Download - Skel Ero Derma
SKLERODERMA
A. Definisi
Skleroderma merupakan penyakit yang kompleks, dimana terjadinya perluasan proses fibrosis, perubahan vaskularisasi dan autoimun terhadap berbagai antigen merupakan ciri-ciri yang utama, skleroderma juga terbagi dalam dua bentuk: skleroderma lokalisata dan skeleroderma sistemik. Sebuah penyakit yang jarang terjadi dengan penyebab yang belum diketahui, dimana proses pengerasan dapat terlihat di kulit, biasanya muncul setelah terjadi infeksi tetapi juga muncul pda penyakit diabetes dan akan hilang secara spontan dalam rentang waktu bulan atau tahun. Didapatkan asam mukopoli-sakarida di dalam dermis
Skleroderma lokalisata adalah bentuk skleroderma yang menyerang kulit secara lokal tanpa disertai kelainan sistemik dengan gejala khas bercak-bercak putih kekuning-kuningan dan keras, seringkali mempunyai halo ungu di sekitarnya. Penyakit ini dimulai dengan stadium inisial yang inflamatorik, kemudian memasuki fase sklerodermatik. Skleroderma sistemik mirip skleroderma lokalisata, penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui penyebabnya, ditandai oleh fibrosis kulit, penyakit ini kemudian menyerang paru-paru, traktus gastrointestinal, ginjal dan jantung. Kerusakan sel endotel di pembuluh darah mengakibatkan fibrosis dan sklerosis pada organ yang dikhawatirkan.
Gb. 1. A,B. Difusi kutan pada sklerosis sistemik. Kulit sklerosis pada sklerosis sistemik difusi kutan melebar sampai proksimal siku dan lutut, dan sering meliputi dada dan dinding abdominal. Kontraktur jarigan lunak yang berat dapat terjadi, dan ulserasi, khususnya ada bidang ekstensor. Sklerosis kulit terparah pada 18 bulan pertama dari penyakit ini. Fenomena Raynaund dapat terjadi setelah onset dari kulit berubah.
Gb. 2. Gambaran sklerosis lokalisata yang menunjukkan perubahan pada wajah yang terlihat seperti topeng, tidak dapat membuka mulut, sklerodaktil, dan ulserasi.
Klasifikasi:
Dua varian utama skleroderma adalah kutaneus difus (20% kasus) dan kutaneus
terbatas (80% kasus).
1. Tipe difus yang lebih sedikit ini ditandai dengan penebalan kulit pada ekstremitas
bagian distal dan proksimal serta batang tubuh dan sering melibatkan ginjal, paru
dan jantung. Tipe difus adalah jenis yang progresif dan sering merusak banyak
organ dalam, tidak hanya kulit saja.
2. Tipe terbatas menonjolkan sindrom CREST (kalsinosis, fenomena Raynaud,
disfungsi esofagus, sklerodaktili dan teleangiektasia), perubahan pada kulit hanya
terbatas pada wajah, jari jemari dan bagian distal ekstremitas.
Varian ketiga yang jarang didapatkan adalah overlap syndrome; sindrom ini terdiri
dari skleroderma yang terasosiasi dengan penyakit jaringan ikat lainnya, misalnya
lupus sistemik (SLE), artritis rheumatoid, polimiositis dan sindrom Sjögren
Berdasarkan pola distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, Skleroderma dapat
dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. Skleroderma Lokal
Yaitu beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit secara lokal tanpa
disertai kelainan sistemik. Termasuk dalam kelompok ini adalah :
a. Plaque Morphea : Perubahan setempat yang dapat ditemukan dibagian tubuh
mana saja, fenomena raynaud sangat jarang ditemukan. Fenomena Raynaud
adalah perubahan warna yang episodik (palor, sianosis, eritem) yang
dicetuskan oleh lingkungan yang dingin atau stres emosional. Perubahan
spesifik umumnya terjadi pada jari tangan, dapat juga mengenai jari kaki, daun
telinga, lidah dan hidung.
b. Linear Sclerosis : Terdapat pada anak-anak, ditandai perubahan skleroderma
pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atrofi otot dan
tulang dibawahnya
c. Skeleroderma en coup de sabr : Merupakan varian skleroderma linier, dimana
garis yang sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah
frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dan kelainan tulang.
