Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 46
UNSUR EKOLOGI DALAM PERIBAHASA BANJAR
( ECOLOGY ELEMENTS IN BANJARESE PROVERBS)
Norvia
SMP Widya Dharma Banjarmasin, Jl. Bandarmasih Komplek DPR No 4,
Banjarmasin Barat, Kalimantan Selatan, Kode Pos 70112
e-mail [email protected]
Abstract
Ecology Elements in the Banjarese Proverbs. This research is motivated by the researcher's interest in
preserving the Banjarese proverbs which is now starting to fade in its meaning due to ignorance of the
ecological forms of flora, fauna, and culture which are used as a kias word in Banjarese proverbs. This
study aims to describe (1) the ecological form of flora in the Banjarese proverbs (2) the ecological form
of fauna in the Banjarese proverbs (3) The form of cultural ecology in the Banjarese proverbs. Sources
of data are obtained from books and informants. The book used as a data source is a collection of
Banjarese proverbs by Aliansyah Jumbawuya. The results of this study found that of the three
classifications there were even more specific classifications, namely, (1) the Banjarese proverbs
ecological flora consisting of vegetables, fruits, and wild plants, (2) Banjarese proverbs ecology fauna
consisting of fauna habitat in land and water, and (3) the Banjarese proverbs of cultural ecology
consists of three categories, namely home architecture, tools and living equipment, and systems of
thought.
Key words: ecology, oral tradition, Banjarese proverb
Abstrak
Unsur Ekologi Sastra dalam Paribasa Banjar. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan
peneliti untuk melestarikan peribahasa Banjar yang sekarang mulai kabur dalam pemaknaannya akibat
ketidaktahuan akan wujud ekologi flora, fauna, dan budaya yang dijadikan kata kias dalam peribahasa
Banjar. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan (1) Wujud ekologi flora dalam peribahasa Banjar (2)
Wujud ekologi fauna dalam peribahasa Banjar (3) Wujud ekologi budaya dalam peribahasa Banjar.
Sumber data didapat dari buku dan informan. Adapun buku yang dijadikan sumber data adalah
kumpulan peribahasa Banjar karya Aliansyah Jumbawuya. Hasil penelitian ini menemukan dari tiga
klasifikasi tersebut di dapat penggolongan yang lebih spesifik lagi yakni, (1) peribahasa Banjar ekologi
flora terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, dan tanaman liar, (2) peribahasa Banjar ekologi fauna
terdiri dari fauna habitat di darat dan di air, dan (3) peribahasa Banjar ekologi budaya terdiri dari tiga
kategori yakni arsitektur rumah, peralatan dan perlengkapan hidup, dan sistem berpikir.
Kata-kata kunci: unsur ekologi, tradisi lisan, paribasa Banjar
Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya Vol 11, No 1, April 2021
ISSN 2089-0117 (Print) Page 46 - 66
ISSN 2580-5932 (Online)
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
47 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya
PENDAHULUAN
Peribahasa Banjar merupakan tradisi lisan yang sarat dengan berbagai unsur kearifan lokal
diantaranya unsur lingkungan hidup. Kearifan lokal tersebut tercermin dalam pemilihan
kosakata terkait ekologi flora, fauna dan budaya dalam peribahasa Banjar, misalnya unsur
ekologi yang tercermin identik dengan lingkungan alam hutan, huma (sawah), dan sungai. Hal
tersebut mempengaruhi keberagaman flora, fauna dan budaya yang menjadi ciri khas di
lingkungan etnik Banjar, sekaligus menjadi pembeda cara etnik Banjar dalam memahami,
mengungkapkan, dan menginterpretasikan unsur ekologi dalam sebuah karya sastra.
Rafiek (2017, hlm. 237) mengungkapkan bahwa teori ekologi sastra sebagai teori yang
berupaya membuka jalan hubungan antara teori ekologi dengan teori sastra. Kajian ekologi
tidak hanya menganalisis dan membahas kaitan ekologi dengan karya sastra, tapi lebih dari
sekedar itu, lingkungan dikritisi dari segi pemeliharaan dan pelestariannya. Bahkan sampai
pada pengkajian terhadap kerusakan dan kepunahan suatu ekosistem.
Selain ekologi terkait ekosistem flora dan fauna juga terdapat ekologi budaya yang hidup
dan berkembang di lingkungan etnik yang menjadi ke khasan etnik tertentu. Kajian terhadap
hubungan budaya dan sastra membahas tentang corak budaya yang spesifik berdasarkan
keberadaan ekosistem yang ada. Wilayah yang berbeda secara ekosistem akan menghasilkan
corak budaya yang berbeda. Sehingga perlu adanya pemahaman korelasi ekologis, hal demikian
dikarenakan lingkungan jelas memiliki peranan korelatif terhadap sastra. Ketika lingkungan
sedang dibakar hutannya, lingkungan banyak diamuk oleh banjir, lingkungan sedang
dimusnahkan lahar dingin, sastra sering berbicara mengikuti irama lingkungan. Konteks
lingkungan tidak hanya soal teknologi yang berkorelasi pada sastra, melainkan ihwal ritual dan
ideologi juga berinteraksi dengan sastra (Endraswara, 2016, hlm. 5-6)
Penelitian ekologi sastra dalam peribahasa Banjar akan mempertegas pengaruh ekologi
terhadap peribahasa yang dihasilkan oleh individu atau etnik penutur peribahasa. Jika menilik
kondisi masyarakat khususnya etnik Banjar di Kalimantan Selatan, peribahasa Banjar masih
sering didengar atau digunakan. Pemakaian kosa-kata yang mengandung ekologi flora seperti
kaladi, janar, jariaung, dan berbagai macam flora jenis umbi-umbian mencerminkan kondisi
tanah yang subur, gembur dan beriklim tropis. Kemudian terdapat pula kosakata antah, padi,
dan baras menggambarkan etnis Banjar yang tidak asing dengan ekologi huma (bercocok
tanam) dan nasi merupakan makanan pokok bagi etnis suku Banjar sehingga ada peribahasa
Banjar “Nasi sabigi satahun hanyar ada” peribahasa tersebut bermakna nasihat agar
menyayangi nasi, meski cuma sebutir karna untuk mendapatkannya perlu waktu setahun
(proses yang panjang) untuk dapat menikmatinya. Pola tanam yang dilakukan etnik Banjar
memiliki siklus tanam hanya satu kali dalam setahun sehingga proses panen juga hanya satu
kali.
