Download - Tugas kimia Anorganik
MAKALAH KIMIA ANORGANIK III
"TEORI IKATAN DALAM SENYAWA KOMPLEKS "
Disusun oleh :
Kelompok 3
Magdalena Normalina Sitio F1C111053
Novita Sari Simamora F1C111049
Hanna Laily Syarifa F1C111010
Dwi Sari Ningsih F1C111012
Bambang Pamungkas F1C111009
Diyah Tri Utami F1C111052
Carolin Fitriyani Ramadhan F1C111050
Program Studi:
S1 Kimia
Dosen Pengampu:
Drs. Nofrizal Jhon, M.Si.
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS JAMBI
Tahun 2013-2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa karna dengan rahmat dan karunia-
Nya, penyusunan makalah ini dapat kami selesaikan. Makalah ini berjudul “Teori Orbital
Molekul dalam Senyawa Kompleks” Penyusunan dari makalah ini merupakan salah satu dari
tugas kami sebagai mahasiswa untuk menyelesaikan tugas kimia anorganik III.
Seperti ada pepatah yang mengatakan “tak ada gading yang tak retak”, maka kami ingin
mengucapkan permohonan maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan kata dan adanya
pernyataan-pernyataan yang kami tulis didalam makalah ini tidak berkenan dihati saudara.
Kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca kepada kami mengenai makalah yang
kami buat sehingga untuk kedepannya kami dapat memperbaiki kesalahan kami dan kedepannya
menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Jambi, Desember 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah................................................................................................41.2 Rumusan masalah.........................................................................................................51.3 Tujuan...........................................................................................................................51.4 Manfaat penulisan makalah..........................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Teori Ikatan Valensi.....................................................................................................2.2 Teori Medan Kristal......................................................................................................2.3 Teori Orbital Molekul...................................................................................................72.4 Diagram korelasi orbital molekul HCl.........................................................................82.5 Orbital molekul.............................................................................................................102.6 Teori orbital molekul bagi diatomik mononuklir pada umumnya................................112.7 Molekul-molekul diatom heteronuklir..........................................................................122.8 Teori orbital molekul bagi molekul poliatom...............................................................142.9 Pendekatan ikatan terlokalisasi.....................................................................................182.10 Pembentukan Orbital molekul......................................................................................22
BAB III PENUTU P
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................45
Daftar Pustaka........................................................................................................................46
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Struktur atom dan metoda mekanika gelombang memungkinkan untuk memecahkan
persoalan pokok dalam ilmu kimia, yaitu apa yang menyebabkan atom dapat saling berikatan
menjadi molekul. Ada beberapa teori yang memberikan postulat.
Postulatnya tentang bagaimana bentuk dari suatu senyawa antara lain, teori Valence-Shell
Elektron Pair Repulsion (VSEPR), teori IkatanValensi, teori Orbital Molekul, teori Lewis, dan
sebagainya. Mengenai ikatan kovalen, dikenal dua jenis pendekatan yaitu teori Orbital Molekul
(teori MO) dan teori ikatan valensi (teori VB). Berdasarkan teori ikatan valensi, ikatan kovalen
dapat terbentuk jika terjadi tumpang tindih orbital valensi dari atom yang berikatan. Teori Ikatan
Valensi mampu secara kualitatif menjelaskan kestabilan ikatan kovalen sebagai akibat tumpang-
tindih orbital-orbital atom.
Dengan konsep hibridisasi pun dapat dijelaskan geometri molekul sebagaimana yang
diramalkan dalam teori VSEPR, tetapi sayangnya dalam beberapa kasus, teori ikatan valensitidak
dapat menjelaskan sifat-sifat molekul yang teramati secara memuaskan. Contohnya adalah
molekul oksigen, yang struktur Lewisnya sebagai berikut. Menurut gambaran struktur Lewis
Oksigen di atas, semua elektron pada O berpasangan dan molekulnya seharusnya bersifat
diamagnetik, namun kenyataanya, menurut hasil percobaan diketahui bahwa Oksigen bersifat
paramagnetik dengan dua elektron tidak berpasangan. Temuan ini membuktikan adanya
kekurangan mendasar dalam teori ikatan valensi, sesuatu yang mendorong pencarian alternatif
pendekatan ikatan yang lain yang dapat menjelaskan sifat-sifatO2 dan molekul-molekul lain yang
tidak cocok dengan ramalan teori ikatanvalensi. Untuk menjawab hal tersebut diperlukan teori
lain yang dapat mendukung kelemahan teori ikatan valensi ini yaitu teori Orbital molekul.
Sifat magnet dan sifat-sifat molekul yang lain dapat dijelaskan lebih baik dengan
menggunakan pendekatan mekanika kuantum yang lain yang disebut sebagai teori orbital
molekul (OM), yang menggambarkan ikatan kovalenmelalui istilah orbital molekul yang
dihasilkan dari interaksi orbital-orbital atomdari atom-atom yang berikatan dan yang terkait
dengan molekul secara keseluruhan. Perbedaan antara orbital molekul dan orbital atom adalah
bahwa orbital atom terkait hanya dengan satu atom. Teori OM menjelaskan bahwa atom-atom
individu tidak lagi terdapat dalam molekul. Menurut Bird, T (1987), atom-atom telah melebur
menjadi satu kesatuan yaitu molekul itu sendiri. Pendekatan dimulai dengan inti-inti atom yang
terdapat dalam molekul pada posisi-posisi tertentu sebagai suatu kesatuan, baru kemudian satu
per satu elektron ditempatkanke dalam sistem tersebut. Kebalikannya, teori ikatan valensi lebih
mendasarkan pendekatannya pada sudut pandangan kimia dalam arti bahwa atom-atom secara
individu dianggap memang terdapat dalam molekul. Struktur molekul dianggapsebagai ikatan-
ikatan yang terbentuk karena pertumpangtindihan orbital-orbital atom-atom yang terdapat dalam
molekul tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini adalah:
1. Bagaimana isi teori orbital molekul? 2. Bagaimana proses pembentukan orbital molekul pada senyawa homointi dan heterointi?3. Bagaimana hubungan orde ikatan dengan kestabilan molekul
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui isi teori orbital molekul.2. Mengetahui proses pembentukan orbital molekul pada senyawa homointi dan heterointi.3. Mengetahui hubungan orde ikatan dengan kestabilan molekul.
1.4 Manfaat Penulisan Makalah Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat untuk:
1. Memahami isi teori orbital molekul.2. Memahami proses pembentukan orbital molekul pada senyawa homointi dan heterointi.3. Memahami hubungan orde ikatan dengan kestabilan molekul.
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Teori Ikatan Valensi (Valence Bond Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Linus Pauling sekitar tahun 1931. Teori ini menyatakan
bahwa ikatan antara ligan dengan logam merupakan ikatan kovalen koordinasi, dengan pasangan
elektron bebas yang disumbangkan oleh ligan. Logam pusat menyediakan orbital-orbital kosong
yang telah mengalami hibridisasi untuk ditempati oleh PEB dari ligan. Jenis hibridisasi orbital
menentukan bentuk geometris senyawa kompleks yang terbentuk. Pembentukan ikatan dalam
senyawa kompleks juga dapat ditinjau sebagai reaksi Asam-Basa Lewis, dimana ligan
merupakan Basa Lewis yang memberikan PEB.
Hibridisasi Geometris Contoh
sp2 Trigonal planar [HgI3]-
sp3 Tetrahedral [Zn(NH3)4]2+
d2sp3 Oktahedral [Fe(CN)6]3-
dsp2 Segi empat planar [Ni(CN)4]2-
dsp3 Bipiramida trigonal [Fe(CO)5]2+
sp3d2 Oktahedral [FeF6]3-
Pembentukan ikatan melibatkan beberapa tahapan, meliputi promosi elektron;
pembentukan orbital hibrida; dan pembentukan ikatan antara logam dengan ligan melalui overlap
antara orbital hibrida logam yang kosong dengan orbital ligan yang berisi pasangan elektron
bebas.
Pada hibridisasi yang melibatkan orbital d, ada dua macam kemungkinan hibridisasi. Jika
dalam hibridisasi orbital d yang dilibatkan adalah orbital d yang berada di luar kulit dari orbital s
dan p yang berhibridisasi, maka kompleks yang terbentuk disebut sebagai kompleks orbital luar,
atau outer orbital complex. Sebaliknya, jika dalam hibridisasi yang dilibatkan adalah orbital d di
dalam kulit orbital s dan p yang berhibridisasi, maka kompleks tersebut dinamakan kompleks
orbital dalam atau inner orbital complex. Umumnya kompleks orbital dalam lebih stabil
dibandingkan kompleks orbital luar, karena energi yang dilibatkan dalam pembentukan
kompleks orbital dalam lebih kecil dibandingkan energi yang terlibat dalam pembentukan
kompleks orbital luar. Untuk menghibridisasi orbital d yang berada di dalam orbital s dan p
diperlukan energi yang lebih kecil, karena tingkat energinya tidak terlalu jauh.
