Download - Tafsir Tarbiyah - Kepribadian
MAKALAH
K E P R I B A D I A N
Tugas Mata Kuliah Tafsir Tarbiyah
Dosen: Mimin Mintarsih, S.Th.I
Disusun Oleh:
Eka Lusiandani Koncara
Semester 6 Jurusan Pendidikan Agama Islam STAI DR. KHEZ. MUTTAQIEN - PURWAKARTA
2007/2008
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, akhirnya penyusun dapat menyelesaikan makalah
“KEPRIBADIAN” ini yang menjadi salah satu tugas yang harus dipenuhi
di semester 6 STAI Dr. KHEZ. Muttaqien – Purwakarta.
Tafsir Tarbiyah merupakan salah satu mata kuliah yang wajib
ditempuh di Jurusan Pendidikan Agama Islam yang membahas tafsir Al-
Qur‟an yang berkenaan dengan bidang pendidikan.
Sesuai dengan mata kuliahnya, makalah ini membahas tentang
bagaimana Al-Qur‟an mengulas kepribadian manusia serta korelasinya
dalam dunia pendidikan. Kami haturkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Purwakarta, April 2008
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI ...................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Kepribadian ............................................................................ 1
B. Manusia, dengan Segala Fenomenanya .................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................... 5
A. Manusia dalam Al-Qur‟an ........................................................ 5
1. QS. At-Taubah 9 : 71-72 ..................................................... 5
2. QS. Al-Baqarah 2 : 6-19 ...................................................... 5
B. Penjelasan dan Ibrah .............................................................. 7
BAB III PENUTUP ............................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 11
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Kepribadian
Setiap manusia yang diciptakan Allah SWT, memiliki kepribadian
yang berbeda pada setiap individunya. Kepribadian merupakan sifat
mendasar yang terdapat pada diri manusia, baik di dalam hati, jiwa,
perilaku, ataupun fisik. Kepribadian terbentuk dari pembawaan manusia
itu sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Al-Qur‟an menggambarkan kepribadian manusia sebagai berikut:
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan
manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa 4:28)
“Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia
berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-
gesa.” (QS. Al-Israa 17:11)
“Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan
orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan
orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah
kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka
tidakkah kamu mengambil pelajaran (daripada perbandingan
itu)?” (QS. Hud 11:24)
2
Banyak juga teori yang mengklasifikasikan kepribadian seseorang
menurut dasar keilmuannya masing-masing.
Hippocrates-Galenus mengklasifikasikan kepribadian sebagai
berikut:
1. Choleris, bersifat penuh semangat dan berdaya juang tinggi.
2. Melanholis, bersifat mudah kecewa dan berdaya juang rendah.
3. Phlegmatis, bersifat tenang dan tidak mudah dipengaruhi.
4. Sanguinis, bersifat ramah tetapi mudah berganti haluan.
Sigaud berpendapat bahwa kepribadian manusia secara fisik
terbagi atas:
1. Muskuler; memiliki fungsi dominan motorik.
2. Respiratoris; memiliki fungsi dominan pernafasan.
3. Digestif; memiliki fungsi dominan pada bagian pencernaan.
4. Cerebral; memiliki fungsi dominan pada bagian saraf dan pikiran.
Sheldon menggambarkan kepribadian ini terdiri atas komponen-
komponen, yaitu:
1. Kejasmanian
2. Temperamen
3. Psikiatris
Plato membedakan adanya tiga bagian jiwa yang menjadi
penopang suatu kepribadian, yaitu:
1. Pikiran (logos)
2. Kemauan (thumos)
3. Hasrat (epithumid)
Intinya kepribadian manusia bukan hanya jiwa, tetapi merupakan
perpaduan antara hati, sifat, pikiran, fisik, yang kemudian membentuk
perilaku tertentu, yang terpengaruh oleh keadaan genetikal bawaan sejak
lahir serta lingkungan sekitarnya.
3
B. Manusia, dengan Segala Fenomenanya
Manusia adalah makhluk paling mulia yang tercipta di muka bumi
ini, karena manusia diciptakan lengkap dengan hati dan akalnya serta
komponen-komponen lainnya yang tidak dianugerahkan kepada makhluk
lainnya. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan kehidupannya,
manusia bisa saja menempati posisi paling hina di antara segenap
makhluk Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang terjerumus ke lembah
kekafiran dan kemunafiqan, yang buta dan tuli terhadap setiap kabar dan
perintah Allah melalui rasul-Nya. Mereka menjadi terhina karena
meninggalkan akal sehat dan fithrahnya sebagai manusia dalam mencari
kebenaran.
Secara sistematis, manusia dapat memperlihatkan kepribadiannya
dengan hati, lisan, dan perilakunya. Sebagaimana seorang mu‟min yang
harus dapat membuktikan keimanannya dengan mantasdikkan dengan
hatinya, mengucapkan dengan lisannya, serta menerapkan dengan
perilakunya.
Sa‟id Hawwa menyebutkan empat unsur yang membentuk
kepribadian manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan yang lain.