2. Sklerosis sistemik
a. Sklerosis sitemik difusa : Dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas,
muka dan seluruh tubuh.
b. Sklerosis sistemik terbatas : Penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut
tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah sindroma
CREST (calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily, teleangiectasis).
c. Sklerosis sistemik sine skleroderma : secara klinis tidak didapatkan kelainan
kulit walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran serologis yang khas
untuk sklerosis sistemik.
d. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome : Arthritis rheumatoid atau penyakit
otot inflamasi
e. Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensiasi : bila didapatkan fenomena
Raynaud dengan gambaran klinis atau laboratorik sesuai dengan sklerosis
sitemik
Faktor yang mempengaruhi timbulnya Skeleroderma:
a. Faktor Genetik
Sekitar 1,6% pasien skleroderma memiliki resiko relatif sebesar 13 yang
menunjukkan pentingnya faktor genetik. Resiko penyakit autoimun lain termasuk
systemic lupus erythematosus (SLE) dan rheumatoid arthritis (RA) juga
meningkat pada keturunan pertama pasien skleroderma. Penelitian genetik saat ini
difokuskan pada polimorfisme gen kandidat, terutama gen yang berhubungan
dengan regulasi imunitas, inflamasi, fungsi vaskuler dan homeostasis jarigan ikat.
Hubungan yang lemah antara single nucleotide polymorphisms (SNPs) dengan
skleroderma telah dilaporkan pada gen yang mengkode angiotensin-converting
enzyme (ACE), endothelin 1, nitric oxide synthase, B-cell markers (CD19),
kemokin (monocyte chemoattractantprotein 1) dan reseptor kemokin, sitotokin
(interleukin (IL)-1 alpha, IL-4, dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha), growth
factors dan reseptornya (connective tissue growth factor [CTGF] and
transforming growth factor beta [TGF-beta]) dan protein matriks ekstraseluler
(fibronectin, fibrillin, and SPARC).
b. Faktor Lingkungan
Resiko relatif faktor genetik yang rendah pada skleroderma menunjukkan
pentingnya faktor lingkungan pada kerentanan penyakit ini. Agen infeksius
terutama virus, paparan toksin lingkungan dan pekerjaan serta obat-obatan telah
dicurigai dapat mencetuskan skleroderma. Pada pasien dengan skleroderma
ditemukan peningkatan antibodi terhadap human cytomegalovirus (hCMV) dan
antitopoisomerase I autoantibodies yang dapat memicu terjadinya apoptosis dan
aktifasi fibroblast kulit. Beberapa peneliti melaporkan terjadinya peningkatan
insiden skleroderma pada pekerja yang terpapar silika. Paparan kerja lainnya yang
mungkin berhubungan dengan skleroderma adalah polyvinyl chloride, epoxy
resins dan aromatic hydrocarbons (toluene, trichloroethylene).
B. Gejala dan Tanda
Gajala Klinis:
Secara umum Skleroderma mempengaruhi jaringan ikat, terutama pada kulit
dan dinding pembuluh darah, dan, pada tingkat yang lebih rendah, dapat
mempengaruhi hati saluran pencernaan, paru-paru dan ginjal.
Cutaneous symptoms (Gejala pada Kulit):
Gejala yang timbu pada kulit, sering dikaitkan atau didahului dengan
fenomena Raynaud dan arthralgias pada jari, hal ini biasanya menjadi tanda-tanda
awal perjalanan penyakit Skeleroderma. Oleh karena itu gejala awal ini dapat
membantu untuk menegakkan diagnosis dan memulai terapi.
Tanda:
akumulasi jaringan ikat yang berlebihan
fibrosis
pembentukan autoantibodi terhadap sejumlah antigen seluler
dan perubahan degeneratif pada kulit, otot rangka, sinovium, pembuluh darah,
saluran pencernaan, ginjal, paru dan jantung.
