RITUAL TRADISI NYADAR DAN PENGARUHNYA
BAGI KEHIDUPAN SOSIAL WARGA DESA PINGGIRPAPAS
DI MADURA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosiologi (S.Sos)
Oleh :
Hosnor Chotimah Nim : 19932216485
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2007
RITUAL TRADISI NYADAR DAN PENGARUHNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL WARGA DESA PINGGIRPAPAS
DI MADURA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosiologi (S. Sos)
Oleh : Hosnor Hotimah Nim : 9932216485
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Hamid Nasuhi, M.A Drs. Idris Thaha, M.Si NIP: 150241817 NIP: 150317723
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2007
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Ritual Tradisi Nyadar dan Pengaruhnya Bagi Warga
Desa Pinggirpapas di Madura” telah di ujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 12 Maret 2007.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Sosiologi (S.sos) pada program studi Sosiologi Agama.
Jakarta, 12 Maret 2007
Sidang Munaqasah Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Dra. Hj. Hermawati, M.A Dra. Joharatul Jamilah, M.Si
NIP: 150 227 408 NIP: 150 282 401
Anggota
Penguji I Penguji II
Dra. Ida Rasyidah, M.A Prof. Dr. Musrifah Sunanto NIP: 150 242 267 NIP: 150 062 829 Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Hamid Nasuhi, M.A Drs. Idris Thaha, M.Si
NIP: 150 241 817 NIP: 150 317 723
ABSTRAK
Hosnor Chotimah Ritual Tradisi Nyadar dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan Sosial Warga Desa Pinggirpapas di Madura
Tradisi Nyadar yang terdapat di Desa Pinggirpapas merupakan adat istiadat untuk mengingatkan kembali warga Pinggirpapas khususnya atas jasa-jasa Anggasuto sebagai penemu garam pertama kali di desa ini. Adapun mengenai proses ditemukannya garam oleh Anggasuto banyak versi cerita yang berkembang di masyarakat setempat. Konon, di Pinggirpapas Anggasuto memulai kehidupannya dan menemukan butiran kristal dari air laut yang dibiarkannya berminggu-minggu. Butiran kristal yang kemudian disebut garam itu kemudian diolah sehingga menjadi sumber penghidupan. Inilah yang kemudian mengawali berdirinya tambak-tambak garam di Pulau Madura. Waktu pun terus bergulir, tradisi pembuatan garam rakyat terus dilakukan turun-temurun oleh warga Desa Pinggirpapas. Alhasil, ratusan kilogram garam setiap hari diproduksi para petani garam di desa ini. Dengan adanya mata pencaharian ini, warga Pinggirpapas bertambah makmur dan hidup dengan prestise material yang tinggi. Buktinya, haji-haji garam banyak bermunculan dan sarjana-sarjana yang memperoleh biaya pendidikan dari hasil garam lahir setiap tahunnya. Walaupun kini Pinggirpapas telah berubah menjadi sebuah desa yang besar, jasa-jasa Anggasuto yang telah membuka cakrawala kehidupan warga tidak dilupakan. Dan setiap tahun menjelang musim panen, warga Pinggirpapas memperingati jasa Anggasuto dalam sebuah ritual yang disebut Nyadar.
Mengenai pelaksanaannya tradisi Nyadar dilaksanakan sebanyak tiga kali dalam setahun. Hal ini merujuk pada cerita masyarakat yang berkembang, yakni Anggasuto bernazar apabila talangan yang ia buat berhasil menjadi garam, maka Anggasuto akan mengadakan tasyakuran/ selametan bersama-sama dengan rakyatnya. Begitu juga yang dilakukan oleh adik Anggasuto yang bernama Kuasa. Sedangkan adik perempuan Anggasuto yang bernama Indusari melakukan tasyakuran/ selametan dirumahnya sendiri. Atas ketiga pelaksana nazar inilah, baik Anggasuto, Kuasa, dan Indusari, tradisi Nyadar dilakukan sebanyak tiga kali. Nyadar pertama dan kedua dilakukan di sekitar pemakaman Anggasuto beserta kerabatnya di Desa Kebundadap. Dan Nyadar ketiga dilakukan di rumah masing-masing warga Pinggirpapas.
Dengan merujuk pada cerita di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa tradisi Nyadar sebenarnya adalah tradisi Nazar yang berarti janji berbuat sesuatu jika cita-citanya tercapai. Namun terbentur pada dialek orang Madura pada umumnya, maka pengucapan Nazar berganti menjadi Nyadar. Oleh karena itu tradisi Nyadar tetap dilakukan oleh warga Pinggirpapas selain sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasa leluhur mereka, yakni Anggasuto dan kerabatnya, tradisi Nyadar dilakukan guna menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Sehingga dapat memberikan pengaruh atau dampak yang positif bagi warga Pinggirpapas khususnya, baik dalam bidang sosial, pendidikan, ekonomi dan agama
KATA PENGANTAR
Bissmillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillah dengan mengucap puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang menggenggam
alam semesta ini beserta segala isinya, yang telah memberi segala taufik dan hidayah-Nya serta yang telah
membukakan segala kemudahan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan skripsi yang berjudul “Ritual
Tradisi Nyadar dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan Sosial Warga Desa Pinggirpapas di Madura”.
Shalawat dan salam tak lupa diucapkan kepada jujungan Nabi besar Muhammad SAW yang telah
membawa umatnya dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang ini.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk
menempuh ujian sarjana strata satu (S-1) Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan,
baik itu dalam bentuk tulisan maupun dalam hasil penelitian yang tertuang didalamnya. Penulis sangat
berharap agar hal ini dapat dimaklumi, karena atas dasar keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang
penulis miliki.
Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak menerima bantuan dari beberapa pihak, karena
dengan bantuan mereka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu sudah sepantasnya pada
kesempatan kali ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan
fasilitas perkuliahan selama penulis menempuh studi di fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
2. Dra. H. Hermawati. M.A selaku ketua program studi Sosiologi Agama dan Bapak Ismail S.Ag selaku
mantan Sekretaris program studi Sosiologi Agama atas bantuan nilainya dan Ibu Joharotul jamilah
yang telah memberikan nasehat dan membantu penulis selama perkuliahan, baik dalam mata kuliah,
adminitrasi, maupun birokrasi.
3. Drs. Hamid Nasuhi, M.A dan Drs. Idris Thaha, M.Si selaku pembimbing selama penulis
menyelesaikan skrpsi, terima kasih atas kelonggaran waktu dan kesabarannya dalam membimbing
penulis, semoga Bapak selalu diberikan kesehatan dan berada dalam lindungan-Nya.
4. Kedua orang tuaku tercinta yaitu Ayah dan Ibuku yang telah memberikan semangat dalam skripsiku
sekaligus yang telah merawat dan membesarkan dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Dan
Buhari selaku adik kandungku terima kasih atas bantuan dan supportnya selama ini.
5. Amrul Rahman yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya dalam membantu dan mensupport
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Maka dari itu penulis mengucapkan banyak-banyak terima
kasih yang mendalam kepadanya. Karena penulis yakin tanpa bantuan dan supportnya skripsi ini tidak
akan cepat selesai. Terima kasih juga dari awal penulisan skripsi hinga selesai Amrul selalu siap sedia
mengantarkan penulis ke kampus. Jasa-jasamu tak kan kulupakan.
6. Mbak Jemil yang insyaAllah akan menjadi kakak iparku, he…he… terima kasih ya mbak yang sudah
berkenan untuk direpotkan dalam mencari data-data yang penulis butuhkan dalam penyelesaian skripsi
ini.
7. Kak Rizal dan Masrawi, walaupun kadang-kadang suka membuat penulis kesal, biar bagaimanapun
kalian adalah orang-orang yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian, Mator sa
kalangkong…!!!
8. Lulu selaku temanku yang sangat pengertian karena telah meminjamkan komputernya.
9. Ipeh teman seperjuanganku, kita berdua saling mendoakan dan mensupport satu sama lain dalam
menyelesaikan skripsi ini.
10. Eva si maniak F4 dan Faris si ibu teladan, yang tidak henti-hentinya selalu mengingatkan agar penulis
tidak malas dan cepat-cepat wisuda.
Dan tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dari semua pihak. Harapan penulis semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas bantuannya. Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.
Penulis
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Jumlah Penduduk Desa Pinggirpapas berdasarkan Jenis Kelamin…...25
2. Tabel 2 Jumlah Penduduk Desa Pinggirpapas berdasarkan Usia……………...26
3. Tabel 3 Fasilitas Umum Desa Pinggirpapas…………………………………..29
4. Tabel 4 Populasi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan………………...30
5. Tabel 5 Sarana Pendidikan di Desa Pinggirpapas……………………………..31
6. Tabel 6 Mata Pencaharian Warga Desa Pinggirpapas………………………...33
DAFTAR ISI
ABSTRAK……………………………………………………………………...i
KATA PENGANTAR……………..………………..……………………….ii
DAFTAR TABEL…………………………………………………...v
DAFTAR ISI.…………………………………………………..…...vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah…………………………………..…1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………...………..….8
C. Metodologi Penelitian………..………………..….................9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………….10
E. Sistematika Penulisan……………………………………. 10
BAB II KAJIAN TEORI TENTANG RITUAL TRADISI NYADAR BAGI WARGA DESA PINGGIRPAPAS A. Pengertian Ritual……………………..………..…………...13
B. Pengertian Tradisi……………………………….................15
C. Karakteristik Orang Madura Umumnya……..…………….17
1. Carok……………………………………………………18
2. Islam dan Ulama……………………………………… 19
3. Kepercayaan terhadap Kuburan Keramat……………....20
BAB III GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA PINGGIRPAPAS Letak Geografis…………………………………………….24
Keadaan Penduduk………………………………………... 25
1. Bidang sosial ……………………………………………26
2. Bidang Pendidikan………………………………………30
3. Bidang Ekonomi………………………………………...32
4. Bidang Agama………………………………………......34
BAB IV ANALISIS TENTANG RITUAL TRADISI NYADAR
Sejarah Munculnya Tradisi Ritual Nyadar…………………39
Penetapan Waktu dan Praktik Nyadar………………………41
C. Struktur Kepemimpinan dalam Tradisi Nyadar...…………..49 D. Dampak atau Pengaruh Tradisi Nyadar dalam Kehidupan
Masyarakat Pinggirpapas………..........................................51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………..……………………53
B. Saran………………………….……………………………...54
DAFTAR PUSTAKA……...…………………………………………..……..…55
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Madura sebagai wilayah kepulauan yang terletak di sebelah Timur pulau Jawa,
terbagi atas empat Kabupaten, yakni : Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Dengan luas masing-masing sebagai berikut : Bangkalan 1260 km2, Sampang 1233 km2,
Pamekasan 792 km2 dan Sumenep 1989 km2.1
Berbeda dari wilayah Jawa pada umumnya yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi, sebagian tanah
Madura kurang subur/ gersang dan tandus. Kondisi daerah yang demikian memaksa kebanyakan orang
Madura pergi merantau ke daerah lain dalam rangka mencari penghidupan yang lebih layak. Namun
sesungguhnya Madura bukan daerah yang tidak berpotensi sama sekali. Hal ini dapat dibuktikan dengan
adanya garam sebagai salah satu potensi terbesar yang dihasilkan oleh Madura. Berkaitan dengan
garam, di Kabupaten Sumenep yang berasal dari kata Songennep, tepatnya di desa Pinggirpapas,
terdapat tradisi budaya yang dikenal dengan tradisi Nyadar.
Tradisi Nyadar yang dilakukan oleh masyarakat Pinggirpapas berhubungan erat dengan leluhur mereka,
Anggasuto yang dianggap penemu garam pertama dan yang mengislamkan masyarakat Pinggirpapas.
Kepeduliannya yang tinggi terhadap orang kecil dan lemah serta kemampuannya dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi masyarakat, menyebabkan dia diangkat sebagai tokoh masyarakat.2
Dengan ditemukannya garam pertama kali oleh Anggasuto, maka masyarakat Pinggirpapas mempunyai
sumber kehidupan yang layak dalam hal memproduksi garam hingga saat ini. Adapun proses bagaimana
ditemukannya garam pertama kali oleh Anggasuto, siapakah sebenarnya Anggasuto dan pada tahun
berapakah beliau memulai kehidupannya di Desa Pinggirpapas, hal ini tentunya berkaitan erat dengan sejarah
1 Andang Subaharianto, dkk, Tantangan Industrialisasi Madura (Membentur Kultur, Menjunjung
Leluhu), (Malang: Bayumedia, 2004), h. 16 2 Budiyono, Tradisi Nyadar bagi Masyarakat Pinggirpapas di Madura, (Jember: Universitas
Jember, 1992), h. 1
awalnya tradisi Nyadar muncul dan kerap dilaksanakan oleh masyarakat Pinggirpapas tiap tahunnya. Oleh
karena itu penulis akan membahas hal ini lebih lanjut dalam bab IV.
Di samping Anggasuto yang perlu senantiasa diteladani tokoh-tokoh yang dikultuskan oleh masyarakat
Pinggirpapas adalah Embah Kuasa, Embah Dukun, dan Embah Bangsa. Embah Kuasa adalah adik
Anggasuto yang diberi kekuasaan untuk mengatur semua aktivitas masyarakat Pinggirpapas, sedangkan
Embah Anggasuto sendiri berperan sebagai penasehat atau sesepuh. Dan Embah dukun adalah seorang
yang berasal dari Banten berperan sebagai pembantu Anggasuto, sedangkan Embah Bangsa adalah
seorang yang berasal dari Sulawesi dan dinikahkan dengan adik perempuan Anggasuto yang bernama
Indusari.1
Adapun bentuk pelaksanaan tradisi Nyadar pertama dan yang kedua adalah
ziarah atau nyekar ke makam tokoh yang dikultuskan yakni Anggasuto beserta
kerabatnya di desa Kebundadap, Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep. Dan tradisi
Nyadar ketiga dilakukan di setiap rumah warga Pinggirpapas, hal ini merujuk kepada
tradisi Nyadar yang dilakukan oleh Indusari (adik Anggasuto) yang melakukan tradisi
Nyadar di rumahnya sendiri. Hal ini tentunya berkaitan pula dengan sejarah munculnya
tradisi Nyadar yang oleh karena itu penulis akan menguraikannya secara menyeluruh
dalam bab IV.
Walaupun masyarakat Pinggirpapas umumnya beragama Islam, namun dalam
pelaksanaannya tradisi Nyadar masih dipengaruhi oleh praktik-praktik Hinduisme yakni
nilai-nilai kepercayaan animisme dan dinamisme. Seperti halnya membakar kemenyan
sebelum ritual dimulai, membawa sesajen (baik berupa kembang sesaji ataupun makanan
yang khusus dipersiapkan), dan menorehkan bedak di dahi ataupun di telinga. Hal yang
terakhir ini memiliki makna bahwa seseorang telah mengikuti tradisi Nyadar dan ada pula
1 Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep, Sekilas Mengenal Upacara Adat Nyadar (Nadzar), (Sumenep: Depdikbud, 2002), h. 2
yang mengasumsikan bahwa hal ini dilakukan untuk mengusir roh-roh jahat pada saat
seseorang melaksanakan tradisi Nyadar. Hal ini tentunya tidak terlepas hubungannya
dengan komponen historis, sebagaimana yang penulis akan uraikan lebih lanjut dalam
bab IV.
Namun masyarakat Pinggirpapas tidak mau dianggap menyekutukan Allah SWT
atau melakukan bid’ah jika mereka melaksanakan ritual tradisi Nyadar tersebut. Karena
mereka menganggap tradisi Nyadar ini merupakan bentuk rasa syukur mendalam mereka
atas karunia Allah SWT yang telah memberikan nadi kehidupan kepada masyarakat
Pinggirpapas atas hasil garam yang ditemukan pertama kali oleh Anggasuto. Dan sebagai
ahli waris Anggasuto, wajib kiranya untuk meneruskan nilai nilai perjuangan beliau yang
terkandung dalam tradisi Nyadar, khususnya dalam pembuatan garam sampai akhirnya
berbuah hasil/ panen garam. Oleh karena itu, walaupun zaman sudah semakin modern,
tidak mudah bagi masyarakat Pinggirpapas untuk menghilangkan tradisi Nyadar yang
secara turun temurun selalu dilaksanakan tiap tahunnya hingga saat ini.
Dan dalam perkembangannya, ada yang beranggapan bahwa ritual tradisi
Nyadar bersifat bid’ah. Dengan kata lain menyimpang dari ajaran Islam yang terkandung
di dalam Al-Quran dan Hadits. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ghazali, ia
menganggap semua macam peringatan adalah bid’ah, seperti peringatan hari ulang tahun
maupun hari wafat seseorang. Karena menurut al-Ghazali menyelenggarakan peringatan-
peringatan itu lebih banyak membawa Mafsadah (keburukan) daripada membawa
Mashlahah (kebaikan).2
Tetapi lain pula pendapat Muhammad Mustafa al-Maraghi, mantan Rektor
Universitas al-Azhar, melakukan hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan juga 2 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, (Jakarta: Rajawali, 1988), h.124
para sahabatnya bisa menjadi bid’ah dan bisa juga tidak. Misalnya mengadakan
peringatan Maulid Nabi, Hijrah Nabi, dan sebagainya itu dimaksudkan sebagai unsur
ibadah atau unsur agama, maka jelaslah menjadi bid’ah karena merupakan ibadah baru.
Tetapi jika upacara peringatan tersebut dimaksudkan sebagai “tradisi” dan untuk
membangkitkan umat Islam agar suka mengikuti ajaran Nabi dan meneladani akhlaknya
yang mulia; maka mengadakan peringatan Maulid Nabi itu bukan bid’ah, karena tidak
dimaksudkan sebagai agama dan tidak pula untuk menciptakan sesuatu yang baru di
dalam agama.3 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menilai baik-buruknya,
bid’ah atau tidaknya sesuatu hal itu tergantung kepada perspektif atau sudut pandang
seseorang.
Menurut pendapat saya, dalam hal ini kiranya perlu dibedakan antara kegiatan
upacara keagamaan yang ada kaitannya dengan Islam dan Nabi Muhammad SAW
sebagai pembawa ajaran Islam, seperti peringataan Maulid Nabi; dengan kegiatan
upacara keagamaan yang dikaitkan dengan seseorang bukan Nabi, seperti perayaan
tradisi Nyadar sebagai peringatan syukuran.
Penyelenggaraan upacara keagamaan macam pertama, dapat ditolerir atau
dibenarkan, sebagaimana yang difatwakan oleh Muhammad Mustafa al-Maraghi di atas.
Sedangkan kegiatan upacara keagamaan macam kedua, tidak dapat dibenarkan oleh
Islam, karena bisa menjurus kepada pengkultusan seseorang yang dilarang oleh agama.
Hal ini sesuai dengan Hadits riwayat Abu Dawud yang berbunyi:
) رواه ابو دواد(ال تجعلو ابيو تكم قبورا وال تجعلوا قبوري عيدا وصلوا على فان صالتكم تبلغنى حيث آنتم Artinya:
3 Zuhdi, Studi Islam, h. 124
“Janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan, dan jangan pula kamu jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan, berdo’alah (shalawatlah) untukku, karena sesungguhnya do’amu akan sampai kepadaku di mana saja kamu berada”.4
Mempertimbangkan komponen historis dari suatu fenomena sosial pada
dasarnya merupakan upaya untuk menyingkap dimana “tempat berdiri” seseorang atau
sekelompok orang pada masyarakat tertentu dalam kaitannya dengan sejarah. Sejarah
selalu terkait dengan peristiwa masa lalu. Dalam kajian antropologis peristiwa di masa
lalu dikaji bukan semata-mata untuk mengetahui apa yang telah terjadi di masa lalu tetapi
diarahkan untuk memperoleh pengetahuan tentang hal-hal di masa lalu yang berperan
dalam membentuk wujud dari kenyataan sosial di masa kini.
Oleh karena itu penulis merasa tertarik dengan fenomena tersebut dan mencoba mengangkatnya dalam
sebuah skripsi, yakni sebuah tradisi yang secara turun temurun masih dilaksanakan oleh masyarakat
Pinggirpapas. Serta hubungannya dengan kehidupan masyarakat Pinggirpapas baik dari segi sosial,
ekonomi, maupun budaya.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Guna menghindari pembahasan yang melebar sehingga apa yang diharapkan kurang memenuhi sasaran,
maka dalam penulisan skripsi ini penulis membatasinya dengan hal-hal yang berkaitan dengan ritual
tradisi Nyadar.
Selanjutnya berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka penulis merumuskan
masalah yang akan penulis tuangkan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah sejarah munculnya tradisi ritual Nyadar ?
2. Bagaimanakah proses penetapan waktu dan praktik ritual Nyadar?
3. Bagaimanakah pola struktur kepemimpinan dalam tradisi ritual Nyadar?
4 Abujamin Roham, Dari Orang Hidup Kepada Orang Mati, (Jakarta: Media Da’wah, 1993), h. 123
4. Serta apa sajakah dampak atau pengaruh tradisi Nyadar dalam kehidupan masyarakat
Pinggirpapas?
C. Metodologi Penelitian Metodologi Penelitian yang dipergunakan untuk mengumpulkan data bagi penulisan skripsi ini ada dua
cara sebagai berikut :
1. Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu membaca dan menelaah buku-buku
yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas, seperti buku-buku yang berkaitan
dengan tradisi Nyadar.
2 . Penelitian lapangan (Field Research), yaitu mengadakan penelitian lapangan terhadap
masyarakat Pinggirpapas khususnya para sesepuh yang biasa memimpin ritual tradisi
Nyadar. Dengan teknik-teknik sebagai berikut :
a. Observasi yaitu mengadakan pengamatan langsung untuk mendapatkan keterangan-
keterangan mengenai ritual tradisi Nyadar dan keadaan masyarakat Pinggirpapas .
b. Wawancara yaitu mengadakan tanya jawab dengan beberapa orang yang
mengetahui seluk beluk tentang tradisi Nyadar secara keseluruhan, yang terdiri dari
para tokoh pemimpin Nyadar, tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat. Di
antara mereka adalah Embah Kasa selaku Ketua Adat, Bapak Harun Rasyid selaku
tokoh agama dan Bapak Ahmad Rizal selaku tokoh masyarakat. Hal ini dilakukan
untuk memperoleh data yang sifatnya faktual dan akurat. Wawancara dibagi
menjadi beberapa bagian, yakni:
a. Wawancara bebas, inguided interview, dimana pewawancara bebas menanyakan
apa saja yang diinginkannya, tetapi ia juga harus mengingat akan data apa yang
akan dikumpulkannya. Dalam pelaksanaannya pewawancara tidak membawa
pedoman mengenai apa yang akan ditanyakan.
b. Wawancara terpimpin, guided interview, yaitu wawancara yang dilakukan
dengan membawa sederet pertanyaan yang lengkap dan terperinci.
c. Wawancara bebas terpimpin, yaitu kombinasi antara wawancara bebas dan
wawancara terpimpin dalam pelaksanaanya pewawancara membawa pedoman
yang merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan.5
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode wawancara (guided
interview) yang berarti penulis menggunakan pedoman wawancara dalam mendapatkan
informasi dan mengumpulkan data secara sistematis, faktual dan akurat.
Penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kualitatif
dengan metode deskriptif. Kualitatif di sini, merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari si pelaku yang sedang diamati.