Mereka adalah hati, ruh, nafsu, dan akal.
Hati di sini bukanlah hati yang terdapat di rongga dada yang dapat
ditangkap secara inderawi. Hati pada diri manusia adalah rasa ruhaniah
yang halus yang bersifat ghaib yang menjadi tempat untuk keimanan dan
kekufuran, yang menjadi tempat bagi rasa cinta dan rasa benci. Dialah
yang tahu, mengerti, dan paham. Dialah yang mendapat perintah, yang
dicela, yang diberi sanksi, dan yang mendapat hukuman. Hati inilah yang
kemudian mengendalikan seluruh hidup manusia.
Ruh adalah perasaan halus (lathifah) manusia, yang tahu dan
mengerti. Sedikit sekali manusia yang mengetahui tentang ruh ini,
sebagaimana firman Allah:
4
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:
„Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit‟.” (QS. Al-Isra 17:85)
Nafsu adalah jiwa manusia dan hakikatnya. Tetapi, nafsu bisa
berwujud multidimensi tergantung pada keadaannya. Nafsu atau jiwa bisa
menjadi terpuji atau bahkan sebaliknya. Bila dikendalikan dengan baik,
maka akan menjadi jiwa yang tenteram (an-nafsul muthma‟inah). Tetapi
bila jiwa diserahkan kepada syetan, maka akan menjadi jiwa yang
menyerah (an-nafsul ammarah bissu‟).
Akal adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu. Akal ini bertempat
dalam hati, bahkan ada yang berpendapat bahwa akal adalah hati. Akal
adalah sifat orang berilmu, adakalanya juga dimaksudkan sebagai tempat
terhimpunnya pengetahuan.
Manusia dengan predikat makhluk Allah yang paling sempurna,
berpotensi untuk berkepribadian baik atau bahkan sangat baik, serta
berkepribadian buruk atau bahkan sangat buruk. Kepribadian bersifat
dinamis kadang panas kadang dingin, kadang tenang kadang resah,
kadang tinggi kadang rendah, bisa beriman bisa juga menjadi kufur. Sifat
baik tidak akan selalu baik selamanya, begitu pun sebaliknya. Tetapi,
segala bentuk kepribadian manusia, meski bersifat dinamis, ia tetap dapat
dijaga untuk tetap stabil. Sebagaimana manusia yang menjaga
keimanannya dengan segala kenikmatannya, atau yang keukeuh dengan
kekufurannya dengan segala siksaannya.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Manusia dalam Al-Qur’an
1. QS. At-Taubah 9 : 71-72
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.
2. QS. Al-Baqarah 2 : 6-19
6
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup, dan bagi mereka siksa yang amat berat. Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, "padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan. "Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman. Mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, Sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu. Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman". Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok." Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat
7
dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati, dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.
B. Penjelasan dan Ibrah
QS. At-Taubah ayat 71-72 serta QS. Al-Baqarah ayat 6-19
menjelaskan bagaimana kepribadian dan keadaan orang-orang bertaqwa,
orang-orang kafir, dan orang-orang munafiq. Ketiga macam kepribadian
manusia inilah yang menurut Al-Qur‟an mengisi kehidupan di bumi ini.
Orang bertaqwa, yang kemudian disebut “muttaqin”, memiliki sifat
“taqwa”, yaitu orang-orang yang menjadi penolong bagi sebagian yang
lain, menyuruh mengerjakan yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. Dalam Tafsir Al-Maraghi disebutkan bahwa kata “muttaqin”
berasal dari mashdar “ittiqa”, yaitu hal yang menjadikan tameng sebagai
penghalang antara dirinya dengan orang yang akan mencelakakannya.
Muttaqin adalah orang yang mengambil manfaat dari nur Al-Qur‟an
sekaligus memetik kandungannya, selalu berusaha mencari pertolongan
serta kekuatan untuk melaksanakan hukum-hukum Al-Qur‟an. Mereka
peka terhadap hidayah Allah dan berkemauan untuk menerima cahaya
kebenaran.
Intinya, muttaqin ialah orang-orang yang hati, ucapan, dan
perilakunya senantiasa mengejar ridho Allah serta menjauhi siksa-Nya.
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang bertaqwa lagi beriman akan
mendapat surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal
di dalamnya dengan ridho Allah dan mendapat tempat yang bagus di
surga 'Adn. Adapun siksa yang harus dihindari terdapat dua macam, yaitu
siksa dunia dan siksa akhirat. Siksa dunia dapat dihindari dengan
pemanfaatan ilmu pengetahuan serta menghindari kekalahan dan putus
asa. Sedangkan siksa akhirat dapat dicegah dengan cara memelihara iman
dengan ikhlas, teguh memegang tauhid, serta beramal saleh.
