TINGKAT KECEMASAN, DUKUNGAN SOSIAL, DAN MEKANISME KOPING TERHADAP KELENTINGAN KELUARGA PADA KELUARGA DENGAN TB PARU
DI KECAMATAN CIOMAS BOGOR
ERIKA HERRY
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMENFAKULTAS EKOLOGI MANUSIAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Tingkat Kecemasan, Dukungan
Sosial, dan Mekanisme Koping Tehadap Kelentingan Keluarga pada Keluarga
dengan TB Paru di Kecamatan Ciomas Bogor adalah karya saya dengan arahan
dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2011
Erika Herry
NIM. I24061082
ABSTRACT
ERIKA HERRY. The Anxiety Level, Social Support, and Coping Mechanism of Family Resilience in Families with Pulmonary Tuberculosis at Kecamatan Ciomas Bogor. Under guidance DIAH KRISNATUTI.
General purpose of this research is to know factors that can affect familyresilience in families with pulmonary tuberculosis disease at Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. The purpose of research are 1) to identify socioeconomiccharacteristics of families with pulmonary tuberculosis disease, 2) identify thehealth behavior of pulmonary tuberculosis disease, 3) measuring the level ofanxiety patients with pulmonary tuberculosis disease, 4) measure of social support patients with pulmonary tuberculosis disease; 5) measure copingmechanism in families with pulmonary tuberculosis disease; 6) measuring familyresilience with pulmonary tuberculosis disease; 7) analyze the correlationsbetween variables of family resilience with pulmonary tuberculosis disease; 8) analyze the influence of variables with family resilience with pulmonary tuberculosis disease. The population of research were family members (parents) as patient with pulmonary tuberculosis disease at Kecamatan Ciomas Bogor, there are: Desa Ciomas, Ciomas Rahayu, and Pagelaran. The subjects in this research are 49 samples chosen purposively. Variables studied were: socioeconomic characteristics, health behavior, anxiety level, social support, coping mechanism, and family resilience. Data analysis using descriptiveanalysis, correlations to examine relationships between variables, and multiple linear regression to determine the factors that influence the family resilience. The results showed that families with pulmonary tuberculosis disease have good andvery good sanitation (73%), good health behavior (57%), anxiety level patient is relatively low to moderate (65%), high coping health mechanism (60%), high coping mechanism (49%), moderate social support (84%), and high familyresilience (47%). Based on correlation analysis showed a negative relationshipbetween family income with family resilience. Are positively correlated betweenfamily coping health mechanism (CHIP), family coping mechanism, anxiety level, social support with family resilience. Based on multiple linear regression analysisobtained the factors that influence family resilience: large families (β = -0.317, p =0.003), anxiety level (β = 0.239, p = 0.027), and family coping mechanism (β =0.511, p = 0.000 .)
Keywords : pulmonary tuberculosis, socioeconomic characteristics, health behavior, anxiety level, social support, coping mechanism, family resilience.
ABSTRAK
ERIKA HERRY. Tingkat Kecemasan, Dukungan Sosial, dan Mekanisme Koping Tehadap Kelentingan Keluarga pada Keluarga dengan TB Paru di Kecamatan Ciomas Bogor. Dibawah bimbingan DIAH KRISNATUTI.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelentingan keluarga pada keluarga dengan penyakit TB paru di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan penyakit TB paru; 2) mengidentifikasi perilaku hidup sehat penderita penyakit TB paru; 3) mengukur tingkat kecemasan penderita penyakit TB paru; 4) mengukur dukungan sosial penderita penyakit TB paru; 5) mengukur mekanisme koping keluarga dengan penyakit TB paru; 6) mengukur kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru; 7) menganalisis hubungan variabel terhadap kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru; 8) menganalisis pengaruh variabel dengan kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru. Populasi dalam penelitian ini adalah anggota keluarga (orang tua) sebagai penderita penyakit TB paru di Desa Ciomas, Ciomas Rahayu, dan Pagelaran, Kecamatan Ciomas Bogor. Contohdalam penelitian ini sebanyak 49 contoh yang dilakukan secara purposive sampling. Variabel yang diteliti yaitu: karakteristik sosial ekonomi, perilaku hidup sehat, tingkat kecemasan, dukungan sosial, mekanisme koping, dan kelentingan keluarga. Analisis data menggunakan analisis deskriptif, korelasi untuk menguji hubungan antar variabel, serta regresi linier berganda untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelentingan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan penderita penyakit TB paru memiliki sanitasi yang baik dan sangat baik (73%), perilaku hidup sehat yang baik (57%), tingkat kecemasan penderita relatif rendah-sedang (65%), mekanisme koping kesehatan yang tinggi (60%), mekanisme koping yang tinggi (49%), dukungan sosial yang sedang (84%), dan kelentingan keluarga yang tinggi (47%). Berdasarkan analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan yang bersifat negatif antara pendapatan keluarga dengan kelentingan keluarga. Adanya hubungan yang bersifat positifantara mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP), mekanisme koping keluarga, tingkat kecemasan, dukungan sosial dengan kelentingan keluarga. Berdasarkan analisis regresi linier berganda diperoleh faktor yang mempengaruhi kelentingan keluarga yaitu: besar keluarga (β= -0,317, p=0,003), tingkat kecemasan (β=0,239, p=0,027), dan mekanisme koping keluarga (β= 0,511, p=0,000).
Kata kunci : TB paru, karakteristik sosial ekonomi, perilaku hidup sehat, tingkat kecemasan, dukungan sosial, mekanisme koping, kelentingan keluarga.
TINGKAT KECEMASAN, DUKUNGAN SOSIAL, DAN MEKANISME KOPING TERHADAP KELENTINGAN KELUARGA PADA KELUARGA DENGAN TB PARU
DI KECAMATAN CIOMAS BOGOR
ERIKA HERRY
SkripsiSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen padaDepartemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMENFAKULTAS EKOLOGI MANUSIAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2011
RINGKASAN
ERIKA HERRY. Tingkat Kecemasan, Dukungan Sosial, dan Mekanisme Koping Tehadap Kelentingan Keluarga pada Keluarga dengan TB Paru di Kecamatan Ciomas Bogor. Dibawah bimbingan DIAH KRISNATUTI.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelentingan keluarga pada keluarga dengan penyakit TB paru di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan penyakit TB paru; 2) mengidentifikasi perilaku hidup sehat penderita penyakit TB paru; 3) mengukur tingkat kecemasan penderita penyakit TB paru; 4) mengukur dukungan sosial penderita penyakit TB paru; 5) mengukur mekanisme koping keluarga dengan penyakit TB paru; 6) mengukur kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru; 7) menganalisis hubungan variabel terhadap kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru; 8) menganalisis pengaruh variabel dengan kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional studyPemilihan tempat dan contoh dilakukan secara purposive berdasarkan kemudahan akses dan penderita penyakit TB paru kedua terbanyak di Kabupaten Bogor. Populasi contoh tersebar berdasarkan 4 UPT Puskesmas Kecamatan Ciomas yaitu Puskesmas Kota Batu, Ciomas, Laladon, dan Ciapus. Selanjutnya secara purposive terpilih Puskesmas Ciomas dengan pertimbangan kemudahan akses dan karakteristik contoh yang cukup banyak dibanding puskesmas lain. Contoh adalah anggota keluarga (orang tua) sebagai penderita penyakit TB paru di Desa Ciomas, Ciomas Rahayu, dan Pagelaran, Kecamatan Ciomas Bogor. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 49 contoh. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan November 2010 yang meliputi pengumpulan, pengolahan, serta analisis data.
Variabel yang diteliti yaitu: karakteristik sosial ekonomi, perilaku hidup sehat, tingkat kecemasan, dukungan sosial, mekanisme koping, dan kelentingan keluarga. Data yang terkumpul, ditabulasi, dan dianalisis secara deskriptif. Analisis data menggunakan analisis deskriptif, korelasi untuk menguji hubungan antar variabel, serta regresi linier berganda untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelentingan keluarga.
Karaketristik contoh menunjukkan hampir tiga perempat contoh (73,5%) berjenis kelamin laki-laki. Lebih dari tiga perempat contoh (77,6%) berstatus sebagai kepala keluarga. Hampir dua pertiga contoh (61,3%) mengalami sakit selama 1-5 tahun. Lebih dari separuh contoh (57,1%) melakukan pengobatan TB Paru selama 6-12 bulan. Lebih dari separuh contoh (57,1%) berusia 30-49 tahun. Hampir dua pertiga contoh (61,2%) memiliki tingkat pendidikan SMA/sederajat dan SD/sederajat. Separuh contoh (50%) memiliki pekerjaan sebagai buruh dan tidak bekerja.
Karakteristik sosial ekonomi keluarga menunjukkan lebih dari separuh keluarga contoh (55%) termasuk dalam keluarga kecil yaitu < 4 orang. Hampir tiga perempat keluarga contoh (72%) memiliki pendapatan perkapita di atas batas garis kemiskinan Kota Bogor atau dapat dikatakan sebesar 72 persen termasuk dalam kategori tidak miskin. Rata-rata pendapatan perkapita keluarga contoh secara keseluruhan yaitu Rp. 402.000,00 sehingga dapat dikatakan bahwa menurut pendapatan perkapita, rata-rata keluarga contoh tidak miskin. Lebih dari separuh keluarga contoh (53,3%) mengalokasikan biaya untuk pangan dengan rata-rata Rp. 631.600,00 perbulan. lebih dari separuh keluarga
contoh (59%) mengalokasikan biaya untuk pangan >50% dari keseluruhan pengeluaran artinya lebih dari separuh keluarga contoh (59%) termasuk dalam kategori miskin. Hampir tiga perempat contoh (73%) memiliki sanitasi yang baik dan sangat baik. Artinya, hampir tiga perempat contoh memiliki kondisi fisik rumah, sarana rumah tangga, dan sumber air yang baik. Dengan kondisi sehat, individu dapat menjalankan aktifitas produktifnya secara normal sehingga ketahanan dalam keluarga pun tercapai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (59%) berperilaku hidup sehat yang baik dan sangat baik. Artinya, lebih dari separuh contoh memisahkan alat makan dan minum, menjemur kasur, bantal, dan guling1 minggu sekali, tidur di malam hari selama >5 jam, tidak merokok, dan menggunakan alat untuk batuk dan meludah.
Hasil analisis deskriptif dari aspek tingkat kecemasan membuktikan bahwa menunjukkan hampir dua pertiga contoh (65%) penderita TB paru memiliki tingkat kecemasan yang ringan–sedang. Hal tersebut dikarenakan lebih dari separuh contoh merasa lebih gugup dan cemas daripada biasanya, mudah marah atau panik, mengalami sakit kepala, leher, dan punggung, merasa lemah dan mudah lelah, mati rasa dan kesemutan, namun contoh juga merasa semuanya akan baik saja, dapat tidur dan duduk dengan mudah.
Skor mekanisme koping kesehatan (CHIP) yang terdiri dari tiga pola yaitu lebih dari separuh keluarga contoh (57%) memiliki family integration, kerjasama, dan optimisme yang tinggi, hampir separuh contoh (49%) memiliki dukungan sosial, penghargaan diri, dan psychological stability yang tinggi, dan hampir dua pertiga contoh (60%) memiliki komunikasi dan konsultasi yang tinggi. Total skor mekanisme koping kesehatan keluarga penderita TB paru menunjukkan hampir dua pertiga contoh (60%) keluarga penderita TB paru mendapat mekanisme koping keluarga yang tinggi. Dengan tingginya koping kesehatan keluarga penderita TB paru, sehingga keluarga dapat menjalankan fungsinya secara optimal.
Skor mekanisme koping yang terdiri dari dua jenis yaitu hampir separuh contoh (49%) memiliki mekanisme koping keluarga secara problem-focus copingsedang dan lebih dari separuh contoh (51%) memiliki mekanisme koping keluarga secara emotion-focus coping yang tinggi. Total skor mekanisme koping keluarga penderita TB paru menunjukkan hampir separuh contoh (49%) keluarga penderita TB paru memiliki mekanisme koping keluarga yang tinggi. Dengan adanya mekanisme koping yang tinggi dapat mengurangi berbagai tekanan yang timbul.
Skor dukungan sosial yang terdiri dari empat faktor yaitu lebih dari tiga perempat contoh penderita TB Paru (78%) mendapatkan dukungan emosional yang sedang, lebih dari tiga perempat contoh (80%) mendapatkan dukungan penghargaan yang sedang, lebih dari dua pertiga contoh (68%) mendapatkan dukungan instrumental yang tinggi dan sedang, dan lebih dari dua pertiga contoh(68%) mendapatkan dukungan instrumental yang tinggi dan sedang. Total skor dukungan sosial penderita TB paru menunjukkan lebih dari tiga perempat contoh(84%) penderita TB Paru mendapat dukungan sosial yang sedang. Selain itu, berdasarkan subjek yang memberikan dukungan sosial pada penderita TB paru menunjukkan bahwa lebih dari separuh (51%) dukungan sosial yang sedangdidapat penderita TB Paru diperoleh dari keluarga, medis, dan teman. Medis merupakan faktor yang paling dominan mendorong penderita dalam menjaga ketahanan diri.
Skor kelentingan keluarga yang terdiri dari tiga faktor yaitu hampir dua pertiga contoh keluarga penderita TB Paru (63%) memiliki family cohesion yang sedang, lebih dari tiga perempat contoh keluarga penderita TB Paru (86%)
memiliki family belief system yang tinggi dan sangat tinggi, dan lebih dari tiga perempat contoh keluarga penderita TB Paru (78%) memiliki komunikasi yang tinggi dan sangat tinggi. Total skor Kelentingan keluarga penderita TB paru menunjukkan hampir separuh contoh keluarga penderita TB Paru (47%) memiliki kelentingan keluarga yang tinggi. Dengan kelentingan keluarga yang tinggi,dipandang dapat merespon permasalahan yang terdapat dalam keluarga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat negatif antara pendapatan keluarga dengan kelentingan keluarga (r=-0,303, p < 0,05). Hal demikian diduga karena aspek kelentingan keluarga yang terdiri dari family cohesion, family belief system, dan komunikasi tidak berkaitan secara langsung terhadap pendapatan keluarga. Terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat positif antara tingkat kecemasan dengan kelentingan keluarga (r=0,419, p<0,01). Hal ini diduga karena kecemasan penderita tidak mengganggu aspek kelentingan keluarga berupa hubungan interpersonal, kepercayaan, dan komunikasi dalam keluarga. Terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara dukungan sosial dengan kelentingan keluarga (r=0,604, p<0,01). Terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat positif antara mekanisme koping kesehatan keluarga (r=0,684, p<0,01) dan mekanisme koping keluarga (r=0,802, p<0,01) dengan kelentingan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelentingan keluarga adalah besar keluarga (β= -0,317, p=0,003), tingkat kecemasan (β=0,239, p=0,027), dan mekanisme koping (β= 0,511, p=0,000). Jika besar keluarga meningkat maka akan mempengaruhi kelentingan keluarga menurun. Jika tingkat kecemasan meningkat maka akan mempengaruhi kelentingan keluarga meningkat. Hal ini diduga karena tingkat kecemasan penderita yang ringan-sedang dengan ditangani medis serta dukungan dari keluarga dan teman. Selain itu, sikap penderita yang pasrah dan berprinsip bahwa TB paru bukan sakit yang parah dan masih bisa diobati. Jika mekanisme koping meningkat maka akan mempengaruhi kelentingan keluarga meningkat.
Judul Skripsi : Tingkat Kecemasan, Dukungan Sosial, dan Mekanisme Koping Tehadap Kelentingan Keluarga pada Keluarga dengan TB Paru di Kecamatan Ciomas Bogor
Nama : Erika HerryNRP : I24061082
Disetujui,
Dr. Ir. Diah Krisnatuti, M.S.Dosen Pembimbing
Diketahui,
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc.Ketua Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil‘alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT atas segala karunia-Nya yang tak terhingga sehingga skripsi ini yang
berjudul Tingkat Kecemasan, Dukungan Sosial, dan Mekanisme Koping
Tehadap Kelentingan Keluarga pada Keluarga dengan TB Paru di
Kecamatan Ciomas Bogor dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar sarjana pada Mayor Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Shalawat serta salam tidak lupa
penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW, manusia paling sempurna di jagat
raya ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat diharapkan demi tercapainya tujuan dari penelitian ini. Semoga skripsi ini
dapat terwujud menjadi aksi nyata sehingga bermanfaat bagi pihak yang
memerlukannya.
Sebagai manusia yang mempunyai keterbatasan, penulis mendapatkan
banyak bimbingan, bantuan, serta dorongan dari berbagai pihak. Maka dalam
kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc. sebagai Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen.
2. Dr. Ir. Diah Krisnatuti, M.S. sebagai dosen pembimbing yang penuh dengan
kesabaran dan pengertian dalam membimbing dan mengarahkan penulis
selama proses penyelesian skripsi ini.
3. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc. sebagai dosen pembimbing
akademik, terima kasih banyak atas perhatian dan bimbingannya selama
penulis menjadi mahasiswa di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen.
4. Seluruh dosen dan tenaga kependidikan Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen yang telah memberikan ilmunya, perhatian, dan motivasi kepada
penulis.
5. Mama (Hj. Lina Herlina) tercinta, papa (Ir. Herry Z. Arbainn, SE.), abi (Toni
Prihartono) yang selalu mendukung untuk berbuat yang terbaik dalam
hidupku. Kakak-kakakku tersayang, Rina Oktariana, Erlita Herry, ST., Suryo
Nugroho, SE., Anshari Taslim, Lc. terima kasih atas kasih sayang, perhatian,
motivasinya. Suamiku Nugroho Sastrawiguna, ST yang senantiasa
membantu penulis dalam memberikan motivasi, perhatian, dan waktunya.
Keponakanku Nouval Rafi Nugroho dan Maryam Alena Kanja yang selalu
menghibur penulis.
6. Rahayu Lestari, S.Si yang membantu penulis dalam proses penelitian ini.
7. Kepala Puskesmas Ciomas, Ibu Yuli, staf Desa Ciomas, Ciomas Rahayu,
dan Pagelaran yang bersedia meluangkan waktu dan memberikan data-data
yang diperlukan oleh penulis.
8. Seluruh contoh penelitian ini yang bersedia meluangkan waktu demi
membantu penyelesaian pengumpulan data.
9. Sahabat-sahabatku tersayang yang selalu dapat mengisi relung hati penulis
dikala suka maupun duka. Saudara-saudara seperjuangan di KAMMI Daerah
Bogor, BKM KAMMDA, Murobbiyah dan teman-teman halaqoh, Entertrainer,
dan Fushilat 43. Terima kasih atas persahabatan ini. Teman-teman IKK 43
khususnya, dan umumnya seluruh mahasiswa IKK atas kebersamaan selama
ini. Dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Bogor, April 2011
Erika Herry
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1988 dari ayah Ir. Herry
Zulherry Arbain, SE. dan Ibu Hj. Lina Herlina. Penulis merupakan putri terakhir
dari tiga bersaudara.
Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Rimba Madya Bogor dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih mayor Departemen Ilmu Keluarga
dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis terlibat dalam organisasi
kemahasiswaan, yaitu Ikatan mushala asrama putri A2, KAMMI Komisariat IPB,
BEM TPB 43, Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA), dan Himpunan Mahasiswa
Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO).