Penelitian ekologi sastra sebelumnya telak dilakukan oleh Margono dan Wahyudi (2017)
dalam seminar nasional bahasa, sastra dan budaya meneliti tentang Penggunaan Leksikon
Hewan dalam Peribahasa Nusantara Sebagai Penanda Kecerdasan Ekologi Bangsa Indonesia.
Penelitian tersebut bertujuan untuk (1) mendeskripsikan dan mengklasifikasikan bentuk
leksikon hewan penanda keceradasan ekologi bangsa Indonesia dalam peribahasa nusantara,
(2) mendeskripsikan penanda kecerdasan ekologi bangsa Indonesia dalam peribahasa
nusantara. Kajian ini bersifat deskriptif kualitatif. Data berupa leksikon penanda kecerdasan
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 48
ekologi. Data bersumber dari bahasa tulis dan dikumpulkan menggunakan metode simak
dengan teknik catat. Analisis data memanfaatkan metode padan referensial dan padan
pragmatik. Hasil penelitian ini adalah (1) leksikon hewan sebagai penanda kecerdasan ekologi
yaitu (a) leksikon hewan buas yang hidup di hutan, (b) leksikon hewan yang dipelihara oleh
manusia, (c) leksikon hewan serangga, dan (d) leksikon hewan ekologi air. (2) Penanda
kecerdasan ekologi bangsa Indonesia dalam peribahasa nusantara direalisasikan dalam bentuk,
karakteristik, dan perilaku hewan yang metaforis. Pemetaforisan ‘kehidupan manusia’ ke dalam
peribahasa sebagai wujud kecerdasan ekologi bangsa Indonesia.
Penelitian ekologi sastra dalam studi ekolinguistik yaitu Bentuk Gramatikal Leksikon
Ekologi dalam Peribahasa Jawa oleh Santoso dan Surakarta (2019) mendeskripsikan makna-
makna metaforis yang terdapat dalam peribahasa Jawa yang mengandung muatan ekologi.
Metode dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Data dalam penelitian
ini berupa peribahasa yang mengandung muatan ekologi yang diambil dari sumber data buku
kumpulan peribahasa Jawa. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
teknik simak dan catat. Adapun hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini (1) bentuk
gramatikal terdiri dari bentuk dasar, (2) Metafora yang diungkapkan dalam peribahasa jawa
yang mengandung muatan ekologi dapat dianalisis dengan analisis dimensi praksis sosial,
dimana dari analisa tersebut kita dapat mengetahui hubungan antara penutur, mitratutur dengan
lingkungan alam dan sekitarnya.
Penelitian tentang peribahasa Banjar sebelumnya telah dilakukan oleh (Kusasi, 2016) dalam
disertasi yang berjudul Identitas Kebanjaran dalam Peribahasa Banjar. Penelitian ini mengkaji
peribahasa dengan tujuan menemukan identitas orang Banjar melalui nilai-nilai kebanjaran
dilakukanlah penelitian ini dengan maksud mendeskripsikan pembawaan, etnik Banjar yang
dikonstruksikan dalam peribahasa Banjar, perilaku etnik banjar yang dikonstruksikan dalam
peribahasa banjar, etos kerja etnik Banjar yang dikonstruksikan dalam peribahasa Banjar,
penampilan etnik Banjar yang dikonstruksikan dalam peribahasa Banjar, dan pandangan hidup
etnik Banjar yang dikonstruksikan dalam peribahasa Banjar.
Mengingat peribahasa Banjar sebagai salah satu tradisi lisan etnik Banjar yang di dalamnya
berisi gambaran ekologi flora, fauna dan budaya etnik Banjar. Jika dilihat dari pemakaian
peribahasa Banjar yang digunakan atau dituturkan seringkali sulit dipahami atau bahkan sudah
tidak diketahui maknanya. Hal ini tidak menutup kemungkinan dilatar belakangi ketiadaan
unsur ekologi (jarang dijumpai atau bahkan punah atau ketidaktahuan akan arti/ makna
peribahasa Banjar yang dituturkan berdasarkan pemahaman suku Banjar terhadap unsur
lingkungan berupa tumbuhan (flora), hewan (fauna) dan budayanya. Bukan hal yang tidak
mungkin jika tidak dilakukan penelitian tentang ekologi sastra terhadap peribahasa Banjar, akan
menyebabkan hilangnya pemahaman generasi etnik Banjar terhadap peribahasa Banjar yang
berujung pada ketiadaan penutur peribahasa Banjar itu sendiri.
METODE
Penelitian ini berjudul “Unsur Ekologi dalam Peribahasa Banjar” dengan menggunakan
pendekatan penelitian ekologi sastra. Pendekatan ekologi sastra dipilih sebagai acuan
pengkajian dalam penelitian ini guna menganalisis hubungan antara ekologi etnik Banjar
(ekosistem dan budaya) terhadap karya sastra dalam hal ini peribahasa Banjar. Jenis penelitian
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
49 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya
dalam penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bersifat deskriptif, sehingga dalam
penelitian ini data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka, hal
itu disebabkan adanya penerapan metode kualitatif (Moleong, 2017, hlm 11)
Penelitian kualitatif deskriptif merupakan penelitian yang dimaknai dengan pemahaman
terhadap fenomena yang dialami oleh subjek penelitian, baik berupa perilaku, persepsi,
tindakan, motivasi, dan lain sebagainya dijabarkan secara menyeluruh dengan memanfaatkan
metode alamiah melalui bahasa dalam konteks analisis secara ilmiah (Moleong, 2017, hlm. 6)
Berdasarkan paparan terkait penelitian kualitatif deskripsi di atas, peneliti menyimpulkan
bahwa penelitian ini secara umum memberikan hasil akhir penelitiannya berupa kata- kata dan
gambar tidak berupa angka-angka.
Sumber data adalah subjek darimana data dapat diperoleh untuk dijadikan bahan penelitian,
walaupun dikatakan bahwa sumber di luar kata dan tindakan merupakan sumber kedua, jelas
hal itu tidak bisa diabaikan. Moleong (2017, hlm. 15) menegaskan dari segi sumber data, bahan
tambahan yang berasal dari sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah,
sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi. Berkenaan dengan sumber data,
dalam penelitian ini menggunakan buku kumpulan peribahasa “1001 Satu Peribahasa Banjar
Pilihan”oleh Aliansyah Jumbawuya.
Ciri penting dalam penelitian kualitatif pada kajian sastra Menurut Endraswara (2016, hlm.
