i
TONGKONAN SANGULELE SEBAGAI SOLIDARITAS KEKRISTENAN TANA
TORAJA
Oleh:
Erqyn Paula Lebang
712012058
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains
dalam bidang Teologi (S.Si. Teol)
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
“Banyaklah rancangan di hati manusia,
tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana”
(Amsal 19:21)
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus, untuk berkat dan rahmat-
Nya yang senantiasa tercurah dalam hidupku, terkhususnya ketika saya berkuliah. Hanya
karena kebaikkan-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir (TA)
ini. Tuhan Yesus juga membantu saya melalui pihak-pihak yang berperan penting dalam
selama masa perkuliahan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana
(UKSW). Oleh karena itu, ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada:
1. UKSW sebagai lembaga di mana saya menuntut ilmu. Terima kasih kepada semua
pihak untuk semua pelayanannya.
2. Fakultas Teologi UKSW tempat saya dibina, dibimbing dan dididik. Terima kasih
saya sampaikan kepada para dosen dan juga para pegawai untuk setiap
pelayanannya. Tuhan Yesus kiranya memberkati kalian.
3. Pak Pdt. Jopie Daan Engel sebagai wali studi karena telah menjadi orang tua
membimbing dan mengarahkan selama proses berkuliah di Fakultas Teologi.
4. Pak Pdt Izak Lattu sebagai pembimbing utama dan Pdt Rama Tulus Pilakoannu
selaku pembimbing pendamping yang telah bersedia membimbing dan memberikan
banyak motivasi selama penulisan Tugas Akhir. Tuhan yesus senantiasa
memberkati keluarga, pelayanan dan tugas dimanapun bapak berada.
5. Keluarga Tercinta: Papa-Mama, Terima kasih tak terhingga untuk dukungan kasih
sayang, doa, material yang boleh terpenuhi setiap saat. Kakak Eq Setiawan dan
Adik terkasih Febrin Lebang yang turut membantu dalam dukungan doa, material
dan non material. Oma Pdt Henriette Hutabarat Lebang selaku pembimbing serta
orang tua yang ikut membantu dalam proses penyelesaian Tugas Akhir. Oma
Elisabeth Payung yang memberikan motivasi dan dukungan doa. Tuhan yesus
senantiasa memberikan kesehatan.
6. Para Sahabat, Stela Hattu, Anthoneta karatem, Vivi Usmany, Melkior yang telah
ikut membantu dalam penulisan Tugas Akhir.
7. Teman terdekat, Marlock Riupassa yang boleh turut serta membantu dan
memberikan semangat dalam menyelesaikan Tugas Akhir.
8. Angkatan 2012, Teologi UKSW
viii
9. Tempat praktek: GKI Soka Salatiga (PPL I-IV), Panti Asuhan Salib Putih (PPL V)
Terima kasih karena sudah menerima saya untuk menjalani praktek di sana.
10. Jemaat Gereja Toraja Bukit Sion Makale yang menjadi buku hidup dan dosen bagi
saya selama empat bulan masa PPL VI. Tuhan kiranya membalas semua kebaikan
kalian.
11. Siapa pun yang tidak sempat saya sebutkan namanya.
Salatiga, 13 Februari 2018
Erqyn Paula Lebang
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Cover ………………………………………………………………......………………… i
Lembar Pengesahan …..……………………………………………......……………… ii
Pernyataan Tidak Plagiat ………………………………………......………………… iii
Pernyataan Persetujuan Akses …………………………………......………………… iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi ………………………………......…...…………… v
Motto ………………………………………………………………......……..………… vi
Kata Pengantar ………………………………………………………………..……… vii
Daftar Isi …………………………………………………......……….………...……… ix
Abstrak ……………………………………………………....…………...……….…… xi
PENDAHULUAN ……………………………………………...………..…………… 1
Latar Belakang …………………………………………………...………..…………… 1
Rumusan Masalah ………………………………………………...…………..……… 4
Tujuan Penelitian …………………………………………………...…………..……… 5
Manfaat Penelitian ………………… ………………………………………….……… 5
Metode Penelitian …………………………………………………...…………..……… 6
KAJIAN TEORI ……………………………………………………………..………… 7
Teori Simbol ……………………………………...…………………………..………… 7
Teori Relasi ………………………………….………………………………..………… 9
Bentuk Hubungan Sosial Asosiatif ………………………………………..………… 11
Tongkonan Sangulele ………………………………………………….…..………… 17
x
Pembangunan Tongkonan Sangulele ……………………………….……………… 18
Pemahaman jemaat menyangkut Tongkonan Sangulele …………………..……… 19
Pemahaman masyarakat umum terkait Tongkonan ………….……….………… 23
Tongkonan bagi masyarakat Tana Toraja …………………………………..…… 25
PENUTUP …………………………………………………….………………….…… 29
DAFTAR PUSTAKA …………………………………..…………………..……...… 31
xi
ABSTRAK
Tongkonan Sangulele adalah rumah milik berasama bagi masyarakat Tana Toraja.
Solidaritas masyarakat di Tana Toraja terlihat dengan adanya Tongkonan Sangulele yang
berdiri di tengah masyarakat masa kini. Tongkonan Sangulele juga digunakan oleh
Gereja Toraja sebagai kantor Badan Pekerja Sinode. Hal ini merupakan inisiatif Gereja,
untuk menghilangkan sistem kasta (strata sosial) yang ada di Tana Toraja.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan serta menganalisis Tongkonan
sebagai simbol solidaritas kekristenan umat di Tana Toraja. Tongkonan yang merupakan
rumah adat serta rumah kerukunan keluarga yang memiliki fungsi dan perannya masing-
masing. Tongkonan sebagai simbol status sosial masyarakat Toraja yang merupakan
falsafah hidup orang Toraja sendiri. Hanya pada rumah Tongkonan pada umumnya masih
berpegang pada sistem strata sosial dengan kasta-kasta yang dimiliki. Tongkonan
Sangulele yaitu rumah milik bersama persekutuan seluruh umat masyarakat Tana Toraja
dimanapun mereka berada. Berdasarkan hasil dari penelitian dan data lapangan,
Tongkonan Sangulele merupakan rumah terbuka untuk semua orang dari berbagai
kalangan manapun tempat menyatukan masyarakat Toraja.
Kata kunci: Tongkongan Sangulele, Solidaritas, Tana Toraja
1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Identitas atau simbol daerah dari negeri yang berbudaya yang ingin dijelaskan
oleh penulis adalah budaya adat daerah Sulawesi Selatan, khususnya budaya Tana
Toraja. Tana Toraja memiliki keberagaman dengan kearifan lokal untuk membangun
kehidupan yang lebih baik dalam sebuah persekutuan. Tana Toraja terkenal dengan
destinasi daerahnya yang unik dan salah satunya budaya Tongkonan atau rumah
ritual Toraja.
Tongkonan berasal dari kata tongkon, yang berarti “duduk”, menyatakan
belasungkawa”. Tongkonan berarti tempat duduk, rumah, teristimewa rumah para
leluhur, tempat keluarga besar bertemu untuk melaksanakan ritus-rituas adat secara
bersama.1. Tongkonan merupakan tatanan simbol eksistensi keluarga penghuni dan
sebagai tempat (pusat) berkumpulnya rumpun keluarga dari tongkonan itu.
Bangunan ini bukan sekadar rumah adat, tempat orang membicarakan atau
menyelenggarakan urusan-urusan adat, bukan juga sekadar rumah keluarga besar,
tempat orang memelihara persekutuan kaum kerabat. Tongkonan mencakup kedua
aspek tersebut.2 “Apabila sepasang suami-istri membangun rumah, pada prinsipnya
sebuah tongkonan telah lahir, ataupun tidak dengan sendirinya setiap rumah harus
menjadi tongkonan”. Model asli tongkonan dibuat di langit ketika Puang Matua
dengan bantuan Pande Manarang dan Pande Paliuk membangun rumah dari besi di
pusat langit. Aluk yang menyangkut pembangunan rumah, yaitu upacara
penahbisannya, juga sudah ditentukan di langit.
Dasar persekutuan Toraja ialah hubungan darah daging, yang disimbolkan
dengan tongkonan. Dasar tongkonan ialah setiap pasangan suami-istri harus
membangun rumah sendiri, yang kemudian dipelihara oleh keturunannya. Menurut
1 Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2008), 86
2 C. Parinding, “Tongkonan” Menerjemahkan Rumah Asal Atau Rumah Silsilah, Bigalke,
Tanah Toraja, 10..