Di samping itu teknik pendekatan yang digunakan penelitian ini adalah mengambil studi
kasus, yaitu bentuk penelitian yang mendalam tentang aspek lingkungan sosial termasuk
manusia didalamnya.6
Di samping itu, penelitian deskriptif yang penulis gunakan bertujuan
menggambarkan suatu keadaan atau suatu fenomena tertentu berdasarkan data yang
diperoleh. Secara harfiah, penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud
membuat semacam penjelasan mengenai situasi-situasi atau kejadian tertentu sehingga
5 Suharsini Arikunto, ProsedurPenelitian: Suatu Pendekatan dan Praktik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), h. 145-146 6 Lexy J. Melong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997), h. 3
diperoleh deskripsi yang sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat
populasi atau daerah tertentu.7
Adapun analisa data merupakan salah satu langkah penting untuk memperoleh
temuan-temuan hasil penelitian. Dalam penelitian, data dianalisa secara kualitatif. Data
yang diperoleh dari hasil observasi partisipasi wawancara dan dokumen tersebut
dideskripsikan dalam bentuk uraian, maksud utama analisa data itu adalah dimengerti,
sehingga penemuan yang dihasilkan bisa dikomunikasikan kepada orang lain.
Pelaksanaan analisanya dilakukan pada saat masih di lapangan dan setelah data
terkumpul. Peneliti menganalisa data-data sepanjang penelitian dan dilakukan secara
terus menerus dari awal sampai akhir penulisan. Data-data tersebut bisa berupa
informasi-informasi dari masyarakat setempat, tokoh masyarakat dan lain sebagainya.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang munculnya tradisi ritual Nyadar dan
seberapa jauh pandangan masyarakat Pinggirpapas menganggap pentingnya ritual Nyadar yang selama
ini diyakininya.
Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai syarat untuk mendapatkan gelar
sarjan di Universitas Islam Negeri “Syarif Hidayatullah” Ciputat khususnya, dan untuk
menambah khazanah pengetahuan tentang adat istiadat atau kebudayaan dari tanah
kelahiran penulis sendiri.
E. Sistematika Penulisan
7 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 18
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyusun sistematika penulisan dengan merujuk pada buku
“Pedoman Ushuluddin dan Filsafat yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press 2005-
2006.” Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab.
Penulisan skripsi ini diawali dengan bab I yang berisikan tentang latar belakang pemilihan judul,
pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan yang
terakhir sistematika penulisan.
Sedangkan dalam bab II membahas tentang kajian teori ritual tradisi Nyadar, baik itu dari segi
pengertian ritual yang dikutip dari teorinya Kingsley Davis dan Robertson Smith, pengertian tradisi
yang mengutip dari buku, diantaranya kamus sosiologi dan kamus antropologi maupun karakteristik
orang Madura pada umumnya, yakni: carok (membela harga diri), sangat menghormati ulama, dan
percaya terhadap kuburan keramat.
Berbeda halnya dengan bab II yang lebih mengarah pada kajian-kajian teoritis, dalam bab III
menjelaskan tentang gambaran umum masyarakat Pinggirpapas, di lihat dari letak geografis dan
keadaan masyarakatnya; baik dari bidang sosial, bidang pendidikan, bidang ekonomi ataupun bidang
agama.
Adapun isi/ inti pembahasan secara keseluruhan dapat dilihat dalam bab IV, diantaranya menjelaskan
tentang sejarah munculnya tradisi Nyadar sebagai perwujudan sikap masyarakat Pinggirpapas atas
penemuan garam di tanah leluhur mereka. Hal ini merujuk pada hasil wawancara yang dilakukan
penulis kepada beberapa tokoh yang berkepentingan dalam ritual tradisi Nyadar dan masyarakat
Pinggirpapas khususnya. Dan pembahasan selanjutnya mengenai Penetapan waktu dan Praktik Nyadar,
Dimana waktu pelaksanaan tradisi Nyadar tidak boleh mendahului tanggal 12 Maulid dan ketentuan
harinya harus dilaksanakan hari Jumat dan Sabtu. Adapun praktik/ pelaksanaan Nyadar terbagi atas tiga
tahapan, yaitu: pelaksanaan Nyadar pertama dan Nyadar kedua dilakukan disekitar pemakaman embah
Anggasuto. Dan Nyadar ketiga dilaksanakan di rumah masing-masing warga Pinggirpapas khususnya.
Dan pembahasan selanjutnya mengenai struktur Kepemimpinan ritual tradisi Nyadar. Dimana
pelaksanaan tradisi Nyadar ini dipimpin oleh Embah Kasa selaku Ketua Adat dan beberapa tokoh
pelaksana Nyadar lainnya yang akan penulis uraikan dalam bab ini. Dan pembahasan yang terakhir
adalah berisikan tentang dampak atau pengaruh ritual tradisi Nyadar bagi kehidupan masyarakat
Pinggirpapas umumnya, yaitu mempererat ikatan kekerabatan antar warga dan akhirnya warga
Pinggirpapas memiliki sumber perekonomian melalui usaha panen/ hasil garam.
Dan tulisan ini diakhiri dengan bab V yang menjelaskan tentang kesimpulan dan saran daripada
penulisan kajian skripsi ini. Namun saran penulis tentang ritual tradisi Nyadar ini hendaknya tidak
menimbulkan adanya pemikiran-pemikiran yang menjerumuskan kepada perbuatan bid’ah atau
menyimpang dari ajaran Islam. Seperti halnya apabila tradisi Nyadar tersebut menimbulkan
kepercayaan terhadap orang yang meninggal (pengkultusan seseorang). Tapi hendaknya tradisi Nyadar
hanya dijadikan sebuah adat istiadat sebagai salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia.
BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG RITUAL TRADISI NYADAR
Sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwa ritual tradisi Nyadar selain merupakan
bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat Pinggirpapas atas panen/ hasil garam yang diperoleh tiap
tahunnya, tradisi ini juga bertujuan untuk selalu mengenang jasa-jasa leluhur mereka, Anggasuto yang
telah memberikan sumber kehidupan atas penemuan garam pertama kali olehnya.
Dengan demikian masyarakat Pinggirpapas selalu melaksanakan tradisi Nyadar tiap tahunnya sebagai
warisan nenek moyang/ leluhur yang patut dilestarikan. Dengan harapan hasil/ panen garam yang
diperoleh selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sehubungan dengan judul yang terdapat
dalam bab ini, penulis akan menguraikan beberapa teori yang berkaitan dengan ritual tradisi Nyadar
sebagai berikut:
A. Pengertian Ritual
Menurut bahasa, ritual berarti upacara keagamaan.1 Upacara keagamaan di sini adalah upacara
keagamaan yang diselenggarakan oleh umat beragama untuk memperingati hari besar agamanya atau
peristiwa bersejarah bagi agamanya, seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW oleh umat Islam
atau peringatan Natal oleh umat Kristen.9
Sedangkan secara istilah ritual bermakna suatu sistem upacara atau prosedur magis atau religius
biasanya dengan bentuk-bentuk khusus kata-kata atau kosa kata khusus yang bersifat rahasia dan
biasanya dihubungkan dengan tindakan-tindakan penting.10 Ada juga yang mengartikan ritual sebagai
buku resmi yang berisi doa-doa dan peraturan-peraturan mengenai apa yang harus dilakukan dalam
1 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1990), h. 488 9 Zuhdi, Studi Islam, h. 121 10 M. Dahlan Yacub Al Barry, Kamus sosiologi Antropologi, (Surabaya: Gramedia, 1990), h. 488
perayaan sakramen, penguburan, pengucapan kaaul publik, pemberkatan gereja, dan upacara-upacara
keagamaan yang lain.11
Kingsley Davis lebih menekankan ciri-ciri ritual. Menurutnya ciri-ciri ritual adalah segala jenis tingkah
laku, seperti memakai pakaian khusus, mengorbankan nyawa dan harta, mengucapkan ucapan formal,
bersemedi, menyanyi, menyanyikan lagu gereja, berdoa (bersembahyang), memuji, pesta, berpuasa,
menari, berteriak, mencuci, dan membaca.12
Dengan merujuk pada beberapa pengertian ritual di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi Nyadar
merupakan upacara keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Pinggirpapas tiap tahunnya. Berkaitan
dengan pernyataan Kingsley Davis sebelumnya, tradisi Nyadar memperlihatkan bentuk ritual yang
sifatnya nyekar atau ziarah. Dimana dalam ritual nyekar atau ziarah tersebut mengandung salah satu ciri
sebuah upacara keagamaan, yakni berdoa.
Adapun ritual atau upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek di dalamnya, yakni :
1. Tempat upacara keagamaan dilakukan, yakni berhubungan dengan tempat-tempat keramat di mana
upacara dilakukan seperti makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau mesjid dan sebagainya.
2. Saat-saat upacara keagamaan dijalankan, yakni berhubungan dengan saat-saat beribadah, hari-hari
keramat dan suci.
3. Benda-benda dan alat upacara, yakni berhubungan dengan benda-benda yang dipakai dalam upacara
termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci,
seruling suci, genderang suci dan sebagainya.
4. Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara, yakni berhubungan dengan para pelaku upacara
keagamaan seperti, para pendeta biksu, syaman, dukun dan lain-lain.13
Upacara keagamaan yang biasa terjadi selalu menghadirkan sesaji atau sesajen sebagai perlengkapan
ritual tersebut. Menurut Robertson Smith fungsi dari upacara bersaji adalah di mana manusia
menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya, kepada dewa, kemudian memakan
sendiri sisa daging dan darahnya, juga dianggap sebagai suatu aktivitas mendorong rasa solidaritas
11 Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 67 12 Gerald O’ Collins dan Edward G. Fairuguay, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), h.92 13 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1989), h. 377-378
dengan dewa atau para dewa. Dalam hal itu dewa atau para dewa di pandang sebagai warga komunitas,
walupun sebagai warga yang istimewa.14
Ritual menanamkan sikap ke dalam kesadaran diri yang tinggi, dan melalui hal itu akan memperkuat
komunitas moral. Dengan demikian melakukan tradisi keagamaan merupakan tindakan sosial atau
tindakan berjamaah di mana kelompok menetapkan kembali hubungannya dengan objek-objek suci dan
melalui hubungan ini akan memperkuat solidaritas dan mengukuhkan nilai-nilai sendiri.15
B. Pengertian Tradisi
Istilah tradisi yang telah menjadi bahasa Indonesia, dipahami sebagai sesuatu yang turun temurun dari
nenek moyangnya.16 Tradisi dalam kamus Antropologi sama dengan adat istiadat yakni kebiasaan-
kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi mengenai
nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum dan aturan-aturan yang saling berkaitan, dan kemudian
menjadi suatu sistem atau peraturan yang sudah mantap serta mencakup segala konsepsi sistem budaya
dari suatu kebudayaan untuk mengatur tindakan sosial.17 Sedangkan dalam kamus Sosiologi, diartikan
sebagai adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun temurun dapat dipelihara. 18
Tradisi merupakan pewarisan norma-norma, kaidah-kaidah dan kebiasaan-kebiasaan. Tradisi tersebut
bukanlah suatu yang tidak dapat diubah, tradisi justru dipadukan dengan aneka ragam perbuatan
manusia dan diangkat dalam keseluruhannya. Karena manusia yang membuat tradisi maka manusia
juga yang dapat menerimanya, menolaknya dan mengubahnya.19
Tradisi juga dapat dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang turun temurun dalam sebuah masyarakat,
dengan sifatnya yang luas tradisi bisa meliputi segala kompleks kehidupan, sehingga tidak mudah
14 Koentjaraningrat, Pengantar Teori Antropologi I, (Jakarta: UI-Press, 1987), h. 68 15 Thomas F O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 76 16 W.J.S. Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), h. 1088 17 Ariyono dan Aminuddi Siregar, Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademik Pressindo, 1985), h. 4 18 Soekanto, SH., MA., Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 459 19 Van Peursen, Sosiologi Kebudayaan, (Jakarta: Kanisius, 1976) , h. 11
disisihkan dengan perincian yang tepat dan pasti, terutama sulit diperlakukan serupa atau mirip, karena
tradisi bukan obyek yang mati, melainkan adat yang hidup untuk melayani manusia yang hidup pula.20
Tradisi dipahami sebagai suatu kebiasaan masyarakat yang memiliki pijakan sejarah masa
lampau dalam bidang adat, bahasa tata kemasyarakatan keyakinan dan sebagainya, maupun proses
penyerahan atau penerusannya pada generasi berikutnya. Sering proses penerusan terjadi tanpa
dipertanyakan sama sekali, khususnya dalam masyarakat tertutup dimana hal-hal yang telah lazim
dianggap benar dan lebih baik diambil alih begitu saja. Memang tidak ada kehidupan manusia tanpa
sesuatu tradisi. Bahasa daerah yang dipakai dengan sendirinya diambil dari sejarahnya yang panjang
tetapi bila tradisi diambil alih sebagai harga mati tanpa pernah dipertanyakan maka masa kini pun
menjadi tertutup dan tanpa garis bentuk yang jelas seakan-akan hubungan dengan masa depan pun
menjadi terselubung, tradisi lalu menjadi tujuan dalam dirinya sendiri.21
Dengan merujuk pada beberapa teori tersebut, dapat dikatakan bahwa Nyadar merupakan tradisi, yakni
adat istiadat yang sudah dilakukan turun temurun oleh masyarakat Pinggirpapas. Sedangkan secara
teknis merujuk kepada tradisi dengan maksud menjaga, menghormati serta memelihara warisan nenek
moyang yang sudah ada. Nyadar dapat dikatakan sebagai sebuah peristiwa sosial yang telah menjadi
wadah bagi masyarakat Pinggirpapas dan sekitarnya untuk mengekspresikan wujud ungkapan terima
kasih dan rasa syukur terhadap segala nikmat yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa.
Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Nyadar bisa diartikan sebagai adat istiadat atau
tradisi bagi masyarakat. Untuk itu masyarakat Pinggirpapas selalu melaksanakan ritual tradisi Nyadar
tiap tahunnya, karena masyarakat di sini berpendapat bahwa tradisi Nyadar merupakan warisan nenek
moyang yang patut dilestarikan.
C. Ciri Khas Orang Madura Umumnya
1. Carok ( membela harga diri)
Dalam bukunya yang berjudul “Tantangan Industrialisasi Madura”, Andang Subaharianto
mengemukakan bahwa carok adalah membela harga diri atau kehormatan diri orang Madura akan
20 W.S. Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h. 3 21 Hassan Sadily, Ensiklopedia Indonesia, Vol 6. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve) h. 3608
terusik jika ia dipermalukan (malo) atau dilecehkan secara sosial. Tindakan carok merupakan
manifestasi dari upaya membela dan menjaga harga diri, dengan jalan kekerasan fisik. Dalam konteks
ini, ungkapan orang Madura, ango’an poteya tolang etembeng poteya mata, yang artinya “lebih baik
putihnya tulang daripada putihnya mata”. Hal ini sama artinya dengan lebih baik mati daripada hidup
menanggung malu menjadi referensi dari perbuatan carok.22
Berbeda halnya dengan dasar pembelaan diri tentara Jepang yang di sebut dengan Harakiri
(bunuh diri). Menurut cerita, pada saat kota Nagasaki dan Hiroshima di bom secara besar-besaran
oleh pasukan Amerika, serdadu Jepang yang sedang menduduki Indonesia yang berada di Pangkalan
Bun, ibukota Kobar (Kotawaringin Barat), dengan segera meninggalkan Pangkalan Bun. Dan terdapat
satu orang serdadu Jepang yang tertinggal bernama Tei-Cho, menurutnya tidak ada kata lain selain
melakukan tindakan Harakiri (bunuh diri) dengan menembakkan mulutnya dengan pistol. Dan hingga
sekarang makamnya terdapat di Pangkalan Bun dan dimakamkan secara Islami.23
Dalam studi tentang carok tersebut dikemukakan bahwa salah satu penyebab carok yang
potensial adalah mengganggu istri orang lain. Gangguan terhadap perempuan yang sudah bersuami
tersebut dapat berupa aktivitas menggoda, mencintai, atau melakukan perselingkuhan. Dalam
perspektif orang Madura, istri merupakan simbol kehormatan rumah tangga atau laki-laki Madura.
Gangguan terhadap istri atau perempuan ditafsirkan sebagai pelecehan harga diri orang Madura.24
Dasar pembelaan terhadap istri tersebut dikemukakan oleh penyair Madura, D. Zawawi Imron,
dalam ungkapan, “Saya kawin dinikahkan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, dan dengan
memenuhi peraturan agama. Maka, siapa saja yang mengganggu istri saya berarti menghina agama
saya (Islam), sekaligus menginjak-injak kepala saya”. Karena itu, martabat dan kehormatan istri
merupakan perwujudan dari landasan kematian (bantalla pate). Dalam ungkapan lain, tindakan
mengganggu istri disebut agaja’ nyaba, yang pengertiannya sama dengan tindakan mempertaruhkan
atau mempermainkan nyawa.25
22 Andang Subaharianto, Tantangan Industrialisasi Madura, h. 60 23 “Makam Serdadu Jepang diZiarahi,” artikel diakses pada 11 Agustus 2006 dari http://www.google.com 24 Andang Subaharianto, dkk, Tantangan Industrialisasi Madura, h.61 25 Andang Subaharianto, dkk, Tantangan Industrialisasi Madura, h.62
Adapun manifestasi daripada carok umumnya banyak dilakukan oleh orang Madura bagian
Barat, yakni Bangkalan dan Sampang. Anggapan ini melihat pada kenyataannya bahwa orang Madura
bagian Barat umumnya memiliki watak dan temperamen yang lebih keras daripada orang Madura
bagian Timur, yakni Pamekasan dan Sumenep. Hal ini dapat dilihat perbandingannya secara jelas
dalam gaya pengucapan (dialek) dan tutur bahasanya orang Pamekasan dan Sumenep lebih halus
daripada orang Madura bagian Barat yakni Sampang dan Bangkalan. Hal ini lebih disebabkan bahwa
segala tindak tanduk orang Madura bagian Timur berkiblat pada budaya Kraton. Seperti penggunaan
dialek dan bahasa orang Madura bagian Timur mengenal tingkatan-tingkatan bahasa dari bahasa yang
terhalus sampai bahasa yang terkasar sekalipun. Demikian pula pribadi santun dan ramah yang
dimiliki oleh orang Madura bagian Timur. Namun di sini sebenarnya penulis tidak ingin membedakan
karakteristik orang Madura bagian Barat dan Timur, Akan tetapi penulis merasa hal ini perlu
dilakukan sebagai bentuk upaya untuk meluruskan pandangan orang luar Madura umumnya yang
menganggap umumya orang Madura terkesan bahwa satu-satunya persoalan merendahkan harga diri
hanya dapat diselesaikan melalui perbuatan carok bukan secara baik-baik.
Oleh karena itu penulis ingin mengagarisbawahi bahwa umumnya yang melakukan tindakan
carok di sini adalah orang Madura bagian Barat, yakni Sampang dan Bangkalan dengan merunut pada
apa yang telah penulis uraikan sebelumnya. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa prilaku Carok
(membela harga diri) itu banyak dilakukan oleh orang Madura bagian barat sebagai bentuk
perwujudan harga dirinya diinjak-injak. Sebagaimana kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang
perwira kepolisian kepada istri, teman istrinya dan mertuanya di Bangkalan Madura baru-baru ini.
Sebagai akibat dari adanya prilaku perselingkuhan yang dilakukan oleh istrinya dengan teman satu
angkatannya di kepolisian juga.26
Sebab-sebab lain yang dapat mengganggu harga diri orang Madura selain masalah kehormatan
perempuan adalah masalah tanah dan leluhur, penghinaan terhadap agama dan pelecehan terhadap
anggota keluarga apalagi jika hal itu dilakukan di depan umum.
2. Sangat Menghormati Ulama
26 “Perwira Polisi Menembak Mati Istri, Teman Selingkuhnya dan Mertuanya di Bangkala, Madura,” Republika, 26 Februari 2006, h. 11
Madura dapat dikatakan sebagai daerah berbasis budaya keislamannya sangat tinggi. Citra
Madura sebagai “masyarakat santri” sangat kuat. Menjadi haji, misalnya, merupakan impian setiap
orang Madura, dan mereka akan berusaha keras untuk mewujudkannya. Seolah-olah “kesempurnaan
hidup” telah dapat dilampauinya jika bisa mengunjungi tanah suci (menurut Islam) untuk
melaksanakan ibadah haji. Hampir setiap rumah orang Madura memiliki bangunan langgar atau surau
sebagai tempat keluarga melakukan ibadah sholat. Lokasinya selalu berada di ujung timur halaman
bagian barat sebagai simbolisasi lokasi Ka’bah yang merupakan kiblat orang Islam ketika
melaksanakan sholat.
Secara umum, di kalangan umat Islam, ahli-ahli pengetahuan keagamaan Islam disebut ulama.
Dalam perspektif lokal, di Jawa Barat mereka disebut ajengan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ahli-
ahli pengetahuan keagamaan Islam tersebut disebut kyai. Hubungan antara kyai dan umatnya sangat
dekat, dan kyai memiliki peranan dominan dalam kehidupan umatnya. Apa yang dikatakan oleh
seorang kyai niscaya akan diikuti oleh umatnya, bahkan kadang-kadang tanpa memperhitungkan
apakah hal itu baik atau tidak.27
Dalam masyarakat Madura, kyai paling dihormati dibandingkan dengan golongan sosial yang
lain. Kyai memiliki harta dan penghormatan sosial dari masyarakatnya. Kyai akan lebih dihormati
kalau ia memiliki karisma dan keramat (memiliki ilmu gaib) karena kelebihan ilmu agamanya itu. Apa
yang dikatakan akan dituruti dan dilaksanakan umatnya (orang Madura). Pejabat dan orang kaya, di
sini, masih hormat kepada kyai. Setelah kyai, pejabatlah yang dihormati masyarakat Madura. Ia
simbol keberhasilan sukses duniawi bagi seseorang dan memiliki status sosial yang baik, karena
kedudukannya sebagai pejabat atau pegawai pemerintah. Orang kaya kalau hormat akan mencium
tangan kyai. Orang kaya dihormati masyarakat kalau ia baik. Artinya, kekayaan yang diperolehnya itu
dengan jalan baik dan perbuatan sosialnya juga baik. Harta yang baik (halal) akan menjaga martabat
pemiliknya. Kalau tidak, ia kurang dihargai masyarakat. Jadi, di Madura, dasar penghormatan
terhadap seseorang berturut-turut adalah kemampuan agamanya, jabatannya dan baru hartanya.
3. Percaya terhadap Kuburan Keramat
27 Andang Subaharianto, Tantangan Industrialisasi Madura, h.52
Pada umumnya orang Indonesia percaya bahwa roh orang yang meninggal tidak langsung
hilang, tetapi dapat mempengaruhi anak cucu maupun lingkungannya. Roh-roh itu dapat diminta
tolong dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam membuka lahan baru untuk areal pertanian, mendirikan
rumah baru ataupun anak yang akan pergi jauh bersekolah atau merantau, mereka akan mendatangi
makam leluhurnya untuk memohon restu dan perlindungan.
