Download - Review buku mpki
1
IDENTITAS BUKU
Judul Buku : Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam
Penulis : Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk.
Penerbit : PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-ICIHEP dan Pustaka Pelajar
Edisi : 2002
Tebal : x + 239 halaman
ISBN : 979-9483-45-X
2
Pendahuluan
Membicarakan permasalahan gender memang terasa melelahkan, sekaligus
mengasyikkan. Melelahkan karena seakan-akan perbincangan ini tidak akan
berakhir dalam suatu ujung dan titik akhir tertentu. Mengasyikkan karena bahasan
ini selalu memberikan nuansa dan wacana baru dengan istilah-istilah baru yang
terus bermunculan dan berkembang, sehingga kita tidak pernah jenuh
membahasnya. Maka, perbincangan seputar diskursus gender ini adalah pokok
masalah yang membumi yang berarti tidak saja menjadi wacana dan fenomena
bagi kelompok atau golongan tertentu, yang dibatasi garis geografis maupun
ideologis, namun lebih merupakan permasalahan global yang lintas ruang dan
waktu.
Dewasa ini, isu-isu tentang perempuan, tengah banyak menyita perhatian
masyarakat kita, di samping wacana-wacana politik dan ekonomi. Isu perempuan
ini menjadi semakin menarik ketika kesadaran akan ketidakadilan diantara dua
jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), yang sering disebut ketidakadilan
gender, ini semakin tinggi di kalangan masyarakat kita.
Kesetaraan gender1 merupakan salah satu wacana diantara sejumlah
wacana yang bisa disebut kontemporer yang cukup menyita perhatian banyak
kalangan, mulai remaja, kalangan aktivis pergerakan dan organisasi, civitas
akademisi dan mahasiswa, kalangan legislatif dan pemerintah, hingga para
agamawan. Maksud dari wacana ini adalah menutup kesenjangan dan
ketidakadilan dalam berbagai aspek berdasarkan perbedaan jenis kelamin,
selanjutnya berupaya mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
pada aspek-aspek tersebut.
1 Ada sejumlah pemaknaan mengenai gender, yaitu (1) gender sebagai sebuah istilah asing dengan makna tertentu; (2) gender sebagai suatu fenomena sosial-budaya; (3) gender sebagai suatu kesadaran sosial; (4) gender sebagai suatu persoalan sosial-budaya; (5) gender sebagai sebuah konsep untuk analisis; dan (6) gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan. Lihat: Mochamad Sodik, “Pembacaan Progresif Terhadap Fikih Keluarga (Kritik terhadap KHI dan RUU HTPA)” Jurnal Asy-Syirah, Vol 46, No 1 (2012), 114-115
3
Saat ini kesetaraan gender telah menjadi sebuah keniscayaan. Isu, gagasan
dan wacana tersebut dibawa oleh mayoritas kaum feminis dengan pahamnya
feminisme2 untuk menuntut kesetaraan hak antara perempuan dengan laki-laki.
Namun, sejalan dengan menjamurnya wacana gender di negara-negara
berkembang terutama di Indonesia, timbul kontroversi terhadapa gagasan-gagasan
yang mereka bawa. Tak pelak, paham yang mengusung perempuan sebagai kunci
kemajuan pun menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih pelik.
Berbagai usaha ditempuh oleh kaum feminisme untuk mengangkat derajat
dan posisi perempuan agar setara dengan laki-laki melalui berbagai institusi, baik
formal maupun nonformal.3 Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah terwujudnya
sebuah keadilan gender dalam konteks sosial kemasyarakatan.
Akan tetapi, memahamkan persoalan-persoalan gender berikut
implikasinya ke tengah-tengah masyarakat benar-benar menghadapi kesulitan
yang luar biasa, terutama ketika harus berhadapan dengan pemikiran-pemikiran
keagamaan. Lebih-lebih apabila pemikiran-pemikiran keagamaan itu disampaikan
oleh kalangan yang dipandang sebagai pemilik otoritas kebenaran. Kesulitan lebih
jauh lagi adalah ketika pemikiran-pemikiran keagamaan tersebut telah menjadi
keyakinan keagamaan dan diyakini sebagai agama itu sendiri.4
Menjadi menarik untuk didiskusikan, mengapa banyak pihak dengan
beragam pendekatan berjuang untuk memposisikan perempuan pada tempatnya,
dan persoalan yang selalu muncul apakah sama antara laki-laki dan perempuan?.
2 Dalam hal ini istilah “feminisme” tidak secara eksplisit digunakan. Para pakar lebih cenderung menggunakan istilah “perspektif perempuan” dan “analisis gender” karena pemakaiain istilah feminisme lebih mendapatkan respon yang keras dibanding keduanya.
