dprd dalam otonomi daerah studi analisis...
TRANSCRIPT
DPRD DALAM OTONOMI DAERAH
STUDI ANALISIS TERHADAP PERANAN DPRD KOTA BEKASI DALAM PENYUSUNAN DAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH TENTANG
PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
SRI SAHLAWATI
105033201155
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi berjudul DPRD DALAM OTONOMI DAERAH STUDI ANALISIS TERHADAP PERANAN DPRD KOTA BEKASI DALAM PENYUSUNAN DAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sosial (S.Sos) pada program Ilmu Politik.
Jakarta, 18 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Sekretaris
Dr. Hendro Prasetyo, MA M. Zaki Mubarak, M.Si
NIP: 196407191990031001 NIP:197309272005011008
Penguji I Penguji II
Suryani, M.Si Drs. Armein Daulay, M.Si
NIP: 1504411224 NIP: 130892961
Pembimbing
Drs. Agus Nugraha,MA
NIP: 196808012000031001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di UIN syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil
jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 4 Mei 2010
Sri Sahlawati
DPRD DALAM OTONOMI DAERAH
STUDI ANALISIS TERHADAP PERANAN DPRD KOTA BEKASI DALAM PENYUSUNAN DAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH TENTANG
PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
SRI SAHLAWATI
105033201155
Di Bawah Bimbingan
Drs. Agus Nugraha, MA
NIP: 196808012000031001
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir akademis pada program studi Ilmu Politik,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Shalawat teriring salam selalu tercurah kepada baginda Rasulullah SAW yang
telah memberikan cahaya kebenaran dan petunjuk kepada umat manusia dengan akhlak
dan budi pekertinya menuju peradaban yang lebih baik, serta para keluarga dan
sahabatnya.
Akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul DPRD Dalam
Otonomi Daerah Studi Analisis Terhadap Peranan DPRD Kota Bekasi Dalam
Penyusunan dan Pengawasan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Publik. Hal ini tidak terlepas dari bantuan rekan-rekan yang telah membantu selesainya
skripsi ini. Sudah seharusnya penulis memberikan ucapan terima kasih kepada yang
terkasih dan tercinta. Tiada ungkapan yang pantas untuk memberikan terima kasih
kepada orang tua tercinta yaitu Abi (Drs. H. Muchtar Az. SH) setiap penulis melihatnya
selalu dipenuhi rasa semangat dan Umi (Hj. Siti Janah) dengan cinta dan kasih
sayangnya yang tak akan terhapus oleh zaman, maafkan atas segala air mata yang jatuh
karna menghawatirkan penulis, tanpa amarahmu skripsi ini tidak akan selesai. Semoga
rahmat Allah selalu menyertaimu berdua. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih
kepada kakak-kakaku, Sri Mulyati SH, Sri Ratna sari SPd. Dan adikku Syifa Fauziah,
i
kakak-kakak iparku, Syarif Hidayatullah S.sos, Kamaluddin SPd, serta penghilang
letihku yaitu keponakan-keponakan aku, Luthfi Hariri dan Nadia Rahmah.
Selanjutnya penulis meminta maaf dan mengucapkan terima kasih, permintaan
maaf penulis sampaikan karena skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan ucapan terima
kasih penulis kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung skripsi ini,
antara lain:
1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Bapak Dr. Hendro Prasetyo, MA wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Bapak Drs. Idris Thaha, M.Si, Dra Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag
ketua jurusan Ilmu Politik, Bapak Zaki Mubarok M.Si sekretaris jurusan Ilmu
Politik.
2. Bapak Drs. Agus Nugraha, MA selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan dan sarannya, sehingga skripsi ini menjadi lebih
baik. Penulis hanturkan rasa hormat dan terima kasih serta doa penulis agar
Allah SWT kiranya menganugrahi kasih dan sayang-Nya kepada Bapak dan
keluarga.
3. Ibu Suryani, terima kasih atas penjelasannya dan ilmunya, arahan dan masukan
Ibu dalam Skripsi ini sangat bermanfaat untuk penulis. Terima kasih atas waktu
yang Ibu luangkan untuk penulis, semoga Ibu selalu sehat dan senyum Ibu selalu
ada untuk mencerahkan hari-hari di Fisip.
4. Bapak Dr. Sirojudin Aly, MA yang telah memberikan bimbingannya dan
ilmunya dalam bahasa Arab, dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd yang telah
ii
meluangkan waktu untuk membinbing bahasa Inggris, serta Bapak dan Ibu
Dosen Prodi Pemikiran Politik Islam, yang namanya tidak bisa disebutkan satu-
persatu, karena telah memberikan ilmu yang bermanfaat, pelajaran dan
pengatahuan yang didapat penulis sangat membuka wawasan penulis.
5. Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas
Usuluddin dan Filsafat, Perpustakaan DPRD Kota Bekasi, dan Perpustakaan
Kota Bekasi, terima kasih atas pinjaman buku-buku yang bermanfaat dan
berguna dalam penyelesaian Skripsi ini.
6. Bapak Ir. Muhammad Affandi anggota DPRD kota Bekasi 2004-2009 sebagai
ketua pansus perda pelayanan publik yang sudah meluangkan waktunya untuk
wawancara, terima kasih penulis sampaikan karena hasil kata-kata yang bapak
ucapkan sangat berguna untuk penulis, Bapak Jaya Ekosetiawan SH selaku
Lurah Jatiluhur, terima kasih atas waktunya untuk diwawancara dan
memberikan informasi mengenai pelaksanaan pelayanan publik di kelurahan.
Terima kasih pula penulis sampaikan Bapak Azhari ST Kasubag Risalah dan
Persidangan yang telah banyak membantu penulis di DPRD dalam memberikan
data, buku serta informasinya, penulis tidak akan melupakan jasa Bapak, Ibu
Rosndajani Retno Dewanti, SH.MH yang membantu untuk memberikan data-
data Kota Bekasi, Bapak Panji ST dari Dinas Perijinan yang memberikan
Datanya, apa yang bapak berikan sangat bermanfaat bagi penulis.
7. Special thanks for Dhika Hafizh Pratama, terima kasih atas waktu yang selalu
ada untuk penulis dan selalu menemaniku selama ini, tidak bosan untuk
mendengarkan curhatan hatiku, terima kasih atas kritikan tajamnya yang seperti
iii
silet namun sangat membangun untukku,U are someone who is very meaningful
in my life, love and the love may remain there for me.
8. Sahabat-sahabatku di Wida Salon Kost Popy, Rina, Icha, Ita, T’nu dan semua
yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih ats kebersamaannya
selama ini bagi penulis, never lost in my memory, teman-teman seperjuangan
yang selalu memberikan nilai-nilai edukasi dan fighting spirit LS-ADI Ed,
Bagus, Didi, Bunga, K’wahyu, K’fiqran, K’dhani, K’Yudis dan semuanya
kebersamaan kita adalah pelajaran hidup yang sangat berarti. HMI Ciputat
Khususnya Kom. Usuluddin dan Filsafat, K’Adi, K’Fajar, K’suber dan teman-
teman seperjuangan di HMI, pelajaran berorganisasi dikampus Very Amazing.
9. Teman-teman Pemikiran Politik Islam, sekarang berubah jadi Ilmu Politik, Ns-3
Khususnya, Nita, Syifa, Selvi, sahabat berbeda karakter tapi kita memberikan
keunikan dalam kebersamaan kita. Teman seperjuangan Rifki Pratama “Tejo”,
dan Arif Ruslan, Rico, Komala. Juga teman-teman Lutfillah, Rifa, Anwar
(tukang komplen), Ivan, Hendi, Awank, dan masih banyak lagi yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu, semoga kita takkan berubah, kalian semua adalah
teman-teman yang memberi nuansa hidup selama dikelas PPI.
10.Teman-teman di Tafsir Hadist Fitriyani S.Th, Vina S.Th, Ulfa S.Th, Kamel
S.Pd.I. teman ngebayolku, Muhammad Taufiqurahman Abdul Rifai “Monyet
rabies” orang yang pertama kali memberi petuah-petuah sosialiscm.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang terkait, lembaga
maupun perorangan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang secara
langsung atu tidak langsung telah memberikan semangat dan membantu penulis dalam
iv
v
kuliah dan penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas jasa-jasa kalian.
Amin.
Penulis sangat menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan yang perlu
disempurnakan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun bagi para pembaca.
Bekasi, Juni 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................vi
DAFTAR TABLE....................................................................................................ix
BAB I. PENDAHULUAN.........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...........................................................12
C. Tujuan Penelitian..........................................................................................12
D. Kerangka Teori.............................................................................................13
E. Metode Penelitian.........................................................................................13
F. Sistematika Penulisan...................................................................................14
BAB II. DPRD DAN OTONOMI DAERAH .......................................................16
A. Pengertian Otonomi Daerah..........................................................................16
B. DPRD Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah.................................22
B.1. Undang-undang No.5 Tahun 1974........................................................25
B.2. Undang-undang No. 22 Tahun 1999.....................................................26
B.3. Undang-undang No. 32 Tahun 2004.....................................................28
vi
C. Refleksi Peran DPRD Dalam Otonomi Daerah ...........................................29
BAB III. GAMBARAN UMUM TENTANG KOTA BEKASI...........................33
A. Sejarah Kota Bekasi......................................................................................33
B. Penjelasan Singkat Pemekaran Kota Bekasi Dari Kabupaten Bekasi...........37
C. Penjelasan Umum DPRD Kota Bekasi.........................................................42
C.1. DPRD Kota Madya Bekasi Tahun 1999-1999......................................44
C.2. DPRD Kota Bekasi Tahun 1999-2004..................................................45
C.3. DPRD Kota Bekasi Tahun 2004-2009..................................................46
BAB IV PERATURAN DAERAH N0.13 TAHUN 2007 TENTANG
PENYELENGGARAAN PELAYANAN
PUBLIK...................................................................................................55
A. Faktor Yang Melatar Belakangi Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Publik...........................................................................................55
B. Peranan DPRD Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik..............................................................60
C. Sosialisasi Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Publik............................................................................................................69
D. Peranan DPRD Dalam Pengawasan Peraturan DaerahTentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik..............................................................71
vii
viii
D.1. Pihak-pihak Yang Bertanggung Jawab Terhadap Pelaksanaan Peraturan
Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Publik.....................................................................................................74
D.2. Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Publik.....................................................................................................76
BAB V. PENUTUP.................................................................................................81
A. Kesimpulan...................................................................................................81
B. Saran.............................................................................................................82
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................83
LAMPIRAN............................................................................................................88
DAFTAR TABLE
1. Gambar 1 Bagan Alur Pengurusan Perijinan............................................................75
2. Gambar 2 Bagan Alur Pengurusan Pelayanan..........................................................76
3. Tabel 3 Contoh Pelaksanaan.....................................................................................76
ix
1
BAB I
PANDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 telah mengubah
sistem kehidupan berbangsa, bernegara serta berpemerintahan. Perubahan sistem in
tercermin pada pergantian UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan daerah menjadi UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
membawa perubahan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Indonesia. Perubahan ini tampak lebih berorientasi pada penyelenggaraan
pemerintahan yang partisipatif dan demokrasi dari pada efisiensi administrasi.
Meski UU tersebut telah disempurnakan menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan daerah, semangat partisipasi masyarakat tetap dipertahankan dengan
menekankan perlunya efisiensi dalam penyelenggaraannya. Kini daerah memiliki
jumlah dan bobot yang lebih besar dari pada sebelumnya secara politis, dan daerah
memiliki kemandirian yang lebih besar dari pada sebelumnya.1
Lengsernya Soeharto dengan pemerintahan yang sentralis membawa angin
segar bagi perbaikan hubungan daerah dan pusat, karena tuntutan akan adanya
otonomi daerah dan perbaikan terhadap sistem pemerintahan daerah di hadirkan
dalam UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasan sistem
penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara campur aduk. Kedua istilah
1 M.R.Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah (Malang,Jawa Timur:
BayuMedia,2006), Cet. 1, h. 95
2
tersebut secara akademik bisa dibedakan, namun secara praktis dalam
penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Bahkan menurut banyak
kalangan, otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri. Desentralisasi adalah
pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintahan pusat kepada
pemerintahan daerah.2
Otonomi daerah diartikan sebagai manifestasi desentralisasi. Otonomi dalam
makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri” sedangkan dalam makna yang
lebih luas diartikan sebagai ‘berdaya”. Otonomi daerah dengan demikian berarti
kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan
mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mencapai kondisi
tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja
secara mandiri tanpa tekanan dari luar.3
Otonomi daerah diberikan melalui desentralisasi politik dan desentralisasi
administratif4, desentralisasi politik dimuat dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang memperkuat posisi DPRD, yang kemudian di revisi
dengan adanya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang salah
satunya di sebutkan mengenai pemilihan kepala daerah dan DPRD secara
demokratis melalui pemilu langsung. Sementara itu desentralisasi administratif
yaitu pemberian wewenang kepada pemerintah lokal dalam mengurus anggaran
daerah dan sumber-sumber daerah. Hal ini semakin mendekatkan pelayanan
2 Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), Edisi Revisi, 2003, h. 149
3 Ibid, h. 150 4 Willy R. Tjandra, Praksis Good Governance (Sewon Bantul: Pondok Edukasi, 2006), h. 7
3
pemerintahan kepada rakyat didaerah dalam proses administrasi, otonomi daerah
dalam pihak ini harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijkaan ekonomi nasional
di daerah.
Kalangan teoritisi pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen
yang menjadi dasar dalam memilih desentralisasi-otonomi, yaitu: pertama, untuk
terciptanya efesiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah
berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang sosial,
kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan,
keamanan dalam negeri dan lain-lain. Oleh karena itu, tidaklah mungkin semua
dilakukan dengan cara yang sentralistik, sehingga ada pembagian tugas antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diatur dalam otonomi daerah. Kedua,
sebagai sarana pendidikan politik. banyak kalangan ilmuan politik berargumentasi
bahwa pemerintahan daerah merupakan kancah pelatihan dan pengembangan
demokrasi dalam sebuah negara, pemerintah daerah akan menyediakan kesempatan
bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau
kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik, dan mereka yang tidak
memiliki peluang untuk terlibat dalam politik nasional, mempunyai peluang untuk
ikut dalam politik lokal. Ketiga, pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir
politik lanjutan. karena pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif lokal),
merupakan lahan yang banyak dimanfaatkan guna menapak karir politik yang lebih
tinggi dari dominasi lokal menjadi dominasi nasional. Keempat, stabilitas politik.
stabilitas nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal.
Kelima, kesetaraan politik. Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka
4
kesetaraan politik diantara berbagai kompenan masyarakat akan terwujud. Karena
masyarakat di berbagai lapisan daerah mempunyai kesempatan untuk terlibat salam
politik, melalui pemilihan kepala desa, bupati,walikota, dan bahkan gubernur. Dan
masyarakat terlibat dalam mempengaruhi pemerintahannya untuk membuat
kebijakan terutama yang menyangkut kepentingan mereka.5
Sejalan dengan perubahan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang diganti oleh UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, ada
sejumlah perubahan yang menyangkut konsep kelembagaan di pemerintahan
daerah. Menurut UU No.32 Tahun 2004, pemerintah daerah adalah Kepala Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)6 menurut asas otonomi , dan tugas
perbantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh UUD 1945.
Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati/Walikota dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan, sedangkan DPRD adalah lembaga perwakilan
rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.7
Dengan adanya otonomi daerah yang luas diera reformasi ini memberi ruang
DPRD sejajar dengan Kepala Daerah, dahulu lembaga perwakilan rakyat (legislatif)
berada dibawah dominasi eksekutif dipusat maupun daerah, hal ini karena Presiden
Soeharto membangun hegemoni yang luar biasa terhadap lembaga legislatif. Hal ini
5 Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani , h. 153 6 Selanjutnya akan menggunakan kata DPRD 7 Baban Sobandi, dkk., Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah
(Bandung: Humaniora, 2005), h. 115
5
dapat dilihat dalam strategi memperkokoh dominasinya, mengontrol dan
mengendalikan secara total daerah-daerah.
Salah satu contoh dari desain hegemoni rezim soeharto terhadap lembaga
perwakilan rakyat daerah, misalnya, ketentuan pasal 15 dan 16 UU No.5 tahun 1974
mengenai pengangkatan kepala daerah. Keputusan akhir pemilihan Gubernur dari
DPRD diserahkan kepada Presiden, melalui Mentri Dalam Negeri. Ini pun berlaku
dalam pengangkatan Bupati/Walikota. Hegemoni ini membuat DPRD yang begitu
kuat dalam proses pemilihan kepala daerah menyebabkan DPRD mandul dalam
melaksanakan perannya sebagai wakil rakyat untuk menentukan pemimpin daerah
yang dikehendaki rakyat.8
Pasca lengsernya Soeharto, terjadi perubahan besar menyangkut hubungan
pusat dengan daerah. Semangat tersebut diakomodasi UU NO. 22 Tahun 1999
tentang pemerintahan daerah yang mulai mengembangkan istilah demokrasi,
partisipasi masyarakat, serta pengelolaan kekuasaan transparan. Pasal 18 Ayat 1,
UU No.22 Tahun 1999 memberi kewenangan yang sangat penting bagi DPRD
antara lain, memilih kepala Pemerintahan Daerah (Gubernur/Wakil, Bupati/Wakil,
dan Walikota/Wakil), serta mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala
Daerah. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Bupati/wakil Bupati dan
walikota/wakil walikota bertanggung jawab kepada DPRD.
Seiring berkembangnya demokratisasi di indonesia UU No.22 tahun 1999 di
ubah menjadi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu
8 Sadu Wasistiono, dan Ondo Riyani, ed., Etika Hubungan Legislatif Eksekutif (Bandung:
Fokus Media, 2003), h. 234
6
alasan di rubahnya karena UU sebelumnya DPRD mempunyai otoritas terlalu besar
terhadap Kepala Pemerintahan. Dan UU No.32 tahun 2004 dengan tegas
memisahkan antara badan legislatif dan eksekutif daerah. UU ini juga menegaskan
bahwa kedudukan setiap unsur pemerintah daerah berdiri sendiri dan tidak
mempunyai hubungan hierarki. Karena baik anggota DPRD maupun Kepala Daerah
dipilih langsung oleh Rakyat, lewat pemilihan umum. Namun DPRD dan kepala
daerah juga memiliki kewajiban antara lain, menjalin hubungan kerjasama dengan
seluruh intansi vertikal di daerah. Serta memberi laporan pertanggungjawaban
kepada DPRD.
Walaupun ada pemisihan antara Kepala Daerah dan DPRD namun kedua
lembaga ini bersifat sejajar dan bersifat kemitraan, keduanya mempunyai
kedudukan yang sama penting karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga
mempunyai legitimasi yang sah. Namun Kepala Daerah dan DPRD mempunyai
korelasi kerja satu sama lain, salah satu contohnya dalam UU No.32 Tahun 2004,
pasal 24 menyatakan bahwa memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah
berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, mengajukan rancangan
perda ke DPRD, dan menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan DPRD.
Dengan ini dilihat bahwa kerja Kepala daerah tidak bisa terlepas dari peranan
DPRDnya9.
Pada akhirnya segala urusan mengenai daerah menjadi pekerjaan rumah
bagi pemerintah daerah, tidak terkecuali bagi daerah manapun, dan DPRD sebagai
Lembaga yang anggotanya dipilih oleh rakyat harus bisa membuat kebijakan yang
9 Baban Sobandi, dkk., Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah, h. 116
7
sesuai dengan kepentingan publik. Kota Bekasi yang merupakan salah satu kota di
Indonesia juga harus melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan UU yang sudah
disepakati.
Bekasi yang kini menjadi Kota dan terlepas dari kabupaten Bekasi
mempunyai sejarah tersendiri dalam pembentukannya. Bekasi juga merupakan
daerah yang diduduki oleh penjajahan Belanda dan Jepang, pasca kemerdekaan
Bekasi ditata menjadi Kabupaten. Terbentuknya kabupaten Bekasi juga tidak lepas
dari aspirasi masyarakat Bekasi untuk dibentuknya Kabupaten Bekasi yang awalnya
Kabupaten Jatinegara.
Kabupaten Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 14 Tahun
1950 tertanggal 15 Agustus 1950. Pada saat itu, Kabupaten bekasi terdiri dari 4
kewedanaan, 13 kecamatan dan 95 desa. Dan perkembangan pemerintahan
Republik Indonesia pada waktu itu menuntut adanya pelayanan yang maksimal
terhadap masyarakat, berdasarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 1981
kecamatan bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif Bekasi yang
meliputi 4 kecamatan, Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Utara.
Dari keempat kecamatan itu terdiri 18 kelurahan dan 8 desa. Pemekaraan itu
dilakukan atas tuntutan masyarakat perkotaan yang memerlukan adanya pelayanan
khusus. Pembentukan kota Administrasi Bekasi digelar pada tanggal 20 April 1981
yang dihadiri mentri Dalam Negeri (Mendagri). Dan perkembangan yang
ditunjukan Kota Administrasi Bekasi mampu memberikan dukungan penggalian
potensi di wilayahnya untuk menyelenggarakan Otonomi daerah. Dan untuk
mendukung jalannya roda pemerintahan, maka keluarlah UU No. 9 Tahun 1996
8
yang mendukung berubahnya Kota Administrasi Bekasi menjadi Kotamadya
Daerah Tingkat II Bekasi dan yang menjabat sebagai walikotamadya adalah
Drs.H.Khailani AR, selama satu tahun (1997-1998).10
Selanjutnya berdasarkan hasil pemilihan terhitung mulai tanggal 23 Pebruari
1998 Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dijabat oleh Drs. H. Nonon
Sonthanie (1998-2003). Setelah pemilihan umum berlangsung terpilihlah Walikota
dan Wakil Walikota Bekasi yaitu: Akhmad Zurfaih dan Moechtar Muhammad
(periode 2003-2008), dan pada tahun 2008 terpilih walikota Moechtar Muhammad
sebagai Walikota dan Rahmat Effendi S.Sos sebagai Wakil Walikota (periode 2008-
2013), yang terpilih lewat pemilihan kepala daerah langsung oleh warga Kota
Bekasi.
Kota Bekasi setelah berbentuk Kotamadya mulai membuktikan
kemandiriannya dalam mengembangkan Kota Bekasi, dengan didukungnya
otonomi daerah yang dapat memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengurus
rumah tangganya sendiri. Kota Bekasi menunjukan geliatnya dengan membangun
sektor perekonomian yang lebih nyata. Ini bisa dilihat pada awalnya perekonomian
Bekasi baru berkembang disepanjang Jl.Ir H. Juanda yang membujur sepanjang 3
km dari Alun-alun Kota hingga terminal Bekasi. Di jalan ini terdapat pusat
pertokoan Bekasi yang dibangun pada tahun 1978, serta beberapa departemen store
dan bioskop. Sejak tahun 1993, perekonomian mulai berkembang disepanjang Jl.
Ahmad Yani dengan dibangunnya beberapa mal serta sentra niaga. Kini pusat
perekonomian telah berkembang hingga Jl. KH. H. Noer Ali ( Kalimalang), Kranji,
10 http// www.Kota Bekasi.go.id, diakses pada tanggal 17 November 2009
9
dan Harapan Indah. Di daerah ini bisa dilihat dengan adanya hotel, banyaknya mal,
pertokoan,bank serta restoran dan perumahan-perumahan mewah yang ada di
daerah ini. Dan kini pusat perekonomian telah berkembang sampai di beberapa
kecamatan bekasi salah satunya kecamatan Jati Asih, di kecamatan ini sudah dibuka
akses jalan tol yang menghubungkan ke Jabodetabek sampai ke bandung, juga ada
supermarket, restoran, bank, perumahan-perumahan dan sarana transportasi
angkutan umum yang sudah menjangkau kebeberapa kota.
Berkembangnya sektor perekonomian di kota Bekasi, diiringi dengan
pemerintahan daerah yang stabil dan kuat, pemerintah daerah Kota Bekasi sudah
melaksanakan pemilihan kepala daerah pertama pada tanggal 27 januari 2008 untuk
memilih wali kota secara langsung. Berbeda dengan pemilihan kepala daerah
sebelumnya yang memakai cara walikota dipilih oleh anggota DPRD (Dewan
Perwakilan Rakyat daerah). Pemilihan kepala daerah tersebut diikuti oleh tiga
pasang calon, dan akhirnya dimenangkan oleh Mochtar Mohammad dan Rahmad
Effendi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar. Sedangkan
dalam pemilihan anggota DPRD secara demokratis sudah dilakukan terlebih dahulu
pada tahun 2004 bersamaan dengan pemilu nasional, dan mengantarkan 54 orang
wakil rakyat Kota Bekasi dari delapan partai politik: PKS(11), Golkar(9),
P.Demokrat(7), PAN(6), PPP(4), PDS(1), PBB(1), periode 2004-2009, yang terpilih
sebagai pimpinan DPRD ketua H.Rahmat Effendi,S.Sos,M.Si,(F-Golkar),
didampingi oleh H.Dadang Asgar Noor (F-P.Demokrat) dan H. Ahmad Saiykhu (F-
PKS).11
11 http// www.Kota Bekasi.go.id, diakses pada tanggal 17 November 2009
10
Pemilihan Kota Bekasi sebagai tempat penelitian karena secara geografis
Bekasi merupakan salah satu kota penyangga di wilayah megapolitan jabotabek
selain Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Depok dan Cikarang, serta menjadi
tempat tinggal masyarakat yang bekerja dijakarta. Oleh karena itu ekonomi Kota
Bekasi sangat berhubungan erat dengan kota-kota wilayah jabodetabek, Kota
Bekasi yang berbatasan langsung dengan Kota Metropolitan DKI Jakarta, pada saat
ini maupun kedepan akan semakin mempunyai posisi yang sangat strategis dalam
mendukung berbagai pelayanan dan pengembangan DKI. Kota Bekasi akan
semakin strategis sebagai Kota Pengimbang (Trickling Down Effect) untuk
mengurangi tekanan penduduk beserta aktifitasnya dari DKI Jakarta. Dengan
kondisi ini di asumsikan penduduk kota bekasi pada tahun 2015 diproyeksikan
mencapai 2.250.000 jiwa, laju pertumbuhan Kota Bekasi dari tahun ketahun terus
meningkat, pada tahun 2001 jumlah penduduk Kota Bekasi mencapai 1.708.337
jiwa dan bertambah pada tahun 2005 2.001.899 jiwa, dan pada tahun 2007 sampai
saat ini mencapai 2.143.804 jiwa.
Kota Bekasi diarahkan untuk pengembangan jasa, perdagangan, industri dan
pemukiman, sebagai bagian dari pengembangan kawasan terbangun atau perkotaan
dengan koridor timur barat (poros Bekasi-Jakarta-Tangerang). Kelengkapan
infrastruktur menjadi nilai tersendiri ketika memilih hunian di Bekasi. Maraknya
pusat properti komersial di Bekasi, juga bisa menjadi sinyal bahwa kebangkitan
pembangunan properti di Bekasi akan semakin jelas. Dari data survei yang
dilakukan PT Procon Indah yang dilangsir pada jakarta property market review
11
2007 tingkat hunian di Kota Bekasi mencapai persentase 90,6%, Jakarta 85,9%,
Tangerang 73,2%, dan Bogor57,0%.12
Meningkatnya sektor perekonomian di Kota Bekasi tentu harus diikuti
dengan kinerja DPRD sebagai lembaga politik yang membuat kebijakan publik bagi
warganya. Dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditekankan
dan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, karena dalam Undang-undang ini mulai diterapkannya
standar pelayanan minimum (SPM) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pasal 11 ayat (4) menyebutkan bahwa “penyelenggaraan urusan pemerintahan
wajib harus berpedoman pada SPM yang dilaksanakan secara bertahap dan
ditetapkan oleh pemerintah”.
Salah satu prestasi dibidang pemerintahan yang dicapai Kota Bekasi pada
tahun 2005-2006 adalah juara lomba pelayanan publik tingkat nasional pada tahun
2005 dan lomba evaluasi kinerja kelurahan tingkat Provinsi selama dua tahun
berturut-turut, pada tahun 2005 kelurahan Jaka Sampurna dan pada tahun 2006
kelurahan Bintara yang menang dalam pelayanan masyarakat, padahal pada saat itu
Kota Bekasi belum mempunyai peraturan daerah mengenai penyelenggaraan
pelayanan publik.13 Ini menjadi pekerjaan rumah bagi DPRD, untuk meningkatkan
pelayanan dibidang pemerintahan maka DPRD harus membuat peraturan daerah
tentang penyelenggaraan pelayanan publik yang sesuai dengan standar pelayanan
minimum. Hal ini menarik untuk dikaji karena dengan adanya arahan terhadap
12 http://www.Jatisari, hunian kota bekasi. Html, diakses pada tanggal 27 Januari 2010. 13 Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil
Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007.
12
pelayanan publik seperti yang tertuang dalam UU 32 Tahun 2004, apakah DPRD
berperan dalam pembuatan peraturan daerah ini dan melihat seperti apa DPRD Kota
Bekasi memberi ruang terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Bekasi.
Selain alasan objektif diatas alasan subjektifnya adalah penulis lahir dan
dibesarkan di Kota Bekasi. Dan dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat
berguna bagi masyarakat Kota Bekasi, khususnya bagi aparatur pemerintahan Kota
Bekasi dalam menjalankan roda pemerintahan.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Perubahan sistem otonomi daerah yang berdampak pada keterbukannya
demokrasi politik di Indonesia, membawa babak baru bagi DPRD sebagai lembaga
legislatif daerah. Begitu juga dengan DPRD di Kota Bekasi, dengan adanya
otonomi daerah DPRD Kota Bekasi mempunyai hak untuk membuat kebijakan-
kebijakan di daerah yang dibutuhkan oleh masyarakat Kota Bekasi.
Karena luasnya pembahasan mengenai peran DPRD Kota Bekasi dalam
membuat peraturan daerah, agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah,
maka penulis membatasi dan memfokuskan kajian pada DPRD Dalam Otonomi
Daerah Studi Analisis Terhadap Peranan DPRD Kota Bekasi Dalam Penyususnan
dan Pengawasan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik,
oleh karena itu, pembahasan akan dirumuskan pada seputar:
1. Bagaimana peranan DPRD Kota Bekasi dalam penyusunan dan pengawasan
peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan Publik ?
13
C. Tujuan Penelitian
Merujuk pada latar belakang yang telah dijabarkan dalam penelitian skripsi
ini penulis memiliki dua tujuan, umum dan khusus. Tujuan umum disini di
antaranya:
1. Untuk mengetahui Peranan DPRD dalam otonomi daerah
2. Untuk mengetahui bagaimana peranan DPRD Kota Bekasi dalam
penyususnan dan pengawasan peraturan daerah tentang penyelenggaraan
pelayanan Publik
Sedangkan tujuan khusunya adalah untuk melengkapi tugas akhir dari
perkuliahan, dan untuk meraih gelar Sarjana Sosial (S.Sos )
D. Kerangka Teori
Teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori Otonomi Daerah yang
mengacu buku karangan Dr. J. Kaloh dengan judul Mencari Bentuk Otonomi
Daerah, sedangkan dalam teori pemerintahan daerah mengacu pada BN Marbun,
SH. DPRD Pertumbuhan dan Cara kerjanya, dan untuk teori pembentukan
kebijakan publik akan mengacu pada Prof. Dr. Sadu Wasistiono, M.S. dan Drs.
Yonatan Wiyoso, M.Si dengan buku Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD)
E. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan data-data bagi penelitian skripsi ini, penulis
menggunakan penelitian perpustakaan (library research), yaitu mengumpulkan
14
data-data dengan cara membaca karya ilmiah, buku, media masa, jurnal-jurnal, dan
menggunakan metode wawancara kepada kepada sumber yang mengerti
pembahasan ini . dan sumber lainnya yang berkaitan dengan pembahasan sebagai
bahan referensi penulis dalam menelaah pembahasan, penulis juga akan ke DPRD
untuk mendapatkan data yang akurat mengenai pembahasan tema ini.
Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif-analitik, yaitu
suatu pendekatan dengan mendeskripsikan atau mengurai unsur-unsur yang
berkaitan dengan tema yang dimaksud serta menganalisanya. Sehingga ada data
yang pasti mengenai peraturan daerah maupun refrensi lain, agar diperoleh suatu
jawaban yang pasti, Skripsi ini menggunakan analisis kualitatif, karena akan
mengolah data, subjektif, melakukan wawancara dan menggunakan sebuah teori.
Karena analisis kuantitatif umumnya digunakan untuk membuat angket, objektif,
skala dan meninbulkan teori.
Secara umum, teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku-buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan
oleh CEQDA (Center For Quality devolopment and Assurance) Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Press 2008.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun menggunakan pembahasan bab per bab. Kemudian
dijelaskan sub per sub setiap tema pembahasan. Dengan demikian penulis
menyusun sistematikanya sebagai berikut:
15
Pada bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada bab kedua akan dibahas tentang DPRD dan Otonomi Daerah, yang
berisi pengertian Otonomi Daerah, DPRD Dalam Undang-undang Pemerintahan
Daerah, Refleksi Peran DPRD Dalam Otonomi Daerah.
Pada bab ketiga membahas tentang Gambaran Umum Tentang Kota Bekasi
yang membahas, Sejarah Kota Bekasi, Penjelasan Singkat Pemekaran Kota Bekasi
Dari Kabupaten Bekasi dan Penjelasan Umum Kota Bekasi .
Pada bab keempat penulis mencoba menganalisis mengenai Faktor Yang
Melatar Belakangi Peraturan Daerah Kota Bekasi Tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Publik, Peranan DPRD Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Sosialisasi Peraturan Daerah Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Peranan DPRD Dalam Pengawasan peraturan
Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Pada bab kelima akan ditulis Kesimpulan dan Saran.
16
BAB II
DPRD DAN OTONOMI DAERAH
A. Pengertian Otonomi Daerah
Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk
diamati dan dikaji, karena semenjak para pendiri negara menyusun format negara,
isu menyangkut pemerintahan lokal telah diakomodasika dalam Pasal 18 UUD
1945 beserta penjelasannya. Pemerintahan daerah dalam pengaturan Pasal 18
UUD 1945 yang telah diamandemen mengakui adanya keragaman dan hak asal-
usul yang merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Meskipun
negara Republik Indonesia menganut prinsip negara kesatuan dengan pusat
kekuasaan berada pada Pemerintah Pusat namun karena heterogenitas yang
dimiliki bangsa indonesia baik kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun
keragaman tingkat pendidikan masyarakat, maka otonomi daerah atau
desentralisasi yang merupakan distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah
pusat perlu dialirkan kepada daerah yang berotonom.1
Sejak kemerdekaan hubungan kekuasaan Pemerintah pusat dan daerah selalu
berubah, hal ini bisa dilihat dalam bentuk kebijakannya. Pada masa Soekarno
pemerintah pusat mulai berusaha untuk mengembangkan otonomi daerah pada
tahun 1957 dengan lahirnya UU No. 1 tahun 1957, namun hal ini gagal diterapkan
dan menimbulkan kekecewaan pada pemerintah daerah yang menilai sistem
pemerintahan yang sentralistis dan tidak memberikan ruang yang memadai terhadap
1J .Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal dan Tantangan Global (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), h. 1
17
otonomi daerah, sampai akhirnya pada masa pemerintahan Soeharto pengaturan
politik lokal dibenahi dengan hegemoni yang kuat dari pusat kedaerah. Soeharto
mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan secara nasional.2
DPRD pada masa Orde Baru seringkali dianggap hanya sebagai “simbol
demokrasi”.3 Penilaian tersebut datang dari kalangan masyarakat yang melihat
bahwa fungsi DPRD sebagai lembaga perwakilan tidak teraktualisasikan di dalam
praktik politik. Padahal, kulaitas demokrasi sangat ditentukan oleh aktualisasi
fungsi-fungsi lembaga perwakilan untuk menjamin hubungan konsultatif antara
masyarakat dengan eksekutif dalam merumuskan kebijakan menyangkut
kepentingan masyarakat umum.4 Hubungan konsultatif yang dimaksudkan disini
adalah hubungan saling berbagi pendapat dengan cara rasional di dalam proses
pembuatan keputusan politik yang menyangkut kepentingan umum.5
Selama hampir seperempat abad kebijakan otonomi daerah di Indonesia
mengacu kepada UU No.5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah
yang di buat pada masa Soeharto. Akhirnya setelah Soeharto lengser, bergulir era
reformasi ada suatu desakan dari kalangan politik lokal agar ada perbaikan
hubungan antara Pusat dan daerah. Dan timbul keinginan daerah agar kewenangan
pemerintahan dapat didesentralisasikan dari pusat kedaerah. Akhirnya tanggal 7 mei
2Pratikno, “Pengelolaan Hubungan Pusat dan Daerah” dalam Syamsuddin Haris (editor),
Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah (Jakarta:Lipi Press, 2007), h. 31-33
3 Mochammad Nurhasim, ed., Kualitas Keterwakilan Legislatif: Kasus Sumbar, Jateng, Jatim, Jatim dan Sulsel (Jakarta: P2P LIPI, 2001), h. 1
4 Priyatmoko, Akuntalisasi Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: Kerangka Analisis dan Beberapa Kasus, dalam Miriam Budiarjo dan Ibrahim Ambong, ed., Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1993), h. 143
5 Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik FISIP Universitas Indonesia Dengan badan Perencanaan Daerah Provinsi Jakarta, dalam Penelitian Peran Dan Fungsi DPRD Di Era Reformasi (Jakarta: Depok, 2003), h. 18
18
2001 lahirlah UU N0.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
menegaskan kembali pelaksanaan Otonomi daerah,6 Jika dimasa lalu kebijakan di
tingkat pemerintahan daerah lebih tergantung pada kebijakan pemerintah pusat, atau
dominasi pusat (heavy excecutive) yang menekan dominasi daerah (heavy
legislatif). Maka dengan adanya UU No.22 Tahun 1999 kewenangan pemerintah
daerah menjadi lebih luas dan otonom, dan tidak bergantung pada kebijakan pusat.7
Menurut E. Erikson dalam Save M. Dagun otonomi secara etimologi
diambil dari kata (autonomy : yun : autos=sendiri – nomos=hukum) terdapat tiga
pengertian yaitu: pertama, kemampuan /hak manusia untuk mengatur, memerintah
dan mengarahkan diri sendiri sesuai kehendaknya tanpa campur tangan orang lain.
