perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user i
SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL
UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Oleh :
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagai Persyaratan Guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
TRISNA DELNIASARI
NIM E 0008250
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Trisna Delniasari
NIM : E 0008250
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL UNTUK
MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan
hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila
dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima
sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skipsi) ini.
Surakarta, Mei 2012
Yang membuat pernyataan
Trisna Delniasari
NIM.E0008250
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-
orang yang sabar (QS. Al-Baqarah:153).
Manusia tidak dituntut kesempurnaan dalam hidupnya, tetapi dituntut agar
kehidupannya hari ini lebih baik daripada kehidupannya kemarin
(Firmansyah Adilah).
Perhatikan masa lalu dan masa depanmu. Hidup adalah ujian yang datang silih
berganti, seseorang hendaknya mampu keluar dari ujian itu sebagai pemenang
(DR. Aidh al-Qarni).
Kesuksesan bukan dilihat dari hasil melainkan dari proses menuju kesuksesan itu
(Penulis).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan syukur, Penulis mempersembahkan karya ini kepada :
Allah SWT yang memberikan hidup dan jalan penerang bagi setiap umat yang
beriman dan bertakwa.
Bapak Roesbandi dan Ibu Titiek Purwiati, tak pernah lelah memberikan cinta dan
kasih sayang yang selalu tercurah kepada Penulis.
Keluarga besarku, Mbak Desi Erisandy, Mas Ade Kurniawan, Mas Agus Wijanarko,
Mbak Septina Dewi, dan adik-adik kecilku Agnes, Agni, Omar dan Asqhar. Semoga
keluarga kita selalu diberkahi Allah SWT. Amin.
Almamater Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret tercinta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRAK
Trisna Delniasari. E 0008250. SISTEM PENGAWASAN HAKIM
KONSTITUSI YANG IDEAL UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP
INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN. Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlunya pengawasan terhadap
hakim konstitusi dikaitkan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman serta
untuk mengetahui sistem pengawasan hakim konstitusi yang ideal untuk mewujudkan
prinsip independensi kekuasaan kehakiman.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum ini
bersifat preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan perbandingan. Sumber bahan
hukum menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang
berkaitan dengan isu hukum yang dikaji. Bahan hukum primer berupa peraturan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim sedangkan bahan hukum sekunder
berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan dokumen resmi. Teknik
pengumpulan data menggunakan studi pustaka baik dari media cetak maupun media
elektronik (internet) serta teknik analisis yang digunakan adalah logika deduktif,
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan bahwa
diperlukan pengawasan terhadap hakim konstitusi karena kewenangan yang diberikan
UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyangkut masalah
konstitusional bangsa dan negara Indonesia. Untuk menghindari pengaruh-pengaruh
atan ancaman-ancaman yang dapat mengganggu kemandirian atau independensi
kekuasaan kehakiman Mahkamah Konstitusi maka sistem pengawasan hakim
konstitusi menjadi perhatian dan agenda utama untuk menyelenggarakan proses
peradilan yang berwibawa dan bermartabat. Selain itu, diperlukan sistem pengawasan
hakim konstitusi yang ideal untuk mewujudkan prinsip independensi kekuasaan
kehakiman. Sistem pengawasan hakim konstitusi selain menggunakan mekanisme
secara internal yakni Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi juga dengan
pengawasan secara eksternal yang dilakukan oleh lembaga pengawas eksternal yakni
Komisi Yudisial. Keduanya berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Hal ini dimaknai bahwa penguatan prinsip independensi kekuasaan kehakiman dapat
dilakukan jika pengawasan terhadap hakim konstitusi lebih baik, komprehensif dan
terpadu.
Kata Kunci: Pengawasan, Hakim Konstitusi, Independensi Kekuasaan Kehakiman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
ABSTRACT
Trisna Delniasari, E 0008250, THE IDEAL CONTROL SYSTEM OF
CONSTITUTIONAL JUDGES TO REALIZE THE PRINCIPLE OF JUDICIAL
INDEPENDENCE. Faculty Of Law Of Sebelas Maret University Surakarta.
This legal research aims to find out the need for oversight of constitutional
judges that is associated with the principle of judicial independence and to find out
the ideal control system of constitutional judges for realizing the principle of
independence.
This type of legal research is a normative, prescriptive nature of research.
The approach used is a statute, conceptual and comparative approach. The sources
of legal materials using primary law secondary legal materials that is relating to the
legal issues that were examined. The legal research source from primary law
material consisted of legislation and judge’s verdicts as well as secondary law
material constituting all publications about the law not belonging to official
document. The collection techniques using literature study and the used of analytical
techniques is deductive logic.
Based on the results of research and discussion that the constitution
required the control of constitutional judges because of the authority given to the
UUD 1945 to the Constitutional Court of the Republic of Indonesia concerning the
constitutional problems of public interest in Indonesia. To avoid the effects or threats
that may interfere with the judicial independence especially for the Constitutional
Court, so constitutional judges control system becoming urgent to organize the
process of judicial authority and dignity. In addition, it is needed for the ideal control
system of constitutional judges for realizing the principle of judicial independence.
The system of constitutional judges control using the internal mechanism of the
Honorary Council of the Constitutional Court and should external oversight by an
external regulatory agency that is the Judicial Commission. Both of them are based
on the Code of Ethics and Code of Conduct. It is understood that the strengthening of
the principle of judicial independence can be implemented if the control of the
constitutional judges is better, comprehensive and integrated.
Keywords: the Control System, Constututional Judges, Judicial Independence.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya, serta sholawat dan salam senantiasa penulis haturkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya
karena bimbingan dan suri tauladan dari Beliau kita mendapatkan pencerahan dalam
kehidupan ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul :
SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL UNTUK
MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN.
Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar
kesarjanaan dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan,
bimbingan, dorongan, saran dan nasehat dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada :
1. Ibu Prof. Dr Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Ibu Madalina, S.H.,M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara,
Pembimbing I skripsi ini sekaligus Pembimbing Akademik, yang telah membantu
Penulis untuk menyelesaikan masa studi di FH UNS.
3. Bapak Isharyanto S.H,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah membantu
Penulis untuk menyempurnakan skripsi ini.
4. Bapak Muhammad Rustamaji S.H.,M.H selaku pembimbing KSP “Principium”
yang telah memberikan bantuan untuk membimbing mengenai penulisan dan
penelitian hukum selama menjadi keluarga di KSP “Principium”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
5. Bapak Ibu yang telah memberikan semangat yang luar biasa, doa, nasihat kepada
penulis sehingga penulis dapat tegar dalam menjalani hidup serta kakak-kakak
penulis, Mbak Desy Erisandi, Mas Ade Kurniawan, Mas Agus Wijanarko, Mbak
Septina dan sahabat-sahabat kecilku Agnes, Agni, Omar dan Asqhar yang
memberikan kebahagiaan dan canda tawanya kepada Penulis.
6. Teman-teman satu perjuangan Nur Salmi, Wulan (Sapong), Helena Irma, kalian
memberikan arti persahabatan yang sesungguhnya bagi Penulis.
7. Keluarga besar KSP “Principium” FH UNS, Mas Yovi, Mbak Aya, Mbak Citra
Debi, Mas Beni, Mas Tejo, Mas Rian, Mbak Aryani, Mas Aji, teman-teman
seangkatan Dyah NA, Maya, Ardani, Ifah, Atika, serta adik-adikku Miqdad, Citra
Widi, Mia, Dina, Indra dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu
per satu, kalian memberikan pengalaman dan pembelajaran yang berharga bagi
penulis.
8. Teman-teman magang satu tim di Mahkamah Konstitusi, Dwi Murni, Kharisma
Ratu, Raditya, Asri Triaji, Rio Satriawan, Yusuf, Mas Gegana, lanjutkan
perjuangan kawan.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuannya bagi penulis dalam penyelesaian penulisan hukum ini.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu penulis berharap kritik dan saran dari pembaca. Akhirnya penulis berharap skripsi
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca
pada umumnya. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga apa yang
penulis susun dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Surakarta, Mei 2012
Penulis,
Trisna Delniasari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii
HALAMAH PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................ iv
HALAMAN MOTTO ........................................................................................ v
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ vi
ABSTRAK ......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 6
E. Metode Penelitian ..................................................................................... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 13
A. Kerangka Teori ......................................................................................... 13
1. Tinjauan tentang Negara Hukum ......................................................... 13
2. Tinjauan tentang Pemisahan Kekuasaan dan Checks and Balance ...... 20
3. Tinjauan tentang Independensi Kekuasaan Kehakiman ....................... 25
4. Tinjauan tentang Pengawasan .............................................................. 30
B. Kerangka Pemikiran .................................................................................. 35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 37
A. Perlunya Pengawasan Hakim Konstitusi dikaitkan dengan Prinsip
Independensi Kekuasaan Kehakiman ...................................................... 37
B. Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi yang Ideal untuk Mewujudkan
Prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman .......................................... 59
BAB IV PENUTUP .......................................................................................... 76
A. Kesimpulan ............................................................................................. 76
B. Saran ........................................................................................................ 79
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945) telah merubah sistem ketatanegaraan Indonesia. Munculnya
lembaga-lembaga negara hasil perubahan tersebut menegaskan bahwa Negara
Indonesia ingin memperbaiki struktur dan fungsi kelembagaan secara
keseluruhan. Lembaga-lembaga negara tersebut mencerminkan kekuasaan yang
dibagi menjadi tiga, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Salah satu cabang kekuasaan yang sangat signifikan terkait penegakan
hukum di Indonesia ialah kekuasaan yudikatif. Menurut Montesquieu, organ-
organ negara secara struktural harus dibedakan dan dipisahkan agar tidak saling
mencampuri urusan masing-masing sehingga untuk kekuasaan yudikatif hanya
dilakukan oleh lembaga yudikatif (Jimmly Asshiddiqie, 2006:15). Berdasarkan
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Hal utama yang menjadi pioneer dalam tegaknya konstitusi adalah
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga pelaksana
kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung, yang khusus menangani
peradilan ketatanegaraan atau peradilan politik sebagaimana kewenangannya
diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yakni menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Kemudian dalam ayat (2) tersebut bahwa Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar.
UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, salah
satu prinsip pentingnya adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Kuntoro Basuki, 2008:47).
Disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Kekuasaan kehakiman tentunya dilaksanakan oleh hakim-hakim yang
memiliki kapabilitas serta moral yang tinggi dan kebebasannya dijamin oleh
konstitusi. Namun, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa kebebasan hakim
dalam menjalankan wewenang yudisialnya tidaklah bersifat mutlak karena tugas
hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga
putusannya mencerminkan keadilan dalam masyarakat sehingga kebebasan hakim
dibatasi oleh kepentingan para pihak dan ketertiban umum (Kunthoro Basuki,
2008:48). Hal demikian harus diimplementasikan agar penyelenggaraan proses
peradilan dapat mewujudkan nilai-nilai fundamental yakni proses peradilan yang
terselenggara secara wajar, efisiensi, aksesibilitas, kepercayaan masyarakat
terhadap pengadilan serta independensi kekuasaan kehakiman (Susi Dwi
Harijanti, 2008:32).
Berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaaan
kehakiman, maka Mahkamah Konstitusi harus pula mewujudkan proses peradilan
yang bebas dan merdeka. Mengingat identitas kelembagaan Mahkamah Konstitusi
sebagai pengadilan tunggal, tidak ada pertingkatan di dalamnya yang dapat
digunakan sebagai mekanisme banding (Muchammad Ali Safaat, 2010:32). Oleh
karena itu, proses penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Mahkamah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Konstitusi memerlukan pengawasan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang
atau kekuasaan.
Untuk mendukung Mahkamah Konstitusi yang bebas dan merdeka guna
menegakkan hukum dan keadilan, haruslah memiliki figur hakim konstitusi yang
bersih, independen dan imparsial. Sehingga mekanisme pengawasan terhadap
hakim konstitusi diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, dan diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Mekanisme pengawasan tersebut dilakukan secara
internal oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi. Hal tersebut disebabkan hakim
konstitusi dituntut harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (5)
UUD 1945.
Terdapat dua putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan
pengawasan hakim konstitusi yang membatalkan pasal dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan membatalkan beberapa pasal
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang dimohonkan
judicial review. Pertama, putusan perkara Nomor 005/PUU-IV/2006 menyatakan
bahwa kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam pengawasan hanyalah sebatas
perilaku hakim tidak pada teknik yustisial ataupun administratif peradilan maupun
dengan mengawasi putusan dan hakim konstitusi bukanlah obyek pengawasan
Komisi Yudisial. Putusan ini didaasarkan pada tiga pendapat utama, yakni :
penafsiran sistematis dan original intent bahwa perumusan dalam UUD 1945
tidak memasukkan hakim konstitusi sebagai salah satu obyek pengawasan Komisi
Yudisial dan ketentuan tentang KY diletakkan sesudah ketentuan tentang MA dan
sebelum MK; hakim konstitusi bukan merupakan hakim biasa melainkan dipilih
oleh DPR, Presiden dan Mahkamah Agung dan tidak melibatkan KY; dan apabila
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
hakim konstitusi merupakan obyek pengawasan KY maka ketika ada sengketa
kewenangan lembaga negara yang melibatkan KY, MK tidak mungkin memutus.
Kedua, putusan perkara Nomor 49/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa salah
satunya membatalkan pasal yang terkait dengan pengisian anggota Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang merupakan unsur dari DPR, Pemerintah,
Komisi Yudisial, hakim agung dan hakim konstitusi. Pertimbangan hukum dalam
putusan ini adalah agar Mahkamah Konstitusi tetap menjaga sifat
independensinya. Akibat adanya kedua putusan tersebut maka sistem pengawasan
hakim konstitusi tetap pada sistem pengawasan secara internal tanpa melibatkan
unsur lembaga pengawas eksternal, yakni Komisi Yudisial.
Namun kembali lagi, hakim konstitusi juga harus tetap mengedepankan
independensi meskipun pengisian jabatannya dipilih oleh Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Agung (MA). Untuk dapat
mewujudkannya, pengawasan terhadap hakim konstitusi perlu dilakukan agar
tetap menjamin hak konstitusional warga negara yang dilanggar. Menurut A.
Irmanputra Sidin (2008:78) bahwa pengawasan hakim menjadi keniscayaan untuk
dilakukan dan hal ini diakui secara universal oleh UN Basic Principles On
Independence of the Judiciary 1985 dan The Bangalore Principles of Judicial
Conduct 2002.
Mengingat bahwa salah satu proses peradilan Mahkamah Konstitusi
objectum litis-nya adalah masalah konstitusionalitas undang-undang yang lebih
menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum
tertinggi (supreme law), bukan semata-mata kepentingan individual sehingga
dibutuhkan pertanggungjawaban yang begitu besar. Begitu pula, terhadap
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilihan umum kepala daerah yang
rentan terhadap praktik judicial corruption. Sebagaimana peristiwa yang pernah
menggemparkan Mahkamah Konstitusi tahun 2011 yang lalu yakni terjadinya
praktik suap terhadap hakim konstitusi sehingga menimbulkan pertanyaan apakah
Mahkamah Konstitusi masih bersih? Perlu diketahui pula bahwa di komunitas
pegiat hukum sudah muncul kecemasan bahwa Mahkamah Konstitusi seakan-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
akan menjadikan dirinya sebagai lembaga super bahkan tirani pemikiran baru
dalam bidang konstitusi karena posisi konstitusional putusan-putusannya yang
final dan banding. Oleh karena itu, pengawasan dilakukan juga terhadap perilaku
hakim konstitusi agar martabat kehormatan dan kenegarawanannya senantiasa
terjaga.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis bermaksud untuk mengkaji
lebih mendalam mengenai pengawasan hakim konstitusi dikaitkan dengan
independensi kekuasaan kehakiman di Indonesia melalui penulisan hukum yang
berjudul “SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL
UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN
KEHAKIMAN”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis
merumuskan permasalahan untuk dikaji lebih mendalam. Adapun beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Mengapa diperlukan pengawasan terhadap hakim konstitusi dikaitkan dengan
prinsip independensi kekuasaan kehakiman ?
2. Bagaimana sistem pengawasan hakim konstitusi yang ideal untuk mewujudkan
prinsip independensi kekuasaan kehakiman ?
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu
yang hendak dicapai. Tujuan penelitian juga harus jelas sehingga dapat
memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk menjelaskan perlunya pengawasan terhadap hakim konstitusi
dikaitkan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
b. Untuk mengetahui sistem pengawasan hakim konstitusi yang ideal untuk
mewujudkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan penulis dalam
mengkaji masalah di bidang hukum tata negara khususnya terkait
pengawasan hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi.
