Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
332
STAGNASI KEDUDUKAN DAN FUNGSI DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Fadilah Samaila Email: [email protected]
Universitas Tadulako
Abstrak
This study raises the issue of:(1) whether the change in UU No.17 of 2014 into UU No.42 of
2014 and UU No.2 of 2018 concerning MD3 has an influence on the position and function of
DPD.(2) whether the amendment of UU No.12 of 2011 to UU No.15 of 2019 concerning the
formation of legislation affects the position and function of the DPD (3) what is the position and
function of the DPD in an effort to strengthen through the fifth Amendment of the 1945 Constitution
of the Republic of Indonesia. The objectives of this research are: (1) To find out about the change in
UU No.17 of 2014 to UU 42 of 2014 and UU No.2 of 2018 concerning MD3 to influence the position
and function DPD or not. (2) To find out about the amendment of UU No.12 of 2011 to UU No.15 of
2019 concerning the formation of laws and regulations influencing the position and function DPD or
not. (3) To find legal concepts regarding the position and function of the DPD in an effort to
strengthen through the fifth Amendment of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This
research method uses a type of normative legal research using a statute approach and a conceptual
approach, legal material collection techniques through library research, legal material analysis
techniques are carried out in a qualitative juridical manner and the results are found in a descriptive
form. The results of this study are: (1) UU No.42 of 2014 concerning changes to UU No. 17 of 2014
concerning MD3 and UU No. 2 of 2018 concerning the second amendment to UU No. 17 of 2014
concerning the MD3 in particular related to the authority of the DPD namely article 71, Article 249
paragraph (1) letter j, Article 250 paragraph (1), and Article 260 paragraph (1) in no way provide
reinforcement to the position and function of the DPD.(2) UU No. 15 of 2019 concerning
amendments to UU No. 12 of 2011 concerning the formation of legislation, specifically related to the
authority of the DPD, namely Article 20, Article 71A, Article 95A, and Article 95B, no way provide a
strengthening of the position and function of the DPD in the field of legislation, however, when
viewed from the supervisory function, changes to the law provide reinforcement to DPD. (3) The
position and function of the DPD in an effort to strengthen through the fifth Amendment of the 1945
Constitution of the Republic of Indonesia, which is equivalent to the DPR, that is, the right to submit,
discuss and approve and reject the draft law in a particular field by amending Article 22D, Article 5
paragraph (1), Article 7A, Article 7C, and Article 20 paragraph (2). of course the format of the law
must also change by placing the DPD in consideration weighing and remembering (if a bill
originates from the DPD and the material is indeed related to the authority of the DPD)
Kata Kunci: Amendments; Position and Function; Regulation Legislation
PENDAHULUAN Dalam UUD NRI 1945 disebutkan
secara tegas bahwa DPR mempunyai fungsi
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
333
legislasi, fungsi anggaran dang fungsi
pengawasan (Pasal 20A ayat 1), maka DPD
tidak mempunyai fungsi-fungsi tersebut secara
penuh. Dalam bidang legislasi, DPD tidak dapat
ikut menetapkan undang-undang sebagaimana
layaknya lembaga Dewan Perwakilan Rakyat1
Kewenangan DPD dalam pembentukan
undang-undang telah diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Terdapat tiga
kewenangan DPD dalam pembentukan undang-
undang yang disebutkan oleh Pasal 22D UUD
NRI 1945, yaitu: “dapat mengajukan rancangan
undang-undang (RUU) kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)”, “ikut membahas
RUU”, dan “memberikan pertimbangan kepada
DPR”, terhadap rancangan undang-undang
tertentu
Ketentuan dalam UUD NRI 1945
memerlukan penjabaran atau pengaturan lebih
lanjut. Pada saat ini terdapat dua undang-undang
yang menjabarkan ketentuan tersebut, pertama
yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (UU MD3) yang kemudian
mengalami dua kali perubahan, perubahan
pertama yaitu Undang-Undang No.42 Tahun
1 Moh.Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca
Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010,hal. 69-70
2014, perubahan kedua yaitu Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018. Kedua yaitu Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(UU P3) yang kemudian terjadi perubahan pada
undang-undang tersebut yaitu Undang- Undang
No. 15 Tahun 2019. Penjabaran ketentuan di
dalam kedua undang-undang tersebut
menerjemahkan ketentuan mengenai beberapa
hal, misalnya “DPD mengajukan RUU kepada
DPR” maka RUU tersebut kemudian menjadi
RUU DPR; “DPD ikut membahas RUU
tertentu” maka pembahasan tersebut dilakukan
sebatas memberikan pandangan dan pendapat,
sedangkan “memberikan pertimbangan”
dijabarkan bahwa pertimbangan tersebut dalam
bentuk tertulis dan disampaikan sebelum
dimulainya pembahasan.
