Download - tgs assignment
ASSIGNMENT REPORT
BLOK II
“ETIKOLOEGAL DAN MEDIKOLEGAL”
Pembimbing: dr. Rizal Sanif, SpOG (K)
disusun oleh:
Nabila Khairunisah Arinafril4101401976
MEDICAL FACULTY OF SRIWIJAYA UNIVERSITY
2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan assignment blok 2 sebagai tugas
kompetensi individu. Shalawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita,
nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga
akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan assignment ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
perbaikan di masa mendatang.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga laporan
assignment ini bermanfaat tidak hanya untuk penulis tetapi juga untuk orang lain,
dalam perkembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.
Palembang, Oktober 2010
Penulis
Skenario
Nama korban: Reihan Rifki Prananda, 2 tahun, warga Padang
Nama dokter dan rumah sakit yang menangani: Dokter Ishlahuddin dan Rumah
Sakit M. Jamil, Padang
Pada tanggal 1 Februari 2007, seorang anak laki-laki berumur dua tahun,
Reihan Rifki Prananda mendapat deman. Keesokan harinya, sang ibu, Maimurni (42),
membawanya ke dokter Ishlahuddin, yang kliniknya berada tidak jauh dari lokasi
rumah mereka. Dokter Ishlahuddin memiliki papan nama yang menyatakan bahwa ia
berprofesi sebagai dokter tetapi dia tidak menyebutkan nomor ijin prakteknya.
Walaupun demikian, sang ibu memperbolehkan dia untuk memperiksa
anaknya. Selama pemeriksaan medis berlangsung, dokter melakukan diagnosa dan
menyatakan bahwa ia menderita demam biasa. Setelah pemeriksaan selesai, dr.
Ishlahuddin memberikan sejumlah obat untuk jangka waktu seminggu. Yakni: satu
kotak obat jenis sirup Yusimox dan Novagesic dan obat racik/giling.
Seminggu kemudian, sejumlah bercak-bercak merah muncul di sekujur
tubuhnya. Pada tanggal 16 Februari 2007, Reihan kembali dibawa menemui dr.
Ishlahuddin untuk menanyakan kondisi yang dialaminya itu. Namun dia mengatakan
pada Maimurni: "Itu biasa kok. Obatnya sedang bereaksi itu dan tidak ada masalah
sama sekali". Sekali lagi, dia memberikan beberapa obat lagi kepada Reihan. Kali ini
dia memberikan satu botol obat jenis sirup Omemox, satu bedak Caladine, dan obat
racik/giling.
Setelah anak itu mengkonsumsi seluruh obat yang diberikan oleh dokter,
bercak-bercak merah itu masih tetap ada. Pada tanggal 18 Februari, orangtuanya
memutuskan untuk membawanya ke sebuah rumah sakit pemerintah daerah, Rumah
Sakit Jambak di Pasaman Barat. Di sana dia hanya berada selama dua jam untuk
selanjutnya dirujuk ke rumah sakit pemerintah lainnya, Rumah Sakit M. Jamil.
Orangtuanya tidak pernah mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai mengapa
sang anak dirujuk ke rumah sakit lainnya.
Setelah tiba di rumah sakit berikutnya, mereka memberikan infus kepada
Reihan dan dirawat-inap selama lima hari. Pada hari kelima, 22 Februari, sang anak
meminta air mineral kepada ayahnya, Jamaluddin (47) yang menungguinya di rumah
sakit. Jamaluddin kemudian mengkonsultasikan hal ini kepada dokter jaga malam
untk memastikan apakah anaknya dapat meminum air mineral atau tidak. Dokter jaga
malam memperbolehkan Reihan untuk minum. Namun tiba-tiba perut Reihan menjadi
kembung. Dokter kemudian langsung meminta Jamaluddin untuk segera membeli alat
hisap yang memang tidak dimiliki oleh rumah sakit. Tetapi ternyata ketika ia kembali
dengan alat hisap tersebut, dia mendapati anaknya telah tewas.
