Download - Tugas Pak Slamet Tppp
PROPOSAL PENELITIAN
APLIKASI EDIBLE COATING PATI SORGUM (Sorgum bicolor) UNTUK
MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN APEL POTONG SEGAR (FRESH-CUT APPLE)
Disusun oleh:
MARIO LORENSO 21030112120026
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
RINGKASAN
Perlakuan proses pengolahan menyebabkan produk terolah minimal mudah mengalami
penurunan mutu. Salah satu contoh penurunan mutunya adalah akibat terjadinya pencoklatan
enzimatis (enzymatic browning). Pelapisan buah menggunakan edible coating merupakan salah
satu alternatif yang dapat digunakan untuk meminimalisir penurunan mutu buah terolah minimal.
Edible coating merupakan lapisan terbuat dari bahan yang dapat dimakan dan berfungsi
menahan laju perpindahan gas dan uap air (Baldwin, 1994). Komponen penyusun edible coating
terdiri atas hidrokoloid, lemak, atau campurannya (Donhowe-Irene dan Fennema, 1994). Untuk
mencegah terjadinya reaksi pencoklatan sebaiknya dipilih edible coating yang memiliki daya
penahan gas yang baik, misalnya pati sorgum. Tujuan penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai edible coating, fungsi edible coating, karakteristik edible
coating, metode atau cara pembuatan edible coating, dan aplikasi dari edible coating berbasis
pati sorgum untuk bahan pengemas dan aplikasinya pada buah apel Manalagi utuh.
Pada penelitian yang dilakukan kali ini akan menguji dan membandingkan edible coating
yang dihasilkan dari berbagai perlakuan yaitu : Perlakuan pada konsentrasi pati, perlakuan pada
penambahan zat tambahan atau zat kimia pada edible coating, dan perlakuan pada kondisi
penyimpanan produk yang dikemas dengan menggunakan edible coating dengan variasi suhu
penyimpanan. Semua perlakuan yang dilakukan bisa dibuat sesuai dengan kebutuhan dalam
penelitian.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengolahan minimal (minimal processing) atau dikenal pula dengan istilah potong segar
(fresh-cut) merupakan pengolahan buah atau sayuran yang melibatkan pencucian,
pengupasan, dan pengirisan sebelum dikemas dan menggunakan suhu rendah untuk
penyimpanan sehingga mudah dikonsumsi tanpa menghilangkan kesegaran dan nilai gizi
yang dikandungnya (Perera, 2007).
Buah potong segar (fresh-cut fruit) lebih tidak tahan lama dibandingkan buah segar.
Berbagai perlakuan yang dialami buah potong segar seperti pengupasan, pemotongan,
pengirisan dapat mengganggu integritas jaringan dan sel yang dimilikinya. Akibatnya terjadi
peningkatan produksi etilen, peningkatan laju respirasi, degradasi membran, kehilangan air,
dan kerusakan akibat mikroorganisme. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya perubahan
enzimatis dan penurunan umur simpan serta mutu (Baeza-Rita, 2007). Kerusakan mekanis
pada produk potong segar misalnya akibat pemotongan dapat mengaktifkan enzim polifenol
oksidase membentuk senyawa melanin menimbulkan warna coklat pada buah atau sayuran
(Wong et al., 1994). Padahal warna menjadi atribut mutu yang sangat penting pada produk
buah-buahan atau sayuran terolah minimal (Lin dan Zhao, 2007). Jenis buah-buahan yang
sering mengalami reaksi pencoklatan adalah pisang, pir, salak, pala, dan apel.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah reaksi pencoklatan adalah
penggunaan edible coating. Yakni lapisan terbuat dari bahan yang dapat dimakan dan
berfungsi menahan laju perpindahan gas dan uap air (Baldwin, 1994). Komponen penyusun
edible coating terdiri atas hidrokoloid, lemak, atau campuran (Donhowe-Irene dan Fennema,
1994). Untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan sebaiknya dipilih edible coating yang
memiliki daya penahan gas yang baik, misalnya pati. Warna coklat ini meskipun tidak
berbahaya tetapi tetap saja mengurangi mutu produk karena konsumen tidak menyukainya.
Dibutuhkan edible coating dengan karakteristik penahan gas yang baik karena dalam reaksi
pencoklatan enzimatis juga melibatkan oksigen sebagai substrat pembantu (co-substrate).
Semakin sedikit oksigen yang tersedia dalam jaringan buah maka reaksi pencoklatan
dapat diminimalisir (Marshall et al., 2000). Selain sebagai penahan gas yang baik untuk
diterapkan sebagai bahan edible coating, pati juga memiliki kelebihan lain, yaitu harganya
yang murah, ketersediaan yang melimpah, serta penanganan yang relatif mudah (Gontard
dan Guilbert, 1994). Salah satu tanaman penghasil pati yang sangat potensial adalah sorgum.
Belum berkembangnya usaha pati sorgum ini karena pemanfaatannya dalam industri yang
masih sangat terbatas dibanding tapioka.
Mempertimbangkan faktor tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari
pengaruh penggunaan pati sorgum yang dikombinasikan dengan tapioka sebagai bahan
Edible Coating terhadap perubahan warna coklat yang menjadi masalah besar pada produk
apel potong segar. Apel dipilih sebagai produk potong segar karena apel termasuk jenis buah
yang tidak tergantung musim sehingga menguntungkan untuk dikembangkan secara
berkelanjutan. Banyaknya apel impor membuat posisi apel lokal seperti varietas Manalagi
semakin terpinggirkan. Dengan mengolahnya menjadi produk potong segar, diharapkan
dapat meningkatkan nilai tambah apel lokal.
1.2 Rumusan Masalah
Produktivitas dari sorgum di Indonesia jarang dimanfaatkan lebih lanjut. Pati sorgum
merupakan salah satu sumber pati yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan edible film
(edible eoating). Edible Coating yang terbuat dari karbohidrat (contoh: pati) memiliki sifat
granula yang brittle. Plasticizer merupakan bahan tambahan yang sering ditambahkan ke
dalam pembuatan edible film (edible coating) untuk memperbaiki sifat dari edible film
(edible coating) tersebut. Jenis plasticizer yang sering digunakan adalah gliserol dalam
pembuatan edible coating berbasis pati, sehingga dalam penelitian ini digunakan plasticizer
dalam pembuatan edible coating berbasis pati untuk memperbaiki karakteristiknya. Edible
Coating dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan umur simpan dan mutu dari berbagai jenis
bahan pangan, salah satunya adalah buah-buahan.
Buah apel merupakan salah satu buah yang mempunyai umur simpan yang singkat dan
mudah mengalami kerusakan setelah dipanen. Peningkatan karbondioksida yang dihasilkan
dari buah apel akibat dari proses respirasi menyebabkan buah apel mengalami kerusakan,
sehingga diharapkan dengan adanya edible coating tersebut akan meningkatkan umur
simpan, mencegah kerusakan, dan menjaga kualitas dari buah tersebut.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mendapatkan bahan pelapis (edible
coating) yang berasal dari pati sorgum yang digunakan pada pelapisan buah apel Manalagi
untuk memperpanjang umur simpan.
