Download - Tugas Mandiri Modul 1 Gero
Nama : Mesyia Sari
NIM : J111 11 126
Kelompok : IV
MODUL I
PERUBAHAN RONGGA MULUT LANSIA
A. Lansia
Usia lanjut adalah tahap akhir dalam siklus hidup manusia yang pasti dialami oleh
setiap individu. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 1998 pasal
1 ayat 2 tentang kesejahteraan lanjut usia, lanjut usia adalah seseorang yang telah
mencapai usia enam puluh tahun keatas.
Departemen Sosial Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia. Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan Sosial Lanjut Usia; 2006.
Usia yang dijadikan patokan untuk usia lanjut berbeda-beda, umumnya berkisar
antara 60-65 tahun. Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia adalah sebagai
berikut:
1. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), ada empat tahapan yaitu :
a. Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun.
b. Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun.
c. Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun.
2. Menurut Hurlock (1979) :
a. Early old age (usia 60-70 tahun)
b. Advenced old age (usia > 70 tahun )
3. Menurut Burnsie (1979) :
a. Young old (usia 60-69 tahun)
b. Middle age old (usia 70-79 tahun)
c. Old-old (usia 80-89 tahun)
d. Very old-old (usia >90 tahun)
4. Menurut Bee (1996) :
a. Masa dewasa muda (usia 18-25 tahun)
b. Masa dewasa awal (usia 25-40 tahun)
c. Masa dewasa tengah (usia 40-65 tahun)
d. Masa dewasa lanjut (usia 65-75 tahun)
e. Masa dewasa sangat lanjut (usia > 75 tahun)
5. Menurut Prof. Dr. Koesoemanto Setyonegoro :
a. Usia dewasa muda (elderly adulthood) usia 18/20-25 tahun.
b. Usia dewasa penuh (middle years) atau maturasi usia 25-60/65 tahun.
c. Lanjut usia (geriatric age) usia > 65/70 tahun, terbagi atas:
Young old (usia 70-75 tahun)
Old (usia 75-90 tahun)
Very old (usia >80 tahun)
6. Menurut sumber lain :
a. Elderly (usia 60-65 tahun)
b. Junior old age (usia > 65-75 tahun)
c. Formal old age (usia > 75-90 tahun)
d. Longevity old age (usia > 90-120 tahun)
Padila. Buku keperawatan gerontik. Yogyakarta. Nuha Medika. 2013. Hal. 4-6.
B. Teori Penuaan
Menurut Constantinides (1994), menua (= menjadi tua= aging) adalah suatu
proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untu memperbaiki
diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak
dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang
diderita.
Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap
infeksi dan aan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dans truktural yang disebut
sebagai “penyakit degenaratif” (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes mellitus, dan
kanker) yang akan menyebabkan kita menghadapi akhir hidup dengan episode terminal
yang dramatik seperti stroke, infark miokard, koma asidotik, metastasis kanker, dsb.)
Tim Penulis Fakultas Kedoteran UI. Geriatri ed. ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. p. 3
Teori-Teori Penuaan:
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan , yaitu teori biologi, teori
psikologis, teori sosial dan teori spritual.
1. Teori Biologi
a. Teori genetik dan mutasi
Menurut teori genetik dan mutasi, menua terprogram secara genetik untuk
spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia
yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan
mengalami mutasi, sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel-sel kelamin
(terjadi penurunan kemampuan fungsi sel).
Terjadi pengumpulan pigmen atau lemak dalam tubuh yang disebut teori
akumulasi dari produk sisa, sebagai contoh adalah adanya pigmen lipofusin di sel
otot jantung dan sel susunan syaraf pusat pada lansia yang mengakibatkan
terganggunya fungsi sel itu sendiri.