Tercatat ada tiga kali pengujian undang-
undang terkait kewenangan DPD yang diajukan
ke Mahkamah Konstitusi oleh anggota-anggota
DPD itu sendiri. Pertama adalah pengujian
Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD yang saat ini telah
diganti dengan Undang-Undang No. 17 Tahun
2014. Pada tanggal 14 September 2012, H.
Irman Gusman (Ketua DPD) bersama 2 (dua)
orang wakil ketua DPD (La Ode Ida dan Gusti
Kanjeng Ratu Hemas), telah mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang No.27
Tahun 2009 ke Mahkamah Konstitusi Republik
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
334
Indonesia, lalu diproses pengujian itu lewat
Putusan No.92/PUU-X/2012, MK mengabulkan
sebagian permohonan pemohon2. Kedua adalah
pengujian Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan (UU P3), yang dilakukan bersamaan
dengan pengujian Undang-Undang No. 27
Tahun 2009. Dalam putusan MK No.92/PUU-
X/2012, MK mengabulkan sebagian
permohonan pemohon3. Ketiga adalah
pengujian Undang-Undang No.17 Tahun 2014.
Pergantian undang-undang tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD dari UU No. 27 Tahun 2009
menjadi UU No.17 Tahun 2014, sesungguhnya
belum menguatkan kedudukan, tugas dan
wewenang DPD. Sebab, kehadiran Undang-
Undang No.17 Tahun 2014 masih tetap saja
memuat pasal-pasal yang mereduksi,
menegasikan bahkan mengikis kewenangan
konstitusional DPD. Atas dasar itulah, H. Irman
Gusman (Ketua DPD) bersama 2 (Dua) wakil
ketua DPD (La Ode Ida dan Gusti Kanjeng
Ratu Hemas) mengajukan kembali permohonan
pengujian atas UU No.17 Tahun 2014 ke
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 5 Agustus
2014, dalam putusan No.79/PUU-XII/2014,
2 Aminuddin Kasim, Penguatan Kedudukan, Tugas dan
Wewenang DPD (Perjuangan Panjang Yang Belum Selesai),
Makalah Pada Workshop Pancasila Konstitusi dan
Ketatanegaraan diselenggarakan oleh MPR-RI, September 2016,
hal.3 3 Ibid, hal. 5
Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan
permohonan pemohon untuk sebagian4
Pengujian UU No. 27 Tahun 2009, UU
No. 12 Tahun 2011, dan UU 17 Tahun 2014,
menjelaskan bahwa ada permasalahan terkait
dengan kewenangan DPD yang telah
mereduksi, menegasikan, bahkan mengikis
kewenangan konstitusional DPD. Hal tersebut
menunjukan bahwa politik hukum terhadap
undang-undang MD3 dan undang-undang P3
memang menginginkan untuk melemahkan
kedudukan DPD.
Undang-Undang No.17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang
pernah diajukan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi, telah mengalami dua kali perubahan
yaitu Undang-Undang No.42 Tahun 2014
merupakan perubahan pertama dan Undang-
Undang No.2 Tahun 2018 merupakan
perubahan kedua. Dua perubahan Undang-
Undang tersebut sampai saat ini belum ada
permohonan pengujian yang dilakukan oleh
anggota-anggota DPD, hal tersebut
menimbulkan pertanyaan di benak penulis,
apakah dua perubahan Undang-Undang No.17
Tahun 2014 ini yaitu Undang-Undang No.42
Tahun 2014 dan Undang-Undang No.2 Tahun
2018 telah memberikan penguatan terhadap
kewenangan DPD atau tidak.
4 Ibid, hal. 9
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
335
Undang-Undang No.12 Tahun 2011
tentang pembentukan peraturan perundang-
perundang yang sebelumnya pernah diajukan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi, telah
mengalami perubahan yaitu Undang-Undang
No.15 Tahun 2019, hingga saat ini Undang-
Undang No.15 Tahun 2019 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan
belum ada permohonan pengujian yang
dilakukan oleh anggota-anggota DPD, hal
tersebut menimbulkan pertanyaan dibenak
penulis, apakah Undang-Undang No.15 Tahun
2019 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan telah memberikan
penguatan terhadap kewenangan DPD atau
tidak.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian
terhadap UU MD3 dan UU P3 terkait dengan
kedudukan dan fungsi DPD perlu dilakukan,
agar kedudukan dan fungsi DPD dapat
dievaluasi dan diperbaiki termasuk amandemen
UUD 1945 tentang kewenangan DPD, maka
oleh karena itu untuk menyingkapi kenyataan
tersebut peneliti tertarik mengangkat
permasalahan ini ke dalam penelitian ilmiah.
Dari segi akademis penelitian ini
diharapkan menjadi referensi ilmiah khususnya
hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan dan
fungsi DPD di bidang legislasi. Secara praktis
penelitian ini diharapkan menjadi rekomendasi
sebagai bahan pertimbangan pada lembaga-
lembaga terkait untuk menjadi suatu bahan
kajian kritis dalam membenahi sistem
katatanegaraan Indonesia.
METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif, yaitu suatu proses untuk menemukan
suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum
maupun doktrin-doktrin hukum untuk
menjawab permasalahan hukum yang dihadapi,
penelitian hukum normatif dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi,teori atau konsep
baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi5
Pendekatan Penelitian
Penelitian penulis menggunakan
pendekatan undang-undang (statute
approach),dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang sedang di tangani.
Kemudian menggunakan pendekatan konseptual
(conceptual approach) yang beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang di dalam ilmu hukum.
Bahan Hukum
1. Bahan hukum primer meliputi:
1) Undang-Undang Dasar NRI 1945 setelah
Amandemen.
5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, kencana
prenadamedia group, Jakarta, 2005,hal.35
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
336
2) Undang-Undang No. 42 Tahun 2014 tentang
perubahan atas Undang-Undang No.17
Tahun 2014 tentang : MPR, DPR, DPD,
DPRD (MD3).