Kedua, kekuasaan dan wewenang suatu lembaga atau wilayah untuk menjalankan
pemerintahan sendiri. Ketiga, keadaan munculnya perasaan bebas-lepas dan
kepercayaan diri yang kuat setelah seseorang berhasil melewati rintangan-rintangan
masa mudanya.8
Dalam kamus politik otonomi adalah hak untuk mengatur kepentingan dan
urusan internal daerah atau organisasinya menurut hukum sendiri. Otonomi dalam
batas tertentu dapat dimiliki oleh wilayah-wilayah dari suatu negara untuk mengatur
pemerintahannya sendiri.9
6 Syaukani, dkk., Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan ( yogyakarta: pustaka Pelajar,
2003), h. 14 7 Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik Fisip Universitas Indonesia Dengan
badan Perencanaan Daerah Provinsi Jakarta, dalam Penelitian Peran Dan Fungsi DPRD Di Era Reformasi (Jakarta: Depok, 2003), h.
8 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997), h. 759
9 BN. Marbun, Kamus Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), h. 350
19
Otonomi daerah sendiri adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai perundang-undangan yang
berlaku.10
Otonomi daerah sebagai bentuk desentralisasi pemerintahan ditujukan untuk
memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih
mendekati tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka mewujudkan cita-
cita masyarakat yang lebih baik, masyarakat yang lebih adil dan makmur,
pemberian, pelimpahan dan penyerahan tugas-tugas kepada daerah.
M. Turner dan D. Hulme dalam Dede Rosyada berpandangan bahwa yang
dimaksud dengan otonomi daerah adalah transfer kewenangan untuk
menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen
pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada
publik yang dilayani. Landasan yang menjadi transfer ini adalah teritorial dan
fungsional.11 Pendapat lain di kemukakan oleh Rondinelli yang mendefinisikan
otonomi daerah sebagai transfer tanggung jawab dalam perencanaan. Manajemen
dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agenya kepada unit
kementrian pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintah, otoritas
pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintahan, otoritas atau korporasi
publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas,
atau lembaga privat non pemeintah dan organisasi nirlaba.12
10 Save, M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 759 11 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat Madani, h. 151 12 Ibid., h. 151
20
Negara Indonesia, sebagai negara kesatuan republik, dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan asas desentralisasi, telah menjadi
bahan pembicaraan jauh sebelum proklamasi 17 Agustus 1945, Murtir Jeddawi
dalam bukunya mengutip tulisan Mohammad Hatta dalam tulisan ke arah Indonesia
merdeka (1933) menyebutkan: “ Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau
dan golongan bangsa, mendapat hak menentukan nasib sendiri, asal saja peraturan
masing-masing tidak berlawanan dengan dasar-dasar pemerintahan umum” dan ia
menegaskan pembentukan pemerintahan daerah (pemerintahan yang berotonomi),
merupakan salah satu aspek pelaksanaan paham kedaulatan rakyat.13
Visi otonomi daerah itu sendiri dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup
interaksinya yang utama yaitu: Politik, ekonomi, serta sosial dan budaya. Dalam
bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan
demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang
bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis.
Demokratisasi pemerintah juga berarti transparasi kebijakan. Membangun sistem
dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif. Juga penguatan DPRD
dalam keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah. DPRD juga
memiliki hak pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan daerah. Di bidang
ekonomi, otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan
ekonomi nasional didaerah, serta terbukanya peluang bagi pemerintah daerah
mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan
pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya. Dan dalam bidang sosial dan budaya,
13 Murtir Jeddawi, Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Analisis Kewenangan, Kelembagaan, Manajemen Kepegawaian, dan Peraturan Daerah (Yogyakarta: Kreasi total Media, 2008), h. 133
21
otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara
harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal.14
Dalam Otonomi daerah ada pembagian kekuasaan yang menyangkut urusan
pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Dan urusan pusat meliputi: politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter atau fiskal nasional dan agama.
Urusan pemerintah Provinsi (Dekonsentrasi) berwenang mengatur dan
mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas
kabupaten/kota), sedangkan urusan kabupaten/kota ( Desentralisasi) berwenang
mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal
(dalam suatu kabupaten/kota).15
Pada dasarnya urusan daerah provinsi bersifat atau memiliki dampak dan
manfaat lintas kabupaten dan kota dan urusan yang belum mampu dijalankan oleh
kabupaten/kota. Urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi merupakan
urusan dalam skala provinsi, sementara urusan wajib bagi kabupaten/kota
merupakan urusan wajib bagi kabupaten/kota merupakan skala kabupaten/kota.
Urusan tersebut berupa perencanaan dan pengendalian pembangunan, perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan
bidang kesehatan, penyelenggaraan bidang pendidikan (khusus provinsi
ditambahkan pila urusan alokasi sumber daya manusia potensial), penanggulangan
14 M. Ryaas Rasyid, “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam
Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah , h.10-11
15 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global , h. 172
22
masalah sosial, pelayanan bidang ketenaga kerjaan, pengembangan koperasi, usaha
kecil, dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertahanan,
kependudukan, dan catatan sipil, dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh
peraturan perundang-undangan.16
Memberi otonomi kepada daerah sama seperti dengan mengizinkan “negara
mini”. Rakyat akan membentuk organisasi pemerintahan daerahnya sendiri selaras
dengan kondisi daerah setempat. Pemerintahan daerah itu masing-masing akan
membuat dan menjalankan kebijakan berdasarkan kehendak masyarakat. Meskipun
demikian, kebijakan daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundang-
undangan negara, dan harus sesuai dengan kewenangan yang diserahkan oleh
pemerintah pusat.17
Otonomi daerah menjadi suatu hal yang sangat penting, bukan semata-mata
karena otonomi memberikan kewenangan yang besar kepada daerah, tetapi dengan
otonomi, sebuah pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan lebih
dimungkinkan. Dan dengan otonomi, pemerintah suatu daerah lebih dapat
melaksanakan program ekonomi dan politik yang mandiri sesuai kondisi daerah
yang ada didepan mata pemerintah daerah.
B. DPRD Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah
Persoalan otonomi daerah telah muncul sejalan dengan lahirnya UUD 1945
yang terwadahi dalam pasal 18 UUD 1945. Beranjak dari pasal tersebut lahir pula
16 M.R.Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Cet. 1, h.141-142 17 Djohermansyah Djohan, “Fenomena Etnosentrisme Dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah” dalam Syamsuddin Haris, ed., Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h. 209
23
berbagai Undang-undang tentang otonomi daerah untuk menjabarkan pasal 18 UUD
1945 tersebut. Kelahiran undang-undang tersebut adalah mengikuti gerak dan
tujuan politik dari setiap elit yang menguasai setiap sistem politik. Pada dasarnya
Undang-undang otonomi daerah tersebut bermaksud untuk memberikan keleluasan
bagi setiap daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Hal ini beranjak dari
pemikiran akan luas wilayah dan beragamnya budaya dan adat penduduk di
kepulauan ini.18
Dari aspek dasar hukum tata negara, karena UUD RI Tahun 1945 telah
mengalami amandemen, khususnya pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan
sistem pemerintahan daerah. Maka Undang-undang pemerintahan daerah perlu
disesuaikan. Di samping itu perubahan UU No.22 Tahun 1999, didasarkan pada
pemikiran bahwa sesuai dengan amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pemerintah
daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.19
Dalam penjelasan resmi UUD 1945 yang telah mengalamai perubahan yang
cukup mendasar lewat amandemen UUD 1945 (1999,2000,2001,2002),20akhirnya
dalam amandemen terbaru UUD 1945 merumuskan pasal 18A dan Pasal 18B yang
berbunyi:
a. 1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
18 Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme” dalam Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h.243
19 J .Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), h. 22 20 BN Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h.4
24
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah.
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumbee daya alam
dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
b. 1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-
undang.
2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Adapun hasil rumusan Amandemen pasal 18 UUD 1945 sudah lebih rinci
dan tegas dibanding dengan isi pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemenkan
tahun 2000 oleh MPR. Dari isi UUD 1945 tersebut menjadi jelas bahwa pasal 18
UUD 1945 menjadi landasan pembentukan pemerintahan daerah yang akan diatur
dengan undang-undang, bahwa daerah-daerah dimaksud akan bersetatus otonom
dan akan memiliki DPRD, serta pemerintah daerah.21
Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan
konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah. Tetapi dalam
perkembangannya sejarah ide otonomi daerah mengalami berbagai bentuk
21 Ibid, h. 26-27
25
kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada
masanya. Hal ini terlihat dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah
sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini:
B.1. DPRD Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1974
Hadirnya UU No.5 Tahun 1974 dilatarbelakangi oleh runtuhnya rezim Orde
Lama yang di pimpin oleh Presiden Soekarno dan digantikan oleh Orde Baru yang
dipimpin oleh Presiden soeharto. Pergantian rezim ini terjadi setelah UU No.18
Tahun 1965 relatif baru diberlakukan. Dan pergolakan politik yang meletus melalui
peristiwa G 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia (PKI) telah menunda
berlakunya UU No.18 Tahun 1965 tersebut.
Menurut pasal 13 UU No.5 Tahun 1974: “Pemerintah Daerah adalah Kepala
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Dengan demikian maka dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah ada pembagian yang jelas dalam kedudukan
yang sama tinggi antara Kepala Daerah dan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin
eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif. Akan tetapi DPRD tidak
boleh mencampuri urusan eksekutif. Dan dalam Undang-undang ini tidak mengenal
lembaga BPH atau DPD.22
Sifat UU No.5 Tahun 1974 sangat sentralistik hal ini bisa dilihat dari
kedudukan Kepala Daerah yang ditentukan oleh pusat tanpa bergantung dari hasil
pemilihan oleh DPRD. Kepala Daerah hanya bertanggung jawab kepada pusat dan
tidak kepada DPRD. Ia hanya memberikan laporan kepada DPRD dalam tugas
22 BN Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya (Jakarta: Pustaka Sinar harapan,
2006), h.76
26
bidang pemerintahan daerah, Sehingga DPRD tidak mempunyai kekuasaan
terhadap Kepala Daerah.23
B.2. DPRD Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1999
Lahirnya gerakan reformasi dengan tuntutan demokratisasi, telah membawa
perubahan pada segi kehidupan masyarakat dan termasuk didalamnya perubahan
dalam pola hubungan pusat-daerah. Sistem pengelolaan pemerintahan daerah di
Indonesia juga memasuki babak baru diera pemerintahan Habibie. Tuntutan dan
wacana didaerah bahwa pemerintahan daerah perlu memiliki otonomi yang luas
dalam merumuskan, mengelola, dan mengevaluasi kebijakan publik
terakomodasi.24
DPR secara resmi mengesahkan UU No.22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah pada 21 April 1999, yang mengubah secara drastis UU No.5
Tahun 1974 ketika penyelenggaraan dilakukan secara sentralistis, tawaran otonomi
luas dan desentralisasi atau yang dikenal dengan otonomi daerah menjadi penyejuk
hampir semua daerah pemberian otonomi ysng luas diyakini mampu mencegah
terjadinya disintegrasi bangsa.25
Undang-undang ini mencoba untuk menciptakan pola hubungan yang
demokratis antara pusat dan daerah, undang-undang otonomi daerah ini bertujuan
untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah agar
dapat merealisasikan aspirasinya. Penguatan masyarakat dilihat dengan
23 Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme,” h. 252 24 L. Misbah Hidayat, Reformasi Administrasi Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga
Presiden (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 39 25 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal dan Tantangan Global, h. 140
27
diberdayakannya DPRD. Dan Gubernur sebagai eksekutif daerah bertanggung
jawab kepada DPRD sedangkan Bupati/Walikota kepada DPRD Kabupaten/DPRD
Kota.
UU No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sangat strategis. Karena
kebijakan desentralisasi dalam undang-undang tersebut merupakan bagian dari
kebijakan demokratisasi pemerintahan. Karena itu, penguatan peran DPRD, baik
dalam proses legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah,
perlu dilakukan. Menurut UU No.22 Tahun 1999, posisi DPRD sejajar dengan
pemerintahan daerah, bukan sebagai bagian dari pemerintaha daerah seperti yang
berlaku sebelumnya sesuai UU No.5 Tahun 1974 yang menyatakan DPRD bukan
berkedudukan sebagai badan legislatif tetapi bersama dengan kepala daerah
merupakan pemerintah daerah (local government).26
Pasal 16 dari UU ini menyatakan bahwa DPRD sebagai lembaga perwakilan
rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan
pancasila, DPRD sebagai badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan
menjadi mitra dari pemerintah daerah. Di samping itu kuatnya kedudukan DPRD
juga dinyatakan dalam pasal 18 dari UU ini juga dinyatakan beberapa tugas dan
wewenang DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan wakilnya, memilih utusan
Daerah, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan
wakilnya oleh DPRD.27
B.3. DPRD Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
26 Baban Sobandi, dkk., Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah
(Bandung: Humaniora, 2006), h. 117 27 Lihat Penjelasan Pasal-pasal UU No.22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah
28
Pada tahun kelima implementasi UU No.22 Tahun 1999 tepatnya tahun
2004 pada masa kepresidenan Megawati, dengan berbagai latar belakang
pertimbangan sebagai akibat dari dampak implementasi UU tersebut, muncul
kehendak pemerintah untuk mengadakan revisi untuk undang-undang tersebut, yang
akhirnya memunculkan undang-undang pemerintahan daerah yang baru, yaitu UU
No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. UU 22 Tahun 1999 dinilai kurang
demokratis dan dalam tataran konsep kurang membagi secara jelas tugas dan
kewenangan, hubungan antar strata pemerintah, dan perimbangan keuangan. Pola
hubungan DPRD dan Kepala Daerah kurang berlangsung baik karena dalam
praktiknya DPRD mendominasi, sehingga memunculkan ketidakstabilan
pemerintahaan daerah.28
Dalam Undang-undang ini juga diatur mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi
pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintah daerah yaitu
pemerintah daerah dan DPRD. Kepala daerah dan kepala pemerintah daerah dipilih
secara demokratis. Sehingga DPRD sudah tidak memiliki wewenang lagi untuk
memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan pemilihan secara demokratis
dalam undang-undang ini yaitu pemilihan secara langsung oleh rakyat. Kepala
daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil kepala daerah,
dan perangkat daerah. Penyelenggaraan pilkada langsung dilaksanakan oleh komisi
28 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal dan Tantangan Global, h. 71
29
pemilihan umum daerah (KPUD), KPUD bertanggung jawab kepada DPRD
setempat. Setipa usulan KPUD harus berdasarkan pengesahan DPRD.29
Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja
yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan, kedudukan setara bermakna
sejajar dan tidak saling membawahi. Kemitraan bermakna bahwa antara pemerintah
daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan
daerah untuk melaksanakan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga
ini membangun hubungan kerja yang sifatnya mendukung.
UU No.32 Tahun 2004 dinilai sebagai Undang-undang yang demokratis
karena kepala daerah dan DPRD dipilih langsung oleh rakyat. Dan pembagian
wewenang serta tugas tidak saling tumpang tindih satu sama lain, keduanya
membangun korelasi kerja yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab
untuk membuat kebijakan publik.
C. Refleksi Peran DPRD Dalam Otonomi Daerah
Peran DPRD dalam otonomi daerah yang dimuat dalam undang-undang
pemerintahan daerah selalu berubah arah kebijakannya, ini dikarenakan adaptasi
pelaksanaan otonomi daerah terhadap pemerintah pada awal kemerdekaan belum
stabil, sehingga dari awal kemerdekaan hingga sekarang kebijakan Peran DPRD
dalam otonomi daerah berbeda-beda.
UU No.1 tahun 1945 merupakan undang-undang pertama tentang
pemerintahan daerah, DPRD pada ketika itu disebut Komite Nasional Daerah yang
29 Muhammad Labolo, Memahami Ilmu Pemerintahan Suatu Kajian, Teori, Konsep dan Pengembangannya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 123
30
pada mulanya adalah badan yang merupakan duplikasi komite nasional pusat untuk
daerah-daerah, Komite nasional daerah lalu berubah menjadi badan perwakilan
rakyat daerah (BPRD) yang menjadi badan legislatif.
Maka UU No.22 Tahun 1948 sudah ada pembentukan DPRD dan DPD
untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Kepala daerah diangkat oleh
pemerintah pusat dari calon yang diajukan DPRD dan bertindak selaku ketua DPD.
Dan DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah bertanggung jawab
kepada DPRD baik secara kolektif maupun sendiri, sehingga posisi kepala daerah
sangat bergantung kepada DPRD.
Dalam UU No. 1 Tahun 1957 ditentukan bahwa kepala daerah hanya
bertanggung jawab kepada DPRD.30 Perubahan mendasar terjadi lagi dengan di
Undangkannya UU No.18 Tahun 1965 dibentuk BPH untuk membantu Kepala
daerah dan DPRD dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala
Daerah. Pergantian kepemimpinan nasional dan pemerintahan akibat G-30-S PKI,
mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan UU No. 18 Tahun 1965 dan di gantikan
oleh UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah di bawah
pimpinan Presiden Soeharto yang menggantikan Presiden Soekarno, BPH
dihapuskan didalam pemerintahan daerah, tidak dilaksanakannya hak angket DPRD
yang dapat mengganggu keutuhan Kepala Negara, Kepala Daerah tidak
bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi secara hierarki kepada Presiden31.
30 Oentarto Sindung Mawardi, dkk., Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan,
h.75-81 31 S.H. Sarundajang , Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah (Jakarta: Kata Hasta,
2005), h. 118-119
31
Adanya reformasi 1998 menjadi arus balik kewenangan pusat kepada
daerah, tuntutan untuk diterapkannya otonomi daerah yang tidak sentralistis di
tuangkan dalam UU No.22 Tahun 1999 yang menggantikan UU No.5 tahun 1974,
undang-undang ini juga menjadi babak baru bagi perjalanan otonomi daerah dan
kepemimpinan Presiden Soeharto yang digantikan Oleh Habibie. UU No.22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan peran sentral kepada DPRD
dalam menentukan jalannya pemerintahan daerah ditandai dengan besarnya
kewenangan DPRD dalam memilih dan menetapkan Kepala daerah dan
memposisikan Kepala daerah untuk bertanggung jawab kepada DPRD, apa bila
tidak bertanggung jawab maka DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala
daerah yang bersangkutan.
UU No.5 Tahun 1974 dinilai gagal dalam mewujudkan hak-hak daerah
dalam mengembangkan daerahnya sendiri, karena masih terkontrol oleh pusat.
Salah satu perubahan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan
didaerah berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 adalah dipisahkannya secara tegas
antara institusi Kepala Daerah dengan DPRD. UU No. 22 tahun 1999 secara tegas
menetapkan bahwa didaerah dibentuk DPRD sebagai lembaga legislatif daerah dan
pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah yang terdiri dari Kepala Daerah
beserta perangkat daerah32.
Seiring perjalanan otonomi daerah maka UU No. 22 Tahun 1999 di revisi
pada masa pemerintahan Megawati dengan penerapan UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini DPRD tidak mempunyai
32 S.H. Sarundajang, Arus balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), Cet.4, h. 7
32
kekuasaan penuh terhadap Kepala Daerah, karena Kepala Daerah dipilih oleh rakyat
lewat pemilu sehingga pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat. Pola
hubungan DPRD dan kepala daerah sebagai mitra dan bekerja sama untuk
mengembangkan daerah otonomnya sendiri.
Negara Indonesia di bawah pemerintahan orde baru kurang lebih 30 tahun
menerapkan pelaksanaan sistem yang sentralistik ini kemudian melakukan
gelombang protes dari tahun 1997 sampai 1998. Banyaknya tuntutan agar ada
perbaikan pola hubungan kerja antara pemerintah pusat dan daerah dan memberikan
peran DPRD sebagimana mestinya, akhirnya dikeluarkanlah UU No.22 Tahun 1999
tentang pemerintahan daerah yang membuat posisi DPRD kuat sebagai lembaga
legislatif.
Penerapan otonomi daerah, sesuai dengan ketetapan MPR No.IV/MPR/2000
tentang pemerintahan daerah telah dilaksanakan sejak tanggal 1 januari 2001.33
Pelaksanaan otonomi daerah secara demokratis bisa dilihat dalam pelaksanaan
pemilihan umum secara langsung untuk memilih anggota DPRD sebagai lembaga
legislatif, dan pemilihan kepala daerah yang sejak juni 2005 di sebagian negara
Indonesia. Pemilihan kepala daerah disinyalir untuk memperkokoh demokrasi dan
sebagai bagian program desentralisasi yang berkesinambungan, yang menjadikan
kepala daerah bertanggung jawab kepada pemilihnya langsung bukan kepada
DPRD, seperti yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 yang berpotensi
besar untuk memperkuat tata pemerintahan.
33 Mardiyanto, “Penerapan Otonomi Daerah Di Jawa Tengah: Masalah Desentralisasi,
Demokratisasi Dan Akuntabilitas” dalam Syamsuddin Haris ed., Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h. 317
33
33
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG KOTA BEKASI
A. Sejarah Kota Bekasi
Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri. Itulah sebutan Bekasi tempo dulu
sebagai ibukota Kerajaan Tarumanagara (358-669 M). Luas kerajaan ini mencakup
wilayah Bekasi, Sunda Kelapa, Depok, Cibinong, Bogor, hingga kewilayah sungai
Cimanuk di Indramayu. Menurut para ahli sejarah dan filologi, letak Dayeuh
Sundasembawa atau jayagiri sebagai ibukota Tarumanagara adalah diwilayah
Bekasi sekarang.1
Dayeuh Sundasembawa merupakan daerah asal maharaja Tarusbawa (669-
723 M) pendiri Kerajaan Sunda (disebut pula Kerajaan Pajajaran) yang seterusnya
menurunkan raja-raja sunda sampai generasi ke-40 yaitu Ratu Ragamulya, raja
Sunda yang terakhir.2
Kata Bekasi diduga berasal dari suku kata Chandrabhaga, salah satu suku
kata dalam Prasasti Tugu. Dalam bahasa sansakerta Chandra berarti Bulan, dan
Bhaga berarti Bahagia. Menurut Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, seorang pakar
bahasa, kata Chandra dalam bahasa Jawa Kuno sama dengan kata Sasi. Sehingga
1 Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007 (Bekasi: Badan Infokom
Kota Bekasi, 2007), h. 8
2Ibid
34
Chandrabhaga juga identik dengan Sasibhaga, jika dilafalkan terbalik menjadi
bhagasasi, yang lambat laun menjadi Bekasi.3
Wilayah bekasi tercatat sebagai daerah yang banyak memberi informasi
tentang keberadaan Tatar Sunda pada masa lampau. Diantaranya dengan
ditemukannya empat prasasti yang dikenal dengan Prasasti kabantenan. Keempat
prasasti ini merupakan keputusan (piteket) dari Sri Baginda Maharaja (Prabu
Siliwangi, Jayadewa 1482-1521 M) yang ditulis pada lima lempeng tembaga. Sejak
abad kelima masehi pada masa Kerajaan Tarumanagara, abad kedelapan Kerajaan
Galuh, dan Kerajaan Pajajaran pada abad ke-14, Bekasi menjadi wilayah kekuasaan
karena merupakan salah satu daerah strategis, yakni penghubung antar daerah ke
Pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta).
Ketika Belanda datang merebut Jayakarta pada 31 mei 1619 dan nama
jayakarta diubah menjadi Batavia. Bekasi pada zaman Hindia belanda hanya
merupakan kewedanaan (district) yang termasuk dalam regenshaf (kabupaten)
Meester Cornelis. Saat itu kehidupan sistem kemasyarakatan, khususnya sektor
ekonomi dan pertanian didominasi dan dikuasai oleh para tuan tanah keturunan
cina, sehingga dengan kondisi tersebut seolah-olah bekasi mempunyai bentuk
pemerintahan ganda yaitu pemerintahan tuan tanah didalam pemerintahan colonial.
Kondisi ini berlangsung hingga kependudukan Jepang.4
3 Denny Bratha Affandi, Menyusuri Bekasi Raya Jejak Reportase (Bekasi: Rinjani Kita,
2009), h. 3 4 Dewan Perwakilan rakyat Daerah Kota Bekasi, Risalah Kota Bekasi , (Bekasi: Pemkot
Bekasi, 2009), h. 2
35
Pada bulan maret 1942 pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat
kepada bala tentara dai Nippon. Tentara pendudukan Jepang melaksanakan
japanisasi disemua sektor kehidupan. Nama Batavia diganti dengan nama Jakarta.
Regenschap Meester Cornelis menjadi Ken Jatinegara yang daerahnya meliputi Gun
Bekasi, Gun Cikarang, Gun kemayoran, dan Gun Mataram.5
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
1945 struktur pemerintah kembali berubah nama, Ken menjadi Kabupaten, Gun
menjadi Kewedanaan, Son menjadi Kecamatan dan Kun menjadi Desa./Kelurahan.
Dalam upaya pertahanan perang gerilya menghadapi agresi Belanda, maka Saat itu
Ibu Kota kabupaten Jatinegara selalu berubah-ubah, mula-mula di Tambun, lalu
Cikarang, kemudian Bojong (Kedung Gede).
Pada waktu itu Bupati Kabupaten Jatinegara adalah Bapak Rubaya
Suryanata Miharja. Kemudian saat kependudukan oleh tentara Belanda, Kabupaten
Jatinegara dihapus kedudukannya dikembalikan seperti zaman Regenschap Meester
Cornelis yaitu menjadi kewedanaan. Kewedanaan Bekasi termasuk daerah Batavia
En Omelanden sedangkan batas bulak kapal ketimur termasuk wilayah Negara
Federal sesuai Staatsblad Van Nederlandschindie 1948 Nomor 178 Negara
Pasundan.
Ketika proklamasi dikumandangkan, rakyat dikota-kota sekitar Jakarta
termasuk Bekasi, menyambut dengan suka cita. Pergerakan melawan kekejaman
Jepang di Bekasi yang muncul dimana-mana sampai menimbulkan peristiwa yang
5 Ibid, h. 3
36
kemudian dikenal sebagai ‘Tragedi Kali Bekasi’ pada 19 Oktober 1945 dan
peristiwa “Bekasi Lautan Api” pada 23 November 1945. 6
Dalam proses selanjutnya, ketika situasi semakin membaik, Bekasi yang
merupakan kewedanaan bagian dari kabupaten Jatinegara dikritisi oleh rakyat dan
tokoh masyarakat dengan membentuk Panitia Amanat Rakyat Bekasi. Pada 17
Januari 1950 mereka menggelar rapat raksasa yang juga dihadiri 40.000 rakyat
Bekasi.7 Mereka menyampaikan hasrat dan pernyataan sebagai berikut:
1. Rakyat Bekasi tetap berdiri di belakang Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Rakyat Bekasi mengajukan usul kepada Pemerintah Pusat agar Kabupaten
Jatinegara menjadi Kabupaten Bekasi.
Setelah tiga kali pembicaraan dari Februari sampai Juni 1950, akhirnya
Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS)
menyetujui pembentukan Kabupaten Bekasi. Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1950
Tanggal 15 Agustus 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi. Pada saat itu Kabupaten
Bekasi terdiri dari empat Kewedanaan, 13 Kecamatan, dan 95 Desa, mulai saat itu
pula kecamatan cibarusah masuk kedalam wilayah Kabupaten Bekasi. Angka-angka
tersebut secara simbolis diungkapkan dalam lambang Kabupaten Bekasi. Moto
Kabupaten Bekasi adalah “Swatantra Wibawa Mukti” selanjutnya mulai Tahun
6 Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007, h. 9
7 Chotim Wibowo, dkk., Setahun Duet Kepemimpinan Akhmad-Mochtar (Bekasi: Satu Visi, 2004), h. 4
37
1960 kantor Kabupaten Bekasi pindah dari Jatinegara ke Bekasi (Jl. H Juanda).
Dengan Bupati pertama R. Suhandar Umar, SH.8
Perkembangan Kabupaten Bekasi meningkat dari tahun ketahun, sebagai
Kota penyangga Ibu Kota Jakarta dan kabupaten Bekasi mulai diperhitungkan dari
segi perekonomian dan politik, perkembangan dari pemerintahan pada saat itu
menuntut adanya pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat, maka pada
Tahun 1982 saat Bupati dijabat oleh Bapak H. Abdul Fatah, komplek perkantoran
pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi yang semula berlokasi di JL. Ir.
H. Juanda dipindahkan ke Jl. Jenderal Ahmad Yani No. 1 Bekasi.9
Tuntutan kehidupan masyarakat perkotaan memerlukan adanya pelayanan
khusus, dan perkembangan Kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya Kecamatan
Bekasi menjadi Kota Administratif Bekasi. Bagaimana Kecamatan Bekasi menjadi
Kota Bekasi akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
B. Penjelasan Singkat Pemekaran Kota Bekasi Dari Kabupaten Bekasi
Kota Bekasi berasal dari pemekaran Kabupaten Bekasi, yang awalnya
menjadi kecamatan Kabupaten Bekasi. Kecamatan Bekasi merupakan kecamatan
yang lebih berkembang dibandingkan kecamatan lain yang ada di Kabupaten
Bekasi. Berkembangnya kecamatan Bekasi dikarnakan kantor Kabupaten bekasi
yang berada di kecamatan Bekasi dan adanya tuntutan kehidupan masyarakat
perkotaan yang memerlukan pelayanan khusus, akhirnya perkantoran pemerintah
8 Dewan Perwakilan rakyat Kota Bekasi, Risalah Kota Bekasi, h. 6 9 Ibid h. 6-7
38
daerah Kabupaten Bekasi di pindahkan dari kecamatan Bekasi karena
perkembangan kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya kecamatan Bekasi.
Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 48 Tahun 1981 kecamatan Bekasi
ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif Bekasi yang meliputi 4 (empat)
kecamatan yaitu: Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Utara, dan Bekasi
Selatan, keseluruhannya meliputi 18 (delapan belas) Kelurahan serta 8 (delapan)
Desa. Peresmianya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April
1982.
Walikota administratif Bekasi pertama dijabat oleh Soedjono (1982-1988),
selanjutnya pada Tahun digantikan oleh Drs. Andi R. Sukardi (1988-1991), dan
pada Tahun 1991 Walikota administratif Bekasi dijabat oleh Drs. H. Kailani AR.
Sampai Tahun 1997.10
Dengan adanya kebijakan konsep BOTABEK (Bogor Tangerang Bekasi)
yang merupakan pelaksanaan inpres Nomor 13 Tahun 1976 membawa pengaruh
besar terhadap perkembangan Kota Administrasi Bekasi. Sebagai kota yang
berbatasan langsung dengan Ibukota Negara maka Kota Administratif Bekasi dan
kecamatan-kecamatan sekitarnya yang berada dalam wilayah kerja Kabupaten
Bekasi mengalami perubahan sangat pesat, sehingga memerlukan peningkatan dan
pengembangan sarana dan prasarana sebagai syarat pengelolaan wilayah.
10 Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007, h. 9
39
Perkembangan yang ada telah menunjukan bahwa Kota Administratif
Bekasi mampu memberikan dukungan kemampuan dan menggali potensi
diwilayahnya untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Selanjutnya dalam rangka
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, maka melalui UU No. 9 Tahun
1996 Kota Administratif Bekasi ditetapkan menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II
Bekasi dengan wilayah kerjanya meliputi: wilayah kerja Kota administratif Bekasi
yaitu Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Utara, dan Kecamatan Bekasi
Selatan ditambah dengan wilayah kerja Kecamatan Pondokgede, Jatiasih,
Bantargebang, dan Kecamatan pembantu Jatisampurna. Keseluruhannya meliputi
23 Desa dan 27 Kelurahan.
Selaku pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dijabat
oleh Drs. H. Kailani AR, selama satu tahun. Selanjutnya berdasarkan hasil
pemilihan terhitung mulai tanggal 23 Pebruari 1998 Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II Bekasi Definitif yang pertama dijabat oleh Drs. H. Nonon Sonthanie.
Dalam perkembangan telah terjadi perubahan dalam jumlah dan status
Kelurahan/Desa. Berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri No. 140/2848/puod
tanggal 3 September 1998 dan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa
Barat No. 50 Tahun 1998 telah terjadi perubahan status 6 Desa menjadi 2
Kelurahan baru, sehingga jumlah Desa/Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II
Bekasi menjadi 52 terdiri dari 35 Kelurahan dan 17 Desa.
Dengan diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah telah terjadi perubahan paradigma dalam penyelenggaraan Pemerintahan
40
Daerah di Indonesia. Seiring dengan itu Nomenklatur Pemerintah Kotamadya
Daerah Tingkat II Bekasi berubah menjadi Pemerintahan Kota Bekasi, selanjutnya
sebagai tindak lanjut pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan UU No.22 Tahun
1999 dan UU No.25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai daerah Otonom, serta peraturan pemerintah No.84 Tahun 2000
tentang pedoman Organisasi Pejabat Daerah, adalah peraturan pemerintah yang
mendasari ditertibkannya peraturan Daerah No. 9, 10,11 dan 12 yang mengatur
tentang organisasi perangkat Daerah, selanjutnya guna meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat melalui peraturan daerah No. 14 tahun 2000 telah dibentuk 2
Kecamatan baru yaitu Kecamatan Rawa Lumbu dan Kecamatan Medan Satria,
sehingga Kota Bekasi terdiri 10 Kecamatan.11
Berdasarkan peraturan daerah Kota Bekasi No.02 tahun 2002 tentang
Penetapan Kelurahan, maka semua desa yang ada di Kota Bekasi berubah statusnya
menjadi Kelurahan, sehingga pemerintah Kota Bekasi mempunyai 52 pemerintah
Keluarahan. Dalam perjalannya guna lebih meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat maka wilayah administrasi Kota Bekasi mengalami pemekaraan
kembali, dan melalui peraturan daerah Kota Bekasi No.4 Tahun 2004 tentang
Pembentukan wilayah Administrasi Kecamatan dan Kelurahan maka wilayah
administrasi Kota Bekasi menjadi 12 Kecamatan dan 56 Kelurahan, kecamatan
Kota Bekasi yaitu: Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi
Utara, jati Asih, Bantar Gebang, Pondok Gede, Jati Sampurna, Medan Satria, Rawa
Lumbu, Mustika Jaya, Pondok Melati.
