Download - Referat Gangguan Mental Dan Faktornya
-
REFERAT
GANGGUAN MENTAL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
Di susun oleh:
Novi Italiana
R.Annisa Citra Permadi
Pembimbing:
dr. Bagus Sulistyo Budhi, SpKJ, Mkes
DEPARTEMEN KESEHATAN JIWA RSPAD GATOT SOEBROTO JAKARTA
2014
-
LEMBAR PENGESAHAN
Referat yang berjudul Gangguan Mental Serta Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhinya ini diajukan sebagai syarat untuk mengikuti Kepaniteraan SMF
Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta, periode
21 April 2014-24 Mei 2014 dan dinyatakan telah mendapat persetujuan sebagai referat.
Jakarta, Mei 2014
Disetujui oleh,
dr. Bagus Sulistyo Budhi, SpKJ, Mkes
-
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Karunia dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
GANGGUAN MENTAL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
Tujuan pembuatan Referat ini sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan di RSPAD Gatot Soebroto untuk periode 21 April 2014
24 Mei 2014.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Bagus Sulistyo Budhi, SpKJ, Mkes selaku pembimbing referat.
2. Seluruh tenaga kesehatan yang terkait di SMF IKJ RSPAD. Gatot Soebroto,
Jakarta.
3. Seluruh Rekan Sejawat yang telah memberikan motivasi dan kerjasama
sehingga tersusunnya referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat
ini. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran yang membangun sebagai
perbaikan bagi penulis.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Jakarta, Mei 2014
Penulis
-
ABSTRAK
Sehat Mental serta sehat jasmani senantiasa dikaitkan keduanya dalam pepatah
kuno Men Sana In Corpore Sano yang berarti jiwa yang sehat ada didalam badan yang
sehat. Namun hal ini tidak selalu diperhatikan dalam aspek kesehatan. Selain itu
banyaknya gangguan mental yang tidak disadari oleh masyarakat luas baik dari sisi gejala
dan faktor resiko juga menyebabkan interventsi dini terhadap kasus gangguan mental
terhalang.
Permasalahan pada kejadian ini salah satunya diakibatkan karena tidak diketahui
secara pasti faktor yang paling mempengaruhi gangguan mental. Menurut teori, faktor-
faktor yang mempengaruhi gangguan mental dipercayai merupakan kombinasi dari faktor
genetic dan faktor lingkungan. Namun belum dari kedua faktor masih banyak perdebatan
antara faktor manakah yang berperan lebih besar dibanding faktor lainnya. Perlu
dilakukan pembahasan lebih lanjut mengenai hal tersebut agar pelayanan kesehatan dapat
menelaah orang dengan faktor resiko tinggi dan melakukan intervensi awal sehingga
dapat tercapai Tri Bina Upaya Jiwa dan menurunnya prevalensi gangguan mental.
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Kesehatan menurut Undang-Undang adalah situasi sejahtera dari tubuh,
jiwa, serta sosial yang sangat mungkin tiap-tiap orang hidup produktif dengan
cara sosial serta ekonomis. Menurut World Health Organization (WHO)
terdapat empat usur kesehatan yang di dalamnya termasuk sehat jasmani, sehat
mental atau jiwa, kesejahteraan social, dan sehat spiritual. Sehat mental menurut
WHO merupakan status kesejahteraan dimana setiap orang dapat menyadari
secara sadar terkait kemampuan dirinya, kemudian dapat mengatasi berbagai
tekanan dalam kehidupannya, dan dapat bekerja secara produktif yang berimbas
pada kemampuan dirinya dalam memberikan kontribusi pada lingkungan sekitar.
Akibatnya menurut Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) Kementerian Kesehatan
tahun 2007 pun menunjukkan lebih dari 1 juta penduduk berada dalam resiko
yang sangat tinggi menderita sakit mental yang berat, namun hanya 3,5% (sekitar
35.000) penderita yang mendapatkan perawatan di rumah sakit jiwa. Sedangkan
menurut WHO, sebanyak 8 dari 10 penderita gangguan mental itu tidak
mendapatkan perawatan.
Kesehatan mental bukanlah suatu hal yang sederhana karena jika kondisi
mental seseorang mengalami gangguan maka akan mengalami dampak yang
buruk bagi dirinya dan sekitarnya. Sudah banyak sekali peristiwa-peristiwa yang
terjadinya akibat dari adanya gangguan mental. WHO pada tahun 2004 telah
mengingatkan Indonesia agar memperhatikan kesehatan mental masyarakatnya
dikarenakan tahun 2015 kesehatan mental masyarakat Indonesia dalam kondisi
mengkhawatirkan, jika tidak segera diatasi maka akan seperti kasus narkoba dan
HIV/AIDS yang merajarela.
-
Selain di Indonesia, kasus rendahnya kondisi kesehatan mental terjadi di
negara-negara berkembang. Prevalensi gangguan mental pada populasi penduduk
dunia menurut WHO pada tahun 2000 memperoleh data gangguan mental sebesar
12%, tahun 2001 meningkat menjadi 13% dan diprediksi pada tahun 2015
menjadi 15%. Sedangkan pada negara-negara berkembang prevalensinya lebih
tinggi, prevalensi gangguan mental di negara Amerika Serikat(6%-9%), Brazil
(22.7%), Chili (26.7%), Pakistan (28.8%). Sedangkan di Indonesia hasil laporan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, yang menggunakan SRQ untuk menilai
kesehatan jiwa penduduk, prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk
Indonesia yang berumur lebih dari 15 tahun sebesar 11.6%.
