Download - Traumatologi Sken 1
Traumatologi ForensikTraumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta hubungannya
dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), sedangkan yang dimaksudkan dengan luka adalah suatu
keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan.
Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas kekerasan yang bersifat:
Mekanik:
Kekerasan oleh benda tajam
Kekerasan oleh benda tumpul
Tembakan senjata api
Fisik:
Suhu
Listrik dan petir
Perubahan tekanan udara
Akustik
Radiasi
Kimia:
Asam atau basa kuat
Luka akibat Kekerasan Benda Tumpul
Benda-benda yang dapat mengakibatkan luka dengan sifat luka seperti ini adalah benda
yang memiliki permukaan tumpul. Luka yang terjadi dapat berupa memar (kontusio, hematom),
luka lecet (ekskoriasi, abrasi) dan luka terbuka/robek (vulnus laseratum).
Memar adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kulit/kutis akibat pecahnya kapiler
dan vena, yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul. Luka memar kadangkala memberi
petunjuk tentang bentuk benda penyebabnya, misalnya jejas ban yang sebenarnya adalah suatu
perdarahan tepi (marginal haemorrhage).
Letak, bentuk, dan luas luka memar dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti besarnya
kekerasan, jenis benda penyebab (karet, kayu, besi), kondisi dan jenis jaringan (jaringan ikat
longgar, jaringan lemak), usia, jenis kelamin, corak, dan warna kulit, kerapuhan pembuluh darah,
penyakit (hipertensi, penyakit kardio vaskular, diatesis hemoragik).
Pada bayi, hematom cenderung lebih mudah terjadi karena sifat kulit yang longgar dan
masih tipisnya jaringan lemak subkutan, demikian pula pada usia lanjut sehubungan dengan
menipisnya jaringan lemak subkutan dan pembuluh darah yang kurang terlindung.
Akibat gravitasi, lokasi hematom mungkin terletak jauh dari letak benturan, misalnya
kekerasan benda tumpul pada dahi menimbulkan hematom palpebra atau kekerasan benda
tumpul pada paha dengan patah tulang pada menimbulkan hematom pada sisi luar tungkai
bawah.
Umur luka memar secara kasar dapat diperkirakan melalui perubahan warnanya. Pada
saat timbul, memar berwarna merah, kemudian berubah menjadi ungu atau hitam, setelah 4
sampai 5 hari akan berwarna hijau yang kemudian akan berubah menjadi kuning dalam 7 sampai
10 hari, dan akhirnya menghilang dalam 14 sampai 15 hari. Perubahan warna tersebut
berlangsung mulai dari tepi dan waktunya dapat bervariasi tergantung derajat dan berbagai faktor
yang mempengaruhinya.
Dari sudut pandang medikolegal, interpretasi luka memar dapat merupakan hal yang
penting, apalagi bila luka memar tersebut disertai luka lecet atau laserasi. Dengan perjalanan
waktu, baik pada orang hidup maupun mati, luka memar akan memberi gambaran yang makin
jelas.
Hematom ante-mortem yang timbul beberapa saat sebelum kematian biasanya akan
menunjukkan pembengkakan dan infiltrasi darah dalam jaringan sehingga dapat dibedakan dari
lebam mayat dengan cara melakukan penyayatan kulit. Pada lebam mayat (hipostasis pascamati)
darah akan mengalir keluar dari pembuluh darah yang tersayat sehingga bila dialiri air,
penampang sayatan akan tampak bersih, sedangkan pada hematom penampang sayatantetap
berwarna merah kehitaman. Tetapi harus diingat bahwa pada pembusukan juga terjadi
ekstravasasi darah yang dapat mengacaukan pemeriksaan ini.
Luka kecet terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan benda yang
memiliki permukaan kasar atau runcing, misalnya pada kejadian kecelakaan lalu lintas, tubuh
terbentur aspal jalan, atau sebaliknya benda tersebut yang bergerak dan bersentuhan dengan
kulit.