Pada teori biologi dikenal istilah “pemakaian dan perusakan” (wear and tear)
yang terjadi karena kelebihan usaha dan stress yang menyebabkan sel-sel tubuh
menjadi lelah (pemakaian). Pada teori ini juga didapatkan terjadinya peningkatan
jumlah kolagen dalam tubuh lansia, tidak ada perlindungan terhadap radiasi,
penyakit dan kekurangan gizi.
b. Immunology slow theory
Menurut teori ini, sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan
masuknya virus kedalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.
c. Teori stress
Teori ini mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa
digunakan tubuh. Regenerasi jarigan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stress yang menyebabkan sel-sel tubuh
lebih terpakai.
d. Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti
karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan
regenerasi
e. Teori rantai silang
Pada teori ini diungkapka bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua atau usang
menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini
menyebabkan kurangnya elastisitas, kekacauan, dan hilangnya fungsi sel.
2. Teori psikologis
Pada usia lanjut, proses penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan penambahan
usia. Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuratan
mental dan keadaan fungsional yang efektif.
Kepribadian individu yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi
karakteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat
menjadikan seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai
yang ada ditunjang dnegan status sosialnya.
Adanya penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan
kognitif, memori, dan belajar pada suai lanjut menyebabkan mereka sulit untuk
dipahami dan berinteraksi.
3. Teori sosial
Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori interaksi
sosial (social exchange theory), teori penarikan diri (disengagement theory), teori
aktivitas (activity theory), teori kesinambungan (continuty theory), teori
perkembangan (development theory), dan teori stratifikasi usia (age stratification
theory)
a. Teori interaksi sosial
Teori ini mencoba menjelskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi
tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Mauss (1954),
Homans (1961), dan Blau (1964) mengemukakan bahwa interaksi sosial terjadi
berdasarkan atas hukum pertukaran barang dan jasa. Sedangkan pakar lain,
Simons (1945), mengemukakan bahwa kemampuan lansia untuk terus menjalin
interaksi sosial merupakan kunci untuk mempertahankan status sosialnya atas
dasar kemampuannya untuk melakukan tukar-menukar.
Pokok-pokok teori interaksi sosial adalah sebagai berikut:
- Masyarakat terdiri atas aktor-aktor sosial yang berupaya mencapai tujuannya
masing-masing
- Dalam upaya tersebut terjadi interaksi sosial yang meemrlukan biaya dan
waktu
- Untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, seorang aktor harus
mengeluarkan biaya
- Aktor senantiasa berusaha mencari keuntungan dan menegah terjadinya
kerugian
- Hanya interaksi yang ekonomis saja yang dipertahankan olehnya.
b. Teori penarikan diri
Teori ini merupakan teori sosial tentang penuaan yang paling awal dan pertama
kali diperkenalkan oleh Gumming dan Henry (1961). Kemiskinan yang diderita
lansia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secar
perlahan menarik diri dari pergualan di sekitarnya. Proses penuaan
mengakibatkan interaksi sosial lania mulai menurun, baik secara kualitas maupun
kuantitas.
Pokok-pokok teori menarik diri adalah sebagai berikut:
- Pada pria, kehilangan peran hidup terutama terjadi pada asa pensiun.
Sedangkan wanita terjadi pada masa ketika peran dalam keluarga berkurang,
misalnya saat anak menginjak dewasa serta meninggalkan rumah untuk
belajar dan menikah
- Lansia pada masyarakat mampu mengambil manfaat dari hal ini, karena
lansia dapat meraskan bahwa tekanan sosial berkurang, sedangkan kaum
muda memperoleh kerja yang lebih luas
- Tiga aspek utama dalam teori ini adalah proses menarik diri yang terjadi
sepanjang hidup. Proses ini tidak dapat dihindari serta hal ini harus diterima
oleh lansia dan masyarakat.
c. Teori aktivitas.
Teori aktivitas dikembangkan oleh palmore (1965) dan lemon et al. (1972) yang
mengatakan bahwa penuaan yang sukses bergantug dari bagaimana seorang
lansia merasakan kepuasan dalam melakukan kegiatan aktivitas serta
mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan
aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang
dilakukan. Dari saru sisi aktivitas lansia dapat menurun, akan tetapi dilain sisi
dapat dikembangkan, misalnya, peran baru alnsia sebagai relawan, kakek atau
nenek, ketua RT, seorang duda atau janda, serta karena ditinggal wafat pasanga
hidupnya.
