Download - Tinjauan Kasus DKD
Tinjauan Kasus
Tata Laksana Diabetik Kidney Disease pada Penderita Diabetes Melitus
Agus Kresna Sucandra, Diah Ajeng Tania, Dwi Sutanegara
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar
Februari 2005
Pendahuluan
Diabetes melitus atau yang lebih dikenal dengan DM sering disebut sebagai the great
immitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan
berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi, dapat timbul perlahan-lahan
sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan.5 Dalam Diabetes Atlas 2000
(International Diabetes Federation) tercantum perkiraan penduduk Indonesia di atas 20
tahun sebesar 125 juta dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6%. Berdasarkan pola
pertambahan penduduk seperti saat ini, diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada
sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM
sebesar 4,6% akan didapatkan 8,2 juta pasien diabetes.1
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi komplikasi akut dan kronis.
Komplikasi akut sekarang sudah jarang, juga penanganannya relatif lebh mudah asal
fasilitas cukup memadai. Diantaranya ketoasidosis diabetik (KAD), hyperosmolar
hyperglycemic syndrome, dan hipoglikemia. Sedangkan komplikasi kronik merupakan
komplikasi yang sangat sukar ditangani karena berjalan pelan tetapi pasti dan karenanya
akan makan biaya sangat tinggi, yaitu makroangiopati (pembuluh darah jantung, pembuluh
darah tepi, dan pembuluh darah otak), mikroangiopati (pembuluh darah kapiler retina mata
dan pembuluh darah kapiler ginjal), dan neuropati.1 Diabetik kidney disease (DKD)
merupakan komplikasi mikrovaskular kronis pada penderita diabetes melitus. Pada
sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang
memerlukan pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal. Diabetik kidney disease
menduduki urutan ketiga (16,1%) setelah glomerulonefritis kronik (30,1%) dan
pielonefritis kronik (18,51%), sebagai penyebab paling sering gagal ginjal terminal yang
memerlukan cuci darah diabetik kidney disease Indonesia.4 Di Amerika Serikat sendiri
DKD merupakan penyebab tersering dari gagal ginjal, dimana sepertiga pasien yang
1
menjalani program dialisis rutin adalah pasien dengan DKD. Begitu juga di Inggris, DKD
menjadi penyebab tersering dari gagal ginjal.13
Pada tinjauan kasus ini, akan difokuskan pada pembahasan tentang diagnosis dan
penatalaksanaan diabetik kidney disease pada penderita diabetes melitus.
Kasus
Seorang laki-laki, umur 42 tahun, Islam, suku Jawa datang ke RS Sanglah untuk
menjalankan terapi hemodialisis. Penderita telah melakukan hemodialisa rutin dengan
frekuensi dua kali tiap minggu. Hemodialisa sudah dilakukan sejak bulan Juni 2004.
Keluhan utamanya berupa badan lemah. Rasa lemah ini dirasakan terjadi perlahan-lahan
pada seluruh tubuh. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 13 tahun yang lalu (tahun 1992).
Penderita mempunyai riwayat sakit DM sejak tahun 1992 (13 tahun yang lalu),
namun penderita tidak dihiraukan sehingga tidak berobat ke dokter. Pada tahun 1997
penderita masuk rumah sakit karena mengeluh lukanya di kaki tidak sembuh-sembuh dan
badannya panas tinggi. Penderita dirawat selama 5 hari, oleh dokter yang merawat
dikatakan selain menderita kencing manis juga menderita darah tinggi Penderita mulai
kontrol ke dokter dan minum obat namun tidak teratur. Tahun 2000 penderita mulai
mengeluh sering bengkak-bengkak pada kedua kakinya dan juga sering mengeluh
penglihatannya mulai kabur. Setelah matanya terasa sangat kabur, penderita berobat ke
dokter mata, dikatakan ada perdarahan di retina yang menyebabkan mata kanan penderita
tidak dapat melihat. Pada tahun 2002 keluhan bengkak semakin sering dan parah, diikuti
kencing yang sering namun sedikit-sedikit dan berbuih, mual muntah, pucat, rasa pegal-
pegal pada kaki, kesemutan terutama di telapak kaki. Penderita pun berobat ke rumah sakit
lalu didiagnosis penyakit ginjal oleh dokter. Tahun 2003 penderita kembali masuk rumah
sakit karena keluhan bengkak yang semakin berat. Lalu direncanakan hemodialisis, namun
dari pengobatan selama di rumah sakit menunjukkan respon yang baik maka hemodialisis
pun dibatalkan. Juni 2004 penderita kembali masuk rumah sakit karena panas tinggi, lalu
sejak saat itu pula penderita harus melakukan hemodialisis rutin 2 kali seminggu. Selama
13 tahun ini penderita juga mengeluh banyak giginya menjadi mudah goyang dan akhirnya
tanggal.
