Download - Step 7 Sken 5 Dewandaru Oke
BAB VII
BERBAGI INFORMASI
1. ALL ABOUT TUBERKULOSIS
a. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (PDPI, 2006; Depkes RI, 2006; Price &
Standridge, 2014).
b. Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian
besar (80%) menyerang organ paru-paru. Mycobacterium tuberculosis termasuk
basil gram positif, berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-
glikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia. Umumnya
Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain
(Depkes RI, 2005).
Gambar 1. Bakteri gram positif Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang
c. Jenis TB
Berdasarkan PDPI (2006) terdapat 2 jenis TB yaitu :
1) TB paru merupakan tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura.
2) TB ekstraparu merupakan tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal,
saluran kencing dan lain-lain.
d. Klasifikasi
Depkes RI (2005) dan PDPI (2006) menyatakan bahwa :
Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi atas :
1) Tuberkulosis paru BTA (+) :
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
2) Tuberkulosis paru BTA (-) :
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis
dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis
Gambar 2. Klasifikasi TB paru berdasar BTA
Berdasarkan tipe pasien TB paru dibagi atas :
1) Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
2) Kasus kambuh (relaps), adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif
tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif/perburukan dan terdapat gejala
klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
- Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll.)
- TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten
menangani kasus tuberkulosis
3) Kasus defaulted atau drop out, adalah pasien yang telah menjalani
pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau
lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
4) Kasus gagal, adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
atau akhir pengobatan
5) Kasus kronik, adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan
pengawasan yang baik
Gambar 3. Klasifikasi TB paru berdasar tipe penerita
6) Kasus Bekas TB:
- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto
serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT
adekuat akan lebih mendukung.
- Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi
e. Patogenesis
PDPI (2006) dan Amin & Bahar (2014) menyatakan bahwa patogenesis
TB ternagi menjadi 2 bagian yaitu :
1) Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana
saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah
satu nasib sebagai berikut :
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c. Menyebar dengan cara :
Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya
bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat
atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan
pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
epituberkulosis.
Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan
Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan
dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis,
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma) atau
- Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis
primer
2) Tuberkulosis Postprimer/Sekunder
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah
tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis
bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan
sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah
kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan.
Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini
ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini
akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
a. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
b. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi
pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang
tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju
dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
c. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi :
- Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan di atas
- Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh,
tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi
kaviti lagi
- Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau
kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya
mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus
dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
Gambar 4. Patogenesis tuberkulosis
f. Patofisiologi
Menurut Werdhani (2009) patofisiologi TB adalah : Penularan TB Paru
terjadi karena kuman mycobacterium tuberculosis. dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat hidup dalam
udara bebas selama kurang lebih 1-2 jam, tergantung pada tidaknya sinar
ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Suasana lembab dan gelap
kuman dapat tahan berhari– hari sampai berbulan–bulan. Bila partikel ini terhisap
oleh orang sehat maka ia akan menempel pada jalan nafas atau paru–paru.
Partikel dapat masuk ke dalam alveolar, bila ukuran vartikel kurang dari 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi terlebih dulu oleh neutropil, kemudian baru
oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan dibersihkan oleh makrofag keluar
dari cabang trakea bronkhial bersama gerakan sillia dengan sekretnya. Bila kuman
menetap di jaringan paru maka ia akan tumbuh dan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.
Kuman yang bersarang ke jaringan paru akan berbentuk sarang
tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau
sarang ghon (fokus). Sarang primer ini dapat terjadi pada semua jaringan paru,
bila menjalar sampai ke pleura maka terjadi efusi pleura. Kuman dapat juga
masuk ke dalam saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit.
Kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar keseluruh organ, seperti
paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke dalam arteri pulmonalis maka terjadi
penjalaran keseluruh bagian paru dan menjadi TB milier.
Sarang primer akan timbul peradangan getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran getah bening hilus (limfangitis
regional). Sarang primer limfangitis lokal serta regional menghasilkan komplek
primer (range). Proses sarang paru ini memakan waktu 3–8 minggu.
g. Manifestasi Klinis
Menurut Depkes RI (2005) dan PDPI (2006) manifestasi klinis
tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1) Gejala respiratorik
Batuk > 2 minggu
Batuk darah
Sesak napas
Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2) Gejala sistemik
Demam
Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun
3) Gejala TB ekstra paru :
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak
napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
Menurut Depkes RI (2005) pada anak-anak gejala TB terbagi 2, yakni gejala
umum dan gejala khusus.
Gejala umum, meliputi :
Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan
tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik.
Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau
infeksi saluran nafas akut) dapat disertai dengan keringat malam.
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, paling sering di
daerah leher, ketiak dan lipatan paha.
Gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lebih dari 30 hari (setelah
disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.
Gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan
pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan
dalam abdomen.