5) antara lain sebagai berikut, (1) peneliti merupakan instrument kunci yang akan membaca
secara cermat sebuah karya sastra; (2) penelitian dilakukan secara deskriptif artinya terurai
dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan, bukan berbentuk angka; (3) lebih
mengutamakan proses dibandingkan hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yang
banyak mengundang penafsiran; (4) analisis secara induktif; (5) makna merupakan andalan
utama.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian terhadap ekologi sastra dalam peribahasa Banjar meliputi: (a) wujud
ekologi flora dalam peribahasa Banjar; (b) wujud ekologi fauna dalam peribahasa Banjar; dan
(c) wujud budaya dalam peribahasa Banjar.
Wujud Ekologi Flora dalam PeribahasaBanjar
Dalam peribahasa Banjar di bawah ini terdapat penyebutan nama jenis sayuran yaitu
rabung, kaladi, birah dan kacang. Keempat jenis sayuran ini merupakan sayuran yang tumbuh
subur di daerah yang beriklim tropis dan biasa dikonsumsi oleh etnik Banjar.
Rabung
Asal dirabung jua
(Dulunya berasal dari rebung juga.)
Artinya: Jangan meremehkan para orang tua, sebab apa yang dilakukan anak muda
sekarang, dulu juga pernah dilakoni sewaktu mereka remaja.
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 50
Dalam peribahasa Banjar tersebut terdapat wujud ekologi flora yaitu rabung yang dalam
bahasa Indonesia dikenal dengan rebung, Rebung adalah tunas (batang) yang masih muda yang
tumbuh dari akar bambu. Penduduk Indonesia maupun Asia umumnya memanfaatkan rebung
bambu sebagai bahan makanan. Rebung bambu termasuk salah satu sayuran yang disukai
banyak orang karena teksturnya yang renyah dan rasa manis serta aroma khas yang dimilikinya.
Gambar 1. Rabung (rebung)
Sumber: Dokumen Pribadi
Etnik Banjar sangat akrab dengan menu makanan yang berbahan dasar rabung, selain
rasanya yang enak rebung juga mudah ditemukan dipekarangan belakang rumah yang pada
umumnya memang menanam pohon bambu sebagai bahan dasar pembuatan kerajinan
tradisional khas etnik Banjar, seperti lukah, tangguk, nyiru, inanan, dan lain sebagainya.
Rebung biasanya diolah menjadi menu khas etnik Banjar Gangan balamak, rebung dimasak
dengan santan dan bumbu-bumbu khas makanan Banjar.
Penggunaan kata rabung dalam konteks peribahasa Banjar asal dirabung jua
mengungkapkan adanya penegasan suatu proses yang pasti pernah dilalui oleh seseorang, misal
pernah muda sebelum menjadi tua, yang awalnya tidak bisa menjadi bisa atau pernah menjadi
orang yang susah (miskin) sebelum menjadi orang yang sukses. Umpama haur (bambu) yang
asalnya dari rabung (rebung) yakni tunas muda baru berkembang menjadi batang bambu yang
kokoh. Sehingga tidak sepantasnya seseorang berperilaku meremehkan terhadap orang lain,
apalagi kepada orang yang lebih tua.
Tandui dan Binjai
Dapat tandui mambuang binjai
(Setelah mendapat buah tandui buah binjai dicampakkan.)
Artinya: Orang yang begitu dapat teman baru, teman lama langsung dilupakan.
Wujud ekologi flora yang tertuang dalam peribahasa Banjar tersebut terdapat pada kata
tandui dan binjai. Dua jenis buah ini merupakan buah endemik khas Kalimantan. Etnik Banjar
pada umumnya menggunakan dua jenis buah ini sebagai bahan membuat cacapan, sambal acan
atau sambal terasi yang diberi irisan binjai atau tandui untuk memperkuat rasa asam yang khas.
Binjai berukuran relatif lebih besar dibanding buah tandui, memiliki tekstur lebih lembek jika
sudah matang atau tua, memiliki daging buah berwarna putih, berbiji besar dan memiliki aroma
dan rasa asam yang khas. Buah binjai lebih pamiliar sampai sekarang di kalangan etnik Banjar
dibanding buah tandui. Hal ini dikarenakan buah tandui sudah mulai langka ditemukan
dipasaran.
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
51 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya
Gambar 2. Buah Asam Tandui
Sumber: (https://hasanzainuddin.wordpress.com/tag/asam-tandui/)
Buah tandui masuk dalam jenis mangga (mangefera) yang hanya ada di hutan Kalimantan.
Rasanya yang asam membuatnya sering dijadikan cacapan (kuah rasa asam yang dicacap
sebagai pelengkap sajian makanan etnik Banjar) atau pencokkan (rujak) bagi ibu-ibu yang
hamil muda. Seringkali keberadaan atau berbuahnya pohon tandui dikaitkan dengan mitos
bahwa akan banyak perempuan- perempuan yang hamil di daerah dimana pohon tandui
berbuah. Ini dikaitkan dengan gemarnya perempuan etnik Banjar yang sedang mengidam
memakan buah tandui untuk dipencok (rujak).
Buah Binjai adalah buah yang dikategorikan sebagai kerabat dari jenis mangga, baunya
yang harum dan rasanya yang manis bercampur rasa asem yang khas membuat buah binjai
terasa segar jika dimakan. Buah binjai dapat dimakan langsung atau diolah terlebih dahulu,
yang paling sering dilakukan oleh etnik Banjar sebagai campuran sambal, yang dikenal dengan
sambal acan binjai.
Gambar 3. Buah Binjai
Sumber: (http://411buah.blogspot.com/2014/09/binjai.html)
Sifat buah tandui yang langka atau sulit ditemukan dibanding buah binjai yang masih
banyak dijumpai dan sudah pamiliar digunakan dalam sajian makanan khas Banjar membuat
metafor dalam peribahasa Banjar “dapat tandui mambuang binjai” yang memiliki makna
sesuatu hal yang baru atau beruntung jika menemukan buah tandui sehingga wajar buah binjai
yang biasa ditemukan atau mudah didapat dibuang atau dicampakkan.
Bamban
Mahampalas bamban
(Mengempelas bamban.)
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 52
Artinya: Melakukan pekerjaan yang sebetulnya tidak perlu (sia- sia).