11 Dewan Perwakilan rakyat Kota Bekasi, Risalah Kota Bekasi, h.7-8
41
Perjalanan Kota Bekasi dalam pembentukan wilayah Administratif sampai
Kota Madya, mengalami perjalanan yang rumit, hal ini terlihat dari pemekaran
kecamatan yang terus bertambah. Dengan mengikuti dinamika politik dan peraturan
pemerintah yang ada. Namun kota bekasi bisa berkembang seiring dengan sistem
yang ada.
Kota Bekasi terletak di wilayah pantai utara Propinsi Jawa Barat dengan
luas wilayah 210 Km2 dengan batas wilayah: Bagian Barat berbatasan dengan DKI
Jakarta, Bagian Timur berbatasan dengan kabupaten Bekasi, Bagian Utara dengan
Kabupaten Bekasi, dan Bagian Selatan dengan kabupaten Bogor dan Kota Depok.
Pada saat Kota Bekasi diresmikan menjadi Kotamadya tahun 1997 tercatat
jumlah penduduk sebanyak 1.471.477 jiwa dan meningkat pada tahun 2000
sebanyak 1.637.610 jiwa. Dan pada tahun 2005 tercatat 2.001.899, dari tahun
ketahun laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi terus mengalami peningkatan.
Sehingga laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2007 tercatat 2.143.804
meningkat 3,49% dibanding tahun 2005.
Laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi dari tahun ketahun menuntut
pemerintah Kota Bekasi untuk bisa memenuhi kebutuhan warganya dan terus
memperbaiki sistem birokrasi yang ada. Kemudian berdasarkan keputusan DPRD
Kota Bekasi No. 37-174.2/DPRD/2003 tanggal 22 februari 2003 tentang penetapan
Walikota dan Wakil Walikota Bekasi 2003-2008, dan ditindaklanjuti dengan
keputusan Mentri Dalam Negeri No. 131.32-113 Tahun 2003 tentang Pengesahan
pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Walikota Bekasi Propinsi Jawa
Barat, dan Keputusan Mentri dalam Negeri No. 132.32-114 Tahun 2003 Tentang
42
pengesahan Pengangkatan Wakil walikota Bekasi propinsi Jawa barat, dan telah
ditetapkan H. Akhmad Zurfaih HR, S.Sos yang didampingi oleh Mochtar
Muhammad sebagai Wakil Walikota Bekasi. Yang dipilih oleh anggota DPRD Kota
Bekasi dan meraih suara terbanyak.
Dengan adanya UU No.32 Tahun 2004, pemilihan WaliKota dan Wakilnya
tidak lagi dipilih oleh DPRD tingkat setempat, seperti pada UU No.22 Tahun 1999,
maka pada tahun 2008 Kota Bekasi merealisasikan UU No.32 Tahun 2004 dengan
diadakannya pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang dipilih oleh warga
Kota Bekasi. Dan terpilihlah Walikota dan Wakil Walikota yang baru, dan
berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 131 dan 132.32-77 Tahun
2008 Tanggal 21 Februari 2008 tentang Pengesahan Pemberhentian dan pengesahan
Pengangkatan Mochtar Muhammad sebagai Walikota Bekasi dan H.Rahmat Effendi
S.Sos sebagai Wakil Walikota Bekasi masa Jabatan 2008-2013. Yang memenangi
Pemilihan Kepala Daerah pertama di Kota Bekasi.
Pemekaran Kecamatan Bekasi dari Kabupaten Bekasi akhirnya mengalami
perkembangan yang pesat sampai akhirnya dengan segala dimensi yang ada
Kecamatan Bekasi menaiki tahap dari Kota Administratif dan kini menjadi Kota
Bekasi. Hal ini juga tidak terlepas dengan adanya dorongan kebutuhan masyarakat
kota bekasi dan keinginan Pemerintah Bekasi untuk memberlakukan hak otonom di
daerah Kota Bekasi. Dengan penerapan Otonomi Daerah di Kota Bekasi,
pemerintah kota Bekasi bisa mengoptimalkan sumberdaya manusia dan sumber
alam untuk dikelola oleh pemerintah daerahnya sendiri. Sehingga pemerintah Kota
Bekasi bisa mengembangkan kotanya tanpa ada campur tangan pusat, ini menjadi
43
pembuktian Kota Bekasi untuk bisa mandiri menjalankan roda Pemerintahan dan
roda perekonomian sendiri dalam rangka penerapan otonomi daerah.
C. Penjelasan Umum DPRD Kota Bekasi
Kota Bekasi lahir pada 11 Maret 1996 hasil pemekaran dengan Kabupaten
Bekasi yang saat ini masih bersetatus kotamadya Bekasi. Saat lahir, Kota Bekasi
memiliki 8 Kecamatan dan 23 Desa dan 27 Kelurahan, yang kemudian berkembang
menjadi 12 kecamatan dan 56 Keluarahan. DPRD Kota Bekasi lahir bersamaan
dengan lahirnya Kota Bekasi hasil pemilu 1997.
DPRD Kota Bekasi dibentuk berdasarkan UU No. 9 Tahun 1996 dan
diresmikan pada tanggal 10 Maret 1997. Dengan adanya UU No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dengan menitikbertakan otonomi daerah pada
Kabupaten/Kota terjadi pergeseran paradigma pemerintahan dari pola sentralis
menjadi pola desentralisasi. Pemerintah bekasi dan DPRD bekerja sama untuk
merubah perencanaan dan pelaksanaan yang selama ini dikendalikan oleh pusat,
yang dahulu dari top down policy kepada bottom up planning dengan pola
pendekatan. Partisipatif artinya melibatkan seluruh unsur masyarakat dan swasta
(dunia usaha) untuk berperan serta dalam pembangunan. Transparansi artinya
keterbukaan dari berbagai aspek perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan dan
pengawasan. Akuntabilitas artinya dapat dipertanggung jawabkan baik dalam
administrasi maupun fisik. Dialogis artinya adanya komunikasi yang harmonis
44
antara unsur Legislatif yaitu DPRD, dan Eksekutif yaitu Pemerintah Daerah yang
dikepalai Walikota dan Wakilnya maupun masyarakat12
Sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dalam implementasi otonomi
daerah, maka pemerintah daerah dan DPRD diharuskun untuk mengatasi sendiri
segala masalah dan urusan yang terjadi di Kota Bekasi, dan untuk mengatasi
permasalah yang terjadi di Kota Bekasi pemerintah Kota Bekasi dan DPRD
mempunyai tiga fungsi utama yang harus diselesaikan yaitu: Fungsi pelayanan
masyarakat, Fungsi pelayanan pembangunan, Fungsi pelayanan perlindungan
kepada masyarakat13.
Pada dasarnya tugas utama dari pemerintah Kota Bekasi dan DPRD adalah
mengupayakan terciptanya tiga fungsi pemerintah tersebut secara optimal, Dalam
rangka implementasi otonomi daerah di Kota Bekasi. Maka itu ketiga fungsi
tersebut diberikan pemerintah daerah dalam bentuk pelayanan publik kepada
masyarakat.
Untuk mengetahui DPRD sebagai lembaga legislatif daerah di Kota Bekasi
yang mempunyai tanggung jawab dalam membuat kebijakan publik kepada
masyarakat kota bekasi, maka akan dijelaskan secara singkat mengenai DPRD Kota
Bekasi dari tahun 1997 sampai 2009.
C.1. DPRD Kotamadya Bekasi Tahun 1997-1999
Dari hasil pemilu 1997 menghasilkan dua keanggotaan DPRD untuk
Kabupaten dan Kotamadya Bekasi. Ini terkait dengan pemekaran wilayah yang
12 Program Pembangunan Daerah Kota Bekasi 2001-2005, h. 22 13 Ibid
45
menjadikan wilayah Kotamadya Bekasi lahir sebagai daerah yang baru. Sebagai
konsekuensinya, keanggotaan DPRD pun dipilih dua wilayah. Inilah awal
terbentuknya DPRD Kotamadya Bekasi. Terpilih sebagai Ketua DPRD H. Gunarso
Ismail dengan Wakil Ketua H. Soejdjono dan Turnuzi Djameli. Masa ini termasuk
masa yang sulit karena adanya kerusuhan Mei 1998 yang melahirkan Reformasi dan
pergantian Pimpinan Nasional. Yang berimbas kepada percepatan pemilu sehingga
keanggotaan DPRD menjadi lebih singkat. Kotamadya Bekasi termasuk DPRD
lahir dimasa sulit. 14
Masa ini pula menjadi masa terakhir dominasi tiga partai yang dibentuk oleh
Presiden Soeharto sebagai organisasi peserta pemilu. Tuntutan reformasi berimbas
adanya keterbukaan yang lebih luas sehingga partai semakin banyak. Selain itu,
TNI yang melakukan reposisi menjadikan masa ini sebagai masa terakhir
penempatan wakilnya dalam lembaga legislatif.
C.2. DPRD Kota Bekasi Tahun 1999-2004
Pemilu 1998 merupakan pemilu multi partai pertama. Masa ini bisa
dikatakan sebagai masa kedua setelah kebangkitan Kota bekasi, yang sebelumnya
Kotamadya karena dengan pemberlakuan UU No.22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah, pemerintah Kotamadya Tingkat II Bekasi berubah menjadi
Kota Bekasi. Dalam konteks reformasi, masa ini adalah masa pertama pemilu 42
partai, yang sebelumnya hanya didominasi 3 partai.
14 Nevi Somadireja, Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota Bekasi
Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009 (Bekasi: Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009), h. 5
46
Dalam periode ini terpilih dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P) sebagai ketua DPRD, dan wakil ketuanya H.Abdul manan dari
F-Golkar dan Ahmad Turmji dari F-PPP dan Salim Musa dari Fraksi Partai Amanat
Nasional. Pemilu multi partai kali ini menghasilkan komposisi kursi di DPRD Kota
Bekasi sebagai berikut: PDI-P (13 Kursi), Golkar (8 Kursi), PAN (7 Kursi), PPP (5
Kursi), PKS (2 Kursi), TNI (5 Kursi), PBB (2 Kursi), PKB (2 Kursi), PKP (1
Kursi). Dengan jumlah kursi anggota DPRD Kota Bekasi 45 kursi.
Pada masa ini pula DPRD Kota Bekasi memilih Walikota dan Wakil
Walikota untuk menggantikan Walikota sebelumnya yang dijabat Drs. H. Nonon
Sonthanie. Dan terpilih dua anggota DPRD Kota Bekasi h.Akhmad Zurfaih dari
fraksi Golkar sebagai Wali Kota, dan Mochtar Muhammad dari fraksi PDIP yang
menjadi Wakil Walikota.
C.3. DPRD Kota Bekasi Tahun 2004-2009
Pada bulan April Tahun 2004 pemilihan umum merupakan pesta demokrasi
rakyat Indonesia yang digelar secara serentak diseluruh Indonesia tidak terkecuali di
Kota Bekasi. Dalam pemilu kali ini sistem pemilu Indonesia mmulai berubah dari
sistem proposional menjadi sistem distrik, pada pemilu tahun 1999 para pemilih
tidak mengetahui siapa calon anggota DPRD yang akan dipilihnya, tapi perubahan
sistem pemilu sekarang ini membuat warga yang ingin memilih anggotanya tau
siapa yang dipilih. Karena anggota DPRD tidak lagi dipilih oleh partai tetapi
berdasarkan suara terbanyak sesuai daerah pilihannya. Pemili legislatif di DPRD
47
Kota Bekasi kali ini memperebutkan 45 kursi anggota DPRD yang dibagi dalam 6
daerah pemilihan.
Berdasarkan hasil pemilu legislatif tahun 2004 menghadirkan 8 Partai yang
menjadi anggota DPRD Kota Bekasi diantaranya adalah: PKS (Partai Keadilan
Sejahtera) 11 kursi, Golkar (Golongan Karya) 9 kursi, PD (Partai Demokrat) 7
kursi, PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) 6 kursi, PAN (Partai Amanat
Nasional) 6 kursi, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) 4 kursi, PBB
(Partai Bangsa-Bangsa) 1 kursi, PDS (Partai Damai Sejahtera) 1 kursi.
Sesuai dengan keputusan Gubernur Jawa Barat No.171/Kep.733
Dekon/2001 Tentang Keanggotaan DPRD Kota Bekasi hasil pemilihan umum tahun
2004 untuk masa jabatan 2004-2009. Fraksi-fraksi yang menjadi anggota DPRD
Kota Bekasi adalah: fraksi PKS, Golkar, Partai Demokrat, PDIP, PAN dan PPP.
Penetapan pimpinan DPRD Kota Bekasi yang tercantum dalam surat komisi
pemilihan umum daerah Kota Bekasi bersifat kolektif terdiri dari seorang ketua dan
dua orang wakil ketua yang dipilih oleh anggota DPRD sebagaimana yang
dimakssud tidak boleh berasal dari fraksi yang sama. Dari hasil rapat paripurna
DPRD terpilihlah: Rahmat Effendi sebagai Ketua DPRd dari fraksi Golkar, Ahmad
Syaikhu sebagai Wakil Ketua dari fraksi PKS, Dadang Asgar Noor, sebagai wakil
ketua dari fraksi partai demokrat.
DPRD Kota Bekasi dalam perjalannya terus mengevalusi diri untuk terus
lebih baik, maka menurut keputusan pimpinan DPRD dan surat keputusan DPRD
Daerah Kota Bekasi yang menetapkan dan memutuskan tentang peraturan Tata
48
Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi mengenai tugas dan fungsi
DPRD sesuai dengan Tata Tertib DPRD Kota Bekasi adalah sebagai berikut:
1. Menjalankan Fungsi Budgeting, yaitu melaksanakan kegiatan perencanaan
keuangan menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, Mengatur Pembiayaan Kota Bekasi sehingga dapat meningkatkan
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Kota Bekasi.
2. Menjalankan Fungsi Controling, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan Undang-undang, peraturan daerah, keputusan kepala daerah
dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
3. Menjalankan Fungsi Legislasi, yaitu membuat peraturan-peraturan daerah
bersama Pemerintah Daerah guna menertibkan jalannya roda Pemerintahan
di Kota Bekasi.
Dalam menjalankan tugas-tugas DPRD maka DPRD Kota Bekasi
mempunyai kelengkapan DPRD, yang meliputi pimpinan DPRD, Panitia
Musyawarah, Komisi, Badan Kehormatan, Panitia Anggaran, Panitia Legislasi.
Tugas pimpian DPRD bersifat kolektif terdiri atas seorang Ketua dan 2
orang Wakil Ketua yang dipilih dari Anggota DPRD dalam rapat Paripurna DPRD.
Pimpinan DPRD mempunyai tugas: 1. Memimpin rapat-rapat dan menyimpulkan
hasil rapat untuk mengambil keputusan, 2. Menyusun rencana kerja dan
mengadakan pembagian rencana kerja antara Ketua dan Wakil Ketua, 3. Menjadi
juru bicara DPRD, 4. Melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPRD, 5.
Mengadakan konsultasi dengan Kepala Daerah dan Instansi Pemerintah lainnya
49
sesuai dengan keputusan DPRD, 6. Mewakili DPRD dan/atau alat kelengkapan
DPRD dipengadilan, 7. Melaksanakan putusan DPRD berkenaan dengan penetapan
sangsi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, 8. Mempertanggung jawabakan pelaksanaan tugasnya dalam rapat
paripurna DPRD.
Panitia musyawarah merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap
dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa keanggotaan DPRD, panitia musyawarah
mempunyai tugas: 1. Memberikan pertimbangan tentang penetapan program kerja
DPRD baik diminta atau tidak, 2. Menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat
DPRD, 3. Memutuskan pilihan mengenai isi risalah dapat apabila timbul perbedaan
pendapat, 4. Memberi saran pendapat untuk memperlancar kegiatan, 5.
Merekomendasikan pembentukan panitia khusus.
Komisi-komisi merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan
dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD, komisi
mempunyai tugas: 1. Mempertahakan dan memelihara kerukunan nasional serta
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Daerah, 2. Melakukan
pembahasan terhadap rancangan peraturan daerah, dan rancangan keputusan DPRD,
3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan, pemerintahan, dan
kemasyarakatan sesuai dengan bidang komisi masing-masing, 4. Membantu
pimpinan DPRD untuk mengupayakan penyelesaian masalah yang disampaikan
oleh Kepala Daerah dan masyarakat kepada DPRD, 5. Menerima dan menampung
serta menindaklanjuti aspirasi masyarakat, 6. Memperhatikan upaya peningkatan
kesejahteraan rakyat di Daerah, 7. Melakukan kunjungan kerja komisi yang
50
bersangkutan atas persetujuan pimpinan DPRD, 8. Dalam hal-hal mendesak, komisi
dapat melakukan kunjungan kerja tanpa persetujuan pimpinan DPRD tetapi tetap
berkewajiban melaporkan hasil kunjungan kerja secara tertulis kepada pimpinan
DPRD, 9. Mengadakan rapat kerja dan dengar pendapat, 10. Mengajukan usul
kepada pimpinan DPRD yang termasuk dalam ruang lingkup bidang tugas masing-
masing komisi, 11. Memberikan laporan tertulis kepada pimpinan DPRD tentang
hasil pelaksanaan tugas komisi.
Badan kehormatan merupakan alat kelengkapan DPRD bersifat tetap yang
dibentuk oleh DPRD dalam rapat paripurna DPRD, badan kehormatan mempunyai
tugas: 1. mengamati dan mengevaluasi disiplin, etika dan moral para pemimpin dan
anggota DPRD dalam rangka menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kreadibilitas
DPRD, 2. Meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan para pimpinan dan anggota
DPRD terhadap peraturan perundang-undangan, kode etik dan peraturan tata tertib
DPRD, 3. Melakukan penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan berupa
rekomendasi atas pengaduan yang disampaikan ke DPRD, 4. Menyampaikan hasil
pemeriksaan kepada pimpinan DPRD berupa rekomendasi untuk pemberhentian
pimpinan dan anggota DPRD antar waktu sesuai peraturan perundang-undangan, 5.
Menyampaikan rekomendasi kepada pimpinan DPRD berupa rehabilitasi nama baik
apabila tidak terbukti adanya pelanggaran yang dilakukan pimpinan dan anggota
DPRD.
Panitia anggaran merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan
dibentuk oleh DPRD pada masa keanggotaan DPRD. Panitia anggaran mempunyai
tugas: 1. Memberikan saran dan pendapat kepada kepala daerah dalam
51
mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah selambat-
lambatnya lima bulan sebelum ditetapkannya anggaran pendapatan dan belanja
daerah berupa pokok-pokok pikiran DPRD, 2. Meminta kepada Kepala Daerah
untuk menyerahkan RAPBD sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini selambat-
lambatnya tiga bulan sebelum tahun anggaran tersebut dimulai, 3. Meneliti,
mengkaji, menilai serta merevisi RAPBD yang diajukan oleh Kepala Daerah sesuai
dengan RENSTRA dan arah kebijakan umum serta dengan memperhatikan aspirasi
masyarakat, 4. Memberikan saran dan pendapat kepada Kepala Daerah dalam
mempersiapkan penatapan perubahan dan perhitungan APBD sebelum
ditetapkannya dalam rapat. 5. Menindaklanjuti saran dan pendapat fraksi-fraksi
yang terkait dengan penetapan perubahan dan perhitungan APBD kepada Kepala
Daerah, 6. Memberikan saran dan pendapat kepada DPRD mengenai rancangan
APBD, baik penetapan, perubahan dan perhitungan APBD yang telah disampaikan
oleh Kepala Daerah, 7. Menyusun anggaran belanja DPRD dan menilai, meneliti
serta merevisi rancangan anggaran belanja sekretariat DPRD.
Panitia legislasi dibentuk oleh DPRD yang berfungsi mengaji, merumuskan
dan menyusun rancangan peraturan daerah serta sebagai alat kelengkapan DPRD
yang bersifat tetap. Pimpinan panitia legislasi terdiri dari ketua, wakil ketua, dan
sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota panitia legislasi, berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat. Dan pimpinan panitia legislasi merupakan satu
kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif. Panitia legislasi mempunyai tugas: 1.
Menyusun program legislasi daerah yang memuat daftar urutan rancangan peraturan
daerah untuk setiap tahun anggran, 2. Mengkaji dan menyiapkan rancangan
52
peraturan daerah inisiatif DPRD berdasarkan program prioritas yang telah
ditetapkan, 3. Melakukan telaahan dan penyelarasan rancangan peraturan daerah
yang diajukan anggota, komisi atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan
daerah disampaikan kepada pimpinan DPRD, 4. Memberikan pertimbangan
terhadap pengajuan rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh anggota, komisi
atau gabungan komisi diluar rancangan peraturan yang terdaftar dalam program
legislasi daerah atau prioritas rancangan peraturan daerah tahun berjalan, 5.
Melakukan pembahasan, perubahan/penyempurnaan rancangan peraturan daerah
yang secara khusus ditugaskan oleh panitia musyawarah, 6. Melakukan
penyebarluasan dan mencari masukan untuk rancangan peraturan daerah yang
sedang dan akan dibahas dari sosialisasi peraturan daerah yang telah disahkan, 7.
Mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap materi peraturan-
peraturan daerah melalui koordinasi dengan komisi atau pihak lain yang terkait, 8.
Memberikan masukan kepada pimpinan DPRD terhadap rancangan peraturan
daerah yang diusulkan pemerintah daerah kota bekasi, 9. Memberikan inventarisasi
masalah hukum dan perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan, untuk
dapat dipergunakan sebagai bahan oleh panitia legislasi pada masa keanggotaan
berikut.
Berlakunya otonomi daerah dengan efektifnya UU No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah dan UU 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
antara Pusat dan Daerah sejak tanggal 1 januari 2001 telah membawa perubahan
mendasar terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah, dengan transisi demokrasi
penyelenggaraan pemerintahan yang terus bergerak kearah demokrasi di daerah
53
kabupaten dan kota nyaris selalu bermuara di lembaga DPRD, untuk memberikan
kewenangan dan penguatan fungsi lembaga ini.
Ketika DPRD Kota Bekasi periode 1999-2004 melaksanakan baktinya,
otonomi daerah tengah bergulir. Seiring dengan itu kedudukan DPRD berubah.
Menurut UU No.22 Tahun 1999 DPRD bukan lagi bagian pemerintah daerah tetapi
merupakan lembaga mandiri sebagai Badan Legislatif Daerah yang kedudukannya
sejajar dan menjadi mitra Badan Eksekutif Daerah atau pemerintah daerah.
Perubahan penyelenggaraan pemerintah tersebut menimbulkan tanda tanya
menyangkut kinerja lembaga DPRD Kota Bekasi.15
Secara kualitatif kinerja DPRD Kota Bekasi dilihat dari intensitas
pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Jika pada awal pembentukan Kota Bekasi,
anggota DPRD di tempati oleh wakil dari pemerintah pusat yang terdiri dari TNI,
namun hal ini tidak berlangsung lama, karena pada pemilu 1999 keterbukaan partai
yang ikut pada pemilihan umum mengharuskan TNI tidak masuk lagi dalam
anggota dewan, DPRD Kota Bekasi periode 1999-2004 merupakan masa DPRD
yang sulit karena berbenturan dengan proses demokrasi dan pelaksanaan pemilu
yang terbuka. Dan DPRD Kota Bekasi lahir pada saat euforia reformasi bergulir
sehingga kinerja DPRD masih terhambat penyesuaian dan transisi Undang-undang
tentang pemerintahan daerah dari UU No.5 Tahun 1974 ke UU No.22 Tahun 1999.
Dalam hubungan ini format DPRD Kota Bekasi mengalami perubahan fungsi.
Fungsi yang selama ini tersumbat oleh pemerintah pusat, dan DPRD Kota Bekasi
15 Chotim Wibowo, Dkk, Setahun Duet Kepemimpinan Akhmad-Mochtar, h. 10
54
menyesuaikan fungsinya dalam otonomi daerah yaitu fungsi legislasi, legitimasi dan
pengontrol.
Fungsi legitimasi dewan berkaitan erat dengan kedudukan DPRD baik
sebagai wahana melaksanakan demokrasi maupun sebagai badan legislasi. Fungsi
pengontrol berkaitan dengan pengawasan atas legitimasi yang diberkaitan dengan
pengawasan atas legitimasi yang diberikan dewan kepada kepada pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan kemasyarakatan, pemerintahandan pembangunan
yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan ekonomi
berdasarkan demokrasi ekonomi.16 Dalam perkembangannya kemudian terjadi
revisi undang-undang otonomi daerah dengan UU No.32 Tahun 2004. Posisi DPRD
yang besar sebagai lembaga legislatif harus berubah, DPRD sebagai lembaga
legislatif bersifat mandiri dari lembaga eksekutif dan tidak saling membawahi.
Maka DPRD Kota Bekasi pada periode 2004-2009 juga mengalami perubahan
mekanisme pemilihan dan bekerja yang lebih terbuka. Dengan fungsi yang
diseragamkan seperti fungsi DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota,
fungsinya juga tidak jauh berbeda dari fungsi DPRD sebelumnya, yaitu: fungsi
legislasi, anggaran, pengawasan.
Adanya reformasi yang menuntut perbaikan hubungan pusat dan daerah
yang tertuang dalam otonomi daerah memberi posisi yang lebih terhadap DPRD,
desakan kepada pemerintah pusat saat itu, meminta untuk penguatan kedudukan dan
peran DPRD yang selama ini terbungkam oleh sistem yang sentralis. walaupun
kedudukan dan wewenang DPRD yang berubah-ubah dalam Undang-undang
16 Ibid, h. 11
55
pemerintahan daerah pasca reformasi. DPRD mempunyai kelembagaan yang jelas
sebagai lembaga legislasi yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintah daerah. Dan bersifat kemitraan dengan lembaga eksekutif.
DPRD Kota Bekasi menyesuaikan diri dengan sistem pemerintahan yang
ada, selama periode 2004-2009. DPRD Kota Bekasi membentuk lembaga ini sesuai
dengan ketentuan Undang-undang pemerintah daerah dengan menjalankan fungsi-
fungsi DPRD. Dan membuat program legislasi untuk peraturan daerah. Dan hal
yang terpenting untuk ini adalah, semoga DPRD bekasi dalam membuta peraturan
daerah tidak didasari kepentingan kelompok semata, tetapi untuk kepentingan
warga bekasi. Sehingga peraturan daerah tentang pelayanan publik bukan hanya
untuk publik tertentu yang merasakan tetapi juga semua publik yang ada di Kota
Bekasi.
55
BAB IV
PERATURAN DAERAH NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG
PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK
A. Faktor Yang Melatar Belakangi Peraturan Daerah Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pelayanan publik adalah salah satu implementasi otonomi daerah yang harus
diberikan oleh pemerintah daerah kepada warganya. Pelayanan publik merupakan
salah satu argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah dimana pemerintah daerah
harus mampu menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan warganya.
Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung pada tingkat pelayanan
publik yang disediakan oleh pemerintah daerah, dengan adanya otonomi yang luas
yang diberikan kepada daerah maka daerah khusunya kabupaten/kota mempunyai
tugas yang tinggi untuk menyediakan layanan-layanan publik yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.1
Riant Nugroho mengatakan bahwa pelayanan publik adalah tugas dalam
kebijakan publik yang paling mendasar, karena memberikan pelayanan kepada
umum tanpa membeda-bedakan dan diberikan secara cuma-cuma atau dengan biaya
sedemikian rupa sehingga kelompok paling tidak mampu pun mampu
menjangkaunya. 2
1 Oentarto Sindung Mawardi, Format Otonomi Daerah Masa Depan, h. 167 2 Riant Nugroho Dwijowijoto, Kebijakan Publik Formulasi Implementasi dan Evaluasi,
(Jakarta: Gramedia, 2004), h. 75
56
Dengan adanya UU No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah,
membuka wacana penyelenggaraan publik yang harus dilaksanakan pemerintah
daerah untuk mensejahterakan warganya. Karena tugas dari pemerintah daerah
dengan adanya otonomi daerah adalah memberikan pelayanan, yaitu berupa
pelayanan umum atau pelayanan publik. Publik disini adalah masyarakat yang
berhak menerima pelayanan yang baik tanpa memandang status warganya.
Pelayanan atau service adalah kata kunci dari otonomi daerah. Karena
otonomi daerah adalah milik masyarakat daerah yang dijalankan oleh pemerintah
daerah, maka akuntabilitas pemerintah daerah kepada rakyatnya dapat dilihat dari
jenis dan kualitas dari pelayanan yang disediakan untuk warganya. DPRD sebagai
lembaga politik harus membuat peraturan daerah tentang pelayanan publik yang
bertujuan untuk mensejahterakan warganya. DPRD Kota Bekasi membuat peraturan
daerah tentang penyelenggraan pelayanan publik karena belum ada peraturan ini
sebelumnya di Kota Bekasi.
Penyelenggaraan pelayanan publik didaerah menjadi suatu kemutlakan oleh
karena kewajiban pemerintah baik pusat maupun didaerah sebagai penyelenggara
pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Dan memenuhi
kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan
pelayanan administrasi maka penyelenggaraan pelayanan publik harus memberikan
perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh. Dalam rangka meningkatkan
57
kualitas pelayanan publik upaya yang dilakukan antara lain menertibkan berbagai
landasan peraturan perundang-undangan dibidang pelayanan publik.3
Atas dasar tersebut serta adanya tuntutan masyarakat yang semakin
meningkat, khususnya dibidang penyelenggaraan pelayanan publik yang semakin
transparan dan berkualitas, maka harus dibarengi tersedianya pedoman/ landasan
bergerak bagi setiap lembaga/organisasi penyelenggara pelayanan, termasuk
perorangan guna memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai bidang pelayanan yang
diinginkan.4
Disadari bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik didaerah masih
belum efektif bahkan cenderung kurang berkualitas, termasuk aspek sumber daya
manusia dan aparatur pemerintahan yang belum memadai. Untuk mengatasi kondisi
tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan
publik secara berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang prima.
Dalam usaha perbaikan kualitas pelayanan dimaksud dilakukan melalui
pembenahan sistem pelayanan publik secara menyeluruh dan terintegrasi yang
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan berupa peraturan daerah.
Dalam UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ada suatu hal
yang baru yaitu mulai diterapkannya Standar Pelayanan Minimum (SPM) dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah5, SPM merupakan standar minimal
pelayanan publik yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah kepada
3 Penjelasan Umum, Dalam Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Kota Bekasi. h. 25
4 ibid 5 Lihat pasal 11 ayat (4) dalam UU 32 tahun 2004, yang menyebutkan bahwa
“penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib harus berpedoman pada SPM yang dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah”.
58
masyarakat. Adanya SPM akan menjamin pelayanan minimal yang berhak
diperoleh masyarakat dari pemerintah daerah.6
Pada prinsipnya, terdapat banyak jenis pelayanan yang diberikan oleh
pemerintah, namun secara generik pelayanan yang diberikan pemerintah dibagi
menjadi dua pelayanan publik. Yaitu: pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar (basic
services) dan pelayanan pengembangan sektor unggulan (core competence)7. Yang
menjadi pelayanan dasar seperti, kewargaan, pendidikan kesehatan, transportasi,
perumahan, lingkungan, fasilitasi jalan, dll. Pelayanan sektor unggulan seperti,
pertanian, pertambangan, pariwisata, perdagangan dll. Pelayanan sektor unggulan
adalah pelayanan pendukung yang ada di daerah. Namun setiap daerah otonom
wajib memberikan pelayanan dasar sesuai dengan SPM yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat. Dengan adanya SPM pemerintah daerah bisa memenuhi
pelayanan dasar dan diharapkan akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan
menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah.8
Didasari dengan pentingnya suatu pelayanan yang harus diberikan
pemerintah daerah kepada warganya, maka DPRD Kota Bekasi membuat program
rancangan peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan
publik. Agar pelayanan dasar masyarakat bisa terpenuhi dan bisa dirasakan merata
oleh elemen masyarakat, dengan birokrasi yang mempermudah proses peraturan
daerah. Dan pembentukan peraturan daerah tentang penyelanggaraan pelayanan
6 S.H. Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, h. 154 7 dengan mengacu pada pendekatan core competence, maka isi otonomi dari satu daerah
akan berbeda dengan daerah lainnya tergantung dari sektor mana yang akan dikembangkan oleh daerah tersebut.
8 Oentarto Sindung Mawardi, Format Otonomi Daerah Masa Depan, h.169-174
59
publik juga untuk mengaktualisasikan UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah yang mewajibkan setiap daerah otonom untuk memberikan pelayanan publik
terhadap warganya.
Dengan adanya peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan
pelayanan publik diharapkan dapat meningkatkan penyelenggaraan fungsi
pelayanan dari Dinas, Instansi, dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yang ada
dikota bekasi. disadari bahwa selama ini ketidakdisiplinan terhadap pelayanan
publik yang ada dikota bekasi merugikan pemerintah kota bekasi. Tuntutan
masyarakat agar adanya proses perizinan yang baik membuat DPRD menyusun
rancangan peraturan daerah ini. Karena harapan DPRD kota bekasi agar peraturan
daerah ini mempunyai daya laku peningkatan disiplin pelayanan yang terdapat
dalam sector swasta dan pemerintah.9
Adanya peraturan daerah penyelenggaraan pelayanan publik ini untuk
membentuk badan, kantor, dinas dan sayap-sayapnya yang harus dipayungi oleh
peraturan daerah, dan ini digabung dalam satuan kerja perangkat daerah (SKPD)10
yang akan dikoordinasikan oleh badan pelayanan perizinan terpadu (BPPT)11,
sehingga dinas yang terkait dengan pelayanan masyarakat tidak memonopoli semua
9 Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil
Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007.
10 Selanjutnya akan disebut SKPD 11 Selanjutnya akan disebut BPPT
60
bentuk perizinan. Masyarakat harus KBPPT dahulu, proses ini yang akan disebut
Unit pelayanan satu atap (SPSA).12
Atas dasar bahwa pemerintah Kota Bekasi mengharapkan pelayanan yang
baik terhadap masyarakat kota bekasi maka peraturan daerah tentang
penyelenggaraan pelayanan publik harus ada di kota bekasi, untuk meningkatkan
kualitas pelayanan dan perizinan yang prima dan terstruktur dengan baik melalui
kegiatan organisasi maupun personal dilingkungan pemerintah daerah khususnya
dan di instansi pemerintah pada umumnya.13
B. Peranan DPRD Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Perencanaan pembentukan daerah dilakukan berdasarkan program legislasi
daerah (prolegda). Prolegda merupakan istrumen perencanaan program
pembentukan peraturan daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan
sistematis. Salah satu tujuan penyusunan proglegda adalah untuk menjaga agar
produk peraturan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional.14
Pembuatan peraturan daerah kota bekasi mengenai pelayanan publik juga
berdasarkan kesatuan sistem hukum nasional. Menurut ketua pansus, DPRD harus
memastikan bahwa peraturan daerah ini tidak bertentangan dengan Undang-undang,
12 Wawancara pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang
merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
13 Penjelasan umum, dalam peraturan daerah kota bekasi nomor 13 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pelayanan publik dikota bekasi. H. 26
14 Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), ( Bandung: Fokus Media, 2009), h. 76
61
peraturan perundang-undangan, keputusan Presiden, keputusan Menteri dan juga
peraturan daerah.
Apa bila peraturan daerah tersebut ternyata bertentangan dengan peraturan
diatasnya, maka wewenang Mahkamah Agung (MA) untuk menjalankan
kewenangan yang disebut sebagai judicial review. Pengertian judicial review adalah
hak untuk menguji apakah suatu suatu perundangan yang dibuat bertentangan
dengan peraturan yang berada diatasnya, yaitu peraturan dibawah undang-undang.15
Peraturan daerah tentang pelayanan publik sudah sesuai dengan sistem
hukum nasional, dan setiap peraturan daerah yang dibuat juga harus berdasarkan
hukum atau undang-undang yang sesuai dengan kesatuan negara republik
Indonesia.16
Peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik
berdasarkan hukum pada:17
1. Keputusan DPRD Kota Bekasi Nomor: 14/ 174.1/ DPRD/ 2007 Tanggal 13
Juli 2007 tentang Panitia Khusus (pansus) 28, dalam rangka pembahasan
rancangan peraturan daerah Kota Bekasi tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Publik di Kota Bekasi.
15 Toto Pribadi, dkk., Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Universitas Terbuka, 2006), h. 7.17 16 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang
merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
17 Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007.
