Download - Sesudah masehi
Sesudah Masehi
Perkembangan ilmu kedokteran forensik maju terutama di Eropa,
dengan Justinian code (Kitab Justinian). Kitab tersebut digunakan dan
diterapkan hingga kurang lebih abad ke-15, dimana Justinian code sudah
ditinggalkan dan hanya menjadi barang peninggalan bersejarah saja.
Memasuki abad ke-15, dimulailah era baru ilmu kedokteran forensik Eropa
yang diambil dari dua kitab hukum Jerman yaitu pada tahun 1507 dari
Bamberger code (Coda Bambergensis) dan pada tahun 1553 dari Caroline
code (Constitutio Criminalis Carolina). Caroline code yang berdasarakan
Bamberger code mengharuskan adanya kesaksian dari ahli medis pada
setiap persidangan kasus pembunuhan, keracunan, luka, gantung diri,
tenggelam pembunuhan terhadap bayi, aborsi dan setiap keadaan yang
disertai perlukaan pada manusia.1 Dari hasil itu semua negara-negara
lainnya mulai mempermasalahkan penilaian hukum yang masih dipengaruhi
oleh takhayul seperti Trial by Ordeal (salah atau tidak bersalah) ditentukan
dengan cara menjalankan siksaan, jika tidak terluka atau luka yang ada cepat
sembuh dinyatakan tidak bersalah ).
1 Shafeek S. Sanbar, 2007, “Legal Medicine”, Ed 7th, Elsevier Health Sciences, American College of Legal Medicine Textbook Committee, USA, hlm. 662.
Gambar. Constitutio Criminalis Carolina (Sumber: http://tortury.blox.pl/2007/08/.html)
Perkembangan di benua Asia, terutama terjadi di Negara China.
Dimana masyarakat China menggunakan obat-obatan dan entomology untuk
mengungkapkan kasus-kasus kriminal yang ditemukan di sebuah buku
berjudul Xi Yuan Lu, pada masa Dinasti Song (1248) oleh Song Ci. Negara
China juga pertama kali menggunakan sidik jari sebagai salah satu
otentikasi dokumen bisnis. Xi Yuan Lu (Pembersihan Ketidakbenaran)
pengaruhnya masih dikenal hingga sekarang karena isinya yang sangat
komprehensif, dan merupakan acuan untuk melakukan prosedur-prosedur
penanganan kematian yang tidak wajar secara detail, dan menekankan pada
langkah-langkah penting yang harus dilakukan dalam investigasi secara
teliti. Ditambah lagi, pada buku ini juga dicantumkan kesulitan-kesulitan
pemeriksaan akibat pembusukan, luka palsu, luka antemortem, luka
postmortem, dan cara membedakan antara jasad yang ditenggelamkan
setelah dibunuh atau mati karena tenggelam. Penemuan buku ini adalah
aplikasi pertama yang tercatat pengetahuan medis untuk solusi kejahatan.2
Perkembangan ilmu kedokteran forensik berikutnya, kami
mengambil dari penemuan mengenai ilmu kimia, yakni seorang ahli kimia
dari Swedia bernama Karl Willhelm Scheele pada tahun 1775 berhasil
mendeteksi racun tersebut pada tubuh mayat, tetapi dalam konsentrasi yang
tinggi. Beberapa dekade setelahnya, ahli kimia dari Jerman bernama Rose
pada tahun 1806 berhasil menemukan cara yang lebih baik lagi.
2 Wecht C.H., The History of Legal Medicine. J Am Acad Psychiatry Law 33:245–51, 2005.
Gambar . Karl Willhelm Scheele (Sumber: www.britannica.com)
Namun, dari literatur yang kami temukan, percobaan terbesar
dilakukan oleh seorang ahli kimia Skotlandia bernama James Marsh ketika
Ia berhasil menemukan cara mengidentifikasi racun arsen sampai
seperseribu miligram, tepatnya yakni pada 1836, yang digunakan selama
percobaan pembunuhan. Hampir satu abad kemudian, pada tahun 1930,
ilmuwan Karl Landsteiner memenangkan Hadiah Nobel untuk
mengklasifikasikan darah manusia ke dalam berbagai kelompok tersebut.
Karyanya tersebut membuka jalan bagi penggunaan masa depan darah
dalam investigasi kriminal. Tes lain dikembangkan pada pertengahan 1900-
an untuk menganalisis air liur, air mani dan cairan tubuh lainnya serta untuk
membuat tes darah yang lebih tepat untuk kepentingan hukum.
