (dalam kasus CHF, gagal ginjal dapat besifat sementara dan akan
membaik jika diberikan terapi yang tepat). Natrium yang normalnya dielimansi
melalui urin akan tetap berada dalam tubuh, sehingga menyebabkan semakin
banyak cairan terakumulasi dalam tubuh (Soufer, 2007).
12
Tabel. Membedakan gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan
Tanda
Pemeriksaan fisik dapat membrikan gambaran penyakit paru yang
mendasari atau menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kanan.
- Inspeksi : peningkatan diameter dinding dada antero-posterior (barrel
chest), retraksi dinding dada, distensi vena leher, sianosis.
- Perkusi : hipersonor, asites (shifting dullness)
- Auskultasi : wheezing dan crackles dapat terdengar karena penyakit paru
yang mendasari (misal pada PPOK), turbulensi yang terjadi akibat
thromboemboli paru dapat terdengar sebagai bunyi systolic bruits pada
paru, murmur ejeksi sistolik di regio arteri pulmonum, murmur sistolik
pada kusus regurgitasi trikuspid.
1.6. Pemeriksaan Penunjang (emedicine)
- Laboratorium
13
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mengetahui etiologi atau
komplikasi yang ditimbulkan dari kor pulmonale, meliputi :
a. Pemeriksaan hematokrit. Peningkatan hematokrit menandakan
polisitemia, yang menandakan penyakit paru yang mendasari atau
akibat peningkatan tekanan arteri pulmonum akibat peningkatan
viskositas darah.
b. Serum alfa 1-antitrypsin (PPOK) dan antibodi antinuklear (penyakit
kolagen vaskuler) bila diindikasikan.
c. Analisa gas darah. Bertujuan untuk menilai oksigenasi dan
gangguan asam basa.
- Foto rontgen
Hipertensi pulmonum harus dicurigai jika diameter arteri pulmonal kanan
descenden lebih dari 16 mm dan diameter arteri pulmonal kiri lebih dari
18 mm. Pembesaran ventrikel kanan menyebabkan peningkatan diameter
transversum bayangan jantung bagian kanan pada foto PA dan ventrikel
kanan mengisi ruang udara pada foto lateral.
Gambar. Gambaran foto rontgen kor pulmonale
- EKG
Beberapa gambaran EKG yang dapat ditemukan pada cor pulmonal,
antara lain :
a. Deviasi aksis ke kanan ( ≥ 900 )
14
b. P pulmonal di lead II, III, AVF
c. Gelombang QRS rendah akibat hiperinflasi paru karena PPOK
d. Hipertrofi ventrikel kanan yang berat dapat menghasilkan
gelombang Q patologis yang sering disalah artikan sebagai infark
miokard anterior. Namun karena aktivitas listrik ventrikel kanan
jauh lebih rendah dari ventrikel kiri, perubahan kecil pada ventrikel
kanan mungkin tidak dapat dideteksi melalui EKG.
Gambar. Gambaran EKG hipertrofi ventrikel kanan
- Echocardiografi
Menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kanan. Fungsi ventrikel kiri
umumnya normal. tekanan sistolik ventrikel kanan bisa dinilai melalui
Echo Doppler melaui penilaian aliran regurgitan katup trikuspid. Jika
imaging sulit dilakukan karena paru yang terdistensi karena udara, dapat
dinilai ketebalan dinding ventrikel kanan dan volumenya melalui
pemeriksaan MRI (Fauci, 2008)
1.7. Diagnosis diferensial
Hipertensi vena pulmonal yang biasanya diderita penderita stenosis katup
mitral.
Gambaran foto toraks berupa pembesaran atrium kiri, pelebaran arteri
pulmonal karena peninggian tekanan aorta yang relatif kecil (pada fase
lanjut), pembesaran ventrikel kanan, pada paru-paru terlihat tanda-tanda
bendungan vena. ( Matsum,2011)
15
1.8. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan kor pulmonal pada PPOK ditinjau dari aspek jantung
sama dengan pengobatan kor pulmonal pada umumnya yaitu untuk : (1)
Mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas; (2) Menurunkan hipertensi pulmonal;
(3) Meningkatkan kelangsungan hidup; (4) Pengobatan penyakit dasar dan
komplikasinya (Sudoyo,W.2006).
Pengobatan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan
hipertensi pulmonal, pengobatan gagal jantung kanan dan meningkatkan
kelangsungan hidup. Untuk tujuan tersebut pengobatan yang dapat dilaksanakan
diawali dengan menghentikan rokok serta tatalaksana lanjut adalah sebagai
berikut (Sudoyo,W.2006).
- Terapi oksigen
Terapi oksigen sangat penting pada pasien dengan PPOK, khususnya
ketika diberikan secara kontinu. Terapi oksigen dapat meredakan
vasokonstriksi paru hipoksemik, yang pada akhirnya dapat meningkatkan
cardiac output, menurunkan vasokonstriksi simpatetik, dan meningkatkan
perfusi renal.