62
2. Dalam Proses pembahasan, secara teknis pansus memperhatikan peraturan-
perundangan sebagai berikut:
a. UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Lembaran Negara RI Tahun 1960 No. 10, Tambahan
Lembaran Negara RI No. 349)
b. UU No.9 Tahun 1996 Tentang Pembentukan Kota Madya Daerah
Tingkat II Bekasi ( Lembaran Negara RI Tahun 1996 No.111,
Tambahan Lembaran Negara RI No. 3821)
c. UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara RI tahun 1997 No. 68, Tambahan Lembaran
Negara RI No.3699)
d. UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran
Negara Ri Tahun 1999 No.42, Tambahan Lembaran Negara RI
No.3821)
e. UU No.31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri (Lembaran Negara
RI Tahun 2000 No. 246, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4045)
f. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaran Negara RI Tahun 2002 No.137,
tambahan Lembaran Negara Ri No. 4250)
63
g. UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (lembaran Negara RI Tahun 2004 No.53, Tambahan
Lembaran Negara RI No. 4389)
h. UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara RI Tahun 2004 No. 125, Tambahan Lembaran Negara RI
No. 4437) sebagaimana telah diubah dengan UU No.8 tahun 2005
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintahan Pengganti UU No.3
tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang (
Lembaran Negara RI tahun 2005 No. 108, Tambahan Lembaran
Negara RI No. 4548)
i. UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Lembaran
Negara RI Tahun 2007 No. 67, Tambahan Lembaran Negara RI No.
4724)
j. UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan ruang (Lembaran Negara
RI Tahun 2007 No.68, Tambahan Lembaran Negara No. 4725)
k. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisi Mengenai
Dampak Lingkungan (Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 59,
Tambahan Lembaran Negara RI No. 3838)
l. Peraturan Pemerintahan No. 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan daerah
64
(Lembaran Negara RI Tahun 2005 No. 165, Tambahan Lembaran
Negara RI No. 4593)
m. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang pembagian
Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI
Tahun 2007 No. 82, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4737)
n. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Organisasi perangkat Daerah (Lembaran Negara RI tahun 2007 No.
89, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4741)
o. Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992 Tentang Pemanfaatan
Tanah, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan Untuk Usaha
Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing
p. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No:
63/KEP/M.PAN/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik.
q. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.
26/KEP/M.PAN/2/2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan
Akuntabilitas Pelayanan Publik.
Peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan publik, bergulir saat
DPRD periode 2004-2009, yang merupakan proglam legislasi yang harus disahkan
oleh DPRD. Sesuai dengan UU No.10 Tahun 2004 Pasal 15 ayat 2 yang
65
menyatakan: “perencanaan penyusunan peraturan daerah dilakukan dalam suatu
program legislasi daerah”.18 Rancangan Peraturan Daerah tentang pelayanan publik
merupakan hak inisiatif dari DPRD, maka Rancangan Peraturan Daerah (raperda)19
disiapkan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan
DPRD yang khusus menangani program legislasi.
Kemudian raperda penyelenggaraan pelayanan publik ini disampaikan oleh
pimpinan DPRD kepada Walikota, setelah raperda tersebut masuk kepimpinan
DPRD, dan menyampaikannya kepada panitia musyawarah DPRD yang kemudian
membahas raperda ini, aktivitas panitia musyawarah ketika memperoleh raperda
adalah mengadministrasikan, melakukan rapat dan mengagendakan rapat serta
membentuk Pansus.
Panitia musyawarah menyerahkan raperda kepada pansus, akan lebih baik
apabila sewaktu panitia musyawarah menerima usulan raperda, panitia tidak hanya
sekedar melakukan pembahasan secara administrasi, tetapi juga melakukan
pengecekan kelapangan untuk mengkonfirmasi kebenaran dan ketepatan raperda
tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga dengan demikian panitia
musyawarah memiliki informasi yang lebih lengkap untuk mengagendakan sebuah
pembahasan raperda, dan raperda dibutuhkan untuk memberi pelayanan prima
terhadap masyarakat.
Pansus (panitia khusus) yang terbentuk kemudian akan membahas raperda.
Pansus ini disebut dengan pansus 28, Pansus berjumlah 18 orang, dengan struktur
18 Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) (Bandung: Fokusmedia, 2009), h.76 19 Selanjutnya akan disebut raperda
66
seorang koordinator yaitu unsur pimpinan, ketua pansus Ir. Muhammad hasim
Affandi dari farksi PAN, wakil ketua H. Gusnal, SE, MM dari fraksi PPP, sekretaris
Umar Fauzi fraksi PDI-P, dan 14 orang anggota yang terdiri dari beberapa
gabungan fraksi yang ada di DPRD.20
Dalam pembahasan raperda Kota Bekasi tentang penyelenggaraan
pelayanan publik di Kota Bekasi, pansus 28 ini juga melakukan beberapa
serangkaian kegiatan. Yaitu: rapat-rapat internal pansus, rapat pembahasan bersama
Walikota/Wakil Walikota, dalam merencanakan peraturan daerah tentang pelayanan
publik, rapat pembahasan bersama pihak badan usaha milik negara (BUMN) se-
Kota Bekasi yang mempunyai tupoksi pelayanan publik, rapat konsultasi dengan
biro organisasi dan dinas pelayana satu atap Propinsi Jawa Barat, kunjungan kerja
dalam rangka studi banding ke pemerintah Kota Yogyakarta, konsultasi ke kantor
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, rapat-rapat internal di fraksi masing-
masing dalam rangka pembahasan pelayanan publik, dan rapat finalisasi bersama
pihak eksekutif.21
Raperda tentang pelayanan publik dirasakan penting oleh DPRD karena
pemerintah Kota Bekasi belum membuat peraturan daerah ini, dan melihat ketidak
disiplinan dalam pembuatan perijinan dan pelayanan publik. DPRD sebagai
20 Nevi Somadireja, Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota Bekasi
Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009 (Bekasi: Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009), h. 100
21 Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007.
67
lembaga legislatif yang menampung aspirasi masyarakat, sering menerima keluhan
mengenai pelayanan publik yang tidak baik.
Kunjungan pansus 28 dalam masa kerjanya ke pemerintah Kota Yogyakarta,
karena kota Yogyakarta sudah mempunyai peraturan daerah tentang
penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah Kota Yogyakarta menjadi tolak
ukur dalam pembuatan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan publik
di Bekasi. Kota Yogyakarta juga merupakan kota yang berkembang dalam
pelaksanaan otonomi daerah, dan pada saat rancangan peraturan daerah Kota Bekasi
tentang penyelenggaraan pelayanan publik diajukan kepada pemerintah Propinsi,
peraturan daerah ini merupakan peraturan daerah pertama di Jawa Barat atau di
Indonesia untuk tingkat Kabupaten/Kota. 22
Raperda tentang penyelenggaraan pelayanan publik yang telah disetujui
bersama oleh DPRD dan walikota, oleh walikota di buat edaran sebagai bentuk
sosialisasi raperda kepada instansi terkait yang berhubungan langsung dengan
pelayanan publik, yaitu SKPD yang didalamnya ada unsur dinas, kecamatan,
kelurahan, edaran ini diberikan tiga bulan sebelum pengesahan raperda.23
Menjadi kelemahan pemerintah daerah dalam melakukan sosialisasi raperda
kepada masyarakat, kurangnya copy edaran kepada masyarakat, karena edaran
hanya sampai kepada pihak instansi yang terkait. Sehingga saat perda di sahkan
22 Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil
Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007.
23 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
68
banyak masyarakat yang tidak menyadari adanya peraturan daerah yang baru
dibuat.
Pengesahan raperda menjadi peraturan daerah tentang pelayanan publik juga
berjalan baik dalam rapat paripurna, pansus 28 merekomendasikan kepada pihak
eksekutif agar secepatnya membentuk BPPT sebagai pemberdayagunaan pelayanan
kepada masyarakat, pengelola seluruh bentuk pelayanan dan perijinan menjadi
kewenangan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di Kota Bekasi,
dengan mengindahkan asas dan prinsip : asas kepastian hukum, asas transparansi,
asas partisipatif, asas kepentingan umum, asas profesionalisme, asas kesamaan hak,
asas keseimbangan hak dan kewajiban, prinsip kesederhanaan, prinsip kejelasan,
prinsip kepastian waktu, prinsip akurasi, prinsip keamanan, tanggung jawab, prinsip
kelengkapan sarana dan prasarana, prinsip kemudahan akses, prinsip kedisiplinan,
kesopanan, keamanan dan prinsip kenyamanan.24
Dalam rapat paripurna Ketua DPRD Kota Bekasi meresmikan paraturan
daerah kota bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik. Rapat paripurna ini
di hadiri oleh ketua DPRD, dan wakilnya, Wali Kota Bekasi, dan Wakilnya,
anggota DPRD Kota Bekasi, sekertaris Daerah Kota Bekasi, perangkat pemerintah
daerah, seluruh camat dan lurah se Kota Bekasi, lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang ada di Kota Bekasi, kapolres Kota Bekasi dan lain-lain.
DPRD kota Bekasi melihat bahwa peraturan daerah tentang
penyelenggaraan pelayanan publik ini, penting untuk masyarakat. Ini juga
merupakan implementasi dari UU N0.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
24 Ibid
69
yang menuntut adanya SPM, DPRD juga menetapkan SPM pelayanan dan perizinan
14 hari kerja.25
Pada tanggal 22 Agustus 2007 Walikota Bekasi mengesahkan dan
menetapkan peraturan daerah tentang penyelenggaraan publik berlaku di Kota
Bekasi dengan nomor 13 dan No. LD 12 seri A 26. Besar harapan agar adany
peraturan daerah Kota Bekasi tentang pelayanan publik bisa meningkatkan
pelayanan publik di Kota Bekasi.
Dalam peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan
publik disebutkan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan
yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan
penduduk atas suatu barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan
oleh penyelnggara pelayanan publik.27
Dalam peraturan daerah kota bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan
publik maka diterapkan standar pelayanan umum yang di amanatkan dalam UU 32
Tahun 2004, peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan
publik, jenis pelayanan dasar selain perizinan antara lain: seperti:
1. Pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk (KTP)
25 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang
merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
26 Nevi Somadireja, Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota Bekasi Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009 (Bekasi: Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009), h. 175
27 Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Bekasi, h, 6
70
2. Pelayanan pembuatan kartu keluarga (KK)
3. Pelayanan akta perkawinan
4. Pelayanan akta lahir
5. Pelayanan pembuatan rekomendasi pendirian rumah ibadah
6. Pelayanan pembuatan rekomendasi pendirian sekolah swasta
7. Pelayanan pendaftaran organisasi sosial, LSM dan yayasan
8. Pelayanan pemberian tanda lapor orang asing
9. Pelayanan pemberian surat pengantar keringanan pengobatan ke rumah sakit
10. Pelayanan pemberian rekomendasi adopsi anak
11. Pelayanan pemberian rekomendasi pengumpulan sumbangan untuk korban
bencana.
Jenis pelayanan pemberian perizinan antara lain seperti:
1. Pelayanan pemberian izin mendirikan bangunan
2. Pelayanan pemberian izin lokasi
3. Pelayanan pemberian izin trayek
4. Pelayanan pemberian izin gangguan
5. Pelayanan pemberian izin usaha perdagangan
6. Pelayanan pemberian izin reklame
71
7. Pelayanan pemberian izin penelitian/ survey/ riset dan PKL
8. Pelayanan pemberian izin undian
C. Sosialisasi Peraturan Daerah Tantang Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan peraturan daerah yang telah
diundangkan dalam lembaran daerah. Masyarakat Kota Bekasi dan pihak-pihak
yang terkait harus mengetahui tentang peraturan daerah yang berlaku sebagai syarat
untuk melaksanakan dan mematuhinya.
Menurut Ir. Muhammad Afandi anggota DPRD Kota Bekasi dan juga
merupakan ketua pansus, sebenarnya bukanlah tugas DPRD dalam
mensosialisasikan, karna tugas DPRD itu, legislasi, controling dan budgeting. Dan
DPRD melihat dalam perda pelayanan publik ini, pihak yang lebih
bertanggungjawab dalam mensosialisasikan adalah BPPT, dinas-dinas dan instansi
terkait seperti kelurahan dan kecamatan yang lebih bersinggungan kepada
masyarakat dalam perizinan dan pelayanan.28
Kelemahan DPRD memang kurang mensosialisasikan Peraturan daerah
yang dibuatnya, sebenarnya sebelum peraturan daerah disahkan saat sidang
paripurna, sudah ada edaran dari pihak eksekutif yang diberikan kepada instansi
yang terkait pelayanan publik. Sehingga tiga bulan saat peraturan daerah ini
28 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang
merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
72
disahkan sudah ada sosialisasi dari pihak terkait kepada masyarakat, dan hal ini
yang tidak dilakukan walaupun dilakukan hanya sedikit masyarakat yang tahu.29
DPRD Kota Bekasi mensosialisasikan peraturan daerah Kota Bekasi tentang
penyelenggaraan publik dengan cara mensosialisasikan kepada masyarakat
khususnya didaerah pemilihannya. Ini disebut dengan Masa Reses, setiap anggota
DPRD yang terdiri dari beberapa anggota terpilih lewat daerah pemilihan yang
berbeda-beda, jika DPRD mensahkan produk peraturan daerah maka anggota
DPRD tersebut mensosialisasikan ke daerah pemilihannya pada masa reses tersebut.
Masa reses dilaksanakan pada hari kerja selama enam hari dalam bentuk kunjungan
kemasyarakat,30 Hal ini yang kemudian kurang efektif untuk mensosialisasikan
perda karena dilaksanakan pada hari kerja disaat masyarakatnya mempunyai
aktivitas sendiri.
Pada saat sidang paripurna pengesahan peraturan daerah Kota Bekasi
dihadiri oleh pejabat daerah, struktur pemerintahan daerah dan elemen masyarakat.
Ini juga merupakan sosialisasi peraturan daerah, dari yang hadir tersebut bisa
mensosialisasikan kembali kepada masyarakat Bekasi.
DPRD Kota Bekasi juga mensosialisasikan peraturan daerah Kota Bekasi
tentang penyelenggaraan pelayanan publik melalui media yang ada di Kota Bekasi.
Media massa seperti koran Radar Bekasi yang slalu mempublikasikan kegiatan
pemerintah daerah. Dan juga lewat buletin swara DPRD yang hadir tiap bulannya,
dan menjelaskan peraturan daerah yang berhasil disahkan DPRD.
29 Ibid 30 Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi N0.26/174.2/DPRD/2006,
h.75
73
D. Peranan DPRD Dalam Pengawasan Peraturan Daerah Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Sebagai unsur penyelenggara pemerintah di daerah, DPRD mempunyai
fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tugas dan wewenang pengawasan
DPRD secara khusus tercantum dalam UU No 32 Tahun 2004 pasal 24 ayat 1C
yang berbunyi : “ DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-
undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah dalam
melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di
daerah”31
Mengenai pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap jalannya roda
pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan daerah yang dilaksanakan oleh
eksekutif. DPRD menggunakan hak dan kewenangan seperti hak penyelidikan, hak
meminta keterangan, hak bertanya, dan hak menyatakan pendapat, dengan
keseluruhan mekanisme yang diatur oleh peraturan tata tertib dewan.32
Pengawasan bertujuan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi,
menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya, serta mengembangkan checks dan balances antara lembaga
legislatif dan eksekutif demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
31 Lihat pasal-pasal UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 32 Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik Fisip Universitas Indonesia Dengan
badan Perencanaan Daerah Provinsi Jakarta, dalam Penelitian Peran Dan Fungsi DPRD Di Era Reformasi (Jakarta: Depok, 2003), h. 18
74
Pengawasan yang dilakukan DPRD untuk mengawasi produk hukum yang sudah
disahkan.
Bentuk pengawasan yang dilakukan DPRD dilakukan dengan cara
melakukan dengan pendapat, kunjungan jerja, pembentukan panitia khusus dan
pembentukan panitia kerja yang dibentuk sesuai dengan peraturan tata tertib DPRD.
DPRD dalam melaksanakan pengawasan terhadap peraturan daerah berhak meminta
pejabat negara, pejabat pemerintah, atau waraga masyarakat untuk memberikan
keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan daerah,
pemerintah dan pembangunan. Pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga
masyarakat yang menolak permintaan untuk memberikan keterangan dapat
dipanggil secara paksa, karena merendahkan martabat DPRD. Hal ini diatur dan
dijelaskan pada UU No. 22 tahun 2003 Pasal 66 ayat (1), (2) dan (3) bahwa:33
1. DPRD Provinsi, melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta
pejabat negara, tingkat provinsi, dan DPRD Kota, pejabat pemerintah
kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat untu memberikan
keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan
daerah, bangsa dan negara.
2. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota,
badan hukum atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPRD
sebagaimana dimaksud ayat (1).
33 Sadu Wasistiono, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), h.
149
75
3. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota,
badan hukum atau warga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dikenakan panggilan paksa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Walaupun DPRD tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memberi
sanksi terhadap eksekutif, setidaknya DPRD memiliki kekuasaan yang cukup kuat
untuk meminta keterangan dengan pihak-pihak yang sekiranya dapat memberikan
masukan dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD.
Namun kuatnya fungsi pengawasan yang sudah tertera dalam peraturan
Negara, tidak bisa di implementasikan dengan baik oleh DPRD Kota Bekasi. DPRD
Kota Bekasi kurang memberikan pengawasan terhadap peraturan daerah yang sudah
disahkannya.
Pengawasan DPRD terhadap peraturan daerah tentang pelayanan publik ini,
tidak begitu terkontrol dilakukan. Karena banyaknya perda yang disahkan oleh
DPRD tiap tahunnya, membuat DPRD sulit untuk memfokuskan pengawasan pada
satu peraturan daerah. Namun cara pengawasan yang dilakukan DPRD dalam
peraturan daerah ini dengan melakukan kunjungan kerja ke kelurahan atau ke dinas,
Dan selama ini belum terlihat adanya pelanggaran dalam pelaksanaannya.34
Pengawasan terhadap peraturan daerah Kota Bekasi tentang
penyelenggaraan pelayanan publik bisa dilihat sangat minim, hanya sebatas
34 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
76
pembuatan peraturan daerah dan pengesahannya. Jika DPRD melakukan kunjungan
kerja terhadap instansi terkait biasanya instansi tersebut memberikan pelayanan
yang prima dan tidak menyimpang, kurangnya pengawasan terhadap peraturan
daerah ini, membuat peraturan daerah ini belum dievaluasi dengan baik, dan apakah
sudah sesuai dengan masyarakat atau belum.
D.1 Pihak-Pihak Yang Bertanggung Jawab Terhadap Pelaksanaan Peraturan
Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Rekomendasi dari pansus peraturan daerah pelayanan publik adalah,
dibentuknya BPPT dengan asas kinerja satuan pelayanan satu atap, selama ini
dalam perijinan masyarakat seperti bola yang kesana dan kemari, karena tidak
adanya koordinasi kerja dari instansi terkait. Dan terlalu banyak pihak instansi yang
harus didatangi. Setelah adanya peraturan daerah ini kinerja perijinan dirubah.
Dalam peraturan daerah ada pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk
menfasilitasi agar peraturan daerah bisa terlaksana dan berjalan sesuai aturan yang
berlaku, dan dalam peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan
pelayanan publik. Pihak yang bertanggung jawab adalah: BPPT yang
mengkoordinasi kerja SKPD didalamnya meliputi dinas-dinas dan kecamatan dan
kelurahan. Dan juga DPRD yang bertindak sebagai pengawas dalam pelaksanaan
perda pelayanan publik.
Gambar 1. Bagan Alur Pengurusan perizinan
PEMOHON
Mengajukan permohonan perijinan dengan melampirkan berkas yang disyaratkan
77
DINAS-DINAS BPPT
Sumber: Dinas Perijinan Dalam Bidang IMB
Tekhnis perijinan
Legalitas perijinan Menerbitkan
surat perijinan
Meneliti kelengkapan berkas
SEKSI PERIJINAN DALAM DINAS
Gambar 2. Bagan Alur Pengurusan Pelayanan
Kelurahan Dinas kependudukan
Kecamatan
Sumber: Kantor Kelurahan Jati Luhur
D.2. Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Publik
Pelaksanaan peraturan daerah tentang pelayanan publik sudah berlaku pada
tanggal yang diundangkan, dan pelaksanaan standar pelayanan, maklumat
pelayanan, sistem informasi dan tata cara pengolaan pengaduan yang telah ada pada
masing-masing penyelenggara menyesuaikan dengan peraturan daerah ini selambat-
lambatnya satu tahun sejak ditetapkan.
78
No Jenis Pelayanan/perijinan
Peraturan daerah
pelaksanaan Keterangan
1 Pembuatan KTP 14 hari 14 hari sesuai dengan SPM, namun bisa saja lebih dari 14 hari. dan ada pelayanan khusus atau progresif, yang bisa langsung jadi pembuatannya dalam satu hari (pasal 21), pelayanan ini untuk WNA atau masyarakat yang butuh untuk keperluan mendesak.
Bisa Sesuai perda, hanya saja persyaratan yang dibawa pada saat kekelurahan sudah komplit. Keterlambatan jadinya KTP, karena kurangnya komputerisasi atau data yang hilang. dalam pembiyayaan sendiri, dalam perda digratiskan, namun tiap kelurahan mempunyai kebijakan berbeda, bisa dikenai biyaya administrasi 10.000. dan untuk progresif dikenakan biaya 100.000 sesuai perda.
2 Surat Domisili 14 hari Surat domisili ini prosesnya hanya dikelurahan saja, sehingga bisa cepat. Biayanya juga gratis jika mengikuti perda, namun terkadang kelurahan memungut biaya untuk administrasi.
Tidak sesuai perda, karena prosesnya tidak berpindah instansi. Dalam pemungutan biaya juga tergantung dengan kebijakan kelurahannya.
3 Pelayanan izin mendirikan bangunan
14 hari Kurang lebih sesuai dengan waktu yang ditentukan
Sesuai dengan perda,Jika tidak ada masalah dalam tekhnisnya, semua
79
bisa berjalan tepat waktu, namun ada pula oknum yang bermain waktu dengan dikenakan biaya tambahan untuk mempercepat waktunya.
Sumber: Table Dibuat Oleh Penulis
Dari table diatas bisa diambil kesimpulan bahwa tiap instansi ataupun dinas
mempunyai kebijakan tersendiri diluar perda, instansi terkait secara keseluruhan
sesuai dengan peraturan daerah hanya saja ada pegawainya yang melakukan
pelanggaran. Tiap dinas sendiri dan istansi berbeda kebijakannya. Dalam
pelaksanaan pelayanan publik, jika ada keterlambatan jadinya KTP karena
kurangnya komputerisasi atau data yang hilang,35 masyarakat juga tidak diwajibkan
kekantor kelurahan untuk pembuatan KTP, bisa langsung kekecamatan ataupun
dinas kependudukan, yang penting instansi terkait. Karena dalam perda pun tidak
ada peraturan tersebut.
Pelaksana peraturan daerah pelayanan publik juga tidak dikenai biaya
kepada masyarakat, yang dijelaskan pada pasal 22 yaitu pungutan biaya
penyelenggaraan pelayanan publik yang menyangkut hak-hak sipil pada hakikatnya
dibebankan kepada daerah dan atau negara dengan tidak menutup kemungkinan
ditetapkan pungutan biaya pelayanan kepada penerima pelayanan. Karena biaya
penyelenggaraan pelayanan mempertimbangkan, tingkat kemampuan dan daya beli
masyarakat, nilai/harga yang berlaku didaerah atas barang dan/atau jasa, dan rincian
biaya yang jelas dan transparan. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat
35 Wawancara Pribadi Dengan Lurah Jati Luhu Bpk. Jaya Ekosetiawan SH
80
kantor kelurahan yang memungut biaya administrasi, untuk kas keuangan kantor
kelurahan. Mental msyarakatpun harus di rubah, banyak terdapat kasus masyarakat
yang enggan untuk kekelurahan dan meminta bantuan pegawai instansi terkait,
sehingga ada perasaan senggan dan memberikan uang untuk jasanya.36..
Penyelenggara pelayanan publik wajib bertanggung jawab atas pelayanan
yang dilaksanakannya yaitu: menyusun dan menetapkan standar pelayanan teknis
serta tata cara pengelolaan pengaduan dan keluhan dari penerima pelayanan dengan
mengedepankan prinsip penjelasan yang tepat dan tuntas, menyiapkan sarana dan
prasarana dan fasilitas pelayanan publik secara efisien, efektif, transparan dan
akuntabel, serta berkesinambungan, memberikan pengumuman dan/atau memasang
tanda-tanda yang jelas ditempat yang mudah diketahui terhadap perubahan dan/atau
pengalihan fungsi fasilitas pelayanan publik, dll.37
Penyelenggara sebagai lembaga yang melanggar kewajiban dan/atau
larangan yang diatur dalam peraturan daerah ini dikenakan sanksi administratif
berupa: peringatan, pembayaran ganti rugi, pengenaan denda. Sedangkan aparat
penyelenggara yang melanggar dikenakan hukuman: pemberian peringatan,
pembayaran ganti rugi, pengurangan gaji dalam waktu tertentu, penundaan atau
penurunan pangkat atau golongan, pembebasan tugas dari jabatan dalam waktu
tertentu, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat.
36 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang
merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
37Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Bekasi, Pasal 8, h. 9-10
81
Ganti rugi yang dimaksud diberikan kepada penerima pelayanan yang dirugikan
berdasarkan tata cara yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan yang ada.
Peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan publik secara
struktural sudah terarah, dengan memperjelas bentuk pelayanan dan bentuk
perijinan kepada masyarakat, akan tetapi menjadi cacatan yang sangat penting
ketika peraturan ini berbentuk praktek dan aplikasi langsung kepada masyarakat.
Ada baiknya pemerintah daerah yang didalamnya ada walikota dan wakil wali kota
juga anggota DPRD melakukan evaluasi apakah peraturan daerah ini benar-benara
terlaksana dengan baik oleh penyelenggara pelayanan publik dan aparat
pemerintahan, karena DPRD terkadang mengabaikan tugasnya selain membuat
peraturan daerah dan mengesahkannya, DPRD juga wajib melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan peraturan daerah kepada masyarakat.
Pemerintah daerah kota Bekasi memang mempunyai target tiap tahun dalam
mengembangkan potensi daerahnya, adanya peraturan daerah kota bekasi tentang
penyelenggaraan pelayanan publik juga menjadi bukti bahwa pemerintah ingin
memperbaiki fungsi pelayanan yang selama ini jauh dari disiplin, karena belum
adanya peraturan standar pelayanan minimum yang sesuai dengan UU No.32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah, DPRD sebagai lembaga politik kemudian
berusaha mewujudkan peraturan daerah kota bekasi tentang penyelenggraan
pelayanan publik guna memperbaiki ketidakdisiplinan yang ada dalam instansi yang
terkait terhadap pelayanan publik. Dengan harapan semoga adanya peraturan daerah
ini pelayanan publik di Kota Bekasi bisa lebih berkualitas dan terarah pada
masyarakat.
82
Demikian penjelasan mengenai peraturan daerah Kota Bekasi dari faktor
terbentuknya sampai proses dan sosialisasinya peraturan daerah tentang
penyelenggaraan pelayanan publik. Jelaslah kiranya bahwa ada sebuah usaha dalam
pemerintah daerah kota bekasi untuk memperbaiki sebuah pelayanan terhadap
warganya agar lebih berkualitas.
1
BAB I
PANDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 telah mengubah
sistem kehidupan berbangsa, bernegara serta berpemerintahan. Perubahan sistem in
tercermin pada pergantian UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan daerah menjadi UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
membawa perubahan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Indonesia. Perubahan ini tampak lebih berorientasi pada penyelenggaraan
pemerintahan yang partisipatif dan demokrasi dari pada efisiensi administrasi.
Meski UU tersebut telah disempurnakan menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan daerah, semangat partisipasi masyarakat tetap dipertahankan dengan
menekankan perlunya efisiensi dalam penyelenggaraannya. Kini daerah memiliki
jumlah dan bobot yang lebih besar dari pada sebelumnya secara politis, dan daerah
memiliki kemandirian yang lebih besar dari pada sebelumnya.1
Lengsernya Soeharto dengan pemerintahan yang sentralis membawa angin
segar bagi perbaikan hubungan daerah dan pusat, karena tuntutan akan adanya
otonomi daerah dan perbaikan terhadap sistem pemerintahan daerah di hadirkan
dalam UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasan sistem
penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara campur aduk. Kedua istilah
1 M.R.Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah (Malang,Jawa Timur:
BayuMedia,2006), Cet. 1, h. 95
2
tersebut secara akademik bisa dibedakan, namun secara praktis dalam
penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Bahkan menurut banyak
kalangan, otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri. Desentralisasi adalah
pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintahan pusat kepada
pemerintahan daerah.2
Otonomi daerah diartikan sebagai manifestasi desentralisasi. Otonomi dalam
makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri” sedangkan dalam makna yang
lebih luas diartikan sebagai ‘berdaya”. Otonomi daerah dengan demikian berarti
kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan
mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mencapai kondisi
tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja
secara mandiri tanpa tekanan dari luar.3
Otonomi daerah diberikan melalui desentralisasi politik dan desentralisasi
administratif4, desentralisasi politik dimuat dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang memperkuat posisi DPRD, yang kemudian di revisi
dengan adanya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang salah
satunya di sebutkan mengenai pemilihan kepala daerah dan DPRD secara
demokratis melalui pemilu langsung. Sementara itu desentralisasi administratif
yaitu pemberian wewenang kepada pemerintah lokal dalam mengurus anggaran
daerah dan sumber-sumber daerah. Hal ini semakin mendekatkan pelayanan
2 Dede Rosyada, DKK, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), Edisi Revisi, 2003, h. 149
3 Ibid, h. 150 4 Willy R. Tjandra, Praksis Good Governance (Sewon Bantul: Pondok Edukasi, 2006), h. 7
3
pemerintahan kepada rakyat didaerah dalam proses administrasi, otonomi daerah
dalam pihak ini harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijkaan ekonomi nasional
di daerah.
Kalangan teoritisi pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen
yang menjadi dasar dalam memilih desentralisasi-otonomi, yaitu: pertama, untuk
terciptanya efesiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah
berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang sosial,
kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan,
keamanan dalam negeri dan lain-lain. Oleh karena itu, tidaklah mungkin semua
dilakukan dengan cara yang sentralistik, sehingga ada pembagian tugas antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diatur dalam otonomi daerah. Kedua,
sebagai sarana pendidikan politik. banyak kalangan ilmuan politik berargumentasi
bahwa pemerintahan daerah merupakan kancah pelatihan dan pengembangan
demokrasi dalam sebuah negara, pemerintah daerah akan menyediakan kesempatan
bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau
kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik, dan mereka yang tidak
memiliki peluang untuk terlibat dalam politik nasional, mempunyai peluang untuk
ikut dalam politik lokal. Ketiga, pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir
politik lanjutan. karena pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif lokal),
merupakan lahan yang banyak dimanfaatkan guna menapak karir politik yang lebih
tinggi dari dominasi lokal menjadi dominasi nasional. Keempat, stabilitas politik.
stabilitas nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal.
Kelima, kesetaraan politik. Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka
4
kesetaraan politik diantara berbagai kompenan masyarakat akan terwujud. Karena
masyarakat di berbagai lapisan daerah mempunyai kesempatan untuk terlibat salam
politik, melalui pemilihan kepala desa, bupati,walikota, dan bahkan gubernur. Dan
masyarakat terlibat dalam mempengaruhi pemerintahannya untuk membuat
kebijakan terutama yang menyangkut kepentingan mereka.5
Sejalan dengan perubahan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang diganti oleh UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, ada
sejumlah perubahan yang menyangkut konsep kelembagaan di pemerintahan
daerah. Menurut UU No.32 Tahun 2004, pemerintah daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD)6 menurut asas otonomi , dan tugas perbantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana yang dimaksud oleh UUD 1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur,
Bupati/Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan,
sedangkan DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.7
Dengan adanya otonomi daerah yang luas diera reformasi ini memberi ruang
DPRD sejajar dengan Kepala Daerah, dahulu lembaga perwakilan rakyat (legislatif)
berada dibawah dominasi eksekutif dipusat maupun daerah, hal ini karena Presiden
Soeharto membangun hegemoni yang luar biasa terhadap lembaga legislatif. Hal ini
5 Dede Rosyada, DKK, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani , h. 153 6 Selanjutnya akan menggunakan kata DPRD 7 Baban Sobandi, DKK, Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah
(Bandung: Humaniora, 2005), h. 115
5
dapat dilihat dalam strategi memperkokoh dominasinya, mengontrol dan
mengendalikan secara total daerah-daerah.
Salah satu contoh dari desain hegemoni rezim soeharto terhadap lembaga
perwakilan rakyat daerah, misalnya, ketentuan pasal 15 dan 16 UU No.5 tahun 1974
mengenai pengangkatan kepala daerah. Keputusan akhir pemilihan Gubernur dari
DPRD diserahkan kepada Presiden, melalui Mentri Dalam Negeri. Ini pun berlaku
dalam pengangkatan Bupati/Walikota. Hegemoni ini membuat DPRD yang begitu
kuat dalam proses pemilihan kepala daerah menyebabkan DPRD mandul dalam
melaksanakan perannya sebagai wakil rakyat untuk menentukan pemimpin daerah
yang dikehendaki rakyat.8
Pasca lengsernya soeharto, terjadi perubahan besar menyangkut hubungan
pusat dengan daerah. Semangat tersebut diakomodasi UU NO. 22 Tahun 1999
tentang pemerintahan daerah yang mulai mengembangkan istilah demokrasi,
partisipasi masyarakat, serta pengelolaan kekuasaan transparan. Pasal 18 Ayat 1,
UU No.22 Tahun 1999 memberi kewenangan yang sangat penting bagi DPRD
antara lain, memilih kepala Pemerintahan Daerah (Gubernur/Wakil, Bupati/Wakil,
dan Walikota/Wakil), serta mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala
Daerah. Dalam menjalankan tugas dan kewajiban Gubernur, Bupati dan walikota
bertanggung jawab kepada DPRD.
Seiring berkembangnya demokratisasi di indonesia UU No.22 tahun 1999 di
ubah menjadi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu
8 Wasistiono, sadu dan ondo riyani (editor), Etika Hubungan Legislatif Eksekutif (Bandung:
Fokus Media, 2003), h. 234
6
alasan di rubahnya karena UU sebelumnya DPRD mempunyai otoritas terlalu besar
terhadap Kepala Pemerintahan. Dan UU No.32 tahun 2004 dengan tegas
memisahkan antara badan legislatif dan eksekutif daerah. UU ini juga menegaskan
bahwa kedudukan setiap unsur pemerintah daerah berdiri sendiri dan tidak
mempunyai hubungan hierarki. Karena baik anggota DPRD maupun Kepala Daerah
dipilih langsung oleh Rakyat, lewat pemilihan umum. Namun DPRD dan kepala
daerah juga memiliki kewajiban antara lain, menjalin hubungan kerjasama dengan
seluruh intansi vertikal di daerah. Serta memberi laporan pertanggungjawaban
kepada DPRD.
Walaupun ada pemisihan antara Kepala Daerah dan DPRD namun kedua
lembaga ini bersifat sejajar dan bersifat kemitraan, keduanya mempunyai
kedudukan yang sama penting karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga
mempunyai legitimasi yang sah. Namun Kepala Daerah dan DPRD mempunyai
korelasi kerja satu sama lain, salah satu contohnya dalam UU No.32 Tahun 2004
disebutkan Kepala daerah dalam menetapkan Perda harus mendapat persetujuan
dari DPRD, hal ini bisa dilihat bahwa kerja Kepala daerah tidak bisa terlepas dari
peranan DPRDnya9.
Pada akhirnya segala urusan mengenai daerah menjadi pekerjaan rumah
bagi pemerintah daerah, tidak terkecuali bagi daerah manapun, dan DPRD sebagai
Lembaga yang anggotanya dipilih oleh rakyat harus bisa membuat kebijakan yang
sesuai dengan kepentingan publik. Kota bekasi yang merupakan salah satu kota di
9 Baban Sobandi, DKK, Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah, h.
116
7
Indonesia juga harus melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan UU yang sudah
disepakati.
