Download - Tpp Blok 20 Dera
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera
oleh salah satu sebab. Penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, olah raga dan rumah tangga. Setiap tahun 60 juta penduduk
Amerika Serikat mengalami trauma dan 50% memerlukan tindakan medis. 3,6
juta membutuhkan perawatan di Rumah Sakit. Didapatkan 300 ribu di antaranya
mendapatkan kecacatan yang bersifat menetap (1%) dan 8,7 juta menderita
kecacatan sementara (30%) dan menyebabkan kematian sebanyak 145 ribu orang
per tahun (0,5%). Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas lebih
kurang 12 ribu orang per tahun sehingga dapat disimpulkan bahwa trauma dapat
menyebabkan :
1. Angka kematian yang tinggi.
2. Hilangnya waktu kerja yang banyak sehingga biaya perawatan yang besar.
3. Kecacatan sementara dan permanen.
Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera musculoskeletal
berupa fraktur, dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera sistem
musculoskeletal cenderung meningkat dan terus meningkat dan akan mengancam
kehidupan kita (Rasjad C, 2003).
Walaupun cedera musculoskeletal umumnya jarang menyebabkan
kematian, tapi dapat menimbulkan penderitaan fisik, stress mental dan kehilangan
banyak waktu. Jadi dalam hal ini, cedera muskuloskeletal akan meningkatkan
angka morbiditas dibanding angka mortalitas (Salter, R. B. , 1999).
Trauma masih merupakan penyebab kematian paling sering di empat
dekade pertama kehidupan, dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang utama di setiap negara (Gad et al, 2012). Sepuluh persen dari kematian di
seluruh dunia disebabkan oleh trauma (Maegel, 2010). Diperkirakan bahwa pada
tahun 2020, 8,4 juta orang akan meninggal setiap tahun karena trauma, dan trauma
1
akibat kecelakaan lalu lintas jalan akan menjadi peringkat ketiga yang
menyebabkan kecacatan di seluruh dunia dan peringkat kedua di negara
berkembang (Udeani, 2013).
Di Indonesia tahun 2011 jumlah kecelakaan lalu lintas sebanyak 108.696
dengan korban meninggal sebanyak 31.195 jiwa (BPS, 2011).
Mengingat masalah trauma memerlukan perhatian yang serius dan sangat
penting untuk diketahui oleh mahasiswa kedokteran, maka dari itu kami akan
melakukan Tugas Pengenalan Profesi yaitu mengunjungi pasien trauma /Pasca
Trauma di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana mekanisme dan patofisiologi trauma yang ditemukan pada
kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang ?
1.2.2. Bagaimana manifestasi klinis yang dialami pasien trauma yang ditemukan
pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang ?
1.2.3. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien trauma yang
ditemukan pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang ?
1.2.4. Apa saja penatalaksanaan yang diberikan pada pasien trauma yang
ditemukan pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang ?
1.2.5. Apa saja komplikasi yang dapat ditimbulkan pada pasien trauma yang
ditemukan pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang trauma ?
1.2.6. Bagaimana prognosis pasien trauma yang ditemukan pada kunjungan pasien
trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang trauma ?
2
1.3. Tujuan
1.3.1. Mengetahui mekanisme dan patofisiologi trauma yang ditemukan pada
kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang.
1.3.2. Mengetahui manifestasi klinis yang dialami pasien trauma yang ditemukan
pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang.
1.3.3. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien trauma
yang ditemukan pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah
Sakit Bhayangkara Palembang.
1.3.4. Mengetahui penatalaksanaan yang diberikan pada pasien trauma yang
ditemukan pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang.
1.3.5. Mengetahui komplikasi yang dapat ditimbulkan pada pasien trauma yang
ditemukan pada kunjungan pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang trauma.
1.3.6. Mengetahui prognosis pasien trauma yang ditemukan pada kunjungan
pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang
trauma.
1.4. Manfaat
1.4.1. Untuk mahasiswa yang melakukan kegiatan agar dapat menambah ilmu
pengetahuan dan sebagai bahan pembanding antara teori yang di dapat
selama kuliah dan praktek di lapangan.
1.4.2. Untuk masyarakat dapat berguna sebagai sumber bacaan untuk
meningkatkan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang kesehatan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Trauma Thoraks
Kurang lebih 20% kematian akibat trauma terjadi karena trauma thorak.
Banyak kematian bisa dicegah seandainya kasus teridentifikasi dan tertangani
lebih dini sewaktu proses evaluasi trauma. Eksplorasi dan intervensi bedah perlu
dilakukan pada sekitar 10-15% pasien trauma thoraks. Sebab-sebab tersering
kematian langsung pasca-trauma umumnya berkaitan dengan cedera pembuluh
darah utama atau obstruksi jalan nafas utama (Sean, 2006).
1. Fraktur Iga
Fraktur iga sederhana merupakan kejadian yang relative sering pada kasus
trauma tumpul thoraks, dengan insidens sekitar 50%. Fraktur iga sederhana
paling sering terjadi di daerah rawan benturan atau pada angulus costae
posterior, bagian iga yang strukturnya paling lemah. Fraktur paling sering
terjadi pada iga 4-9. Pada fraktur iga harus diwaspadai adanya trauma intra-
abdomen penyerta bila dijumpai fraktur pada iga 9-12, mengingat iga-iga ini
terletak diatas hati dan limpa. Fraktur pada iga 1-2, yang terlindungi dengan
baik oleh struktur lain, biasanya mengindikasikan trauma tumpul dengan
gaya sangat kuat yang menghantam dada psien, adanya fraktur ini
mengingatkan kecendrungan cedera intrathorak yang bermakna. Fraktur iga
lebih sering terjadi pada pasien dewasa karena rangka iga orang dewasa
tidak selentur rangka iga anak-anak (Sean, 2006).
Evaluasi Klinis tujuan utamanya adalahuntuk mendeteksi apakah terdapat
tanda-tanda adanya cedera thoraks yang mendasari, seperti pneumothorak,
hemothoraks kontusio paru, atau trauma vaskuler yang bermakna. Temuan
klinis khas pda fraktur iga berupa nyeri tekan setitik (point tenderness) di
lokasi fraktur, peningkatan intensitas nyeri sewaktu bernafas atau
menggerakkan badan, krepitus di titik nyeri tekan, ekimosis, kekakuan atau
spame otot pada daerah dinding dada yang sakit. Pembacaan foto thorak PA
4
posisi tegak dan oksimetri denyut harus dikerjakan pada setiap pasien
dengan kecurigaan fraktur iga (Sean, 2006).
Tatalaksana, sasaran utama dalam penatalaksanaan fraktur iga sederhana
ialah penanganan nyeri yang adekuat, nyeri yang tidak ditangani dengan
adekuat dapat menyebabkan gangguan ventilasi pasien dan penurunan
ventilasi ini dapat menyebabkan atelektasis dan mungkin dapat
menyebabkan pneumonia. Pengunaan sabuk iga dan berbagai jenis alat
pengikat dinding dada bukan merupakan ajuran rutin. Sekalipun berguna
untuk meredakan gejala, alat-alat ini membatasi pergerakan normal dinding
dada dan ventilasi sehingga menimbulkan resiko tambahan menyebabkan
atelaktasis. Pada beberapa kasus, blok saraf intercostals diindikasikan untuk
membantu mengatasi nyeri yang luar biasa (Sean, 2006).
2. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah pengumpulan udara yang abnormal didalam rongga
pleura, yang dapat disebabkanoleh trauma tumpul dan trauma tembus,
bahkan bisa juga terjadi secara spontan. Pneumothorak dapat menyebabkan
kolapsnya paru (dalam drajat apapun) pada sisi thoraks yang sakit serta
berpotensi mengurangi oksigenasi dan ventilasi. Pneumothorak terbuka,
dikanal juga sebagai pneumothoraks komunikan, disebabkan oleh trauma
tembus ysng merusak integritas dinding dada dan pleura pasien,
mengakibatkan udara masuk ke rongga pleura sehingga menimbulkan
kolaps paru. Pneumaothorak sederhana, tertutup, atau non-komunikan, yang
dapat terjadi akibat trauma tumpul, ditandai dengan dinding dada yang intak.
Pneumothoraks desak terjadi kalau ada katup jaringan satu-arah yang dapat
terbentuk akibat trauma yang menembus dinding dada atau parenkim paru.