Secara umum, pada pasien dengan PPOK, terapi oksigen jangka panjang
direkomendasikan jika PaO2 kurang dari 55 mmHg atau saturasi O2
kurang dari 88%. Namun pada keadaan kor pulmonal, terapi oksigen
jangka panjang tetap diindikasikan meski PaO2 lebih dari 55 mmHg atau
saturasi O2 lebih dari 88%.
- Medikamentosa
Diuretik digunakan untuk menurunkan volume pengisian ventrikel
kanan pada pasien dengan kor pulmonum kronik. Calsium channel
blocker merupakan vasodilator arteri pulmonal yang telah terbukti
efikasinya pada penatalaksanaan jangka panjang pasien kor pulmonal
sekunder akibat hipertensi arteri pulmonum primer.
Indikasi utama pemberian antikoagulan oral pada manajemen kor
pulmonal adalah pada kondisi kor pulmonal yang disebabkan oleh
tromboemboli atau hipertensi pulmonal primer. Metilxantin, seperti
16
halnya teofilin, dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada kor
pulmonal sekunder akibat PPOK. Selain memiliki efek bronkodilator,
golongan ini dapat meningkatkan kontraktilitas miokardium,
menyebabkan efek vasodilatasi paru ringan dan meningkatkan
kontraktilitas diafragma.
1. Vasodilator
Vasodilator telah digunakan sebagai terapi jangka panjang pada kor
pulmonale kronikum dengan hasil yang cukup memuaskan. Golongan
calcium channel blocker, seperti sustained release nifedipine dan
diltiazem, dapat menurunkan tekanan pulmonum, meski obat golongan ini
lebih efektif digunakan pada pasien hipertensi pulmonale primer dibanding
sekunder.
Golongan vasodilator lain, seperti beta agonis, nitrat, dan ACE inhibitor
telah dicoba, namun tidak menunjukkan efek yang menguntungkan pada
pasien PPOK, sehingga tidak digunakan secara rutin (Sovari, 2011).
2. Diuretika
Diuretik digunakan sebagai terapi kor pulmonale, terutama jika volume
pengisian ventrikel kanan meningkat secara bermakna dan terjadi edema
perifer. Golongan diretik dapat meningkatkan fungsi kedua ventrikel.
Meski demikian, diuretik dapat dapat merugikan status hemodinamik jika
tidak digunakan secara hati-hati. Penurunan volume cairan dalam jumlah
banyak dapat menurunkan cardiac output.
Komplikasi potensial lain dari diuretik adalah terjadinya hipokalemi
disertai alkalosis metabolik. Gangguan elektrolit dan asam basa yang
terjadi juga dapat menyebabkan aritmia jantung, yang pada akhirnya juga
memperburuk cardiac output. Jadi, diuretik dapat digunakan sebagai
manajemen kor pulmonale namun harus digunakan secara hati-hati.
3. Flebotomi
17
Tindakan flebotomi pada pasien kor pulmonal dengan hematokrit yang
tinggi diindikasikan jika hematokrit > 55%. Sasarannya adalah penurunan
Hct di bawah 50% (Sudoyo,W.2006).
4. Antikoagulan
Pemberian antikoagulan pada kor pulmonal berdasarkan atas kemungkinan
terjadinya tromboemboli akibat pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan
dan adanya faktor imobilisasi pada pasien.
Di samping terapi diatas pasien korpulmonal pada PPOK harus mendapat
terapi standar untuk PPOK, komplikasi dan penyakit penyerta (Sudoyo,W.2006).
1.9. Prognosis
Prognosis dari kor pulmonal bervariasi tergantung patologi yang
mendasari. Perkembangan kor pulmonal yang disebabkan penyakit primer pada
paru dapat menimbulkan prognosis yang lebih buruk. Contohnya, pasien dengan
PPOK yang memiliki komplikasi kor pulmonal memiliki angka harapan hidup 5
tahun sebesar 30%. Prognosis pada keadaan akut akibat emboli paru masif atau
ARDS belum diketahui bersifat dependen atau independen terhadap kor pulmonal.
Namun, sebuah penelitian prospektif oleh Volschan et al mengindikasikan bahwa
pada kasus emboli paru, kor pulmonal dapat meningkatkan mortalitas.
1.10. Komplikasi
- Gagal jantung kanan
- Chronic heart failure (CHF)
- Gagal nafas
- Acute Kidney Injury
- Hemoptosis
- Trombosis vena dalam
18
2. Aritmia
2.1. Pendahuluan
Bila yang dimaksud dengan irama jantung normal adalah irama yang
berasal dari nodus SA, yang datang secara teratur dengan frekuensi antara 60-100
kali per menit, dengan hantaran tidak mengalami hambatan pada tingkat manapun,
maka irama jantung lainnya dapat dikatakan sebagai aritmia.