Selama masa perkuliahan tingkat akhir, penulis beraktifitas sebagai mahasiswa
workshop Sekolah Guru Ekselensia Indonesia (SGEI) dari Lembaga
Pengembangan Insani, Dompet Dhuafa Bogor. Selain itu, penulis bekerja
sebagai guru kelas IV dan kelas II di Madrasah Islamiyah Nurrosyidiyah,
pengajar mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) kelas X, XI, dan XII
SMK Informatika Global Nusantara Bogor, dan pengajar bimbingan belajar eksak
SD di Bintang Pelajar Bogor sampai saat ini. Selain itu, penulis juga terlibat
dengan organisasi kemasyarakatan yaitu Kemuslimahan KAMMI Daerah Bogor
dan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) Kabupaten Bogor.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL........................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xv
DAFTAR GRAFIK ........................................................................................ xvi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ............................................................................................ 1Perumusan Masalah .................................................................................... 2Tujuan Penelitian ......................................................................................... 3Kegunaan .................................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA
Kelentingan Keluarga .................................................................................. 5Family Cohesion ................................................................................. 5Family Belief System .......................................................................... 6Komunikasi ......................................................................................... 6
Mekanisme Koping ...................................................................................... 7Emotion-focused coping....................................................................... 8Problem-focused coping ...................................................................... 8
Stres ............................................................................................................ 8Faktor Stres (stresor) ......................................................................... 9Tipe Stres ........................................................................................... 9Dampak Stres ..................................................................................... 10Bentuk Stres ....................................................................................... 11Kecemasan ......................................................................................... 11
Dukungan Sosial .......................................................................................... 11 Jenis Dukungan Sosial ........................................................................ 12 Sumber Dukungan Sosial ................................................................... 12Perilaku Hidup Sehat ................................................................................... 13Tuberkulosis (TB) Paru ................................................................................ 14
Gambaran Klinis TB Paru .................................................................... 14Faktor Resiko TB Paru ........................................................................ 14
Karakteristik Keluarga .................................................................................. 16Pendapatan Keluarga ......................................................................... 16Pendidikan .......................................................................................... 17Pekerjaan ............................................................................................ 17Usia .................................................................................................... 17Besar Keluarga ................................................................................... 18Sanitasi ............................................................................................... 18
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................ 20
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu .......................................................................... 23
xii
Jumlah dan Penarikan Contoh...................................................................... 23Jenis dan Cara Pengumpulan Data ......................................................... 24Uji Validitas dan Reliabilitas ......................................................................... 27Pengolahan dan Analisis Data ................................................................. 28Definisi Operasional...................................................................................... 32
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................. 34Kondisi Geografis dan Demografi ........................................................ 34Pendidikan .......................................................................................... 35Pekerjaan ............................................................................................ 36
Karakteristik Contoh ..................................................................................... 36Karakteristik Sosial Ekonomi keluarga ......................................................... 38
Besar Keluarga ................................................................................... 38Pendapatan Perkapita ......................................................................... 38Pengeluaran keluarga ......................................................................... 39Sanitasi ............................................................................................... 39
Perilaku Hidup Sehat ................................................................................... 41Tingkat Kecemasan ..................................................................................... 43Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP) .......................................... 44
Family Integration, Kerjasama, dan Optimisme ................................... 44Dukungan sosial, Penghargaan diri, dan Psychological Stability ......... 46Komunikasi dan Konsultasi ................................................................. 47
Mekanisme Koping Keluarga ....................................................................... 49Problem-Focus Coping ....................................................................... 49Emotion-Focus Coping ........................................................................ 49
Dukungan Sosial .......................................................................................... 51Dukungan Emosional .......................................................................... 51Dukungan Penghargaan ..................................................................... 52Dukungan Instrumental ....................................................................... 53Dukungan Informatif ............................................................................ 54
Kelentingan Keluarga .................................................................................. 55Family Cohesion ................................................................................. 55Family Belief System ........................................................................... 57Komunikasi ......................................................................................... 58
Perbedaan Lama Sakit dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru ... 60Hubungan Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru ......... 60Pengaruh Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru .......... 62
PENUTUP
Kesimpulan ......................................................................................... 65Saran .................................................................................................. 66
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 67
LAMPIRAN .................................................................................................. 71
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Peubah, Jenis Data, dan Cara Pengumpulan Data............................... 24
2 Kategori Variabel Penelitian ................................................................. 24
3 Interpretasi Reliabilitas ......................................................................... 29
4 Kriteria Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP), Mekanisme Koping Keluarga, Kelentingan Keluarga, dan Dukungan Sosial ........... 31
5 Kriteria Tingkat Kecemasan ................................................................. 32
6 Skala Dukungan Sosial ........................................................................ 32
7 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia ................................................... 35
8 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ............................ 36
9 Pekerjaan Penduduk Berdasarkan Usia Kerja ..................................... 36
10 Sebaran Karakteristik Contoh Penderita TB Paru ................................ 36
11 Sebaran Contoh Penderita TB Paru berdasarkan Besar Keluarga........ 38
12 Sebaran Pendapatan Perkapita Perbulan Keluarga Penderita TB Paru ..................................................................................................... 38
13 Sebaran Pengeluaran Keluarga Penderita TB Paru Berdasarkan Kriteria Pangan .................................................................................... 39
14 Sebaran Pengeluaran Keluarga Penderita TB Paru Berdasarkan Kriteria Pangan dan Non-Pangan ......................................................... 39
15 Sebaran Contoh Berdasarkan Kondisi Fisik Rumah keluarga TB Paru...................................................................................................... 40
16 Sebaran Contoh Berdasarkan Sarana Rumah Tangga Keluarga TB Paru ................................................................................................ 40
17 Sebaran Contoh Berdasarkan Sumber Air Keluarga TB Paru .............. 41
18 Total Sanitasi Keluarga Penderita TB Paru........................................... 41
19 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Perilaku Hidup Sehat .................................................................................................... 42
20 Total Skor Perilaku Hidup Sehat .......................................................... 42
21 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator Tingkat Kecemasan .......................................................................................... 43
22 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator Family Integration, Kerjasama, dan Optimisme ................................................ 45
23 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator Dukungan Sosial, Penghargaan diri, dan Psychological Stability .......................... 46
24 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator Komunikasi dan Konsultasi .................................................................. 47
xiv
25 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Emosional Penderita TB Paru ............................................................................... 57
26 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Penghargaan Penderita TB Paru ............................................................................... 52
27 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Instrumental Penderita TB Paru ............................................................................... 53
28 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Informatif Penderita TB Paru ............................................................................... 54
29 Sebaran Subjek Dukungan Sosial Penderita TB Paru ......................... 55
30 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Family Cohesion Keluarga Penderita TB Paru ............................................................................... 56
31 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Family Belief System Keluarga Penderita TB Paru ................................................................ 57
32 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Komunikasi Keluarga Penderita TB Paru ............................................................................... 59
33 Perbedaan Lama Sakit dengan Kelentingan Keluarga TB Paru ........... 60
33 Hubungan Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru . 60
34 Pengaruh Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru .. 62
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Bagan Kerangka Pemikiran ...................................................................... 20
2 Cara Pengambilan Contoh ....................................................................... 23
xvi
DAFTAR GRAFIK
Halaman
1 Tingkat Kecemasan ............................................................................. 44
2 Family Integration, Kerjasama, dan Optimisme..................................... 46
3 Dukungan sosial, Penghargaan diri, dan Psychological Stability........... 47
4 Komunikasi dan Konsultasi .................................................................. 48
5 Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP) .................................. 48
6 Problem-Focus Coping Keluarga Penderita TB Paru ........................... 49
7 Emotion-Focus Coping Keluarga Penderita TB Paru ........................... 50
8 Skor Total Mekanisme Koping Keluarga .............................................. 50
9 Dukungan Emosional Keluarga Penderita TB Paru .............................. 52
10 Dukungan Penghargaan Keluarga Penderita TB Paru ......................... 53
11 Dukungan Instrumental Keluarga Penderita TB Paru ........................... 53
12 Dukungan Informatif Keluarga Penderita TB Paru ................................ 54
13 Skor Total Dukungan Sosial ................................................................. 55
14 Family Cohesion Keluarga Penderita TB Paru ..................................... 57
15 Family Belief System Keluarga Penderita TB Paru .............................. 58
16 Komunikasi Keluarga Penderita TB Paru ............................................. 59
17 Skor Total Kelentingan Keluarga .......................................................... 59
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Perilaku Problem-Focus Coping ............................................................................ 71
2 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Perilaku Emotion-Focus Coping ............................................................................ 72
3 Uji Korelasi Vriabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru ..... 74
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) merupakan modal dasar
pembangunan nasional untuk memperbaiki derajat kesejahteraan rakyat. Dalam
rangka menyongsong Millenium Development Goals (MDG’s) dan peningkatan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka pengembangan SDM yang tepat
guna dan berkelanjutan dapat ditempuh melalui pemberdayaan kapasitas dan
potensi yang ada. Pemberdayaan ini menekankan berbagai macam aspek
meliputi aspek kesehatan, pendidikan, dan kewirausahaan (Suyono & Haryanto
2008).
Kesehatan merupakan hak dasar/hak fundamental warga negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk
mempertinggi derajat kesehatan dengan meningkatkan keadaan kesehatan yang
lebih baik dari sebelumnya (UU Kesehatan No.23 Tahun 1992, Bab II Pasal 3).
Kemajuan suatu bangsa berbanding lurus dengan tingkat kesehatan
masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendapatan suatu keluarga, semakin mampu
pula keluarga tersebut menjaga kesehatannya. Setelah itu, dengan semakin
tingginya tingkat kesehatan, semakin tinggi pula produktifitas dan kemampuan
untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dalam berbagai aspek (Sugianto
2007).
Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Infeksi ini paling sering mengenai paru tetapi dapat
juga mengenai organ-organ tertentu (Brewis 1983) diacu dalam Nawas A (1990).
TB paru merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia karena merupakan
penyebab kematian selain penyakit ISPA, diare dan penyakit jantung koroner
(Handoko T 1984) diacu dalam Nawas A (1990).
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri,
atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya (UU
No.52 tahun 2009). Keluarga menyediakan kebutuhan antar individu sebagai
anggota keluarga dan tuntutan serta harapan dari masyarakat yang ada. Pada
keluarga dengan penyakit TB paru, terdapat berbagai tuntutan maupun masalah
yang dapat dihadapi dengan beradaptasi. Adaptasi merupakan aspek yang
penting dalam kehidupan individu maupun kehidupan sosial. Berdasarkan ilmu
psikologi, adaptasi tersebut biasa disebut dengan strategi koping. Strategi koping
2
adalah suatu proses atau cara untuk mengelola tekanan baik secara eksternal
maupun internal (Lazarus, Launier, dan Folkman diacu dalam Taylor 1999).
Permasalahan dan tekanan yang berlangsung lama dapat mengganggu
keberfungsian keluarga dan akan berdampak pada seluruh anggotanya. Dengan
adanya strategi koping yang positif maka keluarga dapat kembali dalam keadaan
normal. Hal tersebut merupakan kondisi kelentingan keluarga yang baik.
Perumusan Masalah
Penyakit tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang
merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia.
Indonesia termasuk peringkat ketiga setelah India dan China dalam masalah TB
di dunia. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2001, TB menduduki ranking ketiga sebagai penyebab kematian (9,4% dari total
kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi dan sistem pernafasan (Depkes RI
2007). Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat tahun 2008 terdapat
30.067 penderita TB di Jabar (Depkes RI 2008).
TB paru adalah peradangan yang bersifat kronis, penderita mengalami
tidak enak badan, demam, nafsu makan berkurang yang menyebabkan
penurunan berat badan, sakit kepala, batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri
dada, badan pegal, dan gangguan siklus haid pada wanita (Rasmin R 1987)
diacu dalam Nawas A (1990).
Keluarga dengan penyakit TB paru memiliki hambatan yang berbeda
dengan yang dialami keluarga normal lainnya sehingga menyebabkan
munculnya tuntutan menyesuaikan diri selama kurun waktu tertentu (Andersen
1988) diacu dalam Sarafino (1998). Dalam sebuah unit keluarga, penyakit yang
diderita salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi anggota keluarga lain
(Friedman 1998).
Bila salah satu individu dalam sebuah keluarga menderita penyakit TB
paru, maka hal ini tidak hanya menimbulkan stres pada dirinya sendiri tetapi juga
pada keluarganya. Kelentingan keluarga menunjukkan adaptasi keluarga selama
masa krisis penderita TB paru. Kelentingan keluarga memungkinkan keluarga
memiliki keharmonisan, keterikatan, dan dukungan di masa krisis dalam siklus
kehidupan keluarga. Keluarga yang lenting dapat melihat tantangan dengan
kepercayaan diri untuk menghadapinya. Penelitian telah menemukan bahwa
keluarga yang lenting memiliki 10 ciri-ciri umum, yaitu: pandangan positif,
3
spiritualitas, kesesuaian anggota keluarga, fleksibilitas, komunikasi, keuangan,
waktu bersama, rekreasi bersama, rutinitas, ritual, dan dukungan sosial (Walsh
2002). Menganalisis tingkat kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru,
selain bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai strategi keluarga untuk
dapat bertahan dari tantangan yang dihadapi (Poerwandari 2005).
Keluarga yang anggotanya berpenyakit pada umumnya memiliki banyak
masalah. Salah satu faktor penunjang dalam mengadaptasi masalah adalah
pengetahuan penderita mengenai bahaya penyakit TB paru dan motivasi
keluarga terhadap penderita. Kondisi keluarga dengan penyakit TB paru
menyebabkan penurunan pendapatan riil keluarga karena kurangnya
produktifitas dari penderita TB paru.
Selain masalah pendapatan, secara sosiologis kemampuan keluarga
penyakit TB paru meliputi kemampuan memulihkan keadaan melalui strategi
koping sebagai bentuk kelentingan keluarga. Koping melibatkan cakupan yang
lebih luas dari potensi strategi, keterampilan, dan kemampuan efektif dalam
mengelola stres. Maka yang menjadi pertanyaan penelitian pada penulisan tugas
akhir ini adalah :
1. Bagaimana karakteristik sosial ekonomi, perilaku hidup sehat, tingkat
kecemasan, dukungan sosial, mekanisme koping keluarga, dan kelentingan
keluarga pada keluarga dengan penyakit TB paru?
2. Bagaimana hubungan dan pengaruh karakteristik sosial ekonomi, perilaku
hidup sehat, tingkat kecemasan, dukungan sosial, mekanisme koping
keluarga terhadap kelentingan keluarga pada keluarga dengan penyakit TB
paru?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum :
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelentingan keluarga pada
keluarga dengan penyakit TB paru, di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor.
Tujuan Khusus :
1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan penyakit TB
paru
2. Mengidentifikasi perilaku hidup sehat keluarga dengan penyakit TB paru
3. Mengukur tingkat kecemasan penderita penyakit TB paru
4. Mengukur dukungan sosial penderita penyakit TB paru
4
5. Mengukur mekanisme koping keluarga dengan penyakit TB paru
6. Mengukur kelentingan keluarga pada keluarga dengan penyakit TB paru
7. Menganalisis hubungan dan pengaruh berbagai variabel terhadap
kelentingan keluarga dengan penyakit TB paru
Kegunaan
Kegunaan dari penelitian ini diantaranya untuk :
a. Pemerintah
Memberikan informasi kepada pemerintah daerah dalam menentukan
kebijakan terkait peningkatan kesejahteraan keluarga dengan penyakit TB
paru .
b. Masyarakat
Memperoleh informasi mengenai mekanisme koping strategi dalam
mengatasi masalah akibat penyakit TB paru.
c. Peneliti/mahasiswa
Menambah wawasan dan pemahaman akibat penyakit TB paru yang dialami
keluarga, serta dapat memberikan sumbangsih dalam ilmu pengetahuan
untuk masa yang akan datang (penelitian lanjutan).
TINJAUAN PUSTAKA
Kelentingan Keluarga
Kelentingan adalah proses dinamis untuk bertahan dari krisis serta
kemampuan beradaptasi secara positif (Walsh 2002). Kelentingan merupakan
karakteristik keluarga dalam beradaptasi terhadap situasi krisis, misalnya tingkat
kerentanan, tipe keluarga, sumber daya, tingkat stres, pemecahan masalah,
kemampuan koping, serta pandangan hidup (McCubbin & McCubbin 1988) diacu
dalam Lazarus A (2004). Situasi krisis dapat terjadi akibat akumulasi
permasalahan dalam keluarga yang salah satunya adalah keluarga dengan
penyakit TB paru. Situasi ini dinilai keluarga tidak mampu mengatasi stresor yang
timbul.
Dalam mewujudkan kelentingan keluarga yang baik yaitu dengan
meningkatkan keberfungsian dan kesejahteraan keluarga serta mencegah
anggota keluarga terinfeksi penyakit. Kelentingan keluarga tidak hanya
mencakup manajemen stres tetapi juga bertahan dari cobaan yang berat.
Adanya krisis dan tekanan yang berlangsung lama dapat mengganggu
keberfungsian keluarga dan akan berdampak pada seluruh anggotanya.
Kemampuan keluarga dalam menghadapi ancaman, menahan stres, dan
mengorganisir ulang masalah secara efektif akan mempengaruhi seluruh
anggota keluarga (Walsh 2002). Menurut Mackay (2003) kelentingan keluarga
terdiri dari tiga aspek, yaitu family cohesion, family belief system, dan
komunikasi.
Family Cohesion
Hubungan emosional antar anggota keluarga sangat penting bagi
keberfungsian keluarga. Keluarga yang memiliki ikatan emosional yang baik
mampu menghadapi tantangan dan mengatasi stres dengan baik. Mackay (2003)
mengemukakan kunci hubungan emosional antar anggota keluarga terdiri dari 3
aspek, yaitu: family cohesion, connectedness, affective involvement. Rendahnya
family cohesion merupakan salah satu indikasi disfungsi keluarga namun family
cohesion yang sangat tinggi juga dapat mengakibatkan disfungsi keluarga karena
hubungan emosional antar anggota keluarga harus seimbang untuk memenuhi
kebutuhan otonomi individu.
6
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara family
cohesion dan fungsi keluarga. Olson et al (1988) diacu dalam Mackay (2003)
menunjukkan bahwa keluarga dengan family cohesion yang tinggi tetapi
seimbang, sedikit mengalami tekanan dan tingkat kesejahteraan keluarga tinggi.
Family Belief System
Family belief system merupakan inti dari fungsi keluarga yang mencakup
nilai, sikap, keyakinan, bias, dan asumsi. Family belief system merupakan
asumsi dasar yang memicu respon emosional serta menginformasikan
keputusan dan tindakan. Family belief system yang dominan dapat membentuk
keluarga dalam upaya menghadapi krisis dan kesulitan (Walsh 1998) diacu
dalam Mackay (2003).
Terdapat tiga dimensi penting family belief system, yaitu: capacity to make
meaning out of adversity (kemampuan dalam memaknai kesulitan), a positive
outlook (pandangan positif) and spirituality or transcendence (spiritual atau
transedensi). Keluarga yang berfungsi dengan baik memiliki kemampuan untuk
memahami yang telah terjadi dan memperkirakan masa mendatang. Kelentingan
keluarga juga dicirikan oleh ketekunan, kegigihan, dan optimisme dalam
mengatasi rintangan. Family belief system sebagai kunci kelentingan keluarga
karena pentingnya agama dan budaya sebagai sumber utama spirituality or
transcendence (Walsh 1998) diacu dalam Mackay (2003).
Komunikasi
Komunikasi merupakan aspek kunci dari fungsi keluarga. Komunikasi
adalah proses pemaknaan diri, hubungan interpersonal, dan adaptasi masalah.
Komunikasi efektif sangat penting dalam pengambilan keputusan bersama yang
dicapai melalui negosiasi, kompromi, dan umpan balik (Mackay 2003).
Komunikasi efektif dalam keluarga merupakan proses saling
menginformasikan pesan kepada anggota keluarga. Walsh mengidentifikasi tiga
komponen penting komunikasi yang efektif, yaitu: clarity of expression (kejelasan
pesan), open emotional expression (keterbukaan penyampaian emosi) dan
collaborative problem solving (kolaboratif dalam pemecahan masalah). Clarity of
expression mengacu pada pengiriman pesan yang jelas dan konsisten, baik
dalam kata-kata atau tindakan. Open emotional expression mengacu pada
berbagi perasaan dan emosi dalam hubungan, ditandai dengan saling empati
7
dan toleransi terhadap perbedaan. Collaborative problem solving melibatkan
identifikasi masalah untuk mengatasi masalah keluarga (Walsh 1998) diacu
dalam Mackay (2003).
Kelentingan yang baik menunjukkan bahwa keluarga mampu mengelola
konflik dengan baik. Pengelolaan konflik sangat tergantung pada komunikasi dan
keterampilan penyelesaian masalah.
Mekanisme Koping
Kondisi krisis atau dalam tekanan yang berlangsung lama dapat
menyebabkan stres pada individu. Keith (2009) mengemukakan beberapa faktor
yang mempengaruhi tingkat stres seseorang, yaitu: (1) sifat menerima keadaan;
(2) pengalaman dalam mengatasi stres; (3) karakteristik individu; (4) persepsi
tentang stres; (5) strategi koping; dan (6) dukungan sosial.
Synder CR (2001) menjelaskan bahwa koping merupakan proses berfikir,
merasakan atau melakukan sesuatu sebagai pemenuhan kepuasan psikologi.
Koping merupakan beberapa respon yang berkesinambungan sebagai akibat
dari stres. Faktor dari keterampilan koping yaitu: (1) fokus masalah; (2)
pengaturan lingkungan; (3) fokus emosi; dan (4) pengaturan diri.
Koping didefinisikan sebagai usaha kognitif dan perilaku seseorang untuk
mengorganisasikan berbagai tuntutan permasalahan. Berdasarkan proses
koping, individu dapat: (1) memperkirakan ancaman atau peluang pada
lingkungannya; (2) mengevaluasi tuntutan dan sumberdaya atau daya dukung
lingkungan, serta kemampuan untuk mengorganisasikan elemen-elemen
tersebut; dan (3) menggunakan strategi untuk mengurangi konsekuensi negatif
yang kemungkinan timbul dalam situasi penuh tekanan. Ketika menghadapi
faktor penyebab stres, seseorang menggunakan strategi koping untuk
mengurangi tekanan yang timbul (Lazarus & Folkman 1984).
Untuk menghadapi stres, keluarga perlu meningkatkan koping yang efektif.
Strategi dan proses koping keluarga yang efektif berfungsi sebagai mekanime
agar fungsi-fungsi keluarga tercapai. Tanpa koping yang efektif, fungsi ekonomi,
sosialisasi, perawatan keluarga tidak dapat dicapai secara optimal (Friedman
1998). Oleh sebab itu, koping keluarga merupakan proses penting yang
membuat keluarga mampu mencapai fungsi-fungsi keluarganya secara optimal.
Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan dua jenis koping, yaitu emotion-
focused coping dan problem-focused coping.
8
Emotion-Focused Coping
Bentuk koping ini bertujuan untuk mengontrol respon emosional yang
muncul dalam menghadapi stresor. Individu cenderung menggunakan bentuk ini
berdasarkan keyakinannya untuk mengubah keadaan. Beberapa strategi yang
berhubungan dengan bentuk koping ini antara lain kontrol diri, mengambil jarak
dengan stresor, berusaha untuk melihat dari sudut pandang lain, menerima atau
melarikan diri dari keadaan (Lazarus dan Folkman 1984).
Problem-Focused Coping
Bentuk koping ini bertujuan untuk mengurangi stresor atau meningkatkan
sumber daya dalam menghadapi stres. Individu cenderung menggunakan bentuk
ini berdasarkan keyakinannya bahwa tuntutan stresor atau sumber daya masih
dapat diubah. Beberapa strategi yang berhubungan dengan bentuk koping ini
antara lain melakukan konfrontasi dengan menolak perubahan, berusaha
mengubah keyakinan orang lain, bergantung pada dukungan sosial, dan
melakukan strategi pemecahan masalah yang terencana (Lazarus dan Folkman
1984).
Stres
McKinnon (1998) memandang stres sebagai kondisi yang tidak
menyenangkan baik secara emosional, fisik, mental, atau kombinasi dari
ketiganya. Kondisi tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memenuhi
harapan dalam kehidupan. Caplan (1964) diacu dalam Miller (1988)
mendefinisikan stres sebagai gangguan secara kontinu sehingga sistem tidak
berada dalam keseimbangan. Stres menurut Poerwandari (2005) adalah suatu
keadaan dimana individu terganggu keseimbangannya karena situasi internal
maupun eksternal.
Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa stres adalah keadaan
yang menekan dan membahayakan individu serta telah melampaui sumberdaya
yang dimiliki, namun stres tidak hanya mempunyai nilai negatif tetapi juga positif.
Stres juga dapat diartikan sebagai: (1) stimulus, merupakan kondisi yang
menimbulkan stres atau disebut dengan stresor; (2) respon, merupakan suatu
perilaku individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan
stres. Respon yang muncul dapat secara fisiologis seperti: jantung berdebar,
gemetar, dan pusing. Sedangkan secara psikologis seperti: takut, cemas, sulit
9
berkonsentrasi, dan mudah tersinggung; (3) proses, merupakan kondisi dimana
individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah
laku, kognisi, maupun afeksi.
