i
VIABILITAS BENIH INDIGOFERA (Indigofera zollingeriana) SETELAH INJEKSI KARBON DIOKSIDA (CO2) DAN
PENYIMPANAN
SKRIPSI
RHOMA CHRISTIADY GIRSANG
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ii
RINGKASAN
RHOMA CHRISTIADY GIRSANG. D24070220. 2012. Viabilitas Benih Indigofera (Indigofera zollingeriana) setelah Injeksi Karbon Dioksida (CO2) dan Penyimpanan. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc, Agr. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan
Indigofera zollingeriana adalah jenis legum tinggi kandungan protein yang ketersediaannya masih sedikit di Indonesia. Ketersediaan benih merupakan salah satu hal penting dalam memenuhi ketersediaan legum tersebut dan tergantung pada manajemen penyimpanannya. Percobaan yang menyangkut perlakuan penyimpanan di ruangan tertutup dengan perlakuan injeksi karbon dioksida telah dilakukan untuk mengetahui efek taraf karbon dioksida (CO2) terhadap daya kecambah benih setelah masa simpan. Benih yang digunakan adalah benih Indigofera zollingeriana sebanyak 480 butir dan disimpan selama periode 0, 1 dan 2 minggu dalam 48 botol wadah plastik tertutup yang diinjeksi dengan gas karbon dioksida (CO2) dengan taraf 0%, 10%, 20% dan 30% v/v botol. Pengamatan dilakukan pada saat umur kecambah 4, 7 dan 14 hari. Peubah yang diamati adalah persentase daya kecambah, persentase infeksi cendawan dan tinggi hipokotil. Data dari Rancangan Acak Lengkap Faktorial dianalisis ragamnya menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan diuji lanjut menggunakan uji Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara injeksi CO2 dengan waktu penyimpanan berpengaruh (P<0,05) terhadap daya kecambah dan tinggi hipokotil pada pengamatan hari ke 14, tetapi tidak berpengaruh pada pengamatan hari sebelumnya. Peginjeksian gas karbon dioksida (CO2) dapat mempertahankan viabilitas benih (P<0,05) setelah masa simpan 2 minggu. Pemberian dengan kadar 30% memberikan hasil yang lebih baik dalam mempertahankan daya kecambah dengan nilai 30% untuk minggu pertama, 14.5% untuk minggu kedua dan 17% untuk minggu ketiga, baik dalam menekan pertumbuhan jamur dan memperbaiki tinggi hipokotil kecambah. Penurunan performa terjadi pada saat benih disimpan selama 1 minggu dan 2 minggu. Terjadi penurunan daya kecambah dan peningkatan pertumbuhan cendawan yang menginfeksi benih dengan pesat. Kata-kata kunci: Indigofera zollingeriana, karbon dioksida, periode penyimpanan, viabilitas
iii
ABSTRACT
Viability of Indigofera (Indigofera zollingeriana) Seed after Carbon Dioxide (CO2) Injection and Storing
Rhoma Christiady, Luki Abdullah, and Komang Gede Wiryawan
Indigofera zollingeriana is shruby legumes becomes a popular high quality forage sources to improve ruminant animal productivity in Indonesia. Problem of Indigofera development is mainly due to low seed availability. The main obstacle of seed management that influences seed stock is storage. This experiment was set up to find out the appropriate combination level of carbon dioxide and storage time of Indigofera seed. The experiment used factorial completely randomized design (4x3) with four replications. The first factor was four level of CO2 injection consisting of A0= 0%, A1= 10%, A2= 20% and A3= 30% and the second factor was the period of time storage composed of: B0= 0 week, B1= 1 week and B2= 2 weeks. Observations were done at 3 different times, when the age of the sprout were 4, 7 and 14 observation days. The result showed that interaction between CO2 injection and storage time significantly influenced (P<0.05) viability and hypocotile length at 14 observation days, but not significantly affected the parameters for germinating seeds observed at 4 and 7 observation days. Significant effect of storage time was found for all parameters at 4 and 7 observation days. There was not significant effect of CO2 injection for viability and fungi growth at 4 and 7 observation days. Keywords: Indigofera zollingeriana, carbon dioxide, modified atmosphere, storage, viability
iv
VIABILITAS BENIH INDIGOFERA (Indigofera zollingeriana) SETELAH INJEKSI KARBON DIOKSIDA (CO2) dan
PENYIMPANAN
RHOMA CHRISTIADY GIRSANG
D24070220
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
v
Judul : Viabilitas Benih Indigofera (Indigofera zollingeriana) setelah Injeksi …Karbon Dioksida (CO2) dan Penyimpanan
Nama : Rhoma Christiady Girsang NIM : D24070220
Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota (Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr) (Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan) NIP : 19670107 199103 1 003 NIP : 19610914 198703 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(
Tanggal Ujian : 2 Maret 2012 Tanggal Lulus :
Dr.Ir.Idat Galih Permana, M.Sc) NIP : 19670506 199103 1 001
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Saribudolok, Kabupaten Simalungun, Sumatera
Utara pada tanggal 10 Maret 1989 dari pasangan Bapak Ramidin Girsang dan Ibu
Elly Party T. Saragih. Penulis mengawali pendidikan di Sekolah Dasar (SD) GKPS
Saribudolok pada tahun 1995 dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan lanjutan
pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2004 di Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Silimakuta (SLTP N1 Silimakuta) Saribudolok.
Penulis kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 (SMAN 1)
Kandis (Kabupaten Siak) pada tahun 2004 dan lulus pada tahun 2007.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui
Program Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Kabupaten Siak, Riau.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala karunia dan rahmatnya-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini
dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul Viabilitas Benih Indigofera (Indigofera
zollingeriana) setelah Injeksi Karbon Dioksida (CO2) dan Penyimpanan. Skripsi
ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan mulai bulan November
2011 – Desember 2011 bertempat di Laboratorium Pastura, Laboratorium Lapang
Agrostologi, dan Laboratorium terpadu Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan Fakultas Peternakan IPB.
Indigofera zollingeriana adalah legum dengan kandungan protein tinggi yang
ketersediaannya di Indonesia masih rendah. Salah satu cara untuk menjaga
ketersediaan legum yang rendah adalah penyimpanan yang baik terhadap benih
legum tersebut. Penyimpanan dilakukan secara tertutup dengan menginjeksikan gas
karbon dioksida (CO2) ke dalam media penyimpanan. Penginjeksian CO2 merupakan
cara agar kandungan oksigen di dalam media penyimpanan berkurang. Hal ini
menyebabkan proses respirasi benih terhambat dan mengurangi pertumbuhan
cendawan yang menginfeksi benih. Keadaan ini menguntungkan benih karena proses
dormansi dapat berlangsung, sebaliknya kurang menguntungkan bagi
mikroorganisme dan cendawan yang membuat pertumbuhannya terhambat.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Januari 2012
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ............................................................................................... ii
ABSTRACT ................................................................................................. iii
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................... . xii
PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................... 1 Tujuan ............................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3
Indigofera sp. ..................................................................................... 3 Benih ................................................................................................. 4 Kadar Air Benih ................................................................................. 5 Pengeringan Benih ............................................................................. 5 Penyimpanan Benih ........................................................................... 6 Dormansi ........................................................................................... 9 Germinasi (Perkecambahan) .............................................................. 9 Karbon dioksida .................................................................................. 10 Modifikasi Atmosfer .......................................................................... 11 Pengujian Benih ................................................................................. 12 METODE .................................................................................................... 13
Lokasi dan Waktu .............................................................................. 13 Materi ................................................................................................ 13 Alat .......................................................................................... 13 Bahan ...................................................................................... 13 Sampel Penelitian .................................................................... 13 Metode ............................................................................................... 13 Prosedur .................................................................................. 13 Persiapan Biji untuk Penelitian ..................................... 13 Pengukuran Kadar Air .................................................. 14 Penyimpanan Benih ...................................................... 14 Sterilisasi dan Skarifikasi Benih .................................... 14 Perkecambahan Benih .................................................. 15 Rancangan Percobaan ................................................................ 15 Peubah yang Diamati ................................................................. 15 Daya Kecambah pada Umur 4, 7 dan 14 Hari .............. 15
ix
Infeksi Cendawan pada Umur 4, 7 dan 14 Hari ............ 16 Tinggi Hipokotil pada Umur 4, 7 dan 14 Hari .............. 16 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 17
Kondisi Umum ................................................................................. 17 Kadar Air ......................................................................................... 18 Daya Kecambah ............................................................................... 19 Infeksi Cendawan ............................................................................ 24 Tinggi Hipokotil .............................................................................. 26
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 31
Kesimpulan ...................................................................................... 31 Saran ............................................................................................... 31
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 33
LAMPIRAN ................................................................................................ 37
x
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Penginjeksian CO2, Periode Penyimpanan dan Interaksi Keduanya terhadap Daya Kecambah, Infeksi Cendawan dan Tinggi Hipokotil pada Pengamatan Umur Kecambah 4, 7 dan 14 Hari ........................... 18
2. Pengaruh Periode Simpan terhadap Kadar Air ............................... 19
3. Pengaruh Penginjeksian CO2 dan Periode Simpan terhadap Daya Kecambah ..................................................................................... 21
4. Interaksi antara Penginjeksian CO2 dan Periode Penyimpanan pada Umur Kecambah 14 Hari terhadap Daya Kecambah Benih (%) ..... 22
5. Pengaruh Penginjeksian CO2 dan Periode Simpan terhadap Benih Terinfeksi Cendawan .................................................................... 25
6. Pengaruh Penginjeksian CO2 dan Periode Simpan terhadap Tinggi Hipokotil Kecambah ..................................................................... 27
7. Interaksi antara Penginjeksian CO2 dan Periode Penyimpanan pada Umur Kecambah 14 Hari terhadap Tinggi Hipokotil (cm) ..... 29
Halaman
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Benih Indigofera sp. yang telah diseleksi …………………………. 17
2. Perbandingan daya kecambah pada saat kecambah berusia 4 hari, 7
hari dan 14 hari …………………………………………………..... . 20
3. Hubungan antara Penginjeksian CO2 terhadap Daya Kecambah Benih berdasarkan Periode Simpan pada Umur Kecambah 14 Hari ........... 23
4. Perbandingan tinggi kecambah umur 4 hari, 7 hari dan 14 hari . ....... 27
5. Hubungan antara Penginjeksian CO2 terhadap Tinggi Hipokotil ber- dasarkan Periode Simpan pada umur Kecambah 14 Hari ................. 29
Halaman
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. ANOVA dan Uji Duncan Daya Kecambah Benih Umur 4 Hari ..... .. 36
2. ANOVA dan Uji Duncan Daya Kecambah Benih Umur 7 Hari ....... 36
3. ANOVA dan Uji Duncan Daya Kecambah Benih Umur 14 Hari ..... 37
4. ANOVA dan Uji Duncan Persen Infeksi Cendawan Umur 4 Hari ... 38
5. ANOVA dan Uji Duncan Persen Infeksi Cendawan Umur 7 Hari ... 38
6. ANOVA dan Uji Duncan Persen Infeksi Cendawan Umur 14 Hari . 39
7. ANOVA dan Uji Duncan Tinggi Hipokotil Kecambah Umur 4 Hari ................................................................................................. 39 8. ANOVA dan Uji Duncan Tinggi Hipokotil Kecambah Umur 7 Hari ................................................................................................. 40 9. ANOVA dan Uji Duncan Tinggi Hipokotil Kecambah Umur 14 Hari ................................................................................................. 40
Halaman
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indigofera zollingeriana adalah legum yang dapat digunakan sebagai pakan
ternak dan relatif baru dikembangkan di Indonesia. Tanaman ini memiliki kandungan
protein kasar yang tinggi setara dengan alfalfa (25-31%), kandungan mineral yang
tinggi ideal bagi ternak perah, struktur serat yang baik dan nilai kecernaan yang
tinggi bagi ternak ruminansia. Meskipun Indigofera sp. tergolong tanaman yang baik
sebagai sumber bahan baku pakan berkualitas, namun peternak belum banyak
memanfaatkan hijauan tanaman ini karena masih terbatas ketersediaannya akibat
belum banyak diproduksi (Abdullah et al., 2010)
Ketersediaan hijauan legum yang berasal dari Indigofera sangat tergantung
pada ketersediaan tanaman dan stok benih. Kegagalan penyebaran dan
pengembangan tanaman pakan di Indonesia sering ditentukan oleh kesulitan untuk
mendapatkan benih yang baik. Benih yang digunakan dalam budidaya tanaman
pakan harus berasal dari benih yang telah memenuhi syarat untuk ditumbuhkan.