Makam dan kuburan keramat mempunyai persamaan, yakni di tempat itu terdapat jenazah yang
dikubur. Namun, secara spesifik, di antara keduanya terdapat perbedaan, yakni dalam hal jenazah
siapa yang tertanam di situ. Untuk makam biasa, jenazah yang dikubur adalah anggota keluarga biasa.
Meskipun makamnya setiap jumat dikunjungi ahli warisnya untuk kirim doa dan mohon berkah, tetapi
semasa hidupnya dia tidak memiliki kelebihan di bidang lain yang bermanfaat bagi hajat hidup orang
banyak. Adapun kuburan keramat, arwah (roh) yang bersemayam di situ dipercayai semasa hidupnya
merupakan orang yang sakti. Kesaktiannya itu tidak hanya bermanfaat bagi ahli warisnya, tetapi juga
diperlukan untuk melindungi orang banyak (warga masyarakat). Kuburan keramat seperti itu disebut
buju’ yang “kesaktiannya” sangat diperlukan bagi kepentingan publik (public function).28
Kepercayaan orang Madura terhadap buju’ cukup tinggi. Hampir di setiap kampung (dusun)
terdapat buju’, yang sangat fungsional (sebagai axis powers) untuk menjaga keseimbangan kehidupan
seluruh warga masyarakat setempat. Mengenai kesaktian buju’ di masing-masing tempat terdapat
perbedaan atau keragaman, yang disosialisasikan melalui legenda atau cerita rakyat (folklore). Isi
legenda selalu menceritakan kebesaran tokoh saat masih hidup. Tokoh tersebut merupakan
pengembara yang datang dari suatu kerajaan yang kemudian menjadi cikal bakal atau pembabat desa,
atau dapat pula sebagai orang yang sakti ketika hidup, atau seorang ulama yang menyebarkan agama
Islam. Yang jelas, arwah yang bersemayam di makam itu bukanlah arwah yang sembarangan.29
Salah satunya yakni Buju’ Gubang atau Buju’ Anggasuto, kuburan ini terletak di desa
Kebundadap Timur, Kecamatan Saronggi, kabupaten Sumenep. Tempat ini disebut gubang (jurang) 28 Dominikus Rato, Buju’ dan Asta. Persepsi Masyarakat Madura Sumenep Terhadap Kuburan Keramat, (Jember : Universitas Jember, 1992), h.18 29 Dominikus Rato, Buju’ dan Asta, h. 20
karena pada jaman Anggasuto di sini terdapat jurang (lubang besar) yang tidak dapat ditimbuni oleh
tanah. Berkat kesaktian Anggasuto, lubang-lubang tersebut dapat di tutup dan dijadikan kuburan.
Menurut masyarakat setempat, Anggasuto adalah seorang wali yang mengasingkan diri untuk bertapa.
Berkat kesempurnaan ilmunya, ia dianggap memiliki kesaktian yang luar biasa. Namun ia dianggap
pula sebagai pembabat desa dan leluhur masyarakat Pinggirpapas serta penemu garam pertama di
Madura.30 Oleh karena itu masyarakat Pinggirpapas menghormati beliau dengan melakukan tradisi
nyekar dan berdoa bersama, yang terkandung dalam tradisi Nyadar sebagaimana yang telah
diungkapkan oleh penulis sebelumnya.
Menurut Bapak H. Mahbub selaku tokoh agama di desa Pinggirpapas, tradisi nyekar dan
membaca doa seperti surat Yasin adalah sarana berkomunikasi atau berdialog antara manusia yang
masih hidup di dunia dengan para leluhurnya yang sudah meninggal dunia. Doa yang dikirimkan itu
diyakini akan berdampak positif kepada manusia yang masih di dunia maupun yang sudah meninggal
dunia. Dengan cara demikian, orang yang masih hidup akan selamat dunia dan akhirat, sedangkan
yang sudah meninggal dunia akan dijauhkan dari siksa kubur dan neraka atas barokah dan rahmat
Allah SWT. Dikatakan pula oleh beliau berdoa di atas makam lebih berharga (afdol) daripada
mengirim doa dari rumah atau masjid dan langgar.31
Menurut jenisnya, kuburan keramat yang terdapat di Madura dapat dibedakan menjadi empat
macam, yaitu : 1) makam keturunan raja, 2) makam para wali atau tokoh penyebar agama Islam, 3)
makam pembabat desa, dan 4) makam orang sakti, termasuk di dalamnya adalah mereka yang ketika
hidup memiliki keistimewaan dan berjasa bagi kepentingan orang banyak.32
Dari ketiga karakteristik yang penulis uraikan di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa
karakteristik orang Madura percaya terhadap kuburan keramat pada umumnya, sesuai dengan
kepercayaan masyarakat desa Pinggirpapas yang percaya terhadap kuburan keramat, yakni makam
Anggasuto atau yang disebut dengan Buju’ Gubeng.
30 Dominikus Rato, Buju’ dan Asta, h. 34
31 Wwancara Pribadi dengan Bapak H. Mahbub, “Tokoh Agama”, Pinggirpapas, tanggal 13 Februari 2006 32 Andang Subaharianto, dkk, Tantangan Industrialisasi Madura, h.77
BAB III
GAMBARAN UMUM
MASYARAKAT DESA PINGGIRPAPAS
Dalam bab ini penulis akan menggambarkan objek kajian penelitian guna memberikan
penjelasan awal mengenai objek kajian yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Baik itu berdasarkan
letak geografisnya maupun keadaan masyarakatnya.
Setelah penulis mengamati secara langsung kondisi daerah penelitian, yakni Desa Pinggirpapas
dapat diketahui bahwasanya desa ini bertipologi pesisir/ pantai. Dengan kondisi daerah yang demikian,
masyarakat Pinggirpapas akhirnya memanfaatkan lahan tersebut untuk lahan pertanian garam sekaligus
sumber perekonomian mereka. Hal ini pulalah yang melatarbelakangi adanya ritual tradisi Nyadar di
Desa Pinggirpapas ini. Dengan demikian letak geografis Desa Pinggirpapas sangat mempengaruhi
bidang-bidang kehidupan masyarakat Pinggirpapas, baik itu dari bidang sosial, pendidikan, ekonomi,
maupun agama. Oleh karenanya penulis akan menguraikan hal tersebut berikut ini.
A. Letak Geografis
Desa Pinggirpapas adalah sebuah desa yang terletak di Kab. Sumenep yang tepatnya berada di Kec.
Kalianget. Daerah tersebut sangat terik karena terletak di dataran rendah yang sangat gersang. Hanya
karena berada di tepi pantai keterikan itu sedikit berkurang sebagai adanya hembusan angin laut. Hal ini
disebabkan oleh adanya tipologi daerah yang berbentuk desa pantai/ pesisir.
Secara administratif desa Pinggirpapas dari sebelah Utara berbatasan dengan desa Karang Anyar, dari
sebelah Selatan berbatasan dengan desa Kebundadap Timur dan Kebundadap Barat, dari sebelah Timur
juga berbatasan dengan Selat Madura dan dari sebelah Barat berbatasan dengan desa Nambekor.
Desa Pinggirpapas mempunyai luas wilayah 58.340 ha, yang terbagi atas tanah kering seluas 16.540 ha dan
tanah basah dengan luas 41.800 ha. Jarak desa Pinggirpapas dari kota Sumenep kurang lebih sekitar 10 km.
Adapun sumber mata pencaharian utama warga desa Pinggirpapas adalah petani garam dan nelayan. Hal ini
sesuai dengan tipologi daerah Pinggirpapas yang dikelilingi laut dan pesisir pantai.
B. Keadaan Penduduk
Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2005, penduduk desa Pinggirpapas berjumlah 4511 orang ;
yang terdiri dari laki-laki 2.128 orang dan perempuan berjumlah 2.383 orang. Jumlah perempuan lebih
banyak dari pada laki-laki karena di pengaruhi oleh pernikahan usia dini dan kebanyakan laki-laki di
Pinggirpapas menikah dengan orang daerah Pinggirpapas. Adapun data tersebut akan ditunjukkan pada
tabel berikut ini :
Tabel 1
Jumlah Penduduk Desa Pinggirpapas
berdasarkan jenis kelamin 2005-2006
N
o.
Jenis Kelamin Jumlah
1.
2.
Laki-laki
Perempuan
2128 orang
2383 orang
Jumlah 4511 orang
Sumber: Laporan Potensi Desa Pinggirpapas , tahun 200533
Alasan mengapa jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah laki-lakinya, hal ini lebih
disebabkan oleh banyaknya pernikahan yang dilakukan para kaum laki-lakinya dengan wanita yang
berasal dari desa lain atau luar daerah Madura. Dan menurut adat Madura, apabila seorang laki-laki
menikah dengan wanita dari desa lain atau luar daerah Madura, maka pihak laki-laki tersebut harus
hidup/ menetap di rumah pihak keluarga perempuannya. Dengan demikian hal ini dapat mengurangi
jumlah populasi laki-laki yang ada di desa Pinggirpapas.
Tabel 2
Jumlah Penduduk Desa Pinggirpapas
berdasarkan Usia 2005-2006
N Usia Jumlah
33 Tabel 1 didapatkan dari Balai Desa Pinggirpapas setempat, pada tanggal 11 Februari 2006
O
1 0 − 9 tahun 845 orang
2. 10 − 19 tahun 671 orang
3. 20 − 29 tahun 785 orang
4. 30 − 39 tahun 852 orang
5. 40 − 49 tahun 531 orang
6. 50 − 58 tahun 507 orang
7. >59 tahun 320 orang
Jumlah 4511 Orang
Sumber: Laporan Potensi Desa Pinggirpapas, tahun 2005 34
Mengenai keadaan penduduk di Desa Pinggirpapas, penulis akan mencoba menguraikannya dari
beberapa bidang kehidupan penduduk setempat berikut ini :
1. Bidang Sosial
Dalam bidang sosial tentunya tidak terlepas hubungannya dengan sebuah sistem yang berlaku dalam
sebuah masyarakat, salah satunya yakni yang menyangkut sistem kekerabatan. Adapun sistem
kekerabatan yang berlaku pada setiap kelompok etnis (suku bangsa) menunjukkan berbagai variasi,
yang menggambarkan bagaimana jalinan hubungan sosial yang lebih luas. Hal itu, dikarenakan, kerabat
merupakan kerangka dasar terbentuknya ikatan sosial yang paling primer, yakni mulai dari keturunan,
ikatan perkawinan, sistem pewarisan, sampai sistem religi yang diterapkan berdasarkan ikatan kerabat.
Sistem kekerabatan orang Madura menganut garis keturunan bapak. Pola hubungan kekerabatan ini
dapat dilihat dari prinsip-prinsip keturunan yang dianut baik secara vertikal maupun horizontal. Namun,
jika dilihat dari sistem pewarisan, terutama yang berupa tanah pekarangan dan rumah, terjadi
ketidakkonsistenan. Berdasarkan adat yang berlaku, yang berhak mendapatkan rumah dan tanah
pekarangan adalah anak perempuan. Itu berarti, pola pemukiman berdasarkan adat Madura adalah
matrilokal genealogis. Hal itu tampak pada pola pemukiman ideal yang berlaku di Madura, yang
34 Tabel 2 didapatkan dari Balai Desa Pinggirpapas setempat, pada tanggal 11 Februari 2006
disebut tanean lanjang (berarti ‘‘halaman panjang’’). Jadi, yang dimaksud pola pemukiman tanean
lanjang adalah susunan rumah berjajar dari barat ke timur sesuai dengan jumlah anak perempuannya
dan di depan rumah tersebut terdapat halaman memanjang yang dijadikan tempat untuk kegiatan
bersama. Adapun di bagian ujung paling barat terdapat surau, yang tidak hanya berfungsi sebagai
tempat bersembahyang, tetapi juga dijadikan tempat berkumpul bersama atau untuk menerima tamu.35
Dalam tingkah laku sehari-hari penduduk Desa Pinggirpapas berpegang teguh pada adat istiadat yang
berlaku. Kehidupan kemasyarakatan mereka tidak mengenal secara tegas perbedaan-perbedaan
golongan atau kasta. Dan setiap orang berhak diakui mempunyai hak yang sama. Batas-batas pergaulan
antara warga masyarakat yang satu dengan yang lain tidak dikenal oleh warga Desa ini, kecuali pada
tokoh masyarakat seperti halnya para Kyai setempat.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka satu sama lain selalu menjaga dan berusaha untuk berbuat baik,
dan karena itu pula penulis merasakan bahwa setiap warga desa yang penulis jumpai selalu bersikap
ramah, sopan dan suka menerima tamu yang datang padanya. Dalam hidup bermasyarakat pun bila ada
masalah, mereka berusaha menyelesaikan dengan cara bermusyawarah. Landasan dalam masyarakat ini
adalah cinta kasih. Hal ini tercermin dalam persiapan pelakasanaan tradisi Nyadar yang dilakukan oleh
masyarakat Pinggirpapas. Mulai dari pelaksanaan parembukan (musyawarah) mengenai penetapan
waktu pelaksanaan, mengadakan kerjasama dalam mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan seperti
menyiapkan kembang sesaji dan nasi tumpeng.
Tampak pula di Desa Pinggirpapas suatu pola hidup yang tentram, tenang dan rukun. Dan begitulah
kenyataannya yang penulis temui di sana. Kesan adanya hubungan kerja sama, tolong menolong dan
gotong royong masih melekat pada jiwa setiap warga masyarakat. Semua hal yang baik ini dilakukan
dalam aktivitasnya. Pegangan utama dalam memelihara hubungan antar individu adalah menunjukan
rasa hormat kepada yang lebih tua.
Masyarakat Pinggirpapas saat ini telah mengalami perubahan budaya menuju arah modernisasai. Yang
sangat jelas terlihat perubahannya di bidang teknologi informasi dan peralatan hidup sehari-harinya,
35 Andang Subaharianto, dkk, Tantangan Industrialisasi Madura, h. 81-82
yang biasa memakai alat-alat tradisional diganti dengan alat-alat modern. Misalnya peralatan rumah
tangga yang biasanya memasak menggunakan kayu bakar sekarang sudah ada yang menggunakan
kompor gas, begitu pula dengan banyaknya masyarakat Pinggirpapas yang telah menggunakan sarana
telepon seluler dan media televisi.
Dengan adanya kemajuan teknologi tersebut pada akhirnya membentuk perubahan prilaku sesorang,
khususnya di kalangan anak remaja. Mereka meniru segala bentuk prilaku yang diadaptasi melalui
televisi yang dilihatnya. Baik dari segi meniru gaya bahasa anak modern (bahasa gaul) maupun tren
pakaian yang sedang diminati anak remaja umumnya di sana. Bentuk rumah juga telah mengalami
perubahan, yang awalnya mayoritas bangunan rumahnya berbentuk tradisional dan berdinding kayu,
saat ini telah banyak masyarakat Pinggirpapas membangun rumahnya dengan bentuk rumah yang
berarsitektur modern dan bertembok. Adapun alat transportasi yang dimiliki masyarakat Pinggirpapas
mayoritas adalah sepeda motor dan sedikitnya ada pula yang memiliki alat transportasi mobil.
Mengenai fasilitas umum yang terdapat di desa Pinggirpapas dan besar pengaruhnya terhadap
kehidupan bersosialisasi antara warga setempat, dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 3
Fasilitas Umum Desa Pinggirpapas
N
o.
Fasilitas Umum Jumlah Bangunan
1. Masjid 2 buah
2. Mushollah/Surau 4 buah
3. Puskesmas 1 buah
4. Posyandu 3 buah
Jumlah 10 buah
Sumber: Laporan Potensi Desa Pinggirpapa, tahun 200536
36 Tabel 3 didapatkan dari Balai Desa Pinggirpapas setempat, pada tanggal 11 Februari 2006
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan kiranya bahwa dalam bidang sosial, tradisi
Nyadar mengajarkan akan pentingnya bermusyawarah dan saling bekerjasama atau tolong-menolong.
Hal ini tercermin dalam acara perembukan (musyawarah) untuk menetapkan waktu pelaksanaan tradisi
Nyadar dan saling bekerjasama atau saling tolong menolong dalam mempersiapkan perlengkapan ritual,
seperti : kembang sesaji ataupun nasi tumpeng. Oleh karena itu dengan adanya tradisi Nyadar ini dapat
menumbuhkan rasa persaudaraan dan hubungan silaturahmi yang tetap terjalin diantara sesama warga
Pinggirpapas khususnya.
2. Bidang Pendidikan
Pendidikan secara umum dibagi menjadi dua yaitu pendidikan formal dan pendidikan non formal.
Pendidikan formal meliputi pendidikan yang umum dan resmi yaitu TK, TPA, SD, MI, SLTP, dan
SLTA. Pendidikan formal sangat penting di jaman modern saat ini untuk kelangsungan hidup agar tidak
menjadi masyarakat yang terbelakang (bodoh). Sedangkan pendidikan non formal yaitu pendidikan
yang diperoleh dengan mengikuti kursus-kursus, pengajian atau ceramah di mesjid serta membaca
buku-buku pengetahuan. Pendidikan formal meskipun sampai ke jenjang perguruan tinggi tidak
menjamin seseorang untuk taat dalam menjalankan ibadah. Pengetahuan tentang agama dapat diperoleh
dari pendidikan formal dan non formal.
Pendidikan masyarakat desa Pinggirpapas saat ini telah mengalami banyak perubahan di mana anak-
anaknya rata-rata lulusan SMA dan sedikitnya tujuh orang telah lulus dari perguruan tinggi. Hal ini
dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 4
Populasi Penduduk
berdasarkan tingkat pendidikan
N
o
Pendidikan Jumlah
1. Belum sekolah 602 orang
2. Tamat SD/sederajat 1582 orang
3. Tamat SMP/sederajat 1598 orang
4. Tamat SMU/sederajat 722 orang
5. S-1 7 orang
Jumlah 4511 orang
Sumber : Laporan Tingkat Perkembangan Desa Pinggirpapas, tahun 200537
Pendidikan umum pada jaman orang tua dahulu sebagian besar hanya sampai ke tingkat Sekolah Dasar
(SD) itupun bagi mereka yang mampu untuk sekolah, tetapi bagi mereka yang tidak mempunyai biaya
tidak bisa belajar di pendidikan formal. Dalam hal pendidikan agama masyarakat Pinggirpapas pada
jaman orang tua dahulu bisa dikatakan pintar karena mereka lebih mengutamakan ilmu agama dengan
belajar pada guru ngaji di banding belajar di sekolah formal, itu sebabnya masyarakat Pinggirpapas
mengerti betul tentang ilmu agama untuk diajarkan pada anak-anaknya, mereka menanamkan nilai-nilai
Islam dan membimbing anak-anaknya agar bisa baca tulis Al-Quran.
Kebiasaan yang selalu menanamkan ilmu pengetahuan agama kepada anak-anak mereka sejak kecil
adalah kebiasaan masyarakat Pinggirpapas yang bisa dikategorikan sebagai pendidikan non formal yang
telah berjalan secara turun temurun. Jadi dalam hal pendidikan agama lingkungan keluarga sangat
dominan sekali dalam pembentukan perilaku keberagamaan masyarakat. Mengenai lembaga pendidikan
yang terdapat di desa Pinggirpapas, dapat dilihat dalam tabel berikut ini ;
Tabel 5
Sarana Pendidikan di Desa Pinggirpapas
N
o
Lembaga Pendidikan Jumlah
1. SD /sederajat 2
2. SLTP/sederajat −
3. SMU/sederajat −
Jumlah 2
Sumber : Laporan Potensi Desa, tahun 200538
37 Tabel 4 didapatkan dari Balai Desa Pinggirpapas setempat, pada tanggal 11 Februari 2006 38 Tabel 5 didapatkan dari Balai Desa Pinggirpapas setempat, pada tanggal 11 Februari 2006
Dengan melihat daftar tabel yang tertera dalam tabel 4, dapat di simpulkan kiranya tingkat pendidikan
masyarakat Pinggirpapas cukup mengalami kemajuan. Hal ini dapat di lihat dari daftar tabel 4 yang
menyatakan bahwa jumlah yang berpendidikan setingkat tamat SMP, SMU dan S-1 sebanyak 2327
orang lebih tinggi dari jumlah yang berpendidikan setingkat belum sekolah dan tamat SD sebanyak
2184 orang.
Dari kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak dilandasi iman maka akan goyah,
tetapi ada juga dengan ilmu pengetahuan iman seseorang akan menjadi kuat dan lebih mantap dalam
menghadapi segala cobaan yang datang dari luar maupun dari dalam, dan bila mempunyai ketahanan agama
yang kuat maka ia tidak akan terpengaruh oleh dampak buruk yang datang dari luar.
Adapun hubungannya antara tradisi Nyadar dengan dunia pendidikan terletak pada adnya pesan-pesan
moril yang terkandung dalam buku/ kitab peninggalan Anggasuta, yakni Layang Jati Suara yang berisikan
tentang ajaran untuk selalu berbuat kebajikan terhadap sesama, dan Layang Jati Sampurnaning Sembah.
berisikan tentang ajaran untuk selalu menyembah Allah SWT dengan menjalankan ibadah shalat.
Namun jika dilihat dari segi pendidikan masyarakat Pinggirpapas yang selalu mengikuti tradisi Nyadar,
kebanyakan dari mereka adalah para orang tua yang pendidikannya hanya sampai tingkat Sekolah Dasar.
Akan tetapi ada juga anak mudanya yang hanya sekedar bertujuan untuk meramaikan acara ritual tradisi
Nyadar tersebut.
3. Bidang Ekonomi
Dalam bidang ekonomi penulis membatasi pada masalah mata pencaharian masyarakat Pinggirpapas.
Dari hasil pengamatan dan wawancara yang peneliti lakukan terhadap bidang ekonomi, mata
pencaharian di Desa Pinggirpapas telah ada sedikit perubahan yang terjadi di mana mata pencaharian
masyarakat Pinggirpapas yang awalnya sebagian besar sebagai nelayan dan petani garam, hal ini dapat
dilihat dari hasil produksi tiap tahunnya dari kedua mata pencaharian tersebut. Hasil produksi dari
kinerja para nelayan berupa tangkapan udang sebesar 1 ton tiap tahunnya, ikan mujair sebesar 5 ton tiap
tahunnya, ikan bandeng sebesar 16 ton tiap tahunnya, dan 10.000 ton untuk hasil produksi petani garam.
Kini berubah dengan banyaknya berdiri pemukiman-pemukiman yang mempengaruhi mata pencaharian
mereka..Sekarang banyak yang beralih profesi menjadi pedagang, wiraswasta maupun pegawai negeri.
Perubahan tersebut diakibatkan pola pikir dan perilaku mereka yang berubah untuk menjadi lebih baik
lagi. Berikut ini akan ditunjukkan data mata pencaharian penduduk Desa Pinggirpapas pada tabel 6 :
Tabel 6
Mata Pencaharian Warga Desa Pinggirpapas
No.