Jadi yang dapat didefinisikan sebagai aritmia adalah :
- Irama yang bukan berasal dari nodus SA
- Irama yang tidak teratur, sekalipun berasal dari nodus SA, misalnya sinus
aritmia.
- Frekuensi kurang dari 60 kali / menit (sinus bradikardi) atau lebih dari 100
kali / menit.
- Terdapat hambatan impuls baik supra atau intraventrikuler.
2.2. Klasifikasi aritmia
Dari mekanisme terjadmya irama jantung dan aritmia maka dapatlah kita buat
klasifikasi irama jantung sebagai berikut:
1) Irama berasal dari nodus SA.
- Irama sinus normal, yaitu irama jantung normal pada umumnya.
- Sinus aritmia, baik yang disebabkan pemapasan ('`respiratory")
ataupun tidak.
- Sinus takikardia, peningkatan aktivitas node SA 100 kali/menit atau
lebih.
2) Aritmia Atrial.
- Fibrilasi atrial (AFi) dengan respons ventrikel cepat, normal atau
lambat.
- Fluter atrial (AH).
- Atrial takikardia, biasanya paroksismal (PAT, Paroxysmal Atrial
Tachychardia). Ada juga yang disertai dengan blok hantarannya,
dan disebut sebagai PAT dengan blok (PAT dengan blok).
- Ekstrasistol atrial yaitu bila denyut dari Atrial tersebut hanya
19
datang satu per-satu, mungkin dari satu fokus (unifokal) atau lebih
(multi fokal).
3) Aritmia AV Jungsional.
Ada yang timbul pasif, yaitu karena nodus SA kurang aktif sehingga
diambil alih:
- Irama AV Jungsional, biasanya bradikardia; bisa tinggi, sedang atau
rendah.
- AV Jungsional takikardia non paroksismal, yaitu irama dengan HR
yang cepat (70-130/menit). Tapi ada pula yang secara aktif
mendominasi nodus SA dan fokus-fokus lainnya:
- AV Jungsional ekstrasistol (uni-multi focal).
- AV Jungsional takikardia paroksismal, seperti PAT. Seringkali sukar
membedakan antara irama yang berasal dari atrial atau AV Jungsional,
sehingga disebut saja sebagai irama supra ventikular, karena memang
keduanya berasal dari atas ventrikel dan penatalaksanaannyapun tak
jauh berbeda. Tetapi AFI dan AFi tidak mungkin dari AV Jungsional,
sebagaimana irama AV Junctional pasif (non paroksismal) dapat
dikenali bukan Atrial.
4) Aritmia Supra Ventrikular (SV) lainnya.
- Aritmia SV multifokaLlwandering pace maker.
- Multifokal SV takikardia.
- Multifokal SV takikardia dengan blok.
- SV ekstrasistol "non conducted".
5) Aritmia Ventrikular
- Irama Idio Ventrikular. biasanya non paroksismal, dan idio ventrikular
takikardia/non paroksismal ventrikular takikardia (non PVT).
- Paroksismal ventrikular takikardia (PVT).
- Fluter ventrikular (VFl) serta Fibrilasi ventrikular (VFi).
- Parasistol ventrikular.
6) Gangguan hantaran pada sekitar berkas His dan percabangannya
(Bundle Branch).
- Blok AV (AVB) derajat 1, 2 (tipe 1 Wenkebach serta tipe2) dan 3
20
(total).
- Bundle Branch Block (BBB), mungkin kanan (RBBB) atau kiri
(LBBB), bisa parsial (incomplete) atau total (complete) dan bisa juga
tergantung pada HR sehingga disebut sebagai "rate dependent Bundle
Branch Block".
Dalam suatu rekaman dari seorang pasien bisa ditemukan irama
jantung sinus dengan ekstrasistol ventrikel (VES) atau SVES unifokal
atau multifokal, multi fokal SVES dengan aberantia, atau irama
jantung yang berganti-ganti ke aritmia AV jungsional atau atrial atau
ventrikular. tergantung kondisi dan faktor etiologi yang ada. Tidak
jarang kita mengalami kesukaran dalam mengenali irama ventrikular
atau supraventrikular yang umumnya terapinya sangat berbeda.
Kunci dari pembedaan ini adalah menemukan ada tidaknya
gelombang P dan menentukan posisinva/hubungannya terhadap QRS.
Irama ventrikular tidak didahului P atau tak ada hubungan antara P
dan QRS.