B. Tujuan Adapun tujuan dari pembahasan terkait adalah untuk mengetahui faktor-
faktor resiko apa saja yang menjadi penyebab gangguan mental dan peranan
faktor yang paling besar dalam menyebabkan gangguan mental.
C. Manfaat Dengan mengetahui faktor-faktor resiko terjadinya gangguan mental maka
diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang gangguan mental dan berupaya
untuk mencegah sekaligus menanggulangi adanya gangguan jiwa tersebut serta
memicu diadakannya penelitian lebih lanjut berkaitan dengan pembahasan ini.
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesehatan Mental
1. Definisi Kesehatan Mental Menurut World Health Organizations (WHO) kesehatan mental status
kesejahteraan dimana setiap orang dapat menyadari secara sadar terkait
kemampuan dirinya, kemudian dapat mengatasi berbagai tekanan dalam
kehidupannya, dan dapat bekerja secara produktif yang berimbas pada
kemampuan dirinya dalam memberikan kontribusi pada lingkungan sekitar. Hal
ini dijabarkan lebih lanjut oleh Pieper dan Uden (2006), kesehatan mental adalah
adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah
terhadap dirinya sendiri, memiliki estimasi yang relistis terhadap dirinya sendiri
dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi
masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya,
serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya. Dilain sisi, Notosoedirjo dan
Latipun (2005) mengatakan bahwa terdapat banyak cara dalam mendefenisikan
kesehatan mental yaitu tidak mengalami gangguan mental, tidak jatuh sakit akibat
stessor, sesuai dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya, dan
tumbuh dan berkembang secara positif. Sementara itu, Federasi Kesehatan
Mental Dunia (World Federation for Mental Health) merumuskan pengertian
kesehatan mental yaitu suatu kondisi yang memungkinkan adanya perkembangan
yang optimal baik secara fisik, intelektual dan emosional, sepanjang hal itu sesuai
dengan keadaan orang lain.
2. Dimensi Kesehatan Mental
Maslow dan Mittlemenn (dalam Notosoedirjo & Latipun, 2005)
menguraikan pandangannya mengenai prinsip-prinsip kesehatan mental, yang
menyebutnya dengan manifestation of psychological health. Dimensi kesehatan
mental menurut Maslow dan Mittlemenn, yaitu:
-
a. Adequate feeling of securityRasa aman yang memadai dari keluarga,
masyarakat disekitarnya, dan berbagai aktivitasnya.
b. Adequate self evaluationKemampuan menilai diri sendiri yang memadai,
mencakup memiliki harga diri yang memadai dan merasa ada nilai yang
sebanding antara keadaan diri yang sebenarnya (potensi diri) dengan
prestasinya.
c. Adequate spontaneity and emotionalityMemiliki spontanitas dan perasaan
yang memadai dengan orang lain, yaitu membentuk ikatan emosional secara
kuat dengan orang lain, memiliki kemampuan memahami dan membagi
perasaan kepada orang lain, dan lain-lain.
d. Efficient contact with realityMempunyai kontak yang efisien dengan
realitas, dimana kontak ini memiliki tiga aspek yaitu fisik, sosial, dan diri
sendiri. Dalam hal ini seseorang memiliki kemampuan untuk menghadapi
peristiwa-peristiwa sulit dalam hidup.
e. Adequate bodily desires and ability to gratify themmemiliki keinginan-
keinginan jasmani yang memadai dan mempunyai kemampuan untuk
memuaskannya, yaitu kemampuan memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan
dari dunia fisik dalam kehidupan seperti makan, tidur, dan melakukan
aktivitas lagi.
f. Adequate self knowledgemempunyai pengetahuan yang wajar seperti
mengetahui tentang kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
g. Integration and consistency of personalitykepribadian yang utuh dan
konsisten dimana mampu untuk berkonsentrasi dan melakukan perkembangan
diri yang baik.
h. Adequate of life goalmemiliki tujuan hidup yang wajar.
i. Ability to learn from experiencememiliki kemampuan untuk belajar dari
pengalaman hidupnya maupun oranglain sehingga mempunyai kemahiran
dalam mengerjakan sesuatu berdasarkan dari pengalaman yang ia dapat.
j. Ability to satisfy to requirements of the groupdapat memenuhi tuntutan
kelompok dan mampu menyesuaikan diri dengan anggota kelompok lain
tanpa kehilangan identitas pribadi.
-
k. Adequate emancipation from the group or culturemempunyai emansipasi
yang memadai dari kelompok atau budaya seperti mampu menghargai
perbedaan budaya.
B. GANGGUAN MENTAL
1. Definisi Gangguan Mental Gangguan mental adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang
karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang
kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya sendiri-sendiri (Djamaludin, 2001).
Dilain sisi, gangguan mental adalah gangguan dalam cara berpikir (cognitive),
kemauan (volition),emosi (affective), tindakan (psychomotor) (Yosep, 2007).
Gangguan mental menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada
fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang
menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam
melaksanakan peran sosial. Menurut Townsend (1996), mental illness adalah
respon maladaptive terhadap stressor dari lingkungan dalam/luar ditunjukkan
dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma
lokal dan kultural dan mengganggu fungsi sosial, kerja, dan fisik individu.
2. Klasifikasi Gangguan Mental Gangguan mental atau yang lebih dikenal dengan gangguan jiwa menurut
WHO dikelompokan ke dalam blok-blok tertentu secara hierarki berdasarkan
adanya persamaan deskriptif, baik etiologi atau gejala dasar. Gangguan-
gangguan jiwa yang terletak dalam urutan atas mempunyai lebih banyak unsur
(gejala) dari gangguan jiwa yang terletak dalam blok di bawahnya. Sebagai
contohnya, meskipun pada blok F0 dapat ditemukan gejala psikotik, mood,
atau cemas, namun blok tersebut memiliki kelebihan berupa etiologi
organik/medis. Sedangkan blok F1 etiologinya hanya zat psikoaktif, walau
gejalanya mirip dengan gejala pada blok F0.