Manfaat interpretasi luka lecet ditinjau dari aspek medikolegal seringkali diremehkan,
padahal pemeriksaan luka lecet yang teliti disertai pemeriksaan di TKP dapat mengungkapkan
peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Kekerasan tumpul yang cukup kuat dapat menyebabkan patah tulang. Bila terdapat lebih
dari satu garis patah tulang yang saling bersinggungan maka garis patah yang terjadi belakangan
akan berhenti pada garis patah yang telah terjadi sebelumnya. Patah tulang jenis impresi terjadi
akibat kekerasan benda tumpul pada tulang dengan luas persinggungan yang kecil dan dapat
memberikan gambaran bentuk benda penyebabnya.
Pada cedera kepala, tulang tengkorak yang tidak terlindung oleh kulit hanya mampu
menahan benturan sampai 40 pound/inch2, tetapi bila terlindung oleh kulit maka dapat menahan
sampai 425 900 pound/inch2. Selain kelainan pada kulit kepala dan patah tulang tengkorak,
cedera kepala dapat pula mengakibatkan epidural, subdural, dan subarakhnoid, kerusakan selaput
otak dan jaringan otak.
Perdarahan epidural sering terjadi pada usia dewasa sampai usia pertengahan dan sering
dijumpai pada kekerasan benda tumpul di daerah pelipis (kurang lebih 50%) dan belakang kepala
(10-15%), akibat garis patah yang melewati sulcus arteria meningea, tetapi perdarahan epidural
tidak selalu disertai patah tulang.
Perdarahan subdural terjadi karena robeknya sinus, vena jembatan (bridging vein), arteri
basilaris atau berasal dari perdarahan subarakhnoid.
Perdarahan subarakhnoid biasanya berasal dari fokus kontusio/laserasi jaringan otak.
Perlu diingat bahwa perdarahan ini juga dapat terjadi spontan pada sengatan matahari (heat
stroke), leukimia, tumor, keracunan CO dan penyakit infeksi tertentu.
Lesi otak tidak selalu terjadi hanya pada benturan (coup) tetapi dapat terjadi di seberang
titik benturan (countre coup) atau di antara keduanya (intermediate lesion). Lesi contre coup
terjadi karena adanya liquor yang mengakibatkan terjadinya pergerakan otak saat terjadinya
benturan, sehingga pada sisi kontra lateral terjadi gaya positif akibat akselerasi, dorongan liquor
dan tekanan oleh tulang yang mengalami deformitas. Penelitian lain menyatakan contre coup
terjadi karena adanya deformitas tulang tengkorak yang dapat menimbulkan tekanan negatif pada
sisi kontralateral. Cedera kontralateral terjadi bila tekanan negatif yang tejadi minimal 1 ata
(atmosfir absolut). Kontusio biasanya terjadi bila ada kekerasan paling tidak sebesar 250 g gaya
gravitasi.
Cedera leher (whiplash injury) dapat terjadi pada penumpang kendaraan yang ditabrak
dari belakang. Penumpang akan mengalami percepatan mendadak sehingga terjadi hiperekstensi
kepala yang disusul dengan hiperefleksi. Cedera terutama terjadi pada ruas tulang leher keempat
dan lima yang membahayakan sumsum tulang belakang. Kerusakan pada medula oblongata
dapat berakibat fatal. Timbulnya cedera leher ini juga dipengaruhi oleh bentuk sandaran tempat
duduk dan kelengahan korban. Kasus kematian akibat kekerasan tumpul terbanyak ditemukan
pada kecelakaan lalu lintas, sedangkan pada pembunuhan hanya 15,6% (1984), 17,5 (1983),
17,2% (1982).
Luka akibat Trauma Listrik
Faktor yang berperan pada cedera listrik ialah tegangan (Volt), kuat arus (ampere),
tahanan kulit (ohm) luas dan lama kontak.
Tegangan rendah (<65 V) biasanya tidak berbahaya bagi manusia, tetapi tegangan sedang
(65-1000 V) dapat mematikan. Banyaknya arus listrik yang mengalir menuju tubuh manusia
menentukan juga fatalitas seseorang. Makin besar arus, makin berbahaya bagi kelangsungan
hidup.