Tampilan Sklerosis sistemik terbatas Sklerosis sistemik difus
Kulit yang terlibat Terbatas pada jari, lengan
distal, wajah, progresifitas
lambat
Difus: jari-jari,
ekstremitas, wajah,
badan, progreifitas cepat
Fenomena Raynaud Mendahului keterlibatan
kulit, berhubungan
dengan iskemia
Sejalan dengan
keterlibatan kulit
Fibrosis pulmonal Mungkin terjadi, moderat Sering, awal dan berat
Hipertensi arteri
pulmonal
Sering, lambat, mungkin
terisolasi
Dapat terjadi,
berhubungan dengan
fibrosis pulmonal
Krisis renal
Skeleroderma
Sangat jarang 15% terjadi, diawal
Kalsinosis kultis Sering, menonjol Dapat terjadi, ringan
Karakteristik
autoantibody
Antisentomer Antitopoisomerase
Gambaran Klinis
Skleroderma lokalisata:
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosa skleroderma lokalisata, tetapi tes sering dilakukan untuk mengevaluasi tingkat dari inflamasi dan masalah yang terkait dengan skleroderma lokalisata, serta untuk memastikan pasien tidak mempunyai penyakit lain. Biopsi kulit dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis.Gambaran klinis dari skleroderma lokalisata terbagi 5, yaitu:
- Morfea soliter (morfea en plaque)Lesi terdiri atas sebuah bercak sklerotik yang numuler atau sebesar telapak
tagan. Bercak biasanya berbentuk bulat, berbatas jelas, dan berkilat seperti lilin. Warna bercak merah kebiru-biruan, kadang-kadang seperti gading dengan halo ungu (violaceus ilia ring). Hal tersebut berarti lesi masi inflamatorik (aktif). Bagian tengan bercak berawarna putih kekuningan seperti gading.
Didalam lesi, rambut berkurang, begitu juga respon keringat menurun. Bercak atau plak tersebut keras dan berindurasi, tetapi tidak melekat erat pada jaringan di bawahnya.
- Morfea gutataBentuk ini sangat jarang. Lesi terdiri atas bercak kecil dan bulat yang atrofik. disekitarnya terdapat hal ungu kebiru-biruan. Beberapa lesi berkelompok, lokalisasi biasanya di dada atau di leher.
- Skleroderma linear (Skleroderma en coup de sabre)Lesi soliter dan unilateral. Biasanya lesi di kepala, dahi atau ekstrimitas. Pada
lesi terdapat atrofi dan depresi. Berbeda dengan morfea biasa, yang terletak di seuperfisial, maka skleroderma linear menyerang laisan-lapisan kulit dalam.
Bila penyakit mulai pada usia dekade pertama atau kedua, maka seringkali disertai deformitas. Yang dapat dijumpai ialah hemi-atrofi dari sebuah ekstrimitas atau wajah, kontraktur di wajah, atau anomali kolumna vertebrata.
- Morfea segmentalBila berada di satu atau lebih ekstrimitas. Disamping ada indurasi, ada atrofi
pada lemak subkutis dan otot. Akibatnya ialah kontraktur otot dan tendon, serta ankilosis pada sendi tangan dan kaki.
- Morfea generalisataBentuk tersebut merupakan kombinasi empat bentuk diatas. Morfea tersebar
luas dan disertai atrofi otot-otot, sehingga timbul disabilitas. Lokasi terutama di badan bagian atas, abdomen, bokong, dan tungkai.
Semua bentuk morfea biasanya dalan tiga sampai lima bulan menjadi inaktif, bahkan kemudian menghilang dalam beberapa tahun, kecuali skleroderma linear, yang biasanya makin meluas.
Skleroderma sistemik:
American Rheumatism Association (ARA) mengajukan kriteria pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresif. Kriteria ini terdiri atas:
- Kriteria Mayor:Skleroderma proksimal terlihat penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetrik pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal. Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstrimitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan abdomen)
- Kriteria Minor: Sklerodaktil: Perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada
jari. Pencengkungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung pada
ujung jari atau hilangnya substansi jaringan jari terjadi akibat iskemia. Fibrosis basal dikedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang reticular
terutama di bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto dada standar. Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah. Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru.
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau 2 atau lebih kriteria minor.
Satu jenis dari sklerosis sistemik adalah sindrom C.R.E.S.T. Pada skleroderma tipe ini ditemukan:
Calcinosis: Kalsinosis dari kalsium yang terdapat dibawah kulit jari tangan dan kaki. Raynaud’s phenomenon: Fenomena Raynaud dengan sirkulasi pembuluh darah yang
buruk. Esophagus: Dismotilitas esophagus. Sclerosis: Sklerosis jari tangan dan kaki.