3) Undang-Undang No.2 Tahun 2018 Tentang
perubahan kedua atas Undang-undang No :
17 Tahun 2014 tentang : MPR, DPR, DPD,
DPRD (MD3).
4) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum
yang menunjang bahan hukum primer yang
meliputi buku-buku, jurnal, karya ilmiah yang
berhubungan dengan permasalahan.
3. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan yang
memberi petunjuk atau penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, meliputi: Kamus Hukum, Ensiklopedi
Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan teknik analisis
bahan hukum dengan logika deduktif, logika
deduktif atau pengolahan bahan hukum dengan
cara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang
bersifat umum kemudian menariknya menjadi
kesimpulan (conclusion) yang lebih khusus,
dilakukan secara yuridis kualitatif dan hasilnya
ditungkan dalam bentuk deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan dan Fungsi Dewan Perwakilan
Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Sebelumnya perubahan pertama lewat UU
No, 42 Tahun 2014, namun hanya berkisar pada
beberapa pasal yang terkait dengan kepentingan
politik DPR, yakni:
1. Menghapus ayat (3), (4), (5) dan ayat (6)
dalam Pasal 74;
2. Mengubah ketentuan ayat (2) dalam Pasal
97;
3. Menghapus ayat (7), ayat (8), dan ayat (9)
dalam Pasal 98;
4. Mengubah ayat (2) dalam Pasal 104;
5. Mengubah ayat (2) dalam Pasal 109;
6. Mengubah ayat (2) dalam Pasal 115;
7. Mengubah ayat (2) dalam Pasal 121;
8. Mengubah ayat (2) dalam Pasal 152;
9. Penambahan Pasal baru (Pasal 425A)
diantara Pasal 425 dengan Pasal 426.
Setelah itu kemudian perubahan kedua lewat
UU No. 2 Tahun 2018 . Berdasarkan beberapa
poin perubahan undang-undang tersebut, penulis
dapat menjelaskan bahwa dari dua puluh tiga
(23) poin perubahan undang-undang tersebut,
ada empat (4) poin perubahan yang berkaitan
dengan Dewan Perwakilan Daerah baik itu
kedudukan,wewenang, tugas dan fungsinya,
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
337
yaitu Pasal 71, Pasal 29 ayat (1) huruf j, Pasal
250 (1), Pasal 260 ayat (1). Berikut Tabel
perubahan undang-undang MD3 beserta dengan
Putusan MK yang berkaitan dengan Dewan
Perwakilan Daerah.
1. Perubahan terhadap Pasal 71.
Bahwa sebelumnya MK telah mengabulkan
permohonan pengujian terhadap Pasal 71 huruf
c Undang-Undang No.17 Tahun 2014 tentang
MD3. MK mengatakan bahwa “DPR berwenang
membahas Rancangan Undang-Undang (RUU)
yang diajukan Presiden, DPR, atau DPD yang
berkaitan dengan otonomi daerah, dst. Selain
itu, dalam pembahasan tersebut DPD
diikutsertakan sebelum mengambil persetujuan
bersama antara presiden dan DPR”. Sebelumnya
Pasal 71 huruf c UU No.17 Tahun 2014 tidak
melibatkan DPD. Jika kita melihat Perubahan
Pasal 71 huruf c UU No.2 Tahun 2018, bahwa
ternyata jauh berbeda dengan putusan MK,
yakni “membahas rancangan undang-
undang yang diajukan oleh Presiden atau
DPR”. Nomenklaturnya hanya sebatas itu,
tidak dilanjutkan dengan yang berkaitan
dengan otonomi daerah, dst, seperti
putusan MK , dan tidak melibatkan DPD,
artinya bahwa rancangan undang-undang
yang dimaksud adalah rancangan undang-
undang yang di luar dari kewenangan
DPD.
Persoalan di atas membuktikan bahwa
lagi-lagi mengabaikan putusan MK. Jika
kita melihat huruf d Pasal 71 UU No. 2
Tahun 2018 bahwa “DPR berwenang
membahas rancangan undang-undang yang
diajukan DPD mengenai otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah;”Pasal ini tidak
melibatkan Presiden padahal seharusnya
melibatkan presiden jika berdasarkan
putusan MK, dan pasal ini tidak
mengikutsertakan DPD dalam pembahasan
sebelum mengambil persetujuan bersama
antara DPR dan Presiden. Hal tersebut
membuktikan bahwa Pasal ini masih
mereduksi kewenangan DPD dan semakin
membuktikan bahwa DPD dalam
menjalankan fungsi legislasi, peranan DPD
hanyalah sebagai co-legislator di samping DPR.
Sifat tugasnya di bidang legislasi hanya
menunjang (auxiliary agency) tugas
konstitusional DPR6. Hal yang sama dikatakan
oleh Bagir Manan bahwa ketentuan DPD bila
dicermati dalam UUD 1945, maka DPD adalah
6Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga
Negara Pasca Reformasi. Sekertariat Jendral Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, 2006, hal. 141
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
338
badan komplementar DPR dan DPD bukanlah
lembaga legislatif secara penuh7.