Salah satu upaya untuk menjaga ketersediaan stok benih adalah memberikan
perlakuan pada saat penyimpanan benih agar benih tetap awet dan dorman sempurna
tetapi tetap memiliki viabilitas dan daya kecambah yang tinggi pada saat ditanam.
Karena legum tidak dapat dipanen sepanjang tahun maka diperlukan cara
penyimpanan yang baik agar kestabilan benih terjaga.
Tujuan utama penyimpanan benih adalah untuk mempertahankan viabilitas
benih selama periode simpan yang lama, sehingga ketika benih dikecambahkan
masih mempunyai viabilitas yang tidak jauh berbeda dengan viabilitas awal sebelum
benih disimpan. Kondisi benih awal yang memiliki viabilitas maksimum membuat
daya simpan benih semakin lama. Selama proses penyimpanan mutu benih akan
mengalami kemunduran (Kartasapoetra, 2003). Proses fisiologis benih diusahakan
harus berjalan minimal, karena selama penyimpanan proses fisiologis benih akan
terus berlangsung (Hendarto, 1996).
Penyimpanan benih di daerah tropis sering mengalami kendala terutama
karena masalah kelembaban yang tinggi dan fluktuasi suhu. Kemunduran benih
sangat berkaitan dengan ketersediaan oksigen dan kadar air media penyimpanan.
Penyimpanan sistem kedap udara dengan menggunakan media penyimpanan yang
2
tertutup dapat meminimalkan kemunduran benih. Modifikasi atmosfer ruang
penyimpanan dibutuhkan mengurangi kandungan oksigen dalam media
penyimpanan. Kadar oksigen dikurangi dengan cara injeksi karbon dioksida (CO2).
Modifikasi atmosfer juga berguna untuk membunuh bakteri dan jamur yang berada
di sekitar benih karena menghambat ketersediaan oksigen yang berperan penting
dalam proses perkecambahan.
Peneliti melihat bahwa Indigofera zollingeriana memiliki potensi yang tinggi
sebagai sumber protein bagi pakan ternak. Kebutuhan hijauan berkualitas akan
sangat terbantu dengan adanya teknologi penyimpanan benih sehingga
ketersediaannya bisa tercukupi sepanjang tahun.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi taraf karbon
dioksida (CO2) dan waktu penyimpanan benih terhadap parameter perkecambahan
benih.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Indigofera sp.
Indigofera sp. merupakan tanaman dari kelompok kacang-kacangan (family
Fabaceae) dengan genus Indigofera dan memiliki 700 spesies yang tersebar di
Benua Afrika, Asia, Australia, dan Amerika Utara. Sekitar tahun 1900 Indigofera sp.
dibawa ke Indonesia oleh bangsa Eropa, serta terus berkembang secara luas (Tjelele,
2006). Tanaman Indigofera zollingeriana adalah jenis leguminosa pohon yang
selama ini belum dieksplorasi potensinya sebagai hijauan pakan ternak. Berdasarkan
penelitian Hassen et al. (2006) menggunakan beberapa spesies Indigofera sp. antara
lain I. amorphoides, I. arrecta, I. brevicalyx, I. coerulea, I. costata, I. cryptantha, I.
spicata, I. trita, I. vicioides diketahui bahwa tanaman ini berpotensi digunakan
sebagai tanaman pakan sekaligus sebagai tanaman pelindung karena mampu
memperbaiki kondisi tanah penggembalaan yang mengalami over grazing dan erosi.
Beberapa spesies seperti I. arrecata Hochst. Ex A. Rich., I. suffruticosa Mill. dan I.
tinctoria L., dimanfaatkan sebagai pewarna, pakan ternak, pelindung tanaman
pangan, pelindung tanah dari erosi dan sebagai tanaman hias (Schrire, 2005).
Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang kaya akan
nitrogen, fosfor dan kalsium. Indigofera sp. sangat baik dimanfaatkan sebagai
hijauan pakan ternak dan mengandung protein kasar 27,9%, serat kasar 15,25%,
kalsium 0,22% dan fosfor 0,18%. Legum Indigofera sp. memiliki kandungan protein
yang tinggi, toleran terhadap musim kering, genangan air dan tahan terhadap salinitas
(Hassen et al., 2007). Dengan kandungan protein yang tinggi (26%-31%) disertai
kandungan serat yang relatif rendah dan tingkat kecernaan yang tinggi (77%)
tanaman ini sangat baik sebagai sumber hijauan baik sebagai pakan dasar maupun
sebagai pakan suplemen sumber protein dan energi, terlebih untuk ternak dalam
status produksi tinggi (laktasi). Karena toleran terhadap kekeringan, maka Indigofera
sp. dapat dikembangkan di wilayah dengan iklim kering untuk mengatasi terbatasnya
ketersediaan hijauan terutama selama musim kemarau. Keunggulan lain tanaman ini
adalah kandungan tanninnya sangat rendah berkisar antara 0,6 – 1,4 ppm (jauh di
bawah taraf yang dapat menimbulkan sifat anti nutrisi). Rendahnya kandungan
tannin ini juga berdampak positif terhadap palatabilitasnya (disukai ternak). Hasil
penelitian menunjukan bahwa manajemen panen yang optimal ditinjau dari aspek
4
produktivitas dan kualitas nutrisi adalah panen pertama dilakukan pada umur 8 bulan
disertai dengan frekuensi panen setiap 60 hari dengan tinggi pemotongan 1,5 m
diatas permukaan tanah. Produksi yang melimpah selama musim hujan dapat
dipreservasi (diawetkan) dengan teknologi fermentasi (silase) sehingga dapat
dimanfaatkan selama musim kemarau. Tanaman Indigofera sp tahan terhadap
kekeringan, sehingga dapat menjadi sumber pakan pada musim kemarau (Abdullah,
2010).
Benih
Apabila dikaitkan dengan tujuan pemanfaatannya, biji mempunyai dua
pengertian, yaitu biji dan benih. Biji mempunyai makna yang lebih luas dari pada
benih. Biji dapat digunakan untuk bahan pangan, pakan tenak (hewan), atau bahan
untuk ditanam selanjutnya. Biji terdiri dari tiga bagian dasar yaitu: (1) embrio yang
merupakan tanaman baru yang terbentuk dari bersatunya gamet jantan dan betina
pada suatu proses pembuahan. Embrio yang sempurna akan terdiri dari epikotil
(bakal pucuk), hipokotil (bakal akar), dan kotiledon (bakal daun), (2) jaringan
penyimpan cadangan makanan yang tersimpan dalam biji umumnya terdiri dari
karbohidrat, lemak, protein dan mineral dengan komposisi yang berbeda tergantung
jenis biji, misalnya biji bunga matahari kaya akan lemak, biji legum kaya akan
protein, biji padi kaya akan karbohidrat, dll, (3) pelindung biji, dapat terdiri dari kulit
biji, sisa nukleus dan endosperm dan kadang- kadang bagian dari buah.
Benih adalah biji terpilih yang hanya digunakan untuk penanaman
selanjutnya dalam rangka untuk mengembangkan tanaman atau memproduksi biji
baru (Ashari, 1995). Benih diartikan sebagai biji tanaman yang telah mengalami
perlakuan sehingga dapat dijadikan sarana dalam memperbanyak tanaman perlakuan.
Secara agronomi, benih disamakan dengan bibit karena fungsinya sama (Wirawan
dan Wahyuni, 2002).
Benih yang layak digunakan haruslah bermutu agar nantinya dapat
menghasilkan tanaman yang produktif. Syarat benih bermutu antara lain: (1) murni
dan diketahui nama varietasnya, (2) daya tumbuhnya tinggi (minimal 80%) serta
vigornya baik, (3) biji sehat, bernas, mengkilat, tidak keriput dan dipanen dari tana-
man yang telah matang, (4) dipanen dari tanaman yang sehat tidak terkena penyakit
5
virus, (5) tidak terinfeksi cendawan, bakteri dan virus, (6) bersih, tidak tercampur biji
tanaman lain atau biji rerumputan (Sutopo, 2004).
Kadar Air Benih
Kadar air benih adalah jumlah air benih yang dapat diuapkan atau diukur
melalui metode pengukuran yang telah dibakukan. Tujuan pengujian kadar air benih
adalah untuk mengetahui seberapa besar kandungan air yang terdapat di dalam benih
dalam rangka memenuhi standar mutu benih yang diberlakukan. Kadar air benih
mempunyai peranan yang penting dalam penyimpanan benih. Kadar air benih
berkaitan erat dengan kualitas benih, daya simpan benih, proses pengolahan benih
dan resiko terserang hama dan penyakit pada saat penyimpanan (Kuswanto, 1997).
Kadar air benih dapat memacu proses pernafasan benih sehingga akan meningkatkan
perombakan cadangan makanan benih, akibatnya benih akan kehabisan cadangan
makanan pada saat berkecambah (Welbaum, 1991). Kadar air benih awal sebelum
benih disimpan sangat berpengaruh pada proses penyimpanan benih.
Pengeringan Benih
Pengeringan benih berhubungan erat dengan pengurangan kadar air pada
benih yang akan kita simpan. Pengeringan atau proses penurunan kadar air dapat
meningkatkan viabilitas benih, tetapi pengeringan yang mengakibatkan kadar air
yang terlalu rendah akan mengurangi viabilitas benih (Chai et al., 1998). Kadar air
sangat berpengaruh terhadap kehidupan benih. Pada benih ortodoks, kadar air saat
pembentukan benih sekitar 35-80% dan pada saat tersebut benih belum cukup masak
untuk dipanen. Pada kadar air 18-40%, benih telah mencapai masak fisiologis, laju
respirasi benih masih tinggi, serta benih peka terhadap serangan cendawan, hama dan
kerusakan mekanis. Pada kadar air 13-18% aktivitas respirasi benih masih tinggi,
benih peka terhadap cendawan dan hama gudang, tetapi tahan terhadap kerusakan
mekanis. Pada kadar air 10-13%, hama gudang masih menjadi masalah dan benih
peka terhadap kerusakan mekanis. Pada kadar air 8-10%, aktivitas hama gudang
terhambat dan benih sangat peka terhadap kerusakan mekanis. Kadar air 4-8%
merupakan kadar air yang aman untuk penyimpanan benih dengan kemasan kedap
udara. Kadar air 0-4% merupakan kadar air yang terlalu ekstrim, dan pada beberapa
jenis biji mengakibatkan terbentuknya biji keras. Penyimpanan benih pada kadar air
33-60% menyebabkan benih berkecambah (Sukarman dan Hasanah, 2003).
6
Syarat dari pengeringan benih adalah evaporasi uap air dari permukaan benih
harus diikuti oleh perpindahan uap air dari bagian dalam ke bagian permukaan benih.
Jika evaporasi permukaan terlalu cepat maka tekanan kelembaban yang terjadi akan
merusak embrio benih dan menyebabkan kehilangan viabilitas benih (Justice dan
Bass, 1990).
Menurut Utomo (2006) kandungan kadar air benih 10-20% pada waktu
pemanenan adalah normal pada kebanyakan benih jenis ortodoks. Benih ortodoks
yang belum masak maupun benih rekalsitran yang masak, kandungan airnya sangat
tinggi, dapat mencapai 30-40%. Benih yang dikumpulkan ketika cuaca lembab
merupakan lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan jamur dan bakteri.
Kecepatan uap air yang dikeluarkan dari suatu benih tergantung pada berapa
banyak perbedaan antara kadar air benih dengan kelembaban disekelilingnya, juga
tergantung pada suhu udara, komposisi, ukuran dan bentuk benihnya. Bila kadar air
awalnya tinggi, suhu pengeringan tinggi atau kelembaban nisbi udaranya rendah,
maka kecepatan pengeringannya tinggi. Suatu perubahan dari pergerakan udara yang
sangat lambat menjadi cepat akan meningkatkan kecepatan pengeringan. Kecepatan
pengeringan akan menurun sejalan dengan menurunnya kadar air benih. Hal ini
berarti semakin menurun kadar air benihnya maka proses pengeringan akan
berlangsung lebih lama (Justice dan Bass, 1994).
Pada umumnya, apabila kebutuhan untuk perkecambahan seperti air, oksigen,
suhu, dan cahaya dapat dipenuhi, biji bermutu tinggi (high vigor) akan menghasilkan
kecambah atau bibit yang normal (normal seedling). Tetapi karena pengaruh faktor
luar seperti infeksi jamur atau mikro organisme lainnya selama pengujian
perkecambahan atau sudah terbawa didalam biji, atau biji bermutu rendah (low
vigor), kemungkinan kecambah yang dihasilkan tidak normal (Kamil, 1982).
