Download - Tugas Imun Defisiensi Imun
Nama : Indra Pradanto
Non Reguler A/16
P27834008056
Penyakit Defisiensi Imun
Penyakit defisiensi imun adalah sekumpulan aneka penyakit yang karena memiliki
satu atau lebih ketidaknormalan sistem imun, dimana kerentanan terhadap infeksi
meningkat. Defisiensi imun primer tidak berhubungan dengan penyakit lain yang
mengganggu sistem imun, dan banyak yang merupakan akibat kelainan genetik
dengan pola bawaan khusus. Defisiensi imun sekunder terjadi sebagai akibat dari
penyakit lain, umur, trauma, atau pengobatan.
Meskipun kemungkinan defisiensi imun harus dipikirkan pada seseorang yang sering
mengalami infeksi, tetapi sejatinya penyakit imunodefiensi angka kejadiannya tidak
tinggi. Karena itu selalu pertimbangkan kondisi lain yang membuat seseorang lebih
rentan terhadap infeksi, seperti penyakit sickle cell, diabetes, kelainan jantung
bawaan, malnutrisi, splenektomi, enteropati, terapi imunosupresif dan keganansan.
Penyebab
Penyebab defisiensi imun sangat beragam dan penelitian berbasis genetik berhasil
mengidentifikasi lebih dari 100 jenis defisiensi imun primer dan pola menurunnya
terkait pada X-linked recessive, resesif autosomal, atau dominan autosomal
Penyebab defisiensi imun
Defek genetikDefek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak jaringan (misal
ataksia-teleangiektasia, defsiensi deaminase adenosin) Defek gen tunggal khusus pada
sistem imun ( misal defek tirosin kinase pada X-linked agammaglobulinemia;
abnormalitas rantai epsilon pada reseptor sel T) Kelainan multifaktorial dengan
kerentanan genetik (misal common variable immunodeficiency)
Obat atau toksinImunosupresan (kortikosteroid, siklosporin)Antikonvulsan
(fenitoin)
Penyakit nutrisi dan metabolikMalnutrisi ( misal kwashiorkor)Protein losing
enteropathy (misal limfangiektasia intestinal)Defisiensi vitamin (misal biotin, atau
transkobalamin II)
Defisiensi mineral (misal Seng pada Enteropati Akrodermatitis)
Kelainan kromosomAnomali DiGeorge (delesi 22q11)Defisiensi IgA selektif
(trisomi 18)
InfeksiImunodefisiensi transien (pada campak dan varicella )Imunodefisiensi
permanen (infeksi HIV, infeksi rubella kongenital)
Klasifikasi Penyakit
Pada awalnya penamaan imunodefisiensi melekat pada nama penemu, tempat kasus
ditemukan, pola imunoglobulin, atau dugaan patomekanisme. Karenanya dapat terjadi
ada dua penamaan pada penyakit defisiensi yang sama, dan sering menimbulkan
kerancuan. Karenanya International Union of Immunological Societies (IUIS, dahulu
WHO Expert Committee) membuat nomenklatur penyakit defisiensi imun primer dan
sekunder seperti pada tabel berikut.
Nomenklatur penyakit defisiensi imun primer dan sekunder IUIS 2003
Kelompok dan Penyakit Inheritans
i
Kelompok dan Penyakit Inheritans
i
A. Defisiensi predominan
antibodi
1. XL
agamaglobulinemia
2. AR
agamaglobulinemia
3. Sindrom hiper IgM
4. XL
5. Defek AID
6. Defek CD40
7. Defek AR lainnya
8. Delesi gen Ig rantai
berat
XLAR
XL
AR
AR
AR
AR
?
Variabel
1. Teleangiektasis-
ataksia
2. Anomali DiGeorge
3. Defisiensi CD4
primer
4. Defisiensi CD7
primer
5. Defisiensi IL-2
6. Defisiensi sitokin
multipel
7. Defisiensi signal
transduksi
AR?XL
AR
AR
AR
XL
Kelompok dan Penyakit Inheritans
i
Kelompok dan Penyakit Inheritans
i
9. Mutasi defisiensi
rantai κ
10. Defisiensi selektif
kelas IgG
11. Defisiensi selektif
IgA
12. Defisiensi antibodi
dengan kadar Igs
normal atau meningkat
13. Imunodefisiensi
variasi umum
14. Hipogamaglobulinem
ia transien pada bayi
?