2
tradisi yang diturunkan oleh generasi ke generasi, tongkonan pertama yang dikenal
adalah Banua Puan di Marinding, yang didirikan oleh Tangdilino.3
Kehidupan masyarakat Toraja pada dasarnya terbagi atas beberapa kasta-
kasta yang dimana terdapat sistem yang lebih formal, yang disebut tana yang berasal
dari adat perkawinan. Kata tana sendiri merupakan berarti tonggak yang ditancapkan
ke dalam tanah untuk memberi tanda batas sawah atau ladang. Batas-batas semacam
itu juga terdapat dalam masyarakat tanda batas golongan: antara orang yang
termasuk golongan emas (tana‟ bulan) dan yang termasuk golongan besi (tana‟bassi)
dan antara yang disebut terakhir dengan yang termasuk golongan kayu (tana‟
karurung) serta dengan golongan bawah (tana‟ kua-kua). Untuk memelihara dan
memperkuat hubungan antara anggota-anggota Masyarakat Toraja, tongkonan
diperlukan berbagai ritual; Dalam ritual ini dihubungkan dengan proses renovasi
pembuatan tongkonan. Ritual sangat penting dalam proses tongkonan tersebut untuk
mengatur dan menjalankan proses tongkonan itu bisa berjalan secara teratur. Ritual
ini juga berjalan untuk mempersatukan berbagai elemen masyarakat di tana Toraja.4
Adapun ritual-ritual yang dilakukan masyarakat Toraja tertentu tidak pernah
lepas dari tongkonan, dan kasta-kasta yang ada memiliki masing-masing kedudukan
sama halnya dengan tempat duduk mereka berbeda dan terbagi-bagi di alang, bahkan
untuk tana‟ kua-kua sendiri tidak memiliki di alang (lumbung padi) karena mereka
adalah golongan paling bawah.
Masyarakat Toraja sangat menjaga dan melestarikan budaya Tongkonan tetap
menjaga eksistensi hingga saat ini. Tongkonan sebagai aset terpenting dari
kebudayaan yang ada di tana Toraja, karena memiliki nilai untuk membangun
persekutuan yang menghidupkan. Tongkonan hadir untuk mempersatukan nilai
kemanusiaan yang ada di tana toraja lewat persaudaraan, saling membantu dan
merasakan suka dan duka antara satu dan lainnya.
3 Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan (Jakarta: Bpk GunungMulia, 2008), 88.
4 Bas Plaiser, Menjembatani Jurang Menembus Batas (Jakarta: Bpk Gunung Mulia), 31-32.
3
Tongkonan tidak hanya berada pada lingkungan adat masyarakat tana Toraja
saja, tetapi gereja juga mengambil bagian dalam memahami adat tongkonan sebagai
proses pelayanan gereja dengan cara kantor sinode dibuat seperti rumah Tongkonan
Sangulele. Berarti gereja inklusif terhadap realita masyarakatnya dalam memahami
pergumulan lewat adat Tongkonan.
Tongkonan Sangulele merupakan rumah masyarakat dari berbagai penjuru.
“Di sini tempat kami mendoakan berbagai aspek kehidupan, ini adalah rumah bagi
semua kalangan (Kantor Sinode Toraja)”
Untuk memahami Tongkonan Sangulele sebagai simbol solidaritas
kekristenan di Toraja, penulis akan menggunakan perspektif teori simbol. 5Teori
tentang simbol berasal dari Yunani kata symboion dari syimballo (menarik
kesimpulan berarti memberi kesan). Simbol atau lambang sebagai sarana atau
mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem
epistimologi dan keyakinan yang dianut. Pengertian simbol tidak akan lepas dari
ingatan manusia secara tidak langsung manusia pasti mengetahui apa yang disebut
simbol, terkadang simbol diartikan sebagai suatu lambang yang digunakan sebagai
penyampai pesan atau keyakinan yang telah dianut dan memiliki makna tertentu.
Arti simbol juga sering terbatas pada tanda konvensionalnya, yakni sesuatu yang
dibangun oleh masyarakat atau individu dengan arti tertentu yang kurang lebih
standar yang disepakati atau dipakai anggota masyarakat tersebut. Adapun dalam
kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan tentang simbol, begitu pula
dengan kehidupan manusia tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil kebudayaan.
Akan tetapi setiap hari orang melihat, mempergunakan bahkan kadang-kadang
merusak kebudayaan tersebut.
Simbol tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia dalam segala situasi
hidupnya, dari yang primitif sampai modern. Simbol-simbol yang ada dalam
masyarakat pasti memiliki makna yang sangat penting. A.N. Whitehead dalam
5 Sujono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2001).
4
bukunya Symbolism yang dikutip oleh F.W. Dilistone dalam buku The Power of
Symbols mengatakan bahwa “pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila
beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan
dan gambaran mengenai komponen-komponen lain pengalamannya. Perangkat
komponen terdahulu adalah “simbol” dan perangkat komponen yang kemudian
membentuk “makna simbol”. Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya
peralihan dari simbol kepada makna itu disebut “referensi”.6 Apa yang dikatakan
A.N. Whitehead mengisyaratkan tentang adanya pikiran dan pengalaman sehari-hari
yang dapat dipandang sebagai lambang di dalam kehidupan ini.7 Jadi “simbol”
adalah sesuatu yang merupakan tanda sebagai ganti sebuah gagasan atau obyek
tertentu. Dalam arti yang biasa, simbol adalah gambaran yang menunjuk pada suatu
tanda dalam suatu komunitas tertentu yang dapat dipahami maknanya.
Berdasarkan pembahasan diatas, penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam
makna serta simbol solidaritas kekristenan dari Tongkonan Sangulele dimata
masyarakat Tana Toraja.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, maka untuk lebih memfokuskan
penelitian ini, perlu dirumuskan masalah penelitian. Adapun rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pemahaman masyarakat di Tana Toraja memahami
Tongkonan?
2. Bagaimana Tongkonan Sangulele dapat menjadi representasi simbol
solidaritas dari hubungan internal komunitas Kristen di Tana Toraja?
3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan pemahaman masyarakat Tana Toraja terkait
dengan Tongkonan di Tana Toraja.
6 F.W. Dillistone, The Power of Symbols, SCM Press Ltd., London 1986, terj. A. Widyamarta
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), 18. 7 A.N. Whitehead, Symbolism, (Cambridge University Press, 1928), 9.
5
2. Untuk menjelaskan Tongkonan Sangulele sebagai representasi simbolik
mengetahui hubungan komunitas Kristen di Tana Toraja.
4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumbangan terhadap pengembangan ilmu, khususnya dalam
bidang agama dan kebudayaan.
2. Memberikan sumbangan pemikiran dalam kehidupan bergereja, guna
memperlihatkan identitas sosial.
3. Memberikan sumbangan atau masukan informasi bagi masyarakat dan
gereja tentang Tongkonan di Tana Toraja.
4. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk
mahasiswa dalam proses perkuliahan.
5. Metode Penelitian
Dalam penulisan ini jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian
kualitatif, sebab penelitian ini dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap fenomena
yang terjadi. Namun, jenis penelitian kualitatif ini tidak menggunakan model
matematik tetapi terbatas pada pengolahan data yang diperoleh melalui pengamatan
dan penelitian lapangan. Pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan atau
penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral. Untuk
mengerti gejala tersebut penulis mewawancarai peserta penelitian atau partisipan
dengan mengajukan pertanyaan yang umum dan agak luas.8 Cara penulis
mengumpulkan data adalah wawancara mendalam, dokumentasi objek penelitian dan
observasi . Wawancara dilakukan dengan tujuan, mendapatkan keterangan dan
informasi lebih lanjut dari informan-informan kunci.9 Wawancara dilakukan agar
penulis mendapatkan data dari tangan pertama (primer) sebagai pelengkap teknik
pengumpulan data untuk menguji hasil pengumpulan data lainnya.10
8 Muhammad Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), 63-64.
9 Koentjraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1997) 130. 10
Usman & Akbar, Metodologi Penelitian, 69.
6
Sumber Data
Informan yang akan menjadi sumber data adalah ketua BPS, anggota BPS,
Pendeta, Kepala Suku Adat, dan masyarakat Toraja. Informan kunci tersebut
dianggap mampu memberikan informasi yang memadai, mengenai penelitian yang
dilakukan.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Rantepao, Kantor Sinode Toraja Utara Sulawesi
Selatan
Sistematika Penulisan
Penulis membagi struktur penulisan jurnal dalam empat bab sebagai berikut;
Bab pertama, berisi tentang pengantar yang menjelaskan latar belakang penulis
memilih judul, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan metode penelitian. Bab
kedua, penulisan membahas mengenai teori-teori yang berhubungan dengan simbol
dan teori relasi solidaritas kekristenan. Bab ketiga, berisi tentang pemahaman umum
para ahli tentang Tongkonan, Tongkonan Sangulele dan proses pembangunannya,
hasil penelitian lapangan. Bab ke empat berisi analisa tentang hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh penulis, dengan pengkajian sesuai dengan teori-teori yang
dipakai dan berisi tentang kesimpulan dari artikel jurnal yang dibuat.
