Download - Stilistika Al Qur'an
1
STILISTIKA AL-QUR’AN
Revisi makalah disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Studi al-Qur’an
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Sihabuddin Qolyubi, Lc. M.A.
Oleh:
Nur Nissa Nettiyawati
13.2041.0213
KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
2
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai salah satu pedoman hidup bagi orang-orang Islam,
menjadi sesuatu yang penting untuk diketahui oleh setiap orang Islam. Karena
dengan begitu, mereka akan mengetahui konsep ke-Islam-an secara benar. Cara
penyampaian al-Qur’an yang unik menuntut para mufassir untuk menjelaskan
segala sesuatu yang ada di dalamnya. Para mufassir tidak sembarangan dalam
menafsirkan sebuah teks al-Qur’an. Karena menurut al-Jahiz, al-Qur’an
merupakan media komunikasi antara Tuhan dan manusia, sehingga terdapat
hubungan yang dinamis antara pembaca dengan al-Qur’an1. Oleh sebab itu,
penafsiran al-Qur’an dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Bagaimana
mungkin hubungan antara manusia dengan Tuhannya bisa terjalin baik, sedangkan
media komunikasinya tidak difahami secara benar?.
Pemahaman yang benar terhadap al-Qur’an sangat diperlukan adanya.
Dengan begitu sebuah kajian mengenai al-Qur’an banyak bermunculan. Salah satu
kajian terhadap al-Qur’an adalah stilistika al-Qur’an, bisa disebut juga dengan
uslub al-Qur’an. Kajian stilistika mengedepankan kajiannya terhadap tata bahasa
sebuah teks. Dengan kata lain, stilistika al-Qur’an membahas mengenai tata
bahasa al-Qur’an dan apa saja yang berhubungan dengan teks al-Qur’an tersebut.
Bagaimana makna yang diinginkan, bagaimana hukum yang dituju, bagaimana
perintah yang wajib, sunah dan hal-hal lain yang ada.
Pada pembahasan kali ini, kami mencoba menjelaskan mengenai stilistika
al-Qur’an, yang lebih rinci lagi bahasan kami adalah: pengertian stilistika al-
Qur’an, yang juga disebut uslub al-Qur’an. Kemudian ranah kajian stilistika al-
Qur’an beserta beberapa contoh yang kami maksudkan untuk menambah
pemahaman pembaca terhadap materi yang kami sampaikan.
1 Akhmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an, Gaya Bahasa al-Qur’an dalam Konteks Komunikasi,
UIN-Malang Press, Malang, 2009, hlm. 38.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Stilistika
Kita pasti sering mendengar mengenai istilah style, yang mempunyai arti
‘gaya’. Dalam linguistik terdapat satu kajian yang objeknya adalah style, yaitu
stailistika. Kajian ini memfokuskan kajian terhadap gaya bahasa2. Sedangkan
style adalah cara penggunaan bahasa dari seseorang dalam konteks tertentu
dan untuk tujuan tertentu3. Kata style diturunkan dari bahasa Latin, yang
berarti stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin4. Dalam
penggunaan alat tersebut dibutuhkan keahlian, karena akan mempengaruhi
jelas dan tidaknya suatu tulisan pada lempengan tersebut. Pengertian tersebut
terus berkembang hingga pemaknaan tersebut pada artian, ‘penulisan yang
indah’ atau juga ‘keindahan dalam mempergunakan kata-kata’5.
Walaupun kata style berasal dari bahasa Latin, tetapi orang-orang Yunani
sudah mengembangkan teori-teori mengenai style itu sendiri. Terdapat dua
paham terkenal yang membincangkan perihal teori istilah style tersebut.
Pertama, paham ini terkenal dengan sebuatan paham Platonic, yang
mengatakan bahwa style adalah kualitas suatu ungkapan. Karena itu, bagi
paham ini kemungkinan adanya style dalam satu ungkapan bisa ada dan bisa
juga tidak. Semua bergantung pada kualitas ungkapan tersebut. Paham yang
kedua terkenal dengan sebutan Aristoteles. Paham ini beranggapan bahwa
2 Akhmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an, Gaya Bahasa al-Qur’an dalam Konteks
Komunikasi, UIN-Malang Press, Malang, 2009, hlm. 9. 3 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an, Titian
Ilahi Press, Yogyakarta, 1997, hlm. 27. 4 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hlm.