Bamban adalah salah satu jenis tanam liar yang banyak dimanfaatkan etnik Banjar sebagai
bahan membuat kerajinan anyaman. Permukaan batang bamban yang halus memudahkan saat
diolah menjadi bahan dasar kerajinan anyaman. Berbagai kerajinan dari bahan dasar bamban
diantaranya bakul, inanan dan yang tersentuh modifikasi seperti tas dari bamban yang mulai
dikembangkan di daerah Hulu Sungai Utara (HSU) sebagai kabupaten yang mengangkat
bamban sebagai salah satu produk unggulan.
Gambar 4. Bamban (Donax canniformis)
Sumber: (https://www.wikiwand.com/id/Bemban)
Kata bamban pada peribahasa Banjar menggambarkan wujud ekologi flora yang masuk
dalam kategori tanaman liar, liar karena pada umumnya tumbuh dengan sendirinya disemak-
semak. Tanaman bamban juga hidup subur dilahannya yang banyak mengandung air, sehingga
jelas jika banyak ditemukan bamban maka daerah tersebut adalah daerah dataran rendah atau
rawa.
Wujud Ekologi Fauna dalam Peribahasa Banjar
Ekologi fauna adalah lingkungan yang berkaitan dengan ekosistem hewan atau binatang,
dalam peribahasa Banjar ditemukan beragam jenis fauna yang dijadikan kiasan untuk
menggambarkan perilaku manusia.
Pilanduk (Kancil)
Akal mamilanduk
(Akal seperti kancil.)
Artinya: Orang yang memiliki akal cerdik, pandai memperdaya, suka memanfaatkan orang
lain.
Pelanduk atau kancil dalam bahasa Banjar disebut pilanduk adalah nama umum bagi
sekelompok hewan menyusui (mamalia) berkuku genap yang tergolong ke
dalam marga Tragulus. Pelanduk adalah anggota keluarga Tragulidae, berkerabat dekat
dengan kijang dan rusa. Nama ilmiah marga ini, Tragulus, berasal dari gabungan dua kata.
Yakni tragos, dari bahasa Yunani yang berarti ‘kambing’, dan akhiran –ulus dari bahasa
Latin yang berarti ‘kecil’. Ini sesuai dengan keadaan tubuhnya yang kecil, yang pada usia
dewasa ukurannya kurang lebih sama dengan kelinci. Pelanduk berhabitat di hutan hujan
tropis Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kancil memiliki ciri-ciri panjang tubuh 20-25
sentimeter dengan warna cokelat kemerahan. Hewan yang disebut juga dengan pelanduk ini
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
53 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya
merupakan hewan herbivora di mana menyukai makanan seperti daun-daunan, sayuran, rumput
dan buah-buahan.
Gambar 5. Pilanduk
Sumber: (https://alamendah.org/2010/02/11/pelanduk-kancil-populer-
tapi-data-deficient/comment-page-5/)
Mamilanduk merupakan kata bentukan dari imbuhan ma- (imbuhan) ntuk menyatakan
perbuatan/ pekerjaan) dan pilanduk (kancil). Seperti yang telah diketahui pada beberapa cerita
rakyat yang hidup di masyarakat sering kali bercerita tentang tokoh Si Kancil, yang
digambarkan sebagai tokoh cerdik, banyak akal, dan terkesan pandai menipu. Perilaku inilah
yang menjadi acuan pemakaian istilah dalam paribasa “akal mamilanduk” terhadap perilaku
manusia yang dianggap kurang atau tidak sesuai dalam etika pergaulan.
Hayam (ayam)
Hayam barumahan
(Ayam yang dihidup di bawah kolong rumah.)
Artinya: Orang yang tidak pernah jauh dari kampung halaman (tidak berani merantau).
(Jumbawuya, 2018, hlm. 48)
Turun hayam naik hayam
(Turun ayam naik ayam.)
Artinya: Orang yang bekerja keras tak kenal waktu istirahat, dari pagi hingga sore terus
membanting tulang.
(Jumbawuya, 2018, hlm. 141)
Pada kedua peribahasa Banjar terdapat wujud ekologi fauna yaitu hayam (ayam). Ayam
adalah jenis hewan peliharaan yang banyak dipelihara masyarakat etnik Banjar. Adanya istilah
hayam burumahan yang artinya ayam yang berada atau dipeliharan di bawah kolong rumah
mengisyaratkan bahwa etnik Banjar memiliki karakteristik dalam hal tempat tinggal yang berupa
rumah panggung. Dan karakteristik rumah panggung yang memiliki kolong tempat memilihara
ayam atau bebek sampai saat ini masih dipertahankan terutama di daerah pedesaan. Hal ini yang
kadang membuat aroma khas dari kotoran yang dipelihara tercium ke dalam rumah jika kolong
rumah jarang dibersihkan.
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 54
Gambar 6. Ayam barumahan
Sumber: Dokumen Pribadi
Etnik Banjar seringkali menggunakan gayang (batang padi sisa hasil perontokkan) untuk
dijadikan alas pada kolong rumah yang dijadikan kandang peliharaan. Hal ini dilakukan supaya
tidak menimbulkan bau dan kolong mudah dibersihkan. Pagi hari hayam akan dikeluarkan dari
kolong rumah untuk dibiarkan bebas mencari makan, dan masuk kolong rumah pada sore
harinya. Ayam yang dipelihara di kolong rumah biasanya lebih mimak (tidak liar) karena
walaupun dikeluarkan dari kolong, hayam tidak akan pergi jauh dari kolongnya. Kebiasaan ini
yang jika dikaitkan ke dalam penciptaan peribahasa Banjar akan memunculkan kesesuaian
antara kebiasaan hayam (ayam) dengan perilaku manusia yang ingin dikiaskan. Selain fauna
yang habitat hidupnya di darat, adapula jenis fauna yang habitat hidupnya di air yang disebutkan
dalam peribahasa Banjar, seperti pada peribahasa Banjar berikut,
Kaya hantayung bakaraut
(seperti siput merayap.)
Artinya: Orang yang bekerja sangat lamban.
(Jumbawuya, 2018, hlm. 74)
Wujud Ekologi Budaya dalam Peribahasa Banjar
Arsetektur Rumah
Wujud ekologi budaya yang berupa benda mati yang dapat diamati ditemukan dalam
arsitektur rumah dan seringkali menjadi ciri khas suatu budaya dalam etnik tertentu, tidak
terkecuali di daerah Kalimantan Selatan ada rumah panggung yang menjadi kebanggaan etnik
Banjar. Dalam wikipidea dijelaskan bahwa Rumah Baanjung (Ba'anjung) adalah nama kolektif
untuk rumah tradisional suku Banjar dan suku Dayak Bakumpai. Suku Banjar biasanya
menamakan rumah tradisonalnya dengan sebutan Rumah Banjar atau Rumah Bahari.