Sebelum kematian korban, hasil labolatorium medis yang dilakukan RS M.
Jamil terhadapnya, menemukan bahwa darahnya steril dan tidak mengandung kuman.
Sampel darah diambili oleh dokter Cholina, dari rumah sakit yang sama. Laporan
tersebut yang dikeluarkan pada tanggal 25 Februari ditandatangani oleh dokter A.
Aziz Djamal.
Dikarenakan kematian anak mereka yang tidak wajar, Jamaluddin dan
Maimurni kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Kepolisian Resor Pasaman
Barat pada tanggal 7 Maret. Kasus ini, bagaimanapun, tidak menunjukkan
perkembangan yang berarti hingga kini. Pada tanggal 23 Juni, sekalipun Komisaris
Polisi Wisnu, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Sumatera Barat
telah diberitahukan mengenai kasus ini dan juga telah berjanji untuk
menginstruksikan Polres Pasaman Barat untuk segera mengambil langkah cepat,
tetapi tidak ada langkah signifikan yang diambil.
Pada tanggal 24 Juli, Komisaris Polisi Bambang Suharyono, Kepala Saturan
Reserse Kriminal Polre Pasaman Barat, mengeluarkan laporan perkembangan kasus
tetapi tidak ada perkembangan yang berarti sama sekali. Pada tanggal 14 Agustus,
sekali lagi mereka mengeluarkan laporan perkembangan kasus yang isinya sama saja
dengan laporan sebelumnya. Mereka menyebutkan dalam laporannya, bahwa mereka
telah melakukan pemeriksaan terhadap dokter yang telah merawat Reihan secara tidak
tepat, dan juga memeriksa saksi-saksi, tetapi tidak ada langkah yang diambil terhadap
dokter. Kepolisian kemudian tidak melanjutkan penyidikan kasus ini dikarenakan RS
M. Jamil menolak untuk bekerjasama dan mengeluarkan laporan visum et repertum.
I. Identifikasi Masalah
1. Dokter Ishlahuddin memiliki papan nama yang menyatakan bahwa ia
berprofesi sebagai dokter tetapi dia tidak menyebutkan nomor ijin
prakteknya
2. Dokter melakukan diagnosa dan menyatakan bahwa pasien menderita
demam biasa dan memberikan beberapa jenis obat, namun setelah
pengobatan yang diberikannya, justru menimbulkan bercak-bercak
merah disekujur tubuh pasien yang tak kunjung hilang
3. Pasien kemudian dibawa oleh orangtuanya ke rumah sakit pemerintah
daerah, akan tetapi tanpa mendapatkan penjelasan yang memadai,
pasien langsung dirujuk ke rumah sakit pemerintah lain yaitu Rumah
Sakit M. Jamil
4. Dokter jaga malam langsung meminta ayah pasien untuk segera
membeli alat hisap yang memang tidak dimiliki oleh rumah sakit
dikarenakan perut Reihan tiba-tiba kembung setelah mengkonsumsi air
mineral
5. Orangtua pasien melaporkan kejadian tersebut ke Kepolisian Resor
Pasaman Barat namun penyidikan kasus ini tidak dilanjutkan
dikarenakan RS M. Jamil menolak untuk bekerjasama dan
mengeluarkan laporan visum et repertum
II. Main Problem
“Pasien dirugikan diakibatkan penanganan medis yang tidak tepat dilakukan
oleh dr.Islahuddin dan penanganan lanjutan pihak rumah sakit yang dinilai
tidak profesional.”
Alasan : Apabila pasien sejak awal ditangani dengan pemeriksaan dan
diagnosa yang tepat oleh dr.Islahuddin, maka kejadian-kejadian seperti
kasus Reihan ini tidak akan terjadi. Hasil terburuk (kematian) pun
dapat diminimalisir apabila tim medis rumah sakit dapat bekerja secara
professional dan sesuai standar.