Contoh :
[Ni(CO)4]; memiliki struktur geometris tetrahedral
Ni28 : [Ar] 3d8 4s2
3d8 4s2 4p0
Elektron pada orbital 4s mengalami promosi ke orbital 3d, sehingga orbital 4s kosong dan
dapat mengalami hibridisasi dengan orbital 4p membentuk orbital hibrida sp3.
Ni28 : [Ar]
3d8 4s 4p
Orbital hibrida sp3 yang telah terbentuk kemudian digunakan untuk berikatan dengan 4 ligan
CO yang masing-masing menyumbangkan pasangan elektron bebas
[Ni(CO)4] : [Ar] 3d10 sp3
Karena semua elektron berpasangan, maka senyawa bersifat diamagnetic
[Fe(CN)6]3-; memiliki bentuk geometris oktahedral
Fe26 : [Ar] 3d6 4s2
Fe3+ : [Ar] 3d5 4s0
hibridisasi sp3
hibridisasi d2sp3
: [ Ar]
3d5 4s1 4p0
Dua buah elektron pada orbital d yang semula tidak berpasangan dipasangkan dengan
elektron lain yang ada pada orbital d tersebut, sehingga 2 orbital d yang semula ditempati oleh
kedua elektron tersebut kosong dan dapat digunakan untuk membentuk orbital hibridal d2sp3
Fe3+ : [Ar]
Karena orbital d yang digunakan dalam hibridisasi ini berasal dari orbital d yang berada
disebelah dalam orbital s dan p, maka kompleks dengan orbital hibrida semacam ini disebut
sebagai kompleks orbital dalam (inner orbital complex)
[Fe(CN)6]3- : [Ar]
3d6 d2sp3
Orbital hibrida d2sp3 yang terbentuk diisi oleh pasangan elektron bebas dari ligan CN-
Dalam kompleks terdapat satu elektron yang tidak berpasangan, sehingga kompleks bersifat
paramagnetik.
[Ni(CN)4]2-, memiliki bentuk geometris segiempat planar
Ni28 : [Ar] 3d8 4s2
: [Ar]
3d8 4s2 4p0
Ni2+ : [Ar]
membentuk orbital hibrida dsp3
Salah satu elektron pada orbital d yang tidak berpasangan dipasangkan dengan elektron lain,
sehingga salah satu orbital d kosong dan dapat digunakan untuk membentuk orbital hibrida dsp3.
[Ni(CN4)]2- : [Ar]
3d8 dsp3
Semua elektron dalam kompleks ini berpasangan sehingga kompleks bersifat diamagnetic
Elektronetralitas dan Backbonding
Dalam TIV, reaksi pembentukan kompleks merupakan reaksi Asam Basa Lewis. Atom
logam sebagai asam Lewis mendapatkan elektron dari ligan yang bertindak sebagai basa Lewis,
sehingga mendapatkan tambahan muatan negatif. Dengan demikian densitas elektron pada atom
logam akan menjadi semakin besar sehingga kompleks menjadi semakin tidak stabil. Pada
kenyataannya senyawa kompleks merupakan senyawa yang stabil, sehingga diasumsikan
walaupun mendapatkan tambahan muatan negatif dari PEB yang didonorkan oleh ligan, atom
pusat memiliki muatan yang mendekati nol atau hampir netral. Ada dua pendekatan yang dapat
digunakan untuk menerangkan hal ini :
(1) Elektronetralitas
Ligan donor umumnya merupakan atom dengan elektronegativitas yang tinggi, sehingga
atom ligan tidak memberikan keseluruhan muatan negatifnya, sehingga elektron ikatan tidak
terdistribusi secara merata antara logam dengan ligan.
(2) Backbonding
Pada atom logam dengan tingkat oksidasi yang rendah, kerapatan elektron diturunkan
melalui pembentukan ikatan balik (backbonding) atau resonansi ikatan partial. Ion pusat
memberikan kembali pasangan elektron kepada ligan melalui pembentukan ikatan phi (π).
Teori Ikatan Valensi cukup mudah untuk dipahami, dapat meramalkan bentuk geometris
dari sebagian besar kompleks, dan berkesesuaian dengan sifat kemagnetan dari sebagian besar
kompleks.
Meskipun demikian, ada beberapa kelemahan dari Teori Ikatan Valensi ini. Sebagian besar
senyawa kompleks merupakan senyawa berwarna, TIV tidak dapat menjelaskan warna dan
spektra elektronik dari senyawa kompleks. Selain itu, meskipun berkesesuaian dengan sifat
kemagnetan senyawa, TIV tidak dapat menjelaskan mengapa kemagnetan senyawa dapat
berubah dengan kenaikan suhu. Teori Ikatan Valensi tidak dapat memberikan penjelasan yang
memuaskan mengapa sejumlah kompleks berada dalam bentuk kompleks orbital luar.
Kelemahan-kelemahan dari TIV ini dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh Teori Medan Kristal
(Crystal Field Theory).
2.2 Teori Medan Kristal
Teori ini mula-mula diajukan oleh Bethe (1929) dan Vleck (1931 – 1935), dan mulai
berkembang sekitar tahun 1951. Teori ini merupakan usaha untuk menjelaskan hal-hal yang
menjadi kelemahan dari Teori Ikatan Valensi.
Dalam Teori Medan Kristal (TMK), interaksi yang terjadi antara logam dengan ligan
adalah murni interaksi elektrostatik. Logam yang menjadi pusat dari kompleks dianggap sebagai
suatu ion positif yang muatannya sama dengan tingkat oksidasi dari logam tersebut. Logam pusat
ini dikelilingi oleh ligan-ligan bermuatan negatif atau ligan netral yang memiliki pasangan
elektron bebas (PEB). Jika ligan merupakan suatau spesi netral/tidak bermuatan, maka sisi dipol
negatif dari ligan terarah pada logam pusat. Medan listrik pada logam akan saling mempengaruhi
dengan medan listrik ligan.
Dalam Teori Medan Kristal, berlaku beberapa anggapan berikut :
a. ligan dianggap sebagai suatu titik muatan
b. tidak ada interaksi antara orbital logam dengan orbital ligan
c. orbital d dari logam kesemuanya terdegenerasi dan memiliki energi yang sama, akan tetapi,
jika terbentuk kompleks, maka akan terjadi pemecahan tingkat energi orbital d tersebut akibat
adanya tolakan dari elektron pada ligan, pemecahan tingkat energi orbital d ini tergantung
orientasi arah orbital logam dengan arah datangnya ligan.
Bentuk Orbital-d
Karena orbital d seringkali digunakan pada pembentukan ikatan dalam kompleks, terutama
dalam teori TMK, maka adalah penting untuk mempelajari bentuk dan orientasi ruang orbital d.
Kelima orbital d tidak identik, dan dapat dibagi menjadi dua kelompok; orbital t2g dan eg. Orbital-
orbital t2g –dxy; dxz; dan dyz– memiliki bentuk yang sama dan memiliki orientasi arah di antara
sumbu x, y, dan z. Orbital-orbital eg –dx2-y
2 dan dz2– memiliki bentuk yang berbeda dan terletak di
sepanjang sumbu.
x x y
z
dxy
zy
dyzdxz
y
x
dx2-y2 dz2
y
x
Kompleks Oktahedral
Pada kompleks oktahedral, logam berada di pusat oktahedron dengan ligan di setiap
sudutnya. Arah mendekatnya ligan adalah sepanjang sumbu x, y dan z. Karena orientasi arah
orbital dx2-y2 dan dz2 adalah sepanjang sumbu x; y; z, dan menghadap langsung ke arah
mendekatnya ligan, maka kedua orbital tersebut mengami tolakan yang lebih besar dari ligan
dibandingkan orbital dxy; dxz dan dyz yang berada di antara sumbu-sumbu x; y; dan z. Dengan
demikian orbital d pada kompleks oktahedral mengalami pemecahan (splitting) tingkat energi
dimana orbital-orbital eg memiliki tingkat energi yang lebih besar dibandingkan orbital t2g.
(a) (b)
Gambar a. kompleks oktahedral
Gambar b. pemecahan energi yang terjadi pada orbital d menjadi orbital eg dan t2g
Jarak antara kedua tingkat energi ini diberi simbol 0 atau 10Dq. Setiap orbital pada orbital
t2g menurunkan energi kompleks sebesar 0,40, dan sebaliknya setiap orbital pada orbital eg
menaikkan energi kompleks sebesar 0,60. Tingkat energi rata-rata dari kedua tingkat energi
orbital t2g dan eg merupakan energi hipotetik dari orbital d yang terdegenerasi.