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar S1 dalam
bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini
akan bermanfaat bagi penulis maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat
diperoleh dari penulisan hukum ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada
umumnya dan hukum tata negara pada khususnya dalam kaitannya dengan
pengawasan hakim konstitusi.
b. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan tentang hukum tata negara.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk
mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta
tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang
diteliti, dan berguna bagi para pihak yang pada kesempatan lain mempunyai
minat untuk mengkaji permasalahan yang sejenis.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum
doktrinal. Hutchinson memberikan definisi penelitian hukum doktrinal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
(doctrinal research) adalah research which provides a systematic exposition of
the rules governing a particular legal category, analyses the relationship
between rules, explain areas of difficulty and perhaps, predicts future
development. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,
teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006:32).
Dalam hal ini peneliti akan melakukan penelitian hukum atas
permasalahan mengenai perlunya sistem pengawasan terhadap hakim
konstitusi berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU-IV/2006 dan Nomor 049/PUU-IX/2011 serta keterkaitan sistem
pengawasan hakim konstitusi untuk menjaga prinsip independensi kekuasaan
kehakiman.
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2006:22). Dari hasil telaah
dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat hukum yang
dikemukakan oleh ahli hukum merupakan suatu preskripsi. Begitu juga
tuntutan jaksa, petitum atau eksepsi atau dalam pokok perkara di litigasi berisi
preskripsi. Untuk dapat memberikan preskripsi itulah guna praktik penelitian
hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006:37). Berdasarkan definisi tersebut
karakter preskriptif akan dikaji adalah pada sistem pengawasan hakim
konstitusi yang ideal di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
3. Pendekatan Penelitian
Menurut pandangan Peter Mahmud Marzuki (2006:93) bahwa di
dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan
tersebut maka akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek untuk
menjawab mengenai isu hukum. Pendekatan - pendekatan dimaksud meliputi :
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).
Berkenaan dengan pandangan Peter Mahmud Marzuki tersebut,
penulis menggunakan beberapa pendekatan yang relevan dengan permasalahan
penelitian yang dihadapi, diantaranya adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan
pendekatan perbandingan (comparative approach).
Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2006:93). Penelitian ini
menggunakan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum, peneliti akan
menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-
konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang
dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006:95). Penelitian ini akan menguraikan
permasalahan mengenai teori independensi kekuasaan kehakiman terkait
dengan pengawasan hakim konstitusi ditinjau dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin hukum terkait.
Selain itu, penelitian ini menggunakan pula pendekatan perbandingan.
Pendekatan ini dilakukan dengan cara membandingkan undang-undang suatu
negara dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain mengenai hal
yang sama. Selain itu, dapat diperbandingkan juga putusan pengadilan di
beberapa negara untuk kasus yang sama (Peter Mahmud Marzuki. 2006:95).
Penelitian ini mengkaji pula undang-undang ataupun putusan-putusan tentang
Mahkamah Konstitusi di Negara Jerman yang berkaitan dengan pengawasan
hakim konstitusi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Penulisan hukum ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki (2006:141), bahan hukum
primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai
otoritas sedangkan bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 pada tanggal
23 Agustus 2006;
5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 049/PUU-IX/2011 pada tanggal
18 Oktober 2011;
6) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 07/PMK/2005 tentang
Pemberlakuan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi; dan
7) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PMK/2006 tentang Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
b. Bahan hukum sekunder yang digunakan buku-buku teks, jurnal-jurnal
hukum, kamus-kamus hukum, komentar-komentar atas putusan pengadilan,
artikel internet dan artikel media massa yang berkaitan dengan topik yang
dibahas.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan hukum ini adalah
menggunakan teknik studi pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder diiventarisasi dan diklasifikasikan dengan menyesuaikan
masalah yang dibahas. Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
dibahas dipaparkan, disistematisasi, kemudian dianalisis untuk
mengintepretasikan hukum yang berlaku (Johnny Ibrahim, 2008:296).
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang penulis gunakan adalah logika
deduktif. Menurut Robert E. Rodes, logika deduktif digunakan untuk menarik
kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual
(Johnny Ibrahim, 2008:249). Hal senada dipaparkan pula oleh Peter Mahmud
Marzuki (2006:47) bahwa penggunaan logika dalam penelitian hukum dapat
digunakan metode deduksi. Metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan
premis mayor, kemudian diajukan premis minor dan dari kedua premis tersebut
ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.
Dalam penelitian hukum ini peneliti menyajikan teori-teori ilmu
hukum yang bersifat umum yakni terkait independensi kekuasaan kehakiman
kemudian menarik kesimpulan dari kasus faktual yang diteliti dan dianalisa
yakni sistem pengawasan hakim konstitusi.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum ini digunakan untuk mendapatkan
gambaran yang menyeluruh mengenai bahasan mengenai penulisan hukum yang
sesuai dengan aturan atau kaidah baku penulisan suatu karya ilmiah. Adapun
sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam penulisan ini penulis akan menguraikan mengenai :
A. Latar Belakang Masalah
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim-hakim konstitusi berpengaruh
besar terhadap bangsa Indonesia karena salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang berlaku
untuk seluruh rakyat Indonesia. Begitu pula, terhadap kewenangan
untuk menyelesaikan sengketa pemilihan umum kepala daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
yang rentan terhadap praktik judicial corruption. Oleh karena itu,
perlu dikaji lebih mendalam mengenai pengawasan terhadap hakim
konstitusi agar martabat kehormatan dan kenegarawanannya
senantiasa terjaga sebagaimana diterapkannya prinsip independensi
kekuasaan kehakiman.
B. Rumusan Masalah
Menguraikan tentang sistem pengawasan hakim konstitusi dan
sistem pengawasan tersebut apakah sesuai dengan prinsip
independensi kekuasaan kehakiman.
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Metode Penelitian
F. Jadwal Penelitian
G. Sistematika Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Negara Hukum
2. Tinjauan tentang Pemisahan Kekuasaan dan Chekcs and
Balances
3. Tinjauan tentang Independensi Kekuasaan Kehakiman
4. Tinjauan tentang Pengawasan
B. Kerangka Pemikiran
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam pembahasan, diuraikan mengenai mengapa diperlukan sistem
pengawasan terhadap hakim konstitusi yang kemudian menelaah
peraturan perundang-undangan terkait yakni Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi serta Putusan
Mahkamah Konstitusi yang khusus terkait mengenai pengawasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
hakim konstitusi yakni Nomor 005/PUU-IV/2006 dan Nomor
049/PUU-IX/2011. Selain itu juga, dianalisis mengenai sistem
pengawasan hakim konstitusi yang ideal dalam mewujudkan prinsip
independensi kekuasaan kehakiman dengan mengunakan teori-teori
dan doktrin-doktrin ilmu hukum.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini, penulis menguraikan kesimpulan yang diperoleh dari
hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang penulis
kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan
hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Negara Hukum
Menurut Soepomo bahwa konsepsi negara hukum merupakan gagasan
yang muncul untuk menentang konsep absolutisme yang telah melahirkan
negara kekuasaan. Pada pokoknya kekuasaan penguasa (raja) harus dibatasi
agar jangan memperlakukan rakyat dengan sewenang- wenang. Pembatasan itu
dilakukan dengan jalan adanya supremasi hukum, yaitu bahwa segala tindakan
penguasa tidak boleh sekehendak hatinya, tetapi harus berdasar dan berakar
pada hukum dan undang-undang yang berlaku dan untuk itu juga harus ada
pembagian kekuasaan negara, khususnya kekuasaan yudikatif harus dipisahkan
dari penguasa (Mukhtie Fadjar, 2004:7).
Secara umum, dalam teori negara hukum, terdiri dari konsep negara
hukum dalam arti rechtsstaat, dan negara hukum dalam pengertian sebagai the
rule of law. Konsep rechtsstaat dikembangkan di negara Eropa Kontinental
sedangkan konsep rule of law dikembangkan di negara Anglo Saxon.
Konsep rechtstaat bersumber dari rasio manusia, liberalistik
individualistik, humanisme yang antroprosentrik, serta pemisahan negara dan
agama secara mutlak-ateisme dimungkinkan. Adapun unsur-unsur utama
menurut F.J. Stahl terdapat empat unsur dari negara hukum, yakni (Sirajudin
dan Zulkarnain, 2006:15) :
a. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia;
b. Adanya pembagian kekuasaan;
c. Pemerintah haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan
d. Adanya peradilan administrasi.
Dari keempat unsur utama negara hukum tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa menurut Stahl negara hukum bertujuan untuk melindungi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
hak-hak asasi warga negaranya dengan cara membatasi dan mengawasi gerak
langkah dan kekuasaan negara dengan undang-undang. Jadi hanya
mengedepankan aspek formalnya saja, sehingga hak asasi dan kebebasan
individu terlindungi secara formal. Hasilnya hanya membawa persamaan
dalam aspek hukum dan politik saja. Konsep Stahl ini merupakan
penyempurnaan terhadap konsep negara hukum liberal (Ni‟matul Huda,
2011:7).
Konsep rechsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutisme
sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep the rule of law berkembang
secara evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria rechsstaat dan kriteria
the rule of law.
Konsep rechtsstaat bertumpu atas sistem hukum konstinental yang
disebut civil law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem
hukum yang disebut common law. Karakteristik civil law adalah administratif,
sedangkan karakteristik common law adalah judicial. Adapun ciri-ciri
rechsstaat adalah:
a. Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan
tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;
b. Adanya pembagian kekuasaan negara; dan
c. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat (Ni‟matul Huda,
2011:10).
Ciri di atas dengan jelas menunjukkan bahwa ide sentral daripada
rechsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya undang-undang
dasar akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dan
persamaan. Adanya pembagian kekuasaan untuk menghindarkan penumpukan
kekuasaan dalam satu tangan yang sangat cenderung kepada penyalahgunaan
kekuasaan, berarti pemerkosaan terhadap kebebasan dan persamaan (Ni‟matul
Huda,2011:11).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
A.V. Dicey menjelaskan bahwa konsep rule of law sumbernya sama
dengan konsep rechstaat. Adapun unsur-unsur utamanya mencakup:
a. Supremasi aturan-aturan hukum. Tidak adanya kekuasaan sewenang-
wenang dalam arti bahwa seseorang boleh dihukum jika melanggar hukum;
b. Kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalil ini berlaku, baik bagi
mereka rakyat kebanyakan maupun pejabat; dan
c. Terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan-
keputusan pengadilan (Sirajudin dan Zulkarnain, 2006:16).
Dicey mengemukakan bahwa supremasi hukum berarti warga negara
diatur oleh hukum, dan dengan hukum itu sendiri seseorang dapat dihukum
karena melanggar hukum, bukan dihukum karena sesuatu alasan yang lain.
Tentang persamaan di depan hukum, semua kelompok masyarakat memiliki
ketertundukan yang sama di mata hukum umum negara, yang dijalankan oleh
peradilan umum. The rule of law tidak mengenal adanya pengecualian bagi
pejabat pemerintah atau orang-orang tertentu terhadap hukum yang mengatur
warga negara secara keseluruhan, seperti halnya pada pengadilan administratif
(droit administratif). Kaitannya dengan due process of law, jaminan atas hak-
hak pribadi adalah hasil dari keputusan pengadilan, dan parlemen sebagai
simbolisasi raja dan demos-warga, khusus mengenai mekanisme pelaksanaan
kekuasaan. Jadi konstitusi yang berisikan jaminan hak-hak pribadi warga
negara merupakan hasil dari hukum umum negara (Wahyudi Djafar,
2010:153).
Menurut Wirjono Projodikoro, negara hukum berarti suatu negara
yang didalam wilayahnya:
a. semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan
dari Pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara
maupun dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang-
wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang
berlaku;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
b. semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk
pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku (Ni‟matul Huda,2011:11).
International Commission of Jurists, dalam konferensinya di
Bangkok, pada tahun 1965, mencirikan konsepsi negara hukum adalah yang
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut.
a. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu,
konstitusi juga mengatur prosedur untuk mengakses perlindungan atas hak-
hak tersebut;
b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak;
c. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat;
d. Kebebasan untuk berserikat dan beroposisi; dan
e. Pendidikan kewarganegaraan (Wahyudi Djafar, 2010:153-154).
Sementara Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau
negara hukum klasik dan negara hukum materiel atau negara hukum modern.
Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan
sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan
yang kedua, yaitu negara hukum materiel yang lebih mutakhir mencakup pula
pengertian keadilan di dalamnya (Jimmly Asshiddiqie, 2006:153).
Sedangkan Wolfgang Friedman, dalam Law is a Changing Society,
membagi negara hukum dalam pengertian the rule of law menjadi negara
hukum formal dan negara hukum material. Secara formal the rule of law berarti
organized public power, atau kekuasaan umum yang terorganisasi. Sedangkan
dalam arti material, the rule of law didefinisikan sebagai rule of just law,
artinya dalam konsep the rule of law, di dalamnya tercakup pula keadilan yang
sifatnya lebih substantif dan esensial, tidak sekedar memfungsikan bunyi dari
undang-undang tertulis (Wahyudi Djafar. 2010:154).
Menurut Jimmly Asshiddiqie (2006:154-161) yang mendasarkan pada
beragam pemikiran tentang negara hukum, menyebutkan terdapat dua belas
prinsip pokok yang merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri
tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai negara hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
(the rule of law ataupun rechtsstaat). Adapun prinsip-prinsip pokok negara
hukum sebagai berikut.
a. Supremasi hukum (supremacy of law)
Adanya pengakuan nomatif dan empirik akan prinsip supremasi
hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai
pedoman tertinggi.
b. Persamaan dalam hukum (equality before the law)
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan
pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik.
c. Asas legalitas (due process of law)
Setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas
dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan
pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang
sah dan tertulis.
d. Pembatasan kekuasaan
Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara
dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau
pemisahan kekuasaan secara horizontal bertujuan agar kekuasaan tidak
tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang
memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
e. Organ-organ eksekutif independen
Independensi lembaga dianggap sangat penting untuk menjamin
prinsip negara hukum dan demokrasi.
f. Peradilan yang bebas dan tidak memihak
Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam
setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak
boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan
(politik) maupun kepentingan uang (ekonomi).
g. Peradilan Tata Usaha Negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Setiap negara hukum harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap
warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi negara dan
dijalankannya putusan hakim tata usaha negara oleh pejabat administrasi
negara.
h. Peradilan Tata Negara (constitutional court)
Pentingnya mahkamah konstitusi (constitutional court) ini adalah
upaya memperkuat sistem checks and balances antara cabang-cabang
kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi.
i. Perlindungan hak asasi manusia
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia
dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang
adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan
secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting dari suatu negara
hukum yang demokratis.
j. Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat)
Dianut dan dipraktekannya prinsip demokrasi atau kedaulatan
rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di
tengah masyarakat.
k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare
rechtsstaat)
Cita-cita hukum, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara
demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara
hukum (nomocracy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
umum.
l. Transparansi dan kontrol sosial
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap
setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan
kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara
langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan
kebenaran.
Indonesia adalah negara hukum, hal ini secara normatif dirumuskan
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945). Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap
sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara dan penduduknya
harus didasarkan atau sesuai dengan hukum. Dengan ketentuan demikian
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi
kekuasaan. Hukumlah yang memegang kekuasaan dan memimpin
penyelenggaraan negara, sebagaimana konsep nomocratie, yaitu kekuasaan
dijalankan oleh hukum (nomos).
Mahfud MD menyatakan bahwa sejak perubahan tahap ketiga UUD
1945, konstitusi kita sudah mengarahkan agar penegakan hukum di Indonesia
secara prinsip menganut secara seimbang segi-segi baik dari konsepsi
rechsstaat dan the rule of law sekaligus yakni menjamin kepastian hukum dan
menegakkan keadilan substansial (Ni‟matul Huda, 2011:18).
Penegasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, serta pernyataan
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka,
mengandung spirit untuk tidak menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan,
menegakkan prinsip persamaan di depan hukum dan melindungi campur
tangan baik yang bersifat internal maupun eksternal terhadap kekuasaan
kehakiman dalam rangka mencegah dan menghindari kegagalan pencapaian
keadilan (Ni‟matul Huda, 2011:18).
Secara mendasar, gerakan reformasi harus diinterpretasikan sebagai
suatu upaya yang terorganisir dan sistematis dari bangsa Indonesia untuk
mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi, yang disepanjang kekuasaan
rezim Orde Baru terlanjur telah dimanipulasi dan diselewengkan. Berdasarkan
interpretasi reformasi tersebut, maka agenda nasional harus difokuskan pada
upaya pengembangan yang terus „indeks demokrasi‟ (indices of democracy).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Indeks itu dapat dikelompokkan ke dalam empat aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara. Pertama, keberadaan sistem pemiliha umum yang bebas dan
adil. Kedua, keberadaan pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif.
Ketiga, pemajuan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik seluruh warga
tanpa kecuali. Keempat, keberadaan masyarakat yang memiliki rasa percaya
diri yang penuh (Ni‟matul Huda, 2011:18).