Pokok-pokok teori aktivitas antara lain :
- Moral dan kepuasan yang berkaitan dengan interaksi sosial dan keterlibatan
sepenuhnya dari lansia di masyarakat.
- Kehilangan peran akan menghilangkan kepuasan seorang lansia.
- Penerapan teori aktivitas ini sangat positif dalam penyusunan kebijakan
terhadap lansia, karena memungkinkan para lansia unuk berinteraksi
sepenuhya di masyarakat.
d. Teori kesinambungan.
Teori ini dianut oleh banyak pakar sosial. Teori ini mengemukakan adanya
kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia. Pengalaman hidup seseorang pada
suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini
dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak
berubah meskipun ia telah menjadi lansia. Pada teori kesinambungan merupakan
pergerakan dan proses banyak arah, bergantung dari bagaimana penerimaan
seseorang terhadap status kehidupannya.
Pokok-pokok teori kesinambungan antara lain :
- Lansia tidak disarankan untuk melepaskan peran atau harus aktif dalam
proses penuaan, tetapi berdasarkan pada pengalamannya di masa lalu, lansia
harus memilih peran apa yang harus diperhatikan atau dihilangkan
- Peran lansia yang hilang tak perlu diganti
- Lansia berkesempatan untuk memilih berbagai macam cara untuk
beradaptasi.
e. Teori perkembangan
Teori ini menekankan pentingnya mempelajari apa yang telah dialami oleh lansia
pada saat muda hingga dewasa, dengan demikian perlu dipahai teori
Freud,Buhler, Jung, dan Erickson. Sigmund Freud meneliti tentang psikoanalisis
serta perubahan psikososial anak dan balita. Erickson (1930), membagi
kehidupan menjadi delapan fase :
- Lansia yang menerima apa adannya.
- Lansia yang takut mati.
- Lansia yang merasakan hidup penuh arti.
- Lansia yang menyesali diri.
- Lansia yang bertanggung jawab dengan merasakan kesetiaan.
- Lansia yang kehidupannya berhasil.
- Lansia yang merasa terlambat untuk memperbaiki diri.
- Lansia yang perlu menentukan integritas diri melawan keputusasaan.
Havighurst dan Duvali menguraikan tujuh jenis tugas perkembangan
(developmental tasks) selama hidup yang harus dilaksanakan oleh lansia, antara
lain :
- Penyesuaian terhadap penurunan kemampuan fisik dan psikis.
- Penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan pendapatan
- Menemukan makna kehidupan.
- Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan
- Menemukan kepuasan dalam hidup berkeluarga.
- Penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal dunia.
- Menerima dirinya sebagai seorang lansia.
Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua merupakan
suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap berbagai tantangan
tersebut yang dapat bernilai positif atau negatif. Akan tetapi, teori ini tidak
menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau yang seharusnya
diterapkan oleh lansia tersebut.
Pokok-pokok dalam teori perkembangan adalah sebagai berikut :
- Masa tua merupakan saat lansia merumuskan seluruh masa kehidupannya.
- Masa tua merupakan masa penyesuaian diri terhadap kenyataan sosial yang
baru, yaitu pensiun dan/atau menduda/menjanda.
- Lansia yang harus menyesuaikan diri sebagai akibat perannya yang berakhir
di dalam keluarga, kehilangan identitas dan hubungan sosialnya akibat
pensiun, serta ditinggal mati oleh pasangan hidup dan teman-temannya.
f. Teori sratifiksi usia
Wiley (1971) menyusun stratifikasi usia berdasarkan usia kronologis yang
menggambarkan serta membentuk adanya perbedaan kapasitas, peran, kewajiban,
dan hak mereka berdasarkan usia.
Dua elemen penting dari model stratifikasi usia tersebut adalah struktur
dan prosesnya.