Bekasi yang kini menjadi Kota dan terlepas dari kabupaten Bekasi
mempunyai sejarah tersendiri dalam pembentukannya. Bekasi juga merupakan
daerah yang diduduki oleh penjajahan Belanda dan Jepang, pasca kemerdekaan
Bekasi ditata menjadi Kabupaten. Terbentuknya kabupaten Bekasi juga tidak lepas
dari aspirasi masyarakat Bekasi untuk dibentuknya Kabupaten Bekasi yang awalnya
Kabupaten Jatinegara.
Kabupaten Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 14 Tahun
1950 tertanggal 15 Agustus 1950. Pada saat itu, Kabupaten bekasi terdiri dari 4
kewedanaan, 13 kecamatan dan 95 desa. Dan perkembangan pemerintahan
Republik Indonesia pada waktu itu menuntut adanya pelayanan yang maksimal
terhadap masyarakat, berdasarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 1981
kecamatan bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif Bekasi yang
meliputi 4 kecamatan, Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Utara.
Dari keempat kecamatan itu terdiri 18 kelurahan dan 8 desa. Pemekaraan itu
dilakukan atas tuntutan masyarakat perkotaan yang memerlukan adanya pelayanan
khusus. Pembentukan kota Administrasi Bekasi digelar pada tanggal 20 April 1981
yang dihadiri mentri Dalam Negeri (Mendagri). Dan perkembangan yang
ditunjukan Kota Administrasi Bekasi mampu memberikan dukungan penggalian
potensi di wilayahnya untuk menyelenggarakan Otonomi daerah. Dan untuk
mendukung jalannya roda pemerintahan, maka keluarlah UU No. 9 Tahun 1996
yang mendukung berubahnya Kota Administrasi Bekasi menjadi Kotamadya
8
Daerah Tingkat II Bekasi dan yang menjabat sebagai walikotamadya adalah bapak
Drs.H.Khailani AR, selama satu tahun (1997-1998).10
Selanjutnya berdasarkan hasil pemilihan terhitung mulai tanggal 23 Pebruari
1998 Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dijabat oleh Bapak Drs. H.
Nonon Sonthanie (1998-2003). Setelah pemilihan umum berlangsung terpilihlah
Walikota dan Wakil Walikota Bekasi yaitu: Akhmad Zurfaih dan Moechtar
Muhammad (periode 2003-2008), dan pada tahun 2008 terpilih walikota Moechtar
Muhammad sebagai Walikota dan Rahmat Effendi S.Sos sebagai Wakil Walikota
(periode 2008-2013), yang terpilih lewat pemilihan kepala daerah langsung oleh
warga Kota Bekasi.
Kota Bekasi setelah berbentuk Kotamadya mulai membuktikan
kemandiriannya dalam mengembangkan Kota Bekasi, dengan didukungnya
otonomi daerah yang dapat memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengurus
rumah tangganya sendiri. Kota Bekasi menunjukan geliatnya dengan membangun
sektor perekonomian yang lebih nyata. Ini bisa dilihat pada awalnya perekonomian
Bekasi baru berkembang disepanjang Jl.Ir H. Juanda yang membujur sepanjang 3
km dari Alun-alun Kota hingga terminal Bekasi. Di jalan ini terdapat pusat
pertokoan Bekasi yang dibangun pada tahun 1978, serta beberapa departemen store
dan bioskop. Sejak tahun 1993, perekonomian mulai berkembang disepanjang Jl.
Ahmad Yani dengan dibangunnya beberapa mal serta sentra niaga. Kini pusat
perekonomian telah berkembang hingga Jl. KH. H. Noer Ali ( Kalimalang), Kranji,
dan Harapan Indah. Di daerah ini bisa dilihat dengan adanya hotel, banyaknya mal,
10 http// www.kotaBekasi.go.id, diakses pada tanggal 17 November 2009
9
pertokoan,bank serta restoran dan perumahan-perumahan mewah yang ada di
daerah ini. Dan kini pusat perekonomian telah berkembang sampai di beberapa
kecamatan bekasi salah satunya kecamatan Jati Asih, di kecamatan ini sudah dibuka
akses jalan tol yang menghubungkan ke Jabodetabek sampai ke bandung, juga ada
supermarket, restoran, bank, perumahan-perumahan dan sarana transportasi
angkutan umum yang sudah menjangkau kebeberapa kota.
Berkembangnya sektor perekonomian di kota Bekasi, diiringi dengan
pemerintahan daerah yang stabil dan kuat, pemerintah daerah Kota Bekasi sudah
melaksanakan pemilihan kepala daerah pertama pada tanggal 27 januari 2008 untuk
memilih wali kota secara langsung. Berbeda dengan pemilihan kepala daerah
sebelumnya yang memakai cara walikota dipilih oleh anggota DPRD (Dewan
Perwakilan Rakyat daerah). Pemilihan kepala daerah tersebut diikuti oleh tiga
pasang calon, dan akhirnya dimenangkan oleh Mochtar Mohammad dan Rahmad
Effendi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar. Sedangkan
dalam pemilihan anggota DPRD secara demokratis sudah dilakukan terlebih dahulu
pada tahun 2004 bersamaan dengan pemilu nasional. Dan mengantarkan 54 orang
wakil rakyat Kota Bekasi dari delapan partai politik: PKS(11), Golkar(9),
P.Demokrat(7), PAN(6), PPP(4), PDS(1), PBB(1), periode 2004-2009, yang terpilih
sebagai pimpinan DPRD ketua H.Rahmat Effendi,S.Sos,M.Si,(F-Golkar),
didampingi oleh H.Dadang Asgar Noor (F-P.Demokrat) dan H. Ahmad Saiykhu (F-
PKS).11
11 http// www.kotaBekasi.go.id, diakses pada tanggal 17 November 2009
10
Pemilihan Kota Bekasi sebagai tempat penelitian karena secara geografis
Bekasi merupakan salah satu kota penyangga di wilayah megapolitan jabotabek
selain Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Depok dan Cikarang, serta menjadi
tempat tinggal masyarakat yang bekerja dijakarta. Oleh karena itu ekonomi Kota
Bekasi sangat berhubungan erat dengan kota-kota wilayah jabodetabek, Kota
Bekasi yang berbatasan langsung dengan Kota Metropolitan DKI Jakarta, pada saat
ini maupun kedepan akan semakin mempunyai posisi yang sangat strategis dalam
mendukung berbagai pelayanan dan pengembangan DKI. Kota Bekasi akan
semakin strategis sebagai Kota Pengimbang (Trickling Down Effect) untuk
mengurangi tekanan penduduk beserta aktifitasnya dari DKI Jakarta. Dengan
kondisi ini di asumsikan penduduk kota bekasi pada tahun 2015 diproyeksikan
mencapai 2.250.000 jiwa, laju pertumbuhan Kota Bekasi dari tahun ketahun terus
meningkat, pada tahun 2001 jumlah penduduk Kota Bekasi mencapai 1.708.337
jiwa dan bertambah pada tahun 2005 2.001.899 jiwa, dan pada tahun 2007 sampai
saat ini mencapai 2.143.804 jiwa.
Kota Bekasi diarahkan untuk pengembangan jasa, perdagangan, industri dan
pemukiman, sebagai bagian dari pengembangan kawasan terbangun atau perkotaan
dengan koridor timur barat (poros Bekasi-Jakarta-Tangerang). Kelengkapan
infrastruktur menjadi nilai tersendiri ketika memilih hunian di Bekasi. Maraknya
pusat properti komersial di Bekasi, juga bisa menjadi sinyal bahwa kebangkitan
pembangunan properti di Bekasi akan semakin jelas. Dari data survei yang
dilakukan PT Procon Indah yang dilangsir pada jakarta property market review
11
2007 tingkat hunian di Kota Bekasi mencapai persentase 90,6%, Jakarta 85,9%,
Tangerang 73,2%, dan Bogor57,0%.12
Meningkatnya sektor perekonomian di Kota Bekasi tentu harus diikuti
dengan kinerja DPRD sebagai lembaga politik yang membuat kebijakan publik bagi
warganya. Dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditekankan
dan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, karena dalam Undang-undang ini mulai diterapkannya
standar pelayanan minimum (SPM) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pasal 11 ayat (4) menyebutkan bahwa “penyelenggaraan urusan pemerintahan
wajib harus berpedoman pada SPM yang dilaksanakan secara bertahap dan
ditetapkan oleh pemerintah”.
Salah satu prestasi dibidang pemerintahan yang dicapai Kota Bekasi pada
tahun 2005-2006 adalah juara lomba pelayanan publik tingkat nasional pada tahun
2005 dan lomba evaluasi kinerja kelurahan tingkat Provinsi selama dua tahun
berturut-turut, pada tahun 2005 kelurahan Jaka Sampurna dan pada tahun 2006
kelurahan Bintara yang menang dalam pelayanan masyarakat, padahal pada saat itu
Kota Bekasi belum mempunyai peraturan daerah mengenai penyelenggaraan
pelayanan publik.13 Ini menjadi pekerjaan rumah bagi DPRD, untuk meningkatkan
pelayanan dibidang pemerintahan maka DPRD harus membuat peraturan daerah
tentang penyelenggaraan pelayanan publik yang sesuai dengan standar pelayanan
minimum. Hal ini menarik untuk dikaji karena dengan adanya arahan terhadap
12 http://www.Jatisari, hunian kota bekasi. Html, diakses pada tanggal 27 Januari 2010. 13 Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil
Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007.
12
pelayanan publik seperti yang tertuang dalam UU 32 Tahun 2004, apakah DPRD
berperan dalam pembuatan peraturan daerah ini dan melihat seperti apa DPRD Kota
Bekasi memberi ruang terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Bekasi.
Selain alasan objektif diatas alasan subjektifnya adalah penulis lahir dan
dibesarkan di Kota Bekasi. Dan dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat
berguna bagi masyarakat Kota Bekasi, khususnya bagi aparatur pemerintahan Kota
Bekasi dalam menjalankan roda pemerintahan.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Perubahan sistem otonomi daerah yang berdampak pada keterbukannya
demokrasi politik di Indonesia, membawa babak baru bagi DPRD sebagai lembaga
legislatif daerah. Begitu juga dengan DPRD di Kota Bekasi, dengan adanya
otonomi daerah DPRD Kota Bekasi mempunyai hak untuk membuat kebijakan-
kebijakan di daerah yang dibutuhkan oleh masyarakat Kota Bekasi.
Karena luasnya pembahasan mengenai peran DPRD Kota Bekasi dalam
membuat peraturan daerah, agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah,
maka penulis membatasi dan memfokuskan kajian pada DPRD Dalam Otonomi
Daerah Studi Analisis Terhadap Peranan DPRD Kota Bekasi Dalam Penyususnan
dan Pengawasan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik,
oleh karena itu, pembahasan akan dirumuskan pada seputar:
1. Bagaimana peranan DPRD Kota Bekasi dalam penyusunan dan pengawasan
peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan Publik ?
13
C. Tujuan Penelitian
Merujuk pada latar belakang yang telah dijabarkan dalam penelitian skripsi
ini penulis memiliki dua tujuan, umum dan khusus. Tujuan umum disini di
antaranya:
1. Untuk mengetahui DPRD dalam otonomi daerah
2. Untuk mengetahui bagaimana peranan DPRD Kota Bekasi dalam
penyususnan dan pengawasan peraturan daerah tentang penyelenggaraan
pelayanan Publik
Sedangkan tujuan khusunya adalah untuk melengkapi tugas akhir dari
perkuliahan, dan untuk meraih gelar Sarjana Sosial (S.Sos )
D. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan data-data bagi penelitian skripsi ini, penulis
menggunakan penelitian perpustakaan (library research), yaitu mengumpulkan
data-data dengan cara membaca karya ilmiah, buku, media masa, jurnal-jurnal, dan
menggunakan metode wawancara kepada kepada sumber yang mengerti
pembahasan ini . dan sumber lainnya yang berkaitan dengan pembahasan sebagai
bahan referensi penulis dalam menelaah pembahasan, penulis juga akan ke DPRD
untuk mendapatkan data yang akurat mengenai pembahasan tema ini.
Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif-analitik, yaitu
suatu pendekatan dengan mendeskripsikan atau mengurai unsur-unsur yang
berkaitan dengan tema yang dimaksud serta menganalisanya. Sehingga ada data
14
yang pasti mengenai peraturan daerah maupun refrensi lain, agar diperoleh suatu
jawaban yang pasti.
Secara umum, teknik penulisan laporan hasil penelitian ini mengacu pada
buku-buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang
diterbitkan oleh CEQDA (Center For Quality devolopmen and Assurance)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Press 2008.
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun menggunakan pembahasan bab per bab. Kemudian
dijelaskan sub per sub setiap tema pembahasan. Dengan demikian penulis
menyusun sistematikanya sebagai berikut:
Pada bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada bab kedua akan dibahas tentang DPRD dan Otonomi Daerah, yang
berisi pengertian Otonomi Daerah, DPRD Dalam Undang-undang Pemerintahan
Daerah, Refleksi Peran DPRD Dalam Otonomi Daerah.
Pada bab ketiga membahas tentang Gambaran Umum Tentang Kota Bekasi
yang membahas, Sejarah Kota Bekasi, Penjelasan Singkat Pemekaran Kota Bekasi
Dari Kabupaten Bekasi dan Penjelasan Umum Kota Bekasi .
15
Pada bab keempat penulis mencoba menganalisis mengenai Faktor Yang
Melatar Belakangi Peraturan Daerah Kota Bekasi Tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Publik, Peranan DPRD Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Sosialisasi Peraturan Daerah Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Peranan DPRD Dalam Pengawasan peraturan
Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Pada bab kelima akan ditulis Kesimpulan dan Saran.
BAB II
DPRD DAN OTONOMI DAERAH
A. Pengertian Otonomi Daerah
Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk
diamati dan dikaji, karena semenjak para pendiri negara menyusun format negara,
isu menyangkut pemerintahan lokal telah diakomodasika dalam Pasal 18 UUD
1945 beserta penjelasannya. Pemerintahan daerah dalam pengaturan Pasal 18
UUD 1945 yang telah diamandemen mengakui adanya keragaman dan hak asal-
usul yang merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Meskipun
negara Republik Indonesia menganut prinsip negara kesatuan dengan pusat
kekuasaan berada pada Pemerintah Pusat namun karena heterogenitas yang
dimiliki bangsa indonesia baik kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun
keragaman tingkat pendidikan masyarakat, maka otonomi daerah atau
16
desentralisasi yang merupakan distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah
pusat perlu dialirkan kepada daerah yang berotonom.14
Sejak kemerdekaan Hubungan kekuasaan Pemerintah pusat dan daerah
selalu berubah, hal ini bisa dilihat dalam bentuk kebijakannya. Pada masa Soekarno
pemerintah pusat mulai berusaha untuk mengembangkan otonomi daerah pada
tahun 1957 dengan lahirnya UU No. 1 tahun 1957, namun hal ini gagal diterapkan
dan menimbulkan kekecewaan pada pemerintah daerah yang menilai sistem
pemerintahan yang sentralistis dan tidak memberikan ruang yang memadai terhadap
otonomi daerah, sampai akhirnya pada masa pemerintahan Soeharto pengaturan
politik lokal dibenahi dengan hegemoni yang kuat dari pusat kedaerah. Soeharto
mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan secara nasional.15
Selama hampir seperempat abad kebijakan otonomi daerah di Indonesia
mengacu kepada UU No.5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah
yang di buat pada masa Soeharto. Akhirnya setelah Soeharto lengser, bergulir era
reformasi ada suatu desakan dari kalangan politik lokal agar ada perbaikan
hubungan antara Pusat dan daerah. Dan timbul keinginan daerah agar kewenangan
pemerintahan dapat didesentralisasikan dari pusat kedaerah. Akhirnya tanggal 7 mei
2001 lahirlah UU N0.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
menegaskan kembali pelaksanaan Otonomi daerah.16
14 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal dan Tantangan Global (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), h. 1 15Pratikno, “Pengelolaan Hubungan Pusat dan Daerah” dalam Syamsuddin Haris (editor),
Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah (Jakarta:Lipi Press, 2007), h. 31-33
16 Syaukani, Dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan ( yogyakarta: pustaka Pelajar, 2003), h. 14
17
Otonomi (autonomy : yun : autos=sendiri – nomos=hukum) terdapat tiga
pengertian yaitu: pertama, kemampuan /hak manusia untuk mengatur, memerintah
dan mengarahkan diri sendiri sesuai kehendaknya tanpa campur tangan orang lain.
Kedua, kekuasaan dan wewenang suatu lembaga atau wilayah untuk menjalankan
pemerintahan sendiri. Ketiga, keadaan munculnya perasaan bebas-lepas dan
kepercayaan diri yang kuat setelah seseorang berhasil melewati rintangan-rintangan
masa mudanya (menurut E. Erikson).17
Dalam kamus politik otonomi adalah hak untuk mengatur kepentingan dan
urusan internal daerah atau organisasinya menurut hukum sendiri. Otonomi dalam
batas tertentu dapat dimiliki oleh wilayah-wilayah dari suatu negara untuk mengatur
pemerintahannya sendiri.18
Otonomi daerah sendiri adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai perundang-undangan yang
berlaku.19
Otonomi daerah sebagai bentuk desentralisasi pemerintahan ditujukan untuk
memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih
mendekati tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka mewujudkan cita-
cita masyarakat yang lebih baik, masyarakat yang lebih adil dan makmur,
pemberian, pelimpahan dan penyerahan tugas-tugas kepada daerah.
17 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997), h. 759 18 BN. Marbun, Kamus Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), h. 350 19 Save, M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 759
18
M. Turner dan D. Hulme berpandangan bahwa yang dimaksud dengan
otonomi daerah adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa
pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen pemerintah pusat kepada
beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani.
Landasan yang menjadi transfer ini adalah teritorial dan fungsional.20
Rondinelli mendefinisikan otonomi daerah sebagai transfer tanggung jawab
dalam perencanaan. Manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat
dan agen-agenya kepada unit kementrian pemerintah pusat, unit yang ada dibawah
level pemerintah, otoritas pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level
pemerintahan, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau
fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemeintah dan
organisasi nirlaba.21
Negara Indonesia, sebagai negara kesatuan republik, dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan asas desentralisasi, telah menjadi
bahan pembicaraan jauh sebelum proklamasi 17 Agustus 1945, Mohammad hatta
dalam tulisan ke arah Indonesia merdeka (1933) menyebutkan: “ Oleh karena
Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa, mendapat hak
menentukan nasib sendiri, asal saja peraturan masing-masing tidak berlawanan
dengan dasar-dasar pemerintahan umum” dan ia menegaskan pembentukan
20 Rosyada, DKK, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani, h. 151 21 Ibid., h. 151
19
pemerintahan daerah (pemerintahan yang berotonomi), merupakan salah satu aspek
pelaksanaan paham kedaulatan rakyat.22
Visi otonomi daerah itu sendiri dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup
interaksinya yang utama yaitu: Politik, ekonomi, serta sosial dan budaya. Dalam
bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan
demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang
bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis.
Demokratisasi pemerintah juga berarti transparasi kebijakan. Membangun sistem
dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif. Juga penguatan DPRD
dalam keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah. DPRD juga
memiliki hak pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan daerah. Di bidang
ekonomi, otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan
ekonomi nasional didaerah, serta terbukanya peluang bagi pemerintah daerah
mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan
pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya. Dan dalam bidang sosial dan budaya,
otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara
harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal.23
Dalam Otonomi daerah ada pembagian kekuasaan yang menyangkut urusan
pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Dan urusan pusat meliputi: politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter atau fiskal nasional dan agama.
22 Murtir Jeddawi, Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Analisis Kewenangan,
Kelembagaan, Manajemen Kepegawaian, dan Peraturan Daerah (Yogyakarta: Kreasi total Media, 2008), h. 133
23 M. Ryaas Rasyid, “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah , h.10-11
20
Urusan pemerintah Provinsi (Dekonsentrasi) berwenang mengatur dan
mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas
kabupaten/kota), sedangkan urusan kabupaten/kota ( Desentralisasi) berwenang
mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal
(dalam suatu kabupaten/kota).24
Pada dasarnya urusan daerah provinsi bersifat atau memiliki dampak dan
manfaat lintas kabupaten dan kota dan urusan yang belum mampu dijalankan oleh
kabupaten/kota. Urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi merupakan
urusan dalam skala provinsi, sementara urusan wajib bagi kabupaten/kota
merupakan urusan wajib bagi kabupaten/kota merupakan skala kabupaten/kota.
Urusan tersebut berupa perencanaan dan pengendalian pembangunan, perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan
bidang kesehatan, penyelenggaraan bidang pendidikan (khusus provinsi
ditambahkan pila urusan alokasi sumber daya manusia potensial), penanggulangan
masalah sosial, pelayanan bidang ketenaga kerjaan, pengembangan koperasi, usaha
kecil, dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertahanan,
kependudukan, dan catatan sipil, dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh
peraturan perundang-undangan.25
Memberi otonomi kepada daerah sama seperti dengan mengizinkan “negara
mini”. Rakyat akan membentuk organisasi pemerintahan daerahnya sendiri selaras
24 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal dan Tantangan Global , h. 172 25 M.R.Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Cet. 1, h.141-142
21
dengan kondisi daerah setempat. Pemerintahan daerah itu masing-masing akan
membuat dan menjalankan kebijakan berdasarkan kehendak masyarakat. Meskipun
demikian, kebijakan daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundang-
undangan negara, dan harus sesuai dengan kewenangan yang diserahkan oleh
pemerintah pusat.26
Wajah pemerintahan daerah dengan begitu akan berbeda-beda. Kebijakan
yang dibuat dan cara melaksanakannya juga tidak sama. Melalui pemberian
otonomi, prinsip pluralitas dalam demokrasi lebih dapat dijamin, efektivitas dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih dapat diwujudkan, dan pemerintah
pusat sendiri tidak keberatan beban dalam menangani urusan domestik.
Otonomi daerah menjadi suatu hal yang sangat penting, bukan semata-mata
karena otonomi memberikan kewenangan yang besar kepada daerah, tetapi dengan
otonomi, sebuah pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan lebih
dimungkinkan. Dan dengan otonomi, pemerintah suatu daerah lebih dapat
melaksanakan program ekonomi dan politik yang mandiri sesuai kondisi daerah
yang ada didepan mata pemerintah daerah.
B. DPRD Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah
Persoalan otonomi daerah telah muncul sejalan dengan lahirnya UUD 1945
yang terwadahi dalam pasal 18 UUD 1945. Beranjak dari pasal tersebut lahir pula
berbagai Undang-undang tentang otonomi daerah untuk menjabarkan pasal 18 UUD
26 Djohermansyah Djohan, “Fenomena Etnosentrisme Dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah” dalam Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h. 209
22
1945 tersebut. Kelahiran undang-undang tersebut adalah mengikuti gerak dan
tujuan politik dari setiap elit yang menguasai setiap sistem politik. Pada dasarnya
Undang-undang otonomi daerah tersebut bermaksud untuk memberikan keleluasan
bagi setiap daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Hal ini beranjak dari
pemikiran akan luas wilayah dan beragamnya budaya dan adat penduduk di
kepulauan ini.27
UUD (Proklamasi) 1945 dalam pasal 18 menegaskan sebagai berikut:
“Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengamati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.28
Dalam penjelasan resmi UUD 1945, ketentuan pasal 18 tersebut diberikan
penjelasan sebagai berikut:29
a. Oleh karena negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat (Negara Kesatuan),
maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah didalam lingkungannya
yang bersifaat Staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah
provinsi, dan daerah provinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil.
Daerah-daerah itu bersifat otonom (streek dan local
rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan undang-undang.
27 Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme” dalam Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h.243
28 Lihat UUD 1945 Pasal 18 29 C.S.T. Kansil, DKK, Hukum Administrasi Daerah (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009),
h.73
23
Didaerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah
oleh karena didaerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar
musyawaratan.
b. Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250
Zelfbesturendelan-dshappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di
Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang,
dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara
Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa
tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan
mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan
konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah. Tetapi dalam
perkembangannya sejarah ide otonomi daerah mengalami berbagai bentuk
kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada
masanya. Hal ini terlihat dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah
sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini:
B.1. DPRD Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1945
Undang-Undang No.1 1945 dikeluarkan pada tanggal 23 November 1945
dan merupakan Undang-undang pemerintahan daerah yang pertama setelah
kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pada pasal 18 UUD 1945. Pada
24
dasarnya dalam UU No.1 Tahun 1945 tersebut, meneruskan sistem yang diwariskan
oleh pemerintah kolonial Belanda.30
pada pokoknya Undang-Undang ini mengubah Komite Nasional Daerah
menjadi Badan Perwakilan Daerah. Wewenang BPRD tersebut adalah: Pertama,
kemerdekaan untuk mengadakan peraturan-peraturan untuk kepentingan daerahnya
(otonomi). Kedua, Pertolongan kepada Pemerintah atasan untuk menjalankan
peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah itu (medebewind dan self
goverment = sertat antara dan pemerintahan sendiri). Ketiga, membuat peraturan
mengenai suatu hal yang diperintahkan oleh undang-undang umum, dengan
ketentuan bahwa peraturan itu harus disahkan terlebih dahulu oleh pemerintahan
atasan (wewenang antara otonomi dan selfgovernment).31
Komite Nasional Daerah bertindak sebagai badan legislatif dan anggotanya-
anggotanya diangkat oleh pemerintah pusat. Komite tersebut memilih lima orang
dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin oleh kepala
daerah untuk menjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai kepala daerah otonom
dan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang bersangkutan.32
B.2.DPRD Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1948
Undang-undang No.1 Tahun 1945 yang mengatur tentang pemerintahan
daerah di Indonesia, ternyata dipandang kurang memuaskan, karena isinya sangat
sederhana. Dan banyak hal yang tidak diatur dalam UU No.1 tahun 1945. Untuk
30 Oentarto, DKK, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan (Jakarta: Samitra
Media utama, 2004), h. 75 31 CST Kansil, Pokok-pokok pemerintahan Di Daerah (Jakarta: Aksara Baru, 1979), h. 37 32 Oentarto, DKK, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan, h. 76
25
melaksanakan ketentuan Pasal 18 UUD 1945, maka dengan persetujuan Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat, Pada tanggal 10 Juli 1948 ditetapkan Undang-
undang No.22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah.33
Undang-undang ini menetapkan Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD)
dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD) sebagai instansi pemegang kekuasaan
tertinggi, sedangkan kepala daerah diberi kedudukan sebagai ketua dan anggota
Dewan Pemerintah Daerah, dan tidak lagi menjadi ketua DPRD. Kekuasaan
pemerintah daerah berada ditangan DPRD. DPD bertanggung jawab kepada DPRD
dan dapat dijatuhkan DPRD atas mosi tidak percaya. Kepala daerah dalam UU ini
mempunyai posisi lemah karena tergantung pada DPRD.
B.3. DPRD Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1957
Yang menjadi dasar dikeluarkannya UU No.1 Tahun 1957 dikarenakan
perkembangan ketatanegaraan maka undang-undang tentang pokok-pokok
pemerintahan daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, perlu
diperbaharui sesuai dengan bentuk negara kesatuan. Dan perlu dilakukan dalam
suatu undang-undang yang berlaku untuk seluruh Indonesia.
DPRD dalam Undang-undang ini memiliki hak dan kewajiban yang semakin
luas, DPD dan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, sehingga kedua badan ini harus
bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala daerah bertindak selaku ketua DPD,
33 C.S.T. Kansil, DKK, Hukum Administrasi Daerah, h. 75
26
namun kekuasaan tertinggi di daerah terletak ditangan DPRD. DPRD membuat
kebijakan daerah dan DPD bertugas untuk melaksanakannya.34
B.4. DPRD Dalam Undang-Undang No.18 Tahun 1965
Pada tanggal 1 september 1965 diundangkan UU No.18 Tahun 1965 tentang
pokok-pokok pemerintahan daerah RI. Diberlakukannya UU No.18 Tahun 1969
dipicu oleh lemahnya posisi kepala daerah dalam UU No.1 Tahun 1957.35 UU
No.18 Tahun 1965 ini merupakan gabungan atau pencakupan dari segala pokok
unsur-unsur pemerintahan daerah.
Dibandingkan dengan Undang-undang sebelumnya posisi DPRD dalam
Undang-undang ini sangat minim.36 Bentuk dan susunan pemerintahan daerah
terdiri dari: Kepala Daerah dan DPRD. Kepala Daerah melaksanakan politik
pemerintahan dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Mentri Dalam
Negeri menurut hierarki yang ada. kepala daerah juga dibantu oleh wakil kepala
daerah dan badan pemerintahan harian. Pimpinan DPRD dalam menjalankan
tugasnya bertanggung jawab kepada kepala daerah. DPRD menetapkan peraturan-
peraturan daerah untuk kepentingan daerah atau untuk melaksanakan peraturan
perundangan yang lebih tinggi tingkatannya yang pelaksanaannya ditugaskan
kepada daerah. Anggota-anggota Badan Pemerintahan Harian (BPH) adalah
pembantu kepala daerah dalam urusan dibidang tugas pembantuan dalam
34Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme,” h. 247 35 M.R.Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, h. 134 36 BN Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya (Jakarta: Pustaka Sinar harapan,
2006), h.76
27
pemerintahan. Angota BPH memberikan petimbangan kepada kepala daerah, baik
diminta maupun tidak.
B.5. DPRD Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1974
Hadirnya UU No.5 Tahun 1974 dilatarbelakangi oleh runtuhnya rezim Orde
Lama yang di pimpin oleh Presiden Soekarno dan digantikan oleh Orde Baru yang
dipimpin oleh Presiden soeharto. Pergantian rezim ini terjadi setelah UU No.18
Tahun 1965 relatif baru diberlakukan. Dan pergolakan politik yang meletus melalui
peristiwa G 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia (PKI) telah menunda
berlakunya UU No.18 Tahun 1965 tersebut.
Menurut pasal 13 UU No.5 Tahun 1974: “Pemerintah Daerah adalah Kepala
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Dengan demikian maka dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah ada pembagian yang jelas dalam kedudukan
yang sama tinggi antara Kepala Daerah dan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin
eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif. Akan tetapi DPRD tidak
boleh mencampuri urusan eksekutif. Dan dalam Undang-undang ini tidak mengenal
lembaga BPH atau DPD.37
Sifat UU No.5 Tahun 1974 sangat sentralistik hal ini bisa dilihat dari
kedudukan Kepala Daerah yang ditentukan oleh pusat tanpa bergantung dari hasil
pemilihan oleh DPRD. Kepala Daerah hanya bertanggung jawab kepada pusat dan
tidak kepada DPRD. Ia hanya memberikan laporan kepada DPRD dalam tugas
37 BN Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya (Jakarta: Pustaka Sinar harapan,
2006), h.76
28
bidang pemerintahan daerah, Sehingga DPRD tidak mempunyai kekuasaan
terhadap Kepala Daerah.38
B.6. DPRD Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1999
Lahirnya gerakan reformasi dengan tuntutan demokratisasi, telah membawa
perubahan pada segi kehidupan masyarakat dan termasuk didalamnya perubahan
dalam pola hubungan pusat-daerah. Sistem pengelolaan pemerintahan daerah di
Indonesia juga memasuki babak baru diera pemerintahan Habibie. Tuntutan dan
wacana didaerah bahwa pemerintahan daerah perlu memiliki otonomi yang luas
dalam merumuskan, mengelola, dan mengevaluasi kebijakan publik
terakomodasi.39
DPR secara resmi mengesahkan UU No.22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah pada 21 April 1999, yang mengubah secara drastis UU No.5
Tahun 1974 ketika penyelenggaraan dilakukan secara sentralistis, tawaran otonomi
luas dan desentralisasi atau yang dikenal dengan otonomi daerah menjadi penyejuk
hampir semua daerah pemberian otonomi ysng luas diyakini mampu mencegah
terjadinya disintegrasi bangsa.40
Undang-undang ini mencoba untuk menciptakan pola hubungan yang
demokratis antara pusat dan daerah, undang-undang otonomi daerah ini bertujuan
untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah agar
dapat merealisasikan aspirasinya. Penguatan masyarakat dilihat dengan
38 Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme,” h. 252 39 L. Misbah Hidayat, Reformasi Administrasi Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga
Presiden (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 39 40J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal dan Tantangan Global, h. 140
29
diberdayakannya DPRD. Dan Gubernur sebagai eksekutif daerah bertanggung
jawab kepada DPRD sedangkan Bupati/Walikota kepada DPRD Kabupaten/DPRD
Kota.
UU No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sangat strategis. Karena
kebijakan desentralisasi dalam undang-undang tersebut merupakan bagian dari
kebijakan demokratisasi pemerintahan. Karena itu, penguatan peran DPRD, baik
dalam proses legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah,
perlu dilakukan. Menurut UU No.22 Tahun 1999, posisi DPRD sejajar dengan
pemerintahan daerah, bukan sebagai bagian dari pemerintaha daerah seperti yang
berlaku sebelumnya sesuai UU No.5 Tahun 1974 yang menyatakan DPRD bukan
berkedudukan sebagai badan legislatif tetapi bersama dengan kepala daerah
merupakan pemerintah daerah (local goverment).41
Pasal 16 dari UU ini menyatakan bahwa DPRD sebagai lembaga perwakilan
rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan
pancasila, DPRD sebagai badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan
menjadi mitra dari pemerintah daerah. Di samping itu kuatnya kedudukan DPRD
juga dinyatakan dalam pasal 18 dari UU ini juga dinyatakan beberapa tugas dan
wewenang DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan wakilnya, memilih utusan
Daerah, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan
wakilnya dimana DPRD.42
41 Baban Sobandi, DKK, Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah
(Bandung: Humaniora, 2006), h. 117 42 Lihat Penjelasan Pasal-pasal UU No.22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah
30
B.7. DPRD Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Pada tahun kelima implementasi UU No.22 Tahun 1999 tepatnya tahun
2004 pada masa kepresidenan Megawati, dengan berbagai latar belakang
pertimbangan sebagai akibat dari dampak implementasi UU tersebut, muncul
kehendak pemerintah untuk mengadakan revisi untuk undang-undang tersebut, yang
akhirnya memunculkan undang-undang pemerintahan daerah yang baru, yaitu UU
No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. UU 22 Tahun 1999 dinilai kurang
demokratis dan dalam tataran konsep kurang membagi secara jelas tugas dan
kewenangan, hubungan antar strata pemerintah, dan perimbangan keuangan. Pola
hubungan DPRD dan Kepala Daerah kurang berlangsung baik karena dalam
praktiknya DPRD mendominasi, sehingga memunculkan ketidakstabilan
pemerintahaan daerah.43
Dalam Undang-undang ini juga diatur mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi
pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintah daerah yaitu
pemerintah daerah dan DPRD. Kepala daerah dan kepala pemerintah daerah dipilih
secara demokratis. Sehingga DPRD sudah tidak memiliki wewenang lagi untuk
memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan pemilihan secara demokratis
dalam undang-undang ini yaitu pemilihan secara langsung oleh rakyat. Kepala
daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil kepala daerah,
dan perangkat daerah. Penyelenggaraan pilkada langsung dilaksanakan oleh komisi
43 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal dan Tantangan Global, h. 71
31
pemilihan umum daerah (KPUD), KPUD bertanggung jawab kepada DPRD
setempat. Setipa usulan KPUD harus berdasarkan pengesahan DPRD.44
Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja
yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan, kedudukan setara bermakna
sejajar dan tidak saling membawahi. Kemitraan bermakna bahwa antara pemerintah
daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan
daerah untuk melaksanakan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga
ini membangun hubungan kerja yang sifatnya mendukung.
UU No.32 Tahun 2004 dinilai sebagai Undang-undang yang demokratis
karena kepala daerah dan DPRD dipilih langsung oleh rakyat. Dan pembagian
wewenang serta tugas tidak saling tumpang tindih satu sama lain, keduanya
membangun korelasi kerja yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab
untuk membuat kebijakan publik.
C. Refleksi Peran DPRD Dalam Otonomi Daerah
Peran DPRD dalam otonomi daerah yang dimuat dalam undang-undang
pemerintahan daerah selalu berubah arah kebijakannya, ini dikarenakan adaptasi
pelaksanaan otonomi daerah terhadap pemerintah pada awal kemerdekaan belum
stabil, sehingga dari awal kemerdekaan hingga sekarang kebijakan Peran DPRD
dalam otonomi daerah berbeda-beda.