Dalam hubungannya dengan reformasi hukum dalam kerangka empat
aspek dasar demokrasi di atas, pemerintah harus secara sistematis menerapkan
reformasi yang didasarkan kepada elemen-elemen konsep sistem hukum yaitu;
(1) struktur hukum; (2) elemen substansi hukum; (3) elemen budaya hukum.
Lawrence M. Friedman menegaskan, bagaimanapun baiknya norma hukum,
suatu undang-undang tanpa didukung penegak hukum yang handal dan
dipercaya, hukum tidak akan efektif mencapai tujuannya. Hukum dengan
norma yang baik dan didukung dengan aparat penegak hukum yang handal dan
dipercaya juga akan kurang efektif tanpa didukung budaya hukum masyarakat
yang bersangkutan (Ni‟matul Huda, 2011:19).
2. Tinjauan tentang Pemisahan Kekuasaan dan Checks and Balances
a. Teori Pemisahan Kekuasaan
Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan dianggap berasal
dari Montesquieu dengan trias politica-nya. Trias Politica dari Montesquieu
ialah kekuasaan negara yang dibagi atau tegasnya dipisahkan menjadi tiga
dan masing-masing kekuasaan dilakukan oleh suatu badan yang berdiri
sendiri, yaitu:
1) Kekuasaan perundang-undangan (legislatif);
2) Kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif); dan
3) Kekuasaan kehakiman (yudikatif) (Soehino, 2000:117).
Sebenarnya, konsep awal mengenai hal ini dapat ditelusuri kembali
dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Government” yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh
dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. Oleh Montesquieu,
pemikiran John Locke itu diteruskannya dengan mengembangkan konsep
trias politica yang membagi kekuasan negara menjadi tiga cabang
kekuasaan tersebut. Pandangan Montesquieu inilah yang kemudian
dijadikan rujukan doktrin separation of power di zaman sesudahnya
(Jimmly Asshiddiqie, 2006:15).
Istilah pemisahan kekuasaan dalam bahasa Indonesia merupakan
terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica
atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus
dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak
saling mencampuri urusan masing-masing. Kekuasaan legislatif hanya
dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh
lembaga eksekutif, dan demikian pula yudikatif hanya dilakukan oleh
cabang kekuasaan yudisial. Sehingga pada intinya, satu organ hanya dapat
memiliki satu fungsi, atau sebaliknya satu fungsi hanya dapat dijalankan
oleh satu organ (Jimmly Asshiddiqie, 2006:16).
Untuk membatasi pengertian separation of powers itu, G. Marshall
dalam bukunya “Constitutional Theory” yang dikutip oleh Jimmly
Asshiddiqie (2006:21-22), membedakan ciri-ciri doktrin pemisahan
kekuasaan ke dalam 5 (lima) aspek, yaitu :
1) Differentiation
Doktrin pemisahan kekuasaan itu bersifat membedakan fungsi-
fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial. Legislator membuat
aturan, eksekutor melaksanakannya, sedangkan pengadilan menilai
konflik atau perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan aturan itu dan
menerapkan norma aturan itu untuk menyelesaikan konflik atau
perselisihan.
2) Legal incompatibility of office holding
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Doktrin pemisahan kekuasaan menghendaki orang yang
menduduki jabatan di lembaga legislatif tidak boleh merangkap pada
jabatan di luar cabang legislatif.
3) Isolation, immunity, independence
Doktrin pemisahan kekuasaan menentukan bahwa masing-masing
organ tidak boleh turut campur atau melakukan intervensi terhadap
kegiatan organ yang lain. Dengan demikian, independensi masing-
masing cabang kekuasaan dapat terjamin dengan sebaik-baiknya.
4) Checks and balances
Doktrin pemisahan kekuasaan dianggap paling penting adalah
adanya prinsip checks and balances, di mana setiap cabang
mengendalikan dan mengimbangi kekuatan cabang-cabang kekuasaan
yang lain. Adanya perimbangan yang saling mengendalikan tersebut,
diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan di masing-masing
organ yang bersifat independen itu.
5) Co-ordinate status and lack of accountability
Prinsip koordinasi dan kesederajatan, yaitu semua organ atau
lembaga negara yang menjalankan fungsi legislatif, eksekutif dan
yudisial mempunyai kedudukan yang sederajat dan mempunyai
hubungan yang bersifat co-ordinatif, tidak bersifat sub-ordinatif satu
dengan yang lain.
Konsep pemisahan kekuasaan secara akademis dapat dibedakan
antara pengertian sempit dan pengertian luas. Dalam pengertian luas, konsep
pemisahan kekuasaan (separation of power) mencakup pengertian
pembagian kekuasaan yang biasa disebut dengan istilah division power
(distribution of power). Pemisahan kekuasaan merupakan konsep hubungan
yang bersifat horizontal, sedangkan konsep pembagian kekuasaan bersifat
vertikal. Secara horizontal, kekuasaan negara dapat dibagi ke dalam
beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga
negara tertentu, yaitu legislatif, eksekutif, dan judikatif. Sedangkan dalam
konsep pembagian kekuasaan (distribution of power atau division of power)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
kekuasaan negara dibagikan secara vertikal dalam hubungan “atas-bawah”
(Jimmly Asshiddiqie, 2000:1).
Meskipun dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan negara
secara murni atas teori Montesquieu yang memisahkan secara tegas antar
tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun, sejak
awal, khusus berkenaan dengan cabang kekuasaan yudikatif sudah dengan
tegas ditentukan harus bebas dan merdeka dari pengaruh cabang kekuasaan
lainnya, terutama pemerintah (http://www.scribd.com/doc/27668229/Ot
onomiDaerahDanParlemen-Di-Daerah diakses pada tanggal 20 November
20122 pukul 09:07 WIB).
b. Sistem Checks and Balances
Perubahan Ketiga UUD 1945 telah menciptakan pembagian
kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses
saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang
kekuasaan negara yang ada, yang disebut dengan mekanisme checks and
balances (Maruarar Siahaan, 2008:49).
Checks and balances system adalah sistem dimana orang-orang
dalam pemerintahan dapat mencegah pekerjaan pihak yang lain dalam
pemerintahan jika mereka meyakini adanya pelanggaran terhadap
hak. Pengawasan (checks) sebagai bagian dari checks and balances adalah
suatu langkah maju yang sempurna. Mencapai keseimbangan lebih sulit
untuk diwujudkan. Gagasan utama dalam checks and balances adalah upaya
untuk membagi kekuasaan yang ada ke dalam cabang-cabang kekuasaan
dengan tujuan mencegah dominannya suatu kelompok. Apabila seluruh
ketiga cabang kekuasaan tersebut memiliki checks terhadap satu sama
lainnya, checks tersebut dipergunakan untuk menyeimbangkan kekuasaan
(Djatmiko Anom Husodo, 2010:24).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif itu
sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan
prinsip checks and balances. Dengan adanya prinsip checks and balances
ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan
sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat
penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang
menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan
dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya (Ni‟matul Huda,
2007:74-75).
Ketika reformasi membuka pintu bagi dilakukannya amandemen
atas UUD 1945, maka yang cukup menonjol disuarakan adalah
memasukkan sistem checks and balances antara lembaga legislatif, lembaga
eksekutif, dan lembaga yudikatif. Dalam hal hubungan antara Presiden dan
DPR, maka dominasi Presiden dalam proses legislasi digeser ke DPR. Jika
dalam waktu 30 hari sejak disahkan di DPR sebuah RUU belum
ditandatangani (disahkan) oleh Presiden, maka RUU tersebut sah sebagai
UU dan wajib diundangkan tanpa harus ditandantangani oleh Presiden
[Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 hasil perubahan]. Dalam hal
hubungan antara yudikatif dan legislatif, maka gagasan checks and balances
mengumandangkan usul agar lembaga yudisial diberi wewenang untuk
menguji UU terhadap UUD. Ini pun kemudian diterima dan dituangkan di
dalam Pasal 24 yang mengatur bukan pengujian isi (uji materi) saja tetapi
juga pengujian prosedur (uji formal). MK menguji UU terhadap UUD,
sedangkan MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU
terhadap peraturan perundang-undangan yang di atasnya (Mahfud MD,
2010:68).
3. Tinjauan tentang Independensi Kekuasaan Kehakiman
Doktrin terpenting guna tercapainya independensi kekuasaan
kehakiman adalah doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
dalam perkembangan dunia modern tidak berarti pemisahan secara total organ-
organ negara, melainkan tercipta melalui sistem checks and balances (Susi
Dwi Harijanti, 2008:32).
Kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum yang demoktratis
haruslah mandiri dan terlepas dari campur tangan apa pun dan dari mana pun.
Montesquieu menekankan pentingnya kekuasaan yudikatif karena kekuasaan
kehakiman yang independen akan menjamin kebebasan individu dan hak asasi
manusia. Mengenai perlunya pemisahan kekuasaan kehakiman dari cabang-
cabang kekuasaan negara lainnya, Montesquieu mengemukakan bahwa,
kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman tidak
dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Jika
kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan legislatif,
kekuasaan atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan
dijalankan sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembuat
hukum. Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan
eksekutif, hakim bisa menjadi penindas (Sirajudin dan Zulkarnain,
2006:31).
Lebih lanjut oleh Montesquieu menjelaskan pula mengenai
independensi peradilan, adalah :
bahwa peradilan tidak lain merupakan mulut undang-undang,
sehingga putusan hakim merupakan suatu putusan hukum, bukan
dipandang sebagai putusan politik. Putusan pengadilan semata
merupakan konkretisasi apa yang dimuat dalam undang-undang,
bukan lahir dari tekanan atau lobi politik (Muhammad Nasrun yang
dikutip oleh Iriyanto A. Baso Ence, 2008:129).
Independensi peradilan bukanlah sesuatu yang otomatis terjadi karena
kekuasaan-kekuasaan di luar pengadilan memiliki potensi mencampuri
pelaksanaan fungsi peradilan. Hal ini terlihat pada pemerintahan di Perancis
sebelum revolusi Perancis 1789, yakni peradilan merupakan bagian dari
kekuasaan yang absolut. Oleh karena itu, peradilan yang tidak independen
sangat berbahaya, karena proses peradilan akan secara mudah dimanipulasi
untuk mencegah pengadilan mempertanyakan legalitas tindakan-tindakan
illegal atau semena-mena oleh para pelaksana kekuasaan negara (Iriyanto A.
Baso Ence, 2008:127).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Sementara oleh The International Association of Judges menerangkan
mengenai independensi kekuasaan kehakiman yakni:
“judicial independence is independence from any external
influence on a judge’s decisions in judicial matters, ensuring [for]
the citizens impartial trial according to law. This means that the
judge must be protected against the possibility of pressure and
other influence by the executive and legislative powers of [the]
state as well as by the media, business enterprises, passing popular
opinion etc. But it also implies guarantees against influence from
within the judiciary itself” (Jaan Ginter,2010:109).
Berdasarkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang ada di
Negara Amerika Serikat, Charles G. Geyh (2003:159) menjelaskan sebagai
berikut:
“Independence” literally means the absence of dependence, which
is to say complete autonomy and insusceptibility to external
guidance, influence, or control. If we think of judicial independence
in literal terms, however, federal judges are not “independent,” at
least not as dictionaries define the word. They are not autonomous,
because Congress retains ultimate control over their budget,
jurisdiction, structure, size, administration, and rulemaking.
Moreover, they are susceptible to outside influence; if judges
engage in behavior (on or off the bench) that the political branches
characterize as criminal, they may be prosecuted and imprisoned;
if they make politically unacceptable decisions, the President and
Senate may decline to appoint them to higher judicial office; if they
commit “high crimes and misdemeanors,” they may be impeached
and removed from office; if they make decisions with which higher
courts disagree, their decisions may be reversed; and if they
engage in behavior that judicial councils regard as misconduct,
they may be disciplined.”
Menurut Jimmly Asshiddiqie ada tiga pengertian independensi, yaitu :
a. Struktural Independence yaitu independensi kelembagaan negara, disini
dapat dilihat dari bagan organisasi yang terpisah dari organisasi lain seperti
eksekutif dan yudikatif;
b. Functional Independence yaitu independensi yang dilihat dari segi jaminan
pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman dari intervensi ekstra
yudisial; dan
c. Financial Independence yaitu dilihat dari kemandiriannya menentukan
sendiri anggaran yang dapat dijamin kemandiriannya dalam mejalankan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
fungsi(http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/KEKUASAAN%20KEHAK
IMAN%20YANG%20MERDEKA%20DAN%20MASA%20DEPAN%20P
ERADILAN%20AGAMA.pdf).
Kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti dapat
melaksanakan fungsi kontrol dan menjadi penyeimbang bagi kekuasaan
eksekutif dan legislatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Shimon Shetreet
sebagaimana dikutip oleh Djatmiko Anom Husodo (2011:5) :
the judicial branch will so far as possible avoid intervence with the
process of the legislative branch, and, in the absence of spesific
authority to do so, will not intervence with legislation. In addition,
the judicial branch will exercise self restraints in its intervence
with the activities of the executive branch. In return, the executive
branch is abliged to act according to the decisions of the judicial
branch. In parallel, it is required that the responsibility for court
administration will be held jointly by the judicial and executive
branch. It is also clear that legislative branch must avoid
interfering by way of legislation with the work of the judicial
branch and its authority.
Oleh Shimon Shetreet yang dikutip oleh Djatmiko Anom Husodo
(2011:6) bahwa secara teoritis, konsep independensi dapat dikategorikan
menjadi dua bagian yaitu :
a. The independence of the individual judges
1) Substantive independence, yaitu dalam membuat keputusan dan
menjalankan tugasnya, hakim hanya tunduk pada hukum. Hakim harus
bebas dari encroachment (gangguan) dari lembaga eksekutif dan
legislatif.
2) Personal independence, yaitu bahwa undang-undang, tradisi-tradisi
peradilan serta kebiasaan-kebiasaan untuk meningkatkan independensi
individu hakim dalam masa jabatan dan kedudukannya yang bersifat
tetap.
b. The collective independence of the judiciary as a body
Independensi badan yudisial, yaitu sejauhmana pengadilan secara
keseluruhan ditopang dengan administrasi pengadilan yang mampu
menegakkan independensinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Independensi kehakiman sebagai suatu adjudication oleh neutral third
mempunyai dua arti penting, yakni pertama, penerapan prinsip keadilan tanpa
memandang status para pihak yang berperkara. Kedua, prinsip independensi ini
menjadi penting manakala pemerintah merupakan salah satu pihak yang
berperkara. Dengan berdasarkan pada kedua hal tersebut maka dua
karakteristik dapat ditemukan dalam independensi kehakiman, yakni
impartiality dan political insularity (Susi Dwi Harijanti, 2008 :33).
Berdasarkan dari dua karakteristik di atas, Christopher M. Larkins
bahwa independensi kehakiman adalah
(a)The degree to which judges ... decide [ cases ] consistent with ...
their interpretation of the law, (b) in opposition to what others who
are perceived to have political or judicial power, think about or
desire in like matters, and (c) particularly when a decision averse to
the beliefs or desires of those with political or judicial power may
bring some retribution on the judges personally or on the power of
the court (Becker yang dikutip oleh Susi Dwi Harijanti, 2008:33).
Oleh karena itu, Christopher M. Larkins mendefinisikan independensi
kehakiman sebagai
... the existence of judges who are not manipulated for political gain,
who are impartial towards parties of a dispute, and who form a
judicial branch which has the power as an institution to regulate yhe
legality of government behavior, enact neutral justice, and determine
significant constitutional and legal values (Susi Dwi Harijanti,
2008:34).
Kemudian oleh Alexis de Tocqueville memberi tiga ciri pelaksanaan
kekuasaan kehakiman yang independen.
Pertama, kekuasaan kehakiman di semua negara merupakan
pelaksana fungsi peradilan, dan pengadilan hanya bekerja bila ada
pelanggaran hukum atau hak warga negara tanpa ada satu kekuasaan
lainnya dapat melakukan intervensi.
Kedua, fungsi peradilan hanya berlangsung kalau ada kasus
pelanggaran hukum yang khusus. Hakim masih dalam koridor
pelaksanaan tugasnya, jika memutus suatu perkara menolak
menerapkan prinsip yang berlaku umum. Akan tetapi, jika hakim
menolak menaati prinsip-prinsip yang berlaku umum dan tidak
dalam kondisi memeriksa suatu perkara, hakim dapat dihukum atas
dasar pelanggaran tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Ketiga, kekuasaan kehakiman berfungsi jika diperlukan dalam hal
adanya sengketa yang diatur dalam hukum. Jika suatu putusan
berujung pada terbuktinya suatu kejahatan yang keji, pelakunya
dapat dihukum (Iriyanto A. Baso Ence, 2008:127).
