Download - Step 7 Sken 2 Dewandaru Oke
BAB VII
BERBAGI INFORMASI
1. ALL ABOUT GASTRITIS
a. Definisi
Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan sub mukosa lambung,
yang berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau
bahan iritan lain (Hirlan, 2015). Adapun menurut Smeltzer, Bare, Brunner &
Sudarth (2001) serta Kumar, Abbas, Fausto & Aster (2014) gastritis adalah suatu
peradangan mukosa lambung paling sering diakibatkan oleh ketidakteraturan diet,
misalnya makan terlalu banyak dan cepat atau makan makanan yang terlalu
berbumbu atau terinfeksi oleh penyebab yang lain seperti alkohol, aspirin, refluks
empedu atau terapi radiasi.
b. Klasifikasi
1) Monotropik : setempat/seluruh
2) Atropik : mengecil/menipis
3) Bentuk khusus
4) Gastropati : histopatologi tidak menggambarkan radang, hanya bintik-bintik
merah
Menurut Hirlan (2015) didasarkan pada manifestasi klinis, gastritis dapat
dibagi menjadi : (1) akut; dan (2) kronik. Walaupun demikian, keduanya tidak
saling berhubungan, mengingat gastritis kronik bukan merupakan kelanjutan dari
gastritis akut. Smeltzer et al. (2001) menyatakan bahwa gastritis kronis adalah
suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang berkepanjangan yang
disebabkan baik oleh ulkus lambung jinak maupun ganas atau oleh bakteri
Helicobacter pylori. Gastritis kronis dibagi dalam tipe A dan B. Gastritis tipe A
mampu menghasilkan imun sendiri, tipe ini dikaitkan dengan atropi dari kelenjar
lambung dan penurunan mucosa. Penurunan pada sekresi gastrik mempengaruhi
produksi antibodi. Anemia Pernisiosa berkembang dengan proses ini. Sedangkan
Gastritis tipe B lebih lazim, tipe ini dikaitkan dengan infeksi bakteri Helicobacter
pylori yang menimbulkan ulkus pada dinding lambung.
c. Etiologi
Menurut Hirlan (2015) penyebab gastritis adalah :
Infeksikuman Helicobacter pylori (HP)
Autoimun
Virus : enteric rotavirus &calicirus
Jamur : Candida sp
OAINS
Alkohol
Adapun menurutMansjoer (2001) penyebab gastritis adalah :
1) Gastritis Akut
Penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan obat anti inflamasi non steroid
dalam dosis rendah sudah dapat menyebabkan erosi mukosa lambung.
Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan
membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun
pada kondisi normal.
Gangguan mikro sirkulasi mukosa lambung : trauma, lukabakar
Stress, fisik akibat pembedahan besar, luka trauma luka bakar atau infeksi
berat dapat menyebabkan gastritis dan perdarahan pada lambung.
2. Gastritis Kronik
Pada gastritis kronik penyebab tidak jelas, tetapi berhubungan dengan
Helicobacter pylori, apalagi ditemukan ulkus pada pemeriksaan penunjang.
c. Patofisiologi
Menurut Priyanto (2008) proses terjadinya gastritis yaitu awalanya
karena obat-obatan, alkohol, empedu atau enzim-enzim pankreas dapat merusak
mukosa lambung (gastritis erosi), mengganggu pertahanan mukosa lambung dan
meningkatkan difusi kembali asam dan pepsin kedalam jaringan lambung. Hal ini
menimbulkan peradangan respon mukosa lambung terhadap kebanyakan
penyebab iritasi tersebut adalah dengan regenerasi mukosa, karena itu gangguan-
gangguan tersebut sering kali menghilang dengan sendirinya. Dengan iritasi yang
terus-menerus, jaringan menjadi meradang dan dapat terjadi perdarahan.
Masuknya zat-zat seperti asam dan basa kuat yang bersifat korosif dapat
mengakibatkan peradangan dan nekrosis pada dinding lambung (gastritiskorosif).