-
Pada blok F2, gangguana atau gejala dasarnya hanya gejala psikotik tanpa
etiologi organic and medis. Dalam blok F3 gangguan dasarnya adalah
gangguan perasaan atau mood tanpa etiologi organic atau medis. Etiologi
medic merupaka kondisi patologis yang ditemukan dengan pemeriksaan fisik
dan laboratorium yang konvensional. Dengan begitu, makin ke atas hierarki,
biasanya makin berat tingkat keparahan atau kedaruratannya, khususunya
yang bersangkutan dalam F0, F1, F2, dan F3. Untuk memastikan diagnosis,
harus dipastikan dulu gejala-gejala itu tidak merupakan gejala dari ganguan
jiwa yang terletak dalam hierarki di atasnya.
Penggolongan gangguan jiwa dalam PPDGJ III berdasarkan blok serta ciri
khas pada masing-masing blok gangguan jiwa adalah sebagai berikut :
a. Blok F0 : Gangguan mental organic atau simpatomatik
Gangguan kejiwaannya disebabkan oleh penyakit atau gangguan fisik atau
kondisi medic yang secra primer atau secara sekunder (sistemik)
mempengaruhi otak secara fisiologis sehingga terjadi disfungsi otak.
Demensia merupakan salah satu kelainan yang paling mendapatkan
perhatian. Diperlukan bukti riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang untuk menyokong hal tersebut.
b. Blok F1 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif
Gejala gangguan jiwa dalam blok ini tidak disebabkan oleh seperti pada
F0. Terdapat riwayat penggunaan zat psikoaktif yang secara fisiologis
mempengaruhi otak dan menimbulkan gangguan mental dan perilaku.
Namun, tidak semua orang yang menggunakan zat psikoaktif menunjukan
gejala gangguan jiwa. Diperlukan dosis tertentu dalam darah untuk
menimbulkan gangguan ini.
c. Blok F2 : Skizofrenia, Gangguan Skizotipal, Gangguan Waham, dan
Gangguan PSikotik Lainnya (gangguan psikotik nonorganic). Ciri dari
gangguan ini adalah disingkirkannya kemungkinan blok F0 dan F1,
terutama berdasarkan etiologinya, Gejala yang muncul berupa gejala
psikotik yaitu halusinasi, waham, perilaku katatonik, perilaku kacau,
pembicaraan kacau (tidak selalu), disertai tilikan yang buruk. Namun, ada
-
pula gangguan mental dalam blok ini yang tidak disertai gejala psikotik
yaitu gangguan skizotipal. Meskipun begitu, secara genetic, gangguan
tersebut tergabung dalam keluarga skizofrenia.
d. Blok F3 : Gangguan suasa perasaan (mood/afektif). Untuk memasukan ke
dalam blok ini, blok F0,F1, dan F2 harus disingkirkan. Gejala dasarnya
berupa gangguan suasana perasaan atau modd (depresi atau manik) yang
umumnya bersifat episodic. Kadang-kadang ditemukan juga gejala
psikotik, tetapi jangka waktunya lebih pendek daripada episode gangguan
mood yang mendasarinya.
e. Blok F4 : Gangguan neurotic, Gangguan Somatoform, dan Gangguan
yang berkaitan dengan stress. Blok F0, F1, F2, dan F3 harus terlebih
dahulu disingkirkan. Gejala dasarnya bergantung kepada kelompok dalam
blok F4 tersebut. Pada kelompok gangguan cemas dan fobik, gejala
utamanya berupa kecemasan yang bersifat kronis (missal gangguan cemas
menyeluruh) atau episodic (missal gangguan panik) atau kecemasan
timbul bila dihadapkan dengan situasi atau objek fobik atau bila melawan
pikiran obsesif.
Terdapat dua macam stressor pada kelompok gangguan yang berkaitan
engan stress, yaitu stressor yang sering timbul dan lazim dalam kehidupan
sehari-hari serta stressor berat yang memang luar biasa sulit dan tidak lazim
dialami orang dalam kehidupan sehari-hari. Penderita gangguan ini tidak bisa
atau sukar mengadakan adaptasi yang disebut sebagai gangguan penyseuaian
(pada stress lazim) dan gangguan stress pasca trauma (pada stress yang tidak
lazim)
Kelompok gangguan disosiatif (konversi) memiliki gejala utama
berupa hilangnya sebagian atau menyeluruh integrasi normal antara ingatan
masa lalu, kesadaran dientitas dan sensasi langsung dan kendali terhadap
gerakan tubuh.
-
Kelompok gangguan somatoform memiliki gejala utama berupa
keluhan preokupasi dengan rasa sakit atau menderita penyakit tertentu
walaupun tidak ada dasar gangguan medic ataau fisik yang mendasarinya.
Keluhan muncul berulang walaupun terbukti tidak ada dasar medik.
f. Blok F5 : Sindrom tingkah laku yang berhubungan dengan faktor
fisiologis dan faktor fisik
Perlu menyingkirkan Blok F0-F4 terlebih dahulu. Jenis-jenis yang
termasuk dalam blok ini di antaranya adalah :
- Gangguan makan
- Gangguan tidur non organik
- Disfungsi seksual bukan disebabkan gangguan atau penyakit
organic
- Gangguan perilaku yang berhubungan dengan masa nifas yang
tidak diklasifikasikan di tempat lain (YTK)
- Fkator psikologis yang berhubungan dengan gangguan atau
penyakit YDK (yang diklasifikasikan di tempat lain)
g. Blok F6 : Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa
Gangguan blok F6 adalah gangguan kepribadian dan F61 adalah
gangguan kepribadian campuran dan lainnya dicatat dalam aksis II.