Umumnya, rumah tradisional Banjar dibangun dengan beranjung (bahasa Banjar: ba-anjung),
yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama, karena
itulah disebut Rumah Ba'anjung (ber-anjung).
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
55 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya
Gambar 7. Rumah Adat Etnik Banjar
Sumber: https://borneohit.com/traditional-house-south-borneo.html
Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa jenis
Rumah Banjar yang tidak beranjung. Rumah tradisional Banjar pada umumnya beranjung dua
yang disebut Rumah Ba-anjung Dua, namun kadangkala rumah banjar hanya hanya beranjung
satu, biasanya rumah tersebut dibangun oleh pasangan suami isteri yang tidak memiliki
keturunan. Sebagaimana arsitektur tradisional pada umumnya, demikian juga rumah tradisonal
Banjar berciri-ciri antara lain memiliki perlambang, memiliki penekanan pada atap, ornamental,
dekoratif dan simetris.
Rumah tradisional Banjar adalah jenis rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya
sendiri sejak sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Pada tahun 1871, pemerintah kota
Banjarmasin mengeluarkan segel izin pembuatan Rumah Bubungan Tinggi di kampung Sungai
Jingah yang merupakan rumah tertua yang pernah dikeluarkan segelnya. Jenis rumah yang
bernilai paling tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang diperuntukan untuk
bangunan Dalam Sultan (kedaton) yang diberi nama Dalam Sirap. Dengan demikian, nilainya
sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai kedhaton (istana kediaman Sultan).
(https://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Bubungan_Tinggi).
Batihang haur dan Batihang ulin
Biar batihang haur asal rumah surang daripada batihang ulin umpun urang
(Meski bertiang bambu asal rumah sendiri, daripada bertiang ulin tapi punya orang.)
Artinya: Barang kepunyaan sendiri bagaimana pun kondisinya lebih membanggakan
daripada barang bagus tapi milik orang.
(Jumbawuya, 2018, hlm. 24)
Tihang atau tiang merupakan salah satu bagian utama dari sebuah rumah, tiang dari kayu
ulin memang menunjukkan prestise tersendiri bagi etnik Banjar yang mampu membangun
rumah dengan bahan kayu ulin, hal ini dikarenakan hanya orang mapan atau kaya yang mampu
membeli kayu ulin yang harganya mahal sesuai dengan kualitas kayu ulin yang dijamin kuat
melebihi kayu jenis lainnya.
Tungkat (Tongkat rumah) dan Galagar (balok kayu)
Urang manyurung tungkat inya manyurung galagar
(Orang menyodorkan tongkat, dia menyodorkan balok . )
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 56
Artinya: Tidak nyambung dalam pembicaraan. Orang- orang focus membicarakan persoalan
tertentu, dia ikut nimbrung bicara topik lain yang sama sekali tidak ada kaitannya.
Gambar 8. Sketsa Tungkat, Galagar, dan Lantai
Sumber: (https://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Bubungan_Tinggi)
Rumah khas etnik Banjar diketahui sebagai rumah panggung, rumah yang menggunakan
tongkat sebagai penopang untuk lantai, berbahan dasar dari kayu. Bentuk rumah panggung
merupakan salah satu kearifan lokal etnik Banjar yang dipertahankan sebagai upaya mencegah
Banjir, dengan rumah panggung aliran air tetap dapat mengalir terlebih jika rumah berada di
pinggiran bantaran sungai biasanya akan jelas terlihat tingginya tongkat peyangga rumah ketika
air surut.
Bubungan (atap)
Jauh lantai pada bubungan
(Jauh lantai dengan atap.)
Artinya: Orang yang suka menghayal setinggi langit, tetapi tidak sesuai kemampuan.
(Jumbawuya, 2018, hlm. 56)
Bubungan adalah bagian atap rumah, yang umumnya berbentuk segi tiga atau trapasium,
dahulu rumah etnik Banjar memiliki bubungan tinggi dan tanpa ada plafon di bagian dalamnya
sehingga jelas terlihat titiwa yaitu bangun segitiga penyangga atap rumah. Rumah etnik Banjar
yang tanpa plafon membuat rumah terasa adem walau tidak ada pendingin ruangan, terlebih
banyaknya jendela yang dibuat sebagai pengatur sirkulasi udara dalam rumah. Namun seiring
berkembangnya peradaban, etnik Banjar mulai mengadaptasi bentuk rumah arsitektur modern
namun tetap mempertahannkan penggunaan kayu sebagai bahan utama bangunan.
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
57 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya
Gambar 9. Bubungan
Sumber: http://eprints.ulm.ac.id/1933/1/Lanting_01-02_2012_hal106-116.pdf
Selain arsitektur rumah, peralatan dan perlengkapan hidup etnik Banjar juga merupakan
bagian dari ekologi budaya etnik Banjar dapat juga ditemukan penyebutannya dalam peribahasa
Banjar seperti berikut,
Perlengkapan dan Peralatan Hidup
Dapur
Bajual dapur ka nagara
(Berjualan dapur ke Nagara.)
Artinya: Tidak tepat sasaran, Misalnya bersedekah kepada orang yang lebih mampu
(mapan). Atau menasihati orang yang justru lebih pintar darinya
(Jumbawuya, 2018, hlm. 16)
Dapur kada bakukus
(Daput tidak berasap.)
Artinya: Hidup kekurangan, sampai- sampai tidak ada lagi yang bisa dimasak.
(Jumbawuya, 2018, hlm. 31)
Dapur adalah tungku tradisional khas etnik Banjar, ada perbedaan pemaknaan antar dapur
sebagai ruangan tempat memasak dengan dapur dalam paribasa Banjar 40 dan 41 yang
dimaksud tersebut. Etnik Banjar menyebut ruangan tempat memasak selain menyebut dapur
(sebagai ruang memasak) juga bisa dengan sebutan Padu (Hulu Sungai Utara) atau Juruk (Hulu
Sungai Tengah).
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 58
Gambar 10. Pengerajin Dapur Nagara
Sumber: (https://kalsel.antaranews.com/foto/52612/dapur-nagara)
Pengerajin dapur nagara banyak terkosentrasi di Desa Bayanan, Kecamatan Daha Selatan.
Jaraknya dari pusat Kota Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) sekitar 35 Km,
dengan waktu sekitar satu jam lamanya menggunakan transportasi darat. Dapur Negara sendiri
terbuat dari tanah liat dicampur dengan pasir yang dapat digunakan sebagai bahan memasak
tradisional sebelum adanya kompor minyak tanah dan kompor gas seperti sekarang ini.