2.3. Takikardi Supraventrikuler
Takikardi supraventrikuler (SVT) adalah bentuk takikardi yang cepat dan
reguler lebih dari 100 kali per menit, namun denyut ventrikel bisa kurang
dari 100 kali/menit jika terjadi blok atrioventrikular. SVT juga sering
dikenal sebagai Paroksismal SVT (PSVT). Paroksismal artinya takikardi
dapat bermulai dan berhenti secara tiba-tiba. Insidensi SVT meningkat
pada usia tua dan pasien dengan penyakit jantung. Insidensi SVT
dilaporkan mencapai 76% pada populasi 301 pasien laki-laki dengan
rataan usia 56 tahun. Sekitar 20% populasi memiliki penyakit jantung
koroner. Penelitian lain pada populasi sehat dengan rentang usia 16 hingga
65 tahun, insidens SVT hanya 12% (Fox, 2008).
- Manifestasi Klinis
Gejala yang paling sering terjadi adalah palpitasi. Palpitasi dapat
terjadi dalam beberapa detik hingga beberapa jam. Pasien sering
kali tidak dapat mengidentifikasi faktor presipatasi yang
21
menimbulkan takikardi. Gejala-gejala lain yang dapat muncul di
antaranya adalah kelemahan, sesak nafas, dan kepala terasa ringan.
Sinkop jarang terjadi dan biasanya terjadi karena takikardi
demikian cepat hingga mengganggu cardiac output. Sinkop juga
dapat disebabkan karena respon vasovagal yang disebabkan oleh
takikardi itu sendiri. Pasien juga dapat mengeluhkan nyeri dada,
dan hal ini tidak terkait dengan penyakit jantung koroner. Nyeri
dada lebih sering timbul pada pasien usia tua dan berhungungan
dengan iskemia miokard. Sejumlah kecil pasien mungkin tidak
menyadari adanya keluhan-keluhan tadi dalam jangka panjang
hingga timbul gejala gagal jantung (Gugneja, 2011; Fox, 2008).
- Klasifikasi SVT
Perkembangan studi elektrofisiologi intrakardia secara dramatis
telah mengubah klasifikasi SVT. Berdasarkan dari fokus asal
terjadinya disritmia, SVT dapat diklasifikasikan sebagai takiaritmia
atrial atau AV (Gugneja, 2011). Digolongkan takiaritmia atrial bila
sirkuit reentrant terbentuk di atrium, dan tidak terhantung dengan
nodus AV. Takiaritmia atrioventrikular terjadi jika fokus aritmia
adalah pada nodus AV atau disekitarnya. Gangguan pada konduksi
nodus AV akan menterminasi terjadinya aritmia (Fox, 2008).
Tabel. Klasifkasi SVT
Takiaritmia atrial Takiaritmia atrioventrikular
Sinus takikardi
Innapropriate sinus tachycardia
(IST)
Takikardi re-entran nodus sinus
Takikardia atrial
Takikardi atrial multifokal
Atrial flutter
Atrial fibrilasi
Takikardi reentran nodus AV
Takikardi ektopik junctional
Takikardi junctional non-paroxysmal
22
A. Takiaritmia atrial
i. Sinus takikardi
Merupakan bentuk terbanyak dari SVT yang reguler. Pada sinus
takikardi terjadi akselerasi rate sinus akibat respon fisiologis
terhadap stressor, seperti hipoksia, hiposemia, ansietas, nyeri,
demam, hipovolemia, hipertiroidisme, atau akibat olahraga.
Karakteristiknya denyut jantung lebih dari 100 kali/ menit dengan
ritme reguler. Beberapa obat-obatan seperti stimulan (kafein,
nikotin), medikasi (salbutamol, atrofin), dan psikotropika
(amfetamin, kokain) juga dapat menyebabkan sinus takikardi.
ii. Innnapropriate sinus tachycardia
IST adalah percepatan ritme sinus tanpa terjadi stress fisiologis.
Dalam hal ini peningkatan denyut jantung terjadi akibat exrcise
minimal. Mekanisme terjadinya IST adalah hipersensitivitas atau
abnormalitas nodus sinus terhadap impuls otonom. Keadaan ini
biasa terjadi pada wanita muda tanpa kelainan struktural jantung.
iii. Takikardi re-entran nodus sinus
SNRT seringkali mirip dengan IST. Pada SNRT terbentuk sirkuit
reentry, baik di dalam atau di dekat nodus sinus. Denyut jantung
berkisar antara 100-150 kali / menit. Gambaran EKG berupa
morfologi gelombang P sinus normal.
iv. Takikardia atrial
23
Takikardi atrial adalah bentuk yang jarang. Impuls abnormal
berasal dari atrium miokard. Proses ini dapat disebabkan oleh
intoksikasi digoksin, yang menyebabkan perubahan automatisitas,
mekanisme triggered, atau reentry. Denyut jantung regiler dan
berkisar antara 150-250 kali / menit.
v. Takikardi atrial multifokal
Takiaritmia yang dalam setiap denyut jantung menghsilkan 3 atau
lebih gelombang P. Bentuk aritmia ini termasuk jarang dan
biasanya dijumpai pada pasien dengan penyakit paru. Denyut
jantung lebih dari 100 kali per menit dan irama ireguler. Terapinya
dengan mengatasi penyakit primer. Verapamil dan magnesium
kadang efektif digunakan.