7
KAJIAN TEORI
1. Teori Simbol
Sebuah simbol atau kumpulan simbol bekerja dengan menghubungkan sebuah
konsep, ide umum pola atau bentuk. Menurut Susanne Langer, konsep adalah makna
yang disepakati bersama diantara pelaku komunikasi. Makna yang disepakati
bersama adalah makna denotatif, sedangkan konotasi merupakan gambaran atau
makna pribadi11
. Teori tentang simbol berasal dari Yunani kata symboion dari
syimballo (menarik kesimpulan berarti memberi kesan). Simbol atau lambang sebagai
sarana atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun
sistem epistimologi dan keyakinan yang dianut.12
Dalam teori simbol, Doede Nauta berpendapat bahwa setiap tanda (melalui
suatu yang khusus) yang menentukan isi komunikasi antar manusia berdasarkan
konvensi, adalah simbol. Hal ini tidak bertentangan dengan pendapat Pierce, Nauta
dan Eco yang menyatakan bahwa simbol merupakan salah satu jenis tanda artinya
tidak semua jenis tanda dalam sistem komunikasi secara langsung merupakan simbol,
sebagian tanda itu dapat saja berupa ikon atau indeks.13
Simbol tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia dalam segala situasi
hidupnya, dari yang primitif sampai modern. Simbol-simbol yang ada dalam
masyarakat pasti memiliki makna yang sangat penting. A.N. Whitehead dalam
bukunya Symbolism yang dikutip oleh F.W. Dilistone dalam buku The Power of
Symbols mengatakan bahwa “pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila
beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan
dan gambaran mengenai komponen-komponen lain pengalamannya. Perangkat
komponen terdahulu adalah “simbol” dan perangkat komponen yang kemudian
11
http://www.academia.edu/11623084/Teokom-teori-simbol. 12
Sujono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2001). 13
Abdul Azis Said. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2004), 4-5.
8
membentuk “makna simbol”. Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya
peralihan dari simbol kepada makna itu disebut “referensi”.14
Apa yang dikatakan A.N. Whitehead mengisyaratkan tentang adanya pikiran
dan pengalaman sehari-hari yang dapat dipandang sebagai lambang di dalam
kehidupan ini.15
Jadi “simbol” adalah sesuatu yang merupakan tanda sebagai ganti
sebuah gagasan atau obyek tertentu. Dalam arti yang biasa, simbol adalah gambaran
yang menunjuk pada suatu tanda dalam suatu komunitas tertentu yang dapat
dipahami maknanya.
Pengertian simbol tidak akan lepas dari ingatan manusia secara tidak langsung
manusia pasti mengetahui apa yang di sebut simbol, Terkadang simbol diartikan
sebagai suatu lambang yang digunakan sebagai penyampai pesan atau keyakinan
yang telah dianut dan memiliki makna tertentu. Arti simbol juga sering terbatas pada
tanda konvensionalnya, yakni sesuatu yang dibangun oleh masyarakat atau individu
dengan arti tertentu yang kurang lebih standar yang disepakati atau dipakai anggota
masyarakat tersebut. 16
Manusia sebagai mahluk budaya, mengandung pengertian bahwa manusia
menciptakan budaya dan kemudian kebudayaan memberikan arah dalam hidup dan
tingkah laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana tanggapan
manusia terhadap dunianya dan lingkungan masyarakatnya. Seperangkat nilai yang
menjadi landasan untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya, bahkan untuk
mendasari langkah-langkah kegiatan yang hendak dan harus dilakukan sehubungan
dengan kondisi alam maupun pola hidup kemasyarakatannya.
Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas manusia yang berpola,
menciptakan suatu sistem sosial bagi masyarakat yang bersangkutan. Berupa wadah
untuk menghasilkan benda-benda pakai, dan karya seni, berbentuk nyata sebagai
obyek riil, seperti bangunan rumah, lukisan, patung, kerajinan, benda pakai, senjata.
Dengan kebudayaan itu sendiri adalah kebudayaan dari gagasan-gagasan, simbol-
14
F.W. Dillistone, The Power of Symbols, SCM Press Ltd., London 1986, terj. A.
Widyamarta (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 18. 15
A.N. Whitehead, Symbolism, (Cambridge University Press, 1928), 9. 16
http://digilib.uinsby.ac.id/926/3/Bab%202.pdf.
9
simbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan perilaku manusia, sehingga
tidaklah berlebihan apabila dilanjutkan bahwa begitu eratnya kebudayaan dengan
simbol-simbol yang diciptakan manusia sehingga manusia dapat disebut sebagai
homo symbolicum. Jadi, simbol adalah tanda yang diwujudkan sebagai bentuk visual
bagi sesuatu makna tertentu, namun tidak bagi masyarakat lainnya. Untuk mengerti
simbol-simbol yang terdapat dalam suatu masyarakat tradisional yang mungkin
berkaitan dengan mitos dan spirit religious maka dibutuhkan pengetahuan mengenai
sistem budaya yang berlaku dalam masyarakat itu, termasuk pandangan hidupnya.
2. Teori Relasi
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan terlepas dengan suatu proses yang
dinamakan interaksi sosial. Sebagai makhluk sosial manusia juga akan cenderung
membentuk kelompok-kelompok tertentu demi mencapai tujuan yang diinginkan.
Interaksi tidak hanya terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain,
tetapi juga bisa terjadi antara satu individu dengan kelompok individu, atau antara
kelompok individu dengan kelompok individu lain. Sejak manusia lahir dan
dibesarkan, ia sudah merupakan bagian dari kelompok sosial yaitu keluarga.
Disamping menjadi anggota keluarga, sebagai seorang bayi yang lahir di suatu desa
atau kota, ia akan menjadi warga salah satu umat agama; warga suatu suku bangsa
atau kelompok etnik dan lain sebagainya.17
Hubungan antara sesama dalam istilah sosiologi disebut relasi atau relation.
Relasi sosial juga disebut hubungan sosial merupakan hasil dari interaksi (rangkaian
tingkah laku) yang sistematik antara dua orang atau lebih. Relasi sosial merupakan
hubungan timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain dan saling
mempengaruhi. Suatu relasi sosial atau hubungan sosial akan ada jika tiap-tiap orang
dapat meramalkan secara tepat seperti halnya tindakan yang akan datang dari pihak
lain terhadap dirinya. Dikatakan sistematik karena terjadinya secara teratur dan
berulang kali dengan pola yang sama.
Pada umumnya manusia akan melewati proses interaksi yang cenderung
menjalin kesatuan dan meningkatkan solidaritas anggota kelompok, misalnya kerja
17
Herimanto Winarno. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta Timur: PT. Bumi Aksara), 44.
10
sama, kerukunan, asimilasi, akulturasi, persaudaraan, kekerabatan, dan lainnya.
Solidaritas adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh sebuah masyarakat atau
kelompok sosial karena pada dasarnya setiap masyarakat membutuhkan solidaritas.
Istilah solidaritas dalam kamus ilmiah popular diartikan sebagai
“kesetiakawanan dan perasaan sepenanggungan". Sementara Paul Johson,
mengungkapkan bahwa: “Solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara
individu dan atau kelompok yang didasarkan pada keadaan moral dan kepercayaan
yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini
lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional,
karena hubungan hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu
tingkat/derajat concensus terhadap prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar kontrak
itu”.18
Bentuk hubungan sosial dalam kehidupan terjadi hubungan sosial yang
merupakan hubungan timbal balik antara satu individu dengan individu lainya.
Hubungan ini bersifat saling memengaruhi serta terjadi dengan adanya kesadaran
saling tolong-menolong. Hubungan sosial juga dikenal dengan istilah proses interaksi
sosial. Hubungan relasi sosial dibedakan menjadi dua bentuk yaitu :
Bentuk Hubungan Sosial Asosiatif
Hubungan sosial asosiatif hubungan sosial yang bersifat konstruktif atau
membangun. adalah proses interaksi yang cenderung menjalin kesatuan dan
meningkatkan solidaritas anggota kelompok. Di antara kedua belah pihak yang
bersangkutan tidak ada konflik, justru gotong royong untuk bekerja bersama dan
mencapai tujuan yang diinginkan, baik tujuan tersebut sama atau berbeda. Hubungan
sosial asosiatif memiliki bentuk-bentuk berikut ini:19
Kerja Sama; Kerja sama dapat dilakukan paling sedikit oleh dua individu untuk
mencapai suatu tujuan bersama.
18
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka.
1994), 181.
19
http://manusiapinggiran.blogspot.co.id/2014/04/bentuk-bentuk-hubungan-sosial-
asosiatif.html.
11
Akomodasi; Dapat diartikan sebagai suatu keadaan atau sebagai suatu proses.
Sebagai keadaan, akomodasi adalah suatu bentuk keseimbangan dalam interaksi
antarindividu atau kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma sosial dan nilai
sosial yang berlaku. Adanya sikap toleransi, sikap saling menghormati kepentingan
sesama.
Asimilasi; Adalah proses sosial yang timbul apabila ada kelompok masyarakat
dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara interaktif
dalam jangka waktu lama. Dengan demikian, lambat laun kebudayaan asli akan
berubah sifat dan wujudnya menjadi kebudayaan baru yang merupakan perpaduan
kebudayaan dan masyarakat dengan tidak lagi membeda-bedakan antara unsur
budaya lama dengan kebudayaan baru. Proses ini ditandai dengan adanya usaha
mengurangi perbedaan yang ada.