Penyimpanan Benih
Kartono (2004) menyatakan bahwa penyimpanan benih yang baik merupakan
usaha pengawetan. Tujuan utama penyimpanan benih adalah untuk mempertahankan
viabilitas benih secara maksimal selama mungkin. Tujuan lain adalah agar benih
dapat ditanam pada tahun yang berbeda atau untuk tujuan pelestarian benih dari
suatu jenis tanaman (Sutopo, 1984).
7
Siregar (2000) mengemukakan bahwa periode penyimpanan terdiri dari
penyimpanan jangka panjang, penyimpanan jangka menengah dan penyimpanan
jangka pendek. Penyimpanan jangka panjang memiliki kisaran waktu puluhan tahun,
sedangkan penyimpanan jangka menengah memilki kisaran waktu beberapa tahun,
dan penyimpanan jangka pendek memiliki kisaran waktu kurang dari setahun. Tidak
ada kisaran pasti dalam periode penyimpanan, hal ini disebabkan karena periode
penyimpanan sangat tergantung dari jenis tanaman dan tipe benih itu sendiri.
Tinggi rendahnya viabilitas dan vigor benih sebagai pembawaan dari baik
atau tidaknya kondisi sewaktu pematangan fisik benih, akan mudah terpengaruh oleh
faktor-faktor pada penyimpanan. Benih akan mengalami kecepatan kemundurannya
tergantung dari tingginya faktor kelembaban relatif udara dan suhu ( Halloin, 1986).
Faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas benih selama penyimpanan
dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal
mencakup sifat genetik, daya tumbuh dan vigor, kondisi kulit dan kadar benih awal.
Faktor eksternal antara lain kemasan benih, komposisi gas, suhu dan kelembaban
ruang simpan (Hor et al., 1984). Menurut Harrington (1972), masalah yang dihadapi
dalam penyimpanan benih semakin kompleks sejalan dengan meningkatnya kadar air
benih. Penyimpanan benih yang berkadar air tinggi dapat menimbulkan resiko
terserang cendawan. Benih adalah bersifat higroskopis, sehingga benih akan
mengalami kemunduran tergantung dari tingginya faktor-faktor kelembaban relatif
udara dan suhu lingkungan benih disimpan.
Dalam penyimpanan benih, kita juga harus memilih bahan kemasan yang
akan kita gunakan dan kemampuan bahan kemasan tersebut dalam mempertahankan
kadar air benih pada periode simpan yang dikehendaki. Berdasarkan penelitian
Robi’in (2007) bahan kemasan yang paling baik adalah aluminium foil pada periode
2 minggu dengan kadar air 8,89%, pada periode simpan 4 minggu dengan kadar air
10,90%. Aluminium foil dapat digunakan sebagai kemasan benih, namun dalam
aplikasinya harus dikombinasikan dengan bahan lain dan tetap mengacu pada sifat-
sifat bahan kemasan yaitu impermeabilitas, kekuatan, ketebalan, dan keuletan
sehingga dapat mempertahankan viabilitas benih.
Viabilitas dari benih yang disimpan dengan kandungan air tinggi akan cepat
sekali mengalami kemunduran. Hal ini bisa dijelaskan mengingat sifat biji yang
8
higroskopis, biji sangat mudah menyerap uap air dari udara sekitarnya. Biji akan
menyerap atau mengeluarkan uap air sampai kandungan airnya seimbang dengan
udara disekitarnya. Kandungan air yang tinggi akan meningkatkan kegiatan enzim-
enzim yang akan mempercepat terjadinya proses respirasi, sehingga perombakan
cadangan makanan dalam biji menjadi semakin besar. Akhirnya benih akan
kehabisan bahan bakar pada jaringan-jaringan yang penting (meristem). Energi yang
terhambur dalam bentuk panas ditambah keadaan yang lembab merangsang
perkembangan organisme yang dapat merusak benih. Selain itu biji juga merupakan
penghantar panas yang buruk. Konduksi panas antar biji biasanya berlangsung
melalui kontak fisik antar biji, sehingga perlu diperhatikan bahwa benih yang akan
disimpan harus mempunyai kandungan air yang seragam. Kandungan air benih yang
terlalu rendah (1-2%) pada beberapa jenis benih dapat menyebabkan benih
kehilangan viabilitas serta kemampuan berkecambahnya (Sutopo, 1988).
Penyimpanan kedap udara selain berfungsi menghambat kegiatan biologis
benih, juga berfungsi menekan pengaruh kondisi lingkungan seperti suhu dan
kelembaban, serta mengurangi tersedianya oksigen, kontaminasi hama, kutu, jamur,
bakteri dan kotoran. Kadar air awal dan kemasan sangat berpengaruh dalam
mempertahankan kadar air benih selama penyimpanan (Kartono, 2004).
Menurunnya daya kecambah benih yang disimpan berhubungan dengan
tingginya kadar air menyebabkan struktur membran mitokondria tidak teratur
sehingga permeabilitas membran meningkat. Peningkatan permeabilitas
menyebabkan banyak metabolit antara lain gula, asam amino dan lemak bocor keluar
sel. Dengan demikian substrat untuk respirasi berkurang sehingga energi yang
dihasilkan untuk berkecambah berkurang (Tatipata et al,. 2004).
Lama perkecambahan dapat menjadi petunjuk perbedaan kekuatan tumbuh,
semakin cepat pertumbuhan kecambah maka semakin tinggi vigor kecambah. Tinggi
rendahnya vigor benih akan menggambarkan kekuatan tumbuh dan pertumbuhan
kecambah. Semakin tinggi vigor maka kekuatan perkecambahan menjadi lebih baik,
begitu pula pertumbuhan tanaman. Berat kecambah dipengaruhi oleh lamanya
pertumbuhan sejak permulaan sampai berjalannya proses perkecambahan, karena
bila kecambah butuh waktu yang lama untuk tumbuh maka hasil kecambah yang
9
diperoleh adalah kecambah pendek, ukuran daun kecambah kecil, hipokotilnya
pendek dan volume akar kecil (Ardian, 2008).
Dormansi
Benih dikatakan dorman apabila benih tersebut sebenarnya hidup tetapi tidak
berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum dianggap telah
memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambahan (Sutopo, 1984).
Dormansi pada benih dapat berlangsung selama beberapa hari, semusim
bahkan sampai beberapa tahun tergantung pada jenis tanaman dan dormansinya.
Pertumbuhan tidak akan terjadi selama benih belum melalui masa dormansinya, atau
sebelum dikenakan suatu perlakuan khusus terhadap benih tersebut. Dormansi dapat
dipandang sebagai salah satu keuntungan biologis dari benih dalam mengadaptasikan
siklus pertumbuhan tanaman terhadap keadaan lingkungannya, baik musim maupun
variasi-variasi yang kebetulan terjadi sehingga secara tidak langsung benih dapat
menghindarkan dirinya dari kemusnahan alam. Dormansi pada benih dapat
disebabkan oleh keadaan fisik dari kulit biji ataupun keadaan fisiologis dari embrio
atau kombinasi dari kedua kedaan tersebut. Sebagai contoh kulit biji yang
impermeabel terhadap air dan gas sering dijumpai pada benih-benih dari famili
Leguminosae (Sutopo, 1984).
Faktor-faktor yang menyebabkan hilangnya dormansi pada benih sangat
bervariasi tergantung pada jenis tanaman dan tentu saja tipe dormansinya, antara lain
karena temperatur yang sangat rendah di musim dingin, perubahan temperatur yang
silih berganti, menipisnya kulit biji, hilangnya kemampuan untuk menghasilkan zat-
zat penghambat perkecambahan, adanya kegiatan dari mikroorganisme (Kamil,
1986).
Germinasi (Perkecambahan)
Germinasi adalah bentuk awal dari embrio yg berkembang menjadi sesuatu
yang baru yaitu tanaman anakan yang sempurna (Baker, 1950). Germinasi juga
merupakan proses tumbuhnya embrio atau keluarnya radicle dan plumulae dari kulit
biji (Kramer dan Kozlowski, 1979). Perkecambahan merupakan transformasi dari
bentuk embrio menjadi tanaman anakan yang sempurna. Rangkaian proses-proses
fisiologis yang berlangsung pada perkecambahan adalah (1) penyerapan air secara
imbibisi dan osmosis, (2) pencernaan atau pemecahan senyawa menjadi bermolekul
10
lebih kecil, sederhana, larut dalam air dan dapat diangkut, (3) pengangkutan hasil
pencernaan, (4) asimilasi atau penyusunan kembali senyawa hasil pencernaan, (5)
pernafasan atau respirasi yang merupakan perombakan cadangan makanan, dan (6)
pertumbuhan pada titik-titik tumbuh.
Proses-proses perkecambahan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan faktor-
faktor lingkungan seperti air, O2, cahaya dan suhu. Air berperan dalam melunakkan
kulit biji, memfasilitasi masuknya O2, pengenceran protoplasma untuk aktivasi
fungsi, dan alat transportasi makanan. Suhu berperan dalam pematahan dormansi,
aplikasi fluktuasi suhu yang tinggi berhasil mematahkan dormansi pada banyak
spesies, terutama yang mengalami termodormansi. Aplikasi fluktuasi suhu ini dapat
berupa chilling/alternating temperature maupun pembakaran permukaan. Oksigen
dibutuhkan pada proses oksidasi untuk membentuk energi perkecambahan. Cahaya
mempengaruhi perkecambahan melalui tiga macam bentuk yaitu intensitas cahaya,
panjang gelombang, dan fotoperiodisitas.
Karbon Dioksida
Karbon dioksida (CO2) atau zat asam arang adalah sejenis senyawa kimia
yang terdiri dari dua atom oksigen yang terikat secara kovalen dengan sebuah atom
karbon dan berbentuk gas pada suhu dan tekanan standar. Rata-rata konsentrasi
karbon dioksida di atmosfer bumi kira-kira 387 ppm berdasarkan volume dan jumlah
ini bisa bervariasi tergantung pada lokasi dan waktu. Karbon dioksida adalah gas
rumah kaca yang penting karena ia menyerap gelombang inframerah dengan kuat
(Bosquet et al., 1999).
Karbon dioksida dihasilkan oleh semua hewan, manusia, tumbuh-tumbuhan,
fungi, dan mikroorganisme pada proses respirasi dan digunakan oleh tumbuhan pada
proses fotosintesis. Oleh karena itu, karbon dioksida merupakan komponen penting
dalam siklus karbon. Karbon dioksida juga dihasilkan dari hasil samping pembakaran
bahan bakar fosil. Karbon dioksida anorganik dikeluarkan dari gunung berapi dan
proses geotermal lainnya seperti pada mata air panas (Drake et al., 1997).
Karbon dioksida diketahui memiliki sifat-sifat mengawetkan pada tekanan
tinggi daripada yang dijumpai dalam udara atmosfer. Selain digunakan dalam
minuman yang berkarbondioksida, juga digunakan pada bahan pangan olahan
sebagian, seperti misalnya pada biskuit yang tidak dipanggang. Sebagai zat pengawet
11
utama adalah kenaikan gas karbon dioksida yang berkembang dalam kemasan
selama penyimpanan. Karbon dioksida sekarang digunakan dalam pengendalian
pemasakan dan kualitas penyimpanan buah-buahan segar (Jayas et al., 2002).
Penyimpanan tertutup dengan mengurangi oksigen dan menambahkan gas
karbon dioksida sudah dilakukan sejak lama. Namun penggunaannya dilakukan pada
buah untuk mencegah kemasakan buah. Karbon dioksida memiliki pengaruh dalam
menekan pertumbuhan mikroba. Farber (1991) mengemukakan beberapa kelebihan
karbon dioksida sebagai anti mikroba yaitu langsung menghambat kinerja enzim-
enzim yang memicu pertumbuhan bakteri, menembus langsung membran sel bakteri
sehingga terjadi perubahan PH dan merubah struktur kimia protein dari bakteri.
Patogen-patogen aerobik seperti pseudomonas dapat dihambat pertumbuhannya
dengan penginjeksian karbondioksida 10%-20%. Pemberian karbondioksida dengan
kadar berlebih dapat menyebabkan benih mengalami proses respirasi anaerob yang
dapat menghasilkan etilen. Akumulasi etilen yang terlalu banyak akan menyebabkan
denaturalisasi protein yang dapat mengakibatkan kerusakan benih (Enfors et
al.,1978).