Struktur mencakup hal-hal sebagai berikut: bagaimanakah peran dan harapan
menurut penggolongn usia; bagaimanakah penilaian strata oleh strata itu
sendiri dan strata lainnya; bagaimanakah terjadinya penyebaran peran dan
kekuasaan yang tak merata pada masing-masing strata, yang didasarkan pada
pengalaman dan kebijakan lansia.
Proses mencakup hal-hal sebagai berikut: bagaimanakah menyesuaikan
kedudukan seseorang dengan peran yang ada; bagaimanakah cara mengatur
transisi peran secara berurutan dan terus-menerus.
Pokok-pokok dari teori stratifikasi usia adalah sebagai berikut.
- Arti usia dan posisi kelompok usia bagi masyarakat.
- Terdapatnya transisi yang dialami oleh kelompok.
- Terdapatnya mekanisme pengalokasian peran di antara penduduk
Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan dilakukan
bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk mempelajari sifat lansia
secara kelompok dan bersifat makro. Seetiap kelompok dapat ditinjau dari sudut
pandang demografi dan keterkaitannya dengan kelompok usia lainnya.
Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai lansia
secara perorangan, menginggat bahwa stratifikasi sangat kompleks dan dinamis
serta terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok etnik.
4. Teori spiritual
Komponen spritiual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan
individu dengan alam semesa dan persepsi individu tentang arti kehidupan.
James fowler mengungkapkan tujuh tahap perkembanngan kepercayaan
(Wong, et .al, 1999). Fowler juga meyakini bahwa kepercayaan/demensia spritiual
adalah suatu kekuatan yang memberi arti bagi kehidupan seseorang.
Fowler menggunakan istilah kepercayaan sebagai suatu bentuk pengetahuan
dan cara berhubungan dengan kehidupan akhir. Menurutnya, kepercayaan adalah
suatu fenomena timbal balik, yaitu suatu hubu ggan aktif antara seseorang dengan
orang lain dalam menanamkan suatu keyakinan, cinta kasih, dan harapan.
Fowler meyaki bahwa kepercayaan antara oran dan lingkunan terjadi karena
adanya kombinasi antara nilai-nilai dan pengetahuan. Fowler jiga berpendapat bahwa
perkembangan spiritual pada lansia berada pada tahap penjelmaan dari prinsip cinta
dan keadilan.
Maryam RS, Ekasari MF, Rosidawati, Jubaedi A, Batubara I. Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta. Salemba Medika.2012. hal.46- 55
C. Kelainan Gigi dan Mulut pada Lansia
Perubahan yang terjadi pada jaringan rongga mulut lansia adalah penurunan
mekanisme adaptasi dan potensi regenerasi jaringan. Rahang, jaringan penyangga gigi,
mukosa rongga mulut, lidah, kalenjar saliva, dan bahkan jaringan gigi mengalami
perubahan. Reaksi terhadap stress dan proses penyembuhan berubah pada lansia,
jaringan lunak mukosa mulut kehilangan toleransi terhadap iritasi, kemampuan adaptasi
terutama kemampuan perbaikan. Mukosa kehilangan elsatisitas menjadi lebih rapuh dan
mudah terluka, hal ini perlu dipertimbangkan didalam rencana perawata gigi pada lansia.
Perubahan pada jaringan yang terjadi meliputi:
1. Perubahan pada gigi dan jaringan penyangga
Pada usia lanjut gigi permanen menjadi kering, lebih rapuh, dan brwarna lebih
gelap. Permukaan oklusal gigi menjadi datar akibat pergeseran gigi selama proses
mastikasi. Kemungkinan menurunnya prevalensi karies pada mahkota gigi usia
lanjut karena daerah rentan karies telah dilakukan restorasi dan sebagian gigi telah
tanggal (Shafer, 1983).
Terjadi atropi pada gingiva dan processus alveolaris menyebabkan akar gigi
terbuka sering menimbulkan rasa sakit akibat rangsangan termal di rongga mulut.
tulang mengalami osteoporosis diduga akibat gangguan hormonal dan nutrisi. Pada
tulang alveolar terjadi resorbsi matriks tulang yang dipercepat oleh tanggalnya gigi,
penyakit periodontal dan gigi tiruan yang tidak baik. Terdapat resorbsi alveolar crest
terutama pada rahang yang tidak bergigi atau setelah pencabutan gigi.