Kekuasaan kehakiman yang independen seharusnya tetap terjaga,
sehingga badan-badan peradilan diyakini dapat mandiri menegakkan hukum
dan keadilan di Indonesia. Berkenaan dengan independen badan peradilan ini,
R Subekti berpandangan :
bahwa kebebasan hakim yang menjadi sendi peradilan yang baik
tidak saja dalam hal larangan untuk mempengaruhi kekuasaan
kehakiman oleh pihak lain, tetapi Mahkamah Agung juga dilarang
campur tangan terhadap pengadilan di bawahnya yang sedang
memeriksa dan memutus suatu perkara (Iriyanto A. Baso Ence, 2008
: 128).
Namun dalam perkembangannya, Muhammad Nasrun
mendeskripsikan realitas bahwa tekanan kepada para hakim dapat berupa
intimidasi atau ancaman fisik maupun tekanan melalui media massa. Tekanan
ini datang dari kelompok politik maupun pihak-pihak yang diperiksa di
persidangan. Adanya tekanan kepada hakim tersebut membuka peluang bagi
ketidaknetralan hakim dalam memeriksa suatu perkara (Iriyanto. A. Baso.
Ence, 2008:130).
Oleh karena itu, menurut Shimon Shetreet yang dikutip oleh Susi Dwi
Harijanti (2008:32) bahwa proses peradilan yang baik akan sangat bergantung
pada beberapa nilai fundamental, yaitu proses penyelenggaraan pengadilan
yang wajar (procedural fairnes), efisiensi, aksesibilitas, kepercayaan
masyarakat terhadap pengadilan serta independensi kekuasaan kehakiman.
Prinsip tentang independensi kekuasaan kehakiman merupakan salah satu
sentral dalam proses peradilan.
Prinsip atas jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merdeka pada dasarnya adalah menempatkan kekuasaan kehakiman yang lepas
dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Mengacu pada teori trias politica yang
dikemukakan oleh Monstesquieu, bahwa agar tidak terjadi pemusatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
kekuasaan di satu tangan, maka kekuasaan negara harus dipisah-pisahkan ke
dalam fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Oleh karena itu, masing-
masing lembaga negara yang menjalankan fungsi di atas tidak boleh saling
mempengaruhi dan mengintervensi. Masing-masing lembaga tersebut di atas
berinteraksi dalam hubungan yang dikembangkan secara seimbang melalui
mekanisme checks and balances. Melalui mekanisme checks and balances
tersebut, ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judisial yang
tercermin dalam tiga lembaga tersebut dapat saling mengendalikan dan saling
mengimbangi, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan di antara satu
sama lain (Djatmiko Anom Husodo, 2011:8).
4. Tinjauan tentang Pengawasan
Secara teoritik, istilah pengawasan dikenal dan dikembangkan dalam
ilmu manajemen karena pengawasan merupakan salah satu unsur dalam
kegiatan pengelolaan.
Dalam kaitannya dengan pengertian pengawasan terdapat berbagai
macam pengertian. Syafiie sebagaimana dikutip oleh W. Riawan Tjandra
(2006:131) mengidentifikasikan pengertian pengawasan menurut dari beberapa
ahli sebagai berikut:
a) Lyndal F. Urwick, pengawasan adalah upaya agar sesuatu dilaksanakan
sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dan instruksi yang
dikeluarkan.
b) Sondang Siagian, pengawasan adalah proses pengamatan pelaksanaan
seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang
dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditemukan sebelumnya.
c) George R Terry, pengawasan adalah proses penentuan apa yang harus
dicapai yaitu standar, apa yang sedang dilakukan, yaitu menilai
pelaksanaan dan bila perlu melakukan perbaikan-perbaikan sehingga
pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
d) Stephen Robein, pengawasan adalah proses mengikuti perkembangan
kegiatan untuk menjamin (to ensure) jalannya pekerjaan dengan
demikian, dapat selesai secara sempurna (accomplished) sebagaimana yang
direncanakan sebelumnya dengan pengoreksian beberapa pemikiran yang
saling berhubungan.
e) David Granick, pengawasan pada dasarnya memiliki tiga fase yaitu; fase
legislatif, fase administratif, dan fase dukungan.
f) Abdurrahman, menguraikan ada beberapa faktor yang membantu
pengawasan dan mencegah berbagai kasus penyelewengan serta
penyalahgunaan wewenang, yaitu filsafat yang dianut suatu bangsa tertentu,
agama yang mendasari seorang tersebut, kebijakan yang dijalankan,
anggaran pembiayaan yang mendukung, penempatan pegawai dan prosedur
kerjanya, serta kemantapan koordinasi dalam organisasi.
Sementara oleh Henry Fayol menyatakan bahwa control consists in
veryvying wether everything occur in conformity with the plan adopted, the
instruction issued, and principle established. It has for object to point out
weaknesses in error in order to rectivy then and prevent recurrence (Sirajuddin
dan Zulkarnain, 2006:88).
Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa pengawasan hakikatnya
merupakan suatu tindakan menilai apakah sesuatu telah berjalan sesuai dengan
yang telah ditentukan. Dengan pengawasan tersebut akan dapat ditemukan
kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan tersebut akan dapat diperbaiki dan
yang terpenting jangan sampai kesalahan tersebut terulang kembali.
Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari
adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang
akan dicapai. Melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan
kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah
direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta
suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai
sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana
penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut (Dian Puji N.
Simatupang, 2004:1).
Sementara itu, Newman berpendapat bahwa control is assurance that
the performance conform to plan. Ini berarti bahwa titik berat pengawasan
adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas dapat sesuai
dengan rencana. Dengan demikian, menurut Newman, pengawasan adalah
suatu tindakan yang dilakukan selama proses suatu kegiatan sedang berjalan,
bahkan setelah akhir proses tersebut (Sirajuddin dan Zulkarnain, 2006:89).
Menurut Stephen Robein dalam bukunya The Adminstration Process,
Dalam suatu negara terutama negara yang sedang berkembang atau
membangun, kontrol atau pengawasan sangat penting, yang dalam
pelaksanaannya pengawasan dilakukan secara vertikal, horizontal, eksternal,
internal, preventif maupun refresif agar maksud dan tujuan yang telah
ditetapkan tercapai dan tepat sasaran. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan
negara atau organisasi, maka dalam hal pengawasan dapat pula diklasifikasikan
macam-macam pengawasan berdasarkan berbagai hal, yakni :
a. Pengawasan Langsung dan Pengawasan Tidak Langsung
1) Pengawasan Langsung
Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi
oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa,
mengecek sendiri secara langsung di tempat pekerjaan dan menerima
laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksanaan.
2) Pengawasan Tidak Langsung
Pengawasan tidak langsung yaitu diadakan dengan mempelajari laporan-
laporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tulisan,
mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan sebagainya. Tanpa
pengawasan di tempat pekerjaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
b. Pengawasan Preventif dan Represif
1) Pengawasan Preventif
Pengawasan preventif dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan
dimulai. Misalnya, dengan melakukan pengawasan terhadap persiapan-
persiapan, rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga
dan sumber-sumber lainnya.
2) Pengawasan Represif
Pengawasan represif dilakukan melalui post audit, dengan pemeriksaan
terhadap pelaksanaan di tempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan
dan sebagainya.
c. Pengawasan Intern dan Ekstern
1) Pengawasan Intern
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam
organisasi itu sendiri. Pada dasarnya pengawasan harus dilakukan oleh
kepala pimpinan sendiri. Akan tetapi, didalam kenyataannya hal ini tidak
selalu dilakukan oleh pimpinan pusat. Oleh karena itu, setiap pimpinan
unit dalam organisasi pada dasarnya berkewajiban membantu kepala
pimpinan pusat mengadakan pengawasan secara fungsional sesuai
dengan bidang tugasnya masing-masing. Pengawasan sebagai fungsi
organik, built-in pada setiap jabatan pimpinan mereka harus mengawasi
unit khusus yang membantu dan atas nama kepala pimpinan melakukan
pengawasan terhadap keseluruhan aparat dalam organisasi tersebut.
2) Pengawasan Ekstern
Pengawasan ekstern adalah pengawasan oleh aparat dari luar organisasi
sendiri, seperti halnya pengawasan terhadap kinerja pemerintah oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (http://elib.unikom.ac.id/download
.php?id=6322 diakses pada tanggal 30 April 2012 pukul 20:48 WIB).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Pengawasan atau kontrol dalam organisasi atau birokrasi biasanya
dipilah dalam dua kategori, yaitu kontrol internal dan kontrol eksternal.
Menurut Deny B.C. Harindja menyatakan bahwa dalam mekanisme internal,
pengawasan dilakukan oleh perangkat-perangkat dalam organisasi yang
berfungsi pengawasan. Dalam hal ini, pengawasan dilakukan seorang atasan
kepada bawahan (pengawasan melekat) dikategorikan sebagai pengawasan
melalui mekanisme internal. Adapun dalam mekanisme eksternal, pengawasan
dilakukan oleh organ-organ dengan fungsi pengawasan yang kedudukannya
terlepas dari anggota atau organisasi yang diawasi (Anthon F. Susanto,
2004:52).
Pendapat lebih rinci dikemukakan Cristine, Meininger, dan Lebreton
bahwa tinjauan/laporan tentang cara administrasi (administration review of
proceedings), peran inspektorat pemerintah (the role of government
inspectorats), dengan kontrol keuangan (financial control) sebagai mekanisme
internal yang dapat disarankan adalah kontrol lembaga peradilan (judicial
control), kontrol parlementer (parlementery control), dan pengawasan oleh
anggota-anggota masyarakat terhadap administrasi (supervisory control of
administration by members of the public) (Anthon F. Susanto, 2004:52-53).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1.
Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Melalui kerangka pemikiran di atas, maka penulis akan
memberikan jawaban atas permasalahan dalam penulisan hukum ini. Alur
berpikir dimulai dari amanat konstitusi Negara Indonesia, yakni Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal
24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan pasal tersebut
PASAL 24 C
Peraturan Perundang-Undangan
MAHKAMAH
KONSTITUSI
Kode Etik dan
Pedoman Perilaku
Hakim Konstitusi
Undang-Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Independensi
Kekuasaan Kehakiman
PENGAWASAN HAKIM
KONSTITUSI
PASAL 24 AYAT (1)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia harus mencerminkan
sifat independen, imparsial dan akuntabel.
Salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai
amanat amandemen ketiga UUD 1945 ialah Mahkamah Konstitusi. Untuk
menjalankan tugas dan fungsinya, MK sebagai lembaga pengawal dan
penjaga konstitusi harus didukung oleh pondasi hakim konstitusi yang
kokoh sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 C ayat (5) UUD 1945
bahwa hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan serta tidak merangkap merangkap sebagai pejabat negara.
Terkait dengan hakim konstitusi dalam menjalankan
kewenangannya, berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan
khususnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
mengatur mengenai pengawasan terhadap hakim konstitusi. Pengawasan
secara internal pun dibentuk dengan adanya Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi.
Untuk membentuk badan peradilan yang independen, diperlukan
adanya suatu sistem pengawasan hakim konstitusi sehingga dalam
menjalankan kewenangannya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan di
dalam masyarakat, mengingat Mahkamah Konstitusi adalah lembaga
peradilan satu-satunya yang menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar yang putusannya bersifat final dan mengikat. Dari hal
tersebut, akan dikaji secara lebih mendalam sistem pengawasan hakim
konstitusi saat ini berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan bagaimana yang ideal sehingga dalam proses penyelenggaraan
persidangan di Mahkamah Konstitusi dapat mewujudkan prinsip
independensi kekuasaan kehakiman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
BAB III
PEMBAHASAN
A. Perlunya Pengawasan Hakim Konstitusi dikaitkan dengan Prinsip
Independensi Kekuasaan Kehakiman
Amanah Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal demikian
berimplikasi pada kedudukan kekuasaan kehakiman yang kuat dan
berwibawa yang diharapkan mampu menyelesaikan semua perkara,
sengketa dan pelanggaran hukum antar sesama warga negara maupun antar
warga negara dengan penguasa secara obyektif, tidak memihak (impartial)
dan tidak di bawah pengaruh pemerintah serta pengaruh-pengaruh lainnya
yang bersifat ekstra judisil maupun intra judisil (Darius Mauritsius,
2009:59).
Jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman tersebut diatur pula
dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni:
(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan Hakim
Konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain
di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang.
Termasuk pula dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
diatur mengenai jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman yakni dalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam
penjelasan umum dikatakan bahwa kedudukannya sebagai bagian kekuasaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
kehakiman di samping MA, menyebabkan MK terikat pada prinsip-prinsip
umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari
pengaruh kekuasaan lembaga lainnya.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman di Indonesia yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi (the
guardian of the constitution) memiliki wewenang dan kewajiban yang
putusannya bersifat final dan mengikat sebagaimana termaktub dalam Pasal
24C ayat (1) UUD 1945. Konsekuensi dari putusan MK yang bersifat final
dan mengikat adalah tidak adanya upaya hukum lain baik mekanisme
banding maupun peninjauan kembali. Hal ini juga berkaitan dengan
kepercayaan publik terhadap perilaku dan martabat hakim konstitusi dalam
memberikan putusan-putusan yang dihasilkan. Sehingga dalam
menyelenggarakan proses peradilan, Mahkamah Konstitusi wajib
mengutamakan independensi dan imparsialitasnya.
Adapun menurut Mahfud MD bahwa kewibawaan hakim
merupakan sakral dan fundamental yang bukan hanya menentukan terhadap
sakralitas dan progresifitas jati diri dunia peradilan, tetapi juga dalam
mengonstruksi kredibilitas pencari keadilan terhadap implementasi
konstitusi (Abdul Wahid, 2011:68). Kewenangan yang diberikan kepada
hakim konstitusi oleh UUD 1945 merupakan kewenangan untuk menjaga
tetap tegaknya nilai-nilai konstitusi sebagai landasan kehidupan bangsa dan
negara Indonesia karena putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah
Konstitusi amat besar mempengaruhi sendi-sendi ketatanegaraan terutama
dalam hal pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
Menurut Suparman Marzuki (2011:5), kekuasaan kehakiman
dengan kekuasaan final dan mengikat adalah kekuasaan konstitusional
absolut yang punya peluang salah, tidak adil, tidak fair, tidak objektif dan
tidak profesional. Hakim-hakim konstitusi mempunyai peluang melakukan
kesalahan sengaja atau kelalaian manusiawi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Tidak dipungkiri lagi bahwa kasus dugaan suap oleh salah satu
hakim konstitusi menjadi polemik bagi eksistensi Mahkamah Konstitusi
pada waktu satu tahun yang lalu. Tulisan salah seorang staff ahli Mahkamah
Konstitusi Tahun 2003-2007, Refly Harun, mengungkapkan bahwa adanya
tiga isu utama. Pertama, pengalamannya ketika berkunjung ke Papua. Para
kandidat tidak hanya habis biaya banyak dalam Pemilukada, melainkan juga
akan habis untuk bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Ada yang habis 10
milliar rupiah sampai 12 milliar rupiah untuk Mahkamah Konstitusi. Kedua,
Refly mendengar negosiasi yang gagal untuk memenangi perkara.
Menurutnya, ada orang yang bercerita bahwa seorang hakim konstitusi
meminta uang satu milliar rupiah kepada Pemohon. Oleh karena ditunggu
hingga sore tidak cair, negosiasi itu gagal. Kemudian permohonan dicabut.
Ketiga, Refly mengaku pernah melihat dengan mata kepala sendiri uang
dollar Amerika senilai satu milliar rupiah, yang menurut pemiliknya akan
diserahkan ke salah satu hakim konstitusi (sumber: http://nasional.kompas
.com/read/2010/10/25/09201736/MK.Masih.Bersih diakses pada tanggal 16
April 2012 pukul 7:17 WIB). Hal demikian menjadi salah satu benih-benih
mafia peradilan apabila tidak dideteksi secara dini. Meskipun, setelah
dibentuk tim investigasi oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD,
tidak ada indikasi suap atau tidak terbukti, hal ini tidak serta merta
mengesampingkan pengawasan terhadap hakim konstitusi. Ancaman-
ancaman terhadap independensi Mahkamah Konstitusi dapat terjadi kapan
saja. Apabila tidak menjadi perhatian utama, dapat menimbulkan judicial
corruption di lingkungan Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945
menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang
anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan
masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), dan tiga orang oleh Presiden. Pasal tersebut
berimplikasi pada pola pengisian jabatan hakim konstitusi yang justru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
cenderung membuat Mahkamah Konstitusi terpengaruh oleh turbulensi
politik lima tahunan.
