MENGKAJI KEMBALI STASIUN RADIO SRV
(Jawaban atas Kritik Yampolsky dalam Disertasinya
di Washington University)
Hari Wiryawan1
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Surakarta
AbstractIn 2011, I published a history book of Indonesia broadcasting entitled Mangkunegoro VII dan Awal Penyiaran Indonesia (Mangkunegoro VII and the Early of Indonesia Broadcasting). It contains about history of the first radio station owned by native Indonesian namely Solosche Radio Vereeniging (SRV). Besides, it explains the role of SRV and Mangkunegoro VII in the developing of Eastern Radio in Indonesia between 1933 to 1942. Mangkunegoro VII dan Awal Penyiaran Indonesia (I make a simple "MN VII and API") is the second book about the history of broadcasting in Indonesia that is written comprehensively in Indonesian. The first book of the history of broadcasting in Indonesian published in 1953, entitled Sejarah Radio di Indonesia published by the Ministry of Information, Department of Radio Republik Indonesia (RRI). While for books written in a foreign language (English) about the history of broadcasting in Indonesia more numerous, both that is written comprehensively or written as the first part from Indonesia broadcasting book. The writers are Lent and Eapan (1978), Wild (1987), McDaniel (1994), Mrazek (1997), Lindsay (1997), Susumu (2006), and etc. In 2013, a dissertation from Washington University, United States, written by Yampolsky put forward a critique of the book "MN VII and API". The dissertation reviewed about the history of music in Indonesia in the period before World War II or in the final years of the colonial Dutch East Indies government in Indonesia.In that era, music started can be listened by new technology such as by using radio. Yampolsky explained about developing of music and radio in Indonesia such as discussing about one of the famous Eastern radio stations, it is Solosche Radio Vereeniging (SRV). Yampolsky criticized the book "MN VII and API" both in terms of contents, data sources and my perspective in viewing SRV. This paper intends to welcome and give positive response about the critics submitted by Yampolsky in his dissertation that is adressed to “MN VII and API” or addressed to me as a writer.Key words: Yampolsky, SRV, Mangkunegoro VII
1 Direktur Lembaga Pers dan Penyiaran Surakarta (LPPS)
Pada tahun 2011, saya menerbitkan buku sejarah penyiaran Indonesia
berjudul Mangkunegoro VII dan Awal Penyiaran Indonesia. Buku ini berisi
tentang sejarah lahirnya stasiun radio pertama milik bangsa Indonesia yang
bernama Solosche Radio Vereeniging (SRV). Selain itu juga menguraikan peran
SRV dan Mangkunegoro VII dalam perkembangan Radio Ketimuran (radio
Pribumi) di Indonesia antara tahun 1933 hingga 1942.2
Buku Mangkunegoro VII dan Awal Penyiaran Indonesia (saya singkat
“MN VII dan API”) adalah buku kedua tentang sejarah penyiaran di Indonesia
yang ditulis secara komprehensif dalam bahasa Indonesia. Buku pertama sejarah
penyiaran di Indonesia terbit tahun 1953 berjudul Sejarah Radio di Indonesia
yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan, Djawatan Radio Republik
Indonesia. Sementara untuk buku yang ditulis dalam bahasa asing (Inggris)
tentang sejarah penyiaran di Indonesia jumlahnya lebih banyak, baik yang ditulis
secara komprehensif maupun yang ditulis sebagai bagian awal dari buku tentang
penyiaran di Indonesia. Mereka yang menuliss itu antara lain adalah Lent dan
Eapan (1987), Wild (1987), Mc Daniel (1994), Mrazek (1997), Lindsay (1997),
Susumu (2006) dll.3
Pada tahun 2013, keluar sebuah disertasi dari Washington University,
Amerika Serikat tentang perkembangan musik di Indonesia yang ditulis Philip
Bradford Yampolsky. Disertasi ini menggunakan buku saya sebagai salah satu
rujukan. Yampolsky kemudian menyampaikan kritik atas buku “MN VII dan API”
baik dari sisi materi penulisan, sumber data dan cara pandang saya dalam melihat
SRV.4 2 Wiryawan, Hari, Mangkunegoro VII dan Awal Penyiaran Indonesia, LPPS, Surakarta, 20113 Eapan, K.E and John A Lent dalam Lent, John A, Broadcasting in Asia and the Pasifik, Heinemann Asia, Hongkong, 1978; Mc Daniel, Drew O, Broadcasting in Malay World, New Jersey, Ablex, 1994; Lindsay, Jennifer, Making Wave; Private Radio and Local Identities in Indonesia, Southeast Asia Program Publication at Cornell Univrsity, 1997; Mrazek, Rudolf, menulis “Let Us Become Radio Mechanics” pada tahun 1997 yang kemudian menjadi salah satu bab dalam bukunya Engineers of Happy Land: Technology and nationalism in a Colony, Princeton University Press, 2002 yang diterjemahkan dalam bhs Indonesia: Engineers of Happyland, Perkembangan Tekologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, Edisi I, Yayasan Obor, 2006. 4 Yampolsky, Philip Bradford, Music and Media in the Dutch East Indies: Gramophone Records and Radio in the Late Colonial Era, 1903-1942 University of Washington, (2013), (diambil dari https://digital.lib.washington.edu handle) Atas kritik yang disampaikan oleh Bapak Philips Bradford Yampolsky saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kritik beliau sangat penting bagi saya pribadi maupun untuk catatan sejarah penyiaran di Indonesia pada umumnya.
Tulisan ini bermaksud untuk menyambut baik dan memberikan respon
yang positif atas kritik yang disampaikan Yampolsky dalam disertasi tersebut
yang ditujukan kepada buku “MN VII dan API” maupun yang ditujukan kepada
saya selaku penulis.
Dari disertasinya, sejauh yang saya pahami dalam catatan kaki pada Bab 4,
yang berjudul “Music on Dutch East Indies Radio in 1938: Representations of
Unity, Disunity, and the Modern” Yampolsky mengatakan bahwa pendapat saya
(Wiryawan’s claims) bahwa tujuan siaran SRV tidak hanya untuk para pecinta
budaya Jawa tapi juga untuk pecinta budaya Ketimuran, dan oleh karena itu, SRV
menyiarkan ‘segala budaya Ketimuran’ untuk menunjukan bahwa bahwa isi siaran
SRV bersifat nasional dan berasas nasionalis adalah suatu hal yang tidak berdasar.
Menurut Yampolsky, pendapat saya bahwa SRV mengemban misi “nation
building” dengan memperkenalkan kebudayaan Timur secara luas adalah sesuatu
yang tidak berdasar. (hal 219)
Untuk memperkuat sanggahan atas pendapat saya, Yampolsky kemudian
mengajukan data berdasarkan penelitiannya atas siaran Netherlands Indische
Radio Oemroep Maschappij (NIROM) Programa Ketimuran selama tahun 1938.5
Menurut Yampolsky, tahun 1938 dipilih bukan karena tahun itu ada hal yang
khusus, melainkan karena data yang tersedia dan lengkap yang ia peroleh hanya
tahun 1938 tersebut. (hal 176).