Mata Pencaharian Jumlah
1. Pengusaha Garam 69 orang
2. Petani Garam 898 orang
3. Pedagang 213 orang
4. PNS 32 orang
5. Penjahit 21 orang
6. Montir 8 orang
7. Supir 12 orang
8. Karyawan Swasta 17 orang
9. Buruh Swasta 5 orang
10
Nelayan 740 orang
11
Kontraktor 4 orang
Jumlah 2017 orang
Sumber: Laporan Tingkat Perkembangan Desa Pinggirpapas, tahun 200539
Apabila dibandingkan antara tabel 2 dan tabel 6 di atas, di mana pada tabel 2 dikatakan bahwa jumlah
usia produktif sebanyak 2168 orang. Sedangkan pada tabel 6 dikatakan bahwa jumlah populasi menurut
mata pencaharian warga setempat sebanyak 2017 orang yang telah bekerja di berbagai profesi dan
sisanya sebanyak 151 orang adalah pengangguran. Dari data-data tersebut kiranya dapat disimpulkan
bahwa dua mata pencaharian yang banyak digeluti oleh masyarakat Pinggirpapas adalah petani garam
dan nelayan. tetapi dari tingkat keberagamaannya masyarakat Pinggirpapas mengalami lemunduran dan
39 Tabel 6 didapatkan dari Balai Desa Pinggirpapas setempat, pada tanggal 11 Februari 2006
penurunan. Hal ini disebabkan mereka yang sudah mulai lalai dan meninggalkan perintah-perintah
agama karena mereka terlalu sibuk untuk mencari kebutuhan hidup di dunia.
Sehubungan dengan produksi garam sebagai sumber utama masyarakat Pinggirpapas, penghasilan para
pengusaha garam khususnya dapat memberi pengaruh pada tingkat pendidikan anak-anak mereka
sampai ke perguruan tinggi. Bayangkan saja bila para pengusaha garam mendapatkan penghasilan
bersih rata-rata sebesar lebih dari Rp. 20.000.000-25.000.000 dalam sekali panen tiap tahunnya, maka
bila dikalkulasikan pendapatan tiap bulannya bisa mencapai Rp. 2.000.000-2.500.000. Hasil ini
diperoleh dari hasil garam berkualitas bagus. Apabila seorang pengusaha garam mempunyai tambak
garam sebanyak 20 petak, di mana 1 petaknya dapat menghasilkan garam sebanyak 10 ton dan 1 ton
garam berkualitas bagus dihargai sebesar Rp. 200.000-250.000, maka hasil garam dari 20 petak tambak
garam yang ada sebesar Rp. 40.000.000-50.000.000 dalam sekali panen tiap tahunnya. Hasil ini belum
dibagikan kepada para petani garam yang bekerja pada pengusaha garam atau dengan kata lain hasil ini
merupakan pendapatan kotornya. Umumnya petani garam diberikan bagian sebanyak 1/3 bagian dari
total hasil yang diperoleh. Misalkan saja total hasil pendapatan yang diperoleh sebesar Rp. 40.000.000,
maka bagian yang diperoleh oleh petani garam sebesar 10.000.000. hal ini belum dibagikan berapa
jumlah petani garam yang dipekerjakan oleh pengusaha garam. Apabila pengusaha garam tersebut
mempekerjakan petani garam sebanyak 5 orang, maka masing-masing petani garam mendapatkan
bagian sebesar Rp.2.000.000. Hal ini belum ditambahkan dengan usaha lainnya yang dilakukan oleh
para pengusaha garam dan petani garam apabila telah masuk musim penghujan, yakni usaha dalam
tambak perikanan. Baik itu hasilnya berupa ikan bandeng, ikan teri, udang dan lain sebagainya.
4. Bidang Agama
Dalam kenyataannya untuk membuat definisi agama memang tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan
definisi yang diajukan oleh para ahli tersebut sangat ditentukan oleh sudut pandang dari masing-masing
agama dan latar belakangnya. Maka kemudian tidaklah mengherankan jika pada akhirnya timbul
bermacam-macam rumusan atau pengertian agama. Meskipun demikian tidak lantas rumusan atau
pengertian tentang definisi agama itu menjadi tidak perlu, sebab bagaimanapun definisi itu mengandung
suatu makna yang menjiwai hidup keagamaan itu sendiri.
Dalam kamus sosiologi, pengertian agama (religion) mencakup 3 aspek, yakni : Pertama, menyangkut
kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual. Kedua, merupakan seperangkat kepercayaan dan
praktek-praktek spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri. Ketiga, ideologi mengenai hal-hal
yang bersifat supranatural.3
Agama menurut guru besar Al-Azhar Syaikh Muhammad Abdullah Badran, menggambarkan suatu
hubungan antara dua pihak dimana pihak yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada
yang kedua. Dengan demikian agama merupakan hubungan antara makhluk dan Khalik-nya, hubungan
ini kemudian terwujud dalam satu sikap batinnya serta tampak dalam praktek ibadah/ ritual yang
dilakukannya untuk kemudian tercermin pula dalam sikap dan perbuatan dalam kesehariannya.4
Dari uraian singkat diatas dapat disimpulkan secara sederhana bahwa agama merupakan seperangkat
peraturan atau undang-undang yang dapat mengikat manusia untuk dijadikan pedoman dalam hidupnya.
Agama dianut oleh manusia untuk mengatur prikehidupannya di dunia ini agar menjadi teratur dan
selaras, sesuai dengan ajaran-ajaran yang ada dalam agama sehingga tidak terjadi kekacauan.
Kegiatan keagamaan yang ada di Desa Pinggirpapas terlihat tidak menonjol, yang disebabkan sedikitnya
kegiatan keagamaan yang berlangsung di desa ini. Salah satunya adalah Majelis Ta’lim (Pengajian) yang
diadakan secara rutin oleh ibu-ibu setiap malam jumat. Pengajian ibu-ibu ini bernama majelis ta’lim “Nurul
Jannah” yang beranggotakan sekitar 50 orang. Kegiatan ini dilakukan berguna untuk mempererat tali
silaturrahmi dan sebagai sarana interaksi.
Selain kelompok ibu-ibu yang mengadakan pengajian, di desa ini terdapat pula pengajian yang
dilakukan oleh kelompok anak-anak di usia sekolah, yakni anak yang duduk di bangku sekolah dasar.
Kegiatan tersebut dilakukan pada waktu setiap ba’da magrib di langgar/ mushollah yang dekat dengan
rumah mereka. Kegiatan tersebut bertujuan agar mereka dapat membiasakan diri untuk belajar
membaca Al-quran dan menanamkan nilai-nilai agama sejak dini.
Di sini terlihat jelas bahwasannya langgar/ mushollah ataupun masjid sangat berfungsi untuk
berlangsungnya kegiatan keagamaan tersebut. Karena masjid atau mushollah selain digunakan untuk
3 Sarjono Soekanto, Kamus sosiologi, ( Jakarta : CV. Rajawali Press, 1993), h. 430 4 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (Fungsi dan Peran dalam Masyarakat), (Bandung:
Mizan, 1997), h. 210
hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan akhirat, juga dapat digunakan untuk hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan dunia. Salah satunya adalah dapat menambah Ukhuwah Islamiyah
diantara sesama dengan menghadiri kegiatan-kegiatan pengajian yang dilaksanakan di mesjid maupun
di mushollah.
Menurut bapak Harun Rasyid selaku tokoh agama di Desa Pinggirpapas, pengenalan agama sejak dini
sangatlah penting peranannya. Hal ini berhubungan erat dengan fungsi agama sebagai pencegah
masuknya pengaruh yang tidak baik, khususnya di kalangan anak muda.5
Menurut O’dea, agama berfungsi sebagai kontrol sosial, dimana para penganut agama sesuai dengan
ajaran agama yang dipeluknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik secara pribadi maupun
kelompok. Ajaran agama dianggap sebagai norma sehingga agama berfungsi sebagai pengawasan sosial
secara individu atau kelompok. Karena :
1. Agama secara instansi merupakan norma bagi pengikutnya.
2. Agama sebagai dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang bersifat propetis (Kenabian).6
Menurut Emile Durkheim, agama mempunyai fungsi positif bagi integrasi masyarakat, baik pada
tingkat mikro atau tingkat makro. Menurut Durkheim di dalam memahami fungsi agama banyak
peristilahan. Ia mengatakan : ” berbagai peribadatan terlihat memiliki fungsi sosial tertentu, peribadatan
itu berfungsi untuk mengatur dan memperkokoh dan mentrasmisikan berbagai sentimen, dari satu
generasi ke generasi yang lainnya. Sebagai tempat bergantung bagi terbentuknya aturan masyarakat
yang bersangkutan”.7
Dengan berbagai teori di atas, dapat disimpulkan bahwa agama memberikan nilai-nilai, hal ini karena
kerangka acuannya adalah bersumber pada yang sakral dan absolut dengan adanya sanksi-sanksi yang
sakral pula. Ia memiliki kekuatan yang otoritatif dan memaksa, karena di satu sisi manusia berusaha
5 Wawancara Pribadi dengan Bapak Harun Rasyid, “Tokoh Agama”, Pinggirpapas, tanggal 13
Pebruari 2006 6 Thomas F O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal,(Jakarta : CV. Rajawali, 1987), h.52 7 Betty R. Scharf, Kajian Sosiologi Agama, Penterjemah : Machmun Husein, (Yogyakarta : PT.
Tiara Wacana Yogya, 1995), h. 65
untuk mencapai keinginan-keinginan mereka tetapi di sisi lain mereka harus bisa menyesuaikan diri
dengan nilai-nilai tersebut merupakan standar tingkah laku yang ideal membentuk nilai-nilai sosial.8
8 Scharf, Kajian Sosiologi Agama, Penterjemah : Machmun Husein, h. 65
BAB IV
ANALISIS TENTANG TRADISI RITUAL NYADAR
Sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumya, tradisi ritual Nyadar merupakan adat istiadat
masyarakat Pinggirpapas yang kerap dilaksanakan sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil/ panen
garam juga sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasa leluhur mereka, yakni Anggasuto beserta
kerabatnya.
Adapun hubungannya dengan judul yang terdapat dalam bab ini, penulis akan menguraikan
beberapa hal dari hasil penelitian yang telah diperoleh. Hal ini dilakukan guna mendapat kajian isi atau
bahasan secara menyeluruh hingga di dapatkan hasil analisis yang telah penulis lakukan. Oleh karena
itu penulis akan menguraikannya dalam empat pokok pembahasan berikut ini :
A. Sejarah Munculnya Tradisi Ritual Nyadar
Setelah penulis mengadakan penelitian langsung ke lapangan, sebagaimana yang dikisahkan oleh Bapak
Kasa selaku sesepuh dan Ketua Adat di Desa Pinggirpapas, ritual Nyadar itu tidak diketahui pasti tahun
berapa mulai dilaksanakannya tetapi yang jelas Nyadar itu adalah tradisi yang sudah turun temurun
mulai dari nenek moyang hingga sekarang dan sudah seperti menjadi sebuah kewajiban bagi
masyarakat Pinggirpapas untuk melaksanakannya. Namun dari berbagai cerita yang berkembang di
kalangan masyarakat Pinggirpapas, dapat dipastikan bahwa sejarah munculnya tradisi Nyadar
bertepatan dengan ditemukannya garam pertama kali oleh Anggasuto. Pada saat itu Anggasuto
bermunajat atau memohon kepada Allah SWT, agar diberikan petunjuk bagaimana caranya memberikan
sumber kehidupan yang layak bagi rakyatnya. Pada saat itu selain penduduk asli yang tinggal di daerah
Pinggirpapas, terdapat pula para pendatang yakni bekas tentara Bali yang diselamatkan oleh Anggasuto
sebagai akibat adanya kalah berperang melawan kerajaan Sumenep. Pada saat itu kerajaan Sumenep
dipimpin oleh Pangeran Lor dan Pangeran Wetan dari 1562 M-1567 M.1 Dari sini penulis akhirnya
mencoba menyimpulkan bahwa munculnya tradisi Nyadar sekitar abad 16. Hal ini bertepatan dengan
1 RB. Ahmad Rifa’ie Agil, Riwayat Singkat Raja-Raja Sumenep dan Peninggalannya, (Sumenep:
Oktober 2002), h. 4
terjadinya peristiwa perang antara kerajaan Bali dan kerajaan Sumenep yang ditandai dengan upaya
penyelamatan oleh Anggasuto kepada para tentara Bali yang mengalami kekalahan dari pasukan
kerajaan Bali. Dan akhirnya para bekas tentara Bali tersebut mendiami daerah Pinggirpapas dengan
bimbingan seorang Anggasuto.
Menurut bapak Suliman selaku salah satu tokoh pelaksana Nyadar, nama desa Pinggirpapas juga
mempunyai makna historis. Menurut cerita beliau nama Pinggirpapas diambil dari sejarah tentara bali
yang lari terbirit-birit dan hampir jatuh ke pinggir-pinggir atau pesisir pantai. Kata orang Pinggirpapas
menyebutnya dengan istilah “la lare ka penggirna ma tagerpas keya”,yang artinya lari terbirit-birit
sampai akhirnya jatuh ke pinggir-pinggirnya pantai. sehingga disingkat dengan nama “Pinggirpapas”.2
Mengenai ditemukannya garam oleh Anggasuto, banyak versi yang membahasnya. Konon, Anggasuto
menemukan garam pertama kali melalui ilham yang menyuruhnya berjalan-jalan di pesisir pantai
sampai kena air sebatas mata kaki. Seperti halnya kondisi pantai dimanapun, pantai Pinggirpapas
dipenuhi pasir dan sedikit berlumpur. Sehingga apabila permukaan pasir itu diinjak maka akan dijumpai
lubang-lubang bekas injakan kaki itu. Demikian halnya ketika Anggasuto menunaikan perintah bisikan
itu, maka tanah pasir pinggir pantai yang ia lewati terlihat lubang-lubang bekas injakan yang berair.
Akan tetapi, anehnya setelah beberapa hari ia lihat kembali, di dalam lubang-lubang bekas injakan itu
ternyata ada kristal-kristal garam. Maka ia ceritakan kepada keluarganya bahwa ia telah menyaksikan
sebuah kristal-kristal garam dari bekas injakan kakinya di pinggir pantai Pinggirpapas. Dari situlah
kemudian ia mengajak keluarganya untuk memperluas dan memperlebar bekas injakan itu, yang pada
akhirnya menjadi tambak-tambak garam.40
Versi lain menceritakan bahwa pada saat Anggasuto berjalan-jalan di pantai ia menemukan enam buah
kotak yang berisi air laut. Keesokan harinya satu kotak itu mengkristal dan berwarna putih. Hari
berikutnya kotak yang kedua mengkristal pula diikuti oleh kotak yang ketiga sampai hari yang keenam.
Kristal warna putih itu dinamakan buje (garam) oleh Anggasuto. Dari pengalaman tersebut Anggasuto
mencoba membuat talangan bersama-sama rakyatnya. Dia (Anggasuto berkata kalu bulan depan air laut
dalam talangan itu bisa jadi garam, dia akan melakukan tasyakuran. Percobaan Anggasuto itu ternyata
2 Wawancara Pribadi dengan Bapak Suliman, “Tokoh Pelaksana Nyadar”, Pinggirpapas, Tanggal 14 Pebruari 2006 40 Aminuddin Kasdi, dkk, Sejarah Pelopor Garam di Sumenep, (Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, 2003), h. 10-11
berhyasil dan kemudian diikuti oleh adiknya yang pertama, bernama Kuasa yang juga bernazar kalau
bulan depan berikutnya talangan yang ia buat jadi garam, ia akan selamatan bersama-sama dengan
seluruh masyarakat. Adik Anggasuto yang perempuan bernama Indusari, istri dari Embah Bangsa,
seperti saudaranya ia pun bernazar, kalau garam yang ia buat bulan depan jadi, ia akan melaksanakan
nazar di rumah sendiri.41 Merujuk pada uraian ini, maka sebenarnya tradisi Nyadar yang dilakukan oleh
masyarakat Pinggirpapas sama halnya dengan nazar yang mengandung arti janji berbuat sesuatu jika
niatnya tercapai. Namun dalam pengucapannya atau dialek bahasa orang Madura, khususnya
masyarakat Pinggirpapas menyebut tradisi Nazar berubah menjadi Nyadar. Dengan adanya ketiga
peristiwa ini, maka tradisi Nyadar atau Nazar dilaksanakan sebanyak tiga kali oleh masyarakat
Pinggirpapas hingga sat ini, yakni nazar yang dilakukan oleh Embah anggasuto, Embah Kuasa dan Nyai
Indusari (istri Embah Bangsa). Sebagaimana yang telah diceritakan oleh Bapak Mohammad Sadek
selaku Kepala Desa Pinggirpapas melalui hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis.42
Namun di balik berbagai cerita tersebut, sesungguhnya terdapat nilai-nilai histories masyarakat
Pinggirpapas pada awalnya. Hal ini berkaitan dengan terjadinya perang antara Sumenep dan Bali.
Sebagai akibat Raja Bali yang bernama Menakjayengpati tidak mau membayar upeti kepada Sumenep
sebelumnya. Pada waktu itu roda pemerintahan Sumenep dikuasai oleh pangeran Lor dan Pangeran
Wetan (saudara kembar) yang mengalahkan Bali. Akhirnya bala tentara Bali merasa terdesak oleh
kemenangan Sumenep dan mereka melarikan diri ke daerah-daerah terpencil, salah satunya yaitu
Pinggirpapas.Di daerah inilah bala tentara Bali bertemu dengan Anggasutoyang melindungi mereka dari
kejaran pasukan Sumenep. Hingga pada akhirnya Anggasuto mengislamkan mereka.43
Keberadaan bekas tentara Bali ini semakin menambah populasi jumlah penduduk yang ada di
Pinggirpapas. Jumlah penghuni Pinggirpapas yang semakin bertambah membuat Anggasuto berpikir
untuk mencari pemecahan bagaimana mereka (penduduk Pinggirpapas) bisa bertahan hidup bila tanpa
ada mata pencaharian yang memadai. Penduduk Pinggirpapas yang hidup di pesisir itu hanya
mengandalkan hasil tangkapan ikan (pekerjaan nelayan) yang dipandang masih belum mencukupi.
41 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 11-12 42 Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadek, “ kepala Desa Pinggirpapas”, Pinggirpapas, tanggal 10 Februari 2006 43 Iskandar Zulkarnain, dkk, Sejarah Sumenep, (Surabaya: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, 2003), h. 73-75
Anggasuto sebagai seorang yang memiliki kelebihan, terutama dalam ilmu agama termasuk juga
memiliki karamah mencoba memohon kepada Allah SWT, untuk dapat diberi jalan keluar terhadap
persoalan hidup masyarakat Pinggirpapas.44 Dan akhirnya penemuan garam menjadi petunjuk sebagai
tanda awal kemakmuran masyarakat Pinggirpapas sebagaimana yang telah diceritakan sebelumnya.
Mengenai siapakah sebenarnya Anggasuto hingga kini masih dalam perdebatan yang panjang untuk
menemukan kebenarannya. Namun menurut cerita yang berkembang di kalangan masyarakat
Pinggirpapas umumnya dan sesuai dengan literatur yang penulis temukan menyatakan bahwa
Anggasuto sebenarnya adalah Brawijaya V (Raja Majapahit). Beliau melarikan diri ke Madura sesudah
ia ditaklukkan oleh Raden Fatah dari Demak. Sebenarnya dikatakan bahwa Brawijaya mengakui bahwa
agama yang dibawa oleh Raden Fatah itu merupakan suatu kebenaran, tetapi karena Brawijaya seorang
raja, maka ia tidak berani mengakui secara terbuka kebenaran dari agama Islam. Karena ia mengakui
ajaran Islam ia menghilang dari kerajaan Majapahit dan hidup sebagai pertapa di Madura dengan nama
Syeh Anggasuto. Masyarakat setempat menganggap cerita ini benar sebab dahulu seorang utusan dari
kesultanan Yogyakarta mencari sebuah makam yang berundak sebelas. Ternyata dari makam raja-raja
yang ada di Indonesia, hanya yang di desa Kebundadap Sumenep ada yang berbentuk demikian.
Menurut utusan itu, makam ini merupakan makam Raja Majapahit yang telah menghilan yaitu
Brawijaya V.45
Menurut cerita bapak Harun Rasyid selaku tokoh agama di desa ini, ritual Nyadar itu sudah rutin
dilaksanakan setiap tahunnya, hanya saja perbedaannya ritual Nyadar pada jaman dahulu dengan ritual
Nyadar sekarang terdapat sedikit perbedaan. Karena kurangnya pendidikan masyarakat setempat di
jaman dahulu di bidang keagamaan maupun di bidang ilmu pengetahuan, ritual Nyadar pada jaman
dahulu dilaksanakan benar-benar hanya memberikan sesajen saja, berbeda dengan sekarang ritual
Nyadar dilaksanakan dengan dilengkapi doa-doa khusus dan tujuan-tujuan tertentu.46 Hal ini tentunya
tidak terlepas oleh adanya penyebaran agama Islam yang bertepatan dengan dimulainya tradisi Nyadar
pada abad ke 16. Sehingga tradisi kepercayaan nilai-nilai animisme dan dinamisme (budaya Hinduisme)
yang ada sebelumnya, perlahan-lahan mulai diberikan pengaruh nilai-nilai ajaran Islam (adanya proses
Islamisasi).
44 Aminuddin Kasdi, Sejarah Pelopo Garam di Sumenep, h. 9-10 45 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 9 46 Wawancara Pribadi dengan Bapak Harun Rasyid, “Tokoh Agama”, Pinggirpapas, tanggal 13 Februari 2006
Menurut Bapak Kasa salah satu sesepuh sekaligus ketua umum perayaan ritual Nyadar 2006, ritual
Nyadar ini pantang sekali untuk dilanggar atau dilewatkan, walaupun kondisi ekonomi masyarakat
setempat sedang tidak memungkinkan tetapi yang namanya tradisi atau kebudayaan tetap harus
dilaksanakan. Karena menurut beliau di samping untuk mempererat kekerabatan masyarakat
Pinggirpapas mengadakan ritual Nyadar juga mempunyai tujuan untuk melestarikan kebudayaan.47
B. Penetapan Waktu dan Praktik Ritual Nyadar
1. Penetapan Waktu
Pelaksanaan Nyadar dilaksanakan pada perhitungan bintang antara tanggal 21 Maret dan 21 Juni
matahari setiap hari bergeser dari equator menuju ke garis balik utara (23,5 derajat LU). Pada posisi
tersebut Bintang Karteka dan Bintang Nanggele terlihat di arah timur. Posisi ini menandai kedatangan
musim kemarau yang sangat diharapkan, karena semakin panjang musim kemarau semakin beruntung
untuk usaha penggaraman. Kemampuan Anggasuto dalam menentukan musim kemarau ini
menunjukkan bahwa Anggasuto mempunyai kemampuan yang memadai tentang astronomi.48
Upacara adat Nyadar di desa Kebundadap barat Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep merupakan
upacara yang dilaksanakan secara rutin tiga kali dalam setahun :
1. Bulan Juli merupakan Nyadar pertama;
2. Bulan Agustus merupakan Nyadar kedua;
3. Bulan September merupakan Nyadar ketiga.
Dan tanggal pelaksanaannya pun tidak boleh mendahului tanggal 12 Maulid. Hal ini sebagai simbol
bahwa peringatan Maulid Nabi harus didahulukan dan mendapat kedudukan yang lebih utama dari
peringatan apapun juga. Masyarakat Pinggirpapas umumnya menyebut dengan istilah “Maulid Agung”.