Teleangiectasia: Teleangiekstasis pada wajah dan bibir juga ada jari dan kuku
(a) (b)Gambar 7: (a) Penebalan dan Peregangan kulit pada wajah, (b) Sclerodactyly dengan ulserasi
digital; hilangnya lipatan kulit dan kontraktur sendi, rambut jarang.
Gb. 3. Gejala klinis dan pemeriksaan histology pada pasien dengan skleroderma. Panel A memperlihatkan hyperkeratosis di kuku pasien fase edema pada skleroderma lokalisata. Panel B memperlihatkan ulserasi di ujung jari pada pasien skleroderma lokalisata. Panel C memperlihatkan sebuah infiltrate limfohistiositik di sekitar pembuluh darah pada preparat kulit. Pada Panel D, sebuah spesimen biopsy kulit dari pasien dengan skleroderma sistemik memperlihatkan deposisi dari matriks kolagen keluar dari dermis sampai jaringan lemak subkutan. Panel A memperlihatkan penebalan pada pertengahan arteri interlobulus (panah) dan dua arteri yang meruncing (asterisk) di ginjal dari pasien skleroderma. Sebagian gromerulus telah tidak bekerja dan epitel dari tubular mengalami atrofi. Fibrosis dengan infiltrasi sel mononuklear terjadi di interstitium.
C. Epidemiologi
Skleroderma adalah penyakit dengan distribusi yang luas diseluruh dunia dan menyerang semua ras. Skleroderma hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang disebut dengan sindroma CREST (calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily, teleangiectasis). Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyaknya kasus yang tidak dilaporkan, apalagi pada kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada masyarakat umum di Carolina Selatan Amerika Serikat, mendapatkan prevalensi sebesar 19-75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki 1,9-4 : 1. Pada penelitian di Tennesee Amerika Serikat , ternyata jumlah pasien skleroderma pada wanita usia reproduksi (20-44 tahun) sebesar 15 kali jumlah pasien laki-laki pada usia yang sama, sedangkan pada wanita usai 45 tahun atau lebih frekuensinya hanya 1,8 kali laki-laki pada usia yang sama. Penelitian di Inggris, Australia dan Jepang menunjukkan insiden yang lebih rendah dibandingkan di Amerika Serikat.
Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun skleroderma pada ras kulit berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa beberapa faktor lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya skleroderma misalnya debu silica dan implantasi silikon. Beberapa bahan kimia seperti vinilklorida, epoksin-resin, trikoloroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan juga diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma. Pajanan terhadap vinilklorida diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma yang disertai fenomena Raynaud, akroosteolisis dan fibrosis paru. Sedangkan pemakaian bleomisin pada kanker testis terutama bila dikombinasi dengan sisplatinum ternyata berhubungan dengan timbulnya skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru.
Prevalensi di Inggris tahun 2004 ditemukan frekuensi yang lebih tinggi yaitu 12 diantara 100.000 penduduk, serupa dengan penelitian di Amerika utara tahun 2003 dan penelitian tahun 2001 di Australia.
Kesimpulan dari studi demografik didapatkan bahwa penyakit ini jarang terjadi pada anak-anak dan insidennya meningkat sesuai dengan penambahan usia. Insiden yang jarang ini menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan penting dalam kerentanan yang terjadi pada populasi.
D. Etiologi
Untuk skleroderma lokalisata, etiologinya belum diketahui. Tetapi terdapat beberapa faktor familial. Kehamilan dapat menyebabkan presipitasi atau agravasi pada morfea. Ada laporan yang menngabarkan penyakit ini muncul setelah terjadi infeksi, seperti morbili, varisela dan borrelia burgdorferi, ada juga yang menyatakan pemicunya termasuk trauma dari vaksin bacille calmette-guerin (BCG), injeksi vitamin b, terapi radiasi, penisilamin, dan bromokriptin. Tetapi bagaimanapun tidak ada satupun yang merupakan penyebab langsung yang terbukti.