3 Wacana kesetaraan gender di Indonesia telah menjadi program sosial yang disosialisakan melalui ranah politik dan akademik. Dalam ranah politik, sosialisasi kesetaraan gender telah dilakukan melalui lembaga pemerintahan seperti tim Pengarusutamaan Jender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan, dan juga melalui LSM-LSM yang kian menjamur. Adapun dalam ranah akademik, telah didirikan institusi-institusi Pusat Studi Wanita (PSW) di berbagai perguruan tinggi yang pada tahun 2005 telah mencapai 132 di berbagai Universitas di Indonesia. Lihat: Henri Shalahuddin, “Menelusuri Paham kesetaraan Gender dalam Studi Islam: Tantangan terhadap Konsep Wahyu dan Ilmu dalam Islam Indonesia”, Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Vol. 3, No. 5, 58
4 Marsudi, “Bias Gender dalam Buku-Buku Tuntunan Hidup Berumah Tangga”, Jurnal Istiqro’, Vol. 07 No. 1 (2008/1429), 235
4
Hampir seluruh argumen dalam kajian gender berawal dari suatu asumsi, bahwa
perbedaan gender, bahkan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan
terjadi melalui proses sejarah yang panjang dan dibentuk, disosialisasikan,
diperkuat dan dikonstruksi secara sosial dan kultural, termasuk melalui tradisi
keagamaan. Sebagaimana sifat tradisi dan kebiasaan lainnya, proses panjang
pembentukan gender, pada umumnya juga sebagai suatu proses yang tidak
disadari sehingga dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya natural, kodrati dan
ketentuan Allah.5
Dengan demikian gender bukanlah sekedar istilah, tetapi merupakan
konsep yang sarat nilai dan terkandung di dalamnya misi, filosofi, dan bahkan
ideologi tersendiri. Hal ini yang menurut Mohammad Muslih, para pegiat gender
di kalangan umat Islam Indonesia, kecuali hanya sedikit dari mereka, pada
umumnya tidak membekali diri dengan pemahaman tentang apa akar-akar
pemikiran gender dan bagaimana basis ideologinya.6 Sehingga yang ada tidak
lebih dari sekumpulan para wanita dengan beberapa kegiatannya sebagaimana
kelompok-kelompok wanita yang telah ada sebelumnya. Padahal sebagai
pemikiran, gender bisa saja berbeda atau bertentangan dengan tradisi dan budaya
mereka. Atau, di lain pihak malah melakukan tuntutan kebebasan pada beberapa
aspek kehidupan, misalnya dalam politik, ekonomi, seni, dan lain-lain, dengan
dalih kesetaraan gender. Sehingga gender hanya digunakan sebagai “tempat
berlindung” atau sebagai “atas nama”. Tampaknya, kondisi demikian yang
membuat gender memiliki semakin banyak makna konotasinya, sekaligus
membuat watak aslinya menjadi dikaburkan. Maka membaca wacana gender perlu
melakukan penelusuran terhadap akar-akar yang membangunnya.
Pergulatan Pemikiran Feminis dalam Wacana Islam
5 Indriani Bone, Feminisme Kristen: Problematika Memasuki Milenium Ketiga, dalam Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga, ed. Martin L. Sinaga (Jakarta: Gramedia, 2000), 66
6 Mohammad Muslih, “Membaca Wacana Gender (Framework Studi Islam dan Isu-Isu Kontemporer di ISID PM Gontor)”, Jurnal Tsaqafah, Vol. 3 No. 1 (1428), 161
5
Budaya patriarki7 yang bertitik tolak pada konsep superioritas laki-laki
dewasa atas perempuan dan anak-anak telah menjadi isu sentral dalam wacana
feminisme. Laki-laki sebagai patriarch menguasai anggota keluarga, harta dan
sumber ekonomi serta posisi pengambil keputusan.
Bagi Siti Ruhaini Dzuhayatin, budaya patriarki terjadi karena adanya
dominasi kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain. Kelompok pertama
tidak saja berkuasa secara fisik terhadap kelompok kedua, tetapi juga menentuka
ideologi budaya untuk melanggengkan kekuasaannya. Konstruk budaya patriarki
yang mapan dan berlangsung selama berabad-abad tidak lagi dianggap sebagi
ketimpangan. Telah berabad-abad pula perempuan dan para budak harus
menerima nasib bahwa mereka lahir untuk melayani kepentingan laki-laki dewasa
yang berkuasa.8
Selain superioritas dan dominasi laki-laki, masih menurut Siti Ruhaini
Dzuhayatin, keterpurukan perempuan dalam Islam juga disebabkan oleh
interpretasi terhadap poligami. Konsep dasar poligami dalam Islam yang
tercantum dalam surat an-Nisa’ ayat 3 dimaksudkan untuk jaminan sosial bagi
anak yatim dan para janda. Ayat ini merupakan peringatan bagi laki-laki Arab
yang cenderung menikahi anak yatim untuk menguasai hartanya. Selanjutnya ayat
tersebut menegaskan bahwa berdasarkan azaz keadilan yang sangat dijunjung
tinggi oleh Islam, maka perkawinan yang paling ideal adalah monogami.9
Islam pada dasarnya justru menekankan pada kesetaraan dan keadilan
antara laki-laki dan perempuan. Namun dalam kenyataannya, perempuan lebih
dituntut untuk berperilaku menerima apa adanya tentang apa yang ditentukan
7 Patriarki adalah sistem susunan masyarakat yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga. Atau masyarakat maupun suku yang diperitah oleh kaum laki-laki. Lihat Peter Salim, The Contemporary English – Indonesia (Jakarta: Modern English Press, 1996), 1366
8 Siti Ruhaini Dzuhayatin dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-ICIHEP dan Pustaka Pelajar, 2002), 10
9 Ibid., 18
6
baginya. Sementara laki-laki lebih terbiasa dan terlatih untuk melakukan
hegemoni dan mengambil keputusan untuk kaum perempuan.10
Padahal secara normatif-doktrinal, Islam dengan tegas mengakui konsep
kesetaraan gender, karena prinsip pokok ajaran Islam adalah persamaan antar
manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perbedaan yang digaris bawahi dan
yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai
pengabdian dan ketaqwaannya kepada Allah (QS 49: 13). Dalam doktrin Islam,
dihadapan Allah, baik laki- laki dan perempuan adalah sama, keduanya diciptakan
oleh Allah untuk menyembah kepada-Nya.
Begitupula di bidang ibadah, keduanya mempunyai peluang dan pahala
yang sama. Pun jua dalam perbuatan dosa, keduanya memiliki porsi hukuman dan
dosa yang sama. Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak
sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Pada domain
normatif-idealis, kaum perempuan setara dengan laki-laki. Namun pada domain
historis-empiris posisi perempuan belumlah setara. Hal ini disinyalir beberapa
kalangan salah satunya disebabkan oleh adanya penafsiran-penafsiran yang
didominasi ideologi patriarkhi.