Selain faktor faktor kuat arus, tahanan dan lama kontak, hal lain yang penting
diperhatikan adalah luas permukaan kontak. Suatu permukaan kontak seluas 50 cm persegi
(kurang lebih selebar telapak tangan) dapat mematikan tanpa menimbulkan jejas listrik, karena
pada kuat arus letal (100mA), kepadatan arus pada daerah selebar telapak tangan tersebut hanya
2 mA/cm persegi, yang tidak cukup besar untuk menimbulkan jejas listrik.
Kuat arus yang masih memungkinkan bagi tangan yang memegangnya melepaskan diri
disebut let go current yang besarnya berbeda-beda untuk setiap individu.
Gambaran makroskopis jejas listrik pada daerah kontak berupa kerusakan lapisan tanduk
kulit sebagai luka bakar dengan tepi yang menonjol, di sekitarnya terdapat daerah yang pucat
dikelilingi oleh kulit yang hiperemi. Bentuknya sering sesuai dengan benda penyebabnya.
Metalisasi dapat juga ditemukan pada jejas listrik.
Sesuai dengan mekanisme terjadinya, gambaran sesuai jejas listrik secara makroskopik
juga bisa timbul akibat persentuhan kulit dengan benda/logam panas (membara). Walaupun
demikian keduanya dapat dibedakan dengan pemeriksaan mikroskopis.
Jejas listrik bukanlah tanda intravital karena dapat juga ditimbulkan pada kulit
mayat/pasca mati (namun tanpa daerah hiperemi). Kematian dapat terjadi karena fibrilasi
ventrikel, kelumpuhan otot pernapasan dan kelumpuhan pusat pernapasan.
Kematian Akibat Asfiksia Mekanik
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara
pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan
karbon dioksida (hiperkapnea). dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen
(hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan disebabkan oleh hal berikut :
1. penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti laringitis
difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2. trauma mekanik yang menyebabkab asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan
emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran
napas dan sebagainya.
3.keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan misalnya barbiturat, narkotika.
Asfiksia Mekanik
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yabg terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki
saluran napas oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), misalnya :
Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas :
Pembekapan (smothering)
Penyumbatan (gagging and choking)
Penekanan dinding saluran pernapasan :
Penjeratan (strangulation)
Pencekikan (manual strangulation, throttling)
Gantung (hanging)
Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)
Saluran pernapasan terisi air (tenggelam , drowning)
Karena mekanisme kematian pada kasus tenggelam bukan murni disebabkan oleh
asfiksia, maka ada sementara ahli yang tidak lagi memasukkan tenggelam ke dalam kelompok
asfiksia mekanik, tetapi dibicarakan tersendiri.
Pada orang yang mengalami asfiksia akab timbul gejala yang dapat disebabkan dalam 4 fase,
yaitu:
1.Fase dipnea
Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam plasma akan
merangsang pusat pernapasan di medula oblongata, sehingga amplitudo dan frekuensi
pernapasan akan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi, dan mulai tampak tanda-tanda
sianosis terutama pada muka dan tangan.
2. fase konvulsi
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf pusat
sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi kemudian
menjadi kejang tonik, dan akhirnya timbul spasme opistotonik.
Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini
berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat kekurangan O2.
3.fase apnea
Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernapasan melemah dan dapat berhenti.
Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin
dan tinja.
4.fase akhir
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah kontraksi
otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah
pernapasan berhenti.
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya
berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung lebih kurang 3-4 menit, tergantung dari
tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-
tanda asfimsia akan lebih jelas dan lengkap.
Pemeriksaan Jenazah
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan
kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda
klasik pada kematian akibat asfiksia.
Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam
lebih luas akibat kadar CO2 yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah
sukar membeku dan mudah mengalir. Tingginya fibrinolisin inisangat berhubungan dengan
cepatnya proses kematian.
Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas
pernapasan pada fase I yang disertai sekresi selaput lender saluran napas bagian atas. Keluar
masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang
bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi
dan palpebra yang terjadi pada fase 2 akibat tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah
meningkat terutama dalan vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel
kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik
perdarahan yang dinamakan Tardieu’s spot.
Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada
konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.
Penulis lain mengatakan bahwa Tardieu’s spot ini timbul karena permeabilitas kapiler
yang meningkat akibat hipoksia.