Sedangkan sklerosis sistemik ialah penyakit kompleks yang berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan. Tentang faktor genetic, terdapat perbedaan mengenai jenis kelamin. Perbandingan wanita dan pria ialah 2:1 sampai 21:1. Sklerosis sistemik juga berhubungan dengan HLA, misalnya HLA-A1, B8-DR3 atau dengan DR3 dan DR-2, terjadi pula peningkatan pemecahan kromosom. Faktor lingkugan yang diduga berhubungan ialah debu silika, polivinyl klorida, hidrokarbon aromatik. Juga obat-obatan misalnya bleomisisn, pentazokin dan L-triptofon. Adanya faktor pencetus akan menstimulasi sistem imun, baik selular maupun humoral.
E. Patogenesis
Skleroderma lokalisata:
Epidermis bisa terlihat normal atau menipis dan terjadi atrofi disertai hilangnya rete ridges. Pada awalnya lapisan dermis akan mengalami edema, pembengkakan dan degenerasi dari jaringan kolagen fibril, yang kemudian menjadi homogen dan eosinofilik. Kemungkinan adanya kekurangan infiltrat limfatik pada perivaskular. Infiltrat selular dari limfosit, sel plasma, dan makrofag, dari perivaskular atau difusi, terjadi 84% dalam satu kali proses. Kemudian dermis akan menebal, dengan kolagen yang padat dan beberapa fibroblast yang terlihat. Jaringan elastis akan berkurang. Kulit bagian paling luar, dermis, dan lemak subkutan akan hilang dengan cepat. Beberapa kelenjar keringat mungkin dapat bertahan, jauh di dalam massa sklerosis sistemik sklerotik yang padat. Pembuluh darah dermis akan terlihat menebal. Lebih singkatnya, Inflamasi dapat memicu sel jaringan ikat untuk memproduksi banyak kolagen yang merupakan bagian utama dari banyak jaringan. Kolagen yang berlebihan dapat menyebabkan fibrosis, yang terlihat seperti jaringan parut.
Skleroderma sistemik:
Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga, faktor pencetus yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan sistem imun dan menimbulkan kerusakan sel endotel. Kerusakan sel endotel akan mengaktifkan trombosit, sehingga trombosit mengeluatkan berbagai mediator, seperti PDGF, TGF-B dan CTAP-III. Yang akan menyebabkan proliferasi fibroblast dan sintesis matriks oleh fibroblast. Aktifasi sistem imun juga akan berakhir pada proliferasi fibroblast dan sintesis matriks. Aspek utama dari penyakit ini termasuk inflamasi pembuluh darah, dan sel yang diproduksi jaringan ikat. Faktor genetik spertinya juga penting seperti penyakit kompleks lainnya. Faktor keturunan yang berperan adalah jenis kelamin, rasio wanita dengan laki-laki adalah 2:1 sampai 20:1, walaupun demikian faktor hormone seks pada patogenesis penyakit ini belum diketahui.
F. Diagnosis
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah autoantibodi antitopo-I (Scl 70) dan
antisentromer, karena memiliki spesifisitas yang baik pada sklerosis sistemik. Selain itu,
evaluasi terhadap berbagai organ yang mungkin terkena juga harus dilakukan. Bila
keadaan meragukan dapat dilakukan biopsi kulit.
Gambar 9. (C.) Infiltrasi limfosit disekitar pembuluh darah paa specimen kulit pasien Skeleroderma. (D) Deposisi matriks kolagen yang melewati dermis dan meluas ke jaringan lemak subkutan. (E) Penebalan tunika intima dan media arteri interlobar dari biopsi ginjal pasien skleroderma.
Terdapat beberapa tes laboratorium yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi
diagnosis atau mengevaluasi keparahan organ-organ tertentu yang dicurigai terkena. Tes-
tes laboratorium yang dapat dilakukan antara lain:
1. Blood test-Sejumlah tes darah dapat menunjuk kea rah Skeleroderma, pemeriksaan
yang dapat dilakukan antara lain :
Rheumatoid factor (Rematoid factor)
Erythrocyte sedimentation rate (Laju sedimentasi eritrosit)
Antinuclear antibody (Antinuklear Antibodi)
Skeleroderma antibody (Skleroderma Antibodi)
Anticentromere antibody (Anticentromere Antibodi)
2. Imaging Test- Tes ini dapat memvisualisasikan organ-organ internal untuk melihat
bagaimana penyakit tersebut dapat mempengaruhi organ. Pada area tertentu dapat
dilakukan pemeriksaan menggunkan imaging-test yang dapat dipilih berdasarkan
gejala yang ditimbulkan. Yang termasuk dalam imaging test antara lain :
Sinar-X :tes yang menggunakan radiasi untuk mengambil gambar dari struktur
di dalam tubuh.