Selama proses pernafasan, udara terdorong masuk ke rongga pleura, tetapi
tidak bisa keluar lagi. Makin lama proses ini berlangsung, tekanan
intrapleura di sisi yang sakit makin meninggi sehingga menimbulkan
desakan pada paru. Struktur-struktur mediastinal terdesak dan tergeser ke
sisi thoraks kontralateral, desakan mediastinum ini menurunkan aliran balik
darah yang menuju jantung sehingga curah jantung berkurang. Sebagian
5
paru sisi kontralateral juga terdesak sehingga makin mengurangi oksigenasi
dan ventilasi. Situasi ini bisa dengan cepat mengakibatkan henti jantung dan
henti nafas bila tidak segera terdeteksi dan tertangani (Sean, 2006).
Evaluasi klinis gambaran klinis pada pasien dapat bevariasi, dari
asimptomatik hingga dispnea berat tergantung pada luas bagian paru yang
kolaps atau jaringan yang cedera. Di sisi dada yang sakit, dapat ditemukan
perlemahan suara nafas dan bunyi perkusi hipersonor. Pneumothoraks desak
ditandai dengan deviasi trakea, distensi vena jugularis, gawat nafas,
takikardia, hipotensi, hilangnya suara nafas di sisi dada yang sakit, bunyi
hipersonor pada perkusi, dan sianosis. Oksigen sungkup, oksimeter denyut,
dan monitor jantung harus dipasang pada semua pasien yang dicurigai
mengalami pneumothoraks (tipe apapun), pemeriksaan foto thoraks juga
mesti dikerjakan sesegera mungkin (Sean, 2006).
Tatalaksana awal untuk pneumothoraks desak berupa dekompresi cepat pada
sisi dada yang sakit dengan menusukkan jarum ukuran 14 di sela iga kedua
pada linea midclavikularis. Dekompresi dikatakan berhasil bila udara
terdorong ke luar lewat jarum diikuti perbaikan gejala pasien. Setelah itu,
untuk tatalaksana definitive, selang torakostomi mesti dipasang dan di
sambungkan ke sistem penyalur sekat air (WSD). Pada kasus pneumothorak
terbuka atau komunikans, penatalaksanaan awal harus berupa pemasangan
balut tekan steril yang menutupi defek jaringan pada dinding dada pasien.
Dari keempatsisi balut tekan ini, hanya tiga sisi yang ditempelkan sehingga
berfungsi seperti katup : memungkinkan keluarnya udara sewaktu ekspirasi
dan mencegah masuknya udara saat inspirasi (Sean, 2006).
2.2 Trauma esofagus
Jarang terjadi pada trauma tumpul. Luka tusuk yang merobek esofagus akan
menyebabkan kematian karena mediastinitis. Keluhan pasien berupa nyeri tajam
yang mendadak di epigastrium dan dada yang menjalar ke punggung. Sesak nafas,
sianosis dan syok muncul pada fase yang sudah terlambat. (Primary care
foundation, 2011).
6
2.3 . Trauma Kepala
2.3.1 Definisi Trauma Kapitis
Secara anatomi kepala terdiri dari kulit kepala (scalp) (Snell, 2006). Tulang
tengkorak, meningen, otak, Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap
kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan
gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial
baik temporer maupun permanen (Asrini, 2008).
2.3.2. Mekanisme dan Patofisiologi Trauma Kapitis
a. Akselerasi
Bila kepala yang bergerak ke suatu arah atau kepala sedang dalam keadaan
tidak bergerak , tiba-tiba mendapat gaya yang kuat searah dengan gerakan
kepala maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah
tersebut. Mula-mula tulang tengkorak yang bergerak lebih cepat, jaringan
otak masih diam, kemudian jaringan otak ikut bergerak ke arah yang sama.
Peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu yang sangat singkat. Pada
peristiwa ini terjadi gesekan antara jaringan otak dan dasar tengkorak serta
terjadi benturan antara jaringan otak dan dinding tengkorak.
Mekanisme akselerasi dapat menyebabkan laserasi pada bagian bawah
jaringan otak dan memar pada jaringan otak serta putusnya vena–vena kecil
yang berjalan dari permukaan otak ke duramater (bridging veins) (Anonim,
2013).
b. Deselerasi.
Bila kepala bergerak dengan cepat ke satu arah tiba-tiba dihentikan oleh
suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba akan
terhenti gerakannya. Kepala mengalami deselerasi (perlambatan) secara
mendadak. Mula-mula tengkorak akan terhenti gerakannya, jaringan otak
masih bergerak kemudian jaringan otak terhenti gerakannya karena
menabrak tengkorak. Peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu yang
sangat singkat. Mekanisme deselerasi dapat menyebabkan kelainan serupa
seperti pada mekanisme akselerasi (Anonim, 2013).
7
c. Rotasi
Batang otak (brain stem) terletak di bagian tengah jaringan otak dan
berjalan vertikal ke arah foramen magnum sehinga otak seolah-olah terletak
pada sebuah sumbu (axis). Bila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya
mendadak yang membentuk sudut terhadap arah gerak kepala, misalnya
pada bagian frontal atau pada bagian oksipital maka otak akan terputar pada
sumbunya. Mekanisme rotasi dapat menyebabkan laserasi dari bagian
bawah jaringan otak dan kerusakan pada batang otak (Anonim, 2013).
2.3.3 Klasifikasi Trauma Kapitis
Cidera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yaitu
berdasarkan mekanisme, beratnya dan morfologi (ATLS, 2004).
a. Mekanisme cidera kepala
Cidera otak dibagi atas cidera tumpul dan cidera tembus. Cidera
tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh
atau pukulan benda tumpul. Sedangkan cidera tembus disebabkan oleh luka
tembak ataupun tusukan (Asrini, 2008).
b. Beratnya cidera kepala
GCS atau Glasgow Coma Scale digunakan secara umum dalam
deskripsi beratnya penderita cidera otak (Asrini, 2008).
Berdasarkan beratnya cidera kepala dibagi menjadi 3 yaitu :
1) Cidera kepala ringan
GCS antara 15-13, pasien stabil dan sadar, tidak ada muntah, dapat
mengalami luka lecet atau laserasi di kulit kepala dan pemeriksaan
lainnya normal (Asrini, 2013).
2) Cidera kepala sedang
GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30 menit sampai 24 jam,
dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan, dua atau lebih
episode muntah, sakit kepala persisten, kejang singkat (kurang dari
2menit) satu kali segera setelah trauma, dapat mengalami luka lecet,
8
hematoma, atau laserasi di kulit kepala dan pemeriksaan lainnya
normal (Asrini, 2013).
3) Cidera kepala berat
GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai
kontusio, laserasi atau adanya hematoma dan edema serebral. terdapat
kebocoran LCS dari hidung atau telinga, tanda-tanda neurologis lokal
(pupil anisokoria), terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intracranial berupa herniasi unkus yaitu dilatasi pupil ipsilateral akibat
kompresi nervus okulomotor, herniasi sentral yaitu kompresi batang
otak menyebabkan bradikardi dan hipertensi, trauma kepala yang
berpenetrasi dan dapat terjadi kejang (selain kejang singkat satu kali
segera setelah trauma) (Asrini, 2013).
Tabel 1. Glasgow Coma Scale (GCS)
Eye Opening
Mata terbuka dengan spontan 4
Mata membuka setelah diperintah 3
Mata membuka setelang diberi rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata dengan rangsang apapun 1
Best Motor Response
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi (decorticate) 3
Ekstensi (decerebrasi) 2
Tidak ada gerakan dengan rangsang apapun 1
Best Verbal Response
Menjawab pertanyaan dengan benar 5
Salah menjawab pertanyaan 4
Mengeluarkan kata-kata yg tidak sesuai 3
9
Mengeluarkan suara yg tidak ada artinya 2
Tidak ada jawaban 1
Jumlah 1
5
c. Morfologi cidera kepala
1) Fraktur Cranium
Dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linier atau bintang/stelata dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Untuk memastikannya harus dilakukan CT scan dengan teknik bone
window untuk memperjelas garis frakturnya. Tanda-tandanya antara
lain raccoon eyes, ekimosis retroaurikule (battle sign), rhinorrhea,
otorrhea, paresis nervus facialis dan gangguan pendengaran (Asrini,
2008).