112. 5 Akhmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an, Gaya Bahasa al-Qur’an dalam Konteks
Komunikasi, UIN-Malang Press, Malang, 2009, hlm. 9.
4
style adalah kualitas yang inhern dalam suatu ungkapan. Karena itu, setiap
karya pasti mengandung style, hanya kualitasnya yang berbeda6.
Style atau gaya bahasa menjadi bagian dari diksi atau pilihan kata yang
mempersoalkan cocok dan tidaknya pemakaian suatu kata, frase atau klausa
tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. karena itu, persoalan gaya bahasa
meliputi semua hirarki kebahasaan mulai dari pilihan kata secara individual,
frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara
keseluruhan. Malahan, nada yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk
pula persoalan gaya bahasa.
Pengertian diksi bukan saja berfokus dalam pemilihan kata-kata yang
dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi
persoalan fraseologi, gaya bahasa dan ungkapan. Menurut Gorys Keraf
terdapat tiga kesimpulan utama mengenai diksi. Pertama, diksi mencakup
pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan;
bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat, atau
menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling
baik digunakan dalam situasi. Kedua, diksi adalah kemampuan membedakan
secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan
kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai
rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ketiga, diksi yang tepat
dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata
atau perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud
perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang
dimiliki oleh bahasa7.
6 Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, Muhammadiyah University, Surakarta, 2001, hlm.
26. 7 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hlm.
24.
5
B. Ranah Kajian Stilistika al-Qur’an
Stilistika mengkaji seluruh fenomena bahasa mulai dari fonologi (bunyi
bahasa) hingga semantik (makna dan arti bahasa)8. Tetapi pada umumnya
kajian stilistika dibatasi pada teks tertentu, dengan memperhatikan preferensi
kata atau struktur bahasa, mengamati hubungan antar pilihan kata tersebut
untuk mengidentifikasi ciri-ciri stilistika yang ada, seperti sintaksis (tipe
struktur kalimat), leksikal (diksi, penggunaan kelas kata tertentu), retoris atau
deviasi (penyimpangan dari kaidah umum tata bahasa)9.
Pengertian stilistika al-Qur’an tidaklah berbeda dengan pengertian
stilistika pada umumnya, yaitu ilmu yang menyelidiki bahasa yang digunakan
dalam al-Qur’an. Dengan begitu, ranah kajian stilistika al-Qur’an pun sama.
Dengan mengutip pendapat M.H. Ibrams, Khafaji mengatakan, bahwa
karakteristik kajian stilistika di antaranya adalah persoalan-persoalan yang
terkait dengan sawtiyah (fonologi), jumliyah (macam-macam struktur
kalimat), mu’jamiyah (leksikologi), dan balaghiyah (seperti penggunaan
bahasa metaphor, hipalase, mitonimi, dengan sebagainya)10
.
Pendapat lain mengenai karakteristik uslub al-Qur’an diungkapkan oleh
Wahbah al-Zuhaili diantaranya: pertama, susunan kalimatnya indah, berirama,
dan bersajak yang mengagumkan sehingga dapat membedakan dengan
ungkapan-ungkapan lainnya, baik dalam bentuk syair, prosa maupun pidato.
Kedua, pemilihan lafadz, struktur, dan ungkapannya yang indah. Ketiga,
kelembutan suara di dalam menyusun huruf. Keempat, kesesuaian lafadz dan
makna11
.
8 Syukri Muhammad ‘Ayyad, Madkhal ila ‘ilmil Uslub, Darul ‘Ulum, Riyad, 1982, hlm.
48. 9 Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1993, hlm.
14. 10
Muhammad ‘Abd Munim, dkk, al-Uslubiyah wa al-Bayan al-‘Arabi, al-Dar al-
Misriyah al-Lubnaniyah, Beirut, 1992, hlm 14. 11
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir di al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-Manhaj, Juz
I, Dar al-Fikr, Damaskus, 2005, hlm. 35.
6
Bagi al-Zarqani, karena al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat manusia,
maka karakteristik uslub al-Qur’an meliputi: 1) keindahan aspek fonologinya,
2) memuaskan kalangan tertentu dan orang-orang awam, 3) memuaskan akal
dan rasa, 4) keindahan susunan al-Qur’an dan hukum yang dikandungnya, 5)
keindahan dalam memalingkan ungkapan dan kaya dalam variasinya, 6)
ungkapan al-Qur’an adakalanya bersifat global dan terinci, dan 7) kesesuaian
lafadz dan makna12
.