Gejala Khusus, sesuai dengan bagian tubuh yang diserang, misalnya :
TB kulit atau skrofuloderma
TB tulang dan sendi, meliputi :
- Tulang punggung (spondilitis) : gibbus
- Tulang panggul (koksitis): pincang, pembengkakan di pinggul
- Tulang lutut: pincang dan atau bengkak
TB otak dan saraf
- Meningitis dengan gejala kaku kuduk, muntah-muntah dan kesadaran
menurun.
Gejala mata
- Conjunctivitis phlyctenularis
- Tuburkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)
Seorang anak juga patut dicurigai menderita TB apabila :
Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TB BTA positif.
Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG (dalam 3-7 hari).
h. Komplikasi
Menurut Depkes RI (2005) pada penderita TB sering terjadi komplikasi dan
resistensi. Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :
1) Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya
jalan nafas.
2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial
3) Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4) Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan: kolaps
spontan karena kerusakan jaringan paru.
5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal
dan sebagainya.
6) Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
i. Faktor Resiko
Menurut WHO (2008) faktor resiko TB paru adalah :
1) Umur, TB paru dapat terjadi pada semua golongan umur, baik pada bayi atau
anak-anak, orang dewasa maupun manula. Kecenderungan penderita TB
terdapat pada kelompok umur produktif yaitu 15-55 tahun.
2) Jenis kelamin, Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih serig
terkena TB paru dibandingka perempuan. Hal ini terjadi karena aktivitas laki-
laki lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga kemungkinan terpapar
lebih besar pada laki-laki.
3) Pekerjaan, lingkungan kerja mempengaruhi seseorang untuk terserang suatu
penyakit atau tidak. Seseorang yang bekerja pada lingkungan kerja yang buruk
seperti supir, tukang becak, orang yang sering terpapar debu, polusi asap, dan
lain-lain lebih gampang untuk terkena TB paru dibandingkan dengan orang
yang sehari-hari beerja di kantor.
4) Sosial Ekonomi, Masyarakat dari golongan sosial ekonomi lemah lebih sering
terinfeksi TB paru. Keadaan kemiskinan mengarah kepada perumahan yang
terlampau padat dan kondisi kerja yang buruk serta terjadinya malnutrisi dapat
menurunkan daya tahan tubuh, sehingga mudah tertular oleh penyakit.
5) Status Gizi, Keadaan malnutrisi dapat mempengaruhi daya tahan tubuh
sehingga akan menurunkan resistensi terhadap berbagai penyakit termasuk
TB paru.
6) Faktor toksik, merokok dan banyak minum alkohol dapat menurunkan daya
tahan tubuh. Selain itu, obat-obatan kortikosteroid dan imunosupresan juga
dapat menurunkan kekebalan tubuh.
7) Penyakit lain, seperti adanya kuman TB yang dormant, AIDS.
j. Diagnosis
1) Anamnesis
Keluhan pasien dengan batuk berdahak ≥ 2 minggu. Batuk disertai dahak,
dapat bercampur darah atau batuk darah. Keluhan dapat disertai sesak napas,
nyeri dada atau pleuritic chest pain (bila disertai radang pleura), badan lemah,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam tanpa
kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari 1 bulan (Permenkes RI No.5, 2014).
2) Pemeriksaan Fisik
Amin & Bahar (2014) menyatakan bahwa pemeriksaan pertama terhadap
keadaan umum pasien mungkin ditemukan :
Konjungtiva mata
Kulit yang pucat karena anemia
Suhu demam (pada umumnya subfebris, walaupun bisa juga tinggi sekali)
Badan kurus atau berat badan menurun (BMI pada umumnya <18,5).
Respirasi meningkat
Menurut PDPI (2006) dan Permenkes RI No.5. (2014) pada pemeriksaan
fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior
(S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan
auskultasi terdengar suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah di
apex paru, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan
mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold
abscess”
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologik
Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS) :
- Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Pagi ( keesokan harinya)
- Sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)
Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar/BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukan dengan cara : (1) mikroskopik; dan (2) biakan
a. Pemeriksaan Mikroskopik
- Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
- Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya
untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah :
- 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ® BTA positif
- 1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA 3 kali, kemudian
- bila 1 kali positif, 2 kali negatif ® BTA positif
- bila 3 kali negatif ® BTA negatif
Gambar 5. Mycobacterium tuberculosis dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen pembesaran 1.000 kali
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) :
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
b. Pemeriksaan biakan kuman:
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah
dengan cara: (1) Egg base media : Lowenstein-Jensen (dianjurkan),
Ogawa, Kudoh; (2) Agar base media : Middle brook.
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan
dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium
other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat
digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan,
menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan
cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul
b. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :
Fibrotik
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) :
Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologi luluh
paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru.
Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologi tersebut.
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti
proses penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di
atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak
dijumpai kaviti
Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.
c. Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara
konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru
yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
Pemeriksaan BACTEC, Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan
BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme
asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi
growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu
alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan
diagnosis dan melakukan uji kepekaan. Bentuk lain teknik ini adalah
dengan menggunakan Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT).