Sehingga setelah masyarakat Pinggirpapas memperingati Maulid Agung, maka untuk selanjutnya para
tokoh adat atau pemimpin tradisi Nyadar melakukan acara parembukan (musyawarah) untuk
menentukan pelaksanaan tradisi Nyadar yang ditandai dengan datangnya musim kemarau. Hari yang
47 Wawancara Pribadi dengan Bapak Kasa,”Ketua Adat Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 10 Februari 2006 48 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, Sekilas Mengenal Upacara Adat Nyadar(Nadzar), (Surabaya: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2002), h.1
ditentukan untuk pelaksanaan Upacara Adat Nyadar tersebut adalah Jumat (hari pertama) dan Sabtu
(hari kedua).49
Penentuan tanggal adalah tanggung jawab penghulu. Ia melapor kepada ketua adat dan keputusannya
disahkan dalam upacara perembukan (musyawarah). Tanggal yang dipilih tidak diumumkan, tetapi pada
saat acara perembukan dimulai masyarakat mendengarkan hasil keputusannya secara sembunyi-
sembunyi. Setelah kebenarannya diyakini kemudian disebarkan dari mulut ke mulut.50
2. Praktik Ritual Nyadar
Sebelum penulis membahas tentang praktik ritual Nyadar, terlebih dahulu penulis akan
membahas tentang beberapa persyaratan khusus sebelum diadakannya ritual tradisi Nyadar dan harus
dipatuhi oleh seluruh masyarakat, yaitu:
1. Ritual tradisi Nyadar tidak boleh mendahului tanggal 12 Maulid;
2. Nilai selamatan tidak boleh melebihi nilai selamatan peringatan Maulid nabi Muhammad SAW;
3. Biaya untuk ritual tradisi Nyadar harus halal dan bukan didapat dari berhutang;
4. Hubungan suami istri peserta ritual tradisi Nyadar harus rukun lahir dan bathi;.
5. Peserta Nyadar terlebih dahulu harus mengikuti Maulid Nabi terlebih dahulu. Jika syarat ini
dilanggar akan menyebabkan nasi yang dimasak oleh ibu-ibu tersebut tidak akan masak. Dan jika
hal ini terjadi maka mereka diharapkan segera menghubungi pemimpin adat yang didampingi oleh
seorang penghulu.51
Adapun persiapan tradisi Nyadar diperlukan dua hal pokok yang harus dipersiapkan oleh
masyarakat Pinggirpapas, yakni :
a. Sesajen
Sesajen ini adalah berupa nasi tumpeng yang dimasak pada malam harinya, tepatnya pada jumat
malam sekitar pukul 19.00 WIB oleh warga setempat. Setelah nasi tumpeng tersebut matang, nasi
49 Wawancara Pribadi dengan Bapak Harun Rasyid, “Tokoh Adat Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 13 Februari 2006 50 Wawancara Pribadi dengan Bapak Kasa, “Tokoh Adat Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 10 Februari 2006 51 Departemen Pariwsata dan Kebudayaan, Sekilas MengenalUpacara Adat Nyadar, h. 3
tumpeng tersebut di taruh di atas panjeng.52 Panjeng adalah sebuah piring besar tempat meletakkan
nasi yang dihiasi dengan telur dadar yang diiris kecil-kecil diatasnya. Setelah hiasan selesai nasi diberi
alas talam besar yang ditutup oleh tanggik.53 Selanjutnya nasi tersebut diletakkan di sekitar komplek
pemakaman Anggasuto.
Selain nasi tumpeng tersebut, juga ada lima nasi tumpeng yang diletakkan di dalam piring. Piring
yang ditempatkan di tengah diberi telur dadar yang utuh dan di dalam tumpeng diletakkan sebutir telur
rebus. Hal ini merupakan perwujudan dari alam yang meliputi tiga dimensi, yakni alam bawah, alam
atas dan alam antara. Alam bawah adalah alam yang suci dan merupakan zat murni dari keseluruhan.
Alam atas adalah kesempurnaan yang abadi dan penuh kedamaian. Alam antara adalah dunia yang
penuh dengan nafsu. Anggapan ini mencerminkan ajaran-ajaran sufisme yang juga berpendirian bahwa
hanya orang yang suci dapat mendekati Tuhan Yang Maha Suci dan mencapai kesucian diri
memerlukan waktu dan usaha.54 Dan Empat piring yang lain diberi telur dadar yang diiris-iris kecil-
kecil. Keempat tumpeng yang lain merupakan perwujudan dari kekuatan alam dunia. Menurut seorang
informan kekuatan itu berasal dari Allah SWT yang dibantu oleh malikat Jibril, israfil, Israil dan
Mikail. Begitu pula Nabi Muhammad yang dalam perjuangannya didampingi oleh keempat
sahabatnya.55
Setelah selesai upacara sebagian tumpeng tersebut dimakan dan dibagikan kepada keluarga atau
orang-orang yang tidak mampu. Sebagian dari tumpeng yang dimakan, disisakan untuk dijadikan
karak.56
b.Tajin (Bubur)
Tajin atau bubur ini terdiri atas lima warna yaitu putih, merah, hijau, hitam dan kuning. Tajin
putih diletakkan di tengah sebagai lambang dari serba bersih. Namun, manusia itu lahir akan dipenuhi
oleh segala nafsu yang dilambangkan oleh warna merah. Nafsu itu bisa dikendalikan dengan
52 Panjeng adalah sebuah piring besar yang terbuat dari tanah liat dan besarnya mirip dengan talam (alas besar untuk menaruh makanan diatasnya. 53 Tanggik adalah sebuah alat tutupnya panjeng yang terbuat dari anyaman daun lontar. 54 Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadin, “Juru Doa Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 15 Februari 2006 55 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 26 56 Karak di sini adalah sisa nasi tumpeng yang dikeringkan kemudian dicampurkan dengan nasi yang di masak setiap harinya, guna memindahkan berkahnya dari hasil tradisi Nyadar yang telah dilakukan masyarakat pinngirpapas umumnya.
kesabaran dan kebenaran yang diwakili oleh warna hijau. Bahwa manusia selalu digoda disimbolkan
dengan warna hitam, tetapi walaupun begitu manusia dapat membedakan baik dan buruk yang
ditandai dengan warna kuning.
Dalam mewarnai tajin (bubur) ini, penggunaan zat pewarna dianggap merendahkan martabat
seseorang. Warna yang digunakan harus bersifat alami, warna merah dari jagung, warna hijau dari
kacang hijau, warna hitam dari ketan hitam dan kuning dari kacang hijau kuning. Keempat warna itu
akan selalu mempengaruhi kebersihan warna putih yang berada di tengah, hijau dan kuning
menjaganya, sedangkan merah dan hitam merusaknya.57 Kelima warna ini lebih berhubungan dengan
pasangan, yakni yang pokok dari tiap tajin (bubur) tersebut adalah bahwa pasangannya tidak boleh
berubah. Merah pasti berpasangan dengan hijau, sedangkan warna hitam selalu berpasangan dengan
warna kuning. Dan warna putih adalah nilai dasar dari alam itu sendiri.58
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa ritual nyadar ini dilakukan dalam tiga tahap
dalam satu tahun yaitu pada bulan Juli, Agustus dan September sesuai dengan pergeseran bintang
yang ditandai dengan datangnya musim kemarau.
a. Nyadar Pertama
1. Kegiatan Hari Jumat (Hari Pertama)
Kegiatan pada hari Jumat merupakan kegiatan Nyekar (ziarah ke komplek pemakaman
Anggasuto) dilakukan pada pukul 16.00 WIB dengan melewati dua jalur; kepala suku dan
perangkatnya berjalan kaki begitu pula dengan warga Pinggirpapas atau sekitarnya.
Setelah semua kelompok berdasarkan empat tokoh yang mereka kultuskan tersebut sampai di
desa Kebundadap, kaum wanitanya mempersiapkan tungku dan bahan-bahan yang akan dimasak pada
malam harinya. Saat itu pula masing-masing anggota masyarakat menyerahkan bunga dan bedak
kepada penghulu untuk dikumpulkan. Kemudian antara bunga dan bedak tersebut dipisahkan.
Bunganya dibawa ke pemakaman untuk ditabur oleh istri-istri penghulu, sesuai dengan masing-
masing kelompok. Misalnya dari kelompok keturunan Anggasuto di tabur ke makam Anggasuto dan
begitu pun yang lainnya. Penaburan bunga ini diiringi dengan pembakaran kemenyan.
57 Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadin, “Juru Doa Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 15 Februari 2006 58 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 28
Kemudian seorang tokoh agama yakni bapak Harun Rasyid, memimpin pembacaan tahlil.
Beberapa saat selanjutnya kembang yang telah dijadikan satu itu diberikan pada peserta untuk
kemudian diletakkan di atas makam. Diyakini bahwa siapa yang paling dulu meletakkan bunga
tersebut, maka hajat orang itu akan cepat terkabul. Bagi peserta ritual yang telah selesai menaburkan
bunga, maka diberi bedak yang telah dicampur air di belakang telnga atau di dahinya. Hal ini untuk
menandai bahwa mereka selesai mengikuti upacara dan mereka dari gangguan makhluk halus.
Setelah penaburan bunga selesai warga kembali pada kelompok masing-masing dan suami istri
mulai mempersiapkan sarana untuk memasak. Baru setelah pukul 19.00 mereka memulai untuk
memasak diyakini juga bahwa itu dapat menghindarkan. Sekitar tengah malam nasi masak dan
dipindahkan ke tikar untuk didinginkan selanjutnya para suami menatanya di panjeng (semacam
piring besar) dan kelengkapannya dalam bentuk tumpeng yang dihiasi dengan telur dadar, ayam
goreng dan ikan bandeng.
2. Kegiatan Hari Sabtu
Keesokan harinya (Sabtu) merupakan tahapan kedua yang disebut Upacara Kaoman. Pada
sekitar pukul 07.00 WIB tumpeng diletakkan di sekitar atau di bawah pohon asem keramat sesuai
dengan kelompok masing-masing. Para penghulu kemudian menghitung panjeng menggunakan ilmu
kanoragan.59 Hal ini dilakukan untuk mengetahui siapa yang tidak hadir atau melakukan upacara adat
Nyadar di rumahnya. Setelah melaporkan kegiatan ini pada pimpinan kemudian pimpinan membawa
Kinangan (tempat sirih) dan diletakkan di depan tempat dia duduk. Selanjutnya mulailah pembacaan
doa dipimpin oleh seorang penghulu yang di sebut “Juru Doa” yakni bapak Mohammad Sadin.
Setelah pembacaan doa selesai sebagian nasi di dalam panjeng dimakan. Sisa nasi dan lauknya dibawa
pulang dan diberikan kepada warga yang tidak mampu. Sisa nasi yang dibawa pulang tersebut
dikeringkan untuk dijadikan kerak dan dicampurkan sedikit demi sedikit pada nasi setiap kali masak
dengan maksud untuk memindahkan barokahnya ke nasi yang dimakan setiap hari.
b. Nyadar Kedua
Upacara adat Nyadar yang kedua dilaksanakan satu bulan setelah yang pertama, dan bentuk
upacaranya tidak jauh berbeda dari yang dilakukan pada upacara pertama. Hanya dalam Upacara
adat Nyadar yang kedua ini semua senjata milik anggasuto dikeluarkan dari pasarean (tempat 59 Kanoragan adalah ilmu yang bersifat mistis dan hanya dimiliki oleh seorang penghulu/ Racok Saebu dalam menjalani tugasnya khususnya menghitung panjeng yang ada dalam pelaksanaan tradisi Nyadar.
tinggal) Anggasuto. Hal ini dilakukan bahwa penghormatan terhadap Anggasuto tidak terbatas pada
orangnya saja. Senjatanyapun dihormati karena masyarakat Pinggirpapas umumnya merasa bahwa
senjata itu mampu melindungi mereka dari kekacauan besar yang sewaktu-waktu melanda tanah
leluhur mereka.60 Adapun senjata tersebut terdiri dari abinan (keris) dan kodik perangsang yang
diambil oleh juru doa pada hari sabtu sebelum subuh, hal ini dilakukan karena diyakini jika diambil
sesudah subuh maka keampuhannya berkurang. Kedua senjata tersebut dibawa ke pintu gerbang
komplek pemakaman untuk tetap menjaga keampuhannya. Dan setelah dibacakan doa maka senjata
tersebut dikembalikan ke tempatnya semula.
c. Nyadar Ketiga
Upacara adat nyadar ketiga dilakukan satu bulan kemudian, dengan persyaratan sama dengan
Upacara adat Nyadar pertama dan kedua. Adat Nyadar ketiga dilaksanakan di pasarean (rumah atau
tempat tinggal) keempat tokoh yang dikultuskan.
Dalam Upacara adat nyadar ketiga ini Layang Jati Sampurnaning Sembah dan Layang Jati Suara,
dibaca serentak di tiap-tiap pasarean dipimpin oleh dua orang, satu orang membaca dan yang lain
mengartikan maknanya. Kegiatan ini dilakukan malam hari sampai menjelang subuh dan seluruh
warga duduk dengan tertib mendengarkan isi dan makna itu.
Layang Jati Sampurnaning Sembah dan Layang Jati Suara yang dituliskan pada daun lontar
dipandang sebagai satu pengetahuan yang dijadikan pedoman oleh Anggasuto dalam berprilaku dan
bertindak sebagai seorang hamba Allah. Menurut bapak Mohammad Sadin selaku juru doa pada
pelaksanaan tradisi Nyadar yang disebut upacara Kaoman, Layang Jati Sampurnaning Sembah berisi
tentang ajaran untuk selalu menyembah Allah SWT yakni dengan mendirikan shalat. Sedangkan
Layang Jati Suara berisikan tentang amalan-amalan untuk selalu berbuat baik kepada sesama
manusia dan selalu melakukan perintah-Nya dan menjauhi Larangan-Nya.61
Setelah Layang selesai dibaca, juru baca menyatakan kepada penghulu dan ia memberitahukan
kepada ketua adat bahwa pembacaan selesai. Upacara adat Nydar ketiga ini terlihat lebih
60 Wawancara Pribadi dengan Bapak ahmad Rizal, “Tokoh Masyarakat”, Pinggirpapas, tanggal 18 Februari 2006 61 Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadin, “Juru Doa Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 15 Februari 2006
memfokuskan pada pesan-pesan rohani yang perlu diketahui dan dipahami oleh masyarakat yang
cenderung melaksanakan pesan-pesan tersebut.
C. Struktur Kepemimpinan dalam Ritual Tradisi Nyadar.
Kepemimpinan upacara Nyadar diatur berdasarkan keturunan keempat tokoh yang dikultuskan.
Keempat pemimpin ini mengangkat keturunan dari embah Kuasa sebagai pemimpin utama. Beliau
diangkat sebagai pemegang keputusan apabila sesuatu hal terjadi. Walaupun begitu, ini tidak berarti
bahwa beliau memiliki kekuasaan mutlak. Tiap keputusan yang diambil tetap dibicarakan dengan
pemimpin lain. Hanya keturunan embah Kuasa mematukkan palu mengesahkan keputusan itu. Dan
kedudukan pemimpin utam dalam tradisi Nyadar saat ini adalah embah Kasa (keturunan dari embah
Kuasa). Dan sebagai wakilnya adalah Bapak Masriyani yang merupakan keturunan dari Anggasuto
Keempat pemimpin itu dibantu oleh empat orang penghulu. Atau yang dikenal dengan sebutan
Racok Saebu.62 Jabatan penghulu juga berdasarkan keturunan, tetapi apabila salah satu penghulu tidak
memiliki keturunan, seorang keluarga dicari melalui persetujuaan dari keempat pemimpin. Penghulu
baru dianggap sah apabila sudah dilantik oleh pemimpin utama. Penghulu dilantik setelah upacara
Nyadar. Jarak antara waktu pengangkatan dan pelantikan minimal satu tahun. Dalam waktu ini
kemampuan calon penghulu diuji, meliputi kemampuan dalam mengendalikan dan mengkoordinasikan
warga serta pengujian mental yang meliputi kejujuran dan loyalitasnya terhadap pemimpin adat. Dan
kalau ia memenuhi syarat ia dilantik.63 Adapun para tokoh Racok Saebu ini adalah Bapak Sumatra
keturunan dari embah Anggasuto, Bapak Sinabar keturunan dari embah Kasa, Bapak Razak keturunan
dari Indusari, dan Bapak Karim keturunan dari embah Dukun.
Adapun tokoh yang selalu memimpin pembacaan doa dalam tradisi Nyadar terbagi atas dua,
yakni: pemimpin doa pada hari Jumat adalah Bapak Harun Rasyid (ditunjuk oleh masyarakat) dan
pemimpin doa padahari Sabtu (Upacara Kaoman) adalah Bapak Mohammad Sadin. Sedangkan para
tokoh yang bertugas menyiapkan perlengkapan ritual adalah sebagai berikut:
62 Racok Saebu adalah seorang penghulu atau jabatan dalam tradisi Nyadar yang memakai pakaian khusus seperti pakaian para penari kecak (pakaian seribu warna) di Bali. 63 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumatra, “Tokoh Pelaksana Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 17 Februari 2006
1. Bapak Sunarto keturunan dari embah Kuasa, yang bertugas membakar kemenyan sebelum pelaksanaan
tradisi Nyadar.
2. Bapak Suliman keturunan dari embah Kuasa, yang bertugas membakar kemenyan sebelum doa
dibacakan.
3. Bapak Hasan, Ibu Sumabiya, Bapak Jamal, dan Bapak Jurasmi keturunan dari Indusari, yang bertugas
membawa kembang sebagai perlengkapan ziarah.
4. Bapak Ibrahim dan Misradin keturunan dari embah Dukun, yang bertugas membawa kotak ziarah.
5. Bapak Jatim dan Bapak Hatijah keturunan dari embah Dukun, yang bertugas membawa bedak sebagai
perlengkapan ziarah.
Dan Bapak Kadir selaku juru kunci pemakaman juga membantu persiapan Nyadar. Ia juga
diangkat berdasarkan kemufakatan keempat pemimpin dan penghulu. Untuk juru kunci dimbil
seseorang yang bertempat tinggal dekat dengan pemakaman dan masih keturunan waraga Pinggirpapas.
Tugasnya selain menyiapkan tempat Nyadar adalah mengawasi pemakaman dan merawatnya. Ia digaji
pada saat upacara Nyadar dan kadang kala ada peziarah yang juga memberi sedikit uang, tetapi ia tidak
pernah meminta imbalan dari mereka.64
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan antara tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh
masyarakat di sini adalah terletak pada peranannya dalam kehidupan sosial masyarakat setempat yakni
masyarakat Pinggirpapas. Dimana Tokoh agama berperan sebagai seorang tokoh yang berperan dalam
mengajarkan ilmu agamanya kepada masyarakat, baik guru ngaji ataupun seseorang yang mempunyai
gelar haji atau kyai. Dan tokoh masyarakat adalah seseorang yang mempunyai kedudukan dan peranan
penting dalam kehidupan sosial masyarakat setempat, baik itu pejabat desa ataupun seseorang yang
disegani karena kedudukannya yang tinggi dalam bidang ekonomi. Sedangkan yang dimaksud dengan
kriteria seorang tokoh adat adalah berdasarkan peranannya dalam bidang adat-istiadat yang ada dalam
64 Wawancara Pribadi dengan Bapak Ahmad Rizal, “Tokoh Masyarakat”, Pinggirpapas, tanggal 18 Februari 2006
komunitas sosial tertentu. Baik itu Ketua adat, wakilnya atupun para anggota adat lainnya. Pemerintah
sama sekali tidak terlibat dalam pengangkatan pemimpin, penghulu maupun juru doa.
D. Dampak atau Pengaruh Tradisi Nyadar Dalam Kehidupan Masyarakat Pinggirpapas
Dalam melaksanakan tradisi Nyadar bagi masyarakat Pinggirpapas sebenarnya tidak ada
tujuan-tujuan tertentu yang lebih spesifik. Bagi para petani garam khususnya, dengan mengikuti ritual
tradisi Nyadar mempunyai manfaat bahwasannya mereka akan selalu ingat atas nikmat Allah SWT
yakni hasil panen garam khususnya yang telah diberikan kepada mereka. Dengan demikian ritual tradisi
Nyadar ini tidak lebih adalah untuk menyatakan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan
rizki dan memohon untuk dilipat gandakan pendapatan mereka lewat hasil garam itu untuk tahun yang
akan datang.
Pengikut ritual tradisi Nyadar ini boleh dilakukan oleh semua kalangan dan warga dari desa
lainnya. Baik itu memang warga yang bertempat tinggal di desa atau wilayah lain maupun warga yang
bertempat tinggal di desa lain tetapi asli orang Pinggirpapas atau mempunyai garis keturunan orang
Pinggirpapas. Bahkan dari kalangan aparat pemerintahan sampai tokoh agama pun sepakat untuk
mengikuti upacara ritual Nyadar. Ritual Nyadar ini pun sudah diakui secara jelas bahwa ritual Nyadar
adalah acara formal yang sudah terdaftar di Desa yang harus dilaksanakan setiap tahun.
Ritual tradisi Nyadar selain memberi manfaat terhadap masyarakat Pinggirpapas untuk
menambah rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa juga memberikan pengaruh diantaranya sebagai
berikut :
1. Dalam bidang sosial, tradisi Nyadar memberikan pengaruh pada adanya ikatan sosial yang terjalin
antar warga desa Pinggirpapas dan sekitarnya. Secara Sosiologis menurut fitrahnya manusia adalah
makhluk yang suka hidup berkelompok dengan pengertian bahwa manusia dalam hidupnya senantiasa
memerlukan bantuan orang lain. Untuk itulah kemudian manusia selain sebagai makhluk individu,
manusia juga makhluk sosial. Terdorong oleh kedudukannya yang kodrati sebagai makhluk sosial
maka manusia tidak dapat hidup seorang diri. Dimanapun manusia berada dia pasti memerlukan orang
lain. Durkheim menyebutnya dengan istilah solidaritas sosial, yang terbagi atas solidaritas mekanik
dan solidaritas organik. Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanikadalah bahwa solidaritas itu
didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentiment, dan sebagainya.
Homogenitas serupa itu hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim. Berlawanan
dengan itu, solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu
didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah
sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan.65
Secara terminologi kata “solidaritas” berasal dari bahasa latin “solidus”. Kata ini di pakai dalam
sistem sosial yang berhubungan dengan integritas kemasyarakatan melalui kerjasama dan keterlibatan
yang satu dengan yang lainnya. Bentuk dari solidaritas dalam kehidupan masyarakat berimplikasi
pada kekompakan dan keterikatan dari bagian-bagian yang ada. Dalam istilah Romawi dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan solidaritas adalah semua untuk masing-masing dan masing-masing
untuk semua.
Sebagaimana yang terdapat pada tradisi Nyadar, baik dimulai dari acara parembukan
(musyawarah) untuk menetapkan waktu pelaksanaan Nyadar, pembagian tugas oleh masing-masing
tokoh pelaksana Nyadar ataupun peran ikut serta masyarakat Pinggirpapas dalam tradisi Nyadar,
semuanya ini menuntut adanya solidaritas sosial yang utuh dan kuat di antara para tokoh adat
setempat dan warga desa Pinggirpapas umumnya. Sehingga hal ini akan meminimalisir terjadinya
konflik atau pertentangan antar individu. Konflik terjadi sebagai akibat adanya perbedaan paham dan
kepentingan yang sangat mendasar, sehingga menimbulkan adanya jurang pemisah yang mengganjal
interaksi sosial di antara mereka yang bertikai tersebut.