III. Analisis Masalah
1. Dokter Ishlahuddin memiliki papan nama yang menyatakan bahwa ia
berprofesi sebagai dokter tetapi dia tidak menyebutkan nomor ijin
prakteknya
a. Apakah tindakan dr.Islahuddin dengan memasang papan nama
yang menyatakan ia berprofesi sebagai dokter namun tidak
menyebutkan nomor izin praktiknya telah tepat?
- Dr.Islahuddin seharusnya menyebutkan nomor izin
prakteknya pada plang papan nama praktiknya. Hal ini
sesuai dengan peraturan MenKes RI no
1419/MENKES/PER/X/2005 tentang Penyelenggaraan
Praktik Dokter dan Dokter Gigi tanggal 5 Oktober 2005
dalam Pasal 20 ayat 2 tertulis:
“Papan nama praktik kedokteran harus memuat nama
dokter dan nomor registrasi sesuai dengan SIP yang
diberikan.”
b. Bagaimanakah peraturan mengenai izin praktik dan pelaksanan
praktik kedokteran sesuai dengan UUPK?
- Hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia no.512/MENKES?PER?
IV/2007, mengenai Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran, pada pasal 17 yang berisikan:
(1) Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki SIP dan
menyelenggarakan praktik perorangan wajib memasang
papan nama praktik kedokteran.
(2) Papan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memuat nama dokter atau dokter gigi dan nomor
registrasi, sesuai dengan SIP yang diberikan.
(3) Dalam hal dokter dan dokter gigi sebagaimana
dimaksud ayat (2) berhalangan melaksanakan praktik
dapat menunjuk dokter dan dokter gigi pengganti.
(4) Dokter dan dokter gigi pengganti sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus dokter atau dokter gigi
yang memiliki SIP yang setara dan tidak harus SIP di
tempattersebut.
(5) Dalam keadaan tertentu untuk kepentingan pemenuhan
kebutuhan pelayanan, dokter atau dokter gigi yang
memiliki SIP dapat menggantikan dokter spesialis atau
dokter gigi spesialis, dengan memberitahukan
penggantian tersebut kepada pasien.
c. Bagaimanakah syarat sebuah plang papan nama praktik serta
ketentuan pemasangan plang papan nama praktik dokter yang
sesuai dengan UUPK?
Papan nama berukuran 40x60cm, tidak boleh lebih dari 60x90cm, cat putih dengan huruf hitam.
Cantumkan gelar yang sah dan jenis pelayanan sesuai dengan SIP, dan waktu praktek.
Papan tersebut tidak boleh dihiasi warna atau penerangan yang bersifat iklan.
Seandainya tempat praktek berlainan dengan tempat tinggal, dapat ditambahkan alamat rumah dan nomor telepon,
Tidak dibenarkan dicantumkan dibawah nama, bermacam macam keterangan seperti Praktek umum terutama anak anak dan wanita’ atau ‘tersedia pemeriksaan dan pengobatan sinar’, dsb.
Hanya dalam hal hal tertentu saja, papan praktek seorang dokter dapat dipasang dipersimpangan jalan yang menuju kerumahnya dengan gambar tanda panah menunjukkan ketempat praktek, dengan alasan untuk kemudahanmencari alamatnya.
2. Dokter melakukan diagnosa dan menyatakan bahwa pasien menderita
demam biasa dan memberikan beberapa jenis obat, namun setelah
pengobatan yang diberikannya, justru menimbulkan bercak-bercak
merah disekujur tubuh pasien yang tak kunjung hilang
a. Sudah tepatkah dr.Islahuddin dalam pemberian obat-obatan
kepada pasien?
- Tindakan yang dilakukan dr.Islahuddin dalam memberikan
obat-obatan langsung kepada pasien jelas-jelas telah
melanggar kode etik profesi kedokteran (self dispensing).