Variabel
?
D. Defek fungsi fagosit
1. Penyakit
granulomatosa kronik
2. XL
3. AR
1. Defisien
si phox
p22
2. Defisien
si phox P47
3. Defisien
si phox P57
4. Defek
adesi
leukosit 1
5. Defek
adesi
leukosit 2
6. Defisien
si neutrofil
G6PD
B. Imunodefisiensi kombinasi
1. T-B+ SCID
2. X-linked (defisiensi
γc)
1. Resesif
autosomal
(defisiensi
Jak3)
3. T-B+ SCID
4. Defisiensi RAG-1/2
XLAR
AR
AR
AR
AR
AR
1. Defisiensi
mieloperoksidase
2. Defisiensi granul
sekunder
3. Sindrom
Schwachman
4. Neutropenia
kongenital berat
(Kostmann)
5. Neutropenia siklik
ARARAR
AR
AR
AR
AR
AD
Kelompok dan Penyakit Inheritans
i
Kelompok dan Penyakit Inheritans
i
5. Defisiensi ADA
6. Disgenesis retikular
7. Defek artemis
8. T-B+ SCID
9. Sindrom Omenn
10. Defisiensi IL-2Rα
11. Defisiensi fosforilase
purin nukleosida
12. Defisiensi MHC
kelas II
13. Defisiensi MHC
kelas I disebabkan oleh
defek TAP-2
14. Defisiensi CD3γ atau
CD3ε
15. Defisiensi CD8
(defek ZAP-70)
AR
AR
AR
AR
AR
AR
(defek elastase)
6. Defek leukosit
mikobakterial
Defisiensi IFN-γR1 atau R2
Defisiensi IFN-γR1
Defisiensi IL-12Rβ1
Defisiensi IL-12p40
Defisiensi STAT1
E. Imunodefisiensi terkait
kelainan
limfoproliferatif
1. Defisiensi Fas
2. Defisiensi ligan
Fas
3. Defisiensi FLICA
atau caspase 8
4. Tidak diketahui
(defisiensi caspase 3)
AR
AR
AD
AD
C. Imunodefisiensi selular
lainnya19. Sindrom Wiskott-
Aldrich
XL F. Defisiensi komplemen41.
Defisiensi C1q
AR
F. Defisiensi komplemen
(lanjutan)
1. Defisiensi C1r
2. Defisiensi C4
3. Defisiensi C2
4. Defisiensi C3
ARAR
AR
AR
AR
AR
1. Retardasi
pertumbuhan,
anomali wajah dan
imunodefisiensi
2. Progeria (Sindrom
Hutchinson-Gilford)
Imonodefisiensi dengan defek
ARXL
XL
Kelompok dan Penyakit Inheritans
i
Kelompok dan Penyakit Inheritans
i
5. Defisiensi C5
6. Defisiensi C6
7. Defisiensi C7
8. Defisiensi C8α
9. Defisiensi C8β
10. Defisiensi C9
11. Inhibitor C1
12. Defisiensi faktor I
13. Defisiensi faktor H
14. Defisiensi faktor D
15. Defisiensi properdin
G. Imunodefisiensi terkait
dengan
atau sekunder penyakit lain
Instabilitas kromosom atau
defek perbaikan
1. Sindrom Bloom
2. Anemia Fanconi
3. Sindrom ICF
4. Sindrom kerusakan
Nijmegen
5. Sindrom Seckel
6. Pigmentosum
Xeroderma
Defek kromosom
1. Sindrom Down
2. Sindrom Turner
3. Delesi kromosom
cincin 18
Abnormalitas skeletal
1. Short-limbed skeletal
AR
AR
AR
XL
AD
AR
AR
AR
XL
dermatologi
1. Albinisme parsial
2. Diskeratosis
kongenital
3. Sindrom Netherton
4. Enterohepatika
akrodermatitis
5. Displasia
ektoderma anhidrotik
6. Sindrom Papillon-
Lefevre
Defek metabolik herediter
1. Defisiensi
transkobalamin 2
2. Asidemia
metilmalonik
3. Asiduria orotik
herediter tipe 1
4. Defisiensi
karboksilase biotin-
dependen
5. Manosidosis
6. Penyakit
penyimpanan
glikogen, tipe 1b
7. Sindrom Chediak-
Higashi
Hiperkatabolisme
imunoglobulin
1. Hiperkatabolisme
familial
Kelompok dan Penyakit Inheritans
i
Kelompok dan Penyakit Inheritans
i
dysplasia
2. Hipoplasia rambut-
kartilago
Imunodefisiensi dengan
retardasi pertumbuhan umum
1. Displasia imuno-
oseus Schimke
2. Imunodefisiensi
tanpa ibu jari
3. Sindrom Dubowitz
2. Limfangiektasia
intestinal
H. Imunodefisiensi lainnya
1. Sindrom hiper IgE
2. Kandidiasis
mukokutaneus kronik
3. Kandidiasis
mukokutaneus kronik
dengan
poliendokrinopati
(APECED)
4. Hiposplenia
herediter atau
kongenital atau
asplenia
5. Sindrom Ivemark
6. Sindrom IPEX
7. Displasia
ektodermal (defek
NEMO)
AD = autosomal dominan; ADA = adenosine deaminase; AID = activation-induced