Kemunduran jaringan penyangga gigi ini dapat menyebabkan gigi goyang dan
tanggal.
2. Perubahan pada intermaxillary space
Perubahan bentuk dentofasial adalah hal biasa pada lansia. Dagu menjadi maju
kedepan, keriput meluas dari sudut bibir dan sudut mandibula. Hal ini dapat dicegah
dengan restorasi gigi yang baik, penggantian gigi yang hilang dan kontrol gigi tiruan
secara periodik. Hilangnya intermaxillary space yang disebabkan karena
penggunaan gigi geligi yang berlebihan,dan kegagalan didalam melakukan restorasi
jaringan gigi yang hilang dapat menyebabkan sindroma rasa sakit pada TMJ,
nuralgia pada lidah dan kepala.
3. Perubahan pada efisiensi alat kunyah
Dengan hilangnya gigi geligi akan mengganggu hubungan oklusi gigi atas dan
bawah dan akan mengakibatkan daya kunyah menurun yang semula maksimal dapat
mencapai 300 punds per square inch enjadi 50 pounds per square inch. Pada lansia
saluran pencernaan tidak dapat mengimbangi ketidaksempurnaan fungsi kunyah
sehingga akan mempengaruhi kesehatan umum. Defesiensi ini dapat dikompensasi
dengan pengunyahan yang lama atau cara penyajian maknaan disesuaikan dengan
kemampuan kunyah. Penggunaan gigi tiruan dibandingkan dengan gigi asli sangat
beda, membutuhkan waktu kunyah lebih lama.
4. Perubahan pada mukosa mulut dan lidah
Terjadi atropi pada bibir, mukosa mulut, dan lidah. Mukosa nampak tipis dan
mengkilat seperti malam (wax)dan hilangnya lapisan yang menutupi dari sel
berkeratin, menyebabkan rentan iritasi kimia, mekanik, dan bakteri. Mukosa mulut
pada lansia lemah dan mudah terluka oleh makanan kasar atau gigi ituran yang
longgar. Epitel mudah terkelupas dan jaringan ikat dibawahnya sembuh lambat.
Atropi dari jaringan ikat menyebabkan elastisitas menurun sehingga menyulitkan
pembuatan gigi tiruan yang baik.
Saliva memegang peranan penting dalam menjaga kesehatan rongga mulut
dan kapasitas saliva berubah pada lansia. Aliran saliva menurun menyebabkan
mukosa mulut kering dan hal ini mengakibatkan sensasi terbakar dan mengurangi
retensi gigi tiruan. Hal ini lebih disebabkan oleh karena efek penyakit kronik dan
terapi obat-obatan pada daripada proses penuaan itu sendiri. (MacEntee, 2004).
Terjadi atropi papila lidah dan bahian dorsal lidah serta kehilangan tonus otot
lidah. Dimensi lidah biasanya membesar akibat kehilangan sebagian besar gigi, lidah
bersentuhan dengan pipi waktu mengunyah, menelan , dan berbicara. (Haryanto,
1986)
Tim Penulis Fakultas Kedoteran UI. Geriatri ed. ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. p. 695-7
D. Etiologi Penyakit Pada Pasien Lansia
Sebab penyakit pada orang lanjut usia ini pada umumnya lebih bersifat endogen
daripada eksogen. Hal ini umpamanya disebabkan karena menurunnya fungsi berbagai
alat tubuh karena proses menjadi tua. Sel-sel parenkim bnayak diganti dengan sel-sel
penyagga (jaringan fibrotik), produksi hormon yang menurun, produksi enzim menurun
dan sebagainya.
Dalam rangka ini juga produksi zat-zat untuk daya tahan tubuh seorang tua akan
mundur. Maka dari itu faktor penyebab infeksi (eksogen) akan lebih mudah hinggap. Di
negara-negara maju karena fato rinfeksi ini secara keseluruhan telah jarang ditemui ,
penyakit infeksi pada penderita lanjut usia pun jarang sekali dijumpai. Di negara-negara
sedang berkembang justru masih banyak penyakit infeksi pada golongan anak-anak dan
lanjut usia.