Pasal tersebut tidak sejalan dengan konsep
teori kedaulatan rakyat di mana DPD sebagai
wujud representasi perwakilan rakyat di daerah
seharusnya mampu dan memilki kewenangan
yang kuat untuk memperjuangkan aspirasi,
keinginan ataupun kebutuhan masyarakat di
daerah. Kedaulatan rakyat sebagai prinsip dasar
yang diatur oleh UUD 1945 diwujudkan melalui
lembaga perwakilan (indirect democracy)
dengan sistem MPR. Konsep perwakilan
menurut sistem MPR adalah semua harus
terwakili. Oleh karena itu, UUD NRI 1945
menghendaki lembaga perwakilan MPR yang
terdiri dari DPR (political reprentation) dan
DPD (regional representation) 8
.
2. Penambahan huruf j ayat (1) Pasal 249.
Bahwa perubahan kedua UU MD3 ini
memberikan kewenangan dan tugas
tambahan terhadap DPD yaitu melakukan
pemantauan dan evaluasi atas rancangan
peraturan daerah dan peraturan daerah.
Walaupun Pasal 249 ayat (1) huruf j ini
bukan merupakan produk hasil putusan
MK yang diJudicial review. Kewenangan
DPD dalam hal melakukan pemantaun dan
7 Bagir Manan, DPR, DPD, MPR dalam UUD 1945, UII Press,
Yogyakarta, 2003, hal. 56 8 Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Analisis terhadap
Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan
Negara-negara Lain, Nusa Media, Bandung, 2007, hal. 265-
266.
evaluasi atas rancangan peraturan daerah
dan peraturan daerah menjadi manisfestasi
fungsi pengawasan dan representasi DPD.
Namun hal tersebut bertentangan dengan
konstitusi UUD NRI 1945 Pasal 22D ayat
(3) yang manyatakan bahwa Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) hanya
berwenang melakukan pengawasan terkait
pelaksanaan undang-undang otonomi
daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi
lainya, pelaksanaan anggaran pendapatan
dan belanja negara, pajak, pendidikan dan
agama. Tidak mengatur tentang
pengawasan terhadap rancangan peraturan
daerah dan peraturan daerah seperti yang
tedapat pada Pasal 249 ayat (1) huruf j
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018.
Bertentangan dengan teori pembentukan
perundang-undangan tentang jenis dan
hirarki peraturan perundang-undangan.
Seperti yang dijelaskan oleh H. Soehino,
istilah perundang-undangan yaitu, pertama
berarti proses atau tata cara pembentukan
peraturan – peraturan perundangan negara dari
jenis dan tingkat tertinggi yaitu undang-undang
sampai yang terendah, yang dihasilkan secara
atribusi atau delegasi dari kekuasaan perundang-
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
339
undangan. Kedua berarti keseluruhan produk
peraturan-peraturan perundangan tersebut9.
Selain itu, Pasal 249 ayat (1) huruf j
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 ini
menimbulkan problematika, yaitu pertama
bahwa Pasal 249 ayat (1) huruf j Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018
menimbulkan dualisme pengawasan antara
DPD dengan pemerintah pusat yang
diwakili oleh Menteri Dalam Negeri
(Mendagri), sehingga akan menghasilkan
dua (2) hasil pengawasan dan evaluasi.
Kedua bahwa ketidak jelasan mengenai
mekanisme dan hasil evaluasi atau
pengawasan yang dilakukan oleh DPD
tidak diatur secara jelas dalam undang-
undang tersebut maupun peraturan
perundang-undangan lainnya, sehingga
dapat dikatakan bahwa hal tersebut tidak
memperkuat kedudukan dan fungsi DPD
dibidang legislasi.
3. Perubahan terhadap ayat (1) Pasal 250.
Bahwa sebelumnya Pasal ini merupakan
salah satu pasal yang dimohonkan judicial
review. MK telah memutuskan terkait Pasal 250
ayat (1) yaitu “dalam melaksanakan tugas dan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
249, DPD memiliki kemandirian dalam
menyusun anggaran yang dituangkan dalam
9 Mahendra Kurniawan, dkk, Kurniawan Mahendra, dkk,
Pedoman Naska Akademik PERDA Partisipatif. Yogyakarta,
Kreasi Total Media, 2007, hal. 5
program dan kegiatan disampaikan pada
presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara perubahan kedua UU MD3 ini
memberikan kewenangan dan tugas yaitu
memilki kemandirian dalam menyusun
anggaran yang di tuangkan kedalam program
dan kegiatan yang disampaikan kepada Presiden
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Jika kita melihat perbedaan Pasal 250
ayat (1) berdasarkan putusan MK dengan Pasal
250 ayat (1) berdasarkan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018, sangat jelas bahwa Pasal
250 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2018 tidak mengakomodir putusan MK secara
penuh atau utuh, karena dalam putusan MK,
DPD dalam Penyusunan anggaran program dan
kegiatan melibatkan Presiden dan DPR untuk
dibahas bersama. Sedangkan dalam Pasal 250
ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
DPD dalam Penyusunan anggaran program dan
kegiatan hanya melibatkan Presiden saja dan
tidak melibatkan DPR untuk dibahas bersama.