vi. Atrial flutter
Merupakan bentuk SVT yang tejadi di atas nodus AV dengan rate
atrial sekitar 250-350 kali/menit. Mekanisme terjjadi atrial flutter
berupa proses reentran pada sirkuit atrium kanan. Atrial flutter
umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit jantung iskemik,
infark miokard, kardiomiopati, miokarditis, embaoli paru, atau
trauma thoraks. Ritme transisional dapat berkembang menjadi
atrial fibrilasi.
vii. Atrial fibrilasi
Atrial fibrilasi adalah bentuk aritmia yang terjadi karena
depolarisasi atrial yang kacau. Rate atrial biasanya 300-600
kali/menit, sementara rate ventrikular sekitar 170 kali/menit.
Temuan EKG meliputi ritme iruguler dengan aktivitas atrial
fibrilasi. Aritmia tipe ini berhubungan dengan hipertensi, penyakit
jantung rematik, penyakit jantung iskemik, thyrotoksikosis, prolaps
katup, dan toksisitas digitalis.
B. Takiaritmia atrioventrikuler
Terdiri dari AV nodal reentrant tachycardi (AVNRT), AV reentrant
tachycardi (AVRT) dan takikardi ektopik junctional. Bentuk SVT yyang
paling sering adalah AVNRT. AVNRT ditemui pada 40-60% pasien
24
takikardi dengan kompleks QRS yang sempit dan reguler. Pada keadaan
normal, AV node hanya mempunyai 1 jalur konduksi yang mengantarkan
impuls menuju bundle of His. Pada kasus AVNRT, nodus AV memiliki 2
jalur, yaitu jalur alfa (konduksi cepat) dan jalur beta (konduksi lambat).
AVNRT timbul akibat adanya impuls prematur dari atrium. Normalnya
impuls yang masuk disebarkan melalui dua arah dari kanan dan kiri. Bila
terjadi blok pada satu sisi, maka impuls akan berjalan melalui sisi satunya
lagi. Pada saat blok tersebut menghilang maka impuls tersebut akan
berjalan terus melintasi area tersebut dan terciptalah suatu sirkuit tertutup
yang disebut circus movement. Pada saat ini SA node tidak bertindak
sebagai pacemaker primary namun terdapat jalur aksesori kecil (circus
movement) yang memiliki impuls yang berputar-putar secara terus-
menerus dengan cepat. Setiap kali impuls dari sistem ini sampai ke AV
node makan impuls ini akan diteruskan ke ventrikel. Oleh sebab itu pada
gambaran ECG komplek QRS tampak normal. Pada gambaran ECG
gelombang P bisa tampak terbalik (oleh karena lintasan impuls yang
terbalik).
Gambar. Ilustrasi circus movement pada AVNRT
- Penatalaksanaan SVT
Langkah awal pada penatalaksanaan SVT adalah penilaian status ABC
(airway breathing circulation). Penilaian ABC harus dilakukan dengan
segera dan secara simultan dilakukan pengukuran tanda vital. Jika status
25
hemodinamik terganggu atau terjadi syok, harus dilakukan kardioversi.
Kebanyakan pasien dengan PSVT stabil secara hemodinamik, memberikan
cukup waktu bagi dokter untuk melakukan anamnesis lengkap,
pemeriksaan fisik, dan EKG. Kebanyakan dengan takikardi
supraventrikular adalah pasien dengan AVNRT atau AVRT. Tipe aritmia
ini tergantung pada konduksi nodus AV, sehingga dapat dihentikan dengan
memblok konduksi nodus AV
a. Penanganan jangka pendek
- Manuver vagal merupakan penanganan pertama pada pasien
dengan hemodinamik stabil. Manuver vagal terdiri dari manuver
valsava dan massage sinus karotis. Stimulasi nervus vagus
diharapkan dapat memperpanjang konduksi nodus AV sehingga
menterminasi takikardi. Jika manuver vagal belum dapat
menghentikan takikardi dapat dilakukan kardioversi elektrik
synchronized atau terapi farmakologi tergantung status
hemodinamik pasien (Fox, 2008; Lim et al, 1998).
a. Manuver valsava
Manuver valsava dilakukan dengan cara pasien inspirasi,
menahan nafas, menutup hidung dan mulut, kemudiann
mengedan sehingga terjadi kontraksi otot dinding dada dan
abdomen. Pasien kemdian diminta untuk menghebuskan
nafas (ekspirasi). Manuver ini diharapkan dapat
meningkatkan tonus vagal (parasimpatis) sehingga dapat
menurunkan denyut jantung. Manuver valsava ini berperan
dalam memperpanjang periode refrakter nodus VA hingga
terjadi blok transien pada nodus AV. Manuver valsava
mungkin tidak dapat menterminasi takikardi atrial, namun
dapat menimbulkan blok nodus AV secara transien,
sehingga dapat dicari mekanisme yang mendasari dengan
visualisasi gelombang P pada EKG. Jika denyut jantung
belum menurun dengan manuver ini dapat dimulai
intervensi farmakologis (Fox, 2008; Mistovich, 2008).