Polymerase chain reaction (PCR), Pemeriksaan PCR adalah teknologi
canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis.
Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati
masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan
PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang
pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai
standar internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan
data lain tidak ada yang menunjang ke arah diagnosis TB, maka hasil
tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB Pada
pemeriksaan deteksi M.tuberculosis tersebut diatas, bahan/spesimen
pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstraparu sesuai dengan
organ yang terlibat.
Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda antara lain :
- Enzym linked immunosorbent assay (ELISA), Teknik ini merupakan
salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons humoral berupa
proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini
antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang
cukup lama.
- Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji
serologi untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji
ICT merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen
spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis,
diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan
dalam bentuk 4 garis melintang pada membran munokromatografik (2
antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol.
Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan
warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen.
Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis,
maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis
warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada
membran.
- Mycodot, Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini
kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum
tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang
memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan
warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah.
- Uji peroksidase anti peroksidase (PAP), Uji ini merupakan salah satu
jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi. Dalam
menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi
harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar
antibodi yang terdeteksi.
- Uji serologi yang baru/IgG TB, Uji IgG adalah salah satu
pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi antibodi IgG dengan
antigen spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis. Uji IgG
berdasarkan antigen mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16
kDa dan kombinasi lainnya akan menberikan tingkat sensitiviti dan
spesifisiti yang dapat diterima untuk diagnosis. Di luar negeri, metode
imunodiagnosis ini lebih sering digunakan untuk mendiagnosis TB
ekstraparu, tetapi tidak cukup baik untuk diagnosis TB pada anak. Saat
ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis.
d. Pemeriksaan Peninjang lain
Analisis Cairan Pleura, Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta
cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu
menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung
diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat,
serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah.
Pemeriksaan histopatologi jaringan, Pemeriksaan histopatologi dilakukan
untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan
ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui
biopsi atau otopsi, yaitu :
- Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
- Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan
Veen Silverman)
- Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan
bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru
terbuka).
- Otopsi, Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu
sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium
mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk
pemeriksaan histologi.
Pemeriksaan darah, Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan
indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam
pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien.
LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang
normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
Uji tuberkulin, Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi
tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji
tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang
dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau
apabila kepositivan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan
infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
Gambar 6. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa
k. Penatalaksanaan
Menurut PDPI (2006) Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase
intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan
terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
OAT harus diberikan dalam bentuk
kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai
dengn kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan
dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan
obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment)
oleh seorang pengawas menelan obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap,
yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pengobatan tuberculosis bertujuan untuk
menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, dan
menurunkan tingkat penularan. Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2
fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Panduan
obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
1) Tahap awal (intensif)
Pada tahapintensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat
Bila pengobatan tahap intensif tersebutdiberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan
2) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
Panduan OAT yang digunakan di Indonesia
WHO dan IUATLD (Internacional UnionAgaints Tuberculosis and
LungDiseases) merekomendasikanpaduan OAT standar, yaitu :
1) Kategori−1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H),Rifampicin (R), Pirazinamid (Z)
dan Ethambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2
bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri
Isoniazid (H) dan Rifampicin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu
selama 4 bulan ( 4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