cytidine deaminase; AR = autosomal recessive, capsace = cysteinyl; aspartate =
specific proteinase; FLICE = Fas-associating protein with death domain-like Il-1
converting enzyme; G6PD = glucose 6-phosphate dehydorgenase; ICF =
immunodeficiency, centromeric instability, facial anomalies; IFN = interferon; Ig =
immunoglobulin; IL = interleukin; IPEX = immune dysregulation,
polyendocrinopathy, enteropathy; MHC = major histocompatibility complex; NEMO
= IKK-gamma; SCID = severe combined immunodeficiency; TAP-2 = transporter
associated with antigen presentation, XL = X-linked
Klasifikasi defisiensi imun primer
Defisiensi imun humoral (sel B)Hipogamaglobulinemia x-linked
(hipogamaglobulinemia kongenital) Hipogamaglobulinemia transien (pada
bayi) Defisiensi imun tak terklasifikasi, umum, bervariasi
(hipogamaglobulinemia didapat)
Defisiensi imun dengan hiperIgM
Defisiensi IgA selektif
Defisiensi imun IgM selektif
Defisiensi sub kelas IgG selektif
Defisiensi sel B sekunder berhubungan dengan obat, kehilangan protein
Penyakit limfoproliferatif x-linked
Defisiensi imun selular (sel T)Aplasia timus kongenital (sindrom
DiGeorge)Kandidiasis mukokutaneus kronik (dengan atau tanpa
endokrinopati)Defisiensi sel T berhubungan dengan defisiensi purin nukleosid
fosforilase
Defisiensi sel T berhubungan dengan defek glikoprotein membran
Defisiensi sel T berhubungan dengan absen MHC kelas I dan atau kelas II
(sindrom limfosit telanjang)
Defisiensi imun gabungan humoral (sel B) dan selular (sel T)Defisiensi
imun berat gabungan (autosom resesif, x-linked, sporadik)Defisiensi imun
selular dengan gangguan sintesis imunoglobulin (sindrom Nezelof)Defisiensi
imun dengan ataksia teleangiektasis
Defisiensi imun dengan eksim dengan trombositopenia (sindrom Wiskott-
Aldrich)
Defisiensi imun dengan timoma
Defisiensi imun dengan short-limbed dwarfism
Defisiensi imun dengan defisiensi adenosin deaminase
Defisiensi imun dengan defisiensi nukleosid fosforilase
Defisiensi karboksilase multipel yang tergantung biotin
Penyakit graft-versus-host
Sindrom defisiensi imun didapat (AIDS)
Disfungsi fagositPenyakit granulomatosis kronikDefisiensi glukosa-6-fosfat
dehidrogenaseDefisiensi mieloperoksidase
Sindrom Chediak-Higashi
Sindrom Job
Defisiensi tuftsin
Sindrom leukosit malas
Peninggian IgE, defek kemotaksis dan infeksi rekuren
(Dikutip dari AJ Amman, 1991)
Defisiensi antibodi primer
Penyebab defisiensi antibodi primer
Usia (tahun) Anak Dewasa
< 2 Transient hypogammaglobulinaemia of
infancyX-linked agammaglobulinaemiaHyper-
IgM with immunoglobulin deficiency
Dapat terjadi, namun
jarangDapat terjadi, namun
jarang
3-15 Selective antibody deficienciesCommon
variable immunodeficiencySelective IgA
deficiency
16-50 Selective antibody
deficienciesCommon variable
immunodeficiencySelective IgA
deficiency
> 50 Antibody deficiencies with
thymoma
(Dikutip dengan modifikasi dari Chapel H, 1999)
Transient hypogammaglobulinaemia of infancy
Antibodi IgG maternal secara aktif ditransfer melalui plasenta ke sirkulasi fetal mulai
dari bulan ke-4 gestasional dan mencapai puncaknya saat 2 bulan terakhir. Saat lahir,
bayi mempunyai kadar IgG serum yang sama dengan ibu. Katabolisme IgG maternal
hanya dikompensasi sebagian oleh IgG yang dibentuk bayi. Periode 3-6 bulan
merupakan fase “hipogamaglobulinemia fisiologik”. Bayi normal tidak terlalu rawan
terhadap infeksi karena masih terdapat antibodi yang berfungsi meskipun kadar IgG
rendah.