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik (27 Januari 2005) didapatkan kesadaran
E4V5M6, tekanan darah 150/90 mmHg, denyut nadi teratur, isi cukup 88 kali/menit,
2
pernafasan spontan 22 kali/menit, temperatur axila 36,50C, tinggi badan 175 cm, berat
badan 58 kg, BBI 77,3 kg, IMT 18,94 kg/m2.
Pemeriksaan fisik mata didapatkan anemia pada kedua mata, tidak ada ikterus pada
mata kanan dan kiri. Didapatkan visus mata kanan NLP (No Light Perception) mata kiri
>6/30, palpebra normal, kornea jernih, iris/pupil bulat dan reguler, reflek pupil positif
isokor, lensa jernih, tensi okuli normal (per palpasi). Pemeriksaan segmen posterior bola
mata tidak dilakukan.
Pada telinga, hidung dan tenggorokan tidak didapatkan kelainan. Gigi tidak
lengkap, gusi tidak ada tanda-tanda infeksi.
Pada inspeksi leher didapatkan leher simetris, palpasi : pembesaran kelenjar getah
bening leher (-), pembesaran kelenjar gondok (-), JVP PR ± 0 cm H20, auskultasi : bruit
(-).
Pada inspeksi thoraks didapatkan dada simetris kanan dan kiri saat statis maupun
dinamis, pada palpasi fremitus vokal normal pada kedua paru, pada perkusi sonor pada
kedua paru, auskultasi didapatkan suara nafas tipe vesikuler, tidak ada ronki dan tidak ada
wheezing pada kedua paru. Pemeriksaan fisik jantung, inspeksi iktus kordis tampak pada
sela iga IV garis pertengahan klavikula kiri, palpasi iktus kordis teraba dua jari sebelah
medial dari garis pertengahanan klavikula kiri ruang sela iga IV, pada perkusi didapatkan
batas-batas jantung yaitu batas atas: ruang sela iga II, batas kanan: garis parasternal kanan,
batas kiri : garis pertengahan klavikula kiri, pada auskultasi didapatkan S1 S2 tunggal
reguler, tidak ada murmur.
Pada pemeriksaan abdomen, secara inspeksi tidak ada distensi, auskultasi bising
usus (+) normal, dari palpasi hepar dan lien tidak teraba, serta tidak ada nyeri tekan pada
perut. Perkusi perut didapatkan timpani, serta tidak ada ascites.
Pada pemeriksaan fisik ekstremitas, secara inspeksi terlihat warna kulit tangan dan kaki
normal. Pada lengan sebelah kiri terpasang AV shunt. Kulit kaki terlihat banyak bekas
luka, terlihat bengkak pada kedua kaki, pitting odem (-). Pada palpasi didapatkan akral
yang hangat pada kedua tangan dan kaki. Pada penderita ini juga dilakukan pemeriksaan
neurologis yaitu pemeriksaan adanya kelainan sensoris, dilakukan tes sensibilitas dengan
cara: pemeriksaan untuk rasa nyeri dipakai jarum pentul yang ditusukkan pada kulit
tangan dan kulit kaki, untuk pemeriksaan sensasi terhadap suhu dingin dipakai air es yang
dibungkus plastik, dan untuk sensasi terhadap suhu panas dipakai air hangat yang
ditempatkan dalam gelas, lalu disentuhkan pada kulit penderita. Untuk rasa raba, diperiksa
3
dengan memakai kapas yang disentuhkan pada kulit penderita. Hasil yang diperoleh dari
pemeriksaan sensibilitas ini yaitu pada ekstremitas inferior dekstra didapatkan kemampuan
sensibilitas menurun pada semua kualitas baik rasa nyeri, suhu, maupun rasa raba.