Dapat diartikan bahwa politik hukum dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasal
250 ayat (1) ini tidak memberikan penguatan
terhadap kedudukan dan fungsi DPD dibidang
legislasi karena kewenangannya diatur hanya
sebatas memberikan atau menyampaikan
kepada Presiden saja terkait dengan Penyusunan
anggaran yang dituangkan dalam program dan
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
340
kegiatan, lalu Presiden dan DPR kemudian yang
membahasnya, sehingga DPD terlihat sangat di
kesampingkan.
4. Perubahan terhadap ayat (1) Pasal 260.
Bahwa Pasal 260 ayat (1) ini membahas
tentang alat kelengkapan DPD khususnya pada
bagian pimpinan. Adapun perbedaan dengan
Pasal 260 ayat (1) undang-undang sebelumnya
yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
yaitu teletak pada jumlah wakil ketua DPD.
Pasal 260 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 mengatakan bahwa pimpinan DPD
terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua)
orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh
anggota DPD dalam sidang paripurna DPD.
Sementara Pasal 260 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 mengatakan bahwa
pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua
dan 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari
dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna
DPD. Walaupun ada penambahan wakil ketua
DPD, namun pasal ini tidak memberikan
pengaruh terhadap fungsi legislasi DPD, hanya
memberikan penguatan terhadap kedudukan
struktur wakil ketua DPD yang bertambah
menjadi 3 (tiga) orang.
B. Kedudukan dan Fungsi Dewan Perwakilan
Daerah menurut Undang-Undang Nomor. 15
Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan telah mengalami perubahan yaitu
Undang-Undang Nomor. 15 Tahun 2019.
Perubahan undang-undang ini diharapkan telah
mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan No.92/PUU-X/2012 ( dalam hal ini
yaitu terkait dengan pasal-pasal yang ditafsirkan
oleh MK yaitu 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1),
Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 22 ayat (1),
Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2),
46 ayat (1), Pasal 48 ayat (2) dan (4), Pasal 65
ayat (3) dan ayat (4), Pasal 68 ayat (2) huruf c
dan huruf d, Pasal 68 ayat (3), ayat (4) huruf a,
dan ayat (5), Pasal 69 ayat (1) huruf a dan
huruf b, dan ayat (3), Pasal 70 ayat (1) dan ayat
(2)). Terkait dengan kewenangan Dewan
Perwakilan Daerah dalam hal ini adalah
pengujian atas Undang-Undang Nomor. 12
Tahun 2011. Pada bagian sub bagian ini penulis
akan memaparkan pasal-pasal perubahan
Undang-Undang Nomor. 15 Tahun 2019
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, khususnya yang berkaitan
dengan kewenangan DPD.
Berdasarkan beberapa poin perubahan
undang-undang tersebut, penulis dapat
menjelaskan bahwa dari tujuh belas (17) poin
perubahan undang-undang tersebut, ada empat
(4) poin perubahan yang berkaitan dengan
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
341
Dewan Perwakilan Daerah, baik itu kedudukan,
wewenang, tugas dan fungsinya, yaitu Pasal 20,
Pasal 71A, Pasal 95A, Pasal 95B
1. Perubahan terhadap Pasal 20
Bahwa sebelumnya MK telah mengabulkan
permohonan pengujian terhadap Pasal 20 ayat
(1) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang
P3. MK mengatakan bahwa “ Pasal 20 ayat (1)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai, “penyusunan
Program Legislasi Nasional dilaksanakan oleh
DPR, DPD, dan Pemerintah”;. Sebelumnya
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun
2011 tidak melibatkan DPD. Jika kita melihat
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No.15 Tahun
2019 bahwa “Penyusunan Prolegnas
dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah”.
Artinya bahwa Pasal 20 ayat (1) Undang-
Undang No.15 Tahun 2019 tentang P3 telah
mengakomodir putusan MK. Pasal 20 ayat (4)
juga memberikan tugas baru kepada DPD untuk
melakukan evaluasi terhadap prolegnas jangka
menengah masa keanggotaan DPR sebelumnya
bersama-sama dengan DPR dan Presiden.
Sehingga memberikan perubahan terhadap
kedudukan dan fungsi DPD di bidang
pengawasan. Namun mesti dilihat dengan
penjelasan yang lebih lanjut yakni Pasal 21 dan
Pasal 20 ayat (4).
Pasal 21 Undang-Undang No.15 Tahun
2019 tentang P3 menjelaskan tentang
penuyusunan prolegnas, dari enam (6) ayat yang
ada, semua menjelaskan tentang mekanisme
penyusunan prolegnas di lingkungan DPR,
penyusunan prolegnas dilingkungan pemerintah,
dan penyusunan prolegnas di lingkungan DPR
dan pemerintah. Tidak satupun membahas
makanisme penyusunan prolegnas di
lingkungan DPD, padahal Pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang No.15 Tahun 2019
mengatakan bahwa “Penyusunan Prolegnas
dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah”.
Kedudukan DPD dalam prolegnas sebenarnya
hanya sebatas memberikan usulan kepada DPR,
sebagaimana terdapat adalam Pasal 21 ayat (3)
bahwa “Penyusunan Prolegnas di lingkungan
DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan mempertimbangkan usulan
dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD,
dan/atau masyarakat”. Kedudukan DPD setara
dengan fraksi, komisi dan anggota DPR.