Dari tabel yang berjudul “LIVE MUSIC BROADCASTS ON THE NIROM
OOSTERSCHE PROGRAMMA (Batavia/Bandung & Surabaya) AND THREE
PRIVATE KETIMURAN STATIONS (Batavia, Bandung, & Surakarta) FULL
YEAR 1938”, Yampolsky menunjukkan bahwa SRV hanya menyiarkan tiga jenis
kesenian Ketimuran yaitu siaran kesenian Bali 3 kali, musik Tionghwa 20 kali,
sementara musik gamelan Jawa Tengah sebanyak 663 kali. (hal 219-220)
Ucaapan terimakasih saya sampaikan Bapak Paulus Widiyanto, Anggota Komisi I DPR RI 1999-2004, Ketua Pansus UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran atas informasi awal mengenai hal ini, kepada Prof Dr Andrik Purwasito, Ketua Program Studi Hubungan Internasional, FISIP UNS atas saran dan masukannya, kepada Bapak Itong Widjanto, Kapala Stasiun radio Karavan, Solo atas koreksinya. 5 NIROM adalah stasiun radio milik pemerintah Hindia Belanda yang juga membuka saluran Ketimuran seperti halnya radio Ketimuran milik Pribumi.
Menurut Yampolsky, hal ini menunjukan bahwa pendapat saya yang
mengatakan bahwa SRV membawa misi pembangunan nasional (nation-building)
dengan memperkenalkan segala kebudayaan Ketimuran tidak memilik landasan.
“Incidentally, Table 4.5 undercuts Wiryawan’s claims (2011:139-143) that SRV
aimed not only at lovers of Javanese culture but at all who cared for “Eastern
culture” (budaya Ketimuran).... claims that it carried out a nation-building
mission to acknowledge “all Eastern arts” will not stand up,” kata Yampolsky.
(hal 220)
Yampolsky juga mengatakan bahwa tidak sependapat dengan saya
mengenai adanya dualisme penyiaran. Yampolsky menilai bahwa saya melihat
radio swasta (Ketimuran) memiliki motivasi ideologis dan komitmen
nasionalisme untuk menjaga budaya Timur dari racun (poison) Barat. Sementara
terhadapn NIROM, saya, menurut beliau, melihat radio Belanda ini bersifat
opurtunistik dengan meniru program dari radio swasta (Ketimuran) karena
motivasi politik dan komersial. (hal 182)
Yampolky menilai bahwa semua stasiun Ketimuran, termasuk NIROM
(Ketimuran), menyiarkan materi yang sama dan menggunakan format yang sama
juga. “...karena NIROM punya uang lebih banyak, alaat yang lebih baik, dan
jaringan yang lebih luas maka stasiun ini (NIROM) lebih baik dari stasiun stasiun
lainnya dalam menampilkan dan menghargai keragaman budaya Indonesia,” kata
Yampolsky. (hal 182)
Yang menarik, Yampolsky juga menilai bahwa saya berkeinginan kuat
untuk menjelek-jelakan/ membusukan (demonize) NIROM dan bersikap partisan.
Hal itu terjadi karena, menurut Beliau, saya kurang informasi dan tidak akurat.
“Wiryawan seems determined to demonize NIROM, and, partly because of this
bias and partly because of incomplete information, there are inaccuracies in his
treatment of several key topics,...” kata Yampolsky. (hal 182)
Hal lain yang dikemukakan oleh Yampolsky adalah masalah data radio
gelap di Mangkunegaran. Beliau mempertanyakan data yang saya gunakan
mengenai adanya sejumlah pesawat radio yang tidak memiliki izin di istana
Mangkunegaran.
Yampolsky menilai bahwa hal itu (pesawat radio gelap) sesuatu yang
janggal. Kata belaiu, “...Wiryawan says there were nine radio receivers in the
Mangkunegaran palace compound in May 1941 (2011:84); later (207) he says
that they were all unlicensed, but he does not say how he (or Sulaksono?) knows
this. It seems a strange thing to note in a document, that the nine palace radios
were illegal”. (hal 190)
Perumusan Masalah
Dari uraian di atas saya mencoba merangkum pendapat Yampolsky yang di
sajikan dalam catatan kaki disertasi itu. Rangkuman ini sebagai permasalahan
yang akan dibahas dalam tulisan ini:
1. Sejauhmana SRV memberikan porsi terhadap siaran kesenian/ kebudayaan
Ketimuran dan siaran kesenian/ kebudayaan Jawa?
2. Apakah data yang saya gunakan untuk menulis buku MN VII dan API kurang
lengkap dan tidak akurat?
3. Benarkah saya menulis sesuatu yang salah dan ganjil tentang adanya pesawat
radio penerima di Istana Mangkunegaran yang tidak berizin (illegal).
4. Bagaimanakah memahami kharakteristik Radio Ketimuran dan NIROM.
Apakah keduanya memang sama saja dan tidak bisa dibedakan ataukah
keduanya merupakan dua entitas yang berbeda secara politik dan ideologi?
Tinjauan Pustaka
a. SRV sebagai perintis Radio Ketimuran
Catatan sejarah pertama dan biasanya menjadi rujukan tentang adanya
stasiun Radio Solosche Radio Vereeniging (SRV) adalah buku SRV Gedenkboek
(1936). Buku ini adalah buku peringatan tentang sejarah lahirnya penyiaran
Ketimuran, yang diterbitkan oleh pengurus SRV. Dalam buku ini dijelaskan
tentang lahirnya SRV, pengurus, cabang-cabang SRV, pembangunan studio dsb.
Buku ini ditulis dengan tujuan agar menjadi catatan “sedjarah dan riwajat
pergerakan zender KETIMOERAN di Noeswantara” demikian kata pengaatar
buku ini, namun penulis buku ini tidak disebutkan.
Catatan sejarah kedua yang biasanya juga menjadi rujukan adalah artikel
pendek yang ditulis oleh Sarsito Mangunkusumo (1939). Sarsito adalah ketua
SRV sejak pertama berdiri hingga stasiun itu dibreidel oleh tentara Jepang 1942.
Tulisan berjudul “Sri Paduka Pangeran Adipati Ario Mangkunagoro VII dan
Siaran Radio Ketimuran” itu dibuat sebagai bagian dari buku peringatan tiga
windu bertahtanya Mangkunegoro VII.
Catatan sejarah ketiga, yang merangkum secara menyeluruh sejarah radio di
Indonesia secara komprehensif berjudul Sejarah Radio di Indonesia yang
diterbitkan oleh Djawatan Radio Republik Indonesia, Kementerian Penerangan RI
(Kemenpen RI 1953). Buku ini menguraikan tentang sejarah radio sejak berdirnya
stasiun radio komunikasi di gunung Malabar, 1923 hingga berdirinya RRI
diseluruh Indonesia sampai 1950-an.