Pemeriksaan Bedah Jenazah
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan:
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda klasik
pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam mayat
lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah
sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir.
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas
pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar
masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadangkadang
bercampur darah akibat pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada
jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-
kadang dijumpai pula di kulit wajah. Universitas Sumatera Utara
5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi dan
palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah
meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel
kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik
perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu’s spot.
Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat paska
kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat,
berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang jantung
belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars
diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal,
mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring langsung atau
tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid (pleksus vena
submukosa dengan dinding tipis).
Pembekapan (smothering)
Smothering (pembekapan) adalah penutupan lubang hidung dan mulut yang menghambat
pemasukan udara ke paru-paru. Pembekapan menimbulkan kematian akibat asfiksia.
Cara kematian yang berkaitan dengan pembekapan dapat berupa:
1.Bunuh diri (suicide)
Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin terjadi misalnya pada penderita
penyakit jiwa, orang tahanan dengan menggunakan gulungan kasur, bantal, pakaian yang
diikatkan menutupi hidung dan mulut.
2.Kecelakaan (accidental smothering)
Kecelakaan dapat terjadi misalnya pada bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya,
terutama bayi premature bila hidung dan mulut tertutup bantal atau selimut.
Anak-anak dan dewasa muda yang terkurung dalam suatu tempat yang sempit dengan
sedikit udara, misalnya terbekap dengan atau dalam kantung plastik.
Orang-orang dewasa yang terjatuh waktu bekerja atau pada penderita epilepsy yang
mendapat serangan dan terjatuh sehingga mulut dan hidung tertutup dengan pasir, gandum,
tepung dan sebagainya.
3.Pembunuhan (homicidal smothering)
Biasanya terjadi pada kasus pembunuhan anak sendiri. pada orang dewasa hanya terjadi
pada orang yang tidak berdaya seperti orang tua, orang sakit berat, orang dalam pengaruh obat
atau minuman keras.
Bila pembekaoan terjadi dengan benda yang lunak, maka pada pemeriksaan luar jenazah
mungkin tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Tanda kekerasan yang dapat ditemukan
tergantung dari jenis benda yang digunakan dan kekuatan menekan.
Kekerasan yang mungkin terdapat adalah luka lecet jenis tekan atau geser, goresan kuku
dan luka memar pada ujung hidung, bibir, pipi dan dagu yang mungkin terjadi akibat korban
melawan.
Luka memar atau luka lecet pada bagian atau permukaan dalam bibir akibat bibir yang
terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah. Luka memar atau lecet pada bagian belakang tubuh
korban.
Selanjutnya ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pada
pembedahan jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah kuku korban, adakah
darah atau epitel kulit si pelaku.
Gagging dan choking
Pada keadaan ini, terjadi sumbatan jalan napas oleh benda asing yang mengakibatkan
hambatan udara untuk masuk ke paru-paru.
Pada gagging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan pada choking sumbatan
terdapat lebih dalam pada laringofaring.
Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau reflex vagal akibat
rangsangan padareseptor nervus vagus di arkus laring, yang menimbulkan inhibisi kerja jantung
dengan akibat cardiac arrest dan kematian.
Kematian dapat terjadi sebagai akibat:
1.Bunuh diri (suicide)
Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk mmemasukkan benda asing ke dalam mulut
sendiri disebabkan adanya reflex batuk atau muntah. Umumnya korban adalah penderita sakit
mental atau tahanan.
2. Pembunuhan (homicidal choking)
Umumnya korban adalah bayi, orang dengan fisik lemah atau tidak berdaya.
3.Kecelakaan (accidental choking)
Pada bolus deathyang terjadi bila tertawa atau menangis saat makan, sehingga makanan
tersedak ke dalam saluran pernapasan. Mungkin pula terjadi akibat regurgitasi makanan yang
kemudian masuk ke dalam saluran pernapasan.
Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan
luar maupun pembedahan jenazah. Dalam rongga mulut (orofaring atau laringofaring) ditemukan
sumbatan berupa sapu tangan, kertas Koran, gigi palsu, bahkan pernah ditemukan arang, batu
dan sebagainya. Bila benda asing tidak ditemukan, dicari kemungkinan adanya tanda kekerasan
yang diakibatkan oleh benda asing.