Nekrosis dapat mengakibatkan perforasi dinding lambung dengan akibat
berikutnya perdarahan dan peritonitis.
d. Manifestasi klinis
Menurut Hirlan (2015) manifestasi klinis gastritis adalah :
Nyeri epigastrium
Mual, muntah
Membaik setelah makan
Kriteria roma 3
Adapun menurut Mansjoer (2001) tanda dan gejala gastritis adalah :
1) Gastritis akut
Nyeri epigasthum, hal ini terjadi karena adanya peradangan pada mukosa
lambung.
Mual, kembung. muntah merupakansalahsatukeluhan yang sering muncul.
Hal ini dikarenakan adanya regenerasi mukosa lambung sehingga terjadi
peningkatan asamlambung yang mengakibatkan mual hingga muntah
Ditemukan pula perdarahan saluran cena berupa hematemesis dan melena,
kemudian disusul dengan tanda-tanda anemia pasca perdarahan.
2) Gastritis kronis
Pada pasien gastritis kronis umumnya tidak mempunyai keluhan. Hanya
sebagian kecil mengeluh nyeri uluhati, anoreksia, nausea dan pada
pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan.
e) Penegakan diagnosis
1) Ax
2) Pf
3) PP : a. Endoskopi
- Inflamasi : - eritema
- eksudatif
- pendarahan
- ederna
- Histopatologi : - degredasiepital
- atropi
- hypulasiafoueolar
- folmel lymphoid
- kerusakan parictal cell
f. Tatalaksana
Menurut Doengoes (2006) dan Hirlan (2015) tatalaksana gastritis dapat
dilakukan dengan :
1) Non medikamentosa
Edukasi
Makan dengan porsi kecil, tapi lebih sering. Langkah ini berguna untuk
menurunkan penumpukan asam lambung
Menurunkan penggunaan OAINS
Managemen stress
Membatasi konsumsi minuman keras. Kandungan alkoholnya dapat
menyebabkan iritasi pada bagian lambung yang mengalami peradangan.
Berhenti merokok. Rokok dapat menghambat penyembuhan sekaligus
meningkatkan risiko tukak lambung.
Mengurangi konsumsi teh dan kopi karena keduanya dapat meningkatkan
kadar asam lambung.
Mengonsumsi produk berbahan dasar susu, seperti keju. Para pakar
menduga bahwa susu dapat melindungi lambung dan menetralisasi dampak
asam lambung.
Menghindari konsumsi makanan pedas atau berlemak.
Miliki berat badan yang sehat dan ideal.
2) Medikamentosa
Melakukan eradikasi
- Indikasi : infeksikuman HP yang ada hubungan dengan tukak peptikum
dan low grade B cell lymphoma
- Tujuan : menekan atrofi dan metaplasia
- Regimen untuk eradikasi infeksi
Obat 1 Obat 2 Obat 3 Obat 4
PPI dosis ganda Klaritromisina(2 x 500 mg)
Amoksilin(2 x 100 mg)
PPI dosis ganda Klaritromisina(2 x 500 mg)
Metronidazol(2 x 500 mg)
PPI dosis ganda Tetrasiklin(4 x 500 mg)
Metronidazol(2 x 500 mg)
Sub salisilat/sub sitrat
Sumber : Hirlan (2015)
Antibiotik. Tukak lambung yang disebabkan oleh bakteri H. pylori akan
ditangani dengan kombinasi dari beberapa antibiotik.
Amoxicillin, metronidazole dan clarithromycina adalah contoh antibiotik
yang biasanya diresepkan oleh dokter.
Penghambat pompa proton. Jika Anda mengidap tukak lambung yang
disebabkan oleh obat anti inflamasi non-steroid, dokter akan menyarankan
penggunaan penghambat pompa proton. Obat ini akan mengurangi kadar
asam lambung dengan menghalangi kinerja sel-sel yang memproduksi
asam lambung. Lansoprazole adalah jenis penghambat pompa proton yang
sering digunakan.
Obat penghambat reseptor H2. Fungsi obat ini sama dengan penghambat
pompa proton, yaitu menurunkan kadar asam lambung.
Antasida dan alginat. Antasida akan menetralisasi asam lambung untuk
waktu singkat, sedangkan alginat akan melindungi dinding lambung.