Dapur terbuat dari tanah liat yang dibentuk dengan beragam model, model seperti pada
gambar 2 merupakan yang biasa digunakan oleh masyarakat suku Banjar. Dapur ini yang
biasanya akan ditanam dalam atang yang sudah disiapkan, sehingga dapur memiliki daya tahan
yang lebih kuat untuk digunakan daripada hanya dipakai tanpa atang biasa juga harus
menggunakan kulikar yaitu alat semacam besi yang ditaruh diatas dapur agar dapat memasak
dengan beban yang lebih berat karna jika tidak dapur akan hancur mengingat bahan pembuatan
dapur terbuat dari tanah.
Gambar 11. Atang dapur (tempat memasak)
Sumber: Dokumen Pribadi
Adapun makna dari peribahasa “manjual dapur ka nagara” bermakna sesuatu yang sia-sia,
yang tiada gunanya dilakukan. Pilihan kata Nagara dikarena Nagara adalah suatu wilayah di
Kalimantan selatan tepatnya desa Bayanan, Kecamatan Daha Selatan yang berada di Kabupaten
Hulu Sungai Selatan (Kandangan) yang terkenal dengan pengerajin dapur. Sebagian besar
matapencaharian masyarakatnya adalah sebagai pembuat dapur. Jika dianalogikan peribahasa
tersebut mengungkapkan makna yang sia-sia, karna menjual barang di tempat yang
memproduksinya. Sedangkan paribasa “dapur kada bakukus” kiasan keadaan serba susah,
kekurang, sampai tidak adalagi yang bisa dimasak atau dimakan. Dapur dengan bahan bakar
kayu tentu jika sedang digunakan untuk memasak akan menimbulkan kukus (asap) yang
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
59 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya
mengepul dicerobong atap, sebaliknya jika tidak ada yang dimasak maka tidak akan ada asap
di dapur.
Halu dan Lasung
peribahasa Banjar 42
Halu patah lasung hilang
(Alu patah lesung hilang.)
Artinya:Beruntun didera masalah atau kemalangan.
(Jumbawuya, 2018, hlm. 44)
Halu (Alu) merupakan alat penumbuk padi yang ditumbuk di dalam lasung (lesung). Etnik
Banjar yang pada dasarnya juga sebagai petani tentu dahulu sangat memerlukan kedua benda
ini, sehingga tidak rumah etnik Banjar dibagian barumahan (kolong rumah) juga terdapat
tempat menyimpan lasung dan halu. Selain digunakan untuk menumbuk padi menjadi beras,
juga digunakan untuk menumbuk jagung, kopi, dan beras untuk dijadikan tepung.
Lasung dan halu yang kuat dan tahan lama (awet) dibuat dari batang kayu ulin yang
diameternya besar sehingga dapat membuat lobang yang cukup besar pula, kayu ulin memang
terkenal dengan kekuatannya sehingga jaman dahulu jika memiliki lesung dari kayu ulin
merupakan hal yang sangat membanggakan dan tidak jarang juga menjadi incaran maling karna
jika dijual mahal harganya. Biasanya setiap kali acara bakawinan (pernikahan) atau salamatan
(kenduri) etnik Banjar akan membawa lasung dan halu untuk dipinjamkan selama acara sebagai
alat perlengkapan dalam membuat hidangan dalam acara tersebut. Orang yang sugih (kaya)
mereka tidak akan meminjam namun membuat atau membeli sendiri, biasanya dalam jumlah
banyak lima sampai sepuluh lasung dan halu.
Gambar 12. Lasung dan Halu (lesung dan alu)
Sumber: Dokumen Pribadi
Peribahasa Banjar tersebut menganalogikan keadaan seseorang yang mengalami hal tidak
menyenangkan secara bertubi-tubi. Lasung dan Halu dikategorikan sebagai benda yang
mencerminkan budaya yang mencakup perlengkapan dan peralatan hidup etnik Banjar. Lasung
terbuat dari kayu khas Kalimantan yang berasal dari batang pohon yang besar yakni Kayu Ulin,
hal ini membuat lasung memiliki bobot yang sangat berat, kuat dan tahan lama, kemudian
batang pohon yang sudah dipotong dan dipahat dan diberi lobang dengan kedalamam
bervariasi, lasung dilengkapi dengan halu atau alu yang berfungsi sebagai penumbuk. Lasung
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 60
tidak akan dapat digunakan tanpa penumbuk, Halu biasanya bisa patah jika terlalu lama
digunakan apalagi jika terbuat dari kayu yang bukan ulin. Panjang kurang lebih 2,5 meter, jika
patah maka akan susah menumbuk, maka harus diganti dengan halu lain (satu lesung biasanya
memiliki lebih dari satu alu) apalagi jika lesung yang hilang tambah tidak bisa untuk
menumbuk. Hal inilah yang diistilahkan sebagai kemalangan yang bertubi- tubi.
Lukah, dan Tampirai
Bukah ka hulu kana lukah bukah ka hilir kana tampirai
(Lari ke hulu kena bubu lari ke hilir kena tampirai perangkap ikan yang lebih besar.)
Artinya: Keadaan seseorang yang tidak punya pilihan, serba salah dalam segala situasi yang
berakibat buruk baginya.
(Jumbawuya, 2018, hlm. 77)
Lukah adalah alat untuk menangkap ikan secara tradisional, membuat lukah menjadi
matapencaharian bagi etnik Banjar khususnya yang tinggal di daerah Kabupaten Hulu Sungai
Utara, yakni Desa Tabalong Mati dan Waringin. Berbahan baku bambu yang dipotong-potong
dan diraut hingga menjadi bilah-bilah bambu yang siap dijalin dengan tali rotan. Bentuk lukah
sendiri beragam ada yang panjangnya 1,5 meter sampai 2 meter, dan dengan diameter yang
berbeda-beda pula tergantung jenis ikan yang ingin didapat, jika ingin menangkap ikan kecil
seperti ikan sanggiringa, papuyu, dan sapat maka dengan lukah yang lebih rapat dan ukuran
panjang disesuaikan dengan tempat menaruh lukah, disungai atau di persawahan. Jika di sungai
lukah yang biasa digunakan lebih besar agar lebih kuat menahan arus air.