Akulturasi; Adalah suatu keadaan diterimanya unsur-unsur budaya asing ke dalam
kebudayaan sendiri. Diterimanya unsur-unsur budaya asing tersebut berjalan secara
lambat dan disesuaikan dengan kebudayaan sendiri, sehingga kepribadian budaya
sendiri tidak hilang.20
Bentuk Hubungan Sosial Disosiatif
Sesuai dengan namanya yang merupakan lawan kata asosiatif, hubungan
sosial atau interaksi yang bersifat disosiatif adalah interaksi yang bersifat saling
menjatuhkan atau destruktif. Hubungan sosial ini ditandai dengan adanya konflik
yang menyangkut pihak-pihak yang berinteraksi. Jenis interaksi sosial yang bersifat
destruktif tersebut misalnya:21
20
http://manusiapinggiran.blogspot.co.id/2014/04/bentuk-bentuk-hubungan-sosial-
asosiatif.html. 21
https://materiips.com/bentuk-hubungan-sosial.
12
Persaingan
Sesuai dengan namanya, persaingan adalah kondisi atau bentuk interaksi
sosial di mana pihak-pihak yang bersangkutan saling berlomba dan berbuat sesuatu
untuk mencapai tujuan yang sama. Persaingan merupakan hal yang lumrah terjadi
pada hampir seluruh lini kehidupan, hanya saja sifatnya bisa berbeda menjadi
persaingan sehat (positif) dan tidak sehat (negatif).
Kontraversi
Kontraversi adalah proses interaksi sosial yang kondisinya berada di antara
persaingan dan perselisihan. Dalam interaksi ini terdapat gejala-gejala yang tidak
pasti, perasaan tidak suka yang tidak dinyatakan, adanya kebencian, atau keragu-
raguan yang di timbulkan pada seseorang terhadap orang lainnya
Pertentangan / perselisihan.
Pertentangan atau perselisihan merupakan tingkat akhir dari interaksi sosial
destruktif yang menimbulkan dampak negatif baik bagi pihak bersangkutan maupun
orang-orang di luar interaksi tersebut. Perselisihan terjadi dari ketidaksetujuan atau
ketidaksepemahaman antara pihak satu dengan pihak lainnya.22
Tongkonan
Pada bagian ini penulis akan menjelaskan beberapa hal menyangkut
Tongkonan menurut pemahaman beberapa ahli, dilanjutkan dengan Tongkonan
Sangulele serta proses pembangunannya, kemudian pemahaman umum tentang
masyarakat dan jemaat tentang Tongkonan Sangulele, serta pemahaman umum
masyarakat tentang Tongkonan yang ada di Tana Toraja.
Salah satu bentuk karya seni budaya Tana Toraja yang spesifik adalah
bangunan rumah tradisionalnya yang disebut Tongkonan. Bila dibandingkan dengan
rumah-rumah tradisional di daerah lain, maka akan terlihat bahwa bangunan rumah
22
https://materiips.com/bentuk-hubungan-sosial.
13
Tongkonan memiliki ciri khas tersendiri dengan bentuknya yang unik. Pada
bangunan tersebut terdapat berbagai unsur visual sebagai simbol yang membawa arti
tertentu, antara lain posisi semua rumah Tongkonan menghadap ke arah utara dan
selalu dihiasi dengan ukiran beraneka ragam pada hampir seluruh bidang luarnya.
Demikian juga halnya dengan tata cara dan peraturan dalam merencanakan
pembangunannya, yang kesemuanya berdasarkan adat- istiadat dan kepercayaan
masyarakat Toraja.23
Dalam konsep tradisional Tana Toraja, sebuah rumah tidak hanya memiliki
dimensi fungsional sebagai tempat hunian, tetapi juga sekaligus melalui unsur-unsur
bentuk tertentu menampilkan pandangan kosmologis dan filosofis yang mendalam.
Rumah Tongkonan merupakan tatanan simbol eksistensi keluarga dan sebagai tempat
(pusat) berkumpulnya rumpun keluarga dari Tongkonan itu.24
Tongkonan selain sebagai rumah adat dan simbol status sosial, juga berfungsi
sebagai tempat penyelenggaraan upacara adat yang bersifat religius. Dalam kaitan
ini, unsur-unsur visual yang terdapat pada bangunan tersebut, baik berupa ukiran
maupun unsur-unsur tiga dimensional lainnya yang melekat pada bangunan, bukan
hanya sekadar tanda-tanda yang dimaksudkan sebagai ornamen atau hiasan belaka,
tetapi dihadirkan sebagai simbol-simbol bagi esensi budaya masyarakat Toraja.25
Adanya ukiran pada Tongkonan tidak hanya dimaksudkan sebagai hiasan
untuk menambah nilai estetis bangunan, namun lebih disebabkan tradisi masyarakat
Toraja tidak mengenal adanya tulisan dalam bentuk huruf abjad konvensional,
Meskipun demikian tidak berarti bahwa budaya Toraja yang tidak mengenal
artikulasi simbolik yang dapat dijadikan sebagai alat atau media komunikasi dalam
bentuk lain selain penuturan lisan.26
23
Abdul Azis Said. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja (Yogyakarta:
Ombak, 2004), 22. 24
Said. Simbolisme Unsur Visual..., 25
Said. Simbolisme Unsur Visual..., 23. 26
Said. Simbolisme Unsur..., 24.
14
Tongkonan berasal dari kata tongkon, yang berarti “duduk”, “menyatakan
belasungkawa”. Tongkonan berarti tempat duduk, rumah, teristimewa rumah para
leluhur, tempat keluarga besar bertemu untuk melaksanakan ritus-ritus adat secara
bersama-sama. 27
Tongkonan sulit diterjemahkan. Bangunan itu bukan sekadar rumah
adat, tempat orang membicarakan atau menyelenggarakan urusan-urusan adat, bukan
juga sekadar rumah keluarga besar, tempat orang memelihara persekutuan kaum
kerabat. Tongkonan mencakup kedua aspek tersebut. Sebab itu, kami tidak
menerjemahkan istilah Tongkonan, agar pembaca tidak menyamakannya dengan
“rumah adat” atau “rumah marga”.28
Tongkonan juga sebagai lambang dan pusat Pa’rapuan. Rapu adalah keluarga
berdasarkan hubungan darah, keluarga besar. Hubungan itu menyangkut hubungan
vertikal maupun hubungan horizontal. Jika yang dimaksud ialah hubungan vertikal,
maka istilah yang digunakan adalah “bati”, anak (anak-anak) atau keturunan.
Pa’rapuan adalah bentuk kata rapu, dengan awalan pa‟ dan akhiran –an, artinya
”tempat rapu terjadi”, “tempat rapu merasa betah”. Pa’rapuan adalah bentuk abstrak
rapu, yang menampakkan diri secara kongkret dalam persekutuan Tongkonan atau
dalam hubungan darah29
.
Untuk berdirinya sebuah Tongkonan, jika apabila sepasang suami istri
membangun rumah, pada prinsipnya sebuah Tongkonan telah lahir, walaupun tidak
dengan sendirinya setiap rumah harus menjadi Tongkonan.30
Model asli Tongkonan
dibuat dilangit ketika puang matua dengan bantuan Pande Manarang dan Pande
Peliuk membangun rumah dari besi di pusat langit. Aluk yang menyangkut
pembangunan rumah yaitu upacara penahbisannya, juga sudah ditentukan langit.
Dasar persekutuan Tana Toraja ialah hubungan darah daging, yang
disimbolkan dengan Tongkonan. Dasar Tongkonan ialah setiap pasangan suami-istri
membangun rumah sendiri, yang kemudian dipelihara oleh keturunannya. Rumah itu
27
Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2008), 86. 28
Terance W Bigalke, Tana Toraja (Singapore: KITLV Press Leiden, 2005), 10. 29
Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan..., 86. 30
A. Rumpa, Tongkonan dan Peranannya dalam masyarakat Toraja (Makale, 1981).
15
menjadi pusat persekutuan bagi setiap orang yang mempunyai hubungan keluarga
dengan pendirinya, khususnya keturunan dalam hubungan vertikal. Melalui
Tongkonan, orang Toraja dapat dengan mudah menyatakan identitasnya.31
Simbol persekutuan yang ada di Toraja itu disebut Tongkonan. Tongkonan
mempunyai peranan yang sangat penting karena berhubungan langsung dengan
kepercayaan Aluk Todolo, terutama dalam pesta adat dan kehidupan ritual di Tana
Toraja. Penyelenggaraan pesta adat pada tingkat-tingkat tertentu, dilaksanakan
dengan mengacu pada konsep kosmologi Toraja, dan berpedoman pada keempat titik
mata-angin, dimana Tongkonan adalah sebagai titik pusat. Kehidupan masyarakat
tradisional Toraja tidak terlepas dari upacara/pesta adat. Dalam pelaksanaan upacara
pesta/adat, Timur dan Barat merupakan pembagiaan utama dengan mengacu pada
Tongkonan sebagai mikrokosmos.32
Menurut kepercayaan Aluk Todolo bangunan
rumah tradisional Toraja, Tongkonan memang merupakan mikrokosmos. Tongkonan
di Toraja selalu menghadap ke arah utara, ke arah ulunna lino (kepala dunia) menurut
pandangan kosmologi Toraja. Tata hadap Tongkonan itu merupakan ungkapan
simbolik sebagai penghormatan dan permuliaan kepada Puang Matua, sang pencipta
jagad raya, yang dipercaya bersemayam di bagian utara, sehingga penjuru utara tidak
boleh dibelakangi, artinya Tongkonan harus selalu menghadap ke Puang Matua agar
selalu mendapat berkah dari-Nya. Karena Tongkonan juga merupakan istana raja atau
penguasa Adat dan Pusat pertalian keluarga.33
Dengan mengacu pada sistem budaya Toraja, maka tata letak/ posisi
Tongkonan menjadi tanda indeks bagi penjuru mata angin: Utara, Selatan, Timur, dan
Barat, yang sekaligus bermakna simbolik sebagai penjuru utama dalam pandangan
kosmologi Toraja. Upacara adat untuk memuja dan memuliakan Puang Matua
dilaksanakan di depan (di bagian utara) Tongkonan, seperti pada pesta adat dengan
31
Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2008), 88. 32
Said, Simbolisme Unsur Visual..., 32-33. 33
Said, Simbolisme Unsur Visual..., 52.