Dalam masyarakat muslim seperti Indonesia, Islam menjadi kerangka
normatif bangsa karena pemeluknya yang mayoritas. Oleh karena itu, konstruksi
gender dan konstruksi seksualitas banyak dipengaruhi oleh pemahaman agama
yang berkembang di masyarakat.
Jika teks agama, sebagaimana disebutkan di atas, dimaknai oleh
masyarakat yang patriarkis, maka sulit diingkari untuk tidak terjadi penafsiran
yang bias pada kepentingan laki-laki. Sebagaimana penelitian yang dilakukan
Zaitunah Subhan yang menunjukkan bahwa kitab tafsir yang ditulis oleh mufassir
laki-laki mempunyai kecenderungan bias laki-laki, yang pada gilirannya
merugikan kaum perempuan.11
10 Saparinah Sadli, Sekapur Sirih, dalam Masdar F. Mas‘udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan (Bandung: Mizan, 2000), ix
7
Hal itu menyebabkan konsep teologi feminis yang diusung oleh para
aktifis gender masih tetap mendapatkan tantangan dan hujatan di sana sini.12
Kondisi ini menyebabkan dilematis, apakah tetap menggunakan label teologi
feminis ataukah mencari terminologi lain untuk menyelamatkan ide-ide pokok
mereka?. Karena kebutuhan untuk menegaskan label tersebut sangatlah urgen,
guna merespon perkembangan metodologis studi agama kontemporer. Teologi
feminis juga dimaksudkan untuk menjamin keberpihakan Islam terhadap
integritas dan otoritas kemanusiaan perempuan yang kian hari kian terkikis oleh
wacana Islam klasik yang saat ini masih mendominasi proses sosialisasi dan
pembelajaran kontemporer.
Penafsiran Islam Liberal atas Isu Gender dan Feminisme
Dalam permasalahan relasi antara laki-laki dan perempuan, kesadaran
akan perlunya reformasi pola hubungan antar laki-laki dan perempuan ke arah
yang lebih adil dan bernuansa kesetaraan terus berlanjut serta tetap menjadi isu
yang menarik dan penting untuk dibahas. Sebab secara historis, telah terjadi
dominasi laki-laki dalam semua masyarakat di sepanjang zaman. Begitupula
selama ini perempuan mengalami perlakuan yang tidak adil dalam berbagai aspek
kehidupan, kecuali dalam masyarakat matriarki13 yang jumlahnya tidak seberapa,
perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki.
Sebagai istilah yang sudah mapan, feminisme sudah dikenal di Indonesia
sejak 1970 an melalui jurnal-jurnal dan beberapa surat kabar. Selanjutnya mulai
dikembangkan pada era 80-an, tapi mulai memasuki isu keagamaan pada era 90-
an. Bisa dikatakan, selama beberapa tahun terakhir ini perkembangan isu gender
11 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Jender dalam Tafsir Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 1999), 81
12 Kondisi demikian dikarenakan dua sebab utama. Pertama istilah teologi meski bersifat netral sebagai pengetahuan tentang agama, namun cenderung dianggap bias Kristen. Kedua, kerancuan untuk melihat feminisme sebagai ideology kebebasan perempuan Baratyang identic dengan free sex, aborsi dan ant rumah tangga yang telah mengaburkan semangat dasar feminisme sebagai usaha untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. Lihat: Dzuhayatin dkk., Rekonstruksi., 7
13 Matriarki adalah suatu sistem masyarakat dimana kaum wanita yang menjadi kepala keluarga atau kepala suku. Lihat: A. S. Hornby dan E. C. Parnwell, An English Reader’s Dictionary (Jakarta: PT. Pustaka Ilmu, 1992), 201
8
sangat pesat dan sangat produktif sekali, jauh lebih pesat dari isu-isu lainnya
seperti isu pluralisme, yang juga tak kalah pentingnya.14
Kompleksitas problematika feminisme bisa dipahami dengan munculnya
berbagai bentuk gerakan feminisme. Sehingga feminisme tidak muncul dari suatu
pemikiran teoritis dan gerakan tunggal. Akan tetapi feminisme muncul sebagi
jawaban atas masalah-masalah perempuan yang aktual dan kontekstual, terutama
yang menyangkut ketidakadilan dan ketimpangan yang dialami perempuan.
Kesadaran akan terjadinya penindasan terhadap perempuan inilah yang
membuat tema patriarki menjadi salah satu problem paling menonjol yang digugat
oleh feminisme Islam. Dalam konteks inilah, feminisme Islam jelas mempunyai
relevansi yang sangat penting, bahkan dapat menjadi agenda kajian tentang bentuk
kesetaraan baru yang mempresentasikan wacana keadilan dan egalitarianisme.15
Ketimpangan peran sosial yang berdasarkan gender itu masih tetap
dipertahankan dengan dalih doktrin agama. Agama dilibatkan untuk melestarikan
kondisi dimana perempuan menganggap dirinya tidak setara dengan laki-laki.
Pesan suci agama yang pada mulanya berfungsi sebagai problem solving, namun
tidak jarang dalam perkembangannya, agama justru dituduh menjadi bagian dari
masalah itu sendiri. Islam, dalam sisi tertentu, dituduh ikut memperkuat
konstruksi gender dan seksualitas yang timpang.