Ketiga pengaruh turbulensi ini terhadap pola pengisian jabatan
hakim konstitusi oleh Darius Mauritsius (2009:65-66) diutarakan sebagai
berikut :
a. Pengaruh turbulensi adalah dari kalangan DPR karena merupakan
lembaga representasi politik yang menjadi salah satu constitutional actor,
yang menguat kedudukan dan peranannya dalam era pasca reformasi. Hal
ini berbeda dengan kondisi parlemen di Inggris dewasa ini. Lembaga tua
itu justru hanya menjadi semacam constitutional actor yang cenderung
simbolis karena implementasi kewenangannya hanya bersifat rutin.
b. Turbulensi kedua cenderung datang dari kalangan pemerintah. Sejak
terjadi proses reformasi politik, pemerintah bermetamorfosis menjadi
semacam kumpulan dewan menteri (kabinet) yang berkaki lebih dari
satu, mulai kabinet dua kaki semasa Presiden BJ Habibie; kabinet empat
kaki semasa Presiden Abdurrahman Wahid, hingga kabiner berkaki-kaki
pada periode kepresidenan berikutnya termasuk kabinet Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
c. Turbulensi ketiga datang dari Mahkamah Agung. Pada awal masa
reformasi, Mahkamah Agung terlihat cukup didominasi figur-figur dari
kalangan partai politik, terutama yang masuk melalui jalur non-karier.
Hal ini secara langsung atau tidak langsung masih terasa hingga kini.
Dengan adanya proses pemilihan hakim agung yang harus melalui DPR
di pintu terakhir, mau tidak mau para calon hakim agung dari mana pun
asalnya, baik karier maupun non-karier harus mempunyai koneksi
politik.
Mencermati hal tersebut, dapat dilihat adanya kecenderungan
pengaruh politik pada ketiga lembaga yang berwenang mengusulkan hakim
konstitusi itu, sangat jelas besar kemungkinan para hakim konstitusi yang
dihasilkan berpotensi terkena pengaruh turbulensi politik. Pengaruh itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
dapat datang dari lembaga yang mengusulkannya, juga dapat dari lembaga
maupun individu atau elite politik lain.
Atas dasar pernyataan tersebut, maka diperlukan adanya suatu
pengawasan terhadap hakim konstitusi. Hal ini bertujuan untuk menghindari
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan agar kekuasaan penegakan
hukum selalu dijalankan dengan baik dan benar supaya terwujud kepastian
hukum dan keadilan yang secara yuridis, sosial dan moral mendapat
penilaian dan penerimaan yang dipercaya. Selain itu, pengawasan hakim
konstitusi sebagai bagian dari akuntabilitas yang harus dilakukan badan
pelaksana kekuasaan kehakiman, agar independensi dapat dibatasi sehingga
tidak menimbulkan tirani kekuasaan dan menghindari adagium yang
menyatakan the power tend to corrupt.
Perlu diketahui bahwa pengawasan atau kontrol sejatinya
mekanisme normal, positif dan konstitusional dalam negara hukum dan
negara demokratis agar kekuasaan politik atau kekuasaan hukum tidak
menyimpang atau disalahgunakan baik secara sengaja, tidak sengaja atau
karena kelalaian sehingga disediakanlah norma dan institusi pengujian,
kontrol atau verifikasi (Suparman Marzuki, 2011:1). Profesi hakim
konstitusi merupakan profesi yang sangat rentan dalam proses penegakan
hukum saat ini. Kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada hakim
konstitusi sangat memerlukan sikap integritas yang tinggi sehingga dalam
memeriksa dan mengadili suatu perkara dapat benar-benar mencerminkan
rasa keadilan masyarakat tanpa meninggalkan unsur penting yakni kepastian
hukum.
Menurut Adi Sulistiyono, dalam rangka penegakan hukum di
Indonesia, tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya,
sehingga keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa
dan masyarakat Indonesia. Dalam realitas empiris, patut disadari bahwa
hakim adalah manusia biasa ciptaan Tuhan yang mempunyai resistensi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
terbatas ketika menghadapi pengaruh-pengaruh dari luar. Dalam tinjauan
sosiologis, pelaksanaan peran hakim tersebut tidak berlangsung dalam
wilayah normatif yang steril, yang mudah dicapai, tetapi selalu dalam
konteks adanya perjuangan untuk melepaskan diri dari pengaruh sosial,
kooptasi kekuasaan permainan lobi politik, atau arus ekonomi yang kuat.
Pengaruh atau tekanan dari luar yang memengaruhi inilah yang sering
menjadi penyebab hakim kehilangan kejujuran mengorbankan kewibawaan
dan profesionalitasnya untuk penyelesaian sengketa sehingga seringkali
menghasilkan putusan yang tidak selaras dengan nilai keadilan masyarakat
(Kelik Pramudya,dkk, 2010:17-18).
Pengawasan merupakan unsur penting dan menentukan dalam
lembaga kekuasaan kehakiman dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi,
untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan kelembagaan Mahkamah
Konstitusi sesuai dengan visi dan misinya. Pengawasan juga diperlukan
untuk menjaga integritas dan mempertahankan performa Mahkamah
Konstitusi yang lebih baik.
Sebagaimana yang tertera dalam Cetak Biru Membangun
Mahkamah Konstitusi Tahun 2005-2009 (2005:90-91) bahwa adanya sistem
pengawasan internal dan eksternal yang memadai, jalannya organisasi
Mahkamah Konstitusi akan terhindar dari munculnya penyimpangan-
penyimpangan yang bertentangan dengan peraturan dan merugikan
Mahkamah Konstitusi. Adanya sistem pengawasan internal dan eksternal
yang berjalan baik membuat setiap indikasi terjadinya penyimpangan akan
terdeteksi secara dini. Dengan demikian, maka akan dapat diambil langkah-
langkah antisipasi untuk menanggulanginya agar tidak bergulir menjadi
penyimpangan yang lebih besar dan luas. Terhadap indikasi penyimpangan
itu dapat segera diambil tindakan yang sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Selain itu, sistem pengawasan internal dan eksternal bermanfaat
untuk mendeteksi kekurangan dan kelemahan yang ada dalam organisasi
Mahkamah Konstitusi sehingga langkah-langkah perbaikan dan peningkatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
dapat dilakukan. Adanya sistem pengawasan ini pada akhirnya dapat
menciptakan organisasi Mahkamah Konstitusi yang sesuai dengan prinsip
clean government dan good governance.
Mencermati pentingnya pengawasan terhadap hakim konstitusi
yang memiliki peran penting dalam penegakan proses peradilan
ketatanegaraan di Indonesia, maka hal berikut mengkaji tentang peraturan
perundangan-undangan yang berlaku yang menjadi satu-kesatuan terpadu
terkait konsep pengawasan hakim konstitusi sebagai alasan yuridis perlunya
pengawasan hakim konstitusi di Indonesia.
Pertama, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Secara keseluruhan materi yang terkandung dalam
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini lebih komprehensif, lebih
lengkap dan lebih terstruktur demi terwujudnya integrated justice system
atau sistem peradilan terpadu di Indonesia. Adanya konsep pengawasan
dalam undang-undang ini menjadi agenda utama dalam menyelenggarakan
kekuasaan kehakiman. Undang-Undang ini juga mengelaborasikan konsep
pengawasan yang terdiri dari dua, yakni pengawasan internal dan
pengawasan eksternal. Pengawasan internal diserahkan kepada lembaga itu
sendiri sedangkan pengawasan eksternal berada pada Komisi Yudisial yang
sebatas hanya mengawasi perilaku hakim.
Menelaah Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini terdapat dua
model pengawasan yaitu pengawasan yang membedakan antara hakim dan
hakim konstitusi. Hal tersebut termaktub pada Bab VI Pasal 39 sampai
dengan Pasal 44. Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk
mengawasi secara internal terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua
badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung, selain itu
juga terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan. Pengawasan
eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial sebatas dalam rangka menjaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
dan menegakkan martabat, serta perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.
Sedangkan untuk Mahkamah Konstitusi, menurut Pasal 44 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan bahwa pengawasan hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi. Ketentuan ini menegaskan bahwa
mekanisme atau sistem yang dilaksanakan melalui pengawasan internal.
Mekanisme yang dijalankan untuk mengawasi hakim konstitusi dilakukan
dari dalam Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
Untuk memahami lembaga negara yang ada di bidang kekuasaan
kehakiman dijelaskan bahwa lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan
kehakiman adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, disamping
itu terdapat lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku hakim
yakni Komisi Yudisial. Keberadaan Komisi Yudisial ini bersifat mandiri
sebagai auxiliary organ. Komisi Yudisial merupakan supporting element
dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih dan
berwibawa. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki
pengawasan internal sendiri sedangkan Komisi Yudisial adalah lembaga
penegak etik kehakiman yang menggunakan mekanisme pengawasan
eksternal kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial diberikan kewenangan
untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku-perilaku hakim dan bukan
untuk hakim pada Mahkamah Konstitusi.
Untuk memahami keberadaan Komisi Yudisial maka dijelaskan
oleh A. Ahsin Thohari (2004:10-11) bahwa terdapat beberapa asumsi dasar
yang dapat diajukan sebagai argumen utama bagi sebab wujudnya (raison
d’etre) Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum baik dalam tradisi
Rechtsstaat maupun Rule of Law, yaitu
a. Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif
terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya
monitoring secara internal saja;
b. Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara
kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman
(judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin
kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apa pun
juga khususnya kekuasaan pemerintah;
c. Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas
kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam
banyak hal, baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim
agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman;
d. Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan
selalu memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah
lembaga khusus (Komisi Yudisial); dan
e. Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman
(judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan
hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang
bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak
mempunyai kepentingan politik.
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini salah satunya dibentuk
untuk memenuhi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
terkait dengan pengawasan hakim konstitusi, yang pada intinya adalah
pengawasan terhadap hakim konstitusi dilakukan secara internal
berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagai tolok ukur
atau parameter penilaian terhadap hakim konstitusi.
Sebagaimana Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa pengawasan hakim konstitusi
dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, maka dengan
tegas bahwa pengawasan secara eksternal oleh lembaga pengawas
kehakiman yang mandiri yakni Komisi Yudisial tidak dilibatkan seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
halnya pengawasan terhadap hakim agung dan hakim-hakim dibawahnya.
Hanya saja ketentuan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan
bahwa salah satu anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah
salah satu anggota dari Komisi Yudisial.
Kedua, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam rangka mewujudkan Mahkamah Konstitusi yang independen dan
terpercaya, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini menegaskan
pengawasan hakim konstitusi dengan menerapkan Kode Etik Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi serta membentuk sebuah Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 27A ayat (1) menyatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi wajb menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim
konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan. Undang-undang
tersebut memerintahkan Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan kode etik
dan perilaku hakim konstitusi sebagai rujukan untuk dipedomani dan
dijadikan tolok ukur guna menilai perilaku hakim konstitusi serta
membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai badan
pengawas internal.
Sebelum Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang baru ini
berlaku, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 07/PMK/2005 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan
Perilaku Hakim Konstitusi. Penyusunan Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi ini merujuk pada The Bangalore Principles of Judicial Conduct
2002 yang telah diterima baik oleh negara-negara yang menganut sistem
Civil Law maupun Common Law serta disesuaikan dengan sistem hukum
dan peradilan Indonesia dan etika kehidupan berbangsa sebagaimana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
termuat dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika
kehidupan Berbangsa yang masih tetap berlaku. Sehingga saat ini
Mahkamah Konstitusi memiliki pedoman untuk para hakim konstitusi
dalam menciptakan peradilan yang independen, imparsial dan akuntabel.
Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ini disebut dengan Sapta
Karsa Hutama, yang terdiri dari tujuh prinsip yang wajib dipahami dan
diterapkan oleh hakim konstitusi. Ketujuh prinsip tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Prinsip Independensi
Independensi hakim merupakan prasyarat yang pokok bagi terwujudnya
cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan
keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam
proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan
terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan
yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan
dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim,
baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari pelbagai pengaruh yang
berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat memengaruhi
secara langsung atau tidak langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan,
ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi
tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok
atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa
keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.
b. Prinsip Ketakberpihakan
Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi
hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap
setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ketakberpihakan mencakup
sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya
keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ini
melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan
pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil
bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada
umumnya.
c. Prinsip Integritas
Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan
dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai
pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan
kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan
tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan
menolak segala bujuk rayu, godaaan jabatan, kekayaan, popularitas,
ataupun godaan-godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan kepribadian
mencakup keseimbangan ruhaniyah, dan jasmaniyah, atau mental dan
fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan
emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya.
d. Prinsip Kepantasan dan Kesopanan
Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan
kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim,
baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan
tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan
kepercayaan. Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku
pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan
tepat, baik mengenai tempat, waktu, penampilan, ucapan, atau gerak
tertentu; sedangkan kesopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak
merendahkan orang lain dalam pergaulan antar pribadi, baik dalam tutur
kata lisan atau tulisan; dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku;
dalam bergaul dengan sesama hakim, dengan karyawan, atau pegawai
pengadilan, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan, atau
pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.
e. Prinsip Kesetaraan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama
(equal treatment) terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang
adil dan beradab, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas
dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, kondisi
fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politi ataupun alasan-
alasan lain yang serupa (diskriminasi). Prinsip kesetaraan ini secara
hakiki melekat dalam sikap setiap hakim untuk senantiasa
memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai
dengan kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan.
f. Prinsip Kecakapan dan Keseksamaan
Kecakapan dan keseksamaan hakim merupakan prasyarat yang penting
dalam pelaksanaan peradilanyang baik dan terpercaya. Kecakapan
tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari
pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaa tugas;
sedangkan keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang
menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan
kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim tanpa
menunda-nunda pengambilan keputusan.
g. Prinsip Kearifan dan Kebijaksanaan
Kearifan dan kebijaksanaan menuntut hakim untuk bersikap dan
bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat
dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu serta mampu
memperhitungkan akibat dari tindakannya, sabar tetapi tegas dan lugas.
Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang sudah dibentuk ini
menjadi tolok ukur bagi para hakim konstitusi untuk bersikap dan menjaga
kredibilitasnya sebagai penegak hukum yang mulia (officium nobile).
Sedangkan organ atau badan yang berhak mengawasi hakim konstitusi
adalah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana dalam Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi
untuk memantau, memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap
hakim konstitusi, yang diduga melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi.
Sebelum adanya pengajuan judicial review terhadap undang-
undang ini, pengisian keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi terdiri dari : satu orang hakim konstitusi, satu orang anggota
Komisi Yudisial, satu orang dari unsur DPR, satu orang dari unsur
pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum,
dan satu orang hakim agung. Hal demikian termaktub dalam Pasal 27 A ayat
(2). Namun setelah diproses, Mahkamah Konstitusi akhirnya menjatuhkan
putusannya dalam Nomor 49/PUU-IX/2011 yang salah satunya mengenai
pengisian keanggotaan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Atas putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
mekanisme pemilihan hakim konstitusi diajukan oleh tiga lembaga negara
masing-masing tiga orang sebagaimana dalam Pasal 24C ayat (3) UUD
1945, yaitu masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan Presiden, dan
selanjutnya ditetapkan oleh Presiden. Setelah ditetapkan dan mengucapkan
sumpah sebagai hakim konstitusi maka selama yang bersangkutan menjadi
hakim konstitusi harus independen dan imparsial serta bebas dari segala
pengaruh lembaga negara termasuk lembaga negara yang mengajukannya.
Oleh karena itu, dengan masuknya unsur DPR, unsur pemerintah dan satu
orang hakim agung dalam Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang
bersifat permanen justru mengancam dan mengganggu baik secara langsung
maupun tidak langsung kemandirian hakim konstitusi dalam menjalankan
tugas dan kewenangannya. Adanya unsur DPR, unsur pemerintah dan hakim
agung berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena DPR,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Pemerintah, dan Mahkamah Agung serta Komisi Yudisial dapat menjadi
pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
049/PUU-IX/2011 menegaskan dalam Pasal 27A ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa keanggotaan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi terdiri dari satu orang hakim konstitusi
dan satu orang anggota Komisi Yudisial.
Setelah adanya putusan tersebut, maka Mahkamah Konstitusi
menyesuaikan norma positif yang ada. Perubahan Peraturan Mahkamah
Konstitusi tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini telah
memperhatikan Pasal 1 Angka 1, Pasal 1 Angka 4, Pasal 27A ayat (1), Pasal
27A ayat (2), Pasal 27A ayat (3), Pasal 27A ayat (4), Pasal 27A ayat (5) dan
Pasal 27B huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Termuat dalam Daftar Inventaris Permasalahan Perubahan Peraturan
Mahkamah Konstitusi khususnya mengenai Perubahan Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PMK/2006 tentang Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi pada Bab II tentang Susunan dan Kedudukan
menyatakan antara lain :
a. Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi terdiri atas satu
orang hakim konstitusi dan satu orang anggota Komisi Yudisial. Dalam
pembahasan sebelumnya, diusulkan bahwa anggota Majelis Kehormatan
dapat dari praktisi hukum dan perguruan tinggi. Keanggotan Majelis
Kehormatan lebih banyak dari eksternal Mahkamah Konstitusi.
b. Pengaturan bahwa Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi bersifat ad
hoc yang dibentuk jika terdapat pelanggaran terhadap Kode Etik dan
Perilaku Hakim Konstitusi. Alasannya apabila dibentuk secara permanen
akan menimbulkan permasalahan secara terus-menerus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
c. Perlu diatur bahwa hakim yang sedang diperiksa harus di-nonaktifkan
sementara dari tugasnya sebagai hakim konstitusi.