Dari 3 (tiga) sumber kepustakaan itu ada beberapa isu penting berkaitan
dengan sejarah dan keberadaaan SRV. Pertama bahwa SRV lahir pada tanggal 1
April 1933 di Solo. Ini berarti SRV adalah stasiun radio Ketimuran yang pertama
dan perintis berdirinya stasiun radio Ketimuran lainnya. Kedua, stasiun Radio
Ketimuran yang berdiri setelah SRV adalah VORO di Jakarta, VORL di Bandung,
MAVRO di Jogjakaarta, VORS dan CIRVO di Surabayaa dan RS di Semarang.
Selain itu juga hadir SRI dari Keraton Kasunanan Surakarta. Isu ketiga adalah
peran Mangkunegoro VII dalam merintis Radio Ketimuran.
Ketiga sumber sejarah utama radio Ketimuran –SRV Gedenkboek (1936),
Mangunkusumo (1939) dan Kemenpen RI (1953)-- tersebut semunya mencatat
ketiga isu -- kelahiran SRV 1 April 1933, berdirinya radio Ketimuran dan peran
Mangkunegoro VII.
Para penulis seperti Wild, McDaniel, Takano, Mrazek, Lindsay, dan
Yampolsky meneliti tentang sejarah penyiaran di Indonesia pada umumnya
merujuk kepada tiga sumber dan tiga itu pokok tersebut. Buku saya MN VII dan
API juga menggunakan rujukan tiga sumber dan tiga isu pokok tersebut. (lihat
Lampiran 1, 2 dan 3).
Dari tiga sumber dan tiga isu pokok tersebut, Yampolsky tidak menunjukan
perbedaan pandangan dengan saya. Saya memberi apresiasi kepada beliau atas
ketajaman dalam menyampaikan pandangan tentang ketiga hal tersebut.6
b. Sejarah SRV
SRV adalah jaringan stasiun radio yang berdiri di Kota Solo pada tanggal 1
April 1933 atas prakarsa KGPAA Mangkunagoro VII. Sebelum mendirikan SRV,
Mangkunegoro VII telah memiliki stasiun radio komunitas bernama PK2MN.
Setelah tiga tahun PK2MN tidak berkembang. Mangkunegoro VII kemudian
menunjuk Kepala Dinas Pekerjaan Umum Praja Mangkunegaran yaitu Raden Mas
Ir Sarsito Mangunkusumo untuk merintis stasiun radio yang lebih modern dan
profesional. Maka kemudian lahirlah SRV setelah melakukan rapat di Gedung
Sosietat Sasono Suko (sekarang Monumen Pers Nasional) pada jam 7 malam hari
Jumat tanggal 1 April 1933. Ir Sarsito kemudian disepakati sebagai Ketua SRV
bersama 9 orang pengurus yang mendampinginya.
SRV memiliki struktur organisasi yang jelas, jadwal siaran yang terencana,
peralatan khususnya zender (pemancar) yang memadai dan studio yang modern.
Beberapa ciri yang dimiliki SRV adalah sebagai berikut:
1. SRV memiliki manajemen yang profesional, struktur organisasi yang jelas dan
modern.
2. Isi siaran SRV memiliki sifat yang majemuk (beragam/ plural) mulai dari
kesenian, Jawa, Sunda, Melayu, Tionghwa, Arab dsb. Siaran musik
(tradisional/ modern), siaran berita (pers), siaran agama (Islam, Kristen).
Bahasa pengantar yang digunakan dalam siaran SRV adalah bahasa Indonesia,
bukan bahasa Jawa.
3. Jangkauan siaran SRV meliputi sebagian besar penduduk di wilayah Indonesia
sekarang. Hal ini bisa dilihat pada peta jangkauan siaran SRV. Peta jangkauan
siaran tersebut dibuat berdasarkan alamat pendengar SRV yang membayar
iuran bulanan. (Para pendengar SRV, dan siaran radio pada waktu itu
6 Isu pokok lain dari SRV adalah pagelaran tari Gusti Nurul, putri Mangkunegoro VII, di Den Haag, Belanda dengan iringan gamelan yang dipancarkan langsung melalui siaran SRV dari Solo.
dikenakan iuran anggota). Luasnya jangkaun siaran menunjukkan penguasaan
teknologi penyiaran dan peralatan yang memadai.
Peta Jangkauan Siaran SRV tahun 1940-an(Diolah dari Data Anggota SRV yang Membayar Iuran Anggota 1940-
1941)7
Tabel 1Daftar Kota dan Jumlah Anggota Pembayar Iuran SRV
di Luar Pulau Jawa November-Desember 19418
7 Lihat Wiryawan, 2011, h 97 dan 100. 8 Ibid
Nama Pulau
Nama Kota Jumlah anggota
Nama Pulau
Nama Kota Jumlah anggota
Kalimantan Balikpapan, 4 Sumatera Medan 2Bandjarmasin, 2 Batoeradja 2Pontianak, 7 Lahat 2Sanggau, 4 Indragiri 2Singkawang 2 Palembang 1Tarakan; 2 Tandjoengkaran
g7
Kandangan 2 Bangka 1 Amoentai 1 MoearaTebo
(Jmb)1
Pendopo 1Blinjoe (Bangka) 2
Bali Karangasem 2 Madura Kalianget 3Negara 3 Pamekasan 2Den Passer 1 Bangkalan 2
Sulawesi Makasar 3 Sumenep 2Timur Laut 1
Soembawa 3 Bawean Sangkapura 3Keterangan: Diolah dari sumber-sumber di Majalah Pewarta SRV, Tahun Ka IX, No1, Januari 1942, Tahun Ka IX, No 2, Februari 1942; Tahun Ka IX, No. 3, Maart 1942.
Sajian dan Analisis Dataa. Permasalahan Pertama: SRV dan Siaran Ketimuran
Permasalahan pertama yang akan saya bahas adalah sejauh mana SRV
memberikan porsi kepada siaran Ketimuran dan siaran Jawa? Yampolsky menilai
SRV lebih mengutamakan siaran Jawa dari pada siaran Ketimuran.
Kesimpulan Yampolsky ini disampaikan dengan terburu-buru. Jika beliau
lebih sabar lagi dalam melakukan penelitian, saya yakin tidak akan mengambil
kesimpulan seperti itu. Yampolsky sendiri telah mengakui bahwa dia kekurangan
data. Data tahun itu dipilih bukan karena ada hal yang khusus di tahun itu, namun
karena hanya data tahun 1938 yang ia dapatkan.
Di samping data yang diperoleh Yampolsky terbatas, permasalahan lain
adalah soal pemilihan data yang pada gilirannya menimbulkan pertanyaan:
Mengapa data yang digunakan hanya berasal dari NIROM Ketimuran? Mengapa
tidak menggunakan data pada tahun yang sama dari obyek yang dikritisi oleh
Yampolsky yaitu data dari SRV? Jika kita ingin menilai siaran NIROM
Ketimuran dengan sampel data dari NIROM Ketimuran maka hal ini sudah sesuai,
logis. Tapi jika kita bermaksud menilai SRV dengan sampel dari NIROM tentu
tidak sesuai dengan kaedah penelitian.