2) Lesi intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau difus, walaupun
kedua jenis ini sering terjadi bersamaan. Yang termasuk lesi fokal
adalah perdarahan epidural, perdarahan subdural dan perdarahan
intracerebral (Asrini, 2013).
a) Perdarahan Epidural (Epidural Hemorrhage–EDH)
Perdarahan ini disebabkan karena fraktur di daerah temporal
yang memutuskan arteri meningea. Darah dengan segera akan
terkumpul di rongga di antara duramater dan tulang tengkorak.
Darah ini akan menekan jaringan otak ke arah medial dan
menyebabkan penekanan terhadap nervus III sehingga pupil akan
melebar (midriasis) dan perangsangan cahaya pada pupil mata ini
tidak akan menggerakkan musculus ciliaris (rangsang cahaya
negatif). Epidural hematoma harus segera di operasi
(craniotomy) (Asrini, 2013).
Riwayat penyakit yang khas pada epidural hematoma ialah
adanya lucid interval. Pada waktu baru terjadi trauma kapitis,
10
penderita tetap berada dalam keadaan sadar bahkan masih
mampu menolong dirinya sendiri, baru beberapa jam kemudian
(biasanya antara 6 – 8 jam) kesadaran mulai menurun, kedua
pupil akhirnya berdilatasi penuh dan rangsang cahaya pada kedua
mata menjadi negatif dan penderita meninggal (Asrini, 2013).
Tenggang waktu antara kejadian trauma kapitis dan mulai
timbulnya penurunan kesadaran disebut lucid interval. Kedua
pupil yang berdilatasi penuh dengan rangsang cahaya yang
negatif menujukkan keadaan yang disebut herniasi tentorial.
Herniasi tentorial terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial
dimana batang otak terdesak kearah caudal dan akhirnya
terperangkap oleh tentorium (Asrini, 2013).
b) Perdarahan Subdural (Subdural Hemorrhage–SDH)
Perdarahan ini terletak diantara permukaan jaringan otak dan di
bawah duramater biasanya di daerah parietal. Perdarahan ini
dapat terjadi karena mekanisme rotasi maupun mekanisma
aselerasi–deselerasi kepala sehingga memutuskan bridging veins
(vena-vena yang menghubungkan permukaan jaringan otak dan
duramater) atau pecahnya pembuluh– pembuluh cortical jaringan
otak baik arteri maupun vena yang berada pada permukaan otak
(Asrini, 2013).
Bila terjadi akut segera setelah trauma kapitis ini menunjukkan
suatu trauma kapitis yang cukup berat. Kasus perdarahan
subdural akut (acute SDH) memerlukan tindakan operasi segera
(Asrini, 2013).
Pada perdarahan subdural manifestasi klinik timbul setelah 2–3
minggu setelah trauma kapitis, terdapat sakit kepala, kelemahan
anggota gerak sesisi dan bahkan penurunan kesadaran. Keadaan
ini disebut perdarahan subdural kronis (chronic SDH). Dengan
melakukan operasi membuang darah tersebut, penderita akan
segera pulih kembali (Asrini, 2013).
11
c) Perdarahan Intracerebral (Intracerebral Hemorrhage–ICH)
Perdarahan ini terjadi karena putusnya pembuluh darah di dalam
jaringan otak. Penderita akan cepat kehilangan kesadaran .
Tergantung dimana letak perdarahan, operasi dapat menolong
penderita tetapi biasanya dengan cacat yang menetap (Asrini,
2013).
Perdarahan juga dapat terjadi di dalan sistem ventrikel disebut
perdarahan intraventrikular (Intraventricular Hemorrhage–IVH).
Darah akan menyumbat sistem ventrikel sehingga liquor
cerebrospinal tidak dapat mengalir dan terkumpul di dalam
sistem ventrikel dan menyebabkan sistem ventrikel melebar dan
mengandung banyak cairan sehingga terjadi hydrocephalus. Bila
perdarahan cukup banyak maka seluruh fungsi jaringan otak akan
terganggu (Asrini, 2013).
Sedangkan yang termasuk lesi difus adalah sebagai berikut :
a) Diffused Axonal Injury (DAI)
Tekanan yang berkurang menyebabkan kerusakan mekanik
akson secara cepat. Lebih dari 48 jam kerusakan lebih lanjut
terjadi melalui pelepasan neurotransmiter eksitotoksik yang
menyebabkan influís Ca 2+ ke dalam sel dan memacu kaskade
fosfolipid. Kemungkinan genetik diketahui dapat berperanan
dalam hal ini. Dengan adanya gen APOE tergantung dari tingkat
keparahan dari luka, efek dapat bervariasi dari koma ringan
sampai kematian (Asrini, 2013).
DAI terjadi pada 10-15% CKB. 60% DAI berakhir dengan
kecacatan menetap dan vegetative state, 35-50% berakhir dengan
kematian. Dalam proses biomekanis DAI terjadi karena adanya
proses deselerasi (Asrini, 2013).
b) Iskemia serebral
Iskemia serebral umumnya terjadi setelah cedera kepala berat dan
disebabkan baik karena hipoksia atau perfusi serebral yang
12
terganggu/rusak. Pada orang normal, tekanan darah yang rendah
tidak mengakibatkan rendahnya perfusi serebral karena adanya
autoregulasi, Penyebab iskemia serebral adalah lesi massa yang
menyebabkan herniasi tentorial, traksi atau perforasi pembuluh
darah, spasme arterial, dan kenaikan TIK karena edema otak.
Lokasi iskemia dapat terjadi pada korteks, hipokampus, ganglion
basalis dan batang otak (Asrini, 2013).
c) Komusio serebri
Komusio serebri merupakan bentuk trauma kapitis ringan,
dimana terjadi pingsan (kurang dari 10 menit). Gejala lain
mungkin termasuk pusing. Berdasarkan atas lokasi benturan, lesi
dibedakan atas koup kontusio dimana lesi terjadi pada sisi
benturan dan tempat benturan. Pada kepala yang relatif diam
biasanya terjadi lesi koup, sedang bila kepala dalam keadaan
bebas bergerak akan terjadi kontra koup (Asrini, 2013).
2.3.4 Pembagian Trauma Kapitis
a. Simple Head Injury
Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan ada riwayat
trauma kapitis, tidak pingsan, gejala sakit kepala dan pusing dan umumnya
tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik dan
cukup istirahat (Harsono, 2005).
b. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung
tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala yang tidak disertai kerusakan
jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin
muntah dan tampak pucat. Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar
pada labirin atau terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada
commotio cerebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde yaitu
hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya
kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di
13
lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto
tengkorak, EEG dan pemeriksaan memori (Harsono, 2005).
c. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata meskipun
neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk
terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu
juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi
yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala.
Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat sehingga
menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis
difus. Akibat blockade itu otak tidak mendapat input aferen dan karena itu
kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung. Timbulnya lesi
contusio di daerah coup, contrecoup dan intermediate menimbulkan gejala
deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan
kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli kembali penderita biasanya
menunjukkan organic brain syndrome (Harsono, 2005).
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang
beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh
darah cerebral terganggu sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah
menjadi rendah dan nadi menjadi lambat atau menjadi cepat dan lemah.
Juga karena pusat vegetatif terlibat maka rasa mual, muntah dan gangguan
pernafasan bisa timbul (Harsono, 2005).
Pemeriksaan penunjang seperti CT-scan berguna untuk melihat letak lesi
dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan
antiserebral edema, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan
perawatan 7-10 hari (Harsono, 2005).
d. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan
piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan
14
subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat
dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung (Harsono, 2005).
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan
oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur
depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh
deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis (Harsono, 2005).
e. Fracture Basis Cranii
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa
posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang
terkena.
1) Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala hematom kacamata
tanpa disertai subkonjungtival bleeding, epistaksis dan rhinorrhoe.
2) Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala hematom
retroaurikuler, ottorhoe dan perdarahan dari telinga
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya
harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah
infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih
dari 6 hari (Harsono, 2005).
2.3.5 Manifestasi Klinis Trauma Kapitis
a. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk cidera kepala ringan
Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat, sakit
kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual dan muntah, gangguan
tidur dan nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian diri dan
letargi (Anonim, 2013).
b. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk cidera kepala berat
Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di
otak menurun atau meningkat, perubahan ukuran pupil (anisokoria), triad
cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)
(Anonim, 2013).
c. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosis
15
Battle sign (warna biru atau ekimosis di belakang telinga di atas os
mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga),
periorbital ekimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung),
rinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung), ottorhoe (cairan
serebrospinal keluar dari telinga) (Anonim, 2013).