Menurut al-Jahiz, al-Qur’an merupakan media komunikasi antara Tuhan
dan manusia, sehingga terdapat hubungan yang dinamis antara pembaca
dengan al-Qur’an. Karena itu, dalam studi stilistikanya al-Jahiz lebih
menekankan pada aspek-aspek makna bahasa (semantik), masalah sinonim
(mutaradif), prinsip penghematan kata (i’jaz), dan makna bahasa dalam
struktur kalimat (sintagmatik)13
.
Berdasarkan pendapat-pendapat yang membicarakan perihal ranah kajian
stilistika al-Qur’an, maka dapat diambil kesimpulan bahwa obyek atau ranah
kajian stilistika al-Qur’an meliputi: 1) al-aswat (fonologi), 2) ikhtiyar al-lafz
(preferensi kata), 3) ikhtiyar al-jumlah (preferensi kalimat), 4) al-inhiraf
(deviasi), yang maisng-masing mempunyai pengaruh terhadap makna yang
ditimbulkan14
. Sebagaimana dijelaskan Qalyubi, ranah kajian stilistika al-
Qur’an tidak berbeda dengan kajian stilistika dalam dunia sastra, diantaranya
adalah: 1) Fonologi, seperti bunyi bahasa dan efek makna yang ditimbulkan,
2) Preferensi kata, seperti sinonim, homonym dan lain-lain, 3) preferensi
kalimat, seperti kalimat tanpa menyebut pelaku, pengulangan kalimat dalam
surat yang lain, dan seterusnya, 4) Deviasi, seperti penggunaan alladhi, huwa,
dan Allah dalam rangkaian ayat, termasuk iltifat karena gaya bahasa ini
memberikan kegunaan makna.
12
Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
Maktabah Dar al-Turath, Kairo, 2004, hlm. 446. 13
Akhmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an, Gaya Bahasa al-Qur’an dalam Konteks
Komunikasi, UIN-Malang Press, Malang, 2009, hlm. 38. 14
Ibid, hlm. 39.
7
1. Al-Aswat (Fonologi)
Fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis,
dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa. Secara etimologis,
fonologi terbentuk dari kata fon yang berarti bunyi yang menjadi obyek
studinya, fonologi dibedakan menjadi dua. Pertama, fonetik adalah cabang
fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah
bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau
tidak. Kedua, fonemik adalah cabang fonologi yang mempelajari bunyi
bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda
makna15
.
Pemilihan huruf dalam al-Qur’an dan penggabungan antar konsonan
dan vocal adalah sangat serasi sekali16
. Seperti yang disampaikan Quraish
Shihab dengan merujuk argumen Marmaduke Pichthall, bahwa al-Qur’an
mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya
bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita. Hal ini
disebabkan oleh huruf dari kata-kata yang dipilih melahirkan keserasian
bunyi dan kemudian kumpulan kata-kata itu melahirkan keserasian irama
dalam rangkaian kalimat ayat-ayatnya. Misalnya dalam surat an-Nazi’at
ayat 1-5:
Menurut al-Zarqani, yang dimaksud dengan keserasian dalam tata
bunyi al-Qur’an adalah keserasian dalam pengaturan harakah (tanda baca
seperti a, i dan u), sukun (tanda baca mati), mad (tanda baca yang
15 Abdul Chaer, Linguitik Umum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 102.
16 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an, Titian
Ilahi Press, Yogyakarta, 1997, hlm.39
8
menimbulkan bunyi panjang) dan ghunnah (nasal), sehingga enak untuk
didengar dan diresap dalam jiwa yang itu tidak mungkin tertandingi oleh
ungkapan-ungkapan lain, semisal puisi atau prosa17
. Keserasian bunyi
pada akhir ayat, selain ragam bunyi di atas juga dapat dikelompokkan
menjadi tiga. Pertama, pengulangan bunyi huruf yang sama, seperti
pengulangan huruf ha’ yang berfungsi sebagai obyek, dan tata sebelumnya
berbentuk verba perfektum (fi’il madi). Kedua, pengulangan bunyi lafadz,
seperti pengulangan kata dakka dan saffa pada surat al-Fajr ayat 21 dan
22, dan pengulangan kata ahad pada ayat 25 dan 26. Ketiga, pengulangan
bunyi lafadz yang berhimpitan, seperti bunyi tumisat, furijat, uqqitat,
ujjilat dalm surat al-Mursalat ayat 8-1218
.