Sementara itu, gangguan jiwa lain dalam blok F6 dimasukan dalam
aksis I.
Ciri khas dari blok ini adalah keadaan dan pola perilaku yang secara
klinis bermakna yang cenderung menetap dan merupakan ekspresi
dari gaya hidup yang khas dari seseorang serta cara berhubungan
dengan diri sendiri serta orang lain.
-
Pola ini bisa muncul sejak dini saat masa pertumbuhan maupun
perkembangan sebagai hasil faktor genetic, constitutional, maupun
pengalaman social. Bisa juga didapat pada masa kehidupan
selanjutnya.
Jenis-jenis yang masuk dalam kriteria ini adalah :
- Gangguan kepribadian khas
- Gangguan kepribadian campuran lainnya
- Gangguan kepribadian yang berlangsung lama yang tidak
disebabkan kerusakan atau penyakit otak
- Gangguan kebiasaan dan impuls
- Gangguan identitas jenis kelamin
- Gangguan preferebsu seksual
- Gangguan psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan
perkembangan dan orientasi seksual
- Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa lainnya
Orientasi seksual tidak termasuk dalam kategori gangguan jiwa dan
dicantumkan sebagai bagian dari identitas diri seseorang. Namun,
apabila penderita merasa terus menerus dan nyata merasa terganggu
dengan hal tersebut, hal tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
gangguan seksual yang tidak dapat diklasifikasikan.
Blok F7, F8, dan F9 tidak disusun berdasarkan urutan hierarki,
melainkan merupakan kelompok gangguan jiwa yang sering
terdapat dan berawitan dalam masa kanan dan remaja. Namun, pada
beberapa kondisi, sebenernya gangguan F0-F6 bisa saja terjadi
dalam masa kanak-kanak dan remaja.
h. Blok F7 : Retardasi Mental
Ciri khas dari blok ini adalah tingkat intelegensi (IQ) dibawah 70,
semua aspek perkembangan terlambat atau terhenti sehingga
menimbulkan disfungsi dan berawitan di bawah usia 18 tahun.
-
Apabila seseorang dengan IQ di bawah 70 awitannya baru timbul
setelah 18 tahun disebut dementia.
Jenis retardasi mental :
- Ringan yaitu dengan IQ 50-69
- Sedang yaitu dengan IQ 35-49
- Berat yaitu dengan IQ 20-34
- Sangat berat yaity dengan IQ di bawah 20
i. Blok F8 : Gangguan Perkembangan Psikologis
Jenis dari blok ini ada dua, yaitu:
Gangguan perkembangan khas (F80-F83), ciri khasnya adalah pada
kasus murni, IQ normal dan biasanya hanya satu aspek dari fungsi
individu yang terganggu. Gejala dimulai dari masa bayi atau kanak-
kanak.
Gangguan perkembangan pervasif, ciri khasnya adalah gangguan
dasar berupa abnormalitas kualitatif dalam interaksi timbal balik
dengan orang lain, sehignga pada kasus berat dapat terjadi retardasi
mental. Masa awitannya dalam masa bayi atau di bawah usi 5 tahun.
j. Blok F9 : Gangguan Perilaku dan Emosional dengan Awitan
Biasanya pada Masa Kanak dan Remaja
-
C. FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA GANGGUAN MENTAL
Menurut pendapat Sigmund Freud gangguan jiwa terjadi karena tidak
dapat dimainkan tuntutan id (dorongan instinctive yang sifatnya seksual) dengan
tuntutan super ego (tuntutan normal sosial). Seseorang ingin melakukan sesuatu
hal namun hal tersebut tidak dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya dengan
baik sehingga menyebabkan terjadinya konflik antara diri sendiri dengan tuntutan
masyarakatnya dan mengakibatkan orang tersebut mengalami gangguan mental.
Teori ini menjelaskan adanya faktor lingkungan
Pada perkembangan teori selanjutnya, gangguan jiwa dapat terjadi karena
dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor genetic dan faktor lingkungan. Faktor
lingkungan itu kembali dibagi menjadi beberapa komponen yaitu faktor
intrauterine dan faktor ekstrauterine. Faktor intrauterine dipengaruhi oleh keadaan
janin dalam kandungan sehingga dipengaruhi juga oleh kesehatan maternal,
keadaan selama kehamilan, serta komplikasi obstetric lainnya. Faktor
ekstrauterine dijabarkan menjadi faktor yang berasal dari lingkungan yang
dialami oleh seorang anak dalam masa perkembangannya dan kehidupan
selanjutnya. Hal ini terdiri dari psikososial dan budaya setempat seseorang
tinggal. Berikut merupakan pengelompokan lebih lanjut mengenai faktor resiko
yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan mental :
1. Faktor-faktor somatik atau organobiologis. Yang termasuk kedalam
kelompok ini adalah:
a.Genetika / keturunan.
Menurut Cloninger dalam Yosep ( 2007 ) gangguan jiwa, terutama gangguan
persepsi sensori dan gangguan psikotik lainnya erat sekali penyebabnya dengan
faktor genetik termasuk di dalamnya saudara kembar, individu yang memiliki
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan lebih
tinggi di banding dengan orang yang tidak memiliki faktor herediter.