i. Penderita baru TB Paru BTA positif
ii. Penderita TB Paru BTA negatif Rontagen positif yang “Sakit Berat”
iii. Penderita TB Ekstra Paru Berat
2) Kategori−2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan
Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan
suntikan streptomicin setiap hari, lanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H),
Rifampicin (R), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E) setiap hari. Setelah itu
diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat ini diberikan untuk :
i. Penderita kambuh (relaps)
ii. Penderita Gagal (failure)
iii. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
3) Kategori−3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap 2 bulan (2HRZ)
diteruskan dengan tahap terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3x
seminggu (4H3R3)
Obat ini diberikan untuk :
i. Penderita baru BTA negatif dan rontagen positif sakit ringan
ii. Penderita ekstra paru ringan yaitu TB kelenjar limfe (limfadenitis),
pleuritis eksudatif unilateral, TB kulit, TB tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
4) OAT Sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan kategori 1 atau kategori 2,
hasil pemeriksaan dahak masih tetep BTA positif, diberikan obat sisipan
(HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
Terdapat juga obat TB untuk kategori anak : 2HRZ/4HR. Paduan OAT
kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam
bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan
ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket kombipak adalah paket obat
lepas yang terdiri dari Isoniazid,Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang
dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT
Obat Dosis
(Mg/Kg
BB/Hari)
Dosis yg dianjurkan Dosis
Maks (mg)
Dosis (mg) / berat badan (kg)
Harian (mg/ kgBB / hari)
Intermitten (mg/Kg/BB/kali)
< 40 40-60
>60
R 8-12 10 10 600 300 450 600H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 7501000
1500
E 15-20 15 30 7501000
1500
S 15-18 15 15 1000Sesuai BB
7501000
Tabel 2. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap
Fase intensif Fase lanjutan 2 bulan 4 bulanBB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu RHZE
150/75/400/275
RHZ
150/75/400
RHZ
150/150/500
RH
150/75
RH
150/15030-37
38-54
55-70
>71
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
Tabel 3. Ringkasan Panduan Obat
Kategori
Kasus Paduan obat yang diajurkan
Keterangan
I - TB paru BTA +, 2 RHZE / 4 RH atau
BTA - , lesi luas
2 RHZE / 6 HE
*2RHZE / 4R3H3 II - Kambuh
- Gagal pengobatan
-RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES / 1RHZE / 5 RHE
-3-6 kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin / 15-18 ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE
Bila streptomisin alergi, dapat diganti kanamisin
II - TB paru putus berobat
Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama berhenti minum obat dan keadaan klinis, bakteriologi dan radiologi saat ini (lihat uraiannya) atau
*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3
III -TB paru BTA neg. lesi minimal
2 RHZE / 4 RH atau
6 RHE atau
*2RHZE /4 R3H3
IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) + obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan)
IV - MDR TB
Sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau H seumur hidup
l. Prognosis
Prognosis umumnya baik jika infeksi terbatas di paru, kecuali jika infeksi
disebabkan oleh strain resisten obat atau pasien berusia lanjut dengan debilitas
atau mengalami gangguan kekebalan yang beresiko tinggi menderita tuberkulosis
milier (Permenkes RI No.5, 2014).
2. ALL ABOUT BRONKIEKTASIS
a. Definisi
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi
(ektasis) dan distorsi bromkus local yang bersifat patologis dan berjalan kronik,
persisten atau irreversible. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-
perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis, otot-
otot polos bronkus, tulang rawan dan pembuluh-pembuluh darah. Bronkus yang
terkena umumnya adalah bronkus kecil sedangkan bronkus besar umumnya jarang
(Rahmatullah, 2014).
b. Etiologi
Menurut Rahmatullah (2014) penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih
belum diketahui dengan jelas. Pada kenyataannya kasus-kasus bronkiektasis dapat
timbul secara kongenital maupun didapat.
Kelainan kongenital, Dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak individu masih
dalam kandungan. Faktor genetic atau faktor pertumbuhan dan perkembangan
fetus memegang peran penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital mempunyai
ciri sebagai berikut. Pertama, bronkiektasis mengenai hamper seluruh cabang
bronkus pada satu atau kedua paru. Kedua, bronkiektasis kongenital sering
menyertai penyakit-penyakit kongenital lainnya, misalnya: Mucoviscidosis
(Cystic pulmonary fibrosis), sindrom Kartagener (bronkiektasi kongenital,
sinusitis, paranasal dan situs inversus), hipo atau agamaglobulinemia,
bronkiektasis pada anak kembar satu telur (anak yang satu dengan bronkiektasis,
ternyata saudara kembarnya juga bronkiektasis), bronkiektasis sering bersamaan
dengan kongenital berikut : tidak adanya tulang rawan bronkus, penyakit jantung
bawaan, kifoskoliosis bawaan.
Kelainan didapat, Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan
kebanyakan merupakan akibat proses berikut : (1) Infeksi, bronkiektasis sering
terjadi sesudah seseorang anak menderita pneumonia yang sering kambuh dan
berlangsung lama. Pneumonia ini umumnya merupakan komplikasi pertussis
maupun influenza yang diderita semasa anak, tuberculosis paru, dan sebagainya.
(2) Obstruksi bronkus, Obstruksi bronkus yang dimaksudkan disini dapat
disebabkan oleh berbagai macam sebab : korpus alienum, karsinoma bronkus atau
tekanan dari luar lainnya terhadap bronkus.
Menurut peneitian para ahli diketahui bahwa adanya infeksi ataupun obstruksi
bronkus tidak selalu nyata (automatis) menimbulkan bronkiektasis. Oleh
karenanya diduga mungkin masih ada faktor intrinsic (yang sampai sekarang
belum diketahui) ikut berperan terhadap timbulnya bronkiektasis.
c. Patogenesis
Pathogenesis bronkiektasis tergantung faktor penyebabnya. Apabila
bronkiektasis timbul kongenital, patogenesisnya tidak diketahui, diduga erat
hubungannya dengan faktor genetic serta faktor pertumbuhan dan perkembangan
fetus dalam kandungan. Pada bronkiektasis yang didapat, patogenesisnya diduga
melalui beberapa mekanisme.