Dampak fonologi terhadap perubahan makna dapat dikemukakan,
misalnya, tambahan huruf hamzah di awal kata bisa merubah makna dari
intransitif menjadi transitif (al-ta’diyah), seperti kata karuma (mulya),
kemudian ditambah hamzah menjadi akrama (memulyakan). Begitu juga
dengan pengulangan ‘ain fi’il, yang salah satu fungsinya memiliki
perubahan makna berupa pengulangan, seperti kassara (memecah-mecah),
qatta’a (memotong-motong), dan sebagainya19
.
2. Ikhtiyar al-Laf (Preferensi Kata)
Pembahasan mengenai pemilihan kata berikut ini hanya dibatasi pada
persoalan: 1) taraduf kata yang berdekatan maknanya, 2) musytarak al-lafz
(polisemi), 3) addad (kata yang berlawanan maknanya), 4) mu’arrobah
(kata asing yang diserap dalam al-Qur’an) dan 5) muqtada al-hal (kata
yang sesuai dengan konteks lawan bicara)20
.
17
Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Dar
Ihya’ al-Kutub al-‘Ilmiyah, Bairut, 2004, hlm. 446. 18
Akhmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an, Gaya Bahasa al-Qur’an dalam Konteks
Komunikasi, UIN-Malang Press, Malang, 2009, hlm. 42. 19
Ahmad bin Muhammad bin Ahmad al-Hamlawi, Shaz al-‘Urf fi Fann al-Sarf, Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 1315 H, hlm. 45. 20
Akhmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an, Gaya Bahasa al-Qur’an dalam Konteks
Komunikasi, UIN-Malang Press, Malang, 2009, hlm. 47.
9
a. Kata yang Berdekatan Maknanya
Dalam kajian bahasa Arab, istilah taraduf atau sinonim untuk
menyebut kata yang berdekatan maknanya masih diperdebatkan,
karena itu dalam tulisan ini tidak menggunakan istilah tersebut.
Sibawaih, seperti yang dikutip Ibn Jinni, mendefinisikan taraduf
adalah ta’adi al-amthilah wa talaqi al-ma’ani (lafaz-lafaz yang
berbeda, tapi maknanya memiliki titik pertemuan). Misalnya kata
khaliqah, sajiyah, tabi’ah, gharizah dan saliqah (tabiat). Al-Fakhr al-
Razi mendefinisikan taraduf adalah lafaz-lafaz menunjukkan pada
sesuatu tertentu dengan satu ungkapan. Dengan demikian, kata saif dan
sarim tidak bisa disebut taraduf, karena kata saif menunjukkan pada
benda fisiknya, sedangkan kata sarim menunjukkan sifatnya21
.
Dalam persoalan ini, para linguis modern mengelompokkan kata
yang berdekatan maknanya pada istilah taraduf dan ashbah taraduf,
diantaranya: 1) al-taraduf al-kamil (complete synonymy), 2) shibh al-
tatraduf (near synonymy), 3) al-taqarub al-dalali (semantic relation),
4) istilzam (entailment), dan 5) al-jumal al-mutaradifah
(parapharase). Setiap kata yang bersinonim akan memiliki kata yang
tetap dan berbeda dari yang lain. Dengan kata lain, selama kata-kata
itu memiliki suara-suara yang berbeda, maka dapat dipastikan juga
memiliki makna yang berbeda. Karena itu, dalam setiap bahasa
persoalan taraduf atau sinonim yang hakiki tidak diketemukan22
.
Dalam buku Maqal al-Insan, al-Shati’ mengurai penggunaan kata
nas, insan, dan bashar yang dalam bahasa Indonesia berarti manusia.
Melalui analisis sastranya, ia memaparkan sesuangguhnya kata-kata
tersebut memiliki implikasi makna yang berbeda, nas dan bashar
21
Akhmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an, Gaya Bahasa al-Qur’an dalam Konteks
Komunikasi, UIN-Malang Press, Malang, 2009, hlm. 48. 22
Ibid, hlm. 49.
10
menunjuk manusia dalam pengertian jasad biologis, sementara kata
insan yang dikehendaki adalah manusia sebagai makhluk sosial.
Jalaludin Rahmat berpendapat, kata bashar yang disebut sebanyak 27
kali dalam al-Qur’an, memberikan referensi kepada manusia sebagai
makhluk biologis.