Sehingga sangatlah jelas bahwa dengan
dilibatkannya DPD dalam prolegnas sebagai
mana yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (1),
hanya sebagai formalitas belaka dan tidak
memberikan pengaruh atau penguatan terhadap
kedudukan dan fungsi DPD di bidang legislasi,
karena sama sekali tidak diberikan ruang untuk
melakukan penyusunan prolegnas di lingkungan
DPD sendiri. Sangat bertentangan jika dikaji
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
342
dengan teori checks and balances, dimana teori
tersebut amat diperlukan dalam suatu sistem
ketatanegaraan berhubung manusia
penyelenggara negara bukanlah malaikat,
meskipun bukan juga iblis. Tetapi manusia
punya kecenderungan memperluas dan
memperpanjang kekuasaanya, yang ujung-
ujungnya menjurus kepada penyalahgunaan
kekuasaan dengan mengabaikan hak-hak rakyat.
Untuk itulah diperlukan suatu sistem saling
mengawasi secara seimbang (Checks and
balances) sebagai counterpart dari sistem trias
politica10
Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (4)
Undang-Undang No.15 Tahun 2019 tentang P3,
menyatakan bahwa “Sebelum menyusun dan
menetapkan Prolegnas jangka menengah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3). DPR,
DPD, dan Pemerintah melakukan evaluasi
terhadap Prolegnas jangka menengah masa
keanggotaan DPR sebelumnya”. Sebelumnya
Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang No.12 Tahun
2011 menyatakan bahwa “Prolegnas jangka
menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun
bersamaan dengan penyusunan dan penetapan
Prolegnas prioritas tahunan”. Evaluasi yang
dilakukan oleh DPD tersebut merupakan bentuk
dalam menerapkan dari pada fungsi
pengawasanya,bukan dalam menjalankan fungsi
10 Munir Fuadi, Teori Negara hukum modern, PT.Refika
Aditama, Bandung, 2006, hal.124
legislasinya, sehingga dengan perubahan
terhadap Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang
No.15 Tahun 2019 ini telah memberikan
penguatan terhadap kedudukan dan fungsi DPD
dibidang pengawasan karena turut serta dalam
evaluasi prolegnas jangka menengah.
2. Penambahan Pasal 71A.
Adapun pasal ini menyatakan bahwa
“Dalam hal pembahasan Rancangan Undang-
Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
ayat (1) telah memasuki pembahasan Daftar
Inventarisasi Masalah pada periode masa
keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan
Rancangan Undang-Undang tersebut
disampaikan kepada DPR periode berikutnya
dan berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden,
dan/atau DPD, Rancangan Undang-Undang
tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam
daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau
Prolegnas prioritas tahunan”. Jika kita melihat
Pasal tersebut, bahwa hasil pembahasan RUU
yang disampaikan kepada DPR harus
berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden,
dan/atau DPD. Yang menjadi permasalahan
kemudian adalah terdapat frasa dan/atau DPD
diartikan bahwa kedudukan DPD disini bersifat
ambigu, karena frasa dan/atau itu memilki arti
kata penghubung “dan/atau”, dapat
diperlakukan sebagai “dan”, dapat juga diper-
lakukan sebagai “atau”. Tanda garis miring itu
mengandung arti pilihan, misalnya A dan/atau
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
343
B yang berarti: (A dan B) atau (A atau B).
Sehingga dapat diartikan bahwa (DPR,
Presiden, dan DPD) atau (DPR, Presiden atau
DPD). Seharusnya dapat dijelaskan lebih rinci,
jika pembahasan RUU terkait dengan
kewenangan DPD, maka pembahasan RUU
disepakati oleh DPR, Presiden dan DPD,
sehingga penambahan Pasal 71A Undang-
Undang No.15 Tahun 2019 ini tidak
memberikan penguatan terhadap kedudukan
dan fungsi DPD di bidang legislasi.
Bertentangan dengan asas-asas dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan,
karena pasal tersebut tidak jelas tujuan dan
rumusannya, yang telah dinormatifkan dalam
pasal 5 dan penjelasannya Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2011. Asas-asas tersebut
antara lain dalam membentuk Peraturan
Perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat
pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis,
hierarki, dan materi muatan, dapat
dilaksanakan, kedayagunaan dan
kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan
keterbukaan.
Seharusnya DPD mesti dilibatkan dalam
pasal tersebut, frasa dan/atau dihilangkan,
diganti dengan frasa dan. Karena DPD
merupakan lembaga legislatif yang seharusnya
memilki fungsi-fungsi legislatif juga sama
seperti DPR, karena sama-sama merupakan
lembaga perwakilan rakyat. Bagaimana
mungkin keinginan dan aspirasi rakyat di
daerah bisa tercapai dan terealisasi jika lembaga
yang diamanahkan untuk memperjuangkan
aspirasi rakyat di daerah tidak memiliki
kewenangan yang kuat, hal ini sangat
bertentangan dengan teori kedaulatan rakyat.
Kedaulatan rakyat sebagai prinsip dasar yang
diatur oleh UUD 1945 diwujudkan melalui
lembaga perwakilan (indirect democracy)
dengan sistem MPR. Konsep perwakilan
menurut sistem MPR adalah semua harus
terwakili. Oleh karena itu, UUD NRI 1945
menghendaki lembaga perwakilan MPR yang
terdiri dari DPR (political reprentation)
ditambah dengan Utusan Daerah-Daerah
(regional representation) dan Utusan
Golongan-golongan (functional representation),
keanggotaannya diisi secara bervariasi, namun
saat ini MPR terdiri dari anggota DPR dan
anggota DPD11
.