Namun kadar IgG akan sangat kurang apabila IgG yang didapat dari ibu
sedikit, seperti pada prematuritas. Bayi-bayi yang lahir pada minggu gestasi ke 26-32
mungkin membutuhkan perawatan intensif agar dapat bertahan hidup, di sisi lain
perawatan invasif dapat meningkatkan risiko infeksi. Terapi pengganti imunoglobulin
dapat bermanfaat pada bayi berat lahir rendah di negara dengan prosedur invasif dan
insidens infeksi bakteri cukup tinggi, sampai bayi tersebut mampu memproduksi
antibodi protektif sendiri.
Hipogamaglobulinemia transien juga dapat terjadi bila bayi lambat dalam
memproduksi IgG. Dengan menurunnya kadar IgG serum yang diperoleh dari ibu,
bayi lebih rawan mendapat infeksi piogenik rekuren. Pembentukan IgG secara
spontan dapat membutuhkan waktu berbulan-bulan. Keadaan ini harus dapat
dibedakan dari hipogamaglubulinemia patologik, karena ada perbedaan tatalaksana.
Pada sebagian besar bayi, bayi tetap sehat dan tidak memerlukan terapi spesifik,
bahkan jika kadar imunoglobulin di bawah ambang normal. Apabila terjadi infeksi
berat, dapat diberikan antibiotik profilaksis. Hal ini mungkin dibutuhkan dalam
jangka waktu 1-2 tahun sampai sintesis IgG endogen mencukupi.
X-linked agammaglobulinaemia (Bruton’s disease)
Anak laki-laki dengan X-linked agammaglobulinaemia (XLA) biasanya menunjukkan
infeksi piogenik rekuren antara usia 4 bulan sampai 2 tahun, biasanya rawan terhadap
infeksi enterovirus yang dapat mengancam nyawa.
Pada sebagian besar pasien, sel B matur tidak ada namun jumlah sel T normal
atau bahkan meningkat. Tidak ditemukan sel plasma pada sumsum tulang, nodus
limfe atau saluran cerna. Diferensiasi sel pre-B menjadi sel B tergantung pada enzim
tirosin kinase (dikenal dengan Bruton’s tyrosin kinase, Btk), yang mengalami
defisiensi pada pasien XLA (Gambar 28-2). Gen untuk enzim ini terletak pada lengan
panjang kromosom X dan ekspresinya hanya terbatas pada perkembangan sel B.
Diagnosis berdasarkan pada penemuan kadar semua isotop imunoglobulin
serum yang sangat rendah, tidak adanya limfosit B matur di sirkulasi dan mutasi gen
Btk. Identifikasi gen dapat berguna dalam mengidentifikasi perempuan karier yang
asimtomatik, dan dilakukan saat prenatal. Tatalaksana berupa imunoglobulin
pengganti.
Hyper-IgM antibody deficiency
Beberapa anak dengan defisiensi antibodi mempunyai kadar IgM serum yang normal
atau meningkat. Anak-anak tersebut juga mempunyai risiko tambahan terhadap
infeksi Pneumocystis carinii, yang secara normal terjadi pada defek sel T. Hal ini
menunjukkan defek pada defisiensi antibodi ini tidak hanya terbatas pada defek sel B.