26
b. Massase sinus karotis
Massase pada sinus karotikus dapat memicu baroreseptor,
yang kemudian memicu peningkatan aktivitas nervus vagus,
mensupresi efek simpatis, sehingga memperlambat
konduksi pada nodus atrioventrikular. Jika pada
pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya carotid bruits,
massase sinus dapat dilakukan dengan melakukan
penekanan di kartilago karotid selama 5 detik secara
sirkuler. Jika aritmia masih menetap prosedur dapat
dilakukan pada sisi yang lain. Manuver lain yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan tonus vagal adalah dengan
melakukan manuver valsava (Delecretaz, 2006).
c. Perbandingan terapi SVT melalui manuver valsava dan
massase sinus karotis
Penelitian kohort Lim et al tahun 1998 dengan sampel 148
pasien yang telah menderita SVT dalam 10 tahun,
menunjukkan hasil sebagai berikut :
Jenis manuver
yang dilakukan
Jumlah pasien
yang diterapi
Angka keberhasilan
(konversi)
Valsava 62 12 (19,4%)
CSM 86 9 (10,5%)
CSM tidak respon, dilanjutkan dengan
Valsava
77 13 (16,9%)
Valsava tidak respon, dilanjutkan CSM
50 7 (14,0%)
Manuver valsava dan massase sinus karotis total
menghasilkan konversi dari SVT menjadi irama sinus
normal pada 41 pasien (succes rate 27,7%) (Lim, 1998).
27
Gambar. Manuver vagal
Gambar. Mnuver Valsava
Gambar. Massase sinus carotis
- Intervensi farmakologis.
Injeksi IV verapamil dan adenosine telah menjadi terapi standar.
Adenosine memiliki waktu paruh hanya beberapa detik,
menghasilkan blok AV namun hanya sementara. Adenosine dapat
28
digunakan pada pasien dengan penyakit jantung struktural karena
tidak memiliki efek inotropik negatif. Dosis standar adalah bolus
6 mg. Dosis 12 mg hingga 18 mg juga dapat digunakan. Harus
dipastikan pasien tidak memiliki asma atau penyakit paru
obstruktif karena adnosine dapat menimbulkan bronkospasme.
Efek adenosine dapat diperkuat oleh dipyridamole.
Golongan calcium channel blocker dan beta blocker juga dapat
memberi efek positif. Golongan CCB yang efektif adalah
diltiazem dan verapamil. Di antara agen beta bloker, metoprolol
dan atenolol dapat efektif. Verapamil merupakan obat yang paling
sering digunakan sebagai pengganti adenosine. Verapamil
diindikasikan pada pasien dengan kontraindikasi terhadap
adenosine dan PSVT yang secara cepat dapat diterminasi namun
cepat mengalami rekurensi.
Penggunaan manuver vagal, adenosine dan verapamil dapat
mengobati PSVT (termasuk juga takikardi atrial).
- Kardioversi
Kardioeversi adalah terapi yang paling efektif untuk
mengembalikan irama sinus. Kardioversi dilakukan jika
intervensi farmakologi gagal menghentikan SVT.
29
Gambar. Algoritma tatalaksana jangka pendek SVT (Delacretaz,
2006)
d. Penanganan jangka panjang
Ablasi kateter memiliki angka keberhasilan yang sangat memuaskan
pada pasien yang secara klinis mengalami takikardi, mencapai 95%.
Hanya 5% pasien yang mengalami takikardi rekurens dan
membutuhkan operasi kedua. Angka keberhasilan sedikit llebih
rendah pada pasien PSVT dengan tipe takikardi atrial, sekitar 80%.
Beberapa pasien yang menolak dialkukan operasi, dapat diberikan
verapamil, diltiazem, atau golongan beta bloker. Obat ant-aritmia
kelas I, seperti propafenone dan flecainide juga efektif sebagai terapi
jangka panjang dan memberikan efek menguntungkan sebagai terapi
profilaksis pada atrial fibrilasi.
30
3. Korelasi kor pulmonale dan aritmia
3.1. Pendahuluan
Aritmia ventrikular dan aritmia supraventrikular sering terjadi pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Insidensi yang dilaporkan
oleh seumlah penelitian berbeda-beda karena variasi dalam populasi (pasien
PPOK stabil atau pasien dengan eksaserbasi), ada atau tidaknya gagal ventrikel
atau penyakit jantung yang mendasari, atau pengobatan yang digunakan sebagai
manajemen aritmia.