Faktor Stres (Stresor)
Ada dua faktor penyebab stres yaitu berhubungan dengan individu itu
sendiri dan situasi yang dialami individu. Situasi yang berhubungan dengan
individu dapat berupa kondisi tubuh, seperti hawa panas atau dingin yang
berlebihan dan luka atau penyakit. Keadaan sakit menyebabkan munculnya
tuntutan pada kebutuhan biologis dan psikologis individu. Derajat stres yang
timbul tergantung pada keseriusan penyakit dan usia individu tersebut.
Sedangkan situasi yang dialami individu dapat berupa pertambahan anggota
keluarga, perceraian, kematian, pekerjaan, serta keadaan lingkungan (Sarafino
1998).
Menurut Florence dan Setright (1994) diacu dalam Sunarti (2008), faktor
stres atau sumber stres dapat dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu: (1) faktor
fisik, contohnya : obat, keributan, suhu; (2) faktor sosial, contohnya : sakit kronis
atau akut, kematian pasangan, putus hubungan, kesepian, perkawinan,
kehilangan pekerjaan, perampokan; (3) faktor psikologi, merupakan bentuk stres
yang paling merusak dan melibatkan rasa takut, cemas, cemburu, benci, cinta,
rasa bersalah. Contohnya adalah kehilangan harapan, kegagalan, penolakan
dan kekecewaan.
Tipe Stres
Lazarus (2000) menyatakan bahwa The American Psychological
Association (APA) mengklasifikasikan stres menjadi empat tipe, yaitu:
1. Stres akut, diakibatkan karena terhambatnya rencana dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya: terlambat bekerja karena masalah transportasi dan
deadline tugas yang belum selesai. Gejala dari stres akut yaitu: (1) emosional
(khawatir, marah, mudah tersinggung, cemas, frustasi, tidak sabar); (2)
masalah fisik (letih, pusing, sakit punggung dan rahang, gemetar, kedinginan,
sakit otot, urat, dan sendi); (3) masalah pencernaan (liver, maag, diare,
konstipasi, kembung, sakit perut); (4) gangguan organ vital (hipertensi,
serangan jantung, detak jantung cepat, detak jantung cepat, berkeringat,
pusing, nafas pendek, sakit dada); (5) gangguan mental (bimbang,
10
ketidakmampuan konsentrasi, tidak dapat mengambil keputusan, pikiran
melayang, lambat berpikir, berpikiran kosong)
2. Stres akut sebagian, yaitu reaksi terhadap kondisi yang seketika terjadi,
misalnya tergesa-gesa. Gejala yang timbul antara lain: sakit kepala keras,
sakit dada, asma, hipertensi, dan serangan jantung.
3. Stres kronis, yaitu stres jangka panjang yang dapat diasosiasikan dengan
masalah kemiskinan, sakit, ketidakberfungsian keluarga, dan ketidakpuasan
bekerja. Gejala yang ditimbulkan antara lain: tidak nafsu makan atau nafsu
makan berlebih, perasaan tidak aman, kekurangan sistem imun, serangan
jantung, sakit kronis di bagian tubuh, pesimis, pemarah, ketidakmampuan
konsentrasi, ketidakmampuan bertindak, letih luar biasa, sakit kepala migrain,
cemas tinggi, kesepian, selalu tersinggung, depresi, sinis, rendah diri, dan
gangguan pencernaan.
4. Stres trauma, yaitu stres ketika individu memiliki pengalaman yang berakibat
trauma, misalnya: kecelakaan, korban kriminal, kehilangan pekerjaan,
bencana alam, dan perampokan. Stres ini dapat berakibat penolakan
terhadap mekanisme koping. Gejala yang dapat ditimbulkan antara lain: (1)
perasaan tidak dapat diprediksikan, moody, cemas, gugup, depresi; (2)
mudah mengingat kejadian dan ketidakmampuan konsentrasi; (3) serangan
jantung, berkeringat, sakit kepala, sakit dada, gangguan pencernaan; (4)
tertekan, kurangnya frekuensi komunikasi dengan anggota keluarga, menarik
diri dari aktivitas kelompok.
Dampak Stres
Stres dapat mempengaruhi kesehatan individu dalam dua cara. Pertama,
perubahan yang diakibatkan stres secara langsung mempengaruhi kesehatan.
Kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi perilaku individu sehingga
menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada
(Sarafino 1998). Andersen (1988) diacu dalam Sarafino (1998) juga menjelaskan
hubungan stres dengan penyakit sebagai berikut:
1. Stres sebagai penyebab penyakit, merupakan efek langsung psikologis
dimana stres akan mempengaruhi fungsi fisik tubuh. Akibatnya tubuh menjadi
lemah sampai beberapa sistem organ tidak berfungsi secara normal.
2. Penyakit sebagai penyebab stres, merupakan efek dari keadaan sakit
menyebabkan tuntutan untuk menyesuaikan diri. Dibandingkan dengan jenis
11
penyakit lainnya, penyakit kronis melibatkan penyesuaian diri selama kurun
waktu tertentu.
Bentuk Stres
Terdapat dua bentuk stress yaitu eustress dan distress. Eustress adalah
kondisi stres yang membawa efek positif dikarenakan pengelolaan stres yang
baik. Sebaliknya, distress adalah kondisi negatif stres diakibatkan
ketidakmampuan pengelolaan stres karena tingginya tingkat stres yang diderita.
Distress merupakan suatu kondisi subjektif yang tidak menyenangkan. Dua
bentuk utama distress adalah depresi dan kecemasan. Kecemasan merupakan
keadaan diri yang ditandai dengan tegang, tidak dapat istirahat, khawatir, lekas
marah, dan takut. Sedangkan depresi merupakan keadaan diri yang ditandai
dengan perasaan sedih, kesepian, demoralisasi, putus asa, sulit tidur, dan
menginginkan kematian (Mirrowsky & Ross 1989) diacu dalam Sunarti (2008).
Kecemasan
Kecemasan adalah kondisi membingungkan yang muncul tanpa alasan dari
kejadian yang akan datang. Kecemasan akan muncul pada keluarga yang salah
satu anggota keluarganya sedang sakit. Bila salah satu anggota keluarga sakit
maka hal tersebut akan menyebabkan terjadinya krisis pada keluarga.
Post (1978) diacu dalam Trismiati (2004) mengemukakan bahwa
kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan, yang ditandai
oleh perasaan subjektif seperti ketegangan, ketakutan, dan kekhawatiran.
Menurut Bucklew (1980) diacu dalam Trismiati (2004), para ahli membagi bentuk
kecemasan terbagi menjadi dua, yaitu: (1) psikologis yaitu kecemasan yang
terlihat sebagai gejala kejiwaan, seperti tegang, bingung, khawatir, sukar
berkonsentrasi, dan perasaan tidak menentu; (2) fisiologis yaitu kecemasan yang
terlihat sebagai gejala fisik, misalnya tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar,
gemetar, dan perut mual.
Dukungan Sosial
Dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan
diperhatikan, dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi (Taylor
1999). Smet (1994) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu
fungsi dari ikatan sosial yang menggambarkan kualitas hubungan interpersonal.
12
Hubungan interpersonal dianggap sebagai aspek kepuasan secara emosional
dalam kehidupan individu. Dukungan sosial yang diterima dapat membuat
individu merasa percaya diri, tenang, diperhatikan, dicintai, dan kompeten.
Dukungan sosial terdiri dari informasi verbal, non verbal, dan tindakan yang
diberikan oleh orang lain sehingga mempunyai manfaat emosional bagi individu.
Jenis Dukungan Sosial
Smet (1994) dan Sarafino (1998) membedakan empat jenis dukungan
sosial yaitu :
a. Dukungan emosional, mencakup ungkapan dan perilaku empati, afeksi,
kepedulian, sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai dan
diperhatikan.
b. Dukungan penghargaan, mencakup ungkapan hormat positif, dorongan, dan
persetujuan atas gagasan atau perasaan individu. Pemberian dukungan ini
membantu individu melihat segi positif dalam dirinya yang berfungsi untuk
menambah penghargaan dan kepercayaan diri saat mengalami tekanan.
c. Dukungan instrumental, mencakup bantuan secara langsung sesuai dengan
yang dibutuhkan individu, seperti bantuan finansial atau pekerjaan pada saat
mengalami stres.
d. Dukungan informatif, mencakup pemberian nasehat, petunjuk, saran atau
umpan balik yang diperoleh dari orang lain, sehingga individu dapat mencari
jalan keluar untuk memecahkan masalahnya.
Sumber Dukungan Sosial
Menurut Rook dan Dooley (1985) diacu dalam Febriasari (2007) ada dua
sumber dukungan sosial, yaitu :
a. Sumber natural: dukungan sosial yang diterima seseorang melalui interaksi
sosial secara spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya,
misalnya anggota keluarga (anak, istri, suami), teman dekat atau relasi.
Dukungan sosial ini bersifat non formal.
b. Sumber artificial: dukungan sosial untuk kebutuhan primer seseorang,
misalnya dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan.
13
Perilaku Hidup Sehat
Perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh
mahluk hidup. Sehat menurut WHO adalah keadaan sempurna baik fisik, mental,
maupun sosial. Sedangkan menurut UU Kesehatan No.23 Tahun 1992,
kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial, yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi
(Notoatmodjo 2007).
Menurut Notoatmodjo (2007) perilaku hidup sehat adalah segala respon
seseorang yang berkaitan dengan penyakit, pelayanan kesehatan, makanan dan
minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat
diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu:
1. Pemeliharaan kesehatan (health maintanance): perilaku seseorang untuk
memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk
penyembuhan ketika sakit.
2. Penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan (health seeking behavior):
Perilaku ini menyangkut upaya seseorang pada saat menderita penyakit atau
kecelakaan.
3. Kesehatan lingkungan: respon seseorang terhadap lingkungan agar tidak
mempengaruhi kesehatannya.
Adapun penyebab yang menentukan perilaku kesehatan dibedakan menjadi dua,
yaitu : (1) faktor internal (karakteristik seseorang), misalnya tingkat kecerdasan,
tingkat emosional, jenis kelamin; (2) faktor eksternal yaitu lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, politik. faktor yang paling dominan menetukan perilaku
kesehatan yaitu faktor lingkungan.
Tindakan pencegahan penyakit TB paru, merupakan upaya pencegahan
agar penyakit ini tidak menyebar dan menulari orang lain. Upaya tersebut antara
lain: pengobatan TB paru dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat
(Notoatmodjo 2007).
Menurut Depkes (2007), terdapat sepuluh indikator yang meliputi tujuh
indikator perilaku hidup bersih sehat dan tiga indikator gaya hidup sehat, yaitu:
(1) membuka jendela pada pagi hari sampai sore hari agar rumah mendapat
sinar matahari dan udara yang cukup; (2) menjemur kasur, bantal, dan guling
secara teratur sekali seminggu; (3) kesesuaian luas lantai dengan jumlah hunian;
(4) menjaga kebersihan diri, rumah, dan lingkungan sekitar rumah; (5) lantai
diplester atau dipasang keramik; (6) bila batuk, mulut ditutup; (7) tidak meludah
14
disembarang tempat tapi menggunakan tempat khusus; (8) istirahat cukup dan
tidak tidur larut malam; (9) makan makanan bergizi seimbang; dan (10) hindari
polusi udara dalam rumah seperti asap dapur dan asap rokok.
Tuberkulosis (TB) Paru
Tuberkulosis (TB) adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Infeksi ini paling sering mengenai paru tetapi dapat
juga mengenai organ-organ tertentu (Brewis 1983) diacu dalam Nawas A (1990).
TB paru merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Hal ini
tercermin pada prevalensi TB paru dengan BTA (+) yang cukup tinggi yaitu 0,3%
artinya diantara 1000 orang penduduk Indonesia dapat dijumpai 3 orang
penderita TB paru yang masih potensial menular. Di Indonesia, TB paru
merupakan penyebab kematian selain penyakit ISPA, diare dan penyakit jantung
koroner (Handoko T 1984) diacu dalam Nawas A (1990).
Gambaran Klinis TB Paru
Menurut Rasmin R (1987) diacu dalam Nawas A (1990), mengemukakan
gambaran klinis TB paru dapat dibagi atas dua gejala, yaitu:
1. Gejala sistemik (umum) meliputi demam, tidak enak badan, nafsu makan
berkurang yang menyebabkan penurunan berat badan, sakit kepala dan
badan pegal. Pada wanita dapat dijumpai gangguan siklus haid.
2. Gejala respiratorik (paru) melipuit batuk, batuk darah, sesak napas, dan nyeri
dada.
Faktor Resiko TB Paru
Terdapat tiga faktor resiko TB paru, yaitu kepadatan tempat tinggal,
kopndisi rumah, dan sosial ekonomi keluarga.
Kepadatan Tempat Tinggal. Kepadatan tempat tinggal dapat
mempengaruhi penyebab penularan penyakit. Semakin padat tempat tinggal,
penyakit semakin cepat menular melalui udara. Suhu didalam ruangan erat
kaitannya dengan kepadatan tempat hunian dan ventilasi rumah. Kuman TB paru
akan menjadi inaktif oleh cahaya matahari yang dapat mematikan fungsi vital
organisme (Starke JR & Munoz F 2003).
Kepadatan tempat tinggal yang ditetapkan oleh Depkes (2008), yaitu rasio
luas lantai seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni. Adapun batas minimal
15
kepadatan tempat tinggal adalah 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2
dan tidak dianjurkan digunakan lebih dua orang tidur dalam satu ruang tidur,
kecuali anak dibawah umur lima tahun. Di daerah perkotaan yang lebih padat
penduduknya, peluang terjadinya kontak dengan penderita TB paru lebih besar
(Karyadi E et al. 2006).
Kondisi Rumah. Tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi setiap
manusia. Tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan kesehatan
lingkungan dapat terlihat dari kondisi lingkungan tempat tinggal. Rumah dapat
dikatakan aman dan sehat jika memenuhi syarat tertentu.
Sesuai dengan Kepmenkes No.829/MenKes/SK/VII/1999 diacu dalam
Azwar (1999) terdapat indikator rumah yang sehat yaitu : (1) lantai tidak berdebu
pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan; (2) sebaiknya dinding
dari tembok namun bila di daerah tropis dan ventilasi kurang akan lebih baik
dinding dari papan; (3) atap genting cocok untuk daerah tropis, sedangkan atap
seng atau asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan karena menimbulkan suhu
panas di dalam rumah; (4) ventilasi cukup, yaitu minimal luas ventilasi adalah
15% dari luas lantai. Ventilasi mempunyai fungsi: menjaga aliran udara di dalam
rumah tetap segar sehingga keseimbangan oksigen (O2) yang diperlukan oleh
penghuni rumah tetap terjaga, menjaga udara di ruangan rumah selalu tetap
dalam kelembaban yang optimum, dan membebaskan udara ruangan dari bakteri
patogen (pembawa penyakit); (5) cahaya matahari cukup, yang diperoleh dari
ventilasi maupun genting kaca. Suhu udara yang ideal antara 18 - 30°C dan sinar
matahari selama lima menit dapat membunuh Mycobacterium tuberculosis; (6)
luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup
sesuai dengan jumlah penghuninya. Rumah yang tidak sehat disebabkan
kurangnya O2 dan mudahnya proses penularan penyakit.
Sosial Ekonomi Keluarga. WHO (2003) menyebutkan bahwa 90%
penderita TB di seluruh negara menyerang kelompok sosial ekonomi lemah.
Menurut Enarson DA et al. (1993) TB merupakan penyakit terbanyak yang
menyerang negara dengan penduduk berpendapatan rendah. Sosial ekonomi
yang rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan tempat tinggal yang tinggi.
Selain itu, kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi masalah bagi golongan sosial
ekonomi rendah.
16
Karakteristik Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri,
atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya (UU
No.52 tahun 2009). Keluarga menyediakan keseimbangan kebutuhan antar
individu sebagai anggota keluarga dan tuntutan serta harapan dari masyarakat
yang ada. Empat ciri keluarga yaitu : (1) susunan orang-orang yang disatukan
oleh perkawinan, darah atau adopsi; (2) hidup bersama di bawah satu atap
(rumah tangga); (3) kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi
(peran sosial); dan (4) pemeliharaan suatu kebudayaan (Puspitawati 2006).
Terdapat 8 fungsi keluarga menurut PP No.21 tahun 1994, diacu dalam
Puspitawati (2006) tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera
yang dijalankan untuk mencapai tujuan keluarga, yaitu : fungsi keagamaan,
sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosial dan pendidikan,
ekonomi, dan pembinaan lingkungan.
Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga adalah jumlah seluruh hasil perolehan yang didapat
oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Sajogjo
(1994) menyatakan bahwa pendapatan keluarga meliputi penghasilan ditambah
dengan hasil-hasil lain.
Menurut BPS (2002) diacu dalam Shinta (2008), pendapatan rumah tangga
atau keluarga adalah seluruh penghasilan atau penerimaan berupa uang dari
seluruh anggota yang diperoleh berupa upah atau gaji, pendapatan dari usaha
rumah tangga atau penerimaan lainnya.
Pendapatan keluarga merupakan aspek yang sangat penting dan sangat
berpengaruh pada keluarga dengan penyakit kronis, karena tidak jarang mereka
membatalkan pengobatan medis meskipun telah menderita penyakit kronis
sehingga memunculkan komplikasi penyakit (Sugianto 2007). Goldsmith (2005)
diacu dalam Mimbs & Lewis (2009) menyatakan bahwa setiap tindakan memiliki
konsekuensi sehingga manajemen input menentukan outcome yang dihasilkan.
Jika keluarga dengan penyakit kronis memiliki kemampuan manajemen sumber
daya dengan baik, maka kendala keuangan dapat diatasi.
17
Pendidikan
Pendidikan formal dan non-formal serta pengetahuan orang tua dan anak-
anak sangat penting dalam menetukan status kesehatan dan gizi keluarga.
Pendidikan dapat membantu memperlancar komunikasi serta mempengaruhi
proses pemberian dan penerimaan informasi tentang kesehatan sehingga dapat
dengan mudah diterima oleh keluarga. Tingkat pendidikan ibu dapat berpengaruh
terhadap status anak dan keluarga (Sukarni 1994).
Pekerjaan
Mata pencaharian kepala keluarga sangat berpengaruh terhadap
ketahanan keluarga terutama status kesehatan keluarga (Sukarni 1994).
Terdapat kaitan antara pekerjaan orang tua dengan karakteristik keluarga yaitu
gambaran mengenai tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga bisa dikategorikan
miskin atau tidak miskin berdasarkan beberapa indikator dan pendekatan.
Pendekatan kemiskinan menurut Hamudy (2008) diacu dalam Shinta (2008),
yaitu: (1) pendapatan: seseorang dikatakan miskin jika pendapatan dan
pengeluaran berada di bawah batas secara sosial; (2) kebutuhan dasar: miskin
jika tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan, papan,
pendidikan dasar; (3) aksesibilitas: miskin karena kurang akses terhadap
infrastruktur sosial dan fisik, informasi, pasar, dan teknologi; (4) kemampuan
manusia: miskin jika tidak memiliki kemampuan minimal yang dapat berfungsi.
Tingkat kesejahteran dapat diukur dengan kriteria BPS dan kriteria
pengeluaran pangan. Untuk mengukur garis kemiskinan, BPS menggunakan
batas pendapatan perkapita yang diturunkan dari kebutuhan dasar kalori minimal
2100 kkal/kapita/bulan. Garis kemiskinan di Jawa Barat untuk wilayah perkotaan
Rp. 203.751,00/kapita/bulan dan untuk perdesaan Rp. 175.193,00/kapita/bulan
(BPS 2009). Garis kemiskinan Kota Bogor yaitu apabila pendapatan kurang dari
Rp. 223.218,00/kapita/bulan (BPS Bogor 2009). Adapun untuk mengukur garis
kemiskinan yaitu berdasarkan jumlah pengeluaran pangan >50% dari
keseluruhan pengeluaran keluarga (BPS 2009).
Usia
Umur orang tua, terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam
mengatur keluarga. Ibu dengan usia muda cenderung lebih memperhatikan
kepentingannya sendiri daripada kepentingan keluarganya. Usia dewasa dibagi
18
menjadi 3 kategori (Hurlock 1993), yaitu: dewasa muda (19-29 tahun), dewasa
madya (30-49 tahun), dan dewasa akhir (50-69 tahun).
Besar Keluarga
Sanjur (1982) diacu dalam Devi (2004) menyatakan bahwa besar keluarga
akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Harper (1988) diacu dalam
Fitriyani (2008) menyatakan bahwa keluarga miskin dengan jumlah anggota
keluarga yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Keluarga dengan kondisi krisis bergantung pada besar keluarga, semakin besar
keluarga maka semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup. Besar keluarga akan
mempengaruhi status kesehatan keluarga.
Sanitasi
Sanitasi lingkungan biasanya sangat erat kaitannya dengan kondisi
permukiman. Kusnoputranto (1983) diacu dalam Fitriyani (2008) mendefinisikan
sanitasi lingkungan sebagai usaha pengendalian dari faktor-faktor lingkungan
fisik yang mungkin menimbulkan kerugian bagi perkembangan fisik, kesehatan
dan daya tahan hidup manusia. Dapat disimpulkan bahwa sanitasi lingkungan
merupakan pengelolaan berbagai faktor yang mempengaruhi kesehatan
manusia. Pengelolaan sanitasi lingkungan meliputi: (1) penyediaan air rumah
tangga yang baik; (2) pengaturan pembuangan kotoran manusia; (3) pengaturan
pembuangan sampah; (4) pengaturan pembuangan air limbah ; (5) pengaturan
rumah sehat; (6) pembasmian binatang-binatang penyebar penyakit seperti lalat
dan nyamuk; (7) pengawasan polusi udara; dan (8) pengawasan radiasi dari
sisa-sisa zat radio aktif. Untuk mengukur sanitasi keluarga terdiri dari tiga aspek,
yaitu kondisi fisik rumah, sarana rumah tangga, dan sumber air.
Kondisi Fisik Rumah. Rumah merupakan bagian dari kebutuhan dasar
dalam kehidupan manusia selain sandang dan pangan. Rumah tidak hanya
befungsi sebagai tempat berlindung, tetapi juga sebagai tempat tinggal. Aspek
kesehatan, kenyamanan, dan estetika berkaitan dengan tingkat kesejahteraan
penduduk (BPS 2000).