Pencekikan (manual strangulation)
Pencekikan adalah penekanan leher dengan tangan, yang menyebabkan dinding saluran
napas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitansaluran napas sehingga udara pernapasan
tidak dapat lewat.
Mekanisme kematian pada pencekikan adalah:
1.asfiksia
2.refleks vagal, terjadi sebagai akibat rangsangan pada reseptor vagus pada corpus caroticus
(carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan eksterna. Reflex vagal ini jarang sekali
terjadi.
Pada pemeriksaan jenazah ditemukan perbendungan pada muka dan kepala karena turut
tertekan pembuluh darah vena dan arteri yang superficial, sedangkan arteri vertebralis tidak
terganggu.
Tanda-tanda kekerasan pada leher ditemukan dengan distribusi berbeda-beda, tergantung
pada cara mencekik: luka-luka lecet pada kulit, berupa luka lacet kecil, dangkal, berbentuk bulan
sabit akibat penekanan kuku jari.
Luka-luka memar pada kulit, bekas tekanan jari, merupakan petunjuk berharga untuk
menentukan bagaimana posisi tangan pada saat mencekik. Akan menyulitkan bila terdapat
memar subkutan luas, sedangkan pada permukaan kulit hanya tampak memar berbintik.
Memar atau perdarahan pada otot-otot bagian dalam leher, dapat terjadi akibat kekerasan
langsung. Perdarahan pada otot sternokleido-mastoideus dapat disebabkan oleh kontraksi yang
kuat pada otot tersebut saat korban melawan.
Fraktur pada tulang lidah (os hyoid) dan kornu superior rawan gondok yang unilateral
lebih sering terjadi pada pencekikan, namun semuanya tergantung pada besar tenaga yang
dipergunakan saat pencekikan. Patah tulang lidah kadang-kadang merupakan satu-satunya hukti
adanya kekerasan, bila mayat sudah lama dikubur sebelum diperiksa.
Pada pemeriksaan jenazah, bila mekanisme kematian adalah asfiksia, maka akan
digtemukan tanda-tanda asfiksia. Tetapi bila mekanisme adalah refleks vagal,yang menyebabkan
jantung tiba-tiba berhenti berdenyut, sehingga tidak ada tekanan intravascular untuk dapat
mnimbulkan perbendungan, tidak ada perdarahan petekial, tidak ada edema pulmonary dan pada
otot-otot leher bagian dalam hampir tidak ditemukan perdarahan. Diagnosis kematian akibat
refleks vagal hanya dapat dibuat pereksklusionam.
Penjeratan (strangulation)
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, kawat,
kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin lama makin kuat,
sehingga saluran nafas tertutup. Berbeda dengan gantung diri yang biasanya merupakan kasus
bunuh diri, maka penjeratan biasanya adalah kasus pembunuhan.
Pada peristiwa gantung, kekuatan jeratnya berasal dari berat tubuhnya, maka pada jeratan
dengan tali kekuatan jeratnya berasal dari tarikan pada kedua ujungnya. Dengan kekuatan
tersebut, pembuluh darah balik atau jalan nafas dapat tersumbat. Tali yang dipakai sering
disilangkan dan sering dijumpai adanya simpul. Jeratan pada bagian depan leher hampir selalu
melewati membran yang menghubungkan tulang rawan hyoid dan tulang rawan thyroid.
►Mekanisme kematian
Ada 3 mekanisme kematian pada jerat , yaitu :
1. Asfiksia
Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan penyebab kematian yang
paling sering.
2. Iskemia Serebral
Iskemia serebral disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri (oklusi
arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak. Gambar dibawah
menunjukkan gambaran rontgen pada wanita yang berupaya bunuh diri dengan gantung.
3. Syok Vasovagal
Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang menyebabkan henti
jantung.
►Cara kematian pada kasus jerat
Cara kematian pada kasus jerat diantaranya adalah:
1. Pembunuhan (paling sering).
Pembunuhan pada kasus jeratan (strangulation by ligature) dapat kita jumpai pada
kejadianinfanticide dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat, dan
hukuman mati(zaman dahulu).