Tujuan secara khusus adalah :
1. Mendapatkan formula edible coating dan karakteristik formula edible coating berbasis
pati sorgum.
2. Mengkaji karakteristik formula edible coating yang dapat dibuat dan dihasilkan.
3. Mendapatkan formula edible coating yang mampu memperpanjang umur simpan apel
Manalagi.
4. Mendapatkan suhu penyimpanan yang terbaik untuk penyimpanan apel Manalagi.
5. Mengkaji sifat fisikokimia dari aplikasi edible coating pada apel Manalagi selama
penyimpanan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Formulasi edible coating yang terbaik nantinya dapat diterapkan untuk mengatasi
permasalahan pencoklatan pada produk potong segar (fresh-cut product), misalnya apel.
2. Dapat diketahui kondisi-kondisi yang diperlukan dalam pembuatan edible coating serta
aplikasinya pada produk apel potong segar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Edible Coating
Edible Coating adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan,
dibentuk melapisi makanan (coating) yang berfungsi sebagai penghalang terhadap
perpindahan massa (seperti kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, zat terlarut) dan atau
sebagai pembawa aditif serta untuk meningkatkan penanganan suatu makanan (Baldwin,
1994). Saat ini, coating digunakan untuk buah-buahan dan sayuran segar yang
bertujuan menghambat susut bobot, memperbaiki penampilan dengan meningkatkan kilap
pada produk, dan menahan pertukaran gas antara produk dengan lingkungan (Grant dan
Burns,1994).
Terdapat tiga kelompok penyusun edible coating, yakni : hidrokoloid, lipid, dan
campurannya (komposit). Yang termasuk hidrokoloid adalah protein, turunan selulosa,
alginat, pektin, pati, dan polisakarida lain. Lipid dapat diperoleh dari lilin, asilgliserol, dan
asam lemak. Sementara itu, komposit merupakan campuran antara lipid dan hidrokoloid
(Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).
Hidrokoloid yang digunakan untuk coating dapat dibagi berdasarkan komposisi, muatan
molekul, dan kelarutan airnya. Berdasarkan komposisinya, hidrokoloid terdiri atas
karbohidrat dan protein. Jenis karbohidrat yang dapat digunakan meliputi pati, alginat,
pektin, gum arabik, dan pati termodifikasi. Sementara itu, dari jenis protein adalah gelatin,
kasein, protein kedelai, whey, gluten gandum, dan zein jagung. Berdasarkan muatan
molekulnya, hidrokoloid baik untuk pembentuk film. Sedangkan alginat dan pektin
membutuhkan ion polivalen, biasanya kalsium untuk membentuk film. Menurut
kelarutan terhadap air, hidrokoloid lebih rendah daya tahannya terhadap uap air dibanding
protein karena sifat hidrokoloid yang hidrofilik (Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).
Lipid sering digunakan sebagai penahan uap air atau sebagai pelapis untuk
meningkatkan kilap pada produk-produk konfeksionari. Lipid jarang digunakan secara
tunggal karena integritas struktur serta daya tahannya yang rendah. Dari golongan lipid
yang paling sering digunakan adalah lilin yang berfungsi menghambat respirasi dan susut
bobot pada buah dan sayuran (Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).
Film (lapisan) dari bahan komposit dapat digunakan untuk mengatasi kekurangan-
kekurangan lipid dan hidrokoloid jika digunakan secara tunggal. Jika sifat penahan uap
air yang diinginkan, dapat digunakan lipid sebagai bahan Edible Coating. Sementara itu,
sifat daya tahan lipid yang rendah dapat ditutupi dengan penggunaan hidrokoloid
(Donhowe-Irene dan Fennema, 1994).
Pemilihan jenis Edible Coating dapat disesuaikan dengan fungsi dan kegunaan yang
diinginkan, seperti terlihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Pemilihan Jenis Edible Coating
Kegunaan Jenis Film yang Sesuai
Memperlambat migrasi kelembaban
Memperlambat migrasi gas
Memperlambat migrasi minyak dan lemak
Memperlambat migrasi bahan terlarut
Memperbaiki integritas struktur atau sifat-sifat
penanganan
Mempertahankan senyawa flavor yang volatil
Pembawa bahan tambahan pangan
Lipid, komposit
Hidrokoloid, lipid, atau komposit
Hidrokoloid
Hidrokoloid, lipid, atau komposit
Hidrokoloid, lipid, atau komposit
Hidrokoloid, lipid, atau komposit
Hidrokoloid, lipid, atau komposit
(Sumber : Donhowe-Irene dan Fennema, 1994)
Bahan yang sering ditambahkan pada edible coating antara lain antimikroba,
antioksidan, flavor, pewarna, dan plasticizer. Bahan antimikroba yang umumnya sering
digunakaan adalah asam benzoat, asam sorbat, kalium sorbat, dan asam propionat.
Antioksidan diperlukan untuk melindungi dari reaksi oksidasi, degradasi, dan
pemudaran. Antioksidan yang sering digunakan berupa senyawa asam dan senyawa
fenolik. Senyawa asam yang digunakan antara lain asam sitrat, asam sorbat, dan ester-
esternya. Senyawa fenolik yang digunakan adalah BHA, BHT, propil galat, dan tokoferol.
Jenis plasticizer yang umum digunakan adalah gliserol (Anonim, 2006). Gliserol
ditambahkan untuk memperbaiki karakteristik mekanis dari film yang terbentuk
(Donhowe-Irene dan Fennema, 1994.
Gliserol dibuat dengan menguraikan fruktosa difosfat dengan enzim aldosa menjadi
dihidroksi aseton fosfat, kemudian direduksi menjadi α- gliserofosfat. Setelah itu, gugus
fosfat dihilangkan dengan proses fosforilasi (Winarno, 1997).
Selain plasticizer, bahan lain yang sering ditambahkan dalam formulasi
coating adalah CMC. CMC (carboxymethylcellulose) atau gum selulosa merupakan eter
selulosa anionik yang diperoleh dengan mereaksikan selulosa alkali dengan natrium
monokloroasetat. Fungsinya antara lain menjaga tekstur alami, kerenyahan dan
kekerasan produk, menghambat pertumbuhan kapang pada keju dan sosis, dan
mengurangi penyerapan oksigen tanpa menyebabkan peningkatan kadar karbondioksida
pada jaringan buah-buahan (Nisperos-Carriedo, 1994).
CMC jarang digunakan sebagai bahan tunggal dalam pembuatan Edible Coating atau
film. Tetapi kemampuannya membentuk film yang kuat dan tahan minyak sangat baik
untuk diaplikasikan (Nisperos-Carriedo, 1994).