Sarana Rumah Tangga. Rumah yang sehat menurut Notoatmodjo (2007)
harus mempunyai berbagai fasilitas, seperti penyediaan air bersih, pembuangan
tinja, pembuangan air limbah pembuangan sampah, dapur, dan ruang berkumpul
19
keluarga. Untuk perumahan di pedesaan, biasanya disediakan gudang sebagai
tempat penyimpanan hasil panen dan kandang ternak.
Sumber Air. Air merupakan kebutuhan yang paling penting bagi manusia.
Fungsi air dalam kehidupan sehari-hari antara lain: untuk memasak, minum,
mandi, dan mencuci. Adapun syarat air minum yang baik dapat dilihat melalui
fisik, meliputi tidak berwarna (jernih), berasa, berbau, mengandung bahan kimia
dan bakteri.
Menurut Sukarni (1994), air dapat dibedakan berdasarkan sumbernya,
yaitu: (1) air hujan, yaitu air yang diperoleh dari proses prespitasi awan dan
atmosfer yang mengandung air; (2) air permukaan tanah, yaitu air tergenang
atau air mengalir, misalnya: sungai, danau, laut; (3) air tanah, yaitu air
permukaan tanah yang telah masuk ke dalam tanah dan mengalami penyaringan
oleh tanah, batu-batuan, atau pasir.
KERANGKA PEMIKIRAN
Keluarga harus menyediakan kebutuhan anggota dan harapan dari
kehidupan masyarakat. Penyakit yang diderita salah satu anggota keluarga akan
mempengaruhi keluarga tersebut. Bila salah satu individu dalam sebuah keluarga
menderita penyakit TB paru, maka hal ini tidak hanya menimbulkan stres pada
dirinya sendiri tetapi juga pada keluarganya.
Keluarga dengan penyakit TB paru memiliki karakteristik sosial ekonomi
yang merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan perilaku hidup
sehat. Pendapatan keluarga merupakan aspek yang sangat penting pada
keluarga dengan penyakit TB paru. Pendapatan yang rendah dapat menimbulkan
stres keluarga karena kurangnya kebutuhan sehari-hari. Pendidikan dapat
membantu memperlancar komunikasi serta mempengaruhi proses pemberian
dan penerimaan informasi tentang kesehatan sehingga dapat dengan mudah
diterima oleh masyarakat atau keluarga. Tingkat pendidikan yang rendah dapat
menyebabkan pengetahuan tentang lingkungan dan kesehatan juga rendah.
Pekerjaan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Usia
orang tua berkaitan dengan pengalaman dalam mengatur keluarga. Dalam
hubungannya dengan pengeluaran keluarga, besar keluarga akan
mempengaruhi pengeluaran rumah tangga sehingga dapat dilihat tingkat
kesejahteraannya (Sukarni 1994). Sanitasi merupakan usaha pengendalian dari
faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan kerugian bagi
perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia. Pengelolaan
sanitasi lingkungan meliputi kondisi fisik rumah, sarana rumah tangga, dan
sumber air keluarga dengan TB paru (Kusnoputranto 1983) diacu dalam Fitriyani
(2008). Perilaku hidup sehat keluarga dengan TB paru adalah segala respon
seseorang yang berkaitan dengan penyakit TB Paru, sistem pelayanan
kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Tindakan pencegahan
penyakit TB Paru merupakan upaya pencegahan agar tidak menulari orang lain.
Upaya tersebut antara lain: pengobatan dan menerapkan perilaku hidup sehat
(Notoatmodjo 2007).
Situasi yang berhubungan dengan individu seperti penyakit TB paru
menyebabkan munculnya tuntutan biologis dan psikologis individu. Derajat stres
akan timbul tergantung pada keseriusan penyakit dan usia individu tersebut.
Tetapi hal itu tidak hanya berdampak pada diri individu, melainkan pada seluruh
21
anggota keluarga. Penyakit sebagai penyebab stres merupakan efek dari
keadaan sakit menyebabkan tuntutan untuk menyesuaikan diri. Terdapat dua
bentuk stres yaitu eustress dan distress. Eustres adalah kondisi stress yang
membawa efek posiitif dikarenakan pengelolaan stres yang baik. Sebaliknya,
distress adalah kondisi negatif stres diakibatkan ketidakmampuan pengelolaan
stres karena tingginya tingkat stres yang diderita. Dua bentuk utama distress
adalah depresi dan kecemasan. Kecemasan merupakan keadaan diri yang
ditandai dengan tegang, tidak dapat istirahat, khawatir, lekas marah, dan takut
(Mirrowsky & Ross 1989) diacu dalam Sunarti (2008).
Untuk menghadapi stres, keluarga perlu meningkatkan koping yang efektif.
Strategi dan proses koping keluarga berfungsi sebagai mekanime agar fungsi-
fungsi keluarga tercapai. Tanpa koping yang efektif, fungsi ekonomi, sosialisasi,
perawatan keluarga tidak dapat dicapai secara optimal (Friedman 1998). Oleh
sebab itu, koping keluarga merupakan proses penting yang membuat keluarga
mampu mencapai fungsi-fungsi keluarganya secara optimal. Adapun jenis koping
terbagi menjadi 2 yaitu: emotion-focused coping dan problem-focused coping.
Emotion-focused coping bertujuan untuk mengontrol respon emosional yang
muncul dalam menghadapi stresor. Individu cenderung menggunakan bentuk ini
karena keyakinan melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan. Problem-
focused coping bertujuan untuk mengurangi tuntutan stresor atau
mengembangkan sumber daya dalam menghadapi tuntutan. Individu cenderung
menggunakan bentuk ini karena keyakinan bahwa tuntutan stresor atau sumber
daya mereka masih dapat diubah (Lazarus dan Folkman 1984).
Kelentingan adalah proses dinamis untuk bertahan dari krisis serta
kemampuan beradaptasi secara positif (Walsh 2002). Mackay (2003)
mengemukakan aspek yang dapat menjadi faktor kelentingan keluarga, yaitu:
family cohesion, family belief system, dan komunikasi. Hubungan emosional
antara anggota keluarga sangat penting bagi keberfungsian keluarga. Keluarga
yang memiliki ikatan emosional yang baik mampu menghadapi tantangan dan
mengatasi stres dengan baik. Keluarga dengan tingkat kohesi yang tinggi tetapi
seimbang, sedikit mengalami tekanan dan tingkat kesejahteraan keluarga tinggi.
Family belief system merupakan inti dari fungsi keluarga yang mencakup nilai,
sikap, keyakinan, bias, dan asumsi. Family belief system yang dominan dapat
membentuk keluarga untuk menghadapi krisis dan kesulitan.
22
Komunikasi adalah aspek kunci dari fungsi keluarga. Komunikasi efektif
sangat penting dalam pengambilan keputusan bersama yang dicapai melalui
negosiasi, kompromi, dan umpan balik. Kelentingan yang baik menunjukkan
bahwa keluarga mampu mengelola konflik dengan baik. Pengelolaan konflik
sangat tergantung pada komunikasi dan keterampilan penyelesaian masalah
(Mackay 2003)
Kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1 berikut.
Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran Tingkat Kecemasan, Dukungan Sosial, dan Mekanisme Koping Terhadap Kelentingan Keluarga dengan Penyakit TB Paru di Kecamatan Ciomas, Bogor
Kelentingan Keluarga : Family Cohesion Family Belief System Komunikasi
Mekanisme Koping : Problem-focus coping Emotion-focus coping
Tingkat kecemasan
Stres
Perilaku Hidup Sehat
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga dengan TB Paru: Pekerjaan Pendapatan keluarga Pendidikan Usia Besar keluarga Sanitasi
Dukungan Sosial
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, yaitu data diambil
pada satu periode waktu secara bersamaan dengan sampel yang berbeda.
Penelitian ini dilakukan di wilayah Puskesmas Ciomas yang terdiri dari 3 Desa di
Kecamatan Ciomas yaitu Desa Ciomas, Ciomas Rahayu, dan Pagelaran.
Pemilihan tempat dan contoh dilakukan secara sengaja (purposive sampling)
berdasarkan kemudahan akses dan penderita penyakit TB paru kedua terbanyak
di Kabupaten Bogor setelah Cileungsi (Gerduda TB 2000). Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan April sampai dengan November 2010 yang meliputi
pengumpulan, pengolahan, serta analisis data.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
Populasi penelitian ini adalah seluruh subjek atau contoh yang terpilih di
salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor yaitu Kecamatan Ciomas. Kriteria
contoh yaitu anggota keluarga (orang tua) sebagai penderita penyakit TB paru.
Populasi contoh tersebar berdasarkan 4 UPT Puskesmas Kecamatan Ciomas
yang kemudian disebut cluster area yaitu Puskesmas Kota Batu, Ciomas,
Laladon, dan Ciapus. Selanjutnya secara purposive terpilih Puskesmas Ciomas
sebagai contoh cluster pemilihan dengan pertimbangan kemudahan akses dan
karakteristik contoh yang cukup banyak dibanding puskesmas lain. Puskesmas
ini membawahi tiga desa, yaitu Desa Ciomas, Desa Ciomas rahayu, dan Desa
Pagelaran. Jumlah contoh dari tiga desa terpilih yaitu 49 orang yang aktif berobat
TB paru ke Puskesmas Ciomas dan bersedia diwawancarai.
Gambar 2 Cara Pengambilan Contoh
Populasi : Keluarga dengan TB paru di Kecamatan Ciomas
Cluster Area
Puskesmas Ciomas
Puskesmas Laladon
Puskesmas Ciapus
Puskesmas Kota Batu
Desa Ciomas, Ciomas Rahayu, dan Pagelaran (n=49 keluarga)
24
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer
yaitu data yang berasal langsung dari objek penelitian, yang diperoleh dengan
survey (wawancara kepada contoh dan pasangan dengan kuesioner terstruktur)
dan observasi. Sedangkan data sekunder meliputi data pasien aktif Puskesmas
Ciomas, gambaran umum lokasi penelitian, penelusuran pustaka dan lain-lain.
Tabel 1 Peubah, Jenis Data, dan Cara Pengumpulan Data
Peubah Jenis Data Cara Pengumpulan Data Skala dataPerilaku Hidup Sehat Primer Wawancara ordinalRiwayat Kesehatan Primer Wawancara nominalKarakteristik Keluarga Pekerjaan Primer Wawancara nominal Pendidikan Primer Wawancara ordinal Pendapatan keluarga Primer Wawancara rasio Usia Primer Wawancara rasio Besar keluarga Primer Wawancara rasio Sanitasi Primer Wawancara dan observasi ordinalTingkat Kecemasan Primer Wawancara ordinalMekanisme koping Primer Wawancara ordinalKelentingan Keluarga Primer Wawancara ordinalKeadaan Umum Lokasi Penelitian
Sekunder Kantor Desa -
Tabel 2 Kategori Variabel Penelitian
No. Variabel Kategori Keterangan
Kelentingan Keluarga1. Family Cohesion Kebersamaaan
Keseimbangan Kedekatan loyalitas Aktivitas Kemandirian
2. Family Belief System
Kemampuan untuk memaknai kesulitan
Pandangan positif Spiritual atau transedensi
3. Komunikasi Kejelasan pesan Keterbukaan penyampaian emosi Kolaboratif dalam pemecahan
masalah
Mackay (2003) & Sixbey (2005) diacu dalam Lum C (2008)
Mekanisme Koping Keluarga4. Problem-focused
coping5. Emotion-focused
coping
Folkman (1986) &
Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga6. Family Integration,
Kerjasama, dan Optimisme
7. Dukungan Sosial,
Mc.Cubbin & Mc.Cubbin (1979)
25
Penghargaan Diri, dan Psychological Stability
8. Komunikasi dan konsultasi kesehatan
Dukungan Sosial9. Dukungan
Emosional10. Dukungan
Penghargaan 11. Dukungan
Instrumental 12. Dukungan
Informatif
Smet (1994) dan Sarafino (1998) & Permatasari (2006)
Stres13. Tingkat Kecemasan Normal
Ringan-sedang Berat Ekstrim
Zung (1971)
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga14. Usia 19-29 tahun
30-49 tahun 50-69 tahun
Hurlock (1993)
15. Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD SD SMP SMA Diploma Sarjana Pasca sarjana
Ketentuan peneliti
16. Pekerjaan Tidak bekerja Petani Pedagang Buruh PNS/ABRI/Polisi Wiraswasta Karyawan swasta Lainnya
Ketentuan peneliti
17. Besar keluarga Kecil (≤4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (≥8 orang)
Hurlock (1993)
18. Pendapatan keluarga
< Rp. 500.000,00 Rp. 500.000,00 – Rp. 1.000.000,00 Rp. 1.000.000,00 – Rp. 1.500.000,00 Rp. 1.500.000,00 – Rp. 2.000.000,00 Rp. 2.000.000,00 – Rp. 2.500.000,00 > Rp. 2.500.000,00
Ketentuan peneliti
SanitasiKondisi Fisik Rumah19. Kepemilikan rumah Milik sendiri
kontrak Sewa Lainnya
Ketentuan Peneliti
26
20. Jenis lantai Seluruhnya tanah Tanah dan Semen Lantai keramik Lainnya
BPS (2000)
21. Dinding Bambu/triplek/kayu Tembok plester/tanpa plester Lainnya
BPS (2000)
22. Ventilasi Tidak ada Ada, tetapi tertutup Ada, terbuka
BPS (2000)
23. Atap Ijuk Seng Genteng Lainnya
BPS (2000)
24. Jendela Tidak ada Ada, tetapi hanya di beberapa
ruangan Ada, hampir setiap ruangan
BPS (2000)
25. Luas ruangan per orang
Baik (> 8m2/orang) Sedang ( 5-8m2/orang) Kurang (< 5m2/orang)
BPS (2000)
Sarana Rumah Tangga26. Ketersediaan
kamar mandi Ya Tidak
Ketentuan peneliti
27. Kondisi kamar mandi
Tanah dan Semen Lantai keramik Lainnya
Ketentuan peneliti
28. Ketersediaan jamban
Ya (septic tank/tanpa septic tank) Tidak (sungai/empang) Lainnya
Ketentuan peneliti
29. Pembuangan sampah
Sungai TPS Lainnya
Ketentuan peneliti
30. Pembuangan air limbah
Sungai Selokan Lainnya
Ketentuan peneliti
Sumber Air31. Sumber air minum Air hujan/sungai
Mata air/sumur PAM/ledeng Lainnya
Sukarni (1994)
32. Sumber air bersih Air hujan/sungai Mata air/sumur PAM/ledeng Lainnya
Sukarni (1994)
Perilaku Hidup Sehat33. Pemisahan alat
makan dan minum Ya Tidak
Depkes (2007)
34. Menjemur kasur, bantal, dan guling
1 minggu sekali 2 minggu sekali 1 bulan sekali Lainnya
Depkes (2007)
35. Waktu tidur Kurang (< 8 Jam) Cukup (> 8 jam)
Depkes (2007)
27
36. Kebiasaan merokok Ya Tidak
Depkes (2007)
37. Olahraga 1 minggu sekali 2 minggu sekali 1 bulan sekali Lainnya
Depkes (2007)
38. Tindakan pengobatan
Dokter/mantri Puskesmas/klinik/rumah sakit Obat warung/Obat tradisional
Ketentuan peneliti
39. Diet Ya Tidak
Depkes (2007)
40. Menggunakan alat untuk batuk dan meludah
Ya Tidak Depkes (2007)
Uji Validitas dan Reliabilitas
1. Uji validitas
Uji validitasnya dilakukan dengan mengkorelasikan antara skor tiap item
dengan skor total. Teknik uji validitas dalam penelitian ini menggunakan
rumus korelasi product moment dari Pearson, yaitu :
rxy =
NYXXY
NYYNXX
/))(()(
/()/( 2222
keterangan :rxy = koefisien korelasi antara skor X (item) dengan skor Y (total) ∑XY = jumlah perkalian antara skor X (item) dengan skor Y (total) ∑X = jumlah skor item ∑Y = jumlah skor total N = jumlah subjek
Uji signifikansi untuk menentukan valid atau tidaknya suatu item adalah
dengan cara membandingkan rhitung dengan rtabel untuk tingkat signifikansi
0,05 dan N=49, maka rtabel=0,282. Jika rhitung > rtabel , maka pernyataan
tersebut valid. Berdasarkan hasil uji coba validitas dengan program SPSS
16.0 diperoleh uji validitas instrumen:
a. mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP), nilai terendah 0,885 dan
nilai tertinggi 0,896.
b. mekanisme koping keluarga, nilai terendah 0,912 dan nilai tertinggi 0,923.
c. kelentingan keluarga, nilai terendah 0,885 dan nilai tertinggi 0,904.
d. tingkat kecemasan, terdapat beberapa butir pernyataan yang dihapus
yaitu nomor 5, 18 dan 19 karena butir tersebut terbukti tidak valid. Adapun
butir pernyataan yang valid memiliki nilai terendah 0,646 dan nilai tertinggi
0,734.
28
e. dukungan keluarga terdapat beberapa butir pernyataan yang dihapus
yaitu nomor 5, 12, 25, 27, 29, 30, dan 34 karena butir tersebut terbukti
tidak valid. Adapun butir pernyataan yang valid memiliki nilai terendah
0,653 dan nilai tertinggi 0,711.
2. Uji reliabilitas
Teknik analisis yang digunakan adalah teknik uji reliabilitas alpha yang
dikembangkan oleh Cronbach, dengan rumus :
r11 =
21
2
11
b
k
k
Keterangan :r11 = reliabilitas instrumenk = jumlah item1 = bilangan konstan∑σb
2 = jumlah varians butirσ1
2 = varians total
Berdasarkan uji reliabilitas menggunakan rumus alpha diperoleh nilai
r11=0,892 untuk instrumen mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP),
sebesar 0,918 untuk instrumen mekanisme koping keluarga, sebesar 0,895
untuk instrumen kelentingan keluarga, sebesar 0,701 untuk instrumen tingkat
kecemasan, sebesar 0,701 untuk instrumen dukungan sosial. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa skala tersebut adalah reliabel karena rhitung > 0,6
sehingga dapat digunakan sebagai alat ukur.
Tabel 3 Interpretasi Realibilitas
Nilai realibilitas (rhitung) Interpretasi0,801 – 1,00
0,601 – 0,8000,401 – 0,6000,201 – 0,4010,001 – 0,200
BaikCukupAgak kurangKurangSangat kurang
Sumber: Arikunto (2002) diacu dalam Permatasari (2006)
Pengolahan dan Analisis Data
Menurut Notoatmodjo (2002) diacu dalam Marwiati (2005), agar analisa
penelitian menghasilkan informasi yang benar, ada 4 tahap yang digunakan
peneliti yaitu :
1. Editing, merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isi kuesioner
yang telah lengkap, jawaban dan tulisannya jelas untuk dibaca, relevan
dengan pertanyaan, serta konsisten.
29
2. Koding, merupakan kegiatan mengubah data dari berbentuk huruf
menjadi data yang berbentuk bilangan, sehingga akan mempermudah
pada saat analisis dan entri data.
3. Processing, merupakan langkah pemrosesan data agar dapat dianalisis,
yaitu dilakukan dengan cara memasukkan data dari kuesioner ke program
komputer.
4. Clearing, yaitu membersihkan data dan merupakan kegiatan pengecekan
kembali data yang sudah dientri di komputer.
Data yang terkumpul, ditabulasi, dan dianalisis secara deskriptif. Hasil
pengolahan data, selanjutmya dianalisis secara deskriptif dan statistik. Analisis
statistik menggunakan uji korelasi untuk menguji hubungan antar variabel, serta
uji regresi linier berganda untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh pada
kelentingan keluarga. Selain itu, diperlukan uji beda untuk menguji perbedaan
lama sakit dengan kemungkinan adaptasi atas situasi krisis.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penyajian
data dalam bentuk persentase, tabel, dan grafik. Sajian data tersebut kemudian
dirumuskan dalam bentuk teks sebagai interpretasinya. Data yang bersifat
kualitatif digambarkan dengan kata atau kalimat dan dipisahkan menurut kategori
untuk memperoleh hasil. Selanjutnya kategori tersebut dikuantitatifkan ke dalam
bentuk persentase. Dengan rumus sebagai berikut (Arikunto 2002) diacu dalam
Marwiati (2005):
P = N
nx 100 %
Keterangan :P = Persentasen = skor riilN = Total skor
Adapun instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah:
1. Karakteristik contoh, yang terdiri dari 3 pertanyaan terbuka yaitu pekerjaan,
pendidikan, dan usia.
2. Karakteristik keluarga, yang terdiri dari 2 pertanyaan terbuka yaitu:
pendapatan keluarga dan besar keluarga.
3. Riwayat kesehatan penderita dan keluarga, dengan 2 item pertanyaan
terbuka yaitu deskripsi dan dampak.
30
4. Sanitasi, yang terdiri dari 3 item yaitu: kondisi fisik rumah, sarana dalam
rumah tangga, dan sumber air dengan 12 pertanyaan tertutup dan 3
pertanyaan terbuka.
5. Perilaku hidup sehat, yang terdiri dari 7 pertanyaan tertutup dan 1 pertanyaan
terbuka.
6. Mekanisme koping kesehatan keluarga, kuesioner diadaptasi dari teori
Mc.Cubbin & Mc.Cubbin (1979) yang disusun dalam 45 butir pernyataan.
Skala pengukuran yang digunakan adalah dengan skala likert yaitu: sangat
membantu/menolong (skor 4), membantu/menolong (skor 3), kurang
membantu/menolong (skor 2), tidak membantu/menolong (skor 1). Skor yang
dihasilkan yaitu antara 45-180, sehingga dapat dibuat rentangan 180 – 45 =
135. Hasil rentangan tersebut akan dikategorikan menjadi 5 kriteria yaitu
sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Nilai interval
persentase yaitu 180
135= 75, sehingga
5
75= 15, maka didapat angka 15
sebagai intervalnya. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4 Kriteria Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP), Mekanisme Koping Keluarga, Kelentingan Keluarga, dan Dukungan Sosial
Interval Persentase (%) Kriteria25,00 – 40,00 Sangat rendah41,00 – 55,00 Rendah56,00 – 70,00 Sedang71,00 – 85,00 Tinggi86,00 – 100,0 Sangat tinggi
7. Mekanisme koping keluarga, kuesioner diadaptasi dari teori Folkman (1986)
yang disusun dalam 66 butir pernyataan. Skala pengukuran yang digunakan
adalah dengan skala likert yaitu: sangat membantu/menolong (skor 4),
membantu/menolong (skor 3), kurang membantu/menolong (skor 2), tidak
membantu/menolong (skor 1). Skor yang dihasilkan yaitu antara 66-264,
sehingga dapat dibuat rentangan 264 – 66 = 198. Hasil rentangan tersebut
akan dikategorikan menjadi 5 kriteria yaitu sangat rendah, rendah, sedang,
tinggi, dan sangat tinggi. Nilai interval persentase yaitu 264
198= 75, sehingga
5
75= 15, maka didapat angka 15 sebagai intervalnya. Hasilnya dapat dilihat
pada Tabel 4.