3. Penambahan Pasal 95A.
Adapun pasal ini pada intinya menjelaskan
tentang “Pemantauan dan Peninjauan terhadap
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan
Pemerintah”. Pemantauan dan peninjauan
adalah kegiatan untuk mengamati, mencatat,
11 Eddy Purnama, Op Cit, hal. 265-266.
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
344
dan menilai atas pelaksanaan Undang-Undang
yang berlaku sehingga diketahui ketercapaian
hasil yang direncanakan, dampak yang
ditimbulkan, dan kemanfaatannya bagi Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Kewenangan DPD terkait dengan
Pemantauan dan peninjauan terhadap undang-
undang merupakan bentuk implementasi dalam
menjalankan fungsi pengawasannya, bukan
dalam menjalankan fungsi legislasinya, karena
dalam teorinya sebagaimana diungkapkan oleh
Jimly Asshiddiqie, fungsi legislasi memiliki
empat bentuk kegiatan yaitu pertama, prakarsa
pembuatan undang-undang; kedua, pembahasan
rancangan undang-undang; ketiga, persetujuan
atas pengesahan rancangan undang-undang; dan
keempat, pemberian persetujuan pengikatan atau
ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan
internasional dan dokumen-dokumen hukum
yang mengikat lainya12
, sehingga dengan
kewenangan melakukan pemantauan dan
peninjauan undang-undang, kedudukan DPD
bertambah dari segi fungsi pengawasan, hal
tersebut sesuai dengan teori pembentukan
perundangan-undangan bahwa pembentukan
norma hukum yang bersifat umum dan abstrak
(general and abstract legal norms) berupa
peraturan yang bersifat tertulis (statutory
forms), pada umumnya didasarkan atas
12 Jimly Asshiddiqie, pengantar ilmu hukum tata negara jilid II,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
Cet.ke-1, Jakarta, 2006, hal. 300
beberapa hal. Pertama pembentukannya
diperintahkan oleh undang-undang dasar; Kedua
pembentukannya diangap perlu karena
kebutuhan hukum. Pasal 95A dianggap perlu
karena kebutuhan hukum13
.
4. Penambahan Pasal 95B.
Adapun pasal ini menjelaskan tentang”(1)
Pemantauan dan Peninjauan Terhadap undang-
undang dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap
sebagai berikut: a. tahap perencanaan; b. tahap
pelaksanaan; dan c. tahap tindak lanjut. (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemantauan
dan Peninjauan terhadap Undang-Undang diatur
masing-masing dengan Peraturan DPR,
Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden”.
Perubahan undang-undang P3 memberikan
amanat baru kepada DPR, DPD dan Pemerintah
dalam dalam rangka melakukan pemantauan
dan peninjauan terhadap pemberlakuan undang-
undang, di pasal 95A ayat (2) dan pasal 95B
dikatakan kepada DPD, DPR dan Pemerintah
diatur lebih lanjut dalam peraturan internal
masing-masing ketiga lembaga tersebut.
Pengaturan lebih lanjut dalam
peraturan internal masing-masing lembaga
(DPR, DPD dan Pemerintah), perlu dilakukan
sinkronisasi dan harmonisasi diantara ketiga
peraturan internal termasuk, sehingga dalam
pelaksanaan pemantauan dan peninjauan
13 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal.255
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
345
undang-undang bisa terbangun sinergisitas
hubungan kerja ketiga lembaga untuk
tercapainya efektifitas kerja yang berdaya guna
dalam pemantauan dan peninjauan terhadap
pelaksanaan undang-undang.
Dalam Peraturan DPD No.2 Tahun 2019
tentang Tata Tertib, dari 345 pasal tidak satupun
pasal menjelaskan tentang mekanisme
pemantauan dan peninjauan terhadap undang-
undang. Hal yang sama di ungkapkan oleh Irma
Wahyuni SH., MH selaku Perancang
Perundang-Undangan Kanwil Kementerian
Hukum dan HAM yang mengatakan bahwa
“perlunya perubahan terhadap Tata Tertib DPD
dengan memasukkan kewenangan pemantauan
dan peninjauan terhadap UU. Selanjutnya beliau
menambahkan diperlukan penyusunan dan
penetapan Peraturan DPD tentang pemantauan
dan peninjauan terhadap Undang-Undang”14
.
Hanya terdapat Pasal tentang pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang yaitu Pasal 208
yang menjelaskan tentang fungsi pengawasan
DPD dalam mengawasi pelaksanaan undang-
undang tertentu.
Kedudukan Dan Fungsi DPD dalam Upaya
Memperkuat Kewenangan Melalui
Amandemen Kelima UUD NRI 1945
14http://lawfaculty.unhas.ac.id/news-id-331-focus-group-
discussion-panitia-khusus-tata-tertib-dpd-ri
%E2%80%9Cimplementasi-fungsi-legislasi-dan-fungsi-
pengawasan-dpd-risesuai-uu-md3-dan-uu
p3%E2%80%9D.html. Di akses pada tangal 30 Maret 2020.