Dalam realitas masyarakat, tafsiran agama (Islam) memegang peranan
penting dalam melegitimasi dominasi terhadap kaum perempuan. Ini terjadi dalam
berbagai bidang kajian keislaman baik tafsir, Hadis, maupun Fiqih. Bias gender
muncul dalam banyak literatur Islam klasik yang sering dianggap oleh sebagian
orang memiliki kebenaran yang bersifat mutlak.16 Hal ini dikarenakan persepsi 14 Moh. Shofan, Menggugat Penafsiran Maskulinitas Al-Qur’an: Menuju Kesetaraan
Gender, dalam Jalan Ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), 275
15 Dzuhayatin dkk, Rekonstruksi., 36-3716 Sebagai contoh ajaran normatif keagamaan yang dinilai bias gender adalah pada bidang
pernikahan dalam hukum Islam, pihak laki-laki yang dianggap sebagai subjek sedangkan perempuan ditempatkan menjadi objeknya. Ini dibuktikan dengan pemberian mahar oleh pihak lelaki sebagai simbolisasi transaksi jual beli, lihat Q.S An-Nisa: 4, hak lelaki untuk menjatuhkan talak atau pemisahan lembaga perkawinan, lihat; Q.S At-Talaq:1. Larangan perempuan (istri)
9
penulis literatur tersebut atas kondisi relasi gender dan posisi perempuan pada
masanya dan pada masyarakatnya. Dan itulah kemudian tinggal sebagai kesan
terbesar keagamaan, perempuan yang serba terbatasi dan hanya memiliki peran
domestik, yang dinilai sebagai jenis kelamin nomor dua.
Ketika persoalan perempuan muncul di negara-negara berkembang yang
berpenduduk muslim, upaya untuk reaktualisasi dan reinterpretasi ajaran Islam
pun tidak terelakkan.17 Kalangan Islam liberal di Indonesia hendak mewujudkan
keadilan hak-hak perempuan secara gender melalui beberapa penafsiran atas teks-
teks suci. Diantara yang paling penting adalah menyangkut pembongkaran atas
penafsiran ayat-ayat yang meletakkan pusat kehidupan perempuan pada laki-laki.
Usaha mereka itu berdasarkan pada semangat kesetaraan hak dan kewajiban yang
merupakan pesan dasar Al-Qur’an.18 Karena pada akhirnya di hadapan Allah
nanti, ukuran ketaqwaan tidaklah didasarkan pada peranan gender dalam
kehidupan sosial, tetapi sejauh mana mereka beriman dan beramal shalih.
Dalam penafsiran kalangan Islam liberal ini, sangat mementingkan
perbedaan antara inti atau dasar dari Kitab dan bagian yang bersifat kiasan dan
tamtsil.19 Model hermeunetis ini jelas sekali mempunyai implikasi yang jauh dan
memberi kemungkinan yang luas sekali dalam menafsir ulang ayat-ayat Al-
Qur’an yang secara literal membedakan hak-hak perempuan.
Penafsiran ayat Al-Qur’an perlu ditinjau kembali direaktualisasi lagi sesuai
dengan konteks zaman sekarang tanpa mengubah apa yang memang sudah mutlak
keluar rumah tanpa izin dari laki-laki (suami), Lihat; Q.S An-Nisa: 33. Lebih lengkap lihat, Masdar F. Mas’udi “Perempuan Diantara Lembaran Kitab Kuning” dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), 167-180
17 Lihat: Didin Syafruddin, “Argumen Supremasi Atas Perempuan”, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 5, No. 5 dan 6, 9-10
18 Model hermeneutis Islam liberal berangkat dari suatu keyakinan bahwa visi dasar Al-Qur’an adalah keadilan. Seluruh ayat Al-Qur’an pada dasarnya membawa wacana keadilan dan bervisi kesetaraan secara gender. Dzuhayatin dkk, Rekonstruksi., 65
19 Pemikiran Fazlur Rahman mengenai “Cara Membaca Al-Qur’an” sangat mempengaruhi metodologi pemikiran Islam liberal di Indonesia. Pertama, memahami terlebih dahulu arti atau makna suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau masalah historis dan sosiologis dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Kedua, menggeneralisir jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan yang memlilki tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam latarbelakang sosio historis dan ratio logis yang seing dinyatakan. Dzuhayatin dkk, Rekonstruksi., 59
10
hukumnya. Begitupula dengan Hadis, perlu adanya kontekstualisasi dalam
menafsirkannya, karena banyak aspek yang yang ikut dalam penafsiran Hadis
zaman dahulu, mulai dari budaya yang patriarki dan sosialnya yang menomor
sekiankan perempuan. Hal tersebut sebenarnya sudah diterapkan sejak masa
khalifah dan imam-imam madzhab, namun dalam perkembangannya,
kontekstualisasi yang telah dilakukan tidak dikembangkan dan malah menjadi
hukum yang dianggap mutlak benar. Dalam literatur klasik Islam, seperti kitab
kuning, banyak ketetapan hukum yang bias gender, karena menggunakan
penafsiran Al-Qur’an dan Hadis yang memang bias gender. Ditambah lagi dengan
pengarang kitab yang kebanyakan adalah laki-laki dengan budayanya patriarki.
Para penganut Islam liberal yang menekankan pembacaan sosiologis atas
suatu relasi gender yang tidak adil dalam masyarakat Islam, berusaha keras untuk
menunjukkan asal-usul penyebab adanya ketidaksetaraan secara gender itu. Sikap
yang meletakkan kedudukan laki-laki dan perempuan tidak sejajar harus
dienyahkan, karena tidak akan melahirkan keproduktifan. Bukti-bukti yang
terkandung dalam ajaran Al-Qur’an menguatkan pandangan ini dan menekankan
satu sama lain sebenarnya saling membutuhkan.
Berkaitan dengan keadilan sosial, maka sudah seharusnya untuk
menentang sistem patriarki, akan tetapi tidak memberlakukan sistem matriarki,
melainkan untuk keefisienan kerjasama dan kemerataan sistem yang akan
mendorong partisipasi maksimal dari setiap lini masyarakat. Hal ini akan
melahirkan pertumbuhan dan pengembangan individu dan masyarakat. Denga
demikian kaum perempuan akan memiliki akses sepenuhnya unutk berpartisipasi
di bidang politik, ekonomi, dan intelekyual serta dapat dihargai oleh kaum laki-
laki. Begitu juga kaum laki-laki bisa berpartisipasi penuh di rumah dan ikut
merawat anak-anak.