16
upacara penyembelihan hewan kurban sebagai sesajen dalam peresmian pembuatan
atau pembaharuan (renovasi) sebuah Tongkonan yang dinamakan mangrara banua.34
Ukiran pada dinding Tongkonan beraneka ragam, namun yang paling sering
digambarkan adalah motif pa’tedong (kerbau). Hal ini berkaitan dengan pandangan
masyarakat tradisional Toraja, dimana kerbau mempunyai peranan penting dalam
kehidupan sehari-hari, karena selain sebagai hewan ternak yang utama, juga menjadi
standar nilai penukaran, dan sekaligus sebagai simbol status sosial. Kerbau
dikonotasikan dengan kekayaan, yang mengandung arti simbolik: kemakmuran, dan
diistilahkan sebagai tedong goronto’ eanan ( kerbau sebagai pokok harta benda, atau
modal utama). Ukiran dan motif berbentu kepala kerbau pada daun jendela
Tongkonan ini memperlihatkan visualisasi ikon kepala kerbau yang digambarkan
dengan tambahan “suatu bentuk” di atas kepalanya, dihiasi dengan garis-garis lurus
horizontal dan silang. Adapun bentuk lingkaran yang diletakkan pada bagian depan
antara tanduk kerbau. Lingkaran tersebut mirip dengan motif pa’barre allo (simbol
persatuan orang toraja). Hal ini menjadi suatu indikasi penting yang menunjukkan
bahwa kerbau merupakan hewan yang mempunyai kedudukan „istimewa‟ dalam
kehidupan masyarakat tradisional Toraja.35
Tongkonan Sangulele
Tongkonan di Toraja, selain berfungsi sebagai tempat tinggal, juga
mempunyai fungsi dan peranan serta arti yang sangat penting dan bernilai tinggi
dalam kehidupan masyarakat Toraja. Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial
suku Toraja. Tongkonan merupakan simbol lambang persekutuan orang Toraja.
Tongkonan juga memelihara kehidupan masyarakat Toraja, oleh karena itu
masyarakat di Toraja berinisiatif membangun kantor sinode dengan menyerupai
34
Said, Simbolisme Unsur Visual..., 53. 35
Said, Simbolisme Unsur Visual..., 56-57.
17
Tongkonan. Kantor Sinode di Tana Toraja disebut juga sebagai Tongkonan
Sangulele.36
Tongkonan Sangulele artinya adalah rumah bersama, simbol kerukunan sosial
yang mencerminkan gereja sebagai persekutuan baru.37
Tongkonan Sangulele atau
Kantor Badan Pekerja Sinode dibangun tepat di tengah-tengah kota Rantepao, Toraja
Utara. Secara teknis pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan,
sehingga biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Jadi Tongkonan bagi
masyarakat Toraja lebih dari sekadar rumah adat.
Pada umumnya jika masyarakat atau keluarga ingin membangun sebuah
Tongkonan, terlebih dahulu diadakan Mapasitammu Sola den to mapakada (bertemu
dan berdiskusi). Tongkonan selaku simbol persekutuan Toraja juga menjadi sumber
seluruh kepemimpinan di bidang kemasyarakatan dan keagamaan.38
Oleh sebab itu,
ketika terjadi momentum berharga yaitu Injil masuk di Tana Toraja ke 70th
, para
anggota badan pekerja sinode berbincang-bincang agar pada momentum seperti ini
kita manfaatkan untuk membuat apresiasi yang bisa dikenang untuk penerus dimasa
mendatang serta masyarakat Toraja juga bisa ikut serta melestarikan.
Pembangunan Tongkonan Sangulele
Pembangunan kantor sinode berawal dari memperingati Injil masuk ke Tana
Toraja ke 70th
. Pada saat itu anggota badan pekerja sinode bekerja sama dengan
panitia Injil masuk ke Tana Toraja, mereka memikirkan bagaimana dengan adanya
momentum seperti ini ada terobosan baru yang dilakukan untuk Tana Toraja. Mereka
berdiskusi agar momentum pada saat itu memiliki sejarah yang bisa dikenang dan
dinikmati turun-temurun oleh masyarakat Tana Toraja dan memiliki simbol nilai
sejarah. Sekitar tahun 80-an keadaan kantor sinode pada saat itu sudah sangat tua,
dan pembangunan pertama dibuat oleh orang Belanda. Di bawah pimpinan Ir.Aby
36
Pdt. Junus Bunga Lebang, wawancara Rantepao Toraja 8 Juli 2017. 37
Pdt Henriette Hutabarat Lebang, wawancara Rantepao Toraja 8 Juli 2017. 38
Kobong, Injil dan Tongkonan..., 106.
18
Lambe (ketua arsitektur pembangunan) dikumpulkan para ketua adat, pemuda-
pemudi asal Toraja, setiap anggota badan pekerja sinode beserta dengan panitia injil
masuk ke Tana Toraja untuk berdiskusi membicarakan pentingnya kantor sinode
memiliki Simbol Toraja.39
Awal mula pembangunan kantor sinode untuk mencari uang masih terbilang
cukup sulit, bahkan gaji pendeta dikatakan masih sangat minim. Oleh karena itu, para
panitia dan anggota badan pekerja sinode menggunakan teknik pengumpulan dana
dengan mengambil alih budaya Toraja. Karena pada saat itu untuk mencari tedong
atau kerbau jauh lebih mudah daripada mencari uang. Panitia mengumumkan kepada
setiap masing-masing jemaat wajib menyetor dan mengumpulkan satu tedong atau
kerbau, kerbau sanglego (tanduk rata) , sangpudukasisi (tanduk baru bertumbuh),
masing-masing jemaat berhak memilih untuk mengumpulkan tedong atau kerbau
yang mana saja tapi seluruh jemaat wajib ikut serta. Mengingat budaya Toraja selalu
dihubungkan dengan upacara adat serta pemotongan tedong, kerbau dan babi, pada
saat pembangunan kantor sinode, cukup masing-masing dua tedong dan kerbau serta
beberapa ekor ayam yang dipotong, Karena pembangunan pada saat itu dihubungkan
dengan terobosan baru yang tidak terus berpegang dengan orde yang lama, Panitia
dan anggota badan pekerja sinode tidak melakukan upacara pengucapan syukur atau
rambu Tuka hanya dengan ibadah seperti biasa, Malettoan, Tammui lalanna
Kalimbuang Boba 40
Adapun pembangunan kantor sinode dimulai pada tahun 1985 dan selesai
pada tahun 1992. Setelah selesai dibangun dan diresmikan, kantor sinode belum
diberikan nama Tongkonan Sangulele karena masih harus berunding mengingat
kantor tersebut telah dibangun menyerupai Tongkonan yang merupakan simbol nilai
masyarakat Toraja. Setelah berunding dan mengumpulkan masukan serta bercakap-
cakap bersama para anggota badan pekerja sinode, panitia Injil masuk ke Tana
Toraja serta beberapa ketua adat dan tokoh masyarakat, mereka sepakat dan
39
Pdt. Paul Patanduk, mantan sekum BPS Getor, wawancara, Toraja 9 Juli 2017. 40
Pdt. Paul Patanduk, mantan sekum BPS Getor, wawancara, Toraja 9 Juli 2017.
19
mengambil keputusan bahwa Tongkonan tersebut akan diberi nama yaitu Tongkonan
Sangulele.
Tongkonan yang berarti rumah orang Toraja, pusat persekutuan orang Toraja,
sedangkan Sangulele yang berarti milik semua orang, Sangulele menujukkan bahwa
tidak ada strata sosial di dalamnya, dan sistem kasta-kasta yang ada di Toraja tidak
berlaku dalam Tongkonan Sangulele serta seluruh warga jemaat di Toraja dan
dimanapun Mereka berada seutuhnya memiliki hak yang sama bahwa Tongkonan
Sangulele adalah milik bersama orang Toraja.41
Pemahaman jemaat menyangkut Tongkonan Sangulele
Menurut beberapa ketua adat, Tongkonan Sangulele merupakan tempat duduk
atau kedudukan yang berarti rumah pusaka merupakan suatu “tempat/kedudukan”
yang mempunyai fungsi, peran dan nilai sosial, keagamaan dan hukum dalam
masyarakat. Hal ini menandakan bahwa Tongkonan merupakan lembaga yang
mengatur kehidupan masyarakat dalam wilayah Tongkonan tersebut. Tongkonan
Sangulele lebih berorientasi pada fungsi sosial dan bukan dalam bentuk atau
fisik. Tabe lako siulu solanasang ke denni sala kata. salama, Kurre Sumanga.