Besarnya harga o terutama ditentukan oleh kuat atau lemahnya suatu ligan. Semakin
kuat medan suatu ligan, makin besar pula pemecahan tingkat energi yang disebabkan, sehingga
harga 0 juga semakin besar. Harga 0 dalam suatu kompleks dapat ditentukan melalui
pengukuran spektra UV-Vis dari kompleks. Kompleks akan menyerap energi pada panjang
gelombang yang sesuai untuk mempromosikan elektron dari tingkat energi t2g ke tingkat eg.
dxy
∆o
0,6∆o
0,4∆o
Panjang gelombang yang diserap dapat ditentukan berdasarkan puncak serapan dari spektrum
serapan UV-Vis.
Karena setiap orbital t2g menurunkan energi sebesar 0,40 dari tingkat energi hipotetis,
setiap elektron yang menempati orbital t2g akan meningkatkan kestabilan kompleks dengan
menurunkan energi kompleks sebesar 0,40. Besarnya penurunan energi ini disebut sebagai
Energi Stabilisasi Medan Kristal (CFSE, Crystal Field Stabilization Energy). Sebaliknya, setiap
elektron di orbital eg akan menurunkan kestabilan kompleks dengan menaikkan energi kompleks
sebesar 0,60.
Tabel menunjukkan besarnya CFSE untuk kompleks dengan konfigurasi d0 – d10.
Jumlah elektron d
Konfigurasi
CFSE
t2g eg
1 -0,40
2 -0,80
3 -1,20
4 (kompleks high spin) -0,60
4 (kompleks low spin) -1,6∆0
5 (kompleks high spin) 0
5 (kompleks low spin) -2,0∆0
6 (kompleks high spin) -0,4∆0
6 (kompleks low spin) -2,4∆0
7 (kompleks high spin) -0,8∆0
7 (kompleks low spin) -1,8∆0
8 -1,2∆0
9 -0,6∆0
10 0
Besarnya harga ∆0 ditentukan oleh jenis ligan yang terikat dengan logam pusat. Untuk
ligan medan lemah (weak field ligand), perbedaan selisih energi antara orbital t2g dan eg yang
terjadi dalam splitting sangat kecil, dengan demikian elektron-elektron akan mengisi kelima
orbital tanpa berpasangan terlebih dahulu. Kompleks dengan ligan medan lemah semacam ini
disebut sebagai kompleks spin tinggi (high spin complex).
Ligan medan kuat (strong field ligand) menyebabkan perbedaan energi yang besar antara
orbital t2g dengan orbital eg. Karena energi yang diperlukan untuk menempatkan elektron ke
orbital eg yang tingkat energinya lebih tinggi lebih besar dibandingkan energi yang diperlukan
untuk memasangkan elektron, elektron akan mengisi orbital t2g terlebih dahulu hingga penuh
sebelum mengisi orbital eg.
Besarnya harga ∆o dapat ditentukan secara Spektrofotometri UV-Vis. Kompleks akan
menyerap cahaya dengan frekuensi yang berkesesuaian dengan energi yang diperlukan untuk
mengeksitasikan elektron dari orbital t2g ke orbital eg (v = ∆0/h, h= konstanta Planck). Dari pita
serapan ini dapat dilihat intensitas maksimum dari serapan oleh kompleks terletak pada frekuensi
berapa.
Menurut hasil studi eksperimen dari spektra sejumlah kompleks dengan berbagai macam
jenis logam pusat dan ligan, ternyata ligan-ligan dapat diurutkan sesuai kemampuannya untuk
menyebabkan pemecahan tingkat energi pada orbital d. Deretan ligan ini disebut Deret
Spektrokimia.
I-< Br- < Cl- < F- < OH- < C2O42- < H2O < NCS- < py < NH3 < en < bipy <o-phen < NO2
- <
CN-
Distorsi Tetragonal dalam Kompleks Oktahedral (Distorsi Jahn Taller)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tolakan oleh elektron dari keenam ligan dalam
suatu kompleks oktahedral memecah orbital d menjadi orbital t2g dan eg. Jika elektron-elektron d
dari logam tersusun/terdistribusi secara sistematis, maka elektron-elektron tersebut akan
memberikan tolakan yang setara pada keenam ligan, sehingga kompleks merupakan suatu
oktahedral sempurna. Akan tetapi jika elektron d terdistribusi secara tidak merata dalam orbital
(memiliki penataan yang asimetris), maka ada ligan yang mengalami gaya tolak yang lebih besar
dibandingkan ligan yang lainnya. Dengan demikian struktur kompleks menjadi terdistorsi.
Orbital-orbital eg berhadapan langsung dengan ligan, sehingga penataan elektron yang
asimetris dalam orbital eg akan menyebabkan ligan mengalami tolakan yang lebih besar
dibandingkan ligan lainnya dan menghasilkan distorsi yang signifikan. Sebaliknya orbital-orbital
t2g tidak berhadapan langsung dengan ligan, sehingga penataan elektron yang asimetris dalam
orbital t2g tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap struktur kompleks, distorsi yang
terjadi biasanya sangat lemah sehingga tidak terukur.
Penataan simetris
Jumlah
elektron dt2g Eg
Medan
liganContoh
d0 kuat atau lemah
TiIVO2; [TiIVF6]2-; [TiIVCl6]2-
d3 kuat atau lemah
[CrIII(oksalat)3]3-; CrIII(H2O)6]3+
d5lemah [MnIIF6]4-; [FeIIIF6]3-
d6 kuat [FeII(CN)6]4-; [CoIII(NH3)6]3+
d8lemah [NiIIF6]4-; [Ni(H2O)6]2+
d10 kuat atau lemah
[ZnII(NH3)6]2+; [ZnII(H2O)6]2+
Penataan asimetris
Jumlah
elektron dt2g Eg
Medan
liganContoh
d4lemah Cr(+II); Mn(III+)
d7kuat Co(+II); Ni(+III)
d9 kuat dan lemah
Cu(+II)
Jika orbital dz2 berisi lebih banyak elektron dibandingkan orbital dx2-y2, maka ligan yang
berada pada sumbu z akan mengalami gaya tolak yang lebih besar dibandingkan keempat ligan
lainnya (yang berada pada sumbu x dan y). Gaya tolak yang tidak seimbang tersebut akan
menghasilkan distorsi berupa perpanjangan oktahedron di sepanjang sumbu z, dan disebut
sebagai distorsi tetragonal. Lebih tegasnya, distorsi berupa pemanjangan sumbu x semacam ini
disebut sebagai elongasi (perpanjangan) tetragonal.
Sebaliknya, jika orbital yang berisi lebih banyak elektron adalah orbital dx2-y
2, elongasi
akan terjadi sepanjang sumbu x dan sumbu y, sehingga ligan dapat lebih mendekat ke arah logam
pusat melalui sumbu z. Berarti akan ada empat ikatan yang panjang dan dua ikatan yang lebih
pendek, dan struktur yang terbentuk mirip dengan oktahedron yang ditekan sepanjang sumbu z.
Distorsi semacam ini disebut kompresi tetragonal.Distorsi berupa elongasi tetragonal lebih
sering terjadi dibandingkan kompresi tetragonal.
Gambar (c) Gambar (d)
Gambar (c) Elongasi tetragonal yang terjadi pada suatu kompleks oktahedral.
Elektron-elektron pada orbital dz2 menimbulkan gaya tolak yang menyebabkan ligan pada sumbu
z menjauh dari logam pusat
Gambar (d) Kompresi tetragonal. Elektron-elektron pada orbital dx2-y2 menimbulkan
gaya tolak yang cukup kuat sehingga ligan-ligan yang terikat pada sumbu x dan y menjauh dari
logam pusat.
Dapat disimpulkan bahwa jika pengisian orbital dx2-y
2 dan dz2 tidak sama, maka akan terjadi
distorsi. Hal ini disebut sebagai Distorsi Jahn Taller.
Teorema Jahn-Taller menyatakan bahwa : “sistem molekuler yang tidak linear dalam suatu
keadaan elektron yang terdegenerasi tidaklah stabil; dan akan mengalami distorsi untuk
menurunkan simetrinya dan menghilangkan degenerasi yang terjadi”.
KOMPLEKS SEGI EMPAT PLANAR
Jika logam pusat dalam kompleks memiliki konfigurasi d8, maka enam elektron akan
mengisi orbital t2g dan dua elektron akan mengisi orbital eg. Penataan elektronnya ditunjukkan
dalam Gambar (a). Orbital-orbital terisi oleh eletron secara simetris, dan suatu kompleks
oktahedral terbentuk.
Gambar (e) Penataan elektron yang simetris di orbital t2g dan eg pada logam dengan
konfigurasi elektron d8
Gambar (f) Pemecahan tingkat energi orbital eg, untuk mencapai kestabilan, kedua
elektron mengisi orbital dz2 yang tingkat energinya lebih rendah
Elektron yang berada pada orbital dx2-y
2 mengalami tolakan dari empat ligan yang berada
pada sumbu x dan y; sementara elektron yang ada pada orbital dz2 hanya mengalami tolakan dari
dua ligan yang berada pada sumbu z. Jika medan ligan cukup kuat, maka perbedaan energi di
antara dua orbital ini (orbital dx2-y
2 dan dz2) menjadi lebih besar dibandingkan energi yang
diperlukan untuk memasangkan elektron. Pemecahan orbital eg ini ditunjukkan pada Gambar(f).