Metode Penelitian Berperspektif Gender Tentang Literatur Islam
Kondisi perempuan sebelum datangnya Islam berada dalam cekaman
manusia yang sangat memperhatinkan. Hal ini berlaku dan dialami oleh
11
perempuan di seluruh belahan dunia, sekaligus ada segelincir yang tidak
merasakan kesengsaraan. Pada zaman jahiliyah, perempuan di kalangan bangsa
Arab tidak ubahnya bagai barang dagangan yang diperjual belikan, mereka
dipaksa kawin tanpa meminta pertimbangan dan persetujuannya, bahkan pada
sebagian bangsa Arab, seorang ayah diberikan hak untuk membunuh putrinya atau
mengubur hidup-hidup, mereka berpandangan tidak ada denda bila laki-laki
membunuh perempuan. Oleh sebab itu bangsa Arab pada waktu itu banyak yang
melakukan kekejian.
Seiring berjalannya waktu, hadirlah literatur klasik Islam yang merupakan
suatu kekayaan luar biasa dalam dunia Islam. Ia merupakan manifestasi dari Al-
Qur’an dan Hadis yang, menurut M. Quraish Shihab, memberikan perhatian yang
sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.20 Namun literatur
tersebut perlu diposisikan agar umat Islam tidak menganggapnya sebagai karya
final dan bebas dari kelemahan. Kemajuan ilmu dan teknologi serta perubahan
sosial perlu dijadikan sarana dalam membaca ulang literatur tersebut.
Karena pada umumnya, menurut Nasaruddin Umar, literatur klasik Islam
disusun dalam perspektif budaya masyarakat androsentris, dimana laki-laki
menjadi ukuran segala sesuatu. Lebih-lebih kitab tafsir klasik yang mu’tabar tidak
ada yang tidak bias gender, apalagi kitab Fiqih. Karena ukuran keadilan gender
mengacu kepada persepsi relasi gender menurut kultur masyarakatnya.21
Dalam Islam, peran dan status perempuan selalu dikaitkan dengan
keberadaan laki-laki. Perempuan digambarkan sebagai makhluk yang
keberadaannya sangat bergantung kepada laki-laki. Sebagai seorang anak, ia
berada di bawah lindungan perwalian ayah dan saudara laki-laki, sebagai istri
bergantung kepada suami. Islam menetapkan perempuan sebagai penenang suami,
20 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan. 1995), 269
21 Dzuhayatin dkk, Rekonstruksi., 86
12
sebagai ibu yang mengasuh dan mendidik anak dan menjaga harta benda serta
membina etika keluarga di dalam pemerintahan terkecil.22
Oleh karena itu, perjuangan untuk mencapai kesederajatan dengan kaum
lelaki sebagaimana diajarkan Al-Qur'an masih panjang dan memerlukan
dukungan dari semua pihak termasuk kaum laki-laki itu sendiri. Bagaimana pun
juga masalah perempuan adalah masalah kemanusiaan, termasuk didalamnya
kaum lelaki sebagaimana disebut dalam Al-Qur'an, lelaki dan perempuan itu
saling menolong, saling memuliakan dan saling melengkapi antara satu dengan
lainnya. Al-Qur'an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan
sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan perempuan mempunyai derajat
yang sama, namun masalahnya terletak pada implementasi atau operasionalisasi
ajaran tersebut.
Dengan demikian, dalam memahami sebuah teks, seorang pengkaji
dituntut untuk memiliki wawasan semantik dan hermeneutika yang memadai,
karena jika tidak kekeliruan ganda akan menghadang. Kesulitan lain yang
ditemukan adalah apakah sebuah teks merujuk kepada hakekat bahasa atau
hakikat tradisi atau hakekat syara’?.
Kaitannya dengan itu, Nasar menegaskan bahwa bias gender dalam
penafsiran teks yang sesuai dengan tradisi Islam dapat ditelusuri dalam beberapa
hal,23 pertama, pembakuan tanda huruf, tanda baca dan qira’at; kedua, pengetian
kosa kata (mufradat); ketiga, menetapkan rujukan kata ganti (dlamir); keempat,
menetapkan batas pengecualian (mustatsna bi illa); kelima, menetapkan arti
huruf-huruf athaf; keenam, bias dalam struktur bahasa Arab; ketujuh, bias dalam
kamus bahasa Arab; kedelapan, bias dalam metode tafsir; kesembilan, bias dalam
pembukuan dan pembakuan kitab-kitab Fiqih; kesepuluh, bias dalam kodifikasi
kitab-kitab Hadis; kesebelas, bias riwayat-riwayat Israiliyyat; dan kedua belas,
bias berbagai mitos.
22 Faisar Ananda Arfa, Wanita dalam Konsep Islam Modernis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 11
23 Dzuhayatin dkk, Rekonstruksi., 90-101
13
Selanjutnya, Nasar mengemukakan bahwa ada lima prinsip yang bisa
dijadikan sebagai pijakan bagi konsep kesetaraan gender dalam literature Islam.24
Pertama, laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba. Salah satu tujuan
penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan. Dalam kapasitas
manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba
ideal. Kedua, laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Maksud dan
tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini, selain untuk menjadi hamba yang
tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah, juga untuk menjadi khalifah di
bumi. Khalifah tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin tertentu atau
kelompok etnis tertentu. Ketiga, Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban
amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui,
menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dulu harus
menerima perjanjian dengan Tuhannya.25 Keempat, Semua ayat yang
menceritakan tentang keadaan adam dan pasangannya di Surga sampai keluar ke
bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan
kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa.
Kelima, laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi. Al-Qur’an
mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan
bahwa prestasi optimal dari individu-individu, baik dalam bidang spiritual
maupun urusan karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis
kelamin saja.