UU No.1 tahun 1945 merupakan undang-undang pertama tentang
pemerintahan daerah, DPRD pada ketika itu disebut Komite Nasional Daerah yang
44 Muhammad Labolo, Memahami Ilmu Pemerintahan Suatu Kajian, Teori, Konsep dan Pengembangannya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 123
32
pada mulanya adalah badan yang merupakan duplikasi komite nasional pusat untuk
daerah-daerah, Komite nasional daerah lalu berubah menjadi badan perwakilan
rakyat daerah (BPRD) yang menjadi badan legislatif.
Maka UU No.22 Tahun 1948 sudah ada pembentukan DPRD dan DPD
untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Kepala daerah diangkat oleh
pemerintah pusat dari calon yang diajukan DPRD dan bertindak selaku ketua DPD.
Dan DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah bertanggung jawab
kepada DPRD baik secara kolektif maupun sendiri, sehingga posisi kepala daerah
sangat bergantung kepada DPRD. Dalam UU No.
1 Tahun 1957 ditentukan bahwa kepala daerah hanya bertanggung jawab
kepada DPRD.45 Perubahan mendasar terjadi lagi dengan di Undangkannya UU
No.18 Tahun 1965 dibentuk BPH untuk membantu Kepala daerah dan DPRD dalam
menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Pergantian
kepemimpinan nasional dan pemerintahan akibat G-30-S PKI, mengakibatkan
terhambatnya pelaksanaan UU No. 18 Tahun 1965 dan di gantikan oleh UU No.5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah di bawah pimpinan
Presiden Soeharto yang menggantikan Presiden Soekarno, sistem pemerintahan
daerah menggunakan tiga asas pemerintahan yaitu: desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas pembantuan. BPH dihapuskan didalam pemerintahan daerah, tidak
dilaksanakannya hak angket DPRD yang dapat mengganggu keutuhan Kepala
45 Oentarto, DKK, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan, h.75-81
33
Negara, Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi secara
hierarki kepada Presiden46.
adanya reformasi 1998 menjadi arus balik kewenangan pusat kepada
daerah, tuntutan untuk diterapkannya otonomi daerah yang tidak sentralistis di
tuangkan dalam UU No.22 Tahun 1999 yang menggantikan UU No.5 tahun 1974,
undang-undang ini juga menjadi babak baru bagi perjalanan otonomi daerah dan
kepemimpinan Presiden Soeharto yang digantikan Oleh Habibie. UU No.22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan peran sentral kepada DPRD
dalam menentukan jalannya pemerintahan daerah ditandai dengan besarnya
kewenangan DPRD dalam memilih dan menetapkan Kepala daerah dan
memposisikan Kepala daerah untuk bertanggung jawab kepada DPRD, apa bila
tidak bertanggung jawab maka DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala
daerah yang bersangkutan.
UU No.5 Tahun 1974 dinilai gagal dalam mewujudkan hak-hak daerah
dalam mengembangkan daerahnya sendiri, karena masih terkontrol oleh pusat.
Salah satu perubahan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan
didaerah berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 adalah dipisahkannya secara tegas
antara institusi Kepala Daerah dengan DPRD. UU No. 22 tahun 1999 secara tegas
menetapkan bahwa didaerah dibentuk DPRD sebagai lembaga legislatif daerah dan
46 Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah (Jakarta: Kata Hasta, 2005), h.
118-119
34
pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah yang terdiri dari Kepala Daerah
beserta perangkat daerah47.
Dan seiring perjalanan otonomi daerah maka UU No. 22 Tahun 1999 di
revisi pada masa pemerintahan Megawati dengan penerapan UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini DPRD tidak
mempunyai kekuasaan penuh terhadap Kepala Daerah, karena Kepala Daerah
dipilih oleh rakyat lewat pemilu sehingga pertanggungjawabannya langsung kepada
rakyat. Pola hubungan DPRD dan kepala daerah sebagai mitra dan bekerja sama
untuk mengembangkan daerah otonomnya sendiri.
Negara Indonesia di bawah pemerintahan orde baru kurang lebih 30 tahun
menerapkan pelaksanaan sistem yang sentralistik ini kemudian melakukan
gelombang protes dari tahun 1997 sampai 1998. Banyaknya tuntutan agar ada
perbaikan pola hubungan kerja antara pemerintah pusat dan daerah dan memberikan
peran DPRD sebagimana mestinya, akhirnya dikeluarkanlah UU No.22 Tahun 1999
tentang pemerintahan daerah yang membuat posisi DPRD kuat sebagai lembaga
legislatif.
Penerapan otonomi daerah, sesuai dengan ketetapan MPR No.IV/MPR/2000
tentang pemerintahan daerah telah dilaksanakan sejak tanggal 1 januari 2001.48
Pelaksanaan otonomi daerah secara demokratis bisa dilihat dalam pelaksanaan
pemilihan umum secara langsung untuk memilih anggota DPRD sebagai lembaga
47 Sarundajang, Arus balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2002), Cet.4, h. 7 48 Mardiyanto, “Penerapan Otonomi Daerah Di jawa Tengah: Masalah Desentralisasi,
Demokratisasi Dan Akuntabilitas” dalam Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h. 317
35
legislatif, dan pemilihan kepala daerah yang sejak juni 2005 di sebagian negara
Indonesia. Pemilihan kepala daerah disinyalir untuk memperkokoh demokrasi dan
sebagai bagian program desentralisasi yang berkesinambungan, yang menjadikan
kepala daerah bertanggung jawab kepada pemilihnya langsung bukan kepada
DPRD, seperti yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 yang berpotensi
besar untuk memperkuat tata pemerintahan.
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG KOTA BEKASI
A. Sejarah Kota Bekasi
Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri. Itulah sebutan Bekasi tempo dulu
sebagai ibukota Kerajaan Tarumanagara (358-669 M). Luas kerajaan ini mencakup
wilayah Bekasi, Sunda Kelapa, Depok, Cibinong, Bogor, hingga kewilayah sungai
Cimanuk di Indramayu. Menurut para ahli sejarah dan filologi, letak Dayeuh
Sundasembawa atau jayagiri sebagai ibukota Tarumanagara adalah diwilayah
Bekasi sekarang.49
Dayeuh Sundasembawa merupakan daerah asal maharaja Tarusbawa (669-
723 M) pendiri Kerajaan Sunda (disebut pula Kerajaan Pajajaran) yang seterusnya
menurunkan raja-raja sunda sampai generasi ke-40 yaitu Ratu Ragamulya, raja
Sunda yang terakhir.50
49 Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007 (Bekasi: Badan Infokom
Kota Bekasi, 2007), h. 8
50Ibid
36
Kata Bekasi diduga berasal dari suku kata Chandrabhaga, salah satu suku
kata dalam Prasasti Tugu. Dalam bahasa sansakerta Chandra berarti Bulan, dan
Bhaga berarti Bahagia. Menurut Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, seorang pakar
bahasa, kata Chandra dalam bahasa Jawa Kuno sama dengan kata Sasi. Sehingga
Chandrabhaga juga identik dengan Sasibhaga, jika dilafalkan terbalik menjadi
bhagasasi, yang lambat laun menjadi Bekasi.51
Wilayah bekasi tercatat sebagai daerah yang banyak memberi informasi
tentang keberadaan Tatar Sunda pada masa lampau. Diantaranya dengan
ditemukannya empat prasasti yang dikenal dengan Prasasti kabantenan. Keempat
prasasti ini merupakan keputusan (piteket) dari Sri baguda Maharaja (Prabu
siliwangi, Jayadewa 1482-1521 M) yang ditulis pada lima lempeng tembaga. Sejak
abad kelima masehi pada masa Kerajaan tarumanagara, abad kedelapan Kerajaan
Galuh, dan Kerajaan Pajajaran pada abad ke-14, Bekasi menjadi wilayah kekuasaan
karena merupakan salah satu daerah strategis, yakni penghubung antar daerah ke
Pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta).
Ketika Belanda datang merebut Jayakarta pada 31 mei 1619 dan nama
jayakarta diubah menjadi Batavia. Bekasi pada zaman Hindia belanda hanya
merupakan kewedanaan (district) yang termasuk dalam regenshaf (kabupaten)
Meester Cornelis. Saat itu kehidupan sistem kemasyarakatan, khususnya sektor
ekonomi dan pertanian didominasi dan dikuasai oleh para tuan tanah keturunan
cina, sehingga dengan kondisi tersebut seolah-olah bekasi mempunyai bentuk
51 Denny Bratha Affandi, Menyusuri Bekasi Raya Jejak Reportase (Bekasi: Rinjani Kita,
2009), h. 3
37
pemerintahan ganda yaitu pemerintahan tuan tanah didalam pemerintahan colonial.
Kondisi ini berlangsung hingga kependudukan Jepang.52
Pada bulan maret 1942 pemerintah Hindia belanda menyerah tanpa syarat
kepada bala tentara dai Nippon. Tentara pendudukan jepang melaksanakan
japanisasi disemua sektor kehidupan. Nama Batavia diganti dengan nama Jakarta.
Regenschap Meester Cornelis menjadi Ken Jatinegara yang daerahnya meliputi Gun
Bekasi, Gun Cikarang, Gun kemayoran, dan Gun Mataram.53
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
1945 struktur pemerintah kembali berubah nama, Ken menjadi Kabupaten, Gun
menjadi Kewedanaan, Son menjadi Kecamatan dan Kun menjadi Desa./Kelurahan.
Dalam upaya pertahanan perang gerilya menghadapi agresi Belanda, maka Saat itu
Ibu Kota kabupaten Jatinegara selalu berubah-ubah, mula-mula di Tambun, lalu
Cikarang, kemudian Bojong (Kedung Gede).
Pada waktu itu Bupati Kabupaten Jatinegara adalah Bapak Rubaya
Suryanata Miharja. Kemudian saat kependudukan oleh tentara Belanda, Kabupaten
Jatinegara dihapus kedudukannya dikembalikan seperti zaman Regenschap Meester
Cornelis yaitu menjadi kewedanaan. Kewedanaan Bekasi termasuk daerah Batavia
En Omelanden sedangkan batas bulak kapal ketimur termasuk wilayah Negara
Federal sesuai Staatsblad Van Nederlandschindie 1948 Nomor 178 Negara
Pasundan.
52 Dewan Perwakilan rakyat Daerah Kota Bekasi, Risalah Kota Bekasi , (Bekasi: Pemkot
Bekasi, 2009), h. 2 53 Ibid, h. 3
38
Ketika proklamasi dikumandangkan, rakyat dikota-kota sekitar Jakarta
termasuk Bekasi, menyambut dengan suka cita. Pergerakan melawan kekejaman
Jepang di Bekasi yang muncul dimana-mana sampai menimbulkan peristiwa yang
kemudian dikenal sebagai ‘Tragedi Kali Bekasi’ pada 19 Oktober 1945 dan
peristiwa “Bekasi Lautan Api” pada 23 November 1945. 54
Dalam proses selanjutnya, ketika situasi semakin membaik, Bekasi yang
merupakan kewedanaan bagian dari kabupaten Jatinegara dikritisi oleh rakyat dan
tokoh masyarakat dengan membentuk Panitia Amanat Rakyat Bekasi. Pada 17
Januari 1950 mereka menggelar rapat raksasa yang juga dihadiri 40.000 rakyat
Bekasi.55 Mereka menyampaikan hasrat dan pernyataan sebagai berikut:
1. Rakyat Bekasi tetap berdiri di belakang Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Rakyat Bekasi mengajukan usul kepada Pemerintah Pusat agar Kabupaten
Jatinegara menjadi Kabupaten Bekasi.
Setelah tiga kali pembicaraan dari Februari sampai Juni 1950, akhirnya
Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS)
menyetujui pembentukan Kabupaten Bekasi. Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1950
Tanggal 15 Agustus 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi. Pada saat itu Kabupaten
Bekasi terdiri dari empat Kewedanaan, 13 Kecamatan, dan 95 Desa, mulai saat itu
pula kecamatan cibarusah masuk kedalam wilayah Kabupaten Bekasi. Angka-angka
54 Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007, h. 9
55 Chotim Wibowo, Dkk, Setahun Duet Kepemimpinan Akhmad-Mochtar (Bekasi: Satu Visi, 2004), h. 4
39
tersebut secara simbolis diungkapkan dalam lambang Kabupaten Bekasi. Moto
Kabupaten Bekasi adalah “Swatantra Wibawa Mukti” selanjutnya mulai Tahun
1960 kantor Kabupaten Bekasi pindah dari Jatinegara ke Bekasi (Jl. H Juanda).
Dengan Bupati pertama R. Suhandar Umar, SH.56
Perkembangan Kabupaten Bekasi meningkat dari tahun ketahun, sebagai
Kota penyangga Ibu Kota Jakarta dan kabupaten Bekasi mulai diperhitungkan dari
segi perekonomian dan politik, perkembangan dari pemerintahan pada saat itu
menuntut adanya pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat, maka pada
Tahun 1982 saat Bupati dijabat oleh Bapak H. Abdul Fatah, komplek perkantoran
pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi yang semula berlokasi di JL. Ir.
H. Juanda dipindahkan ke Jl. Jenderal Ahmad Yani No. 1 Bekasi.57
Tuntutan kehidupan masyarakat perkotaan memerlukan adanya pelayanan
khusus, dan perkembangan Kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya Kecamatan
Bekasi menjadi Kota Administratif Bekasi. Bagaimana Kecamatan Bekasi menjadi
Kota Bekasi akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
B. Penjelasan Singkat Pemekaran Kota Bekasi Dari Kabupaten Bekasi
Kota Bekasi berasal dari pemekaran Kabupaten Bekasi, yang awalnya
menjadi kecamatan Kabupaten Bekasi. Kecamatan Bekasi merupakan kecamatan
yang lebih berkembang dibandingkan kecamatan lain yang ada di Kabupaten
Bekasi. Berkembangnya kecamatan Bekasi dikarnakan kantor Kabupaten bekasi
yang berada di kecamatan Bekasi dan adanya tuntutan kehidupan masyarakat
56 Dewan Perwakilan rakyat Kota Bekasi, Risalah Kota Bekasi, h. 6 57 Ibid h. 6-7
40
perkotaan yang memerlukan pelayanan khusus, akhirnya perkantoran pemerintah
daerah Kabupaten Bekasi di pindahkan dari kecamatan Bekasi karena
perkembangan kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya kecamatan Bekasi.
Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 48 Tahun 1981 kecamatan Bekasi
ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif Bekasi yang meliputi 4 (empat)
kecamatan yaitu: Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Utara, dan Bekasi
Selatan, keseluruhannya meliputi 18 (delapan belas) Kelurahan serta 8 (delapan)
Desa. Peresmianya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April
1982.
Walikota administratif Bekasi pertama dijabat oleh Soedjono (1982-1988),
selanjutnya pada Tahun digantikan oleh Drs. Andi R. Sukardi (1988-1991), dan
pada Tahun 1991 Walikota administratif Bekasi dijabat oleh Drs. H. Kailani AR.
Sampai Tahun 1997.58
Dengan adanya kebijakan konsep BOTABEK (Bogor Tangerang Bekasi)
yang merupakan pelaksanaan inpres Nomor 13 Tahun 1976 membawa pengaruh
besar terhadap perkembangan Kota Administrasi Bekasi. Sebagai kota yang
berbatasan langsung dengan Ibukota Negara maka Kota Administratif Bekasi dan
kecamatan-kecamatan sekitarnya yang berada dalam wilayah kerja Kabupaten
Bekasi mengalami perubahan sangat pesat, sehingga memerlukan peningkatan dan
pengembangan sarana dan prasarana sebagai syarat pengelolaan wilayah.
58 Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007, h. 9
41
Perkembangan yang ada telah menunjukan bahwa Kota Administratif
Bekasi mampu memberikan dukungan kemampuan dan menggali potensi
diwilayahnya untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Selanjutnya dalam rangka
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, maka melalui UU No. 9 Tahun
1996 Kota Administratif Bekasi ditetapkan menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II
Bekasi dengan wilayah kerjanya meliputi: wilayah kerja Kota administratif Bekasi
yaitu Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Utara, dan Kecamatan Bekasi
Selatan ditambah dengan wilayah kerja Kecamatan Pondokgede, Jatiasih,
Bantargebang, dan Kecamatan pembantu Jatisampurna. Keseluruhannya meliputi
23 Desa dan 27 Kelurahan.
Selaku pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dijabat
oleh Drs. H. Kailani AR, selama satu tahun. Selanjutnya berdasarkan hasil
pemilihan terhitung mulai tanggal 23 Pebruari 1998 Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II Bekasi Definitif yang pertama dijabat oleh Drs. H. Nonon Sonthanie.
Dalam perkembangan telah terjadi perubahan dalam jumlah dan status
Kelurahan/Desa. Berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri No. 140/2848/puod
tanggal 3 September 1998 dan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa
Barat No. 50 Tahun 1998 telah terjadi perubahan status 6 Desa menjadi 2
Kelurahan baru, sehingga jumlah Desa/Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II
Bekasi menjadi 52 terdiri dari 35 Kelurahan dan 17 Desa.
Dengan diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah telah terjadi perubahan paradigma dalam penyelenggaraan Pemerintahan
42
Daerah di Indonesia. Seiring dengan itu Nomenklatur Pemerintah Kotamadya
Daerah Tingkat II Bekasi berubah menjadi Pemerintahan Kota Bekasi, selanjutnya
sebagai tindak lanjut pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan UU No.22 Tahun
1999 dan UU No.25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai daerah Otonom, serta peraturan pemerintah No.84 Tahun 2000
tentang pedoman Organisasi Pejabat Daerah, adalah peraturan pemerintah yang
mendasari ditertibkannya peraturan Daerah No. 9, 10,11 dan 12 yang mengatur
tentang organisasi perangkat Daerah, selanjutnya guna meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat melalui peraturan daerah No. 14 tahun 2000 telah dibentuk 2
Kecamatan baru yaitu Kecamatan Rawa Lumbu dan Kecamatan Medan Satria,
sehingga Kota Bekasi terdiri 10 Kecamatan.59
Berdasarkan peraturan daerah Kota Bekasi No.02 tahun 2002 tentang
Penetapan Kelurahan, maka semua desa yang ada di Kota Bekasi berubah statusnya
menjadi Kelurahan, sehingga pemerintah Kota Bekasi mempunyai 52 pemerintah
Keluarahan. Dalam perjalannya guna lebih meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat maka wilayah administrasi Kota Bekasi mengalami pemekaraan
kembali, dan melalui peraturan daerah Kota Bekasi No.4 Tahun 2004 tentang
Pembentukan wilayah Administrasi Kecamatan dan Kelurahan maka wilayah
administrasi Kota Bekasi menjadi 12 Kecamatan dan 56 Kelurahan, kecamatan
Kota Bekasi yaitu: Kecamatan Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi
Utara, jati Asih, Bantar Gebang, Pondok Gede, Jati Sampurna, Medan Satria, Rawa
Lumbu, Mustika Jaya, Pondok Melati.
59 Dewan Perwakilan rakyat Kota Bekasi, Risalah Kota Bekasi, h.7-8
43
Perjalanan Kota Bekasi dalam pembentukan wilayah Administratif sampai
Kota Madya, mengalami perjalanan yang rumit, hal ini terlihat dari pemekaran
kecamatan yang terus bertambah. Dengan mengikuti dinamika politik dan peraturan
pemerintah yang ada. Namun kota bekasi bisa berkembang seiring dengan sistem
yang ada.
Kota Bekasi terletak di wilayah pantai utara Propinsi Jawa Barat dengan
luas wilayah 210 Km2 dengan batas wilayah: Bagian Barat berbatasan dengan DKI
Jakarta, Bagian Timur berbatasan dengan kabupaten Bekasi, Bagian Utara dengan
Kabupaten Bekasi, dan Bagian Selatan dengan kabupaten Bogor dan Kota Depok.
Pada saat Kota Bekasi diresmikan menjadi Kotamadya tahun 1997 tercatat
jumlah penduduk sebanyak 1.471.477 jiwa dan meningkat pada tahun 2000
sebanyak 1.637.610 jiwa. Dan pada tahun 2005 tercatat 2.001.899, dari tahun
ketahun laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi terus mengalami peningkatan.
Sehingga laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2007 tercatat 2.143.804
meningkat 3,49% dibanding tahun 2005.
Laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi dari tahun ketahun menuntut
pemerintah Kota Bekasi untuk bisa memenuhi kebutuhan warganya dan terus
memperbaiki sistem birokrasi yang ada. Kemudian berdasarkan keputusan DPRD
Kota Bekasi No. 37-174.2/DPRD/2003 tanggal 22 februari 2003 tentang penetapan
Walikota dan Wakil Walikota Bekasi 2003-2008, dan ditindaklanjuti dengan
keputusan Mentri Dalam Negeri No. 131.32-113 Tahun 2003 tentang Pengesahan
pemberhentian dan Pengesahan Pengangkatan Walikota Bekasi Propinsi Jawa
Barat, dan Keputusan Mentri dalam Negeri No. 132.32-114 Tahun 2003 Tentang
44
pengesahan Pengangkatan Wakil walikota Bekasi propinsi Jawa barat, dan telah
ditetapkan H. Akhmad Zurfaih HR, S.Sos yang didampingi oleh Mochtar
Muhammad sebagai Wakil Walikota Bekasi. Yang dipilih oleh anggota DPRD Kota
Bekasi dan meraih suara terbanyak.
Dengan adanya UU No.32 Tahun 2004, pemilihan WaliKota dan Wakilnya
tidak lagi dipilih oleh DPRD tingkat setempat, seperti pada UU No.22 Tahun 1999,
maka pada tahun 2008 Kota Bekasi merealisasikan UU No.32 Tahun 2004 dengan
diadakannya pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang dipilih oleh warga
Kota Bekasi. Dan terpilihlah Walikota dan Wakil Walikota yang baru, dan
berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 131 dan 132.32-77 Tahun
2008 Tanggal 21 Februari 2008 tentang Pengesahan Pemberhentian dan pengesahan
Pengangkatan Mochtar Muhammad sebagai Walikota Bekasi dan H.Rahmat Effendi
S.Sos sebagai Wakil Walikota Bekasi masa Jabatan 2008-2013. Yang memenangi
Pemilihan Kepala Daerah pertama di Kota Bekasi.
Pemekaran Kecamatan Bekasi dari Kabupaten Bekasi akhirnya mengalami
perkembangan yang pesat sampai akhirnya dengan segala dimensi yang ada
Kecamatan Bekasi menaiki tahap dari Kota Administratif dan kini menjadi Kota
Bekasi. Hal ini juga tidak terlepas dengan adanya dorongan kebutuhan masyarakat
kota bekasi dan keinginan Pemerintah Bekasi untuk memberlakukan hak otonom di
daerah Kota Bekasi. Dengan penerapan Otonomi Daerah di Kota Bekasi,
pemerintah kota Bekasi bisa mengoptimalkan sumberdaya manusia dan sumber
alam untuk dikelola oleh pemerintah daerahnya sendiri. Sehingga pemerintah Kota
Bekasi bisa mengembangkan kotanya tanpa ada campur tangan pusat, ini menjadi
45
pembuktian Kota Bekasi untuk bisa mandiri menjalankan roda Pemerintahan dan
roda perekonomian sendiri dalam rangka penerapan otonomi daerah.
C. Penjelasan Umum DPRD Kota Bekasi
Kota Bekasi lahir pada 11 Maret 1996 hasil pemekaran dengan Kabupaten
Bekasi yang saat ini masih bersetatus kotamadya Bekasi. Saat lahir, Kota Bekasi
memiliki 8 Kecamatan dan 23 Desa dan 27 Kelurahan, yang kemudian berkembang
menjadi 12 kecamatan dan 56 Keluarahan. DPRD Kota Bekasi lahir bersamaan
dengan lahirnya Kota Bekasi hasil pemilu 1997.
DPRD Kota Bekasi dibentuk berdasarkan UU No. 9 Tahun 1996 dan
diresmikan pada tanggal 10 Maret 1997. Dengan adanya UU No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dengan menitikbertakan otonomi daerah pada
Kabupaten/Kota terjadi pergeseran paradigma pemerintahan dari pola sentralis
menjadi pola desentralisasi. Pemerintah bekasi dan DPRD bekerja sama untuk
merubah perencanaan dan pelaksanaan yang selama ini dikendalikan oleh pusat,
yang dahulu dari top down policy kepada bottom up planning dengan pola
pendekatan. Partisipatif artinya melibatkan seluruh unsur masyarakat dan swasta
(dunia usaha) untuk berperan serta dalam pembangunan. Transparansi artinya
keterbukaan dari berbagai aspek perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan dan
pengawasan. Akuntabilitas artinya dapat dipertanggung jawabkan baik dalam
administrasi maupun fisik. Dialogis artinya adanya komunikasi yang harmonis
46
antara unsur Legislatif yaitu DPRD, dan Eksekutif yaitu Pemerintah Daerah yang
dikepalai Walikota dan Wakilnya maupun masyarakat60
Sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dalam implementasi otonomi
daerah, maka pemerintah daerah dan DPRD diharuskun untuk mengatasi sendiri
segala masalah dan urusan yang terjadi di Kota Bekasi, dan untuk mengatasi
permasalah yang terjadi di Kota Bekasi pemerintah Kota Bekasi dan DPRD
mempunyai tiga fungsi utama yang harus diselesaikan yaitu: Fungsi pelayanan
masyarakat, Fungsi pelayanan pembangunan, Fungsi pelayanan perlindungan
kepada masyarakat61.
Pada dasarnya tugas utama dari pemerintah Kota Bekasi dan DPRD adalah
mengupayakan terciptanya tiga fungsi pemerintah tersebut secara optimal, Dalam
rangka implementasi otonomi daerah di Kota Bekasi. Maka itu ketiga fungsi
tersebut diberikan pemerintah daerah dalam bentuk pelayanan publik kepada
masyarakat.
Untuk mengetahui DPRD sebagai lembaga legislatif daerah di Kota Bekasi
yang mempunyai tanggung jawab dalam membuat kebijakan publik kepada
masyarakat kota bekasi, maka akan dijelaskan secara singkat mengenai DPRD Kota
Bekasi dari tahun 1997 sampai 2009.
C.1. DPRD Kotamadya Bekasi Tahun 1997-1999
Dari hasil pemilu 1997 menghasilkan dua keanggotaan DPRD untuk
Kabupaten dan Kotamadya Bekasi. Ini terkait dengan pemekaran wilayah yang
60 Program Pembangunan Daerah Kota Bekasi 2001-2005, h. 22 61 Ibid
47
menjadikan wilayah Kotamadya Bekasi lahir sebagai daerah yang baru. Sebagai
konsekuensinya, keanggotaan DPRD pun dipilih dua wilayah. Inilah awal
terbentuknya DPRD Kotamadya Bekasi. Terpilih sebagai Ketua DPRD H. Gunarso
Ismail dengan Wakil Ketua H. Soejdjono dan Turnuzi Djameli. Masa ini termasuk
masa yang sulit karena adanya kerusuhan Mei 1998 yang melahirkan Reformasi dan
pergantian Pimpinan Nasional. Yang berimbas kepada percepatan pemilu sehingga
keanggotaan DPRD menjadi lebih singkat. Kotamadya Bekasi termasuk DPRD
lahir dimasa sulit. 62
Masa ini pula menjadi masa terakhir dominasi tiga partai yang dibentuk oleh
Presiden Soeharto sebagai organisasi peserta pemilu. Tuntutan reformasi berimbas
adanya keterbukaan yang lebih luas sehingga partai semakin banyak. Selain itu,
TNI yang melakukan reposisi menjadikan masa ini sebagai masa terakhir
penempatan wakilnya dalam lembaga legislatif.
C.2. DPRD Kota Bekasi Tahun 1999-2004
Pemilu 1998 merupakan pemilu multi partai pertama. Masa ini bisa
dikatakan sebagai masa kedua setelah kebangkitan Kota bekasi, yang sebelumnya
Kotamadya karena dengan pemberlakuan UU No.22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah, pemerintah Kotamadya Tingkat II Bekasi berubah menjadi
Kota Bekasi. Dalam konteks reformasi, masa ini adalah masa pertama pemilu 42
partai, yang sebelumnya hanya didominasi 3 partai.
62 Nevi Somadireja, Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota Bekasi
Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009 (Bekasi: Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009), h. 5
48
Dalam periode ini terpilih dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P) sebagai ketua DPRD, dan wakil ketuanya H.Abdul manan dari
F-Golkar dan Ahmad Turmji dari F-PPP dan Salim Musa dari Fraksi Partai Amanat
Nasional. Pemilu multi partai kali ini menghasilkan komposisi kursi di DPRD Kota
Bekasi sebagai berikut: PDI-P (13 Kursi), Golkar (8 Kursi), PAN (7 Kursi), PPP (5
Kursi), PKS (2 Kursi), TNI (5 Kursi), PBB (2 Kursi), PKB (2 Kursi), PKP (1
Kursi). Dengan jumlah kursi anggota DPRD Kota Bekasi 45 kursi.
Pada masa ini pula DPRD Kota Bekasi memilih Walikota dan Wakil
Walikota untuk menggantikan Walikota sebelumnya yang dijabat Drs. H. Nonon
Sonthanie. Dan terpilih dua anggota DPRD Kota Bekasi h.Akhmad Zurfaih dari
fraksi Golkar sebagai Wali Kota, dan Mochtar Muhammad dari fraksi PDIP yang
menjadi Wakil Walikota.
C.3. DPRD Kota Bekasi Tahun 2004-2009
Pada bulan April Tahun 2004 pemilihan umum merupakan pesta demokrasi
rakyat Indonesia yang digelar secara serentak diseluruh Indonesia tidak terkecuali di
Kota Bekasi. Dalam pemilu kali ini sistem pemilu Indonesia mmulai berubah dari
sistem proposional menjadi sistem distrik, pada pemilu tahun 1999 para pemilih
tidak mengetahui siapa calon anggota DPRD yang akan dipilihnya, tapi perubahan
sistem pemilu sekarang ini membuat warga yang ingin memilih anggotanya tau
siapa yang dipilih. Karena anggota DPRD tidak lagi dipilih oleh partai tetapi
berdasarkan suara terbanyak sesuai daerah pilihannya. Pemili legislatif di DPRD
49
Kota Bekasi kali ini memperebutkan 45 kursi anggota DPRD yang dibagi dalam 6
daerah pemilihan.
Berdasarkan hasil pemilu legislatif tahun 2004 menghadirkan 8 Partai yang
menjadi anggota DPRD Kota Bekasi diantaranya adalah: PKS (Partai Keadilan
Sejahtera) 11 kursi, Golkar (Golongan Karya) 9 kursi, PDIP (Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan) 6 kursi, PAN (Partai Amanat Nasional) 6 kursi, PPP
(Partai Persatuan Pembangunan) 4 kursi, PBB (Partai Bangsa-Bangsa) 1 kursi,
PDS (Partai Damai Sejahtera) 1 kursi.
Sesuai dengan keputusan Gubernur Jawa Barat No.171/Kep.733
Dekon/2001 Tentang Keanggotaan DPRD Kota Bekasi hasil pemilihan umum tahun
2004 untuk masa jabatan 2004-2009. Fraksi-fraksi yang menjadi anggota DPRD
Kota Bekasi adalah: fraksi PKS, Golkar, Partai Demokrat, PDIP, PAN dan PPP.
Penetapan pimpinan DPRD Kota Bekasi yang tercantum dalam surat komisi
pemilihan umum daerah Kota Bekasi bersifat kolektif terdiri dari seorang ketua dan
dua orang wakil ketua yang dipilih oleh anggota DPRD sebagaimana yang
dimakssud tidak boleh berasal dari fraksi yang sama. Dari hasil rapat paripurna
DPRD terpilihlah: Rahmat Effendi sebagai Ketua DPRd dari fraksi Golkar, Ahmad
Syaikhu sebagai Wakil Ketua dari fraksi PKS, Dadang Asgar Noor, sebagai wakil
ketua dari fraksi partai demokrat.
DPRD Kota Bekasi dalam perjalannya terus mengevalusi diri untuk terus
lebih baik, maka menurut keputusan pimpinan DPRD dan surat keputusan DPRD
Daerah Kota Bekasi yang menetapkan dan memutuskan tentang peraturan Tata
50
Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi mengenai tugas dan fungsi
DPRD sesuai dengan Tata Tertib DPRD Kota Bekasi adalah sebagai berikut:
1. Menjalankan Fungsi Budgeting, yaitu melaksanakan kegiatan perencanaan
keuangan menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, Mengatur Pembiayaan Kota Bekasi sehingga dapat meningkatkan
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Kota Bekasi.
2. Menjalankan Fungsi Controling, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan Undang-undang, peraturan daerah, keputusan kepala daerah
dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
3. Menjalankan Fungsi Legislasi, yaitu membuat peraturan-peraturan daerah
bersama Pemerintah Daerah guna menertibkan jalannya roda Pemerintahan
di Kota Bekasi.
Dalam menjalankan tugas-tugas DPRD maka DPRD Kota Bekasi
mempunyai kelengkapan DPRD, yang meliputi pimpinan DPRD, Panitia
Musyawarah, Komisi, Badan Kehormatan, Panitia Anggaran, Panitia Legislasi.
Tugas pimpian DPRD bersifat kolektif terdiri atas seorang Ketua dan 2
orang Wakil Ketua yang dipilih dari Anggota DPRD dalam rapat Paripurna DPRD.
Pimpinan DPRD mempunyai tugas: 1. Memimpin rapat-rapat dan menyimpulkan
hasil rapat untuk mengambil keputusan, 2. Menyusun rencana kerja dan
mengadakan pembagian rencana kerja antara Ketua dan Wakil Ketua, 3. Menjadi
juru bicara DPRD, 4. Melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPRD, 5.
Mengadakan konsultasi dengan Kepala Daerah dan Instansi Pemerintah lainnya
51
sesuai dengan keputusan DPRD, 6. Mewakili DPRD dan/atau alat kelengkapan
DPRD dipengadilan, 7. Melaksanakan putusan DPRD berkenaan dengan penetapan
sangsi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, 8. Mempertanggung jawabakan pelaksanaan tugasnya dalam rapat
paripurna DPRD.
Panitia musyawarah merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap
dan dibentuk oleh DPRD pada awal masa keanggotaan DPRD, panitia musyawarah
mempunyai tugas: 1. Memberikan pertimbangan tentang penetapan program kerja
DPRD baik diminta atau tidak, 2. Menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat
DPRD, 3. Memutuskan pilihan mengenai isi risalah dapat apabila timbul perbedaan
pendapat, 4. Memberi saran pendapat untuk memperlancar kegiatan, 5.
Merekomendasikan pembentukan panitia khusus.
Komisi-komisi merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan
dibentuk oleh DPRD pada awal masa jabatan keanggotaan DPRD, komisi
mempunyai tugas: 1. Mempertahakan dan memelihara kerukunan nasional serta
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Daerah, 2. Melakukan
pembahasan terhadap rancangan peraturan daerah, dan rancangan keputusan DPRD,
3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan, pemerintahan, dan
kemasyarakatan sesuai dengan bidang komisi masing-masing, 4. Membantu
pimpinan DPRD untuk mengupayakan penyelesaian masalah yang disampaikan
oleh Kepala Daerah dan masyarakat kepada DPRD, 5. Menerima dan menampung
serta menindaklanjuti aspirasi masyarakat, 6. Memperhatikan upaya peningkatan
kesejahteraan rakyat di Daerah, 7. Melakukan kunjungan kerja komisi yang
52
bersangkutan atas persetujuan pimpinan DPRD, 8. Dalam hal-hal mendesak, komisi
dapat melakukan kunjungan kerja tanpa persetujuan pimpinan DPRD tetapi tetap
berkewajiban melaporkan hasil kunjungan kerja secara tertulis kepada pimpinan
DPRD, 9. Mengadakan rapat kerja dan dengar pendapat, 10. Mengajukan usul
kepada pimpinan DPRD yang termasuk dalam ruang lingkup bidang tugas masing-
masing komisi, 11. Memberikan laporan tertulis kepada pimpinan DPRD tentang
hasil pelaksanaan tugas komisi.