Gambar13 . Lukah
Sumber: Dokumen Pribadi
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
61 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya
Gambar 14. Tampirai
Sumber: Deswati. 2013:33
Lukah secara umum saat ini memang masih banyak digunakan dalam kesaharian
masyarakat khususnya daerah pedesaan, yang menjadikan lukah sebagai refleksi budaya adalah
terkait kemampuan generasi muda khususnya di daerah yang notabennya pengerajin lukah
sudah mulai berkurang. Pengerajin berusia muda sudah mulai sulit ditemukan, para anak-anak
yang berusia remaja lebih memilih bekerja ke kota. Menjadi pengerajin lukah sudah mulai tidak
menjadi pilihan utama etnik Banjar dalam mata pencahariannya.
Laung (Ikat kepala)
Hangit sampai ka laung-laung
(Gosong sampai ke laung /ikat kepala khas etnik Banjar.)
Artinya: Amblas/ bangkrut/ rugi sampai habis sama sekali.
(Jumbawuya, 2018, hlm. 46)
Laung adalah ikat kepala tradisional khas etnik Banjar yang dipakai oleh laki-laki. Laung
terdiri atas dua pilihan model yakni pertama Laung Tukup artinya laung yang tertutup,
bentuknya menyerupai blangkon, kedua Laung Tinggi berbentuk segitiga dengan bagian atas
tidak tertutup. Laung Tinggi, biasanya diberi hiasan arguci (sejenis payet). Laung dengan hiasan
arguci berwarna kuning emas untuk mempelai pria dalam busana Pengantin Banjar, sedangkan
laung dengan hiasan arguci warna putih untuk busana Nanang Banjar. Khusus di daerah
Kabupaten Kota Baru, pengantin pria menggunakan Laung dari bahan kain berwarna hitam.
Gambar 15. Laung (ikat kepala tradisional etnik Banjar)
Sumber: https://dutatv.com/masdar-perkenalkan-laung-dan-kain-sasirangan-
ke-luar-daerah/
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 62
Peribahasa Banjar “hangit sampai ka laung-laung” mengibaratkan keadaan yang sangat
memprihatinkan kondisinya biasanya masalah ekonomi atau usaha seseorang yang sedang tidak
baik (bangkrut). Laung ibarat harta yang paling akhir dan letaknya di atas kepala saja sudah
hangit (hangus) makna lain dari habis bisa juga dimaknai dengan istilah terjual maka tidak
adalagi yang tersisa dari usaha orang tersebut.
Gasing
Kalimbatan tali gasing
(Terkena sentakan tali gasing.)
Artinya: Orang lain yang berbuat, malah kita yang menanggung akibatnya .
(Jumbawuya, 2018, hlm. 66)
Bagasing merupakan permainan tradisional yang juga bernasib sama dengan balogo.
Gasing sendiri adalah benda yang dibuat sedemikian rupa dari bahan kayu. Seutas tali diikat
pada gasing dan dilemparkan dalam sebuah arena. Gasing terbuat dari sebongkah kayu
berbentuk lonjong (simetris radial) dengan diameter sekitar 10-15 centimeter. Tinggi sebuah
gasing adalah sekitar 15-20 centimeter dengan salah satu ujung dibuat lancip dan memiliki
permukaan yang licin. Pada ujungnya, dipasang bahan logam sebagai poros putaran biasanya
menggunakan paku. Jenis kayu yang biasa digunakan antara lain kayu, mahoni dan ulin.
Sementara, tali penariknya cukup kuat terbuat dari sutra daun nana, berdiameter sekitar 0,5
centimeter dengan panjang 1-1,5 meter. Tali dililitkan ke gasing pada bagian ujung atas.
Kemudian ujung tali lainnya, dikaitkan ke jari pemain. Cara bermain gasing dilemparkan ke
bawah seperti membanting sesuatu, sehingga tali yang melilitnya membuat gasing tersebut
berputar. Sebuah gasing dapat berputar sekitar 2-5 menit.
Gambar 16. Gasing
Sumber: (https://gramho.com/explore-hashtag/BAGASING)
Area permainan yang digunakan berupa dua buah lingkaran. Lingkaran dalam berdiameter
1 meter sementara lingkaran luar berdiameter 5 meter. Setiap lingkaran memiliki nilai yang
berbeda. Begasing dilombakan secara berpasangan atau satu-lawan-satu. Kedua pemain harus
berusaha agar gasingnya berputar selama mungkin dan tetap berada di area permainan. Dalam
beberapa babak, para pemain gasing secara bergantian akan berusaha menjatuhkan gasing milik
lawan. Gasing yang terlempar keluar dari area permainan atau lebih dulu berhenti berputar
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
63 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya
dinyatakan kalah. Poin akan diberikan pada pemain yang berhasil mengeluarkan gasing lawan
atau gasingnya mampu berputar paling lama.
Makanan tradisional juga menjadi kata kiasan dalam peribahasa Banjar. Seperti yang
terdapat dapat peribahasa Banjar berikut,
Pajaan
Jangan mambuka pajaan
(Jangan membuka wadah membusukkan ikan.)
Artinya: Jangan sekali- kali membuka rasia pribadi kalau memang tidak ingin
mempermalukan diri sendiri.
(Jumbawuya, 2018, hlm. 55)
Pajaan biasa disebut juga wadi adalah teknik permentasi ikan khas etnik Banjar dengan
menggunakan garam, nasi, atau beras yang disangrai. Ikan yang telah dicampur dengan bahan
tersebut kemudian disimpan didalam wadah biasanya bentuknya toples agar dapat ditutup rapat
untuk menghindari belatung pada ikan karena adanya angin yang masuk kedalam wadah.
Gambar 17. Pajaan
Sumber: (https://nationalgeographic.grid.id/read/13286526/wadi-
fermentasi-ikan-ala-dayak-dan-banjar)
Pajaan dapat bertahan hingga berbulan- bulan bahkan ada yang tahunan, teknik pengawetan
ikan seperti ini akan menimbulkan aroma khas (seperti aroma busuk) dan cenderung membuat
rasa ikan menjadi asin. Tapi inilah uniknya iwak pajaan yang baunya menyengat akibat proses
pembusukan ikan menjadi penggugah selera bagi etnik Banjar. Adapun jika dikaitkan dengan
pemakaian kata pajaan dalam paribasa Banjar karena memiliki kesamaan maksud. Pajaan jika
dibuka akan menimbulkan aroma busuk atau bau tidak sedap sedangkan rahasia atau lebih
tepatnya aib diri seseorang jika diberitahu kepada orang lain nantinya juga akan
mempermalukan diri orang tersebut.