Gambar . James Marsh (Sumber: forensicsciencebester.blogspot.com)
Pada awal tahun 1855, Ambroise Auguste Tardieu, ahli toksikologi
terkemuka di Perancis dan ahli medis forensik dari pertengahan abad ke-19,
pertama kali menarik perhatian mengenai keunggulan yang cukup besar
dengan studi definitif tentang korban sesak napas, mencatat perbedaan
patologis di antara mereka yang dihukum gantung dan di antara orang-orang
yang tercekik dari pencekikan, tekanan dada atau menyesakkan, dan
perdarahan petekie yang terjadi pada kematian asfiksia. Dia menemukan
bintik-bintik darah kecil yang terjadi di bawah pleura dan hati dengan
pencekikan yang cepat, yang Ia beri nama Ecchymosis Tardieu, kini biasa
disebut Tardieu’s Spots. Penemuan tersebut pertama kali dijelaskan oleh
Ambroise Auguste Tardieu di tahun 1859.3
Tardieu juga merupakan orang pertama yang menulis pada
pelecehan seksual anak, yang diklasifikasikan sebagai jenis serangan fisik.
Sindrom anak yang disiksa, sekarang diakui secara luas di dunia, yang juga
dikenal sebagai Sindrom Tardieu dalam rangka menghormati jasanya.4
3 Evans, C.,2004, “The second casebook of forensic detection”, Hoboken, NJ: John Wiley and Sons.4 Labbé, Jean., 2005, “Ambroise Tardieu: The man and his work on child maltreatment a century before Kempe. Child Abuse and Neglect”, hlm. 311–324.
Gambar. Ambroise Auguste Tardieu (Sumber: www.zeno.org)
Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kedokteran forensik
mengalami perkembangan yang pesat. Pada tahun 1863, Taylor dan Wilkes
menulis sebuah makalah tentang penentuan waktu sejak kematian dari
penurunan suhu tubuh, memperkenalkan banyak konsep saat ini. Diketahui
pula, pada tahun yang sama, mereka telah mencatat rata-rata penurunan
suhu tubuh pasca kematian, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan
mengenai kematian mulai berkembang.5 Bukti lainnya yang kami dapatkan
ialah pada tahun 1880, Burman menggunakan grafik suhu untuk
menentukan waktu sejak kematian. Dalam catatan yang dibuat oleh Burman,
Ia menemukan bahwa pengukuran suhu di aksila menunjukkan penurunan
suhu paling cepat setelah kematian, hal tersebut diperkirakan karena suhu
aksila erat berkorelasi dengan kulit daripada inti temperatur.
Setelah penemuan Taylor dan Wilkes, Womack digunakan
matematika yang kompleks, termasuk kalkulus, yang melibatkan Hukum
5 Wilson, C., and Wilson, D. 2003. Written in blood: A history of forensic detection. New York: Carroll and Graf Publishers.
Newton pendinginan serta penggunaan massa tubuh dan luas permukaan.6 Ia
juga yang pertama menggunakan unit suhu dikonversi dari Fahrenheit ke
Celcius dan juga mengakui efek tubuh meliputi metode
thanatochronometry. Selanjutnya, pada tahun 1955 De Saram berusaha
untuk mengukur, melalui rumus matematika, hilangnya panas dari tubuh
oleh radiasi termal, konveksi termal dan termal konduksi, dengan mengukur
efek dari suhu lingkungan, kelembaban udara, permukaan daerah,
penguapan dan lain-lain pada tingkat post-mortem pendinginan dari 41
tahanan yang dieksekusi. Ia juga menggunakan pengukuran suhu rektal yang
diambil pada kedalaman 3 sampai 4 inci (7.62cm ke 10.16cm).
Penemuan selanjutnya yang masih berkaitan yakni pada tahun 1959,
Fiddes dan Patten memperkenalkan metode persentase, di mana mereka
membangun kurva eksponensial yang menjadi linear ketika diplot pada
grafik algoritmik. Mereka mengamati tingkat pendinginan dari 1,5° F
selama 12 jam pertama, memiliki berbagai variasi hingga 70% di kedua sisi.
Mereka menyatakan bahwa faktor eksternal seperti pakaian yang
membungkus tubuh dan suhu lingkungan memiliki pengaruh untuk proses
penurunan suhu dan untuk pertama kalinya, menggunakan model silinder
panjang tak terbatas untuk menjelaskan post-mortem pendinginan. Pada
tahun 1965, Shapiro adalah penulis pertama yang menggunakan istilah
“post-mortem penurunan suhu” untuk mengacu pada tingkat awal yang
lambat inti pendinginan, yang saat ini terdapat pada praktek.