Karena itu, kedua obat ini diberikan untuk mengurangi rasa nyeri secara
cepat sebelum obat-obatan lainnya mulai bekerja. Tetapi jika Anda
menggunakan penghambat pompa proton atau ranitidin, Anda sebaiknya
menunggu 1-2 jam sebelum mengonsumsi antasida dan alginat. Buah
pisang juga dapat dikonsumsi sebagai alternatif jika Anda enggan
menggunakan kedua obat ini.
g. Prognosis
Gastritis akut umumnya sembuh dalam waktu beberapa hari.
Insidensi ulkus lambung dan kanker lambung meningkat pada gastritis kronis
tipe A.
Gastritis dapat menimbulkan komplikasi pedarahan saluran cerna dan gejala
klinis yang berulang.
2. ALL ABOUT ULKUS GASTER
a. Definisi
Ulkus gaster adalah suatu gambaran bulat/semibulat/oval ukuran> 5 mm ke
dalam submukosa pada mukosa lambung akibat terputusnya kontinuitas/integritas
mukosa lambung (Tarigan, 2015).
b. Klasifikasi
1) Erosi : di epital
2) Ulkusakut : di mukosa - submukosa
3) Ulkuskronis : di mukosa– muscularisextopa + jaringanparut
(Price & Wilson, 2014)
c. Etiologi
- Bakteri H. pylori 90%
- Stress
- Genetik
- OAINS menghambat Cox2 menurunnya PG
- Alkohol
- Empedu
- Penyakit : 1) SindromZollinger – Ellison tumor pancreas non insula
2) SirosisHati
3) Panereatitiskronis sekresigasteria
(Price & Wilson, 2014)
d. Patogenesis – Patofisiologi
Gambar 1. Patofisiologi ulkus gaster (Price & Wilson, 2014)
e. Manifestasi klinis
- Nyeri Hg porondriaca - BAB menurun
- Mual muntah - Anoreksia
- Kembung - Pendarahan
- Nyeri setelah makan (pain – food – pain) - Nyeri teriris, terbakar, dan
rasa tidak enak
- Dispepsia
(Tarigan, 2015)
f. Penegakan Diagnosis
1) Ax
2) Fx : - Inspetasi : -
- Auskultasi : Jika peritonetis peristaltis (-)
- Pakusi : Timpani – redup + nyeri
- Palpasi : Nyeri tekan perut kiri ulkusgaster
Nyeri tekan perut kanan ulkus duodenum
3) PP : a) Radiologi : barium kontras
b) Endoskopi
(Tarigan, 2015 ; Price & Wilson, 2014)
g. Faktor resiko
- Laki-laki > wanita
- Umur
- Penggunaan obat nyeri yang reguler
- Status – sosio ekonomi rendah
- Alkohol dan rokok
(Nccoy, 2010)
h. Penatalaksanaan
1) Non medikamentosa
2) Medikamentosa
- Antioksida : menetralkan asam lambung dengan
mempertahankan ph cukup tinggi
pepsin tidak aktif
+
Alumuniumhidroksida
+
Magnesium hidroksida
- Obat anti kulinergik : - menghambat efek n. vagus
- menghambat motilitas dan waktu
pengosongan gaster
- PPI
- Penghambat H2 : mengurangi sekresi asam 70 %
(Simetidia, ranitia, famotidin)
- Antibiotik
(Price & Wilson, 2014; Tarigan, 2015)
i. Pembedahan
1. Vagotomi : pemotongan cabang n. vagus
2. Antraktomi : pembuangan seluruh antrum lambung
3. Vagotum & Antrektomi
4. Gastrektomiparsial : menghilangkan 50-75% mukola lambung distal
3. ALL ABOUT GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)
a. Definisi
GERD adalah keadaan patologis akibat reflux kandungan gaster kedalam esofagus (Makmun, 2015). Adapun menurut Vakil et al. (2006) GERD didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra-esofagus dan/atau komplikasinya
b. Etiologi – Patogenesis
Makmun (2015) menyatakan bahwa terdapat berbagai faktor yang
menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat refluks
esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan
refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi penurunan resistensi jaringan
mukosa esofagus. Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi
(high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter
(LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat
sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya
terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg) .