Penyakit terkait kromosom X ini disebabkan oleh kegagalan molekul aksesori ligan
CD40 pada sel T, yang bereaksi dengan CD40 pada sel B untuk merangsang
perubahan IgM menjadi IgG atau IgA pada sel B yang terstimulasi antigen (Gambar
28-2). Tatalaksana berupa imunoglobulin pengganti dan uji genetik untuk perempuan
karier.
Common variable immunodeficiency
Common variable immunodeficiency (CVID) merupakan penyakit heterogen yang
terjadi dapat pada anak atau dewasa. Banyak pasien tidak terdiagnosis sampai usia
dewasa. Sebagian besar pasien CVID mempunyai kadar IgG dan IgA serum yang
sangat rendah dengan kadar IgM normal atau sedikit menurun dan jumlah sel B yang
normal. Meskipun jarang terjadi, namun CVID merupakan defisiensi antibodi primer
simtomatik yang paling umum terjadi. Terapi berupa imunoglobulin pengganti.
Selective antibody deficiencies
Defisiensi selektif salah satu atau lebih subklas IgG sering tidak terdeteksi karena
kontribusi IgG1 terhadap IgG total yang relatif besar (70%) sehingga dapat
mempertahankan kadar IgG “normal”.
Aktivitas utama subklas antibodi menentukan jenis infeksi. Antibodi IgG2
mendominasi respons antibodi pada anak lebih tua dan dewasa terhadap antigen
polisakarida, seperti pada organisme berkapsul, contohnya Streptococcus
pneumoniaedan Haemophilus influenzae. Oleh karena itu defisiensi IgG2
menyebabkan individu terpajan terhadap infeksi saluran nafas berulang, septikemia
pneumokokus atau meningitis. Respons antibodi terhadap antigen protein seperti virus
atau toksoid, dikaitkan dengan subklas IgG1 dan IgG3. Pada pasien dengan defisiensi
salah satu subklas IgG, peningkatan kadar subklas IgG lain akan mengkompensasi
untuk menjaga kadar IgG normal.
Anak di bawah 2 tahun tidak berespons terhadap antigen polisakarida dan
mempunyai kadar IgG2 yang rendah. Respons antibodi spesifik IgG2 berkembang
perlahan dan mencapai kadar puncak seperti dewasa pada usia 4-6 tahun. Oleh karena
itu, anak usia muda rawan terkena infeksi oleh organisme berkapsul polisakarida.
Defisiensi IgG1 dan IgG3 biasa terjadi bersamaan, menyebabkan resposn imun yang
kurang baik terhadap antigen protein dan dikaitkan dengan infeksi rekuren. Defisiensi
subklas IgG juga dikaitkan dengan defisiensi IgA dan dikaitkan dengan masalah paru.
Selective IgA deficiencies
Defek ini merupakan defek primer yang sering ditemukan pada imunitas spesifik.
Defek ditandai dengan kadar IgA serum yang sangat rendah atau tidak terdeteksi
dengan konsentrasi IgG dan IgM yang normal. Defisiensi IgA selektif menyebabkan
individu terpajan pada infeksi bakteri rekuren, penyakit autoimun dan intoleransi
makanan (susu). Sekitar 1/5 pasien dengan defisiensi IgA selektif mempunyai
antibodi terhadap IgA, sehingga dapat terjadi reaksi simpang setelah tranfusi darah
atau plasma.
Komplikasi defisiensi antibodi
Terdapat berbagai variasi komplikasi pada pasien dengan defisiensi antibodi. Sepsis
kronik pada saluran nafas atas dan bawah dapat menyebabkan otitis media kronik,
ketulian, sinusitis, bronkiektasis, fibrosis pulmonal dan kor pulmonal. Penyakit
gastrointestinal ringan seperti sindrom anemia pernisiosa lebih umun terjadi, namun
berbeda dengan anemia pernisiosa klasik. Pada anemia ini tidak terdapat autoantibodi
terhadap sel parietal dan faktor intrinsik serta terdapat atrofi gastritis pada seluruh
lambung tanpa antral sparing. Diare, tanpa atau dengan malabsorpsi, lebih sering
disebabkan oleh infestasi Giardia lamblia, pertumbuhan bakteri berlebihan di usus
kecil atau infeksi persisten oleh Cryptosporidium, Campylobacter, rotavirus atau
enterovirus. Fenomena autoimun merupakan kejadian yang umum, sebanyak 15%
muncul sebagai anemia hemolitik autoimun dan trombositopenia autoimun. Artropati
terjadi pada 12% defisiensi antibodi. Beberapa pasien dapat terkena artritis kronik
pada sendi besar dan artritis monoartikular tanpa terdapat faktor reumatoid.