PPOK merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kor pulmonale,
yang kemudaian menyebabkan terjadinya gagal ventrikel kanan. Lebih dari
setengah kasus kor pulmonal disebabkan oleh PPOK, dan 10-30% kasus
dekompensasi kordis adalah akibat kor pulmonale. Pada hubungannya dengan
aritmia, seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat
mengalami sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia
ventrikel akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sistem saraf
simpatis terjadi dan sering merupakan penyebab penting kematian mendadak
dalam situasi ini.
Gagal jantung kongestif merupakan penyakit yang bersifat aritmogenik.
Saat fungsi ventrikel kiri terganggu hingga muncul gejala sesak hingga fatik dan
secra progresif menjadi semakin parah, hampir semua pasien dengan gagal
jantung akan mengalami takiaritmia ventrikel dan menurut penelitian Chevalier
et al tahun 1996, hampir setengahnya meninggal selama follow up jangka
penjang. Meski agen antiarimia telah diketahui secara luas mencegah terjadinya
sudden death pada pasien aritmia, hanya terdapat sedikit bukti agen-agen ini
bermanfaat mencegah sudden death pada pasien CHF. Bahkan obat antiaritmia
dapat meyebabkan eksaserbasi gagal jantung yang juga memicu takiaritmia
ventrikel. Defisit elektrolit (khususnya kalium dan magnesium) serta faktor
neurohormonal saling berinteraksi untuk menimbulkan ritme ektopik ventrikel
sehingga pencegahan terjadinya deplesi ekktrolit dan antagonis neurohormonal
secara klinis bermakna penting dalam terapi aritmia (Packer, 1986).
31
3.2. Epidemiologi
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kekerapan
terjadinya aritmia pada pasien PPOK, khususnya pasien dengan komplikasi kor
pulmonale. Penelitian oleh Keiger et al. memonitor 24 pasien dengan PPOK
berat disertai hipertrofi ventrikel kanan. Aritmia ditemukan pada 84% pasien.
Dari jumlah tersebut, 72% merupakan aritmia ventrikular, dan 52% aritmia
supraventrikular. Hasil yang serupa juga dilaporkan melalui penelitian Shih et al.
yang meneliti 69 pasien paisen PPOK berat disertai dengan hipoksia namun
berada pada kondisi stabil. Takikardi supraventrikular terjadi pada 69% pasien,
takikardi ventrikular nonsutained pada 22% pasien. Keadaan hiperkapnea dan
edema tungkai yang terkait dengan kondisi kor pulmonale pada pasien PPOK
derajat berat, berhubungan peningkatan risiko aritmia ventrikel (Arroliga, 2011).
Penelitian lain, oleh Hudson et al. pada 70 pasien PPOK disertai gagal
nafas akut (Pa O2 kurang dar 50 mmHg, atau PCO2 lebih dari 50mmHg). Aritmia
supraventrikular terjadi pada 23 pasien, dan aritmia ventrikular pada 20 pasien.
Pasien aritmia supraventrikel cenderung mengalami rekurensi untuk terjadi
aritmia supraventrikel lagi. Angka mortalitas tertinggi adalah pada pasien dengan
aritmia ventrikel (Hudson,1973).
Tabel. Angka mortalitas pasien PPOK dengan aritmia (Hudson,1973)
32
Tabel. Gambaran EKG (prevalensi aritmia) pada pasien PPOK (Hudson,1973)
3.3. Patogenesis
Aritmia ventrikular kompleks terjadi pada sekitar 80% pasien
dekompensasi kordis, dengan takikardi ventrikuler paroksismal terjadi pada 40%
pasien. Abnormalitas struktural yang terjadi secara kronis pada dekompensasi
kordis mungkin merupakan dasar berkembangnya suatu aritmia ventrikel yang
mengancam jiwa, yang terjadi karena kontraksi prematur ventrikular. Patogenesis
aritmia bersifat multifaktoral. Abnormalitas elektrolit, iskemia, katekolamin,
inotropik, dan obat-obatan antiaritmia dapat memperberat suatu aritmia dan
meningkatkan kerentanan ventrikel untuk mengalami aritmia yang persisten
(sustained arrythmia).
Banyak faktor, beberapa di antaranya bersifat reversibel, memainkan
peranan dalam terjadinya aritmia. Koreksi abnormalitas elektrolit, penghentian
obat-obatan yang mencetuskan aritmia, dan pengobatan terhadap iskemia
mungkin sudah cukup untuk mengontrol aritmia ventrikuler pada beberapa pasien.