(Maafkan saudara/i semuanya jika ada salah kata. Selamat, Terima Kasih) 42
Ketua badan pekerja Sinode yaitu Bapak Pdt Musa Salusu mengatakan bahwa
Tongkonan Sangulele, merupakan rumah masyarakat dari berbagai penjuru. “Di sini
tempat kami mendoakan berbagai aspek kehidupan, ini adalah rumah bagi semua
kalangan.” Tanpa melihat starata sosial serta keadaan sosial bahkan keyakinan yang
dimiliki, kami menganggap bahwa Tongkonan Sangulele bukan sebuah rumah biasa
tetapi disinilah pusat masyarakat Toraja boleh datang mengadu permasalahan mereka,
dan kami akan dengan senantiasa berusaha membantu memberikan jalan keluar.
Masyarakat Toraja bebas kapanpun datang kepada kami, Seluruh pekerja sinode yang
41
Pdt. Anggui, ketua umum pertama BPS Getor, wawancara Toraja 9 Juli 2017. 42
Limbong Katande, ketua adat, wawancara, Rembon Toraja, 10 Juli2017
20
ada selalu siap melayani dengan rendah hati dan tuntutan Puang Matua (Tuhan
Yesus).43
Selanjutnya Anggota Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja yaitu Bapak Pdt
Alfred Anggui, mengatakan bahwa Tongkonan Sangulele merupakan rumah
persekutuan orang Toraja yang didalamnya sudah tidak terdapat sistem jurang
pemisah antara kasta-kasta yang ada di Toraja. Tongkonan Sangulele adalah simbol
kerukunan dan kekerabatan di masyarakat Toraja, dengan adanya dibangun kantor
sinode menyerupai Tongkonan tersebut seluruh jemaat serta masyarakat yang ada
tidak perlu lagi memikirkan keadaan sosial yang dimiliki karena Tongkonan
Sangulele merupakan milik bersama.44
Bapak Lewi yang merupakan anggota Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja
mengungkapkan bahwa, seluruh masyarakat dan jemaat Gereja Toraja memiliki hak
yang sama dalam Tongkonan Sangulele. Setiap permasalahan yang ada di dalam
persekutuan gereja toraja maupun masyarakat toraja, boleh datang mengadu kepada
kami dan dengan senang hati kami seluruh pekerja siap siaga bekerja dengan baik
mengatasi setiap permasalahan yang ada, karena kita semua satu keluarga, satu
persekutuan.45
Dengan berdirinya kantor badan pekerja sinode gereja Toraja di pusat kota
Rantepao, Toraja Utara. Dikelilingi dengan lingkungan masyarakat yang asal
usulnyanya memang dari Tana Toraja. Salah satunya adalah bapak Daniel Pakiding
yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima yang sejak lahirnya sudah di Toraja dan
memiliki status sebagai jemaat Gereja Toraja Rantepao tepat di sebelah Tongkonan
Sangulele. Beliau mengatakan bahwa pada umumnya Tongkonan Sangulele tersebut
berbeda dengan tongkonan-tongkonan yang ada di Toraja dan memiliki keistimewaan
bagi kami, Berbedanya adalah bahwa Tongkonan Sangulele merupakan milik sesama
orang Toraja dimanapun mereka berada bahkan di penjuru dunia, Tongkonan
43
Pdt Musa Salusu, ketua sinode BPS Getor, wawancara Makale Toraja, 10 Juli 2017. 44
Pdt .Alfred Anggui, ketua umum 2 BPS Getor, wawancara Toraja, 11 Juli 2017. 45
Bpk Lewi, anggota BPS Getor, wawancara toraja 11 Juli 2017.
21
Sangulele memiliki banyak fungsi dan kegunaaan dimata masyarakat Toraja. Setiap
harinya ramai dikunjungi oleh para wisatawan walaupun Tongkonan tersebut bukan
tempat wisata. Dengan dibangunnya kantor sinode menyerupai Tongkonan, kami
orang Toraja boleh menunjukkan kepada dunia luar bahwa sistem kekerabatan sosial
serta kebersamaan dalam budaya kami dapat tercermin melalui Tongkonan Sangulele.
Para pelajar serta mahasiswa/i UKI Toraja hampir setiap harinya menggunakan
alang-alang yang ada di Tongkonan Sangulele untuk beristirahat dan melakukan
proses berdiskusi belajar mengajar.46
Di Rantepao, Toraja Utara tempat berdirinya Tongkonan Sangulele ada
beberapa masyarakat pendatang dari luar yang mencoba mengadu nasib dengan
berjualan pernak-pernik tanda mata khas Toraja. Seperti ibu Maya berasal dari kota
pare-pare yang sudah berumur 52 tahun harus menghidupi keluarganya seorang diri
karena telah ditinggal oleh sang suami terlebih dahulu. Ibu Maya juga merupakan
mantan majelis dari jemaat gereja Rantepao. Pada kesempatan tersebut ibu Maya
menjelaskan bahwa Tongkonan Sangulele merupakan ciri lambang kehidupan
kerukunan umat Kristen di Tana Toraja. Tongkonan Sangulele salah satu tempat kita
semua mengadu dalam menghadapi masa-masa sulit, yang dimana Tongkonan
Sangulele bukan hanya sekedar rumah Tongkonan biasa. Tongkonan Sangulele juga
bukan hanya sebuah kantor sinode tetapi setiap anggota yang bekerja di dalamnya
merupakan orang-orang yang hebat dan mau bekerja sama melestarikan kebudayaan
Toraja serta melayani kaum yang tidak mampu. Tongkonan Sangulele dan Gereja
jemaat Rantepao bekerja sama di setiap bulannya memberikan santunan kasih kepada
orang tua yang sudah lanjut usia, kemudian juga memperhatikan setiap kehidupan
janda, serta kehidupan jemaat yang membutuhkan uluran tangan kasih sayang dari
Badan Pekerja Sinode. Hal ini juga nampaknya menjadi sesuatu keistimewaan dari
Tongkonan Sangulele yang bukan hanya sekadar kantor pada umumnya, tetapi
46
Bpk Daniel Pakiding, masyarakat toraja, wawancara rantepao toraja, 12 Juli 2017.
22
Tongkonan Sangulele merupakan rumah kami berlindung setelah Puang Matua
(Tuhan Yesus).47
Menurut pemahaman Bapak Desti Layuk Allo, karena rumpun pemilik
Tongkonan terdiri dari berbagai agama dan hak dan kewajiban yg sama dari (dan
terhadap) Tongkonan adalah sama. Tongkonan di Toraja adalah bentuk nyata dari
kerukunan hidup turun-temurun tanpa melihat latar-belakang. Tongkonan di Toraja
adalah contoh nyata kerukunan hidup beragama turun-temurun. Mengenai istilah
"Tongkonan Sangulele" yang digunakan untuk Badan Pekerja Sinode, untuk
menyatukan kasta-kasta masyarakat yang di Toraja agar masing-masing dari berbagai
pihak mampu hidup dalam kerukunan keluarga yang tercermin melalui Tongkonan
Sangulele.48
Menurut kakak Lidya mengatakan bahwa orang Toraja identik dengan rasa
kekeluargaan. Salah salah bentuk nyata yang dapat kita saksikan yaitu di Tongkonan
Sangulele. Tongkonan Sangulele juga dipahami dalam kerangka pemersatu, bahwa
semua orang Toraja Kristen memiliki tongkonan yang satu dan bahwa pengikatnya
adalah Kristus. Di dalam Tongkonan Sangulele tidak ada lagi hamba dan tuan,
sebagaimana di dalam Tongkonan yang ada di Toraja sebelumnya yang masih
mengenal pembagian kasta-kasta.49
Pemahaman masyarakat umum terkait Tongkonan
Secara umum kita sudah mengetahui bahwa Tongkonan itu merupakan
identitas orang Toraja yang tidak hanya berdiri sebagai rumah adat tetapi juga sebagai
pemersatu masyarakat Toraja. Tongkonan itu diibaratkan sebagai ibu yang
mengayomi anak-anaknya. Karena apapun kegiatan atau acara yang akan di lakukan
oleh masyarakat Toraja baik itu acara pernikahan atau kematian, semuanya
dibicarakan secara kekeluargaan sesuai dengan asal usul Tongkonannya. Jadi
47
Ibu Maya, masyarakat toraja, wawancara rantepao toraja, 12 Juli 2017. 48
Bapak Desti Layuk Allo, masyarakat jemaat Getor, Bolu Toraja. 49
Kakak Lidya,wawancara, masyarakat jemaat Getor, Makale Toraja
23
Tongkonan itu bukan hanya sekadar rumah, tetapi sebagai identitas diri orang Toraja,
ungkap Sifra Paramma salah satu jemaat Gereja Toraja.50
Salah satu orang tua terkasih yaitu Oma frida mengatakan bahwa, Tongkonan
itu adalah pemersatu komunitas, sehingga dengan adanya Tongkonan, satu orang
dapat mengenal silsilahnya hingga beberapa generasi di atasnya, berikut juga generasi
di bawahnya. Selain itu, Tongkonan menjadi tempat diadakannya sejumlah momen-
momen penting dalam kehidupan seorang warga Toraja, misalnya ketika ia menikah,
kematian dan upacara-upacara lainnya.51
Menurut ibu Cia Sarangnga, Tongkonan merupakan rumah rumpun keluarga.