2.2 Pati
Pati adalah polisakarida alami yang tersusun dari monomer glukosa yang diekstrak dari
tumbuhan seperti akar, batang, biji, dan buah. Pati tersusun atas butiran kecil dimana ukuran
dan bentuk sesuai dengan sifat fisika-kimia dan fungsi dari masing-masing sumber
tumbuhannya (Jaimes et al., 2013). Sebagian besar pati dalam bentuk amilopektin (polimer
rantai bercabang) dan amilosa (polimer rantai lurus) serta sejumlah kecil kandungan fosfor,
lipid, dan protein (Cai et al., 2014).
Pati memiliki komponen utama amilosa dan amilopektin (Butterworth et al., 2012).
Amilosa tersusun atas satuan glukosa yang saling berikatan dengan ikatan 1,4 -D glukosa
dan struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 2.1 Sedangkan amilopektin merupakan
polisakarida yang tersusun atas ikatan 1,4 -D glukosa dan rantai cabang 1,6 -D glukosa
dan struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Ahmed & Auras, 2011). Amilosa
adalah komponen utama dalam pati yang berperan dalam peristiwa gelatinasi yaitu
pengelompokan molekul-molekul pati melalui pembentukan ikatan-ikatan hidrogen pada gugus
hidroksil intermolekuler antar rantai molekul amilosa. Sedangkan amilopektin sebaliknya, dapat
menghalangi terjadinya gelatinasi karena adanya percabangan dalam molekulnya yang dapat
mencegah pengelompokan tersebut.
Butiran pati tidak larut dalam air pada suhu ruang dengan struktur semikristal (Chen &
Zhang, 2012). Dalam air panas, pati memiliki sifat untuk membentuk sol atau gel yang
bersifat kental. Pemanasan pati menggunakan air akan menyebabkan struktur kristal rusak
dan menjadi acak. Hal tersebut menyebabkan pengembangan dan pemadatan pati atau
disebut dengan gelatinisasi. Cabang-cabang dalam struktur amilopektin yang menyebabkan
pembentukan gel yang cukup stabil.
Pati memiliki harga yang relatif murah, tersedia, dan sangat berguna di sejumlah daerah
sebagai pengental, film, penstabil detergen, dan emulsi (Geng et al., 2010). Pati banyak
digunakan pada industri makanan dan sifat fungsionalnya tergantung pada sumber tumbuhan
dan juga dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti modifikasi zat kimia, komposisi, pH dan
kekuatan ion dari media. Pati bersifat renewable (dapat diperbaharui) dan dapat membentuk
film dengan sifat fisika sama dengan plastik sintetis seperti transparan, tidak berasa, tidak
berbau, dan resisten terhadap O2 (Maran et al., 2013).
Gambar 2.1 Struktur amilosa
Gambar 2.2 Struktur amilopektin
2.3 Sorgum
2.3.1 Tanaman Sorgum
Sorgum (Sorgum bicolor) merupakan komoditas serealia selain gandum, jagung, dan
beras. Sorgum dikenal dengan nama Guinea corn di Afrika Barat, Kafir corn di Afrika
Selatan, Dura di Sudan, Mtama di Afrika Bagian Timur, Jowar di India dan Kaoliang di
China. Masyarakat Jawa menyebut nama lain sorgum adalah Cantel atau dalam beberapa
bahasa lokal di Flores yang dikenal dengan Watar. Tanaman ini mudah dikembangkan di
tanah yang kurang produktif dan dapat beradaptasi pada daerah kering. Sebagai bahan
pangan dunia, sorgum berada pada urutan ke-5 setelah gandum, padi, jagung, dan barley
(U.S. Grains Council, 2006). Daerah penghasil sorgum utama di Indonesia adalah Provinsi
Jawa Tengah (Kabupaten Purwodadi, Pati, Demak, Wonogiri), Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo), Provinsi Jawa Timur (Kabupaten
Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Probolinggo), dan sebagian Provinsi Nusa Tenggara Barat
dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (Badan Litbang Pertanian, 2011). Meskipun dalam
jumlah yang terbatas, sorgum Indonesia telah diekspor ke Singapura, Hongkong, Taiwan,
Malaysia, dan Jepang untuk digunakan sebagai bahan baku pakan serta industri makanan
dan minuman.
Di Indonesia, biji sorgum digunakan sebagai bahan makanan pengganti beras karena
kandungan nutrisi sorgum cukup tinggi. Di negara maju, biji sorgum digunakan sebagai
pakan ternak unggas sedangkan batang dan daunnya untuk ternak ruminansia. Biji sorgum
mengandung 65−71% pati yang dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana. Gula sederhana
yang diperoleh dari biji sorgum selanjutnya dapat difermentasi untuk menghasilkan
alkohol. Kualitas nira sorgum manis setara dengan nira tebu dengan kandungan sukrosa
masing-masing adalah 10-14,4 % dan 9-17 %, kecuali kandungan amilum berkisar 209-
1764 ppm dan asam akonitat 0,56 % yang relatif tinggi. Di beberapa negara seperti
Amerika, India dan Cina, sorgum telah digunakan sebagai bahan baku pembuatan bahan
bakar etanol (bioetanol).
Morfologi dari tanaman sorgum yaitu akar serabut, batang tunggal yang terdiri atas
ruas-ruas, daun terdiri atas lamina (blade leaf) dan auricle, dan rangkaian bunga sorgum
yang nantinya akan menjadi bulir-bulir sorgum. Pada daun sorgum terdapat lapisan lilin
yang ada pada lapisan epidermisnya. Adanya lapisan lilin tersebut menyebabkan tanaman
sorgum mampu bertahan pada daerah dengan kelembaban sangat rendah. Lapisan lilin
tersebut menyebabkan tanaman sorgum mampu hidup dalam cekaman kekeringan.
Tanaman sorgum dapat dilihat pada Gambar 2.3
Gambar 2.3 Tanaman sorgum
(Sumber : Bakeer et al., 2013)
Biji sorgum berbentuk bulat dengan ujung mengerucut, berukuran beragam (misal : 4
x 2,5 x 3,5 mm) dengan variasi berat 8-50 mg. Struktur biji sorgum hampir sama dengan
struktur serealia lainnya dengan komponen utama adalah perikarp, testa, endosperm dan
embrio. Kulit biji ada yang berwarna putih, merah atau cokelat. Sorgum putih yang disebut
sorgum kafir dan yang berwarna merah/cokelat biasanya termasuk varietas Feterita. Warna
biji ini merupakan salah satu kriteria menentukan kegunaannya. Varietas yang berwarna
lebih terang akan menghasilkan tepung yang lebih putih dan tepung ini cocok untuk
digunakan sebagai makanan lunak, roti dan lain-lainnya. Sedangkan varietas yang
berwarna gelap akan menghasilkan tepung yang berwarna gelap dan rasanya lebih pahit.