Selanjutnya, mekanisme pembentukan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi dalam rancangan perubahan Peraturan Mahkamah
Konstitusi dituangkan pula dalam Bab II, yakni sebagai berikut :
a. Jika Rapat Pleno Hakim memutuskan untuk membentuk Majelis
Kehormatan, maka Mahkamah Konstitusi mengirim surat kepada Komisi
Yudisial untuk menunjuk satu orang anggota Komisi Yudisial sebagai
anggota Majelis Kehormatan.
b. Mekanisme pemilihan anggota Majelis Kehormatan, melalui mekanisme
internal atau diserahkan kepada pihak luar (eksternal) dengan
menetapkan terlebih dahulu, persyaratannya, kemudian disetujui oleh
Ketua Mahkamah Konstitusi.
c. Pembentukan Panel Etik ditiadakan karena proses awal pembentukan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ditentukan dalam Rapat
Pleno Hakim.
Hal-hal lain yang akan diatur lebih lanjut terkait Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi antara lain:
a. Penyempurnaan wewenang dan tugas Majelis Kehormatan yang
dituangkan dalam Bab III Peraturan Mahkamah Konstitusi, yakni Majelis
Kehormatan berhak memanggil para pihak, baik internal maupun
eksternal, guna kelancaran proses pembuktian benar atau tidaknya
pelanggaran kode etik.
b. Perubahan Bab V yang mengatur pelaporan dan informasi pelanggaran
perlu disempurnakan, dengan tidak membatasi sumber-sumber
pelaporan, karena sumber informasi bisa diperoleh dari mana saja
asalkan dapat dipercaya kebenarannya. Sumber informasi ini dibahas
dalam Rapat Pleno Hakim.
c. Penyempurnaan metode pemeriksaan Majelis Kehormatan, sebagai
berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
1) Pengaturan jika hakim terlapor tidak menghadiri pemeriksaan.
2) Jangka waktu pemeriksaan terhadap hakim terlapor. Pencantuman
masa kerja Majelis Kehormatan, misalnya enam puluh hari kerja.
Apabila dipandang tidak cukup maka masa kerja Majelis Kehormatan
dapat diperpanjang tiga puluh hari kerja.
3) Pembelaan diri bagi hakim terlapor, sehingga hakim terlapor diberi
kesempatan menanggapi pemeriksaan dan bukti-bukti yang diajukan.
d. Penyempurnaan keputusan Majelis Kehormatan, sebagai berikut :
1) Penjatuhan sanksi jika pelanggaan terbukti, atau pemulihan nama baik
jika pelanggaran tidak terbukti.
2) Teguran tertulis oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.
3) Pemberhentian tidak dengan hormat oleh Presiden. Pemberhentian
dengan hormat dihapuskan karena pemberhentian dilakukan atas
dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim.
Mencermati dan memahami Pasal 44 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 27A Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa sistem
pengawasan yang diterapkan untuk hakim konstitusi adalah pengawasan secara
internal yang dibentuk sendiri oleh Mahkamah Konstitusi yang diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut juga dipertegas
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU-IV/2006, yang pada
pokoknya menyatakan bahwa hakim konstitusi bukan merupakan obyek
pengawasan Komisi Yudisial yang berarti Mahkamah Konstitusi tidak
memiliki pengawasan secara eksternal. Salah satu butir putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut menyebutkan :
hakim konstitusi tak termasuk pengertian hakim yang harus diawasi
Komisi Yudisial karena masa jabatannya lima tahun dan setelah itu
kembali ke profesi semula. Hakim konstitusi juga tidak diawasi
Komisi Yudisial karena dalam keseluruhan mekanisme pemilihan
dan pengangkatan para hakim konstitusi yang diatur UUD 1945 tak
melibatkan Komisi Yudisial. Argumen lain, hakim konstitusi tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
diawasi Komisi Yudisial jika diawasi berpotensi menganggu
imparsialitas hakim konstitusi dalam sengketa kewenangan
antarlembaga negara.
Berdasarkan alasan yuridis dalam peraturan perundang-undangan
yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa mekanisme pengawasan hakim
konstitusi memanglah diperlukan. Meskipun pengawasan yang dilakukan
hanya sebatas mekanisme internal yang dirasa kurang namun pengawasan
terhadap hakim konstitusi tetaplah dibutuhkan demi menjaga tegaknya
kemandirian kekuasaan kehakiman.
Perlu diketahui juga bahwa seorang hakim konstitusi harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara
sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945. Isi pasal ini juga
disebutkan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal demikian lah yang menjadi tolok ukur bagi
hakim konstitusi untuk menyelenggarakan proses peradilan demi menegakkan
hukum dan keadilan begitu juga terkait proses rekrutmen dan seleksinya.
Dengan diwajibkannya karakter dan sikap yang melekat pada hakim konstitusi
tersebut, maka sangat penting untuk dilakukannya penjagaan terhadap
kewibawaan hakim konstitusi.
Mencermati sisi lain dari pentingnya pengawasan hakim konstitusi
terkait independensi kekuasaan kehakiman di Mahkamah Konstitusi. Telah
dijelaskan sebelumnya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum maka salah
satu prinsip paling penting dalam negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Hal ini berarti kekuasaan kehakiman yang merdeka atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
independensi kekuasaan kehakiman telah diatur secara konstitusional yang
tercantum dalam Pasal 24 UUD 1945.
Independensi kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat yang pokok
bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya
hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin
dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan
terkait erat dengan independensi kekuasaan kehakiman sebagai institusi
peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim
dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri
maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri
hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung berupa
bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena
kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan
politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau
janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk
lainnya.
Independensi kekuasaan kehakiman atau badan-badan kehakiman atau
peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang
demokratis dibawah Rule of Law sebagaimana pemikiran mengenai negara
hukum modern yang pernah dicetuskan dalam konferensi oleh International
Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965. Namun, hakekat
independensi tidak serta merta berarti sebebas-bebasnya tanpa ada batasnya
secara absolut. Hal ini dipahami bahwa kekuasaan kehakiman dikatakan
independensi atau mandiri itu dibatasi oleh rambu-rambu tertentu. Dalam
Konferensi Internasional Commission of Jurists dikatakan bahwa :
“Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary
manner” (Independensi atau kemerdekaan tidak berarti bahwa hakim berhak
untuk bertindak secara sewenang-wenang) (Mariyadi, 2011:36-37).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Sebagaimana dalam Principles of Independence of the Judiciary 1995
yang ditandangani oleh tiga puluh lima Chief Justices of Asia and the Pacific,
bahwa independensi kekuasaan kehakiman menghendaki :
a) The judiciary shall decide matters before it in accordance with
its impartial assesment of the facts and its understanding of the
law without improper influences, direct or indirect, from any
source; and
b) The judiciary has jurisdiction, directly or by the way of review,
over all issues of a justiciable nature (J. Clifford Wallace,
2005:88-89).
(Pengadilan wajib memutus berbagai perkara berdasarkan fakta
yang tidak memihak dan pemahaman hukum tanpa pengaruh
buruk, baik langsung maupun tidak langsung, dari sumber
manapun dan pengadilan mempunyai yurisdiksi secara langsung
atau dengan cara menguji terhadap masalah yang berkaitan
dengan keadilan).
Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam
implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri.
Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial atau
materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar
dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak
sewenang-wenang. Hakim adalah subordinated pada hukum dan tidak dapat
bertindak contra legem (Paulus E. Lotulung, 2003:6). Sedangkan menurut
Burhanuddin bahwa batasan kemandirian ini bukan dimaksudkan untuk
membatasi atau menghilangkan kebebasan hakim, tetapi mengawal kebebasan
hakim supaya tidak terjadi tirani peradilan (Mariyadi,2011:37).
Kemandirian hakim atau independensinya tak terlepas dari
pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Sehingga hakim dapat benar-benar
menegakkan hukum dan keadilan serta mencari kebenaran. Independensi
kekuasaan kehakiman tidak diartikan secara mutlak namun tetap berada pada
kondisi yang diwujudkan dalam aspek akuntabilitas, integritas, transparansi
dan pengawasan atau kontrol. Senada dengan Paulus E. Lotulung (2003:9)
bahwa dalam hubungan dengan tugasnya sebagai hakim, maka independensi
hakim masih harus dilengkapi lagi dengan sikap imparsialitas dan
profesionalisme dalam bidangnya. Oleh karenanya kebebasan hakim sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
penegak hukum haruslah dikaitkan dengan akuntabiltas, integritas moral dan
etika, transparansi, pengawasan (kontrol), dan profesionalisme serta
impartialitas.
Begitu pula pada hakim konstitusi yang pada dasarnya adalah seorang
hakim yang tugas dan kewajibannya menegakkan hukum dan keadilan.
Kewenangan yang diberikan oleh hakim konstitusi adalah terkait masalah
konstitusionalitas yang menyangkut kepentingan umum bangsa Indonesia.
Demi menciptakan prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang
bertanggung jawab maka harus didukung dengan adanya sistem pengawasan
yang terpadu. Mahkamah Konstitusi muncul sebagai lembaga negara yang
mewujudkan checks and balances dalam sistem ketatanegaraan. Prinsip checks
and balances ini dapat saling mengawasi antar lembaga lainnya dan dapat
saling menyeimbangkan satu sama lain. Namun, penekanan yang paling utama
untuk sistem pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi terletak pada
individual seorang hakim konstitusi.
Hakim konstitusi pada hakikatnya adalah hakim. Seorang hakim tidak
saja harus mengurangi bicara, menjaga tingkah laku, tetapi yang terpenting
juga menjaga independensi dan imparsialitasnya. Artinya, Mahkamah
Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenang tak terpengaruh siapa pun,
lembaga lain, dan dengan cara apapun.
Makna independensi hakim konstitusi adalah terbebas dari campur
tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari
kekuasaan lembaga lain, teman ataupun sejawat, atasan serta pihak-pihak lain
di luar peradilan. Sehingga hakim konstitusi dalam memutus perkara hanya
demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dalam pandangan Hakim
Agung Artidjo Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya
pengadilan yang merdeka dan bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah
satu tiang tegaknya negara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan
adalah menyangkut faktor adanya pengadilan yang merdeka (Joko Riyanto,
2011:107).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Independensi kekuasaan kehakiman memang telah dijamin dalam
Pasal 24 UUD 1945. Namun, pelaksanaannya diperlukan adanya suatu sistem
pengawasan yang baik agar independensi hakim konstitusi tidak tergoyahkan
begitu pula dengan sikap hakim yang tidak memihak atau imparsial.
Kemerdekaan atau independensi harus dimaknai tetap dalam batas-batas yang
ditentukan oleh hukum dan dalam rangka menerapkan hukum secara adil (fair).
Kemerdekaan hakim juga berjalan seiring dengan akuntabilitas yang
diwujudkan dengan pengawasan. Tetapi tingkat sensivitas kemerdekaan hakim
tersebut sangat tinggi karena adanya dua pihak yang secara berlawanan
membela hak dan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa. Sehingga
kemerdekaan hakim disamping merupakan hak yang melekat pada hakim
sekaligus juga merupakan prasyarat untuk terciptanya sikap tidak berpihak
(impartial) hakim dalam menjalankan tugas peradilan.
Menekankan kembali bahwa independensi kekuasaan kehakiman
tidaklah bersifat mutlak, melainkan bentuk akuntabilitas menjadi tuntutan
untuk mewujudkan pengawasan yang baik dan bersinergi. Sehingga dapat
dikatakan, independensi merupakan hak dan akuntabilitas merupakan
kewajiban untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang ideal. Dengan
adanya penjagaan terhadap independensi Mahkamah Konstitusi dan
kewajibannya untuk melaksanakan akuntabilitas maka memanglah sangat
diperlukan pola pengawasan yang komprehensif dan terpadu demi terwujudnya
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara modern dan terpercaya.
Untuk mendukung kemandirian dan independensi MK, harus
didukung oleh kewenangan untuk mengatur sendiri organisasi, personalia,
administrasi dan keuangan yang juga secara mandiri. Kemandirian bersifat
struktural dan terutama fungsional, adalah untuk menciptakan kondisi yang
memberi kemungkinan yang seluas-luasnya bagi hakim konstitusi melakukan
tugas secara imparsial atau netral, yaitu yang disebut prinsip
ketidakberpihakan. Prinsip ini merupakan sifat dan sikap yang harus melekat
dalam hakikat fungsi hakim pada umumnya dan hakim konstitusi pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
khususnya, sebagai pihak ketiga yang netral yang dipercayakan untuk memutus
perselisihan atau sengketa ketatanegaraan (Maruarar Siahaan, 2008:29).
B. Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi yang Ideal untuk Mewujudkan
Prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman
Sistem pengawasan hakim konstitusi saat ini menggunakan
mekanisme pengawasan internal tanpa adanya pengawasan eksternal secara
eksplisit oleh Komisi Yudisial. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi mengarahkan bahwa pengawasan untuk hakim
konstitusi hanya dilakukan secara internal atau dari Mahkamah Konstitusi
itu sendiri dengan dibentuknya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
dan berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Sistem pengawasan terhadap hakim konstitusi yang telah
dipaparkan sebelumnya yakni berdasarkan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi serta adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dan Nomor 049/PUU-IX/2011
berimplikasi terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Seperti halnya pula yang telah dijelaskan bahwa prinsip utama dari
pelaksanaan kekuasaan kehakiman adalah prinsip independensi. Berkaitan
dengan hal tersebut, makna independensi pada hakim konstitusi sangat
melekat pada sistem pengawasannya.
Sistem pengawasan hakim konstitusi saat ini belum mampu secara
tegas mengakomodir prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang ada
pada Mahkamah Konstitusi. Mekanisme pengawasan yang hanya dijalankan
secara internal oleh Mahkamah Konstitusi dalam bentuk Majelis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Kehormatan Mahkamah Konstitusi belum mampu memecahkan persoalan
apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi oleh hakim konstitusi itu sendiri. Ketidakberdayaan pola
pengawasan yang dikekang oleh positivistik secara tidak sadar menggeser
pemikiran independensi kekuasaan kehakiman yang sesungguhnya.
Dituliskan dalam Cetak Biru Mahkamah Konstitusi Tahun 2005-
2009 bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki peran strategis dalam sistem
ketatanegaraan, yang tercermin pada kewenangan-kewenangan yang
dimilikinya. Untuk mengimbangi dan menjaga agar Mahkamah Konstitusi
tetap menjalankan fungsinya secara bertanggung jawab, perlu ada
mekanisme pengawasan terpadu terhadap Mahkamah Konstitusi. Menjadi
penting bagi Mahkamah Konstitusi, untuk memberikan pengawasan
terhadap integritas dan perilaku hakim kepada pihak eksternal yang
memiliki kewenangan untuk itu. Komisi Yudisial, secara yuridis memiliki
kewenangan untuk mengawasi hakim, baik di lingkungan peradilan umum
maupun Mahkamah Konstitusi (Mahkamah Konstitusi, 2009:121).
Semangat tersebut menjadi bertentangan dengan adanya putusan
terkait pengawasan hakim konstitusi. Khususnya Putusan Nomor 005/PUU-
IV/2006 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang diajukan oleh 31 (tiga puluh satu) hakim
agung.
Pertimbangan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa untuk
mewujudkan peradilan yang independen dan imparsial maka
diselenggarakan pengawasan secara internal di dalam tubuh Mahkamah
Konstitusi dengan dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan
penyusunan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi. Namun,
pengawasan eksternal secara eksplisit yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
sebagaimana mempunyai fungsi dan kewenangan yakni menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut dipertegas dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang intinya
bahwa hakim konstitusi bukan merupakan obyek pengawasan dari Komisi
Yudisial.
Menurut Iwan Satriawan (2008:8), hal ini menyebabkan
Mahkamah Konstitusi mengalami kecenderungan menjadi super body yang
hegemonik dan karenanya dapat mengancam keseimbangan konsep
separation of powers dan prinsip checks and balances yang sebenarnya
menjadi ide dasar munculnya Mahkamah Konstitusi itu sendiri, yaitu
mencegah terjadinya dominasi kekuasaan di satu organ tertentu. Hal senada
dikemukakan pula oleh A. Irmanputra Sidin yang menyatakan bahwa benar
ketika melihat secara pragmatisasi perilaku politik kekuasaan, terkesan
memang putusan Mahkamah Konstitusi ini hendak berlari dari mekanisme
pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial. Dalam konteks pengawasan
tehadap hakim, maka Komisi Yudisial merupakan lembaga pengawas yang
ekstern dan bersifat mandiri.