Pasien dengan X-linked agammaglobulinaemia dan CVID rawan terhadap infeksi
kronik echovirus, dan menyebabkan meningoensefalitis persisten. Pasien dengan
defisiensi imun yang melibatkan imunitas humoral dan/atau seluler mempunyai risiko
10-200 kali lipat untuk terkena penyakit keganasan.
Kombinasi defisiensi primer sel T dan sel B
Depresi imunitas sel T biasanya disertai dengan variasi abnormalitas fungsi sel B. Hal
ini menunjukkan kerjasama sel T dan B dalam produksi antibodi terhadap sebagian
antigen. Defisiensi berat ini biasanya muncul dalam bulan pertama kehidupan (Tabel
28-5). Bayi yang sama sekali gagal dalam fungsi limfosit T dan B akan terkena
defisiensi imun kombinasi berat (severe combined immunodeficiency, SCID) (Tabel
28-6).
Tanda defisiensi imun kombinasi yang berat
Terdapat pada minggu atau bulan pertama kehidupanSering terjadi infeksi virus atau
jamur dibandingkan bakteriDiare kronik umum terjadi (sering disebut
gastroenteritis)Infeksi respiratorius dan oral thrush umum terjadi
Terjadi failure to thrive tanpa adanya infeksi
Limfopenia ditemui pada hampir semua bayi
Defisiensi imun sekunder
Penyebab sekunder defisiensi imun lebih umum dibandingkan penyebab primer.
Kadar komponen imun yang rendah menunjukkan produksi yang menurun atau
katabolisme (“hilangnya” komponen imun) yang dipercepat.
Hilangnya protein yang sampai menyebabkan hipogamaglobulinemia dan
hipoproteinemia terjadi terutama melalui ginjal (sindrom nefrotik) atau melalui
saluran cerna (protein-losing enteropathy). Hilangnya imunoglobulin melalui renal
setidaknya bersifat selektif parsial, sehingga kadar IgM masih dapat normal meskipun
kadar IgG serum dan albumin menurun. Protein juga dapat hilang dari saluran cerna
melalui penyakit inflamatorius aktif seperti penyakit Crohn, kolitis ulseratif dan
penyakit seliak.
Kerusakan sintesis paling nampak pada malnutrisi. Defisiensi protein
menyebabkan perubahan yang mendalam pada banyak organ, termasuk sistem imun.
Kerusakan produksi antibodi spesifik setelah imunisasi, dan defek pada imunitas
seluler, fungsi fagosit dan aktivitas komplemen dihubungkan dengan nutrisi yang
buruk, dan membaik setelah suplementasi diet protein dan kalori yang cukup.
Pasien dengan penyakit limfoproliferatif sangat rentan terhadap infeksi.
Leukemia limfositik kronik yang tidak diobati umumnya berhubungan dengan
hipogamaglobulinemia dan infeksi rekuren yang cenderung bertambah berat dengan
progresifitas penyakit. Limfoma Non-Hodgkin mungkin berhubungan dengan defek
pada imunitas humoral dan seluler. Penyakit Hodgkin biasanya berhubungan dengan
kerusakan yang nyata dari imunitas seluler, namun imunoglobulin serum masih
normal sampai fase akhir penyakit.
Risiko infeksi pasien dengan mieloma multipel 5-10 kali lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol. Frekuensi infeksi oportunistik pada pasien dengan
keganasan diseminata menandakan adanya defek imun, meskipun sulit membedakan
efek imunosupresif dari penyakit ataupun efek pengobatan. Obat imunosupresif
mempengaruhi beberapa aspek fungsi sel, terutama limfosit dan polimorf, namun
hipogamaglobulinemia berat jarang terjadi. Pasien dengan obat untuk mencegah
penolakan organ transplan juga dapat timbul infeksi oportunsistik meskipun tidak
biasa. Bentuk iatrogenik lain dari defisiensi imun sekunder adalah yang berhubungan
dengan splenektomi.