Perkembangan ilmu forensik selanjutnya, tercatat pertama kali pada
abad ke 19 di Perancis Josep Bonaventura Orfila pada suatu pengadilan
dengan percobaan keracunan pada hewan dan dengan buku toksikologinya
dapat meyakinkan hakim, sehingga menghilangkan anggapan bahwa
kematian akibat keracunan disebabkan oleh mistik.7
6 F. Womack, 1887, “The rate of body cooling after death”, St Barts Hosp. Rep., hlm. 193.
Gambar . Josep Bonaventura (Sumber: www.britannia.com)
Pada pertengahan abad ke 19, pertama kali ilmu kimia, mikroskopi,
dan fotografi dimanfaatkan dalam penyidikan kasus kriminal.8 Revolusi ini
merupakan gambaran tanggungjawab dari petugas penyidik dalam
penegakan hukum.
Perkembangan terus berlanjut, ilmu forensik mulai digunakan untuk
mengungkapkan kasus-kasus kriminal. Ada sekitar 100 negara di dunia ini
yang menggunakan sidik jari sebagai alat penyelidikan forensik. Sidik jari
masih dianggap alat paling akurat untuk mengidentifikasi pelaku kejahatan.
Bentuk sidik jari setiap manusia memang sangat khas. Di dunia ini tidak
ada dua manusia yang sidik jarinya sama. Semua sidik jari manusia berbeda.
Perubahan fisik manusia, ternyata tidak mengubah sidik jarinya.
Dalam penyelidikan forensik modern, sidik jari mulai digunakan
tahun 1915, bersamaan dengan dibentuknya International Association
for Identification (IAI). Kemudian di tahun 1977 IAI mulai memberlakukan
standar sertifikasi untuk para penguji sidik jari. Sebelum tahun 1800-an,
lembaga penegak hukum menggunakan memori tampilan visual untuk
7 Gonzales, T.A., M. Vance dan M. Klepern. Legal Medicine and Toxicology. New York: D. Appleton, Century, 1937.8 Eckert, W.G., 1980, Introduction to Forensic Sciences, The C.V. Mosby Company, St.
Louis, Missori.
mengidentifikasi pelaku kejahatan. Namun ternyata cara ini tidak efektif,
karena tampilan visual seseorang bisa dengan mudah diubah.
Sekitar tahun 1870, antropolog asal Prancis, Alphonse Bertillon
mendorong penggunaan sistem identifikasi berdasar ciri khas tulang organ
tubuh tertentu. Sistem ini lebih masuk akal karena tulang khas seseorang
juga tidak mudah untuk diubah.
Gambar. Alphonse Bertillon (Sumber:
http://ilmuta.weebly.com/crime-investigation/fingerprint)
Selang kurang lebih 20 tahun setelahnya, yakni pada tahun 1892, Sir
Francis Galton, seorang Antropolog Inggris dan sepupu dari Charles
Darwin, menerbitkan buku pertama tentang sidik jari. Dalam bukunya,
Galton mengidentifikasi individualitas dan keunikan sidik jari. Ia juga
mendirikan sistem pertama untuk mengklasifikasikan sidik jari.
Karakteristik unik dari sidik jari, seperti yang diidentifikasi oleh Galton,
akan resmi menjadi dikenal sebagai hal-hal kecil, namun mereka kadang-
kadang masih disebut sebagai "Galton Detail". Empat tahun kemudian, Sir
Edward Henry, Komisaris Kepolisian Metropolitan London,
mengembangkan sistem sendiri pada tahun 1896 berdasarkan arah, aliran,
pola dan karakteristik lain di sidik jari. Sejak saat itu, klasifikasi “The
Henry” menjadi standar untuk teknik fingerprinting atau penyelidikan sidik
jari pada kasus kriminal di seluruh dunia.9
Pada tahun yang sama (1986), Juan Vucetich membuat identifikasi
sidik jari kriminal pertama. Ia mampu mengidentifikasi bekas tangan dari
seorang wanita yang membunuh dua putranya dan memotong
tenggorokannya sendiri dalam upaya untuk menyalahkan orang lain. Bekas
darah yang tersisa di pos pintu, membuktikan identitasnya sebagai
pembunuh. 10
Gambar. Juan Vucetich (Sumber: www.entrelineas.info)
Perkembengan di bidang lain yang menunjang ilmu forensik itu
sendiri yakni pada pertengahan abad ke 19, pertama kali ilmu kimia,
mikroskopi, dan fotografi dimanfaatkan dalam penyidikan kasus kriminal.11
Revolusi ini merupakan gambaran tanggungjawab dari petugas penyidik
dalam penegakan hukum. Alphonse Bertillon (1853-1914) adalah seorang
ilmuwan yang pertamakali secara sistematis meneliti ukuran tubuh manusia
sebagai parameter dalam personal indentifikasi. Sampai awal 1900-an
9 Gross, Hans. Criminal Investigations: A Practical Handbook for Magistrates, Police Officers and Lawyers. Diterjemahkan oleh John Adam dan J. Collyer Adam. London: The Specialist Press, 1907.