8. Kelentingan keluarga, kuesioner diadaptasi dari teori Mackay (2003) dan
Sixbey (2005) yang disusun dalam 33 butir pernyataan. Skala pengukuran
31
yang digunakan adalah dengan skala likert, dengan pemberian skor yaitu:
sangat setuju (SS)=4, setuju (S)=3, kurang setuju (KS)=2, tidak setuju
(TS)=1. Skor yang dihasilkan yaitu antara 33-132 sehingga dapat dibuat
rentangan 132 – 33 = 99. Hasil rentangan tersebut akan dikategorikan
menjadi 5 kriteria yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat
tinggi. Nilai interval persentase yaitu132
99= 75, sehingga
5
75= 15, maka
didapat angka 15 sebagai intervalnya. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.
9. Tingkat kecemasan, kuesioner diadaptasi dari Zung Self Rating Anxiety Scale
(ZRAS) (1971) yang terdiri dari 17 butir pernyataan. Skala pengukuran yang
digunakan adalah dengan skala likert, dengan pemberian skor yaitu: selalu
(skor 4), sering (skor 3), kadang-kadang (skor 2), tidak pernah (skor 1). Skor
yang dihasilkan yaitu antara 17-68 sehingga dapat dibuat rentangan 68 – 17
= 51. Hasil rentangan tersebut akan dikategorikan menurut Zung (1971) yaitu
dibagi 4 kriteria, yaitu normal, ringan-sedang, berat, dan ekstrim. Nilai interval
persentase yaitu 68
51= 75, sehingga
4
75= 18,75, maka didapat angka 18,75
sebagai intervalnya. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:
Tabel 5 Kriteria Tingkat Kecemasan
Interval Persentase (%) Kriteria25,00 – 43,75 Normal43,76 – 62,50 Ringan – Sedang62,51 – 81,25 Berat81,26 – 100,0 Ekstrim
10. Dukungan sosial, kuesioner diadaptasi dari Permatasari (2006) yang didasari
oleh teori Smet (1994) dan Sarafino (1998), terdiri dari 27 butir pernyataan
favorable dan unfavorable. Skala pengukuran yang digunakan adalah dengan
skala likert, dengan skor sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS),
sangat tidak sesuai (STS). Skor yang dihasilkan yaitu antara 27-108
sehingga dapat dibuat rentangan 108 – 27 = 81. Hasil rentangan
dikategorikan menjadi 5 kriteria yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi,
dan sangat tinggi. Nilai interval persentase yaitu 108
81= 75, sehingga
5
75= 15,
maka didapat angka 15 sebagai intervalnya. Hasilnya dapat dilihat pada tabel
4. Untuk jawaban pernyataan favorable, sangat sesuai (SS)=4, sesuai (S)=3,
tidak sesuai (TS)=2, sangat tidak sesuai (STS)=1. Sedangkan jawaban
pernyataan unfavorable, sangat sesuai (SS)=1, sesuai (S)=2, tidak sesuai
32
(TS)=3, sangat tidak sesuai (STS)=4. Perincian skala dukungan sosial dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Skala Dukungan Sosial
Jumlah ItemNo. Aspek
Fav UnfavTotal
1 Dukungan emosional 8 4 122 Dukungan penghargaan 3 4 73 Dukungan Instrumental 2 1 34 Dukungan informatif 5 0 5
Total 18 9 27
Definisi Operasional
Keluarga dengan TB Paru adalah kumpulan orang yang terdiri dari suami, istri,
atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan
anaknya yang memiliki ikatan pernikahan, darah, atau adopsi yang
salah satu dari orang tua (ayah atau ibu) menderita penyakit TB
Paru.
Karakteristik sosial ekonomi keluarga adalah karakteristik keluarga dengan
TB Paru yang meliputi pendapatan keluarga, pendidikan, pekerjaan,
usia, dan besar keluarga.
Pendapatan keluarga adalah suatu jumlah uang yang diperoleh dari pekerjaan
pokok dan pekerjaan sampingan dari orang tua dan anggota
keluarga lainnya yang dinyatakan dalam rupiah perkapita perbulan.
Pendidikan adalah pengajaran formal yang terakhir yang pernah diperoleh
contoh yang meliputi SD, SMP, SMA, Diploma, Sarjana, Pasca
sarjana.
Pekerjaan adalah sumber pendapatan keluarga dapat berupa pekerjaan tetap
atau tidak tetap sesuai dengan bidang dan keahlian contoh.
Usia adalah lama waktu hidup (dalam tahun) orang tua sejak lahir sampai waktu
pengambilan data penelitian.
Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang hidup serumah yang
terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak serta anggota keluarga lainnya
selama minimal 3 bulan.
Sanitasi adalah suatu pengelolaan kondisi lingkungan keluarga yang dapat
diukur melalui kondisi fisik rumah, sarana rumah tangga, dan
sumber air.
33
Perilaku hidup sehat adalah semua kegiatan atau aktivitas dalam kehidupan
sehari-hari yang mencerminkan upaya hidup sehat dalam
memelihara kesehatan keluarga dengan TB Paru, baik yang dapat
diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati secara
langsung oleh pihak luar, meliputi kebersihan anggota keluarga,
kebersihan makanan dan peralatan makan, kebiasaan olahraga,
dan kebiasaan tidak merokok.
Kelentingan Keluarga adalah karakteristik, dimensi, dan sumber daya keluarga
dalam menghadapi perubahan dan adaptasi terhadap situasi krisis.
Kelentingan keluarga diukur berdasarkan aspek kelentingan
keluarga meliputi: family cohesion, family belief system, dan
communication. Semakin tinggi skor yang diperoleh didalam skala,
maka semakin lenting keluarga tersebut dan sebaliknya.
Tingkat Kecemasan adalah suatu persepsi tentang perasaan yang tidak
menyenangkan dan reaksi fisiologis, kecemasan dapat
dikategorikan menjadi 4 yaitu: normal, ringan-sedang, berat, dan
ekstrim.
Mekanisme Koping adalah usaha kognitif dan perilaku yang dibuat oleh
seseorang untuk mengorganisasikan tuntutan dari perbedaan
harapan dan kenyataan. Mekanisme koping diukur dengan
menggunakan skala berdasarkan jenisnya, yaitu: emotion focus
coping dan problem focus coping.
Dukungan sosial adalah dukungan yang diperoleh dari hubungan interpersonal
yang mengacu pada kesenangan, ketenangan, bantuan
bermanfaat, yang berupa informasi verbal maupun non verbal yang
diterima seseorang dari orang lain atau kelompok lain yang
membawa efek perilaku bagi penerimanya. Dukungan sosial ini
diukur dengan menggunakan skala dukungan sosial yang dibuat
berdasarkan jenis dukungan sosial meliputi: dukungan emosional,
penghargaan, intrumental, dan informatif. Semakin tinggi skor yang
diperoleh didalam skala, maka semakin tinggi dukungan yang
diterima dan sebaliknya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kondisi Geografis dan Demografi
Lokasi penelitian yaitu di Puskesmas Ciomas yang membawahi tiga desa di
Kecamatan Ciomas, yaitu Desa Ciomas, Desa Ciomas Rahayu, dan Desa
Pagelaran.
Desa Ciomas memiliki luas 26.660 m2. Total penduduk desa ini sebanyak
12.501 jiwa, terdiri dari 6442 orang laki-laki dan 6059 orang perempuan, dengan
2766 kepala keluarga laki-laki dan 308 kepala keluarga perempuan. Batas
wilayah Desa Ciomas yaitu:
Utara : Jalan raya Ciomas/ Desa Ciomas Rahayu
Timur : Kota Bogor, Desa Mekar Jaya, dan Desa Parakan
Selatan : Desa Pagelaran
Barat : Desa Mekar Jaya
Berdasarkan usia, persentase terbesar penduduk berada pada rentang usia 25-
29 tahun, sebanyak 9,8% (Tabel 7).
Desa Ciomas Rahayu memiliki luas 88.450 Ha. Total penduduk desa ini
sebanyak 12.643 jiwa, terdiri dari 6340 orang laki-laki dan 6303 orang
perempuan, dengan 3695 kepala keluarga. Batas wilayah Desa Ciomas Rahayu
yaitu:
Utara : Kota Bogor (Kecamatan Bogor Barat)
Timur : Kota Bogor (Kecamatan Bogor Barat)
Selatan : Desa Ciomas/Jalan raya Ciomas
Barat : Kelurahan Padasuka/Desa Laladon
Berdasarkan usia, persentase terbesar penduduk berada pada rentang usia 0-4
tahun, sebanyak 14% (Tabel 7).
Desa Pagelaran memiliki penduduk sebanyak 12.807 jiwa, terdiri dari 6559
orang laki-laki dan 6248 orang perempuan, dengan 2916 kepala keluarga laki-
laki dan 258 kepala keluarga perempuan. Batas wilayah Desa Pagelaran yaitu:
Utara : Desa Padasuka
Timur : Desa Ciomas
Selatan : Desa Pasir Eurih, Desa Parakan
Barat : Desa Sukaresmi, Desa Sukamakmur
35
Berdasarkan usia, persentase terbesar penduduk berada pada rentang usia 5-9
tahun, sebanyak 12% (Tabel 7).
Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa penduduk Desa Ciomas terdiri
dari balita (8,5%), anak usia sekolah (28%), usia produktif (53,1%), dan lansia
(10,4%). Penduduk Desa Ciomas Rahayu terdiri dari balita (14%), anak usia
sekolah (26%), usia produktif (54%), dan lansia (6%). Penduduk Desa Pagelaran
terdiri dari balita (9%), anak usia sekolah (31%), usia produktif (55%), dan lansia
(5%). Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh penduduk Desa Ciomas,
Ciomas Rahayu, dan Pagelaran termasuk dalam usia produktif (20-54 tahun).
Untuk lebih jelasnya tercantum dalam tabel di bawah ini.
Tabel 7 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia
Desa Ciomas Desa Ciomas Rahayu Desa PagelaranUsia
(tahun) Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
0-4 1057 8,5 1764 14 1144 95-9 1170 9,4 1300 10 1482 12
10-14 1113 8,9 1004 8 1323 1015-19 1214 9,7 1052 8 1136 920-24 1178 9,5 1011 8 1338 10,525-29 1220 9,8 1249 10 1249 1030-34 1069 8,6 1382 11 1212 9,535-39 1048 8,4 1203 10 1159 940-44 831 6,7 891 7 894 745-49 614 4,9 621 5 617 550-54 645 5,2 416 3 514 455-59 353 2,8 332 3 301 260-64 344 2,8 164 1 396 365-69 305 2,4 191 1,5 - ->70 297 2,4 63 0,5 - -
Jumlah 12458 100 12643 100 12765 100Sumber: Data Monografi Desa Ciomas (2008), Ciomas Rahayu (2010), dan Pagelaran (2009)
Pendidikan
Tabel 8 menunjukkan tingkat pendidikan penduduk 3 desa lokasi penelitian.
Hampir dua pertiga (61,6%) penduduk Desa Ciomas berpendidikan menengah.
Lebih dari separuh (55,5%) penduduk Desa Ciomas Rahayu berpendidikan
menengah. Lebih dari separuh (58,5%) penduduk Desa Pagelaran berpendidikan
dasar. Namun persentase terbanyak pendidikan tinggi terdapat di Desa Ciomas
Rahayu (23,5%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan
penduduk yang terbaik yaitu Desa Ciomas Rahayu. Untuk lebih jelasnya
tercantum dalam tabel di bawah ini.
36
Tabel 8 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Desa Ciomas Desa Ciomas Rahayu Desa PagelaranTingkat
Pendidikan Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
Tidak sekolah 60 4 - - 27 0,2Pendidikan dasar (SD/sederajat)
439 29,6 1498 21 8204 58,5
Pendidikan menengah (SLTP dan SLTA/sederajat)
913 61,6 3964 55,5 4346 30,9
Pendidikan tinggi (Akademi, S1, S2, S3)
714,8 1652 23,5 1441 10,4
Jumlah 1483 100 7114 100 14018 100Sumber: Data Monografi Desa Ciomas (2008), Ciomas Rahayu (2010), dan Pagelaran (2009)
Pekerjaan
Berdasarkan mata pencahariannya, hampir separuh (48%) masyarakat
Desa Ciomas Rahayu bekerja sebagai karyawan atau di sektor swasta. Hampir
separuh masyarakat Desa Pagelaran bekerja sebagai buruh atau di sektor jasa
(47%). Untuk lebih jelasnya tercantum dalam tabel di bawah ini.
Tabel 9 Pekerjaan Penduduk Berdasarkan Usia Kerja
Desa Ciomas Rahayu Desa PagelaranJenis Pekerjaan Jumlah
(jiwa)Persentase (%)
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
Petani dan Peternak 26 0,6 32 0,8Pedagang/wiraswasta 557 12,6 634 15Karyawan 2112 48 1132 26,7PNS 931 21 448 10,5Buruh 795 17,8 1998 47
Jumlah 4421 100 4244 100Sumber: Data Monografi Desa Ciomas Rahayu (2010) dan Pagelaran (2009)
Karakteristik Contoh
Berdasarkan data hasil penelitian, di bawah ini merupakan karakteristik
contoh penderita TB paru.
Tabel 10 Sebaran Karakteristik Contoh Penderita TB Paru
No Karakteristik n %1 Jenis kelamin
a. laki-lakib. perempuan
3613
73,526,5
Jumlah 49 1002 Status dalam keluarga
a. Kepala keluargab. Istri
3811
77,622,4
Jumlah 49 100
37
3 Lama sakita. < 1 tahunb. 1-5 tahunc. 6-10 tahun d. > 10 tahun
63076
12,261,314,312,2
Jumlah 49 100
4 Lama pengobatana. < 6 bulanb. 6-12 bulanc. 13-24 buland. > 24 bulan
112882
22,457,116,44,1
Jumlah 49 1005 Usia
a. 19-29 tahunb. 30-49 tahunc. 50-69 tahund. > 69 tahun
528151
10,257,130,62,1
Jumlah 49 1006 Tingkat pendidikan
a. Tidak sekolahb. Tidak tamat SDc. SD/sederajatd. SMP/sederajate. SMA/sederajatf. Diplomag. Sarjana
13
139
1724
26,1
26,518,434,74,18,2
Jumlah 49 1007 Pekerjaan
a. Tidak Bekerjab. Pedagangc. Buruhd. PNSe. Wiraswastaf. Karyawan
125
12686
24,510,224,512,216,412,2
Jumlah 49 100Hampir tiga perempat contoh (73,5%) berjenis kelamin laki-laki, sisanya
sebanyak 26,5% perempuan. Lebih dari tiga perempat contoh (77,6%) berstatus
sebagai kepala keluarga, sisanya sebanyak 22,4% sebagai istri. Hampir dua
pertiga contoh (61,3%) mengalami sakit selama 1-5 tahun. Lebih dari separuh
contoh (57,1%) melakukan pengobatan TB Paru selama 6-12 bulan, bahkan
sebanyak 22,4% contoh baru melakukan pengobatan <6 bulan. Hal ini
dikarenakan ketidaksadaran dan sikap acuh penderita akan penyakit TB paru.
Lebih dari separuh contoh (57,1%) berusia 30-49 tahun, atau dengan kata
lain lebih dari separuh contoh berusia dewasa madya (Hurlock 1993). Hampir
dua pertiga contoh (61,2%) memiliki tingkat pendidikan SMA/sederajat dan
SD/sederajat. Mata pencaharian kepala keluarga sangat berpengaruh terhadap
ketahanan keluarga terutama status kesehatan keluarga (Sukarni 1994). Hampir
separuh contoh (49%) memiliki pekerjaan sebagai buruh dan tidak bekerja.
38
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga
Besar Keluarga
Keluarga dengan kondisi krisis bergantung pada besar keluarga, semakin
besar keluarga semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup. Besar keluarga akan
mempengaruhi status kesehatan keluarga (Sukarni 1994).
Tabel 11 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Besar Keluarga
Besar Keluarga n %Kecil (< 4 orang)Sedang (5 – 7 orang)Besar (> 8 orang)
27211
55432
Total 49 100Berdasarkan Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga
contoh (55%) termasuk dalam keluarga kecil yaitu < 4 orang (Hurlock 1993).
Sisanya, hampir separuh keluarga contoh (43%) termasuk keluarga sedang (4-8
orang).
Pendapatan Perkapita
Menurut BPS (2002), diacu dalam Shinta (2008), pendapatan rumah
tangga atau keluarga adalah seluruh penghasilan atau penerimaan berupa uang
dari seluruh anggota yang diperoleh berupa upah atau gaji, pendapatan dari
usaha rumah tangga atau penerimaan lainnya. BPS Kota Bogor (2009)
mengukur tingkat kemiskinan berdasarkan pendapatan perkapita. Batas keluarga
miskin apabila pendapatan <Rp. 223.218,00/kapita/bulan.
Tabel 12 Sebaran Pendapatan Perkapita Perbulan Keluarga Penderita TB Paru
Pendapatan Perkapita (Rp) n %< 223.218> 223.218
1435
2872
Total 49 100Tabel 12 menunjukkan bahwa hampir tiga perempat keluarga contoh (72%)
memiliki pendapatan perkapita di atas batas garis kemiskinan Kota Bogor atau
dapat dikatakan sebesar 72 persen termasuk dalam kategori tidak miskin,
sisanya 28 persen termasuk dalam kategori miskin. Adapun rata-rata pendapatan
perkapita keluarga contoh secara keseluruhan yaitu Rp. 402.000,00 sehingga
dapat dikatakan bahwa menurut pendapatan perkapita, rata-rata keluarga contoh
tidak miskin.
39
Pengeluaran Keluarga
Berikut adalah gambaran jenis pengeluaran yang menjadi kebutuhan
keluarga contoh. Pengeluaran keluarga terbagi atas pengeluaran pangan dan
non-pangan (pendidikan, kesehatan, uang saku anak, air dan listrik, serta
pengeluaran lainnya).
Tabel 13 Sebaran Pengeluaran Keluarga Penderita TB Paru Berdasarkan
Kriteria Pangan dan Non-Pangan
Jenis Pengeluaran Rata-Rata (Rp) %Pangan 631.600 53,3Non Pangan :
PendidikanKesehatanUang SakuAir, Listrik, dllLainnya
92.10057.900148.000119.200135.200
7,85
12,510
11,4Jumlah 1.184.000 100
Berdasarkan Tabel 13 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga
contoh (53,3%) mengalokasikan biaya untuk pangan dengan rata-rata Rp.
631.600,00 perbulan. Sisanya, hampir separuh keluarga contoh (46,7%)
mengalokasikan biaya non-pangan secara merata.
Tabel 14 Sebaran Keluarga Penderita TB Paru Berdasarkan Persentase
Pengeluaran Pangan
Pengeluaran Pangan n %< 50% dari keseluruhan pengeluaran> 50% dari keseluruhan pengeluaran
2029
4159
Total 49 100BPS Bogor (2005) mengukur batas garis kemiskinan berdasarkan
pengeluaran pangan yaitu apabila pengeluaran pangan >50% dari keseluruhan
pengeluaran. Dapat disimpulkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh
(59%) mengalokasikan biaya untuk pangan >50% dari keseluruhan pengeluaran.
Berdasarkan pengeluaran pangan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh
(59%) termasuk dalam kategori miskin.
Sanitasi
Sanitasi lingkungan merupakan usaha-usaha pengendalian dari semua
faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat
menimbulkan hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya
tahan hidup manusia. Sanitasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan pemukiman,
yaitu kondisi fisik rumah, sarana rumah tangga, dan sumber air (Fitriyani 2008).
Kondisi Fisik Rumah. Kondisi fisik rumah mencakup jenis lantai, dinding,
ventilasi, atap, jendela, dan luas bangunan rumah.
40
Tabel 15 Sebaran Contoh Berdasarkan Kondisi Fisik Rumah Keluarga
TB Paru
Aspek Kategori n %
Jenis lantaiTanah dan semenKeramik
3613
73,526,5
DindingBambu/triplek dan Tembok tanpa plesterTembok plester
1
48
2
98
VentilasiAda, namun tertutupAda dan terbuka
3217
6535
AtapIjuk dan SengGenteng
1732
3565
JendelaAda, namun hanya beberapa ruanganAda, hampir di setiap ruangan
35
14
72
28
Luas bangunan<8m2/orang≥8m2/orang
1237
24,575,5
Hampir tiga perempat rumah contoh (73,5%) memiliki lantai tanah dan
semen, sisanya sebanyak 26,5% lantai keramik. Sebagian besar rumah contoh
(98%) berdinding tembok plester. Hampir dua pertiga rumah contoh (65%)
memiliki ventilasi namun tertutup, sisanya sebanyak 35% ventilasi terbuka.
Hampir dua pertiga rumah contoh (65%) memiliki atap genteng, sisanya
sebanyak 35% atap ijuk dan seng. Hampir tiga perempat rumah contoh (72%)
mempunyai jendela namun hanya beberapa ruangan, sisanya sebanyak 28%
memiliki jendela hampir di setiap ruangan. Lebih dari tiga perempat rumah
contoh (75,5%) memilki luas bangunan >8m2/orang, sisanya sebanyak 24,5%
luas bangunan <8m2/orang.
Sarana Rumah Tangga. Sarana rumah tangga mencakup ketersediaan
dan kondisi kamar mandi, jamban, pembuangan sampah, dan pembuangan air
limbah.