Jika kita ingin mengetahui “apel Malang” seharusnya yang kita teliti apel
Malang, bukan “apel Washington”, meskipun sama-sama apel. Namun jika kita
ingin menilai “buah apel” dengan sampel “apel Washington” maka hal itu bisa
dibenarkan.
Dalam metode penelitian ilmiah dikenal tahapan pengumpulan data. Salah
satu teknik pengumpulan data adalah teknik pengumpulan data dengan cara
mengumpulkan sampel. “Sampel” adalah bagian yang diamati/ diteliti dari
sebuah “populasi”.9 Jika Populasi yang hendak diambil adalah katakanlah “siaran
Ketimuran SRV” maka seharusnya sampel yang diambil adalah dari populasi
siaran Ketimuran yang dilakukan SRV, bisa dilakukan berdasarkan tahun siaran,
jenis kesenian (genre) dsb, namun tidak bisa mengambil sampel dengan populasi
diluar “siaran Ketimuran SRV”. Bila sampel yang diambil keliru, maka akan
memperoleh kesimpulan yang keliru pula.
Dalam Ilmu Sejarah, khususnya dalam metodologi sejarah dikenal adanya
istilah “sumber sejarah”. Sumber sejarah merupakan bahan penulisan sejarah yang
mengandung bukti baik lisan maupun tertulis. Sejarawan harus mengumpulkan
sebanyak mungkin peristiwa sejarah. Dalam kenyataannya, sering kali bukti-bukti
yang didapat belum tentu saling berkaitan atau mempunyai hubungan kausalitas.10
Oleh karena itu seorang peneliti harus melakukan upaya peningkatan effektifitas
sumber sejarah. Orang sering mengalami kegagalan interpretasi yang disebabkan
beberapa fakta yang ternyata tidak memiliki hubungan kausalitas.11
Karena obyek pembahasan adalah seberapa besar alokasi siaran kesenian/
kebudayaan Jawa dan kesenian/kebudayaan Ketimuran dari stasiun radio SRV,
maka saya mencoba meneliti jumlah mata acara yang dapat dikategorikan dalam
dua kelompok tersebut.
9 Rakhmat, Jalaluddin, (1998). Metode Penelitian Komunikasi, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1998, hal. 72.10 Madjid, Dien M dan Wahyudhi, Johan, Ilmu Sejarah, Sebuah Pengantar, Prenada Media Group, Jakarta, 2014, h. 221. 11 Madjid, Dien M dan Wahyudhi, Johan (2014), h. 225. Saya yakin Yampolsky telah memahami metode penelitian ilmiah sepenuhnya, dan mungkin saya justru yang harus banyak belajar dari beliau.
Penelitian ini menggunakan metode penghitungan jumlah mata acara yang
tertera dalam jadwal acara siaran selama tahun 1938. Tabulasi ini tidak
menghitung durasi atau jangka waktu siaran. (lihat lampiran 4).
Dibawah ini saya sajikan data yang diambil dari Jadwal Program SRV
selama tahun 1938, satu tahun penuh. Data tahun 1938 saya gunakan bukan
karena saya tidak memiliki data tahun-tahun yang lain, melainkan untuk
menyamakan tahun data yang dipakai oleh Yampolsky.
Dari data yang saya ambil dari program siaran SRV selama tahun 1938 (satu
tahun penuh dari January-Desember 1938) tercatat siaran SRV dengan acara
Kesenian/ Kebudayaan Jawa sebanyak 967 kali. Sementara Kesenian/Kebudayaan
Ketimuran sebanyak 545 kali (a.l Melayu 176 kali, Sunda 64 kali, Bali 24 kali,
Ambon 22 kali, Tionghwa (lagu 68 kali, kebudayaan 24 kali), Arab (tidak
termasuk kategori siaran agama Islam) 56 kali. Siaran Non-Kebudayaan/Kesenian
sebanyak 724 kali. Dari total 2.120 kali acara yang diudarakan oleh stasiun SRV
di Solo selama tahun 1938. Dengan demikian rata-rata siaran Jawa meliputi
sekitar 40%, Siaran Ketimuran sekitar 25%, dan siaran non Kebudayaan sekitar
35%. (Lampiran 4 Tabel-3).
Dari data yang saya kemukakan tersebut, tentu menimbulkan pertanyaan:
Mengapa data yang diambil dari NIROM Ketimuran oleh Yampolsky dan data
dari SRV yang saya gunakan bisa berbeda?
Hal ini bisa dijelaskan bahwa, siaran NIROM Ketimuran dan siaran SRV --
juga Radio Ketimuran yang lain -- berjalan secara paralel. Artinya, SRV
melakukan siaran secara mandiri di Solo, ada atau tidak ada NIROM Ketimuran.
Hal ini terjadi karena SRV telah bersiaran lebih dahulu sebelum kerjasama antara
NIROM Ketimuran (milik Belanda) dan Radio Ketimuran (milik Pribumi) dan
tetap bersiaran secara mandiri meskipun ada kerjasama itu.12
12 Kerjasama antara NIROM dan Radio Ketimuran pertama kali terjadi tanggal 1 Januari 1935 antara NIROM dan VORO (Radio Ketimuran Jakarta). Sementara SRV lahir 1 April 1933, dan VORO lahir 8 April 1934, VORL (Bandung) lahir 30 April 1934. Setelah adanya kerjasama antara Radio Ketimuran dan NIROM, Radio Ketimuran masih tetap melakukan siaran secara mandiri. Bukti bahwa Radio Ketimuran masih bersiaran secara mandiri adalah data siaran SRV tahun 1938 tersebut.
Mrazek (2006) menyebut hal ini dengan istilah paralelisme. “Inilah
bagaimana kerjanya paralelisme radio Ketimuran dan radio Eropa di Hindia
Belanda...Mereka itu seperti dua planet yang bergerak sepanjang orbit-orbit
mereka sendiri”, kata Rudolf Mrazek.
Mengapa dalam data NIROM Ketimuran yang digunakan Yampolsky siaran
SRV dengan materi acara kesenian/ kebudayaan Ketimuran jauh lebih kecil
dibandingkan dengan data dari siaran SRV yang saya gunakan?
Hal ini bisa dijelaskan bahwa di samping SRV melakukan siaran mandiri,
SRV juga mengirim materi siaran kepada NIROM Ketimuran yang kemudian
dipancarkan melalui jaringan NIROM Ketimuran. Sudah barang tentu tidak semua
acara SRV bisa dikirim kepada NIROM Ketimuran (relay atau rekaman). SRV
harus berbagi dengan mitra NIROM Ketimuran. Oleh karena itu wajar jika SRV
hanya mengirim mata acara tertentu saja, dan wajar pula jika acara yang dikirim
oleh SRV ke NIROM Ketimuran adalah mata acara unggulan dimana mata acara
unggulan itu sebagian besar adalah kesenian Jawa, karena SRV memang ahli
untuk memproduksi siaran kesenian Jawa.