Selain daripada itu etiologi pennyakit pada lanjut usia ini seringkali tersembunyi
(occult), sehingga perlu dicari secara sadar dan aktif. Seringkali untuk menegakkan
diagnosis kita memerlukan observasi penderita agak alama sambil mengamati dengan
cermat tanda-tanda dan gejala-gejala penyakitnya, yang juga memang seringkali tidak
nyata. Dalam hali ini alloanamnesis dari pihak keluarga perlu digali secara sadar.
Seringkali sebab penyakit tadi juga bersifat ganda (multiple) dan kumulatif, terlepas
satu sama lain ataupun saling mempengaruhi timbunya.
Tim Penulis Fakultas Kedoteran UI. Geriatri ed. ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. p. 47-8
E. Hubungan Infeksi Rongga Mulut dengan Penyakit Sistemik pada Lansia
Upaya pencegahan dan perawatan penyakit rongga mulut 50 tahun terakhir ini
memberikan peningkatan jumlah gigi asli yang ada pada rongga mulut dan lama
bertahannya. Namun banyak gigi yang sudah dilakukan penambalan rawan pecah dan
merupakan faktor risiko terjadinya penyait periodontal (periodontitis), yaitu suatu
penyakit infeksi kronis biasanya tanpa keluhan yang dapat menjadi sumber infeksi dan
inflamasi ynag menambah beban penyakit dan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Sisa
fragmen akar gigi yang asih tertinggal atau sisa daerah infeksi yang ada, merupakan
sumber infeksi yang tersembunyi pada lansia yang terlewatkan pada peeriksaan,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan radiologis walaupun lansia tanpa gigi
(edentolous). (Burket, 1971)
Konsep infeksi fokal yang didefinisikan sebagai penyebaran bakteri atau hasil
produknya dapat menyebabkan sejumlah peyakit sistemik mulai dibicarakan lagi. Sesuai
data yang disampaikan dari hasil penelitian di Finlandia tahun 1980, infeksi gigi
ditemukan secara statistik berhubungan dengan penyakit jantung dan stroke (Meurman,
2006). Penelitian-penelitian lain menunjukkan adanya hubungan antara infeksi
periodontal dengan penyakit-penyakit kronis seperti atherosklerosis, pneumonia,
rheumatoid arthritis, osteoporosis bahkan dapat menyebabkan kematian pada lansia.
Penyakit periodontal kronik merupakan infeksi kronik yang menonnjol diantara penyakit
infeksi pada manusia. (Rautema dkk., 2007)
Tim Penulis Fakultas Kedoteran UI. Geriatri ed. ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. p. 704
F. Pelayanan Kesehatan untuk Pasien Lansia
Mengingat sifat penyakit dan perubahan fungsi organ karena proses menua pada usia
lanjut yang sangat khusus tersebut, maka dalam ilmu geriatri terdapat beberapa tatacara
yang merupakan keharusan untuk dilakukan agar upaya kesehatan bagi usia lanjut
tersebut dapat dilaksanakan secara optimal. Tatacara tersebut adalah yang disebut
sebagai asesmen geriatri yang bekerja secara tim. Asesmen geriatri adalah suatu proses
diagnostik multidisiplin (banyak disiplin ilmu kesehatan) yang biasanya dilaksanakan
secara interdisipliner (dengan satu tujuan) oleh seorang dokter/geriatris dan atau suatu
tim interdisiplin geriatrik untuk menentukan masalah dan kapabilitas medis, psikososial
dan fungsional guna merencanakan terapi menyeluruh serta pemantauan kesehatan yang
berkesinambungan bagi seorang penderita usia lanjut
Prinsip pelayanan kesehatan usia lanjut yang menyeluruh yang diinginkan untuk
dilaksanakan di Indonesia dapat dibagi atas 3 bentuk, yaitu :
1. Pelayanan kesehatan usia lanjut berbasis rumah sakit (hospital based geriatric
services), karena pada dasarnya RS merupakan pusat/tempat rujukan dari pelayanan
kesehatan dasar usia lanjut. Oleh karenanya pelayanan di rumah sakit ini seyogyanya
menyelenggarakan/ menyediakan semua jenis upaya pelayanan kesehatan, mulai dari
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, dengan sarana dan sumberdaya manusia
yang lengkap. Tentu saja tergantung dari kelas rumah sakit, berbagai pelayanan
tersebut bisa dilaksanakan tergantung dari kemampuan serta dana yang tersedia.