Badan kehormatan merupakan alat kelengkapan DPRD bersifat tetap yang
dibentuk oleh DPRD dalam rapat paripurna DPRD, badan kehormatan mempunyai
tugas: 1. mengamati dan mengevaluasi disiplin, etika dan moral para pemimpin dan
anggota DPRD dalam rangka menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kreadibilitas
DPRD, 2. Meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan para pimpinan dan anggota
DPRD terhadap peraturan perundang-undangan, kode etik dan peraturan tata tertib
DPRD, 3. Melakukan penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan berupa
rekomendasi atas pengaduan yang disampaikan ke DPRD, 4. Menyampaikan hasil
pemeriksaan kepada pimpinan DPRD berupa rekomendasi untuk pemberhentian
pimpinan dan anggota DPRD antar waktu sesuai peraturan perundang-undangan, 5.
Menyampaikan rekomendasi kepada pimpinan DPRD berupa rehabilitasi nama baik
apabila tidak terbukti adanya pelanggaran yang dilakukan pimpinan dan anggota
DPRD.
Panitia anggaran merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan
dibentuk oleh DPRD pada masa keanggotaan DPRD. Panitia anggaran mempunyai
tugas: 1. Memberikan saran dan pendapat kepada kepala daerah dalam
53
mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah selambat-
lambatnya lima bulan sebelum ditetapkannya anggaran pendapatan dan belanja
daerah berupa pokok-pokok pikiran DPRD, 2. Meminta kepada Kepala Daerah
untuk menyerahkan RAPBD sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini selambat-
lambatnya tiga bulan sebelum tahun anggaran tersebut dimulai, 3. Meneliti,
mengkaji, menilai serta merevisi RAPBD yang diajukan oleh Kepala Daerah sesuai
dengan RENSTRA dan arah kebijakan umum serta dengan memperhatikan aspirasi
masyarakat, 4. Memberikan saran dan pendapat kepada Kepala Daerah dalam
mempersiapkan penatapan perubahan dan perhitungan APBD sebelum
ditetapkannya dalam rapat. 5. Menindaklanjuti saran dan pendapat fraksi-fraksi
yang terkait dengan penetapan perubahan dan perhitungan APBD kepada Kepala
Daerah, 6. Memberikan saran dan pendapat kepada DPRD mengenai rancangan
APBD, baik penetapan, perubahan dan perhitungan APBD yang telah disampaikan
oleh Kepala Daerah, 7. Menyusun anggaran belanja DPRD dan menilai, meneliti
serta merevisi rancangan anggaran belanja sekretariat DPRD.
Panitia legislasi dibentuk oleh DPRD yang berfungsi mengaji, merumuskan
dan menyusun rancangan peraturan daerah serta sebagai alat kelengkapan DPRD
yang bersifat tetap. Pimpinan panitia legislasi terdiri dari ketua, wakil ketua, dan
sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota panitia legislasi, berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat. Dan pimpinan panitia legislasi merupakan satu
kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif. Panitia legislasi mempunyai tugas: 1.
Menyusun program legislasi daerah yang memuat daftar urutan rancangan peraturan
daerah untuk setiap tahun anggran, 2. Mengkaji dan menyiapkan rancangan
54
peraturan daerah inisiatif DPRD berdasarkan program prioritas yang telah
ditetapkan, 3. Melakukan telaahan dan penyelarasan rancangan peraturan daerah
yang diajukan anggota, komisi atau gabungan komisi sebelum rancangan peraturan
daerah disampaikan kepada pimpinan DPRD, 4. Memberikan pertimbangan
terhadap pengajuan rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh anggota, komisi
atau gabungan komisi diluar rancangan peraturan yang terdaftar dalam program
legislasi daerah atau prioritas rancangan peraturan daerah tahun berjalan, 5.
Melakukan pembahasan, perubahan/penyempurnaan rancangan peraturan daerah
yang secara khusus ditugaskan oleh panitia musyawarah, 6. Melakukan
penyebarluasan dan mencari masukan untuk rancangan peraturan daerah yang
sedang dan akan dibahas dari sosialisasi peraturan daerah yang telah disahkan, 7.
Mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap materi peraturan-
peraturan daerah melalui koordinasi dengan komisi atau pihak lain yang terkait, 8.
Memberikan masukan kepada pimpinan DPRD terhadap rancangan peraturan
daerah yang diusulkan pemerintah daerah kota bekasi, 9. Memberikan inventarisasi
masalah hukum dan perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan, untuk
dapat dipergunakan sebagai bahan oleh panitia legislasi pada masa keanggotaan
berikut.
Berlakunya otonomi daerah dengan efektifnya UU No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah dan UU 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
antara Pusat dan Daerah sejak tanggal 1 januari 2001 telah membawa perubahan
mendasar terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah, dengan transisi demokrasi
penyelenggaraan pemerintahan yang terus bergerak kearah demokrasi di daerah
55
kabupaten dan kota nyaris selalu bermuara di lembaga DPRD, untuk memberikan
kewenangan dan penguatan fungsi lembaga ini.
Ketika DPRD Kota Bekasi periode 1999-2004 melaksanakan baktinya,
otonomi daerah tengah bergulir. Seiring dengan itu kedudukan DPRD berubah.
Menurut UU No.22 Tahun 1999 DPRD bukan lagi bagian pemerintah daerah tetapi
merupakan lembaga mandiri sebagai Badan Legislatif Daerah yang kedudukannya
sejajar dan menjadi mitra Badan Eksekutif Daerah atau pemerintah daerah.
Perubahan penyelenggaraan pemerintah tersebut menimbulkan tanda tanya
menyangkut kinerja lembaga DPRD Kota Bekasi.63
Secara kualitatif kinerja DPRD Kota Bekasi dilihat dari intensitas
pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Jika pada awal pembentukan Kota Bekasi,
anggota DPRD di tempati oleh wakil dari pemerintah pusat yang terdiri dari TNI,
namun hal ini tidak berlangsung lama, karena pada pemilu 1999 keterbukaan partai
yang ikut pada pemilihan umum mengharuskan TNI tidak masuk lagi dalam
anggota dewan, DPRD Kota Bekasi periode 1999-2004 merupakan masa DPRD
yang sulit karena berbenturan dengan proses demokrasi dan pelaksanaan pemilu
yang terbuka. Dan DPRD Kota Bekasi lahir pada saat euforia reformasi bergulir
sehingga kinerja DPRD masih terhambat penyesuaian dan transisi Undang-undang
tentang pemerintahan daerah dari UU No.5 Tahun 1974 ke UU No.22 Tahun 1999.
Dalam hubungan ini format DPRD Kota Bekasi mengalami perubahan fungsi.
Fungsi yang selama ini tersumbat oleh pemerintah pusat, dan DPRD Kota Bekasi
63 Chotim Wibowo, Dkk, Setahun Duet Kepemimpinan Akhmad-Mochtar, h. 10
56
menyesuaikan fungsinya dalam otonomi daerah yaitu fungsi legislasi, legitimasi dan
pengontrol.
Fungsi legitimasi dewan berkaitan erat dengan keduukan DPRD baik
sebagai wahana melaksanakan demokrasi maupun sebagai badan legislasi. Fungsi
pengontrol berkaitan dengan pengawasan atas legitimasi yang diberkaitan dengan
pengawasan atas legitimasi yang diberikan dewan kepada kepada pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan kemasyarakatan, pemerintahandan pembangunan
yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan ekonomi
berdasarkan demokrasi ekonomi.64 Dalam perkembangannya kemudian terjadi
revisi undang-undang otonomi daerah dengan UU No.32 Tahun 2004. Posisi DPRD
yang besar sebagai lembaga legislatif harus berubah, DPRD sebagai lembaga
legislatif bersifat mandiri dari lembaga eksekutif dan tidak saling membawahi.
Maka DPRD Kota Bekasi pada periode 2004-2009 juga mengalami perubahan
mekanisme pemilihan dan bekerja yang lebih terbuka. Dengan fungsi yang
diseragamkan seperti fungsi DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota,
fungsinya juga tidak jauh berbeda dari fungsi DPRD sebelumnya, yaitu: fungsi
legislasi, anggaran, pengawasan.
Adanya reformasi yang menuntut perbaikan hubungan pusat dan daerah
yang tertuang dalam otonomi daerah memberi posisi yang lebih terhadap DPRD,
desakan kepada pemerintah pusat saat itu, meminta untuk penguatan kedudukan dan
peran DPRD yang selama ini terbungkam oleh sistem yang sentralis. walaupun
kedudukan dan wewenang DPRD yang berubah-ubah dalam Undang-undang
64 Ibid, h. 11
57
pemerintahan daerah pasca reformasi. DPRD mempunyai kelembagaan yang jelas
sebagai lembaga legislasi yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintah daerah. Dan bersifat kemitraan dengan lembaga eksekutif.
DPRD Kota Bekasi menyesuaikan diri dengan sistem pemerintahan yang
ada, selama periode 2004-2009. DPRD Kota Bekasi membentuk lembaga ini sesuai
dengan ketentuan Undang-undang pemerintah daerah dengan menjalankan fungsi-
fungsi DPRD. Dan membuat program legislasi untuk peraturan daerah. Dan hal
yang terpenting untuk ini adalah, semoga DPRD bekasi dalam membuta peraturan
daerah tidak didasari kepentingan kelompok semata, tetapi untuk kepentingan
warga bekasi. Sehingga peraturan daerah tentang pelayanan publik bukan hanya
untuk publik tertentu yang merasakan tetapi juga semua publik yang ada di Kota
Bekasi.
BAB IV
DPRD DALAM OTONOMI DAERAH
STUDI ANALISIS TERHADAP PERANAN DPRD KOTA BEKASI DALAM
PENYUSUNAN DAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH TENTANG
PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK
58
A. Faktor Yang Melatar Belakangi Peraturan Daerah Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pelayanan publik adalah salah satu implementasi otonomi daerah yang harus
diberikan oleh pemerintah daerah kepada warganya. Pelayanan publik merupakan
salah satu argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah dimana pemerintah daerah
harus mampu menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan warganya.
Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung pada tingkat pelayanan
publik yang disediakan oleh pemerintah daerah, dengan adanya otonomi yang luas
yang diberikan kepada daerah maka daerah khusunya kabupaten/kota mempunyai
tugas yang tinggi untuk menyediakan layanan-layanan publik yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.65
Riant Nugroho dalam bukunya mengatakan bahwa pelayanan publik adalah
tugas dalam kebijakan publik yang paling mendasar, karena memberikan pelayanan
kepada umum tanpa membeda-bedakan dan diberikan secara cuma-Cuma atau
dengan biaya sedemikian rupa sehingga kelompok paling tidak mampu pun mampu
menjangkaunya. 66
Dengan adanya UU No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah,
membuka wacana penyelenggaraan publik yang harus dilaksanakan pemerintah
daerah untuk mensejahterakan warganya. Karena tugas dari pemerintah daerah
dengan adanya otonomi daerah adalah memberikan pelayanan, yaitu berupa
65 Oentarto, Format Otonomi Daerah Masa Depan, h. 167 66 Riant Nugroho Dwijowijoto, Kebijakan Publik Formulasi Implementasi dan Evaluasi,
(Jakarta: Gramedia, 2004), h. 75
59
pelayanan umum atau pelayanan publik. Publik disini adalah masyarakat yang
berhak menerima pelayanan yang baik tanpa memandang status warganya.
Pelayanan atau service adalah kata kunci dari otonomi daerah. Karena
otonomi daerah adalah milik masyarakat daerah yang dijalankan oleh pemerintah
daerah, maka akuntabilitas pemerintah daerah kepada rakyatnya dapat dilihat dari
jenis dan kualitas dari pelayanan yang disediakan untuk warganya. DPRD sebagai
lembaga politik harus membuat peraturan daerah tentang pelayanan publik yang
bertujuan untuk mensejahterakan warganya. DPRD Kota Bekasi membuat peraturan
daerah tentang penyelenggraan pelayanan publik karena belum ada peraturan ini
sebelumnya di Kota Bekasi.
Penyelenggaraan pelayanan publik didaerah menjadi suatu kemutlakan oleh
karena kewajiban pemerintah baik pusat maupun didaerah sebagai penyelenggara
pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Dan memenuhi
kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan
pelayanan administrasi maka penyelenggaraan pelayanan publik harus memberikan
perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh. Dalam rangka meningkatkan
kualitas pelayanan publik upaya yang dilakukan antara lain menertibkan berbagai
landasan peraturan perundang-undangan dibidang pelayanan publik.67
Atas dasar tersebut serta adanya tuntutan masyarakat yang semakin
meningkat, khususnya dibidang penyelenggaraan pelayanan publik yang semakin
transparan dan berkualitas, maka harus dibarengi tersedianya pedoman/ landasan
67 Penjelasan Umum, Dalam Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Kota Bekasi. h. 25
60
bergerak bagi setiap lembaga/organisasi penyelenggara pelayanan, termasuk
perorangan guna memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai bidang pelayanan yang
diinginkan.68
Disadari bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik didaerah masih
belum efektif bahkan cenderung kurang berkualitas, termasuk aspek sumber daya
manusia dan aparatur pemerintahan yang belum memadai. Untuk mengatasi kondisi
tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan
publik secara berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang prima.
Dalam usaha perbaikan kualitas pelayanan dimaksud dilakukan melalui
pembenahan sistem pelayanan publik secara menyeluruh dan terintegrasi yang
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan berupa peraturan daerah.
Dalam UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ada suatu hal
yang baru yaitu mulai diterapkannya Standar Pelayanan Minimum (SPM) dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah69, SPM merupakan standar minimal
pelayanan publik yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah kepada
masyarakat. Adanya SPM akan menjamin pelayanan minimal yang berhak
diperoleh masyarakat dari pemerintah daerah.70
Pada prinsipnya, terdapat banyak jenis pelayanan yang diberikan oleh
pemerintah, namun secara generik pelayanan yang diberikan pemerintah dibagi
menjadi dua pelayanan publik. Yaitu: pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar (basic
68 ibid 69 Lihat pasal 11 ayat (4) dalam UU 32 tahun 2004, yang menyebutkan bahwa
“penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib harus berpedoman pada SPM yang dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah”.
70 Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, h. 154
61
services) dan pelayanan pengembangan sektor unggulan (core competence)71. Yang
menjadi pelayanan dasar seperti, kewargaan, pendidikan kesehatan, transportasi,
perumahan, lingkungan, fasilitasi jalan, dll. Pelayanan sektor unggulan seperti,
pertanian, pertambangan, pariwisata, perdagangan dll. Pelayanan sektor unggulan
adalah pelayanan pendukung yang ada di daerah. Namun setiap daerah otonom
wajib memberikan pelayanan dasar sesuai dengan SPM yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat. Dengan adanya SPM pemerintah daerah bisa memenuhi
pelayanan dasar dan diharapkan akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan
menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah.72
Didasari dengan pentingnya suatu pelayanan yang harus diberikan
pemerintah daerah kepada warganya, maka DPRD Kota Bekasi membuat program
rancangan peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan
publik. Agar pelayanan dasar masyarakat bisa terpenuhi dan bisa dirasakan merata
oleh elemen masyarakat. Tanpa proses yang berbelit-belit. Dan pembentukan
peraturan daerah tentang penyelanggaraan pelayanan publik juga untuk
mengaktualisasikan UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang
mewajibkan setiap daerah otonom untuk memberikan pelayanan publik terhadap
warganya.
Dengan adanya peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan
pelayanan publik diharapkan dapat meningkatkan penyelenggaraan fungsi
pelayanan dari Dinas, Instansi, dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yang ada
71 dengan mengacu pada pendekatan core competence, maka isi otonomi dari satu daerah
akan berbeda dengan daerah lainnya tergantung dari sektor mana yang akan dikembangkan oleh daerah tersebut.
72 Oentarto, Format Otonomi Daerah Masa Depan, h.169-174
62
dikota bekasi. Dan disadari bahwa selama ini ketidakdisiplinan terhadap pelayanan
publik yang ada dikota bekasi merugikan pemerintah kota bekasi. Tuntutan
masyarakat agar adanya proses perizinan yang baik membuat DPRD menyusun
rancangan peraturan daerah ini. Karena harapan DPRD kota bekasi agar peraturan
daerah ini mempunyai daya laku peningkatan disiplin pelayanan yang terdapat
dalam sector swasta dan pemerintah.73
Adanya peraturan daerah penyelenggaraan pelayanan publik ini untuk
membentuk badan, kantor, dinas dan sayap-sayapnya yang harus dipayungi oleh
peraturan daerah, dan ini digabung dalam satuan kerja perangkat daerah (SKPD)74
yang akan dikoordinasikan oleh badan pelayanan perizinan terpadu (BPPT)75,
sehingga dinas yang terkait dengan pelayanan masyarakat tidak memonopoli semua
bentuk perizinan. Masyarakat harus KBPPT dahulu, proses ini yang akan disebut
Unit pelayanan satu atap (SPSA).76
Atas dasar bahwa pemerintah Kota Bekasi mengharapkan pelayanan yang
baik terhadap masyarakat kota bekasi maka peraturan daerah tentang
penyelenggaraan pelayanan publik harus ada di kota bekasi, untuk meningkatkan
kualitas pelayanan dan perizinan yang prima dan terstruktur dengan baik melalui
73 Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil
Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007.
74 Selanjutnya akan disebut SKPD 75 Selanjutnya akan disebut BPPT 76 Wawancara pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang
merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
63
kegiatan organisasi maupun personal dilingkungan pemerintah daerah khususnya
dan di instansi pemerintah pada umumnya.77
B. Peranan DPRD Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Perencanaan pembentukan daerah dilakukan berdasarkan program legislasi
daerah (prolegda). Prolegda merupakan istrumen perencanaan program
pembentukan peraturan daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan
sistematis. Salah satu tujuan penyusunan proglegda adalah untuk menjaga agar
produk peraturan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional.78
Pembuatan peraturan daerah kota bekasi mengenai pelayanan publik juga
berdasarkan kesatuan sistem hukum nasional. Menurut ketua pansus, DPRD harus
memastikan bahwa peraturan daerah ini tidak bertentangan dengan Undang-undang,
peraturan perundang-undangan, keputusan Presiden, keputusan Menteri dan juga
peraturan daerah. Peraturan daerah tentang pelayanaan publik sudah sesuai dengan
sistem hukum nasional, dan setiap peraturan daerah yang dibuat juga harus
berdasarkan hukum atau undang-undang yang sesuai dengan kesatuan negara
republik Indonesia.79
77 Penjelasan umum, dalam peraturan daerah kota bekasi nomor 13 tahun 2007 tentang
penyelenggaraan pelayanan publik dikota bekasi. H. 26 78 Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), ( Bandung: Fokus Media, 2009), h. 76 79 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang
merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
64
Peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik
berdasarkan hukum pada:80
1. Keputusan DPRD Kota Bekasi Nomor: 14/ 174.1/ DPRD/ 2007 Tanggal 13
Juli 2007 tentang Panitia Khusus (pansus) 28, dalam rangka pembahasan
rancangan peraturan daerah Kota Bekasi tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Publik di Kota Bekasi.
2. Dalam Proses pembahasan, secara teknis pansus memperhatikan peraturan-
perundangan sebagai berikut:
a. UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Lembaran Negara RI Tahun 1960 No. 10, Tambahan
Lembaran Negara RI No. 349)
b. UU No.9 Tahun 1996 Tentang Pembentukan Kota Madya Daerah
Tingkat II Bekasi ( Lembaran Negara RI Tahun 1996 No.111,
Tambahan Lembaran Negara RI No. 3821)
c. UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara RI tahun 1997 No. 68, Tambahan Lembaran
Negara RI No.3699)
80 Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil
Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007.
65
d. UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran
Negara Ri Tahun 1999 No.42, Tambahan Lembaran Negara RI
No.3821)
e. UU No.31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri (Lembaran Negara
RI Tahun 2000 No. 246, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4045)
f. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaran Negara RI Tahun 2002 No.137,
tambahan Lembaran Negara Ri No. 4250)
g. UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (lembaran Negara RI Tahun 2004 No.53, Tambahan
Lembaran Negara RI No. 4389)
h. UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara RI Tahun 2004 No. 125, Tambahan Lembaran Negara RI
No. 4437) sebagaimana telah diubah dengan UU No.8 tahun 2005
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintahan Pengganti UU No.3
tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang (
Lembaran Negara RI tahun 2005 No. 108, Tambahan Lembaran
Negara RI No. 4548)
i. UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Lembaran
Negara RI Tahun 2007 No. 67, Tambahan Lembaran Negara RI No.
4724)
66
j. UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan ruang (Lembaran Negara
RI Tahun 2007 No.68, Tambahan Lembaran Negara No. 4725)
k. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisi Mengenai
Dampak Lingkungan (Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 59,
Tambahan Lembaran Negara RI No. 3838)
l. Peraturan Pemerintahan No. 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan daerah
(Lembaran Negara RI Tahun 2005 No. 165, Tambahan Lembaran
Negara RI No. 4593)
m. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang pembagian
Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI
Tahun 2007 No. 82, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4737)
n. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Organisasi perangkat Daerah (Lembaran Negara RI tahun 2007 No.
89, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4741)
o. Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992 Tentang Pemanfaatan
Tanah, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan Untuk Usaha
Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing
67
p. Keputusan Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara No:
63/KEP/M.PAN/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik.
q. Keputusan Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara No.
26/KEP/M.PAN/2/2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan
Akuntabilitas Pelayanan Publik.
Peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan publik, bergulir saat
DPRD periode 2004-2009, yang merupakan proglam legislasi yang harus disahkan
oleh DPRD. DPRD Kota Bekasi juga membuat pansus (panitia khusus) yang
disebut dengan pansus 28, Pansus berjumlah 18 orang, dengan struktur seorang
koordinator yaitu unsur pimpinan, ketua pansus Ir. Muhammad hasim Affandi dari
farksi PAN, wakil ketua H. Gusnal, SE, MM dari fraksi PPP, sekretaris Umar fauzi
fraksi PDI-P, dan 14 orang anggota yang terdiri dari beberapa gabungan fraksi yang
ada di DPRD.81
Dalam pembahasan rancangan peraturan daerah Kota Bekasi tentang
penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Bekasi, pansus 28 ini juga melakukan
beberapa serangkaian kegiatan. Yaitu: rapat-rapat internal pansus, rapat
pembahasan bersama pihak eksekutif dalam merencanakan peraturan daerah tentang
pelayanan publik, rapat pembahasan bersama pihak badan usaha milik negara
(BUMN) se- Kota Bekasi yang mempunyai tupoksi pelayanan publik, rapat
konsultasi dengan biro organisasi dan dinas pelayana satu atap Propinsi Jawa Barat,
81 Nevi Somadireja, Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota Bekasi
Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009 (Bekasi: Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009), h. 100
68
kunjungan kerja dalam rangka study banding ke pemerintah Kota Yogyakarta,
konsultasi ke kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, rapat-rapat internal
di fraksi masing-masing dalam rangka pembahasan pelayanan publik, dan rapat
finalisasi bersama pihak eksekutif.82
Peraturan daerah tentang pelayanan publik dirasakan penting oleh DPRD
karena pemerintah Kota Bekasi belum membuat peraturan daerah ini, dan melihat
ketidak disiplinan dalam pembuatan perijinan dan pelayanan publik. DPRD sebagai
lembaga legislatif yang menampung aspirasi masyarakat, sering menerima keluhan
mengenai pelayanan publik yang tidak baik.
Kunjungan pansus 28 dalam masa kerjanya ke pemerintah Kota Yogyakarta,
karena kota Yogyakarta sudah mempunyai peraturan daerah tentang
penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah Kota Yogyakarta menjadi tolak
ukur dalam pembuatan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan publik
di Bekasi. Kota Yogyakarta juga merupakan kota yang berkembang dalam
pelaksanaan otonomi daerah, dan pada saat rancangan peraturan daerah Kota Bekasi
tentang penyelenggaraan pelayanan publik diajukan kepada pemerintah Propinsi,
peraturan daerah ini merupakan peraturan daerah pertama di jawa barat atau di
Indonesia untuk tingkat Kabupaten/Kota. 83
82 Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil
Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007.
83 Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil
Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007.
69
Pengesahan Rancangan peraturan daerah menjadi peraturan daerah tentang
pelayanan publik juga berjalan baik dalam rapat paripurna, pansus 28
merekomendasikan kepada pihak eksekutif agar secepatnya membentuk BPPT
sebagai pemberdayagunaan pelayanan kepada masyarakat dan mengganti unit
pelayanan satu atap (UPSA) mengelola seluruh bentuk perijinan yang menjadi
kewenangan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di Kota Bekasi,
dengan mengindahkan asas dan prinsip : asas kepastian hukum, asas transparansi,
asas partisipatif, asas kepentingan umum, asas profesionalisme, asas kesamaan hak,
asas keseimbangan hak dan kewajiban, prinsip kesederhanaan, prinsip kejelasan,
prinsip kepastian waktu, prinsip akurasi, prinsip keamanan, tanggung jawab, prinsip
kelengkapan sarana dan prasarana, prinsip kemudahan akses, prinsip kedisiplinan,
kesopanan, keamanan dan prinsip kenyamanan.
Dalam rapat paripurna Ketua DPRD Kota Bekasi meresmikan paraturan
daerah kota bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan publik. Rapat paripurna ini
di hadiri oleh ketua DPRD, dan wakilnya, Wali Kota Bekasi, dan Wakilnya,
anggota DPRD Kota Bekasi, sekertaris Daerah Kota Bekasi, perangkat pemerintah
daerah, seluruh camat dan lurah se Kota Bekasi, LSM yang ada di Kota Bekasi,
kapolres Kota Bekasi dan lain-lain.
DPRD kota Bekasi melihat bahwa peraturan daerah tentang
penyelenggaraan pelayanan publik ini, penting untuk masyarakat. Ini juga
merupakan implementasi dari UU N0.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
70
yang menuntut adanya SPM, DPRD juga menetapkan SPM pelayanan dan perizinan
14 hari kerja.84
Pada tanggal 22 Agustus 2007 Walikota Bekasi mengesahkan dan
menetapkan peraturan daerah tentang penyelenggaraan publik berlaku di Kota
Bekasi dengan nomor 13 dan No. LD 12 seri A 85. Besar harapan agar adany
peraturan daerah Kota Bekasi tentang pelayanan publik bisa meningkatkan
pelayanan publik di Kota Bekasi.
Dalam peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan
publik disebutkan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan
yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan
penduduk atas suatu barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan
oleh penyelnggara pelayanan publik.86
Dalam peraturan daerah kota bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan
publik maka diterapkan standar pelayanan umum yang di amanatkan dalam UU 32
Tahun 2004, peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan pelayanan
publik, jenis pelayanan dasar selain perizinan antara lain: seperti:
1. Pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk (KTP)
84 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
85 Nevi Somadireja, Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota Bekasi Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009 (Bekasi: Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009), h. 175
86 Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Publik di Kota Bekasi, h, 6
71
2. Pelayanan pembuatan kartu keluarga (KK)
3. Pelayanan akta perkawinan
4. Pelayanan akta lahir
5. Pelayanan pembuatan rekomendasi pendirian rumah ibadah
6. Pelayanan pembuatan rekomendasi pendirian sekolah swasta
7. Pelayanan pendaftaran organisasi sosial, LSM dan yayasan
8. Pelayanan pemberian tanda lapor orang asing
9. Pelayanan pemberian surat pengantar keringanan pengobatan ke rumah sakit
10. Pelayanan pemberian rekomendasi adopsi anak
11. Pelayanan pemberian rekomendasi pengumpulan sumbangan untuk korban
bencana, dll.
Jenis pelayanan pemberian perizinan antara lain seperti:
1. Pelayanan pemberian izin mendirikan bangunan
2. Pelayanan pemberian izin lokasi
3. Pelayanan pemberian izin trayek
4. Pelayanan pemberian izin gangguan
5. Pelayanan pemberian izin usaha perdagangan
6. Pelayanan pemberian izin reklame
72
7. Pelayanan pemberian izin penelitian/ survey/ riset dan PKL
8. Pelayanan pemberian izin undian, dll
C. Sosialisasi Peraturan Daerah Tantang Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan peraturan daerah yang telah
diundangkan dalam lembaran daerah. Masyarakat Kota Bekasi dan pihak-pihak
yang terkait harus mengetahui tentang peraturan daerah yang berlaku sebagai syarat
untuk melaksanakan dan mematuhinya.
Menurut anggota DPRD Kota Bekasi dan juga merupakan ketua pansus,
sebenarnya bukanlah tugas DPRD dalam mensosialisasikan, karna tugas DPRD itu,
legislasi, controling dan budgeting. Dan DPRD melihat dalam perda pelayanan
publik ini, pihak yang lebih bertanggungjawab dalam mensosialisasikan adalah
BPPT, dinas-dinas dan instansi terkait seperti kelurahan dan kecamatan yang lebih
bersinggungan kepada masyarakat dalam perizinan dan pelayanan.87
Kelemahan DPRD memang kurang mensosialisasikan Peraturan daerah
yang dibuatnya, sebenarnya sebelum peraturan daerah disahkan saat sidang
paripurna, sudah ada edaran dari pihak eksekutif yang diberikan kepada instansi
yang terkait pelayanan publik. Sehingga tiga bulan saat peraturan daerah ini
disahkan sudah ada sosialisasi dari pihak terkait kepada masyarakat, dan hal ini
yang tidak dilakukan walaupun dilakukan hanya sedikit masyarakat yang tahu.88
87 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang
merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
88 Ibid
73
DPRD Kota Bekasi mensosialisasikan peraturan daerah Kota Bekasi tentang
penyelenggaraan publik dengan cara mensosialisasikan kepada masyarakat
khususnya didaerah pemilihannya. Ini disebut dengan Masa Reses, setiap anggota
DPRD yang terdiri dari beberapa anggota terpilih lewat daerah pemilihan yang
berbeda-beda, jika DPRD mensahkan produk peraturan daerah maka anggota
DPRD tersebut mensosialisasikan ke daerah pemilihannya pada masa reses tersebut.
Masa reses dilaksanakan pada hari kerja,89 Hal ini yang kemudian kurang efektif
untuk mensosialisasikan perda karena tidak dilaksanakan pada hari kerja disaat
masyarakatnya mempunyai aktivitas sendiri.
Pada saat sidang paripurna pengesahan peraturan daerah Kota Bekasi
dihadiri oleh pejabat daerah, struktur pemerintahan daerah dan elemen masyarakat.
Ini juga merupakan sosialisasi peraturan daerah, dari yang hadir tersebut bisa
mensosialisasikan kembali kepada masyarakat Bekasi.
DPRD Kota Bekasi juga mensosialisasikan peraturan daerah Kota Bekasi
tentang penyelenggaraan pelayanan publik melalui media yang ada di Kota Bekasi.
Media massa seperti koran Radar Bekasi yang slalu mempublikasikan kegiatan
pemerintah daerah. Dan juga lewat buletin swara DPRD yang hadir tiap bulannya,
dan menjelaskan peraturan daerah yang berhasil disahkan DPRD.
D. Peranan DPRD Dalam Pengawasan Peraturan Daerah Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
89 Peraturan Tata Tertid Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi N0.26/174.2/DPRD/2006,
h.75
74
Sebagai unsur penyelenggara pemerintah di daerah, DPRD mempunyai
fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tugas dan wewenang pengawasan
DPRD secara khusus tercantum dalam UU No 32 Tahun 2004 pasal 24 ayat 1C
yang berbunyi : “ DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-
undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah dalam
melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di
daerah”90
Pengawasan bertujuan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi,
menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya, serta mengembangkan checks dan balances antara lembaga
legislatif dan eksekutif demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Pengawasan yang dilakukan DPRD untuk mengawasi produk hukum yang sudah
disahkan.
Bentuk pengawasan yang dilakukan DPRD dilakukan dengan cara
melakukan dengan pendapat, kunjungan jerja, pembentukan panitia khusus dan
pembentukan panitia kerja yang dibentuk sesuai dengan peraturan tata tertib DPRD.
DPRD dalam melaksanakan pengawasan terhadap peraturan daerah berhak meminta
pejabat negara, pejabat pemerintah, atau waraga masyarakat untuk memberikan
keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan daerah,
pemerintah dan pembangunan. Pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga
masyarakat yang menolak permintaan untuk memberikan keterangan dapat
90 Lihat pasal-pasal UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
75
dipanggil secara paksa, karena merendahkan martabat DPRD. Hal ini diatur dan
dijelaskan pada UU No. 22 tahun 2003 Pasal 66 ayat (1), (2) dan (3) bahwa:91
1. DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya berhak meminta pejabat negara, tingkat provinsi dan
kabupaten/kota, pejabat pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, badan
hukum, atau warga masyarakat untu memberikan keterangan tentang sesuatu
hal yang perlu ditangani demi kepentingan daerah, bangsa dan negara.
2. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota,
badan hukum atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPRD
sebagaimana dimaksud ayat (1).
3. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota,
badan hukum atau warga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dikenakan panggilan paksa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Walaupun DPRD tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memberi
sanksi terhadap eksekutif, setidaknya DPRD memiliki kekuasaan yang cukup kuat
untuk meminta keterangan dengan pihak-pihak yang sekiranya dapat memberikan
masukan dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD.
Namun kuatnya fungsi pengawasan yang sudah tertera dalam peraturan
Negara, tidak bisa di implementasikan dengan baik oleh DPRD Kota Bekasi. DPRD
91 Sadu wasistiono, Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), h.
149
76
Kota Bekasi kurang memberikan pengawasan terhadap peraturan daerah yang sudah
disahkannya.
Pengawasan DPRD terhadap peraturan daerah tentang pelayanan publik ini,
tidak begitu terkontrol dilakukan. Karena banyaknya perda yang disahkan oleh
DPRD tiap tahunnya, membuat DPRD sulit untuk memfokuskan pengawasan pada
satu peraturan daerah. Namun cara pengawasan yang dilakukan DPRD dalam
peraturan daerah ini dengan melakukan kunjungan kerja ke kelurahan atau ke dinas,
Dan selama ini belum terlihat adanya pelanggaran dalam pelaksanaannya.92
Pengawasan terhadap peraturan daerah Kota Bekasi tentang
penyelenggaraan pelayanan publik bisa dilihat sangat minim, hanya sebatas
pembuatan peraturan daerah dan pengesahannya. Jika DPRD melakukan kunjungan
kerja terhadap instansi terkait biasanya instansi tersebut memberikan pelayanan
yang prima dan tidak menyimpang, kurangnya pengawasan terhadap peraturan
daerah ini, membuat peraturan daerah ini belum dievaluasi dengan baik, dan apakah
sudah sesuai dengan masyarakat atau belum.
D.1 Pihak-Pihak Yang Bertanggung Jawab Terhadap Pelaksanaan Peraturan
Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Rekomendasi dari pansus peraturan daerah pelayanan publik adalah,
dibentuknya BPPT dengan asas kinerja satuan pelayanan satu atap, selama ini
dalam perijinan masyarakat seperti bola yang kesana dan kemari, karena tidak
92 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
77
adanya koordinasi kerja dari instansi terkait. Dan terlalu banyak pihak instansi yang
harus didatangi. Setelah adanya peraturan daerah ini kinerja perijinan dirubah.
Dalam peraturan daerah ada pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk
menfasilitasi agar peraturan daerah bisa terlaksana dan berjalan sesuai aturan yang
berlaku, dan dalam peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan
pelayanan publik. Pihak yang bertanggung jawab adalah: BPPT yang
mengkoordinasi kerja SKPD didalamnya meliputi dinas-dinas dan kecamatan dan
kelurahan.
Gambar 1. Bagan Alur Pengurusan perizinan
DINAS-DINAS BPPT
PEMOHON
Tekhnis perijinan
SEKSI PERIJINAN DALAM DINAS
Legalitas perijinan Menerbitkan
surat perijinan
Meneliti kelengkapan berkas
Mengajukan permohonan perijinan dengan melampirkan berkas yang disyaratkan
78
Sumber: Dinas Perijinan Dalam Bidang IMB
Gambar 2. Bagan Alur Pengurusan Pelayanan
Kelurahan Dinas kependudukan
Kecamatan
Sumber: Kantor Kelurahan Jati Luhur
D.2. Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Publik
Pelaksanaan peraturan daerah tentang pelayanan publik sudah berlaku pada
tanggal yang diundangkan, dan pelaksanaan standar pelayanan, maklumat
pelayanan, sistem informasi dan tata cara pengolaan pengaduan yang telah ada pada
masing-masing penyelenggara menyesuaikan dengan peraturan daerah ini selambat-
lambatnya satu tahun sejak ditetapkan.