Model kerjasama siaran semacam ini (relay langsung atau rekaman) masih
lazim dilakukan di Indonesia hingga saat ini termasuk oleh Radio Republik
Indonesia (RRI). Sebagai contoh: RRI pernah memiliki acara bernama “Varia
Nusantara”. Acara ini berisi siaran berita dari berbagai daerah (cabang RRI) yang
dipancarkan secara nasional oleh RRI Pusat di Jakarta. Misalnya, ketika di Aceh
terjadi bencana tsunami, maka RRI Banda Aceh banyak mengirimkan berita
tentang tsunami dalam Varia Nusantara itu. Begitu pula ketika gunung Merapi
meletus, RRI Yogyakarta banyak melaporkan perkembangan gunung Merapi di
Varia Nusantara. Apakah siaran RRI Banda Aceh hanya berisi bencana tsunami?
Dan apakah siaran RRI Yogyakarta hanya bencana Merapi? Tentu tidak. RRI
Banda Aceh tentu juga menyiarkan materi lainnya di stasiun RRI Banda Aceh,
namun berita unggulan mereka yang layak dikirim adalah tentang tsunami. Begitu
pula RRI Yogyakarta tentu tidak hanya menyiarkan berita Gunung Merapi dalam
siaranya di Yogyakarta. Namun karena berita unggulan pada waktu itu adalah
tentang Merapi, maka berita itu yang dikirim ke RRI Pusat.
RRI Banda Aceh, RRI Yogyakarta dan RRI di berbagai daerah tetap
bersiaran secara reguler di daerah masing-masing, sementara RRI Pusat juga
bersiaran secara nasional. Kedua pihak pusat dan daerah bersiaran secara paralel.
b. Permasalahan Kedua: Akurasi dan Kelengkapan Data
Dalam penilaian Yampolsky saya tidak memiliki data yang cukup dan tidak
akurat13. Berkaitan dengan kritik ini, izinkan saya untuk belajar dari Yampolsky
dalam mengumpulkan data dengan melihat daftar kepustakaan Yampolsky.
Dari daftar kepustakaan (bibliografy)14 yang digunakan oleh Yampolsky
dalam disertasi itu, sejauh yang saya temukan, ternyata beliau sama sekali tidak
menggunakan sumber dari SRV berupa buletin Pewarta SRV. Yampolsky juga
sama sekali tidak menggunakan sumber dari SRI (Siaran Radio Indonesia) berupa
Berita SRI. Dilain pihak Yampolsky menggunakan buletin Soeara Nirom
sebanyak 24 jilid. Jika Yamposlky tidak menggunakan sumber dari SRI mungkin
bisa dimaklumi, karena SRI bukan merupakan stasiun radio yang di soroti.
Namun Yampolsky tidak menggunakan sumber dari SRV sangat disesalkan
karena Beliau memberi penilain kepada SRV.15
Sebagaimana perkumpulan radio Ketimuran lainnya, SRV memiliki buletin
yang terbit bulanan sejak 1934 hingga Maret 194216. Jika SRV menerbitkan 12
kali setiap tahun buletin “Pewarta SRV” maka terdapat 12x8 tahun= 96 plus edisi
3 edisi tahun 1942 (Januari, Februari, Maret)17= 99 buletin yang tidak digunakan
oleh Yampolsky. Mungkin buletin itu sudah tidak bisa ditemukan utuh 100%. Hal
itu suatu kondisi yang tidak dapat dielakkan. Tetapi jika Yampolsky
menggunakan dua tahun saja dari penerbitan Pewarta SRV atau 12x2=24 buah
13 Atas kritik ini saya mengucapkan terimakasih. Saya mengakui bahwa saya kurang teliti. Ini adalah kekurangan saya. Soal data yang kurang lengkap saya mengakui hal ini. Ungkapan “tiada gading yang tak retak” masih tetap berlaku. Terima kasih atas kritik dari Yampolsky.14 Yampolsky, 2013, h.389 - 40715 Yampolsky dengan santun mengatakan bahwa beliau tidak mengritik SRV, yang dikritik adalah pendapat yang mengatakan bahwa “SRV membawa misi pembangunan nasional dan mengakui segala kebudayaan Timur”. 16 Dengan masuknya tentara Jepang 8 Maret 1942, maka berakhirlah sejarah SRV, karena seluruh stasiun radio di Indonesia ditutup oleh Jepang. Namun SRV masih menerbitkan edisi Maret 1942. 17 Dengan kedatangan Jepang 8 Maret 1942 di Solo, SRV kemudian ditutup dan bulan April sudah tidak dapat menerbitkan lagi buletin Pewarta SRV. Pada bulan Maret, Pewarta SRV masih terbit, mungkin materi ini telah dipersiapkan sejak Februari dan diterbitkan sebelum kedatangan Jepang.
buletin SRV maka akan sama dengan jumlah buletin Soera Nirom yang
digunakannya. Mungkin jika itu terjadi pandangan Yampolsky terhadap SRV
akan berubah.
Sebagai perbandingan untuk menulis buku MNVII dan API saya
menggunakan 7 Soeara Nirom dan 10 Pewarta SRV, sementara Yampolsky
menggunaka 24 Soeara Nirom dan sama sekali tidak menggunakan Pewarta SRV.
Meskipun sama sekali tidak menggunakan buletin Pewarta SRV, saya menemukan
Yampolsky menyebut dalam bibliografinya 2 (dua) buku tentang SRV yang
berjudul: SRV Gedenkboek. Peringatan Berdirinja Studio S.R.V., 1936.
[Surakarta]: dan Sulaksono, Budi. 1993. Perkembangan Solosche Radio
Vereeniging di Surakarta tahun 1933– 1945. Skripsi, Fakultas Sastra. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.18
Dari dua buah buku tentang SRV yang digunakan oleh Yampolsky, izinkan
saya bertanya dengan rendah hati, apakah Yampolsky benar-benar membaca buku
karya Budi Laksono dengan seksama. Saya yakin beliau telah membaca buku
skripsi mahasiswa program S1 tersebut, hanya saja mungkin kurang teliti.
Hal ini saya kemukakan karena ketika beliau meragukan keterangan yang
saya sampaikan bahwa terdapat sembilan radio gelap di Mangkunegaran dalam
buku MN VI dan API, Yampolsky merujuk kepada data saya, bukan data Budi
Laksono, padahal saya mengutip Budi Laksono. Jika memang referensi Budi
Laksono digunakan oleh Yampolsky seharusnya bisa melacak langsung kepada
sumber primernya.