Dalam kondisi demikian, kompleks akan menjadi lebih stabil jika orbital dx2-y
2 kosong dan
kedua elektron yang seharusnya menempati orbital eg ditata secara berpasangan pada orbital dz2 .
Dengan demikian, empat buah ligan dapat terikat dalam kompleks pada sumbu x dan y dengan
lebih mudah karena tidak mengalami tolakan dari orbital dx2-y
2 yang telah kosong. Sebaliknya
ligan tidak dapat mendekati logam pusat melalui sumbu z, karena mengalami tolakan yang
sangat kuat dari orbital dz2 yang terisi dua elektron. Oleh karena itu hanya terbentuk empat
ikatan antara logam pusat dengan ligan, dan struktur geometris kompleks menjadi segiempat
planar.
∆E
Gambar (e) Gambar (f)
eg
t2g
Kompleks segiempat planar terbentuk pada ion logam dengan konfigurasi elektron d8 dan
ligan yang memiliki medan yang sangat kuat, misalnya [NiII(CN)4]2-. Semua kompleks Pt(II) dan
Au(II) merupakan kompleks segi empat planar, meskipun dengan ligan medan lemah.
Besarnya pemecahan energi orbital eg tergantung pada jenis ligan dan logam yang menjadi
ion pusat. Pada kompleks segiempat planar dari CoII; NiII dan CuII, orbital dz2 memiliki tingkat
energi yang hampir sama dengan orbital dxz dan dyz. Sedangkan dalam kompleks [PtCl4]2-, orbital
dz2 memiliki tingkat energi yang lebih rendah dibandingkan orbital dxz dan dyz.
KOMPLEKS TETRAHEDRAL
Orientasi ruang dari suatu kompleks dengan geometris tetrahedral dapat dihubungkan
sebagai suatu kubus, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar (g).
(g)
Gambar g. Struktur kompleks tetrahedral sebagai suatu kubus
Berdasarkan gambar tersebut, ligan berada di antara sumbu-sumbu x, y dan z.
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, orbital-orbital t2g (dxy, dxz, dan dyz) berada di
antara sumbu x, y dan z, sementara orbital-orbital eg (dx2-y
2 dan dz2) berada dalam posisi yang
berimpit dengan sumbu x, y dan z. Oleh karena itu, pada kompleks tetrahedron, ligan berada
lebih dekat dengan orbital-orbital t2g, meskipun posisi ligan tidak tepat berimpit dengan orbital-
orbital tersebut. Oleh karena itu, pada kompleks tetrahedron terjadi pemecahan energi yang
berkebalikan dengan pemecahan energi pada kompleks oktahedron.
Ligan
Logam pusat
Pada kompleks tetrahedron, terjadi pemecahan tingkat energi dimana orbital t2g mengalami
kenaikan tingkat energi (karena berada dalam posisi yang lebih berdekatan dengan ligan)
sementara orbital eg mengalami penurunan tingkat energi. Pemecahan tingkat energi dalam
kompleks tetrahedron ditunjukkan dalam Gambar (h).
(h)
Gambar (h) Pemecahan tingkat energi yang terjadi dalam kompleks tetrahedron
Untuk membedakannya dengan kompleks oktahedron, selisih energi antara orbital eg dan
t2g dalam kompleks tetrahedron diberi notasi ∆t .
Setiap elektron yang menempati orbital eg maupun t2g dalam kompleks tetrahedron
memberikan kontribusi terhadap harga CFSE dari kompleks tetrahedron. Setiap elektron pada
orbital eg akan menurunkan energi sebesar 0,6∆t, sementara setiap elektron yang menempati
orbital t2g akan menaikkan energi sebesar 0,4 ∆t. Secara sederhana, harga CFSE dari suatu
kompleks tetrahedral dapat dirumuskan sebagai berikut :
CFSE tetrahedron = -0,6∆t + 0,4∆t
Besarnya CFSE dari suatu kompleks tetrahedron diramalkan lebih kecil dibandingkan
CFSE kompleks oktahedron. Hal ini dikarenakan jumlah ligan yang terikat dalam kompleks
tetrahedron juga lebih sedikit, hanya ada empat ligan, sementara pada kompleks oktahedron ada
6 ligan yang terikat pada logam pusat. Selain itu, berbeda dengan kompleks oktahedron dimana
arah orbital tepat berimpit dengan arah datangnya ligan, ligan yang terikat pada kompleks
tetrahedron tidak tepat berimpit dengan orbital.
2.3 Teori Orbital Molekul
∆E (∆t)
Teori orbital molekular mengandaikan bahwa apabila dua atom atau lebih bergabung
membentuk suatu spesies, maka spesies ini tidak lagi memiliki sifat orbital atomik secara
individual, melainkan membentuk orbital molekular “baru”.
Orbital molekular adalah hasil tumpang-tindih dan penggabungan orbital atomik pada
molekul. Menurut pendekatan lurus (linear combination), jumlah molekuler yang bergabung
sama dengan orbital atomik yang bergabung. Bila dua atom yang bergabung masing-masing
menyediakan satu orbital atomik maka dihasilkan dua orbital molekuler, salah satu merupakan
kombinasi jumlahan kedua orbital atomik yang saling menguatkan dan lainnya kombinasi
kurangan yang saling meniadakan. Kombinasi jumlahan menghasilkan orbital molekuler ikat
(bonding) yang mempunyai energi lebih rendah, dan kombinasi kurangan menghasilkan orbital
molekuler antiikat (antibonding).
Orbital molekuler ikat (bonding) yaitu orbital dengan rapatan elektron ikat terpusat
mendekat pada daerah antara kedua inti atom yang bergabung dan dengan demikian
menghasilkan situasi yang lebih stabil. Orbital molekuler antiikat (antibonding) yaitu orbital
dengan rapatan elektron ikat terpusat menjauh dari daerah antara inti atom yang bergabung dan
menghasilkan situasi kurang stabil. Penempatan elektron dalam orbital molekul ikatan
menghasilkan ikatan kovalen yang stabil, sedangkan penempatan elektron dalam orbital molekul
antiikatan menghasilkan ikatan kovalen yang tidak stabil. Jika pada daerah tumpang-tindih ada
orbital atomik yang tidak bereaksi dalam pembentukan ikatan, orbital ikatan yang dihasilkan
disebut orbital nonikat (nonbonding).
Dalam orbital molekul ikatan kerapatan elektron lebih besar di antara inti atom yang
berikatan. Sementara, dalam orbital molekul anti ikatan, kerapatan elektron mendekati nol
diantara inti. Perbedaan ini dapat dipahami bila kita mengingat sifat gelombang pada elektron.
Gelombang dapat berinteraksi sedemikian rupa dengan gelombang lain membentuk interferensi
konstruktif yang memperbesar amplitudo, dan juga interferensi destruktif yang meniadakan
amplitudo.
Teori orbital molekul (OM) menggambarkan ikatan kovalen melalui istilah orbital molekul
yang dihasilkan dari interaksi orbital-orbital atom dari atom-atom yang berikatan dan yang
terkait dengan molekul secara keseluruhan (lischer, 2009). Konstruksi orbital molekul dari
orbital atom, bagian dalam pembentukan molekul. Separuh dari orbital molekul mempunyai
energi yang lebih besar daripada energi orbital atom. Orbital yang dibentuk yaitu orbital molekul
pengikatan (bonding) dan orbital molekul antiikatan (anti bonding). Elektron yang tidak
mengambil bagian dalam pengikatan disebut elektron tidak berikatan (nonbonding) dan
mempunyai energy yang sama dengan energy yang dimiliki atom-atom yang terpisah. Energi –
energi relatif dari setiap jenis orbital secara umum terlihat pada gambar 2 berikut ini :
(Dogra, 1990)
Gambar 2. Kombinasi orbital atom yang membentuk orbital atom
2. 4 Diagram Korelasi Orbital Molekul HCl
Molekul HCl merupakan molekul heteronuklir, dimana kedua atom berasal dari unsur yang
berbeda. Atom Cl memiliki nomor atom 17 dengan konfigurasi elektron: 1s2 2s2 2p6 3s2 3p5,
sedangkan atom H memiliki nomor atom 1 dengan konfigurasi elektron: 1s1. Atom Cl lebih
elektronegatif daripada atom H. Diagram korelasi orbital molekul menunjukkan bahwa tingkat-
tingkat energi dari atom Cl yang lebih elektronegatif bergeser ke arah bawah, karena atom Cl
menarik elektron-elektron valensi lebih kuat dari pada atom H. Seperti gambar 4 diagram
korelasi orbital molekul HCl.