2. Dalam bidang pendidikan, tradisi Nyadar memberikan pengaruh yang cukup penting dalam
perkembangan pendidikan masyarakat Pinggirpapas. Khususnya bagi anak-anak dari pengusaha garam
yang rata-rata mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya ke Perguruan Tinggi hingga menjadi Sarjana.
Hal ini tentunya tidak terlepas dari pendapatan bersih rata-rata para pengusaha garam yang mencapai
lebih dari 20 juta/tahunnya. Selain itu mereka memiliki usaha sambilan yang mengandalkan pada
keadaan cuaca juga, yakni apabila musim penghujan tiba maka para pengusaha garam beralih kepada
usaha atau mengandalkan mata pencaharian tambak ikan, seperti hasil ikan bandeng, ikan teri dan
udang.
3. Dalam bidang ekonomi, tradisi Nyadar berpengaruh pada pendapatan ekonomi dalam usaha
penggaraman masyarakat setempat yakni masyarakat Pinggirpapas. Umumnya kesejahteraan yang di
dapat dari hasil usaha garam itu lebih banyak dirasakan peranannya bagi keluarga pengusaha garam
65 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Penerjemah Robert M.Z Lawang, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1990), h. 183
dibandingkan para petani garamnya. Bayangkan saja apabila para pengusaha garam memiliki tambak-
tambak garam umumnya 20 petak, di mana 1 petaknya dapat menghasilkan garam sebanyak 10 ton dan
1 ton garam berkualitas bagus dihargai Rp. 200.000-250.000. Dengan demikian dapat disimpulkan
kiranya bahwa penghasilan pengusaha garam itu sekitar Rp. 2.000.000-2.500.000/ petaknya. Berarti
apabila pengusaha garam tersebut mempunyai tambak garam sebanyak 20 petak, maka penghasilan
seluruhnya yang di peroleh adalah Rp. 40.000.000-50.000.000 dalam sekali panen tiap tahunnya.
Sedangkan penghasilan ini masih di sebut dengan penghasilan kotor. Karena penghasilan ini masih
perlu diadakan pembagian pendapatan antara pengusaha garam dengan petani garam. Dan umumya
pembagian pendapatan ini didasarkan pada kesepakatan yang terjadi antara kedua belah pihak, dimana
pengusaha garam mendapatkan bagian yang lebih besar karena sebagai pemilik modal. Sedangkan
petani garam mendapatkan bagian yang lebih kecil karena sifatnya hanya sebagai pekerja/ buruh,
biasanya mereka mendapatkan bagian sebanyak 1/3 bagian dari total pendapatan yang diperoleh.
4. Dalam bidang agama, tradisi Nyadar memberi pengaruh pada kehidupan kerukunan
umat khususnya masyarakat Pinggirpapas yang beragama Islam. Dimana Islam
mengajarkan untuk saling tolong-menolong dan memupuk rasa persaudaraan antar
sesamanya. Dengan demikian bisa kita lihat arti dari kerukunan yang menurut Mulder,
kata “rukun” adalah berada dalam keadaan selaras, tenang, dan tetram tanpa
perselisihan dan pertentangan, bersatu untuk saling membantu satu sama lainnya.
Kerukunan dalam konteks Mulder, bisa diartikan sebagai sikap toleransi dimana sikap
dasar yang memungkinkan sebuah agama berdampingan dengan agama lain ataupun
memberikan keleluasaan terhadap kelompok lain.66
5. Dalam bidang budaya, tradisi Nyadar berpengaruh sebagai objek wisata yang
dikagumi oleh para wisatawan asing atau para turis.
66 Miels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986), h.39
BAB IV
ANALISIS TENTANG TRADISI RITUAL NYADAR
Sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumya, tradisi ritual Nyadar merupakan adat istiadat
masyarakat Pinggirpapas yang kerap dilaksanakan sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil/ panen
garam juga sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasa leluhur mereka, yakni Anggasuto beserta
kerabatnya.
Adapun hubungannya dengan judul yang terdapat dalam bab ini, penulis akan menguraikan
beberapa hal dari hasil penelitian yang telah diperoleh. Hal ini dilakukan guna mendapat kajian isi atau
bahasan secara menyeluruh hingga di dapatkan hasil analisis yang telah penulis lakukan. Oleh karena
itu penulis akan menguraikannya dalam empat pokok pembahasan berikut ini :
B. Sejarah Munculnya Tradisi Ritual Nyadar
Setelah penulis mengadakan penelitian langsung ke lapangan, sebagaimana yang dikisahkan oleh Bapak
Kasa selaku sesepuh dan Ketua Adat di Desa Pinggirpapas, ritual Nyadar itu tidak diketahui pasti tahun
berapa mulai dilaksanakannya tetapi yang jelas Nyadar itu adalah tradisi yang sudah turun temurun
mulai dari nenek moyang hingga sekarang dan sudah seperti menjadi sebuah kewajiban bagi
masyarakat Pinggirpapas untuk melaksanakannya. Namun dari berbagai cerita yang berkembang di
kalangan masyarakat Pinggirpapas, dapat dipastikan bahwa sejarah munculnya tradisi Nyadar
bertepatan dengan ditemukannya garam pertama kali oleh Anggasuto. Pada saat itu Anggasuto
bermunajat atau memohon kepada Allah SWT, agar diberikan petunjuk bagaimana caranya memberikan
sumber kehidupan yang layak bagi rakyatnya. Pada saat itu selain penduduk asli yang tinggal di daerah
Pinggirpapas, terdapat pula para pendatang yakni bekas tentara Bali yang diselamatkan oleh Anggasuto
sebagai akibat adanya kalah berperang melawan kerajaan Sumenep. Pada saat itu kerajaan Sumenep
dipimpin oleh Pangeran Lor dan Pangeran Wetan dari 1562 M-1567 M.1 Dari sini penulis akhirnya
1 RB. Ahmad Rifa’ie Agil, Riwayat Singkat Raja-Raja Sumenep dan Peninggalannya, (Sumenep:
Oktober 2002), h. 4
mencoba menyimpulkan bahwa munculnya tradisi Nyadar sekitar abad 16. Hal ini bertepatan dengan
terjadinya peristiwa perang antara kerajaan Bali dan kerajaan Sumenep yang ditandai dengan upaya
penyelamatan oleh Anggasuto kepada para tentara Bali yang mengalami kekalahan dari pasukan
kerajaan Bali. Dan akhirnya para bekas tentara Bali tersebut mendiami daerah Pinggirpapas dengan
bimbingan seorang Anggasuto.
Menurut bapak Suliman selaku salah satu tokoh pelaksana Nyadar, nama desa Pinggirpapas juga
mempunyai makna historis. Menurut cerita beliau nama Pinggirpapas diambil dari sejarah tentara bali
yang lari terbirit-birit dan hampir jatuh ke pinggir-pinggir atau pesisir pantai. Kata orang Pinggirpapas
menyebutnya dengan istilah “la lare ka penggirna ma tagerpas keya”,yang artinya lari terbirit-birit
sampai akhirnya jatuh ke pinggir-pinggirnya pantai. sehingga disingkat dengan nama “Pinggirpapas”.2
Mengenai ditemukannya garam oleh Anggasuto, banyak versi yang membahasnya. Konon, Anggasuto
menemukan garam pertama kali melalui ilham yang menyuruhnya berjalan-jalan di pesisir pantai
sampai kena air sebatas mata kaki. Seperti halnya kondisi pantai dimanapun, pantai Pinggirpapas
dipenuhi pasir dan sedikit berlumpur. Sehingga apabila permukaan pasir itu diinjak maka akan dijumpai
lubang-lubang bekas injakan kaki itu. Demikian halnya ketika Anggasuto menunaikan perintah bisikan
itu, maka tanah pasir pinggir pantai yang ia lewati terlihat lubang-lubang bekas injakan yang berair.
Akan tetapi, anehnya setelah beberapa hari ia lihat kembali, di dalam lubang-lubang bekas injakan itu
ternyata ada kristal-kristal garam. Maka ia ceritakan kepada keluarganya bahwa ia telah menyaksikan
sebuah kristal-kristal garam dari bekas injakan kakinya di pinggir pantai Pinggirpapas. Dari situlah
kemudian ia mengajak keluarganya untuk memperluas dan memperlebar bekas injakan itu, yang pada
akhirnya menjadi tambak-tambak garam.67
Versi lain menceritakan bahwa pada saat Anggasuto berjalan-jalan di pantai ia menemukan enam buah
kotak yang berisi air laut. Keesokan harinya satu kotak itu mengkristal dan berwarna putih. Hari
berikutnya kotak yang kedua mengkristal pula diikuti oleh kotak yang ketiga sampai hari yang keenam.
Kristal warna putih itu dinamakan buje (garam) oleh Anggasuto. Dari pengalaman tersebut Anggasuto
mencoba membuat talangan bersama-sama rakyatnya. Dia (Anggasuto berkata kalu bulan depan air laut
2 Wawancara Pribadi dengan Bapak Suliman, “Tokoh Pelaksana Nyadar”, Pinggirpapas, Tanggal 14
Pebruari 2006 67 Aminuddin Kasdi, dkk, Sejarah Pelopor Garam di Sumenep, (Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, 2003), h. 10-11
dalam talangan itu bisa jadi garam, dia akan melakukan tasyakuran. Percobaan Anggasuto itu ternyata
berhyasil dan kemudian diikuti oleh adiknya yang pertama, bernama Kuasa yang juga bernazar kalau
bulan depan berikutnya talangan yang ia buat jadi garam, ia akan selamatan bersama-sama dengan
seluruh masyarakat. Adik Anggasuto yang perempuan bernama Indusari, istri dari Embah Bangsa,
seperti saudaranya ia pun bernazar, kalau garam yang ia buat bulan depan jadi, ia akan melaksanakan
nazar di rumah sendiri.68 Merujuk pada uraian ini, maka sebenarnya tradisi Nyadar yang dilakukan oleh
masyarakat Pinggirpapas sama halnya dengan nazar yang mengandung arti janji berbuat sesuatu jika
niatnya tercapai. Namun dalam pengucapannya atau dialek bahasa orang Madura, khususnya
masyarakat Pinggirpapas menyebut tradisi Nazar berubah menjadi Nyadar. Dengan adanya ketiga
peristiwa ini, maka tradisi Nyadar atau Nazar dilaksanakan sebanyak tiga kali oleh masyarakat
Pinggirpapas hingga sat ini, yakni nazar yang dilakukan oleh Embah anggasuto, Embah Kuasa dan Nyai
Indusari (istri Embah Bangsa). Sebagaimana yang telah diceritakan oleh Bapak Mohammad Sadek
selaku Kepala Desa Pinggirpapas melalui hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis.69
Namun di balik berbagai cerita tersebut, sesungguhnya terdapat nilai-nilai histories masyarakat
Pinggirpapas pada awalnya. Hal ini berkaitan dengan terjadinya perang antara Sumenep dan Bali.
Sebagai akibat Raja Bali yang bernama Menakjayengpati tidak mau membayar upeti kepada Sumenep
sebelumnya. Pada waktu itu roda pemerintahan Sumenep dikuasai oleh pangeran Lor dan Pangeran
Wetan (saudara kembar) yang mengalahkan Bali. Akhirnya bala tentara Bali merasa terdesak oleh
kemenangan Sumenep dan mereka melarikan diri ke daerah-daerah terpencil, salah satunya yaitu
Pinggirpapas.Di daerah inilah bala tentara Bali bertemu dengan Anggasutoyang melindungi mereka dari
kejaran pasukan Sumenep. Hingga pada akhirnya Anggasuto mengislamkan mereka.70
Keberadaan bekas tentara Bali ini semakin menambah populasi jumlah penduduk yang ada di
Pinggirpapas. Jumlah penghuni Pinggirpapas yang semakin bertambah membuat Anggasuto berpikir
untuk mencari pemecahan bagaimana mereka (penduduk Pinggirpapas) bisa bertahan hidup bila tanpa
ada mata pencaharian yang memadai. Penduduk Pinggirpapas yang hidup di pesisir itu hanya
68 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 11-12 69 Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadek, “ kepala Desa Pinggirpapas”, Pinggirpapas, tanggal 10 Februari 2006 70 Iskandar Zulkarnain, dkk, Sejarah Sumenep, (Surabaya: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, 2003), h. 73-75
mengandalkan hasil tangkapan ikan (pekerjaan nelayan) yang dipandang masih belum mencukupi.
Anggasuto sebagai seorang yang memiliki kelebihan, terutama dalam ilmu agama termasuk juga
memiliki karamah mencoba memohon kepada Allah SWT, untuk dapat diberi jalan keluar terhadap
persoalan hidup masyarakat Pinggirpapas.71 Dan akhirnya penemuan garam menjadi petunjuk sebagai
tanda awal kemakmuran masyarakat Pinggirpapas sebagaimana yang telah diceritakan sebelumnya.
Mengenai siapakah sebenarnya Anggasuto hingga kini masih dalam perdebatan yang panjang untuk
menemukan kebenarannya. Namun menurut cerita yang berkembang di kalangan masyarakat
Pinggirpapas umumnya dan sesuai dengan literatur yang penulis temukan menyatakan bahwa
Anggasuto sebenarnya adalah Brawijaya V (Raja Majapahit). Beliau melarikan diri ke Madura sesudah
ia ditaklukkan oleh Raden Fatah dari Demak. Sebenarnya dikatakan bahwa Brawijaya mengakui bahwa
agama yang dibawa oleh Raden Fatah itu merupakan suatu kebenaran, tetapi karena Brawijaya seorang
raja, maka ia tidak berani mengakui secara terbuka kebenaran dari agama Islam. Karena ia mengakui
ajaran Islam ia menghilang dari kerajaan Majapahit dan hidup sebagai pertapa di Madura dengan nama
Syeh Anggasuto. Masyarakat setempat menganggap cerita ini benar sebab dahulu seorang utusan dari
kesultanan Yogyakarta mencari sebuah makam yang berundak sebelas. Ternyata dari makam raja-raja
yang ada di Indonesia, hanya yang di desa Kebundadap Sumenep ada yang berbentuk demikian.
Menurut utusan itu, makam ini merupakan makam Raja Majapahit yang telah menghilan yaitu
Brawijaya V.72
Menurut cerita bapak Harun Rasyid selaku tokoh agama di desa ini, ritual Nyadar itu sudah rutin
dilaksanakan setiap tahunnya, hanya saja perbedaannya ritual Nyadar pada jaman dahulu dengan ritual
Nyadar sekarang terdapat sedikit perbedaan. Karena kurangnya pendidikan masyarakat setempat di
jaman dahulu di bidang keagamaan maupun di bidang ilmu pengetahuan, ritual Nyadar pada jaman
dahulu dilaksanakan benar-benar hanya memberikan sesajen saja, berbeda dengan sekarang ritual
Nyadar dilaksanakan dengan dilengkapi doa-doa khusus dan tujuan-tujuan tertentu.73 Hal ini tentunya
tidak terlepas oleh adanya penyebaran agama Islam yang bertepatan dengan dimulainya tradisi Nyadar
pada abad ke 16. Sehingga tradisi kepercayaan nilai-nilai animisme dan dinamisme (budaya Hinduisme)
71 Aminuddin Kasdi, Sejarah Pelopo Garam di Sumenep, h. 9-10 72 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 9 73 Wawancara Pribadi dengan Bapak Harun Rasyid, “Tokoh Agama”, Pinggirpapas, tanggal 13 Februari 2006
yang ada sebelumnya, perlahan-lahan mulai diberikan pengaruh nilai-nilai ajaran Islam (adanya proses
Islamisasi).
Menurut Bapak Kasa salah satu sesepuh sekaligus ketua umum perayaan ritual Nyadar 2006, ritual
Nyadar ini pantang sekali untuk dilanggar atau dilewatkan, walaupun kondisi ekonomi masyarakat
setempat sedang tidak memungkinkan tetapi yang namanya tradisi atau kebudayaan tetap harus
dilaksanakan. Karena menurut beliau di samping untuk mempererat kekerabatan masyarakat
Pinggirpapas mengadakan ritual Nyadar juga mempunyai tujuan untuk melestarikan kebudayaan.74
B. Penetapan Waktu dan Praktik Ritual Nyadar
1. Penetapan Waktu
Pelaksanaan Nyadar dilaksanakan pada perhitungan bintang antara tanggal 21 Maret dan 21 Juni
matahari setiap hari bergeser dari equator menuju ke garis balik utara (23,5 derajat LU). Pada posisi
tersebut Bintang Karteka dan Bintang Nanggele terlihat di arah timur. Posisi ini menandai kedatangan
musim kemarau yang sangat diharapkan, karena semakin panjang musim kemarau semakin beruntung
untuk usaha penggaraman. Kemampuan Anggasuto dalam menentukan musim kemarau ini
menunjukkan bahwa Anggasuto mempunyai kemampuan yang memadai tentang astronomi.75
Upacara adat Nyadar di desa Kebundadap barat Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep merupakan
upacara yang dilaksanakan secara rutin tiga kali dalam setahun :
4. Bulan Juli merupakan Nyadar pertama;
5. Bulan Agustus merupakan Nyadar kedua;
6. Bulan September merupakan Nyadar ketiga.
Dan tanggal pelaksanaannya pun tidak boleh mendahului tanggal 12 Maulid. Hal ini sebagai simbol
bahwa peringatan Maulid Nabi harus didahulukan dan mendapat kedudukan yang lebih utama dari
peringatan apapun juga. Masyarakat Pinggirpapas umumnya menyebut dengan istilah “Maulid Agung”.
Sehingga setelah masyarakat Pinggirpapas memperingati Maulid Agung, maka untuk selanjutnya para
tokoh adat atau pemimpin tradisi Nyadar melakukan acara parembukan (musyawarah) untuk
74 Wawancara Pribadi dengan Bapak Kasa,”Ketua Adat Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 10 Februari 2006 75 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, Sekilas Mengenal Upacara Adat Nyadar(Nadzar), (Surabaya: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2002), h.1
menentukan pelaksanaan tradisi Nyadar yang ditandai dengan datangnya musim kemarau. Hari yang
ditentukan untuk pelaksanaan Upacara Adat Nyadar tersebut adalah Jumat (hari pertama) dan Sabtu
(hari kedua).76
Penentuan tanggal adalah tanggung jawab penghulu. Ia melapor kepada ketua adat dan keputusannya
disahkan dalam upacara perembukan (musyawarah). Tanggal yang dipilih tidak diumumkan, tetapi pada
saat acara perembukan dimulai masyarakat mendengarkan hasil keputusannya secara sembunyi-
sembunyi. Setelah kebenarannya diyakini kemudian disebarkan dari mulut ke mulut.77
2. Praktik Ritual Nyadar
Sebelum penulis membahas tentang praktik ritual Nyadar, terlebih dahulu penulis akan
membahas tentang beberapa persyaratan khusus sebelum diadakannya ritual tradisi Nyadar dan harus
dipatuhi oleh seluruh masyarakat, yaitu:
1. Ritual tradisi Nyadar tidak boleh mendahului tanggal 12 Maulid;
2. Nilai selamatan tidak boleh melebihi nilai selamatan peringatan Maulid nabi Muhammad SAW;
3. Biaya untuk ritual tradisi Nyadar harus halal dan bukan didapat dari berhutang;
4. Hubungan suami istri peserta ritual tradisi Nyadar harus rukun lahir dan bathi;.
5. Peserta Nyadar terlebih dahulu harus mengikuti Maulid Nabi terlebih dahulu. Jika syarat ini
dilanggar akan menyebabkan nasi yang dimasak oleh ibu-ibu tersebut tidak akan masak. Dan jika
hal ini terjadi maka mereka diharapkan segera menghubungi pemimpin adat yang didampingi oleh
seorang penghulu.78
Adapun persiapan tradisi Nyadar diperlukan dua hal pokok yang harus dipersiapkan oleh
masyarakat Pinggirpapas, yakni :
a. Sesajen
76 Wawancara Pribadi dengan Bapak Harun Rasyid, “Tokoh Adat Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 13 Februari 2006 77 Wawancara Pribadi dengan Bapak Kasa, “Tokoh Adat Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 10 Februari 2006 78 Departemen Pariwsata dan Kebudayaan, Sekilas MengenalUpacara Adat Nyadar, h. 3
Sesajen ini adalah berupa nasi tumpeng yang dimasak pada malam harinya, tepatnya pada jumat
malam sekitar pukul 19.00 WIB oleh warga setempat. Setelah nasi tumpeng tersebut matang, nasi
tumpeng tersebut di taruh di atas panjeng.79 Panjeng adalah sebuah piring besar tempat meletakkan
nasi yang dihiasi dengan telur dadar yang diiris kecil-kecil diatasnya. Setelah hiasan selesai nasi diberi
alas talam besar yang ditutup oleh tanggik.80 Selanjutnya nasi tersebut diletakkan di sekitar komplek
pemakaman Anggasuto.
Selain nasi tumpeng tersebut, juga ada lima nasi tumpeng yang diletakkan di dalam piring. Piring
yang ditempatkan di tengah diberi telur dadar yang utuh dan di dalam tumpeng diletakkan sebutir telur
rebus. Hal ini merupakan perwujudan dari alam yang meliputi tiga dimensi, yakni alam bawah, alam
atas dan alam antara. Alam bawah adalah alam yang suci dan merupakan zat murni dari keseluruhan.
Alam atas adalah kesempurnaan yang abadi dan penuh kedamaian. Alam antara adalah dunia yang
penuh dengan nafsu. Anggapan ini mencerminkan ajaran-ajaran sufisme yang juga berpendirian bahwa
hanya orang yang suci dapat mendekati Tuhan Yang Maha Suci dan mencapai kesucian diri
memerlukan waktu dan usaha.81 Dan Empat piring yang lain diberi telur dadar yang diiris-iris kecil-
kecil. Keempat tumpeng yang lain merupakan perwujudan dari kekuatan alam dunia. Menurut seorang
informan kekuatan itu berasal dari Allah SWT yang dibantu oleh malikat Jibril, israfil, Israil dan
Mikail. Begitu pula Nabi Muhammad yang dalam perjuangannya didampingi oleh keempat
sahabatnya.82
Setelah selesai upacara sebagian tumpeng tersebut dimakan dan dibagikan kepada keluarga atau
orang-orang yang tidak mampu. Sebagian dari tumpeng yang dimakan, disisakan untuk dijadikan
karak.83
b.Tajin (Bubur)
79 Panjeng adalah sebuah piring besar yang terbuat dari tanah liat dan besarnya mirip dengan talam (alas besar untuk menaruh makanan diatasnya. 80 Tanggik adalah sebuah alat tutupnya panjeng yang terbuat dari anyaman daun lontar. 81 Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadin, “Juru Doa Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 15 Februari 2006 82 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 26 83 Karak di sini adalah sisa nasi tumpeng yang dikeringkan kemudian dicampurkan dengan nasi yang di masak setiap harinya, guna memindahkan berkahnya dari hasil tradisi Nyadar yang telah dilakukan masyarakat pinngirpapas umumnya.
Tajin atau bubur ini terdiri atas lima warna yaitu putih, merah, hijau, hitam dan kuning. Tajin
putih diletakkan di tengah sebagai lambang dari serba bersih. Namun, manusia itu lahir akan dipenuhi
oleh segala nafsu yang dilambangkan oleh warna merah. Nafsu itu bisa dikendalikan dengan
kesabaran dan kebenaran yang diwakili oleh warna hijau. Bahwa manusia selalu digoda disimbolkan
dengan warna hitam, tetapi walaupun begitu manusia dapat membedakan baik dan buruk yang
ditandai dengan warna kuning.