Sedangkan pada ekstremitas superior dekstra dan sinistra, serta ekstremitas inferior
sinistra, sensibilitas untuk semua kualitas masih baik. Untuk memeriksa kelainan motorik
dilakukan pemeriksaan refleks achilles pada kaki kanan dan kiri dan hasilnya pada kaki
kiri dan kanan refleks achilles positif (normal). Serta pada inspeksi didapatkan atropi pada
otot kaki kanan.
Pemeriksaan laboratorium 8 Januari 2005 menunjukkan hasil yaitu: leukosit 9,6
k/ul, eritrosit 2,62 M/ul, hemoglobin 7,9 g/dl, hematokrit 24,1%, trombosit 204 k/ul, MCV
92,1 fl, MCH 30,1 pg, kadar glukosa sewaktu 273 mg/dl, BUN 130,3 mg/dl, kreatinin
11,44 mg/dl, Na 138,3 mmol/L, K 6,40 mmol/L, albumin 3,1.
Urinalisis saat masuk rumah sakit menunjukkan hasil pH 6,0, leukosit 2-3/lp,
protein ++++, glukosa +, keton -, eritrosit -, urobilinogen normal, bilirubin negatif, berat
jenis 1,010, warna urin kuning, agak keruh. Pemeriksaan sedimen urin memberikan hasil:
leukosit (2-3), eritrosit (-), silinder (-), sel epitel yaitu sel epitel gepeng 0-3/lpk, sel epitel
bulat (-), sel epitel berekor (-), bakteri (-), kristal : amorf +.
Hasil thorak foto saat masuk rumah sakit menunjukkan jantung : cardio-thoracic
ratio (CTR) sebesar 59,66% dan paru-paru normal, sinus pleura tajam, serta diaphragma
normal.
Hasil elektrokardiogram saat masuk rumah sakit menunjukkan rate 96 kali/menit,
irama sinus, aksis normal. Kesimpulan : gambaran EKG normal sinus rhytm.
Penderita ini didiagnosis : CKD stg V ec DKD, Anemia sedang Normokromik-
normositer on CKD, hipertensi gr I.
Terapi yang diberikan pada penderita ini yaitu penderita rawat inap, diet 2898,75
kalori, protein 34,8 gram, rendah garam. Actrapid 3 kali 8 unit sc, asam folat 2 kali 2
tablet, CaCO3 3 kali 1 tablet, captopril 2 kali 50mg, HD reguler.
4
Pembahasan
Diagnosis. Diagnosis klinis diabetes melitus biasanya dipikirkan bila ada keluhan khas
berupa poliuri, polidipsi, polifagi dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dirasakan oleh pasien adalah badan terasa lemah,
kesemutan, gatal dan mata kabur. Jika keluhan khas pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥
200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk
kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah yang baru satu
kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan
pemastian lebih lenjut dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa
darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari lain.1
Klasifikasi etiologis diabetes melitus dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu DM tipe 1,
DM tipe 2, DM tipe lain (defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab
imunologi yang jarang, dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM), serta
diabetes melitus gestasional.2 DM tipe 1 dan 2 secara epidemiologis menggambarkan dua
bentuk onset penyakit penyakit yang berbeda, namun secara klinik keduanya
memperlihatkan gejala yang susah untuk dibedakan. DM tipe 2 tidak selalu menunjukkan
gejala klinis selama beberapa tahun sebelum didiagnosis dan angka insidennya meningkat
seiring dengan bertambahnya umur, dipengaruhi oleh peningkatan berat badan serta gaya
hidup yang kurang olah raga juga akan meningkatkan kejadian DM tipe 2.12 Prevalensi DM
tipe 2 pada orang berusia 65 tahun >9%. Perkembangan penyakit DM tipe 2 sangat
dipengaruhi oleh factor genetic dan lingkungan termsuk obesitas dan kurangnya aktivitas
fisik. Karakteristik yang khas pada DM tipe 2 adalah restensi insulin dan menurunnya
sekresi insulin. Obesitas sangat mempengaruhi sensitivitas insulin. Resistensi insulin juga
erat kaitannya dengan terjadinya komplikasi hipertensi, dislipidemia dan resiko
aterosklerosis.KAHN Penderita DM tipe 2 biasanya terjadi pada usia tua (> 45 tahun), onset
lambat, penderita biasanya gemuk dan terapi tidak harus dengan insulin. Sedangkan
karakteristik DM tipe 1 biasanya terjadi pada usia yang lebih muda, onset akut, badan
kurus dan pengobatan harus dengan insulin.1
Penderita ini didiagnosis menderita DM karena berdasarkan hasil anamnesis
didapatkan adanya keluhan khas DM yaitu banyak makan, banyak minum, sering kencing
5
terutama pada malam hari, dan penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan
(mencapai 10 kg sejak 13 tahun terakhir). Saat itu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa
darah puasa didapatkan hasil 273 mg/dl (>126 mg/dl). Berdasarkan hasil anamnesis yaitu
adanya keluhan khas DM dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa yang lebih dari
126 mg/dl, maka penderita ini didiagnosis menderita DM.