-
Individu yang memiliki hubungan sebagai ayah, ibu, saudara atau anak dari
klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan 10 % sedangkan
keponakan atau cucu kejadian 2- 4 %. Individu yang memiliki hubungan sebagai
kembar identik dengan klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki
kecenderungan 46 48 %, sedangkan kembar dizygot memiliki kecenderungan
14-17%. Faktor genetik tersebut sangat ditunjang dengan pola asuh yang
diwariskan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki oleh anggota keluarga klien
yang mengalami gangguan jiwa.
b. Cacat kongenital
Cacat kongenital atau sejak lahir dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak,
terlebih yang berat, seperti retardasi mental yang berat. Akan tetapi umumnya
pengaruh cacat ini timbulnya gangguan jiwa terutama tergantung pada individu
itu, bagaimana ia menilai dan menyesuaikan diri terhadap keadaan hidupnya yang
cacat. Orang tua dapat mempersulit penyesuaian ini dengan perlindungan yang
berlebihan ( proteksi berlebihan ). Penolakan atau tuntutan yang sudah diluar
kemampuan anak.
c. Faktor jasmaniah
Beberapa peneliti berpendapat bentuk tubuh seseorang berhubungan dengan
gangguan jiwa tertentu. Misalnya yang bertubuh gemuk/endoformcenderung
mengalami gangguan jiwa, begitu juga dengan yang bertubuh
kurus/ectoform, tinggi badan yang terlalu tinggi atau yang terlalu pendek dan
sebagainya.
d. Jenis kelamin
Penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat depresi jauh lebih tinggi di antara
wanita dengan sedikit kontrol atas kehidupan mereka yaitu wanita yang tidak
bekerja dan wanita yang menikah. Dilain sisi, depresi yang dirasakan oleh kaum
pria umumnya dikarenakan memiliki daya kontrol lebih sedikit dibandingkan
dengan istri yang mereka lakukan, memiliki sedikit kontrol atas pekerjaan
-
mereka, atau kehilangan pekerjaan. Pria secara konsisten menampilkan tingkat
yang lebih tinggi dalam masalah gangguan kepribadian (kondisi yang ditandai
dengan kronis, ciri-ciri kepribadian maladaptif, seperti perjudian kompulsif atau
kecenderungan antisosial), sedangkan wanita secara konsisten menampilkan
tingkat lebih tinggi gangguan kecemasan dan depresi (Kessler et R. al., 2005a).
Demikian pula, banyak sosiolog malakukan hipotesis bahwa hasil depresi ketika
peran perempuan tradisional menyebabkan stres kronis dengan mengurangi
kontrol perempuan atas kehidupan mereka (Horwitz, 2002: 173-179). Dalam
masyarakat negara berkembang, perempuan menanggung beban dari kemalangan
yang terkait dengan kemiskinan: sedikit akses ke sekolah, kekerasan fisik dari
suami, pernikahan paksa, perdagangan seksual, kesempatan kerja lebih sedikit
dan, dalam beberapa masyarakat, keterbatasan partisipasi mereka dalam kegiatan
di luar rumah.
e. Deprivasi
Deprivasi atau kehilangan fisik, baik yang dibawa sejak lahir ataupun yang di
dapat, misalnya karena kecelakaan hingga anggota gerak ( kaki dan tangan ) ada
yang harus diamputasi (Baihaqi, 2005).
f. Temperamen/Proses-proses emosi yang berlebihan
Orang yang terlalu peka/sensitif biasanya mempunyai masalah kejiwaan dan
ketegangan yang memiliki kecenderungan mengalami gangguan jiwa. Dan proses
emosi yang terjadi secara terus-menerus dengan koping yang tidak efektif akan
mendukung timbulnya gejala psikotik (Yosep, 2007).
h. Penyalahgunaan obat-obatan
Koping yang maladaftif yang digunakan individu untuk menghadapi stressor
melalui obat-obatan yang memiliki sifat adiksi (efek ketergantungan) seperti
cocaine, amphetamine menyebabkan gangguan persefsi, gangguan proses
berpikir, gangguan motorik dan sebagainya.
-
g.Patologi otak
Termasuk disini adalah, trauma, lesi, infeksi, perdarahan, tumor, toksin,
gangguan metabolisme dan atrofi otak.
h.Penyakit dan cedera tubuh.
Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, kanker, dan sebagaimana,
mungkin menyebabkan merasa murung dan sedih. Demikian pula cedera / cacat
tubuh tertentu dapat menyebabkan rasa rendah diri (Yosep, 2007).
2. Faktor Faktor Psikologik ( Psikogenik ) atau Psikoedukatif a.Trauma di masa kanak-kanak
Deprivasi dini biologi maupun psikologik yang terjadi pada masa bayi, anak-anak.
Misalnya anak yang ditolak (rejected child) akan menimbulkan rasa tidak nyaman
dan ia akan mengembangkan cara penyesuaian yang salah (Baihaqi, 2005).
b. Deprivasi parental
Deprivasi parental atau kehilangan asuhan ibu dirumah sendiri, terpisah dengan
ibu atau ayah kandung, tinggal di asrama, dapat menimbulkan perkembangan
yang abnormal.
c. Hubungan keluarga yang patogenik
Dalam masa kanak-kanak keluarga memegang peranan yang penting dalam
pembentukan kepribadian. Hubungan orang tua-anak yang salah atau
interaksi yang patogenik dalam keluarga merupakan sumber gangguan
penyesuaian diri. Kadang orang tua terlalu banyak berbuat untuk anak dan tidak
member kesempatan anak itu berkembang sendiri, adakalanya orang tua berbuat
terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan
anjuran yang dibutuhkan.