Self dispensing hanya dibenarkan jika tidak ada sarana,
seperti apotek, di sekitar tempat praktik, setidaknya jarak
praktik dokter dengan apotek minimal 10 kilometer.
Hal ini berlandaskan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia no.1 tahun 1988, mengenai Masa Bakti dan
Praktik Dokter dan Dokter Gigi, pada pasal 12 ayat 1.b
yang berisikan: “Dokter dan dokter gigi yang telah
mendapatkan Surat Izin Praktek dilarang: memberikan atau
meracik obat, kecuali suntikan”.
b. Apa yang seharusnya dilakukan dr.Islahuddin setelah
mengetahui efek ataupun dampak yang dialami pasien akibat
penangan medis yang dilakukannya?
- Seharusnya dr.Islahuddin melakukan pemeriksaan ulang
kepada Reihan, si pasien, agar dapat meninjau kembali efek
dari obat yang telah dikonsunsi korban atas rekomendasi
dokter.
c. Bagaimanakah peninjauan tindakan dr.Islahuddin dari sisi
etikolegal?
- Tindakan dr.Islahuddin yang tidak menghiraukan keluhan
keluarga sang pasien menunjukkan bahwa dr.Islahuddin
kurang dapat menerapkan komunikasi medik dengan baik,
seperti kutipan dari http://obfkumj.blogspot.com, “Seorang
dokter akan mengalami kesulitan saat membuat diagnosa
dan menentukan strategi penatalaksanaan yang efektif bila
dia tidak mampu memahami perasaaan atau keluhan
pasien. Ketidakmampuan dokter tersebut akan
menyebabkan dokter maupun pasien tidak memperoleh
kepuasan akibat tidak adanya perasaan saling
mempercayai satu sama lain”. Seharusnya dalam
menerapkan komunikasi medik yang baik, dr.Islahuddin
seharusnya menjamin adanya interaksi yang baik antara
dirinya sebagai dokter dengan pasien (dalam hal ini,
keluarga pasien).
d. Bagaimanakah peninjauan tindakan dr.Islahuddin dari sisi
medikolegal?
- Medikolegal berarti tatacara prosedur penatalaksanaan &
berbagai aspek yg berkaitan dgn pelayanan kedokteran utk
kpntingan umum. Secara garis besar prosedur medikolegal
mengacu kepada peraturan perundangan yg berlaku di
Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu
kepadaa sumpah dokter & etika kedokteran.
Dalam hal ini, dr.Islahuddin melanggar salah satu pasal
yang terdapat dalam KODEKI, mengenai
ketidakberhakannya dalam memberikan obat-obatan kepada
pasien. Tentunya sebagai seorang dokter, dr.Islahuddin
telah mengetahui mengenai peraturan-peraturan yang
berlaku dalam dunia kedokteran.
3. Pasien kemudian dibawa oleh orangtuanya ke rumah sakit pemerintah
daerah, akan tetapi tanpa mendapatkan penjelasan yang memadai,
pasien langsung dirujuk ke rumah sakit pemerintah lain
a. Apakah tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit pemerintah
daerah sudah tepat dalam menangani kasus non-emergency
seperti kasus Reihan ini?
- Tidak, seharusnya pihak rumah sakit pemerintah tersebut
tidak membiarkan pasien maupun keluarga pasien
menunggu dalam jangka waktu yang cukup lama, yang
pada akhirnya pasien dirujuk ke rumah sakit pemerintah
lain tanpa memberitahukan latar belakang pengambilan
keputusan tersebut.
b. Bagaimanakah proses perujukan pasien berdasarkan KODEKI?
- Diatur dalam pasal 10 KODEKI, Kewajiban terhadap
Pasien, yang berisikan:
“Tulus ikhlas dan maksimal untuk kepentingan pasien. Bila
merasa tidak mampu maka wajib merujuk kepda teman
yang ahlinya dengan persetujuan pasien”.
c. Apakah tindakan medis yang diberikan oleh RS M. Jamil,
sudah sesuai dengan prosedur dan penanganan yang tepat?