Dalam mewarnai tajin (bubur) ini, penggunaan zat pewarna dianggap merendahkan martabat
seseorang. Warna yang digunakan harus bersifat alami, warna merah dari jagung, warna hijau dari
kacang hijau, warna hitam dari ketan hitam dan kuning dari kacang hijau kuning. Keempat warna itu
akan selalu mempengaruhi kebersihan warna putih yang berada di tengah, hijau dan kuning
menjaganya, sedangkan merah dan hitam merusaknya.84 Kelima warna ini lebih berhubungan dengan
pasangan, yakni yang pokok dari tiap tajin (bubur) tersebut adalah bahwa pasangannya tidak boleh
berubah. Merah pasti berpasangan dengan hijau, sedangkan warna hitam selalu berpasangan dengan
warna kuning. Dan warna putih adalah nilai dasar dari alam itu sendiri.85
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa ritual nyadar ini dilakukan dalam tiga tahap
dalam satu tahun yaitu pada bulan Juli, Agustus dan September sesuai dengan pergeseran bintang
yang ditandai dengan datangnya musim kemarau.
a. Nyadar Pertama
1. Kegiatan Hari Jumat (Hari Pertama)
Kegiatan pada hari Jumat merupakan kegiatan Nyekar (ziarah ke komplek pemakaman
Anggasuto) dilakukan pada pukul 16.00 WIB dengan melewati dua jalur; kepala suku dan
perangkatnya berjalan kaki begitu pula dengan warga Pinggirpapas atau sekitarnya.
Setelah semua kelompok berdasarkan empat tokoh yang mereka kultuskan tersebut sampai di
desa Kebundadap, kaum wanitanya mempersiapkan tungku dan bahan-bahan yang akan dimasak pada
malam harinya. Saat itu pula masing-masing anggota masyarakat menyerahkan bunga dan bedak
kepada penghulu untuk dikumpulkan. Kemudian antara bunga dan bedak tersebut dipisahkan.
Bunganya dibawa ke pemakaman untuk ditabur oleh istri-istri penghulu, sesuai dengan masing-
84 Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadin, “Juru Doa Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 15 Februari 2006 85 Budiyono, Tradisi Nyadar, h. 28
masing kelompok. Misalnya dari kelompok keturunan Anggasuto di tabur ke makam Anggasuto dan
begitu pun yang lainnya. Penaburan bunga ini diiringi dengan pembakaran kemenyan.
Kemudian seorang tokoh agama yakni bapak Harun Rasyid, memimpin pembacaan tahlil.
Beberapa saat selanjutnya kembang yang telah dijadikan satu itu diberikan pada peserta untuk
kemudian diletakkan di atas makam. Diyakini bahwa siapa yang paling dulu meletakkan bunga
tersebut, maka hajat orang itu akan cepat terkabul. Bagi peserta ritual yang telah selesai menaburkan
bunga, maka diberi bedak yang telah dicampur air di belakang telnga atau di dahinya. Hal ini untuk
menandai bahwa mereka selesai mengikuti upacara dan mereka dari gangguan makhluk halus.
Setelah penaburan bunga selesai warga kembali pada kelompok masing-masing dan suami istri
mulai mempersiapkan sarana untuk memasak. Baru setelah pukul 19.00 mereka memulai untuk
memasak diyakini juga bahwa itu dapat menghindarkan. Sekitar tengah malam nasi masak dan
dipindahkan ke tikar untuk didinginkan selanjutnya para suami menatanya di panjeng (semacam
piring besar) dan kelengkapannya dalam bentuk tumpeng yang dihiasi dengan telur dadar, ayam
goreng dan ikan bandeng.
2. Kegiatan Hari Sabtu
Keesokan harinya (Sabtu) merupakan tahapan kedua yang disebut Upacara Kaoman. Pada
sekitar pukul 07.00 WIB tumpeng diletakkan di sekitar atau di bawah pohon asem keramat sesuai
dengan kelompok masing-masing. Para penghulu kemudian menghitung panjeng menggunakan ilmu
kanoragan.86 Hal ini dilakukan untuk mengetahui siapa yang tidak hadir atau melakukan upacara adat
Nyadar di rumahnya. Setelah melaporkan kegiatan ini pada pimpinan kemudian pimpinan membawa
Kinangan (tempat sirih) dan diletakkan di depan tempat dia duduk. Selanjutnya mulailah pembacaan
doa dipimpin oleh seorang penghulu yang di sebut “Juru Doa” yakni bapak Mohammad Sadin.
Setelah pembacaan doa selesai sebagian nasi di dalam panjeng dimakan. Sisa nasi dan lauknya dibawa
pulang dan diberikan kepada warga yang tidak mampu. Sisa nasi yang dibawa pulang tersebut
dikeringkan untuk dijadikan kerak dan dicampurkan sedikit demi sedikit pada nasi setiap kali masak
dengan maksud untuk memindahkan barokahnya ke nasi yang dimakan setiap hari.
b. Nyadar Kedua
86 Kanoragan adalah ilmu yang bersifat mistis dan hanya dimiliki oleh seorang penghulu/ Racok Saebu dalam menjalani tugasnya khususnya menghitung panjeng yang ada dalam pelaksanaan tradisi Nyadar.
Upacara adat Nyadar yang kedua dilaksanakan satu bulan setelah yang pertama, dan bentuk
upacaranya tidak jauh berbeda dari yang dilakukan pada upacara pertama. Hanya dalam Upacara
adat Nyadar yang kedua ini semua senjata milik anggasuto dikeluarkan dari pasarean (tempat
tinggal) Anggasuto. Hal ini dilakukan bahwa penghormatan terhadap Anggasuto tidak terbatas pada
orangnya saja. Senjatanyapun dihormati karena masyarakat Pinggirpapas umumnya merasa bahwa
senjata itu mampu melindungi mereka dari kekacauan besar yang sewaktu-waktu melanda tanah
leluhur mereka.87 Adapun senjata tersebut terdiri dari abinan (keris) dan kodik perangsang yang
diambil oleh juru doa pada hari sabtu sebelum subuh, hal ini dilakukan karena diyakini jika diambil
sesudah subuh maka keampuhannya berkurang. Kedua senjata tersebut dibawa ke pintu gerbang
komplek pemakaman untuk tetap menjaga keampuhannya. Dan setelah dibacakan doa maka senjata
tersebut dikembalikan ke tempatnya semula.
c. Nyadar Ketiga
Upacara adat nyadar ketiga dilakukan satu bulan kemudian, dengan persyaratan sama dengan
Upacara adat Nyadar pertama dan kedua. Adat Nyadar ketiga dilaksanakan di pasarean (rumah atau
tempat tinggal) keempat tokoh yang dikultuskan.
Dalam Upacara adat nyadar ketiga ini Layang Jati Sampurnaning Sembah dan Layang Jati Suara,
dibaca serentak di tiap-tiap pasarean dipimpin oleh dua orang, satu orang membaca dan yang lain
mengartikan maknanya. Kegiatan ini dilakukan malam hari sampai menjelang subuh dan seluruh
warga duduk dengan tertib mendengarkan isi dan makna itu.
Layang Jati Sampurnaning Sembah dan Layang Jati Suara yang dituliskan pada daun lontar
dipandang sebagai satu pengetahuan yang dijadikan pedoman oleh Anggasuto dalam berprilaku dan
bertindak sebagai seorang hamba Allah. Menurut bapak Mohammad Sadin selaku juru doa pada
pelaksanaan tradisi Nyadar yang disebut upacara Kaoman, Layang Jati Sampurnaning Sembah berisi
tentang ajaran untuk selalu menyembah Allah SWT yakni dengan mendirikan shalat. Sedangkan
87 Wawancara Pribadi dengan Bapak ahmad Rizal, “Tokoh Masyarakat”, Pinggirpapas, tanggal 18 Februari 2006
Layang Jati Suara berisikan tentang amalan-amalan untuk selalu berbuat baik kepada sesama
manusia dan selalu melakukan perintah-Nya dan menjauhi Larangan-Nya.88
Setelah Layang selesai dibaca, juru baca menyatakan kepada penghulu dan ia memberitahukan
kepada ketua adat bahwa pembacaan selesai. Upacara adat Nydar ketiga ini terlihat lebih
memfokuskan pada pesan-pesan rohani yang perlu diketahui dan dipahami oleh masyarakat yang
cenderung melaksanakan pesan-pesan tersebut.
C. Struktur Kepemimpinan dalam Ritual Tradisi Nyadar.
Kepemimpinan upacara Nyadar diatur berdasarkan keturunan keempat tokoh yang dikultuskan.
Keempat pemimpin ini mengangkat keturunan dari embah Kuasa sebagai pemimpin utama. Beliau
diangkat sebagai pemegang keputusan apabila sesuatu hal terjadi. Walaupun begitu, ini tidak berarti
bahwa beliau memiliki kekuasaan mutlak. Tiap keputusan yang diambil tetap dibicarakan dengan
pemimpin lain. Hanya keturunan embah Kuasa mematukkan palu mengesahkan keputusan itu. Dan
kedudukan pemimpin utam dalam tradisi Nyadar saat ini adalah embah Kasa (keturunan dari embah
Kuasa). Dan sebagai wakilnya adalah Bapak Masriyani yang merupakan keturunan dari Anggasuto
Keempat pemimpin itu dibantu oleh empat orang penghulu. Atau yang dikenal dengan sebutan
Racok Saebu.89 Jabatan penghulu juga berdasarkan keturunan, tetapi apabila salah satu penghulu tidak
memiliki keturunan, seorang keluarga dicari melalui persetujuaan dari keempat pemimpin. Penghulu
baru dianggap sah apabila sudah dilantik oleh pemimpin utama. Penghulu dilantik setelah upacara
Nyadar. Jarak antara waktu pengangkatan dan pelantikan minimal satu tahun. Dalam waktu ini
kemampuan calon penghulu diuji, meliputi kemampuan dalam mengendalikan dan mengkoordinasikan
warga serta pengujian mental yang meliputi kejujuran dan loyalitasnya terhadap pemimpin adat. Dan
kalau ia memenuhi syarat ia dilantik.90 Adapun para tokoh Racok Saebu ini adalah Bapak Sumatra
keturunan dari embah Anggasuto, Bapak Sinabar keturunan dari embah Kasa, Bapak Razak keturunan
dari Indusari, dan Bapak Karim keturunan dari embah Dukun.
88 Wawancara Pribadi dengan Bapak Mohammad Sadin, “Juru Doa Tradisi Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 15 Februari 2006 89 Racok Saebu adalah seorang penghulu atau jabatan dalam tradisi Nyadar yang memakai pakaian khusus seperti pakaian para penari kecak (pakaian seribu warna) di Bali. 90 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumatra, “Tokoh Pelaksana Nyadar”, Pinggirpapas, tanggal 17 Februari 2006
Adapun tokoh yang selalu memimpin pembacaan doa dalam tradisi Nyadar terbagi atas dua,
yakni: pemimpin doa pada hari Jumat adalah Bapak Harun Rasyid (ditunjuk oleh masyarakat) dan
pemimpin doa padahari Sabtu (Upacara Kaoman) adalah Bapak Mohammad Sadin. Sedangkan para
tokoh yang bertugas menyiapkan perlengkapan ritual adalah sebagai berikut:
1. Bapak Sunarto keturunan dari embah Kuasa, yang bertugas membakar kemenyan sebelum pelaksanaan
tradisi Nyadar.
2. Bapak Suliman keturunan dari embah Kuasa, yang bertugas membakar kemenyan sebelum doa
dibacakan.
3. Bapak Hasan, Ibu Sumabiya, Bapak Jamal, dan Bapak Jurasmi keturunan dari Indusari, yang bertugas
membawa kembang sebagai perlengkapan ziarah.
4. Bapak Ibrahim dan Misradin keturunan dari embah Dukun, yang bertugas membawa kotak ziarah.
5. Bapak Jatim dan Bapak Hatijah keturunan dari embah Dukun, yang bertugas membawa bedak sebagai
perlengkapan ziarah.
Dan Bapak Kadir selaku juru kunci pemakaman juga membantu persiapan Nyadar. Ia juga
diangkat berdasarkan kemufakatan keempat pemimpin dan penghulu. Untuk juru kunci dimbil
seseorang yang bertempat tinggal dekat dengan pemakaman dan masih keturunan waraga Pinggirpapas.
Tugasnya selain menyiapkan tempat Nyadar adalah mengawasi pemakaman dan merawatnya. Ia digaji
pada saat upacara Nyadar dan kadang kala ada peziarah yang juga memberi sedikit uang, tetapi ia tidak
pernah meminta imbalan dari mereka.91
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan antara tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh
masyarakat di sini adalah terletak pada peranannya dalam kehidupan sosial masyarakat setempat yakni
masyarakat Pinggirpapas. Dimana Tokoh agama berperan sebagai seorang tokoh yang berperan dalam
mengajarkan ilmu agamanya kepada masyarakat, baik guru ngaji ataupun seseorang yang mempunyai
gelar haji atau kyai. Dan tokoh masyarakat adalah seseorang yang mempunyai kedudukan dan peranan
91 Wawancara Pribadi dengan Bapak Ahmad Rizal, “Tokoh Masyarakat”, Pinggirpapas, tanggal 18 Februari 2006
penting dalam kehidupan sosial masyarakat setempat, baik itu pejabat desa ataupun seseorang yang
disegani karena kedudukannya yang tinggi dalam bidang ekonomi. Sedangkan yang dimaksud dengan
kriteria seorang tokoh adat adalah berdasarkan peranannya dalam bidang adat-istiadat yang ada dalam
komunitas sosial tertentu. Baik itu Ketua adat, wakilnya atupun para anggota adat lainnya. Pemerintah
sama sekali tidak terlibat dalam pengangkatan pemimpin, penghulu maupun juru doa.
E. Dampak atau Pengaruh Tradisi Nyadar Dalam Kehidupan Masyarakat Pinggirpapas
Dalam melaksanakan tradisi Nyadar bagi masyarakat Pinggirpapas sebenarnya tidak ada
tujuan-tujuan tertentu yang lebih spesifik. Bagi para petani garam khususnya, dengan mengikuti ritual
tradisi Nyadar mempunyai manfaat bahwasannya mereka akan selalu ingat atas nikmat Allah SWT
yakni hasil panen garam khususnya yang telah diberikan kepada mereka. Dengan demikian ritual tradisi
Nyadar ini tidak lebih adalah untuk menyatakan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan
rizki dan memohon untuk dilipat gandakan pendapatan mereka lewat hasil garam itu untuk tahun yang
akan datang.
Pengikut ritual tradisi Nyadar ini boleh dilakukan oleh semua kalangan dan warga dari desa
lainnya. Baik itu memang warga yang bertempat tinggal di desa atau wilayah lain maupun warga yang
bertempat tinggal di desa lain tetapi asli orang Pinggirpapas atau mempunyai garis keturunan orang
Pinggirpapas. Bahkan dari kalangan aparat pemerintahan sampai tokoh agama pun sepakat untuk
mengikuti upacara ritual Nyadar. Ritual Nyadar ini pun sudah diakui secara jelas bahwa ritual Nyadar
adalah acara formal yang sudah terdaftar di Desa yang harus dilaksanakan setiap tahun.
Ritual tradisi Nyadar selain memberi manfaat terhadap masyarakat Pinggirpapas untuk
menambah rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa juga memberikan pengaruh diantaranya sebagai
berikut :
4. Dalam bidang sosial, tradisi Nyadar memberikan pengaruh pada adanya ikatan sosial yang terjalin
antar warga desa Pinggirpapas dan sekitarnya. Secara Sosiologis menurut fitrahnya manusia adalah
makhluk yang suka hidup berkelompok dengan pengertian bahwa manusia dalam hidupnya senantiasa
memerlukan bantuan orang lain. Untuk itulah kemudian manusia selain sebagai makhluk individu,
manusia juga makhluk sosial. Terdorong oleh kedudukannya yang kodrati sebagai makhluk sosial
maka manusia tidak dapat hidup seorang diri. Dimanapun manusia berada dia pasti memerlukan orang
lain. Durkheim menyebutnya dengan istilah solidaritas sosial, yang terbagi atas solidaritas mekanik
dan solidaritas organik. Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanikadalah bahwa solidaritas itu
didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentiment, dan sebagainya.
Homogenitas serupa itu hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim. Berlawanan
dengan itu, solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu
didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah
sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan.92
Secara terminologi kata “solidaritas” berasal dari bahasa latin “solidus”. Kata ini di pakai dalam
sistem sosial yang berhubungan dengan integritas kemasyarakatan melalui kerjasama dan keterlibatan
yang satu dengan yang lainnya. Bentuk dari solidaritas dalam kehidupan masyarakat berimplikasi
pada kekompakan dan keterikatan dari bagian-bagian yang ada. Dalam istilah Romawi dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan solidaritas adalah semua untuk masing-masing dan masing-masing
untuk semua.
Sebagaimana yang terdapat pada tradisi Nyadar, baik dimulai dari acara parembukan
(musyawarah) untuk menetapkan waktu pelaksanaan Nyadar, pembagian tugas oleh masing-masing
tokoh pelaksana Nyadar ataupun peran ikut serta masyarakat Pinggirpapas dalam tradisi Nyadar,
semuanya ini menuntut adanya solidaritas sosial yang utuh dan kuat di antara para tokoh adat
setempat dan warga desa Pinggirpapas umumnya. Sehingga hal ini akan meminimalisir terjadinya
konflik atau pertentangan antar individu. Konflik terjadi sebagai akibat adanya perbedaan paham dan
kepentingan yang sangat mendasar, sehingga menimbulkan adanya jurang pemisah yang mengganjal
interaksi sosial di antara mereka yang bertikai tersebut.
5. Dalam bidang pendidikan, tradisi Nyadar memberikan pengaruh yang cukup penting dalam
perkembangan pendidikan masyarakat Pinggirpapas. Khususnya bagi anak-anak dari pengusaha garam
yang rata-rata mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya ke Perguruan Tinggi hingga menjadi Sarjana.
Hal ini tentunya tidak terlepas dari pendapatan bersih rata-rata para pengusaha garam yang mencapai
lebih dari 20 juta/tahunnya. Selain itu mereka memiliki usaha sambilan yang mengandalkan pada
keadaan cuaca juga, yakni apabila musim penghujan tiba maka para pengusaha garam beralih kepada
usaha atau mengandalkan mata pencaharian tambak ikan, seperti hasil ikan bandeng, ikan teri dan
udang.
92 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Penerjemah Robert M.Z Lawang, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1990), h. 183
6. Dalam bidang ekonomi, tradisi Nyadar berpengaruh pada pendapatan ekonomi dalam usaha
penggaraman masyarakat setempat yakni masyarakat Pinggirpapas. Umumnya kesejahteraan yang di
dapat dari hasil usaha garam itu lebih banyak dirasakan peranannya bagi keluarga pengusaha garam
dibandingkan para petani garamnya. Bayangkan saja apabila para pengusaha garam memiliki tambak-
tambak garam umumnya 20 petak, di mana 1 petaknya dapat menghasilkan garam sebanyak 10 ton dan
1 ton garam berkualitas bagus dihargai Rp. 200.000-250.000. Dengan demikian dapat disimpulkan
kiranya bahwa penghasilan pengusaha garam itu sekitar Rp. 2.000.000-2.500.000/ petaknya. Berarti
apabila pengusaha garam tersebut mempunyai tambak garam sebanyak 20 petak, maka penghasilan
seluruhnya yang di peroleh adalah Rp. 40.000.000-50.000.000 dalam sekali panen tiap tahunnya.
Sedangkan penghasilan ini masih di sebut dengan penghasilan kotor. Karena penghasilan ini masih
perlu diadakan pembagian pendapatan antara pengusaha garam dengan petani garam. Dan umumya
pembagian pendapatan ini didasarkan pada kesepakatan yang terjadi antara kedua belah pihak, dimana
pengusaha garam mendapatkan bagian yang lebih besar karena sebagai pemilik modal. Sedangkan
petani garam mendapatkan bagian yang lebih kecil karena sifatnya hanya sebagai pekerja/ buruh,
biasanya mereka mendapatkan bagian sebanyak 1/3 bagian dari total pendapatan yang diperoleh.
4. Dalam bidang agama, tradisi Nyadar memberi pengaruh pada kehidupan kerukunan
umat khususnya masyarakat Pinggirpapas yang beragama Islam. Dimana Islam
mengajarkan untuk saling tolong-menolong dan memupuk rasa persaudaraan antar
sesamanya. Dengan demikian bisa kita lihat arti dari kerukunan yang menurut Mulder,
kata “rukun” adalah berada dalam keadaan selaras, tenang, dan tetram tanpa
perselisihan dan pertentangan, bersatu untuk saling membantu satu sama lainnya.
Kerukunan dalam konteks Mulder, bisa diartikan sebagai sikap toleransi dimana sikap
dasar yang memungkinkan sebuah agama berdampingan dengan agama lain ataupun
memberikan keleluasaan terhadap kelompok lain.93
93 Miels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986), h.39
5. Dalam bidang budaya, tradisi Nyadar berpengaruh sebagai objek wisata yang
dikagumi oleh para wisatawan asing atau para turis.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
Dalam sejarahnya ritual Nyadar merupakan tradisi yang sudah sejak lama ada dan dilaksanakan oleh
masyarakat desa Pinggirpapas. Sedangkan dalam praktiknya mereka mempunyai peraturan-peraturan
sebelum melaksanakan upacara seperti mengadakan acara parembukan (musyawarah) untuk
menetapkan waktu pelaksanaan, memberikan sesaji dan lain sebagainya. Dalam waktunya biasanya
masyarakat setempat melaksanakannya tiga kali dalam setahun atau bertepatan sesudah tanggal 12
Maulid (sesudah melaksanakan Maulid Agung).. Mengenai harinya selalu ditetapkan hari Jumat dan
Sabtu sebagai hari pelaksanaannya. Dan tujuan diadakannya tradisi Nyadar tersebut tiap tahunnya
adalah untuk melestarikan kebudayaaan dan menghormati aturan-aturan yang sudah berjalan lama di
Desa Pinggirpapas.
Ritual tradisi Nyadar yang diselenggarakan setiap tahun oleh masyarakat Pinggirpapas telah menjadi
seperti satu kewjiban yang harus dilaksanakan. Ritual tradisi Nyadar juga dapat dijadikan sarana untuk
saling mengenal, saling menolong, serta saling tenggang rasa antara individu satu dengan yang lainnya.
Hal seperti ini merupakan suatu proses dialog yang positif diantara mereka.
Adapun pendapat para wisatawan, tokoh agama, dan masyarakat setempat, mereka pada umumnya
mengungkapkan bahwasanya ritual tradisi Nyadar merupakan salah satu kebudayaan. Selain itu Nyadar
merupakan salah satu wujud rasa syukur terhadap segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT.
B. Saran
1. Ritual tradisi Nyaadar harus tetap dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat Pinggirpapas, karena
melihat fungsi sosial dari ritual Nyadar yang positif yang menjadi wahana untuk saling bekerjasama
antar penduduk setempat sehingga dapat menciptakan kerukunan antar mereka selain itu hal ini
merupakan suatu identitas sebagai orang Madura yang mempunyai tradisi tersendiri yang harus
dipelihara.