Beberapa jenis hubungan keluarga yang sering melatarbelakangi adanya
gangguan jiwa, umpamanya penolakan, perlindungan berlebihan, manja
berlebihan, tuntutan perfeksionistik, disiplin yang salah, dan persaingan antara
saudara yang tidak sehat. (Yosep, 2007).
-
d. Struktur keluarga yang patogenik
Struktur keluarga inti kecil atau besar mempengaruhi terhadap perkembangan
jiwa anak, apalagi bila terjadi ketidak sesuaian perkawinan dan problem rumah
tangga yang berantakan (Baihaqi, 2005). Anak tidak mendapat kasih sayang, tidak
dapat mengahayati displin, tidak ada panutan, pertengkaran dan keributan yang
membingungkan dan menimbulkan rasa cemas serta rasa tidak aman. Hal tersebut
merupakan dasar yang kuat untuk timbulnya tuntunan tingkah laku dan gangguan
kepribadian pada anak dikemudian hari (Yosep, 2007).
Kejadian kekerasan dalam rumah tangga memungkinkan anak anak untuk
menyaksikan pertengkaran orang tuanya ( kekerasan terhadap ibunya) mengalami
kekerasan seperti yang di alami ibunya, bahkan menjadi sasaran kekerasan (
pelampiasan emosi ) oleh ibunya.
Anak korban KDRT tergantung usianya dapat mengalami berbagai bentuk
gangguan kejiwaan sebagai dampak dari pristiwa traumatik yang dialaminya.
Pada anak prasekolah dapat berupa perilaku menarik diri, mengompol, gelisah,
ketakutan, silit tidur, mimpi buruk, dan teror tidur ( mendadak terbangun teriak
histeris ), dan bicara gagap (Dharmono, 2008).
e. Kekecewaan dan pengalaman yang menyakitkan
Kematian, kecelakaan, sakit berat, perceraian, perpindahan yang mendadak,
kekecewaan yang berlarut-larut, dan sebagainya, akan mempengaruhi
perkembangan kepribadian, tapi juga tergantung pada keadaan sekitarnya (orang,
lingkungan atau suasana saat itu) apakah mendukung atau mendorong dan juga
tergantung pada pengalamannya dalam menghadapi masalah tersebut (Yosep,
2007).
f. Stress berat
Tekanan stress yang timbul bersamaan dan atau berturut-turut, bisa menyebabkan
berkurangnya/hilangnya daya tahan terhadap stress. Contohnya kasus seseorang
yang baru saja mengalami perceraian kemudian harus juga kehilangan anak, baik
karena anaknya meninggal atau diputus secara paksa, mengakibatkan daya tahan
dirinya dalam menghadapi masalah menjadi lebih rentan (Baihaqi, 2005).
-
3. Sebab Sosial Kultral
Kebudayaan secara teknis adalah idea tau tingkah laku yang dapat dilihat maupun
yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan penyebab langsung timbulnya
gangguan jiwa. Biasanya terbatas menentukan warna gejala gejala disamping
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya
melalui atauran aturan kebiasaanya yang berlaku dalam kebudayaan
tersebut. Beberapa faktor faktor kebudayaan tersebut yaitu :
a. Cara cara membesarkan anak
Cara cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter, hubungan orang tua anak
menjadi kaku dan tidak hangat. Anak anak setelah dewasa mungkin bersifat
sangat agresif atau pendiam dan tidak suka tergaul atau justru menjadi penurut
yang berlebihan.
b. Pendidikan
Pendidikan adalah proses sosial dimana orang dihadapkan pada pengaruh
lingkungan yang terpilih dan terkontrol, sehingga mereka dapat memperoleh
kemampuan sosial dan perkembangan sosial yang optimal (Idris: 1987).
Pendidikan serta pengalaman yang diberikan dengan baik bahkan telah
ditanamkan sejak kecil akan menjadikan mental yang sehat. Pendidikan dalam
hubungannya dengan kesehatan mental bukanlah pendidikan yang disengaja, yang
ditujukan kepada objek yang didik, melainkan lebih daripada itu adalah keadaan,
suasana, hubungan satu dengan yang lainnya dan sikap atau perilaku yang
ditunjukkan. Tugas sekolah dalam menciptakan mental yang sehat bagi si anak,
tidaklah ringan. Guru harus dapat menjamin kebutuhan-kebutuhan jiwa si anak.
Anak yang kelihatan bodoh, pemalas, suka mengganggu kawan-kawannya, tidak
mau tunduk kepada peraturan-peraturan disekolah dan sebagainya, janganlah
dimarahi atau dihukum, tetapi usahakan untuk memahaminya dan menolongnya
untuk menyesuaikan diri, serta menyelidiki apa yang terjadi dirumahnya (Zakiah:
2001).
-
c. Sistem nilai Perbedaan sistem nilai, moral dan etika antara kebudayaan yang satu dengan yang
lain sering menimbulkan masalah kejiwaan.
d. Kepincangan antarkeinginan dengan kenyataan Iklan-iklan di radio, televisi, surat kabar, film dan lain-lain menimbulkan
bayangan-bayangan yang menyilaukan tentang kehidupan modern yang mungkin
jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Akibat rasa kecewa yang timbul, seseorang
mencoba mengatasinya dengan khayalan atau melakukan kegiatan yang
merugikan masyarakat.
e. Ketegangan akibat faktor ekonomi Dalam masyarakat modern kebutuhan makin meningkat dan persaingan makin
meningkat dan makin ketat untuk meningkatkan ekonomi hasil-hasil teknologi
modern. Faktor-faktor gaji yang rendah, perumahan yang buruk, waktu istirahat
dan berkumpul dengan keluarga sangat terbatas dan sebagainya merupakan
sebagian hal yang mengakibatkan perkembangan kepribadian yang abnormal.