Tepung jenis ini cocok untuk bahan dasar pembuatan minuman. Untuk memperbaiki warna
biji ini, biasanya digunakan larutan asam tamarand atau bekas cucian beras yang telah
difermentasikan dan kemudian digiling menjadi pasta tepung. Kulit sorgum juga
mengandung tannin. Tannin adalah senyawa polifenolik yang dapat membentuk kompleks
dengan protein sehingga menurunkan daya cerna protein. Kandungan tannin dalam kulit
biji sorgum berkisar 0.4-3.6 % w/w. Tannin dapat menyebabkan rasa lengket dan pahit
dalam olahan pangan.
2.3.2 Kandungan Nutrisi Sorgum
Sorgum dapat digunakan sebagai sumber kalori selain beras, jagung, dan gandum bagi
penduduk daerah tropis. Selain itu, kandungan gizi sorgum tinggi sehingga sangat baik
digunakan sebagai sumber bahan pangan maupun pakan ternak alternatif. Perbandingan
komposisi kimia sorgum dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Perbandingan kandungan gizi sereal sebagai bahan edible film dalam 100 g
(Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI, 1992)
Sorgum memiliki kandungan protein yang tinggi. Akan tetapi sorgum memiliki
kelemahan dibandingkan tanaman serealia lainnya. Sorgum memiliki nilai gizi dan kualitas
organoleptik yang rendah karena memiliki zat anti gizi yang membentuk interaksi
kompleks dengan kandungan nutrisi pada tepung sorgum tersebut. Sorgum mengandung
tanin yang rnenyebabkan rasa sepat, terutama pada sorgum yang mempunyai kulit biji
berwarna tua. Reaksi tanin-protein dalam sorgum melibatkan ikatan hidrogen dan interaksi
hidrofobik (Butler et al., 1984). Prolamin pada sorgum dapat mengikat tanin dengan kuat
dan juga mengikat karbohidrat serta mineral, sehingga mengurangi daya cerna nutrient
sorgum.
2.3.3 Pati Sorgum
Biji sorgum juga dapat dibuat pati (starch) yang berwarna putih. Pati sorgum
digunakan dalam berbagai industri, seperti perekat, bahan pengental, dan aditif pada
industri tekstil, sedangkan hasil samping dari pembuatan pati dapat digunakan sebagai
makanan ternak. Pati merupakan bahan utama pada berbagai sistem pengolahan pangan,
antara lain sebagai sumber energi utama, serta berperan sebagai penentu struktur, tekstur,
konsistensi, dan penampakan bahan pangan. Kandungan pati biji sorgum sekitar 70-80%
berat kering tergantung daerah dan kondisi iklim (Sirappa, 1996). Pati sorgum
mengandung amilopektin 75% dan amilosa 25%.
Bahan Pangan Sorgum Gandum Jagung
Kalori (kkal) 329 348 358
Karbohidrat (g) 73 71 73
Protein (g) 10.9 11.6 9.2
Lemak (g)
Kalsium (mg)
Zat besi (mg)
3.2
27
4.3
2.0
30
3.5
4.6
26
2.7
Serat (%)
Abu (g)
Thiamin (mg)
Niacin (mg)
Riboflavin (mg)
2.3
1.6
0.3
2.83
0.138
2.0
1.6
0.405
5.05
0.101
2.8
1.2
0.378
3.57
0.197
Pati dapat diekstrak dengan berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan penggunaan
dari pati itu sendiri. Pati sorgum dapat diekstrak dari biij sorgum salah satunya dengan
menggunakan bleaching reagent. Proses ekstrak pati sorgum terdiri dari perendaman,
penggilingan, penyaringan, sedimentasi, dan sentrifugasi. Perendaman dilakukan dalam
NaOH selama 24 jam (Iranna et al., 2012). Tujuan perendaman adalah untuk
menghilangkan zat tanin sehingga memberikan pengaruh warna yang lebih putih pada biji
sorgum dan untuk menghilangkan rasa pahit pada olahan pangan. Perendaman dengan
NaOH dapat menghilangkan tannin sebesar 70-80%. Proses penggilingan, penyaringan,
dan sentrifugasi bertujuan untuk memisahkan pati dari komponen-komponen lainnya.
Diagram alir ekstraksi pati sorgum dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut.
Gambar 2.4 Ekstraksi pati biji sorgum
2.4 Pencoklatan (Browning)
Proses pencoklatan (Browning) sering terjadi pada buah-buahan yang rusak, memar,
pecah, atau terpotong seperti pada pisang, peach, pir, salak, pala, dan apel. Proses
pencoklatan dapat dibagi menjadi dua jenis, proses pencoklatan enzimatis dan non
enzimatis. Reaksi pencoklatan non-enzimatis belum diketahui atau dimengerti penuh.
Tetapi pada umumnya ada tiga macam reaksi pencoklatan non-enzimatis yaitu
karamelisasi, reaksi Maillard, dan pencoklatan akibat vitamin C (Winarno, 1997).
Pencoklatan enzimatis terjadi pada buah-buahan yang banyak mengandung senyawa
fenol (Winarno, 1997). Berdasarkan pada derajat kekompleksannya, senyawa fenol
Biji Sorgum
Perendaman, Penggilingan,
Sedimentasi
Sentrifugasi
Pati Sorgum
pada tanaman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu : (1) senyawa fenol sederhana dan
(2) senyawa fenol kompleks (Muchtadi, 1992).
Kelompok senyawa fenol yang sederhana terdiri dari asam amino tirosin,
dihidroksifenilalanin (DOPA), katekol, dan asam kafeat. Asam kafeat bila bereaksi dengan
asam kuinat akan membentuk asam klorogenat. Asam klorogenat banyak terdapat pada
apel, kentang, arbei, dan pir (Muchtadi, 1992).
Golongan senyawa fenol yang kompleks terdiri sari antosianin, lignin, dan tanin.
Berdasarkan dapat tidaknya dihidrolisis, maka tanin dapat dibagi menjadi dua golongan,
yaitu hydrolizable tannin dan condensed tannin. Yang pertama adalah tanin yang dapat
dihidrolisis baik dengan asam, basa, atau enzim yang akan menghasilkan senyawa-senyawa
seperti sakarida, asam galat, asam elagat atau asam yang lain. Yang kedua adalah tanin
yang mempunyai struktur yang kompleks dan tidak dapat dihidrolisis. Yang termasuk ke
dalam grup ini adalah katekin dan leukoantosianin, di mana molekulnya dapat
terpolimerisasi (Muchtadi, 1992).