Pada penderita ini dapat dicurigai masuk ke dalam DM tipe 2 dengan alasan onset
lambat (tidak akut), kurang olah raga, pengobatan dengan obat anti hipoglikemik oral
memberikan respon yang baik (tercapainya sasaran yaitu penurunan gula darah puasa
mencapai 120 mg/dl dari 235 mg/dl setelah 4 minggu menjalani pengobatan sejak
didiagnosis menderita DM). Namun penderita tidak teratur minum obat dan juga tidak
kontrol ke dokter, setelah 2 tahun didiagnosis keluhan semakin parah sehingga penderita
akhirnya memakai insulin. Pemakaian insulin sudah berlangsung selama 11 tahun ini.
Diabetik kidney disease didiagnosis jika didapatkan kadar albumin ≥ 30 mg di
dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan, tanpa penyebab
albuminuria yang lain. Keadaan lain yang dapat menyebabkan albuminuria yaitu aktivitas
fisik yang berat, infeksi saluran kemih, gagal jantung, hipertensi berat, dan demam tinggi.1
Dari hasil anamnesis didapatkan: tidak ada aktivitas berat yang dilakukan oleh penderita,
tidak ada tanda-tanda infeksi saluran kemih yang dikeluhkan penderita, tidak ada keluhan
maupun tanda gagal jantung kanan maupun kiri, tidak ada demam, dan hipertensi yang
terjadi adalah hipertensi stadium I. Selain itu penderita juga mengeluh mual muntah, pucat,
rasa pegal-pegal pada kaki, kesemutan terutama di telapak kaki, serta kencing yang sering
berbuih. Dari pemeriksaan fisik didapatkan mata anemis, kulit pucat, terlihat bengkak pada
kedua kaki, pada pemeriksaan lab: BUN 130 mg/dl, Serum Creatinin 11,44 mg/dl sehingga
didapatkan CCT (formula Kokcroft&Gault) 6,9 ml/menit, serta riwayat hemodialisa rutin
sejak satu tahun yang lalu (Juni 2004) dengan frekuensi 2 kali setiap minggu. Namun
penderita tidak mempunyai hasil laboratorium kadar albumin pada saat didiagnosis gagal
ginjal oleh dokter 3 tahun yang lalu. Maka dari itu, pasien didiagnosis menderita
komplikasi diabetik kidney disease.
Penderita ini kemungkinan mengalami retinopati diabetik karena dari anamnesa ada
riwayat mata kabur perlahan-lahan dan saat ini mata kanan tidak dapat melihat sama sekali,
riwayat berobat ke dokter mata dan dikatakan ada perdarahan di retina. Rasa sakit pada
mata tidak ada, kemerahan tidak ada. Pada pemeriksaan fisik mata didapatkan visus mata
kanan NLP (No Light Perception) mata kiri >6/30, palpebra normal, kornea jernih,
6
iris/pupil bulat dan reguler, reflek pupil positif isokor, lensa jernih, tensi okuli normal (per
palpasi). Pemeriksaan segmen posterior bola mata tidak dilakukan.