Dari perspektif epidemiologi, kemiskinan berarti status sosial ekonomi rendah
(diukur dengan kelas sosial atau pendapatan), pengangguran dan tingkat
pendidikan yang rendah. Kemiskinan mungkin akan berhubungan dengan
malnutrisi, kurangnya akses ke air bersih, hidup di lingkungan tercemar,
perumahan tidak memadai, kecelakaan sering dan faktor risiko lain yang terkait
dengan kesehatan fisik yang buruk. Masalah kesehatan mental dan fisik
menyebabkan peningkatan biaya perawatan kesehatan dan memburuknya
kemiskinan.
Penyelidikan epidemiologis di negara-negara berkembang banyak
menghubungkan tingginya tingkat gangguan mental dengan faktor-faktor seperti
diskriminasi, pengangguran dan hidup melalui periode perubahan sosial yang
cepat dan tak terduga. Penyidik di India yang baru-baru ini dilakukan sebuah studi
komunitas gangguan mental di daerah pedesaan, 20 tahun setelah penelitian
serupa di daerah yang sama, menemukan bahwa tingkat keseluruhan gangguan
mental tidak berubah. Namun, tingkat kategori diagnostik tertentu telah berubah
- sehingga tingkat depresi meningkat dari 4,9% menjadi 7.3% (P
-
D. HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI GANGGUAN
MENTAL
Gangguan jiwa merupakan gangguan yang bersifat heterogenus baik secara klinis
dan genetik. Masing-masing penderita gangguan jiwa mengalami gejala klinis yang
berbeda-beda dan sangat luas. Gejala klinis yang beraneka ragam ini memiliki fenotip
yang berbeda-beda pula satu dan lainnya. Seperti yang kita ketahui bahwa fenotip
merupakan manifestasi klinis dari gen. Terdapat berbagai macam gen yang ditemukan
!
Risk!Factors!of!Schizoprenia!Organobiologis!
Genetic! Closer!relative!degree! !Risk Physical! Congenital!Abnormality!Obese!!Disability!!
!confidence!>!stress!Hormone! !Estrogen!(in!women)!
!Risk !Estrogen!(in!men)!Risk Temperament!
!Harm!Avoidance!!G worrying!G pessimism!G shyness!G fearful!G doubtful!
!Drug!Abuse!!Risk
Neuropathology!G Larger!Brain!Ventricles!G Cortical!Atrophy!>!prefrontal!G !Grey!and!White!matter!!!Disease!>!!!Stress!!
Environment! Parenting!Deviance!Communication!
Parents!Deprivation:!Dead,!raised!by!others,!seperation!
Sexual!Probrlems!:!Sexual!abuse!!Bullied!Violent!victim!Stressful!Event! Social,Culture!&!Values! Family!Problem!
!demand!from!culture!&!social!>!wants!!demands!!Stress!+!Poor!Stress!Buffer! !Risk
BRAIN&MAP&FAKTOR&RESIKO&GANGGUAN&MENTAL&
-
dan berkaitan dengan perkembangan gangguan mental. Namun teori faktor gentik ini
tidak cukup kuat untuk menjadi satu-satu nya etiologi perkembangan gangguan mental.
Munculah teori genetic-environmental sebagai etiologi perkembangan ganguan mental,
yaitu teori gabungan yang menyatakan bahwa antara faktor genetik dan faktor lingkungan
berpengaruh satu sama lain dalam menyebabkan gangguan jiwa.
Pada teori faktor genetik, penelitian menunjukan adanya pengaruh faktor genetic
pada perkembangan seorang anak mengalami gangguan mental. Seorang anak yang
memeliki riwayat gangguan mental pada keluarganya cenderung berada pada resiko yang
lebih tinggi untuk memiliki gangguan mental dibanding dengan anak yang tidak memiliki
riwayat gangguan mental pada keluarganya. Semakin dekat hubungan darah seseorang
dengan keluarga atau relatif nya yang memiliki gangguan mental maka semakin tinggi
resiko seseorang tersebut mengalami gangguan mental kemudian hari. Hal ini disebabkan
oleh antar keluarga biologis terjadi pembagian gen (genetic sharing) yang menimbulkan
kecocokan genetik (Gottesman, 1991).
Kecocokan genetic antar sepupu menunjukan adanya 12.5% genetic sharing, dan
menunjukan resiko sebesar 2% untuk berkembang menjadi gangguan mental bila salah
satu diantaranya memiliki gangguan mental. Demikian pula pada hubungan kakak-adik
biologis, dan kembar dizigotik (DZ) memiliki kecocokan gen sebesar 50% dari gennya
dan menunjukan resiko mengalami gangguan mental sebesar 9%. Sedangkan kembar
monozigot (MZ) memiliki kecocokan genetic 100% sehingga resiko mengalami
gangguan mental meningkat menjadi 50%. Pada sebuah penelitian juga disebutkan bahwa
kembar MZ dengan salah satunya mengalami gangguan mental dan memiliki kedua
orang tua yang juga penderiga gangguan mental, maka kembarannya memiiki resiko
lebih tinggi untuk mengalami gangguan mental dibandingkan dengan kembar DZ. Hal
diatas menunjukan bahwa adanya pengaruh besar dari gen yang diturunkan dalam
perkembangan gangguan mental. Namun pada studi yang lain menunjukan bahwa resiko
pada kembar MZ yang kembarannya mengalami gangguan mental dengan kedua orang
tua adalah penderita gangguan mental, tidak mencapai 100%. Hal ini menunjukan bahwa
faktor genetic tidak bisa menjadi etiologi tunggal penyebab sebuah gangguan mental.