CT Scan :tipe dari x-ray yang menggunakan komputer untuk membuat gambar
dari struktur di dalam tubuh.
MRI Scan :tes yang menggunakan gelombang magnetik untuk membuat
gambar dari struktur di dalam tubuh.
Nailfold capillaroscopy : tes ini memungkinkan kita melihat gambaran dari
nailfold yang diperbesar untuk memeriksa kapiler.
3. Skin Biopsi : Sebuah sampel kecil dari kulit bisa dihapus dan diperiksa di
laboratorium untuk karakteristik tertentu yang menunjukkan skleroderma
G. Diagnosis Banding
Diagnosis biasanya tidak sulit, perkembangan berbahaya plak yang berbatas tegas dan berbekas di kulit, dengan atau tanpa hemiatrophy, yang mungkin terjadi dalam kondisi lainnya. Jika ada perbatasan berwarna ungu, diagnosis menjadi lebih mudah.. Lesi Morfea terjadi pada sarkoidosis. Lesi dapat mulai sebagai eritema pembuluh darah, dan biasanya mirip dengan naevus makula vaskular. Pada fase akut, kondisi ini harus dibedakan dari scleroedema dari Buschke, tetapi dalam kondisi awal morphoea jauh lebih akut, dan lesi dapat memasuki sebuah fase menular. Lesi hipopigmentasi kadang-kadang sangat sulit untuk didiagnosa, tetapi riwayat bebearapa lesi yang berbatas tegas biasanya membantu dalam menegakkan diagnosis. Lesi atrofi berpigmen menyerupai lesi atrofi Pierini dan Pasini terjadi pada satu pasien dalam satu fase. Lesi yang terdapat pada perut mungkin akan membingungkan dengan apa penyakit centrifugalis infantilis abdominalis lipodystrophia. Plak atrofi morphoea dapat terjadi sebagai hasil dari suntikan intramuskular vitamin K atau suntikan subkutan kortikosteroid.
Pada saat kondisi sedang memproduksi pseudoSkeleroderma mungkin harus menjadi pertimbangan dalam mendiagnosis penyakit ini. Melorheostosis adalah suatu kondisi langka di mana ada kelainan abnormal pada tulang dan jaringan lunak yang berdekatan, biasanya terbatas pada satu ekstremitas. Kepadatan tulang endosteal dari tulang panjang yang terlihat pada radiografi, dan marker yang digunakan menyerupai lilin akan mengalir sepanjang tulang
yang terinfeksi. Pada anak-anak, presentasi yang biasa terlihat adalah anggota tubuh yang memiliki kontraktur asimetris, dalam kejadiannya memiliki hubungan dengan penebalan kulit dan wajah, dan masalah pembuluh darah distal diperburuk oleh pembedahan masalah ortopedi, termasuk angioma, dan malformasi arteriovenous.
H. Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada terapi yang dapat menyembuhan Skeleroderma. Obat-obat
yang tersedia hanya untuk menyembuhkan atau mengobati gejala.
penatalaksanaan skleroderma terbatas dan difusa sesuai keterlibatan organ(CTGF : connective tissue growth factor; GAVE : gastric antral venous ectasia; GERD : gastroesophageal reflux disease; MCP-1 : macrophage chemoattractant protein 1; MMF, mycophenylate mofetil; MTX : methotrexate; NTG, nitroglycerin; OT/PT : occupational therapy/physical therapy; PAH : pulmonary arterialhypertension; PDE-5 : type 5 phosphodiesterase; RP : Raynaud’s pheno menon;SRC:Skeleroderma renal crisis; SSRI, specifi c serotonin receptor uptake inhibitor; Stem cell Tx, stem cell transplantation; TGF-β, transforming growth factor beta.)
1. Non farmakologi
Makan makanan yang mudah dikunyah dan berprotein tinggi dan banyak
mengandung vitamin. Nikotin harus dihilangkan karena efek vasoconstrictoriy
nya.
"Menjaga tubuh tetap hangat" oleh pakaian pelindung seperti celana hangat,
sarung tangan, kaus kaki dan sepatu. Pemanasan tangan selama lima menit
setiap empat jam dalam bak air hangat menyebabkan perbaikan klinis yang
signifikan.