Minimnya sumber-sumber data dari SRV yang digunakan oleh Yampolsky
dalam disertasi tentang sejarah musik itu menyebabkan tidak ditemukan hubungan
antara SRV dan Maestro Keroncong Indonesia: Gesang. Nama Gesang hanya
disebut 2 kali dalam kajian yang sangat mendalam tentang keroncong. Saya sebut
sangat mendalam karena kata kroncong/ keroncong disebut lebih dari 800 kali
dalam disertasi 426 halaman.19 Dalam wawancara saya dengan Gesang, tahun 18 Yampolsky, 2013, h. 400 dan 40119 Meskipun disertasi Yampolsky juga membahas musik keroncong sampai zaman Orde Baru. Sayangnya nama penyanyi keronjong yang terkenal pada masa sejak Orde Lama melalui kaset rekaman di Lokananta Solo dan RRI yaitu Waljinah, sejauh yang saya baca, tidak ditemukan satu kata pun. Sementara nama penyanyi keroncong yang kurang dikenal publik seperti Toto Salmon,
2009 berkali-kali maestro keroncong itu mengucapkan terima kasih kepada
almarhum Mangkunegoro VII karena diberi kesempatan bersiaran di SRV.
Sebagai rakyat jelata dan pemusik jalanan kesempatan bersiaran di radio milik
istana adalah pengalaman yang tak terlupakan bagi Gesang. “(Lagu-lagu itu saya
nyanyikan) di SRV semua...Mana ada radio waktu itu..” kata Gesang dengan nada
tinggi.20
Dalam metodologi sejarah, dikenal terdapat 3 (tiga) jenis sumber sejarah.
Sumber Kebendaan atau Material (material sources), Sumber non-Kebendaan
(immaterial sources) dan Sumber Lisan. Dari data bibliografy Yampolsky yang
yang berkaiatan dengan SRV relatif sedikit. Selain itu, tidak tercantum dalam
bibliografinya daftar sumber lisan (wawancara). Sementara saya di samping
menggunakan sumber material (kepustakaan) juga melakukan penggalian dari
sumber-sumber lisan. Dalam hal sumber lisan, Yampolsky sama sekali tidak
melakukan wawancara. Saya melakukan wawancara dengan Gusti Nurul, putri
Mangkunegoro VII dua kali (23 Sept 2006 dan 5 Mei 2009), Gesang, penyanyi
keroncong yang menggunakan studio SRV (31 Maret 2009) dan Suripmah,
peserta siaran anak SRV sekitar tahun 1934-1936 (7 Februari 2010).
Jika Yampolsky mengatakan bahwa saya menulis buku MN VII dan API
secara bias, tidak cukup informasi dan tidak akurat, maka saya sebenarnya
berharap mendapatkan data yang lebih akurat dan lebih lengkap dari disertasi
Yampolsky yang luar biasa. Namun harapan itu tak tercapai..
Miss Ubiet, Miss Netty disebut lebih dari 2 kali lengkap dengan foto sang penyanyi dalam sampul albumnya. (Ini tidak berarti saya mengecilkan arti nama-nama para artis keroncong tersebut). Nama pencipta lagu “Indonesia Raya” WR Supratman yang hidup pada kurun waktu penelitian, ternyata saya juga tidak disebut (judul lagu “Indonesia Raya” disebut 5 kali). Nama WR Supratman sangat penting bagi Indonesia, selain pencipta lagu kebangsaan, tanggal kelahiran komposer yaitu, 9 Maret diperingati sebagai Hari Musik Indonesia. Dalam Metodologi Sejarah dikenal dikenal adanya Sumber imaterial (immaterial sources) berupa tradisi, kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Bagi bangsa Indonesia nama-nama seperti Gesang, Waljinah, WR Supratman telah melekat dan hidup dalam sanubari masyarakat bila berbicara tentang musik. Yampolsky sangat disesalkan tidak mengindahkan sumber-sumber imaterial ini. Ketika Yampolsky mengritik saya tidak akurat dan oleh karena itu bias dalam beberapa masalah kunci di SRV, saya berharap bisa belajar dari beliau. Sayang kesempatan saya belajar dari beliau pupus. Ini hanya sekadar data tambahan dari saya atas disertasi tentang sejarah musik yang sangat luar biasa itu. Selebihnya saya tidak bisa memberikan komentar, karena saya tidak mendalami masalah itu. Barangkali suatu waktu tuan Yampolsky jika berkenan bisa menjelaskan masalah ini. 20Wiryawan, 2011, h 162; lihat pula di https://youtu.be/UAC_YiFiK4E
c. Permasalahan Ketiga: Radio Gelap di Mangkunegaran
Atas kritik Yampolsky bahwa saya bersikap partisan. Saya agak kesulitan
menjawabnya. Mungkin Yampolsky berkenan menjelaskan suatu kali. Namun
bisa saya sampaikan di sini bahwa dalam Metodologi Sejarah dikenal adanya
tahapan penelitian sejarah. Tahapan terakhir dalam metode itu adalah tahap
penulisan sejarah (historiografi).21
Tahapan penulisan sejarah adalah tahapan dimana peneliti menulis sejarah.
Penulisan sejarah atau pengkisahan sejarah bagaimanapun adalah kenyataan
subyektif, karena setiap orang, setiap kelompok orang dapat mengisahkan secara
berbeda pada obyek sejarah yang sama. Peristiwa sejarah pada dasarnya adalah
obyektif dan mutlak. Namun di tangan sejarawan atau peneliti, sejarah akan ditulis
secara relatif.
Jika Yampolsky menilai saya bias dan partisan dalam menulis buku
tersebut, maka bagaimana saya harus menilai beliau yang sama sekali tidak
menggunakan sumber tertulis buletin Pewarta SRV, sementara menggunakan 24
jilid buletin Soeara Nirom. Selain itu Yampolsky juga tidak memiliki sumber
lisan SRV, namun memberikan penilaian atas SRV.
Beberapa kritik Yampolsky tentang cara penulisan saya dalam buku MN
VII dan API, semestinya dihindari dalam sebuah paparan akademik. Sebuah karya
akademik semestinya terukur dan tidak bersifat subyektif. Kita simak kata-kata
yang beliau gunakan:
“...Wiryawan says there were nine radio receivers in the Mangkunegaran palace compound in May 1941 (2011:84); later (207) he says that they were all unlicensed, but he does not say how he (or Sulaksono?) knows this.”
Kata-kata terakhir..”but he does not say how he (or Sulaksono) knows
this...” seyogyanya dihindari dalam sebuah karya akademik, karena terkesan
meremehkan: bagaimana bisa saya tahu data ini atau bagaimana saya bisa
dapatkan data ini.
21 Madjid, Dien M dan Wahyudhi, Johan (2014), h.230.
Yampolsky melanjutkan dengan asumsi yang dalam sebuah karya ilmiah
sepatutnya dihindari karena kurang pada tempatnya ”... It seems a strange thing to
note in a document, that the nine palace radios were illegal”
Kembali beliau menunjukkan sikap yang menyangsikan data yang saya
gunakan. Atau barangkali Yampolsky bermaksud menjelek-jelekan (demonize,
meminjam istilah Yampolsky) agar saya tampak tidak profesional dan tidak
kridebel. Saya yakin tuan Yampolsky tidak bermaksud demikiaan.