Tongkonan adalah asal nenek moyang kita turun temurun sampai ke anak cucu tidak
bisa dilupakan asal dari mana di sanalah kita bangunkan sebuah rumah Tongkonan
dalam satu keluarga besar. tabek lako siuluk salama sola (permisi saudara/i, selamat
untuk kita semua)52
Kemudian Bapak Sety selaku guru sejarah Sekolah Lentera Harapan
mengatakan bahwa Tongkonan yang berarti Tongkon-madokko (rumah-duduk).
Semua juga mengetahui kalau Tongkonan adalah rumah adat suku Toraja. Bagi kita
orang Toraja. Tongkonan punya arti yang sangat mendalam. Karena dari semangat
gotong royong saat membangun baik itu dari dana, tenaga, juga pikiran. Begitu juga
saat peresmian, Tongkonan juga dapat mempertemukan saudara walaupun tidak
saling kenal tapi di setiap masing-masing Tongkonan tersimpan rapi silsilah
keluarga.53
Salah satu warga muslim di Toraja, Bapak Komar Rantetasik mengatakan
bahwa Tongkonan itu merupakan nama rumah adat yang ada di Tana Toraja yang
berarti tempat berkumpulnya seluruh rumpun keluarga baik itu dalam keadaan susah
50
Sifra Paramma, wawancara, jemaat Getor. 51
Oma frida, wawancara masyarakat Toraja, Rantepao Toraja. 52
Ibu Cia Sarangnga, wawancara masyrakat Toraja, Sa’dan Toraja. 53
Bapak Sety, wawancara masyarakat PNS Toraja, Rantepao Toraja.
24
maupun senang, juga Tongkonan bukan sembarangan rumah biasa melainkan
Tongkonan itu rumah bersama keluarga digunakan sebagai tempat bermusyawarah.54
Ibu Annie Pasolang mantan sekretaris jemaat Gereja Rantepao,
mengungkapkan bahwa Tongkonan bangunan rumah adat Toraja yang dibangun dan
dimiliki satu atau lebih rumpun keluarga tertentu turun-temurun, sehingga menjadi
milik bersama dan menjadi kebanggaan bersama. Selain itu, Tongkonan adalah
tempat dimana rumpun keluarga yang bersangkutan dapat dan sudah seharusnya
menjadi tanggung jawabnya ketika melaksanakan berbagai upacara adat rambu solo‟
(kedukaan) maupun rambu tuka‟ (kesukaan) ikut turut campur tangan dalam
pelaksanaan upacara tersebut.55
Menurut kakak Ito Sonda yang merupakan salah satu anggota pemuda Gereja
Toraja mengatakan bahwa Tongkonan merupakan rumah adat Toraja dimana sebagai
akar dari silsila kekeluargaan sebagai alat pemersatu dan silaturami serta benteng
untuk memperkuat tali kekeluargaan, serta Tongkonan adalah tempat bermusyawarah
dan balai pertemuan keluarga dan masyarakat yang lahir dan berketurunan dari
Tongkonan tersebut.56
Salah satu proponen atau vikaris anggota Gereja Toraja Ledy Buntutasik
mengungkapkan pemahamannya bahwa Tongkonan merupakan rumah leluhur agama
Aluk Todol, rumah keluarga turun-temurun yang harus dijaga serta dilestarikan
sepanjang waktu. Tongkonan merupakan simbol tempat keluarga membicarakan
setiap upacara adat yang akan dilakukan oleh masing-masing keluarga. Tongkonan
merupakan rumah istimewa bagi masyarakat Toraja, salah satu bentuk fisik yang
nyata kelihatan keberadaan dan fungsinya di tengah-tengah masyarakat Toraja
dimanapun mereka berada.57
Menurut pemahaman Bapak Alex Pagayang bahwa Tongkonan adalah tempat
duduk keluarga darah daging atau kedudukan yang berarti rumah pusaka yang telah
54
Bapak Komar Rantetasik, wawancara masyarkat Toraja. 55
Ibu Annie Pasolang, wawancara jemaat Getor, Rantepao Toraja. 56
Ito Sonda , wawancara jemaat pemuda Getor. 57
Ledy Buntutasik, wawancara vikaris Getor..
25
turun-temurun lama yang mempunyai fungsi, peran dan nilai sosial, keagamaan dan
hukum dalam masyarakat. Tongkonan merupakan tempat nyata kekeluargaan yang
terpancarkan baik dalam suka dan duka. Tongkonan adalah persekutuan orang
percaya sejak dahulu kala.58
Pemahaman berbeda lainnya dari kakak Egy Palloan mengatakan bahwa
Tongkonan adalah simbol hubungan manusia dengan Allah, alam semesta, dan
sesamanya. Hal itu nampak dalam pembagian Tongkonan dalam tiga tingkatan (atas,
kale banua- dalam rumah, sola sulluk banua-dengan luar rumah) dan ini mewakili
oknum yang dipuja. Tongkonan juga mengungkapkan falsafah kehidupan orang
Toraja, arah mata angin dan refleksi siklus kehidupan. Pada dasarnya Tongkonan
sendiri kaya akan makna, baik dalam kerukunan, kekeluargaan serta upacara adat
istiadat orang Toraja.59
Tongkonan bagi masyarakat Tana Toraja
Tongkonan bagi etnis Toraja adalah pusaka atau warisan dengan hak dan
kewajiban secara turun temurun dari orang pertama sebagai pendiri hingga ahli
warisnya. Secara umum Tongkonan merupakan identitas suku Toraja sehingga
membedakan dengan suku-suku lain di Indonesia. Dalam lingkup budaya Toraja,
keberadaan Tongkonan merupakan simbol dan identitas keluarga. Selain itu,
Tongkonan juga mencerminkan status sosial bagi pemiliknya. Menurut Egy Palloan
bahwa Tongkonan adalah simbol hubungan manusia dengan Allah, alam semesta,
dan sesamanya. Hal itu nampak dalam pembagian Tongkonan dalam tiga tingkatan
(Atas, kale banua- dalam rumah, sola sulluk banua-dengan luar rumah) dan ini
mewakili oknum yang dipuja. Tongkonan juga mengungkapkan falsafah kehidupan
orang Toraja, arah mata angina dan refleksi siklus kehidupan. Pada dasarnya
Tongkonan sendiri kaya akan makna, baik dalam kerukunan, kekeluarga serta
upacara adat istiadat orang Toraja.60
Menurut penulis, Teori A.N. Whitehead dalam
58
Bapak Alex Pagayang, wawancara jemaat Getor. 59
Egy Palloan, wawancara pemuda Getor, Karassik Toraja. 60
Egy Palloan, wawancara pemuda Getor, Karassik Toraja
26
bukunya Symbolism, mengatakan bahwa pikiran manusia berfungsi secara simbolis
apabila beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan,
perasaan, dan gambaran mengenai komponen-komponen lain pengalamannya.
Perangkat komponen terdahulu adalah simbol dan perangkat komponen yang
kemudian adalah membentuk makna simbol. Keberfungsian organis yang
menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu akan disebut
referensi.61
Pengunaan simbol dalam kehidupan manusia sebenarnya telah terdapat apa
fungsi dari simbol, dan ia mengatakan bahwa manusia harus berusaha untuk
menemukan simbol untuk mengekspresikan dirinya sendiri, memang ekspresi adalah
simbolisme. Hal ini nampak dalam Tongkonan yaitu di dalam terdapat kerukunan,
kekeluargaan serta upacara adat istiadat orang Toraja.
Rumah adat Tongkonan dipenuhi ukiran khas Toraja yang bermakna
hubungan masyarakat Toraja dengan pencipta-Nya, manusia , dan makhluk
lainnya. Ukiran ini menghiasi dekorasi eksterior maupun interior Tongkonan. Satu
lagi ciri khas Rumah Tongkonan, yakni ada kepala kerbau menempel di depan rumah
dan tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di depan setiap rumah. Jumlah tanduk
kepala kerbau tersebut berbaris dari atas ke bawah dan menunjukan status sosial
keluarga yang mendiami rumah tersebut. Di sisi kiri rumah yang menghadap ke arah
barat dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih. Sementara di sisi kanannya
dipasang rahang babi.
Menurut Anggota Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja yaitu Bapak Pdt
Alfred Anggui, mengatakan bahwa Tongkonan Sangulele merupakan rumah
persekutuan orang Toraja yang didalamnya sudah tidak terdapat sistem jurang
pemisah antara kasta-kasta yang ada di Toraja. Tongkonan Sangulele adalah simbol
kerukunan dan kekerabatan di masyarakat Toraja. Dengan adanya dibangun kantor
61
F.W. Dillistone, The Power of Symbols, SCM Press Ltd., London 1986, terj. A.
Widyamarta (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 18.