Modifikasi Atmosfer
Beberapa studi menunjukkan bahwa modifikasi atmosfer (MA) dengan
peningkatan level karbon dioksida dan pengurangan level oksigen adalah metode
yang efektif dalam membasmi serangga dan mikroorganisme pada benih (Eaves,
1960). Modifikasi atmosfer (MA) mengurangi laju respirasi benih dan aktivitas
serangga atau mikroorganisme dalam biji. MA dapat dicapai dalam beberapa cara: (i)
dengan menambahkan karbon dioksida gas atau padat, (ii) dengan menambahkan gas
yang rendah kandungan oksigen atau (iii) dengan memungkinkan proses metabolis
dalam suatu penyimpanan kedap udara untuk mengurangi O2, biasanya dengan
pelepasan CO2 ke dalam ruang simpan (Jayas et al., 2002).
Komponen terpenting dari MA adalah karbon dioksida yang mana merupakan
gas yang tidak terbakar, tidak berwarna, tidak berbau, 1,5 kali berat udara ( Graver,
2004). Efektivitas MA untuk mengendalikan berbagai hama produk tersimpan
tergantung pada suhu dan kadar air biji, spesies dan lama penyimpanan hama,
komposisi gas, keseragaman distribusi gas dan paparan waktu perlakuan MA (Scott
et al., 1964). Meskipun bermanfaat, keterbatasan utama tampaknya adalah biaya
12
awal yang tinggi untuk struktur penyimpanan kedap udara dan penyegelan struktur
kedap udara agar udara tidak keluar sesuai dengan diinginkan (Jayas et al., 2002).
Pengujian Benih
Pengujian viabilitas benih dapat dilakukan secara langsung, yaitu dengan cara
menilai struktur-struktur penting kecambah dan secara tidak langsung, yaitu dengan
melihat gejala metabolismenya. Pada pengujian secara langsung, beberapa substrat
pengujian yang dapat digunakan seperti kertas, kapas, pasir, tanah, dan lain-lain.
Namun substrat kertas lebih banyak digunakan karena lebih praktis dan memenuhi
persyaratan-persyaratan dalam prosedur pengujian mutu benih secara modern
(Kamil, 1979). Substrat kertas dapat digunakan untuk berbagai metode uji viabilitas
benih, yaitu: 1) Uji Diatas Kertas (UDK), digunakan untuk benih-benih berukuran
kecil yang membutuhkan cahaya dalam perkecambahannya; 2) Uji Antar Kertas
(UAK), digunakan untuk benih-benih yang tidak peka cahaya dalam
perkecambahannya; dan 3) Uji Kertas Digulung (UKD), digunakan untuk benih-
benih berukuran besar yang tidak peka cahaya dalam perkecambahannya. Jika dalam
pemakaiannya digunakan plastik sebagai alas kertas maka disebut Uji Kertas
Digulung Didirikan dengan Plastik (UKDdp) (Sadjad, 1993).
Hasil penelitian Sadjad (1972) menyatakan bahwa kertas merang dapat
digunakan sebagai substrat perkecambahan dalam pengujian viabilitas benih di
Indonesia. Selain sudah tersebar di seluruh wilayah Indonesia, warna kertas merang
yang coklat muda, polos dan tidak luntur akan memudahkan para penguji dalam
mengamati dan menilai kecambah yang tumbuh. Menurut Sadjad (1993), kertas
merang dipilih karena warnanya mirip dengan kertas towel di Amerika, memiliki
daya absorpsi air yang tinggi seperti lazimnya kertas saring serta harganya yang
murah.
13
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Lapang Agrostologi,
Laboratorium Pastura, Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian benih
percobaan dilakukan pada bulan November 2011 sampai Desember 2011.
Materi
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain germinator cahaya,
timbangan analitik, cawan petri, kapas, ember, stopwatch, penggaris, kain kasa,
aluminium, kawat, botol, timbangan, oven, tabung gas CO2 dan penginjeksi CO2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain aquades sebagai
pemicu pertumbuhan kecambah, gas CO2, Kalsium Perklorat (kaporit) 0,4% untuk
sterilisasi benih, Formaldehida, dan KMnO4 sebagai bahan untuk fumigasi
germinator. Sampel Penelitian
Sampel Benih Indigofera zollingeriana sebanyak 480 gram berasal dari
kebun benih Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor. Sebanyak 10 gram sampel diambil secara acak
dengan 4 kali perlakuan yaitu injeksi CO2 0% (A0), 10% (A1), 20% (A2), 30% (A3),
dan 4 kali ulangan dalam 3 kurun waktu yang berbeda yaitu 0 minggu (B0), 1
minggu (B1) dan 2 minggu (B2).
Prosedur
Persiapan Biji untuk Penelitian
Biji yang akan dijadikan benih, dipilih dari polong yang sudah masak
fisiologis dari pohon Indigofera zollingeriana dan benih tersebut diseleksi
berdasarkan morfologis dan ukurannya. Biji normal dicirikan dengan bentuk utuh
tanpa kerusakan fisik, dan berwarna coklat kehitam-hitaman mengkilat. Benih hasil
14
seleksi disterilisasi dengan kaporit (0,4%) kemudian dibilas dengan air bersih dan
dikeringkan. Pengukuran Kadar Air
Pengukuran kadar air benih dilakukan pada tiga periode yaitu sebelum
disimpan (0 minggu) dan setelah benih disimpan selama 1 dan 2 minggu. Benih yang
digunakan pada pengukuran kadar air sebanyak 60 gram. Setiap periode
menggunakan sampel 5 gram benih dengan 4 kali ulangan pada. Pengukuran kadar
air dihitung dengan menggunakan rumus perhitungan kadar air metode oven pada
105 0C (Sutopo, 2004) sebagai berikut:
a-bc-b KA =
Keterangan :
a : berat cawan
b : berat cawan+berat contoh benih awal
c : berat cawan+berat contoh benih setelah dioven Penyimpanan Benih
Benih yang telah diseleksi disimpan dalam wadah plastik bervolume 100 ml
sebanyak 48 buah. Untuk masing-masing botol diisi sebanyak 10 gram benih,
kemudian gas karbon dioksida disuntikkan ke dalam botol dengan kadar yang
berbeda-beda sesuai dengan perlakuan yang diberikan. Pada proses penyuntikan,
karbon dioksida disuntikkan dengan kecepatan 2 ml perdetik sehingga penyuntikan
dengan kadar karbon dioksida 10% disuntikkan selama 5 detik, untuk kadar 20%
disuntikkan selama 10 detik dan untuk kadar 30% disuntikkan selama 15 detik.
Benih yang telah dimasukkan ke botol disimpan selama 0, 1 dan 2 minggu. Sterilisasi dan Skarifikasi Benih
Benih yang telah disimpan disterilisasi dengan menggunakan air yang
dicampur dengan kaporit sebanyak 0.4% yang mana benih direndam selama 2 menit.
Setelah itu benih tersebut diskarifikasi dengan cara direndam dalam air steril selama
90 menit. Bagian luar benih yang telah diskarifikasi terlihat terkelupas dan lunak
menandakan benih siap dikecambahkan.
15
Perkecambahan Benih
Media perkecambahan yang digunakan adalah aluminium yang dibentuk
persegi empat dengan menambahkan kapas sebagai tempat tumbuh benih. Lapisan
teratas dilengkapi dengan kawat berpetak yang dirancang agar lebih memudahkan
dalam penghitungan benih. Kapas dibasahi dengan air. Untuk setiap perlakuan,
diambil benih sebanyak 50 buah dan disusun berdasarkan petak kawat. Pengamatan
dilakukan pada hari ke 4, 7 dan 14 setelah benih dikecambahkan.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola
Faktorial 4 x 3 dan 4 ulangan. Faktor pertama adalah perlakuan 4 taraf karbon
dioksida dan faktor kedua adalah lama waktu penyimpanan benih. Perlakuan faktor
pertama terdiri atas injeksi CO2 0% (A0), 10% (A1), 20% (A2), dan 30% (A3),
sedangkan pada faktor kedua adalah lama penyimpanan yaitu 0 minggu (B0), 1
minggu (B1) dan 2 minggu (B2) dengan 4 kali ulangan masing-masing berisi 10 g
benih. Data yang diperoleh dianalisa statistik dengan sidik ragam (ANOVA).
Model matematika rancangan tersebut adalah sebagai berikut:
Yi j k = μ + αi + βj + (αβ) i j + εi j k
Yi j k = nilai hasil pengamatan
μ = nilai rataan umum.
αi = pengaruh perlakuan penginjeksian CO2 pada taraf ke i.
βj = pengaruh perlakuan lama penyimpanan pada taraf ke j.
(αβ)ij = pengaruh perlakuan penginjeksian CO2 pada taraf ke i dan pengaruh
perlakuan lama penyimpanan pada taraf ke j.
ε i j k = kesalahan percobaan akibat perlakuan penginjeksian CO2 pada taraf ke i dan
pengaruh lama penyimpanan taraf ke j pada ulangan ke k.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Daya kecambah pada umur 4 , 7 dan 14 hari
Daya kecambah benih dihitung dengan cara membandingkan jumlah benih
yang berkecambah dengan jumlah benih total dalam setiap perlakuan.
16
Totalbenih Jumlah hBerkecamba yangBenih Jumlah (%)Kecambah Daya =
Keterangan: setiap perlakuan menggunakan benih sebanyak 50 biji. Infeksi Cendawan pada umur 4 , 7 dan 14 hari
Pengamatan dilakukan dengan cara membandingkan jumlah benih yang
diinfeksi cendawan dengan jumlah benih total dalam setiap perlakuan.
Totalbenih Jumlah Cendawan Diserang yangBenih Jumlah (%)Cendawan InfeksiPersen =
Keterangan: setiap perlakuan menggunakan benih sebanyak 50 biji.
Tinggi Hipokotil pada umur 4 , 7 dan 14 hari
Masing-masing benih yang berkecambah diukur dengan menggunakan
penggaris. Kecambah tersebut diluruskan dan diukur dengan bantuan lidi. Panjang
kecambah diketahui dari panjang lidi yang sudah ditandai sesuai panjang kecambah
dan langsung diukur dengan menggunakan penggaris.
17
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Benih Indigofera yang digunakan dalam penelitian ini cenderung berjamur
ketika dikecambahkan. Hal ini disebabkan karena tanaman indukan sudah diserang
cendawan sehingga secara sistemik diduga sudah menginfeksi semua benih yang ada.
Kemurnian benih mencapai 85%, benda asing yang diperoleh lebih banyak
didominasi oleh benih rusak dan benih muda. Benih yang diteliti diseleksi
berdasarkan warna dan bentuk. Warna hitam kecoklatan dan bentuk yang beraturan
dipilih untuk diberikan perlakuan. Penampilan benih Indigofera yang dijadikan
sebagai obyek penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Benih Indigofera sp. yang telah diseleksi
Kondisi lingkungan pada saat penelitian cukup stabil, suhu dan kelembaban
relatif sama selama penyimpanan. Benih disimpan dalam botol plastik dan disimpan
pada suhu berkisar 250C-310C serta diinjeksi CO2. Selama penyimpanan tidak
terdapat gangguan hama dan penyakit karena benih disimpan di dalam ruangan
tertutup.
Tabel 1 memperlihatkan hasil sidik ragam pengaruh penginjeksian CO2,
periode penyimpanan dan interaksi keduanya terhadap daya kecambah, infeksi
cendawan dan tinggi hipokotil pada pengamatan umur kecambah 4, 7 dan 14 hari.
Penginjeksian CO2 berpengaruh nyata pada daya kecambah saat kecambah berumur
14 hari, sedangkan periode simpan berpengaruh nyata pada daya kecambah saat
umur kecambah 4, 7 dan 14 hari dan interaksi antara penginjeksian CO2 dan periode
simpan memberikan pengaruh nyata terhadap daya kecambah pada saat umur
kecambah 14 hari (P<0,05). Penginjeksian CO2 tidak memberikan pengaruh nyata
18
pada pertumbuhan jamur saat kecambah berumur 4, 7 dan 14 hari, sedangkan periode
simpan berpengaruh nyata pada pertumbuhan cendawan pada saat umur benih 4, 7
dan 14 hari. Interaksi antara penginjeksian CO2 dan periode simpan tidak
berpengaruh nyata pada pertumbuhan jamur saat umur kecambah 4, 7 dan 14 hari
(P<0,05), tetapi berpengaruh nyata pada tinggi hipokotil pada saat umur 14 hari.
Penginjeksian CO2 berpengaruh nyata pada tinggi hipokotil saat kecambah berumur
4 hari. Periode simpan berpengaruh nyata pada tinggi hipokotil saat umur benih 4, 7
dan 14 hari.