Ada beberapa faktor yang di duga ikut berperan antara lain :
Faktor obstruksi bronkus
Faktor infeksi pada bronkus atau paru
Faktor adanya beberapa penyakit tertentu seperti fibrosis paru, asthmatic
pulmonary eosinophilia dan
Faktor intrinsic dalam bronkus atau paru Permulaannya didahului adanya
faktor infeksi bacterial
Mula-mula karena adanya infeksi pada bronkus atau paru, kemudian timbul
bronkiektasis. Mekanisme kejadiannya sangat rumit. Secara ringkas dapat
dikatakan pada infeksi pada bronkus atau paru, akan diikuti proses destruksi
dinding bronkus daerah infeksi dan kemudian timbul bronkiektasis. Permulaannya
didahului adanya obstruksi bronkus Adanya obstruksi bronkus oleh beberapa
penyebab (misalnya tuberculosis kelenjar limfe pada anak; karsinoma bronkus,
korpus alienum dalam bronkus) akan diikuti terbentuknya
bronkiektsis. Pada bagian distal obstruksi biasanya akan terjadi infeksi dan
destruksi bronkus, kemudian terjadi bronkiektasis.
Pada bronkiektasis didapat, pada keadaaan yang amat jarang, dapat terjadi
atau timbul sesudah masuknya bahan kimia kororsif (biasanya bahan hidrokarbon)
ke dalam saluran napas, dan karena terjadinya aspirasi berulang bahan/cairan
lambung kedalam paru. Seperti diketahui, bronkiektasis merupakan penyakit paru
yang mengenai bronkus dan sifatnya kronik. Keluhan-keluhan yang timbul juga
berlangsung kronik dan menetap. Keluhan-keluhan yang timbul berhubungan erat
dengan :
Luas atau banyaknya bronkus yang terkena
Tingkat beratnya penyakit
Adanya akibat lanjut bronkiektasis atau komplikasi dan sebagainya.
Kerusakan dinding bronkus berupa dilatasi dan distorsi dinding bronkus,
kerusakan elemen elastis, tulang rawan otot-otot polos, mukosa dan silia,
kerusakan tersebut akan menimbulkan stasis sputum, gangguan epkspektorasi,
gangguan reflek batuk dan sesak napas.
Mengenai infeksi dan hubungannya dengan patogeneisis bronkiektasis,
dapat dijelaskan sebagai berikut : Infeksi pertama (primer) Kecuali pada bentuk
bronkiektasis kongenital, tiap bronkiektasis kejadiannya didahului oleh infeksi
bronkus (bronchitis) maupun jaringan paru (pneumonia), masih menjadi
pertanyaan apakah infeksi yang mendahului terjadinya bronkiektasis tersebut
disebabkan oleh bakteri atau virus.
Menurut hasil penelitian para ahli terdahulu ditemukan bahwa infeksi yang
mendahului bronkiektasis adalah infeksi bacterial yaitu mikroorganisme penyebab
pneumonia atau bronchitis yang mendahuluinya. Dikatakan bahwa hanya infeksi
bakteri saja yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding bronkus sehingga
terjadi bronkiektasis sedangkan infeksi virus tidak dapat. Boleh jadi bahwa
pneumonia atau brobkitis yang mendahului bronkiektasis tadi didahului oleh
infeksi virus (misalnya adenovirus tipe 21, virus influenza, campak dan
sebagainya). Infeksi sekunder Tiap pasien bronkiektasis tidak selalu disertai
infeksi sekunder pada lesi (daerah bronkiektasis). Secara bronkiektasis bersifat
mukoid dan putih jernih, menandakan tidak atau belum ada infeksi sekunder.
Sebaliknya apabila sputum pasien yang semula berwarna putih jernih kemudian
berubah warnanya menjadi kuning atau kehijauan atau berbau busuk berarti telah
terjadi infeksi sekunder.
Untuk menentukan jenis kumannya bias dilakukan pemeriksaan
mikrobiologis. Sputum, berbau busuk menandakan adanya infeksi sekunder oleh
kuman anaerob. Contoh kuman anaerob ini misalnya: Fusifornis fusiformis,
Treponema vincenti, anaerobic streptococci dan sebagainya. Kuman-kuman aerob
yang sering ditemukan dan menginfeksibronkiektasis misalnya : Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenza, Klebsiella ozaena dan sebagainya.
d. Gejala klinis
Rahmatullah (2014) menyatakan bahwa gejala dan tanda klinis yang
timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas dan beratnya penyakit,
lokasi kelainannya da nada atau tidaknya komplikasi lanjut. Ciri khas penyakit ini
adalah batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptysis dan pneumonia
berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pada penyakit
yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan.
Bronkiektasis yang mengenai bronkus pada lobus atas sering dan menimbulkan
gejala.
1) Batuk, Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif
berlangsung kronik dan frekuensi mirip seperti bronchitis kronik, jumlah
sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak teruama pada pagi hari
sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun dari tidur. Kalau tidak ada
infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedang apabila terjadi infeksi sekunder
sputumnya purulent, dan dapat memebrikan bau mulut yang tidak sedap.
Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob, akan menimbulkan
sputum sangat berbau bususk. Pada kasus yang ringan, pasien dapat tanoa
batuk atau hanya timbul batuk apabila ada infeksi sekunder. Pada kasus yang
sudah berat, misalnya pada saccular type bronkhlectesis, sputum jumlahnya
banyak sekali, purulent, dan apabila ditampung beberapa lama, tampak
terpisah menjadi tiga bagian : a). lapisan teratas agak keruh terdiri atas
mucus; b). lapisan tengah jernih terdiri atas saliva dan c). lapisan terbawah
keruh terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkusyang rusak.
2) Hemoptysis, Hemoptisis terjadi kira-kira pada50% kasus bronkiektasis.
Kelainan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai
pembuluh darah dan timbul perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi,
mulai yang paling ringan sampai perdarahan yang cukup
banyak yaitu apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat hebat atau terjadi
nekrosis yang mengenai cabang arteri bronkialis. Pada dry bronchiectasis,
hemoptysis justru merupakan gejala satu-satunya karena bronkiektasis jenis
ini letaknya di lobus atas paru, drainasenya baik, sputum tidak pernah
menumpuk dan kurang menimblukan refleks batuk. Pasien tanpa batuk atau
batuknya minimal. Dapat diambil pelajaran bahwa apabila ditemukan kasus
hemoptysis hebat tanpa adanya gejala gejala-gejala batuk sebelumnya atau
tanpa kelaian fisis yang jelas hendaknya diingat dry bronchiectasis ini.
Hemoptysis pada bronkiektasis walaupun kadang-kadang hebat jarang fatal.
Pada tuberculosis paru, bronkiektasis ini merupakan penyebab utama
komplikasi hemoptysis.
3) Sesak napas (dyspnea), Pada sebagian besar pasien ditemukan keluha sesak
napas. Timbul dan beratnya sesak napas tergantung pada seberapa luasnya
bronchitis kronik yang terjadi serta seberapa jauh timbulnya kolaps paru dan
destruksi jaringan paru yang terjadi sebagai akibat infeksi berulang (ISPA),
yang biasanya menimbulkan fibrosis paru dan emfisema yang menimbulkan
sesak napas tadi. Kadang-kadang ditemukan pula suara mengi (wheezing)
akbit adanya obstruksi bronkus. Wheezing dapat local atau tersebut pada
distribusi kelainnya.
4) Demam berulang, Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik,
sering mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru sehingga
sering timbul demam (demam berulang).
e. Kelainan fisis
Tanda fisis umum yang dapat ditemukan pada penderita bronkiektasis
meliputi sianosis, jari tabuh. Pada kasus yang berat dan lanjut dapat ditemukan
tanda-tanda kor pulmonal kronik maupun payah jantung kanan. Pada pemeriksaan
fisik paru, kelainannya harus dicari ditempat-tempat predisposisi. Pada
bronkiektasis biasanya ditemukan ronki basah yang jelas pada lobus bawah paru
yang terkena dan keadaannya menetap dari waktu kewaktu, atau ronki basah ini
hilang sesudah pasien mengalami drainase postural dan timbul lagi diwaktu yang
lain. Apabila bagian paru yang diserang amat luas serta kerusakannya hebat, dapat
menimbulkan terjadinya retraksi dinding dada dan berkurangnya gerakan pada
daerah yang terkena.
1) Bronkolitiasis, Kelainan ini merupakan kalsifikasi kelenjar limfe yang
biasanya merupakan gejala sisa kompleks primer tuberkulosis paru primer.
Kelainan ini bukan merupakan tanda klinis bronkiektasis. Kelainan ini sering
mengakibatkan erosi bronkus di dekatnya dan dapat masuk ke dalam bronkus
menimbulkan sumbatan dan infeksi, selanjutnya terjadilah bronkiektasis.
Erosi dinding bronkus oleh bronkolit tadi dapat mengenai pembuluh darah
disitu dan dapat merupakan penyebab timbulnya hemoptisis berat.
2) Sindrom Kartagener, sindrom ini terdiri dari gejala-gejala berikut : (1)
bronkiektasis kongenital, sering disertai dengan silia bronkus imotil; (2) situs
inversus atau pembalikan organ-organ dalam; (3) sinusitis paranasal atau
tidak terdapatnya sinus frontalis.
f. Komplikasi
Menurut Rahmatullah (2014) ada beberapa komplikasi yang dapat dijumpai
yaitu :
Bronkitis kronik
Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis
Pleuritis, komplikasi ini dapat timbul bersamaan dengan timbulnya
pneumonia.
Efusi pleura atau empisema (jarang)
Abses metastasis di otak
Hemoptisis, terjadi karena pecahnya pembuluh darah cabang vena, cabang
arteri atau anastomosis pembuluh darah.