Menghindari paparan zat berbahaya lingkungan seperti silika, ethylens
terklorinasi, pelarut, monomer dari plastik atau obat-obatan tertentu untuk
menghentikan efek mereka pathogenetically progresif.
2. Farmakologi
Terapi ini diarahkan pada:
a. Vaskular sistem
PAH (Pulmonary Arterial Hypertension)
Disfungsi endothel pada PAH menyebabkan peningkatan endothelin dan
penurunan nitric oxide dan prostasiklin. Pemberian Continuous intravenous
epoprostenol (Flolan) dan subcutaneous atau intravenous treprostinil
(Remodulin) yang sudah disahkan oleh US Food and Drug Administration
(FDA) dipakai sebagai terapi lini pertama penatalaksanaan PAH fs NYHA IV.
Efek prostasiklin yang selektif pada pembuluh darah pulmonal, memberikan
tempat untuk pemberiannya dengan cara inhalasi untuk menghindari efek
sitemiknya. Pemberian Iloprost (Ventavis) tampaknya memberikan perbaikan
fungsi dan hemodinamik serta menurunkan kecepatan progresifitas penyakit.
Skeleroderma Renal Crisis (SCR)
Definisi SCR adalah terjadinya hipertensi maligna dan anemia hemolitik
mikroangiopati pada pasien Skeleroderma. Penatalaksanaan SCR adalah
dengan ACE inhibitor (kaptopril, 75-150 mg per hari secara oral). Obat ini
tetap dapat diberikan walaupun fungsi ginjal menurun dengan drastis. Jika
diperlukan dapat dilakukan dialysis. Pada kelainan ginjal pemberian steroid
dan plasmafaresis tidak ada gunanya.
Raynaud’s Phenomenon (RP)
Terapi utama RP adalah menghangatkan badan. Pemakaian sarung tangan,
penghangat tangan dan penghangat ekstremitas lain dapat dipakai. Calcium-
channel blockers seperti amlodipine, nifedipine atau felodipine, adalah terapi
medikal pertama pada RP. Kalsium channel blockers menghambat penyerapan
kalsium intraseluler dan akibatnya kontraksi sel otot polos pada dinding
pembuluh, yang dimediasi oleh protein kinase tergantung kalsium. Tiga dosis
10 mg nifedipin atau nicardipin dapat mengurangi frekuensi dan keparahan
serangan Raynaud. Dosis rendah selective serotonin reuptake inhibitors
(SSRIs) juga digunakan karena dapat menhambat efek agregasi dan aktivasi
trombosit. Diantara SSRI, fluoxetine (Prozac, Symbyax, Sarafem) responnya
baik dalam beberapa penelitian. ACE inhibitor dan ARB tidak efektif untuk
RP. Iskemi dan ulserasi jari ditatalaksana dengan pemberian Iloprost secara
intermiten serta obat-obatan lain yang dipakai pada PAH.
b. Sistem kekebalan tubuh (radang, immunmodulation, autoimunitas)
Cyclophosphamide
Cyclophosphamide (CYC) telah digunakan sebagai terapi utama untuk
penyakit paru interstisial skleroderma. Dalam uji coba terkontrol baru-baru ini,
cyclophosphamide meningkatkan kapasitas vital paksa (FVC) sebesar 2,9%
dibandingkan dengan placebo
Transplantasi Stem Cell autologous
Immunoablasi dengan imun rekonstitusi dengan menggunakan stem cell
perifer autologous telah dipertimbangkan untuk Skeleroderma. Berbagai studi
terus menerus dilakukan untuk membandingkan anatara transplantasi sel induk
dengan CYC dalam penatalaksanaan Skeleroderma
Methotrexate
Percobaan acak terkontrol mengevaluasi efisiensi dari metotreksat dalam
Skeleroderma dalam mengontrol stabilitas penyakit yang lebih besar
dibandingkan dengan plasebo. Methotrexate digunakan untuk kasus awal
Skeleroderma dengan Skeleroderma terbatas pada kulit dan muskuloskeletal
sistem, termasuk myositis.
Mofetil Mycophenolate
Belum ada penelitian acak buta ganda untuk Mofetil mycophenolate dalam
penatalaksanaan skleroderma. Bukti yang ada sekarang menunjukkan Mofetil
mycophenolate mungkin efektif pada skleroderma.