Saran yang bisa saya sampikan mengenai hal ini adalah, akan lebih baik jika
Yampolsky menunjukkan data lain yang bisa mematahkan keterangan saya, atau
yang bisa menunjukkan bahwa sembilan radio di Mangkunegaran semuanya telah
berizin dan tidak ilegal. Sayang sekali hingga lembar terakhir disertasinya
Yampolsky tidak menyajikan data pembanding tersebut.
d. Permasalahan Keempat: NIROM dan Radio Ketimuran
Bagaimanakah seharusnya menilai hubungan antara NIROM dan Radio
Ketimuran? Yampolsky menyatakan berbeda dengan saya soal adanya dualisme
penyiaran yaitu NIROM dan Radio Ketimuran. Radio Ketimuran memiliki
motivasi ideologis politis dan NIROM pragmatis bisnis.
Pertama ingin saya sampaikan bahwa penilaian adanya nuansa dikotomis
atas penyiaran radio di Indonesia sudah dikemukakan oleh para ahli sebelumnya,
meski makna dikotomi berbeda-beda. Colin Wild (1987), misalnya menyatakan
bahwa penyiaran radio di Indonesia terpengaruh pada dua gaya penyiaran
sebelumnya yaitu Belanda dan Jepang. Di satu sisi Indonesia terpengaruh dengan
gaya Belanda yang mendorong penyiaran lokal, di satu sisi terpengaruh dengan
gaya penyiaran Jepang yang cenderung sentralistis.
Jenifer Lindsay (1997) juga mengatakan adanya dualisme penyiaran radio di
Indonesia baik dalam arti penyiaran swasta dan negara maupun dalam arti
penyiaran Timur dan Barat. Sedangkan Mrazek (2006) menggunakan istilah
“paralelisme” radio Ketimuran dan radio Eropa di Hindia Belanda. “Mereka
seperti dua planet yang bergerak sepanjang orbit-orbit mereka sendiri, dalam
semesta alam yang sangat terbatas,” kata Mrazek.
Mrazek melanjutkan bahwa semula radio berasal dari lingkungan keraton,
baik di Solo maupun Yogya, kemudian di pendopo para bangsawan. Di tangan
Soetarjo Kartohadikusumo, Ketua Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran
(PPRK), radio lambat laun mengalami proses demokratisasi. Para pengurus
buletin PPRK yang dipimpin oleh Soetarjo, Soeara Timoer adalah tokoh-tokoh
perjuangan yang menduduki jabatan penting setelah Kemerdekaan RI. Mereka
antara lain adalah Oetojo Ramelan (Duta besar RI untuk Australia), Hamid
Algadrie (menteri), Soebardjo menteri luar negeri pertama Indonesia.
Dari uraian tersebut, maka apakah saya salah jika berpendapat bahwa pada
masa itu Radio Ketimoeran bersifat ideologis dan politis, sementara NIROM
bersifat pragmatis, bisnis? Mengapa Yampolsky tidak menunjukkan sikap berbeda
kepada Colin Wild, Lindsay atau kepada Mrazek ?
Bagi bangsa Indonesia waktu itu pendirian stasiun radio adalah sesuatu
yang amat penting dan strategis. Yaitu sebagai bagian dari obsesi kebangganya
sebagai bangsa Timur, atau lebih khusus lagi bangsa Nusantara, bukan sebagai
hiburan atau entertainment belaka.
Sikap menjungjung tinggi kesenian Timur sering diungkapkan oleh
berbagai tokoh dalam berbagai kesempatan. Misalnya, dalam buletin Pewarta
SRV bulan April 1938. (Sengaja saya kutipkan edisi di tahun 1938 agar
menyamakan tahun penelitian Yampolsky).
Dalam editorial berjudul “BANGSA KETIMORAN HAROES
BERGERAK DENGAN SEMANGAT BERKOBAR-KOBAR,” dikatakan dalam
paragram pertama:
Semendjak taoen 1933 dalam kalangan bangsa kita Ketimoeran timboelah angan angan baroe jang membawa semangat berkobar-kobar, akan mendirikan seboeah zender, sebagai alat penjiaran kesenian ketimoeran, jang akhirnya berhatsil dapat mengembangkan bermatjam matjam dan berjenis jenis keboedajaan ketimoeran hingga segala podjok Indonesia tertemboes dengan perasaaan baroe jang jakin pada ketimoeranja.
Disegenap pelosok Noeswantara berdiri perhimpoenan-perhimpoenan jang sengaja memadjoekan kesenian-kesenian sebagai sjarat oentoek membangoen rasa dan meninggikan deradjat bangsa ketimoeran.
Problemnya adalah bahwa out put atau produk siaranya adalah kesenian,
lagu-lagu bukan agitasi politik, pada saat itu. Hal yang sama juga terjadi di
perkumpulan radio Belanda baik NIROM mapun radio swasta lainnya yang
menyajikan lagu-lagu Barat.
Para peneliti umumnya menilai bahwa penyiaran radio di Indonesia baik
Radio Ketimuran maupun Radio Belanda sama-sama berorientasi kepada hiburan
semata, karena secara fisik produk mereka sama: kesenian/ musik. Bedanya,
adalah Radio Ketimuran menyiarkan kesenian Timur, radio Belanda menyiarkan
kesenian Barat.
Meskipun keduanya memiliki produk yang sejenis, namun motivasi dari
Radio Ketimuran dan Radio Belanda berbeda.
Seorang penulis Belanda pernah mengatakan,22
Betapa berbeda apresiasi raja Timur ini (Mangkunegoro VII) dari kita orang Barat dalam menghargai seni gerak tersebut, karena kami orang Barat hanya memandang seni tersebut untuk rekreasi untuk bersenang-senang...
Dengan demikian, meskipun out put yang dikeluarkan melalui pemancar
adalah kesenian dan lagu-lagu namun cara pandang bangsa Indonesia pada waktu
dalam melihat kesenian berbeda dengan orang Barat yaitu bahwa kita memilki
obesesi ideologis politis. Obesesi agar mendapat pengakuan akan martabat bangsa
yang telah berabad-abad mengalami penjajahan oleh bangsa asing.
Kembali saya kemukakan bahwa dalam Metodologi Sejarah dikenal adanya
sumber sejarah non kebendaan (immaterial sources). Para ahli yang saya sebut
diatas, khususnya Mrazek mampu menangkap sumber immaterial tersebut dimana
adanya proses demokrasi dan bibit perlawanan yang digerakkan oleh Sutarjo.
Sayang sekali Yampolsky, kurang mengindahkan faktor-faktor sumber immaterial
dalam penelitiannya.