2. Kecelakaan
Kecelakaan pada kasus jeratan (strangulation by ligature) dapat kita temukan pada bayi
yangterjerat oleh tali pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal reflex
menjadi penyebab kematian pada orang yang bersenda gurau
3. Bunuh diri
Bunuh diri pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mereka lakukan dengan cara
melilitkan tali secara berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik.
Antara jeratan dan leher mereka masukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat tersebut
►Gambaran Post Mortem Penjeratan
1. Pemeriksaan Luar Jenazah
Pada pemeriksaan luar hasil gantung diri didapatkan:
a. Tanda Penjeratan Pada Leher
- Tanda penjeratan jelas dan dalam. Semakin kecil tali maka tanda penjeratan semakin
jelas dan dalam
- Bentuk jeratan berjalan mendatar/horizontal
Alur jeratan pada leher korban berbentuk lingkaran. Alur jerat biasa disertai luka
lecet atau luka memar disekitar jejas yang terjadi karena korban berusaha membuka
jeratan tersebut.
- Tanda penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan
mengkilat
- Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah
telinga,tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telingae.Pinggiran jejas jerat
berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasif.Jumlah tanda
penjeratanTerkadang pada leher terlihat dua buah atau lebih bekas penjeratan. Hal
ini menujukan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak dua kali
b. Tanda-tanda Asfiksia
Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena dan edema.
Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas.
c. Lebam Mayat
Lokasi timbulnya lebam mayat tergantung dari posisi tubuh korban setelah mati
2. Pemeriksaan Dalam Jenazah
Pada pemeriksaan dalam akibat peristiwa jerat didapatkan :
a. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun
ruptur.
b. Tanda-tanda Asfiksia
Terdapat bintik perdarahan pada pelebaran pembuluh darah,
Terdapat buih halus di mulut
Didapatkan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang meninggi.
c. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah kulit dan otot
a. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot ini lebih sering
dihubungkan dengan tindak kekerasan.
d. Pada pemeriksaan paru-paru sering ditemui edema paru.
e. Jarang terdapat patah tulang hyoid atau kartilago cricoid.
Gantung (Hanging)
Penggantungan adalah keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat ikatan tersebut
memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. Penggantungan merupakan suatu bentuk
penjeratan (strangulasi) dengan tali ikat dimana tekanan dihasilkan dari seluruh atau sebagian
berat tubuh. Seluruh atau sebagian tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh sesuatu
benda dengan permukaan yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga daerah
tersebut mengalami tekanan.
►Klasifikasi Gantung
1. Berdasarkan Titik Gantung:
a. Penggantungan tipikal
Terjadi bila titik gantung terletak di atas daerah oksiput dan tekanan pada arteri karotis
paling besar.
b. Penggantungan atipikal
Bila titik penggantungan terdapat di samping, sehingga leher dalam posisi sangat
miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan.
2. Berdasarkan Posisi Tubuh
a. Penggantungan Lengkap
Istilah penggantungan lengkap digunakan jika beban aktif adalah seluruh berat badan
tubuh, yaitu terjadi pada orang yang menggantungkan diri dengan kaki mengambang
dari lantai
b. Penggantungan Parsial
Istilah penggantungan parsial digunakan jika beban berat badan tubuh tidak sepenuhnya
menjadi kekuatan daya jerat tali, misalnya pada korban yang tergantung dengan posisi
berlutut atau berbaring. Pada kasus tersebut, berat badan tubuh tidak seluruhnya
menjadi gaya berat sehingga disebut penggantungan parsial.
►Cara Kematian Pada Kasus Gantung:
Cara kematian pada kasus gantung diantaranya adalah:
1. Bunuh diri
2. Pembunuhan
3. Kecelakaan
►Mekanisme Kematian
Mekanisme kematian yang disebabkan oleh gantung akibat penumpuan beban sebagian atau
seluruh beban tubuh di leher diantaranya adalah
1. Asfiksia
Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan penyebab kematian
yang paling sering.