Menurut Marshall et al. (2000), pencoklatan enzimatis terjadi setelah senyawa fenolik
yang bertindak sebagai substrat dan terdapat di vakuola bertemu dengan enzim polifenol
oksidase yang terdapat di sitoplasma dan dibantu oleh oksigen yang bertindak sebagai
substrat pembantu (co-substrate). Mekanisme pencoklatannya adalah enzim polifenol
oksidase mengkatalisis oksidasi fenol menjadi o-quinon. Kemudian o-quinon secara
spontan melangsungkan reaksi polimerisasi menjadi pigmen berwarna coklat yang
disebut juga dengan melanin seperti yang terjadi pada apel pada Gambar 2.5
Gambar 2.5 Apel Manalagi sebelum mengalami browning (kiri) dan setelah mengalami
browning (kanan)
(Sumber: Latifah, 2009)
Enzim-enzim yang dapat mengkatalisis oksidasi dalam proses pencoklatan dikenal
dengan berbagai nama, yaitu fenol oksidase, polifenol oksidase, fenolase, atau polifenolase;
masing-masing bekerja spesifik untuk substrat tertentu (Winarno, 1997). Enzim merupakan
protein yang dihasilkan oleh sel hidup yang bertindak sebagai katalis dalam reaksi kimia
organik, yang dapat mengubah bahan sedangkan dia sendiri tidak mengalami
perubahan (Sucipto, 2008).
Untuk mencegah terbentuknya warna coklat pada buah atau sayuran dapat dilakukan
dengan : (1) menghilangkan oksigen pada permukaan buah atau sayuran yang terpotong,
misalnya dengan merendam dalam air; (2) menghilangkan tembaga yang terdapat pada
gugus prostetik enzim polifenol oksidase dengan menggunakan pengkelat seperti EDTA,
asam-asam organik, dan fosfor sehingga enzim polifenol oksidase tidak dapat
melangsungkan reaksi pencoklatan enzimatis; (3) inaktivasi enzim polifenol oksidase
dengan melakukan blansir pada buah atau sayuran; (4) penyimpanan dingin; (5)
menggunakan senyawa antioksidan; dan (6) menggunakan edible coating (Marshall et
al., 2000).
2.5 Apel
Menurut Sunarjono (2005), tanaman apel (Malus domesticus Borkh) diduga berasal
dari sekitar Israel-Palestina, kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Eropa dan Australia merupakan negara yang paling dulu mengembangkan tanaman apel
secara agribisnis. Di Indonesia, tanaman apel banyak terdapat di Batu (Malang) dan Soe
(Timor Timur Selatan).
Buah apel berbentuk bulat hingga bulat telur, keras tetapi renyah, dan airnya sedikit.
Bila buah sudah tua, warnanya ada yang merah, kuning, atau hijau (Sunarjono, 2005). Salah
satu varietas unggul yang telah dilepas adalah Manalagi, seperti terlihat pada Gambar 2.6
Asalnya dari Desa Gandon, Batu. Warna buahnya hijau muda kekuningan, pori kulit
buahnya putih, jarang, aromanya sedap. Daging buahnya agak liat, kurang berair, warnanya
putih (Kusumo, 1986).
Gambar 2.6 Apel Manalagi
(Sumber: Latifah, 2009)
Menurut Sunarjono (2005), selain sebagai buah segar untuk buah meja (cuci mulut),
buah apel mempunyai nilai tinggi sebagai minuman (jus). Nilai gizi yang terkandung di
dalamnya cukup tinggi karena selain mengandung vitamin A, B, dan C juga banyak
mengandung mineral yang penting untuk menjaga kesehatan manusia.
Apel termasuk buah yang dapat mengalami reaksi pencoklatan enzimatis apabila
mengalami kerusakan berupa memar ataupun pengirisan dan pemotongan (Winarno, 1997).
Hal ini disebabkan di dalam apel terkandung senyawa fenol yang apabila berinteraksi
dengan enzim polifenol oksidase dengan bantuan oksigen akan mengalami pencoklatan
(browning). Senyawa fenol yang terkandung pada apel meliputi asam klorogenat, katekol,
katekin, asam kafeat, 3,4-dihidroksifenilalanin (DOPA), p-kresol, 4-metil katekol,
leukosianidin, dan flavonol glikosida (Marshall et al., 2000).
2.6 Pengolahan Minimal
Pengolahan minimal (minimal processing) atau dikenal pula dengan istilah potong
segar (fresh-cut) merupakan pengolahan buah atau sayuran yang melibatkan pencucian,
pengupasan, dan pengirisan sebelum dikemas dan menggunakan suhu rendah untuk
penyimpanan sehingga mudah dikonsumsi tanpa menghilangkan kesegaran dan nilai gizi
yang dikandungnya (Perera, 2007). Akan tetapi, proses pemotongan produk-produk
tersebut dapat mengakibatkan kerusakan sel dan mempercepat kerusakan mutu (Baldwin
dan Nisperros-Carriedo, 1993).
Kelebihan dari buah-buahan dan sayuran yang terolah minimal, seperti terlihat pada
Gambar 2.7, selain kemudahan dalam penyajian adalah memungkinkan konsumen melihat
secara langsung kondisi bagian dalam produk sehingga menawarkan mutu yang lebih
terjamin dibandingkan buah utuh. Apalagi buah-buahan umumnya tidak terlepas dari
serangan hama lalat buah (fruit fly), sehingga meskipun nampak mulus di bagian luar,
akan tetapi di dalamnya bisa saja terinfestasi telur atau ulat dari lalat buah. Untuk buah
berukuran besar, konsumen tidak harus mengeluarkan uang ekstra hanya untuk
membeli satu buah yang beratnya kiloan. Bahkan konsumen dapat membeli beberapa jenis
buah dalam satu kemasan dalam ukuran berat yang relatif kecil, sehingga bisa memenuhi
selera sekaligus menghemat pengeluaran (Hasbullah, 2006).
Gambar 2.7 Contoh Produk Terolah Minimal
(Sumber: Latifah, 2009)
Perlakuan-perlakuan pada produk potong segar seperti pengupasan dan pemotongan
dapat menyebabkan perubahan kimia dan biokimia yang selanjutnya menyebabkan
kerusakan mutu. Perubahan tersebut meliputi peningkatan respirasi, produksi etilen,
perubahan warna, flavor, pembentukan metabolit sekunder, dan peningkatan pertumbuhan
mikroba (Baldwin, 2007).
Perlakuan tambahan dapat diberikan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat
pengolahan minimal yang bertujuan mempertahankan kualitas dan memperpanjang masa
simpan, di antaranya adalah (i) penggunaan bahan tambahan pangan (BTP), dan (ii)
penggunaan pelapis edibel. Penggunaan BTP seperti asam askorbat untuk buah mangga dan
rambutan, tri sodium phosphate atau Na-alginat untuk melon terbukti dapat
memperpanjang masa simpan. Pelapis edibel dapat digunakan sebagai pengemas primer
yang dapat dimakan dan berfungsi untuk mengawetkan dan mempertahankan kesegaran
serta kualitas produk (Hasbullah, 2006).
2.7 Respirasi
Setelah dipanen, buah dan sayur masih melangsungkan metabolisme hidup. Pada saat
itu terjadi degradasi komponen di dalam buah dan sayur menjadi komponen yang lebih
sederhana. Proses tersebut berlangsung hingga akhirnya buah atau sayur menjadi layu dan
busuk (Wulandari, 2006).