Sinusitis
Kor pulmonal kronik
Kegagalan pernapasan
Amiloidosis, keadaan ini merupakan perubahan degeneratif sebagai
komplikasi klasik yang jarang terjadi.
g. Pengobatan
Pengobatan pasien bronkiektasis terdiri dari 2 kelompok yaitu pengobatan
konservatif dan pengobatan pembedahan (Rahmatullah, 2014).
Gambar 7. Skema pengobatan bronkiektasis
1) Pengobatan konservatif
Pengelolaan umum, Ditujukan terhadap semua pasien bronkiektasis dengan
cara menciptakan lingkungan yang baik dan tepat dan dengan memperbaiki
drainase sekret bronkus.
Pengelolaan khusus, yaitu : (1) Dilakukan kemoterapi pada pasien
bronkiektasis yang dapat dilakukan secara kontinyu untuk mengontrol
infeksi bronkus (ISPA), untuk pengobatan eksaserbasi infeksi akut pada
bronkus atau paru atau bahkan keduanya. Kemoterapi disini menggunakan
antibiotik tertentu; (2) Drainase sekret dengan bronkoskop dan dengan
pengobatan simtomatik.
Pengobatan simtomatik, Bisa dengan memberikan pengobatan obstruksi
bronkus, pengobatan hipoksia, pengobatan hemoptisis, dan pengobatan
demam.
2) Pengobatan pembedahan
Tujuan pembedahan yakni untuk mengangkat (reseksi) segmen atau lobus paru
yang terkena (terdapat bronkiektasis).
Indikasi pembedahan :
Pasien bronkiektasis yang terbatas dan resektabel, yang tidak berespon
terhadap tindakan-tindakan konserfativ yang adekuat. Pasien perlu
dipertimbangkan untuk operasi.
Pasien bronkiektasis yang terbatas, tetapi sering mengalami infeksi berulang
atau hemoptisis yang berasal dari daerah tersebut. Pasien dengan hemoptisis
masif seperti ini mutlak perlu tindakan operasi.
Kontraindikasi :
Pasien bronkiektasis dengan PPOK
Pasien bronkiektasis berat
Pasien bronkiektasis dengan komplikasi korpulmonal kronik dekompensata.
3. BIOPSI JARUM HALUS
a. Definisi
Menurut Firat & Guney (2002) biopsi aspirasi jarum halus atau Fine
Needle Aspiration Biopsy (FNAB) merupakan suatu metode atau tindakan
pengambilan sebagian jaringan tubuh manusia atau cairan dengan suatu alat
aspirator berupa jarum suntik yang bertujuan untuk membantu diagnosis pasti
suatu lesi khususnya yang dicurigai sebagai suatu keganasan Biasanya cara ini
dilakukan dengan bius lokal (hanya area sekitar jarum). Bisa dilakukan secara
langsung atau dibantu dengan radiologi seperti CT scan atau USG sebagai
panduan untuk membuat jarum mencapai massa atau lokasi yang diinginkan, jika
tidak dapat dengan mudah dirasakan.
Gambar 8. Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB)
b. Tujuan
1) Preoperatif biopsi aspirasi pada tumor sangkaan maligna operable. Tujuannya
adalah untuk diagnosis dan menentukan pola tindakan bedah selanjutnya.
2) Maligna inoperable. Biopsi aspirasi merupakan diagnosis konfirmatif.
3) Diagnosis konfirmatif tumor "rekuren" dan metastasis.
4) Membedakan tumor kistik, solid dan peradangan.
5) Mengambil spesimen untuk kultur dan penelitian
c. Indikasi
Pada hampir semua tumor dapat dilakukan biopsi aspirasi, baik yang letaknya
superfisial palpable ataupun tumor yang terletak di dalam rongga tubuh
unpalpable dengan indikasi :
1) Lesi yang menetap lebih dari 2 minggu tanpa diketahui penyebabnya
2) Ulserasi yang menetap tidak menunjukkan tanda tanda kesembuhan sampai 3
minggu
3) Setiap penonjolan yang dicurigai sebagai suatu neoplasma
4) Lesi tulang yang tidak diidentifikasi setelah pemeriksaan klinis dan radiologis
5) Lesi hiperkeratotik yang menetap
Gambar 9. Benjolan pada KGB
d) Kontra Indikasi
1) Infeksi pada lokasi yang akan dibiopsi (relatif)
2) Gangguan faal hemostasis berat (relatif)
3) Biopsi diluar daerah yang direncanakan akan dieksisi saat operasi
d) Diagnosis sitologik
Astowo (2012) menyatakan bahwa penggunaan biopsi aspirasi dalam diagnosis
tumor mempunyai dampak yang menguntungkan baik ditinjau dari segi
menejemen tumor, pelayanan onkologik rumah sakit maupun bagi pasien.Namun
harus disadari bahwa jangkauan sitologi biopsi aspirasi sangat terbatas yang dapat
terjadi pada keadaan dimana luasnya invasi tumor tidak dapat ditentukan, subtipe
kanker tidak selalu dapat diidentifikasi, dan dapat terjadi negatif palsu. Diagnosis
sitologik dengan menggunakan FNAB mempunyai nilai klinik antara lain :
1) Sitologi positif/Positif Maligna : Merupakan petunjuk untuk melakukan
tindakan lebih lanjut antara lain survei metastasis, menentukan stadium,
memilih alat diagnostik lain bila diperlukan dan mendiskusikan pola
pengobatan.