Acuan pendapat di atas dapat dibaca dalam surat Ali ‘Imran ayat
47, surat al-Kahf ayat 110, surat Fussilat ayat 6, surat al-Furqan ayat 7
dan 20, surat Yusuf ayat 31. Konsep bashar selalu dihubungkan
dengan sifat-sifat biologis manusia, seperti makan, minum, seks, dan
berjalan di pasar. Sementara insan, yang disebut sebanyak 65 kali,
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, pertama, insan
dihubungkan dengan konsep manusia sebagai khalifah atau pemikul
amanah, kedua, insan dihubungkan dengan presdiposisi negatif
manusia, dan ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan
manusia. Semua konteks insane menunjuk pada sifat-sifat psikologi
atau spiritual23
.
b. Musytarak al-Laf (Polisemi)
Al-Suyuti berkata, ulama’ usul fiqh mendefinisikan mushtarak al-
lafz adalah suatu kata yang mempunyai dua makna berbeda atau
lebih24
. Dalam karyanya al-Itqan, ia mengatakan, musytarak al-lafz
merupakan salah satu kei’jazan al-Qur’an, bahkan ia menganggap
sebagai i’jaz al-Qur’an yang paling agung. Beberapa pakar linguis
Arab, seperti al-Mubarrad dalam karyanya kitab Ma Ittafaqa Lafzuhu
wa Ikhtalafa Ma’nahu min al-Qur’an al-Karim, mengkaji tentang
qadiyah musytarak al-lafz dalam al-Qur’an. Abi ‘Ubaid al-Qasim bin
Salam dalam karyanya, “Kitab al-Ajnas min Kalam al-Arab wa Ma
23
Jalaludin Rakhmat, Konsep-konsep Antropologis dalam Budhy Munawar Rachman
(Ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1994,
hlm. 75 24
Ahmad ‘Umar Mukhtar, ‘Ilm al-Dilalah, Maktabah Dara al-‘Arubah li an-Nashr wa al-
Tawzi, Kuwait, 1982, hlm. 158.
11
Ishtabaha fi al-Lafz wa Ikhtalafa fi al-Ma’na” membahas tentang
Musytarak al-Lafz yang ada dalam hadis. Dari hasil penelitiannya, ia
menemukan kurang lebih sebanyak 150 kata yang mengandung dua
makna berbeda atau lebih. Berikut merupakan contoh musytarak al-
Lafz, surat al-Ahzab ayat 56:
Arti kata yusallun kalau dari Allah berarti memberi rahmat, bila
dari Malaikat berarti meminta ampunan, dan kalau dari orang-orang
mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan perkataan
Allahumma salli ‘ala Muhammad. Karena ketiga arti tersebut dapat
digabungkan, maka ketiga-tiganya dapat dipergunakan sebagai makna
dari kata yusallun.
Selain contoh di atas juga kami paparkan contoh lain, surat al-
Ma’idah ayat 38:
Kata yad di atas, mengandung tiga kemungkinan makna, yaitu
hasta, telapak tangan sampai siku, dan telapak tangan. Akan tetapi,
perbuatan Rasulullah menunjukkan bahwa tangan yang dimaksud
dalam ayat tersebut adalah menurut arti yang terakhir, yaitu telapak
tangan yang kanan. Perbuatan Rasul ini menjadi suatu qarinah,
12
sehingga walaupun kata yad adalah musytarak, namun makna yang
dikehendaki sangat jelas25
.
c. Al-Addad
Kata al-Addad dalam pembahasan ini bukanlah dua kata yang
berdekatan ucapannya dan berbeda pula maknanya (antonim), seperti
pendek lawannya panjang, melainkan satu kata yang mempunyai dua
makna yang berbeda. Walaupun ada sebagian yang menolak pendapat
ini, tetapi para linguis Arab yang pernah menulis di antaranya, Ibn al-
Anbari, al-Asma’i, Abu Hatim, Ibn Sikkit, al-Saghani, Qutrub, dan
lainnya26
. Abu Hatim al-Sijistani memberikan contoh yang termasuk
al-Addad dalam al-Qur’an. Kata zan dalam al-Qur’an mempunyai dua
makna, yaitu yakin (yaqin) dna ragu (shakk). Kata zan mempunyai
makna yakin seperti yang ada dalam surat al-Haqqah ayat 20:
“Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan
menemui hisab terhadap diriku.”
Sedangkan kata zan yang bermakna ragu dapat ditemukan dalam
surat al-Jathiyah ayat 32:
25
Muhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, al-
Ma’arif, Bandung, 1986, hlm. 257. 26
Ahmad ‘Umar Mukhtar, ‘Ilm al-Dilalah, Maktabah Dara al-‘Arubah li an-Nashr wa al-
Tawzi, Kuwait, 1982, hlm. 192.