- Ditinjau dari rujukan dari rumah sakit sebelumnya dan dari
kondisi fisik pasien, pihak dari RS M. Jamil memberikan
infus dan merawat inap pasien, telah memenuhi Kaidah
Dasar Bioetik, yaitu dengan mengindahkan:
o Beneficence (tindakan berbuat baik)
o Menyelamatkan pasien dari bahaya
o Mengutamakan kepentingan pasien
o Non-maleficence (tindakan tidak merugikan)
o Tidak berbuat jahat (evil) atau membuat
derita (harm) pasien
o Minimalisasi akibat buruk
4. Dokter jaga malam langsung meminta ayah pasien untuk segera
membeli alat hisap yang memang tidak dimiliki oleh rumah sakit
dikarenakan perut Reihan tiba-tiba kembung setelah mengkonsumsi air
mineral
a. Apakah dokter jaga malam tersebut berkompeten dalam
mengambil sebuah keputusan?
- Dokter jaga adalah dokter yang bertugas di luar jam kerja
dan berkewajiban menangani semua kegawatdaruratan yang
timbul pada pasien tersebut.
Dokter jaga tersebut tidaklah berkompeten dalam
mengambil sebuah keputusan tanpa instruksi atau arahan
dari dokter leader yang menangani kasus Reihan ini.
Tugas dokter jaga
Mengawasi dan memberikan tindakan
apabila ada kegawatdaruratan
Menerima instruksi dari dokter leader pada
masa jaganya
b. Apa yang seharusnya dilakukan oleh dokter jaga malam
tersebut menanggapi pemintaan Jamaluddin, ayah pasien?
- Yang seharusnya dilakukan oleh dokter jaga malam
tersebut sebelum mengambil sebuah keputusan yaitu
bertanya dan mendiskusikannya terlebih dahulu dengan
dokter leader yang menangani kasus Reihan ini, seperti
salah satu tugas dari dokter leader yaitu mengambil
keputusan atas berbagai pendapat dari tim medis. Setelah
keputusan dari dokter leader telah jelas barulah dokter jaga
dapat menerima instruksi selanjutnya.
c. Bagaimanakah peninjauan tindakan dokter jaga malam tersebut
dari sisi etikolegal?
- Dokter jaga malam tersebut telah menunjukkan etika yang
tidak baik terhadap pihak pasien. Hal ini dapat dilihat ketika
dokter tersebut meminta ayah sang pasien untuk
membelikan alat hisap yang memang tidak dimiliki oleh
rumah sakit. Seharusnya dokter tersebut dapat
menginstruksikan tim medis lainnya untuk mencarikan alat
hisap tersebut atau mencari alternatif lain. Padahal
seharusnya pasien mendapatkan pelayanan dengan sebaik-
baiknya.
d. Bagaimanakah peninjauan tindakan dokter jaga malam tersebut
dari sisi medikolegal?
- Kejadian tersebut sebenarnya dapat dihindarkan apabila
dokter jaga tersebut tidak sembarangan bertindak dalam
pengambilan keputusan dan mengikuti ketentuan yang
berlaku. Perawatan terhadap pasien jelas membutuhkan
kompetensi dan kesiapan yang amat sangat mengingat hal
ini berhubungan hidup mati seseorang.
5. Merasa tidak puas dengan kinerja medis yang diterima, orangtua
pasien melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian setempat
namun penyidikan kasus ini tidak dilanjutkan dikarenakan RS M. Jamil
menolak untuk bekerjasama dan mengeluarkan laporan visum et
repertum
a. Sudah tepatkah tindakan keluarga pasien dalam melaporkan
kasus ini langsung kepada pihak kepolisian?