Berkaitan dengan hal tersebut, pertimbangan putusan Mahkamah
Konstitusi menyatakan dirinya bukanlah obyek pengawasan Komisi
Yudisial. Beberapa argumentasi yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi
diantaranya :
1. Alasan sistematis dan original intent perumusan ketentuan UUD 1945,
ketentuan Komisi Yudisial dalam Pasal 24B UUD 1945 tidak berkaitan
dengan ketentuan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24C UUD 1945.
Dari sistematika penempatan Komisi Yudisial sesudah pasal tentang
Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal tentang
Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C), sudah dapat dipahami bahwa
ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu tidak
dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
2. Hakim Konstitusi berbeda halnya dengan hakim biasa, hakim konstitusi
pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim
karena jabatannya lima tahun.
3. Dengan menjadikan perilaku hakim konstitusi sebagai obyek pengawasan
Komisi Yudisial, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara
menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang
tidak dapat bersikap imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul
persengketaan kewenangan antara Komisi Yudisial dengan lembaga
negara lain, seperti halnya dalam kasus persengketaan antara Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial yang terkait dengan perkara a quo.
Kritik yang terlontar atas Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
menjadi perhatian utama atas keprihatinan para ahli hukum tata negara salah
satunya adalah Muchammad Ali Safaat (2010:34-35). Terhadap putusan
tersebut, beliau memberikan argumentasinya sebagai berikut:
1. Penafsiran yang digunakan adalah penafsiran sistematis. Namun jika
yang digunakan adalah penafsiran yang lebih luas dalam kerangka untuk
menegakkan peradilan yang terpercaya tentu diperlukan adanya
pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi, terutama agar sifat
kenegarawanan hakim konstitusi tetap terjaga. Sedangkan penafsiran
menggunakan oroginal intent dalam persidangan tersebut juga didengar
keterangan dari saksi pemerintah dan DPR bahwa pengawasan Komisi
Yudisial juga dimaksudkan berlaku bagi hakim konstitusi.
2. Status hakim konstitusi sebagai hakim karena jabatan yang dipilih untuk
masa lima tahun tentu bukan menjadi alasan yang cukup kuat untuk
mengeluarkannya dari pengertian “hakim” yang akan diawasi oleh
Komisi Yudisial. Terhadap hakim agung non karier pun Komisi Yudisial
dapat melakukan pengawasan. Cara pengisian jabatan hakim tentu
kurang signifikan untuk dijadikan sebagai dasar pembedaan pengawasan.
3. Pada saat Komisi Yudisial memiliki wewenang pengawasan terhadap
perilaku hakim konstitusi, tidak menempatkan Komisi Yudisial berada di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
atas Mahkamah Konstitusi. Materi pengawasan juga di luar perkara dan
wewenang peradilan yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh
karena itu pada saat Komisi Yudisial menjalankan wewenang
pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi
tidak perlu kemerdekaan dan imparsialitas mengadili dan memutus
perkara sengketa kewenangan yang melibatkan Mahkamah Konstitusi
sebagai salah satu pihak.
Dengan demikian, sistem pengawasan hakim konstitusi saat ini
merupakan pengawasan internal yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi yang salah satu anggotanya berisikan unsur lembaga eksternal
yakni Komisi Yudisial. Hal demikian memunculkan konsep pengawasan
yang sebenarnya sebagai celah ketika pengawasan eksternal secara eksplisit
oleh lembaga negara Komisi Yudisial tidak diperbolehkan. Namun,
pemantauan dan pengawasan terhadap hakim konstitusi tidak dapat
dilakukan secara berkelanjutan karena pengawasan secara tegas oleh Komisi
Yudisial tidak dilibatkan. Selain itu, secara social responsibility, mekanisme
pengawasan hakim konstitusi oleh Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi komposisinya hendaknya juga melibatkan masyarakat yang
diwakili oleh perguruan tinggi sebagai pihak yang netral dalam
penyelenggaraan proses peradilan. Dalam hal ini diatur dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi yang masih dalam bentuk rancangan.
Menurut hemat penulis bahwa idealnya, pengawasan kekuasaan
kehakiman terbagi menjadi dua yakni pengawasan internal dan pengawasan
eksternal. Hal demikian untuk menjamin independensi kekuasaan
kehakiman yang berarti terhindar dari segala bentuk intervensi atau
pengaruh-pengaruh dari berbagai pihak luar (extra judicial). UUD 1945
menempatkan Komisi Yudisial sebagai lembaga independen yang berfungsi
mengawasi perilaku hakim sebagaimana Pasal 24B yakni berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim. Komisi Yudisial adalah sebagai lembaga pelengkap
kekuasaan kehakiman (auxiliary state organ) mempunyai tugas untuk
mengawasi perilaku hakim yang mana bertujuan untuk menciptakan
keutuhan prinsip independensi tanpa meninggalkan akuntabilitas dari hakim
masing-masing. Hendaknya hal tersebut menjadi penunjang untuk
memperbaharui sistem pengawasan hakim konstitusi yang saat ini hanya
dilakukan secara internal.
Untuk melandasi cita-cita di atas, pendapat Jakob Tobing, mantan
Ketua PAH I BP MPR, yang ikut mempersiapkan materi amandemen UUD
1945 menyatakan bahwa :
“Semula Komisi Yudisial diusulkan untuk dibentuk di tiap
tingkat peradilan, pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan
pengadilan kasasi. Anggota Komisi Yudisial adalah pakar
hukum, tokoh praktisi hukum, dan tokoh masyarakat setempat
untuk masa jabatan tertentu dengan tugas dan kewenangan
untuk mengusulkan calon hakim sesuai tingkatannya dan
menjadi badan kehormatan eksternal untuk mengawasi perilaku
hakim, termasuk di tingkat nasional hakim agung dan hakim
konstitusi, tanpa ada pengecualian ... Komisi Yudisial akan
mencermati perilaku para hakim guna mencegah terjadinya
penyalahgunaan kemerdekaan hakim. Sementara itu Komisi
Yudisial tidak dapat masuk ke dalam proses peradilan hakim.
Sementara itu Komisi Yudisial tidak dapat masuk ke dalam
proses peradilan itu sendiri. Dalam pemikiran itu Komisi
Yudisial jelas diposisikan berdiri di luar kewenangan hakim
yang merdeka. Karena itu pula Komisi Yudisial tidak berada
dalam posisi checks and balances terhadap Mahkamah Agung.
PAH I MPR akhirnya menyepakati Komisi Yudisial hanya
dibentuk di tingkat nasional dengan tugas mengusulkan calon
hakim agung (anggota Mahkamah Agung) kepada DPR. Tetapi
semangat Komisi Yudisial tetap, yaitu untuk mengawasi para
hakim, semuanya, termasuk hakim konstitusi dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman
yang merdeka ... “ (Ni‟matul Huda,2011:67).
Sejalan dengan itu, arah perbaikan yang diinginkan oleh DPR
sebagai lembaga negara yang mempunyai fungsi legislasi, ketika itu ingin
merubah konsep pengawasan terhadap hakim konstitusi yang diwujudkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal 27A ayat (2) undang-undang tersebut, salah satu
pengisian anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah
anggota dari Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial yang notebene lembaga pengawas eksternal
kekuasaan kehakiman yang mempunyai wewenang untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
dimasukkan menjadi salah satu anggota Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi. Hal ini dipertegas pula dengan adanya Putusan Nomor
049/PUU-IX/2011 yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi khususnya pada Pasal 27A ayat (2) bahwa Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi keanggotaannya terdiri dari satu orang
hakim konstitusi dan satu orang anggota Komisi Yudisial, yang sebelumnya
ditambah dari unsur DPR, Pemerintah dan hakim agung. Ketiganya dihapus
oleh Mahkamah Konstitusi karena akan mencederai dan mengancam
kemandirian atau independensi dari hakim konstitusi yang dapat
menimbulkan nuansa politisasi dalam penyelenggaraan proses peradilan di
Mahkamah Konstitusi.
Wacana untuk memasukkan Komisi Yudisial sebagai salah satu
unsur yang mengawasi Mahkamah Konstitusi adalah konsep pengawasan
yang diinginkan. Berbagai macam konsep yang dapat ditawarkan jika
Komisi Yudisial hendak dibangun dan disepakati menjadi institusi
pelaksana sistem kekuasaan kehakiman, terutama hakim konstitusi, antara
lain:
1. Memasukkan gagasan Komisi Yudisial sebagai pengawas dalam revisi
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Komisi
Yudisial;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
2. Memasukkan Komisi Yudisial sebagai salah satu unsur dalam forum
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi;
3. Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial membuat Memorandum of
Understanding (MoU) untuk menyepakati lingkup pengawasannya yang
dapat dilakukan Komisi Yudisial;
4. Mengkondisikan agar para hakim konstitusi memiliki sifat untuk terbuka
atau membuka diri untuk diawasi; dan
5. Melakukan Amandemen UUD 1945 yang menegaskan secara eksplisit
adanya kewenangan atau kekuasaan konstitusional Komisi Yudisial
untuk mengawasi hakim-hakim baik Mahkamah Agung dan Mahkamah
Kontitusi(sumber:http://master.law.uii.ac.id/index.php?option=com_content
&task=view&id=4&Itemid=50 diakses pada tanggal 16 April 2012 pukul
12:43 WIB).
Konsep yang ditawarkan tersebut, salah satunya telah terpenuhi
dengan adanya Komisi Yudisial menjadi salah satu anggota dari Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Selain dalam Undang-Undang,
ketentuan ini diatur lebih lanjut oleh Peraturan Mahkamah Konstitusi yang
sampai saat ini masih dalam bentuk rancangan.
Oleh karena itu, sistem pengawasan terhadap hakim konstitusi yang
ideal demi mewujudkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman
dilakukan dari dua sisi yakni pengawasan secara internal maupun
pengawasan secara eksternal. Ruang lingkup dari kedua mekanisme
pengawasan tersebut terletak pada etika dan perilaku hakim. Mekanisme
pengawasan hakim konstitusi secara internal dilakukan oleh Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi sebagaimana tercantum dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 07/PMK/2005. Sedangkan mekanisme pengawasan
secara eksternal dilakukan oleh lembaga fungsional-eksternal yakni Komisi
Yudisial yang salah satunya memiliki wewenang untuk mengawasi perilaku
hakim, yang mengandung pengertian bahwa “menjaga” kehormatan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
keluhuran, martabat serta perilaku hakim sebagai tindakan preventif. Hal ini
dilakukan berlandaskan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, tentunya
mengupayakan kesejahteraan serta kapasitas hakim konstitusi,
menindaklanjuti apabila hakim konstitusi melanggar Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi, serta dapat memantau proses peradilan di Mahkamah
Konstitusi. Sedangkan “menegakkan” kehormatan, keluhuran, martabat
serta perilaku hakim sebagai tindakan represif yang tentunya berlandaskan
pula pada Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Hal ini dapat dilakukan
dengan upaya pemeriksaan hingga tahap pemberian sanksi apabila terbukti
melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi dan melakukan upaya
hukum untuk menjaga apabila ada pihak luar yang ingin mengganggu
kewibawaan hakim konstitusi.
Berdasarkan mekanisme tersebut, pengawasan internal yang
dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan pengawasan
eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dapat bersinergi serta
hubungan kedua lembaga tersebut bukan tidak mungkin akan menjadi
hubungan kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing-
masing atau dapat dikatakan bersifat mandiri tetapi saling berkait
(independent but interrelated).
Begitu pula, diperlukan dukungan masyarakat sebagai social
control namun tanpa mempengaruhi kemandirian seorang hakim dalam
memutus suatu perkara. Hal demikian mengingat bahwa kewenangan yang
diberikan kepada Mahkamah Konstitusi oleh UUD 1945 bersifat sangat
strategis karena menyangkut masalah konstitusional bangsa dan negara
Indonesia.
Namun mencermati pula bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 005/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa hakim konstitusi tidak
diawasi oleh Komisi Yudisial secara eksternal dan putusan tersebut bersifat
final dan mengikat yang dalam arti tidak dapat diganggu gugat, menurut
hemat penulis bahwa membangun sebuah idealitas mengenai sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
pengawasan hakim konstitusi merupakan suatu keniscayaan. Pentingnya
pengawasan terhadap hakim konstitusi baik dari sudut pandang ekstern
maupun intern dari Mahkamah Konstitusi sendiri merupakan suatu
kewajiban utama agar tetap tegaknya independensi Mahkamah Konstitusi.
Kewajiban tersebut mewujudkan kemanfaatan bagi jalannya proses
peradilan di Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan yang berwenang untuk
mengadili masalah ketatanegaraan di Indonesia.
Untuk memahami lebih mendalam mengenai eksistensi Mahkamah
Konstitusi di negara lain yang berkaitan dengan independensi kekuasaan
kehakiman dan sebagai bahan pembanding dengan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, berikut akan diuraikan tentang Mahkamah Konstitusi
Republik Federal Negara Jerman.
Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman diadopsi
bersamaan dengan ditetapkannya Basic Law pada tahun 1949. Dalam
Basic Law 1949 Mahkamah Konstitusi Federal Jerman diberi
kewenangan besar yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Oleh
karenanya, tidak begitu mengherankan jika Mahkamah Jerman menjadi
pusat perhatian ahli-ahli hukum di seluruh penjuru dunia.
Sebagai starting point, penting untuk mengakui dan mengatakan
bahwa secara organisasional Mahkamah Konstitusi Federal Jerman
memang memiliki distingsi struktural dengan organisasi Mahkamah
Konstitusi yang terdapat di negara-negara lain. Oleh karena itu,
Mahkamah Federal pada hakikatnya mengalami pembelahan ke dalam
dua cabang (twin-court). Dengan perkataan lain, terdapat dua Senat yang
masing-masing bekerja secara independen. Oleh karenanya, Senat yang
terdapat dalam organisasi Mahkamah Konstitusi Jerman memiliki relasi
sederajat dan di antara mereka yurisdiksi disalurkan secara seimbang.
Komposisi Mahkamah Konstitusi Federal Jerman terdiri dari 16
(enam belas) hakim. Delapan hakim mengisi panel pertama, dan delapan
hakim lainnya menempati panel kedua. Secara umum, dapat dikatakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Senat Pertama menangani persoalan yang terkait dengan hak-hak
mendasar (basic right). Sedangkan Senat Kedua menurut asumsi
beberapa pakar adalah Senat yang menangani masalah-masalah politik
(political senate). Artinya, Senat Kedua menyelesaikan sengketa
konstitusional (constitutional review) dan menguji undang-undang secara
abstrak. Putusan yang dibuat oleh kedua Senat itu secara institusional
adalah putusan final dan mengikat. Dalam prosedur acara yang berlaku,
untuk memutus suatu perkara harus dihadiri oleh seluruh hakim (Plenum)
yang terdiri dari 16 hakim. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga
konsistensi putusan-putusan seperti yang telah dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi Federal Jerman.
Melalui penelitian Sri Soemantri, pakar hukum tata negara ini
berpandangan bahwa pemecahan Mahkamah Konstitusi Federal menjadi
dua Senat dilatarbelakangi oleh dua alasan, yaitu : Pertama, sebagai hasil
kompromi antara pendapat yang menginginkan agar sidang-sidang
Majelis dibagi ke dalam kelompok dan para hakim bergantian dalam
sidang kelompok tersebut (flind system). Di pihak lain, ada keinginan
agar semua hakim merupakan satu Majelis seperti yang terdapat pada
Mahkamah Agung Amerika Serikat. Kedua, sebagai kompromi antara
mereka yang memandang Mahkamah Konstitusi dalam arti hukum
semata, dan yang melihat Mahkamah Konstitusi dalam pengertian
politik. Atas dasar itu, maka pada permulaan pembentukannya, tradisi
yang berkembang dalam tubuh Mahkamah adalah Senat Pertama akan
menangai kasus-kasus hukum dan Senat Kedua diserahi tugas yang
berkenaan dengan masalah politik, tepatnya menguji penggunaan
kekuasaan politik oleh organ kenegaraan.
Keputusan-keputusan yang mantap dan baik dari kedua Senat
yang terdapat dalam struktur Mahkamah Konstitusi Federal sangat
bergantung kepada keyakinan masing-masing hakim. Oleh karena itu,
kualitas putusan Mahkamah mungkin saja dipengaruhi oleh latar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
belakang yang melingkupi masing-masing hakim. Pada tataran
konstitusional kelayakan untuk dipilih sebagai hakim Mahkamah diatur
dalam Pasal 94 ayat (1) dari Basic Law. Namun, pasal ini hanya
menentukan syarat-syarat umum. Mahkamah terdiri dari hakim-hakim
federal maupun kelompok masyarakat lainnya. Keberadaan hakim
federal dalam Mahkamah, menandakan bahwa organ penjamin konstitusi
itu memiliki anggota yang berpengetahuan hukum khusus (specialist).
Seiring dengan itu, keberadaan hakim yang lain menandaskan pula
eksistensi elemen-elemen politik dalam organ tersebut (Jimmly
Asshiddiqie,dkk, 2006:46).