13
“Dan apabila dikatakan (kepadamu), sesungguhnya janji Allah itu
adalah benar dan hari berbangkit itu tidak ada keraguan padanya,
niscaya kamu menjawab, kami tidak tahu, apakah hari kiamat itu, kami
sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali
tidak meyakini(nya).”
d. Al-Mu’arrobah
Para ulama berbeda pendapat mengenai ada atau tidak adanya
mu’arrobah ialah kata asing yang diserap ke dalam bahasa Arab di
dalam al-Qur’an27
. Sebagian mereka menolak berdasarkan al-Qur’an
surat Yusuf ayat 2 dan surat Taha ayat 113:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”
“Dan demikianlah Kami menurunkan al-Qur’an dalam bahasa
Arab”
Berbeda dengan pendapat al-Suyuti, bangsa Arab telah lama
menyerap beberapa kata asing di dalam karya-karya mereka. Proses
asimilasi bahasa ini dilakukan dengan cara menggabungkan kata-kata
asing ke dalam kata-kata yang telah ada, lalu dirubah atau dikurangi
27
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an, Titian
Ilahi Press, Yogyakarta, 1997, hlm 52.
14
hurufnya, kemudian kata tersebut dipergunakan dalam puisi dan
percakapan sehari-hari, sehingga menjadi bahasa Arab yang fasih28
.
Dalam konteks bahasa Arab seperti itulah al-Qur’an kemudian
diturunkan29
.
Al-Ragib al-Asfihani menyebutkan, dalam al-Qur’an ada dua kata
mu’arrobah, yaitu kata jahannam dan sijjil, al-Zamakhshari
berpendapat, dalam al-Qur’an hanya ada satu kata yang mu’arrobah,
yaitu kata sijjil, sedangkan Muhammad ‘Abduh, ia mengatakan
terdapat dua kata asing di dalam al-Qur’an yaitu kata zarabiy dan
sinin. Berbeda dengan Mahmud Ahmad Najlah, seperti yang dikutip
Qalyubi, ia menduga ada dua puluh kata yang patut dilakukan
penelitian lebih lanjut, di antaranya kata abba, ara’ik, asatir, akwab,
jannah, jahannam, zarabiy, safilin, sijjil, sijjin, siraj, sinin, shaitan,
tuwa, ‘illiyyun, gassaq, qalam, kuwwirat, marqum, misk, musaitir,
nawariq, dan yahur30
.
Adanya perbedaan di kalangan para ulama menentukan lafal-lafal
mu’arrobah dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa lafal-lafal tersebut
sudah menyatu dan dapat ditemukan akar lafalnya dalam bahasa Arab,
sehingga sulit diketahui apakah suatu lafal itu mu’arobbah atau bukan.
Dan pendapat yang dikemukakan dalam kitab al-Itqan di atas
menrupakan penyelesaian yang dapat diterima akal31
.
e. Muqtada al-Hal
Muqtada al-Hal adalah pemilihan lafaz yang sesuai dengan makna
yang dikehendaki dalam konteks tertentu. al-Muqtada juga disebut al-
29 Abdurrahman Jalaluddin Suyuthi Abu Bakr, Al Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, Cairo, hlm.
167 30
Mahmud Ahmad Najlah, Lughah al-Qur’an fi Juz ‘Amma, Darun-Nahdhoh al-
‘Arabiyyah, Beirut, 1981, hlm.188-190 31
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an,
Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1997, hlm 53.
15
‘itibar al-munasib (ungkapan yang sesuai), yaitu gaya bahasa yang
digunakan untuk menyampaikan sebuah ungkapan32
. Semisal dalam
surat Maryam, Zakariyah dilukiskan sebagai orang tua-renta yang
sudah lemah dan penuh uban, namun ia tetap berdo’a kepada Allah
agar diberi keturunan33
.
“Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang
lembut. Ia berkata "Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah lemah
dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa
dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku. Dan Sesungguhnya aku
khawatir terhadap mawaliku[898] sepeninggalku, sedang isteriku
adalah seorang yang mandul, Maka anugerahilah aku dari sisi
Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi
sebahagian keluarga Ya'qub; dan Jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang
yang diridhai".