- Seharusnya pengaduan medik dilaporkan terlebih dahulu ke
pihak dokter yang bersangkutan atau disebut dengan
Penyelesaian di Tingkat Penyaji. Apabila belum mencapai
kesepakatan, barulah kasus ini di selesaiakan di tingkat
institusi, dimana pihak rumah sakit juda akan mengambil
alih. Komisi Etik rumah sakit akan menilai apakah benar
terjadi kelalaian atau tidak. Jika memang terjadi kelalaian
maka akan dilanjutkan ke Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI). Selanjutnya MKDKI akan
menindaklanjuti kasus tersebut.
b. Bagaimanakah prosedur pengaduan dalam dunia kedokteran?
- Berikut adalah tatacara pengaduan dan pemeriksaan
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh dokter atau
tenaga medis:
1. Mengadu secara tertulis kepada Ketua Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI);
2. Surat Pengaduan harus memuat :
a.Identitas pengadu;
b.Nama dan alamat tempat parktik dokter atau dokter
gigi dan waktu tindakan dilakukan;
c.Alasan-alasan pengaduan;
3. Pengaduan tersebut tidak menghilangkan hak setiap
orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana
kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat
kerugian perdata ke Pengadilan;
4. MKDKI memeriksa dan memberikan keputusan terhadap
pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan
dokter gigi;
5. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran
etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi
profesi dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI);
6. Keputusan MKDKI mengikat dokter, dokter gigi dan
Konsil Kedokteran Indonesia;
7. Keputusan dapat berupa:
a) Dinyatakan bersalah dengan sanksi disiplin;
b) Dinyatakan tidak bersalah;
8. Sanksi disiplin yang diberikan dapat berupa:
a.Pemberian peringatan tertulis;
b.Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau
surat ijin praktek;
c.Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di
Institusi pendidikan atau kedokteran gigi.
c. Apakah pihak RS M. Jamil berhak untuk menolak untuk
bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam mengeluarkan
laporan visum et repertum?
- Berdasarkan http://www. /id.wikipedia.org,
Visum et repertum disingkat VeR adalah keterangan tertulis
yang dibuat oleh dokter dalam ilmu kedokteran forensik
atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil
pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati
ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia,
berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk
kepentingan pro yustisia. Visum et repertum kemudian
digunakan bukti yang sah secara hukum mengenai keadaan
terakhir korban penganiayaan, pemerkosaan, maupun
korban yang berakibat kematian dan dinyatakan oleh dokter
setelah memeriksa (korban).
Penolakan oleh rumah sakit untuk membuat laporan visum
juga menyalahi ketentuan dalam Kode Etik, Ikatan Dokter
Indonesia, yang mensyaratkan mereka untuk mengeluarkan
laporan visum et repertum ketika permintaan atas itu datang
pada mereka. Hal ini ternyata tidak diterapkan dan
diperhatikan dalam kasus ini. Laporan visum itu jelas
diperlukan oleh kepolisian untuk menuntaskan penyidikan
mereka dan dalam rangka menentukan siapa yang harus
dimintakan pertanggungjawaban atas kematian korban.
Menghalang-halangi jalannya penyidikan dengan tidak
melakukan visum et repertum, pihak rumah sakit telah
menyalahi Pasal 222 KUHP; “Barangsiapa dengan sengaja
mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan
pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana paling
lama penjara sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah”
IV. Simpulan
“Pasien dirugikan akibat penanganan medis yang tidak tepat dikarenakan
belum diterapkannya etikolegal dan medikolegal oleh dr. Islahuddin, dokter
jaga, maupun pihak RS M. Jamil, yang sesuai dengan standar profesionalisme
dokter.”
V. Skema menuju Simpulan
Reihan sakit
(pasien)
dr. Islahuddin RS PemerintahMemeriksa Mendiagnosa RS M. JamilDemam
Pemberian Obat-obatan
Efek sampingTindakan
MedisEtikolegal MedikolegalProfesionalisme
Pasien dirugikan
(meninggal)
Peraturan Pemerintah
RI dirujuk KODEKI KDB