Tabel 16 Sebaran Contoh Berdasarkan Sarana Rumah Tangga Keluarga
TB Paru
Aspek Kategori n %Ketersediaan kamar mandi
TidakYa
247
496
Kondisi kamar mandiTanah dan semenKeramik
2722
5545
Ketersediaan jambanTidak (sungai, empang, sawah)Ya (septic tank)
1336
26,573,5
Pembuangan sampahSungai, dibakarTPS
1435
2872
Pembuangan air limbah
Sungai, septic tankParit
2227
4555
Sebagian besar rumah contoh (96%) memiliki kamar mandi. Lebih dari
separuh kamar mandi contoh (55%) memilki lantai tanah dan semen, sisanya
41
sebanyak 45% lantai keramik. Hampir tiga perempat rumah contoh (73,5%)
memiliki jamban, sisanya sebanyak 26,5% tidak memiliki jamban (sungai,
empang, dan sawah). Hampir tiga perempat contoh (72%) membuang sampah
ke TPS, sisanya sebanyak 28% membuang sampah ke sungai atau dibakar.
Lebih dari separuh contoh (55%) membuang air limbah ke parit, sisanya
sebanyak 45% ke sungai dan septic tank.
Rumah yang sehat harus mempunyai berbagai fasilitas (Notoatmodjo
2007). Pemenuhan berbagai fasilitas atau sarana rumah tangga merupakan
implementasi dari rumah yang sehat.
Sumber Air. Berdasarkan sumber air, air dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu air hujan, air permukaan tanah, dan air tanah (Sukarni 1994). Ketersediaan
sumber air mencakup jenis sumber air minum dan air bersih.
Tabel 17 Sebaran Contoh Berdasarkan Sumber Air Keluarga TB Paru
Aspek Kategori n %
Sumber air minumMata air/sumurPAM/ledeng
2722
5545
Sumber air bersihMata air/sumurPAM/ledeng
2722
5545
Lebih dari separuh contoh (55%) memiliki sumber air minum dan air bersih
dari mata air/sumur, sisanya sebesar 45% dari PAM/ledeng.
Tabel 18 Total Skor Sanitasi Keluarga Penderita TB Paru
Kriteria n %Sangat kurang 0 0Kurang 0 0Sedang 13 27Baik 22 44Sangat baik 14 29
Total 49 100Berdasarkan Tabel 18 menunjukkan bahwa hampir tiga perempat contoh
(73%) memiliki sanitasi yang baik dan sangat baik. Artinya, hampir tiga perempat
contoh memiliki kondisi fisik rumah, sarana rumah tangga, dan sumber air yang
baik. Individu yang berada di lingkungan sanitasi yang baik akan sulit tertularnya
penyakit. Dengan kondisi sehat, individu dapat menjalankan aktifitas produktifnya
secara normal sehingga ketahanan dalam keluarga pun tercapai.
Perilaku Hidup Sehat
Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu:
perilaku pemeliharaan kesehatan, pengobatan, dan kesehatan lingkungan.
Aspek perilaku kesehatan ini sesuai dengan sepuluh indikator perilaku dan gaya
hidup bersih dan sehat yaitu: penggunaan alat makan dan minum yang terpisah,
42
intensitas menjemur alat tidur (kasur, bantal, guling), waktu tidur, kebiasaan
merokok, olahraga, dan penggunaan alat untuk batuk dan meludah (Depkes
2007). Untuk lebih jelasnya, terdapat pada tabel berikut.
Tabel 19 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Perilaku Hidup
Sehat
Aspek Kategori n %Pemisahan alat makan dan minum
TidakYa
3217
6535
Menjemur kasur, bantal, dan guling
>1 minggu sekali 1 minggu sekali
2722
5545
Waktu tidur<5 jam>5 jam
940
1882
Kebiasaan merokokYaTidak
1435
2872
Olahraga >1 minggu sekali<1 minggu sekali
2623
5347
Menggunakan alat untuk batuk dan meludah
TidakYa
481
982
Hampir dua pertiga contoh (65%) tidak memisahkan alat makan dan
minum. Lebih dari separuh contoh (55%) menjemur kasur, bantal, dan guling >1
minggu sekali, sisanya sebanyak 45% selama 1 minggu sekali. Lebih dari tiga
perempat contoh (82%) tidur selama >5 jam, sisanya sebanyak 18% selama <5
jam. Hampir tiga perempat contoh (72%) tidak merokok. Lebih dari separuh
contoh (53%) berolahraga >1 minggu sekali, sisanya sebanyak 47% <1 minggu
sekali. Sebagian besar contoh (98%) tidak menggunakan alat untuk batuk dan
meludah.
Tabel 20 Total Skor Perilaku Hidup Sehat Penderita TB Paru
Kriteria n %Sangat kurang 0 0Kurang 0 0Sedang 20 41Baik 28 57Sangat baik 1 2
Total 49 100Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh
(59%) berperilaku hidup sehat yang baik dan sangat baik. Sisanya, sebanyak
41% masih berperilaku hidup sehat yang sedang. Artinya, lebih dari separuh
contoh memisahkan alat makan dan minum, menjemur kasur, bantal, dan guling
1 minggu sekali, tidur di malam hari selama >5 jam, tidak merokok, dan
menggunakan alat untuk batuk dan meludah. Dengan kebiasaan berperilaku
hidup bersih, merupakan suatu upaya pencegahan agar penyakit ini tidak
menyebar dan menulari orang lain (Notoatmodjo 2007).
43
Tingkat Kecemasan
Terdapat dua bentuk stress, yaitu eustress dan distress. Distress
merupakan suatu kondisi subjektif yang tidak menyenangkan. Salah satu bentuk
utama distress adalah kecemasan (Mirrowsky & Catherine E. Ross 1989) diacu
dalam Sunarti (2008). Pernyataan kecemasan dibagi menjadi aspek psikologis
dan fisiologis (Bucklew 1980 diacu dalam Trismiati 2004). Zung (1971) yang
mengkategorikan tingkat kecemasan menjadi empat, yaitu normal, ringan-
sedang, berat, dan ekstrim. Untuk lebih jelasnya, terdapat pada tabel berikut.
Tabel 21 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator Tingkat
Kecemasan
Banyaknya jawaban contohNo Indikator
Tidak (%) Ya (%)1 Saya merasa lebih gugup dan cemas daripada
biasanya49 51
2 Saya merasa takut tanpa alasan sama sekali 65 353 Saya dengan mudah marah atau merasa panik 33 674 Saya merasa perasaan seperti pecah berkeping-
keping61 49
5 Saya merasa bahwa semuanya baik-baik dan tidak ada yang buruk akan terjadi
22 78
6 Lengan dan kaki saya gemetar 67 337 Saya terganggu oleh sakit kepala, leher dan sakit
punggung43 57
8 Saya merasa lemah dan mudah lelah 8 929 Saya merasa tenang dan dapat duduk diam dengan
mudah16 84
10 Saya bisa merasakan jantungku berdebar kencang 80 2011 Saya terganggu oleh sakit kepala 49 5112 Saya pingsan atau merasa seperti itu 96 413 Saya dapat bernapas masuk dan keluar dengan
mudah51 49
14 Perasaan saya mati rasa dan kesemutan di jari-jari tangan dan kaki
20 80
15 Saya terganggu oleh sakit perut atau gangguan pencernaan
90 10
16 Saya harus sering buang air kecil 63 3717 Tanganku biasanya kering dan hangat 53 4718 Wajahku menjadi hangat dan merona 53 4719 Saya tertidur dengan mudah dan istirahat malam yang
baik45 55
20 Saya mimpi buruk 88 12Hasil analisis deskriptif dari aspek tingkat kecemasan membuktikan bahwa
menunjukkan hampir dua pertiga contoh (65%) penderita TB paru memiliki
tingkat kecemasan yang ringan - sedang. Hal tersebut dikarenakan lebih dari
separuh contoh merasa lebih gugup dan cemas daripada biasanya, mudah
marah atau panik, mengalami sakit kepala, leher, dan punggung, merasa lemah
44
dan mudah lelah, mati rasa dan kesemutan, namun contoh juga merasa
semuanya akan baik saja dan dapat tidur dan duduk dengan mudah.
Tingkat kecemasan yang ringan - sedang diduga karena contoh telah
melakukan pengobatan ke puskesmas dan rumah sakit, sehingga merasa
penyakit TB paru bukan penyakit yang harus dicemaskan. Sesuai dengan Taylor
(1999), bahwa kecemasan akan muncul pada keluarga yang salah satu anggota
keluarganya sedang sakit. Perbedaan tingkat kecemasan tergantung dari
beberapa faktor yang diduga yaitu karakteristik keluarga, permasalahan yang
muncul, dan mekanisme koping keluarga.
Tingkat Kecemasan
2%
65%
29%
4%
Normal Ringan – Sedang Berat Ekstrim
Grafik 1 Tingkat Kecemasan
Mekanisme Koping Kesehatan (Coping Health Inventory for Parents)
CHIP didesain untuk mengukur persepsi dalam mengelola keluarga dengan
anggota keluarga yang sakit kronis. CHIP terdiri dari tiga pola koping, yaitu: (1)
family integration, kerjasama, dan optimisme berfokus terhadap ketahanan
keluarga, hubungan, dan pandangan keluarga; (2) dukungan sosial,
penghargaan diri, dan psychological stability berfokus terhadap dukungan
keluarga dalam meningkatkan hubungan sosial, identifikasi perasaan dan
kepercayaan diri dalam mengelola tekanan; (3) komunikasi dan konsultasi
dengan tim medis (Mc Cubbin & Mc Cubbin 1979). Di bawah ini merupakan
penjelasan dari ketiga aspek mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP),
yaitu:
Family Integration, Kerjasama, dan Optimisme
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan gambaran faktor family integration
kerjasama, dan optimisme penderita TB paru. Untuk lebih jelasnya terdapat pada
tabel di bawah ini.
45
Tabel 22 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator Family
Integration, Kerjasama, dan Optimisme
Banyaknya jawaban contohNo Indikator
Tidak (%) Ya (%)1 Mencoba untuk tidak saling menyalahkan 2 982 Merasa yakin/percaya bahwa penyakit TB Paru
pasangan saya akan sembuh10 90
3 Memperoleh bantuan dari orang lain untuk mengerjakan tugas di rumah
37 63
4 Saya percaya sepenuhnya kepada Tuhan melalui doa yang saya panjatkan
4 96
5 Mengatakan pada diri sendiri bahwa saya memiliki banyak yang seharusnya saya syukuri
2 98
6 Membina hubungan yang lebih dekat dengan pasangan dan anak/anggota keluarga lain
2 98
7 Merasa bahwa pasangan saya yang sakit sama saja dengan orang lain juga mengalami hal yang sama
22 78
8 Melakukan beberapa kegiatan/pekerjaan di rumah dengan anggota keluarga
2 98
9 Makan makanan kesukaan 59 4110 Mengembangkan diri sendiri sebagai seseorang 43 5711 Menghibur teman-teman di rumah 67 3312 Merawat diri sendiri dengan baik 2 9813 Berdiskusi dengan tenaga kesehatan (perawat,dokter)
saat mengunjungi puskesmas/rumah sakit6 94
14 Berdiskusi dengan dokter mengenai kekhawatiran saya mengenai pasangan saya dalam hal pengobatan
8 92
15 Membaca dari media masa mengenai bagaimana orang lain dengan situasi yang sama mengatasi hal-hal yang menjadi masalah
41 59
16 Memastikan memperoleh obat untuk pasangan saya sehari-hari di rumah
8 92
17 Membaca lebih banyak masalah kesehatan yang menarik perhatian saya
79 31
18 Merasa mampu melepaskan tugas dan tanggung jawab perawatan di rumah
39 61
Hasil analisis deskriptif dari aspek family integration, kerjasama, dan
optimisme membuktikan bahwa lebih dari separuh contoh (57%) memiliki family
integration, kerjasama, dan optimisme yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan
sebagian besar contoh mencoba untuk tidak saling menyalahkan, pasangan
merasa percaya bahwa penyakit TB paru contoh akan sembuh, percaya
sepenuhnya kepada Tuhan YME melalui doa, mengatakan pada diri sendiri
bahwa banyak yang seharusnya saya disyukuri, membina hubungan yang lebih
dekat dengan pasangan dan anak/anggota keluarga lain, melakukan beberapa
kegiatan di rumah dengan anggota keluarga, merawat diri sendiri dengan baik,
berdiskusi dengan tenaga kesehatan saat mengunjungi puskesmas/rumah sakit,
pasangan berdiskusi dengan dokter mengenai mengenai contoh dalam hal
46
pengobatan, dan pasangan memastikan memperoleh obat untuk contoh sehari-
hari di rumah.
Family Integration, Cooperation, and Optimistic
29%
57%
14%
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
Grafik 2 Family Integration, kerjasama, dan optimisme
Dukungan Sosial, Penghargaan Diri, dan Psychological Stability
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan gambaran faktor dukungan sosial,
penghargaan diri, dan psychological stability penderita TB paru. Untuk lebih
jelasnya terdapat pada tabel di bawah ini.
Tabel 23 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator Dukungan
Sosial, Penghargaan Diri, dan Psychological Stability
Banyaknya jawaban contohNo Indikator
Tidak (%) Ya (%)1 Mempercayai suami/istri dan anak saya untuk
mendukung saya0 100
2 Menunjukkan pada orang lain bahwa saya bersikap tegar
6 94
3 Merasa percaya bahwa puskesmas/rumah sakit akan menolong keluarga saya
10 90
4 Merasa percaya bahwa pasangan memperoleh perawatan medis yang baik
14 86
5 Mendukung pasangan yang sakit untuk berobat agar lebih mandiri
37 63
6 Merasa sanggup untuk mengorbankan diri untuk kemajuan pengobatan pasangan
8 92
7 Saya percaya bahwa segala sesuatu akan berjalan seperti biasa
6 94
8 Membina ikatan persahabatan dengan orang lain agar saya menjadi merasa penting dan dihargai
41 59
9 Bekerja seperti biasa 43 5710 Membeli hadiah untuk diri sendiri dan/atau untuk
anggota keluarga lain73 27
11 Melakukan sesuatu untuk diri sendiri 27 7312 Menyiapkan waktu dan tenaga dalam pekerjaan saya 45 5513 Menjadi lebih percaya diri dan mandiri 12 8814 Terlibat dalam aktifitas sosial dengan teman-
teman/tetangga12 88
15 Pergi keluar/jalan-jalan bersama keluarga 24 7616 Tidak menahan diri untuk marah 37 63
47
17 Berbicara dengan orang lain/keluarga lain yang mempunyai situasi yang sama
31 69
18 Berbicara dengan orang tua yang lain/tetangga mengenai pengalaman mereka
35 65
19 Menjelaskan situasi keluarga kepada teman-teman dan tetangga agar mereka memahami kami
69 31
Hasil analisis deskriptif dari aspek dukungan sosial, penghargaan diri, dan
psychological stability menunjukkan bahwa hampir separuh contoh (49%)
memiliki dukungan sosial, penghargaan diri, dan psychological stability yang
tinggi. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar contoh mempercayai pasangan
dan anak untuk mendukung, menunjukkan sikap tegar pada orang lain, merasa
percaya bahwa puskesmas/rumah sakit akan menolong, pasangan merasa
sanggup untuk mengorbankan diri untuk kemajuan pengobatan contoh, dan
percaya segala sesuatu akan berjalan seperti biasa.
Social Support, Self Esteem, and Psychological Stability
35%
49%
16%
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
Grafik 3 Dukungan Sosial, Penghargaan Diri, dan Psychological Stability
Komunikasi dan Konsultasi
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan gambaran komunikasi dan
konsultasi penderita TB paru. Untuk lebih jelasnya terdapat pada Tabel 24.
Tabel 24 Sebaran Contoh Penderita TB Paru Berdasarkan Indikator
Komunikasi dan Konsultasi
Banyaknya jawaban contohNo Indikator
Tidak (%) Ya (%)1 Membersihkan dan merawat semua alat-alat kesehatan
yang dimiliki 24 76
2 Melakukan kegiatan di rumah dengan sanak famili 4 963 Membicarakan perasaan pribadi dengan pasangan
mengenai keprihatinan/kekhawatiran saya24 76
4 Tidur/istirahat/santai 14 865 Membangun hubungan dekat dengan orang lain 10 906 Berkonsentrasi dengan hobi 55 457 Berbicara dengan seseorang (bukan konsultan
profesional) mengenai apa yang dirasakan37 63
8 Melakukan aktifitas dengan melibatkan semua anggota keluarga
2 98
48
Hasil analisis deskriptif dari aspek komunikasi dan konsultasi
menunjukkan bahwa hampir dua pertiga contoh (60%) memiliki komunikasi dan
konsultasi yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan sebagian contoh melakukan
kegiatan di rumah dengan sanak famili, membangun hubungan dekat dengan
orang lain, dan melakukan aktifitas dengan melibatkan semua anggota keluarga.
Communication and Consultation
2%22%
60%
16%
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangattinggi
Grafik 4 Komunikasi dan Konsultasi
Skor total mekanisme koping kesehatan keluarga penderita TB paru
tercantum pada Grafik 5. Hal ini menunjukkan hampir dua pertiga contoh (60%)
keluarga penderita TB paru mendapat mekanisme koping keluarga yang tinggi.
Dengan tingginya koping kesehatan keluarga penderita TB paru, sehingga
keluarga dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Hal ini sesuai dengan
Friedman (1998).
Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP)
22%
60%
18%
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
Grafik 5 Skor Total Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP)
49
Mekanisme Koping keluarga
Sarafino (1998) mengkategorikan jenis koping menjadi dua, yaitu problem-
focused coping dan emotion-focused coping.
Problem-Focus Coping
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan gambaran mekanisme koping
secara problem-focus coping penderita TB paru. Untuk lebih jelasnya terdapat
pada Lampiran 1.
Hasil analisis deskriptif keseluruhan aspek problem-focus coping penderita
TB paru, menunjukkan bahwa hampir separuh contoh (49%) memiliki mekanisme
koping keluarga secara problem-focus coping sedang. Hal tersebut dikarenakan
contoh dapat berkonsentrasi dengan apa yang harus dilakukan, mencoba untuk
menganalisis masalah agar memahami lebih baik, simpatik dan memahami
seseorang, meminta maaf atau melakukan sesuatu untuk orang lain membuat
keputusan, mengubah sesuatu agar segalanya menjadi lebih baik, berusaha
memperjuangkan apa yang diinginkan, beribadah, mencoba menjaga perasaan
dari campur hal lain yang terlalu banyak, dan membuat beberapa solusi untuk
menyelesaikan suatu masalah.
Problem-Focus Coping
Sedang49%
Tinggi37%
Sangat tinggi14%
Grafik 6 Problem-Focus Coping Keluarga Penderita TB Paru
Emotion-Focus Coping
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan gambaran mekanisme koping
secara emotion-focus coping penderita TB paru. Dapat dilihat secara lebih
jelasnya pada Lampiran 2.
Hasil analisis deskriptif dari aspek emotion-focus coping menunjukkan
bahwa lebih dari separuh contoh (51%) memiliki mekanisme koping keluarga
secara emotion-focus coping yang tinggi. Hal ini karena sebagian besar contoh
melakukan pekerjaan untuk mengalihkan sejenak pikiran dari suatu masalah,
mengkritisi diri, mencoba untuk menjaga perasaan sendiri, berkata pada diri
50
sendiri tentang hal-hal yang dapat membantu perasaan agar lebih baik, tumbuh
menjadi pribadi yang baik, berpikir sebelum melakukan sesuatu, menyadari
bahwa masalah disebabkan oleh diri sendiri, pergi istirahat atau berlibur,
menolak memikirkan banyak masalah, berjanji pada diri sendiri bahwa suatu saat
akan terjadi perubahan, berharap dapat merubah apa yang terjadi, berharap
berakhirnya suatu masalah, dan mengingati diri bahwa banyak hal yang dapat
lebih buruk.
Emotion-Focus Coping
Sedang45%
Tinggi51%
Sangat tinggi4%
Grafik 7 Emotion-Focus Coping Keluarga Penderita TB Paru
Skor total mekanisme koping keluarga penderita TB paru dalam kategori
tinggi, seperti terlihat pada Grafik 8. Hal ini menunjukkan hampir separuh contoh
(49%) keluarga penderita TB paru memiliki mekanisme koping keluarga yang
tinggi. Dengan adanya mekanisme koping yang tinggi dapat mengurangi
berbagai tekanan yang timbul (Lazarus & Folkman 1984).
Mekanisme Koping Keluarga
47%
49%
4%
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
Grafik 8 Skor Total Mekanisme Koping Keluarga
51
Dukungan Sosial
Berdasarkan data hasil penelitian, didapatkan gambaran faktor-faktor
dukungan sosial penderita TB paru, yaitu dukungan emosional, penghargaan,
instrumental, dan informatif (Smet 1994 & Sarafino 1998).
Dukungan Emosional
Hasil penelitian dukungan emosional penderita TB paru dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 25 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Emosional
Penderita TB Paru
Banyaknya jawaban contohNo Indikator
Tidak (%) Ya (%)Pernyataan Positif1 Keluarga mendengarkan dengan penuh keseriusan
ketika saya menceritakan permasalahan sakit saya2 98
2 Dokter memahami kecemasan saya sebelum melakukan pengobatan penyakit saya
12 88
3 Teman-teman saya mengerti apa yang saya rasakan saat ini
41 59
4 Teman saya meluangkan waktunya untuk menemani saya ke dokter
84 16
5 Perawat begitu memperhatikan kenyamanan saya pada saat pengobatan TB Paru berlangsung
10 90
6 Perawat dapat menenangkan saya sebelum pengobatan TB Paru berlangsung, sehingga saya tidak gelisah
14 86
7 Pasangan saya meyakinkan saya bahwa semuanya akan baik-baik saja, sehingga saya tidak perlu cemas
6 94
8 Teman saya siap membantu setiap saya dalam kesulitan
45 55
Pernyataan Negatif9 Pasangan saya menyuruh saya menyelesaikan
masalah sendiri setiap kali saya menghadapi masalah92 8
10 Teman saya menceritakan pengobatan TB Paru itu sangat menakutkan
67 33
11 Pasangan saya menyuruh saya untuk pergi ke dokter sendiri
76 24
12 Pasangan saya tidak ada bersama saya setiap kali saya membutuhkannya
94 6
Hasil analisis deskriptif dari faktor dukungan emosional pada keluarga
penderita TB Paru, menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat contoh
penderita TB Paru (78%) mendapatkan dukungan emosional yang sedang. Hal
tersebut dikarenakan sebagian besar keluarga contoh mendengarkan dengan
penuh keseriusan tentang sakit penderita, perawat memperhatikan kenyamanan
contoh pada saat pengobatan TB paru berlangsung, pasangan meyakinkan
contoh bahwa semuanya akan baik-baik saja, pasangan tidak menyuruh contoh
52
untuk menyelesaikan masalah sendiri setiap kali menghadapi masalah,
pasangan ada bersama contoh setiap kali membutuhkannya.