Untuk menegakkan diagnosis retinopati diabetika diperlukan pemeriksaan funduskopi. DM
biasanya mendorong terjadinya kebutaan yang secara progresif merupakan dampak dari
terjadinya komplikasi retinopati diabetik yang secara garis besarnya dapat dibedakan
menjadi dua yaitu: retinopati diabetik nonproliferatif (tandanya mikroaneurisma pembuluh
darah retina, dan gumpalan perdarahan pada retina), dan retinopati diabetik proliferatif
(ditandai oleh pembentukan pembuluh darah baru pada makula yang mudah pecah,
perdarahan vitreus, fibrosis dan ablasio retina).7
Penderita ini didiagnosis hipertensi grade I karena pada saat diperiksa pasien ini
memiliki tekanan darah 150/90 mmHg dan juga memiliki riwayat hipertensi yang sudah
didiagnosa sejak 8 tahun yang lalu (tahun 1997). Berdasarkan klasifikasi terbaru dari JNC
VII, maka pasien ini didiagnosis menderita hipertensi grade I.6
Komplikasi lain yang sering terjadi adalah neuropati diabetik, dan yang paling
sering dijumpai di klinik adalah neuropati sensorik dan neuropati autonom.10,11 Untuk
menegakkan diagnosis dari neuropati diabetik, idealnya dilakukan semua pemeriksaan
yang meliputi gejala, tanda-tanda, pemeriksaan elektrodiagnosis, dan pemeriksaan
kuantitatif sensoris. Akan tetapi cara ini umumnya hanya dipakai untuk program penelitian
di pusat-pusat penelitian, dan sukar untuk diterapkan untuk pemeriksaan rutin di poliklinis.
Untuk memecahkan masaslah ihi, European Assosiation for The Study of Diabetes
(Neurodiab), menganjurkan untuk memekai kriteria klinis saja untuk menegakkan
neuropati diabetik di klinik.15 Secara klinis, untuk menegakkan diagnosis dari neuropati
diabetik cukup didapatkannya 2 dar 4 kriteria ( Veves A, Boulton AJM, 1992) yaitu: 1.
adanya gejala-gejala dari neuropati diabetik meliputi rasa nyeri seperti terbakar, nyeri yang
bersifat lancinating, parestesia, gejala pada kaki seperti numbness, atau kaki yang tidak
sensitif. Gejala tersebut sering mengalami eksaserbasi di malam hari dan ditanyakan pada
waktu anamnesis. 2. Tanda kelainan sensoris meliputi berkurang atau tidak adanya sensasi
nyeri, rasa raba dan getar. 3. Tanda kelainan motorik meliputi refleks achilles yang negatif,
didapatkan atropi otot tangan atau kaki. 4. Pemeriksaan elektrofisiologi yang abnormal,
pemeriksaan ini seyogyanya mencakup pemeriksaan kecepatan hantar saraf sensoris dan
motoris dan aksi potensial. Pemeriksaan elektrodiagnosis selain dapat menentukan adanya
suatu neuropati perifer, juga dapat membantu menentukan lokasi yang tepat dari serabut
saraf yang terkena. Elektrodiagnosis biasanya dikerjakan dengan pemeriksaan
7
elektromiografi (EMG), dan potensial cetusan somato sensorik. Pemeriksaan
elektrofisiologi ini diasumsikan sebagai abnormal bila didapatkan pada penderita < 2SD
dibandingkan terhadap orang sehat dengan umur yang sama sebagai kontrol.11
Pasien ini didiagnosis menderita komplikasi neuropati diabetik karena: 1.
terdapatnya gejala neuropati diabetik yang meliputi keluhan kesemutan. 2. Untuk
memeriksa kelainan sensoris, dilakukan tes sensibilitas yaitu dengan cara: pemeriksaan
untuk rasa nyeri dipakai jarum pentul yang ditusukkan pada kulit tangan dan kulit kaki,
untuk pemeriksaan sensasi terhadap suhu dingin dipakai air es yang dibungkus plastik, dan
untuk sensasi terhadap suhu panas dipakai air hangat yang ditempatkan dalam gelas, lalu
disentuhkan pada kulit penderita. Untuk rasa raba, diperiksa dengan memakai kapas yang
disentuhkan pada kulit penderita. Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan sensibilitas ini
yaitu pada ekstremitas inferior dekstra didapatkan kemampuan sensibilitas menurun pada
semua kualitas baik rasa nyeri, suhu, maupun rasa raba. Sedangkan pada ekstremitas
superior dekstra dan sinistra, serta ekstremitas inferior sinistra tidak didapatkan kelainan
sensibilitas pada semua kualitas. 3. Untuk memeriksa kelainan motorik dilakukan
pemeriksaan refleks achilles pada kaki kanan dan kiri dan hasilnya pada kaki kanan dan
kiri refleks achilles positif (normal). Serta pada inspeksi didapatkan atropi pada otot kaki
kanan. Berdasarkan kriteria diatas, maka pasien ini dapat didiagnosa menderita komplikasi
neuropati diabetik karena sudah terpenuhi 3 dari 4 kriteria.