2.3.6 Diagnosis Trauma Kapitis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan sebagai berikut :
a. Periksa kesadaran penderita (GCS)
b. Pemeriksaan pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah
abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya
penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu
terhadap cahaya merupakan akibat dari cedera kepala (Asrini, 2008).
c. Periksa jalan nafas penderita
d. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf
perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa
(Asrini, 2008).
e. Pemeriksaan scalp dan tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan dan memar.
Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan adanya fraktur yang
bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan dan memar (Asrini, 2008).
f. Pemeriksaan penunjang yaitu :
1. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari
dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan dapat mengidentifikasi
fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat
digunakan bila CT scan tidak ada (Asrini, 2008).
2. CT-Scan
16
CT scan harus dilakukan secepat mungkin, segera setelah hemodinamik
normal.
CT scan penting dalam memperkirakan prognosis cedera kepala berat
(Asrini, 2008).
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam
menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan
batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT scan. Ditemukan
bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer atau terdapat lesi
batang otak pada pemeriksaan MRI mempunyai prognosa yang buruk
untuk pemulihan kesadaran walaupun hasil pemeriksaan CT scan awal
normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Asrini, 2008).
2.3.7 Penatalaksaan Trauma Kapitis
a. Penatalaksanaan non operatif
1. Primary survey dan resusitasi
Primary survey dan resusitasi berupa airway dan breathing. Terhentinya
pernafasan sementara sering terjadi pada cidera otak dan dapat
mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus segera
dilakukan pada penderita koma. Dilakukan ventilasi dengan oksigen
100%. Kemudian sirkulasi, hipotensi biasanya disebabkan oleh cidera otak
itu sendiri kecuali pada stadium terminal dimana medula oblongata sudah
mengalami gangguan. Perdarahan intrakranial tidak dapat menyebabkan
syok hemoragik. Pada penderita dengan hipotensi harus segera dilakukan
stabilisasi untuk mencapai euvolemia. Pemberian cairan untuk mengganti
volume yang hilang (Lindsay, 1997).
2. Secondary survey
Pemeriksaan neurologis serial harus selalu dilakukan untuk deteksi dini
adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal
(unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya
(Lindsay, 2997).
17
3. Terapi medikamentosa
Tujuan utama perawatan intensif adalah untuk mencegah terjadinya
kerusakan sekunder terhadap otak yang telah mengalami cidera. Prinsip
dasarnyaadalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk
pemulihan, maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali (Lindsay,
1997).
a) Cairan intravena
Bertujuan untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan
normovolemi. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan
garam fisiologi yaitu Ringer laktat (Lindsay, 1997).
b) Hiperventilasi
Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan
menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi
yang berlangsung terlalu lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia
otak akibat terjadinya vasokontriksi serebri berat sehingga menimbulkan
gangguan perfusi otak. PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih.
Hiperventilasi dalam waktu singkat (PCO2 antara 25-30 mmHg) (Lindsay,
1997).
c) Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial yang
meningkat. Dosis yang dipakai 1g/kgBB diberikan secara bolus intravena.
Indikasi karena pemakaian manitol adalah deteriosasi neurologis yang akut
seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran.
Manitol menurunkan tekanan atau volume cairan cerebrospinal dengan
cara meninggikan tekanan osmotik plasma. Dengan cara ini, air dari cairan
otak akan berdifusi kembali ke plasma dan ke dalam ruangan ekstrasel
(Lindsay, 1997).
d) Furosemid atau lasix
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosisnya
adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara intravena. Pemberiannya bersamaan
18
dengan manitol karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang
efek osmotik serum manitol (Lindsay, 1997).
e) Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obat lain.
Namun barbiturat ini tidak dianjurkan pada fase akut resusitasi (Lindsay,
1997).
f) Antikonvulsan
Epilepsi pasca trauma terjadi 5% dengan cidera otak tertutup dan 15%
pada cidera kepala berat. Fenitoin bermanfaat untuk mengurangi terjadinya
kejang dalam minggu pertama. Untuk dosis awal adalah 1g secara
intravena dengan kecepatan pemberian 50mg/menit. Dosis pemeliharaan
biasanya 100mg/8 jam (Lindsay, 1997).
b. Penatalaksanaan operatif
1. Luka kulit kepala
Hal yang terpenting adalah membersihkan luka sebelum melakukan
penjahitan. Debridement yang tidak adekuat akan menyebabkan infeksi luka
kepala. Perdarahan dari luka kulit kepala dapat diatasi dengan penekanan,
kauterisasi atau ligasi pembuluh darah besar. Jahit, pasang klips atau staples.
Inspeksi apakah ada fraktur tengkorak atau benda asing (Lindsay, 1997).
2. Fraktur impresi tengkorak
Fraktur depresi yang tidak signifikan dapat ditolong dengan menutup kulit
kepala yang laserasi (Lindsay, 1997).
3. Lesi massa intrakranial
Dilakukan kraniotomi dan atau burrhole. Burrhole pada kranium untuk
eksplorasi atau evakuasi hematom (Lindsay, 1997).
c. Teknik operasi
1. Kraniotomi atau trepanasi
Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala
yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.
Secarasementara membuat bone flap dan disingkirkan dari kepala supaya
bisadilakukan pengeluaran dari bekuan darah SDH atau EDH. Bone flap di
19
dapat dengan mengebor empat titik pada kranium dan membuat garis linear
yang menghubungkan empat titik tersebut sehingga terbentuk bone flap
(Lindsay, 1997).
2. Burrhole
Tindakan pembedahan yang ditujukan langsung pada tempat lesi atau tempat
adanya bekuan darah EDH dan mengeluarkan bekuan darah tersebut dengan
hanya membuat satu lubang pada tempat lesi (Lindsay, 1997).
2.3.8 Komplikasi Trauma Kapitis
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dalam jangka pendek dapat berupa
hematom epidural, hematom subdural, perdarahan intraserebral dan oedema
serebri. Sedangkan untuk komplikasi jangka panjang dapat berupa gangguan
neurologis seperti gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N.
VIII, disfagia dan kadang terdapat hemiparese, sindrom pasca trauma seperti
palpitasi, hidrosis, konsentrasi berkurang, mudah tersinggung, sakit kepala,
kesulitan belajar, mudah lupa, dll (Harsono, 2005).
2.3.9 Prognosis Trauma Kapitis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar terutama
pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki
nilai prognostik yang besar yaitu pada pasien dengan skor GCS 3-4 memiliki
kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada
pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5
– 10% (Harsono, 2005).
2.4 Trauma Abdominal
2.4.1 Pengertian
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional
(dorland, 2002). Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera
fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001). Trauma adalah
penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun.
20
Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma
tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer,
2001).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma
tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer,
2001). Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan
atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan /penatalaksanaan
lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).
2.4.2 Etiologi dan klasifikasi
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium).Disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau
sabuk pengaman (set-belt) (FKUI, 1995).
2.4.3 Patofisiologi
Tusukan/tembakan ; pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau
sabuk pengaman (set-belt)-trauma abdomen- :
1. Trauma tumpul abdomen
a. Kehilangan darah.
b. Memar/jejas pada dinding perut.
c. Kerusakan organ-organ.
d. Nyeri
iritasi cairan usus
2.trauma tembus abdomen
a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
b. Respon stres simpatis
c. Perdarahan dan pembekuan darah
d. Kontaminasi bakteri
e. Kematian sel
21
1 & 2 menyebabkan :
Kerusakan integritas kulit
Syok dan perdarahan
Kerusakan pertukaran gas
Risiko tinggi terhadap infeksi
Nyeri akut (FKUI, 1995).
2.4.4 Tanda dan gejala
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium):
a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
b. Respon stres simpatis
c. Perdarahan dan pembekuan darah
d. Kontaminasi bakteri
e. Kematian sel
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
a. Kehilangan darah.
b. Memar/jejas pada dinding perut.
c. Kerusakan organ-organ.
d. Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding
perut.
e. Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).
2.4.5 Komplikasi
Segera : hemoragi, syok, dan cedera, lambat : infeksi (smeltzer, 2001).
2.4.6. Pemeriksaan Diagnostik
22
1. Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus
besar ; kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan
kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
2. Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
3. Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
4. Ivp/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma
saluran kencing.
5. Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang
diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut
yang disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan
menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding
perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan
menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.
6. lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan
memasukkan cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan
kedalam rongga peritonium (fkui, 1995).