Sistem Berpikir
Etnik Banjar yang agamis memiliki sistem berpikir yang religius, hal tersebut dituangkan
dalam peribahasa Banjar yang mengandung nasihat dalam memilih jodoh seperti pada
peribahasa berikut,
Baik sakit di mata daripada sakit di hati
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 64
(Lebih baik sakit di mata daripada sakit di hati)
Artinya: dalam memilih jodoh agar lebih mengutamakan akhlak ketimbang rupa, apa guna
berwajah tampan dan cantik kalau tabiat sering menyakiti.
(Jumbawuya, 2018, hlm. 15)
Peribahasa Banjar yang mencerminkan budaya etnik Banjar kaitannya dengan sistem
berpikir etnik Banjar seringkali juga menjadi kritik bagi sikap seseorang yang dituju oleh
peribahasa seperti dalam peribahasa Banjar berikut,
Ampun surang disintak, ampun urang dikair
(Punya sendiri di tarik/ disimpan, punya orang lain di ambil.)
Artinya: Seseorang yang memiliki sikap egois yang selalu ingin mendapatkan atau
menggunakan benda orang lain sedangkan benda miliknya disimpan.
(Jumbawuya, 2018, hlm. 4)
Peribahasa yang bermuata kritik terhadap sikap atau perilaku negatif menjadi alternatif
untuk menyampaikan kritik secara halus, karena terkadang tidak semua orang memahami
maksud dari peribahasa Banjar yang dituturkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pada penelitian ini disimpulkan bahwa dalam pilihan kata (diksi) yang dijadikan sebagai
kiasan peribahasa Banjar selalu mengandung maksud, tujuan, dan objek berupa benda- benda
dan makhluk hidup yang terdapat di alam semesta. Hal demikian memperkuat kenyataan bahwa
dalam penciptaan sastra lisan yaitu peribahasa Banjar tersebut tergambar bagaimana hubungan
dan saling ketergantungan antara manusia dengan segala komponen organisme yang terdapat
dalam ekosistem alam. Adapun wujud ekologi yang melatari konteks kehadiran peribahasa
Banjar pada masyarakat etnik Banjar dapat golongkan menjadi tiga yakni wujud ekologi flora,
wujud ekologi fauna, dan wujud ekologi budaya.
Wujud ekologi flora dalam peribahasa Banjar yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu (a)
sayuran yakni rabung, kaladi, dan birah, (b) buah yakni tandui, binjai, dan (3) tanaman liar
yakni bamban. Dan jika dianalisis berdasarkan kesesuaian wujud ekologi flora yang digunakan
sebagai metafor dalam peribahasa Banjar yang diciptakan maka terdapat adanya pengamatan
etnik Banjar terhadap karakteristik ekologi flora yang digunakan sehingga memiliki kesesuaian
makna.
Wujud ekologi fauna dalam peribahasa Banjar adalah lingkungan yang berkaitan
dengan ekosistem hewan atau binatang, dalam peribahasa Banjar ditemukan jenis fauna yang
dijadikan kiasan untuk menggambarkan perilaku manusia. Ragam jenis fauna tersebut seperti
pilanduk (kancil), hayam (ayam), dan hantayung (siput). Sedangkan wujud ekologi budaya
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
65 ǀ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya
dalam peribahasa Banjar dapat dilihat 4 hal yakni Arsitektur rumah, peralatan dan perlengkapan
hidup, pakaian, permainan tradisional, makanan tradisional, dan sistem berpiki etnik Banjar.
Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian ini, peneliti memberikan saran kepada masyarakat
khususnya etnik Banjar agar melestarikan sastra lisan yakni peribahasa Banjar agar tidak punah.
peribahasa Banjar banyak memuat wujud ekologi, baik wujud ekologi flora, wujud ekologi
fauna, dan wujud ekologi budaya etnik Banjar sehingga sepatutnya ekologi etnik Banjar dijaga
dan dilestarikan keberadaannya agar peribahasa Banjar menjadi lebih mudah dipahami oleh
generasi yang akan datang.
DAFTAR RUJUKAN
Endraswara, S. (2016). Metodologi Penelitian Ekologi Sastra: Konsep, Langkah, dan
Penerapan. In Yogyakarta: Caps. CAPS (Center for Academic Publishing Service).
http://jateng.tribunnews.com/2016/03/18/sejarah-rebung-dan-manfaat-untuk-kesehatan-
ternyata-bisa-cegah-stroke diakses 02 April 2020.
https://www.wikiwand.com/id/Bira diakses 02 April 2020.
https://hasanzainuddin.wordpress.com/tag/asam-tandui/ diakses 05 April 2020.
http://411buah.blogspot.com/2014/09/binjai.html diakses 05 April 2020.
https://www.wikiwand.com/id/Bemban diakses 12 April 2020.
https://id.wikipedia.org/wiki/Bambu_ater diakses 22 April 2020.
https://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Bubungan_Tinggi diakses 02 April 2020.
https://www.dreamstime.com/photos-images/wood-nails.html diakses 12 April 2020.
https://kalsel.antaranews.com/foto/52612/dapur-nagara diakses 22 April 2020.
https://www.indonesiakaya.com/photo/detail/jelajah-indonesia/mengintip-keunikan-rumah-
adat-khas-banjar-kalimantan-selatan diakses 22 April 2020.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbkaltim/pola-tata-ruang-antara-rumah-banjar/ diakses
05 April 2020.
https://nationalgeographic.grid.id/read/13286526/wadi-fermentasi-ikan-ala-dayak-dan-banjar
diakses 22 April 2020.
Jumbawuya, A. (2018). 1001 Satu peribahasa Banjar pilihan. Penika Publisher.
Kusasi, Z. A . (2016). Identitas Kebanjaran dalam Peribahasa Banjar. Disertasi Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Malang.
Margono dan Wahyudi. (2017). Leksikon Hewan Penanda Kecerdasan Ekologi Bangsa
Indonesia dalam Peribahasa Nusantara. Jurnal Nasional Bahasa Dan Sastra, 207–215.
Moleong, L. J. (2017). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). In PT. Remaja Rosda
Karya (p. 6).
Norvia, et al./ Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya 11 (1) 2021, 46 - 66
Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 66
Rafiek, M. (2017). Teori sastra, dari kelisanan sampai perfilman. Program Studi Magister
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat dan
Pustaka Pelajar.
Santoso, T., & Surakarta, U. M. (2019). Kbsp leksikon ekologi masyarakat jawa dalam
paribasan jawa. September.