Patofisiologi.
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan dengan
pasti. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah
terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Tampaknya berbagai
faktor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa yang menahun
(glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-
faktor yang utama yang menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas terhadap basal membran
dapat melalui 2 jalur, yaitu:
a. Alur metabolik (metabolic pathway): glukosa dapat bereaksi secara proses non
enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan AGE’s (advance glycosilation
end-products). Peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan pada glomerulus
ginjal.
8
b. Alur poliol (polyol pathway): terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat
meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase. Peningkatan
sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan
gangguan osmolaritas membran basal.
Faktor lain yang sangat berpengaruh dalam menimbulkan komplikasi nefropati adalah
terjadinya gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM. diduga kelainan
ini terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh
darah. Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas faktor von
Willebrand dan trombomodulin sebagai penanda terjadinya gangguan endotel kapiler. Hal
ini juga yang dapat menjelaskan mengapa pada penderita dengan mikroalbuminuria
persisten, terutama pada DM tipe 2, lebih banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular
dari pada akibat GGT. Peran hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney disease masih
kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana pada penderita ini hipertensi
dapat dijumpai pada awal malahan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis
mengatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati
tetapi mempercepat progesivitas ke arah GGT pada penderita yang sudah mengalami
diabetik kidney disease.4
9
Peningkatan growt factor
Kerusakan endotel↑ sintesis matriks ekstrasel
RESISTENSI INSULIN
↑ aktivitas antiport Na+/H+
PERTUMBUHAN SEL ABNORMAL
Hiperlipidemia ↑ retensi Na+
↑ Kalsium bebas intrasel
ATEROSKLEROSIS
↑ tonus vaskuler
Hipertropi/hiperplsia
DIABETES Hiperglisemia Genetik+
Hipertropi dinding arteriLVH
Ekspansi mesengial
HIPERTENSI
PENYAKIT GINJAL DAN KARDIOVASKULER
Hipertensi glomerulerProteinuri GLOMERULOSKLEROSIS
Penatalaksanaan. Di dalam pengelolaan diabetik kidney disease, yang dilaporkan
memberikan hasil positif adalah dengan: 4
1. Pengendalian kadar glukosa darah secara intensif
Diabetes Control and Complication Trial (DCCT, 1993) melaporkan bahwa
pengendalian glukosa darah secara intensif baik secara non-farmakologis
(pengaturan makanan, olahraga, cara hidup sehat) maupun dengan pengobatan
farmakologis (insulin atau obat antidiabetik oral) yang dilakukan secara intensif
dapat mencegah terjadinya mikroalbuminuria persisten pada 39% kasus. Selain itu
DCCT juga melaporkan bahwa pengendalian kadar glukosa darah secara intensif
dapat menurunkan komplikasi mikroaneurisma sebesar 27%, retinopati sebesar
76%, dan nefropati sebesar 54%. 4
Non farmakalogis terdiri dari 4 pengelolaan diabetes yaitu: 1
Edukasi. Hal ini dilakukan untuk mencapai perubahan prilaku, melalui
pemahaman tentang penyakit DM, makna dan perlunya pemantauan dari
pengendalian DM, penyulit DM, intervensi farmakologis dan non-
farmakologis, hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi, dll.
Perencanaan Makan. Perencanaan makan harus disesuaikan dengan
kebiasaan tiap individu. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan
komposisi: karbohidrat 60-70 %, protein 10-15 %, lemak 20-25 %.
Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA),
dan membatasi PUFA dan asam lemak jenuh. Pada pasien ini, karena
terdapat komplikasi hipertensi, maka diit rendah garam. Untuk menghitung
status gizi, maka pada pasien ini dipakai rumus Brocca, yaitu:2
BBI = (TB – 100) – 10%
BBI = (175-100) – 10%
BBI = 77,3 kg
Penentuan Kebutuhan Kalori
Kalori basal = 77,3 x 30 kal/kg = 2319 kal
Koreksi / Penyesuaian
1. Umur > 40 th = - 5% × 2319 kal = - 115,95 kal
2. Aktivitas ringan = + 10% × 2319 = + 231,9 kal
3. Berat badan kurang = + 20% × 2319 = + 463,8 kal
4. Stres metabolik: tidak ada
10
Total Kebutuhan Kalori yaitu = 2898,75 kal
Latihan Jasmani. Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang
lebih 30 menit. Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, tapi tetap harus disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani pasien. Contoh latihan jasmani
yang dimaksud adalah jalan, sepeda santai, joging, berenang. Prinsipnya
CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance).2
Intervensi Farmakologis. Pengelolaan pasien DM tipe 2 dengan berat
badan tidak gemuk yaitu dimulai dengan penyuluhan DM menyeluruh,
perencanaan makan dan kegiatan jasmani, lalu evaluasi 2-4 minggu, jika
keadaan klinis tidak sesuai harapan, maka lakukan kembali perencanaan
makan dan latihan jasmani, ditambah pemberian insulin secretagogues,
dievaluasi 2-4 minggu. Pada pasien ini, kondisi tidak membaik dengan
hanya perencanaan makan dan diit, maka diberikan obat hipoglikemik oral
yaitu gliklazid 80 mg (1×I).1,2 Sedangkan obat hipoglikemik golongan
sulfonilurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal atau kurang. Gliklazid merupakan obat hipoglikemik untuk
penderita DM dengan penyulit vaskular atau angiopati. Gliklazid
mempunyai efek vasoprotektif melalui beberapa mekanisme berikut ini:
Gliklazid pada DM tipe 2 memberikan efek yang nyata dalam hal
normalisasi faal trombosit, berarti mempunyai efek anti adesi dan anti
agregasi, menekan produksi tromboksan A dan B, dan meningkatkan
produksi prostasiklin, mempunyai efek ekstra metabolik yang non insulin
mediated, yaitu menormalkan proses fibrinolisis vaskuler, pada DM tipe 2
dengan mikroangiopati, gliklazid mempunyai efek yang kuat sebagai anti
radikal bebas yang mana pada obat lain seperti glibenklamid efek anti
radikal bebas ini tidak ditemukan. Gliklazid pada binatang percobaan juga
dapat menurunkan kadar insulin pada keadaan hiperinsulinemia,
memperbaiki dislipidemia, dan dapat mencegah atau menunda lesi
preateromatus.1,2
2. Pengendalian tekanan darah
11
Penurunan tekanan darah sampai batas normal dilaporkan dapat mencegah
progresivitas nefropati terutama pada DM tipe 1. Terdapat korelasi yang jelas antara
tingginya tekanan darah dengan meningkatnya ekskresi albumin.3 Pasien dengan
hipertensi penting untuk mengetahui manajemen diit yang boleh dikonsumsinya
yaitu: diit rendah garam (sampai dengan 5 mg NaCl perhari), pengurangan intake
kalori terutama pada pasien yang gemuk. Dimana terdapat bukti yang menunjukkan
terjadinya penurunan tekanan darah seiring penurunan berat badan. Dan hal lain dari
diit adalah termasuk didalamnya pengurangan intake makanan tinggi kolesterol, serta
pengurangan makanan yang tinggi asam lemak jenuh.9 Obat anti hipertensi yang
dilaporkan mempunyai efek penurunan mikroalbuminuria selain menurunkan tekanan
darah adalah penghambat ACE dan golongan antagonis kalsium. Golongan penyekat
beta juga mempunyai efek yang sama tetapi dapat menimbulkan gangguan
metabolisme. Pada penderita diabetic kidney disease sebaiknya tidak diberikan
diuretik sebagai monoterapi karena akan menimbulkan gangguan toleransi glukosa.3
Sedangkan terapi farmakologi yang dipakai pada pasien ini adalah obat golongan
angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE) yaitu captopril 25 mg (2×I). Obat
golongan ini sangat berguna karena tidak hanya menginhibisi produksi angiotensin II,
tapi juga memperlambat degradasi dari bradikinin (vasodilator), meningkatkan
produksi prostaglandin, dan dapat memodifikasi aktivitas dari sistem saraf
adrenergik, yang amat berperanan pada pasien diabetes dengan komplikasi
hipertensi.9 Obat golongan inhibitor ACE, juga dapat memperlambat progresi
nefropati diabetik baik pada pasien DM tipe 1&2, sehingga sangat baik diberikan
pada pasien DM yang juga mengalami mikroalbuminuria.8
3. Diet rendah protein
Ekskresi protein yang berlebihan diduga menimbulkan percepatan kerusakan
membran basal. Oleh karena itu diet rendah protein dipercayai dapat memperbaiki
kerusakan glomeruli. Meskipun demikian, hasil diet rendah protein masih
kontroversial. Diet rendah protein sebaiknya dimulai pada tahap nefropati diagnosa
klinis. Asupan protein dibatasi hanya 0,6-0,8 kgBB/hari. Pada pasien diberikan
asupan protein sebesar 34,8 gram/hari.3
Bila pasien memasuki tahap gagal ginjal biasanya akan terus berlanjut menjadi gagal ginjal
terminal. Bila terapi konservatif tidak dapat lagi mencegah meningkatnya uremia, harus
dilakukan terapi ginjal pengganti yang dapat berupa: 3
12
a. Cuci darah (dialisis)
Hemodialisis
Peritoneal dialisis (CAPD)
b. Transplantasi ginjal
Pada pasien ini telah dilakukan hemodialisis rutin tiap dua kali seminggu sejak setahun
yang lalu.