Corticosteroids
Prednisolon (awalnya: 40-100 mg / hari, dosis pemeliharaan: 10-15 mg / hari)
atau metilprednisolon pada umumnya menghambat peradangan tetapi juga
memberikan suatu efek katabolik pada sintesis kolagen (atrofi). Metil
prednisolon diindikasikan dalam pengobatan inflamasi dari SSC,
sklerodermatomyositis, khususnya pada arthritis, miositis alveolitis, dan
vaskulitis. Namun, ada bukti bahwa kortikosteroid (> 15 mg / hari
prednisolon) meningkatkan risiko memicu krisis SSC ginjal. Selain itu,
berbagai signifikan efek samping karena pengobatan jangka panjang
pemeliharaan seperti hipertensi hiperglikemia, osteoporosis , ulserasi peptik,
atrofi otot.
c. Fibrosis
Terlepas dari kenyataan bahwa fibrosis merupakan komponen utama dalam
patofisiologi skleroderma, sampai saat ini belum ada obat anti fibrosis yang
terbukti efektif untuk saat ini. Agen nonspecifik, termasuk D-penicillamine dan
rekombinan relaksin manusia, telah gagal dalam uji klinis. Pentingnya ekspresi
faktor pertumbuhan transformasi beta (TGF-beta) dalam patogenesis skleroderma
telah mendorong evaluasi agen yang dapat menghambat TGF-beta. Meskipun
penggunaan anti- antibodi TGF-beta telah diusulkan dalam studi-studi awal aman,
namun bukti klinis masih harus diamati. Terapi antisitokin lain belum berhasil
pada skleroderma.
Therapeutic recommendations
vasoactive substances
calcium channel blockers
Nifedipin 3 x 10 mg/d
ACE-inhibitors Captopril 12,5 - 100 mg/d
Enalapril 5 - 15 mg/d
prostacyclin analogs Iloprost 0,5 - 2 ng/kg/min for 6 h i.v.; 5-10 days
antiinflammatory and immunesuppressive substances
Glucocorticoids Methylprednisolone initially 60-80 mg/d; reduction to maintenance dose
Azathioprine 1,5 - 3 mg/d
Cyclophosphamide 2,0 - 2,5 mg/kg/d p.o. or 0,5 - 1 g/m_/month i.v.
antifibrotic substances
D-Penicillamin 150 - 300 - (750) mg/d slow dose increase
Penicillin G 10 Mega IE i.v. (30 min) for 10 - 14 days
PUVA
gastroenterologics
proton pump inhibitor
Omeprazol 20 - 40 mg/d
H2-receptor blocker Ranitidin 150 - 300 mg/d
gastroprocinetics Metoclopramid 3 x 10 mg/d p.o.
I. Prognosis
Angka harapan hidup 5 tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar 68%. Harapan hidup akan makin pendek dengan makin luasnya kelainan kulit dan banaknya keterlibatan organ viseral. Pada sklerosis sistemik difus, kematian biasanya terjadi karena hipertensi pulmonal dan malabsorbsi.
Pasien sklerosis sistemik mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan keganasan, terutama karsinoma payudara, paru dan limfoma non hodgkin. Hal ini turut meningkatkan angka kematian pasien sklerosis sistemik.
Satu hal yang unik adalah bahwa risiko timbulnya adenokarsinoma esofagus rendah, walaupun terdapat metaplasi mukosa esophagus distal (metaplasia barret).
DAFTAR PUSTAKA
Armando G., M,D., Enrico V.A., M.D., Thomas K., M.D. 2009. Mechanism of Disease Skeleroderma. The New England Journal of Medicine
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2010.
Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, K Simandibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
Paul KB. ABC of Dermatology. 4th ed. London; 2003. Plewrg G, Jansen T. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7 th ed Vol 1
& 2. USA; 2008. Li S., M.D., phD, Zulian F, M.D., Beam T. 2012. Pediatric Localized
Skeleroderma. American College of Rheumatology, John H, John S, Mark D. Clinical dermatology, 3th ed. USA; 2003. Setiyohadi B., 2006, Sklerosis Sistemik, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Pusat
penerbitan departemen ilmu penyakit dalam, Jakarta