Infeksi pada pejamu imunokompromais
Individu yang secara alami atau medikal mengalami imunokompromais rentan
terhadap infeksi. Sumber infeksi dapat berasal dari patogen umum yang juga
menginvasi pada individu sehat, dan juga dari agen oportunistik. Dua hal penting
dalam infeksi pada pejamu imunokompromais adalah sebagian besar infeksi
disebabkan oleh patogen umum yang biasanya dapat diidentifikasi dan dikontrol
dengan terapi yang tepat. Kedua, kesulitan terjadi karena organisme oportunistik sulit
untuk diisolasi dan tidak berespons terhadap obat yang tersedia.
Terdapat dua jalur masuk utama bagi organisme oportunistik, yaitu orofaring
dan saluran cerna bagian bawah. Paru menjadi tempat tersering dalam infeksi pada
pejamu imunokompromais. Manifestasi klinis berupa demam non-spesifik, dispnea
dan batuk kering dengan gambaran foto dada infiltrat pulmonal. Namun sarana
penunjang seperti sputum dan kultur darah tidak banyak membantu, lebih dipilih bilas
bronkoalveolar, biopsi transbronkial dan biopsi paru terbuka. Pentingnya diagnosis
dini dan tatalaksana sangat ditekankan mengingat infeksi paru pada pasien
imunokompromasi memiliki angka mortalitas lebih dari 50%.
MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS
Dalam penegakan diagnosis defisiensi imun, penting ditanyakan riwayat kesehatan
pasien dan keluarganya, sejak masa kehamilan, persalinan dan morbiditas yang
ditemukan sejak lahir secara detail. Riwayat pengobatan yang pernah didapat juga
harus dicatat, disertai keterangan efek pengobatannya, apakah membaik, tetap atau
memburuk. Bila pernah dirawat, operasi atau transfusi juga dicatat. Riwayat imunisasi
dan kejadian efek simpangnya juga dicari.
Walaupun penyakit defisiensi imun tidak mudah untuk didiagnosis, secara klinis
terdapat berbagai tanda dan gejala yang dapat membimbing kita untuk mengenal
penyakit ini (Tabel 28-8). Sesuai dengan gejala dan tanda klinis tersebut maka dapat
diarahkan terhadap kemungkinan penyakit defisiensi imun.
Defisiensi antibodi primer yang didapat lebih sering terjadi dibandingkan dengan
yang diturunkan, dan 90% muncul setelah usia 10 tahun. Pada bentuk defisiensi
antibodi kongenital, infeksi rekuren biasanya terjadi mulai usia 4 bulan sampai 2
tahun, karena IgG ibu yang ditransfer mempunyai proteksi pasif selama 3-4 bulan
pertama. Beberapa defisiensi antibodi primer bersifat diturunkan melalui autosom
resesif atauX-linked. Defisiensi imunoglobulin sekunder lebih sering terjadi
dibandingkan dengan defek primer.
Pemeriksaan fisik defisiensi antibodi jarang menunjukkan tanda fisik
diagnostik, meskipun dapat menunjukkan infeksi berat sebelumnya, seperti ruptur
membran timpani dan bronkiektasis. Tampilan klinis yang umum adalah gagal
tumbuh.
Pemeriksaan laboratorium penting untuk diagnosis. Pengukuran imunoglobulin serum
dapat menunjukkan abnormalitas kuantitatif secara kasar. Imunoglobulin yang sama
sekali tidak ada (agamaglobulinemia) jarang terjadi, bahkan pasien yang sakit berat
pun masih mempunyai IgM dan IgG yang dapat dideteksi. Defek sintesis antibodi
dapat melibatkan satu isotop imunoglobulin, seperti IgA atau grup isotop, seperti IgA
dan IgG. Beberapa individu gagal memproduksi antibodi spesifik setelah imunisasi
meskipun kadar imunoglobulin serum normal. Sel B yang bersirkulasi diidentifikasi
dengan antibodi monoklonal terhadap antigen sel B. Pada darah normal, sel-sel
tersebut sebanyak 5-15% dari populasi limfosit total. Sel B matur yang tidak ada pada
individu dengan defisiensi antibodi membedakan infantile X-linked
agammaglobulinaemia dari penyebab lain defisiensi antibodi primer dengan kadar sel
B normal atau rendah.