Aktivitas metabolisme itu adalah respirasi atau pernapasan, di mana terjadi penyerapan
oksigen (O2) dan pelepasan karbondioksida (CO) melalui pemecahan komponen-komponen
yang terkandung di dalam buah dan sayur tersebut. Selain itu, terjadi juga transpirasi
(pelepasan uap air) melalui poripori permukaan buah dan sayur. Transpirasi yang terus-
menerus terjadi, pada akhirnya akan menyebabkan buah dan sayur menjadi layu (Wulandari,
2006). Apabila persediaan oksigen berkurang maka buah-buahan cenderung untuk
melakukan fermentasi untuk memenuhi kebutuhan energinya. Senyawa organik yang biasa
digunakan dalam proses fermentasi pada umumnya adalah glukosa yang akan menghasilkan
beberapa bahan lain seperti aldehida, alkohol, atau asam. Bila buah-buahan melakukan
fermentasi, maka energi yang diperoleh lebih sedikit per satuan substrat dibandingkan
dengan cara pernapasan (respirasi). Oleh karena itu, bila buah-buahan melakukan proses
fermentasi untuk memenuhi kebutuhan energi, diperlukan substrat (glukosa) dalam jumlah
yang banyak sehingga dalam waktu yang singkat persediaan substrat akan habis dan
akhirnya buah tersebut akan mati dan busuk (Muchtadi dan Sugiyono, 1989).
Luka atau memar yang terjadi pada buah-buahan akan meningkatkan sintesa etilen.
Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan kecepatan respirasi karena
diketahui bahwa etilen dapat menstimulir reaksi enzimatis dalam buah-buahan (Muchtadi,
1992). Perubahan-perubahan fisiologis yang disebabkan peningkatan etilen meliputi : (1)
peningkatan permeabilitas sel, (2) hilangnya sekat-sekat (decompartmentation), (3)
peningkatan pelayuan dan aktivitas respirasi, dan (4) peningkatan aktivitas enzim (Wong et
al., 1994).
Faktor-faktor yang mempengaruhi respirasi dapat dibedakan atas dua, yaitu faktor
internal (dari dalam bahan sendiri) seperti tingkat perkembangan organ, komposisi kimia
jaringan, ukuran produk, adanya pelapisan alami pada permukaan kulitnya, dan jenis
jaringan. Faktor eksternal (dari luar atau lingkungan di sekeliling bahan) seperti suhu,
penggunaan etilen, ketersediaan oksigen, karbondioksida, terdapatnya senyawa pengatur
pertumbuhan, dan adanya luka pada buah (Muchtadi dan Sugiyono, 1989).
Menurut Muchtadi (1992), terdapat tiga fase dalam respirasi, yaitu :
1. Perombakan polisakarida menjadi gula-gula sederhana,
2. Oksidasi gula-gula sederhana tersebut masih menjadi asam piruvat, dan
3. Perubahan (transformasi) aerobik dari piruvat dan asam-asam organik lain menjadi
karbondioksida, air, dan energi.
Beberapa senyawa penting yang dapat digunakan untuk mengukur proses respirasi
adalah glukosa, ATP, CO2, dan O2. Oleh karena itu, beberapa cara telah dicoba digunakan
untuk mengukur perubahan kandungan gula, jumlah ATP, jumlah CO2 yang dihasilkan, dan
jumlah O2 yang digunakan.
Dari keempat cara tersebut, pengukuran yang mungkin dilaksanakan dengan
menggunakan cara yang sederhana dan praktis adalah dengan menghitung produksi CO2.
Cara ini mudah dilakukan karena selama respirasi jumlah CO2 yang keluar relatif cukup
banyak (Winarno dan Wirakartakusumah, 1979).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Percobaan
Pada bab ini akan dibahas langkah-langkah untuk mencapai tujuan penelitian, diagram
alir penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 3.1 berikut.
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian Keseluruhan
3.2 Penetapan Variabel
Variabel Tetap
a. Suhu pemanasan larutan Edible Coating : 70oC
b. Suhu pendinginan larutan Edible Coating : 25-300C
c. Volume basis larutan Edible Coating : 500 mL
d. Lama pencelupan : 60 detik
e. Pengeringan apel terlapis : 45 menit
Variabel Berubah
a. Konsentrasi pati sorgum : 2 % ; 3 % ; 4 % (b/v)
b. Konsentrasi CMC : 0.2 % ; 0.3 % ; 0.3 % (b/v)
c. Konsentrasi gliserol : 1 % ; 3 % ; 5 % (v/v)
d. Lama penyimpanan apel terlapis : 10 ; 20; 30 oC
Biji Sorgum
Pengujian Sifat Fisikokimia Apel Terlapis
Aplikasi Edible Coating
pada Apel
Pembuatan Pati Sorgum
Pembuatan Larutan Edible Coating
3.3 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah apel Manalagi dengan tingkat
kematangan sedang yang dicirikan berwarna kuning muda Pasar Banyumanik, Semarang
serta sorgum putih yang berasal dari Wonogiri. Bahan yang digunakan untuk formulasi
Edible Coating adalah pati sorgum, Carboxymethylcellulose (CMC), gliserol, potassium
sorbat, asam stearat, asam askorbat (vitamin C) dan aquades yang diperoleh dari Toko
Kimia Indrasari . Peralatan yang digunakan adalah hot plate, stirer, timbangan analitik,
thermometer, pH meter, rheometer (Brookfield), penetrometer, chromameter (colorimeter),
refraktometer,tachometer, dan alat-alat laboratorium lainnya (gelas piala, gelas ukur,
Erlenmeyer, stirer dan pipet).
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Pembuatan Pati Sorgum
Pembuatan pati sorgum menggunakan metode dari penelitian Iranna et al. (2012)
dengan beberapa modifikasi. Biji pati sorgum yang telah disortir dikemudian dicuci
hingga bersih dalam bak yang berisi air dan 1 kg biji sorgum direndam dalam NaOH 0.25
% (w/v) selama 24 jam. Biji sorgum dicuci dan diblender dengan penambahan air
sebanyak 200 mL selama 3 menit. Bubur disaring pada screen 200 mesh dan diendapkan.
Setelah mengendap, dilakukan penyaringan dan residu pada saringan dibilas dengan air.