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Penginjeksian CO2, Periode Penyimpanan dan Interaksi Keduanya terhadap Daya Kecambah, Pertumbuhan Cendawan dan Tinggi Hipokotil pada Pengamatan Umur Kecambah 4, 7 dan 14 Hari
Peubah UK H+4 ….UK H+7 UK H+14 A B AxB A B AxB A B AxB
Daya Kecambah tn ** tn
tn ** tn
** ** ** Pertumbuhan Cendawan tn ** tn
tn ** tn
tn ** tn
Tinggi Hipokotil * ** tn tn ** tn tn ** * Keterangan: A : Pengaruh Penginjeksian CO2 B : Pengaruh Periode Simpan AxB : Pengaruh Interaksi Penginjeksian CO2 dan Periode Simpan UK H+4 : Pengamatan saat Umur Kecambah 4 Hari UK H+7 : Pengamatan saat Umur Kecambah 7 Hari UK H+14 : Pengamatan saat Umur Kecambah 14 Hari ** : Berpengaruh Nyata 1% * : Berpengaruh Nyata 5% tn : Tidak Berpengaruh Nyata
Kadar Air Benih
Berdasarkan hasil uji Duncan pada taraf uji 5% dihasilkan bahwa terjadi
pengurangan kadar air dari minggu ke minggu walaupun pengurangannya tidak
terlalu signifikan, tetapi sampai penyimpanan 2 minggu pengurangan kadar air
memberikan pengaruh yang nyata. Rata-rata kadar air benih pada awal sebelum
disimpan (periode 0 minggu) adalah 4.13%. Persentase kadar air menurun berturut-
turut pada periode penyimpanan minggu ke 1 dan 2 yaitu sebesar 4.1% dan 4.07%
(Tabel 2).
Penurunan kadar air terjadi karena selama penyimpanan, kelembaban media
penyimpanan terus berkurang dan lebih rendah dari kelembaban di dalam benih
19
sehingga air mengalami transpirasi dari dalam benih ke luar benih, akibatnya
kandungan air dalam benih berkurang. Tabel 2. Pengaruh Periode Simpan terhadap Kadar Air
Periode Kadar Air (minggu) (%) 0 4.13±0.01 a
1 4.10±0.02 ab 2 4.07±0.01 b
Keteterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Menurut Harrington (1972), masalah yang dihadapi dalam penyimpanan
benih semakin kompleks jika terjadi peningkatan kadar air benih. Penyimpanan
benih yang berkadar air tinggi dapat menimbulkan resiko terserang cendawan. Kadar
air yang tinggi akan meningkatkan kegiatan enzim-enzim yang dapat mempercepat
terjadinya proses respirasi sehingga perombakan bahan cadangan makanan dalam
benih semakin besar. Keadaan ini dapat menurunkan daya tahan benih dan membuat
viabilitasnya berkurang. Benih bersifat higroskopis akan mengalami kemunduran
tergantung dari tingginya faktor-faktor kelembaban relatif udara dan suhu lingkungan
dimana benih disimpan (Halloin, 1986).
Daya Kecambah
Daya kecambah menunjukkan jumlah kecambah normal yang dapat
dihasilkan oleh benih pada lingkungan optimal. Syarat benih yang memiliki daya
kecambah baik yaitu memiliki daya kecambah diatas 80% (Sutopo, 2004). Namun
dalam penelitian ini pada setiap perlakuan tidak ada benih yang mencapai daya
kecambah 80% karena kondisi benih awal yang buruk. Rendahnya daya kecambah
dapat juga disebabkan oleh keadaan benih yang sudah mengalami masa dormansi
(after ripening) sehingga kulit yang keras menghambat proses perkecambahan.
Teknik pematahan dormansi yang direndam dengan air aquades pada penelitian ini
kurang tepat. Walaupun sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mempelajari
mekanisme perkecambahan pada biji berkulit keras, namun hingga kini tidak
ditemukan adanya metode universal tentang teknik pematahan dormansi yang dapat
direkomendasikan. Hal ini karena masing-masing jenis biji mempunyai karakteristik
yang berbeda-beda (dalam hal struktur morfologi dan anatomi, komposisi kimiawi,
20
serta ketebalan kulit biji) sehingga responnya terhadap suatu perlakuan pematahan
dormansi juga berbeda (Kartika et al., 1994). Akibatnya, metode yang paling efektif
untuk mengecambahkan biji menjadi spesifik untuk setiap jenis biji-bijian dan harus
dikembangkan berdasarkan jenis spesiesnya.
Pengamatan terhadap daya kecambah benih dilakukan tiga kali masing-
masing pada umur kecambah 4 hari, 7 hari dan 14 hari. Harjadi (2005) menyatakan
bahwa ciri terpenting yang harus ada dan diketahui dalam pengujian perkecambahan
adalah batasan tentang kecambah normal dan abnormal. Kecambah yang diamati
adalah kecambah yang normal. Kriteria kecambah normal adalah kecambah yang
memperlihatkan kemampuan berkembang terus hingga menjadi tanaman normal jika
ditumbuhkan dalam kondisi yang optimum, perakaran berkembang baik dan diikuti
perkembangan hipokotil, plumula (daun), epikotil, dan kotiledon yang tumbuh sehat.
Gambar dibawah memperlihatkan perbandingan daya kecambah pada saat
kecambah berusia 4, 7 dan 14 hari. Pada saat usia kecambah 14 hari, kecambah tidak
berdiri kokoh lagi. Kecambah terlihat berdiri kokoh disertai dengan perakaran yang
kuat terjadi pada saat hari ke 11. Kondisi ini merupakan saat yang tepat bagi
kecambah untuk dapat ditanam di media tanah.
(a) (b) (c)
Gambar 2. Perbandingan daya kecambah pada saat kecambah berusia 4 hari (a), 7 hari (b) dan 14 hari (c).
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pada saat umur kecambah 4 dan 7
hari, taraf injeksi CO2 memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap daya
kecambah, dan waktu penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap daya
kecambah dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata (P<0,05). Hasil
yang berbeda ditunjukkan pada saat umur kecambah 14 hari yaitu taraf injeksi CO2 ,
waktu penyimpanan dan interaksi keduanya memberikan pengaruh nyata terhadap
daya kecambah (P<0,05).
21
Uji lanjut Duncan pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa pada taraf injeksi
CO2 umur kecambah 4 dan 7 hari, peningkatan pemberian kadar CO2 dari awalnya
0% sampai 30% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap daya kecambah.
Tabel 3. Pengaruh Penginjeksian CO2 dan Periode Simpan terhadap Daya Kecambah
Perlakuan Umur Kecambah (Hari)
4 7 Daya Kecambah (%)
Kadar CO2 0% 11.7±6.4a 14.8±7.9a
10% 13.2±7.7a 15.8±8.1a 20% 11.0±4.9a 13.7±5.7a 30% 13.7±7.6a 18±9.7a Periode 0 minggu 18±5.5a 24.3±5.3a 1 minggu 12.4±5.3b 12.8±5.2b 2 minggu 6.8±3.3c 9.8±3.8b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Injeksi CO2 memiliki pengaruh yang sama terhadap daya kecambah benih
dibandingkan dengan tanpa injeksi pada pengamatan 4 dan 7 hari. Penginjeksian
sebesar 30% cenderung lebih baik daripada penginjeksian kadar lain. Hal tersebut
terlihat pada Tabel 3 yang mana pada kadar 30% daya kecambah benih lebih tinggi
baik pada umur kecambah 4 hari maupun 7 hari walaupun perbedaannya tidak
signifikan (P<0.05). Dapat diambil kesimpulan bahwa walaupun peningkatan
pemberian CO2 tidak meningkatkan daya kecambah secara signifikan, tapi kehadiran
gas CO2 dapat mempertahankan daya kecambah benih.
Pengaruh yang sangat nyata terlihat pada waktu penyimpanan baik pada
periode simpan 0 minggu, 1 minggu dan 2 minggu. Data umur kecambah 4 dan 7
hari menunjukkan bahwa terjadi penurunan daya kecambah seiring dengan makin
lamanya benih disimpan (P<0.05). Pada umur kecambah 4 dan 7 hari, daya
kecambah tertinggi mencapai 24,3% terjadi pada saat benih tidak disimpan sama
sekali (periode 0 minggu). Hasil ini sangat berbeda nyata dengan benih yang
disimpan baik selama 1 minggu maupun 2 minggu (P<0.05). Hal ini sependapat
22
dengan Justice dan Bass (2002) yang mengatakan bahwa daya kecambah benih
semakin menurun sejalan dengan bertambahnya umur simpan benih. Hal ini
disebabkan karena selama benih disimpan terjadi proses respirasi. Proses respirasi
membutuhkan energi sehingga semakin lama disimpan maka energi yang ada di
dalam embrio semakin sedikit. Keadaan ini membuat energi pada saat berkecambah
kurang sehingga terjadi penurunan daya kecambah. Semakin lama disimpan maka
umur benih akan semakin menua yang mengakibatkan benih perlahan-lahan
kehilangan ketahanan sehingga pada masa perkecambahan benih tidak tumbuh dan
mati.
Interaksi antara taraf penginjeksian CO2 dengan lama penyimpanan terjadi
pada umur kecambah 14 hari. Pengaruh interaksi dari masing-masing perlakuan
dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Interaksi antara Penginjeksian CO2 dan Periode Penyimpanan pada
Umur Kecambah 14 Hari terhadap Daya Kecambah Benih (%)
Kadar CO2 Waktu Penyimpanan (minggu)
0 1 2 0% 25.5±5.3bc 16.0±5.9cd 8.5±3e 10% 36.0±3.7a 15.0±5.3cde 10.0±4.3de 20% 22.5±4.7bc 13.5±6.8de 10.0±3.3de 30% 30.0±3.7ab 14.5±5de 17.0±4.2cd Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.
Uji interaksi pada tabel diatas memperlihatkan bahwa daya kecambah yang
tinggi terjadi apabila benih tidak disimpan sama sekali. Daya kecambah tertinggi
terjadi pada saat benih diinjeksi dengan taraf CO2 10% diikuti taraf 30% dengan
masing-masing 36% dan 30%. Hasil ini sangat berbeda nyata dengan penginjeksian
CO2 dengan taraf 0% dan 20% yang menghasilkan daya kecambah lebih rendah
(P<0.05). Pada saat benih disimpan selama seminggu, terlihat bahwa daya kecambah
tertinggi terdapat pada saat benih tidak diinjeksi dengan CO2. Penginjeksian CO2
justru mengakibatkan penurunan daya kecambah. Pengaruh penginjeksian CO2
justru semakin terlihat ketika dilakukan penyimpanan selama 2 minggu.
Penginjeksian dengan taraf 10%-30% menghasilkan daya kecambah lebih tinggi
dibandingkan dengan tanpa injeksi pada umur simpan 2 minggu. Penginjeksian CO2
masing-masing 10%, 20% dan 30% tidak berpengaruh nyata terhadap daya
kecambah benih yang disimpan 2 minggu. Kemunduran daya kecambah yang terjadi
23
dari minggu ke minggu melambat apabila diinjeksi dengan kadar 30%. Benih yang
tidak diinjeksi CO2 mengalami kemunduran yang cepat. Sehingga apabila kita ingin
menyimpan benih selama 2 minggu, maka penginjeksian CO2 dengan kadar 30%
memiliki kecenderungan lebih mampu mempertahankan daya kecambah benih
daripada pemberian dengan kadar lain. Semakin lama benih disimpan maka daya
kecambah semakin rendah seperti yang terdapat pada data periode penyimpanan 1
dan 2 minggu (P<0.05) sehingga pernyataan Justice dan Bass (2002) yang
menyatakan bahwa daya kecambah benih semakin menurun sejalan dengan
bertambahnya umur simpan benih masih berlaku walaupun terjadi interaksi.
Hubungan antar taraf penginjeksian CO2 terhadap daya kecambah benih
berdasarkan periode simpan pada umur kecambah 14 hari menampilkan persamaan
dalam bentuk linear. Hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 3. Hubungan antara penginjeksian CO2 ( = 0%, = 10%, =20%, X =
30%) terhadap daya kecambah benih berdasarkan periode simpan pada umur kecambah 14 hari.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa ada interaksi antara taraf CO2
(Penginjeksian CO2) dan waktu penyimpanan (periode simpan) terhadap daya
kecambah benih pada umur kecambah 14 hari. Nilai R2 yang dicapai pada taraf 0%
adalah 0,995 (99,5%) dengan persamaan Y= -8,5x + 25,16. Nilai R2 yang dicapai
pada taraf 10% adalah 0,887 (88,7%) dengan persamaan Y= -13x + 33,33. Nilai R2
yang dicapai pada taraf 20% adalah 0,939 (93,9%) dengan persamaan Y= -6,25x +
21,58. Nilai R2 yang dicapai pada taraf 30% adalah 0,610 (61%) dengan persamaan
Y= -6,5x + 27. Hal ini berarti apabila benih tidak disimpan sama sekali maka
24
menghasilkan daya kecambah sebesar 25,16% untuk taraf 0% CO2, 33,33% untuk
taraf 10% CO2, 21,58% untuk taraf 20% CO2 dan 27% untuk taraf 30% CO2. Setiap
penambahan waktu simpan selama 1 minggu akan menghasilkan penurunan daya
kecambah sebesar 8,5% untuk taraf 0% CO2, 13% untuk taraf 10% CO2, 6,25%
untuk taraf 20% CO2 dan 6,5% untuk taraf 30% CO2. Sehingga penginjeksian terbaik
berdasarkan daya kecambah awal yang tinggi dan penurunan daya kecambah
terendah adalah pada penginjeksian CO2 sebesar 30%.