No Jenis Pelayanan/perijinan
Peraturan daerah
pelaksanaan Keterangan
1 Pembuatan KTP 14 hari 14 hari sesuai dengan SPM, namun bisa saja lebih dari 14 hari.
Bisa Sesuai perda, hanya saja persyaratan yang dibawa pada saat
79
dan ada pelayanan khusus atau progresif, yang bisa langsung jadi pembuatannya dalam satu hari (pasal 21), pelayanan ini untuk WNA atau masyarakat yang butuh untuk keperluan mendesak.
kekelurahan sudah komplit. Keterlambatan jadinya KTP, karena kurangnya komputerisasi atau data yang hilang.93dalam pembiyayaan sendiri, dalam perda digratiskan, namun tiap kelurahan mempunyai kebijakan berbeda, bisa dikenai biyaya administrasi 10.000. dan untuk progresif dikenakan biaya 100.000 sesuai perda.
2 Surat Domisili 14 hari Surat domisili ini prosesnya hanya dikelurahan saja, sehingga bisa cepat. Biayanya juga gratis jika mengikuti perda, namun terkadang kelurahan memungut biaya untuk administrasi.
Tidak sesuai perda, karena prosesnya tidak berpindah instansi. Dalam pemungutan biaya juga tergantung dengan kebijakan kelurahannya.
3 Pelayanan izin mendirikan bangunan
14 hari Kurang lebih sesuai dengan waktu yang ditentukan
Sesuai dengan perda,Jika tidak ada masalah dalam tekhnisnya, semua bisa berjalan tepat waktu, namun ada pula oknum yang bermain waktu dengan dikenakan
93 Wawancara Pribadi Dengan Lurah Jati Luhur Bpk. Jaya Ekosetiawan SH
80
biaya tambahan untuk mempercepat waktunya.
Dari sampel diatas bisa diambil kesimpulan bahwa tiap instansi ataupu dinas
mempunyai kebijakan tersendiri diluar perda, instansi terkait secara keseluruhan
sesuai dengan peraturan daerah hanya saja ada pegawainya yang melakukan
pelanggaran. Tiap dinas sendiri dan istansi berbeda kebijakannya. Dan dalam
pelaksanaan pelayanan publik, masyarakat tidak diwajibkan kekantor kelurahan
untuk pembuatan KTP, bisa langsung kekecamatan ataupun dinas kependudukan,
yang penting instansi terkait. Karena dalam perda pun tidak ada peraturan tersebut.
Pelaksana peraturan daerah pelayanan publik juga tidak dikenai biaya
kepada masyarakat, yang dijelaskan pada pasal 22 yaitu pungutan biaya
penyelenggaraan pelayanan publik yang menyangkut hak-hak sipil pada hakikatnya
dibebankan kepada daerah dan atau negara dengan tidak menutup kemungkinan
ditetapkan pungutan biaya pelayanan kepada penerima pelayanan. Karena biaya
penyelenggaraan pelayanan mempertimbangkan, tingkat kemampuan dan daya beli
masyarakat, nilai/harga yang berlaku didaerah atas barang dan/atau jasa, dan rincian
biaya yang jelas dan transparan. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat
kantor kelurahan yang memungut biaya administrasi, untuk kas keuangan kantor
kelurahan. Mental msyarakatpun harus di rubah, banyak terdapat kasus masyarakat
81
yang enggan untuk kekelurahan dan meminta bantuan pegawai instansi terkait,
sehingga ada perasaan senggan dan memberikan uang untuk jasanya.94..
penyelenggara pelayanan publik wajib bertanggung jawab atas pelayanan
yang dilaksanakannya yaitu: menyusun dan menetapkan standar pelayanan teknis
serta tata cara pengelolaan pengaduan dan keluhan dari penerima pelayanan dengan
mengedepankan prinsip penjelasan yang tepat dan tuntas, menyiapkan sarana dan
prasarana dan fasilitas pelayanan publik secara efisien, efektif, transparan dan
akuntabel, serta berkesinambungan, memberikan pengumuman dan/atau memasang
tanda-tanda yang jelas ditempat yang mudah diketahui terhadap perubahan dan/atau
pengalihan fungsi fasilitas pelayanan publik, dll.95
Penyelenggara sebagai lembaga yang melanggar kewajiban dan/atau
larangan yang diatur dalam peraturan daerah ini dikenakan sanksi administratif
berupa: peringatan, pembayaran ganti rugi, pengenaan denda. Sedangkan aparat
penyelenggara yang melanggar dikenakan hukuman: pemberian peringatan,
pembayaran ganti rugi, pengurangan gaji dalam waktu tertentu, penundaan atau
penurunan pangkat atau golongan, pembebasan tugas dari jabatan dalam waktu
tertentu, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat.
Ganti rugi yang dimaksud diberikan kepada penerima pelayanan yang dirugikan
berdasarkan tata cara yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan yang ada.
94 Wawancara Pribadi dengan anggota DPRD Kota Bekasi periode 2004-2009 yang
merupakan ketua pansus 28 dalam pembentukan perda ini, yaitu Ir. Muhammad Hasim Afandi, Bekasi 2 juni 2010
95Ppasal 8, h. 9-10
82
Peraturan daerah kota bekasi tentang penyelenggaraan publik secara
struktural sudah terarah, dengan memperjelas bentuk pelayanan dan bentuk
perijinan kepada masyarakat, akan tetapi menjadi cacatan yang sangat penting
ketika peraturan ini berbentuk praktek dan aplikasi langsung kepada masyarakat.
Ada baiknya pemerintah daerah yang didalamnya ada walikota dan wakil wali kota
juga anggota DPRD melakukan evaluasi apakah peraturan daerah ini benar-benara
terlaksana dengan baik oleh penyelenggara pelayanan publik dan aparat
pemerintahan, karena DPRD terkadang mengabaikan tugasnya selain membuat
peraturan daerah dan mengesahkannya, DPRD juga wajib melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan peraturan daerah kepada masyarakat.
Pemerintah daerah kota Bekasi memang mempunyai target tiap tahun dalam
mengembangkan potensi daerahnya, adanya peraturan daerah kota bekasi tentang
penyelenggaraan pelayanan publik juga menjadi bukti bahwa pemerintah ingin
memperbaiki fungsi pelayanan yang selama ini jauh dari disiplin, karena belum
adanya peraturan standar pelayanan minimum yang sesuai dengan UU No.32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah, DPRD sebagai lembaga politik kemudian
berusaha mewujudkan peraturan daerah kota bekasi tentang penyelenggraan
pelayanan publik guna memperbaiki ketidakdisiplinan yang ada dalam instansi yang
terkait terhadap pelayanan publik. Dengan harapan semoga adanya peraturan daerah
ini pelayanan publik di Kota Bekasi bisa lebih berkualitas dan terarah pada
masyarakat.
Demikian penjelasan mengenai peraturan daerah Kota Bekasi dari faktor
terbentuknya sampai proses dan sosialisasinya peraturan daerah tentang
83
penyelenggaraan pelayanan publik. Jelaslah kiranya bahwa ada sebuah usaha dalam
pemerintah daerah kota bekasi untuk memperbaiki sebuah pelayanan terhadap
warganya agar lebih berkualitas.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Adanya gelombang reformasi tahun 1998, membawa perubahan terhadap
sistem pemerintahan, tuntutan agar dikembalikannya fungsi DPRD sebagai
bagian dari pemerintah daerah diakomodasi UU No.22 Tahun 1999. Peran
84
DPRD kemudian sangat besar. DPRD mempunyai tugas untuk memberikan
pelayanan publik terhadap masyarakatnya, pelayanan yang prima dan
berkualitas.
2. Tahun 2007, ketika masa bakti anggota DPRD 2004-2009 berjalan, DPRD
Kota Bekasi melakukan proglam legislasi untuk penyelenggaraan pelayanan
publik. Peran DPRD besar dalam penyusunannya, dimulai dengan
membentuk dasar hukum peraturan daerah, membentuk tim pansus,
melakukan kunjungan kerja, rapat dengan eksekutif dan legislatif.
Melakukan sosialisasi ke instansi terkait pelayanan publik.
3. Pengawasan DPRD Kota Bekasi terhadap peraturan daerah pelayanan
publik, kurang dimaksimalkan dengan baik, dengan alasan bahwa perda
yang dihasilkan DPRD banyak, sehingga sulit untuk mengkontrol
pengawasan tiap peraturan daerah. Namun DPRD melakukan pengawasan
pelayanan publik dengan melakukan kunjungan kerja ke instansi terkait dari
BPPT, Dinas sampai kekelurahan.
B. Saran
Dengan adanya peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan
pelayanan publik, diharapkan adanya peningkatan kualitas dan pelayanan terhadap
masyarakat, DPRD sebagai lembaga legislatif yang dalam UU No.32 tahun 2004
85
tentang Pemerintahan Daerah bersifat sejajar dan kemitraan dengan lembaga
eksekutif, mempunyai fungsi bukan hanya dalam membuat peraturan daerah saja,
melainkan juga ada anggaran dan pengawasan.
DPRD Kota Bekasi sebagai lembaga legislatif juga harus mengoptimalisasi
fungsinya. Setelah pembentukan peraturan daerah tentang penyelenggaraan
pelayanan publik, ada baiknya DPRD kota bekasi juga mensosialisasikan kepada
masyarakat, sosialisasinya juga bukan hanya pada saat sidang paripurna saat
pengesahan peraturan daerah tetapi juga terjun langsung kedaerah pemilihnya,
selama ini masa reses terlihat seperti seremonial saja, karena yang didatangi hanya
sekelompok kecil dari masyarakat. Dan DPRD Kota Bekasi juga harus berperan
sebagai pengawas, jangan sampai habis ditetapkan peraturan daerah dilupakan
begitu saja. Harus ada pengawasan dalam jangka panjang, yang nantinya bisa
dievaluasi apakah peraturan daerah ini sudah sesuai dengan pelayanan terhadap
masyarakat atau perlu diperbaiki lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Bratha, Denny. Menyusuri Bekasi Raya Jejak Reportase. Bekasi: Rinjani
Kita: 2009
86
Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi. Risalah Kota Bekasi. Bekasi:
Pemkot Bekasi, 2009
Djohan, Djohermansyah. “Fenomena Etnosentrisme Dalam Penyelenggaraan
Otonomi Daerah”dalam Haris, Syamsuddin, ed. Desentralisasi dan
Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokrasi, Akuntabilitas Pemerintahan
Daerah. Jakarta: Lipi Press, 2007
Dwi, Jowijoyo, Nugroho, Riant. Kebijakan Publik Formulasi Implementasi dan
Evaluasi. Jakarta: Gramedia, 2004
Hidayat, Misbah L. Reformasi Administrasi Kajian Komparatif Pemerintahan tiga
Presiden. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007
Jeddawi, Murtir. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Analisis Kewenangan,
Kelembagaan, Manajemen Kepegawaian, dan Peraturan Daerah.
Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008
Kaloh, J. Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: PT. Renika Cipta, 2007
Kansil, C.S.T, Dkk. Hukum Administrasi Daerah. Jakarta: Jala Permata Aksara,
2009
Kansil, C. S. T. Pokok-Pokok Administrasi Di Daerah, Jakarta: Aksara Baru, 1979
87
Labolo, Muhammad. Memahami Ilmu Pemerintahan Suatu Kajian, Teori, Konsep,
dan Pengembangannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Marbun, BN. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007
Marbun, BN. DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2006
Muluk, M.R. Khairul. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang: Bayu
Media, 2006
Oentarto, Dkk. Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan. Jakarta: Samitra
Media Utama, 2004
Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Publik Di Kota Bekasi
Peraturan Tata Tertib DPRD Kota Bekasi N0.26 Tahun 2006
Program Pembangunan Daerah Kota Bekasi 2001-2005. Bekasi: Bagian Humas dan
Protokol Bekerjasama Dengan Tim Sosialisasi Visi dan Misi kota Bekasi,
2000
Pratikno. “Pengelolaan Hubungan Pusat dan Daerah” dalam Haris, Syamsuddin, ed.
Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokrasi,
Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: Lipi Press, 2007
Putra, Fadillah. Membumikan Konsep Devolusi Dalam Implementasi Kebijakan
Otonomi Daerah Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2006
88
Rasyid, Ryaas, M. “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam
Haris, Syamsuddin, ed. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi,
Demokrasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: Lipi Press, 2007
Risalah Rapat Paripurna Penetapan dan Penandatanganan Hasil Pembahasan Panitia
Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan
Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006. Bekasi: 22 Agustus
2007
Rosyada, Dede, Dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2003
Sarundajang. Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2002
Sarundajang. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kata Haspa, 2005
Sobandi, Baban, Dkk. Desentralisasi dan Tuntutan Kelembagaan Daerah.
Bandung: Humaniora, 2005
Somadireja, Nevi. Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota
Bekasi Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009. Bekasi:
Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009
Syaukani, Dkk. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003
89
Suyanti, Isbodroini. “ Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme” ” dalam
Haris, Syamsuddin, ed. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi,
Demokrasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: Lipi Press, 2007
Tjandra, Willy R. Praksis Good Governance. Sewon Bentol: pondok Edukasi, 2006
Wasistiono, Sadu dan Ondo, Riyani, ed. Etika Hubungan Legislatif Eksekutif.
Bandung: Fokus Media, 2003
Wasistiono, Sadu, Wiyoso, Yonatan. Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Bandung: Fokus Media, 2009
Wibowo, Chotim, Dkk. Setahun Duet Kepemimpinan Akhmad-Mochtar. Bekasi:
Satu Visi, 2004
Zainie, Abdullah. Membumikan Konsep Devolusi Dalam Implementasi Kebijakan
Otonomi Daerah Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2006
Internet
Http:// www. Kota Bekasi.go.id diakses pada tanggal 17 November 2009
Http:// www. Jatisari, Hunian Kota Bekasi. Html. Diakses pada tanggal 27 Januari
2010
90
Wawancara
Wawancara Dengan Bapak Ir. Muhammad Hasim Affandi, Selaku Anggota DPRD
Periode 2004-2009 dan Juga Ketua Pansus Peraturan Daerah Pelayanan Publik,
Tanggal 2 Juni 2010 Juni 2010 Juni 2010
Wawancara Dengan Bapak Jaya Ekosetiawan SH, Selaku Lurah Jati Luhur
Kecamatan Jati Asih Kota Bekasi.
Hasil Wawancara Dengan Bapak Ir. Muhammad Hasim Affandi, Anggota DPRD Kota
Bekasi 2004-2009 dan Juga Ketua Pansus Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Publik.
Sahla (S): Assalamualaikum pa?
Pak, Affandi (A): Walaikumsalam Wr.Wb...
S: saya sahla pa, mahasiswa yang telpon, saya datang untuk mewawancarai bapak, mengenai
perda pelayanan publik di Kota Bekasi pa.
A: oiya... Public service y, perubahan dengan adanya perda ini sekarang dibuatlah BPPT
(Badan Pelayanan Perizinan Terpadu) yang terbentuk tahun 2008 dulu yang berkaitan
dengan dinas-dinas tidak terpadu. Jadi adanya BPPT agar semua dinas bersatu dalam unit
pelayanan satu atap. Dulu jika mau mengurus IMB urutannya, untuk rumah tinggalnya itu
harus kedinas lalu keluar blanko izin tetangga terus ke RT, RW, lalu distempel Lurah dan
Camat baru kedinas lagi. Setelah adanya perda ini sekarang tidak, sekarang langsung
KBPPT dan meminta surat keterangan dari tetangga terus kelurah dan camat langsung
KBPPT lagi.
S: jadi pak, sebenarnya faktor apa yang melatar belakangi perda public service ini pa?
A: untuk membentuk badan, kantor, dinas dan sayap-sayapnya yang harus dipayungi perda,
yang dirumuskan oleh pansus dan disahkan. Karna perda ini berkaitan dengan public.
Agar masyarakat mudah dalam pelayanan dan perizinannya. Dan dinas juga tidak boleh
memonopoli, harus ke BPPT dulu. Adanya perda ini juga agar pelayanan untuk
masyarakat berkualitas dan tidak dipersulit. Intinya sekarang ini adanya unit pelayanan
satu atap yang namanya BPPT, dan perda ini untuk menetapkan SPM dalam pelayanan
dan perizinan yang merupakan implementasi otonomi daerah.
S: bagaimana dengan peran DPRD pa, dalam penyusunan perda ini?
A: perannya tentu besar, DPRD harus menelaah apakah ini penting untuk masyarakat, dan
peda ini penting untuk masyarakat. Sebenarnya perda itu ada dua macam yang digolkan
DPRD, pertama perda yang diajukan eksekutif bisa perda baru, atau perubahan perda yang
sudah ada. Kedua, perda dari anggota dewan, yaitu hak inisiatif, disini kita melihat mana
perda yang dibutuhkan oleh masyarakat. Lalu DPRD harus melihat bahwa perda ini tidak
bertentangan dengan UU, Perpu, Kepres, Kepmen dan Perda, DPRD juga melakukan
kunjungan kerja ke Jogjakarta, Solo dan Bali. Dan DPRD menetapkan SPM 14 hari masa
kerja apabila persyaratannya komplit.
S: lalu pak, seperti apa DPRD mensosialisasikan Perda ini ke masyarakat?
A: itu bukan tugas kita sebenarnya, tugas DPRD itu ada tiga, legislasi, controling dan
budgeting. DPRD harus melihat dalam perda ini pihak mana yang lebih bersinggungan
dengan masyarakat. Dan perda ini yang lebih bertanggung jawab adalah dinas-dinas, dan
pelayananya adalah kelurahan dan kecamatan. Semestinya, dengan adanya integritas dan
good goverment minimal harus terpampang lah perda ini, agar masyarakat yang datang ke
instansi tersebut bisa melihatnya. Dan seharusnya bukan hanya DPRD yang bertanggung
jawab mensosialisasikan, BPPT, dinas dan kelurahan juga bertanggung jawab.
S: bukankah sosialisasi perda bisa dilakukan pada masa reses pa, dan sebenarnya ada
anggaran atau tidak untuk memperbanyak perda agar masyarakat tahu?
A: oh.. iya, sebenarnya sebelum perda ini disahkan sudah ada edaran dari eksekutif yang
diberikan kedinas-dinas dan instansi terkait. Dalam dinas juga ada humasnya yang
seharusnya mensosialisasikan ini, sehingga tiga bulan saat perda ini disahkan sudah ada
sosialisasi, dan ini yang tidak dilakukan, kalaupun dilakukan, jarang masyarakat yang
tahu. Untuk anggaran, ada anggarannya dalam APBD ada jika perda ini untuk kepentingan
publik diperbanyak. Terkadang kesadaran masyarakat untuk tahu juha masih kurang. Dan
masa reses ini kurang efektif karena tidak boleh dilaksanakan pada hari libur. Reses
digunakan pada hari kerja saat masyarakatnya mempunyai kesibukan, seperti kantor dll.
S:lalu bagaimana Pa, peran DPRD dalam pengawasan perda ini?
A: pengawasan di DPRD dibilang lemah juga tidak, biasanya pengawasan dilakukan jika ada
pelanggaran, setelah ada laporan dari masyarakat, DPRD juga tidak bisa konsisten
mengawasi perda pelayanan publik ini, karna perda yang dibuat oleh DPRD juga banyak,
sehingga sulit untuk mengontrol implementasi perda. Dan cara DPRD dalam pengawasan
perda ini dengan melakukan kunjungan kerja kekelurahan, atau dinas. Dan DPRD
membuat tim independent yang namanya uji petik untuk melihat adanya pelanggaran atau
tidak terhadap pelaksanaan perda.
S: dalam perda ini pa, pihak-pihak apa saja yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
perda?
A: perda ini merekomendasikan untuk adanya BPPT yang mengeluarkan legalitas, Di BPPT
akan mendapatkan persyaratan lalu akan diarahkan ke dinas yang bersangkutan sesuai
keperluan. Pihak yang bertanggung jawaby, SKPD yang didalamnya, ada dinas-dinas,
kecamatan dan kelurahan. BPPT ini adalah UPSA yang mengkoordinasi dinas dan instansi
terkait.
S: terimakasih bapak, atas waktunya, apa yang bapak jelaskan akan sangat bermanfaat untuk
saya, maaf jika saya merepotkan.
A: iya,, tidak apa-apa semoga bermanfaatnya.
Demikian hasil wawancara penulis dengan narasumber, dan ini bukan merupakan hasil
rekayasa dari penulis.
Bekasi, 2 Juni 2010
Ir. Muhammad Hasim Affandi
Hasil Wawancara Dengan Bapak Jaya Ekosetiawan SH, lurah Jati Luhur
Kecamatan Jati Asih Bekasi, Untuk Melihat Pelaksanaan Perda Pelayanan Publik
Di Kelurahan.
Sahla (S): Assalamualikum Pa Lurah....
Pa Lurah (L): Walaikumsalam......
S: maksud kedatangan saya kesini pa, untuk melihat pelaksanaan perda pelayanan
publik, memang jika dilihat dalam unsur SKPD kelurahan merupakan instansi
terbawah, tapi sebenarnya mempunyai peranan yang penting dalam memberikan
pelayanan masyarakat.
L: ya betul, karna sebenarya kelurahan ini adalah instansi pengumpul, yang banyak
mengurusi tugas pembuatan KTP, KK, Surat Pindah.. dll
S: berapa hari pa dalam pembuatan KTP, apakah sesuai dengan perda ketentuan
SPMnya adalah 14 hari?
L: ya disini sesuai dengan perda, seperti yang tadi saya bilang, kelurahan ini adalah
instansi pengumpul, jika ada yang membuat KTP, pendaftarannya disini dengan
persayaratan yang sudah kumplit, lalu kita bawa ke kecamatan, dan terakhir ke dinas
kependudukan, kecuali untuk pelayanan khusus yaitu progresif, satu hari bisa
langsung jadi.
S: bagaimana dengan pembiayaannya pa, di perda itu gratis kan?
L: disini gEErrraatiisss... kecuali yang progresif, pembiayaannya 100.000. kelurahan
lain mungkin juga sama y seperti ini.
S: apa menurut bapa tidak ada kendala dalam pelaksanaan perda?
L: selama ini tidak ada kendala, semua berjalan sesuai dengan perda, jika ada kendala
keterlambatan misalnya, itu karena IT yang kurang.
S: bagaimana dengan pelayanan izin domisili pa?
L: sebenarnya yang terpenting, pada saat masyarakat yang mengurus domisili ini,
datang kekelurahan, sudah sempurna persayaratannya, dengan ada surat keterangan
dari RT dan RW. Semua akan berjalan dengan cepat prosesnya, dan pada saat
kekelurahan semua persayaratannya sudah kumplit. Jika belum prosesnya akan lama.
S: terima kasih atas waktu, dan penjelasannya pa
L: ya sama-sama ya.
Demikian hasil wawancara penulis dengan narasumber, dan ini bukan merupakan hasil
rekayasa dari penulis.
Bekasi, 3 Juni 2010
Jaya EkoSetiawan SH.
SURAT KETERANGAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menerangkan bahwa:
Nama : Sri Sahlawati
NIM : 105033201155
Jurusan : Ilmu Politik
Fakultas : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Telah melakukan kegiatan wawancara dengan Lurah Jatiluhur Kecamatan Jatiasih
Bekasi untuk melihat pelaksanaan perda dalam kelurahan, dalam rangka penyelesaian
tugas akhir karya ilmiah (Skripsi) S1 yang berjudul “DPRD Dalam Otonomi Daerah
Studi Analisis Terhadap Peranan DPRD Kota Bekasi Dalam Penyusunan dan
Pengawasan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik”
Demikian surat keterangan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Bekasi, 14 Juni 2010.
Jaya Ekosetiawan SH.
DPRD Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1945
Undang-Undang No.1 1945 dikeluarkan pada tanggal 23 November 1945 dan
merupakan Undang-undang pemerintahan daerah yang pertama setelah kemerdekaan.
Undang-undang tersebut didasarkan pada pasal 18 UUD 1945. Pada dasarnya dalam
UU No.1 Tahun 1945 tersebut, meneruskan sistem yang diwariskan oleh pemerintah
kolonial Belanda.
pada pokoknya Undang-Undang ini mengubah Komite Nasional Daerah
menjadi Badan Perwakilan Daerah. Wewenang BPRD tersebut adalah: Pertama,
kemerdekaan untuk mengadakan peraturan-peraturan untuk kepentingan daerahnya
(otonomi). Kedua, Pertolongan kepada Pemerintah atasan untuk menjalankan peraturan-
peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah itu (medebewind dan self goverment = sertat
antara dan pemerintahan sendiri). Ketiga, membuat peraturan mengenai suatu hal yang
diperintahkan oleh undang-undang umum, dengan ketentuan bahwa peraturan itu harus
disahkan terlebih dahulu oleh pemerintahan atasan (wewenang antara otonomi dan
selfgovernment).
Komite Nasional Daerah bertindak sebagai badan legislatif dan anggotanya-
anggotanya diangkat oleh pemerintah pusat. Komite tersebut memilih lima orang dari
anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin oleh kepala daerah
untuk menjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai
wakil pemerintah pusat di daerah yang bersangkutan.
DPRD Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1948
Undang-undang No.1 Tahun 1945 yang mengatur tentang pemerintahan daerah
di Indonesia, ternyata dipandang kurang memuaskan, karena isinya sangat sederhana.
Dan banyak hal yang tidak diatur dalam UU No.1 tahun 1945. Untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 18 UUD 1945, maka dengan persetujuan Badan Pekerja Komite
Nasional Pusat, Pada tanggal 10 Juli 1948 ditetapkan Undang-undang No.22 Tahun
1948 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang ini menetapkan Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) dan
Dewan Pemerintah Daerah (DPD) sebagai instansi pemegang kekuasaan tertinggi,
sedangkan kepala daerah diberi kedudukan sebagai ketua dan anggota Dewan
Pemerintah Daerah, dan tidak lagi menjadi ketua DPRD. Kekuasaan pemerintah daerah
berada ditangan DPRD. DPD bertanggung jawab kepada DPRD dan dapat dijatuhkan
DPRD atas mosi tidak percaya. Kepala daerah dalam UU ini mempunyai posisi lemah
karena tergantung pada DPRD.
DPRD Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1957
Yang menjadi dasar dikeluarkannya UU No.1 Tahun 1957 dikarenakan
perkembangan ketatanegaraan maka undang-undang tentang pokok-pokok
pemerintahan daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, perlu
diperbaharui sesuai dengan bentuk negara kesatuan. Dan perlu dilakukan dalam suatu
undang-undang yang berlaku untuk seluruh Indonesia.
DPRD dalam Undang-undang ini memiliki hak dan kewajiban yang semakin
luas, DPD dan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, sehingga kedua badan ini harus
bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala daerah bertindak selaku ketua DPD, namun
kekuasaan tertinggi di daerah terletak ditangan DPRD. DPRD membuat kebijakan
daerah dan DPD bertugas untuk melaksanakannya.
DPRD Dalam Undang-Undang No.18 Tahun 1965
Pada tanggal 1 september 1965 diundangkan UU No.18 Tahun 1965 tentang
pokok-pokok pemerintahan daerah RI. Diberlakukannya UU No.18 Tahun 1969 dipicu
oleh lemahnya posisi kepala daerah dalam UU No.1 Tahun 1957. UU No.18 Tahun
1965 ini merupakan gabungan atau pencakupan dari segala pokok unsur-unsur
pemerintahan daerah.
Dibandingkan dengan Undang-undang sebelumnya posisi DPRD dalam
Undang-undang ini sangat minim. Bentuk dan susunan pemerintahan daerah terdiri dari:
Kepala Daerah dan DPRD. Kepala Daerah melaksanakan politik pemerintahan dan
bertanggung jawab kepada Presiden melalui Mentri Dalam Negeri menurut hierarki
yang ada. kepala daerah juga dibantu oleh wakil kepala daerah dan badan pemerintahan
harian. Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada
kepala daerah. DPRD menetapkan peraturan-peraturan daerah untuk kepentingan daerah
atau untuk melaksanakan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya yang
pelaksanaannya ditugaskan kepada daerah. Anggota-anggota Badan Pemerintahan
Harian (BPH) adalah pembantu kepala daerah dalam urusan dibidang tugas pembantuan
dalam pemerintahan. Anggota BPH memberikan petimbangan kepada kepala daerah,
baik diminta maupun tidak.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Adanya gelombang reformasi tahun 1998, membawa perubahan terhadap
sistem pemerintahan, tuntutan agar dikembalikannya fungsi DPRD sebagai
bagian dari pemerintah daerah diakomodasi UU No.22 Tahun 1999. Peran
DPRD kemudian sangat besar. DPRD mempunyai tugas untuk memberikan
pelayanan publik terhadap masyarakatnya, pelayanan yang prima dan
berkualitas.
2. Tahun 2007, ketika masa bakti anggota DPRD 2004-2009 berjalan, DPRD
Kota Bekasi melakukan proglam legislasi untuk penyelenggaraan pelayanan
publik. Peran DPRD besar dalam penyusunannya, dimulai dengan
membentuk dasar hukum peraturan daerah, membentuk tim pansus,
melakukan kunjungan kerja, rapat dengan eksekutif dan legislatif.
Melakukan sosialisasi ke instansi terkait pelayanan publik.
3. Pengawasan DPRD Kota Bekasi terhadap peraturan daerah pelayanan
publik, kurang dimaksimalkan dengan baik, dengan alasan bahwa perda
yang dihasilkan DPRD banyak, sehingga sulit untuk mengkontrol
pengawasan tiap peraturan daerah. Namun DPRD melakukan pengawasan
pelayanan publik dengan melakukan kunjungan kerja ke instansi terkait dari
BPPT, Dinas sampai kekelurahan.
81
B. Saran
Dengan adanya peraturan daerah Kota Bekasi tentang penyelenggaraan
pelayanan publik, diharapkan adanya peningkatan kualitas dan pelayanan terhadap
masyarakat, DPRD sebagai lembaga legislatif yang dalam UU No.32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah bersifat sejajar dan kemitraan dengan lembaga
eksekutif, mempunyai fungsi bukan hanya dalam membuat peraturan daerah saja,
melainkan juga ada anggaran dan pengawasan.
DPRD Kota Bekasi sebagai lembaga legislatif juga harus mengoptimalisasi
fungsinya. Setelah pembentukan peraturan daerah tentang penyelenggaraan
pelayanan publik, ada baiknya DPRD kota bekasi juga mensosialisasikan kepada
masyarakat, sosialisasinya juga bukan hanya pada saat sidang paripurna saat
pengesahan peraturan daerah tetapi juga terjun langsung kedaerah pemilihnya,
selama ini masa reses terlihat seperti seremonial saja, karena yang didatangi hanya
sekelompok kecil dari masyarakat. Dan DPRD Kota Bekasi juga harus berperan
sebagai pengawas, jangan sampai habis ditetapkan peraturan daerah dilupakan
begitu saja. Harus ada pengawasan dalam jangka panjang, yang nantinya bisa
dievaluasi apakah peraturan daerah ini sudah sesuai dengan pelayanan terhadap
masyarakat atau perlu diperbaiki lagi.
82
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Bratha, Denny. Menyusuri Bekasi Raya Jejak Reportase. Bekasi: Rinjani
Kita: 2009
Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi. Risalah Kota Bekasi. Bekasi:
Pemkot Bekasi, 2009
Djohan, Djohermansyah. “Fenomena Etnosentrisme Dalam Penyelenggaraan
Otonomi Daerah”dalam Haris, Syamsuddin, ed. Desentralisasi dan
Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokrasi, Akuntabilitas Pemerintahan
Daerah. Jakarta: LIPI Press, 2007
Dwi, Jowijoyo, Nugroho, Riant. Kebijakan Publik Formulasi Implementasi dan
Evaluasi. Jakarta: Gramedia, 2004
Hidayat, Misbah L. Reformasi Administrasi Kajian Komparatif Pemerintahan tiga
Presiden. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007
Jeddawi, Murtir. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Analisis Kewenangan,
Kelembagaan, Manajemen Kepegawaian, dan Peraturan Daerah.
Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008
83
Kaloh, J. Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: PT. Renika Cipta, 2007
Kansil, C.S.T, Dkk. Hukum Administrasi Daerah. Jakarta: Jala Permata Aksara,
2009
Kansil, C. S. T. Pokok-Pokok Administrasi Di Daerah, Jakarta: Aksara Baru, 1979
Labolo, Muhammad. Memahami Ilmu Pemerintahan Suatu Kajian, Teori, Konsep,
dan Pengembangannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Marbun, BN. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007
, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2006
Muluk, M.R. Khairul. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang: Bayu
Media, 2006
Mawardi Sindung Oentarto, Dkk. Menggagas Format Otonomi Daerah Masa
Depan. Jakarta: Samitra Media Utama, 2004
Nurhasim Mochammad, ed., Kualitas Keterwakilan Legislatif: Kasus Sumbar, Jateng,
Jatim, Jatim dan Sulsel. Jakarta: P2P LIPI, 2001
Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007. Bekasi: Badan
Infokom Kota Bekasi, 2007
Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Publik Di Kota Bekasi
84
Peraturan Tata Tertib DPRD Kota Bekasi N0.26 Tahun 2006
Priyatmoko, Akuntalisasi Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: Kerangka Analisis dan
Beberapa Kasus, dalam Miriam Budiarjo dan Ibrahim Ambong, ed., Fungsi
Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1993
Program Pembangunan Daerah Kota Bekasi 2001-2005. Bekasi: Bagian Humas dan
Protokol Bekerjasama Dengan Tim Sosialisasi Visi dan Misi kota Bekasi,
2000
Pratikno. “Pengelolaan Hubungan Pusat dan Daerah” dalam Haris, Syamsuddin, ed.
Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokrasi,
Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: Lipi Press, 2007
Pribadi, Toto, dkk., Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka, 2006
Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik Fisip Universitas Indonesia Dengan
badan Perencanaan Daerah Provinsi Jakarta, dalam Penelitian Peran Dan Fungsi
DPRD Di Era Reformasi. Jakarta: Depok, 2003
Putra, Fadillah. Membumikan Konsep Devolusi Dalam Implementasi Kebijakan
Otonomi Daerah Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2006
Rasyid, Ryaas, M. “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam
Haris, Syamsuddin, ed. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi,
Demokrasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: Lipi Press, 2007
Risalah Rapat Paripurna Penetapan dan Penandatanganan Hasil Pembahasan Panitia
Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan
85
Perhitungan Anggaran (LPA) Tahun Anggaran 2006. Bekasi: 22 Agustus
2007
Rosyada, Dede, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2003
Sarundajang S.H. Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2002
, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kata Haspa,
2005
Sobandi, Baban, dkk. Desentralisasi dan Tuntutan Kelembagaan Daerah. Bandung:
Humaniora, 2005
Somadireja, Nevi. Lensa Wakil Rakyat Sebuah Perjalanan Aspirasi Warga Kota
Bekasi Anggota DPRD Kota Bekasi Masa Bhakti 2004-2009. Bekasi:
Sekretariat DPRD Kota Bekasi, 2009
Syaukani, dkk. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003
Suyanto, Isbodroini. “ Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme” ” dalam
Haris, Syamsuddin, ed. Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi,
Demokrasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: Lipi Press, 2007
Tjandra, Willy R. Praksis Good Governance. Sewon Bentol: pondok Edukasi, 2006
86
87
Wasistiono, Sadu dan Ondo, Riyani, ed. Etika Hubungan Legislatif Eksekutif.
Bandung: Fokus Media, 2003
Wasistiono, Sadu, dan Wiyoso, Yonatan. Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Bandung: Fokus Media, 2009
Wibowo, Chotim, dkk. Setahun Duet Kepemimpinan Akhmad-Mochtar. Bekasi:
Satu Visi, 2004
Zainie, Abdullah. Membumikan Konsep Devolusi Dalam Implementasi Kebijakan
Otonomi Daerah Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2006
Internet
Http:// www. Kota Bekasi.go.id diakses pada tanggal 17 November 2009
Http:// www. Jatisari, Hunian Kota Bekasi. Html. Diakses pada tanggal 27 Januari
2010
Wawancara
Wawancara Dengan Ir. Muhammad Hasim Affandi, Selaku Anggota DPRD Periode
2004-2009 dan Juga Ketua Pansus Peraturan Daerah Pelayanan Publik, Tanggal 2
Juni 2010 Juni 2010 Juni 2010
Wawancara Dengan Jaya Ekosetiawan SH, Selaku Lurah Jati Luhur Kecamatan Jati
Asih Kota Bekasi.