Residu yang telah dicuci selanjutnya dibuang. Filtrat didiamkan selama 1 jam selanjutnya
disentrifugasi pada 6000 rpm selama 10 menit. Lapisan paling atas yang berwarna abu-abu
merupakan protein dan harus diambil dengan menggunakan spatula. Kelebihan air
ditambahkan untuk me-resuspend sampel dan sentrifugasi kembali selama 5 menit. Cuci
dan sentrifugasi kembali sampai lapisan atas pati berwarna putih. Pati dikeringkan selama
24 jam pada 400C. Keseluruhan proses dapat dilihap pada gambar 3.2
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Pati Sorgum
Biji Sorgum
Pengupasan
Pencucian
Perendaman 1 kg biji sorgum
+
NaOH 0.25 % (w/v)
Penghancuran (blender, 3 menit) 200 ml air
Penyaringan (200 mesh)
Pengendapan
Penyaringan
Filtrat Residu
Pencucian
Pengendapan (1 jam)
Sentrifugasi (6000 rpm, 10 menit) Lapisan putih
(Pati Sorgum)
Pengambilan Pati Sorgum
Pengeringan (40C, 24 jam)
Pati Sorgum
3.4.2 Pembuatan Edible Coating
Pada penelitian pembuatan formula Edible Coating ini dicoba dengan mengatur
komposisi bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan. Bahan baku yang digunakan
yaitu pati sorgum, komposisi pati sorgum yang digunakan yaitu (2%, 3%, dan 4% (b/v)),
CMC yang digunakan yaitu (0,2%, 0,3%, dan 0,4% (b/v)), dan variasi komposisi gliserol
yang digunakan yaitu (1% , 3%, dan 5% (v/v)). Bahan tambahan yang digunakan yaitu
potassium sorbat, asam stearat, dan asam askorbat (vitamin C).
Metode pengadukan menggunakan pengadukan secara manual dengan sudip dan
dibantu dengan menggunakan stirer untuk proses homogenisasi. Proses pembuatan formula
Edible Coating sebanyak 500 ml dengan metode pengadukan secara manual dengan sudip
dan dibantu menggunakan stirer untuk proses homogenisasi dapat dilihat pada Gambar
3.3. Pertama aquades (aquades) dipanaskan dengan hot plate sampai suhu 700C.
Kemudian CMC (0,2% , 0,3%, dan 0,4% (b/v)) dilarutkan sedikit demi sedikit ke dalam
aquades (aquades) sambil diaduk selama 3 menit sampai homogen. Selanjutnya,
ditambahkan pati sorgum (2%, 3%, dan 4% (b/v)) sedikit demi sedikit dan diaduk selama 3
menit. Setelah antara CMC dan pati sorgum homogen, ditambahkan gliserol (1%, 3%, dan
5% (v/v)) untuk meningkatkan elastisitas lapisan dan potassium sorbat (0,5% (b/v)) sambil
terus diaduk. Setelah semua larut, ditambahkan asam lemak stearat (0,5% (b/v)) dengan
tetap diaduk sampai homogen. Proses selanjutnya adalah pendinginan formula Edible
Coating pada suhu kamar (25-300C) dan dilakukan penyimpanan selama 5 hari untuk
mengetahui pada penyimpanan berapahari formula Edible Coating mengalami kerusakan
serta untuk mengetahui karakteristik formula Edible Coating selama penyimpanan.
Pengamatan atau pengujian formula Edible Coating yang meliputi pH, viskositas dan
penampakan visual (penggumpalan, kelarutan, bau, sineresis dan buih) dilakukan setiap
hari (hari ke-0 sampai dengan hari ke-5). Setelah 5 hari penyimpanan dilakukan pemilihan
terhadap formula Edible Coating terbaik dengan kriteria pengujian pH, viskositas dan
penampakan visual. pH yang dipilih adalah yang cenderung netral (pH 6-7) dan viskositas
yang dipilih adalah yang terkecil dan cenderung stabil, sedangkan pengujian penampakan
visual yang dipilih adalah yang memiliki tingkat kelarutan tinggi dan tingkat
penggumpalan, bau, sineresis dan buih yang rendah.
Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Edible Coating Pati Sorgum
3.4.3 Aplikasi Edible Coating pada Apel
Untuk aplikasi formula Edible Coating, buah apel Manalagi dicelupkan segera setelah
pisang dilepas dari tandanya ke dalam larutan 0,5% asam askorbat selama 60 detik untuk
mencegah terjadinya pencoklatan (browning), kemudian ditiriskan dan dikering anginkan
dengan bantuan kipas angin. Setelah itu, buah apel Manalagi dicelupkan ke dalam formula
Edible Coating selama 60 detik dan kemudian ditiriskan dan dikering anginkan kembali
dengan bantuan kipas angin. Penggunaan kipas angin ditujukan untuk mempercepat proses
pengeringan. Penyimpanan dilakukan pada suhu 100, 160C, dan suhu 300C. Buah apel
Manalagi yang tidak dilapisi Edible Coating disimpan sebagai kontrol. Parameter yang
diamati pada buah apel Manalagi selama penyimpanan terdiri dari sifat fisiko-kimia yang
meliputi: persen kerusakan, susut bobot (AOAC, 1995), kekerasan (Gardjito, 2003), warna
(Gardjito, 2003), dan total padatan terlarut (AOAC, 1984). Penyimpanan dilakukan sampai
terjadi pematangan, dengan frekuensi pengamatan setiap dua hari sekali.
Gambar 3.4 Diagram Alir Aplikasi Edible Coating pada Apel Manalagi
BAB IV
JADWAL PELAKSANAAN
Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan di Laboratorium Bioproses dan Laboratorium
Mikrobiologi Industri Jurusan Teknik Kimia dan Laboratorium Terpadu Universitas Diponegoro
dengan rincian kegiatan seperti disajikan pada Tabel 4.1 dibawah ini.
Tabel 4.1 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
Bentuk Kegiatan Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 Bulan 5 Bulan 6
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyiapan Bahan dan
Alat
Pelaksanaan Penelitian
Analisa Hasil
Pembuatan Laporan
Akhir
Seminar Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, J., and Auras, R., 2011. Effect of acid hydrolysis on rheological and thermal
characteristics of lentil starch slurry. LWT - Food Science and Technology, 44(4), pp.976–
983.
Badan Litbang Pertanian. 2011. Potensi dan Teknologi Penanganan Sorgum Sebagai Olahan
Pangan. Agroinovasi, 3402, pp.11–16.
Bakeer, B., Taha, I., El-Mously, H., and Shehata, S. A. 2013. On The Characterisation Of
Structure And Properties Of Sorghum Stalks. Ain Shams Engineering Journal, 4(2),
pp.265–271.
Baldwin, E.A. 1994. Edible Coatings for Fresh Fruits and Vegetables : Past, Present, and
Future. Di dalam : Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds),
Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company
Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 25-64.
Ban, W., Song, J., Argyropoulos, D. S., and Lucia, L.A. 2006. Improving The Physical And
Chemical Functionality Of Starch-Derived Films With Biopolymers. Journal of Applied
Polymer Science, 100(3), pp.2542–2548.
Budiman, 2011. Aplikasi Pati Sorgum Sebagai Bahan Baku Edible Coating Untuk
Memperpanjang Umur Simpan Apel Manalagi (Musa Cavendishii.) Skripsi Budiman
Fakultas Teknologi Pertanian Edible Coating To Extend Shelf Life. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Butterworth, P.J., Warren, F. J., Grassby, Terri., Patel, Hamung., and Ellis, P. R. 2012. Analysis
Of Starch Amylolysis Using Plots For First-Order Kinetics. Carbohydrate Polymers, 87(3),
pp.2189–2197.