Penderita TB paru mendapatkan dukungan emosional berupa kepedulian,
empati, dan perhatian sehingga penderita merasa nyaman, dihargai, dan
diperhatikan (Sarafino 1998).
Dukungan Emosional
2%
78%
20%
rendah
sedang
tinggi
Grafik 9 Dukungan Emosional Keluarga Penderita TB Paru
Dukungan Penghargaan
Hasil penelitian dukungan penghargaan penderita TB paru dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 26 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Penghargaan
Penderita TB Paru
Banyaknya jawaban contohNo Indikator
Tidak (%) Ya (%)Pernyataan Positif
1 Saya mendapat semangat dari keluarga untuk melakukan pengobatan TB Paru
0 100
2 Keluarga saya sangat menghargai rencana saya melakukan pengobatan TB Paru
0 100
3 Teman saya mendukung usaha saya dalam menjaga kesehatan saya
18 82
Pernyataan Negatif4 Teman saya menggangap pengobatan TB Paru yang
saya lakukan tidak ada gunanya.94 6
5 Pasangan saya menggangap setiap pendapat saya tidak penting
90 10
6 Perawat tempat saya periksa bersikap kasar terhadap saya pada waktu saya periksa
94 6
7 Kadang-kadang saya dicela oleh teman- teman saya 80 20Hasil analisis deskriptif dari faktor dukungan penghargaan yang diterima
oleh penderita TB paru, membuktikan bahwa lebih dari tiga perempat contoh
(80%) mendapatkan dukungan penghargaan yang sedang. Hal tersebut karena
seluruh keluarga contoh memberikan semangat dan sangat menghargai usaha
untuk melakukan pengobatan TB Paru.
53
Adanya dukungan penghargaan yang sangat tinggi, membuat penderita
melihat segi positif dalam dirinya sehingga menambah kepercayaan diri dalam
menghadapi tekanan (Smet 1994).
Dukungan Penghargaan
16%
80%
4%
rendah
sedang
tinggi
Grafik 10 Dukungan Penghargaan Keluarga Penderita TB Paru
Dukungan Instrumental
Hasil penelitian dukungan instrumental penderita TB paru dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 27 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Instrumental
Penderita TB Paru
Banyaknya jawaban contohNo Indikator
Tidak (%) Ya (%)Pernyataan Positif
1 Pasangan/teman saya siap mengantar saya ke dokterpada saat saya memintanya
20 80
2 Pasangan saya, selalu bersedia membelikan obat ke apotik saat obat saya habis
33 67
Pernyataan Negatif3 Anak-anak saya merasa keberatan jika saya
memintanya untuk membantu pekerjaan rumah71 29
Hasil analisis deskriptif dari faktor dukungan penghargaan yang diterima
oleh penderita TB paru, membuktikan bahwa lebih dari dua pertiga contoh (68%)
mendapatkan dukungan instrumental yang tinggi dan sedang. Hal tersebut
karena lebih dari tiga perempat pasangan/teman contoh siap mengantar untuk
keperluan pengobatan.
Dengan adanya dukungan instrumental yang tinggi, penderita
mendapatkan bantuan secara langsung sehingga memudahkan dan mengurangi
tekanan hidup penderita (Sarafino 1988).
54
Dukungan Instrumental
4%20%
27%
41%
8% SangatrendahRendah
Sedang
Tinggi
Sangattinggi
Grafik 11 Dukungan Instrumental Keluarga Penderita TB Paru
Dukungan Informatif
Hasil penelitian dukungan informatif penderita TB Paru dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 28 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Dukungan Informatif
Penderita TB Paru
Banyaknya jawaban contohNo Indikator
Tidak (%) Ya (%)Pernyataan Positif1 Organisasi yang saya ikuti memberikan penyuluhan
tentang TB Paru & pentingnya melakukan pengobatan TB Paru
92 8
2 Dokter memberi nasehat kepada saya untuk rutin melakukan pengobatan TB Paru setiap minggu
0 100
3 Teman yang pernah mengalami TB Paru mau membagi pengalamannya dengan saya
33 67
4 Keluarga saya menilai keadaan saya lebih baik setelah saya melakukan pengobatan TB Paru
4 96
5 Dokter mengatakan tindakan saya untuk melakukan pengobatan TB Paru adalah tindakan yang tepat
0 100
Hasil analisis deskriptif dari aspek dukungan penghargaan yang diterima
oleh penderita TB Paru, membuktikan bahwa hampir dua pertiga contoh (65%)
mendapatkan dukungan informatif yang tinggi. Hal itu dikarenakan dokter
memberi nasehat kepada contoh untuk rutin melakukan pengobatan TB Paru
setiap minggu, keluarga menilai keadaan contoh lebih baik setelah melakukan
pengobatan, dan dokter mengatakan tindakan contoh untuk melakukan
pengobatan TB Paru adalah tindakan yang tepat.
Informasi yang didapatkan memberikan dukungan yang berarti bagi
penderita TB Paru.
55
Dukungan Informatif
2%
29%
65%
4%
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangattinggi
Grafik 12 Dukungan Informatif Keluarga Penderita TB Paru
Adapun dari segi subjek yang memberikan dukungan sosial pada penderita
TB paru, terdiri dari dukungan keluarga, medis, dan teman. Hasil tersebut dapat
dilihat pada Tabel 29 berikut.
Tabel 29 Sebaran Subjek Dukungan Sosial Penderita TB Paru
Faktor Dukungan Sosial Sedang (%) Tinggi (%)Keluarga 67 33Medis 29 71Teman 57 43
Total 51 49Tabel di atas menunjukkan bahwa lebih dari separuh (51%) dukungan
sosial yang sedang didapat penderita TB Paru diperoleh dari keluarga, medis,
dan teman. Medis merupakan faktor yang paling dominan mendorong penderita
dalam menjaga ketahanan diri.
Secara umum, keempat aspek dukungan sosial terhadap penderita TB
Paru dalam kategori sedang, seperti tercantum pada Grafik 6.5. Hal ini
menunjukkan lebih dari tiga perempat contoh (84%) penderita TB Paru mendapat
dukungan sosial yang sedang. Dengan adanya dukungan sosial yang tinggi
dapat mempengaruhi tingkat stres penderita (Keith 2009) dan dukungan sosial
juga sebagai penyangga stres akut serta mengurangi korelasi langsung stres dan
krisis keluarga (Mc Cubbin & Mc Cubbin 1976).
Dukungan Sosial
Sedang84%
Tinggi16%
Grafik 13 Skor Total Dukungan Sosial
56
Kelentingan Keluarga
Gambaran faktor-faktor kelentingan keluarga penderita TB paru yang terdiri
dari family cohesion, family belief system, dan komunikasi (Mackay 2003).
Family Cohesion
Family cohesion memiliki dasar teori yang terdiri dari beberapa dimensi
yaitu: kebersamaan, keseimbangan, kedekatan, loyalitas, aktivitas, dan
kemandirian (Mackay 2003). Hasil penelitian family cohesion penderita TB paru
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 30 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Family Cohesion Keluarga
Penderita TB Paru
Banyaknya jawaban contohNo Indikator
Tidak (%) Ya (%)1 Anggota keluarga sering berkumpul bersama 33 672 Memiliki waktu khusus yang disediakan bagi keluarga 82 183 Setiap anggota keluarga memiliki alokasi waktu yang
seimbang untuk keperluan diri sendiri dan keluarga67 33
4 Setiap anggota keluarga memiliki perhatian yang seimbang untuk keperluan diri sendiri dan keluarga
55 45
5 Masing-masing anggota keluarga merasa dekat satu sama lain
10 90
6 Setiap anggota keluarga membagi perasaan atau pengalaman kepada anggota keluarga lainnya
20 80
7 Keluarga menjadi prioritas utama dibanding pekerjaan dan teman
2 98
8 Semua anggota keluarga akan melakukan apapun demi keutuhan dan kepentingan keluarga
4 96
9 Setiap anggota keluarga menyediakan waktu untuk makan malam bersama
73 27
10 Setiap anggota keluarga menyediakan waktu untuk jalan-jalan bersama
86 14
11 Setiap anggota keluarga memiliki hubungan dekat satu sama lain
18 82
12 Setiap anggota keluargamu memberi kebebasan/kemandirian bagi anggota lainnya
29 71
Hasil analisis deskriptif dari aspek family cohesion keluarga TB Paru,
menunjukkan bahwa hampir dua pertiga contoh keluarga penderita TB Paru
(63%) memiliki family cohesion yang sedang. Hal tersebut dikarenakan masing-
masing anggota keluarga merasa dekat satu sama lain, keluarga menjadi
prioritas utama dibanding pekerjaan dan teman, semua anggota keluarga akan
melakukan apapun demi keutuhan dan kepentingan keluarga.
Family cohesion merupakan salah satu kunci hubungan emosional, apabila
family cohesion sedang maka ikatan emosional juga sedang sehingga keluarga
mampu menghadapi tantangan demi kesejahteraan dan mengatasi stres dengan
sedang pula. Hubungan emosional antar anggota keluarga harus seimbang dan
57
tidak mencapai nilai sangat tinggi agar memenuhi kebutuhan otonomi individu,
namun tidak mengganggu kepentingan pribadi (Mackay 2003).
Family Cohesion
8%
63%
21%
8%Rendah
Sedang
Tinggi
Sangattinggi
Grafik 14 Family Cohesion Keluarga Penderita TB Paru
Family Belief System
Family belief system terdiri dari tiga dimensi, yaitu: kemampuan untuk
memaknai kesulitan, pandangan positif, dan spiritual atau transedensi (Walsh
1998 diacu dalam Mackay 2003). Hasil penelitian family belief system penderita
TB paru dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 31 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Family Belief System
Keluarga Penderita TB Paru
Banyaknya jawaban contohNo Indikator
Tidak (%) Ya (%)1 Percaya bahwa kami dapat mengatasi suatu masalah 4 962 Dapat bertahan jika masalah lain datang 0 1003 Merasa bahwa kami kuat dalam menghadapi masalah
besar2 98
4 Kami percaya bahwa kami akan berhasil menghadapi bahkan di saat sulit
0 100
5 Datang ke tempat ibadah (masjid/gereja) 4 966 Mencari nasehat dari ahli agama (udztad/pendeta) 16 847 Sesuatu yang kami lakukan untuk satu sama lain
membuat kami merasa bagian dari keluarga10 90
8 Kami menerima bahwa stress adalah bagian dari situasi kehidupan
39 61
9 Masalah terjadi tidak dapat diprediksikan 29 71Hasil analisis deskriptif dari aspek family belief system keluarga TB Paru,
menunjukkan lebih dari tiga perempat contoh keluarga penderita TB Paru (86%)
memiliki family belief system yang tinggi dan sangat tinggi. Hal tersebut
dikarenakan sebagian besar keluarga contoh dapat bertahan jika masalah lain
datang, percaya dapat mengatasi suatu masalah, merasa kuat dalam
menghadapi masalah besar, percaya akan berhasil menghadapi bahkan di saat
sulit, datang ke tempat ibadah, dan sesuatu yang dilakukan untuk satu sama lain
membuat merasa bagian dari keluarga.
58
Keluarga yang memiliki family belief system yang tinggi, memiliki
kemampuan memahami apa yang telah terjadi dan memprediksikan masa
depan, tekun, gigih, optimis, yakin dalam mengatasi rintangan, serta melibatkan
diri dalam kepercayaan atau agama (walsh 1998 diacu dalam Mackay 2003).
Adapun hasil tersebut dapat digambarkan pada grafik di bawah ini.
Family Belief System
Sedang14%
Tinggi51%
Sangat tinggi35%
Grafik 15 Family Belief System Keluarga Penderita TB Paru
Komunikasi
Komunikasi efektif terdiri tiga komponen, yaitu: kejelasan pesan,
keterbukaan penyampaian emosi, dan kolaboratif dalam pemecahan masalah
(Walsh 1998 diacu dalam Mackay 2003). Hasil penelitian komunikasi penderita
TB paru dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 32 Sebaran Contoh Berdasarkan Indikator Komunikasi Keluarga
Penderita TB Paru
Banyaknya jawaban contohNo Indikator
Tidak (%) Ya (%)1 Mengeluarkan pendapat dalam proses pengambilan
keputusan di keluarga besar2 98
2 Beradaptasi terhadap lingkungan di keluarga 6 943 Saling memahami antar anggota keluarga 2 984 Dapat mengekspresikan isi hati di rumah tanpa
mengganggu masalah anggota keluarga0 100
5 Kompromi ketika masalah datang 41 596 Dapat menangani perbedaan dalam keluarga 6 947 Dapat melakukan pekerjaan melalui kesulitan-
kesulitan yang terjadi dalam keluarga2 98
8 Mendiskusikan suatu masalah dan merasa lebih baik dalam menemukan solusi
10 90
9 Merasa bebas untuk mengutarakan pendapat 0 10010 Membagi tanggung jawab dalam keluarga 14 8611 Mengatakan kepada anggota keluarga bahwa kita
peduli kepadanya59 41
12 Mencoba jalan lain untuk menyelesaikan suatu masalah
24 76
59
Hasil analisis deskriptif dari aspek komunikasi keluarga TB Paru,
menunjukkan lebih dari tiga perempat contoh keluarga penderita TB Paru (78%)
memiliki komunikasi yang tinggi dan sangat tinggi. Hal tersebut karena sebagian
besar keluarga contoh mengeluarkan pendapat dalam proses pengambilan
keputusan, beradaptasi terhadap lingkungan keluarga, saling memahami antar
anggota keluarga, dapat mengekspresikan isi hati di rumah tanpa mengganggu
masalah anggota keluarga, dapat menangani perbedaan dalam keluarga, dapat
melakukan pekerjaan melalui kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam keluarga,
merasa bebas untuk mengutarakan pendapat, berdiskusi dan mencari solusi
dengan anggota keluarga.
Keluarga dengan komunikasi yang efektif mengacu pada pengiriman pesan
yang jelas dan konsisten, berbagi perasaan dan emosi, mengidentifikasi masalah
dan pilihan untuk menangani masalah keluarga (Walsh 1998 diacu dalam
Mackay 2003).
Communication
Sedang22%
Tinggi43%
Sangat tinggi35%
Grafik 16 Komunikasi Keluarga Penderita TB Paru
Secara umum, Grafik 17 menunjukkan hampir separuh contoh keluarga
penderita TB Paru (47%) memiliki kelentingan keluarga yang tinggi. Dengan
kelentingan keluarga yang tinggi, dipandang dapat merespon permasalahan
yang terdapat dalam keluarga.
Kelentingan Keluarga
33%
47%
20%
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
Grafik 17 Skor Total Kelentingan Keluarga
60
Perbedaaan Lama Sakit dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru
Berdasarkan hasil penelitian mengenai lama sakit dengan kelentingan
keluarga penderita TB paru tersaji pada Tabel 33 berikut ini.
Tabel 33 Perbedaaan Lama Sakit dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB
Paru
MeanLama sakit
Kelentingan Keluarga
t Df Sig. (2-tailed) Keterangan
4,6780 1,0049 -45,683 48 0,000 H0 ditolakDari Tabel 33 dapat dilihat bahwa mean lama sakit adalah 4,6780 tahun
dan kelentingan keluarga sebesar 1,0049. Dari hasil pengujian tersebut,
didapatkan nilai t secara statistik sebesar -45,683 dengan (p=0,000, p < 0,05)
yang berarti H0 ditolak. Dapat dikatakan bahwa ada perbedaan antara lama sakit
dengan kelentingan keluarga penderita TB paru. Pada Tabel 10 menunjukkan
bahwa 61,3% contoh mengalami sakit selama 1-5 tahun, sedangkan pada Grafik
17 menunjukkan bahwa 47% contoh memiliki kelentingan keluarga yang tinggi.
Nampak kecenderungan bahwa semakin lama sakit, semakin tinggi kelentingan
keluarga.
Hubungan Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan karakteristik sosial
ekonomi (usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga, dan besar
keluarga), perilaku hidup bersih, tingkat kecemasan, dukungan sosial,
mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP), mekanisme koping keluarga
dengan kelentingan keluarga penderita TB Paru tersaji pada Tabel 34 berikut ini.
Tabel 34 Hubungan Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru
Kelentingan KeluargaCorrelation Coefficient Sig. (2-tailed) n
Sanitasi -0,048 0.743 49Usia -0,054 0,710 49Jenis Kelamin 0,208 0,158 49Pendidikan -0,261 0,070 49Pekerjaan 0,128 0,382 49Pendapatan Keluarga -0,303* 0.034 49Besar Keluarga -0,206 0,155 49Perilaku Hidup Bersih 0,236 0,102 49Tingkat Kecemasan 0,419** 0,003 49Dukungan Sosial 0,604** 0,000 49Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP)
0,684** 0,000 49
Mekanisme Koping Keluarga problem-focus coping emotion-focus coping
0,753**0,770**
0,0000,000
49
61
Hasil data pada Tabel 34 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan dan bersifat negatif antara pendapatan keluarga dengan kelentingan
keluarga (r= -0,303, p < 0,05). Artinya semakin tinggi pendapatan keluarga maka
semakin rendah kelentingan keluarga. Hal ini bertentangan dengan pendapat
Sugianto (2007) menyatakan bahwa pendapatan keluarga merupakan aspek
yang sangat penting dan sangat berpengaruh pada keluarga dengan penyakit
kronis. Hal demikian diduga karena aspek kelentingan keluarga yang terdiri dari
family cohesion, family belief system, dan komunikasi tidak berkaitan secara
langsung terhadap pendapatan keluarga. Selain itu, jika keluarga memiliki
kemampuan memanajemen sumber daya dengan baik, maka kendala keuangan
yang dihadapi oleh keluarga dengan penyakit kronis dapat diatasi walaupun
pendapatan keluarga tidak tinggi.
Hasil data pada Tabel 34 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan dan bersifat positif antara tingkat kecemasan dengan kelentingan
keluarga (r=0,419, p<0,01). Artinya semakin tinggi tingkat kecemasan maka
semakin tinggi kelentingan keluarga. Hal ini bertentangan dengan pendapat Mc
Cubbin & Mc Cubbin (1991) menyatakan bahwa stres keluarga yang
terakumulasi dapat mengakibatkan krisis keluarga, termasuk fisik, emosional,
atau hubungan. Contoh keluarga dengan krisis akibat stres adalah penyakit dari
sistem kekebalan tubuh yang lemah. Pengalaman keluarga yang terlalu banyak
tekanan pada satu waktu terdapat peningkatan risiko untuk mengalami krisis
keluarga. Hal ini diduga karena kecemasan penderita tidak mengganggu aspek
kelentingan keluarga berupa hubungan interpersonal, kepercayaan, dan
komunikasi dalam keluarga. Hasil data korelasi (Lampiran 3) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat positif antara tingkat
kecemasan dengan mekanisme koping (r=0,400, p<0,01). Hasil data pada Tabel
33 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara
mekanisme koping dengan kelentingan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat kecemasan, semakin tinggi mekanisme koping maka
semakin tinggi kelentingan keluarga.
Hasil data pada Tabel 34 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan dan positif antara dukungan sosial dengan kelentingan keluarga
(r=0,604, p<0,01). Walsh (1998), diacu dalam Mackay (2003) menyatakan bahwa
kelentingan keluarga yang baik menunjukkan bahwa mereka memiliki
kemampuan untuk mengelola konflik dengan baik, dan pengelolaan konflik
62
sangat tergantung pada komunikasi dan keterampilan penyelesaian masalah.
Hasil data korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan dan bersifat positif antara dukungan sosial dengan mekanisme koping
(r=0,572, p<0,01). Hasil data pada Tabel 33 menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan dan positif antara mekanisme koping dengan
kelentingan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan
sosial, semakin tinggi mekanisme koping maka semakin tinggi kelentingan
keluarga.
Hasil data pada Tabel 34 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan dan bersifat positif antara mekanisme koping kesehatan keluarga
(r=0,684, p<0,01), problem-focused coping (r=0,753, p<0,01), dan emotion-
focused coping (r=0,770, p<0,01) dengan kelentingan keluarga. Artinya semakin
tinggi mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP) dan mekanisme koping
keluarga maka semakin tinggi kelentingan keluarga. Friedman (1998) yang
menyatakan bahwa tanpa koping yang efektif, fungsi perawatan keluarga tidak
dapat dicapai secara optimal.
Pengaruh Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh karakteristik sosial
ekonomi (usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga, dan besar
keluarga), perilaku hidup bersih, tingkat kecemasan, dukungan sosial,
mekanisme koping kesehatan keluarga (CHIP), mekanisme koping keluarga
dengan kelentingan keluarga penderita TB paru tersaji pada Tabel 35 berikut ini.
Tabel 35 Pengaruh Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru
Kelentingan KeluargaRegression Coefficient Sig. (2-tailed)
Sanitasi 0,199 0,488Usia 0,028 0,805Jenis Kelamin 0,091 0,488Pendidikan -0,237 0,074Pekerjaan 0,073 0,576Pendapatan Perkapita -0,154 0,182Besar Keluarga -0,317** 0,003Perilaku Hidup Bersih 0,110 0,209Tingkat Kecemasan 0,239* 0,027Dukungan Sosial 0,022 0,882Mekanisme Koping Kesehatan Keluarga (CHIP)
0,059 0,741
Mekanisme Koping Keluarga problem-focus coping emotion-focus coping
0,379*0,466**
0,0140,003
63
Hasil uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa nilai koefisien
determinasi yang telah disesuaikan (adjusted R square) sebesar 0,711. Dengan
demikian pengaruh variabel terhadap kelentingan keluarga sebesar 71,1% dan
sisanya sebesar 22,9% merupakan faktor lain yang juga berpengaruh, yang
dijelaskan oleh variabel lain di luar variabel penelitian ini.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelentingan keluarga adalah
besar keluarga (β= -0,317, p=0,003) pada taraf satu persen, tingkat kecemasan
(β=0,239, p=0,027) pada taraf lima persen, dan mekanisme koping (β= 0,511,
p=0,000) pada taraf satu persen.
