Download - status ujian tht iben.docx
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung dan merupakan suatu keluhan atau tanda,
bukan penyakit. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit
umum. Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu juga
menemukan dan mengobati sebabnya. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin
hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang
dilakukan oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Epistaksis berat, walaupun
jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal apabila
tidak segera ditolong.
Epistaksis, yaitu perdarahan dari hidung, dapat berupa perdarahan anterior dan
perdarahan posterior. Perdarahan anterior merupakan perdarahan yang berasal dari septum
bagian depan (pleksus kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior). Prevalensi yang sesungguhnya
dari epistaksis tidak diketahui karena pada beberapa kasus epistaksis sembuh spontan dan hal ini
tidak dilaporkan.
Dalam menangani pasien epistaksis penting untuk menggali riwayat penyakit pasien.
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari
epistaksis. Pemeriksaan fisik terutama difokuskan untuk mencari sumber perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa: rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, dan nasoendoskopi.
Penting juga untuk melakukan pengukuran tekanan darah.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis ingin mengetahui definisi, etiologi,
patogenesis, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari
Epistaksis anterior.
1
I.3 Tujuan Penulisan
I.3.1. Memahami definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi,
penatalaksanaan, pencegahan, dan prognosis epistasis anterior
I.3.2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
I.3.3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian THT Fakultas
Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
I.4 Metode Penulisan
Status ujian ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan dengan mengacu kepada beberapa
literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Vaskularisasi Hidung
Suplai vaskular yang kaya pada bagian atas rongga hidung berasal dari arteri etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang
ujung posterior konka media. Bagian depan hidung juga mendapat perdarahan dari cabang-
cabang arteri fasialis. (1,4)
Sebagian besar kasus epistaksis terjadi pada bagian anterior dari hidung, karena pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri
etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatine mayor, yang disebut Pleksus
Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak-anak. Perdarahan pada bagian
posterior dari hidung berasal dari arteri sfenopalatina. (1,4)
Gambar 1. Suplai darah daerah septum nasi
3
Gambar 2. Suplai darah dinding lateral hidung
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupaka faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. (1)
2.2. Epistaksis
2.2.1. Definisi
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau
sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala
suatu penyakit. Sedangkan Epistaksis anterior merupakan perdarahan pada bagian
depan hidung yang berasal dari Pleksus Kiesselbach di septum bagian anterior atau
dari arteri etmoidalis anterior. (1,6)
2.2.2. Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya. Epistaksis dapat
disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. (1)
4
a. Kelainan lokal
Trauma
Epistaksis yang berhubungan dengan trauma biasanya terjadi akibat usaha mengeluarkan
sekret hidung dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan
sebagainya. Selain itu iritasi gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat
menyebabkan epistaksis.(2,5)
Infeksi lokal
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rhinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti
lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis. (2,5)
Tumor
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-
kadang ditandai dengan mucus yang bernoda darah. Hemangioma, karsinoma, serta
angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. (2,5)
Kelainan kongenital
Kelaian kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis
herediter (hereditary hermorhagic telangiectasia/Oasler’s disease). Perforasis septum nasi atau
abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi,
bila mengalami deviasi atau peforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung
mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskannya dengan
jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrane
mukosa septum dan kemudian perdarahan.(2,5)
Pengaruh efek perubahan tekanan udara atau tekanan atmosfer
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya sangat
dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan zat-zat kimia di tempat industry yang
menyebabkan keringnya mukosa hidung. (1)
5
b. Kelainan sistemik
Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai pada arterioskelerosis,
nefritis kronik, sirosis hepatis dan diabetes melitus sering menyebabkan epistaksis. Epistaksis
akibat hipertensi biasanya bersifat hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. (1,3)
Gangguan hormonal
Pada wanita hamil dan menopause sering terjadi epistaksis. Hal ini diakibatkan oleh
perubahan hormonal yang terjadi pada wanita dalam kondisi tersebut.(1,3)
Kelainan darah
Kelainan darah yang menjadi penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia,
bermacam-macam anemia serta hemofilia.(1)
Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah, demam tifoid, influenza, dan
morbili juga dapat disertai epistaksis. (1)
2.2.3. Patofisiologi
Epistaksis anterior merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada
anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada epistaksis anterior bersumber
dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum
bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal
dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada
tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan
trauma.