Cai, J., Cai, C., Man, J., Yang, Y., Zhang, F., and Wei, C. 2014. Crystalline And Structural
Properties Of Acid-Modified Lotus Rhizome C-Type Starch. Carbohydrate polymers, 102,
pp.799–807.
Chen, G,. and Zhang, B. 2012. Hydrolysis Of Granular Corn Starch With Controlled Pore Size.
Journal of Cereal Science, 56(2), pp.316–320.
Chien, P. J., Sheu, F., and Yang, F. H. 2007. Effects Of Edible Chitosan Coating On Quality And
Shelf Life Of Sliced Mango Fruit. Journal of Food Engineering, 78(1), pp.225–229.
Dhanapal, A., P, Sasikala., Rajamani, L., V, Kavitha., G, Yazhini., and Banu, M. S. 2012. Edible
Films From Polysaccharides. Food Science and Quality Management, 3(1), pp.9–18.
Geng, F., Chang, P. R., Yu, J., and Ma, X. 2010. The Fabrication And The Properties Of
Pretreated Corn Starch Laurate. Carbohydrate Polymers, 80(2), pp.360–365.
Grant, L.A. dan Burns, J. 1994. Application of Coatings. Di dalam : Krochta, J.M., Baldwin,
E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and Films to Improve Food
Quality. Technomic Publishing Company Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 189-200.
Han, J.H., 2014. Edible Films and Coatings : A Review, Elsevier Ltd.
Hasbullah, R. 2006. Teknologi Pengolahan Minimal. Food Review 1 (10) : 40-45.
Iranna, S., Sahoo, A.K., and Hend, G.M. 2012. Extraction And Characterization Of Sorghum
(Sorghum bicolor L. Moench) Starch. International Food Research Journal, 19(1), pp.315–
319.
Kusumo, S. 1986. Apel (Malus sylvestris Mill). CV. Yasaguna, Jakarta.
Mali, S., Sakanaka, L. S., Yamashita, F., Grossmann, M. V. E. 2005. Water Sorption And
Mechanical Properties Of Cassava Starch Films And Their Relation To Plasticizing Effect.
Carbohydrate Polymers, 60(3), pp.283–289.
Marshall, M.R., Kim, J., dan Wei, C-I. 2000. Enzymatic Browning in Fruits, Vegetables, and
Seafoods. www.fao.org [1 Mei 2008].
Moreno, O., Pator, Clara., Muller, Justine., Atares, Lorena., Gonzalez, C., Chiralt, A. 2014.
Physical and Bioactive Properties of Corn Starch – Buttermilk Edible Films. Journal of
Food Engineering, 141, pp.27–36.
Muchtadi, D. 1992. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-buahan. Petunjuk Laboratorium.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Petunjuk Laboratorium.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
Nisperos-Carriedo, M.O. 1994. Edible Coatings and Films Based on Polysaccharides. Di dalam
: Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and
Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company Inc., Lancaster
Pennsylvania, p. 305-335.
Perera, C.O. 2007. Minimal Processing of Fruits and Vegetables. Di dalam : Rahman, M. S.
(Ed), Handbook of Food Preservation, 2nd Ed. CRC Press, New York, p. 137-150.
Sirappa, M.P. 2003. Prospek Pengembangan Sorgum Di Indonesia Sebagai Komoditas Alternatif
Untuk Pangan, Pakan, dan Industri. Jurnal Litbang Pertanian, 22 (4), pp.133-140.
Sirviö, J.A., Kolehmainen, A., Liimatainen, H., Niinimaki, J., and Hormi, O. E. O. 2014.
Biocomposite Cellulose-Alginate Films: Promising Packaging Materials. Food chemistry,
151, pp.343–51.
Sunarjono, H. 2005. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Penebar Swadaya, Jakarta.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta.
Winarno, F.G., Fardiaz, D., dan Fardiaz, S. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia,
Jakarta.
Wong, D.W.S., Camirand, W.M., dan Pavlath, A.E. 1994. Development of Edible Coatings for
Minimally Processed Fruits and Vegetables. Di dalam : Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan
Nisperos Carriedo, M.O. (Eds), Edible Coatings and Films to Improve Food Quality.
Technomic Publishing Company Inc., Lancaster Pennsylvania, p. 65-88.
Wulandari, N. Teknologi Praktis MAS untuk Buah dan Sayur. Food Review 1 (10) : 30-35.
LAMPIRAN
Prosedur Analisis
1. Warna Buah (Gardjito, 2003)
Pengukuran perubahan warna dilakukan dengan menggunakan alat Colorimeter atau
Chromameter. Bahan uji diletakkan tepat dibawah sensor cahaya dan diukur. Hasil
pengukuran warna berupa nilai L, a dan b.
2. Susut Bobot (AOAC, 1995)
Pengukuran susut bobot dilakukan secara gravimetri, yaitu membandingkan selisih bobot
sebelum penyimpanan dengan sesudah penyimpanan. Kehilangan bobot selama
penyimpanan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
3. Kekerasan Buah (Gardjito, 2003)
Uji kekerasan buah dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer. Bahan uji diletakkan
tepat di bawah jarum. Sebelumnya dipastikan bahwa jarum penunjuk telah menunjukkan
angka nol. Buah ditusuk dengan menekan tuas selama ± 10 detik, dilepaskan dan dibaca
nilai yang tertera. Kekerasan buah dinyatakan dalam satuan mm per detik dengan berat
beban yang dinyatakan dalam gram.
4. Derajat Keasaman (AOAC, 1984)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Pengukuran ini dilakukan
terhadap 100 gram sampel yang kemudian ditambahkan 100 ml air destilat dan dihancurkan
dengan blender. Pengukuran keasaman dengan pH meter dilakukan sebanyak 3 kali
pengukuran dengan menghitung keasaman sampel sebagai rata-rata dari 3 kali pengukuran.
5. Kekentalan (SNI 01-2891-1992)
Pengukuran viskositas (kekentalan) dilakukan dengan menggunakan alat Rheometer.
Masukkan 200 ml sampel dalam gelas piala, kemudian celupkan ke rotor yang telah
terpasang pada alat ke dalam sampel dengan kecepatan 100rpm. Tekan tombol ON untuk
melakukan pengukuran. Biarkan rotor berputar selama 1 menit. Setelah 1 menit baca angka
yang terbaca pada alat.
6. Total Padatan Terlarut (AOAC, 1984)
Jumlah padatan terlarut dihitung menggunakan refraktometer. Ambil sedikit bahan yang
akan diukur total padatan terlarutnya dan teteskan pada alat. Kemudian ukur nilai total
padatan terlarutnya yang berada diantara batas terang dan batas gelap dengan satuan obrix.
7. Persen Jumlah Kerusakan
Persen jumlah kerusakan pisang cavendish diukur dengan mengamati jumlah kulit hitam,
bintik-bintik hitam dan jumlah atau bagian pisan yang rusak pada pisang cavendish. Jumlah
kerusakan yang ada diperkirakan jumlahnya dan dibandingkan dengan jumlah total luasan
pisang cavendih yang ada.