Infeksi Cendawan
Benih yang baik untuk disimpan adalah benih yang sudah masak , berukuran
dan berbentuk baik, serta tak ada luka mekanis dan mikroorganisme penyimpanan.
Penularan penyakit melalui benih yang hingga sekarang paling banyak diketahui
disebabkan oleh cendawan. Bagian-bagian dari cendawan tersebut seperti spora atau
miselium dapat berada pada permukaan benih ataupun jaringan benih sebagai resting
mycelium. Sklerotia cendawan dapat tercampur dengan benih dan dapat mengganti
isi benih tersebut menjadi benih yang mengandung cendawan (Warnockd, 1971) .
Benih yang belum masak komposisi kimiawinya belum seimbang sehingga mudah
dimasuki mikroorganisme dan cendawan penyimpanan yang membuat benih tidak
akan bertahan selama penyimpanan (Pollock, 1961). Pada saat benih dikecambahkan,
cendawan tumbuh pada benih yang kurang mampu untuk bertahan hidup. Cendawan
tersebut umumnya muncul karena kelembaban dan kadar air di media
perkecambahan tinggi (Nurdin, 2003).
Pengamatan terhadap benih yang diinfeksi cendawan dilakukan tiga kali
masing-masing pada umur kecambah 4, 7 dan 14 hari. Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa pada saat umur kecambah 4, 7 dan 14 hari, taraf CO2
(penginjeksian CO2) memberikan pengaruh tidak berbeda nyata dan waktu
penyimpanan (lama penyimpanan) memberikan pengaruh nyata dan interaksi
keduanya tidak memberikan pengaruh nyata (P<0,05).
Uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa taraf injeksi CO2 tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap benih yang terinfeksi cendawan (P<0,05). Pada Tabel 5
terlihat bahwa pemberian CO2 dengan kadar 30% lebih mampu mengurangi infeksi
cendawan pada benih daripada pemberian dengan kadar lain walaupun hasil uji
Duncan memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini dapat dilihat pada
25
penginjeksian dengan kadar 30% yang mana rata-rata persentase benih yang
terinfeksi cendawan lebih rendah dibanding perlakuan yang lain baik pada umur
kecambah 4, 7 dan 14 hari. Superskrip menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
dikarenakan standar deviasi yang tinggi sehingga tidak ada pembatas yang jelas
antara pengaruh penginjeksian CO2 dengan taraf yang berbeda-beda. Banyak
pengamatan telah menunjukkan bahwa konsentrasi CO2 yang tepat, dapat
menghambat perkecambahan dan pertumbuhan beberapa jenis cendawan yang
menyerang. Hal ini disebabkan karena pemberian gas CO2 pada suatu media
penyimpanan membuat kadar oksigen berkurang sehingga dapat mengurangi proses
pertumbuhan cendawan dan mikroorganisme lain yang juga membutuhkan oksigen
dalam kelangsungan hidupnya (Muchtadi, 1992). Tabel 5. Pengaruh Penginjeksian CO2 dan Periode Simpan terhadap Benih
Terinfeksi Cendawan
Perlakuan Umur Kecambah (hari)
4 7 14 Infeksi Cendawan (%)
Kadar CO2 0% 24.2±21.5a 28.2±22.0a 30.8±24.0a 10% 26.2±22.0a 28.8±23.5a 31.8±24.0a 20% 25.2±22.3a 28.8±23.2a 31.5±23.2a 30% 16.2±18.9a 18.5±19.4a 23.3±20.6a Periode
0 minggu 1.4±1.6c 2.1±2.1c 4±2.5c 1 minggu 27.1±20.9b 31.6±20.1b 34.6±18.8b 2 minggu 40.3±9.9a 44.1±9.3a 49.5±9.0a Ket. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada uji Duncan taraf 5%.
Pengaruh dari periode penyimpanan terhadap pertumbuhan cendawan sangat
nyata saat kecambah berumur 4, 7 dan 14 hari. Pengamatan dari tabel 7 menunjukkan
bahwa semakin lama disimpan, maka benih yang diserang oleh cendawan semakin
banyak. Persentase cendawan tertinggi terdapat pada umur kecambah 14 hari dengan
waktu simpan 2 minggu yang mencapai 49.5%. Angka ini sangat berbeda dengan
benih yang tanpa disimpan dan benih yang disimpan selama 1 minggu. Hal yang
sama terjadi pada saat umur kecambah 4 dan 7 hari yang mana persentase cendawan
tertinggi terjadi apabila kita menyimpan benih selama 2 minggu (P<0.05). Dalam hal
26
ini, benih yang tidak mengalami masa penyimpanan memberikan hasil yang lebih
baik daripada benih yang disimpan dalam hal penekanan pertumbuhan cendawan.
Cendawan yang terbawa oleh benih dapat bertahan lama selama proses penyimpanan
(Sugiharso et al., 1980). Cendawan yang menyerang semakin banyak seiring dengan
semakin lamanya penyimpanan dikarenakan karena vigor benih sebelum
penyimpanan lebih tinggi dibanding benih yang yang sudah disimpan. Hal ini
sependapat dengan pernyataan Moore (1955) bahwa puncak dari vigor kehidupan
benih dicapai sewaktu benihnya masak. Namun setelah masak, vigornya semakin
berkurang karena benih mengalami proses penuaan. Akibatnya, ketahanan benih
berkurang dan gampang diserang cendawan.
Tinggi Hopokotil
Hipokotil adalah semai antara batang dan akar yang akan menjadi calon
batang. Struktur kecambah yang umum diamati yaitu tinggi hipokotil (Suita, 2008).
Semakin tinggi vigor maka kekuatan perkecambahan menjadi lebih baik. Tinggi
hipokotil kecambah dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan sejak benih
dikecambahkan. Semakin lama benih berkecambah mengindikasikan bahwa vigor
benih semakin berkurang sehingga kecambah pendek, ukuran daun kecambah kecil,
hipokotilnya pendek dan volume akar kecil (Ardian, 2008).
Pengamatan terhadap tinggi hipokotil dilakukan tiga kali masing-masing pada
umur kecambah 4, 7 dan 14 hari. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
pada saat umur kecambah 4 hari, taraf CO2 memberikan pengaruh nyata, waktu
penyimpanan memberikan pengaruh nyata dan interaksi keduanya tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap tinggi hipokotil (P<0,05). Pada umur kecambah 7 hari, taraf
CO2) memberikan pengaruh tidak berbeda nyata, waktu penyimpanan (lama
penyimpanan) memberikan pengaruh nyata dan interaksi keduanya tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi hipokotil (P<0,05). Hasil yang berbeda
ditunjukkan pada saat umur kecambah 14 hari yaitu taraf CO2 (penginjeksian CO2)
memberikan pengaruh tidak berbeda nyata, waktu penyimpanan (lama penyimpanan)
dan interaksi keduanya memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi hipokotil
(P<0,05).
27
Gambar dibawah menunjukkan perbandingan antara tinggi kecambah pada
saat umur kecambah berusia 4, 7 dan 14 hari. Pada saat umur kecambah 14 hari
terlihat bahwa kotiledon dari kecambah mulai hijau yang menandakan terbentuknya
daun. Pada saat itu kecambah sudah layak dipindahkan ke lapang untuk ditanam.
(a) (b) (c)
Gambar 4. Perbandingan tinggi kecambah umur 4 hari (a), 7 hari (b) dan 14 hari (c). Uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa pengaruh taraf penginjeksian CO2
tidak terlihat berpengaruh nyata pada tinggi hipokotil kecambah kecuali pada kadar
30% umur kecambah 4 hari. Tabel 6. Pengaruh Penginjeksian CO2 dan Periode Simpan terhadap Tinggi
Hipokotil Kecambah
Perlakuan Umur Kecambah (hari)
4 7 Tinggi Hipokotil (cm)
Kadar CO2 0% 0.7±0.2b 2.2±1.2a
10% 0.7±0.2b 1.8±0.9a 20% 0.7±0.2b 1.9±1.4a 30% 0.9±0.3a 1.6±0.8a Periode
0 minggu 0.9±0.2a 0.9±0.2c 1 minggu 0.7±0.2b 2.1±0.5b 2 minggu 0.7±0.2b 2.7±1.2a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%. Tanda * menandakan terjadi interaksi (P<0.05) antara taraf CO2 dan waktu penyimpanan.
Pada umur 4 hari, panjang kecambah pada kadar CO2 30% lebih baik
daripada tinggi hipokotil yang lainnya. Hal ini disebabkan karena proses
pertumbuhan kecambah lebih cepat sehingga pada saat pengamatan terlihat jelas
28
bahwa rata-rata tinggi hipokotil kecambah lebih baik (P<0.05). Namun hal tersebut
tidak dilanjutkan pada saat umur benih 7 dan 14 hari karena rata-rata tinggi hipokotil
tidak berbeda nyata dengan kadar CO2 yang lain. Penginjeksian CO2 tidak
mempengaruhi tinggi hipokotil karena tingginya tidak berbeda nyata dengan benih
yang tidak diinjeksi dengan CO2.
Pengaruh yang sangat nyata terlihat pada pengaruh periode penyimpanan
benih terhadap tinggi hipokotil kecambah (P<0.05) seperti yang terlihat pada Tabel
6. Untuk umur kecambah hari ke-14 dibahas secara terpisah karena ada interaksi
terhadap tinggi hipokotil antara penginjeksian CO2 dengan lama penyimpanan. Hasil
yang terlihat pada benih yang tidak disimpan (periode 0 minggu) memperlihatkan
bahwa pada awal perkecambahan yaitu umur 4 hari, terlihat tingginya lebih baik
dibanding dengan periode penyimpanan 1 dan 2 minggu. Memasuki umur kecambah
hari ke 7, tingginya malah lebih rendah dibanding dengan benih yang mengalami
masa penyimpanan. Hal yang berkebalikan dilihat pada benih yang disimpan selama
1 dan 2 minggu (P<0.05). Tinggi pada saat kecambah berumur 7 hari dari benih yang
disimpan lebih baik dibanding dengan benih yang tidak disimpan. Terlihat bahwa
kecepatan awal pertumbuhan benih yang disimpan lebih baik daripada benih yang
tidak disimpan. Hasil ini tidak sesuai dengan pendapat Harjadi (1979) yang
menyatakan bahwa kecepatan tumbuh benih dapat pula menjadi petunjuk perbedaan
kekuatan tumbuh. Benih yang tumbuh duluan menandakan vigor yang lebih bagus
sehingga dalam masa pertumbuhan kecambah akan lebih baik. Hal ini berkorelasi
positif dengan tinggi hipokotil. Kesalahan mungkin terjadi karena keragaman pada
penelitian tentang benih tinggi.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara penginjeksian
CO2 dengan periode penyimpanan terhadap tinggi hipokotil kecambah yang terjadi
pada saat kecambah berusia 14 hari. Berdasarkan uji Duncan, kombinasi perlakuan
terbaik terdapat pada kadar CO2 30% dengan lama waktu simpan 0 minggu dengan
rata-rata panjang adalah 4,2 cm. Benih yang tidak disimpan memiliki tinggi hipokotil
kecambah yang lebih baik dibanding dengan benih yang disimpan pada kadar CO2
0%, 10%, 20% maupun 30%. Hipokotil tertinggi didapat pada saat penginjeksian
CO2 dengan taraf 30%.
29
Tabel 7. Interaksi antara Penginjeksian CO2 dan Periode Penyimpanan pada Umur Kecambah 14 Hari terhadap Tinggi Hipokotil (cm)
Kadar Periode Penyimpanan CO2 0 minggu 1 minggu 2 minggu 0% 3.7±0.6ab 3.8±0.5ab 3.1±0.4bcd 10% 3.7±0.2ab 2.7±0.5d 2.8±0.4cd 20% 3.7±0.7abc 3.5±0.7abcd 3.0±0.5bcd 30% 4.2±0.6a 2.7±0.9d 3.6±0.3abc Keterangan. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.