Bagian septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan
udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada
pembuluh darah tersebut. Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti
6
menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma
ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi
pada membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi
saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis.(5)
2.2.4. Sumber Perdarahan
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan
biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach
(little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di
ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha
inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya.
Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi
ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien
dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Thornton (2005)
melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.(5)
2.2.5. Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan
atau belakang hidung. Perhatian dituju pada tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian
hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Anamnesis juga ditujukan untuk mencari riwayat
penyakit pasien yang menjadi penyebab epistaksis. (2,3)
Pada epistaksis anterior perdarahan berasal dari bagian depan hidung. Perdarahan dari
bagian anterior kavum nasi biasanya akibat mencungkil hidung, epistaksis idiopatik, rinitis
7
anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau media biasanya akibat
hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. (2,3)
Evaluasi sumber dan penyebab epistaksis
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi duduk atau
posisi kepala yang lebih ditinggikan. Semua kotoran dalam hidung baik cairan, secret maupun
darah yang sudah membeku dibersihkan. Sesudah dibersihkan, semua lapangan hidung dalam
diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung
dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anastesi lokal yaitu larutan
pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi laruta adrenalin 1/5000-1/10.000 ke dalam
hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokonstriksi pembuluh darah sehingga
perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10-15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. (2)
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang
bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien yang mengalami
perdarahan hidung akut yang aktif dan prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.(2)
Pemeriksaan selanjutnya yang diperlukan untuk mengevaluasi epistaksis adalah: (1,2)
1. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum,
mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiks
dengan cermat.
2. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis
berulang dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
3. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi
dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
4. Rontgen sinus
Rontgen penting untuk mengenali neoplasma atau infeksi dengan menggunakan foto polos
atau CT scan.
8
5. Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah
platelet dan waktu perdarahan.
6. Skrining riwayat penyakit
Pemeriksaan-pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk mencari riwayat penyakit yang
mendasari epistaksis, seperti pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan
ginjal, gula darah, dan hemostasis.
2.2.6. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah:
a. Perbaiki keadaan umum
Keadaan hemodinamik dan patensi jalan nafas harus dipastikan dalam kondisi baik.
Resusitasi cairan harus segera dilakukan bila terjadi deplesi volume cairan yang berlebihan pada
pasien.(2,4)
Penderita diperiksa dalam posisi duduk atau dalam posisi kepala yang ditinggikan.
kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok. Posisi ini dapat mencegah darah
mengumpul di bagian posterior faring sehingga mencegah terjadinya nausea dan obstruksi jalan
nafas. (2,4)
b. Cari sumber perdarahan
Segala tindakan harus dilakukan untuk menentukan lokasi sumber perdarahan yang tidak
mampu dihentikan dengan teknik kompresi simpel. Penilaian harus dilakukan pada ruangan
dengan penerangan cukup. Perdarahan pada epistaksis anterior berasal dari bagian depan rongga
hidung, yang biasanya terjadi pada pleksus kiesselbach atau berasal dari bagian depan konka
inferior. (2,4)
Sebelum evaluasi, rongga hidung di anastesi lokal dengan menggunakan tampon kapas
yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 2% topical dengan epinefrin 1/5000-1/10.000
atau kombinasi lidokain 4% topical dengan penilefrin 0,5%. Tampon ini dimasukkan dalam
rongga hidung selama 5-10 menit untuk memberikan efek anastesi lokal dan vasokonstriksi. (1,3)
9
c. Hentikan perdarahan
Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan
cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama
beberapa menit baik dengan tangan. Penekanan langsung ini dapat dilakukan selama 5-20 menit.