Melalui Federal Constitutional Court Act, ditentukan bahwa
tiga dari delapan anggota masing-masing Senat harus berasal dari
pengadilan-pengadilan tertinggi federal. Disamping itu, Bundestag dan
Bundesrat masing-masing memiliki kewenangan untuk menentukan
delapan dari 16 hakim mahkamah. Durasi masa jabatan seorang hakim
adalah satu kali untuk dua belas tahun masa jabatan. Oleh karena itu,
hakim tidak dapat dipilih kembali. Dari sejumlah pemerhati hukum di
Jerman dikatakan, bahwa prosedur pemilihan hakim yang melibatkan
parlemen diprediksi dapat mempertebal legitimasi demokratik para
hakim. Secara pararel hal itu akan memperkuat eksistensi komponen-
komponen federal yang dipancarkan melalui komposisi mahkamah.
Karena dalam praktik, dapat saja terjadi bahwa putusan mahkamah yang
final dan mengikat (res judicata) itu kurang berkenan di hati pihak-pihak
lain, sehingga dapat dibayangkan apa yang terjadi jika mahkamah dalam
menjalankan kekuasaannya tidak memiliki legitimasi yang cukup
memadai guna menopang putusan final dan mengikat itu. Di Republik
Federal Jerman, misalnya, secara tegas dikatakan bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai hukum positif.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Federal Jerman diatur
secara rinci dan jelas dalam Article 93 dari Basic Law tahun 1949.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Berdasarkan ketentuan tersebut organ yang bermarkas di Karlsruhe ini
memiliki aneka kompetensi, antara lain adalah sebagai berikut :
a. Istilah pengujian konstitusional (constitutional review) digunakan
untuk menyelesaikan perselisihan yang dihadapi oleh lembaga-
lembaga tinggi negara. Kategori ini termasuk kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa kewenangan antara Pemerintah Federasi
dengan negara bagian (federal states) atau perselisihan yang
melibatkan organ-organ tinggi dalam pemerintah federal saja.
b. Adapun terminologi judicial review, masing-masing digunakan
ketika mahkamah melaksanakan pengujian norma hukum secara
konkret (concrete norm control), atau pada saat organ tersebut
melakukan pengujian undang-undang secara umum (abstract norm
control). Khusus terhadap pengujian norma hukum secara abstrak,
permohonan model ini biasanya sudah harus diajukan kepada
Mahkamah Konstitusi paling lambat 30 hari setelah rancangan
undang-undang diadopsi secara final oleh parlemen, namun belum
diundangkan.
c. Permohonan konstitusional (constitutional complaint) adalah hak
mengajukan petisi yang dimiliki secara perorangan ataupun
kelompok, ketika pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional
yang bersangkutan, seperti tercantum dalam Basic Law tahun 1949
telah dilanggar oleh aneka produk hukum atau putusan peradilan
umum (ordinary judges).
d. Menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum, seperti ditentukan
dalam Article 41 II Basic Law.
Berkaitan dengan konsep independensi kekuasaan kehakiman
(judicial independence) dinyatakan bahwa :
Judicial independence constitutes one of the fundamental
principles of the German Constitution. The status and
structure of the judiciary is elaborated in Chapter XI
(Articles 92-104) of the Constitution, the so-called Basic Law
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
(“Grundgezetz”). Article 97 guarantees the independences of
judges. It reads :
(1) Judges shall be independent and subject only to the law.
(2) Judges appointed permanently to full-time positions may
be involuntarily dismissed, permanently or temporarily
suspended, transferred, or retired before the expiration of
their term of office only by virtue of judicial decision and
only for the reasons and in the manner specified by the laws
(Anja Seibert-Fohr, 2006:1).
Independensi kekuasaan kehakiman yang dianut oleh Negara
Jerman dibagi menjadi tiga elemen, yakni : substantive independence,
structural independence, dan personal independence. Ketiga elemen
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a) Substantive independence. It requires that the judge in her
or his decision-making process is only bound by the law, not
by any determination or other means of influence by other
parties.
b) Structural independence of the judiciary requires a
structural separation from the other branches of government
and is guaranteed by the second sentence of Article 20 (2)
Basic Law. Pursuant to 4 Federal Judges Act, judges are not
allowed to exercise legislative or executive functions
silmutaneously with judicial functions excluding tasks of
court administration.
c)Personal independence further supplements substantine
independence by protecting the judges as a person against
external interventions. This concerns to access to the
profession, as well as the working and living conditions of
judges (Anja Seibert-Fohr, 2006:1).
Berdasarkan prinsip independensi kekuasaan yang telah
diuraikan, maka diperlukan adanya sistem pengawasan yang memadai.
Sistem pengawasan kehakiman di Jerman memperlihatkan adanya
konsep-konsep sebagai berikut:
a. Kode Etik Hakim Mahkamah Konstitusi Jerman hanya diatur dalam
Undang-Undang Kehakiman Jerman dan tidak diatur secara khusus
dalam aturan mengenai kode etik hakim.
b. Secara kelembagaan, institusi pengawas kekuasaan kehakimaan
dilakukan oleh internal. Sementara di pengadilan di tingkat bawah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
(negara bagian) dibentuk lembaga khusus yang melakukan
pengawasan.
c. Secara kultural, hakim di Jerman sudah terbangun suatu budaya
hukum yang mengkondisikan mereka untuk memiliki etos kerja
sebagai hakim yang mandiri dan profesional sehingga kode etik hakim
sudah melekat secara interen di diri hakim (sumber:http://master
.law.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4&Itemid=50
diakses pada tanggal 16 April 2012 pukul 12:43 WIB).
Untuk memahami keberadaan hakim Mahkamah Konstitusi
Federal Jerman, dijelaskan hal-hal yang berkaitan mengenai aturan
kedisiplinan bagi hakim tersebut.
a. Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi Federal (UU MK –
BverGG) tanggal 11 Agustus 1993, khusus dalam Pasal 3 ayat (3) dan
4 mengatur mengenai jabatan yang tidak boleh dirangkap saat menjadi
hakim MK Federal. Hakim Mahkamah Konstitusi Federal Jerman,
tidak boleh menjadi bagian dari Parlemen Jerman, Majelis Jerman,
pemerintah federal maupun salah satu instansi terkait di suatu negara
bagian. Ini bagian pertama dari aturan tersebut, sebagai bentuk
khusus dari larangan profesional dan komersial/perdagangan dalam
arti luas. Pengecualiannya hakim MK Federal masih dapat
meneruskan pekerjaannya sebagai dosen atau pendidik di tingkat
perguruan tinggi.
b. Pasal 18 mengatur diskualifikasi seorang hakim dalam menjalankan
fungsinya sebagai hakim, jika ia terlibat dalam suatu kasus atau
menikah dengan pihak yang terlibat kasus itu atau pernah telah
bekerja dalam kasus yang sama secara profesional atau inisiatif
sendiri. Hal ini jelas bahwa menjadi seorang hakim Mahkamah
Konstitusi Federal Jerman berdasarkan pengalaman khusus yang
bukan hanya memiliki kualifikasi prefesional yang luar biasa, tetapi
juga kualifikasi ilmiah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
c. Berdasarkan Pasal 105 mengatur mengenai pemberhentian hakim
Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Misalnya, apabila hakim telah
melakukan perbuatan memalukan atau dihukum dengan hukuman
tetap penjara lebih dari enam bulan atau apabila hakim telah
melakukan pelanggaran hukum berat sehingga yang bersangkutan
tidak diperkenankan tetap dalam tugasnya sebagai hakim MK Federal
Jerman. Untuk menjalankan proses ini berlandaskan pada keputusan
pleno (Pasal 105 Paragraf 2) (Siegberg Bross, 2011:8-9).
Mencermati lembaga pengadilan tersebut yakni Mahkamah
Konstitusi Republik Federal Negara Jerman bahwa pembentukan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagian telah mengadopsi dari
negara-negara tersebut. Dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan
kepada Mahkamah Konstitusi yaitu untuk menjunjung tinggi konstitusi yang
putusannya bersifat final dan konsep independensi kekuasaan kehakiman
demi menegakkan hukum dan keadilan.
Konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka negara tersebut
terhadap lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi begitu dijunjung tinggi.
Oleh karena, jalur hukum terakhir adalah di badan peradilan, sistem
peradilan perlu diberi kedudukan yang mandiri. Seiring dengan ini,
kebebasan hakim tak luput dari sisi gelap karena ada dugaan ajaran
independensi justru digunakan sebagai benteng pertahanan mutakhir untuk
menutupi potensi kejanggalan-kejanggalan yang menyertai putusan
peradilan. Oleh karena itu, adanya akuntabilitas, transparansi, integritas
moral dan etika serta sistem pengawasan atau kontrol diupayakan akan
menjamin independensi kekuasaan kehakiman yang sesungguhnya.
Sistem pengawasan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi
Republik Federal Negara Jerman dilakukan secara internal, namun untuk
tingkat bawah atau negara bagian dilakukan oleh institusi atau lembaga
tersendiri. Meskipun, pengawasannya hanya secara internal, hal ini tidak
menjadi persoalan karena secara sosiologis, masyarakat menaruh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
kepercayaan yang tinggi terhadap para hakim tersebut. Budaya etos kerja
tinggi yang melekat pada diri hakim menjadi hal yang luar biasa dalam
membangun proses peradilan yang adil serta mampu menjunjung prinsip
independensi kekuasaan kehakiman.
Dari beberapa hal menarik di Mahkamah Konstitusi Jerman, salah
satunya dapat diambil pelajaran bahwa, perlunya sistem pengawasan yang
bertujuan untuk menjaga independensi dan imparsialitas hakim konstitusi,
harus didukung dengan adanya budaya hakim konstitusi dalam menciptakan
suasana atau etos kerja yang tinggi, tentunya mengutamakan tingkat
keprofesionalan hakim konstitusi dalam mengemban tugasnya. Di Negara
Indonesia yang selalu menuntut perubahan ke arah yang lebih baik,
memanglah sangat penting untuk menumbuhkan budaya tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka penulis
memberikan simpulan sebagai berikut :
1. Kewenangan yang diberikan kepada hakim konstitusi dalam menjalankan
proses peradilan di Mahkamah Konstitusi dinilai sangat rentan terhadap
ancaman atau pengaruh-pengaruh buruk dari luar peradilan (extra judicial).
Kewenangan untuk menyelesaikan masalah konstitusionalitas menjadi hal
pokok untuk menjaga konstitusi Negara Indonesia karena menyangkut
kepentingan seluruh bangsa Indonesia. Hal lain adalah pengaruh-pengaruh
politik akibat pola pengisian anggota hakim konstitusi juga merupakan salah
satu faktor terjadinya kecenderungan Mahkamah Konstitusi untuk jauh dari
sifat independen dan imparsial. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan,
maka sebagai lembaga negara modern dan terpercaya, Mahkamah Konstitusi
khususnya para hakim konstitusi sangat diperlukan sistem pengawasan yang
terpadu. Demi mewujudkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman dan
demi tegaknya hukum dan keadilan, sistem pengawasan menjadi perhatian dan
agenda utama untuk menyelenggarakan proses peradilan ketatanegaraan yang
berwibawa dan bermartabat.
Selain itu, pengaturan terkait pengawasan hakim konstitusi sebagai
alasan yuridis untuk menelaah pentingnya sistem pengawasan tersebut.
Pertama, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Sistem pengawasan dalam Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman ini menghendaki lebih komprehensif dengan mewujudkan
integrated justice system atau sistem peradilan terpadu di Indonesia. Model
pengawasan dalam undang-undang ini terdiri dari dua yakni yang membedakan
antara hakim dan hakim konstitusi. Pengawasan terhadap hakim agung dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
hakim-hakim dibawahnya menggunakan sistem pengawasan secara internal
dan eksternal. Internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sendiri meliputi
bidang yustisial, administrasi dan keuangan serta eksternalnya dilakukan oleh
Komisi Yudisial yang kewenangannya hanya sebatas mengawasi perilaku
hakim. Sedangkan Mahkamah Konstitusi, dalam Pasal 44 Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman ini menegaskan bahwa pengawasan hakim konstitusi
dilakukan oleh sebuah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi berdasarkan
Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Secara tidak tegas bahwa
pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial tidak dilibatkan. Kedua, Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sistem pengawasan dalam
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi jelas tidak bebenturan dengan Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman. Kedua undang-undang ini bersifat saling
melengkapi. Sistem pengawasan yang dijalankan dalam Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman adalah sama halnya dengan Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi. Namun pengaturan dalam Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi diatur lebih lengkap. Sistem pengawasan terhadap hakim konstitusi
bersifat internal dengan dibentuknya Majleis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Kode Etik
dan Perilaku Hakim Konstitusi tersebut sebagai tolok ukur atau parameter
untuk menilai dan mengawasi perilaku hakim konstitusi, yang terdiri dari
prinsip independensi, ketakberpihakan, integritas, kepantasan dan kesopanan,
kesetaraan, kecakapan dan keseksamaan, serta kearifan dan kebijaksanaan.
Begitu pula, dengan pengisian anggota Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi terdiri dari salah satu hakim konstitusi dan salah satu anggota dari
Komisi Yudisial. Diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamh Konstitusi
bahwa keanggotaan dapat berasal dari unsur eksternal seperti perguruan tinggi
dan majelis ini bersifat ad hoc.
Untuk mewujudkan prinsip utama kekuasaan kehakiman, yakni
independensi atau kekuasaan kehakiman yang merdeka, sistem pengawasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
khususnya untuk hakim konstitusi menjadi bagian penting dalam proses
peradilan ketatanegaraan demi menegakkan hukum dan keadilan.
2. Sistem pengawasan hakim konstitusi yang ideal demi mewujudkan prinsip
independensi kekuasaan kehakiman dilakukan dari dua sisi yakni pengawasan
internal maupun eksternal. Pengawasan internal tepat dilaksanakan oleh
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sedangkan pengawasan eksternal
oleh Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal. Ruang lingkup dari
kedua mekanisme tersebut terletak pada etika dan perilaku hakim konstitusi
tentunya berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Komisi
Yudisial tidak akan mengganggu proses peradilan di Mahkamah Konstitusi
apabila dimaknai bahwa Komisi Yudisial bukanlah lembaga yang berperan
penting dalam prinsip checks and balances karena fungsinya yang salah
satunya sebagai pengawas perilaku hakim dan sifatnya yang mandiri serta
tanpa mempengaruhi kemandirian hakim.
Sebagai pembanding, maka dilakukan studi terhadap Mahkamah
Konstitusi Republik Federal Negara Jerman. Ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia memang sebagian mengadopsi dari negara
tersebut. Mahkamah Konstitusi Jerman mempunyai tujuan yakni sebagai
lembaga negara penafsir konstitusi atau penegak konstitusi. Kewenangan yang
diberikan hampir sama yakni untuk menguji undang-undang terhadap undang-
undang dasar atau konstitusi dari negara masing-masing. Kekuasaan
kehakiman di Jerman juga sama-sama memberikan konsep mengenai
kekuasaan kehakiman yang merdeka dimana lembaga peradilan tersebut tidak
boleh dipengaruhi oleh berbagai pihak bebas dari campur tangan siapa pun. Di
Jerman memperlihatkan konsep pengawasan kehakiman, yakni kode etik
hakim Mahkamah Konstitusi Jerman yang diatur dalam undang-undang, bukan
kode etik sendiri, secara kelembagaan, institusi pengawas kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh internal, sementara pengadilan dibawahnya dibentuk
lembaga khusus yang melakukan pengawasan serta secara budaya, etos kerja
hakim Jerman memang sudah mandiri dan profesional. Meskipun pengawasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
hakim yang dilakukan secara internal, namun hal menarik yang patut diteladani
oleh Indonesia dari hakim-hakim konstitusi di Jerman adalah budaya etos kerja
yang tinggi sehingga masyarakat luas menaruh kepercayaan kepada lembaga
peradilan tersebut.
B. Saran
1. Demi mewujudkan independensi kekuasaan kehakiman atau disebut dengan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka perlunya pemaknaan yang lebih
mendalam terhadap prinsip tersebut sehingga penyelenggaraan proses
peradilan di Mahkamah Konstitusi mendapatkan trust dari masyarakat.
2. Sistem pengawasan hakim konstitusi saat ini hendaknya dibagi menjadi dua
model secara tegas yakni pengawasan secara internal dan eksternal. Oleh
karena itu, perlunya perubahan UUD 1945 untuk menempatkan Komisi
Yudisial sebagai salah satu lembaga yang dapat melakukan tindakan preventif
dan represif untuk mengawasi hakim konstitusi tanpa mempengaruhi
independensi dari hakim konstitusi tersebut.
3. Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi yang masih dalam bentuk rancangan hendaknya mampu secara
teknis mengakomodir mengenai sistem pengawasan hakim konstitusi yang
dapat melakukan tindakan preventif maupun represif sehingga dapat bekerja
secara lebih komprehensif dan memberikan sanksi yang pantas kepada hakim
konstitusi terlapor.