2.4.6 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan kedaruratan ; ABCDE
2. Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.
3. Kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin
yang keluar (perdarahan).
4. Pembedahan/laparatomi (untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika
terjadi rangsangan peritoneal : syok ; bising usus tidak terdengar ; prolaps
visera melalui luka tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara
bebas intraperitoneal ; lavase peritoneal positif ; cairan bebas dalam rongga
perut) (fkui, 1995).
Manajemen keperawatan
a. Pengkajian
pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan
secara menyeluruh (Boedihartono, 1994).
23
Pengkajian pasien trauma abdomen (smeltzer, 2001) adalah meliputi :
1. Trauma tembus abdomen
a. Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan/tembakan ;
kekuatan tumpul (pukulan).
b. Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk,
memar, dan tempat keluarnya peluru.
c. Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga
perubahan dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal
keterlibatan intraperitoneal ; jika ada tanda iritasi peritonium, biasanya
dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam rongga abdomen).
d. Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan melindungi,
nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus,
hipotensi dan syok.
e. Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi
cedera yang berkaitan.
f.Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien.
2. Trauma tumpul abdomen
a. Dapatkan riwayat detil jika mungkin (sering tidak bisa didapatkan, tidak
akurat, atau salah). Dapatkan semua data yang mungkin tentang hal-hal
sebagai berikut :
• metode cedera.
• waktu awitan gejala.
• lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering menderita
ruptur limpa atau hati). Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe restrain
yang digunakan.
• waktu makan atau minum terakhir.
• kecenderungan perdarahan.
• penyakit danmedikasi terbaru.
• riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus.
• alergi.
24
b. Lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasienuntuk mendeteksi
masalah yang mengancam kehidupan.
Penatalaksanaan kedaruratan
1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi)
sesuai indikasi.
2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat
menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan
menimbulkan hemoragi masif.
a) pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem
saraf.
b) jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
c) gunting baju dari luka.
d) hitung jumlah luka.
e) tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
3. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera
abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan
dilakukan.
a) berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka
dada.
b) pasang kateter iv diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan
memperbaiki dinamika sirkulasi.
c) perhatikan kejadian syoksetelah respons awal terjadi terhadap transfusi ;
ini sering merupakan tanda adanya perdarrahan internal.
d) dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat
perdarahan.
5. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu
mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga
peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
6. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin
basah untuk mencegah nkekeringan visera.
25
a) fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut.
b) tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik
dan muntah.
7. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya
hematuria dan pantau haluaran urine.
8. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine,
pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai
hematokrit, dan status neurologik.
9. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat
ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.
10. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium
pada kasus luka tusuk.
a) jahitan dilakukan disekeliling luka.
b) kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
c) agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah
penetrasi peritonium telah dilakukan.
11. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
12. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. Trauma dapat
menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri
eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan
terapeutik (infeksi nosokomial).
13. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok,
kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau
hematuria.
2.5 Trauma Spinal (Tulang Belakang)
Kejadian kerusakan syaraf akibat trauma ganda ternyata lebih sering
daripada yang diperkirakan. Kerusakaan yang sering terjadi adalah pada syaraf
jari, plexus brachialis dan sumsum tulang belakang (medula spinalis) (Primary
care foundation, 2011).
Prioritas pengelolaan selalu mengikuti Primary Survey serta urutan ABCDE :
26
1. A-Airway, membebaskan jalan nafas dengan melindungi tulang leher
(cervical spine)
2. B-Breathing, bantuan pernafasan
3. C-Circulation, bantuan untuk sirkulasi dan pemantauan tekanan darah
4. D-Disability, pemantauan kesadaran dan kerusakan syaraf pusat
5. E-Exposure, melepas baju pasien untuk memeriksa secara lengkap semua
kerusakan pada tubuh dan ekstremitas. Pemeriksaan korban trauma tulang
belakang harus dilakukan dalam posisi netral (tanpa melakukan fleksi,
ekstensi dan rotasi pada tulang belakang).
6. Pasien hanya boleh dibalik atau dimiringkan dengan cara “log-rolling”
Harus dilakukan imobilisasi sebaik-baiknya dengan cara in-line
immobilization, memasang stiff cervical collar dan bantal pasir di kiri kanan
kepala.
7. Transportasi korban dilakukan dalam posisi netral Bila terdapat trauma
tulang belakang (yang mungkin disertai) kerusakan sumsum tulang
belakang, periksalah :
a. Apakah ada nyeri tekan.
b. Deformitas dan tanda “step-off” posterior
c. Pembengkakan
Tanda klinis yang menyertai kerusakan akibat trauma tulang leher adalah :
a. Kesukaran bernafas (pola nafas diafragma, pola nafas paradoksal)
b. Kelumpuhan otot dan hilangnya refleks (periksa sfinkter ani)
c. Hipotensi dengan bradikardia. (Primary care foundation, 2011).
2.6. Trauma Ekstemitas
2.6.1 Manifestasi klinis
27
Manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan yaitu nyeri terus menerus,
hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,
pembengkakan lokal dan perubahan warna (Usman, 2013).
2.6.2 Klasifikasi Trauma Ekstremitas
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.
Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau
terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (Usman,
2013).
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis baik yang bersifat total maupun yang parsial. Tulang mempunyai
daya lentur (elastisitas) dengan kekuatan yang memadai. Apabila trauma melebihi
dari daya lentur tersebut maka terjadi fraktur (patah tulang). Penyebab terjadinya
fraktur adalah trauma, stres kronis dan berulang maupun pelunakan tulang yang
abnormal (Usman, 2013).
Adapun jenis-jenis fraktur sebagai berikut :
1) Complete fraktur (fraktur komplet) yaitu patah pada seluruh garis tengah
tulang, luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi
tulang.
2) Closed frakture (simple fracture) yaitu tidak menyebabkan robeknya kulit
dan integritas kulit masih utuh.
3) Open fracture (compound frakture/ komplikata/ kompleks) yaitu fraktur
dengan luka pada kulit (integritas kulit rusak dan ujung tulang menonjol
sampai menembus kulit) atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
Fraktur terbuka digradasi menjadi grade I luka bersih dengan panjang
kurang dari 1 cm, grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak
yang ekstensif dan grade III sangat terkontaminasi, dan mengalami
kerusakan jaringan lunak ekstensif.
4) Greenstick yaitu fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi
lainnya membengkok.
28
5) Transversal yaitu fraktur sepanjang garis tengah tulang.
6) Oblik yaitu fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
7) Spiral yaitu fraktur memuntir seputar batang tulang.
8) Komunitif yaitu fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.
9) Depresi yaitu fraktur dengan frakmen patahan terdorong ke dalam (sering
terjadi pada tulang tengkorak dan wajah).
10) Avulsi yaitu tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada
perlekatannya.
11) Epifisial yaitu fraktur melalui epifisis.
12) Impaksi yaitu fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang
lainnya (Usman, 2013).
2.6.3 Pembagian Trauma Ekstremitas dan Penatalaksanaannya
1) Patah tulang tertbuka dan Trauma Sendi
Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara tulang dengan
lingkungan luar. Otot dan kulit mengalami cedera dan beratnya kerusakan
jaringan lunak ini akan berbanding lurus dengan energi yang menyebabkannnya.
Kerusakan ini disertai kontaminasi bakteri, menyebabkan patah tulang terbuka
mengalami masalah infeksi, gangguan penyembuhan dan gangguan fungsi
(ATLS, 2004).
Diagnosis didasarkan atas riwayat trauma dan pemeriksaan fisik
ekstremitas yang menemukan fraktur dengan luka terbuka, dengan atau tanpa
kerusakan luas otot, serta kontaminasi. Pengelolaan didasarkan atas riwayat
lengkap kejadian dan pemeriksaan trauma. Jika terdapat luka terbuka didekat
sendi, harus dianggap luka ini berhubungan dengan alat masuk kedalam sendi
dan konsultasi bedah harus dikerjakan. Tidak boleh memasukkan zat warna atau
cairan untuk membuktikan rongga sendi berhubungan dengan luka atau tidak.
Cara terbaik membuktikan hubungan luka terbuka dengan sendi adalah eksplorasi
bedah dan pembersihan luka (ATLS, 2004) .
29
Adanya patah tulang atau trauma sendi terbuka harus segera dapat
dikenali. Setelah deskripsi luka atau trauma jaringan lunak serta menentukan ada
atau tidaknya gangguan sirkulasi atau trauma syaraf maka segera dilakukan
imobilisasi (ATLS, 2004).