Gambar 4. Diagram korelasi orbital molekul HCl
Orbital-orbital atom bercampur secara signifikan membentuk orbital molekul hanya jika
energi orbital-orbital ini cukup berdekatan dan mempunyai simetri yang benar. Pada molekul
HCl, orbital 1s dari atom Cl energinya terlalu rendah untuk bisa bercampur dengan orbital 1s dari
atom H. Hal yang sama juga terjadi untuk orbital 2s atom Cl. Berdasarkan teori hibridisasi
sebelum atom Cl berikatan dengan atom H membentuk molekul maka akan terjadi hibridisasi
orbital atau pencampuran orbital atom Cl. Pada atom Cl dapat dilihat bahwa orbital 3s bercampur
dengan orbital 3p (karena berada dalam satu kulit) sebelum membentuk orbital molekul. Hal ini
dikarenakan semua elektron pada kulit terluar memiliki kesempatan yang sama untuk berikatan
dengan elektron pada atom H, sehingga terjadi pencampuran orbital 3s dan 3p pada atom Cl.
Interaksi antara 3s pada atom Cl membentuk ikatan sigma, biasanya apabila terjadi
interaksi membentuk ikatan maka akan terbentuk 2 orbital yaitu orbital σ dan σ*. Namun, karena
orbital ikatan 4sb lebih rendah energinya dari nonbonding maka tidak terbentuk ikatan anti sigma
(σ*). Tumpang tindih total dari orbital 1s hidrogen dengan orbital 3Px atau 3Py (terletak di atas 5sb
pada gambar 4) atom Cl adalah nol, sebab fasa positif dan negatif dari fungsi gelombang
gabungan bila dijumlahkan menjadi nol. Atom Cl hanya meninggalkan orbital 3Pz (4sb), yang
bergabung dengan orbital 1s hidrogen menghasilkan orbital σ dan σ*.
Dari gambar 4 dapat dilihat bahwa orbital 3Px (2πnb), dan 3Py(2πnb) dari klor tidak
bercampur dengan orbital 1s dari hidrogen dan dengan demikian tetap berada dalam keadaan
atomic (non pengikatan). Elektron-elektron dalam orbital ini tidak berkontribusi secara signifkan
dalam pengikatan kimia. Karena klor lebih elektronegatif daripada hidrogen, energi orbital 3p
nya terletak dibawah energi orbital 1s dari hidrogen. Bila kedelapan elektron valensi digunakan
untuk HCl, maka konfigurasi orbital molekul yang dihasilkan adalah:
(3sCl)2 (σ)2 (3pCl)4.
Orde ikatan totalnya adalah 1 sebab elektron-elektron dalam orbital atom nonpengikatan
tidak mempengaruhi orde ikatan. elektron-elektron dalam orbital σ akan lebih cenderung
ditemukan dekat dengan atom klorin daripada didekat atom hidrogen, dan dengan demikian HCl
memiliki momen dipol Hδ+Cl δ-.
2.4 Teori orbital molekul bagi diatomik mononuklir
Tumpang tindih yang baru disebut secara lebih terinci, dan menunjukkan bagaimana hasil
Orbital Molekul dilambangkan. Empat jenis pertindihan pertama, baik positif (memberikan OM
ikatan) ataupun negatif (memberikan OM anti-ikatan) menimbulkan OM yang ditandai oleh σ.
Pertindihan px ± p’x dan py ± p’y menimbulkan OM bertanda π. Dua yang terakhir, s ± p’z juga
memberikan OM σ.
Notasi σ, π, δ. Bila dipandang OM dua atom sepanjang arah ikutan, yaitu bila dilihat dari
ujung-ujungnya:
a. Akan tampak fungsi gelombang yang bertanda sama, baik + atau -, ke segala arah. Dengan
perkataan lain bila dibuat lingkaran mengelilingi sumbu ikatan, tidak terjadi perubahan tanda
diseluruh lingkaran. OM ini disebut OM σ (sigma). OM semaca itu hanya dapat dibentuk oleh
pertindihan (baik + atau -) dari dua orbital atom yang juga mempuyai sifat sama terhadap sumbu
yang dipersoalkan .
b. Dapat dilihat suatu fungsi gelombang yang dipisahkan ke dalam dua daerah tanda berlawanan
terhadap OM seluruhnya, terdapat bidang simpul. Tepat pada bidang ini fungsi gelombang
memiliki amplitudo nol, sepanjang ikatan. Lambang π , abjad Yunani dari p digunakan karena
jenis OM ini analog dengan orbital p. OM ini dapat terbentuk oleh pertindihan dua orbital p yang
arahnya sesuai. Studi kasus pada molekul diatom, atau molekul linear lainnya, orbital π selalu
terdapat berpasangan, karena selalu ada dua orbital p yang serupa, px dan py pada setiap atom.
Semua setara dan oleh sebab itu terbentuk dua OM ikatan π yang setara, dan dua OM anti-ikatan
π yang setara.
c. Walaupun tidak akan ditemui kemungkinan ini sampai nanti bila dibahas senyawa logam
transisi, terdapat OM yang memiliki dua bidang simpul. Ini disebut orbital-orbital δ (d-Yunani).
OM π tidak dapat dibentuk oleh orbital s atau p, namun dengan pertindihan orbital atom d,
misalnya dua orbital dxy atau dua orbital dx2 – y2 akan membentuk OM δ .
2.5 Molekul-molekul diatom heteronuklir
Molekul diatomik heteronuklir/hetero-diatomik adalah molekul diatomik yang terbentuk
dari atom dua unsur yang berbeda. Molekul diatomik heteronuklir periode ke-2 seperti CO dan
NO. Diagram korelasi untuk molekul hetero-diatomik sangat berbeda dengan diagram korelasi
molekul homo-diatomik. pada diagram molekul hetero-diatomik tingkat energi masing-masing
atom berbeda, hal ini disebabkan adanya keelektronegatifan. atom yang lebih elektronegatif
bergeser kearah bawah, karena elektron ini menarik elektron-elektron valensi lebih kuat dari
pada atom yang kurang elektronegatif.
Orde ikatan adalah ukuran pada molekul diatomik, dimana orde ikatan merupakan selisih
jumlah elektron di orbital ikatan dengan jumlah ikatan elektron di orbital non ikatan yang
kemudian dikalikan setengah.
Diambil contoh yaitu CO dan NO, hal yang terpenting dalam pembandingan ini adalah (1)
sekalian orbital atom oksigen terletak pada energi yang lebih rendah daripada orbital-orbital
atom C yang sesuai karena oksigen memiliki muatan inti dua satuan lebih tinggi.
Dapat dilihat hasil perbedaan energi orbital atom dari OM CO dengan OM N2. Dimisalkan
orbital tertinggi yang penuh dari N2 adalah orbital σ dari sifat ikatan sedang. Oleh karena itu
kehilangan satu elektron dari N2 melemahkan ikatan N-N. Dalam CO orbital tertinggi yang
penuh adalah orbital σ yang bersifat anti-ikatan. Oleh karena itu, ion CO+ memiliki ikatan yang
sedikit lebih kuat daripada CO.
Molekul diatom yang berlainan inti lainnya adalah Natrium Monoksida, NO. Karena N dan
O hanya beredar satu nomor atom, diagram tingkat energy nya agak mirip dengan N2.. Elektron
tambahan menempati π2 anti-ikatan yang relatif lebih mudah dihilangkan untuk membentuk ion
NO+ yang memiliki ikatan lebih kuat daripada NO netral. Struktur electron NO dspat lebih
mudah dijabarkan secara kualitatif dengan memindahkan satu electron dari konfigurasi molekul
O2.
2.6 Teori orbital molekul bagi molekul poliatom
Metode orbital molekul dapat berlaku secara umum terhadap molekul-molekul yang lebih
besar. Diambil contoh yaitu molekul triatom linear yang paling sederhana BeH2. Akan dipilih
sumbu z sebagai sumbu molekul. Pertama kali perhatikan bahwa dapat terbentuk OM σ, karena
atom hidrogen hanya memiliki orbital 1s yang digunakan dalam pengikatan. Orbital tersebut
bersifat σ terhadap sumbu manapun yang melewati inti, dan karenanya hanya dapat
menyumbang kepada OM σ. Kemudian pada atom Be, hanyalah terdapat atom 2s dan 2pz yang
dapat ikut dalam pengikatan. Orbital yang memiliki sifat π dan pertindihan nol dengan orbital σ
manapun, tidak akan mengambil peran dalam pengikatan BeH2.
Orbital 2s dari berrilium dapat bergabung dengan dua orbital 1s. Dalam hal ini tanda kedua
orbital 1s berada dalam “fase sama” satu sama lain, dan berada dalam “fase sama” atau “fase
berbeda” dengan orbital 2s berillium.
Butir-butir penting untuk selalu ingat mengenai keempat OM σ adalah sebagai berikut:
1. Dalam setiap OM ikatan, rapatan electron besar dan bersinambungan antara atom-atom
yang berdekatan, sedangkan dalam OM anti-ikatan terdapat simpul antara sepasang inti yang
berdekatan.