2. Apopleksia
Tekanan pada pembuluh darah vena menyebabkan kongesti pada pembuluh darahotak
dan mengakibatkan kegagalan sirkulasi
3. Iskemia Serebral
Iskemia serebral disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri (oklusi
arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak. Gambar dibawah
menunjukkan gambaran rontgen pada wanita yang berupaya bunuh diri dengan gantung.
4. Syok Vasovagal
Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang menyebabkan henti
jantung.
5. Fraktur atau Dislokasi vertebra servikalis.
Fraktur vertebra servikalis sering terjadi pada hukuman gantung. Fraktur atau dislokasi
terjadi pada keadaan dimana tali yang menjerat leher cukup panjang, kemudian
korbannya secara tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian 1,5-2 meter maka akan
mengakibatkan fraktur atau dislokasi vertebra servikalis yang akan menekan medulla
oblongata dan mengakibatkan tehentinya pernafasan. Yang biasa terkena fraktur adalah
vertebra servikalis ke-2 dan ke-3.
►Gambaran Post Mortem Kasus Gantung
1. Pemeriksaan Luar Pada Jenazah
a. Tanda Penjeratan Pada Leher
Tanda penjeratan jelas dan dalam. Semakin kecil tali maka tanda penjeratan semakin
jelas dan dalam
Bentuk jeratan berjalan miring.
Bentuk jeratan pada kasus gantung diri cenderung berjalan miring (oblique)
pada bagian depan leher, dimulai pada leher bagian atas antara kartilago tiroid
dengandagu, lalu berjalan miring sejajar dengan garis rahang bawah menuju
belakang telinga Alur jeratan pada leher korban penggantungan (hanging) berbentuk
lingkaran (V shape). Ciri-ciri jejas sebagai berikut :
Alur jeratan pucat.
Tepi alur jerat coklat kemerahan.
Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.
Tanda penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan mengkilat
Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah telinga,tampak
daerah segitiga pada kulit dibawah telingae.Pinggiran jejas jerat berbatas tegas dan
tidak terdapat tanda-tanda abrasif.Jumlah tanda penjeratanTerkadang pada leher
terlihat dua buah atau lebih bekas penjeratan. Hal ini menujukan bahwa tali
dijeratkan ke leher sebanyak dua kali
b. Kedalaman Bekas Jeratan
Kedalaman bekas jeratan menunjukan lamanya tubuh tergantung.
c. Tanda-tanda Asfiksia
Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena dan
edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas. Pada kasus penggantungan
tanda-tanda asfiksia berupa mata menonjol keluar, perdarahan berupa petekia pada
bagian wajah dan subkonjungtiva. Jika didapatkan lidah terjulur maka menunjukan
adanya penekanan pada bagian bawah leher yaitu bagian bawah kartilago thyroida.
d. Lebam Mayat
Tardieu spot
Tardieu spot diakibatkan
Jika penggantungan setelah kematian berlangsung lama maka lebam mayat
terlihat pada bagian tubuh bawah, anggota badan distal serta alat genitalia distal.
e. Sekresi Urin dan Feses
Sekresi urin dan feses terjadi pada fase apneu pada kejadian asfiksia. Pada
stadium apneu pusat pernapasan mengalami depresi sehingga gerak napas menjadi sangat
lemah dan berhenti. Penderita menjadi tidak sadar dan karena kontrol spingter
fungsieksresi hilang akibat kerusakan otak maka terjadi pengeluaran urin dan feses.
2. Pemeriksaan Dalam Pada Jenazah
a. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun ruptur.
b. Tanda-tanda Asfiksia
Terdapat bintik perdarahan pada pelebaran pembuluh darah
Kongesti pada bagian atas yaitu daerah kepala, leher dan otak
Ditemukan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang meninggi.
c. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah kulit dan otot
d. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan. Kerusakan otot ini lebih
banyak terjadi pada kasus pengantungan yang disertai dengan tindak kekerasan.
e. Pada pemeriksaan paru-paru serig ditemui edema paru.
f. Mungkin terdapat patah tulang hyoid atau kartilago cricoid.
g. Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas
Fraktur ini seringkali terjadi pada korban hukum gantung dimana korban tergantung
secara penuh dan tertitis jauh dari lantai.
Tabel 1. Perbedaan hasil pemeriksaan TKP pembunuhan dan bunuh diri