Sehingga studi ini meyakinkan kita akan ada peranan faktor lain yang diyakinin dapat
-
menjadi pencetus gangguan mental yang dalam hal ini adalah faktor lingkungan.
Faktor lingkungan dalam konteks memiliki beberapa komponen diantaranya
adalah komponen lingkungan intrauterine dan lingkungan ekstrauterine. Komponen
lingkungan intrauterine sendiri memiliki peran yang penting dalam perkembangan sebuah
gangguan mental. Pada teori neurodevelopmental dijelaskan bahwa adanya predisposisi
genetic yang didukung oleh stressor intrauterine dapat menimbulkan abnormalitas
perkembangan neuron pada otak (neurodevelopmental brain abnormalities) yang
bermanifestasi pada gangguan mental. Hal ini diperkuat dengan adanya perubahan
patologis pada otak saat otopsi yang konsisten terhadap hipotesis neurodevelopment.
Abnormalitas ini dapat berupa abnormalitas formasi sel-sel pada hippocampus, cingulate
gyrus dan prefrotal cortex, dan sulcal-gyral patterns pada lobus temporal pada banyak
pasien yang mengalami gangguan jiwa (contohnya adalah pada skizofrenia). Penemuan
ini mengarahkan kita pada adanya abnormalitas pada masa kehamilan terutama trimester
dua dan tiga. Dengan demikian, telah ditemukan abnormalitas pada pasien dengan
gangguan jiwa jauh sebelum onset dari gangguan terjadi yang diduga akibat komplikasi
masa kehamilan (Jones & Cannon, 1998).
Menurut Lewis & Murray, pasien yang mengalami gangguan mental memiliki
riwayat komplikasi obstretri yang lebih besar dari pada kontrol grup (Lewis & Murray,
1987; Geddes & Lawrie, 1995; Jablensky, 1995; Tsuang & Faraone, 1995). Komplikasi
ini dapat berupa pre-eklampsia pada ibu yang mengakibatkan fetal hipoksia dan
meningkatkan resiko sembilan kali terjadinya gangguan mental (Kendell, et al, 1996).
Studi yang sejenis juga membuktikan bahwa anak dari ibu yang mengalami komplikasi
obstetrik mengalami deficit pada nerupsikologikal saat berusia 7 tahun. Dengan adanya
penelitian seperti diatas mengarahkan kita pada analisis berikutnya untuk menentukan
bagaimana interkasi antara komplikasi obstetrik dan riwayat gangguan mental pada
keluarga dapat berpengaruh terhadap perkembangan gangguan mental.
Komponen lainnya pada faktor lingkungan adalah faktor psikososial yang dialami
anak setelah lahir dan saat masa perkembangannya. Sebuah studi menyatakan bahwa
apabila kembar MZ dari ibu penderita gangguan mental dalam hal ini skizofrenia, bila
-
dipisahkan dan dibesarkan pada lingkungan yang berbeda, dimana satu diantaranya
diadopsi oleh ibu non-skizofrenia dengan deviasi komunikasi yang tinggi cenderung
mengalami Thought Disorder Index (TDI) (Johnston & Holzman, 1979) dibandingkan
dengan kembarannya yang diadopsi oleh ibu non-skizofrenia dengan deviasi komunikasi
yang lebih rendah (Tienari, 1991; Tienari et al, 1994; Wahlberg et al, 1997). Sehingga
dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor genetic saja tidak cukup untuk menimbulkan suatu
gangguan mental, sehingga perlu dimediasi oleh faktor lingkungan khususnya komponen
psikososial, walaupun esarnya pengaruh heritabilitas ini mencapai 70% berdasarkan
penelitian Kendler & Diehl (Kendler & Diehl, 1993).
-
BAB III
PENUTUP
Dari berbagai banyak factor yang telah dipaparkan dapat diketahui bahwa untuk
dapat terjadinya gangguan jiwa tidak mungkin hanya dipengaruhi oleh satu atau dua
factor saja. Begitu banyak fakor yang saling mempengaruhi satu sama lain. Namun
urutan petama dan kedua yang diketahui paling berpengarh adalah factor genetic dan
lingkungan intrauterine. Dengan demikian kita dapat melaukan suatu upaya pencegahan
untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya suatu gangguan mental.
-
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA (2007). Psychosomatic medicine. In Kaplan and Sadock's
Synopsis of Psychiatry, 10th ed., pp. 813838. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins.
2.American Psychiatric Association (1994) Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (4th edn) (DSM-IV). Washington, DC: APA
3. Cannon, T.D., Zorrilla, L. E., Shtasel, D., et al (1994) Neuropsychological
functioning in siblings discordant for schizophrenia and healthy volunteers.
Archives of General Psychiatry, 51, 651 -661
4. Cannon, T.D., Kaprio, J., Lonnqvist, J., et al (1998) The genetic epidemiology of
schizophrenia in a Finnish twin cohort. A population-base modeling study.
5. Johnston, M. H. & Holzman, P. S. (1979) Assessing Schizophrenic Thinking: A
Clinical and Research Instrument for Measuring Thought Disorder. San Francisco,
CA: Jossey-Bass
6. Jones, P. & Cannon, M. (1998) The new epidemiology of schizophrenia.
Psychiatric Clinics of North America, 21, 1 -25
7.Kendler, K. S. & Diehl, S. R. (1993) The genetics of schizophrenia: a current
genetic-epidemiologic perspective. Schizophrenia Bulletin, 19, 261 -285.
8. Seidman, L. J., Buka, S. L., Goldstein, J. M., et al (2000) The relationship of
prenatal and perinatal complications to cognitive functioning at age 7 in the New
England Cohorts of the National Collaborative Perinatal Project.