2. Dalam setiap OM tersebut, fungsi gelombang menunjukkan bahwa sepasang elektron yang
menempatinya “terbesar” keseluruh molekul, dan digunakan oleh sekalian bersama atom, bukan
saja oleh pasangan tertentu yang berdekatan. Dengan perkataan lain, elektron-elektron dalam
OM terdelokalisasi ke seluruhan jangkaun OM.
Penerapan teori OM yang lebih umum dan sangat penting dalam molekul-molekul
poliatom, meliputi ikatan π dalam deret planar. Satu golongan penting yang secara kualitatif
serupa walaupun secara terinci berbeda berbeda adalah spesies simetris dengan rumus umum
AB3 yang planar. Contoh-contoh yang penting adalah BF3, CO3-2, NO3
-.
2.7 Pendekatan ikatan terlokalisasi
Untuk mengetahui sifat kelinearan dapat menggunakan konsep baru yakni:
1. keadaan valensi
2. hibridisasi
Suatu atom yang hanya memiliki orbital-orbital s dan p dalam valensi dapat membentuk
tiga jenis orbital hibrida, bergantung kepada banyaknya elektron yang tersedia untuk membuat
ikatan:
Hibrida sp memberikan molekul linear
Hibrida sp2 memberika molekul segitiga planar
Hibrida sp3 memberikan molekul tetrahedral
Bila tersedia orbital-orbital d beserta orbital s dan p, set hibrida penting yang berikut ini:
1. Hibridisasi oktahedral, d2sp3.
2. Hibridisasi segiempat planar, dsp2.
3. Hibridisasi tetrahedral, sd3.
4. Hibridisasi bipiramidal-trigonal, dsp3.
5. Hibridisasi piramidal-segiempat, dsp3.
Penggunaan orbital hibrida untuk menerangkan dan mengaitkan struktur tidak begitu lazim
lagi pada tahun-tahun ini, untuk memberikan jalan bagi penggunaan yang umum dari teori OM.
Alasan utamanya adalah bahwa pendekatan OM lebih mudah diterapkan untuk perhitungan
kuantitatif yang menggunakan komputer digital, dan karena dengan perhitungan semacam itu
dimungkinkan untuk menerangkan spektra molekul secara lebih mudah. Bagaimanapun konsep
orbital hibrida tetap memiliki kelebihan tertentu karena kesederhananya, dan dalam banyak hal
memberikan cara yang sangat mudah untuk mengaitkan dan “menerangkan” struktur molekul
Dengan menggunakan pendekatan LCAO (Linier Combination of Atomic Orbital)
diketahui bahwa terdapat 3 jenis orbital molekul yaitu :
1. Orbital Molekul Ikatan (bonding/ψs) :
Memiliki energy terendah jika dibandingkan orbital atom (ketika electron masing belum berinteraksi).
2. Orbital Molekul Anti Ikatan (Anti Bonding/Ψ*S)
Energy yang dimiliki lebih tinggi dibandingkan orbital atom pembentuknya.
3. Orbital Molekul Tak Berikatan (nonbonding)
Merupakan hasil dari tidak adanya interaksi antar orbital atom (tidak simetris) Energy yang dimilikinya sama dengan orbital atom dari salah satu atom molekul
Sedangkan jenis ikatan yang dihasilkan akan terbagi menjadi 4 jenis yaitu:
1. Ikatan Sigma (σ)
Dihasilkan dari interaksi 2 orbital atom s atau orbital atom px
2. Ikatan Phi (∏)
Dihasilkan dari ineraksi 2 orbital atom pyatau pz
3. Ikatan Delta (Δ)
Dihasilkan dari ineraksi 2 orbital atom dxyatau dx2 – y
2 pada kompleks logam transisi
4. Ikatan Psi
Secara teoritis dihasilkan dari interaksi orbital f.
Pada teori ini terbentuknya suatu ikatan, digambarkan dengan diagram molekul hasil interaksi orbital-orbital atom, seperti yang terlihat di bawah ini:
Untuk molekul dengan 2 atom yang berbeda, interaksi dari orbital atom hanya terjadi jika
elektronegatifitas yang dimilikinya sama. Misalnya :
OM pada LiF 3Li = 1s2 2s1
9F = 1s2 2s2 2p5
Permasalahan yang timbul di sini adalah penulisan diagram orbitalnya, dimana kita harus
menentukan tingkat energy yang dimiliki 2s dari Li dengan 2s dari F , manakah yang lebih tinggi
di anatara ke duanya. Untuk menentukan hal tersebut, kita hanya perlu mengingat kembali
tentang sistem keelektrobegatifan yang dimiliki keduanya. Seperti yang kita ketahui bahwa F
memiliki tingkat keelektronegatifan lebih tinggi dibandingkan Li yang artinya keadaan F lebih
stabil (aturan octet), sebagai akibatnya maka F memiliki tingkat energy yang lebih rendah,
sehingga diagram orbitalnya dapat kita tuliskan sebagai berikut:
maka dari diagram ters ebut diketahui bahwa orbital molekul memiliki 3 pasang electron
non bonding yang berasal dan F dan orbital ikatan yang terbentuk pada orbital 2px dari F, yang
artinya bahwa ikatan yang terjadi akibat polarisasi dari F, sehingga timbul transfer electron dari
Li ke F yang menyebabkan terbentuknya ikatan ionik pada molekul tersebut.
2.8 Pembentukan Orbital molekul
Dalam orbital molekul ikatan kerapatan elektron lebih besar di antara inti atom yang berikatan. Sementara, dalam orbital molekul antiikatan, kerapatan elektron mendekati nol diantara inti. Perbedaa ini dapat dipahami bila kita mengingat sifat gelombang pada elektron. Gelombang dapat berinteraksi sedemikian rupa dengan gelombang lain membentuk interferensi konstruktif yang memperbesar amplitudo, dan juga interferensi destruktif yang meniadakan amplitudo.
Pembentukan orbital molekul ikatan berkaitan dengan interferensi konstruktif, sementara
pembentukan orbital molekul antiikatan berkaitan dengan interferensi destruktif. Jadi, interaksi
konstruktif dan interaksi destruktif antara dua orbital 1s dalam molekul H2 mengarah pada
pembentukan ikatan sigma (σ1s) dan pembentukan antiikatan sigma (σ*1s).
(a)
(b)
Gambar (a) interaksi konstruktif yang menghasilkan orbital molekul ikatan sigma (b)
interaksi destruktif yang menghasilkan orbital molekul antiikatan sigma.
Orbital atom yang mengambil bagian dalam pembentukan orbital molekul harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Orbital atom yang membentuk orbital molekul harus mempunyai energi yang dapat
dibandingkan.
2. Fungsi gelombang dari masing-masing orbital atom harus bertumpang tindih dalam ruangan
sebanyak mungkin..
3. Fungsi gelombang orbital atom harus mempunyai simetri yang relatif sama dengan sumbu
molekul.
Yang paling umum membentuk orbital molekul adalah σ (sigma) dan orbital π (pi). Orbital
sigma simetris disekitar sumbu antar nuklir. Penampang tegak lurus terhadap sumbu nuklir
(biasanya sumbu x) memberikan suatu bentuk elips. Ini terbentuk dari orbital s maupun dari p
dan orbital d yang mempunyai telinga sepanjang sumbu antar nuklir. Orbital π terbentuk ketika
orbital p pada setiap atom mengarah tegak lurus terhadap sumbu antarnuklir. Daerah tumpang
tindih ada di atas dan di bawah sumbu ikatan (lihat gambar 3).
Gambar 3. Bentuk orbital molekul yang terbentuk dari orbital atom
Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa pada orbital molekul antiikatan sigma terdapat
simpul (node) yang menyatakan kerapatan elektron nol, sehingga kedua inti positif saling tolak-
menolak.
Gambar Tingkat energi orbital molekul ikatan dan antiikatan molekul H2
Penggunaan teori orbital molekul ini dapat diterapkan pada molekul-molekul lain selain
molekul H2. Hanya saja, jika dalam molekul H2 kita hanya perlu memikirkan orbital 1s saja,
maka pada molekul lain akan lebih rumit karena kita perlu memikirkan orbital atom lainnya juga.
Untuk orbital p, prosesnya akan lebih rumit karena orbital ini dapat berinteraksi satu sama
lain dengan cara yang berbeda. Misalnya, dua orbital 2p dapat saling mendekat satu sama lain
ujung-ke-ujung untuk menghasilkan sebuah orbital molekul ikatan sigma dan orbital molekul
antiikatan sigma. Selain itu, kedua orbital p dapat saling tumpang tindih secara menyimpang
untuk menghasilkan orbital molekul pi (π2p) dan orbital molekul antiikatan pi (π*2p).
(a)
(b)
Gambar (a) pembentukan satu orital molekul ikatan sigma dan satu orbital molekul
antiikatan sigma ketika orbital p saling tumpang tindih ujung-ke-ujung. (b) ketika orbital p saling
tumpang tindih menyamping, terbentuk suatu orbital molekul pi dan suatu orbital molekul
antiikatan pi.