Untuk menggambarkan kondisi Zakariyah yang sudah tua renta, al-
Qur’an menggunakan kata wahana al-‘azmu minni (tulangku telah
32
Umar bin ‘Alawi bin Abi Bakar al-Kaf, al-Balaghah: al-Ma’ani, al-Bayan, al-Badi’,
Dar al-Minhaj, Beirut, 2006, hlm. 18. 33
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an,
Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1997, hlm 54
16
lemah), selanjutnya Zakariyah yang sudah tua juga diilustrasikan
dengan ungkapan wa ‘ishta’ala al-ra’su shaiba, Jika lafal syaiba
dipindah letak menjadi wasyta’alasy syaibu fir-ro’si maka akan
mengandung makna lain. Letak lafal syaiba pada kalimat pertama
mengandung makna “uban itu telah memenuhi kepala”. Lafal syaiba
dalam kalimat ke dua mengandung makna “uban itu ada di kepala”,
mungkin dibagian depan atau belakang. Dalam pengertian bahwa uban
itu menyebar secara perlahan dan akhirnya memenuhi seluruh
kepala34
.
3. Ikhtiyar al-Jumlah (Preferensi Kalimat)
Ikhtiyar al-Jumlah yang dimaksud adalah bentuk atau ragam kalimat
yang dipergunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan, sekaligus
mempunyai pengaruh terhadap makna yang dikemukakan. Dalam
perspektif balaghah, khususnya bidang kajian ma’ani ada banyak alasan
mengapa musnad ilaih (mubtada’, fa’il, na’ib al-fa’il, isim kana, dan
seterusnya) tidak disebutkan.
Diantara sebabnya karena terdapat qarinah, merahasiakan sesuatu
kepada lawan bicara, karena telah diketahui, karena terbatasnya waktu,
menguji kapasitas intelektual pendengar, dan seterusnya35
. Misalnya
menyebut kata kerja tanpa disertai pelakunya sebagaimana dalam surat al-
Ma’arij ayat 19:
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”
34
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an,
Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1997, hlm 54. 35
Ahmad alhasimi, Jawahir al-Balaghah fi al-Ma’ani wa al-Bayan wa al-Badi’,
Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, Jakarta, 1960, hal. 120
17
Pada ayat di atas verba “khuliqa” tidak disebutkan pelakunya, hanya
berupa kata ganti (huwa) yang berkedudukan sebagai pengganti fa’il,
(na’ib al-fa’il) asalnya adalah khalaqallah al-insana halu’a (Allah
menciptakan manusia dalam keadaan keluh kesah lagi kikir). Kemudian
pelaku “Allah” tidak disebutkan karena telah maklumi, bahwa yang
menciptakan manusia adalah Allah.
Adanya kalimat-kalimat yang beragam tersebut memberikan pengaruh
yang positif kepada pembaca, diantaranya pembaca tidak merasa jenuh.
Bisa dibayangkan bagaimana jika al-Qur’an hanya menggunakan lafal
amara untuk semua pesan perintahnya, niscaya akan dijumpai ratusan lafal
tersebut36
.
4. al-Inhiraf (Deviasi)
Secara etimologis, deviasi adalah penyimpangan ragam atau struktur
bahasa37
. Penggunaan Pengaruh atau efek yang ditimbulkan dari deviasi
ini adalah munculnya variasi struktur kalimat sehingga kalimat-kalimat itu
terasa baru dan tidak menjemukan. Dan dari variasi struktur kalimatnya
berpengaruh kepada makna yang dikandung, seperti yang terdapat dalam
surat al-Syu’ara’ ayat 78-82:
36
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an,
Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1997, hlm 58 37
Akhmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an, Gaya Bahasa al-Qur’an dalam Konteks
Komunikasi, UIN-Malang Press, Malang, 2009, hlm 71
18
“(Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan Aku, Maka Dialah yang
menunjuki Aku, dan Tuhanku, yang Dia memberi Makan dan minum
kepadaKu, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku, dan
yang akan mematikan Aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali),
dan yang Amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari
kiamat".38
Pada ayat 78, 79 dimulai dengan lafal alladzi, pada awal ayat 80
dimulai dengan lafal wa idza, namun ayat 81, 82 dimulai lagi dengan lafal
alladzi. Disamping itu, fa’il (pelaku verba) dalam ayat 78, 79, 81, 82
adalah Allah, sedangkan fa’il pada ayat 80 adalah orang pertama tunggal
(saya). Tentunya jika diikutkan ke alur ayat 78, 79, 81, 82, maka ayat 80
akan berbunyi walladzi amrodhoni. Pada ayat-ayat itu pun ada deviasi
pemanfaatan pronominal hua (Dia). Lafal-lafal yahdin, yut’imuni wa
yasqin, dan yasyfin didahului dengan pronominal hua, sedangkan lafal
yumituni dan yuhyin tanpa didahului pronominal tersebut39
.