2) Trauma vaskuler termasuk amputasi traumatika
Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat insufisiensi vaskuler yang
menyertai trauma tumpul, remuk, trauma tembus ekstremitas. Pada mulanya
ekstremitas mungkin masih tampak hidup karena sirkulasi kolateral yang
mencukupi aliran secara retrograd. Trauma vaskuler parsial menyebabkan
ekstremitas bagian distal dingin, pengisian kapiler lambat, pulsasi melemah.
Aliran yang terputus menyebabkan ekstremitas dingin, pucat, dan nadi tak teraba
(ATLS, 2004).
Ekstremitas yang avaskuler secara akut harus segera dapat dikenal dan
ditangani segera. Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah lebih dari 6 jam dan
nekrosis akan segera terjadi. Saraf juga sangat sensitive terhadap keadaan tanpa
oksigen. Operasi revaskularisasi segera diperlukan untuk mengembalikan aliran
darah pada ekstremitas distal yang terganggu. Jika gangguan vaskularisasi di
sertai fraktur, harus dikoreksi segera dengan meluruskan dan memasang bidai
(ATLS, 2004).
Jika terdapat gangguan vaskuler ekstremitas trauma setelah dipasang bidai
atau gips, tanda-tandanya adalah menghilangnya atau melemahnya pulsasi. Bidai,
gips dan balutan yang menekan harus dilepaskan dan vaskularisasi dievaluasi
(ATLS, 2004).
3) Sindroma Kompartemen
Sindroma kompartemen akan ditemukan pada tempat dimana otot dibatasi
oleh rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga berfungsi sebagi
lapisan penahan. Daerah yang sering terkena adalah tungkai bawah, lengan
bawah, tangan, dan paha. Sindroma kompartemen terjadi bila tekanan diruang
osteofasial menimbulkan iskemia dan berikutnya nekrosis. Iskemia dapat terjadi
karena peningkatan isi kompartemen akibat udema yang timbul akibat
30
revaskularisasi sekunder dari ekstremitas yang iskemi, atau karena penurunan isi
kompartemen yang disebabkan tekanan dari luar misalnya dari balutan yang
menekan (ATLS, 2004).
Gejala dan tanda sindroma kompartemen adalah nyeri bertambah dan
khususnya meningkat dengan gerakan pasif yang meregangkan otot, parestesi di
daerah distribusi saraf ferifer yang terkena, menurunnya sensasi atau hilangnya
fungsi dari saraf yang melewati kompartemen tersebut, tegang serta bengkak di
daerah tersebut. Pulsasi di daerah distal biasanya masih teraba. Kelumpuhan atau
parase otot dan hilanngnya pulsasi (disebabkan oleh tekanan kompartemen
melebihi tekanan sitolik) merupakan tindak lanjut dari sindroma kompartemen
(ATLS, 2004).
Penatalaksanaannya yaitu dibuka semua balutan yang menekan gips dan
bidai. Penderita harus diawasi dan diperiksa setiap 30 sampai 60 menit. Jika tidak
terdapat perbaikan, fasciotomi diperlukan. Sindroma kompartemen merupakan
keadaan yang ditentukan oleh waktu. Jika terlambat melakukan fasiotomi
menimbulkan mioglobinemia, yang dapat menimbulkan menurunnya fungsi ginjal
(ATLS, 2004).
4) Trauma Neurologi akibat fraktur-dislokasi
Fraktur atau dislokasi dapat menyebabkan trauma saraf yang disebabkan
hubungan anatomi atau dekatnya posisis saraf dengan persendian, misalnya
nervus iskhiadikus dapat tertekan oleh dislokasi posterior sendi panggul atau
nervus aksillaris oleh dislokasi posterior sendi bahu. Kembalinya fungsi hanya
akan optimal bila keadaan ini diketahui dan ditangani secara cepat (ATLS, 2004).
Pada pemeriksaan biasanya akan didapatkan depormitas dari ekstremitas.
Pemeriksaan fungsi saraf memerlukan kerja sama penderita, setiap saraf ferifer
yang besar di periksa fungsi motorik dan sensorik (ATLS, 2004).
Ekstremitas yang cedera harus segera di immobilisasi dalam posisi
dislokasi dan konsultasi bedah segera dikerjakan. Jika terdapat indikasi dan dokter
yang menangani mempunyai kemampuan reposisi dapat dicoba secara berhati-hati
setelah reposisi (ATLS, 2004).
5) Kontusio dan laserasi
31
Kontusio dan laserasi sederhana harus diperiksa untuk menyingkirkan
trauma vaskuler dan saraf. Secara umum laserasi memerlukan penutupan luka. Jika
laserasi meluas sampai dibawah fasia, perlu intervensi operasi untuk
membersihkan luka dan memeriksa struktur-struktur dibawahnya yang rusak.
Kontusio umumnya dikenal karena ada nyeri dan penurunan fungsi. Palpasi
menunjukkan adanya pembengkakan lokal dan nyeri tekan. Penderita tidak dapat
mempergunakan ootot itu dan terjadi penurunan fungsi karena nyeri (ATLS, 2004).
Kontusio diobati dengan istirahat dan pemakaian kompres dingin pada
fase awal. Hati-hati akan luka kecil terutama akibat crush injury, jika ekstremitas
menderita beban sangat besar dan sangat perlahan, vaskularisasi akan terganggu
dan kerusakan otot akan terjadi walaupun ditemukan luka yang hanya kecil saja.
(ATLS, 2004)
2.6.4 Komplikasi Trauma Ekstremitas
Komplikasi yang dapat ditimbulkan yaitu apabila tidak ditangani dengan
segera maka akan menimbulkan kerusakan yang permanen. Selain itu juga dapat
menyebabkan adanya kemungkinan infeksi (Usman, 2013).
2.6.5 Prognosis Trauma Ekstremitas
Prognosis pada kasus trauma ekstremitas yaitu tergantung berat ringannya
trauma dan tatalaksana yang diberikan. Jika ditatalaksana dengan baik dan tepat
maka prognosisnya akan baik pula (dubia ad bonam) (Usman, 2013).
2.7. Trauma Pelvis
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan
jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun
terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien
dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang
mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis.
Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur
32
pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis
berkekuatan-tinggi rangkaian besar (Hak,2009).
Perdarahan sehubungan fraktur pelvis menuntut evaluasi yang efisien dan
intervensi yang cepat. Evaluasi dan perawatan pasien dengan fraktur pelvis
membutuhkan sebuah pendekatan multidisiplin. Meskipun ahli trauma bedah
umum pada akhirnya mengarahkan pengobatan seseorang dengan cedera multipel,
penting bagi pasien dengan fraktur pelvis agar ahli bedah ortopedi ikut terlibat
dalam setiap fase pengobatan, termasuk resusitasi primer. Penilaian dini oleh ahli
bedah ortopedi yang mengenal pola fraktur pelvis memudahkan tim pengobatan
untuk membangun diagnosa dan prioritas pengobatan, dan mempercepat
pembentukan manuver penyelamatan-hidup. Sebuah pemahaman seksama
terhadap sumber perdarahan potensial dan kesadaran akan pilihan pengobatan
adalah penting bagi semua dokter yang terlibat (Hak,2009).
2.8 Pasca Trauma ( Rehabilitasi, Gejala Sisa, Dampak, Psikologi,
Pengobatan)
2.8.1 Trauma kepala
A. Gejala sisa
Kecacatan post trauma kapitis yang sering ditemukan adalah gangguan
kortikal luhur. Pemeriksaan kortikal luhur sering tidak dilakukan karena
belum didasari adanya gangguan fungsi kortikal luhur ini. Padahal banyak
gejala sisa berupa gangguan kortikal luhur ini yang dapat menurunkan
kualitas hidup post trauma kapitis. Cedera kepala dapat menimbulkan
berbagai sequelae jangka pendek maupun jangka panjang meliputi
gangguan kognitif, behavioral, dan keterbatasan fisik. Berbagai gejala
dapat dijumpai mulai dari yang tidak jelas terlihat sampai gangguan
intelektual dan emosional berat. Gejala neuropsikiatri yang berhubungan
dengan cedera kapitis meliputi gangguan kognitif, gangguan mood,
anxiety, psikosis,atensi, bahasadan gangguan behavioral (Zainuddin dkk,
2014).