Lalu bagaimanakah sikap SRV kepada NIROM? Bila saya disebut oleh
Yampolsky menjelek-jelekan/membusukkan (demonize) kepada NIROM, maka
22 Canegeiter (1939), h. 23
lihatlah sikap SRV kepada NIROM. Redaksi Pewarta SRV bulan April 1938
menulis:
Orang tentoelah beloem loepa riwajat dari perhimpoenannja SRV tentang keadaan jang dialamkan dalam tahoen 1936 pada waktoe poetoesnja perhoeboengan SRV dengan NIROM. Segala anggauta bergerak dengan semangat jang berkobar-kobar oentoek menentangi segala bahaja jang hendak menimpa kepada perhimpoenannja dan semata-mata hendak merintangi segala kemasjoerannja.
Pertanyaannya adalah, siapakah yang dianggap sebagai “segala bahaja” dan
“hendak merintangi”? Tulisan ini tidak menyebut langsung. Barangkali tuan
Yampolsky bisa menjawab. Paragrap selanjutnya menyebutkan:
Mengingat pentingnja asas toejoean dari PPRK (Ket: Perikatan Perhimpoenan Radio Ketimoeran, SRV adalah salah satu anggotanya) jang hendak mengejar haknja bangsa Timoer di Indonesia, wajiblah sekalian membela langkah dengan segala kekoeatan, agar soepaja tiada menjadi lemah dalam gerakanja.
Hendak mengejar hak bangsa Timur kemana atau kepada siapa PPRK akan
mengejar? Kalau ini saya kira tuan Yampolsky setuju bahwa yang dimaksud
adalah NIROM.
Dalam salah satu buletin yang terbit bulan Maret 1940, (kali ini saya
terpaksa megambil data di luar tahun 1938) pengurus SRV menulis sebuah artikel
(editorial) berjudul “Pewarta SRV dan Soeara Nirom”. Artikel ini ditulis untuk
menjawab pertanyaan anggota (pendengar) SRV, mengapa buletin Pewarta SRV
tidak diberikan secara gratis seperti buletin Soeara Nirom ?.
Pengurus menerangkan bahwa SRV adalah suatu perhimpuan (non profit),
sedangkan Nirom adalah suatu Bedrijf (perusahaan) yang mengejar keuntungan.
Kalau kita mengingat djoemblahnja pendengar-pendengar dan wang bjdrage yang diterimanja oleh Nirom dalam seboelan-boelanja, maka kita berpendapat bahwa ‘Soeara Nirom’ jang tiap-tiap Minggoe sekali diterbitkan dan harganja (hanja?) f 0.25, misih mahal. Kalau SRV mempunjai pendapatan (penghasilan) dalam seboelanja, tida oesah begitoe banjak seperti Nirom, mitsalnja f10.000 sebulannja, SRV tanggoeng akan bisa mengeloearkan programa seperti Nirom dengan gratis....23
23 Pewarta SRV, Mart 1940
Apa yang saya tulis dalam buku MN VII dan API adalah sekadar
mengangkat nuansa atau ruh yang berkembang pada saat itu yang diungkapkan
para praktisi penyiaran, para perintis penyiaran di Indonesia pada umumnya
sebagaimana terungkap pula dalam buku Sejarah Radio di Indonesia, sebuah
buku yang juga menjadi referensi Yampolsky. Lihatlah kutipan berikut ini dari
buku itu:
Memang maksudnya perkumpulan NIROM jang bersandarkan kekuatan pendjadjahan dan bersendi keuntungan jang se-besar2-nja bermaksud membunuh pekumpulan2 radio Ketimuran itu, atau menjerah zonder perdjandjian kepada NIROM...(hal 6)
... adanja perkumpulan2 kita sebenarnja hanja memperkaja NIROM belaka, sebab naiknja djumlah pesawat dikalangan bangsa Indonesia itu, se-mata2 karena mengingini mendengarkan siaran2 Ketimuran, Dan NIROM jang menerima Luisterbijdragenja. (hal 6)
.....
Jika Yampolsky menilai saya telah membusukkan NIROM, mengapa beliau
tidak menyebut hal yang sama yang sama kepada buku terbitan Kemenpen RI itu.
Penutup
Bagaimanapun saya mengucapkan terima kasih kepada Philip Bradford
Yampolsky atas segala kritik dan masukannya. Apapun bentuk kritik bagi saya
adalah pembelajaran yang penting. Jawaban saya ini untuk memenuhi kewajiban
saya menjawab kritik yang di sampaikan oleh Yampolsky. Tidak ada maksud
untuk saling menyerang secara pribadi. Semua ini saya lakukan guna menambah
wacana keilmuan khususnya studi sejarah media di Indonesia. Mudah mudahan
bermanfaat bagi semua. Terima kasih.
Daftar KepustakaanCannegieter, HG. (1937). Pangeran Adipati Ario Mangunagoro VII. dalam
majalah.Eapan, K.E and John A Lent dalam Lent, John A. (1978). Broadcasting in Asia
and the Pasifik. Hongkng: Heinemann Asia.Lindsay, Jennifer. (1997). Making waves: private radio and local identities in
Indonesia. Southeast Asia Program Publication at Cornell University.
Madjid, Dien M dan Wahyudhi, Johan. (2014). Ilmu Sejarah, Sebuah Pengantar. Jakarta: Prenada Media Group.
Mangunkusumo, Sarsito. (1939), “Sri Paduka Pangeran Adipati Ario Mangkunagoro VII dan Siaran Radio Ketimuran” dalam Buku Kenang-Kenangan Triwindoe Gedenkboek Mangkoenegoro VII (alih bahasa oleh RT Muhammad Husodo Pringgokusumo. (1987). Koleksi Perpustakaan Mangkunegaran.
McDaniel, Drew O. (1987). Broadcasting in the Malay World, Radio, Television, and Video in Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapore. New Jersey: Ablex Publishing Company.
Mrazek, Rudolf. (2006). Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Morks-Magazijn, Maret 1937, Dordrect-Netherland. Diterjemahkan oleh RT.M Husodo Pringgokusumo, 1986.
Rakhmat, Jalaluddin. (1998). Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Takonai, Susumu. (2006). Soeara Nirom & Musical Culture in Colonial Indonesia.(diambil dari http://ci.nii.ac.jp/naid/110004876974/en)
Wild, Colin. (1987). Indonesia:” A Nation and Its Broadcaster” dalam Indonesia Circle. Edisi Juni 1987 (dikutip dari Harian Kompas Minggu, 27 September 1987).
Wiryawan, Hari. (2011). Mangkunegoro VII & Awal Penyiaran Indonesia. Solo: LPPS.
Yampolsky, Philip Bradford. (2013). Music and Media in the Dutch East Indies: Gramophone records and radio in the late colonial era, 1903-1942, a dissertation submitted in partial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy, University of Washington. https://digital.lib.washington.edu handle)
--------.1936. SRV Gedenkboek, Der Solosche Radio Vereeniging. (koleksi Perpustakaan Puro Mangkunegaran).
-------. 1953. Sejarah Radio di Indonesia. Kementerian Penerangan, Djawatan Radio Republik Indonesia.
Pewarta SRV, edisi January-Desember 1938 (lengkap).Pewarta SRV, edisi Maret 1940.