2) Sitologi negatif atau kelainan jinak : Belum dapat menyingkirkan adanya
kanker; perlu dipikirkan kemungkinan negative palsu. Negatif palsu dapat
terjadi karena kesalahan teknis, sehingga sejumlah sel tumor tidak terdapat
pada sediaan. Bila terdapat perbedaan sitologi dan data klinik, alternatif
tindakan terbaik adalah biopsi bedah; akan tetapi, pada kasus sitologi negatif
dengan spesifikasi kelainan dan cocok dengan gambaran klinik, maka pola
pengobatan dapat ditentukan.
3) Sitologi suspek/mencurigakan maligna : Mungkin memerlukan pemeriksaan
lain sebelum pengobatan antara lain pemeriksaan potongan bekuataupun
sitologi imprint atau kerokan durante operasionam.
4) Inkonklusif (tidak dapat diinterpretasikan) : Dapat terjadi karena kesalahan
teknik atau karena situasi tumor, misalnya mudah berdarah, reaksi jaringan
ikat banyak atau tumor terlalu kecil, sehingga sulit memperoleh sel tumor.
Dalam praktek, sitologi inkonklusif meningkatkan negatif palsu.
e) Prosedur Biopsi Aspirasi Jarum halus
1) Penderita :
Jelaskan tindakan yang akan dilakukan
Inform consent
2) Alat :
Jarum 25g
Betadine sol
Semprit 20 ml; 2,5 ml
Kaca obyek secukupnya
Alkohol
Pot besar berisi alkohol 96%
Kasa, kapas
3) Cara Kerja
antisepsis lokasi lesi dengan betadine sol, kemudian dengan kapas alkohol
Lesi/KGB dipegang dengan 2 jari tangan kiri (agar terfiksasi)
Jarum ditusukkan dalam lesi/KGB dengan tangan kanan
Gambar 10. Prosedur biopsi aspirasi jarum halus
f) Keuntungan dan kerugian menggunakan biposi jarum halus
Tabel 4. Keuntungan dan kerugian biopsi aspirasi jarum halus
Keuntungan
Penderita Klinikus Ahli patologi
Murah Peralatan sederhana Dapat pantau
Luka bekas tusukan jarum diberiAntiseptik (betadin) selanjutnyadibungkus kasa steril
perjalanan
penyakit tanpa
biopsy terbuka
Tidak timbulkan bekas Hemat waktu
Tidak nyeri Kemungkinan penyebaran tumor
akibat jarum aspirasi jarang
Cepat pemeriksaanya
Kerugian
Hasil yang didapat sangat sedikit
g) Keakuratan biopsi jarum halus
Menurut Rasi, Susilo & Reksoprawiro (2014) sebanyak 32 pasien yang
dilibatkan dalam penelitian, tingkat akurasi diagnostic keseluruhan diagnostik
sitology biopsy jarum halus pada tumor sebesar 85,7% terbukti akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Z. & Bahar, A. (2014). Tuberkulosis Paru In. S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. (pp.863-872). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.
Astowo, P. (2012). Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB). Jakarta : Division of Interventional Pulmonology & Respiratory Critical Care Department of Pulmonology & Respiratory Medicine Faculty of Medicine, University of Indonesia/Persahabatan Hospital.
Depkes RI. (2005). Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. (2006). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Firat, M. & Guney, E (2002). The value of fine needle aspiration biopsy in the management of thyroid nodules. Turkish Journal of Endocrinology and Metabolism, 6, 345-350.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2006). Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Permenkes RI No.5. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 5 Tahun 2014, Tentang Panduan Praktik Klinia Bagi Dokter Di Fasiiltas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Price, S.A. & Standridge, M.P. (2014). Tuberkulosis Paru. In. S.A. Price and L.M.
Wilson (Eds.). Patofisologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. (pp. 832-864). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rahmatullah, P. (2014). Bronkiektasis. In. S. Setiati, I.Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi dan A.F. Syam (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. (pp.1682-1689). Jakarta : Penerbit Interna Publishing.
Rasi, A. P., Susilo, D.H. & Reksoprawiro, S. (2014). Biopsi Aspirasi Jarum Halus. Surabaya : Divisi Bedah Kepala dan Leher, Departemen Bedah Fakultas kedokteran Universitas Airlangga/ Rumah Sakit dr. Soetomo.
Werdhani, R.A. (2009). Patofisiologi, Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Ilmu Kedokteran, Komunitas, Okupasi dan Keluarga FK Universitas Indonesia