Jika besar keluarga meningkat satu satuan maka akan mempengaruhi
kelentingan keluarga menurun sebesar 0,317. Beban keluarga akan lebih besar
seiring dengan jumlah anggota keluarga yang banyak, sehingga kelentingan
keluarga akan semakin kecil. Sanjur (1982) diacu dalam Devi (2004) menyatakan
bahwa besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Harper
(1988) diacu dalam Fitriyani (2008) menyatakan bahwa keluarga miskin dengan
jumlah anggota keluarga yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi
kebutuhan pangannya. Berdasarkan besar keluarga dengan kondisi krisis
(penyakit TB paru), semakin besar keluarga maka semakin sulit memenuhi
kebutuhan hidup yang akan berpengaruh pada rendahnya kelentingan keluarga.
Jika tingkat kecemasan meningkat satu satuan maka akan mempengaruhi
kelentingan keluarga meningkat sebesar 0,239. Hal ini diduga karena tingkat
kecemasan penderita yang ringan-sedang dengan ditangani medis serta
dukungan dari keluarga dan teman. Selain itu, sikap penderita yang pasrah dan
berprinsip bahwa TB paru bukan sakit yang parah dan masih bisa diobati. Mc
Cubbin & Mc Cubbin (1991) menyatakan bahwa stres keluarga yang
terakumulasi dapat mengakibatkan krisis keluarga, termasuk fisik, emosional,
atau hubungan. Keluarga dengan penyakit TB paru dapat menimbulkan banyak
tekanan atau kecemasan sehingga memungkinkan adanya peningkatan risiko
untuk mengalami krisis keluarga. Hal ini diduga karena kecemasan penderita
tidak mengganggu aspek kelentingan keluarga berupa hubungan interpersonal,
kepercayaan, dan komunikasi dalam keluarga.
Jika problem-focused coping meningkat satu satuan maka akan
mempengaruhi kelentingan keluarga meningkat sebesar 0,379 dan jika emotion-
focused coping meningkat satu satuan maka akan mempengaruhi kelentingan
keluarga meningkat sebesar 0,466. Mekanisme koping yang baik dapat
64
meningkatkan kelentingan karena keluarga dapat bertahan dalam menghadapi
masalah yang ada. Untuk menghadapi stres akibar permasalahan, keluarga perlu
meningkatkan koping yang efektif. Strategi dan proses koping keluarga yang
efektif berfungsi sebagai mekanime agar fungsi-fungsi keluarga tercapai. Tanpa
koping yang efektif, fungsi ekonomi, sosialisasi, perawatan keluarga tidak dapat
dicapai secara optimal (Friedman 1998). Dengan koping yang efektif, maka
fungsi keluarga tercapai sehingga kelentingan keluarga tinggi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Lebih dari separuh usia contoh berada pada rentang 30-49 tahun atau
berada pada tahap dewasa madya, berjenis kelamin laki-laki, dan berstatus
kepala keluarga. Proporsi terbanyak berpendidikan SMA/sederajat dan
bekerja sebagai buruh atau tidak bekerja. Lebih dari separuh contoh
mengalami sakit pada rentang 1-5 tahun, namun lama pengobatan baru
bejalan 6-12 bulan.
2. Berdasarkan pendapatan perkapita, hampir tiga perempat keluarga contoh
(72%) termasuk dalan kategori tidak miskin, sisanya lebih dari seperempat
keluarga contoh (28%) termasuk dalam kategori miskin. Berdasarkan
pengeluaran pangan, lebih dari separuh keluarga contoh (59%) termasuk
dalam kategori miskin dengan pengeluaran pangan rata-rata Rp. 631.600,00
perbulan.
3. Lebih dari separuh contoh memiliki besar keluarga <4 orang atau disebut
juga keluarga kecil. Hampir tiga perempat keluarga memiliki sanitasi yang
baik dan sangat baik. Lebih dari separuh keluarga berperilaku hidup sehat
dengan baik.
4. Lebih dari separuh contoh memiliki tingkat kecemasan yang relatif rendah-
sedang dan memiliki mekanisme koping kesehatan keluarga yang tinggi.
Lebih dari tiga perempat contoh memiliki dukungan sosial yang sedang.
Hampir separuh keluarga contoh memiliki mekanisme koping keluarga dan
kelentingan keluarga yang tinggi.
5. Terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat negatif antara pendapatan
keluarga dengan kelentingan keluarga. Terdapat hubungan yang signifikan
dan bersifat positif antara tingkat kecemasan, dukungan sosial, mekanisme
koping kesehatan keluarga (CHIP), mekanisme koping keluarga dengan
kelentingan keluarga.
6. Semakin besar jumlah anggota keluarga, semakin rendah kelentingan
keluarga. Semakin tinggi tingkat kecemasan, semakin tinggi kelentingan
keluarga. Semakin tinggi mekanisme koping keluarga, semakin tinggi
kelentingan keluarga.
66
Saran
1. Penderita TB paru dapat meningkatkan mekanisme koping dengan cara
berpandangan positif, membuka diri dengan orang lain, dan mengendalikan
emosi. Selain itu, petugas medis (puskesmas) dapat memberikan konsultasi
disamping memberikan obat. Hal ini agar penderita dapat terbantu
mengorganisasi masalah yang dihadapi.
2. Terdapat dukungan sosial yang rendah dan sedang sehingga disarankan
agar pihak terdekat, khususnya keluarga dan teman dapat meningkatkan
dukungan terhadap penderita. Caranya, memperlakukan penderita seperti
orang yang normal, meluangkan waktu untuk berdiskusi atau mendengarkan
harapan contoh, dan mendukung pengobatan contoh secara moril.
3. Pihak terkait (Puskesmas, Dinas Ketenagakerjaan, Kecamatan Ciomas,
Pemerintah daerah Kabupaten Bogor) dalam hal peningkatan usaha
perbaikan kesehatan melalui pencegahan, promosi, dan edukasi. Lebih
banyak memberikan penyuluhan secara umum dan meyeluruh terhadap
penderita yang berprofesi sebagai pekerja home industry (bengkel sandal
dan sepatu). Selain itu, pengusaha home industry perlu diikutsertakan dalam
penyuluhan K3 (keselamatan dan kesehatan kerja), terutama penataan lokasi
dan peraturan yang harus memperhitungkan sirkulasi udara.
4. Istri dari penderita TB paru yang berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT)
disarankan dapat membekali diri dengan berbagai keterampilan sehingga
memperoleh pendapatan keluarga melalui kegiatan wirausaha.
5. Lebih dari separuh penderita berada pada usia produktif, sehingga
disarankan untuk mengikuti program Keluarga Berencana (KB) untuk
mengatur dan membatasi jumlah anak.
67
DAFTAR PUSTAKA
Azwar. 1999. Penyakit sebagai salah satu masalah kesehatan. Dalam Pengantar epidemiologi. Edisi revisi. Jakarta : PT. Binarupa Aksara.
BPS Bogor. 2009. Kota Bogor dalam Angka. http://jabar.bps.go.id. [18 Desember 2010]
BPS JABAR. 2009. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (p1), Indeks Keparahan Kemiskinan (p2). http://bps.go.id. [18 Desember 2010]
BPS Jawa Tengah. 2000. Statistik Perumahan Propinsi Jawa Tengah.http://bps.go.id. [13 Januari 2010]
Departemen Kesehatan. 2008. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2007. Bandung : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. http://www.depkes.go.id/downloads/profil/prov%20jabar%202007.pdf. [5 Februari 2010].
. 2008. Lembar Fakta Tuberkulosis. http://www.tbcindonesia.or.id. [5 Februari 2010].
Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penaggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan RI 2008.
. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta : Departemen Kesehatan RI 2008
Devi M. 2004. Tingkat Pendidikan Ibu, Hubungannya Dengan Perilaku Makan dan Status Gizi Siswa Sekolah Dasar [disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2008. Penanganan TB di Jabar Masih Rendah. Bandung : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. http://www.diskes.jabarprov.go.id/download.php?title=Penanganan%20TB%20di%20Jabar%20Masih%20Rendah&source=data/sorotan/attachment/200932594840.doc. [5 Februari 2010].
Enarson DA, Reider HL, Arnadotti T. 1993. Tuberculosis Guide for Low Income Countries, Edisi-1. Paris : International Union Againt Tuberculosis and Lung Disease : 3-47.
Febriasari A. 2007. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Penyesuaian Diri Remaja Di Panti Asuhan Al Bisri Semarang Tahun 2007 [skripsi]. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang.
Fitriyani Y. 2008. Kondisi Lingkungan, Perilaku Hidup Sehat, Dan Status Kesehatan Keluarga Wanita Pemetik Teh Di PTPN VIII Pengalengan, Bandung, Jawa Barat [skripsi]. Prodi Gizi Masyarakat Dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
68
Folkman S. 1986. Ways Of Coping Scales. University Of California, San Francisco.
Friedman MM. 1998. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek Edisi 3. Jakarta: EGC
Gerduda P. 2000. Pokja Gerduda Berantas TB di Bogor. http://suarapembaruan.com/News/2000/11/30/index.html. [26 Desember 2010]
Hurlock EB. 1993. Psikologi Perkembangan Edisi Ke-5 (Juda Damanik & Achmad Chusairi). Jakarta: Erlangga.
Karyadi E et al. 2006. A double-blind, placebo-controlled study of vitamin A and Zinc Supplementation in persons with tuberculosis in Indonesia: Effects on clinical response and nutritional status [terhubung berkala]. http://www.ajcn.org. [5 Februari 2010].
Keith J. 2009. Chronic Illnes & Stress. http://drjenniferkeith.com/Chronic Illness & Stress.pdf. [20 Oktober 2009].
Lazarus A. 2004. Relation Among Indicators of Child and Family Resilience and Adjustment Following the September 11, 2001 Tragedy. The Emory Center for Myth and Ritual in American Life Working Paper No. 36.
Lazarus J. 2000. Stress Relief and Relaxation Techniques. Keats Publishing, Los Angeles, CA : Contemporary Publishing Group Inc.
Lazarus RS, S Folkman. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York : McGraw-Hill, Inc.
Lum C. 2008. The Development of Family Resilience: Exploratory Investigation of a Resilience Program for Families Impacted by Chemical Dependency. San Jose State University.
Marwiati. 2005. Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Strategi Koping pada keluarga dengan anggota Keluarga yang Dirawat dengan Penyakit Jantung di RSUD Ambarawa 2005. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta 2005.http://www.skripsistikes.wordpress.com [15 September 2010].
Mackay R. 2003. Family Resilience and Good Child Outcomes: An Overeview of the Literature, Ministry of Social Development, Wellington.
McCubbin HI, MA McCubbin. 1979. Coping Health Inventory for Parents.Madison, WI: University of Wisconsin-Madison.
McKinnon KD. 1998. Coping With Caring: The Danger of Chronic Stress and Burnout. http://www.Charityvillage.com/charityvillage/research/rpedrsv1.html. [2 Maret 2009].
69
Miller BC. 1988. Marriage, Famillly and Fertility. Dalam Sussman MB & Steinmetz SK. 1988. Handbook of Marriage and the Family. New York and London : Plenum Press.
Mimbs J, A Lewis. 2009. Consumer Economics and Family Resources, Journal of Family and Consumer Science 27;2 [terhubung berkala]. http://www.journaloffamilyandconsumerscience.com [20 Oktober 2009].
Nawas A. 1990. Diagnosis Tuberkulosis Paru. Cermin Dunia Kedokteran 63 : 13-16. Jakarta : PT. Midas Surya Grafindo.
Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT.Rineka Cipta
Permatasari IY. 2006. Tingkat Pengetahuan Tentang Kanker Leher Rahim, Dukungan Sosial dan Motivasi Melakukan Pap Smear [skripsi]. Prodi Psikologi Pendidikan. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang.
Poerwandari K. 2005. Psikologi Korban Bencana. Jurnal Perempuan: Perempuan dalam bencana. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan.
Puspitawati H. 2006. Diktat Pengantar Ilmu Keluarga. Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.
Sarafino E. 1998. Health Psycology : Biopsychosocial Interaction. New York : John Wiley & Sons, Inc.
Shinta Y. 2008. Analisis Alokasi Pengeluaran dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Kabupaten Indramayu [skripsi]. Fakultas Pertanian, IPB.
Smet B. 1994. Psikologi Kesehatan (terjemahan S. Utami, Suparmi, A. Indarjati dan M. Mildawani). Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Snyder CR. 2001. Coping With Stress : Effective People and Processes. New York : Oxford University Press.
Starke JR, F Munoz. 2003. Tuberculosis. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Texbook of Pediatrics. Edisi-16. Phildelphia : Saunders Company.
Sajogjo. 1994. Peranan Wanita dalam Pembangunan Masyarakat Desa. Jakarta : C.V. Rajawali.
Sugianto U.F. 2007. Derajat Kesehatan Keluarga Nelayan di Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Sukarni M. 1994. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Yogyakarta: Kanisius.
70
Sunarti E. 2008. Diktat Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga. Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.
Suyono H, R Haryanto. 2008. Buku Pedoman Pembentukan dan Pengembangan Pos Pemberdayaan Keluarga. Jakarta : Balai Pustaka.
Taylor SE. 1999. Health Psychology (4th ed.). Boston : McGraw Hill. Trismiati. 2004. The Anxiety Level Differences Among Male and Female
Sterilization Acceptors at RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta [skripsi]. Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma Palembang.
Walsh F. 2002. A Family Resilience Framework : Innovative Practice Applications. http://www.aamycp.org.ar/pdf/froma_walsh.pdf. [24 Oktober 2009].
WHO Report 2003. Global Tuberculosis Control. Surveillance, Planning, Financing. http://www.who.int/gtb/publications/globrep. [15 November 2009].
Zung WWK. 1971. A rating instrument for anxiety disorders. Psychosomatics. American Psychiatric Association, 1971 ed. XII :371-379.
71
Lampiran 1 Sebaran Responden Penderita TB Paru Berdasarkan Perilaku Problem-Focus Coping
Banyaknya jawaban responden No Perilaku
Tidak (%) Ya (%)
1Dapat berkonsentrasi dengan apa yang harus saya lakukan
4 96
2Saya mencoba untuk menganalisis masalah agar memahami lebih baik
8 92
3Tawar-menawar atau berkompromi untuk mendapatkan hal positif dari suatu masalah
47 53
4Saya melakukan sesuatu yang saya tidak berpikir akan berhasil, tapi setidaknya saya melakukannya
12 88
5Mencoba untuk mendapatkan respon orang lain untuk mengubah pikirannya
80 20
6Berbicara dengan seseorang untuk mencari tahu lebih banyak tentang situasi permasalahan
20 80
7 Simpatik dan memahami seseorang 2 988 Saya mendapat bantuan ahli 69 31
9Saya meminta maaf atau melakukan sesuatu untuk orang lain membuat keputusan
6 94
10Saya membuat rencana dan saya mengikuti rencana tersebut
14 86
11 Saya membiarkan perasaan saya keluar 24 76
12Pengalaman lebih baik ketika selesai masalahnya daripada ketika dapat masalah
78 22
13Berbicara kepada seseorang yang dapat melakukan sesuatu yang nyata untuk menyelesaikan masalah
24 76
14Mengambil peluang besar atau melakukan sesuatu yang sangat beresiko
88 12
15Saya mencoba tidak bertindak tergesa-gesa atau mengikuti dugaan awal
24 76
16 Mengubah sesuatu agar segalanya menjadi lebih baik 4 96
17Bertanya kepada saudara atau teman yang saya hormati untuk meminta nasehat
20 80
18Berbicara dengan seseorang mengenai apa yang saya rasakan
18 82
19 Berusaha memperjuangkan apa yang saya inginkan 4 96
20Pada pengalaman masalah lalu, saya merasa seperti situasi sama seperti sebelumnya
76 24
21Saya tahu apa yang harus dilakukan, maka saya berusaha dua kali lipat untuk menyelesaikan suatu hal
41 59
22Membuat beberapa solusi untuk menyelesaikan suatu masalah
8 92
23Saya mencoba menjaga perasaan saya dari campur hal lain yang terlalu banyak
4 96
24 Saya beribadah 2 9825 Saya menyiapkan diri untuk hal yang terburuk 55 45
26Di pikiran saya, sama sepert apa yang saya katakan dan saya lakukan
29 71
27Saya mencoba melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain
35 65
72
Lampiran 2 Sebaran Responden Penderita TB Paru Berdasarkan Perilaku Emotion-Focus Coping
Banyaknya jawaban responden No Perilaku
Tidak (%) Ya (%)
1Melakukan pekerjaan atau melakukan aktifitas untuk mengalihkan sejenak pikiran saya dari suatu masalah
8 92
2Saya merasa waktu akan membuat perubahan, satu-satunya yang dapat dilakukan adalah menunggu
86 14
3 Mengkritisi diri 10 90
4Mencoba tidak menghilangkan proses masalah, tetapi membiarkan sesuatu terjadi
78 22
5 Berharap keajaiban akan terjadi 27 736 Ingin melawan nasib, terkadang saya tidak beruntung 43 577 Seolah-olah tidak ada yang terjadi 55 458 Saya mencoba untuk menjaga perasaan saya sendiri 4 96
9Melihat baik buruknya, sehingga untuk berbicara, mencoba untuk melihat sisi baiknya
45 55
10 Tidur lebih dari biasanya 27 73
11Saya marah kepada orang yang menyebabkan suatu masalah
27 73
12Saya berkata pada diri sendiri tentang hal-hal yang dapat membantu perasaan saya agar lebih baik
4 96
13 Saya terinspirasi untuk melakukan sesuatu yang kreatif 67 3314 Mencoba melupakan semuanya 43 5715 Berubah atau tumbuh menjadi pribadi yang baik 2 9816 Saya berpikir sebelum melakukan sesuatu 2 98
17Saya menerima hal yang terbaik sebagai hal yang saya inginkan
29 71
18Menyadari bahwa masalah saya disebabkan oleh saya sendiri
6 94
19Pergi untuk beberapa saat, mencoba untuk istirahat atau berlibur
10 90
20Mencoba untuk membuat diri lebih baik dengan makan, minum, merokok, mengkonsumsi obat-obatan, dll
51 49
21 Menemukan kepercayaan yang baru 57 4322 Mempertahankan kepercayaan diri 12 8823 Menemukan kembali apa yang penting dalam hidup 16 8424 Menghindari kebersamaan dengan orang-orang 92 8
25Tidak membiarkan suatu masalah menimpa saya, menolak untuk memikirkan banyak masalah
10 90
26Menjaga agar orang lain tidak mengetahui betapa buruknya keadaan
18 82
27Menganggap ringan segala situasi, menolak terlalu serius dalam menghadapi masalah
12 88
28 Melampiaskan sesuatu kepada orang lain 76 2429 Tidak percaya ketika suatu hal terjadi 78 22
30Saya berjanji pada diri sendiri bahwa suatu saat akan terjadi perubahan
6 94
31 Menerimanya, karena tidak ada yang bisa dilakukan 76 24
32Berharap saya dapat merubah apa yang terjadi atau apa yang saya rasakan
6 94
33 Saya mengubah sesuatu tentang diri sendiri 47 53
34Saya melamun atau membayangkan waktu atau tempat yang lebih baik dibanding sekarang
47 53
35 Berharap berakhirnya suatu masalah 0 10036 Mempunyai impian atau keinginan tentang sesuatu yang 37 63
73
tidak mungkin
37Saya berpikir tentang seseorang yang saya kagumi, dapat mengatasi suatu masalah dan dapat saya jadikan contoh teladan
43 57
38Saya mengingati diri, betapa banyak hal yang dapat lebih buruk
4 96
39 Saya senam atau berolahraga 45 55
74
Lampiran 3 Uji Korelasi Variabel dengan Kelentingan Keluarga Penderita TB Paru
Correlations
lenting usia pddk pdpt besar sanitasi phbs cemas dukung CHIP koping
Pearson Correlation 1 -.054 -.261 -.303* -.206 -.048 .236 .419** .604** .684** .802**
Sig. (2-tailed) .710 .070 .034 .155 .743 .102 .003 .000 .000 .000
lenting
N 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49
Pearson Correlation -.054 1 -.297* .215 .406** .119 -.029 .141 -.213 -.125 -.100
Sig. (2-tailed) .710 .038 .137 .004 .414 .843 .335 .142 .393 .496
usia
N 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49
Pearson Correlation -.261 -.297* 1 .479** -.306* .558** .032 -.339* -.126 -.021 -.194
Sig. (2-tailed) .070 .038 .001 .033 .000 .828 .017 .387 .887 .182
pddk
N 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49
Pearson Correlation -.303* .215 .479** 1 .029 .583** -.078 -.082 -.081 -.097 -.276
Sig. (2-tailed) .034 .137 .001 .841 .000 .593 .575 .580 .508 .055
pdpt
N 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49
Pearson Correlation -.206 .406** -.306* .029 1 -.136 .146 .352* -.186 -.101 -.061
Sig. (2-tailed) .155 .004 .033 .841 .353 .316 .013 .202 .490 .679
besar
N 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49
Pearson Correlation -.048 .119 .558** .583** -.136 1 -.020 -.230 -.007 .067 -.071
Sig. (2-tailed) .743 .414 .000 .000 .353 .891 .112 .959 .645 .630
sanitasi
N 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49
Pearson Correlation .236 -.029 .032 -.078 .146 -.020 1 .122 .186 .292* .237
Sig. (2-tailed) .102 .843 .828 .593 .316 .891 .402 .201 .041 .101
phbs
N 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49
75
Pearson Correlation .419** .141 -.339* -.082 .352* -.230 .122 1 .365** .319* .400**
Sig. (2-tailed) .003 .335 .017 .575 .013 .112 .402 .010 .026 .004
cemas
N 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49
Pearson Correlation .604** -.213 -.126 -.081 -.186 -.007 .186 .365** 1 .784** .572**
Sig. (2-tailed) .000 .142 .387 .580 .202 .959 .201 .010 .000 .000
dukung
N 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49
Pearson Correlation .684** -.125 -.021 -.097 -.101 .067 .292* .319* .784** 1 .727**
Sig. (2-tailed) .000 .393 .887 .508 .490 .645 .041 .026 .000 .000
CHIP
N 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49
Pearson Correlation .802** -.100 -.194 -.276 -.061 -.071 .237 .400** .572** .727** 1
Sig. (2-tailed) .000 .496 .182 .055 .679 .630 .101 .004 .000 .000
koping
N 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).