2. Pelayanan kesehatan usia lanjut oleh masyarakat berbasis rumah sakit (hospital based
community geriatric services), di mana pusat-pusat pelayanan kesehatan usia lanjut di
RS bertindak sebagai konsultan terhadap pelayanan usia lanjut di masyarakat, dan
dengan penuh tanggung jawab mengikuti keadaan usia lanjut yang sebelumnya
dirawat atau mendapat pelayanan di RS tersebut. Termasuk dalam upaya kesehatan
usia lanjut ini adalah pelayanan di luar rumah sakit, berupa pembinaan oleh institusi
yang lebih tinggi terhadap institusi yang lebih rendah di wilayah kerjanya dalam
kegiatan rujukan timbal balik
3. Pelayanan kesehatan usia lanjut berbasis masyarakat (community based geriatric
services), yaitu pelayanan dari masyarakat untuk masyarakat, sehingga masyarakat
sendiri diikutsertakan dalam pelayanan kesehatan usia lanjut, tentu saja setelah diberi
tambahan pengetahuan secukupnya. Ketiga sistem pelayanan kesehatan usia lanjut
tersebut di atas haruslah berkesinambungan serta saling mendukung, sehingga pada
akhirnya setiap orang usia lanjut dapat memperoleh pelayanan sesuai dengan jenis
dan derajat penyakit yang dideritanya.
Pranarka K. 2006. Penerapan geriatrik kedokteran menuju usia lanjut yang sehat. J Universa Medicina. Semarang; 25(4): p. 193
G. Pencegahan Penyakit pada Lansia
Strategi pencegahan berdasarkan upaya prevensi primer, sekunder, dan tersier yang
diterapkan secara individual pada usia lanjut merupakan hl yang sangat penting.
1. Pencegahan Primer
Upaya ini merupakan pencegahan yang sesungguhnya, karena merupakan
pencegahan agar penyakit tidak terjadi. Secara umum upaya pencegahan primer ini
tidak banyak berbeda dengan upaya yang dilakukan sebelum memasuki usia lanjut.
Perbedaan hanya terletak pada jenis dan intensitas pelaksanaannya. Dalam kategori
ini termasuk tindakan-tindakan sebagai berikut:
a. Menghentikan merokok
b. Latihan/olahraga teratur
c. Imunisasi/suntikan pencegahan infeksi
d. Penapisan dan pengobatan faktor risiko penyakit
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya deteksi dini penyakit sehingga memberi
kesempatan untuk kesembuhan yang lebih besar dari progresivitas lebih lanjut.
Upaya ini tentunya memerlukan keterampilan diagnosis yang memadai bagi
penderita lansia yang gejala dan perjalanan penyakitnya tidak serupa dnegan populasi
golongan umur lain, oleh karena itu semua dokter, baik dokter umum maupun
spesialis harus mengenali tata cara diagnosis yang disebut assesment geriatric, bagi
penyakit-penyakit usia lanjut.
3. Pencegahan tersier
Denga pencegahan tersier dimaksudkan upaya deteksi penyakit dan atau disabilitas
yang sudah terjadi pada penderita yang belum/tidak mendapatkan pengobatan atau
dukungan yang memadai. Upaya tersebut diharapkan mengurangi resiko atau
percepatan memburuknya penyakit, kekambuhan atau kompliasi dari penyakit
tersebut (Williamson, 1985).
Tim Penulis Fakultas Kedoteran UI. Geriatri ed. ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. p. 96-9