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :
1). Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran retrograd
yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). Meningkatnya
tekanan intra abdomen. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis
terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus
(pemisah anti refluks, bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel
esofagus) dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut
berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang
meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau
obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying (Makmun, 2015).
Gambar 2. Etiologi-Patofisiologi GERD (Makmun, 2015)
c. Manifestasi klinis
Menurut Jung (2009) dan Makmun (2015) gejala klinis yang khas dari
GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah.
Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang
bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau
regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya
keluhan heartburn ternyata tidak selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik.
Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan angina
pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan yang padat mungkin terjadi
karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barret’s esophagus.
Odinofagia bisa muncul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat. Walaupun
gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau regurgitasi, gejala tidak khas
ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul yang meliputi nyeri dada non
kardiak (non cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk, sendawa,
asma, bronkiektasis, gangguan tidur, dan lain-lain
Adapun menurut Doengoes (2006) gejala klinis GERD digolongkan
menjadi 3 macam yaitu gejala tipikal, gejala atipikal, dan gejala alarm.
Gejala tipikal (typical symptom), adalah gejala yang umum diderita oleh
pasien GERD yaitu : heartburn, belching (sendawa), dan regurgitasi
(muntah).
Gejala atipikal (atypical symptom), adalah gejala yang terjadi di luar
esophagus dan cenderung mirip dengan gejala penyakit lain. Contohnya
separuh dari kelompok pasien yang sakit dada dengan elektrokardiogram
normal ternyata mengidap GERD, dan separuh dari penderita asma ternyata
mengidap GERD. Kadang hanya gejala ini yang muncul sehingga sulit untuk
mendeteksi GERD dari gejala ini. Contoh gejala atipikal: asma non alergi,
batuk kronis, faringitis, sakit dada, dan erosi gigi.
Gejala alarm (alarm symptom), adalah gejala yang menunjukkan GERD
yang berkepanjangan dan kemungkinan sudah mengalami komplikasi. Pasien
yang tidak ditangani dengan baik dapat mengalami komplikasi. Hal ini
disebabkan oleh refluks berulang yang berkepanjangan. Contoh gejala alarm:
sakit berkelanjutan, disfagia (kehilangan nafsu makan), penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan, tersedak. Penting untuk diperhatikan
bahwa keparahan gejala tidak selalu berkaitan dengan keparahan esofagitis,
tetapi berkaitan dengan durasi reflux. Pasien dengan penyakit yang nonerosif
dapat menunjukkan gejala yang sama dengan pasien yang secara endoskopi
menunjukkan adanya erosi esophagus.
d. Penegakan Diagnosis
1) Ax
2) Fx
3) PP : a) Endoskopi sel cerna bagian atas
b) Esofagografi dengan barium
c) Pemantauan PH 24 jam
d) Tes bernstein
e) Tes penghambat pompa proton
(Makmun, 2015)
e. Komplikasi
Menurut Makmun (2015) komplikasi yang dapat terjadi pada GERD adalah
sebagai berikut :
Striktur oesophagus
Bartsoesophagus
Adeno carcinoma cardiac & esophagus
f. Penatalaksanaan
Makmun (2015) menyatakan bahwa penatalaksanaan GERD dapat
dilakukan secara non medikamentosa dan medikamentosa :