B. Rehabilitasi
33
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi
psikologis dan sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada
lengan atas dan bawah tubuh.
b. Perlengkapan splint dan kaliper
c. Transplantasi tendon
2.Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya
dan memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya.
Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari
ketidakpastian financial, social serta seksual yang semuanya
memerlukan semangat hidup.
3.Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,
perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur
sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan
masyarakat) ( Nasution, 2010).
BAB III
METODE PELAKSANAAN
34
3.1. Tempat Pelaksanaan
Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
3.2. Waktu Pelaksanaan
Hari dan Tanggal : , September 2014.
3.3. Subjek Tugas Mandiri
Mengunjungi pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang.
3.4. Instrumen Kegiatan
Instrumen kegiatan merupakan peralatan untuk mendapatkan data sesuai
dengan tujuan kegiatan. Dalam kegiatan ini peralatan yang digunakan untuk
pengambilan data beserta pendukungnya adalah:
1. Alat Tulis
Alat tulis digunakan untuk mencatat hasil ekplorasi kasus
trauma/pascatrauma di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
2. Kamera handpone
Kamera digunakan untuk dokumentasi, yakni sebagai bukti bahwa
mahasiswa telah melaksanakan tugas pengenalan profesi.
3. Komputer/Laptop
Komputer / Laptop digunakan sebagai sarana pembuatan proposal dan
laporan akhir kegiatan.
3.5 Langkah Kerja
3.5.1. Membuat proposal
3.5.2. Melakukan konsultasi kepada pembimbing Tugas Pengenalan Profesi
(TPP).
3.5.3. Meminta izin kepada penderita untuk melakukan Tugas Pengenalan Profesi
(TPP).
35
3.5.4. Mengeksplorasi pasien trauma/pasca trauma di Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang.
3.5.5. Mengumpulkan hasil kerja lapangan untuk mendapatkan suatu kesimpulan.
3.5.6. Membuat laporan hasil Tugas Pengenalan Profesi (TPP) dari data yang
sudah didapat
3.6. Pengumpulan data
Melakukan eksplorasi dan kunjungan pasien trauma/pasca trauma di
Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
3.7. Pengolahan data
Analisis deskriptif yaitu pengolahan data yang dilakukan dengan cara
membandingkan teori dan data di lapangan.
3.8 Jadwal Kegiatan
Pada tabel dibawah ini dapat dilihat jadwal pelaksanaan tugas pengenalan
profesi Blok XX .
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan TPP
No Jenis Kegiatan (Blok XX)
Minggu I Minggu II Minggu III
1. Penyusunan proposal
2. Observasi
3. Pembahasan
4. Penyusunan Laporan
5. Pleno
Palembang, September 2014
Pembimbing
36
dr. Milla Fadliya Bustan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
37
Identitas Pasien :
Nama Riko Iskandar
Jenis kelamin Laki-laki
Usia 25 Tahun
Alamat Sekayu
Pekerjaan Buruh Giling sawit
Observasi Mahasiswa TTP
Patofisiologi trauma Pasien mengiling sawit pukul 01.30
dikarenakan posisi mengantuk lengan
tangan kanan ikut tergiling mesin.
Paien dibawa jam 4 pagi, pada hari
kamis, 11 september 2014 dibawa ke
RS Sekayu.
Manifestasi Klinis Pemeriksaan Primer (primary survey) :
tidak didapatkan data
Pemeriksaan sekunder (secondary
survey) : tidak didapatkan data
Berdasarkan hasil anamnesis yang
didapat, pasien datang, kemudian dibius
dan dijahit lengan kanannya di RS
Sekayu kemudian di rujuk ke RS
Bhayangkara.
Pemeriksaan fisik di RS Bhayangkara Palembang
Pre operasi
Keadaan umum Compos mentis
Tanda Vital Tidak ada data
Kepala Tidak ada kelainan
Leher Tidak ada kelainan
Thoraks Tidak ada kelainan
Abdomen Tidak ada kelainan
Ekstremitas superior dextra Bengkak, nyeri, jari-jari tangan tidak
38
bisa fleksi/ tidak bisa digerakkan
Data tambahan Rontgen ekstremitas superior dextra
pada dorsum manus pre operasi :
Fraktur metaphalanges dextra
Post operasi
Kepala Tidak ada kelainan
Leher Tidak ada kelainan
Thoraks Tidak ada kelainan
Abdomen Tidak ada kelainan
Ekstremitas superior dextra Kempat Jari-jari tangan tidak bisa
diangkat hanya jari jempol yang bisa
diangkat.
Data tambahan Rontgen ekstremitas superior dextra
pada dorsum manus post operasi : Open
reduksi Metaphalanges
Working Diagnosis Pre operasi: Fraktur Metaphalanges
dextra
Post operasi: open reduksi
Metaphalanges
Penatalaksanaan
Di PT Pabrik penggilingan sawit Lengan tangan dibalut dengan
menggunakan Baju, pukul 4 pagi di
bawa ke RS Sekayu.
Di Rumah sakit Sekayu Pasien datang kamis 11 september 2014
pukul 4 pagi, dilakukan rontgen
ekstremitas superior dextra pada
dorsum manus: Fraktur metaphalanges
dextra, dilakukan pembiusan dan luka
dijahit sementara.
Pasien langsung ditujuk ke RS
Bhayangkara untuk dilakukan operasi.
39
Di Rumah sakit Bhayangkara Preoperasi : pasien dirawat
direncanakan tindakan operasi
Post operasi : Dipasang Pembalutan dan
sudah dilepas 2 minggu pasca operasi.
Pasien diberikan obat-obatan
1. Asam mefenamat 500 mg
2. Vitamin
dan nasehat untuk menggerakkan
secara rutin tanpa berat, kemudian
bekas operasi jangan terkena air 2-3
hari.
Komplikasi Komplikasi yang mungkin dapat
ditimbulkan pada kasus ini yaitu dapat
menyebabkan adanya kemungkinan
infeksi karena menunggu luka kering 2-
3 hari.
Prognosis Prognosis untuk kasus ini yaitu dubia ad
bonam. Fungsional 6-8 minggu.
4.2 Pembahasan
Pada observasi TPP yang dilakukan pada kelompok 6, kami melakukan
observasi pada pasien fraktrur dengan identitas pasien sebagai berikut: Riko
Iskandar (LK), 25 tahun asal sekayu yang bekerja sebagai buruh giling sawit.
40
Berdasarkan hasil anamnesis yang dilakukan didapatkan pasien mengalami
trauma pada ekstremitas dexrra dengan patofisologi trauma sebagai berikut :
Pasien mengiling sawit pukul 01.30 dikarenakan posisi mengantuk lengan tangan
kanan ikut tergiling mesin. Berdasarkan teori trauma tenaga fisik atau tenaga fisik
biasanya menyebabkan fraktur atau lebih dikenal dengan istilah patah tulang
(Sylvia A.Prince, 1999).
Berdasarkan hasil anamnesis yang didapat, pasien datang, di RS Sekayu
pada pukul 04.00 dengan kondisi lengan dibungkus baju kemudian dibius dan
dijahit lengan kanannya kemudian di rujuk ke RS Bhayangkara. Dari manifestasi
klinis yang didapatkan pada pemeriksaan di RS Bhayangkara pasien mengeluh
Bengkak, nyeri, jari-jari tangan tidak bisa fleksi/ tidak bisa digerakkan.
Berdasarkan teori yang didapatkan manifestasi klinis fraktur adalah nyeri,
hilangnya fungsi dan deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,
pembengkakan lokal dan perubahan warna (Smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur
menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk.
Dari data tambahan yang di dapatkan : Rontgen ekstremitas superior
dextra pada dorsum manus pre operasi : Fraktur metaphalanges dextra, Post
operasi: open reduksi Metaphalanges. Berdasarkan teori untuk klasifikasi fraktur
yang dialami pada kasus ini merupakan fraktur traumatik, terjadi karena trauma
yang tiba-tiba mengenai tulang dengan kekuatan yang besar dan tulang tidak
mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah. kemudian secara umum
fraktur ini dapat diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka (compound fraktur).
Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengn dunia luar
melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari
dalam), atau from without (dari luar). dari hasil rontgen post operasi sudah
dilakukan reduksi Metaphalanges
Tatalaksana yang diberikan di RS Bhayangkara adalah Preoperasi : pasien
dirawat direncanakan tindakan operasi, Post operasi : Dipasang pembalutan dan
sudah dilepas 2 minggu pasca operasi. kemudian asien diberikan obat-obatan :
Asam mefenamat 500 mg, Vitamin dan nasehat untuk menggerakkan secara rutin
tanpa berat, kemudian bekas operasi jangan terkena air 2-3 hari.