Aritmia dapat terjadi secara primer (diinisiasi oleh abnormalitas
elektrofisiologi primer dan tidak berhubungan dengan gangguan pada ventrikel
kiri) atau secara sekunder (perubahan fungsi ventrikel yang menginisiasi
terjadinya aritmia). Kedua konsep ini dapat saling berinteraksi. Kombinasi antara
miokardium yang telah rentan dan adanya faktor-faktor presipitasi aritmia
33
merupakan konsep fundamental terhadap mekanisme inisiasi aritmia yang
mematikan. Interaksi kedua konsep di atas adalah aktivasi miokard yang tidak
terorganisasi, biasanya berupa terbentuknya impuls prematur hingga dapat
berkembang menjadi perjalanan impuls yang tidak terkoordinasi (seperti fibrilasi
ventrikel). Disfungsi ventrikel juga dapat menyebabkan aliran pembuluh darah
koroner yang tidak adekuat, hipertensi / hipotensi, hipoksia jaringan, peregangan,
asidosis, atau pertukaran elektrolit. Meski kurang terdokumentasi, angka kejadian
aritmia ventrikel dapat menurun dengan pengurangan ukuran jantung dan
pengobatan dekompensasi kordis secara adekuat. Patofisiologi hubungan aritmia
ventrikular dan fungsi jantung sangatlah kompleks dan belum jelas.
Mekanisme lain yang diduga menjadi dasar berkembangnya aritmia
pada penderita dekompensasi kordis adalah gangguan sistem saraf otonom.
Sebagai respon terhadap penurunan cardiac output dan penurunan tekanan darah
sistemik, input simpatis menuju nodus SA akan menyebabkan peningkatan
denyut jantung. Pada saat yang sama, stimulasi simpatetik pada miokardium akan
menimbulkan refleks inotropik positif, meningkatkan volume sekuncup. Kedua
hal tersebut akan meningkatkan cardiac output dan tekanan darah. Aktivitas
vagal yang terjadi secara berkepanjangan pada keadaan disfungsi ventrikel
diduga berpotensi menyebabkan takikardi ventrikuler. Dibuktikan melalui
penelitian Lu Fei et al. tahun 1994, penggunaan B-bloker dapat menurunkan
risiko sudden death pada pasien dengan left ventrcular ejection fraction (LVEF)
yang rendah. Hal ini terjadi karena B-bloker dapat memperbaiki aktivitas sistem
otonom yang abnormal.
Beberapa faktor penyebab aritmia ventrikuler pada gagal jantung
kongestif
1. Faktor mekanik : scarr, aneurisma
2. Iskemik miokard : angina, infark
3. Deplesi elektrolit : hipokalemia, hipomagnesemia
4. Faktor hormonal : peningkatan renin, katekolamin
5. Drug-induced : digitalis, diuretik, antiaritmia, antidepressan,
simpatomimetik, phospodiesterase inhibitor
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Assayag, P. (1997). Compensated cardiac hypertrophy: arrhythmogenicity
and the new myocardial phenotype. I. Fibrosis. Cardiovascular Mysteri
Series, 34, 439-444.
2. Francis, G., & Tang, W. (2003). Patophysiology of Congestive Heart
Failure. MedReviews, 4.
3. GOLD. (2006). Global Strategy for Diagnosis, Management, and Prevention
of COPD.
4. Kamangar, N. (2010). Chronic Obstructive Pulmonary Disease Retrieved
15 Mei, 2010, from http://www.emedicine.medscape.com/article/297604-
overview
5. Khozhnevis, R., & Massumi, A. (1999). Ventricular Arrythmia in
Congestive Heart Failure. 26.
6. Kumar, V., Cotran, R. S., & Robbins, S. L. (2007). Buku Ajar Patologi (7
ed. Vol. 2).
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Penyakit Paru Obstruktif
Kronis - Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
8. SIGN. (2007). Cardiac Arrhytmia in Coronary Heart Disease. NHS.
9. Weitzenbaum, E. (2003). Chronic Cor Pulmonale. BMJ, 89, 225-230.
10. Kurt J. Isselbacher, Eugene Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph & Martin,
Anthony S Fauci, Dennis L Kasper, edis bahasa Indonesia; Ahmad H. Asdie
Prof. dr. Sp.PD, ke : Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, edisi
15, volume 3, 2002, hal. 1222-1226.
11. Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 1. Jakarta.
Media aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
12. Soeparman dan Warpadji Sarwono : Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2, Cetakan
ketiga, FKUI, Jakarta, 1998. Hal. 882-889.
13. Sudoyo, W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas indonesia.
35
14. Matsum. Kor Pulmonale. (Online) http://www.matsum.blogspot.com,
diakses tanggal 4 oktober 2011.
15. Dave, R. Cor Pulmonale. http://www.emedicine.com/article_corpulmonale,
diakses tanggal 4 Oktober 2011
16. Delacretaz, E. Clinical Practice Supraventricular Tachycardia. The New
England Journal of Medicine, 354, 1039-1051.
17. Fox, D., Tischenko, A., Krahn, A., Snakes, A., Gulla, L. J., Yee, R., et al.
(2008). Supraventricular Tachycardia. Mayo Foundation, 83, 1400-1411.
36