1) Non medikamentosa
Meningkatkan posisi kepala saat tidur
Tidak makan sebelum tidur
Berhenti merokok & alkohol
Menurunkan berat badan
Menurunkan obat yang dapat menyebabkan menurunkan LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonis β adrenergik, progesteron
Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, papermint, bersoda
Menurunkan konsumsi lemak dan menurunkan makanan yang menyebabkan distensi lambung
2) Medikamentosa
a. Pendekatan step up
Obat-obat tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis
H2) atau golongan prokinetik, bila gagal dibuat obat yang lebih kuat + PPI
lebih lama
b. Pendekatan step down
PPI
Setelah berhasil lanjut obat yang lebih rendah
- Antasid 4x1 sendok makan
- Antagonis reseptor H2 simetidin 2 x 300 mg
- PPI omeprazole 2 x 20 mg
- Obat-obat prokinetik 3 x 10 mg metolopamid
- Sukralfat 4 x 1 g
3) Bedah : Fundoplikasi
4) Terapi endoskopi : - penggunaan energi radiopakuasi
- aplikasi gastrik endoluminal
- implantasi endoskopi
4. ALL ABOUT ULKUS DUODENUM
a. Definisi
Ulkus duodenum adalah suatu defek pada mukosa/submukosa lebih yang
dapat menembus tunica muscularis dan serosa pada organ duodenum (Akil, 2015)
b. Manifestasi klinis
Menurut Akil (2015) manifestasi klinis ulkus duodenum adalah :
Nyeri Hypocondriacadevtra
Enak setelah makan sementara
Jika nyeri menjalar ke punggung penetrasi ke pankreas
Jika ke seluruh lapisan perut perforasi
Melena/Hematemesis - Anemia
Rasa cepat kenyang - Muntah persisten
Adapun menurut Sudoyo et al. (2014) gambaran klinis ulkus duodenum
dapat terjadi sebagai berikut :
Dispepsia
Nyeri seperti terbakar, terjadi saat lapar. Kemuadian sesaat setelah makan, nyeri akan reda sementara, kemudian dalam waktu kurang lebih 3 jam (saat makanan mulai memasuki duodenum) maka akan terjadi nyerikembali. Lain halnya dengan ulkus gaster yang terjadi kurang lebih 30 menit sesudah makan.
Nyeri spesifik pada 75% pasien, timbul di malam hari yang dapat menyebabkan pasien terbangun dari tidurnya.
Nyeri tiba-tiba, dan jika menjalar ke punggung dicurigai penetrasi tukak ke pankreas.
10% kasus tukak duodenum yang terjadi komplikasi perdarahan atau perforasi dikarenakan konsumsi OAINS.
Tinja seperti ter (melena)
c. Penegakan diagnosis
Akil (2015) menyatakan bahwa penegakkan diagnosis dilakukan dengan
1) Anamnesis
2) Pemeriksaan fisik
3) PP : - Radiologi
- Biopsi
- Endoskopi
d. Diagnosis banding
Menurut Akil (2015) diagnosis banding dari ulkus duodenum adalah :
Dispepsia non ulkus
Ulkus gaster
Penyakit pankrotobilica
Penyakit chorn’s
Tumor sel cerna bagian atas
e. Komplikasi
Akil (2015) menyatkan bahwa komplikasi yang dapat terjadi pada ulkus
duodenum adalah :
Hematemesis/melena
Perforasi
Penetrasi ke pankreas
Gastric outlet obstruction
Keganasan duodenum
f. Penatalaksanaan
Menurut Akil (2015) penatalaksanaan ulkus duodenum dapat dilakukan
dengan :
1) Non medikamentosa
2) Medikamentosa
a) Untuk H. pylori gastritis
b) H. pylori + OAINS : - eradikasi H. pylori
- OAINS dihentikan
c) OAINS :berikanobat H2 bloker/PPI/suntik sintetik prostaglandin
d) non HP non OAINS
1. Antasida
2. H2 bloker dosis sama
3. PPI
5. Perbedaan Aspirin dan Asetaminofen
Menurut FK UI (2012) perbedaan aspirin dan asetaminofen (parasetamol)
terletak pada efek sampingnya terhadap terjadinya ulkus lambung. Dimana aspirin
mempunyai efek samping yang lebih buruk terhadap kejadian ulkus lambung,
dibandingkan asetaminofen yang lebih aman untuk lambung.
Obat-obat AINS seperti aspirin bekerja dengan cara menghambat sintesis
prostaglandin. Prostaglandin sendiri adalah suatu senyawa dalam tubuh yang
merupakan mediator nyeri dan radang/inflamasi. Prostaglandin terbentuk dari
asam arakidonat pada sel-sel tubuh dengan bantuan enzim cyclooxygenase (COX).