41
Berdasarkan teori prinsip penanganan dan pengobatan fraktur meliputi
reduksi, imobilisasi dan pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengn
rehabilitasi (smeltzer,2002). Reduksi fraktur berarti mengembalikan fungsi
fragmen tulang pada sejajarnya dan rotasi anatomis. Tahap selanjutnya setelah
fraktur direduksi adalah mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai teradi penyatuan. imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi interna dan eksterna. , metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin da tekniks gips. sedangkan
implant logam digunakan untuk fiksasi interna.
Primer (primary survey) : tidak didapatkan data, pemeriksaan sekunder
(secondary survey) : tidak didapatkan data penatalaksanaan di RS sekayu.
Prinsip pengobatan fraktur
1) penatalaksanaan awal
a) pertolongan pertama
pada penderita fraktur penting dialkukan adalah pembersihan jalan nafas,
menutup luka dengan verban bersih dan imobilisasi fraktur pada anggota
gerak yang terkena agar penderita merasa nyaman dan mengurangi nyeri
sebelum diangkuat ambulans
b) penilaian klinis
sebelum menilai fraktir itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis,
apakah luka itu tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/saraf
apakah taruma alat-alat dalam yang lain.
c) resusistasi
kebanyakan penderita fraktur multipele tib di rumah sakit dengan syok,
sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada frakturnya
sendiri berupa pemberian transfusi darah dan cairan lainnya serta obat-
obatan nyeri.
pada kasus tidak mendapatkan data mengenai tatalaksanan awal yang
didapat dikarenakan pasien adalah pasien rujukan, berdasarkan anamesis
pertolongan yang didapat belum sesuai prosedur dimana pasien
mengimobilisasi sendiri fraktir dengan baju dan tidak langsung dibawa ke
42
rumah sakit, pada saat datang di rukmah sakit sekayu pertolongan pertama
yang diberikan yaitu pembiusan dan penjahitan luka dilokasi fraktur serta
pasien langsung dirujuk.
2) prinsip umum pengobatan fraktur
1) jangan membuat keadaan lebih jelek
2) pengobatan berdasarkan atas diagnostik dan prognosis yang akurat
3) seleksi pengobatan dengan tujuan khusus
Komplikasi yang mungkin dapat ditimbulkan pada kasus ini yaitu dapat
menyebabkan adanya kemungkinan infeksi karena menunggu luka kering 2-3
hari. berdasarkan teori komplikasi fraktur dapat terjadi dini yaitu dalam satu
minggu pasca trauma atau komplikasi lanjut kejadiannya sudah satu minggu pasca
trauma , pada komplikasi dini bisa terjadi pada tulang bisa menimbulkan infeksi
terutama pada fraktur terbuka, osteomielitis, pada jaringan lunak dan otot,
pembuluh darah, pada saraf, pada komplikasi lanjut bisa terjadi delay union
(proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan normal), non union
(secara radiologis tidak terjadi penyambungan), mal union( penyambungan fraktur
tidak normal), osteomielitis, kekakuan sendi (Solomon,1993). tetapi pada kasus
tidak tejadi komplikasi karena perawatan fraktur baik sampai luka kering.
Prognosis untuk kasus ini yaitu dubia ad bonam. berdasarkan teori
perkiraan penyembuhan fraktur pada orang dewasa di lokasi phalang 3-6 minggu
untuk waktu penyembuhannya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
43
5.1.1. Patofisologi trauma dapat diakibatkan tenaga fisik biasanya
menyebabkan fraktur, pada kasus patofisiologi trauma yang dialami
pada kasus adalah trauma pada lengan kanan diakibatkan ikut
tergiling mesin pengiling sawit yang menyebabkan fraktur
metaphalanges dextra, pada kasus merupakan klasifikasi fraktur
akibat trauma, dan fraktur terbuka
5.1.2. Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit,
pembengkakan, dan kelainan bentuk , pada kasus manifestasi klinis
yaitu kesadaran compos mentis dan pada ekstermitas superior dextra
tidak bisa fleksi, bengkak, serta terdapat nyeri tekan.
5.1.3. Pada Fraktur dapat dilakukan pemeriksaan penunjang, pemeriksaan
penunjang yang dilakukan pada yaitu rontgen ekstremitas superior
dextra pada dorsum manus terdapat fraktur pada metaphalanges
dextra /open reduksi metaphalanges.
5.1.4. Penatalaksanaan yang dilakukan dalam kasus yaitu dilakukan tindakan
operasi dan terapi farmakologis.
5.1.5. Fraktur dapat menimbulkan kompikasi pada kasus tidak ditemukan
adanya tanda komplikasi akibat fraktur.
5.1.6. Prognosis pada fraktur tergantung pada tatalaksana yang dilakukan,
Prognosis untuk kasus yaitu dubia ad bonam dengan massa
penyebuhan fisiologis 3-6 minggu
5.2. Saran
5.2.1 Bagi Mahasiswa
Disarankan untuk memahami landasan teori sehingga mempermudah dalam
melakukan observasi
5.2.1 Bagi Pekerja Pabrik
44
Disarankan untuk senantiasa menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) dan
berhati-hati dalam bekerja agar kecelakaan akibat kerja dapat
diminimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Cedera kepala. diakses 20 september 2014.
Anonim. 2013. Trauma Kepala. Medan : Universitas Sumatera Utara. diakses 20
september 2014.
45
American College of Surgeons Commite On Trauma 2004. ATLS 7th edition ; 4.
diakses 20 september 2014.
Asrini. 2008. Trauma Kapitis. Medan : Universitas Sumatera Utara. diakses 20
september 2014.
Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit, Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.
BPS,2011,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40343/5/Chapter
%20I.pdf, diakses 20 september 2014.
David, j. Hak. 2009. Manajemen perdarahan pada fraktur pelvis yang mengancam
jiwa. Jakarta, Indonesia.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta.
Gadetal,2012,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40343/5/Chapter
%20I.pdf, diakses 20 september 2014.
Harsono. 2005. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Henderson, Sean O. 2006. Kedokteran Emergensi : Trauma. EGC. Jakarta.
Indonesia. Hal 509-514.
Lindsay, Kenneth. 1997. Section IV localised Neurological Disease and Its
management A Intracranial “Head Injury” Neurology and
Neurosurgery Illustrated, Third Edition. Churcil Livingston. Diakses
pada 20 September 2013.
Maegel,2010,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40343/5/Chapter
%20I.pdf, diakses 20 september 2014.
Nasrul Effendi, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.
Nasution, E.S.2010.(http://repository.usu.ac.id diakses 20 September 2014).
Noname,2014,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33107/5/Chapter
%20I.pdf, diakses 9 oktober 2014.
46
Primary care foundation, 2011,
http://www.primarytraumacare.org/wp-content/uploads/2011/09/PTC_IN
DO.pdf , Diakses pada 20 September 2013.
Rasjad C,2003 Rasjad. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Orthopaedi, Trauma, 12th
Edition. Makassar : Bintang Lamupatue.
Reeves(2001),http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/3keperawatanpdf/207312089/
bab2.pdf, diakses 9 oktober 2014.
R, Salter. 1999. Text Book of Disorders and Injuries. Baltimore, Maryland, United
States of
America.,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33107/5/Chapter
%20I.pdf,diakses 20 september 2014.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth
Ed.8 Vol.3. EGC : Jakarta.
SylviaA.Prince,1999,http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/3keperawatanpdf/
207312089/bab2.pdf, diakses 9 oktober 2014.
Smeltzer,2002),http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/3keperawatanpdf/
207312089/bab2.pdf, diakses 9 oktober 2014.
Snell, Richard. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.
Jakarta : EGC.
Udeani,2013,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40343/5/Chapter
%20I.pdf, diakses 20 september 2014
Usman. 2013. Trauma ekstremitas. Diakses pada 23 Oktober 2013.
Zainuddin, S. Z., L, Kwandou, M, Akbar. A. Muis., C, Kaelan., I.J., Ganda.
2014.Hubungan amnesia post trauma kepala dengan Gangguan
neurobehavior pada Penderita cedera kepala ringan dan Sedang
(http://repository.unhas.ac.id diakses 20 September 2014).
Lampiran
47