Urgensi Tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi dalam Studi Gender
Al-Qur’an adalah kitab suci yang sangat terbuka dengan berbagai macam
penafsiran. Dari era klasik sampai kontemporer, Al-Qur’an telah melahirkan
banyak karya tafsir dengan berbagai corak dan pendekatan. Dari sudut corak
penafsiran, muncul aliran tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Yang pertama
adalah corak penafsiran yang bersandar pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis.
24 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender; Perspektif Al-Qur’an (Jakarta, Paramadina, 2001), 248-265
25 QS Al-A’raf; 172
14
Sedangkan yang kedua adalah corak penafsiran yang menekankan pada
rasionalitas. Pendekatan dalam tafsir Al-Qur’an juga sangat beragam, mulai dari
pendekatan tekstual sampai pendekatan interdisipliner. Corak dan pendekatan
yang berbeda dalam menafsirkan Al-Qur’an akan melahirkan produk penafsiran
yang berbeda pula.
Salah satu problem tafsir dalam kajian keilmuan umat Islam yang hingga
dewasa ini masih marak menggejala, adalah tafsir-tafsir yang punya kesan bias
gender dan mendiskriminasikan perempuan. Dalam menyikapi problem ini,
Husein Muhammad misalnya berpendapat bahwa tafsir arus utama (mainstream)
yang masih dipercayai oleh mayoritas masyarakat muslim hingga saat ini tetap
meletakkan laki-laki sebagai pusat dari kehidupan domestik maupun publik. Ini
menunjukkan sekali lagi bahwa dalam pandangan para penafsir konservatif ide
ketidaksetaraan dalam Al-Qur’an sebagai bagian dari pandangan Islam.26 Cara
pandang seperti itu jelas berlawanan dengan pengakuan dan kesepakatan kaum
muslimin atas prinsip kesetaraan dan keadilan universalitas Islam.
Al-Qur’an memang tidak merinci secara kronologis tentang asal-usul
penciptaan laki-laki dan perempuan. Ini tidak dapat diartikan bahwa Al-Qur’an
tidak mempunyai wawasan tentang gender. Prinsip kesetaraan dan keadilan
gender dalam Al-Qur’an antara lain mempersamakan kedudukan laki-laki dan
perempuan27 sebagai hamba Allah. Keduanya mempunyai potensi yang sama
tinggi untuk berprestasi dan mencapai ridla Allah di masa kini dan mendatang.28
Para mufassir klasik, yang cenderung menggunakan tafsir bi al-ma’tsur,
pada umumnya sama dalam memahami firman Allah surat an-Nisa’ ayat 34
tentang kepemimpinan laki-laki dalam segala lini kehidupan, baik berumahtangga,
bermasyarakat dan bernegara. Ayat ini seringkali dijadikan argumen penguat
supremasi laki-laki atas perempuan dengan berbagai kelebihannya. Ketentuan
kaum laki-laki menjadi pemimpin bagi kaum perempuan menimbulkan anggapan
26 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2009), 245
27 QS Al-Ahzab: 3528 QS An-Nahl: 97
15
negatif terhadap kedudukan perempuan. Sementara itu, perempuan hanya sebagai
pelayan bagi kaum laki-laki.
Persepsi semacam ini seharusnya harus berubah di era globalisasi sekarang
ini. Peran domestik kaum perempuan bukanlah semata-mata sebagai suatu
kewajiban yang harus dilakukan, tetapi harus diakui, dinilai dan dihormati.
Perlindungan dan nafkah laki-laki tidak lagi dapat dianggap sebagai keunggulan
kaum laki-laki saja. Karena peran domestik yang dilakukan kaum perempuan,
hendaknya kaum laki-laki dapat mengimbangi dengan melindungi dan memberi
nafkah yang oleh Al-Qur’an dinyatakan dengan qawwam.29
Sementara itu, bias gender dengan menggunakan tafsir bi al ra’yi dapat
ditinjau dengan berbagai disiplin ilmu. Kata rijal, superior, maskulin dan publik
dapat dipahami secara sosiologis bahwa bila perempuan aktif dan bergerak di
ruang publik, maka perempuan tersebut dapat dikategorikan sebagai rijal,
demikian juga sebaliknya.
Pada akhirnya, tafsir bi al ma’tsur dan bi al ra’yi dapat dijadikan acuan
dalam memahami gender, karena dari studi inilah penafsiran dan pemahaman
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an perlu ditinjau kembali dan direaktualisasi. Oleh
karena itu kedua corak tafsir tersebut menjadi kesatuan yang sangat urgen.
Dalam upaya reaktualisasi tafsir ini, Siti Musdah Mulia menawarkan tiga
metodologi baru yang mesti dipegangi dalam upaya rekonstruksi atau pembaruan
penafsiran demi terwujudnya wajah agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai
kemanusiaan dan ramah terhadap perempuan. Pertama, prinsip maqashid al-
syari’ah. Pembaruan harus tetap mengacu pada Al-Qur’an dan Hadis, akan tetapi
pamahamannya tidak semata didasarkan kepada pemaknaan literal teks,
melainkan lebih kepada pemaknaan non-literal atau kontekstual teks dengan
mengacu pada tujuan hakikat syariat (maqashid al-syari’ah). Kedua, prinsip
relativitas Fiqih. Meskipun Al-Qur’an adalah kebenaran abadi, namun
penafsirannya selalu bersifat relatif. Perkembangan historis berbagai mazhab
29 Dzuhayatin dkk., Rekonstruksi., 162-163
16
Fiqih merupakan bukti positif relativitas Fiqih. Ketiga, prinsip tafsir tematik. Pola
tafsir tematik menggunakan tiga pendekatan, yaitu menekankan pentingnya
mamahami arti bahasa kata-lata al-Qur’an, menyelidiki serta menyeleksi semua
ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas, dan adanya kesadaran untuk
mengakui adanya teks-teks agama yang turun dalam konteks tertentu atau khusus
dan yang turun dalam konteks yang lebih umum dalam rangka memahami kata,
kalimat dan struktur bahasa Al-Qur’an.30 Dengan kata lain, sebuah penafsiran
harus dilakukan dengan pendekatan tekstual dan kontekstual sekaligus. Sehingga
dengan demikian beberapa ayat yang sering kali ditafsirkan bias gender, akan
membuahkan tafsir yang ramah gender setelah direkontektualisasikan.
Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Gender dan Islam
Kontekstualisasi Hadis sebenarnya bukan masalah baru dalam Islam.
Karena ada ajaran-ajaran Hadis yang secara harfiah tidak sesuai dengan tuntuntan
pembangunan, maka untuk menyukseskannya umat Islam sebagai komponen
masyarakat negara dituntut untuk melakukan kontekstualisasi. Urgensi memahami
Hadis saat ini bukan hanya pada ranah tekstual dalam mengkaji sanad ataupun
matan, namun sudah memasuki wilayah kontekstualitas, dengan berbagai
pendekatan untuk menemukan sunnah yang hidup.
Seiring dengan itu, ide dan teori ilmu pengetahuan yang terus berkembang
gencar masuk ke dalam kesadaran umat Islam melalui berbagai macam wahana.
Ide tentang HAM, pluralisme agama, demokrasi, teori tentang manusia dan
penciptaannya telah menjadi pandangan yang diyakini kebenarannya. Dalam hal
ini menuntut adanya kontekstualisasi Hadis yang berkaitan dengan masalah
tersebut.31
Problematika memahami Hadis Nabi telah diupayakan solusinya oleh para
cendekiawan muslim baik dari kelompok kalangan mutaqaddimin maupun
mutaakhirin melalui gagasan dan pikiran yang dituangkan dalam kitab syarh
30 Siti Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasinya (Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010), 172-174
31 Dzuhayatin dkk., Rekonstruksi., 179
17
maupun kitab fiqih. Namun demikian masih banyak hal yang perlu dikaji
mengingat adanya faktor yang belum “dipikirkan” dan “yang perlu dipikir ulang”
yang melingkupi kitaran pemahaman teks Hadis Nabi.
Menurut Hamim Ilyas, kontekstualisasi Hadis bisa dilakukan dengan
memperhatikan beberapa prinsip metodologi sebagaimana berikut:32 Pertama,
prinsip ideologi. Islam telah menjadi bangunan yang sempurna pada masa Nabi.
Kerangka bangunan Islam bukanlah kerangka bangunan ilmu dan sejarah untuk
membangun peradaban, akan tetapi merupakan kerangka moral untuk membangun
kehidupan. Hadis sebagai bagian dari bangunan itu ada untuk membuka sejarah
kehidupan manusia yang bermakna dan tidak kosong. Dengan demikian
kontekstualisasi Hadis menyaratkan penerimaan ideologi keagamaan Islam
sebagai system doktrin yang terbuka.
Kedua, prinsip otoritas. Untuk menemukan Hadis yang otentik para ulama
telah menggunakan filter yang berupa sanad dengan persyaratan yang sangat
ketat. Hadis yang mempunyai nilai kesahihan tinggi seyogyanya diterima, namun
pemaknaannya tidak harus sesuai dengan makna harfiahnya. Karena seringkali
Hadis Nabi dikemukakan dalam situasi yang khusus, sehingga maksudnya tidak
sesuai dengan makna harfiahnya. Ketiga, prinsip klasifikasi. Hadis yang teah
diterima kesahihannya perlu diklasifikasikan menurut dua kategori, yaitu ibadah
dan kebiasaan atau penyampaian risalah dan tidak sebagai bagian dari risalah.
Keempat, prinsip regulasi terbatas. Sebagaimana Al-Qur’an, Hadis juga
mempunyai latar belakang kemunculan. Melalui ilmu asbab al wurud bisa
diketahui situasi historis atau khusus yang menjadi latar belakang kemunculan
hadis-hadis tertentu yang telah diterima kesahihannya.
32 Dzuhayatin dkk., Rekonstruksi., 180-184
18
Kalaupun kemudian muncul Hadis yang bernada misoginis33 terhadap
perempuan, atau yang menunjukkan superioritas laki-laki, kondisi itu lebih
dikarenakan adanya bias gender dalam pemahaman atau penafsiran teks-teks
Hadis serta dipengaruhi oleh status atau kualitas Hadis yang oleh para ulama
Hadis dinilai berbeda-beda.
Memang keberadaan Hadis tidak seperti Al-Qur’an yang sejak turunnya
hingga sekarang tidak diragukan keotentikannya. Begitupula sampainya Hadis
kepada kita sangat sarat dengan peristiwa-peristiwa historis yang bermuatan
sosial-kultural, terutama bagi para perawi atau sanad yang membawanya kepada
kita. Dari sinilah perlu dilakukan kontekstualisasi pemahaman Hadis itu sendiri,
yaitu usaha penyesuaian dengan dan dari Hadis untuk mendapatkan pandangan
yang sejati, orisinal, dan memadai bagi perkembangan atau kenyataan yang
dihadapi. Ini berarti bahwa kontekstualisasi tidak dilakukan untuk menyesuaikan
perkembangan dengan teks Hadis atau sebaliknya, tetapi kontekstualisasi
dilakukan dengan dialog atau saling mengisi diantara keduanya.