27
sinode menyerupai Tongkonan tersebut seluruh jemaat serta masyarakat yang ada
tidak perlu lagi memikirkan keadaan sosial yang dimiliki karena Tongkonan
Sangulele merupakan milik bersama.62
Hal ini sama seperti Teori Paul Johson, dalam
bukunya Teori Sosiologi Klasik dan Modern, mengungkapkan “Solidaritas menunjuk
pada suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan
pada keadaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh
pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan
kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional, karena hubungan-hubungan serupa
itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu tingkat/derajat konsensus terhadap
prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu”.63
Tongkonan berlaku ketika masyarakat Tana Toraja menyadari perlunya
kehadiran pemimpin untuk mengatur dan menyelesaikan segala sesuatu yang terjadi
dan berlaku di tengah-tengah masyarakat atau dengan kata lain Tongkonan bukanlah
sebuah nama, melainkan jenis benda yang mempunyai nama. Jadi tidak ada
tongkonan yang tidak memiliki nama sebab tanpa nama ia bukanlah sebuah
Tongkonan. Oleh sebab itu kata “an” yang mengikuti Tongkon dapat diartikan
sebagai:
a. Kata keterangan yang menunjuk pada sebuah tempat tertentu, misalnya
Banua puan, Kaero, Lion, To katapi, buntu pune, Kete‟ kesu dan
sebagainya.
b. Kata keterangan yang menjelaskan sifat dan fungsi tertentu, misalnya
layuk, sangulele, Pesio aluk, Pa‟ buntuan sugi dan sebagainya.
Tongkonan Sangulele menjelaskan sifat dan fungsi tidak hanya berada pada
lingkungan adat masyarakat tana Toraja saja, tetapi gereja juga mengambil bagian
dalam memahami adat Tongkonan sebagai proses pelayanan gereja dengan cara
62
Pdt .Alfred Anggui, ketua umum 2 BPS Getor, wawancara Toraja, 11 Juli 2017. 63
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1994),
181.
28
kantor sinode dibuat seperti rumah Tongkonan Sangulele. Berarti gereja yang inklusif
terhadap realita masyarakatnya dalam memahami pergumulan lewat adat Tongkonan.
Tongkonan Sangulele merupakan rumah masyarakat dari berbagai penjuru.
“Disini tempat kami mendoakan berbagai aspek kehidupan, ini adalah rumah bagi
semua kalangan (Kantor Sinode Toraja)” ungkap Pdt. Musa Salusu.64
64
Pdt. Musa Salusu, ketua BPS Getor, wawancara Toraja.
29
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukan oleh
penulis, maka dapat disimpulkan bahwa manusia dikatakan sebagai animal
simbolicum, yang menggunakan simbol untuk berkomunikasi dengan sesama
manusia dan. Dengan menggunakan simbol Toraja yaitu Tongkonan, masyarakat
Toraja berusaha mengomunikasikan segala bentuk falsafah hidup mereka berdasarkan
melalui Tongkonan yang mereka miliki dan percaya selama turun temurun. Bahwa
rumah Tongkonan bukan sekadar rumah biasa melainkan induk atau ibu dari segala
kegiatan acara dan upacara yang ada di Tana Toraja.
Tongkonan yang melambangkan status sosial masyarakat Toraja berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Tongkonan
melukiskan simbol-simbol dari benda dan mahluk di kehidupan manusia. Pesan-
pesan yang terdapat pada Tongkonan sebagai simbol status sosial masyarakat Toraja
merupakan falsafah hidup orang Toraja sendiri. Dengan dibangunnya Tongkonan
Sangulele menyerupai Kantor Badan Pekerja Sinode di Toraja Utara, melambangkan
bahwa Tongkonan Sangulele merupakan rumah milik semua orang dari berbagai
kalangan dan penjuru. Tongkonan Sangulele menunjukkan bahwa tidak ada lagi
sistem strata sosial yang menjadi pemisah masyarakat Toraja.
Saran
Tongkonan sebagai salah satu hasil kebudayaan bangsa yang syarat akan
peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat Toraja dan hendaknya dilestarikan
keasliannya. Oleh sebab itu melalui jurnal ini diajukan beberapa saran yaitu:
30
Untuk mempertahankan dan menjaga kelestarian budaya Toraja, maka
diharapkan kepada masyarakat Toraja agar lebih memahami dan mendalami budaya
mereka sendiri dan tidak mudah terpengaruh terhadap budaya luar dan mendominasi
budaya Toraja yang menyebabkan keaslian budaya perlahan terkikis bahkan tergeser.
Hal tersebut bisa dilakukan dengan menerapkan sistem pembelajaran di sekolah sejak
sekolah dasar, biasanya dalam muatan lokal. Diharapkan kepada generasi muda agar
mempelajari tentang ukiran dan makna-maknanya, agar budaya warisan nenek
moyang tersebut tetap terjaga dan diperkenalkan kepada orang lain. Misalnya dengan
membuat video tentang Toraja dan kebudayaannya lantas menguploadnya ke internet,
setidaknya dapat dilihat oleh masyrakat luas. Akan tetapi, tampilan kebudayaan
Toraja harus dibuat menarik dengan menggambungkan gambar dan video acara
Rambu Solo (upacara kematian), Rambu Tuka‟ (upacara pernikahan), dipadukan
dengan deretan Tongkonan yang ada di Tana Toraja.
Tongkonan Sangulele terus berkarya dan tetap melanjutkan misi gereja yang
akan senantiasa akan memelihara kesejahteraan masyarakat dan seluruh umat Gereja
Toraja dimanapun mereka berada. Dengan dibangunnya Tongkonan Sangulele
menyerupai Kantor Badan Pekerja Sinode menunjukkan bahwa adanya bentuk relasi
sosial yang tercipta dan terbangun melalui pembangunannya tercipta rasa sekawan
sepenanggungan dalam mengupayahkan melestarikan kehidupan masyarakat di Tana
Toraja.
31
DAFTAR PUSTAKA
Acuan
Bas Plaisier. Menjembatan Jurang, Menembus Batas. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2016.
Creswell, John W. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
De Jong, Edwin. Making a Living Between Brises and Ceremonies in Tana Toraja.
Leiden Boston: KITLV, 2013.
Dilistone, F.W. The Power of Symbols, SCM Press Ltd.,London 1986, terj. A.
Widyamarta. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Kathleen M. Adams. Art As Politics Re- Crafting Identities, Tourism, and power in
Tana Toraja, Indonesia. Hawai: University of Hawai, 2006.
Koentjraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1997.
Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Nasir, Muhamad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Palebangan, Frans B. Aluk, Adat, dan Adat-Istiadat Toraja. Toraja: Sulo, 2007.
Panggara, Robi. Upacara Rambu Solo di Tana Toraja Memahami bentuk Kerukunan
di Tengah Situasi Konflik. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Sugiyono. Metode PenelitianKuantitatif,Kualitatif,dan R & D. Bandung: Alfabet
Tangdilintin, L.T. 1975, 2008.
Soekamto, Sujono. Sosioligi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2001.
Tangdilintin, L.T. Tongkonan dan Seni Arsitektur Toraja. Toraja: Yayasan Lepongan
Bulan, 1975.
Terance W.Bigalke. Tana Toraja A Social History Of an Indonesian People.
Singapore: KITLV, 2005.
Theodorus Kobong. Injil dan Tongkonan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Whitehead. A.N. Symbolism. Cambridge University Press, 1928.
32
Sumber Internet
Azorry, Muhammad. 2012. “Pengertian Ukir dan Ornamen”. (Online),
(http://bloggazrorry.blogspot.com/2012/12/pengertian-ukir-danornamen.html,
dikases pada tanggal 10 Januari 2018).
Ensiklopedia, Wikipedia. 2013. “Toraja”. (Online),
(http://id.wikipedia.org/wiki/Toraja, diakses pada tanggal 09 Desember 2017).
Pemkab Tana Toraja, Humas. 2013. “Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Tana
Toraja”. (Online), (http://www.tanatorajakab.go.id/en/. Diakes pada tanggal
11 Januari 2018).
Jurnal dan lain-lain:
Christomy, Tommy. 2001. “Pengantar Semiotik Pragmatik Peirce: Nonverbal dan
Verbal” dalam Pusat Penelitian Kemasyrakatan dan Budaya Lembaga
Penelitian Universitas Indoensia, Bahan Pelatiahan Semiotika, hlm. 7-14.
Jakarta.
http://bps-gerejatoraja.org/artikel/single/basmin-mattayang-dan-syukur-bijak-
berkunjung-ke-kantor-badan-pekerja-sinode-gereja-toraja-tongkonan-
sangulele/188.
http://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/wp-
content/uploads/2015/11/JURNAL%20YUDHA%20(11-16-15-11-58-34).pdf.
Tinarbuko, Sumbo. 2003. “Semiotika Analisis pada Karya Desain Komunikasi
Visual”. Nirmana, Volume 5, No. 1:31-74. Yogyakarta. Sumalyo, Yulianto.
2001. “Kosmologi Dalam Arsitektur Toraja”. Jurnal Dimensi Teknik
Arsitektur”. Dimensi Teknik Arsitektur. Volume. 29, No. 1: 64-74. Makassar.