38
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an,
Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1997, hlm 60 39
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an: Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an, Titian Ilahi
Press, Yogyakarta, 1997, hlm 60.
19
BAB III
KESIMPULAN
1. Stilistika merupakan kajian yang menyelidiki seluruh fenomena bahasa
mulai dari tataran fonologi hingga persoalan semantic.
2. Stilistika al-Qur’an yaitu ilmu yang menyelidiki bahasa yang
digunakan dalam al-Qur’an.
3. Obyek atau ranah kajian stilistika al-Qur’an meliputi: a) al-aswat
(fonologi), b) ikhtiyar al-lafz (preferensi kata), c) ikhtiyar al-jumlah
(preferensi kalimat), d) al-inhiraf (deviasi), yang maisng-masing
mempunyai pengaruh terhadap makna yang ditimbulkan.
5. Al-Aswat (Fonologi) adalah bidang linguistik yang mempelajari,
menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa.
6. Ikhtiyar al-Lafz (Preferensi Kata) dibatasi dengan persoalan: a) taraduf
kata yang berdekatan maknanya, b) musytarak al-lafz (polisemi), c)
addad (kata yang berlawanan maknanya), d) mu’arrobah (kata asing
yang diserap dalam al-Qur’an) dan e) muqtada al-hal (kata yang sesuai
dengan konteks lawan bicara)
7. Ikhtiyar al-Jumlah (Preferensi Kalimat) adalah bentuk atau ragam
kalimat yang dipergunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan.
8. al-Inhiraf (Deviasi) adalah penyimpangan ragam atau struktur bahasa
yang bertujuan untuk menimbulkan kesegaran dan ketidakjenuhan
pembaca.
20
DAFTAR PUSTAKA
‘Ayyad, Syukri Muhammad. 1982. Madkhal ila ‘ilmil Uslub, Riyad : Darul ‘ulum.
Abd Munim, Muhammad., dkk. al-Uslubiyah wa al-Bayan al-‘Arabi. Beirut: al-
Dar al-Misriyah al-Lubnaniyah.
al-Hamlawi, Ahmad bin Muhammad bin Ahmad. 1315 H. Shaz al-‘Urf fi Fann al-
Sarf. Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Al-Hashimi, Ahmad. 1960. Jawahir al-Balaghah al-Ma’ani wal al-Bayan wa al-
Badi’. Jakarta: Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah.
Al-Kaf, ‘Umar bin ‘Alawi bin Abi Bakar. 2006. Al-Balaghah: al-Ma’ani, al-
Bayan, al-Badi’. Beirut: Dar al-Minhaj.
al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Azim. 2004. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-
Qur’an. Kairo: Maktabah Dar al-Turath.
al-Zuhaili, Wahbah. 2005. al-Tafsir al-Munir di al-‘Aqidah wa al-Shari’ah wa al-
Manhaj, Juz I. Damaskus: Dar al-Fikr, Damaskus.
Chaer, Abdul. 1994. Linguitik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University.
Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Najlah, Mahmud Ahmad, 1981, Lugah al-Qur’an fi juz ‘’Amma, Darun-Nahdhoh
al-‘Arabiyyah, Beirut
Mukhtar, Ahmad ‘Umar. 1982. ‘Ilm al-Dilalah. Kuwait: Maktabah Dara al-
‘Arubah li an-Nashr wa al-Tawzi.
Muzakki, Akhmad. 2009. Stilistika al-Qur’an, Gaya Bahasa al-Qur’an dalam
Konteks Komunikasi. Malang: UIN-Malang Press.
Qalyubi, Syihabuddin. 1997. Stilistika al-Qur’an: Pengantar Orientasi Studi al-
Qur’an. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman Abu Bakr, tanpa tahun, Al-Itqan fi ‘Ulumil-
Qur’an, Cairo.
21
Rahmat, Jalaludin. 1994. ,Konsep-konsep Antropologis . Dalam Budhy
Munawar Rachman (Ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta,
Yayasan Wakaf Paramadina.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Yahya, Muhtar dan Fatchurrahman. 1986. Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islami. Bandung: al-Ma’arif.