8
Orang-orang kafir, yang disebut “kafirun”, memiliki sifat “kufur”
yang berarti penutup atau sesuatu yang menyelimuti. Maksudnya ialah
menutupi kenikmatan dengan tidak menyatakan syukur. Kufur juga berarti
mengingkari keesaan dan keberadaan Allah SWT dan rasul-Nya. Di sini
Allah menjelaskan bahwa kesesatan dan penyelewengan yang dilakukan
oleh orang-orang kafir sudah melampaui batas, sehingga akan sia-sia baik
diberi peringatan ataupun tidak, karena Allah menutup penglihatan dan
pendengaran mereka dari kebenaran. Akhirnya, mereka tak mampu lagi
membedakan antara yang bermanfaat dan yang madharat.
Orang-orang kafir merasa bahwa dirinya mengadakan perbaikan
dan kebaikan di muka bumi, padahal tanpa mereka sadari mereka telah
melakukan kerusakan. Mereka juga berpendapat bahwa hanya orang
bodoh yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, padahal merekalah
orang-orang yang bodoh.
Di antara sebab-sebab kekafiran yaitu:
1. Terkadang, mereka ingkar terhadap kebenaran setelah
mengetahui kebenaran itu. Kelompok ini terdiri dari kaum
musyrik dan Yahudi.
2. Terkadang, karena berpaling dari kebenaran dan merasa lebih
tinggi di hadapannya, sehingga tidak mau melihat hakekat
kebenaran itu.
Di antara orang-orang kafir, terdapat segolongan orang yang
disebut munafik, yaitu orang-orang yang beriman hanya di mulut saja
tetapi hatinya ingkar. Mereka ini adalah orang-orang kafir yang paling keji,
sebab di samping kekafirannya mereka juga mengejek, menipu, dan
memalsukan tindakannya. Mereka membeli kesesatan dengan petunjuk,
karena mereka berani menukar petunjuk dengan dusta dan kebohongan
yang sesat.
Allah mengumpamakan mereka seperti orang yang menyalakan api
tetapi Allah menghilangkan cahayanya dan membiarkan mereka dalam
kegelapan. Mereka tetap dalam keadaan buta, tuli, dan bisu, yaitu
9
keadaan kehilangan perasaan dan akal sehat, sehingga mereka tidak akan
kembali ke jalan yang benar. Apalah guna telinga apabila tidak digunakan
untuk mendengarkan nasihat para pemberi fatwa, apalah guna lisan
apabila tidak digunakan untuk mencari kebenaran serta mengungkapkan
hal yang sulit sehingga menjadi mudah, dan apalah gunanya mata apabila
tidak digunakan untuk melihat contoh-contoh yang baik, guna menambah
petunjuk dan pengalaman.
Dijelaskan pula bahwa mereka memiliki rasa takut yang sangat
besar dalam menghadapi kematian, itulah sebabnya orang-orang munafik
ini selalu menghindari medan perang, karena jangankan menghadapi
hunusan pedang di medan perang, mendengar suara petir pun mereka
menutup telinga karena takut mati.
10
BAB III
PENUTUP
Dengan demikian, dari isi QS. At-Taubah ayat 71-72 serta QS. Al-
Baqarah ayat 6-19 dapat kita tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Orang bertaqwa (muttaqin) memiliki kepribadian sebagai berikut:
a. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
b. senantiasa mengejar ridha Allah dan menjauhi siksa-Nya,
c. memelihara iman dengan ikhlas serta memegang teguh tauhid,
d. menyuruh kepada kebaikan, mencegah kepada keburukan, dan
beramal saleh
e. menjadi penolong bagi sebagian yang lain dalam hal kebaikan,
f. berusaha mengambil manfaat sekaligus memetik kandungan Al-
Qur‟an, dan berusaha mencari pertolongan dan kekuatan untuk
melaksanakan hukum Al-Qur‟an,
g. peka terhadap hidayah Allah serta berkemauan untuk menerima
cahaya kebenaran, dan
h. senantiasa menuntut serta mengamalkan ilmu pengetahuan dan
tidak mudah putus asa,
2. Orang kafir (kafirun) dan munafik (munafiqun) memiliki kepribadian
sebagai berikut:
a. Mengingkari keesaan dan keberadaan Allah dan Rasul-Nya,
b. sesat dan menyeleweng dari kebenaran,
c. tidak mampu membedakan manfaat dan madharat,
d. merasa baik serta mengadakan perbaikan dan kebaikan di muka
bumi, padahal sebaliknya,
e. merasa paling benar dan paling pintar, padahal sebaliknya,
f. beriman hanya di mulut saja, tetapi hatinya ingkar,
g. menukar petunjuk dengan dusta dan kebohongan, dan
h. cinta dunia, sehingga mereka sangat takut menghadapi maut.
11
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, 1974, Tafsir Al-Maraghi, Semarang:
Toha Putra
Sugema, Sony, 2004, Digital Qur’an 3.1, http://www.geocities.com/
sonysugema2000/
Suryabrata, Sumadi, 2004, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Zohar & Marshall, 2007, SQ Kecerdasan Spiritual, Bandung: Mizan
Ghulsyani, Mahdi, 2001, Filsafat-Sains menurut Al-Qur’an,
Bandung: Mizan
Hawwa, Sa‟id, 2001, Jalan Ruhani, Bandung: Mizan