Tidak berhenti sampai di situ saja, untuk memposisikan perempuan dalam
posisi yang sebenarnya maka perlu dilakukan kajian ulang terhadap hadis-hadis
yang misoginis. Kritik terhadap hadis-hadis yang misoginis tidak hanya dalam hal
sanadnya, tetapi juga dalam hal matannya. Jika ditelusuri hadis-hadis yang
misoginis tersebut, ternyata sebagiannya adalah hadis-hadis yang shahih34 maka
yang harus dilakukan adalah mengkritisinya melalui jalur matan, yakni dengan
mengkaji ulang makna yang ada di balik bunyi teks hadis tersebut dan
33 Penulis tidak mendapatkan kata yang tetap untuk kata ini, terkadang muncul sebagai misogyny. Lihat Syamsuddin Arif, “Menyikapi Feminisme dan Isu Gender”, Jurnal Al-Insan, Vol. 2, No. 3, 2006.), atau tiga kata yang berbeda oleh satu orang. Lihat: Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Pergulatan Pemikiran Feminis dalam Wacana Islam di Indonesia” dalam Siti Ruhaini Dzuhayatin dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002). Sementara dalam KBBI, kata ini ditulis sebagai misogimi dan misogimis sebagai pelakunya. Lihat: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 587
34 Sebagai contoh adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang isinya bahwa akal dan agama perempuan itu kurang dan Hadis yang menegaskan tentang ketidakberhasilan suatu negara yang dipimpin oleh perempuan. Lihat: Dzuhayatin dkk., Rekonstruksi., 182-184
19
menyesuaikannya dengan konteks (asbab al-wurud) yang terjadi di saat teks itu
muncul.
Persoalan Gender dalam Perspektif Metodologi Studi Hukum Islam
Umat Islam dan juga umat agama lain selalu dihadapkan pada tarik
menarik antara dua kutub yang berlawanan, yaitu wahyu yang tidak pernah
berubah dan realitas social yang cenderung berubah. Dalam konteks hukum Islam,
sejak abad modern, para ahli hukum Islam menyadari bahwa perubahan baik itu
reformasi dan pembaruan tida bisa dielakkan.
Di Indonesia, melalui penelitian Akh. Minhaji, menemukan bahwa
perdebatan hukum Islam lebih didominasi persoalan praktis (Fiqih) dan amat
jarang menyentuh persoalan teori maupun metodologi (Ushul Fiqih).35 Dia
mengemukakan suatu metodologi untuk menghindari bias gender, yaitu melalui
metode normatif-deduktif dan empiris-induktif yang saling dikombinasikan agar
pemahaman terhadap Islam tidak bias gender.36
Barangkali memang benar adanya bila konstruksi gender dan seksualitas
yang timpang cenderung dilestarikan oleh kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Konstruksi masyarakat yang patriarkis terjalin seiringan dengan superioritas
epistemologis. Kuatnya bangunan ketidakadilan gender dan seksualitas semacam
itu tidak dapat lagi untuk dibiarkan. Salah satu cara penyelesaian kultural yang
dapat ditempuh adalah dengan melakukan kajian dengan perspektif kesetaraan dan
keadilan gender dalam wacana Ushul Fiqih.
Ini berarti, dalam kajian studi keislaman, Ushul Fiqih ditempatkan pada
posisi yang sentral. Oleh karena itu sarjana yang menggeluti studi Islam
seyogyanya mempunyai bekal yang cukup dalam mengenal prinsisp dasar yang
dibahas dalam Ushul Fiqih. Sebab melalui ilmu ini, mereka akan lebih mudah
dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis, bagaimana bila terjadi pertentangan
35 Dzuhayatin dkk., Rekonstruksi.,18836 Ibid., 190-192
20
antara dua sumber hukum tersebut, dan bagaimana pula menyelesaikan persoalan
kontemporer yang sesuai dengan tuntutan zaman.
21
DAFTAR PUSTAKA
Arfa, Faisar Ananda. Wanita dalam Konsep Islam Modernis. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2004.
Bone, Indriani. Feminisme Kristen: Problematika Memasuki Milenium Ketiga,
dalam Agama-Agama Memasuki Milenium Ketiga, ed. Martin L. Sinaga.
Jakarta: Gramedia, 2000.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini dkk. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan
Gender dalam Islam. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, McGill-
ICIHEP dan Pustaka Pelajar, 2002.
Hornby, A. S. dan E. C. Parnwell, An English Reader’s Dictionary. Jakarta: PT.
Pustaka Ilmu, 1992.
Marsudi, “Bias Gender dalam Buku-Buku Tuntunan Hidup Berumah Tangga”,
Jurnal Istiqro’, Vol. 07 No. 1 (2008/1429)
Mas‘udi, Masdar F. Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan. Bandung: Mizan,
2000.
Mas’udi, Masdar F. “Perempuan Diantara Lembaran Kitab Kuning” dalam
Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya:
Risalah Gusti, 2000.
Muhammad, Husein. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai
Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2009.
Mulia, Siti Musdah. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasinya.
Yogyakarta: Naufan Pustaka, 2010.
Muslih, Mohammad. “Membaca Wacana Gender (Framework Studi Islam dan
Isu-Isu Kontemporer di ISID PM Gontor)”, Jurnal Tsaqafah, Vol. 3 No. 1
(1428)
22
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Salim, Peter. The Contemporary English – Indonesia. Jakarta: Modern English
Press, 1996.
Shalahuddin, Henri. “Menelusuri Paham kesetaraan Gender dalam Studi Islam:
Tantangan terhadap Konsep Wahyu dan Ilmu dalam Islam Indonesia”,
Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Vol. 3, No. 5
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1995.
Shofan, Moh. “Menggugat Penafsiran Maskulinitas Al-Qur’an: Menuju
Kesetaraan Gender”, dalam Jalan Ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi
Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme. Jogjakarta: IRCiSoD, 2006.
Sodik, Mochamad. “Pembacaan Progresif Terhadap Fikih Keluarga (Kritik
terhadap KHI dan RUU HTPA)” Jurnal Asy-Syirah, Vol 46, No 1 (2012)
Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian: Studi Bias Jender dalam Tafsir Qur’an.
Yogyakarta: LKiS, 1999.
Syafruddin, Didin. “Argumen Supremasi Atas Perempuan”, Jurnal Ulumul
Qur’an, Vol. 5, No. 5 dan 6
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender; Perspektif Al-Qur’an. Jakarta,
Paramadina, 2001.