Pada penyimpanan benih selama seminggu terlihat bahwa benih yang tidak
diinjeksi dengan CO2 memberikan tinggi hipokotil yang lebih baik dan pada
penyimpanan 2 minggu penginjeksian dengan kadar 30% menghasilkan hipokotil
yang tinggi. Sehingga didapat bahwa pada umur kecambah hari ke 14, kombinasi
yang terbaik adalah benih yang diinjeksi CO2 dengan kadar 30% tanpa mengalami
masa penyimpanan. Pengaruh karbon dioksida signifikan terhadap tinggi hipokotil
kecambah apabila benih tersebut tidak disimpan.
Hubungan antar taraf penginjeksian CO2 terhadap panjang kecambah benih
berdasarkan periode simpan pada saat kecambah berusia 14 hari menampilkan
persamaan dalam bentuk linear. Hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar
dibawah.
Gambar 5. Hubungan antara penginjeksian CO2 ( = 0%, = 10%, =20%, X =
30%) terhadap panjang kecambah berdasarkan periode simpan pada umur kecambah 14 hari.
30
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa ada interaksi antara taraf CO2
(Penginjeksian CO2) dan waktu penyimpanan (periode simpan) terhadap panjang
kecambah benih pada umur kecambah 14 hari. Nilai R2 yang dicapai pada taraf 0%
adalah 0,592 (59,2%) dengan persamaan Y= -0,249x + 3,822. Nilai R2 yang dicapai
pada taraf 10% adalah 0,637 (63,7%) dengan persamaan Y= -0,412x + 3,490. Nilai
R2 yang dicapai pada taraf 20% adalah 0,919 (91,9%) dengan persamaan Y= -0,329
+ 3,718. Nilai R2 yang dicapai pada taraf 30% adalah 0,161 (16,6%) dengan
persamaan Y= -0,295x + 3,760. Hal ini berarti apabila benih tidak disimpan sama
sekali maka menghasilkan tinggi hipokotil sebesar 3,822 cm untuk taraf 0% CO2,
3,490 cm untuk taraf 10% CO2, 3,718 cm untuk taraf 20% CO2 dan 3,760 cm untuk
taraf 30% CO2. Setiap penambahan waktu simpan selama 1 minggu akan
menghasilkan penurunan tinggi hipokotil sebesar 0,249 cm untuk taraf 0% CO2,
0,412 cm untuk taraf 10% CO2, 0,329 cm untuk taraf 20% CO2 dan 0,295 cm untuk
taraf 30% CO2. Berdasarkan tinggi hipokotil awal dan penurunan tinggi hipokotil
setelah disimpan, benih yang tanpa diinjeksi CO2 menghasilkan tinggi hipokotil yang
bagus diikuti oleh pemberian dengan kadar 30%.
31
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian karbon dioksida kadar 30% dapat mempertahankan daya
kecambah walaupun mengalami penyimpanan selama 2 minggu, memperkecil
infeksi cendawan dan memperbaiki tinggi hipokotil. Semakin lama disimpan, maka
daya kecambah benih semakin menurun dan benih yang terinfeksi cendawan
semakin banyak.
Saran
Penelitian tentang penyimpanan benih Indigofera sp. dengan penginjeksian
CO2 dan lama penyimpanan 0, 1 dan 2 minggu perlu banyak perbaikan. Usaha-usaha
yang sebaiknya dilakukan dalam hal meminimalisir kesalahan-kesalahan dalam
melaksanakan metode penyimpanan tertutup yang menyebabkan viabilitas benih
sangat rendah antara lain:
1. Kondisi benih awal yang buruk karena sudah diserang cendawan sebaiknya
diantisipasi dengan pemberian fungisida baik pada tanaman induk dan benih.
2. Kemurnian CO2 yang diinjeksi tidak diketahui. Penginjeksian dengan kemurnian
CO2 100% lebih baik dalam menghambat aktivitas cendawan.
3. Media penyimpanan yang digunakan adalah wadah plastik yang masih sangat
rentan terhadap kebocoran. Media penyimpanan yang baik terbuat dari aluminium
foil.
4. Aktivitas air (Aw) benih perlu diketahui agar dapat mengantisipasi serangan
cendawan.
32
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena atas berkat dan kuasa-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Rasa
syukur disampaikan karena dalam penyusunan skripsi ini, penulis dapat
menyelesaikannya tepat waktu sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Luki Abdullah,
M.Sc.Agr dan Bapak Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan, selaku dosen
pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan arahan
serta bimbingan kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan
skripsi ini.
Terima kasih buat Ayahanda Ramindin Girsang dan Ibunda Elly Party
Saragih atas segala doa, dukungan dan semangat kepada penulis dalam pengerjaan
skripsi ini. Adik-adik yang selalu memberi dukungan dalam penyusunan skripsi ini.
Tidak lupa kepada teman-teman INTP 44, adek kelas INTP 45 dan INTP 46 yang
sudah memberi saran dan dukungan kepada penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah menjadi
bagian dari perjalanan selama jadi mahasiswa Fakultas Peternakan, IPB atas segala
dukungan dan sarannya. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi dunia
peternakan khususnya dan pembaca pada umumnya. Salam Peternakan “AHOOY...”
33
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, L. & Suharlina. 2010. Herbage yield and quality of two vegetative parts of Indigofera at different time of first regrowth defoliation. Med.Pet. 33:44-49.
Ardian. 2008. Pengaruh Perlakuan Suhu dan Waktu Pemanasan Benih terhadap
Perkecambahan Kopi Arabika (Coffeaarabica). http://bdpunib.org/akta/ artikelakta/2008/25.pdf
Djam’an, D. F., D. Priadi & E. Sudarmanowati. 2006. Penyimpanan Benih Damar (Agathis damara Salisb.) dalam Nitrogen Cair.
[14 Mei 2011]. Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Baker, F. S. 1950. Principle of Silviculture. McGraw-Hill Book Company, inc. New
York.
Bousquet, P., P. Ciais, P. Peylin, M. Ramonet & P. Monfray. 1999. Inverse modeling of annual atmospheric CO2 sources and sinks 1. Method and control inversion. Journal of Geophysical Research-Atmospheres, 104: 26161-26178.
Boyd, A. H. & J. C. Deluouche. 1990. Seed Drying Principle. Selected Article on
Seed Drying. Seed Tech. Laboratory. Missisipi State University, Missisipi. Chai, J., R. Ma, L. Li & Y. Du. 1998. Optimum moisture contents of seeds stored at
ambient temperatures. Journal of Seed Science Research Supplement 1: 23-28.
www.unsjournals.com/D/ D0702/D070215.pdf
Drake, B. G., M. A. Gonzalez-Meler & S.P. Long. 1997. More efficient plants: a consequence of rising atmospheric CO2? Annual Review of Plant Physiology and Plant Molecular Biology, 48: 609-639.
Enfors, S. O., and Molin, G., 1978. The influence of high concentrations of carbon
dioxide on the germination of bacterial spores. J. Appl. Bacteriol. 45: 279-285.
Eaves, C. A. 1960. A modified-atmosphere system for packages of stored fruit. J.
Hort. Sci. 35(2) :110-117. Farber, J. M., 1991. Microbiological aspects of modified atmosphere packaging. J.
Food Prot. 54:58-70.
Graver, J. S. 2004. Storage Grain Research. CSIRO Laboratory in Australia.
Halloin, J. M. 1986. Microorganism and seed deterioration. J. Crop Sci. 11: 89-99.
Harjadi, S. S., 2005. Pengantar Agronomi. Gramedia, Jakarta.
Harrington, J. F. 1972. Seed Storage and Longevity. In: Seed Biology. Ed. T. T. Kozlowski, Volume III. Academic Press, New York & London.
Hassen, A., N. F. G. Rethman & Z. Apostolides. 2006. Morphological and
agronomic characteristic of Indigofera species using multivariate analysis. J. Tropical Grassland. 40: 45-59.
[4 Desember 2009].
Comment [F1]: Singkatan nama setelah atau sebelum nama panjangnya?
34
Hassen A., N. F. G. Rethman, V. Niekerk & T. J. Tjelele. 2007. Influence of season/year and species on chemical composition and in vitro digestibility of five indigofera accessions. J. Anim. Feed Sci. Technology 136: 312-322.
Hendarto K. 1996. Dasar-Dasar Teknologi, Produksi dan Sertifikasi Benih. Andi,
Yogyakarta. Hor, Y. L., H. F. Chin & M. Z. Karim. 1984. The effect of seed moisture and storage
temperature on the storability of cocoa (Theohroma cacao L.) seeds. Seed Sci. and Technol. 12(2): 415-420.
Jayas D. S. & S. Jeyamkondan. 2002. Modified atmosphere storage of grain meats
fruits and vegetables. J. Biosystems Engineering, 82(3), 235-251.
Justice, O. L.. & L. N. Bass. 1990. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. Rajawali Press, Jakarta.
Justice, O. L.. & L. N. Bass. 1994. Prinsip Praktek Penyimpanan Benih. Terjemahan:
Rennic. Rajawali Press, Jakarta. Justice, O. L.. & L. N. Bass,. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih
(diterjemahkan dari: Principles and Practices of Seed Storage, penerjemah: Rennie Roesli). Rajawali Press, Jakarta.
Kamil, J. 1982. Teknologi Benih. Penerbit Angkasa, Bandung.
Kamil, J. 1986. Tekhnologi Benih 1. Angkasa Raya, Padang.
Kartasapoetra, A. G. 2003. Teknologi Benih. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Kartika, E. & S. Ilyas. 1994. Pengaruh tingkat kemasakan benih dan metode
konservasi terhadap vigor benih dan vigor kacang jogo. Med. Agro. 22(2):44-59.
Kartono. 2004. Teknik Penyimpanan Benih Kedelai Varietas Wilis pada Kadar Air
dan Suhu Penyimpanan yang Berbeda. BBPPBSGP, Bogor. Kramer, P. J. & T. T. Kozlowski. 1979. Physiology of Woody Plants, dalam
Pengaruh Perbedaan Naungan Terhadap Pertumbuhan Semai Shorea sp di Persemaian, Irwanto. 2006. Tesis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kuswanto, H. 1997. Analisis Benih. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Moore, R. P. 1955. Live alone is not enough-How alive are Seeds? Seedmen’s Digest
6 (9): 12-13,37.
Muchtadi, D. 1992. Petunjuk Laboratoriun Teknologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-Buahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nurdin, M. 2003. Inventarisasi Beberapa Mikroorganisme Terbawa Benih Padi dari
Kabupaten Tanggamus, Lampung. J. Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika 2: 47-50.
Pollock, B. M. 1961. The Effects of Production Practices on Seeds Quality. Seed World 89 (5): 6, 8, 10.
35
Robi’in. 2007. Perbedaan Bahan Kemasan dan Periode Simpan dan Pengaruhnya Terhadap Kadar Air Benih Jagung dalam Ruang Simpan Terbuka. www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/bt121073.pdf
Schrire. 2005
[12 Desember 2009]. Sadjad, S. 1993. Dari Benih kepada Benih. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta. Sadjad, S. 1972. Kertas merang untuk uji viabilitas benih di Indonesia. Disertasi
Doktor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
. Tribe Indigofereae. In: G. Lewis, B. Schrire, B. Mackinder and M. Lock, Editors, Legumes of the World, Royal Botanic Gardens. Halm. 361–366.
Scott, K. J., E. G. Hall, E. A. Roberts & R. B. Wills. 1964. Some effects of the
composition of the storage atmosphere on the behavior of apples stored in polyethylene film bags. J. Expt. Agr. & Animal Husbandry 4:253-259.
Siregar, S. T. 2000. Penyimpanan Benih (Pengemasan dan Penyimpanan Benih).
Balai Perbenihan Tanaman Hutan Palembang. Palembang. Sugiharso, R. Suseno & J. Sutakaria. 1980. Penuntun Praktikum Ilmu Penyakit
Tumbuhan II. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sukarman & M. Hasanah. 2003. Perbaikan Mutu Benih Aneka Tanaman Perkebunan
Melalui Cara Panen dan Penanganan Benih. J. Litbang Pertanian 22:1. Suita, E. 2008. Pengaruh Ruang, Media, dan Periode Simpan terhadap
Perkecambahan Benih Kemenyan (Styrax benzoin Dryand). J. Hutan Tanaman. 5(1): 45-52.