Beberapa materi muatan UUD 1945 yang
terkait dengan peran DPD menurut Penulis
harus di amandemen agar kedudukan DPD
sejajar dengan kedudukan DPR antara lain:
1. Usul perubahan Pasal 22D
(1) Dewan Perwakilan Daerah memegang
kekuasaan membentuk undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.*****)
(2) Dewan Perwakilan Daerah berhak
mengajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan
daerah.*****)
(3) Dewan Perwakilan Daerah berhak
membahas dan menyetujui bersama-sama
dengan DPR dan Presiden rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran, dan
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
346
penggabungan daerah; pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat
dan daerah; serta memberikan pertimbangan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas
rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan dan agama.*****
)
(4) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang mengenai: otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja negara,
pajak, pendidikan, dan agama serta
menyampaikan hasil pengawasannya itu
kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti.*** )
(5) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat
diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-
syarat dan tata caranya diatur dalam undang-
undang.***)
2. Usul Perubahan Pasal 5 ayat (1)
Sebelumnya:
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.*)
Diubah menjadi:
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat dan kepada Dewan Perwakilan
Daerah jika yang diajukan itu terkait
dengan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.*****)
3. Usul Perubahan Pasal 7A
Sebelumnya:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.***)
Diubah menjadi:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Dewan
Perwakilan Daerah, baik apabila terbukti
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
347
telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.*****)
4. Usul Perubahan Pasal 7C
Sebelumnya:
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau
membubarkan Dewan Perwakilan
Rakyat.***)
Diubah menjadi:
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Daerah*****)
5. Usul Perubahan Pasal 20 ayat (2)
Sebelumnya:
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama. *)
Diubah menjadi:
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden, jika rancangan undang-undang itu
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah, maka Dewan Perwakilan Daerah
berhak membahas untuk mendapat
persetujuan bersama. *****)
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan
Perubahan UU No. 17 Tahun 2014 tentang
MD3 menjadi UU No.42 Tahun 2014 dan
berubah menajdi Undang-Undang No. 2 Tahun
2018 sama sekali tidak memberikan penguatan
terhadap kedudukan dan fungsi DPD.
Begitupula dengan perubahan UU No. 12 Tahun
2011 tentang P3 menjadi Undang-Undang No.
15 Tahun 2019 sama sekali tidak memberikan
penguatan terhadap kedudukan dan fungsi DPD
di bidang legislasi, namun jika dilihat dari
fungsi pengawasan memberikan penguatan
terhadap DPD, sehingga kedudukan dan fungsi
DPD perlu dilakukan upaya penguatan melalui
Amandemen kelima yaitu setara dengan DPR
khusunya di bidang legislasi yaitu berhak
mengajukan, membahas dan menyetujui serta
menolak rancangan undang-undang yang
berkaitan daerah, dengan mengubah Pasal 22D,
Pasal 5 ayat (1), Pasal 7A, Pasal 7C, dan Pasal
20 ayat (2), tentunya format undang-undang
juga harus berubah dengan menempatkan DPD
dalam konsiderans menimbang dan mengingat
(jika suatu RUU berasal dari DPD dan
materinya memang terkait dengan wewenang
DPD)
Rekomendasi
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
348
Kedepan harus ada pembenahan terhadap
konsep bikameral dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. kedudukan dan fungsi DPD
khususnya di bidang legislasi harus diperkuat,
dengan cara melakukan perubahan terhadap
UUD 1945 secara komprehensif, tidak hanya
secara parsial, tentunya DPD harus melakukan
pendekatan-pendekatan yang intens dan
komunikasi serta kompromi kepada DPR untuk
mendapat dukungan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asshiddiqie Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta, 2007
, pengantar ilmu hukum tata negara jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, Cet.ke-1, Jakarta, 2006
,Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Sekertariat
Jendral Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006
, Perihal Undang-Undang, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2010
Fuadi Munir, Teori Negara hukum modern, PT.Refika Aditama, Bandung, 2006
Kurniawan Mahendra, dkk, Pedoman Naska Akademik PERDA Partisipatif. Yogyakarta, Kreasi
Total Media, 2007
Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, kencana prenadamedia group, Jakarta, 2005
Manan Bagir, DPR, DPD, MPR dalam UUD 1945 baru, UII Press, Yogyakarta, 2003
MD Moh.Mahfud, Perdebatan Hukum Tata Negara , 2010
Purnama Eddy, Negara Kedaulatan Rakyat, Analisis terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan
Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, Nusa Media, Bandung, 2007
Perundang-undangan
Tadulako Master Law Journal, Vol 5 Issue 3, Oktober 2021
349
1. Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang No.42 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun
2014 tentang MD3
3. Undang-Undang No.2 Tahun 2018 tentang perubahan kedua Undang-Undang No. 17 Tahun
2014 tentang MD3
4. Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas
Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undanga
Makalah
Aminuddin Kasim, Penguatan Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPD (Perjuangan Panjang Yang
Belum Selesai), Makalah Pada Workshop Pancasila Konstitusi dan Ketatanegaraan di
selenggarakan oleh MPR-RI, September 2016
Internet
http://lawfaculty.unhas.ac.id/news-id-331-focus-group-discussion-panitia-khusus-tata-tertib-dpd-ri
%E2%80%9Cimplementasi-fungsi-legislasi-dan-fungsi-pengawasan-dpd-risesuai-uu-md3-dan-
uu p3%E2%80%9D.html. Di akses pada tangal 30 Maret 2020.