Pemilihan jenis terapi pengganti sangat individual. Selain indikasi medis hal ini sangat
tergantung dari fasilitas dan biaya.3
Ringkasan
Telah dilaporkan kasus dengan diabetik kidney disease pada penderita diabetes
mellitus yang diderita setelah diketahui menderita diabetes mellitus selama 13 tahun.
Diabetik kidney disease merupakan penyakit yang didasari kerusakan
mikrovaskuler yang berlangsung kronis dan dapat bersifat progresif jika tidak ditangani
secara baik. Keluhan awal yang biasanya dirasakan oleh penderita adalah mual muntah
sampai terjadi sindrom uremik.
Penatalaksanaannya meliputi pengendalian kadar glukosa darah secara intensif,
pengendalian tekanan darah, diet rendah protein dan terapi ginjal pengganti pada gagal
ginjal terminal.
Daftar Pustaka
1. Perkeni. Konsensus pengelolaan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB
Perkeni; 2002.
2. Perkeni. Petunjuk praktis pengelolaan diabetes melitus tipe 2. Jakarta: PB
Perkeni.2002.
3. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes melitus: pengenalan dan penanganannya.
In: Buku ajar ilmu penyakit dalam . 3rd ed. Jakarta: Gaya Baru; 1996; I: 597-614.
4. Roesli R, Endang S,Djaafar J. Nefropati Diabetik. In: Buku ajar ilmu penyakit
dalam . 3rd ed. Jakarta: Gaya Baru; 1996; II: 356-365
5. Waspadji S. Gambaran Klinis Dibetes Melitus. In: Buku ajar ilmu penyakit dalam .
3rd ed. Jakarta: Gaya Baru; 1996; I: 586-589.
6. Rudd and Osterberg. Hypertension: context, pathofisiologi and management. In:
Text of cardiovascular medicine. 2nded. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins; 2002.
13
7. Loekman JS.Beberapa hal baru dalam penatalaksanaan hipertensi. In: Naskah
lengkap pendidikan kedokteran berkelanjutan. 11th ed. Denpasar: Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FK UNUD/ RS Sanglah. 2003.p. 1-7.
8. Powers AC. Diabetes melitus. In: Harrison’s of internal medicine. 15 th ed. India:
Mc Graw-Hill. 2003; 2: 2109-2137.
9. Williams G H. Hipertensive vascular disease. In: Harrison’s of internal medicine.
15th ed. India: Mc Graw-Hill. 2003; 1: 1414-1377.
10. Feldman EL, et all. Diabetic neuropathy. In: Principles and practice of
endocrinology and metabolism. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins; 2001: 1391-1402.
11. Sutjahjo A. Neuropati diabetik: dasar-dasar diagnosis, patogenesis, dan
penatalaksanaan ditinjau dari sudut pandang diabetelogis. In: Naskah lengkap
simposium pengelolaan dan penanganan penyakit endokrin dan metabolik. Medan:
Perkumpulan Endokrinologi Cabang medan. 1995: 95-110.
12. Gale EAM & Anderson JV. Diabetes mellitus and other dissorder of metabolism.
In: Kumar & Clark clinical medicine. London: WB Saunders. 2002.
13. DeFronzo RA. Diabetic Nephropathy. In: Diabetes Mellitus. 5th ed. Connecticut:
Appleton Lange. 1996: 971-1008.
14