2. Hendaknya para ulama yang berkiprah dimasyarakat perlu lebih banyak mengungkapkan dakwah
dengan topik-topik yang bertema dengan syariat-syariat Islam atau hukum-hukum Islam guna untuk
menyentuh dan menimbulkan semangat ibadah bagi masyarakat.
3. Perlu adanya pertimbangan logis dalam melakukan ritual tradisi Nyadar, jadi tidak sekedar warisan
nenek moyang semata, masyarakat Desa Pinggirpapas juga perlu melihat apakah ritual tradisi Nyadar
tersebut benar adanya atau melenceng pada hukum agama.
PEDOMAN WAWANCARA
1. Apa pekerjaan yang Anda tekuni saat ini?
2. Apa yang Anda ketahui mengenai tradisi Nyadar?
3. Apakah Anda mengikuti tradisi Nyadar tiap tahunnya?
4. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi Anda untuk mengikuti jalannya pelaksanaan
tradisi Nyadar tersebut?
5. Seandainya Anda tidak mengikuti pelaksanaan Nyadar, apakah ada sebuah aturan
bagi siapa yang tidak mengikuti Nyadar akan mendapatkan sangsi atau hukuman?
6. Apakah ada sebuah pengaruh terhadap kehidupan Anda sebelum dan sesudah Anda
melaksanakan ritual Nyadar tersebut? Kalau ada seperti apa pengaruh itu Anda
rasakan?
7. Dalam ritual Nyadar yang pertama dan kedua sifatnya ziarah ke makam Anggasuto
beserta kerabatnya yang erat hubungannya memanjatkan doa-doa kepada mereka para
leluhur. Selain memanjatkan doa kepada mereka apakah Anda memanjatkan doa
untuk kehidupan pribadi juga? Dan khususnya dalam hal apa?
HASIL WAWANCARA
Hari / tgl : Selasa, 14 Februari 2006.
Nama Responden : Masrawi.
Usia : 25 tahun.
1. Apa pekerjaan yang Anda tekuni saat ini?
Jawab : Saya berwiraswasta.
2. Apa yang Anda ketahui mengenai tradisi Nyadar?
Jawab : Ya yang saya ketahui tentang Nyadar itu adalah upacara adat yang setiap
tahunnya selalu di peringati oleh masyarakat Pinggirpapas sebagai bentuk rasa syukur
kami kepada Allah SWT dengan adanya hasil panen garam. Dan juga Nyadar ini
merupakan sebuah bentuk penghormatan atas jasa-jasa leluhur kami mbah Anggasuto
yang pertama kali menemukan garam di tanah kelahiran kami ini mbak.
3. Apakah Anda mengikuti tradisi Nyadar tiap tahunnya?
Jawab : Ya, saya mengikuti.
4. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi Anda untuk mengikuti jalannya pelaksanaan
tradisi Nyadar tersebut?
Jawab : Ya seperti yang sudah saya ceritakan tadi, saya mengikuti Nyadar semata-
mata sebagai wujud rasa syukur saya kepada Allah SWT. Dan juga dalam rangka
menghargai jasa-jasa para leluhur masyarakat Pinggirpapas khususnya mbah
Anggasuto. Karena beliaulah masyarakat Pinggirpapas memiliki mata pencaharian
yang utama yakni bertani “buje” atau disebut juga garam mbak. Dan saya sebagai
masyarakat Pinggirpapas wajib kiranya memelihara dan melestarikan adat istiadat ini.
5. Seandainya Anda tidak mengikuti pelaksanaan Nyadar, apakah ada sebuah aturan
bagi siapa yang tidak mengikuti Nyadar akan mendapatkan sangsi atau hukuman?
Jawab : Tidak ada.
6. Apakah ada sebuah pengaruh terhadap kehidupan Anda sebelum dan sesudah Anda
melaksanakan ritual Nyadar tersebut? Kalau ada seperti apa pengaruh itu Anda
rasakan?
Jawab : Kalau menurut saya belum ada pengaruhnya mbak. Karena saya merasa
sebagai warga Pinggirpapas punya kewajibanuntuk tetap melestarikan adat istiadat
nenek moyang kami.
7. Dalam ritual Nyadar yang pertama dan kedua sifatnya ziarah ke makam Anggasuto
beserta kerabatnya yang erat hubungannya memanjatkan doa-doa kepada mereka para
leluhur. Selain memanjatkan doa kepada mereka apakah Anda memanjatkan doa
untuk kehidupan pribadi juga? Dan khususnya dalam hal apa?
Jawab : Tidak, hanya sekedar mengirim fatihah kepada para leluhur kami mbak.
HASIL WAWANCARA
Hari / tgl : Rabu, 15 Februari 2006.
Nama Responden : Ruspandi.
Usia : 30 tahun.
1. Apa pekerjaan yang Anda tekuni saat ini?
Jawab : Pekerjaan yang saya tekuni saat ini sebagai Pegawai Harian Lepas (PHL) di
kantor kecamatan.
2. Apa yang Anda ketahui mengenai tradisi Nyadar?
Jawab : “Nyadar” menurut yang saya ketahui adalah merupakan selametan sebagai
ungkapan rasa syukur dan rasa terima kasih kepada Allah SWT SWT atas karunianya,
serta untuk mengenang dan memperingati jasa-jasa para leluhur sebagai perintis
pertama kali cara bertani garam dan bertani ikan.Nyadar dilaksanakan/ diperingati
setiap tahunnya 3 (tiga) kali pada waktu musim panen garam/ kemarau.
3. Apakah Anda mengikuti tradisi Nyadar tiap tahunnya?
Jawab : Ya, saya juga mengikuti pada setiap tahunnya mbak.
4. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi Anda untuk mengikuti jalannya pelaksanaan
tradisi Nyadar tersebut?
Jawab : Karena saya juga ingin mengucapkan rasa terima kasih dan rasa syukur kami
kepada Allah SWT atas karunia yang di berikan pada kami. Dan juga dalam rangka
memeperingati atau jasa-jasa para leluhur kami. Dan juga ikut meramaikan serta
melestarikan upacara Nyadar yang sudah menjad tradisi atau adat serta budaya di
desa kami.
5. Seandainya Anda tidak mengikuti pelaksanaan Nyadar, apakah ada sebuah aturan
bagi siapa yang tidak mengikuti Nyadar akan mendapatkan sangsi atau hukuman?
Jawab : Tidak ada.
6. Apakah ada sebuah pengaruh terhadap kehidupan Anda sebelum dan sesudah Anda
melaksanakan ritual Nyadar tersebut? Kalau ada seperti apa pengaruh itu Anda
rasakan?
Jawab : Saya tidak tahu.
7. Dalam ritual Nyadar yang pertama dan kedua sifatnya ziarah ke makam Anggasuto
beserta kerabatnya yang erat hubungannya memanjatkan doa-doa kepada mereka para
leluhur. Selain memanjatkan doa kepada mereka apakah Anda memanjatkan doa
untuk kehidupan pribadi juga? Dan khususnya dalam hal apa?
Jawab : Iya, selain saya memanjatkan doa-doa kepada Allah SWT untuk para leluhur
kami, saya juga tidak lupa memanjatkan doa untuk diri saya pribadi dan keluarga
kepada Allah SWT khususnya agar di beri keselamatan dunia dan akhirat, serta diberi
rizki yang halal.
HASIL WAWANCARA
Hari / tgl : Sabtu, 18 Februari 2006.
Nama Responden : Bapak Ahmad Rizal
Usia : 30 tahun
1. Apa pekerjaan yang Anda tekuni saat ini?
Jawab : Petani garam
2. Apa yang Anda ketahui mengenai tradisi Nyadar?
Jawab : Nyadar menurut saya adalah kebudayaan tradisional yang di lakukan tiap
tahun sekali oleh masyarakat Pinggirpapas dan sekitrnya sebagai upacara adat dalam
rangka tasyakuran (selamatan sebagai rasa terima kasih dalam pelaksanaan panen
garam) pencetus pertama embah Anggasuto.
Adapun upacara Nyadar itu dilaksanakannya 3 kali dalam setahun:
Nyadar pertama yakni dilakukan di Kebundadap sebagai tasyakuran panen garam
pertama, dengan cara berziarah ke makam Anggasuto.
Nyaadar kedua yakni di lakukan di Kebundadap sebagai tasyakuran panen garam
kedua, dengan cara yang sama seperti Nyadar pertama.
Nyadar ketiga yakni tasyakuran di lakukan di rumah masing-masing sebagai
panen garam terakhir.
3. Apakah Anda mengikuti tradisi Nyadar tiap tahunnya?
Jawab : Ya, karena saya yakin bahwa upacara Nyadar itu menjadi kewajiban bagi
saya sebagai putera daerah dan warisan nenek moyang
4. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi Anda untuk mengikuti jalannya pelaksanaan
tradisi Nyadar tersebut?
Jawab : Yang melatarbelakangi saya untuk mengikuti jalannya pelaksanaan tradisi
Nyadar tersebut yakni bernuansa Islami yang mempunyai arti sejarah yaitu nilai-nilai
syiar Islam diantaranya tahlil bersama. Dan dapat mempererat hubungan
kekeluargaan serta menjalin tali silahturahmi sesame warga Pinggirpapas ataupun
dari warga desa yang lainnya.
5. Seandainya Anda tidak mengikuti pelaksanaan Nyadar, apakah ada sebuah aturan
bagi siapa yang tidak mengikuti Nyadar akan mendapatkan sangsi atau hukuman?
Jawab : Pada diri saya pelaksanaan upacara Nyadar tersebut merupakan suatu
keyakinan yang harus di lakukan, apabila tidak dilakukan akan mendapat bala’ atau
hukuman. Entah kepada orang lain saya tidak tahu, karena itu merupakan suatu
keyakinan.
6. Apakah ada sebuah pengaruh terhadap kehidupan Anda sebelum dan sesudah Anda
melaksanakan ritual Nyadar tersebut? Kalau ada seperti apa pengaruh itu Anda
rasakan?
Jawab : Ada pengaruhnya, yaitu lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT serta
lebih mempererat tali silaturahmi terutama masyarakat Pinggirpapas dan sekitarnya.
7. Dalam ritual Nyadar yang pertama dan kedua sifatnya ziarah ke makam Anggasuto
beserta kerabatnya yang erat hubungannya memanjatkan doa-doa kepada mereka para
leluhur. Selain memanjatkan doa kepada mereka apakah Anda memanjatkan doa
untuk kehidupan pribadi juga? Dan khususnya dalam hal apa?
Jawab : Iya, selain saya mendoakan almarhum mbah Anggasuto dan kerabatnya saya
juga meminta tolong menyambungkan doa untuk keselamatan fiddun ya wal akherat
khususnya semoga di lapangkan rizki dan senantiasa di jauhkan dari berbagai macam
bala’ dan musibah karena saya yakin almarhum tersebut mampu mendoakan orang
yang hidup.
HASIL WAWANCARA Hari / tgl : Kamis, 16 Februari 2006.
Nama Responden : Bapak Badrul Komar
Usia : 53 tahun.
1. Apa pekerjaan yang Anda tekuni saat ini?
Jawab : Pekerjaan saya Pengacara alias Pengangguran banyak acara, ha…ha…, saya
pensiun guru mbak.
2. Apa yang Anda ketahui mengenai tradisi Nyadar?
Jawab : Nyadar itu merupakan sebuah upacara adat yang dilakukan sebanyak tiga
kali dalam setahun oleh masyarakat Pinggirpapas. Nyadar pertama dan kedua
dilakukan di sekitar pemakaman Anggasuto di Kebundadap. Dan Nyadar ketiga
dilakukan di rumah masing-masing warga Pinggirpapas. Adapun hari pelaksanaannya
adalah hari Jum’at dan sabtu.
3. Apakah Anda mengikuti tradisi Nyadar tiap tahunnya?
Jawab : Ya, hanya sekedar menghormati warisan leluhur kami mbak.
4. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi Anda untuk mengikuti jalannya pelaksanaan
tradisi Nyadar tersebut?
Jawab : Karena dalam pelaksanaan Nyadar tersebut mengandung hikmah adanya
jalinan kekerabatan antar warga dan bisa saling mengenal antar sesama. Karena yang
mengikuti Nyadar itu dari semua kalangan loh mbak. Baik dari yang muda ataupun
para orang tua yang datangnya pun dari mana-mana.
5. Seandainya Anda tidak mengikuti pelaksanaan Nyadar, apakah ada sebuah aturan
bagi siapa yang tidak mengikuti Nyadar akan mendapatkan sangsi atau hukuman?
Jawab : Menurut saya tidak ada ya mbak. Tapi lebih baik mengikuti saja sebagai
bentuk menghormati adat istiadatnya orang Pinggirpapas.
6. Apakah ada sebuah pengaruh terhadap kehidupan Anda sebelum dan sesudah Anda
melaksanakan ritual Nyadar tersebut? Kalau ada seperti apa pengaruh itu Anda
rasakan?
Jawab : Banyak pengaruhnya sekali bagi saya, yakni :
a. Lebih mendekatkan diri pada Allah Swt
b. Jiwa terasa lebih tentram dan tenang.
c. Akan menambah rasa Ukhuwah Islamiyah di antara umat Islam terutama
masyarakat Pinggirpapas.
7. Dalam ritual Nyadar yang pertama dan kedua sifatnya ziarah ke makam Anggasuto
beserta kerabatnya yang erat hubungannya memanjatkan doa-doa kepada mereka para
leluhur. Selain memanjatkan doa kepada mereka apakah Anda memanjatkan doa
untuk kehidupan pribadi juga? Dan khususnya dalam hal apa?
Jawab : Iya, selain saya mendo’akan almarhum embah Anggasuto dan kerabatnya,
saya juga memohon sambungan do’a yakni kepada Allah Swt untuk keselamatan
dunia dan akhirat serta kesehatan mbak.
HASIL WAWANCARA Hari / tgl : Senin 13 Februari 2006.
Nama Responden : Harun Rasyid
Usia : 43 tahun.
1. Apa pekerjaan yang Anda tekuni saat ini?
Jawab : Saya guru ngaji.
2. Apa yang Anda ketahui mengenai tradisi Nyadar?
Jawab : Tradisi Nyadar adalah tradisi yang dilakukan sebagai perayaan hasil panen
garam.
3. Apakah Anda mengikuti tradisi Nyadar tiap tahunnya?
Jawab : Ya, karena saya memimpin pembacaan doa dan tahlilan pada tradisi Nyadar
tersebut.
4. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi Anda untuk mengikuti jalannya pelaksanaan
tradisi Nyadar tersebut?
Jawab : Ya saya mengikuti Nyadar hanya untuk memberikan doa dengan membaca
al-fatihah kepada leluhur kami embah Anggasuto.
5. Seandainya Anda tidak mengikuti pelaksanaan Nyadar, apakah ada sebuah aturan
bagi siapa yang tidak mengikuti Nyadar akan mendapatkan sangsi atau hukuman?
Jawab : Saya rasa tidak ada ya mbak.
6. Apakah ada sebuah pengaruh terhadap kehidupan Anda sebelum dan sesudah Anda
melaksanakan ritual Nyadar tersebut? Kalau ada seperti apa pengaruh itu Anda
rasakan?
Jawab : Ada pengaruhnya mbak, yakni menanamkan sifat kekeluargaan dan
silaturrahmi di kalangan masyarakat Pinggirpapas ataupun masyarakat dari desa lain.
7. Dalam ritual Nyadar yang pertama dan kedua sifatnya ziarah ke makam Anggasuto
beserta kerabatnya yang erat hubungannya memanjatkan doa-doa kepada mereka para
leluhur. Selain memanjatkan doa kepada mereka apakah Anda memanjatkan doa
untuk kehidupan pribadi juga? Dan khususnya dalam hal apa?
Jawab : Ya, terutama agar diberikan keselamatan dunia dan akhirat, lebih-lebih
dijauhkan dari segala macam musibah dan bala’. Serta semoga para petani garam
diberikan rizki yang berlipat ganda dari usaha bertani garam ini mbak.
Tata cara pelaksanaan Nyadar pertama
pada hari Jumat sekitar jam 16.00 sore
Sebelum melaksanakan ritual Nyadar dilakukan pembakaran kemenyan oleh Bapak
Sunarto
Tempat pengumpulan kembang dari para warga yang akan ditaburkan
ke makam embah Anggasuto dan kerabatnya
Para warga Pinggirpapas dan sekitarnya berkumpul untuk menunggu kedatangan para
tokoh adat Nyadar sebelum acara dimulai
Setelah para tokoh berkumpul semua, Ketua adat membuka pintu/ Labeng makam
untuk masuk terlebih dahulu
Kemudian diikuti oleh para tokoh adat lainnya.
Barulah acara pembacaan surat Yasin dan tahlilan dimulai dan dipimpin
oleh tokoh agama setempat yakni Bapak Harun Rasyid
Setelah pembacaan doa bersama selesai, barulah para tokoh Nyadar yang bertugas
membawa kembang membagikannya kepada warga
untuk ditaburkan ke makam Anggasuto
Untuk kemudian para warga berebut masuk kedalam makam Anggasuto
dan para kerabatnya
Makam leluhur masyarakat Pinggirpapas yakni Anggasuto
Makam embah Kuasa/ embah Kabasa adik Anggasuto
Nyadar Kedua pada hari Sabtu sekitar jam 8.00 pagi
Umumnya pelaksanaan Nyadar pertama dan kedua pada hari sabtu ini sama yakni
dilakukan upacara Kaoman (upacara makan bersama/ tasyakuran). Namun hanya ada satu
perbedaan yakni sejata peninggalan Anggasuto yakni keris dan kodik di keluarkan dari
pasareannya, seperti gambar dibawah ini :
Keris dan kodik ini dipegang oleh Mohammad Sadin selaku juru Doa juga
dalam upacara Kaoman
Keempat tokoh ini dikenal dengan sebutan Racok Saebu yang bertugas untuk menghitung
panjeng (talam besar yang berisikan nasi tumpeng), Dari kanan
ke kiri Bapak Karim, Bapak Sumatra, Bapak Razak dan Bapak Sinabar
Struktur Kepemimpinan Dalam Tradisi Nyadar
Ketua Adat/ Sesepuh : Embah Kasa
Wakil Sesepuh : Bapak Masriyani
Pemimpin doa pada hari Jumat : Bapak Harun Rasyid
Juru doa dalam upacara Kaoman : Mohammad Sadin
Racok Saebu (menghitung panjeng)/ penghulu : 1. Bapak Sumatra
2. Bapak Karim
3. Bapak Sinabar
4. Bapak Razak
Membakar kemenyan sebelum ritual Nyadar : Bapak Sunarto
Membakar kemenyan sebelum doa dibaca : Bapak Suliman
Membawa kotak air ziarah : Bapak Ibrahim
Membawa kembang perlengkapan ziarah : 1.Bapak Hasan
2. Ibu Sumabiya
3. Bapak Jamal
Membawa bedak perlengkapan ziarah : Bapak Misradin
1. Bapak Jurasmi
2. Bapak Hatijah
3. Bapak Jatim
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ruspandi.
Jenis kelamin : Laki-laki.
Usia : 30 tahun.
Agama : Islam.
Pekerjaan : Pegawai Harian Lepas (PHL) di Kecamatan.
Alamat : Pinggirpapas.
Dengan ini menyatakan bahwa, saya telah di wawancarai oleh seorang mahasiswi yang bernama Hosnor Hotimah dari UIN Syarif Hidayatullah semester XII, Program Strata (SI) dalam rangka riset dan wawancara dalam penelitian Skripsi yang berjudul “Tradisi Ritual Nyadar di Pinggirpapas (Studi Kasus di Desa Pinggirpapas Sumenep Madura).
Demikian surat pernyataan ini di buat dengan sebenarnya agar dapat di
pergunakan sebagaimana mestinya bagi yang bersangkutan.
Mengetahui
Kepala Desa Pinggirpapas Yang Membuat Pernyataan
Moh. Sadek Ruspandi
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Sudirto
Jenis kelamin : Laki-laki.
Usia : 54 tahun.
Agama : Islam.
Pekerjaan : Nelayan.
Alamat : Pinggirpapas.
Dengan ini menyatakan bahwa, saya telah di wawancarai oleh seorang mahasiswi
yang bernama Hosnor Hotimah dari UIN Syarif Hidayatullah semester XII, Program
Strata (SI) dalam rangka riset dan wawancara dalam penelitian Skripsi yang berjudul
“Tradisi Ritual Nyadar di Pinggirpapas (Studi Kasus di Desa Pinggirpapas Sumenep
Madura).
Demikian surat pernyataan ini di buat dengan sebenarnya agar dapat di
pergunakan sebagaimana mestinya bagi yang bersangkutan.
Mengetahui
Kepala Desa Pinggirpapas Yang Membuat Pernyataan
Moh. Sadek Sudirto
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Nesbu Sari.
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 25 tahun.
Agama : Islam.
Pekerjaan : Petani Garam.
Alamat : Pinggirpapas.
Dengan ini menyatakan bahwa, saya telah di wawancarai oleh seorang mahasiswi
yang bernama Hosnor Hotimah dari UIN Syarif Hidayatullah semester XII, Program
Strata (SI) dalam rangka riset dan wawancara dalam penelitian Skripsi yang berjudul
“Tradisi Ritual Nyadar di Pinggirpapas (Studi Kasus di Desa Pinggirpapas Sumenep
Madura).
Demikian surat pernyataan ini di buat dengan sebenarnya agar dapat di
pergunakan sebagaimana mestinya bagi yang bersangkutan.
Mengetahui
Kepala Desa Pinggirpapas Yang Membuat Pernyataan
Moh. Sadek Nesbu Sari
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Masrawi.
Jenis kelamin : Laki-laki.
Usia : 25 tahun.
Agama : Islam.
Pekerjaan : Wiraswasta.
Alamat : Pinggirpapas.
Dengan ini menyatakan bahwa, saya telah di wawancarai oleh seorang mahasiswi
yang bernama Hosnor Hotimah dari UIN Syarif Hidayatullah semester XII, Program
Strata (SI) dalam rangka riset dan wawancara dalam penelitian Skripsi yang berjudul
“Tradisi Ritual Nyadar di Pinggirpapas (Studi Kasus di Desa Pinggirpapas Sumenep
Madura).
Demikian surat pernyataan ini di buat dengan sebenarnya agar dapat di pergunakan sebagaimana mestinya bagi yang bersangkutan.
Mengetahui
Kepala Desa Pinggirpapas Yang Membuat Pernyataan
Moh. Sadek Masrawi
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Rohmah.
Jenis kelamin : Perempuan.
Usia : 25 tahun.
Agama : Islam.
Pekerjaan : Wiraswasta.
Alamat : Pinggirpapas.
Dengan ini menyatakan bahwa, saya telah di wawancarai oleh seorang mahasiswi yang bernama Hosnor Hotimah dari UIN Syarif Hidayatullah semester XII, Program Strata (SI) dalam rangka riset dan wawancara dalam penelitian Skripsi yang berjudul “Tradisi Ritual Nyadar di Pinggirpapas (Studi Kasus di Desa Pinggirpapas Sumenep Madura).
Demikian surat pernyataan ini di buat dengan sebenarnya agar dapat di
pergunakan sebagaimana mestinya bagi yang bersangkutan.
Mengetahui
Kepala Desa Pinggirpapas Yang Membuat Pernyataan
Moh. Sadek Rohmah