Dengan penghambatan pada enzim COX, maka prostaglandin tidak terbentuk,
dan nyeri atau radang pun reda. COX ini ada dua jenis, yaitu disebut COX-1 dan
COX-2. COX-1 selalu ada dalam tubuh secara normal, untuk membentuk
prostaglandin yang dibutuhkan untuk proses-proses normal tubuh, antara lain
memberikan efek perlindungan terhadap mukosa lambung. Sedangkan COX-2,
adalah enzim yang terbentuk hanya pada saat terjadi peradangan/cedera, yang
menghasilkan prostaglandin yang menjadi mediator nyeri/radang. Jadi,
sebenarnya yang perlu dihambat hanyalah COX-2 saja yang berperan dalam
peradangan, sedangkan COX-1 mestinya tetap dipertahankan. Tetapi dikarenakan
aspirin bekerja secara tidak selektif, maka obat tersebut bisa menghambat COX-1
dan COX-2 sekaligus. Jadi ia bisa menghambat pembentukan prostaglandin pada
peradangan, tetapi juga menghambat prostaglandin yang dibutuhkan untuk
melindungi mukosa lambung, sehingga lambung menjadi terganggu (FK UI,
2012; Mendes et al., 2012).
Walaupun asetaminofen juga termasuk obat AINS, tetapi asetaminofen
memiliki sedikit perbedaan dalam target aksi obatnya. Asetaminofen berefek
lemah sebagai anti radang, tetapi lebih sebagai analgesik dan anti piretik (obat
turun panas). Ternyata, selain COX-1 dan COX-2, ada pula COX-3. Ada peneliti
yang menyatakan bahwa COX-3 adalah varian dari COX-1, yang terdistribusi di
sistem saraf pusat. Asetaminofen menghambat lemah baik COX-1 maupun COX-
2, tetapi kuat terhadap penghambatan COX-3 di otak/sistem saraf pusat, maka
efeknya lebih terpusat dan tidak menyebabkan gangguan pada lambung (Tjay &
Rahardja, 2010; Botting, 2010; FK UI, 2012).
Lebih lanjut Botting (2006) menjelaskan bahwa masing-masing NSAID
menunjukkan potensi yang berbeda-beda dalam menghambat COX-1
dibandingkan COX-2. Hal inilah yang menjelaskan adanya variasi dalam
timbulnya efek samping NSAID pada dosis sebagai anti inflamasi. Obat yang
potensinya rendah dalam menghambat COX-1, yang berarti memiliki rasio
aktivitas COX-2/ COX-1 lebih rendah, akan mempunyai efek sebagai anti
inflamasi dengan efek samping lebih rendah pada lambung dan ginjal.
Pada Tabel 1 terlihat bahwa tolmetin dan aspirin memiliki toksisitas
tertinggi terhadap saluran gastrointestinal. Kedua obat ini memiliki potensi
hambat COX-1 yang jauh lebih tinggi dibandingkan menghambat COX-2. Dari
penelitian epidemiologi yang membandingkan rasio COX-2/ COX-1, terdapat
korelasi positif antara efek samping gastrointestinal dengan rasio COX-2/ COX-1.
Semakin besar rasio COX-2/COX-1, maka semakin besar pula efek samping
gastrointestinalnya. Dibandingkan asetaminofen, aspirin memiliki rasio COX-2/
COX-1 yang jauh lebih tinggi, dimana COX-2/COX-1 asetaminofen hanya 15
dan COX-2/COX-1 aspirin adalah 166, sehingga efek samping aspirin terhadap
gastrointestinal jauh lebih lebih tinggi dibanding asetaminofen (Botting, 2006).
Tabel 1. Rasio COX-2/COX-1 pada NSAIDNSAID COX-2 COX-1 COX-2/COX-1
Tolmetin 7 0.04 175Aspirin 50 0.3 166Ibuprofen 15 1 15Asetaminofen 20 2.7 7.4Diklofenak 0.35 0.5 0.7Naproksen 1.3 2.2 0.6Celecoxib 0.34 1.2 0.3Refecoxib 0.84 63 0.013
Sumber : Botting (2006)
6. Zat iritasi yang menimbulkan ulkus
Menurut Keshav (2004), Johns Hopkins School of Medicine (2013) dan Price
% Wilson (2014) zat iritasi yang dapat menimbulkan ulkus adalah :
1) Penggunaan beberapa obat, terutama obat anti-inflamasi non-steroid
(NSAID), juga dihubungkan dengan peningkatan risiko berkembangnya
ulkus. Aspirin menyebabkan iritasi dinding mukosa, demikian juga dengan
NSAID lain dan glukokortikosteroid. Obat-obat ini menyebabkan ulkus
dengan menghambat perlindungan prostaglandin secara sistemik, sehingga
mukosa lambung tidak terlindungi.