Biasanya 65-80% kasus epistaksis anterior akan berhenti setelah pemberian kompresi langsung
ini. (2,4)
Jika dengan kompresi langsung perdarahan tidak kunjung berhenti, dan apabila telah
ditemukan sumber perdarahan berasal dari bagian anterior rongga hidung (epistaksis anterior),
maka langkah penatalaksanaan selanjutnya yang dapat dilakukan pada pasien tersebut adalah:
1. Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan
tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1 :
100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini dimasukkan
dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal
dan vasokonstriksi. Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak
nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%. Becker (1994) menggunakan larutan asam
triklorasetat 40 – 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan
tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial.
Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi. Selain
menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau laser. Yang (2005) menggunakan
electrokauter pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya.(5)
2. Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak dapat
diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan kapas atau
kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik. Tampon ini dipertahankan selama 3 – 4 hari
dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas. Vaghela (2005) menggunakan swimmer’s
nose clip untuk penanggulangan epistaksis anterior. (5)
10
2.2.7. Komplikasi
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air
mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media,
haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan
melalui mulut terlalu kencang ditarik.
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang
turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan
akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.
2.2.8. Pencegahan
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara
lain :
1. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada kedua
lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur
1 sendok the garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai
hangat kuku.
2. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
3. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan cotton
bud melebihi 0,5 – 0,6cm ke dalam hidung.
4. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
5. Bersin melalui mulut.
6. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
7. Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau
ibuprofen.
8. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
9. Berhenti merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan iritasi.
11
BAB III
STATUS UJIAN
I. IDENTITASNama : Sdr. NH
Umur : 16 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Bodean 2/8 Candigaron Sumowono Kab Semaran
No. RM : 061866- 2014
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis (kepada pasien) dan Alloanamnesis (kepada keluarga pasien)
Riwayat penyakit
A. Keluhan Utama :
Pasien dikonsulkan dari bagian bedah dengan diagnosis suspect fraktur mandibula
dengan perdarahan dari hidung. Adakah kontraindikasi untuk dilakukan operasi
B. Keluhan Tambahan :
Nyeri rahang atas dan bawah, sulit bicara, pusing (-), mual (-), muntah (-), kejang
(-)
C. Riwayat Penyakit Sekarang :
OS datang ke IGD RSUD ambarawa tanggal 13 juli 2014 dengan rujukan dari RS
Assalam. Pasien post KLL dengan wajah mengenai aspal terlebih dahulu. Pasien
tidak mampu mengingat kejadian ketika kecelakaan berlangsung. Pasien
dikonsulkan oleh bagian bedah ke bagian THT untuk mengetahui apakah ada
kontraindikasi dilakukan pembedahan.
12
D. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit asma : disangkal
- Riwayat penyakit alergi obat : disangkal
- Riwayat operasi dan pembiusan : disangkal
- Riwayat penyakit sama : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
- Anggota keluarga tidak ada yang mengeluh sakit seperti ini.
- Anggota keluarga tidak ada yang memiliki riwayat alergi.
III. Pemeriksaan FisikA. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign :
TD : 130/80 mmHg
RR: 22x/m
Nadi : 72x/m
Suhu : 36,5 C
Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : Normocephal.
Mata : bengkak disekitar mata, perdarahan
subkonjungtiva di mata kanan dan kiri.
Mulut-Gigi : gigi tanggal di gigi seri pertama kanan atas-
geraham 2 belakang.