Pembentukan ikatan melalui orbital σ yang paling sederhana dapat dicontohkan dalam
pembentukan ikatan antar atom hidrogen dalam molekul H2.
orbital σ* (orbital molekul antibonding)
1s 1s
orbital σ (orbital molekul bonding)
Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa tiap atom H memiliki masing-masing satu buah
elektron pada orbital 1s. kedua orbital atom H tersebut kemudian bergabung membentuk orbital
molekul σ, sehingga terbentuk dua macam orbital, orbital σ yang merupakan orbital bonding, dan
orbital σ* yang merupakan orbital antibonding. Sesuai dengan aturan Hund, maka mula-mula
elektron dari salah satu atom H mengisi orbital molekul σ yang terbentuk, kemudian elektron
dari atom H yang lain juga mengisi orbital σ tersebut. Dengan terbentuknya orbital molekul
yang diisi oleh elektron dari kedua atom H, maka terbentuklah ikatan antar atom H tersebut
menjadi molekul H2. Molekul H2 ini merupakan molekul yang stabil, karena elektron-
elektronnya berada pada orbital molekul σ yang tingkat energinya lebih rendah dibandingkan
tingkat energi orbital atom pembentuknya.
Pembentukan orbital molekul ini dapat digunakan untuk menjelaskan ketidakstabilan dari
molekul He2. Perhatikan diagram berikut :
orbital σ (orbital molekul bonding)
Setiap atom Helium memiliki dua elektron pada setiap orbital 1s. saat orbital-orbital atom
1s dari kedua atom Helium tersebut membentuk orbital molekul, terbentuk 2 macam orbital
1s 1s
1s 1s
molekul pula, orbital σ dan σ*. Elektron-elektron mula-mula mengisi orbital bonding σ yang
tingkat energinya lebih rendah, kemudian mengisi orbital antibonding σ*. Karena baik orbital
bonding. Maupun orbital antibonding sama-sama terisi elektron, maka keduanya akan saling
meniadakan, sehingga molekul He2 menjadi sangat tidak stabil.
Kedua contoh diatas menunjukkan pembentukan orbital molekul untuk molekul diatomik
yang heterogen, sehingga orbital atom yang digunakan dalam pembentukan orbital molekul
memiliki tingkat energi yang sama. Pada molekul diatomik yang heterogen, atom yang lebih
elektronegatif orbital atomnya memiliki tingkat energi yang lebih rendah. Perbedaan tingkat
energi antar orbital atom dari dua atom berbeda yang saling berikatan merupakan ukuran dari
sifat ionik ikatan yang terbentuk antara kedua atom tersebut. Sedangkan perbedaan tingkat energi
antara orbital bonding molekul yang terbentuk dengan orbital atom (dari atom yang tingkat
energinya lebih rendah) merupakan ukuran sifat kovalen ikatan yang terbentuk. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan ilustrasi yang diberikan dalam diagram berikut :
orbital σ*
Pada diagram tersebut, atom B memiliki tingkat energi yang lebih rendah dibandingkan
orbital atom A. Oleh karena itu, orbital molekul (OM) σ yang terbentuk memiliki karakteristik
yang lebih mirip dengan orbital atom B. Selisih energi antara orbital atom A dan orbital atom B,
dinotasikan dengan a, menunjukkan ukuran sifat ionik ikatan yang terbentuk antara A dan B.
Sedangkan selisih energi antara OM σ dengan orbital atom B, dinotasikan dengan b,
menunjukkan sifat kovalen ikatan AB.
Pembentukan Orbital Molekul σ dalam Senyawa Kompleks
Pada senyawa kompleks, orbital molekul terbentuk sebagai gabungan/ kombinasi dari
orbital atom logam dengan orbital atom dari ligan. Orbital atom logam dapat bergabung dengan
orbital atom ligan jika orbital-orbital atom tersebut memiliki simetri yang sama.
Untuk logam transisi pertama, orbital yang dapat membentuk orbital molekul adalah
orbital-orbital eg (dx2-y
2 dan dz2), 4s, 4p, 4px, 4py dan 4pz. Orbital-orbital t2g (dxy, dxz dan dyz) dari
logam tidak dapat membentuk orbital σ karena orientasi arahnya yang berada di antara sumbu x,
y dan z. Oleh karena itu ketiga orbital tersebut disebut sebagai orbital nonbonding. Meskipun
tidak dapat membentuk oribtal σ, orbital-orbital t2g tersebut dapat membentuk orbital molekul π
dengan orbital atom dari ligan yang tidak searah dengan orbital atom logam.
Ligan dapat membentuk orbital molekul dengan orbital logam jika posisinya segaris
dengan logam, atau berada tepat pada sumbu/garis penghubung ion pusat dan ligan. Adapun
orbital atom dari ligan yang dapat bergabung dengan orbital atom dari logam adalah orbital s
atau orbital hasil hibridisasi antara o rbital s dan p.
Karena jauh lebih banyak orbital dan elektron yang terlibat, maka diagram pembentukan
orbital molekul dalam senyawa kompleks lebih rumit dibandingkan diagram pembentukan
orbital molekul untuk molekul diatomik sederhana. Umumnya orbital atom dari ligan tingkat
energinya lebih rendah dibandingkan orbital atom dari logam pusat, sehingga karakteristik dari
orbital molekul yang terbentuk lebih mirip dengan karakteristik orbital atom ligan dibandingkan
orbital atom logam. Berikut ini contoh diagram pembentukan orbital molekul untuk kompleks
[Co(NH3)6]3+
Pada kompleks [Co(NH3)6], orbital-orbital 4s, 4px, 4py, 4pz, 3dx2-y
2, dan 3dz2 dari logam Co
bergabung dengan keenam orbital px dari atom ligan NH3 membentuk orbital molekul. Orbital
molekul σ yang terbentuk masing-masing diisi dengan sepasang elektron dari ligan NH3. Orbital
3dxy, 3dxz, dan 3dyz dari Co3+ tidak bergabung membentuk orbital molekul, ketiga orbital tersebut
merupakan orbital nonbonding (non ikatan) dalam kompleks ini. Selisih antara tingkat energi
nonbonding dengan orbital σ* (orbital antibonding) merupakan harga Δ0 dari kompleks tersebut.
Dalam TOM, splitting/pemecahan tingkat energi yang terjadi merupakan akibat dari kovalensi.
Makin besar kovalensi,makin besarpula harga Δ0. Dalam kompleks [Co(NH3)6]3+ tersebut, harga
Δ0 cukup besar, sehingga semua elektron lebih memilih untuk mengisi orbital nonbonding,
kompleks merupakan kompleks low spin. Karena semua elektron dalam kompleks berpasangan,
maka dapat diramalkan bahwa kompleks tersebut bersifat diamagnetik.
Pada kompleks [CoF6]3-, selisih tingkat energi antara orbital nonbonding dengan orbital
antibonding /orbital σ* yang terbentuk relatif cukup kecil, sehingga elektron dapat mengisi
orbital σ* terlebih dahulu. Kompleks ini merupakan kompleks high spin. Diagram pembentukan
orbital molekul pada kompleks [CoF6]3- dapat dilihat berikut ini :
Orbital-orbital 3dx2-y
2; 3dz2; 4s; 4px; 4py; dan 4pz dari logam bergabung dengan 6 buah
orbital px dari keenam ligan F- yang mengelilingi logam pusat tersebut. Orbital-orbital t2g dari
logam membentuk orbital nonbond ing atau non-ikatan. Selisih tingkat energi antara orbital
nonbonding ini dengan orbital antibonding σ* yang terbentuk dinotasikan dengan Δ0. Pada
kompleks [CoF6]3-, karena harga Δ0 relatif cukup kecil, maka sebelum mengisi orbital
nonbonding secara berpasangan, elektron dari ligan mengisi orbital σ* terlebih dahulu.
Akibatnya setiap orbital σ* yang merupakan orbital antibonding masing-masing terisi satu buah
elektron. Terisinya orbital antibonding ini mengakibatkan ikatan antara logam Co dengan ligan
NH3 tersebut menjadi lebih lemah. Karena dalam kompleks terdapat sejumlah elektron yang
tidak berpasangan, maka dapat diramalkan bahwa kompleks [CoF6]3- merupakan kompleks yang
bersifat paramagnetik.
Pembentukan Orbital π
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, orbital σ dapat terbentuk antar orbital atom
dengan simetri yang sama. Adapun orbital π dapat terbentuk antara orbital px, py, pz, dxy, dxz, dan
dyz dari logam dengan orbital atom dari ligan yang tidak searah dengan orbital logam. Salah satu
contoh bagaimana orbital π dapat terbentuk antara orbital atom dari logam dengan orbital atom
yang dimiliki ligan ditunjukkan dalam gambar berikut :
Gambar (j) Posisi orbital atom pz dari logam dan orbital pz ligan berada dalam posisi
yang sejajar, sehingga juga dapat bergabung dan menghasilkan orbital molekul π.