2) Asam lambung yaitu asam chlorida (HCl) yang berlebihan dalam lambung
dapat menimbulkan ulkus.
3) Begitupun pepsin, enzim pankreas dan garam empedu dapat menimbulkan
iritasi dan ulkus.
4) Zat kafein dari kopi dapat menstimulasi sel-sel parietal untuk menghasilkan
asam yang dapat menimbulkan ulkus
5) Alkohol konsentrasi tinggi menyebabkan kerusakan pembatas mukosa lambung
terhadap ion hidrogen dan berhubungan dengan lesi mukosa lambung akut yang
disebabkan pendarahan mukosa. Disamping itu alkohol juga dapat menstimulasi
sel-sel parietal untuk menghasilkan asam yang dapat menimbulkan ulkus
6) Mengkonsumsi makanan pedas dapat merangsang lambung dan usus untuk kontraksi
7) Teh mengandung antioksidan yang dapat membunuh bakteri dan memiliki efek menetralisasi radikal bebas yang merusak. Antioksidan yang berperan yaitu tanin. Tanin memiliki afinitas yang tinggi terhadap protein di mucosa. Tanin memiliki efek proteksi yang tinggi namun jika kadar tanin yang terlalu tinggi dapat mengiritasi lambung. Jika tanin dan udara bergabung maka akan menghasilkan asam tanat yang akan mengiritasi lambung
8) Rokok juga berperan menyebabkan iritasi yaitu melalui proses (1) menurunnya sekresi bikarbonat dan aliran darah di mucosa; (2) memperburuk peradangan; (3) meningkatkan sekresi asam lambung; (4) melemahkan katup oesophagus dan pylorus serta meningkatkan refluks pengosongan dan menurunkan pH lambung.
DAFTAR PUSTAKA
Akil, H.A.M. (2015). Tukak Duodenum. In S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi VI. (pp.4117-4123). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.
Botting, R.M. (2006). Inhibitors of cyclooxygenases : Mechanisms, selectivity and uses. Journal of Physiology and Pharmacology, 57, Supp. 5, 113-124.
Botting, R.M. (2010). Vane’s discovery of the mechanism of action of aspirin changed our understanding of its clinical pharmacology. Pharmacological Reports, 62, 618-625.
Doengoes, M.E. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
FK UI. (2012). Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Bagian farmakologi FK Universitas Indonesia.
Hirlan. (2015). Gastritis. In S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi VI. (pp.4117-4123). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.
Johns Hopkins School of Medicine. (2013). Peptic Ulcer Disease : Introduction Baltimore, Maryland USA : Johns Hopkins School of Medicine.
Keshav, S. (2004). The Gastroinstestinal System at a Glance. Oxford, UK : Blackwell Publishing Ltd.
Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N. & Aster, J. (2014). Robbins & Cotran Pathologic Basis of Disease. 8th Edition. New York : Elsevier Inc.
Makmun, D. (2015). Penyakit Refluks Gastroesofageal. In S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi VI. (pp.4117-4123). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.
Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius
Mendes, R.T., Stanczyk, C.P., Sordi, R., Otuki, M.F., dos Santos, F.A. & Fernandes, D. (2012). Selective inhibition of cyclooxygenase-2 : risks and benefits. Revista Brasileira de Reumatologia, 52(5), 767-782
Price, S.A.. & Wilson, L.M. (2014). Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Volume 1. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Brunner, L.S. & Suddarth, D.S. (2001). Brunner & Suddarth : Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Tarigan, P. (2015). Tukak Gaster. In S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi VI. (pp.4117-4123). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.
Tjay, T.H. & Rahardja, K. (2010). Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta : Elex Media Komputindo