Sutopo, L. 1984. Teknologi Benih. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sutopo, L. 1988. Teknologi Benih. Rajawali Press, Jakarta.
Sutopo, L. 2004. Teknologi Benih. Edisi Revisi. PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Tatipata, A., P. Yudono, A. Purwantoro, & W. Mangoendidjojo. 2004. Kajian Aspek
Fisiologi dan Biokimia Deteriorasi Benih Kedelai dalam Penyimpanan. http://agrisci.ugm.ac.id/vol11_2/no8_detkdlai.pdf November 2011].
Tjelele, T. J. 2006. Dry Matter Production, Intake and Nutritive Value of Certain
Indigofera Species [Tesis]. Pretoria. M.Inst. Agrar. University of Pretoria.
[17
Utomo, B. 2006. Karya Ilmiah Ekologi Benih. http://library.usu.ac.id/ download/fp/06006997.pdf [12 Desember 2011].
Warnockd, W. 1971. Assay of fungal mycelium in grains of barley, including the use
of the fluorescent antibody technique for individual fungal species. Journal of General Microbiology 67: 197-205.
Welbaum, G. E. & K. J. Bradford. 1991. Water relation of seed development and
germination in muskmelon (Cucumis melo L.). IV. Influence of priming on germination responses to temperature and water potential during seed development. J. Exp. Bot., 42(3):393-399.
38
Lampiran 1. ANOVA dan Uji Duncan Daya Kecambah Benih Umur 4 Hari.
ANOVA Daya Kecambah Benih Umur 4 Hari
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01 A 3 56.25 18.75 0.830258 2.8662656 4.377096 tn
B 2 1012.5 506.25 22.41697 3.2594463 5.247894 ** A*B 6 163.5 27.25 1.206642 2.363751 3.350677 tn Galat 36 813 22.58333
Total 47 2045.25 Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah
Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)
F0,01 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) A = penginjeksian CO2
B = periode penyimpanan
Uji lanjut menggunakan DMRT (α = 0,05) Pengaruh Periode Simpan terhadap Daya Kecambah Benih Umur 4 Hari
Minggu Rata-rata (%) 3.408 (R2) 3.582 (R3)
2 6.75 10.158
c 1 12.375
15.957 b
0 18
a Keterangan: R2, R3 = nilai DMRT pada taraf 5%
Lampiran 2. ANOVA dan Uji Duncan Daya Kecambah Benih Umur 7 Hari.
ANOVA Daya Kecambah Benih Umur 7 Hari
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01 A 3 121.667 40.555556 1.91 2.86627 4.3771 tn B 2 1874.67 937.333333 44.17 3.25945 5.24789 **
A*B 6 159.333 26.555556 1.25 2.36375 3.35068 tn Galat 36 764 21.222222
Total 47 2919.67
Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah
Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)
F0,01 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) A = penginjeksian CO2
B = periode penyimpanan Uji lanjut menggunakan DMRT (α = 0,05)
Pengaruh Periode Simpan terhadap Daya Kecambah Benih Umur 4 Hari
Minggu Rata-rata (%) 3.303 (R2) 3.473 (R3) 2 9.75 13.053 b 1 12.75
16.223 b
0 24.25 a Keterangan: R2, R3 = nilai DMRT pada taraf 5%
39
Lampiran 3. ANOVA dan Uji Duncan Daya Kecambah Benih Umur 14 Hari.
ANOVA Daya Kecambah Benih Umur 14 Hari SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01 A 3 244.91667 81.63889 3.68 2.86627 4.3771 * B 2 2633.1667 1316.583 59.32 3.25945 5.24789 **
A*B 6 356.83333 59.47222 2.68 2.36375 3.35068 * Galat 36 799 22.19444
Total 47 4033.9167
Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah
Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)
F0,01 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) A = penginjeksian CO2
B = periode penyimpanan
Uji lanjut menggunakan DMRT (α = 0,05) Pengaruh Penginjeksian CO2 terhadap Daya Kecambah Benih Umur 14 Hari
Taraf Rata-rata
(%) 3.901 (R2) 4.101 (R3) 4.231 (R4)
20% 15.333 19.234
b 0% 16.667
20.768
b a
10% 20.333
24.564
a 30% 20.5 a
Keterangan: R2, R3, R4 = nilai DMRT pada taraf 5%
Pengaruh Periode Simpan terhadap Daya Kecambah Benih Umur 14 Hari Minggu Rata-rata (%) 3.378 (R2) 3.551 (R3)
2 11.375 14.753 b 1 14.75
18.301 b
0 28.5 a Keterangan: R2, R3 = nilai DMRT pada taraf 5%
Pengaruh Interaksi Penginjeksian CO2 dan Periode Simpan terhadap Daya Kecambah
Benih Umur 14 Hari Taraf CO2 Periode Simpan
Nilai DMRT Rata-Rata
(%) (minggu) Rata-rata 5% + DMRT 0 2 8.5 6.756 15.256 e
10 2 10 7.103 17.103 e d 20 2 10 7.328 17.328 e d 20 1 13.5 7.491 20.991 e d 30 1 14.5 7.614 22.114 e d 10 1 15 7.712 22.712 e d c
0 1 16 7.791 23.791
d c 30 2 17 7.856 24.856
d c
20 0 22.5 7.91 30.41
c b 0 0 22.5 7.957 30.457
c b
30 0 30 7.996 37.996
b a 10 0 36
a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.
40
Lampiran 4. ANOVA dan Uji Duncan Persen Infeksi Cendawan Umur 4 Hari.
ANOVA Persen Infeksi Cendawan Umur 4 Hari SK Db JK KT Fhit F0,05 F0,01 A 3 753 251 1.58 2.86627 4.3771 tn B 2 12515.17 6257.583 39.44 3.25945 5.24789 **
A*B 6 1595.5 265.9167 1.68 2.36375 3.35068 tn Galat 36 5712 158.6667
Total 47 20575.67
Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah
Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)
F0,01 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) A = penginjeksian CO2
B = periode penyimpanan
Uji lanjut menggunakan DMRT (α = 0,05) Pengaruh Periode Simpan terhadap Persen Infeksi Cendawan Umur 4 Hari
Minggu Rata-rata (%) 9.032 (R2) 9.495 (R3) 0 1.375 10.407 c 1 27.125
36.62 b
2 40.25 a Keterangan: R2, R3 = nilai DMRT pada taraf 5%
Lampiran 5. ANOVA dan Uji Duncan Persen Infeksi Cendawan Umur 7 Hari.
ANOVA Persen Infeksi Cendawan Umur 7 Hari SK Db JK KT Fhit F0,05 F0,01 A 3 892.9167 297.6389 2.1 2.86627 4.3771 tn B 2 14882.67 7441.333 52.58 3.25945 5.24789 **
A*B 6 1461.333 243.5556 1.72 2.36375 3.35068 tn Galat 36 5095 141.5278
Total 47 22331.92
Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah
Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)
F0,01 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) A = penginjeksian CO2
B = periode penyimpanan
Uji lanjut menggunakan DMRT (α = 0,05) Pengaruh Periode Simpan terhadap Persen Infeksi Cendawan Umur 7 Hari
Minggu Rata-rata (%) 8.530 (R2) 8.968 (R3) 0 2.125 10.655 c 1 31.625
40.593 b
2 44.125 a Keterangan: R2, R3 = nilai DMRT pada taraf 5%
41
Lampiran 6. ANOVA dan Uji Duncan Persen Infeksi Cendawan Umur 14 Hari.
ANOVA Persen Infeksi Cendawan Umur 14 Hari SK Db JK KT Fhit F0,05 F0,01 A 3 590.25 196.75 1.46 2.86627 4.3771 tn B 2 17223.5 8611.75 63.86 3.25945 5.24789 **
A*B 6 1132.5 188.75 1.4 2.36375 3.35068 tn Galat 36 4855 134.8611
Total 47 23801.25
Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah
Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)
F0,01 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) A = penginjeksian CO2
B = periode penyimpanan
Uji lanjut menggunakan DMRT (α = 0,05) Pengaruh Periode Simpan terhadap Persen Infeksi Cendawan Umur 14 Hari
Minggu Rata-rata (%) 8.327 (R2) 8.754 (R3) 0 4.000 12.407 c 1 34.625
43.379 b
2 49.500 a Keterangan: R2, R3 = nilai DMRT pada taraf 5%
Lampiran 7. ANOVA dan Uji Duncan Tinggi Hipokotil Kecambah Umur 4 Hari.
ANOVA Tinggi Hipokotil Kecambah Umur 4 Hari SK Db JK KT Fhit F0,05 F0,01 A 3 0.342 0.114 3.89 2.86627 4.3771 * B 2 0.358 0.179 6.09 3.25945 5.24789 **
A*B 6 0.365 0.061 2.07 2.36375 3.35068 tn Galat 36 1.056 0.029
Total 47 2.121
Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah
Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)
F0,01 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) A = penginjeksian CO2
B = periode penyimpanan
Uji lanjut menggunakan DMRT (α = 0,05)
Pengaruh Penginjeksian CO2 terhadap Tinggi Hipokotil Kecambah Benih Umur 4 Hari
Taraf Rata-rata (cm) 0.1418 (R2) 0.1491 (R3) 0.1538 (R4) 10% 0.669 0.8108
b
0% 0.675
0.8241
b 20% 0.680
0.8338 b
30% 0.869
a Keterangan: R2, R3, R4 = nilai DMRT pada taraf 5%
42
Pengaruh Periode Simpan terhadap Tinggi Hipokotil Kecambah Benih Umur 4 Hari Minggu Rata-rata (cm) 0.1228 (R2) 0.1291 (R3)
0 0.65923 0.78203 b 1 0.66545
0.79455 b
2 0.84536 a Keterangan: R2, R3 = nilai DMRT pada taraf 5%
Lampiran 8. ANOVA dan Uji Duncan Tinggi Hipokotil Kecambah Umur 7 Hari.
ANOVA Tinggi Hipokotil Kecambah Umur 7 Hari SK Db JK KT Fhit F0,05 F0,01 A 3 1.988473 0.662824 1.22 2.86627 4.3771 tn B 2 27.21078 13.60539 25.12 3.25945 5.24789 **
A*B 6 3.649 0.608167 1.12 2.36375 3.35068 tn Galat 36 19.50143 0.541706
Total 47 52.34969
Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah
Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)
F0,01 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) A = penginjeksian CO2
B = periode penyimpanan
Pengaruh Periode Simpan terhadap Tinggi Hipokotil Kecambah Benih Umur 7 Hari Minggu Rata-rata (cm) 0.5278 (R2) 0.5548 (R3)
0 0.8454 1.3732 c 1 2.0895
2.6443 b
2 2.6465 a Keterangan: R2, R3 = nilai DMRT pada taraf 5%
Lampiran 9. ANOVA dan Uji Duncan Tinggi Hipokotil Kecambah Umur 14 Hari.
ANOVA Tinggi Hipokotil Kecambah Umur 14 Hari
SK Db JK KT Fhit F0,05 F0,01 A 3 1.4338 0.4779 1.63 2.86627 4.3771 tn B 2 4.3749 2.1874 7.47 3.25945 5.24789 **
A*B 6 4.1990 0.6998 2.39 2.36375 3.35068 * Galat 36 10.5459 0.2929
Total 47 20.5538
Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah
Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)
F0,01 = hasil hitungan dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) A = penginjeksian CO2
B = periode penyimpanan
43
Pengaruh Periode Simpan terhadap Tinggi Hipokotil Kecambah Benih Umur 14 Hari Minggu Rata-rata (cm) 0.3881 (R2) 0.4080 (R3)
0 3.1243 3.5142 b 1 3.1795
3.5875 b
2 3.7906 a Keterangan: R2, R3 = nilai DMRT pada taraf 5%
Pengaruh Interaksi Penginjeksian CO2 dan Periode Simpan terhadap Tinggi
Hipokotil Kecambah Benih Umur 14 Hari Taraf CO2
Periode Simpan
Nilai DMRT Rata-Rata
(%) (minggu) Rata-rata 5% + DMRT 30 1 2.6879 0.7762 3.4641 d
10 1 2.7189 0.816 3.5349 d 10 2 2.8448 0.8419 3.6867 d c
20 2 3.0031 0.8606 3.8637 d c b 0 2 3.0917 0.8748 3.9665 d c b 20 1 3.5013 0.886 4.3873 d c b a
30 2 3.5578 0.895 4.4528
c b a 20 0 3.6625 0.9025 4.565
c b a
10 0 3.6697 0.9088 4.5785
b a 0 0 3.6811 0.9141 4.5952
b a
0 1 3.81 0.9186 4.7286
b a 30 0 4.1491 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.