10 Shafeek S. Sanbar, op.cit. hlm. 445-44711 Eckert, W.G., 1980, Introduction to Forensic Sciences, The C.V. Mosby Company, St.
Louis, Missori.
metode dari Bertillon sangat ampuh digunakan pada personal indentifikasi.
Bertillon dikenal sebagai bapak identifikasi kriminal (criminal
identification).
Gambar . Alphonse Bertillon (Sumber: www.britannia.com)
Dalam perkembangan selanjutnya semakin banyak bidang ilmu yang
dilibatkan atau dimanfaatkan dalam penyidikan suatu kasus kriminal untuk
kepentingan hukum dan keadilan. Ilmu pengetahuan tersebut sering dikenal
dengan Ilmu Forensik. Pada tahun 1835 , Scotland Yard Henry Goddard
menjadi orang pertama yang menggunakan analisis fisika untuk
menghubungkan peluru untuk senjata pembunuhan. Pemeriksaan Bullet
menjadi lebih tepat pada tahun 1920 , ketika dokter Amerika Calvin
Goddard menciptakan mikroskop perbandingan untuk membantu
menentukan peluru yang berasal dari selongsong peluru. Selanjutnya, pada
tahun 1970, sebuah tim ilmuwan di Aerospace Corporation di California
mengembangkan metode untuk mendeteksi residu tembakan menggunakan
pemindaian mikroskop elektron.
Dokter berkebangsaan Italia, Fortunatus Fidelis, diakui sebagai
orang pertama untuk praktek kedokteran forensik modern. Dimana mulai
pada tahun 1598, Ia yang menyatakan kedokteran forensik adalah penerapan
pengetahuan medis untuk pertanyaan hukum. Ini menjadi cabang diakui
kedokteran di awal abad ke-19.
Pada tahun 1900, Spesialis Forensik awal adalah otodidak. Tidak ada
sekolah khusus, program universitas atau pelatihan formal. Pembentukan
kurikulum ilmu forensik pada tahun 1902 di Swiss oleh Profesor RA Reiss
yang bekerja di University of Lausanne, merupakan salah satu langkah
pertama menuju pembentukan ilmu forensik sebagai disiplin akademis.
Tidak sampai awal tahun 1930-an, bahwa Universitas mulai menawarkan
kursus dan gelar dalam ilmu hukum pidana dan ilmu kepolisian. Pada tahun
1950, University of California di Berkeley mendirikan salah satu
departemen akademik pertama kriminologi atau ilmu hukum pidana, dan
American Academy of Forensic Science (AAFS) dibentuk di Chicago.
Dengan semua teknik forensik baru yang muncul di awal abad ke-20,
penegak hukum menemukan bahwa dibutuhkan tim khusus untuk
menganalisa bukti yang ditemukan di TKP. Untuk itu, Edmond Locard,
seorang profesor di University of Lyons, mendirikan laboratorium kriminal
polisi pertama di Perancis pada tahun 1910 . Untuk kepeloporannya dalam
kriminologi forensik, Locard dikenal sebagai ”Sherlock Holmes Perancis.“
Agustus Vollmer, Kepala Kepolisian Los Angeles, mendirikan laboratorium
kriminal polisi Amerika pertama pada tahun 1924. Ketika Federal Bureau of
Investigation (FBI) pertama kali didirikan pada tahun 1908, tidak memiliki
laboratorium kriminal forensik sendiri yang tidak diatur sampai tahun
1932.12
12 Eric Staufer, MS., 2004, “Dr. Edmond Locard and Trace Evidence Analysis In Criminalistics In The Early 1900s: How Forensic Sciences Revolve Around Trace Evidence”, USA.