Jika pada pembentukan ikatan σ ligan berperan sebagai Basa Lewis yang menyumbangkan
pasangan elektron, maka dalam pembentukan ikatan π ini, ligan dapat bertindak sebagai asam
Lewis yang menerima pasangan elektron yang didonorkan oleh logam.
Adanya ikatan π akan memperkuat ikatan antara logam dengan ligan, sehingga
meningkatkan kestabilan kompleks. Selain itu, konsep mengenai pembentukan ikatan π juga
dapat menjelaskan urutan kekuatan ligan dalam Deret Spektrokimia.
Ligan dapat berperan sebagai akseptor π atau donor π, tergantung keterisian orbital π yang
dimiliki oleh ligan tersebut.
a.Ligan akseptor π
Sejumlah ligan seperti CO, CN- dan NO+ memiliki orbital π kosong yang dapat bertumpang
tindih dengan orbital t2g dari logam, membentuk ikatan π. Interaksi semacam ini seringkali
disebut sebagai pembentukan ikatan balik (backbonding). Tingkat energi dari orbital π yang
dimiliki ligan ini seringkali lebih tinggi dibandingkan tingkat energi dari logam, sehingga dapat
-
- +
- + +
+ + - -+ -
menaikkan harga ∆0. Ligan-ligan semacam ini merupakan ligan medan kuat dan pada Deret
Spektrokimia berada di sebelah kanan.
b.Ligan Donor π
Sejumlah ligan tertentu memiliki orbital π yang telah terisi elektron dan mengalami overlap
dengan orbital t2g dari logam, menghasilkan ikatan π. Rapatan elektron akan ditransfer dari ligan
menuju logam melalui ikatan π ini. Selain dari ikatan π yang terbentuk tadi, transfer elektron dari
ligan ke logam juga terjadi melalui ikatan σ. Interaksi semacam ini lebih sering terjadi pada
kompleks dari logam dengan bilangan oksidasi yang tinggi, sehingga logam tersebut
”kekurangan elektron”. Orbital π dari ligan biasanya memiliki tingkat energi yang lebih rendah
dibandingkan orbital t2g logam, sehingga delokalisasi elektron π dari ligan melalui cara ini akan
memperkecil harga ∆0. Ligan yang merupakan donor π terletak di sebelah kiri dari Deret
Spektrokimia.
Unsur Transisi Pembentuk Ikatan Valensi Senyawa Kompleks
Menurut teori asam-basa Lewis, ion logam transisi menyediakan orbital d yang kosong sehingga berperan sebagai asam Lewis (akseptor pasangan elektron bebas) dan ion atau molekul netral yang memiliki pasangan elektron bebas untuk didonorkan berperan sebagai basa Lewis.
Senyawa kompleks dengan atom pusat logam besi (Fe) dan mangan (Mn):
1. Besi
Besi adalah logam paling banyak, dan dipercayai sebagai unsur kimia ke sepuluh paling
banyak di alam. Jumlah besi yang besar di bumi disangka menyumbang kepada medan magnet
bumi. Simbolnya Fe ringkasan ferrum nama latin bagi besi. Besi adalah logam yang dihasilkan
dari bijih besi, dan jarang ditemui dalam keadaan bebas.
Contoh ion kompleks adalah [Fe(CN)6]3- dan [FeCl6]3-
a. [Fe(CN)6]3-
Atom Fe bermuatan 3+ dengan konfigurasi elektron [Ar] 3d5 4s0. Oleh karena atom Fe dapat mengikat enam molekul CN (bermuatan negatif), atom Fe harus menyediakan enam buah orbital kosong. Proses hibridisasinya adalah sebagai berikut.
Konfigurasi atom Fe:
26Fe : [Ar] 4s2 3d6
3d 4s
Konfigurasi dari ion Fe3+:
26Fe3+ : [Ar] 4s0 3p5
3d 4s
3d 4s 4p
Oleh karena memerlukan enam orbital kosong, hibridisasi yang terjadi adalah d2sp3, yakni 2 orbital dari 3d, 1 orbital dari 4s, dan 3 orbital dari 4p. Keenam orbital d 2sp3 selanjutnya dihuni oleh pasangan elektron bebas dari molekul CN-. Dan molekul ini membentuk geometri octahedral dengan kompleks orbital dalam.
b. [FeCl6]3-
Atom Fe bermuatan 3+ dengan konfigurasi elektron [Ar] 3d5 4s0.
Oleh karena atom Fe dapat mengikat enam molekul Cl (negative 1), atom Fe harus menyediakan enam buah orbital kosong. Proses hibridisasinya adalah sebagai berikut.
Konfigurasi atom Fe:
26Fe : [Ar] 4s2 3d6
3d 4s
Konfigurasi dari ion Fe3+:
26Fe 3+ : [Ar] 4s0 3p5
3d 4s
3d 4s 4p 4d
** ** ** **** **
** ** ** ** ** **
Oleh karena memerlukan enam orbital kosong, hibridisasi yang terjadi adalah sp3d2, yakni 1 orbital dari 4s, 3 orbital dari 4p, dan 2 orbital 4d. Keenam orbital sp3 d2 selanjutnya dihuni oleh pasangan elektron bebas dari atom Cl dalam molekul Cl6.
Dan molekul ini membentuk geometri oktahedral dengan hibridisasi sp3d2 dengan kompleks orbital luar.
2.Mangan
a. [MnCl4]2-
Atom Mn bermuatan 2+ dengan konfigurasi elektron [Ar] 3d5 4s0.
Oleh karena atom Mn dapat mengikat empat molekul Cl (negative 1), atom Mn harus menyediakan empat buah orbital kosong. Proses hibridisasinya adalah sebagai berikut.
Konfigurasi atom Mn:
25Mn : [Ar] 4s2 3d5
3d 4s
Konfigurasi dari ion Mn2+:
25Mn2+ : [Ar] 4s0 3p5
3d 4s
3d 4s 4p
Oleh karena memerlukan enam orbital kosong, hibridisasi yang terjadi adalah sp3, yakni 1 orbital dari 4s, dan 3 orbital dari 4p. Keempat orbital sp3 selanjutnya dihuni oleh pasangan elektron bebas dari atom Cl dalam molekul Cl4.
Dan molekul ini membentuk geometri tetrahedral dengan hibridisasi sp3.
b. [Mn(NH3)6]2+
Atom Mn bermuatan 2+ dengan konfigurasi elektron [Ar] 3d5 4s0.
** ** ** **
Oleh karena atom Mn dapat mengikat enam molekul NH3 (netral), atom Mn harus menyediakan enam buah orbital kosong. Hal ini dicapai melalui hibridisasi d2sp3. Proses hibridisasinya adalah sebagai berikut.
Konfigurasi atom Mn:
25Mn : [Ar] 4s2 3d5
3d 4s
Konfigurasi dari ion Mn2+:
25Mn2+ : [Ar] 4s0 3p5
3d 4s
3d 4s 4p
Oleh karena memerlukan enam orbital kosong, hibridisasi yang terjadi adalah d2sp3, yakni 2 orbital dari 3d, 1 orbital dari 4s, dan 3 orbital dari 4p. Keenam orbital d 2sp3 selanjutnya dihuni oleh pasangan elektron bebas dari molekul NH3.
Dan molekul ini membentuk geometri oktahedral dengan hibridisasi d2sp3 dengan kompleks orbital dalam.
** ** ** **** **
DAFTAR PUSTAKA
Andy. 2009. Pre-College Chemistry.
Cotton, F. Albert dan Geoffrey Wilkinson. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Jakarta: Penerbit UI Press
Chang, Raymond. 2007. Chemistry Ninth Edition. New York: Mc Graw Hill.
Companion, A. L. 1964. Chemical Bonding. New York: McGraw-Hill Book Company.
Cotton, F. A. and Wilkinson, G. 1980. Advanced Inorganic Chemistry, a Comprehensive Text, 4th Ed. New York: Jhon Wiley & Sons.
DeKock, R. L. and Gray, H. B. 1980. Chemical Structure and Bonding. Menlo Park: The Benjamin/Cummings Publishing Company.
Douglas, B. E., Mc Daniel, D. H., and Alexander, J.J. 1983. Problems for Inorganic Chemistry. New York: Jhon Wiley & Sons, Inc.
Effendi. 1998. Kimia Koordinasi. Malang: FMIPA IKIP Malang
Effendi. 2003. Teori VSEPR dan Kepolaran Molekul. Malang: Bayu Media Publishing.
Huheey, J. E., Keiter, E. A., R. L. 1993. Inorganic Chemistry, Principles of Structure and Reactivity, 4th Ed. New York: Harper Collins College Publisher
Moore, John T. 2003. Kimia For Dummies. Indonesia: Pakar Raya.
Ratcliff, Brian, dkk. 2006. AS Level and A Level Chemistry. Dubai: Oriental Press.
Sugiyarto, K.H. 2000. Kimia Anorganik, Dasar-Dasar Kimia Anorganik. Yogyakarta: FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.