Status lokalis THT :
Telinga Kanan Kiri
Daun telinga N N
Liang telinga lapang lapang
13
Discharge - -
Membran timpani intak intak
Hiperemis - Hiperemis -
Tumor - -
Mastoid N N
Hidung Kanan Kiri
Hidung luar N N
Cavum nasi lapang lapang
Septum deviasi tidak ada
Discharge + +
Mukosa merah muda merah muda
Tumor - -
Concha N N
Sinus nyeri tekan +
Tenggorokan :
Sianosis : sulit dinilai
Mukosa : sulit dinilai
Dinding belakang faring : sulit dinilai
Suara : tidak ada kelainan
Leher : T.A.K
Thorax
Pulmo : Vesikuler (+), wheezing (-), ronkhi (-)
Cor : S1>S2, Reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Punggung : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Genitalia Eksterna : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Ekstremitas : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Limfonodi : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
14
Turgor kulit : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Akral : Hangat, Sianosis (-)
Pemeriksaan Reflex
Patologis : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Fisiologis : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Pemeriksaan Otoskopi : AD : Serumen + , Membran Timpani Hiperemis -
AS : Serumen + , Membran Timpani Hiperemis –
Pemeriksaan Radiologi:
X foto SPN dan Os Nasal:
- Suspek fraktur dinding inferior cavum orbita kanan
- Kesuraman sinus maksilaris kanan
- Tak tampak fraktur os nasal
- Os mandibula tampak baik
15
IV. DD
- Epistaksis Anterior
- Epistaksis Posterior
V. Diagnosis: Epistaksis Anterior dextra sinistra E.C Trauma
VI. Tindakan :
- Pemasangan tampon anterior
- Irigasi hidung
- Konsul ke bagian mata
VII. Terapi :
- inf. Kaen 3B
- inj. Ranitidin
- inj. Ketorolac
- inj. Dexamethason 8 mg 3x1
- ciprofloxacin 500 mg 2x1
VIII. Prognosis
Dubia ad Bonam, karena telah dilakukan penatalaksanaan secara optimal
16
BAB IV
PEMBAHASAN
III.1 Subjektif
Pasien Sdr. NH, laki laki 16 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan rujukan dari RS assalam post KLL, trauma wajah dengan perdarahan dari hidung. Pasien kemudian dikonsulkan oleh bagian bedah ke bagian THT, untuk mengatahui apakah ada kontraindikasi dilakukan operasi. Berdasarkan anamnesis, dikatakan pasien belum pernah mengalami riwayat perdarahan hidung sebelumnya. Di keluarga pasien juga belum ada yang mengalami keluhan yang sama.
III.2 Objektif
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital dalam batas normal. Dari status generalis pasien tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan hidung didapatkan adanya sekret yang keluar dari kedua hidung.
III.3 Assesment
Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa pada tanggal 13 juli 2014. Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat disimpulkan bahwa pasien menderita epistaksis anterior.
17
Dari IGD sudah dilakukan penatalaksanaan awal berupa pemasangan tampon. Pemberian ciprofolaxacin 2x500 mg untuk mencegah infeksi sekunder dan dexamethason 3x8 mg.
III.4. Plan
Pasien disarankan datang ke klinik THT untuk dilakukan irigasi hidung untuk membersihkan sisa darah yang ada. Dari bagian THT tidak ada keluhan yang membahayakan untuk dilakukan operasi. Pasien dikonsulkan ke bagian mata karena pada pemeriksaan radiologi ditemukan adanya fraktur cavum orbita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo, E. dan Wardani, R. 2007. Perdarahan Hidung dan Gangguan Penghidu.
Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 155-159.
2. Ichsan, M. 2001. Penatalaksanaan Epistaksis. Cermin Dunia Kedokteran No. 132.
[Accessed from: http://www.kalbe.co.id/ files/cdk/files/PenatalaksanaanEpistaksis.pdf/]
3. Munir, D., Haryono, Y., Rambe, A.Y.M. 2006. Epistaksis. Majalah Kedokteran Nusantara.
Volume 39 No. 3. Library of USU. [Accessed from: http://repository.usu.ac.id]
4. Kucik, CJ. and Clenney, T. 2005. Management of Epistaxis. American Family Physician,
Vol. 71, No. 2. [Accessed from: http://www.aafp.org/]
5. Schlosser, RJ. 2009. Epistaxis: Clinical Practice. The New England Journal of Medicine
360;8. [Accessed from: http://www.nejm.org/]
6. Mansjoer A, dkk, 2008. Epistaksis. Kapita Selekta Kedokteran jilid 1 cetakan 9, Jakarta
FKUI. Hal 95-97
18